MODEL PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN BANDHA WAKAF MASJID AGUNG SEMARANG
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Zarqa> (t.th.: 11), wakaf yang pertama kali terjadi dalam sejarah Islam adalah wakaf untuk masjid1, yaitu pada saat Nabi Muhammad SAW mendirikan Masjid Quba> dan Masjid an-Nabawi>. Di Indonesia, praktik wakaf untuk tempat ibadah merupakan bentuk wakaf yang paling banyak dilakukan oleh umat Islam. Penelitian PBB UIN Syari>f Hida>yatulla>h Jakarta (2005) menunjukkan bahwa 79 % dari harta wakaf berupa masjid (Najib, 2006: 123). Tradisi mewakafkan tanah untuk masjid terus berkembang dan menyebar, sehingga jumlah masjid terus bertambah. Kegiatan masjid juga berkembang seiring dengan kondisi masyarakat di sekitarnya. Masjid-masjid yang berdiri di tempat strategis dan didukung sumber dana yang memadai mampu mewujudkan serangkaian program kegiatan yang tidak hanya berkaitan dengan ibadah mah}d}ah, melainkan juga berdimensi pemberdayaan. Di antara masjid yang memiliki aset wakaf cukup besar adalah Masjid Agung Semarang. Aset wakaf masjid ini, yang biasa disebut bandha2 wakaf Masjid
1
Terdapat perbedaan mengenai wakaf yang pertama kali terjadi dalam Islam. Ketika memberikan syarah{ terhadap hadis ‘Umar ibn Khatta>b tentang wakaf, Ibn H{ajar mengatakan bahwa wakafnya ‘Umar merupakan wakaf yang pertama kali terjadi dalam Islam. Namun jika dilihat dari sisi waktu, wakaf masjid Quba>~ terjadi lebih dahulu daripada wakaf ‘Umar. 2 Kata bandha berasal dari bahasa Jawa yang berarti kekayaan atau harta benda. (Mangunsuwito, 2004: 23).
1
Agung Semarang, berupa tanah yang diberikan oleh Ki Ageng Pandan Arang yang merupakan pendiri sekaligus bupati pertama Kota Semarang. Menurut Agus Fathuddin Yusuf (2000: 7), sejak zaman kesultanan Demak, Masjid Agung Semarang telah memiliki kekayaan berupa tanah yang cukup luas yang semula disediakan sebagai upah untuk digarap para merbot3 dan sebagian lagi untuk biaya pemeliharaan masjid itu sendiri. Setelah Indonesia merdeka, Pemerintah mengeluarkan peraturan baru tentang pertanahan, yaitu Undang-Undang Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Menurut ketentuan Undang-Undang ini, masjid tidak bisa memiliki tanah wakaf kecuali jika telah memiliki badan hukum. Oleh karena itu, pada tahun 1962 Menteri Agama membentuk Pengurus Kas Masjid (PKM) sebagai badan hukum masjid. Khusus mengenai pengelolaan bandha wakaf Masjid Agung Semarang, KH. Saifuddin Zuhri, selaku Menteri Agama pada saat itu, menerbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 92 tahun 1962 tertanggal 14 Nopember 1962. KMA ini terdiri dari 4 (empat) keputusan, salah satunya menyatakan Masjid Agung Semarang dan segala kekayaannya adalah barang wakaf4, oleh karenanya penanggung jawab pengelolaannya dibebankan kepada nazhir, yaitu Pengurus Kas Masjid (PKM)5 Semarang (MAJT, 2008: 78). Karena tanah-tanah tersebut dianggap tidak produktif, atas saran banyak pihak, MUI Kota Semarang mengeluarkan fatwa pada tanggal 13 Oktober 1976 tentang istibda>l al-waqf atau penggantian tanah wakaf. Atas dasar fatwa ini, 3
Merbot adalah orang yang merawat dan memelihara masjid. Selain menetapkan status hukum bagi Masjid Semarang, KMA ini juga berlaku bagi Masjid Kendal, Kaliwungu, dan Demak 5 Pada perkembangannya, PKM berubah menjadi BKM berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1964 tanggal 4 Mei 1964 (Yusuf, 2000: 245). 4
2
Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Kota Semarang mengadakan lelang untuk mencari pihak-pihak yang sanggup menjadi penukar tanah bandha masjid (MAJT, 2008: 79). Lalu, pada tahun 1980, Menteri Agama H. Alamsjah Ratu Perwiranegara, menerbitkan KMA No. 12 tahun 1980 tentang penunjukan PT Sambirejo Semarang sebagai penukar tanah bandha Masjid Agung Semarang. Pada lampiran KMA tersebut dinyatakan bahwa tanah bandha masjid yang luasnya 119,1270 hektar ditukar dengan tanah pertanian yang lebih produktif seluas 250 hektar yang berlokasi di Kabupaten Demak. Proses ruislag tanah-tanah tersebut ternyata tidak berjalan sesuai yang diharapkan, sehingga menimbulkan banyak kritik dan suara miring. Sebagian dari suara miring tersebut ditujukan kepada PT Sambirejo yang dituding tidak memenuhi janji-janjinya sesuai kesepakatan, dan sebagian lainnya ditujukan kepada para pejabat terkait yang dituding telah menjadikannya sebagai bancakan. Informasi mengenai keberadaan bandha wakaf Masjid Agung Semarang itu pun masuk ke ranah publik setelah diberitakan berbagai media pada pertengahan tahun 1998. Berbagai upaya dilakukan untuk mencari jalan keluar bagi permasalahan tersebut, baik jalur ligitasi maupun non ligitasi. Upaya tersebut akhirnya membuahkan hasil dan terhitung sejak tanggal 24 Januari 2000, kasus ini dianggap selesai yang ditandai dengan penyerahan sejumlah sertifikat tanah dari Tjipto Siswoyo, selaku pemilik PT Tensindo dan pemegang sertifikat, kepada tim yang dibentuk untuk menyelesaikan kasus tersebut (MAJT, 2008: 96).
