Jurnal Pendidikan IPS, Vol. 6. No. 2, Jul–Des 2016
ISSN: 2088-0308
Monopoli Perdagangan Cengkeh Voc Di Ternate (1602-1799) Suharlin Ode Bau Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP Kie Raha Ternate ABSTRAK Penelitian ini adalah penelitian sejarah yang bersifat deskriptif analitik yang pengumpulan datanya dilakukan dengan menggunakan metode sejarah yaitu Heuristik yang di pusatkan di Lembaga Kepustakaan dan Lembaga Arsip dengan tujuan untuk mencari dan menemukan sumber-sumber primer maupun sumber sekunder. Data dalam penelitian ini, mengunakan analisis data sejarah, yaitu kritik sumber yang dilanjutkan dengan interpretasi data.Penelitian ini bertujuan(i) mengungkapkan strategi VOC dalam memonopoli perdagangan cengkeh di Ternate pada 1602-1799.dan (ii) menganalisa dampak yang ditimbulkan oleh VOC dalam memonopoli perdagangan cengkah di Ternate pada 16021799.Hasil Penelitian bahwa (i) strategi yang digunakan adalah melakukan perjanjian dengan para Sultan, melakukan ekstirpasi dan Hongi-Tocten, memblokade jalur laut dengan kekuatan militernya, membangun benteng-benteng sebagai pusat pertahanan dan administrasi,dan juga mampu memanfaatkan politik lokal. (ii) dampak yang ditimbulkan dari monopoli VOC ini adalah menyebabkan kemiskinan dan kesengsaraan yang luar biasa kepada masyarakat, hilangnya kebebasan, kemerdekaan dan kedaulatan Kesultanan. Kata Kunci: Monopoli, Perdagangan Cengkeh, dan VOC PENDAHULUAN Kepulauan Maluku dikenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah: cengkeh, pala, dan fuli (lapisan antara kulit dan biji pala). Ternate berada di wilayah Maluku Utara yang merupakan kepulauan endemik tanaman cengkeh.Karena merupakan penghasil cengkeh, menyebabkan Ternate sangat terkenal pada abad ke-14 sampai abad ke-17.Penduduk dan penguasa Ternate telah melakukan hubungan perdagangan dengan pedagang-pedagang antara lain Cina, Arab, Jawa, Melayu, dan Makassar.Hubungan perdagangan yang dilakukan terutama untuk transaksi perdagangan rempah-rempah dilakukan secara terus menerus dan berlangsung lama sehingga menciptakan jaringan perdagangan rempah klasik antara Nusantara, Asia, dan kawasan Mediteranian. Perubahan atau gangguan hubungan dagang antara penduduk dan penguasa Ternate dengan padagang-pedagang Cina, Arab, Jawa dan Makassar, mulai terasa dengan kehadiran bangsa Eropa. Kehadiran Portugis di Ternate pada awal tahun 1512 yang berlayar melalui Jawa, Sunda Kecil yang dipandu oleh mualim Melayu dengan tujuan untuk membeli rempahrempah. Sembilan tahun kemudian yakni pada tahun 1521 Spanyol tiba di Tidore yang
disambut baik oleh Sultan Tidore dan kemudian pada tahun 1606 Spanyol menguasai sebagian wilayah Kesultanan Ternate. Selain Portugis dan Spanyol, Belanda juga mengunjungi Kepulauan Ternate.Kunjungan mereka terjadi pada pelayaran yang kedua ke Hindia-Timur dengan armada yang terdiri atas delapan buah kapal di bawah komando Jacob Corneliszoon van Neck. Di antara armada kapal yang ikut, terdapat kapal Amsterdam, Zeeland, Gelderland, Gauda, dan Utrecht dengan nakhoda oleh Wijbrand van Warwijk dan Jacob Heemskerk, keduanya diperbantukan sebagai wakil laksamana, pada 8 Januari 1599 dari Banten berlayar menuju Maluku. (Widjojo, 2012 : 23). Selanjutnya pada 2 Juli 1601 Jacob Corneliszoon van Neck tiba di Ternate dari Goa dengan kapal Amsterdam dan Gauda. Kapalkapal Belanda ini disambut oleh Sultan Saidi (1583-1606) dengan baik dan melakukan perdagangan secara terbuka dengan Sultan Ternate (Amal, 2010 : 97-99). Widjojo dalam bukunya Pemberontakan Nuku menjelaskan bahwa dengan kedatangan kapal-kapal Belanda di Ternate, Sultan Said segera membuka pintu untuk membentuk persekutuan. Sultan Said juga mengijinkan Belanda mengumpulkan rempah-rempah, batuan berharga, dan mutiara
Jurnal Pendidikan IPS, LPPM STKIP Taman Siswa Bima
237
Jurnal Pendidikan IPS, Vol. 6. No. 2, Jul–Des 2016
serta Belanda menunjukan kekuatan militernya untuk meyakinkan Ternate akan kelayakannya sebagai sekutu. (Widjojo, 2013 : 31). Dengan kedatangan kapal-kapal dagang Eropa (Portugis, Spanyol, dan Belanda) pasar rempah-rempah di Nusantara semakain ramai dan persaingan makin ketat.Persaingan tidak hanya terjadi pada saat pembelian tetapi juga pada saat pemasaran rempah-rempah.Ledakan perdagangan langsung menjadikan rempahrempah berlimpah di pasar Eropa sehingga harga jualnya semakin menurun dan ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi Belanda selanjutnya.Untuk menjaga harga rempah-rempah tetap stabil dan untuk memperoleh keuntungan yang melimpah, pemerintah dan pedagang-pedagang Belandamengupayakanpenggabungan kongsikongsi dagang Belanda. Berkat dari Prins Maurits, stadhouder (wali negara), kesepakatan bersama antara kongsi-kongsi dagang dapat dicapai sehingga, pada 20 Maret 1602 pendirian Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) resmi terbentuk, ditandai dengan piagam yang dikeluarkan oleh Staten General. (Hadi Soewito, 2003 : 18) Pendirian VOC tahun 1602, kemudian secara pasti merintiskan kekuasaannya atas