1
MODEL PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL ATAS PEMALSUAN DAN PENIRUAN MEREK MELALUI PENGAWASAN PERBATASAN OLEH BEA CUKAI DALAM ERA PERDAGANGAN BEBAS Imas Rosidawati Wiradirja,Juli Asril
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menemukan jawaban atas beberapa permasalahan : menemukan suatu model perlindungan HKI di Indonesia yang dapat mengeliminir masuknya barang-barang palsu dan bajakan dengan mengkaji pengawasan perbatasan oleh bea cukai, dan memperbandingkannya dengan beberapa Negara lain dalam hal penanganan perbatasan antar Negara yang sudah memiliki system yang cukup bagus untuk menangkal pelanggaran HKI. Metoda penelitian yang dipakai dengan menggunakan metode pendekatan Yuridist normatif, dan yuridis komparatif. Spesifikasi penelitian menggunakan deskriftif analisis. , yaitu suatu metode penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dalam hal ini menganalisis mengenai pentingnya perlindungan hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual terutama dalam hal penegakan hukumnya yang dilakukan secara terintegrasi antara berbagai instansi terkait untuk memperoleh suatu model law yang dapat diaplikasikan. Hasil penelitian ketentuan Bea Cukai mengandung tentang pelarangan dan pembatasan ekspor-impor dan kontrol terhadap ekspor impor barang-barang hasil pelanggaran HKI. Pemegang merek dapat meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat mengeluarkan surat perintah ke Bea Cukai untuk menunda sementara pelepasan impor atau ekspor yang diduga merupakan hasil pelanggaran merek yang dilindungi di Indonesia. Kata Kunci : Perlindungan HKI, Bea Cukai, Pengawasan Perbatasan, Pemalsuan Merek Abstract The objectives of this research is to find of IPRs protection in Indonesia to eliminate the entry of counterfeit and pirated goods through controling the border by Customs, as well as a comparison study with other countries which have a good sistem on border controls between countries to prevent IPRs infringement.The research method used Yuridist Normative and Yuridish comparative approach. Specifications research using descriptive analysis, which is a research method, is aims to give a sistematic, factual and accurate statement of facts to analyze the importance of IPRs legal protection. In this case, especially with respect to law enforcement this is done in an integrated among various agencies to obtain a law model that can be applied. The results will be related to the provisions of the customs containing the prohibition and restrictions on the export-import and control for export-import activities for the goods of IPRs infringement result. Trade mark owner may request to the chairman of the local district court to issue a warrant for the customs to suspend temporarily for releasing the import or export activities which allegedly is a protected trade mark infringement results in Indonesia. Keyword: IPRs Protection, Customs, border control, Trade mark counterfeit
2
1.
PENDAHULUAN Sistem perlindungan yang memadai terhadap HKI akan menunjang pembangunan
ekonomi masyarakat yang menerapkan sistem tersebut. Harus diakui seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang sedemikian pesat meningkat pula kesadaran masyarakat mengenai perlunya menciptakan perlindungan HKI yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Masuknya TRIPs dalam WTO memunculkan anggapan bahwa sistem HKI hanya melindungi kepentingan Negara maju saja, anggapan ini tidak seluruhnya benar karena melaluisistem HKI kepentingan negara yang memiliki sumber daya manusia dengan industri kreatifnya terlindungi. Hal ini sangat tergantung bagi negara yang bersangkutan mau memanfaatkannya atau tidak melalui pengembangan sistem HKI yang ada.Ketentuan HKI merupakan sebuah komitmen yang harus dipenuhi sebagai konsekuensi Indonesia menjadi anggotaWTO yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Salah satu agenda WTO adalah TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights). Untuk tidak distigma antiWTO, maka di era perdagangan bebas semua pihak dituntut untuk berpikir realistik, dan bersikap responsif, bahwa semua barang dan jasa harus bisa masuk dan keluar dari Indonesia. Masuknya barang dan jasa ke Indonesia menimbulkan permasalahan, jika ada pengaduan konsumen atas barang dan jasa impor tersebut, selain itu masih banyak barang impor yang bermerek baik asli maupun palsu, yang tidak diketahui dengan jelas siapa distributornya. Pada era perdagangan bebas, hak Merek merupakan faktor penting dalam menciptakan sistem perdagangan yang fair. Merek adalah tanda pengenal asal barang atau jasa yang bersangkutan dengan produsennya yang menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi barang atau jasa pada waktu diperdagangkan.Dalam kehidupan perdagangan selalu ada tindakan yang mencoba meraih keuntungan melalui jalan pintas dengan segala cara, tindakan tersebut melanggar etika bisnis, norma kesusilaan, bahkan melanggar hukum. 1 Bentuk pelanggaran merek seperti penggunaan merek yang sama pada keseluruhannya atau pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain,melakukan peniruan, pemalsuan yang dipakai pada barang atau jasa yang diperdagangkan.
1
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis – Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur, Kanisius,Cetakan ke-9, Yogyakarta, 1998, hlm. 69
3
Penggunaan merek secara tanpa hak (Pemalsuan Merek) merupakan masalah serius bagi industri dan ekonomi di seluruh dunia.2Seperti pada kasusdi Amerika Serikat,pada tahun 1987, Penyidik Amerika Serikat menemukan bagian-bagian palsu yang dipasang pada lebih 600 buah helikopter yang dipakai oleh pasukan NATO;Kasus di atas hanya bagian dari berbagai kasus yang terjadi di seluruh dunia, hal yang perlu dicatat adalah bahwa barang-barang 'tiruan tersebut sering berakhir pada kematian.3. Dari hasil pengamatan dilapangan merek yang sering dipalsukan adalah merek dari luar negeri dan merek yang sudah terkenal. Hal ini secara tidak langsung akan menyuburkan para pengguna merek secara tanpa hak (pemalsu merek) dan dapat merusak citra bangsa Indonesia di pasar global.Berdasarkan data pada Ditjen HKI sampai tahun 2008, pelanggaran yang paling banyak dan sering terjadi adalah kasus pelanggaran merek sebanyak 1981 kasus, dan sebagian besar dari kasus-kasus tersebut berkaitan dengan barang-barang yang secara identik termasuk kemasannya menyerupai merek-merek yang sudah terdaftar (Likelihood of confusion of a similar trademark). Pelaku bisnis pada era globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, menyebabkan ruang gerak arus transaksi barang dan jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara semakin cepat dan meluas4. Barang-barang tiruan tersebut juga berbahaya bagi pemilik hak merek dan juga konsumen secara umum, karena menimbulkan kerugian antara lain :Dampak terhadap pemilik HKI: Hilangnya reputasi dan nama baik. Untuk menghambat peredaran barang tiruan di pasaran, para pemilik HKI menanggung beban yang berat atas biaya-biaya resmi, seperti besarnya biaya yang ditanggung untuk melarang produksi, peredaran, ekspor dan impor barang-barang tiruan, serta dampak terhadap konsumen: Bagi konsumen, sangat beresiko jika barang yang dibeli kualitasnya diragukan terutama yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan. Untuk mencegah peredaran barang-barang tiruan, polisi, jaksa, pengadilan, bea cukai dan instansi terkait perlu mengambil tindakan untuk mengatasi masalah pemalsuan. Peran bea cukai dalam penanganan keluar masuk barang palsu sangat penting, karena Pejabat Bea dan Cukai memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan penangguhan semenatra pengeluaran barang impor atau ekspor, kewenangann untuk melakukan tindakan tersebut apabila terdapat bukti permulaan yang cukup atas barang-barang yang merupakan atau berasal dan hasil pelanggaran HKI (Pasal 54 UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan). Penangguhan dilakukan
2
Colin Davies & Tania Cheng, Intellectual Property Law in the United Kingdom, Kluwer International BV, Netherlands, 2011, hlm. 3 3 JICA, Capacity Building Program on the Implementasi of the WTO Agreements in Indonesia, Kerjasama Ditjen HKI Departemen Hukum dan Hak Azasi manusia dengan Japan International Cooperation Agency, Jakarta, 2004 hlm. 94 4 Ahmad M. Ramli, Cyber Law Dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 4.