3
Sebagian dari tanah bandha wakaf, yaitu seluas 10 hektar, dimanfaatkan untuk Masjid Agung Jawa Tengah dan fasilitas-fasilitas pendukungnya.6 Lokasi Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) terletak di Jl. Gajah Raya Kelurahan Sambirejo di Kota Semarang. Menurut catatan Tim Peneliti MAJT (2008: 100), didirikannya Masjid Agung Jawa Tengah merupakan tanda bagi pengembalian bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Saat ini, pengelolaan bandha wakaf Masjid Agung Semarang terbagi dalam tiga manajemen. Pihak yang diberi amanah sebagai nazhir bagi bandha wakaf Masjid Agung Semarang adalah Badan Kesejahteraan Masjid Kota Semarang. Selain BKM, terdapat dua manajemen lain yang ikut mengelola sebagian dari aset wakaf Masjid Agung Semarang, yaitu Badan Pengelola Masjid Agung Semarang dan Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah.7 Dari data kekayaan BKM tahun 2005, diketahui bahwa total luas tanah bandha wakaf Masjid Agung Semarang setelah proses ruislag adalah 1.316.733 m2 tersebar di Kabupaten Demak (675.717 m2), Kabupaten Kendal (12.200 m2), dan Kota Semarang (628.856 m2) Di atas sebagian tanah wakaf tersebut, berdiri bangunan Masjid Agung Semarang dan fasilitasnya di Kelurahan Bangunharjo Kecamatan Semarang Tengah, bangunan Masjid Agung Jawa Tengah dan fasilitas pendukungnya di Kelurahan Sambirejo Kecamatan Gayamsari, dan bangunan Wisma Sejahtera di Pedurungan. 6
Menurut Fatquri (Wawancara: 10-04-2010), BP MAJT hingga saat ini tidak memiliki dokumen resmi mengenai aset utama MAJT. 7 Hubungan BKM dengan BP MAJT dan BP MAS tidak terjalin secara sinergis, sehingga keputusan yang dikeluarkan seringkali tidak melibatkan satu dengan lainnya (Wawancara dengan Hanif Ismail: 16-07-2010).
4
Sedangkan dari segi pengelolaan yang dimaksudkan sebagai wakaf produktif, aset bandha wakaf Masjid Agung Semarang dapat diklasifikasikan menjadi lima bentuk, yaitu:
1. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang terletak di Kelurahan Sawah Besar Kecamatan Gayamsari. 2. Komplek pertokoan dan perkantoran di sekitar Masjid Agung Semarang. 3. Komplek pertokoan Wakaf Produktif Center. 4. Area komersial dan bisnis di sekitar Masjid Agung Jawa Tengah, yaitu Menara al-H{usna>, Hotel Agung, Convention Centre, pertokoan dan perkantoran. 5. Lahan pertanian dan perkebunan di Kecamatan Sayung, Karang Tengah, Dempet, Weleri, Gayamsari, Pedurungan, dan Genuk. Dengan aset yang cukup besar seperti di atas, Masjid Agung Semarang diasumsikan menjadi masjid yang memiliki sumber dana kuat, mandiri, berdaya, dan mampu memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya. Namun kesan peneliti pada saat melakukan penelitian pendahuluan, Masjid Agung Semarang tidak berbeda dengan masjid-masjid sejenis yang mengandalkan pendanaannya dari kotak infak dan donasi jamaah. Realita ini memunculkan banyak pertanyaan mengenai permasalahan apa yang sebenarnya dihadapi oleh bandha wakaf Masjid Agung Semarang sehingga tidak mampu memberikan hasil yang sebanding dengan potensi yang dimiliki.
5
Lebih jelasnya, permasalahan bandha wakaf yang dapat disimpulkan dari hasil penelitian pendahuluan dan diduga menghalangi produktivitasnya dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini:
Tabel 1.1 Permasalahan Bandha Wakaf dan Lokasinya No
1
2
3
4
5
6
7
Permasalahan
Bentuk dan Lokasi
Lahan pertanian digarap warga sekitar namun diperselisihkan hak miliknya antara BKM dengan warga penggarap, diantaranya disebabkan adanya sertifikat ganda atau sertifikat fiktif. Lahan pertanian disewakan kepada petani penggarap dengan harga murah Tanah perkampungan yang dihuni atau dikuasai warga dengan tanpa memberikan imbalan dan telah berlangsung secara turun-temurun Tanah atau lahan kosong yang telah direncanakan akan diproduktifkan namun belum menemukan kata sepakat mengenai pihak yang akan mengelola, yaitu antara BKM, BP MAS, dan BP MAJT Bangunan atau komplek pertokoan yang tidak diminati pedagang, diantaranya disebabkan oleh buruknya desain bangunan sehingga tidak mampu menarik minat konsumen. Bangunan yang tidak terawat dan tidak dapat difungsikan Tanah pertanian yang pada mulanya digarap warga dengan mekanisme lelang, namun saat ini digarap petani secara cuma-cuma dan tidak memberi kontribusi atau hasil bagi mauqu>f ‘alaih Sumber: Diolah dari data awal penelitian.
6
Berupa lahan pertanian yang terletak di Kabupaten Demak dan Kendal Lahan pertanian di belakang MAJT Perkampungan di Suburan, Gutitan, dan Siwalan.
Tanah kering di sekitar MAJT
Komplek pertokoan BKM yang terletak di jalan Arteri (sebelah kiri SPBU MAS) Wisma BKM yang terletak di Pedurungan. Sebagian tanah pertanian yang terletak di Desa Werdoyo.
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa banyak aset bandha wakaf yang potensial dan diharapkan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi mauqu>f ‘alaih, namun terkendala oleh faktor-faktor teknis-administratif sehingga aset-aset tersebut menjadi tidak produktif. Lahan pertanian yang subur dan luas ternyata dikelola petani penggarap secara gratis dan tidak memberikan kontribusi bagi mauqu>f ‘alaih. Tanah-tanah wakaf yang letaknya strategis karena lokasinya yang mudah diakses atau berada di pinggir jalan besar dibiarkan begitu saja dalam waktu yang cukup lama sehingga tidak produktif. Bangunan atau komplek pertokoan yang sudah dibangun dan siap dioperasikan ternyata menghadapi kendala teknis operasional sehingga tidak mampu menghasilkan keuntungan. Banyaknya permasalahan yang dihadapi bandha wakaf seperti di atas telah menimbulkan banyak pertanyaan dan kegelisahan bagi peneliti mengenai model pengelolaan dan pengembangan yang dijalankan oleh para pengelola bandha wakaf. Sementara itu, merekomendasikan
agar
ide
yang berkembang tentang wakaf produktif
manajemen
wakaf
dilakukan
berdasarkan
ilmu
manajemen perusahaan mengingat adanya kedekatan antara keduanya yaitu samasama menjalankan unit-unit usaha atau bisnis dengan tujuan mencari keuntungan. Pada sisi lain, krisis yang terjadi pada dunia usaha beberapa tahun terakhir telah melahirkan suatu konsep tata kelola perusahaan dikenal dengan istilah good corporate governance. Penyelenggaraan perusahaan yang menerapkan prinsipprinsip good corporate governance diyakini dapat meningkatkan kinerja perusahaan sehingga memberikan dampak positif bagi stakeholders.