Ternate. Pada tahun 1605 Belanda menguasai Ambon dan pada tahun 1607 atas permintaan Jogugu Hidayat kepada Kapita Lau Ali untuk menemui Laksamana Matalieff di Banten dan menghasilkan perundingan, yang isinya antara lain Laksamana Matalieff (mewakili VOC/Staten General) menyetujui untuk memberikan bantuan militer kepada Ternate untuk mengusir orang-orang Spanyol dari pulau tersebut dengan syarat memberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah, dan ijin mendirikan benteng diberikan kepada VOC/Belanda. Syarat-syarat tersebut disetujui oleh Kapita Lau Ali. Pada perkembangannya, VOC sadar bahwa untuk mencapai tujuannya memonopoli seluruh rempah-rempah dengan keuntungan yang lebih besar dari perdagangan rempah-rempah lokal, dilakukan pembatasan jumlah rempah-rempah yang diangkut ke Eropa. Namun, cara ini hanya akan berhasil jika VOC dapat mengalahkan semua saingan sesama bangsa Eropa. Hegemoni rempah-rempah juga tidak dapat ditegakkan hanya dengan mengandalkan perjanjian-perjanjian perdamaian, pembangunan benteng-benteng, dan
ISSN: 2088-0308
keunggulan angkatan laut saja karena kekuasaan dari kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara, baik besar maupun kecil, masih tetap merupakan ancaman yang potensial dan dapat menggagalkan semua rencana VOC. Sehingga walaupun VOC sudah berada di Ternate untuk beberapa waktu lamanya, namun usaha-usaha mereka belum berhasil memaksakan monopoli atas daerah produksi pala, bunga pala (fuli), dan yang terpenting adalah cengkeh.Oleh karena itu, VOC merancang langkah-langkah atau tindakan yang lebih agresif dan mulai diterapkan di Nusantara bagian Timur, yakni di pusat perdagangan rempah-rempah di Ternate.Untuk memaksimalkan segala upaya monopolistik Belanda terhadap rempah-rempah, VOC harus menjalankan instruksi dari Heren Seventien, yakni “untuk memberikan perhatian khusus kepada kepulauan tempat tumbuhnya cengkeh dan buah pala serta berupaya sekuat tenaga mendapatkannya untuk VOC baik melalui traktat maupun kekerasan”.Instruksi ini diberikan kepada semua laksamana yang dikirim ke kepulauan rempah-rempah. Dalam intsrtuksi tersebut terlihat jelas keinginan VOC untuk menguasai rempah-rempah baik dengan cara damai maupun dengan kekuatan militer. Selain itu pada tahun 1610 dibentuk jabatan Gubernur Jenderal yang akan menangani segala urusan VOC di Nusantara. Selain jabatan Gubernur Jenderal, juga dibentuk sebuah lembaga yang disebut Dewan Hindia (Raad van Indie) sebagai badan penasihat dan pengawasan di wilayah-wilayah perdagangan yang ada di Nusantara terutama di wilayah penghasil rempah-rempah.(Widjojo, 2013 : 20). Dengan adanya Gubernur Jenderal VOC ini, hak monopoli perdagangan rempah-rempah sepenuhnya dikuasai oleh bangsa Belanda yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yakni tahun 1607 sampai tahun 1610 yang hanya berdasarkan perjanjian-perjanjian antara pihak Kesultanan Ternate dengan bangsa Belanda. Dengan strategi mitra dagang yang saling menguntungkan merupakan siasat yang sangat ampuh dalam rangka menjalin hubungan dengan Kesultanan Ternate. Namun ternyata dibalik semua itu VOC/Belanda berusaha menguasai perdagangan secara monopoli yang mengakibatkan kedaulatan kesultanan dan masyarakat Ternate berakhir dengan hilangnya kebebasan, kemerdekaan, dan integritasnya
Jurnal Pendidikan IPS, LPPM STKIP Taman Siswa Bima
239
Jurnal Pendidikan IPS, Vol. 6. No. 2, Jul–Des 2016
yang berlanjut pada penguasaan wilayah, memunculkan tindakan sewenang-wenang terhadap masyarakat dan pedagang-pedagang lokal maupun pedagang asing.Ini berdampak pada aspek ekonomi, sosial, dan politik Kesultanan Ternate maupun masyarakat lokal Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah (1)Untuk mengungkapkan strategi VOC dalam memonopoli perdagangan cengkeh di Ternate pada 1602-1799, dan (2) Untuk menganalisa dampak yang ditimbulkan oleh VOC dalam perdagangan cengkah di Ternate pada 16021799. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian sejarah yang di pusatkan di lembaga Kepustakaan dan Arsip. Pengumpulan datanya dilakukan dengan cara Heuristik dan analisis datanya menggunakan kritik sumber, yakni kritik interen. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari kebenaran/kevalidan isi sumber yang kemudian dilanjutkan dengan interpretasi data. Penulisan dalam penelitian inidilakukan dengan cara deskriptif analitik. HASIL PENELITIAN Hubungan perdagangan telah mengantarkan wilayah kepulauan Maluku menjadi pusat perdagangan penting di Nusantara. Keberhasilan pelaut-pelaut Belanda mengunjungi pusat-pusat perniagaan di Asia menjadi modal berharga untuk perdagangan Belanda.Setelah mencapai Banten para navigator Belanda kian bersemangat hingga akhirnya sukses mencapai wilayah Maluku.Persaingan politik dan perdagangan segera mereka lakukan baik dengan penguasa pribumi maupun bangsa-bangsa Eropa lainnya seperti Portugis, Spanyol, dan Inggris.Seperti apakah strategi politikBelanda (VOC) dalam menguasai Ternate dan melaksanakan praktek monopoli dalam perdagangan cengkeh, serta dampak seperti apa yang ditimbulkan. Seluruhnya akan dibahas pada ulasan sub tema berikut ini: A. Strategi VOC dalam Monopoli Perdagangan Cengkeh di Ternate Sejak pendiriannya tahun 1602, VOC telah menjadi monogram Kompeni Hindia Timur. Untuk mendapatkan keuntungan maksimal dari kondisi perdagangan, VOC harus mendapatkan pijakan di Asia selama abad ke-17. Pertama Belanda harus menggunakan senjata untuk