4
oleh Bea Cukai berdasarkan Surat Perintah Pengadilan Niaga yang diterbitkan berdasarkan permohonan pemegang hak. Pada sisi lain berkaitan dengan luas wilayah Indonesia, keberadaan kantor bea cukai sangat terbatas, hanya ada ada 113 kantor Bea Cukai yang berlokasi pada berbagai pelabuhan ataupun bandar udara dengan pengawasan dari 16 kantor wilayah dan 2Kantor Pelayanan
Utama. 23 Kantor Bea Cukai berlokasi pada tempat-tempat penting seperti Pelabuhan Jakarta, Bandar udara Internasional Jakarta, Surabaya, Medan, Batam. Karena minimnya kantor bea cukai maka sangat mungkin keluar masuknya barang yang memiliki indikasi pelanggaran HKI terutama pemakaian merek tanpa hak seperti pemalsuan dan peniruan, berlangsung melalui pintu masuk yang illegal, dalam arti di luar pintu bea cukai. Walaupun bea cukai menemukan indikasi pelanggaran terhadap merek, sangat sulit prosedur yang ditempuh, meski sudah ada UU Kepabeanan tapi peraturan pelaksanaanya sampai saat ini belum ada berkaitan dengan perintah penangguhan sementara dan Penetapan sementara. Lahirnya UU Kepabeanan yang baru UU Nomor 17 Tahun 2006, belum menyentuh tentang syarat dan tata cara pengajuan permohonan perintah penangguhan sementara dan tentang tata cara permohonan penetapan sementara. Prosedur penanggulangan pelanggaran HKI kaitan dengan ketentuan bea cukai masih belum keluar. Pelanggaran Merek masih merupakan delik aduan, jadi sangat sulitnya memantau muatan kapal tanpa ada pengaduan dari pemohon sebagai pemilik merek apabila ada indikasi pelanggaran merek.Dari data di lapangan yang dikeluarkan oleh Direktorat Merek Ditjen HKI menunjukkan data pidana merek pada tahun 2010 berjumlah 163 kasus; pada Tahun 2011 terjadi tindak pidana merek 125 kasus, dan sampai dengan September tahun 2012 tindak pidana merek sudah ada 87 kasus. Seksi HKI di Ditjen Bea dan Cukai mengeluh sulitnya menyita merek-merek yang ada indikasi pelangaran karena sedikitnya informasi tentang muatan kapal dan minimnya pengawasan perbatasan antar negara. Keluarnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI No. 4 Tahun 2012 tentang Perintah Penangguhan Sementara dan PERMA No. 5 Tahun 2012 Tentang Penetapan Sementara belum terlihat efektivitasnya di lapangan, beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari PERMA RI tersebut antara lain tentang uang jaminan yang besar, serta kewenangan pengadilan niaga yang masih sangat terbatas jumlahnya. Berdasarkan latar belakang masalah seperti diuraikan dimuka, maka timbul pemasalahan, yang dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah ketentuan Bea Cukai dalam pengendalikan kegiatan ekspor-impor atas barang-barang yang terindikasi ada pelanggaran Merek ?
5
2. Bagaimanakah model perlindungan hak kekayaan intelektual
atas merek melalui
pengawasan perbatasan oleh bea cukai dalam era perdagangan bebas dan perbandingannya dengan Negara Jepang, Amerika Serikat , dan Jerman ?