7
Selain itu, setiap unit bisnis jika dikelola dengan baik diyakini akan mengalami perkembangan yang berdampak pada besarnya keuntungan yang diperoleh. Pengembangan unit-unit usaha tersebut dapat dilakukan dengan memaksimalkan potensi yang ada pada setiap unit usaha dan dapat pula dilakukan dengan menambah unit-unit usaha baru yang berbeda dengan unit-unit usaha yang telah dikembangkan sebelumnya. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bermaksud mendeskripsikan model pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf Masjid Agung Semarang ditinjau dari dua kerangka teori di atas. Seperti diketahui, bandha wakaf memiliki aset yang besar dan berpotensi menjadi sumber dana abadi yang dapat digunakan untuk menutup biaya operasional Masjid Agung Semarang sehingga menjadi masjid yang mandiri dan mampu memberdayakan masjid-masjid lain, bahkan memberdayakan golongan ekonomi lemah secara umum. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam dua pertanyaan utama, yaitu mengenai model pengelolaan bandha wakaf dan model pengembangan bandha wakaf. Pertanyaan pertama dikaitkan dengan teori tata kelola perusahaan yang baik atau dikenal dengan teori good corporate governance. Penggunaan teori ini dilatarbelakangi oleh pentingnya penerapan tata kelola yang baik bagi sebuah lembaga yang menjalankan unit-unit usaha atau bisnis. Secara kongkret, pertanyaan dalam rumusan ini dikaitkan dengan
implementasi
pengelolaan
bandha
prinsip-prinsip wakaf,
yaitu
good prinsip
8
corporate
governance
transparency,
dalam
accountability,
responsibility, independency, dan fairness seperti yang dirumuskan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). Pertanyaan kedua dikaitkan dengan teori pengembangan usaha yang dapat dilakukan melalui berbagai strategi, diantaranya strategi diferensiasi, diversifikasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi. Penggunaan strategi-strategi tersebut diyakini dapat meningkatkan kinerja lembaga wakaf, baik dari segi intensifikasi usaha, ekstensifikasi usaha, maupun diversifikasi usaha. Berpijak dari uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana model pengelolaan bandha wakaf Masjid Agung Semarang? 2. Bagaimana model pengembangan bandha wakaf Masjid Agung Semarang? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Untuk merumuskan model pengelolaan bandha wakaf Masjid Agung Semarang. 2. Untuk merumuskan model pengembangan bandha wakaf Masjid Agung Semarang. D. Signifikansi Penelitian 1. Untuk Ilmuwan Wakaf dan Hukum Islam Dalam perspektif ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu agama Islam, khususnya dalam bidang pengelolaan dan pengembangan aset wakaf. Dalam kajian Islam, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi penggunaan teoriteori manajemen untuk dijadikan sebagai pisau analisis bagi manajemen
9
lembaga wakaf maupun lembaga sejenis. Teori-teori tersebut dapat dikembangkan, diperbaiki kekurangannya, dan diadopsi kelebihannya. 2. Untuk Praktisi Pengelola Wakaf Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengelola wakaf masjid agar dapat mengembangkan aset wakaf menjadi lebih produktif sehingga dapat mewujudkan kemandirian masjid secara finansial dan tidak menggantungkan dana kegiatan masjid dari infak rutin atau donasi dari jamaah atau warga di sekitar masjid. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi terwujudnya tata kelola wakaf yang baik, diantaranya dengan menjadikan prinsip-prinsip good corporate governance sebagai acuan dalam menjalankan lembaganya. Penerapan
good
corporate
governance
diharapkan
dapat
membantu
tercapainya manajemen wakaf yang transparan, akuntabel, dan independen. Dalam hal pengembangan usaha, pengelola lembaga wakaf dapat menggunakan berbagai strategi dan teknik dalam upayanya mengembangkan aset wakaf dengan baik agar lebih produktif dan mendatangkan hasil yang signifikan. 3. Untuk Pengambil Kebijakan dalam Bidang Wakaf
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemegang kebijakan dalam bidang wakaf agar dapat mendukung program-program pemberdayaan yang dapat dirasakan manfaatnya oleh pihak-pihak yang berhak menerimanya. Keberadaan lembaga wakaf dapat diharapkan membantu
10
program-program pemberdayaan masyarakat apabila dikelola secara transparan dan akuntabel. Pemerintah bisa mendorong lembaga wakaf untuk mewujudkan tata kelola wakaf yang baik, diantaranya melalui sosialisasi Undang-Undang Wakaf dan memastikan adanya kepatuhan lembaga-lembaga wakaf terhadap UndangUndang Wakaf tersebut. 4. Untuk Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan inspirasi akan pentingnya penggunaan teori-teori manajemen, seperti good corporate governance, sebagai tool atau alat untuk menganalisis proses manajemen pada lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya. Dari segi pengembangan usaha, penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi akan pentingnya menggunakan teori-teori perluasan usaha untuk mengembangkan unit-unit usaha bagi lembaga philanthropy dan keagamaan. Perluasan usaha bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan cara memaksimalkan potensi usaha yang sudah ada dan merambah jenis-jenis usaha baru untuk mengembangkan potensi-potensi bisnis yang belum diberdayakan. E. Penelitian Terdahulu yang Relevan Pada akhir-akhir ini, penelitian tentang wakaf banyak dilakukan para peneliti, baik di Indonesia maupun di negara lain. Muh}ammad ‘Abid ‘Abdulla>h al-Kabi>si> (2004) menyusun disertasi yang diajukan pada Program Pascasarjana Universitas al-Azhar asy-Syari>f, Cairo, Mesir tentang wakaf dengan judul Ahka>m al-Waqfi fi> asy-Syari>’ah al-
11