240
ISSN: 2088-0308
mengusir para pesaing Portugis dan bangsa Eropa lainnya dari Maluku, yang saat itu merupakan satu-satunya tempat di dunia yang menghasilkan cengkeh, pala, dan fuli. VOC kemudian mendapatkan monopoli perdagangan rempah dari para penguasa dan penduduk pribumi dengan perjanjian dan penaklukan. Monopoli perdagangan cengkeh pada kenyataannya mampu dilaksanakan dan dipertahankan oleh VOC dengan sukses dalam jangka waktu yang cukup lama (Jacob, 2006: 3). 1. Penegakan Kekuasaan Belanda (VOC) di Ternate Dalam merintis kekuasaan dan merebut wilayah produksi cengkeh di Ternate,orangorang Belanda mulai melakukan ekspedisi pelayaran Heemskerk yang telah dijelaskan sebelumnya.Usaha mereka makin dipertegas dengan pengiriman Laksamana Van Neck. Sekalipun VOC belum dibentuk atau setelah dibentuk pada tahun 1602 tetapi belum mapan, visi membangun kekuasaan makin jelas diperlihatkan oleh Van Neck melalui kesepakatan awal yang kemudian diperbaharui pada tahun 1601. Sikap ramah yang diperlihatkan kepada penguasa Ternate mendapat simpati dan dukungan. Apalagi bersamaan dengan kehadirannya hubungan Ternate dengan Portugis tidak dalam kondisi baik bahkan kritis sehingga Laksamana Van Neck memiliki peluang yang baik untuk menjalin kerja sama guna menyingkirkan Portugis dari Maluku. (Zoon, 1848 : 35). Setelah perundingan dengan Sultan Ternate dan mendapatkan persetujuan, dengan kekuatan yang terbatas ia segera melancarkan serangan terhadap Portugis di Tidore. Laksamana Van Neck mengerahkan kapalnya untuk menyerang kapal-kapal dan menggempur benteng pertahanan Portugis di Tidore Dalam petempuran ini Jumlah korban yang meninggal sebanyak 8 atau 9 orang dan lainnya menderita luka-luka(Zoon, 1848 : 36) Setelah upaya Van Neck untuk menyingkirkan Portugis, langkah intensif segera dilakukan oleh VOC dengan mengirim armada berkekuatan lima kapalyang dipimpin oleh Laksamaan Cornelis Sebastianszoon dan tiba di Ternate pada tanggal 2 Mei 1603. Tujuannya jelas yakni menyingkirkan orangorang Portugis dari Tidore.Atas persetujuan sultan TernateLaksamana Cornelis Sebastiaans zoon melancarkan serangan terhadap kapal-
Jurnal Pendidikan IPS, LPPM STKIP Taman Siswa Bima
Jurnal Pendidikan IPS, Vol. 6. No. 2, Jul–Des 2016
kapal Portugis di Tidoresebagai basis pertahanan Portugis terakhir di Maluku. Pertempuran ini pada akhirnya dimenangkan oleh orang-orang Belanda. Akhirnya Laksamanamemerintahkan Opperkoopman Adriaan Harmenszoon bersama 14 orang pegawai rendahan VOC untuk tinggal dan melayani kepentingan perdagangan, dan berangkat setelah mendapatkan muatan rempah. (Zoon, 1848 : 38-40) Kekalahan Portugis dari VOC di Ternate segera mendapat reaksi pembalasan dan ini sangat menghawatirkan Sultan Ternate. Pada bulan Maret 1606 orang-orang Spanyol bersatu dengan orang Portugis mengirimkan armada sebanyak 23 kapal layar termasuk empat kapal perang yang mengangkut 3000 orang, dan dipimpin oleh Don Pedro da Cunha menuju Ternate dan menyerangnya. Hasilnya mereka bukan hanya merebut kembali Tidore tetapi juga kota Gamalama diTernate, Sultan Said Barakatiditangkap oleh Spanyol dan diasingkan ke Manila sebagai tawanan. Mendengar kabar ini beberapa bangsawan Ternate dan Mudaffar (kelak menjadi sultan) yang baru berusia 12 tahun berhasil melarikan diri ke Jailolo (Zoon, 1848 : 42) Penaklukkan Ternate oleh orang-orang Spanyol sampai juga ketelinga Laksamana Cornelis Matelief yang saat itu sedang mengepung kota Malaka. Untuk itu Matelief berangkat ke Maluku dan pada tanggal 29 Maret 1607 bersama enam kapalnya berlabuh di Ambon. Di Ambon Matelief menemui Pangeran Kaicil Ali yang dikirim sebagai utusan oleh orang-orang Ternate yang baru saja kembali dari Banten.Selaku utusan Ternate, Kaicil Ali menyampaikan permohonan bantuan pada Matelief untuk mengusir orang-orang Spanyol dari Ternate. (Hoevell, 1856 : 118). Permohonan Kaicil Ali dikabulkan dengan syarat bahwa orang-orang Ternate akan menyediakan 2000 orang pasukan. Laksamana Matelief dan armadanya segera meninggalkan Ambon menuju Ternate dan tiba pada tanggal 10 Mei 1607.Laksamana Matelief menyaksikan bahwa di Ternate maupun Tidore telah diperkuat oleh orang-orang Spanyol.Pada situasi seperti ini, ia mengharapkan agar orang Ternate berjanji memberikan bantuan yang jauh lebih besar daripada yang telah disepakati sebelumnya. Dengan kekuatan yang terdiri dari 6 kapal dan 2 kapal pemburu, 480 serdadu kulit putih dan 2000 pasukan bantuan Ternate
ISSN: 2088-0308