2. METODE PENELITIAN Pelaksanaan metode penelitian ini disesuaikan dengan bidang ilmu hukum. Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis bertujuan untuk menggambarkan analisis hukum mengenai perlindungan hokum terhadap masuk dan keluar barang-barang palsu, kaitannya dengan upaya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, juga bertujuan menggambarkan secara tepat keadaan tertentu dalam hal ini mengenai pengawasan perbatasan oleh bea cukai. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif suatu metode dalam penelitian hukum normatif dengan menggunakan sumber utama data sekunder atau bahan pustaka.5 Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang ditelusuri antara lain, Norma dasar Pancasila, UUD 1945, serta berbagai Perundang -undangan terkait, antara lain :UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan; UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan Ketentuan TRIPS Dalam penelitian digunakan data primer sebagai data pelengkap dan pendukung, yaitu data yang diperoleh dari studi lapangan (field research), melalui wawancara (interview) langsung dengan para pihak yang dapat memberikan penjelasan mengenai objek penulisan yang sedang dikaji. Selanjutnya digunakan juga metode pendekatan Yuridis komparatif / perbandingan hukum untuk menemukan model perlindungan HKI kaitannya dengan pengawasan perbatasan oleh Bea dan Cukai juga untuk membandingkaan instrumen hukum nasional dan internasional yaitu ketentuan hukum di negara-negara lain seperti Jepang, Amerika Serikat, Jerman dan Perancis dengan cara mengkaji peraturan dan pengembangannya di negara lain yang berkaitan dengan topik permasalahan untuk memahami persamaan dan perbedaan, sehingga diperoleh gambaran mengenai pengaturan tentang objek penelitian dan penyelesaian kasus-kasus hukumnya sehingga dapat dijadikan masukan bagi pembentukan hukum nasional dalam bidang pengawasan Bea Cukai. Alat pengumpul data digunakan observasi (pengamatan) dan wawancara (Interview) : - Dilakukan pengamatan (observasi) dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan penelitian hukum dalam mencatat perilaku hukum yang terjadi dalam kenyataan. Peneliti secara langsung dapat memperoleh data yang dikehendaki, pengamatan dilakukan di lokasi penelitian, yakni Kantor Bea Cukai & Ditjen HKI di Jakarta. - Melalui wawancara diperoleh informasi mengenai keberadaan bea cukai selaku pengawas perbatasan antar Negara. Selain itu diperoleh pula data mengenai orientasi ke depan 5
H. Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, “Pengantar Metode Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum”, Monograf, Bandung, Januari 2005, hlm 4-8
6
penanganan pengawasan perbatasan tersebut. Pada dasarnya pengolahan, analisis dan konstruksi data dilakukan secara kualitatif, akan diperoleh gambaran apa yang dinyatakan oleh nara sumber secara tertulis atau lisan, juga mengenai kondisi yang nyata yang diteliti sebagai sesuatu yang utuh. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah para pihak yang berkecimpung dalam pekerjaannya dibea cukai dan pemangku kepentingan di bidang Hak Kekayaan Intelektual. Langkah selanjutnya hasilPenelitian kepustakaan dan hasil penelitian lapangan diolah secara kualitatif melalui penafsiran secara sosiolgis dan fungsional.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Ketentuan Bea Cukai dan HKI Dalam Kegiatan Ekspor-Impor Atas Barang Yang Terindikasi Ada Pelanggaran Merek Perlindungan hukum HKI mengandung arti bagaimana menjadikan masyarakat sadar hukum atas HKI termasuk di bidang merek. Penegakan hukum tersebut dilakukan melalui cara : Pertama, orang perorangan berhak menggugat pelanggar ke pengadilan atau lembaga yang berfungsi sebagai pengadilan atas dasar pelanggaran HKI. Upaya hukum yang dapat diberikan antara lain : Pembatalan pendaftaran merek, penghapusan pendaftaran merek, ganti kerugian, pemusnahan barang pelanggaran, penetapan sementara , dan lain-lain. Kedua, yang bisa dipakai untuk memaksa orang supaya mentaati HKI adalah melalui negara. Di banyak negara, negara berhak menghukum orang yang melanggar peraturan perundangundangan dengan sanksi pidana. Akan tetapi, sanksi pidana jarang sekali dipakai di negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon. Ketiga, melalui Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.Di Indonesia untuk memberikan kesempatan yang lebih luas dalam penyelesaian sengketa, dan untuk lebih menjamin kerahasian serta nama baik para pihak, dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (UU Merek) memuat ketentuan tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa lainnya diluar
pengadilan ( arbitrase and Alternative Dispites resolution/ADR). Tampaknya persoalan
merek dipandang sebagai “Commercial Activities” yang menurut pendapat pemerintah memerlukan penyelesaian yang lebih cepat dari perkara-perkara biasa (non-business). Perjanjian TRIPS mengatur tentang kewajiban negara anggota untuk menyediakan prosedur dan upaya hukum dalam hukum nasional untuk menjamin bahwa HKI dapat secara efektif ditegakkan baik oleh pemegang hak. Untuk barang-barang yang masuk ataupun keluar dari Indonesia yang ada indikasi pelangaran merek baik itu pemalsuan, tiruan atau bajakan, maka pemilik Merek yang sah dapat mengajukan Perintah Penangguhan Sementara dan Penetapan Sementara ke Pengadilan
7
Niaga.Terdapat beberapa definisi dari barang-barang tiruan dan palsu.Sebagai referensi dalam pasal 51 Perjanjian TRIPS, barang bermerek
tiruan (counterfeit goods)didefinisikan sebagai
berikut : “ Barang-barang bermerek tiruan adalah barang-barang, termasuk kemasannya, yang identik dengan merek yang terdaftar secara sah yang berkenaan dengan barang tersebut, atau merek tersebut tidak dapat dibedakan aspek-aspek utamanya maka hal tersebut dianggap melanggar hak pemilik merek menurut undang-undang”
Di Indonesia, terjemahan untuk counterfeit goods adalah barang palsu. Dalam konteks ini, counterfeit goods diartikan tidak semata-mata barang palsu, namun juga barang atau jasa yang diperdagangkan tanpa ijin dari pemilik atau pemegang HKI. Dalam konteks HKI, counterfeit goods artinya suatu produk yang diperdagangkan dengan menggunakan merek tertentu, sementara merek tersebut dimiliki oleh orang lain, sehingga masyarakat umum akan tertipu dan membeli produk tersebut. PERMA RI Nomor 4 tahun 2012 tentang Perintah Penangguhan Sementara yunto Pasal 5456 UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan mengatur tentang prosedur Bea Cukai untuk melakukan pengendalian atas impor dan ekspor barang-barang yang merupakan hasil kejahatan di bidang HKI. Tindakan yang dapat diambil oleh Bea Cukai adalah menangguhkan sementara pelepasan barang impor atau ekspor dari Kawasan Pabean berdasarkan bukti yang cukup diduga merupakan hasil pelanggaran merek yang dilindungi di Indonesia.