Isla>miyah. Disertasi ini telah diterbitkan menjadi buku dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf. Sebagai karya disertasi, buku ini disusun berdasarkan kaidah akademik yang baik dan cukup lengkap membahas tentang wakaf ditinjau dari hukum Islam. Bagi pemerhati, pengelola, dan peneliti wakaf, buku ini dapat membantu upaya pencarian hukum-hukum wakaf, pengalihan atau penjualan aset wakaf, tanggung jawab pengelola wakaf, dan upaya penyelesaian atas sengketa wakaf. Namun demikian, buku ini tidak lepas dari kekurangan, diantaranya dari segi kontekstualitas isu-isu yang dibahas dan profesionalisme nazhir. Dari segi kontekstualitas isu, fokus penelitian ini terbatas pada masalah-masalah yang menjadi polemik pada masa-masa ulama mazhab dan tidak banyak mengkaji permasalahan wakaf yang terjadi pada saat ini. Mengenai nazhir, penelitian ini juga terkesan mencari solusi bagi permasalahan wakaf yang dikelola secara tradisional sehingga tidak bisa secara langsung dicerna oleh para pengelola wakaf yang menghadapi permasalahan yang berbeda dengan permasalahan yang dihadapi pengelola wakaf tradisional. Kha>lid ‘Abdulla>h as-Syu’aib (2006) melakukan penelitian disertasi dengan judul an-Naz}a>rah ‘ala> al-Waqfi atau Kenazhiran dalam Wakaf. Seperti diketahui, di antara permasalahan yang terjadi pada pengelolaan wakaf adalah masalah nazhir, seperti profesionalisme nazhir dan kualitas sumber daya nazhir. As-Syu’aib berusaha menggali posisi nazhir wakaf tersebut secara mendalam dan
12
komprehensif dengan menggunakan metode komparasi mazhab fikih. Di antara kelebihan penelitian ini adalah berhasil menghadirkan kepada pembaca mengenai status kenazhiran dalam bidang wakaf secara menyeluruh. Sebelum penelitian asSyu’aib ini, kajian mengenai nazhir biasanya dijadikan sebagai salah satu bagian dari permasalahan yang terjadi pada tema yang lebih besar, yaitu mengenai pengelolaan wakaf itu sendiri. Setelah ada penelitian ini, pengelola maupun peneliti wakaf yang berusaha mencari status hukum nazhir wakaf tidak perlu lagi merujuk pada referensi-referensi klasik. Hasil penelitian as-Syu’aib mampu menjawab permasalahan yang biasa terjadi pada nazhir-nazhir wakaf menurut pandangan ulama mazhab. Namun demikian, penelitian ini tidak memasuki ranah profesionalisme nazhir yang menjadi permasalahan utama pada pengelolaan wakaf saat ini. Pengelola wakaf kontemporer tidak bisa menemukan jawaban bagi pertanyaan apa yang harus dilakukan nazhir untuk mengembangkan investasi wakaf uang atau investasi pada sektor riil yang menuntut kualitas dan profesionalisme nazhir. Ibra>hi>m Mah}mu>d ‘Abd al-Ba>qi> (2006) menyusun disertasi dengan judul Daur al-Waqfi fi> Tanmiyat al-Mujtama’ al-Madani>: Numu>zaj alAma>nah al-A>mmah li al-Awqa>f bi Daulat al-Kuwait atau Peran Wakaf dalam Mengembangkan Masyarakat Sipil: Studi Kasus pada Lembaga al-Ama>nah alA>mmah li al-Awqa>f di Kuwait. Penelitian ini berusaha mengemukakan peran wakaf yang dikelola oleh al-Ama>nah al-A>mmah li al-Awqa>f terhadap perkembangan masyarakat sipil di negara Kuwait. Peneliti berhasil mengungkap peran lembaga tersebut dalam bidang pengembangan dakwah, pengembangan
13
pendidikan dan ilmu pengetahuan, pengembangan sarana-sarana yang dibutuhkan masyarakat dan perbaikan lingkungan, dan peran lembaga dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat. Menurut peneliti, Lembaga al-Ama>nah al-A>mmah li alAwqa>f telah berhasil mengelola wakaf dengan baik sehingga mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pengembangan masyarakat sipil, khususnya dalam bidang-bidang yang menjadi fokus penelitian. Hanya saja, pada saat penulis membaca hasil penelitian ini muncul kesan peneliti lebih banyak memunculkan sisi-sisi positif dan tidak melakukan analisiskritis terhadap lembaga yang menjadi obyek penelitian. Buku ini akan terasa lebih komprehensif jika disertai dengan pembahasan mengenai kekurangan-kekurangan atau program-program yang belum berhasil direalisasikan oleh al-Ama>nah alA>mmah li al-Awqa>f dan bagaimana cara mencari solusi bagi permasalahanpermasalahan yang dihadapi lembaga wakaf bersekala nasional seperti alAma>nah al-A>mmah li al-Awqa>f. Munzir Qah}af (2006) menyusun buku dengan judul al-Waqf al-Isla>mi>: Tat}awwuruhu,
Ida>ratuhu,
Tanmiyyatuhu.
Penelitian
Qah}af
ini
dapat
dikategorikan sebagai penelitian yang membahas tentang isu-isu kontemporer tentang wakaf, terutama berkaitan dengan masalah pengelolaan dan pengembangan harta wakaf. Dibandingkan dengan buku-buku tentang wakaf lainnya, buku yang disusun Qah}af ini memberikan banyak informasi yang tidak diberikan oleh bukubuku atau hasil-hasil penelitian tentang wakaf. Dalam buku ini, Qah}af menjelaskan
upaya-upaya
yang
dapat
dilakukan
nazhir
dalam
rangka
mengembangkan harta wakaf, baik dalam bentuk-bentuk investasi harta wakaf
14
secara tradisional maupun investasi wakaf yang dikenal dalam manajemen investasi modern yang biasa membagi dua bentuk investasi, yaitu real assets investment dan financial assets investment. Qah}af juga berusaha memberi solusi bagi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh nazhir dalam rangka mengembangkan harta wakaf yang sebagian besar berupa aset tanah atau tempat ibadah. Selain itu, Qah}af juga memberikan dua contoh negara yang berhasil mengembangkan wakaf secara produktif, yaitu eksperimen Sudan dan Kuwait. Penelitian mengenai bandha wakaf Masjid Agung Semarang pernah dilakukan oleh Mamik Sunarti (2006) dengan judul Analisis Hukum Islam terhadap Pemberdayaan Ekonomi Harta Wakaf (Studi Lapangan Harta Wakaf Masjid Agung Semarang). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberdayaan harta wakaf yang dilakukan oleh pengelola belum dikatakan ideal sebab hanya dilakukan dalam bentuk pemberdayaan SPBU, pembangunan pertokoan yang berlokasi di belakang Masjid Agung Semarang, dan penyewaan perkantoran. M. Husein (2006) melakukan penelitian yang lebih spesifik lagi, yaitu mengenai Pengelolaan Tanah Wakaf Produktif (Studi Kasus Tanah Wakaf dalam Bentuk Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Kelurahan Sawah Besar Kecamatan Gayamsari Kota Semarang). Sesuai judulnya, penelitian ini membahas salah satu model pemberdayaan tanah wakaf yang dimiliki Masjid Agung Semarang, yaitu dalam bentuk Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Fokus penelitian ini adalah pengelolaan tanah wakaf produktif yang diberdayakan dalam bentuk SPBU. Menurut peneliti, pengelolaan tanah wakaf dalam bentuk
15