Matelief mulai melaksanakan gempuran terhadap basis pertahanan Spanyol. (Widjojo, 2013 : 32). Pada tanggal 26Juni 1607 Matalief mengadakan perjanjian bersama Sultan Mudaffar dan dewannya. Isi perjanjian tersebut seperti yang disampaikan oleh Valentijn (Abdurrahman, 2002) adalah: “Belanda diijinkan membangun benteng di dekat perkampungan Melayu, Belanda berkewajiban membantu Ternate untuk mengusir Spanyol dan diberi wewenang penuh untuk mengatur perencanaan dan pelaksanaanya. Semua biaya perang akan ditentukan besarnya oleh Dewan Hindia dan akan dibebankan kepada Ternate, dan Kesultanan Ternate tidak akan menjual cengkeh kepada bangsa atau siapapun kecuali kepada Belanda (VOC)”.(Abdulrahman, 2002:40-41; Leirisssa, 2012 : 31-32) Dengan adanya perjanjian ini, VOC segera membangun benteng dan ditempatkan satu garnisun pasukan VOC yang terdiri atas 45 orang serta diperkuat dengan 10 pucuk meriam. benteng ini dipimpin oleh Kapten laut Gerard Gerardszoon van der Buis, yang merupakan seorang koopman untuk mengatur perdagangan(Zoon, 1848 : 44) Setelah benteng Melayu selesai dibangun, secara tiba-tiba orang-orang Spanyol dengan kekuatan 250 orang serdadu dari benteng Gamalama melancarkan serangan. Tetapi mereka berhasil dipukul mundur. Kabar penyerangan ini tersiar sampai ke Banten, untuk itu pada bulan Januari1608 VOC segera mengutus Laksamana Paulus van Caardenbersama tujuh kapal dan satu kapal pemburu lengkap dengan peralatan perang menuju Ternate. Laksamana van Caarden berangkat ke Ternate melewati Ambon dan tiba di Ternate pada tanggal 18 Mei 1608. Kapalkapal VOC yang ada di Ambon ikut bergabungdengan armadanya, sehingga armada perang yang dimilikinya berkekuatan sebelas kapal termasuk sebuah kapal fregat Spanyol yang dirampas oleh kapal Gelderland di pantai Sulawesi. Pada tanggal 3 Juni ia mendapat pasokan beberapa kora-kora dan 400 orang Ternate. Sebelum melancarkan serangan atas Tidore, van Caardenpada tanggal 20 Juni bersama sebagian armadanya merebut benteng pertahanan Spanyol di Makian. Akan tetapi, petaka terjadi pada bulan Agustus van Caarden tertangkap dalam perjalanan dari Makian ke
Jurnal Pendidikan IPS, LPPM STKIP Taman Siswa Bima
241
Jurnal Pendidikan IPS, Vol. 6. No. 2, Jul–Des 2016
Ternate oleh orang-orang Spanyol dan di bawah ke Gamalama sebagai tawanan.(Zoon, 1848 :53-54) Dengan tertangkapnya vanCaarden, VOC mengutus Laksamana Muda Wittert bersama beberapa kapal ke Ternate. Ketika tiba di Ternateperhatian pertama Laksamana Wittert adalah untuk memperbarui perjanjian yang dibuat oleh Laksamana Matalief pada 1607 dengan membuat perjanjian baru dengan Sultan dan bangsawan Ternate.padabulan Juli 1609 perjanjian tersebut disepakati. dengan tujuan untuk memperkuat legitimasi kekuasaan VOC di Ternate. Isi perjanjian tersebut seperti yang disampaikan oleh Stibbe (Abdulrahman, 2002) bahwa: (a) Hasil produksi cengkeh hanya bisa dijual kepada VOC.(b)Barang-barang impor dan ekspor dipegang langsung oleh VOC dan hanya kapal-kapal VOC yang boleh mengangkut barang impor maupun ekspor.(c) Penghapusan pajak atau bea bagi orang-orang VOC di Ternate (d) Biaya perang ditanggung oleh Ternate (Abdulrahman, 2002:41) Dengan perjanjian tersebut di atas, menjadikan kedudukan VOC di Ternate semakin kuat baik dari sisi perdagangan maupun politik. Sebelum berangkat ke Manila untuk memotong jalur bantuan pasukan Spanyol.Laksamana Muda Wittert sempat membangun benteng di pulau Motir (Moti) yang diberi namaFort van Nassau, dengan menempatkan pasukan sebanyak 60 orang. Pada waktu bersamaan benteng Melayu diganti namanya menjadi Fortvan Oranje. Pada tanggal 24 September 1609 Laksamana Muda Hoen tiba di Ternate, sehari kemudian Hoen melancarkan serangan dengan 250 orang prajurit atas desa Tabagoma, yang diperkuat oleh orang-orang Spanyol. Serangan ini mengalami kegagalan dan untuk mencapai keberhasilan pada serangan berikutnya, Hoen memerintahkan pembangunan sebuah benteng di desa Tacomi (Takome), yang diberi namaWillemstad, yang diperkuat oleh 100 orang Prajurit. Laksamana Muda Hoen yang dibantu oleh orang-orang Ternate kemudian berangkat ke Tidore, untuk melakukan blokade dan memaksa orang-orang Spanyol untuk menyerah. Untuk memperkuat tindakannya, pada tanggal 30 November 1609 Laksamana Muda Hoen menyerang benteng Spanyol di Bacan dan pada tanggal 6 Desember, Hoen sukses melumpuhkan pertahanan Spanyol yang berada di Bacan (Hoevell, 1856 : 121-122).
242
ISSN: 2088-0308