Penangguhan Sementara
dilakukan oleh Bea Cukai berdasarkan “Surat Perintah Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri setempat” berdasarkan permohonan pemegang hak. Permohonan tersebut diajukan dengan disertai 1. bukti kepemilikan atas merek tersebut; 2. bukti pendukung yang cukup menyangkut kejahatan terhadap hak merek; 3. perincian dan keterangan yang jelas mengenai barang impor atau ekspor yang dimintakan penanguhan sementara pengeluarannya antara lain Nomor Surat Muatan, Angkutan Laut (bill of lading) atau Nomor Surat Muatan Angkutan Udara(airway bill), Nomor Sarana Pengangkut, jenis dan jumlah barang, pelabuhan tujuan dan Negara asal.Deskripsi yang detail tentang barang-barang impor atau ekspor dimaksud guna mempermudah Bea Cukai untuk mengenalinya. 4. Adanya jaminan yang mempunyai nilai cukup dengan tujuan untuk: 1) melindungi pihak yang.g diduga melakukan pelanggaran dari kerugian yang tidak perlu terjadi; 2) mengurangi kemungkinan penyalahgunaan hak;
8
3) melindungi pejabat/aparat Bea dan Cukai dari kemungkinan tuntutan ganti rugi karena melaksanakan perintah penangguhan. Berdasarkan Perintah Pengadilan, petugas Bea Cukai memberitahukan importir, ekportir, atau pemegang barang secara tertulis mengenai adanya perintah untuk menangguhan sementara pelepasan barang impor ekspor dimaksud. Penundaan tersebut akan dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama (sepuluh) hari kerja. (Jangka waktu ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan
pada
pihakyang
mengajukan
permohonan
penangguhan
untuk
membela
kepentingannya). Jangka waktu ini dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama 10 (sepuluh) hari kerja dengan perintah tertulis Ketua Pengadilan Niaga. Berdasarkan permohonan penangguhan dari pemegang hak merek, Ketua Pengadilan Niagasetelah mendengar dan menimbang penjelasan juga kepentingan dari pemilik barang-barang impor atau ekspor yang dimintakan penundaan,
akan menerbitkan surat ijin kepada
pemilik/pemegang hak untuk memeriksa barang impor atau ekspor dimaksud. Pemeriksaan dimaksud dilakukan dengan pengawasan dari petugas Bea Cukai. Tujuannya adalah untuk mencegah peredaran barang-barang tersebut yang akan memberikan dampak kerugian pada ekonomi secara umum. Meskipun begitu, langkah-langkah yang dilakukan oleh Otoritas Bea Cukai terbatas pada 10 (sepuluh) hari kerja, berdasarkan persetujuan dari Pengadilan Niaga. Lebih jauh lagi Otoritas Bea Cukai dapat memberikan denda pada importer atau eksportir yang memberikan informasi yang salah. Importir, eksportir atau pemilik barang impor atau ekspor dimaksud dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Niaga untuk menerbitkan Surat Perintah Pengadilan kepada Bea Cukai guna mengakhiri penangguhan dimaksud berdasarkan keadaan misalnya karena kondisi barang yang mudah rusak. Permohonan tersebut harus disertai suatu Surat Jaminan oleh pemegang hak. Petugas Bea Cukai akan mengakhiri penangguhan tersebut, jika dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja tidak menerima pemberitahuan dari pihak yang memohonkan penangguhan tersebut, dan tindakan hukum yang dibutuhkan untuk menjaga haknya tersebut tidak dilaksanakan. Dalam prakteknya, masih terdapat kesulitan-kesulitan dalam penegakan HKI pada UU Bea Cukai, karena untuk melakukan tindakan, harus ada informasi yang rinci dalam suatu dokumen, barang-barang hasil pelanggaran, pengangkutan, data pengapalan dan kedatangan dari produkproduk palsu tersebut, serta nilai jaminan sebesar nilai yang diperkirakan setara dengan barangbarang yang terindikasi merupakan pelanggaran merek. Upaya lain untuk mencegah masuk keluarnya barang-barang palsu, menurut ketentuan Pasal 85 UU Merek No. 15 Tahun 2001 yunto PERMA RI Nomor 5 Tahun 2012 berdasarkan bukti yang cukup pihak yang haknya dirugikan dapat meminta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan sementara tentang :
9
1. Pencegahan masuknya barang yang berkaitan dengan pelangaran hak Merek; 2. Penyimpanan alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran Merek tersebut. Ketentuan ini dinamakan “provisional measures” yang juga sudah dimungkinkan dalam Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa No. 30 Tahun 1999 dimana maksud dari tindakan putusan sementara melarang bertambah beredarnya barang yang berkaitan dengan pelanggaran hak merek ini serta penyimpanan alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran merek, adalah untuk menjamin jalannya pemeriksaan perkara yang lebih mapan dan dapat memenuhi keinginan “businesscommunity”serta mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar sehingga Pengadilan Niaga diberi kewenangan untuk menerbitkan penetapan sementara guna mencegah berlanjutnya pelanggaran dan masuknya barang yang diduga melanggar Hak atas Merek ke jalur perdagangan termasuk tindakan importasi. Permohnan penetapan sementara
harus dalam bentuk tertulis, dan Pengadilan Niaga
dengan segera memberitahukan kepada pihak yang diduga melanggar dengan memberi kesempatan padanya untuk menyampaikan keberatan atau sanggahan. Jika Pengadilan Niaga telah mengeluarkan putusan sementara, hakim yang memeriksa harus memutuskan apakah akan mengubah atau membatalkan atau menguatkan putusan tersebut dalam waktu paling lama 30 hari sejak dikeluarkannya putusan penetapan sementara tersebut.Penetapan sementara pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek tersebut berbeda dengan tuntutan provisi dalam gugatan atas pelanggaran merek. Penetapan sementara disini diajukan sebelum adanya gugatan, sedangkan tuntutan provisi merupakan bagian dari gugatan atas pelanggaran merek. Sistem seperti ini dalam sistem hukum barat sering disebut dengan “Injuction Sistem”. Untuk meminta penetapan sementara pengadilan tersebut dikenakan uang jaminan yang besarnya sebanding dengan nilai produk barang dan atau jasa yang akan dikenai tindakan penetapan sementara itu. Hal ini dimaksudkan agar jika ternyata penetapan semetara pengadilan tersebut tidak benar sehingga dibatalkan oleh pengadilan, maka uang jaminan tersebut akan diserahkan kepada pihak yang dikenai penetapan sementara sebagai ganti rugi atas adanya tindakan penetapan sementara itu. Akan tetapi jika ternyata penetapan sementara pengadilan tersebut dikuatkan oleh pengadilan, maka uang jaminan akan dikembalikan kepada pihak yang mengajukan permohonan penetapan sementara. Terhadap penetapan sementara tersebut, tidak dapat dilakukan upaya hukum banding atau kasasi.Persyaratan yang harus dipenuhi oleh Pemohon dalam mengajukan permohonan Penetapan Sementara yaitu : 1. melampirkan bukti kepemilikan merek 2. Melampirkan bukti adanya petunjuk awal yang kuat atas terjadinya pelanggaran merek
10
3. Keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau dokumen yang diminta, dicari, dikumpulkan dan diamankan untuk keperluan pembuktian 4. Adanya kekhawatiran bahwa pihak yang diduga melakukan pelanggaran merek akan dapat dengan mudah menghilangkan barang bukti, dan 5. Membayar jaminan berupa uang tunai atau jaminan bank.