SPBU ini telah berhasil menerapkan konsep wakaf produktif yang dikelola secara baik dan profesional. Ismawati (2007) pernah melakukan penelitian tesis dengan judul Sengketa Tanah Wakaf (Studi terhadap Tanah Wakaf Bandha Masjid Agung Semarang). Penelitian Ismawati dimulai dengan latar belakang beredarnya kasus besar pada akhir dekade 1990-an yang menyita perhatian publik Jawa Tengah, yakni skandal penyalahgunaan tanah wakaf milik Masjid Agung Semarang. Tanah wakaf Masjid Agung Semarang yang luasnya mencapai sekitar 119,1270 hektar tidak jelas keberadaanya. Permasalahan yang diangkat adalah penyelesaian sengketa tanah wakaf bandha Masjid Agung Semarang dan kendala-kendala yang dihadapi dalam penyelesaian sengketa tersebut serta solusinya. Sesuai dengan judulnya, penelitian ini menekankan pada masalah sengketa penukaran tanah wakaf bandha Masjid Agung Semarang, berusaha mencari sebabsebab yang melatarbelakanginya, dan berusaha mencari solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut. Penelitian tentang manajemen investasi wakaf pernah dilakukan Rozalinda (2010) pada saat menyusun penelitian disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islan Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah dengan judul Pengelolaan Wakaf Uang: Studi Kasus pada Tabung Wakaf Indonesia (TWI) Dompet Dhuafa Republika. TWI merupakan lembaga yang secara khusus melakukan pengelolaan wakaf uang dan dilakukan secara terpisah dengan pengelolaan zakat. Fokus penelitian Rozalinda adalah aspek manajemen wakaf uang yang terdiri dari
16
manajemen fundraising, manajemen investasi, manajemen distribusi hasil wakaf, dan manajemen sumber daya manusia para pengelolanya. Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai pioner bagi penelitian disertasi yang membahas tentang wakaf uang. Sebelum Rozalinda, penelitian tentang wakaf lebih banyak dilakukan pada obyek wakaf tradisional, yaitu wakaf tanah dan bangunan. Demikian pula dengan lembaga yang dipilih, yaitu TWI, dapat dikategorikan sebagai pioner bagi lembaga wakaf yang secara khusus mengembangkan wakaf, khususnya wakaf uang. Karena obyek wakafnya berupa uang, maka manajemen investasi yang dilakukan oleh TWI dan dijadikan sebagai bahan analisis bagi penelitian ini adalah manajemen investasi yang berkaitan dengan financial investment atau investasi pada sektor keuangan. Penelitian ini tidak banyak memberikan kontribusi bagi manajemen investasi yang melibatkan sektor riil. Padahal investasi pada sektor riil ini, khususnya dalam bidang investasi wakaf, masih memerlukan banyak kajian, mengingat sebagian besar aset wakaf yang ada di Indonesia merupakan wakaf tanah dan bangunan. Penelitian mengenai wakaf dengan menggunakan pendekatan manajemen pernah dilakukan oleh Sudirman (2012) dengan judul Implementasi Nilai Total Quality Management dalam Pengelolaan Wakaf di Dompet Dhuafa dan Pondok Pesantren Tebuireng. Penelitian ini memberikan warna baru bagi pengelolaan wakaf, yaitu mengaitkannya dengan nilai-nilai Total Quality Management (TQM), khususnya implementasi nilai-nilai fokus pada pelanggan, perbaikan proses, dan keterlibatan total. Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis
17
komparatif yaitu membandingkan implementasi nilai-nilai TQM tersebut pada kedua lembaga yang menjadi obyek penelitian. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Dompet Dhuafa dan PP Tebuireng telah memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan, melakukan sejumlah kegiatan yang berorientasi kepada perbaikan, dan melibatkan seluruh elemen lembaga. Penelitian wakaf lainnya dilakukan Nurul Iman (2012). Penelitian ini berusaha mengaitkan wakaf dengan kemandirian pendidikan. Lapangan yang menjadi kancah penelitian adalah Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) Ponorogo. Penelitian ini menyimpulkan bahwa PMDG telah berhasil mewujudkan kemandirian yang dimaknai secara utuh karena meliputi kemandirian lembaga dan organisasinya,
kemandirian
sistem
pendidikan,
kemandirian
kurikulum,
kemandirian pendanaan, dan kemandirian para penghuninya. Selain itu, dari segi aset wakaf, penelitian Nurul Iman menjelaskan bahwa pada mulanya wakaf Pondok Gontor berawal dari keluarga pendiri. Pondok Gontor diawali dengan Pesantren Gontor Lama yang dirintis Kiai Sulaiman Jamaluddin sebagai pelaksanaan amanat mertuanya Kiai Chalifah, pimpinan Pesantren Tegalsari,
yang pada saat itu sedang mengalami kemunduran. Dalam
perjalanannya, Pondok Gontor Lama pernah mengalami masa-masa kejayaan sebelum akhirnya mengalami penurunan karena masalah kaderisasi yang tidak berjalan baik (Iman, 2012: 139). Pondok Gontor Lama dilanjutkan dengan fase Pondok Gontor Baru (Modern) yang didirikan oleh Ahmad Sahal, Zainuddin Fannani, dan Imam Zarkasyi yang merupakan keturunan dari pengurus Pondok Gontor Lama. Pondok
18
Gontor Baru diresmikan pada tanggal 20 September 1926 dengan modal aset berupa masjid tua dan sedikit tanah peninggalan kedua orang tua mereka (Iman, 2012: 141). Pada tahun 1958, bertepatan dengan peringatan 4 windu berdirinya Pondok Gontor Baru, pengasuh resmi mewakafkan pondok tersebut kepada umat Islam dan dikelola oleh Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM). Pada saat diwakafkan, aset tanah Gontor sebanyak 18,59 hektar dan pada tahun 2010 telah berkembang menjadi seluas 605,4235 hektar (Iman, 2012: 223). Aset-aset wakaf tersebut secara umum diperoleh melalui wakaf, hibah, tukar-menukar, dan pembelian (Iman, 2012: 224). Perolehan tanah melalui wakaf hanya pada masa awal Pondok, tetapi dalam perkembangannya banyak aset baru yang berasal dari pembelian. Sampai saat ini, belum ada data lebih rinci mengenai tanah yang merupakan hasil wakaf, hibah, ataupun pembelian (Iman, 2012: 227). Gambar 1.1 Skema Model Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf YPPWPM Gontor
19
Dalam perkembangannya, aset wakaf Pondok Gontor telah berkembang menjadi aset wakaf langsung berupa operasional lembaga pendidikan dan pengembangan keilmuan, baik formal maupun non formal, dan aset wakaf produktif yang digunakan untuk menopang kemandirian operasional wakaf langsung atau konsumtif tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, model pengelolaan dan pengembangan wakaf yang dikelola oleh Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern (YPPWPM) Gontor dapat dirumuskan dalam skema model seperti dijelaskan gambar 1.1. Banyaknya penelitian yang dilakukan tentang wakaf dan beragamnya kancah yang dijadikan studi kasus membuktikan bahwa permasalahan wakaf telah menjadi obyek penelitian yang dinamis dan terus berkembang. Secara ringkas, penelitian-penelitian terdahulu tentang wakaf di atas dapat dilihat pada tabel 1.2. Penelitian-penelitian tersebut dengan sendirinya menjelaskan posisi penelitian ini