Setelah merebut benteng Spanyol di Bacan, Laksamana Muda Hoen memerintahkan untuk memperkuat benteng dengan empat kubu pertahanan ,benteng tersebut kemudian diberi nama Barneveld. Sementara itu Laksamana Muda Wittert yang bertugas memotong jalur bantuan pasukan Spanyol dari Philipina berhasil memasuki perairan Manila.Walaupun memiliki kekuatan enam kapal Fregat dan dua Junktetapi Laksamana Wittert tidak dapat mencegah semua armada Spanyol yang menuju ke Gamalama. Hanya dua kapal Spanyol yang berhasil dirampas dalam pelayaran ke Gamalama Ternate tetapi kapal-kapal lainnya berhasil lolos.Dua kapal Spanyol yang dirampas terdapat 50-an orang prajurit Spanyol dan menjadi tawanan kemudian ditukar dengan Laksamana Paulus van Caarden.(Hoevell, 1856 : 125) Setelah bebas Laksamana Paulus van Caarden,kembali memegang komando bagi pasukan VOC. Tetapi pasca pengangkatannya sebagai gubernur kepulauan Maluku pada 1 Juni 1610, Van Caarden kembali tertangkap dan dibawah kembali ke Gamalama oleh Spanyol sebagai tawanan. Selaku Gubernur yang ditugaskan oleh VOC di Ternate, Van Caarden tidak dapat berbuat banyak bagi penegakan kekuasaan VOC di kepulauan Maluku.(Hoevel, 1850 : 127) Penyerangan yang dilakukan oleh orangorang Spanyol terhadap basis-basis pertahanan VOC di kepulauan Maluku kembali terjadi pada tahun 1611.Mereka melakukan serangan dan sukses merampas kubu pertahanan VOC yang terdapat di Jailolo.Sementara itu Pangeran Mudaffar, yang telah berusia 15 tahun, diangkat menjadi sultanTernate pada tahun 1610. Selaku sultan baru, Mudaffar bukan hanya mengesahkan kesepakatan, yang pernah dibuat oleh VOC dengan sultan Ternate sebelumnya, tetapi juga memberikan banyak keuntungan bagi VOC. Di antaranya ia wajib untuk tidak lagi menyerahkan cengkeh kepada siapapun kecuali kepada orang Belanda dengan harga 50 real perbahar. (Ammari dan Siokona, 2002 : 9193). Kesepakatan ini semakin mempererat hubungan antara VOC dengan penguasa Ternate.Secara politis kesepakatan yang dibuat oleh Sultan Mudaffar dengan para penguasa VOC di Ternate telah menjadi landasan kuat bagi VOC untuk kepentingan perdagangan cengkeh maupun kekuasaan.Persetujuan sultan
Jurnal Pendidikan IPS, LPPM STKIP Taman Siswa Bima
Jurnal Pendidikan IPS, Vol. 6. No. 2, Jul–Des 2016
menjadi pijakan yang kuat terhadap VOC terutama ambisi untuk mendapatkan pengaruh sultan Ternate yang kekuasaannya membentang di seluruh Maluku atas pulau-pulau yang menghasilkan rempah.Sebagai akibatnya, pada awal tahun 1612, Pieter Both diangkat sebagai Gubernur Jenderal pertama di Ternate. Pada saat yang sama ia memangku jabatan sebagai gubernur Maluku.Selama pemerintahannya, maupun penggantinya Laurens Reaal dan Gilles Zeijts melakukan kontrak-kontrak dengan penduduk Bacan dan Makian.Kontrak dilakukan pula dengan sultan Buton atas perintah Gubernur Jenderal Pieter Both pada tanggal 5 Januari 1613, yang menetapkan bahwa VOC diijinkan membangun sebuah benteng di Buton, sehingga jalan masuk ke Maluku tertutup bagi semua orang.Sementara itu untuk memperkuat pijakan di Tidore, VOC membangun sebuah benteng di Marieko (Mareku), untuk menjamin pengamanan perdagangan rempah. Ditengah otoritas yang diberikan sultan pada penguasa VOC di kepulauan Maluku, orang-orang Spanyol masih terus melakukan penyerangan terhadap basis pertahanan VOC di Ternate.Perlawanan Spanyol mulai mereda setelah kematian Gubernur Don Juan de Silva.Tetapi berdasarkan konteksnya orangorang Spanyol mengakhiri tekanan terhadap kedudukan VOC di kepulauan Maluku karena pertimbangan politik dan strategi. Kekalahan Spanyol dalam perang kemerdekaan Belanda di Eropa pada abad ke 16 ikut mempengaruhi eksistensi mereka di kepulauan Maluku.Tetapi yang menjadi faktor utama adalah upaya Spanyol untuk mengamankan jalur pengiriman perak dari Amerika Tengah ke Philipina.Penguasa Spanyol menganggap bahwa upaya mempertahankan Ternate untuk kepentingan perdagangan rempah tidaklah efisien untuk dilakukan karena nilai perdagangan perak waktu itu juga cukup tinggi.Selain itu ancaman bajak laut Sulu terhadap pertahanan mereka di Ternate dan Manila menyebabkan mereka haruslah mengkonsentrasikan kekuatan penuh di Philipina yang menjadi sentral penampungan perak dan sekaligus pencetakan uang untuk standar tukar global.Dengan pertimbangan itulah, pada akhirnya seluruh pasukan Spanyol ditarik dari kepulauan Maluku, dan VOC secara bebas mengendalikan wilayah ini untuk jangka waktu yang sangat lama.
ISSN: 2088-0308
Mundurnya Spanyol dari kepulauan Maluku pada tahun 1662, menjadi berkah bagi VOC dalam meraih kekuasaan. Gubernur VOC secara penuh mengarahkan kekuatan untuk menetralisir permusuhan yang dilakukan oleh penguasa Ternate. Penumpasan terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh penduduk Huamual terhadap VOC karena hasutan Pangeran Hidayat dan Pangeran Ali, semakin memperkuat legimitasi kekuasaan VOC. Serangkaian peristiwa perlawanan yang dilakukan oleh penguasa Ternate dalam pro dan kontra serta suksesi telah melengkapi legitimasi VOC untuk memperoleh kekuasaan dan menciptakan suatu koloni di kepulauan Maluku.Tetapi hak kekuasaan VOC secara luas berhasil tercipta pada masa Gubernur Ambon Arnold De Vlaming.Pada tahun 1648 Sultan Hamzah meninggal dan ditetapkan Mandharsyah sebagai penggantinya.Pengangkatan ini ditentang oleh bawahan-bawahannya yang berakibat munculnya pergolakan yang merembes hingga ke daerah vassal (Graaf, 1977 : 108). De Vlaming jeli melihat bahwa suksesi yang terjadi di Ternate, ini merupakan kesempatan bagi VOC untuk memenangkan dan menguasai monopoli perdagangan cengkeh sepenuhnya di Maluku. Pada tanggal 31 Januari 1652 Mandarsyah menandatangani suatu kontrak dengan kompeni, bahwa kompeni akan mendukung dan menumpas semua pemberontakan yang mengancam