Putusan sementara yang diputuskan oleh Pengadilan Niaga telah diatur dalam
hal
kerugian, dalam praktek di pengadilan Indonesia, berdasarkan yurisprudence diperkuat oleh Surat Edaran Mahkamah Agung. Selain itu, kerugian yang diputus Pengadilan Niaga juga telah diatur dalam UU HKI. Berkaitan dengan biaya perkara, biasanya hal ini dituntut oleh Penggugat dan dihitung bersama-sama dengan kerugian yang diderita dan diatur dalam Hukum Acara Perdata. Untuk selanjutnya pihak yang mengajukan permohonan penetapan sementara yang telah dikuatkan oleh Pengadilan Niaga tersebut dapat mengajukan gugatan secara perdata maupun tuntutan pidana.Selain melalui gugatan, terhadap pihak yang melakukan pelanggaran hak atas merek dapat juga dikenakan ketentuan pidana. Penyidikan dalam perkara tindak pidana penggunaan merek secara tanpa hak atas merek merupakan delik aduan jadi sangat sulit memantau muatan kapal tanpa ada pengaduan dari pemohon sebagai pemilik merek apabila ada indikasi pelanggaran merek. Menurut penulis, hal ini merupakan suatu kemunduran apabila ancaman hukuman ini dan tuntutan pidana hanya bergantung pada pengaduan dari orang yang merasa dirinya dirugikan. Akan lebih efektif apabila dari pihak penuntut umum sendiri tanpa perlu adanya laporan atau pengaduan dari orang yang berkepentingan, diadakan tindakan-tindakan penuntutan dalam hal terjadi yang tidak wajar dalam pandangan masyarakat. Disamping itu, peran masyarakat dalam memberikan masukan tentang dugaan adanya pemalsuan atau penyerupaan merek sangat penting dipertimbangkan. Karena pemalsuan atau kemiripan merek tidak saja dapat dilakukan dalam bisnis secara tradisional, akan tetapi juga secara elektronik. Penyidikan terhadap Tindak Pidana Merek , pada hakekatnya penyidikan adalah pembuktian, oleh karena itu sebagaimana penyidikan kejahatan umum lainnya, maka untuk memperoleh pembuktian tersebut, penyidikan kejahatan HKI termasuk juga penyidikan tindak pidanaMerek dilakukan dengan melalui bentuk-bentuk kegiatan penyelidikan, penindakan (upaya paksa), penyitaan barang bukti, pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan Berkas Perkara kepada Penuntut Umum. Penyidikan oleh Polri tersebut merupakan pintu gerbang dari proses penegakan hukum untuk dapat dilakukan penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum dan dilakukan proses pemeriksaan disidang pengadilan.
11
B. Model Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Atas Merek Melalui Pengawasan Perbatasan Oleh Bea Cukai Dan Perbandingannya Dengan Negara lain Ditjen Bea dan Cukai sebagai penjaga gerbang negara (the guardian at the cute) ikut bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan, baik bagi para pemilik hak dan melindung negara terhadap bentuk pelarian pajak, dan sebagai penegak hukum di perbatasan pada saat barang yang dilindungi hak kekayaan intelektual melintasi perbatasan negara.6 Dalam rangka melaksanakan TRIPS khususnya part IISection 4 tentang Special Requirem Related to Border Measures, Ditjen Bea den Cukai mencegah peredaran barang-barang yang melanggar HKI yaitu dengan melakukan tindakan penangguhan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor dari kawasan pabean. Walaupun bea cukai menemukan indikasi pelanggaran terhadap merek, sangat sulit prosedur yang ditempuh oleh pemohon, meski sudah ada UU Kepabeanan, tapi peraturan pelaksanaanya sampai saat ini belum ada, berkaitan dengan perintah penangguhan sementara dan Penetapan sementara. Lahirnya UU Kepabeanan yang baru UU Nomor 17 Tahun 2006, belum menyentuh tentang syarat dan tata cara pengajuan permohonan perintah penangguhan sementara dan tentang tata cara permohonan penetapan sementara. PERMA RI No. 4 dan Nomor 5 terbit pada bulan Juli 2012 yang mengatur tentang syarat dan tata cara pengajuan permohonan perintah penangguhan sementara. Karena baru keluar, belum terlihat efektivitasnya di lapangan, sampai akhir penelitian pada akhir tahun 2013, belum ada satupun kasus yang merujuk pada PERMA ini.Seksi HKI di Ditjen Bea dan Cukai mengeluh sulitnya menyita merek-merek karena sedikitnya informasi tentang muatan kapal dan minimnya pengawasan perbatasan antar Negara. Dalam hubungan dengan ketentuan tentang syarat-syarat khusus berkaitan dengan ketentuan perbatasan Negara yang diatur dalam Bab III, seksi 4, perjanjian TRIPS, sebuah bab khusus telah ditambahkan pada UU tentang Kepabeanan tahun 2007. Bab X dari UU tersebut mengatur tentang larangan dan pembatasan impor atau ekspor dan pengawasan ekspor dan impor barang-barang hasil pelanggaran HKI.Pemantauan pasar adalah suatu tindakan penting dalam mendeteksi tindak pemalsuan serta untuk mengambil langkahlangkah yang sesuai dalam kaitannya dengan pencegahan dan pemberian hukuman. Keefektifan dalam pemantauan dimaksud bergantung pada luas dan ukuran pasar terkait serta jumlah pelakupelaku pasar. Penegakan HKI diperbatasan dikoordinasikan oleh Direktorat Pencegahan dan Penyidikan, Ditjen Bea dan Cukai. Aktivitas harian dilakukan oleh Sub Direktorat-Pengendalian, Pelarangan dan Pembatasan barang cq. Seksi HKI. Pada tingkat operasional, tugas-tugas mengenai HKI 6
JICA, Capacity Building Program on the Implementasi of the WTO Agreements in Indonesia, op.,cit,
hlm. 21
12
dilakukan oleh kantor Seksi Pencegahan Bea Cukai di setiap pelabuhan. Berdasarkan Perintah Pengadilan, petugas Bea Cukai memberitahukan importir, ekportir, atau pemilik barang secara tertulis mengenai adanya perintah untuk menunda pelepasan barang impor ekspor dimaksud. Berdasarkan permohonan penangguhan dari pemegang hak merek, Ketua Pengadilan Negeri setempat akan menerbitkan surat ijin kepada pemilik/pemegang hak untuk memeriksa barang impor atau ekspor dimaksud. Pemeriksaan dimaksud dilakukan dengan pengawasan dari petugas Bea Cukai.Jika dari hasil pemeriksaan tersebut, didapati bahwa barang impor atau ekspor tersebut tidak berasal dari kejahatan baik merek, maka importir atau pun eksportir barang tersebut berhak untuk mendapatkan kompensasi/ganti rugi dari pihak yang memohon penahanan atau barang impor atau ekspor tersebut. Penahanan barang impor atau ekspor dapat dilaksanakan oleh petugas Bea Cukai dalam kapasitas resminya, jika ada bukti kuat bahwa barang tersebut adalah berasal dan kejahatan merek.Tujuannya adalah untuk mencegah peredaran barang tersebut yang akan memberikan dampak kerugian pada ekonomi secara umum.Ditjen HKI telah menerbitkan merek terdaftar (dikenal sebagai "Berita Resmi Merek"), dan terdapat pada website Ditjen HKI.Dengan demikian, data aktual tersebut dapat digunakan oleh instansi terkait lainnya.Indonesia belum mengadopsi rekaman atas merek terdaftar kepada Bea Cukai dalam rangka pengendalian arus masuk dan keluar barang-barang palsu. Seorang pemilik merek terdaftar mempunyai hak untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan Niaga perintah penangguhan, dengan suatu jaminan.