20
yang hingga saat ini belum ditemukan kedekatan fokus permasalahannya, yaitu mengenai bandha wakaf Masjid Agung Semarang ditinjau dari implementasi prinsip-prinsip good corporate governance dan teori pengembangan usaha. Penelitian al-Kabi>si> (2004), al-Syu’aib (2006), al-Ba>qi> (2006), dan Qah}af (2006), meskipun membahas tentang pengelolaan wakaf, masing-masing memiliki space kajian yang berbeda dengan penelitian ini. Penelitian al-Kabi>si> (2004) menekankan pada kajian normatif, as-Syu’aib (2006) fokus kepada masalah kenazhiran, al-Ba>qi> (2006) menekankan pada kontribusi wakaf bagi pengembangan masyarakat madani, dan Qah}af (2006) merumuskan tentang pengelolaan wakaf pada era modern secara umum. Selain itu, obyek penelitian dari para peneliti tersebut memiliki latar belakang masyarakat Timur Tengah yang berbeda dengan latar belakang masyarakat yang melingkupi bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Penelitian Ismawati (2007) mengenai bandha wakaf Masjid Agung Semarang mengfokuskan kepada sengketa penukaran tanah wakaf yang pernah menjadi konsumsi berita media di Jawa Tengah dan upaya pencarian solusi bagi permasalahan tersebut. Penelitian ini tidak memasuki ranah pengelolaan dan peruntukan hasil wakaf yang diperoleh pengelola wakaf. Penelitian Sunarti (2006) dan Husein (2006) dapat dijadikan sebagai penelitian pendahuluan dan merupakan bagian penting dari penelitian ini. Penelitian Sunarti (2006) memberikan banyak informasi mengenai keberadaan aset bandha wakaf Masjid Agung Semarang dan pemberdayaannya. Namun, penelitian ini terbatas pada upaya peneliti untuk menemukan bentuk-bentuk produktivitas wakaf yang dikelola oleh BKM Kota Semarang. Penelitian ini tidak melakukan
21
analisis tentang implementasi prinsip-prinsip manajemen yang dilakukan oleh para pengelola bandha wakaf. Demikian pula, penelitian ini tidak membahas pengelolaan bandha wakaf yang dikelola oleh Badan Pengelola Masjid Agung Semarang dan Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah, serta bagaimana hubungan kedua lembaga tersebut dengan BKM ketika mengelola dan mengembangkan obyek yang sama, yaitu bandha wakaf, namun dengan manajemen yang berbeda. Penelitian Husein (2006) menitikberatkan pada aspek produktivitas aset wakaf dan pada aspek manajemen SPBU. Husein tidak mempermasalahkan bagaimana pengelolaan dan pengembangan SPBU tersebut dan seberapa besar kontribusinya bagi Masjid Agung Semarang. Dibandingkan penelitian sebelumnya, penelitian ini memiliki spesifikasi permasalahan
yang
dibahas,
yaitu
berusaha
menganalisis
model-model
pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf dengan menjadikan teori good corporate governance dan teknik pengembangan usaha sebagai pisau analisis. Sebagai model, bandha wakaf Masjid Agung Semarang dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu wakaf secara langsung (konsumtif) dan wakaf produktif. Kedua bentuk tersebut terbagi dalam kamar-kamar model yang sebagian sudah menjadi model pengelolaan yang dapat ditiru dan sebagian lainnya masih dalam tahap pengembangan. Berdasarkan pembagian di atas, aset wakaf yang dikelola secara produktif berperan sebagai penyandang dana bagi kegiatan yang bersifat konsumtif. Dengan demikian, kondisi bandha wakaf Masjid Agung Semarang akan berjalan secara
22
sinergis dan dinamis. Hal ini juga berkaitan dengan penyaluran hasil wakaf kepada pihak yang menjadi mauqu>f ‘alaih, yaitu Masjid Agung Semarang. Sebab dalam masalah wakaf, peruntukan harta benda wakaf menjadi unsur penting yang tidak boleh diabaikan. Seperti diketahui, wakif (orang yang berwakaf) memiliki hak penuh atas harta yang diwakafkannya, termasuk diantaranya hak menentukan pihak-pihak yang menjadi penerima hasil wakaf atau mauqu>f ‘alaih. Dalam kasus bandha wakaf Masjid Agung Semarang, pihak yang menjadi mauqu>f ‘alaih adalah Masjid Agung Semarang, sehingga seluruh hasil pengelolaan bandha wakaf Masjid Agung Semarang mestinya disalurkan kepada masjid tersebut. Namun pada perkembangannya, bandha wakaf Masjid Agung Semarang dikelola oleh tiga lembaga berbeda, yaitu BKM Kota Semarang, Badan Pengelola Masjid Agung Semarang, dan Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah. Menurut peneliti, permasalahan ini berhak mendapatkan space kajian yang mendalam agar posisi bandha wakaf Masjid Agung Semarang kembali kepada jalurnya sesuai dengan hukum wakaf seperti dijelaskan baik oleh fikih Islam maupun Undang-Undang Wakaf. Penelitian
ini
bertujuan
merumuskan
model
pengelolaan
dan
pengembangan bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Rumusan model yang berhasil dideskripsikan selanjutnya dikomunikasikan dengan rumusan konsep atau teori model pengelolaan dan pengembangan wakaf yang telah dihasilkan oleh pakar-pakar wakaf sebelumnya dan dibandingkan dengan rumusan model pengelolaan dan pengembangan wakaf yang telah dijalankan oleh lembaga wakaf yang layak dijadikan rujukan. Tahapan selanjutnya adalah merumuskan model
23
pengelolaan dan pengembangan wakaf yang telah diperkaya dengan hasil-hasil pemikiran dan temuan lapangan dalam penelitian ini. Rumusan model tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan teori tentang model pengelolaan dan pengembangan wakaf yang telah dirumuskan sebelum penelitian ini dilakukan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya tentang bandha wakaf Masjid Agung Semarang dan dapat memberikan informasi aktual bagi pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf, khususnya ditinjau dari segi implementasi prinsip-prinsip good corporate governance dan implementasi teori pengembangan usaha bagi lembaga wakaf. Akhirnya, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dengan mengisi kekosongan bagi kajian wakaf ditinjau dari sisi manajemen modern dengan menjadikan bandha wakaf sebagai obyek penelitian.