kewibawaan Mandarsyah, tetapi dengan syarat bahwa Mandarsyah harus melarang penanaman cengkeh di seluruh daerah kekuasaan Ternate. Hanya di pulau Ambon dan daerah-daerah yang dikuasai oleh Belanda saja yang boleh ada kebun-kebun cengkeh. Kekuasaan Sultan Ternate atas Hoamoal dan daerah sekitarnya diserahkan kepada Belanda dan sebagai gantinya VOC akan memberi ganti rugi setiap tahun kepada sultan dan pejabat-pejabat kesultanan Ternate dengan rincian untuk Sultan sebesar 12.000 rix-dollar, 500 rix-dollar untuk Kaicil Kalamata dan uang sejumlah 1.500 rixdollar untuk dibagi-bagikan di kalangan para bobato. Belanda mengirimkan uang ini kepada Sultan yang kemudian membagikannya kepada bobato sesuai dengan haknya masing-masing. (Graaf, 1977 : 117; Widjojo, 2013 : 33) Kontrak yang sangat berat sebelah ini telah mengantarkan VOC kepada suatu posisi yang menguasai produksi serta perdagangan cengkeh
Jurnal Pendidikan IPS, LPPM STKIP Taman Siswa Bima
243
Jurnal Pendidikan IPS, Vol. 6. No. 2, Jul–Des 2016
di Maluku dan juga di dunia. Hal ini karena di daerah-daerah yang dikuasai VOC sajalah yang boleh ditanami cengkeh, dengan sendirinya VOC dapat menguasai jumlah produksi dan menentukan harga jualnya. 2. Monopoli Perdagangan Cengkeh di Ternate Pelaksanaanmonopoliperdagangan rempah telah menjadikan VOC sebagai perusahaan terbesar di dunia. Untuk mencapai sasaran yang dikehendaki, VOC dan Dewan XVII melancarkan perang guna menguasai secara mutlak kepulauan rempah. Penghancuran oleh Coen atas penduduk di Banda menunjukkan seberapa jauh para peletak dasar emporium dagang Eropa siap melangkah. VOC tampil sebagai badan usaha untuk menaklukan emporium yang dikuasai Portugis dan Spanyol, dengan pengangkatan Gubernur Jenderal pertama pada tahun 1609, VOC beralih pada tujuan utama yaitu mengontrol dan menguasai perdagangan rempah-rempah yang merupakan komoditi utama.(Jacob, 2006 :4-6). a. Praktek monopoli perdagangan cengkeh Setelah sukses menempatkan kepulauan Maluku menjadi daerah koloni, VOC tidak hanya sibuk untuk menata sistem kendali kekuasaan tetapi juga melaksanakan perdagangan sesuai dengan mekanisme yang dikehendakinya yakni terciptanya monopoliperdagangan cengkeh di Ternate dan Ambon.Untuk memperkuat posisi monopoli, VOC membangun benteng-benteng dan menjalankan kontrol militer terhadap wilayah sentra produksi cengkeh yang terdapat di kepulauan Ternate dan Ambon. Pada permulaan monopoli rempah-rempah VOC mengkonsentrasikan seluruh kekuatan di kepulauan Maluku.Hal ini, karena pada abad ke-16 produksi cengkeh terbesar masih berada di Ternate, Tidore, Bacan,Makian, dan Moti.Pada awal abad tersebut kelima pulau ini memproduksi 6.000 bahar cengkeh per tahun: Ternate 150 bahar; Tidore 1.400 bahar; Bacan 500 bahar; Makian 1.500 bahar; Motir (Moti) 1.200 bahar, dan sisanya di daerah-daerah lainnya.(Widjojo, 2013 : 31). Pulau Seram, Ambon, dan Uliaser belum menghasilkan cengkeh dalam jumlah yang besar. Perdagangan cengkeh pada awalnya hanya dikuasai oleh para elit kesultanan.Sehingga VOC harus membuat sejumlah kesepakatan untuk mengambilalih kontrol pembelian dan penjualannya. Seluruh harga pembelian ditetapkan menurut
244
ISSN: 2088-0308
mekanisme yang dikehendaki oleh VOC.Akan tetapi, persoalan yang dihadapi oleh VOC tidak semudah yang dibayangkan karena penguasa Ternate tidak mudah melepaskan hak-hak mereka. Akibatnya konflik selalu muncul di Ternate maupun Ambon.(Hoevell, 1856 : 126) Selain penguasa dan penduduk pribumi, VOC juga harus berhadapan dengan orangorang Makassar, Jawa, Cina, dan Inggrisyang sering muncul untuk melakukan transaksi pembelian cengkeh dengan penduduk antara lain penduduk Makian, Tidore, Bacan dan Motir. (Rumphius, 1910 : 32). Perdagangan cengkeh pada tahun 1599 harganya masih 35 real per bahar, harga ini naik menjadi 50 real per bahar pada 1610 dan 70 real pada 1620 ini dikarenakan tingginya permintaan di pasar Eropa. (Widjojo, 2013 : 28). Ini dibuktikan dengan grafik/kurfa perkiraan ekspor rempahrempah ke Eropa, di mana permintaan untuk cengkeh di Eropa sangat tinggi.
Gambar 1. Grafik perkiraan ekspor rempahrempah ke Eropa. Dari grafik di atas, menunjukan awal pertumbuhan perdagangan rempah di Maluku dimulai sekitar akhir abad ke-14. Peranan emporium Malaka yang muncul pada abad ke15 merupakan suatu hal yang sangat penting. Tetapi “take off” nya justru setelah Malaka jatuh ketangan portugis yaitu sekitar 1520, dan puncak perdagangannya sekitar 1570 hingga 1620 setelah perdagangan rempah dikuasai oleh VOC. Permintaan akan cengkeh pada mulanya datang dari Cina. Selain itu, sejak 1400 permintaan akan cengkeh juga dari Eropa mulai meningkat terutama melalui Venesia, Genos, dan Barcelona. Sejak itu permintan dari Cina dan Eropa meningkat pesat, sehingga akhirnya Eropa dalam hal ini Belanda (VOC) memutuskan untuk mencari jalan sendiri ke daerah rempah-rempah agar dapat membelinya dengan harga yang lebih murah dan menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. (Leirissa, Ohorella, dan Tangkilisan, 1996 : 36-37).