1. Bagan Alur Pengawasan Perbatasna oleh Bea Cukai Di Jepang.
Hukum dan peraturan terkait meliputi :Undang-undang Bea Cukai;Undang-undang Tarif Bea Cukai;Perintah Kabinet untuk Penegakan Undang-undang Tarif Bea Cukai;Pedoman Resmi mengenai Pengawasan atas Barang-barang yang Melanggar HKI; dan Undang-undang Merek dan Undang-undang HKI lainnya.7 Tata cara tentang bagaimana pemegang hak dapat mengajukan permohonan penangguhan pelepasan barang-barang merek palsu atau barang bajakan diatur dalam Pasal UU Tarif Bea Cukai Jepang (Customs Tariff Law/CTL). Badan yang berwenang adalah Badan Bea Cukai, Departemen Keuangan.Selama barang tersebut dalam keadaan transit dan disimpan "sementara waktu", barang itu
dianggap belum diimpor.Kementerian Perdagangan dan Industri Internasional (METI)
menentukan beberapa barang akan melanggar merek di negara yang dituju, dan eksportir harus mendapat persetujuan jika barang-barangnya termasuk dalam daftar yang dikeluarkan METI. 7
JICA, Capacity Building Program on the Implementasi of the WTO Agreements in Indonesia, op.,cit, hlm.
176
13
Pemegang merek berhak mengajukan permohonan kepada Bea Cukai untuk menangguhkan impor barang-barang palsu dan tiruan. Pihak Bea Cukai diminta untuk mengambil tindakan berdasarkan ex-officio. Bea Cukai dapat menerima informasi apa saja dari pemegang hak yang dapat membantu Bea Cukai menggunakan wewenangnya. Bea Cukai memiliki dasar hukum bagi penerimaan info semacam ini. Semua tindakan ex-officio yang diambil Bea Cukai dilakukan berdasarkan infoyang disampaikan oleh para pemegang hak. Baik importir maupun pemegang hak berkesempatan menyerahkan alat bukti dan memberikan keterangan/penjelasan. Menurut definisi dan prakteknya "bukti yang cukup dan keterangan rinci yang cukup' dipersyaratkan dalam kalimat pertama adalah sepenuhnya tergantung pada penilaian petunjuk dari Bea Cukai. Umumnya, penyerahan contoh barang asli dan barang palsu ke Bea Cukai juga diperlukan. Dalam praktek, perlu untuk berkonsultasi dengan Bea Cukai secara rinci tergantung pada kasusnya. CTL mengatur bahwa jika Bea Cukai telah menerima suatu permohonan, lalu memutuskan untuk mengambil tindakan dan juga memberitahukan pada pemegang hak dan importir tentang barang-barang yang bersangkutan secara berturut-turut, berdasarkan permohonan memberi kesempatan masing-masing pihak untuk memeriksa barang-barang yang disita oleh Bea Cukai. Hak pemeriksaan ini diberikan tidak hanya untuk sekali pemeriksaan. Berdasarkan CTL, Jangka waktu yang wajar dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang disebut "resonable period" atau "without undue delay”.Pasal 21 (4) CTL mengatur bahwa Bea Cukai kapanpun memerlukan dapat meminta untuk membayar sejumlah uang sebagai jaminan terhadap kemungkinan kerugian yang diderita importir karena penahanan barangnya dalam jangka waktu tertentu. Jika jaminan ini dibayar oleh pemohon dalam jangka waktu tersebut maka, Bea Cukai dapat menghenti proses permohonan yang diajukan pemohon. Menyangkut barang-barang merek palsu Pasal 21 (1) CTL mengatur bahwa Dirjen Bea Cukai dapat memerintahkan pemohon untuk membayar sejumlah uang jaminan yang sebanding dengan kemungkinan kerugian yang diderita importir. Walaupun ini merupakan kebijaksanaan Dirjen, namun pembayaran jaminan diterapkan pada hampir semua kasus. Suatu surat perintah sementara untuk menunda importasi, barang-barang yang diduga melanggar, dapat dikeluarkan oleh pengadilan, walau kedua prosedur ini masing-masing berdiri sendri. Pihak Bea Cukai tidak berperan dalam hukum acara di pengadilan. Pasal 21 (4) CTL mewajibkan Bea Cukai memberitahukan baik kepada importer sebagai pemohon (pemegang hak) tentang akan dilakukannya prosedur identifikasi. Ada dua cara untuk menangguhkan importasi barang-barang: (a) "Prosedur Identifikasi" oleh Bea cukai dan (b) Melalui Pengadilan. Kedua prosedur ini masing-masing berdiri sendiri. Bea cukai tidak berperan dalam tata cara di pengadilan. Oleh karena itu, pihak Bea Cukai tidak diberitahu tentang proses pengadilan, kecuali jika ada seseorang seperti pemegang hak atau importir memberitahukan kepada Bea Cukai.
14
Prosedur Identifikasi diharapkan dapat selesai dalam jangka waktu satu bulan, namun tidak ada aturan yang mengatur kapan dimulainya prosedur tersebut, dalam prakteknya proses ini dapat berjalan cepat.Sebelum barang-barang yang diduga melanggar selesai diperiksa melalui prosedur identifikasi, si importir dapat menghilangkan merek dari barang impor tersebut. Selain itu, pada saat bersamaan importir dapat memohon kepada Bea Cukai untuk mengirim kembali barang-barang tersebut tanpa harus menghilangkan mereknya. CTL memperbolehkan pihak Bea Cukai untuk menghancurkan atau membuang barangbarang yang melanggar tanpa harus memberi kompensasi setelah prosedur identifikasi selesai. Jika bahan-bahan dan peralatannya termasuk dalam barang-barang yang melanggar berdasar UU HKI Jepang, pihak Bea Cukai dapat mengambil tindakan sebagimana tersebut dalam Pasal 46 Persetujuan TRIPS. Bagaimanapun, ada beberapa kasus dimana prakteknya si importir akan mengirim kembali barang-barangnya sebelum putusan prosedur identifikasi dikeluarkan.
Bagan alur Pengawasan Perbatasan oleh Bea Cukai Di Jepang.