24
No Tahun 1
2004
Peneliti Muh}ammad ‘Abid ‘AbdAlla>h alKabi>si>
2
2006
Kha>lid ‘Abd Alla>h alSyu’aib
3
4
5
2006
2006
2006
Ibra>hi>m Mah}mu>d ‘Abd alBa>qi>
Munzir Qah}af
Mamik Sunarti
Judul
Tabel 1.2 Penelitian Terdahulu yang Relevan Masalah
Ahka>m al-Waqfi fi> asy-Syari>’ah alIsla>miyah An-Naz}>arah ‘ala> alWaqfi
Bagaimana hukum wakaf dalam fikih Islam?
Bagaimana konsep nazhir wakaf dalam hukum Islam?
Daur al-Waqfi fi> Tanmiyat al-Mujtama’ al- Bagaimana peran lembaga Madani>: Numu>zaj al- wakaf bagi pengembangan Ama>nah al-A>mmah li masyarakat sipil? al-Awqa>f bi Daulat alKuwait Penelitian ini membahas Al-Waqf al-Isla>mi>: tentang pengelolaan dan Tat}awwuruhu, pengembangan wakaf Ida>ratuhu, produktif serta modelnya Tanmiyyatuhu. di berbagai negara. Analisis Hukum Islam Bagaimana pemberdayaan terhadap Pemberdayaan tanah wakaf dan Ekonomi Harta Wakaf bagaimana analisisnya (Studi Lapangan Harta menurut hukum Islam?
25
Pendekatan Normatif
Normatif
Empiris kualitatif
Teoritik
Normatif
Hasil Penelitian Penelitian ini menawarkan konsep pengelolaan wakaf dan penyelesaian sengketa wakaf. Penelitian mendeskripsikan syarat dan kompetensi kenazhiran dalam wakaf. Lembaga yang diteliti telah memberikan dampak yang signifikan bagi pengembangan masyarakat sipil>. Menawarkan konsep pengelolaan wakaf secara produktif dan berdasar manajemen modern. Pemberdayaan belum ideal dan belum maksimal. Jika tidak produktif, hukumnya boleh diganti dengan yang
6
7
8
9
10
2006
2007
2010
2012
2012
M. Husein
Ismawati
Rozalinda
Sudirman
Nurul Iman
Wakaf MAS). Pengelolaan Tanah Wakaf Produktif (Studi Kasus Tanah Wakaf dalam Bentuk SPBU Masjid Agung Semarang) Sengketa Tanah Wakaf (Studi terhadap Tanah Wakaf Bandha MAS)
Pengelolaan Wakaf Uang: Studi Kasus pada Tabung Wakaf Indonesia (TWI) Dompet Dhuafa Republika Implementasi Nilai Total Quality Management dalam Pengelolaan Wakaf di Dompet Dhuafa dan Pondok Pesantren Tebuireng Wakaf dan Kemandirian Pendidikan (Studi Pengelolaan Wakaf di Pondok Modern Gontor)
Bagaimana pengelolaan SPBU dan implikasi pengelolaan tanah wakaf dalam bentuk SPBU? Bagaimana penyelesaian sengketa bandha wakaf dan kendala apa yang hadapi? Bagaimanakah manajemen investasi wakaf uang yang dilakukan TWI dan pengaruhnya terhadap pemberdayaan masyarakat? Bagaimana DD PP Tebuireng melakukan fokus kepada pelanggan, perbaikan proses, dan keterlibatan total dalam bidang pengelolaan wakaf? Sejauhmana sumbangan wakaf dalam memandirikan pendidikan Ponpes Gontor?
26
Deskriptif kualitatif
Yuridis empiris
Kualitatif
Manajemen
Fenomenologis
lebih produktif. Pengelolaan harta wakaf dalam bentuk SPBU telah menerapkan konsep wakaf produktif dan berjalan baik. Diselesaikan dengan kesepakatan dan tekanan dari berbagai pihak. Kendala utamanya tidak jelas secara administratif. Manajemen investasi wakaf uang TWI telah berjalan cukup efektif dan berperan bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat. Lembaga yang diteliti telah berhasil menerapkan nilai-nilai TQM tersebut dalam mengelola wakaf.
Wakaf telah memberikan sumbangan materiil dan non material bagi kemandirian pendidikan.
Sumber: Diolah dari kajian pustaka yang relevan dengan penelitian ini.