Jurnal Pendidikan IPS, LPPM STKIP Taman Siswa Bima
Jurnal Pendidikan IPS, Vol. 6. No. 2, Jul–Des 2016
Dalam peraturan VOC harga cengkeh ditetapkan sebesar 56 real per bahar dan dibayarkan dalam bentuk uang atau barangbarang senilai tersebut seperti tekstil, gong, beras dan semacamnya. Masalahnya dari para pedagang lain, para produsen bisa mendapatkan pembayaran dalam bentuk uang tunai dan dengan harga 50 persen lebih tinggi dari harga VOC. Ketika produsen menuntut harga cengkeh yang lebih tinggi dan VOC menolak, para produsen mencoba menjual kepada pihak ketiga. Untuk mencegah hal itu, VOC menggunakan kekuatannya baik kekuatan senjata maupun politik. Hal inilah yang menjadi penyebab terjadinya pemberontakanpemberontakan yang silih berganti baik di kepulauan Maluku maupun Ambon dan Seram yang sangat menyita tenaga. (Widjojo, 2013 : 28) Dengan demikian, persoalan yang dihadapi oleh VOC dalam penerapan monopoli cukup kompleks. Di satu sisimereka harus menghadapi perlawanan dari penguasa dan penduduk kepulauan Ternate, Tidore, Bacan, maupun Jailolo, dan disisi lain mereka dipaksa untuk menghadapi pedagang-pedagang asing yang selalu menganggu eksistensi monopoli rempah. Untuk mencapai jumlah produksi VOC dengan terpaksa harus membuat kesepakatan dengan penguasa pribumi agar menyetorkan semua cengkeh ke gudang VOC dengan pembayaran sejumlah tertentu uang. Tanaman cengkeh pada abad ke-16 di kepulauan Ambon mengalami perkembangan, terutama di Hoamoal dan Hitu. Sekitar tahun 1600, daerah-daerah ini menjadi semakin penting bagi perdagangan cengkeh, karena tanaman ini menurun drastis di Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. Dari angka-angka yang disampaikan dalam sumber-sumber Portugis, bahwa Maluku Utara pada abad ke-16 setiap tahunnya rata-rata menghasilkan 800-900 ribu pon. Di kepulauan Ambon produksi tumbuh dari 400 ribu pon pada awal abad ke-17 sampai 500 ribu pon sekitar tahun 1650.(Knaap, 1987 : 295-296) b. Pelaksanaan Ekstirpasi Cengkeh di Ternate Dalam pelaksanaan monopoli cengkeh di Ternate maupun Ambon, VOC menerapkan kebijakan pengaturan jumlah produksi melalui tindakanEkstirpasi atau pembabatan pohonpohon cengkeh.Kebijakan VOC ini biasanya disinergikan dengan Hongi-Tochten.Hongi yang dimaksudkan oleh VOC untuk melakukan
ISSN: 2088-0308
kontrol terhadap tanaman cengkeh. Ekstirpasiyang dilaksanakan oleh VOC di Ternate sangat berbeda perlakuannya dengan di Ambon, tetapi kenyataannya hal ini tetap terjadi dan menimpa tanaman cengkeh milik penduduk baik di Ternate, Tidore, Makian, Bacan, dan Halmahera. Daghregister tahun 1663 melaporkan sebagai berikut:Terhadap pohon cengkih, di Ternate suatu penyelidikan serius diadakan dan apa yang bisa ditemukan dibabat. Tempattempatterjadinya pembabatan, ditemukan sebagai berikut; “Di Tidore 2000 pohon besar, Di Makian8800 pohon besar dan 8400 pohon muda, Di Bacan40 pohon tua dan 150 pohon muda, Di Batacina 230 pohon tua dan 2100 pohon muda, Di Motir28 pohon tua dan 1500 pohon muda. Semuanya 11098 pohon tua dan 12150 pohon muda, selain tunas-tunas kecil, dan di antaranya terdapat 7900 pohon pala di pulau Makian”. (Fraasen, 1987). Berdasarkan laporan daghregister seperti kutipan di atas, jelas bahwa VOC dalam melakukan monopoli tanpa dispensasi.Gubernur dan sekitar 700 orang pegawai VOC yang berada di benteng Oranje di Ternate mulai bekerja dengan daerah Ekstirpasi mencakup pulau besar Halmahera yang sangat sulit dimasuki dan pulau-pulau sekitarnya, khususnya pulau Ternate, Tidore, dan Bacan di lepas pantai barat, di selatan, pulau Obi dan Sula. (Jacob, 2006 : 24) Pelaksanaan Ekstirpasitanaman di wilayah kepulauan Maluku menjadi mustahil dilakukan sendirian oleh VOC dengan sebaran tanaman pada wilayah yang luas.Karena itu VOC membuat kontrak dengan sultan Ternate, Tidore dan Bacan serta beberapa orang penguasa kecil.Kesepakatan ini mewajibkan para penguasa kepulauan Maluku untuk menghancurkan semua tanaman cengkeh di daerahnya. Untuk itu, VOC membeyar ganti rugi kepada para sultan dengan tunjangan tahunan mencapai 32 ribu guldeen pertahun. (Alwi, 2005 : 97) B. Dampak yang ditimbulkan oleh VOC dalam MonopoliPerdagangan Cengkeh di Ternate Monopoli perdagangan yang dilakukan oleh VOC memberikan dampak yang luar biasa. Monopoli perdagangan berdampak pada beberapa bidang di antaranya adalah: Pertama, dalam bidang ekonomi: Cengkeh bagi rakyat
Jurnal Pendidikan IPS, LPPM STKIP Taman Siswa Bima
245
Jurnal Pendidikan IPS, Vol. 6. No. 2, Jul–Des 2016
Maluku lebih khusus bagi rakyat Ternate merupakan monokultur dalam sistem ekonomi mereka yang agraris. Sebelum kehadiran bangsa-bangsa Eropa, perdagangan rempahrempah terutama dilakukan dengan sistem barter. Rempah-rempah ditukarkan dengan beras dari Jawa, barang pecah belah dari pedagang Cina, tekstil dari Gujarat, dan alatalat rumah tangga lainnya dari Malaka, bahkan rempah-rempah juga ditukarkan dengan perhiasan dari emas dan perak. Selain perdagangan yang dilakukan secara barter rakyat Ternate juga sempat menjual cengkeh dan dibayar tunai, ini dilakukan dengan para pedagang Bugis dan Arab dengan harga yang cukup bersaing. Kegiatan perdagangan seperti ini menimbulkan persaingan antara pedagangpedagang Arab, Jawa, Makassar, Gujarat-India, dan Cina yang memberikan keuntungan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat Maluku. Kegiatan perdagangan mulai berbeda dengan kehadiran bangsa-bangsa Eropa di Ternate. Sistim perdagangan yang diterapkan oleh bangsa-bangsa Eropa dalam hal ini VOC didasarkan pada sistem monopoli yang merupakan suatu sistem pemerasan yang sangat kejam terhadap rakyat Ternate sehingga