2. Bagan alur Pengawasan Perbatasna oleh Bea Cukai DiAmerika Serikat. Hukum dan peraturan terkait meliputi : Undang-undang Bea Cukai Amerika Serikat (337 tentang fungsi ITC);Undang-undang Pemalsuan Merek (mengatur mengenai Ganti Rugi Perdata
15
dan Pidana; Undang-undang Perlindungan Konsumen Anti Pemalsuan 1996;Peraturan Bootleg (larangan terhadap pembajakan rekaman musik). Lingkup obyek yang akan ditahan oleh Kantor Bea Cukai Amerika Serikat yaitu :Barangbarang yang melanggar hak merek;Barang-barang yang melanggar hak cipta;Barang-barang yang melanggar hak paten (termasuk desain);Pengkategorian barang-barang ini biasanya dilakukan oleh ITC tetapi dapat dilakukan juga oleh Bea Cukai atas perintah Pengadilan; dan Barang-barang yang mempunyai asal tujuan yang salah. Pejabat Bea Cukai Amerika Serikat berwenang untuk menahan pada perbatasan barangbarang yang melanggar HKI dan juga mempunyai kewenangan untuk menyampaikan keputusan mengenai perselisihan antara pemegang hak dan importir kaitannya dengan barang-barang tersebut di atas. Komisi Perdagangan Internasional Amerika (ITC) sebagaimana dimaksud pada Pasal 373 Undang-undang Bea Cukai AS menerbitkan suatu keputusan final mengenai perselisihan sengketa HKI dengan sidang panel 6 anggotanya. Berdasarkan permohonan yang diajukan oleh pemegang hak, ITC melaksanakan pemeriksaan terhadap kasus tersebut baik barang impor yang dicurigai itu melanggar merek atau tidak dan keputusan tersebut diterbitkan dalam jangka waktu 12 bulan dengan jalan barang impor tersebut dilarang masuk. ITC mempunyai kewenangan untuk memutuskan mengenai perselisihan tidak hanya menyangkut kasus pelanggaran merek dan paten , tetapi jugs kasus-kasus terkait dengan isu-isu seperti pembocengan reputasi (passing off), perdagangan, rahasia dagang, pelindung semi konduktor dan lain-lain.
Bagan alur Bea Cukai Di Amerika Serikat
16
3. Bagan alur Pengawasan Perbatasna oleh Bea Cukai Di Jerman. Hukum dan peraturan terkait UU Pembajakan Barang. UU ini dibuat dalam bentuk yang cocok dengan tujuan langsung guna memberikan tindakan-tindakan yang efektif untuk mencegah peredaran barang- barang hasil pemalsuan dan pembajakan serta pelanggaran HKI.
Karakteristik hukum ini adalah: 1) Penegakan kembali sanksi pidana ; 2) Fungsi pengawasan Bea Cukai diperbesar terhadap seluruh jenis pelanggaran HKI termasuk pelanggaran paten: (1) "Permohonan Penangguhan" diterima hanya pada Pejabat Tinggi Perwakilan Manajemen Keuangan di Munich, hal ini menyatakan adanya sentralisasi dalam manajemen Pengawasan/Pengawasan Perbatasan Jerman; (2) Permohonan Penangguhan berlaku selama 2 (dua) tahun. Pemohon juga harus memberikan deposit keamanan (maksimum DM 50,000) pada Pejabat di Perwakilan Manajemen Keuangan tersebut di atas; (3) Permohonan juga harus mengandung informasi bermanfaat berikut ini •
Uraian rinci tentang barang asli yang dilindungi beserta photo, gambar atau sketsanya;
•
Uraian rinci tentang hal-hal penting yang membedakan barang palsu dengan barang asli;
•
Informasi mengenai pabrik yang potensial, importir, eksportir dan perkiraan jumlah pengiriman barang yang dicurigai serta informasi berguna lainnya
(4) Permohonan Penangguhan dibagi atas dua jenis, pertama: penangguhan atas barang yang beragam jenisnya, kedua: penangguhan atas satu jenis barang tertentu; (5) Kantor Bea Cukai menyarankan pada pemohon untuk mengatur cara dan memberikan nama siapa saja yang dapat dihubungi selama 24 jam untuk memberikan informasi yang dibutuhkan oleh Kantor Bea Cukai selama pengawasan berlangsung, Cara ini setelah dievaluasi sangat berguna dan dapat diterapkan di Indonesia (6) Jangka waktu penahanan adalah 2 (dua) minggu. Ketika barang-barang yang dicurigai itu ditahan, pemegang hak dan importir diberitahukan dengan segera dan diberikan kesempatan untuk memeriksa barang-barang yang ditahan itu; (7) Jika tidak ada keberatan yang diberikan dalam jangka waktu 2 (dua) minggu sejak pemberitahuan penahanan tersebut disampaikan, Kantor Bea Cukai dapat menyita barang-
17
barang tersebut dan pemegang hak dapat melakukan prosedur perdata / pidana terhadap importir.
Setelah melihat berbagai model pengawasan di berbagai Negara, untuk Indonesia dapat dibuat model tersendiri dengan memperhatikan kondisi wilayah dan karakteristik, sebagai berikut : Hukum dan peraturan terkait: •
Undang-undang Kepabeanan;
•
Undang-undang Tarif Bea Cukai;
•
Peraturan Perintah untuk Penegakan Undang-undang Tarif Bea Cukai;
•
Pedoman Resmi mengenai Pengawasan atas Barang-barang yang Melanggar HKI;
•
Undang-undang Merek dan Undang-undang HKI lainnya;
1) Pejabat Bea Cukai melakukan pengawasan terhadap impor barang-barang yang berpotensi melanggar HKI dan juga terhadap barang-barang palsu. Sejalan dengan langkah-langkah tersebut, pemegang HKI dapat mengajukan kepada Pejabat Bea Cukai berikut : Terhadap barang-barang impor yang melanggar suatu merek terdaftar, serta hak-hak terkait lainnya, pemegang HKI dapat mengajukan "Permohon Penangguhan Impor" kepada Pejabat Bea Cukai. 2) Dilakukan identifikasi terhadap barang-barang tersebut dengan disaksikan oleh pemegang HKI. Yang harus disertai informasi rinci dari hal-hal terkait yang akan membantu proses
18
pemeriksaan Bea Cukai dalam Prosedur Identifikasi
harus disertai bukti-bukti termasuk
pendapat tertulis dari ahli di bidang kasus tersebut. 3) Dalam hal Proses Identifikasi, pemegang hak dan importir diundang untuk memeriksa barangbarang impor dimaksud dan kemudian memberikan alasan tertulis termasuk bukti-bukti yang diperlukan kepada Petugas Bea Cukai guna kepentingan pemeriksaa 4) Prosedur Identifikasi diberikan dan dilaksana oleh Kantor Bea Cukai melalui prosedur tata cara yang ditentukan, dan kemudi keputusan penahanan atas barang-barang tersebut apakah terkait dengan pelangga atau tidak diberikan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai; 5) Mengadopsi ketentuan di Jerman , Kantor Bea Cukai dapat menyarankan pada pemohon untuk mengatur cara dan memberikan nama siapa saja yang dapat dihubungi selama 24 jam untuk memberikan informasi yang dibutuhkan oleh Kantor Bea Cukai selama pengawasan berlangsung, Cara ini memudahkan identifikasi barang dan mempercepat proses. 6) Pemohon atas " Permohonam Penangguhan Impor" diperintahkan untuk memberikan deposit sebagai jaminan ketika barang-barang impor tersebut ditahan berdasarkan permohonannya. Jika jaminam tersebut tidak dibayarkan dalam waktu yang telah ditentukan, Bea Cukai menghentikam Prosedur Identifikasi dan barang-barang yang ditahan tersebut akan dilepaskan; 7) Keputusan mengenai Prosedur Identifikasi diberitahukan kepada pemegang hak dan importir. Jika keputusan tersebut menunjukkan tidak adanya pelanggaran, barang yang ditahan tersebut segera dilepaskan dan importir dapat melakukan klaim dengan hak untuk penggantian atas kerugian dan biaya penyimpanan dengan jaminan deposit tersebut pada ayat (4) .Jika keputusan menyatakan adanya pelanggaran, Petugas Bea Cukai segera menyita dan menghancurkan barang-barang tersebut; 8) Jika perlu, pemegang hak dapat menggunakan gugatan perdata atau proses pidana ke Pengadilan melalui Jaksa terhadap importir setelah Keputusan Pejabat Bea Cukai keluar mengenai Identifikasi Prosedur tersebut; 9) Terhadap
keputusan
Bea
Cukai
mengenai
Prosedur
Identifikasi
dapat
dilakuka
sanggahan/keberatan yang diajukan kepada DirekturJenderal Bea Cukai dan dapat mengajukan suatu proses peradilan untuk pembatalannya yang diajukan kepada Pengadilan Niaga.
4. KESIMPULAN Sebagai penutup dikemukana kesimpulan yang dapat penulis kemukakan adalah : a. Bea Cukai sebagai penjaga pindu utama (major gate keeper) atas barang-barang import. Pengawasan terhadap perbatasan mempunyai peran yang sangat penting. Peraturan bea cukai mengandung ketentuan tentang pelarangan dan pembatasan ekspor-impor dan kontrol terhadap ekspor impor barang-barang hasil pelanggaran HKI. Pemegang merek dapat meminta kepada
19
Ketua Pengadilan Niagapada Pengadilan Negeri setempat untuk mengeluarkan surat perintah ke Bea Cukai untuk menunda sementara pelepasan impor atau ekspor yang diduga merupakan hasil pelanggaran merek yang dilindungi di Indonesia atau memohonkan Penetapan sementara untuk mencegah kerugian yang lebih besar. b. Undang-Undang HKI Indonesia telah diberlakukan dan disesuaikan guna menjawab perubahan yang cepat dalam hukum dan perkembangan teknologi. Indonesia harus mencegah setiap pelanggaran hak kekayaan intelektual termasuk dalam hal masuknya barang-barang palsu dan tiruan.Konsep Penegakan hukum dilakukan secara terintegrasi antara berbagai instansi terkait seperti bea cukai, peradilan niaga dan instansi-instansi pendukung lainnya.Untuk model pengawasan perbatasan Indonesia dapat mengadopsi model pengawasan perbatasan yang disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan Indonesia seperti model / konsep yang diajukan.
Dari penyusunan dan penulisan penelitian ini, maka beberapa rekomendasi penulis kemukakan sebagai bahan pertimbangan lebih lanjut, yaitu :Indonesia harus mencegah setiap pelanggaran hak kekayaan intelektual termasuk dalam hal masukdan keluarnya barang-barang palsu dan tiruan, dengan: Mengharmonisasikan Peraturan-peraturan di bidang bea cukai dalam kegiatan pengawasan eksport-import di bidang Merek dengan peraturan negara lain, serta merevisi UU merek nomor 15 tahun 2001 karena UU ini belum dapat menampung perkembangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat terutama terkait dengan : a)
Belum memuatnya pengaturan tentang tata cara penetapan sementara pengadilan
b)
Pemeriksaan substansif yang dilakukan setelah pendaftaran
c)
Belum memuatnya aturan tentang sistem pendaftaran merek internasonal
d)
Sanksinya pidana dan denda perlu dipertimbangkan (diperberat) untuk memberikan efek jera thd pelaku tindak pidana merek
REFERENSI A. Sonny Keraf, 1993, Etika Bisnis – Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur, Kanisius, Yogyakarta. Administration: Directorate General of Customs and Excise of Indonesia, IPR Enforcement Strategies, For The Asia-Pacific Economic Cooperation Secretariat, 2006 Ahmad M. Ramli,2006,Cyber Law Dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung. Achmad Zen Umar Purba,2005 , Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Alumni, Edisi Pertama, Bandung.
20
Ade Maman Suherman,2004,Penegakan Hukum Atas Hak Kekayaan Intelektual Di Indoensia, Jurnal Hukum Bisnis , Jakarta, 23 (1) Colin Davies & Tania Cheng, 2011,Intellectual Property Law in the United Kingdom, Kluwer International BV, Netherlands. David I. Bainbridge (2008), Introduction to Information Technology Law, Pearson Longman, UK. Haggard, S.2000,The Political Economy of the Asian Financial Crisis (Washington: Institute for International Economics) JICA, 2004,Capacity Building Program on the Implementasi of the WTO Agreements in Indonesia, Kerjasama Ditjen HKI Departemen Hukum dan Hak Azasi manusia dengan Japan International Cooperation Agency, Jakarta. H. Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, 2005, “Pengantar Metode Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah Hukum”, Monograf, Bandung. Morris, Julian, Rosalind Mowatt, W Duncan Reekie, Richard Tren 2002. Ideal Matter: Globalisation and the Intellectual Property Debate, Centre for the New Europe. Manuel G. Velasquez (Santa Clara University), Etika Bisnis Konsep dan Kasus , penerbit ANDI Yogyakarta , Edisi 5. Santos Guilermo S., 1995, "The Rule of Law in Unconvetional Warfare", Philippine LawJournal Sudargo Gautama, 2002,Undang-Undang Merek Baru Tahun2001, Citra Aditya Bhakti,Bandung. Siraprapha Rungpry and Oliver Knox, The ASEAN Economic Community : good news for trademark owners?, World Trademark Review, Issue 36 April/May 2012, www.WorldTrademarkReview.com. Tim Lindsey et all. (editor),2005,Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, Bandung.
Undang-Undang UUD 1945 Undang Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP) Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata ( KUHAPerdata) UU No. 10 Tahun 1995 Yunto UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan
21
UU No.39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas UU RI No. 11 Tahun 1995 Tentang Cukai PERMA RI No. 4 Tahun 2012 Tentang Perintah Penangguhan Sementara PERMA RI No. 5 Tahun 2012 Tentang Penetapan Sementara Ketentuan TRIPS