menyebabkan kemiskinan, hilangnya kemakmuran dan kesejateraan masyarakat Ternate (Amal, 2009 : 351). Kedua,dalam bidang politik: pelaksanaan monopoli telah menghancurkan sistem kekuasaan kesultanan Ternate dan kepulauan Maluku. Secara politik VOC telah melaksanakan sejumlah perjanjian baik kesepakatan diplomasi maupun kontrak yang dipaksakan secara sepihak.Kontrak yang dihasilkan telah melemahkan hak-hak penguasa pribumi di kepulauan Maluku. Salah satu kontrak yang dihasilkan yaitu tanggal 7 Juli 1683 di mana Sultan Sibori terpaksa menandatangani kontrak yang intinya menjadikan Ternate sebagai kesultanan di bawah vazal pemerintah kolonial Belanda melalui VOC. Isi kontrak tersebut adalah: 1. Hak Gubernur VOC untuk duduk dalam Dewan Kerajaan Ternate 2. Semua eksekusi mati harus dengan persetujuan VOC 3. Setiap pergantian Sultan harus dengan persetujuan VOC (Amal, 2010 : 142) Kontrak di atas, mengakhiri kesultanan Ternate sebagai negara berdaulat. Lewat politik VOC yang dengan sengaja telah ikut campur
246
ISSN: 2088-0308
dalam kekuasaan kesultanan, menyebabkan hilangnyakebebasan, kemerdekaan, serta kedaulatan Kesultanan Ternate makin terpuruk pengaruhnya untuk jangka waktu yang cukup lama.Ketiga, dalam bidang sosial: Pelaksanakan monopoli telah menimbulkan penderitaan rakyat di kepulauan Maluku dan Ambon. Penghancuran sejumlah negeri menyebabkan pergeseran sosial terjadi secara merata di Maluku.Angka penderitaan makin meningkatkan sehingga penduduk pada akhirnya melakukan aksi-aksi perompakan.Selain itu angka perbudakan terjadi secara masif di seluruh kepulauan Maluku. KESIMPULAN Sesuai dengan hasil penelitian yang telah diuraikan pada di atas sebelumnya, penulis merumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) Perdagangan sebelum datangnya VOC di Ternate dilakukan dengan cara barter antara pedagang-pedagang Jawa, Melayu, Makassar, Arab, dan Cina dengan para peguasa dan masyarakat Ternate. sehingga baik para penguasa maupun masyarakat sama-sama memperoleh keuntungan dan kesejahteraan. Kehadiran bangsa-bangsa Eropa yakni Portugis dan Spanyol yang kemudian dilanjutkan oleh Belanda (VOC) di Ternate kegiatan perdagangan mulai berbeda.Sistem perdagangan yang diterapkan oleh bangsabangsa Eropa adalah sistim monopoli yang merupakan suatu sistem pemerasan yang sangat kejam terhadap rakyat Ternate sehingga menyebabkan kemiskinan, hilangnya kemerdekaan, kemakmuran dan kesejateraan masyarakat Ternate. (2) Strategi yang digunakan oleh VOC dalam melaksanakan perdagangannya di Ternate sangat monopolistik, yaitu melalui perjanjian yang dilakukan dengan Sultan Ternate. Dalam memperkokoh kekuasaan VOC terhadap perdagangan di Ternate tidak terlepas dari penggunaan senjata dan melakukan memblokade jalur perdagangan menuju kepulauan rempah-rempah terhadap para pedagang Asia maupun Eropa. Selain itu, VOC juga mengunakan strategi ekstirpasi dan Hongi Tochten serta mampu memanfaatkan kondisi politik lokal. (3) Dampak yang ditimbulkan dari adanya monopoli perdagangan VOC di Ternate menyebabkan kemiskinan dan kesengsaraan yang luar biasa kepada masyarakat, hilangnya
Jurnal Pendidikan IPS, LPPM STKIP Taman Siswa Bima
Jurnal Pendidikan IPS, Vol. 6. No. 2, Jul–Des 2016
kebebasan, kemerdekaan dan kedaulatan kesultanan sehingga menimbulkan gejolak di masyarakat, hal ini kemudian memicu berbagai perlawanan para bangsawan Ternate sehingga terjadi pemberontakan di Ternate maupun daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Ternate. DAFTAR PUSTAKA Abdulrahman, Jusuf. 2002. Kesultanan Ternate Dalam Jou Ngon ka Dada Madopo Fangare Ngom ka Alam Madiki. Manado: Media Pustaka. Amal, M. Adnan. 2010. Kepulauan Rempahrempah: Perjalanan sejarah Maluku Utara 1250-1950. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). ___________. 2009. Portugis dan Spanyol di Maluku. Jakarta: Komunitas Bambu. Ammari, Fahri dan J.W. Siokona, (Ed). 2003. Ternate: Kelahiran dan Sejarah Sebuah Kota. Ternate: Pemerintah Kota ternate Alwi, Des. 2005. Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon. Jakarta: Dian Rakyat. Fraassen, Ch. F. Van, 1987.Ternate, De Molukken en de Indonesische Archipel; Van Soa-Organisatie en Vierdeling een Studiee van Traditionale Samenleving en Cultuur ini Indonesie Deel I, II. Leiden: Proefschrift, Rijksuniversiteit. Graaf, H.J. de, 1977.De Geschiedenis van Ambon en de Zuid-Molukken.UitgeverijT. Wever B.V.- Franeker. Hadi Soewito, Irna H.N. (Ed). 2003. Forum Dialog Indonesia-Belanda; Verenigde Oostindische Compagnie (VOC). Jakarta: Yayasan Pancur Siwah. Hoevell, W.R. Van. 1856.De Moluksche Eilanden, Zalt-bommel: Joh. Noman en Zoon. Jacob, E. M. 2006. Merchant in Asia: the trade of Dutch East India Company in the Eighteenth Century, Leiden: CNWS Publications. Knaap, G.J. 1987.Kruidnagelen en Christenen de Verenigde Oost Indische Compagnie en de Bevolking van Ambon 16561696.Leiden: KITLV. Leirissa, R.Z. 2012.“Verenigde Oostindische Compagnie (VOC)” dalam Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (Ed), Indonesia Dalam Arus Sejarah jilid 4.Kolonisasi dan
ISSN: 2088-0308
Perlawanan. Bandung: Ichtiar Baru Van Hoeve Leirissa, R.Z., G.A. Ohorella, dan Yuda B. Tangkilisan. 1996. Sejarah Perekonomian Indonesia.Jakarta : Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Rumphius, G.E. 1910. De Ambonsche Historie.S-Gravenhage, Martinus Nijhoff. Widjojo, Muridan. 2013. Pemberontakan Nuku; Persekutuan Lintas Budaya di MalukuPapua Sekitar 1780-1810. Depok: Komunitas Bambu. Zoon, M. Dassen H.J. 1848.De Nederlanders In De Molukken . Utrecht: W.H.van Heijningen
Jurnal Pendidikan IPS, LPPM STKIP Taman Siswa Bima
247