27
F. Kerangka Teori 1. Model Tata Kelola Wakaf Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2002: 751) mendefinisikan model sebagai pola (contoh, acuan, dan ragam) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan. Istilah model dipahami sebagai gambaran atau representasi dari sebuah kenyataan. Di dalam sebuah model terdapat seperangkat variabel yang saling berkaitan dalam pola hubungan tertentu sehingga realitas yang ada dapat dipahami secara rinci. Sedangkan tata kelola merupakan terjemahan dari kata governance yang mencerminkan adanya hubungan yang baik di antara stakeholders. Tata kelola yang baik mengandung arti keterlibatan aktif dari pihak-pihak terkait, transparansi, bertanggung jawab, efektif, adil, menjamin adanya supremasi hukum, menjamin bahwa prioritas politik, sosial, dan ekonomi, serta memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan (Sedarmayanti, 2007: 3). Kata wakaf didefinisikan sebagai akad menahan aset wakaf dan menyalurkan manfaatnya pada sabi>lilla>h (Hamma>d, 1995: 353). Definisi ini memberi pengertian bahwa wakaf memang harus menghasilkan sesuatu yang akan disalurkan kepada pihak yang berhak menerimanya. Artinya, jika tidak menghasilkan, maka maksud disyariatkannya wakaf menjadi tidak tercapai. Pasal 1 poin (5) PP tentang Pelaksanaan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mendefinisikan pihak yang berhak menerima manfaat wakaf
28
adalah pihak yang ditunjuk untuk memperoleh manfaat dari peruntukan harta benda wakaf sesuai pernyataan kehendak wakif yang dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf. Dalam kasus bandha wakaf Masjid Agung Semarang, jenis wakafnya jika ditinjau dari segi penggunaannya dibagi menjadi dua, yaitu aset bandha wakaf yang termasuk kategori wakaf konsumtif dan aset bandha wakaf yang termasuk kategori wakaf produktif. Dalam kajian model tata kelola wakaf, aset wakaf produktif berfungsi sebagai sumber pendanaan bagi aset wakaf konsumtif. Secara umum, pengelolaan bandha wakaf telah memiliki kamar-kamar model yang meliputi ragam bidang wakaf. Dalam bidang ibadah dan kegiatan keagamaan, bandha wakaf memiliki dua masjid yang menjalankan berbagai kegiatan keagamaan, seperti ibadah, dakwah, dan pengajaran agama Islam. Dalam bidang kesehatan, masing-masing masjid memiliki klinik tersendiri yang sama-sama membuka layanan kesehatan umum dan gigi. Dalam bidang bisnis, di atas bandha wakaf telah berdiri berbagai bangunan yang bernilai ekonomi tinggi, seperti SPBU, komplek pertokoan, area komersial, dan wahana wisata keluarga. Bandha wakaf juga memiliki banyak lahan yang diberdayakan dalam bentuk pertanian dan perkebunan. Model tata kelola wakaf dalam penelitian ini adalah model yang merepresentasikan pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf Masjid Agung Semarang pada saat ini. Apabila dikelola dengan baik dan benar, diprediksi aset wakaf tersebut dapat berkembang dan memberikan hasil yang
29
lebih besar. Demikian pula sebaliknya. Dalam model ini, diharapkan akan ditemukan rekomendasi-rekomendasi yang dapat dijadikan sebagai jawaban atas persoalan-persoalan yang terjadi dan langkah-langkah yang perlu diambil. Dengan demikian, istilah model dalam penelitian ini tidak dimaksudkan sebagai representasi dari pengelolaan dan pengembangan aset wakaf yang telah berhasil mewujudkan tujuan wakaf dan berdampak bagi kesejahteraan kaum d{u’afa>~. Istilah model dalam penelitian ini lebih tepat diartikan sebagai suatu cara dalam mengelola dan mengembangkan aset wakaf dengan mengambil kasus pada bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Dari segi waktu, model tata kelola bandha wakaf bersifat dinamis yang tidak mengikat lembaga lain untuk menirunya. Sehingga model pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf dapat ditiru lembaga wakaf lainnya pada waktu yang berbeda dan dapat berjalan pada rentang waktu yang berbeda pula dengan model yang ditiru. Model dalam penelitian ini tidak dimaksudkan untuk ditiru seperti apa adanya, melainkan hanya sebagai model analog yang dapat diambil karakteristik-karakteristik utamanya saja untuk dikembangkan pada kasus berbeda dengan memperhatikan kondisi yang spesifik pada kasus tersebut. Hal ini perlu ditegaskan karena tidak semua yang terjadi dalam kasus bandha wakaf layak dijadikan sebagai acuan karena masih banyaknya kelemahan yang dapat ditemukan dengan mudah dalam sistem pengelolaannya. Namun demikian, pengelolaan bandha wakaf telah membuka kamar-kamar model yang dapat dikembangkan lebih lanjut dan diharapkan dapat memberi kontribusi yang signifikan.
30
2. Manajemen dan Fungsi-fungsi Manajemen Terry (2005: 1) mendefinisikan manajemen sebagai proses atau kerangka kerja yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang ke arah tujuan-tujuan organisasional atau maksud-maksud yang nyata. Menurut Nickels, McHugh And McHugh dalam Sule (2005: 8), fungsi-fungsi manajemen terdiri dari empat fungsi, yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing), dan pengendalian (controlling). Berikut ini uraian mengenai fungsi-fungsi manajemen di atas, yaitu: a. Perencanaan (Planning) Handoko (1990: 77) mendefinisikan perencanaan sebagai pemilihan sekumpulan kegiatan dan pemutusan selanjutnya apa yang harus dilakukan, kapan, bagaimana, dan oleh siapa. Sule (2005: 11) menjelaskan langkahlangkah yang harus dilakukan dalam menjalankan fungsi perencanaan, yaitu menetapkan tujuan, merumuskan strategi, menentukan sumbersumber daya, dan menetapkan standar atau indikator keberhasilan dalam pencapaian tujuan dan target organisasi. b.
Pengorganisasian (Organizing) Fungsi pengorganisasian bertujuan menentukan kegiatan apa yang harus dikerjakan, siapa yang mengerjakan, bagaimana cara mengerjakan, dan siapa yang bertanggung jawab atas kegiatan tersebut. Sule (2005: 11) menjelaskan langkah-langkah yang ditempuh dalam menjalankan fungsi pengorganisasian, yaitu mengalokasikan sumber daya, menetapkan struktur
31
organisasi yang jelas, melakukan perekrutan, penyeleksian, pelatihan, dan pengembangan sumber daya manusia atau tenaga kerja, serta menempatkan sumber daya pada posisi yang tepat. c. Pengarahan (Directing) Terry (2005: 181) mendefinisikan pengarahan sebagai proses mengintegrasikan usaha-usaha anggota suatu kelompok organisasi, sehingga dengan selesainya tugas-tugas yang diserahkan kepada mereka, mereka memenuhi tujuan-tujuan individual dan kelompok. Sebagian pakar manajemen menggunakan istilah lain untuk menggantikan fungsi directing ini. James AF Stoner (1996: 73) dan Griffin dalam Sule (2005: 8) menggunakan istilah leading, ssedangkan George Terry dalam Sule (2005: 9) memilih istilah actuating. d. Pengendalian (Controlling) Robert J. Mockler, sebagaimana dikutip Handoko (1990: 359), memberikan definisi pengendalian sebagai usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur
penyimpangan-penyimpangan,
serta
mengambil
tindakan
koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
32
Mengenai
cara
pengendalian,
Hasibuan
(2003:
245-246)
menjelaskan ada tiga cara pengendalian yang dapat dilakukan manajer, yaitu
pengendalian
langsung,
pengendalian
tidak
langsung
atau
pengendalian jarak jauh, dan pengendalian berdasarkan pengecualian. Selain itu, ilmu manajemen juga mengenal fungsi-fungsi manajemen lain yang penting diimplementasikan dalam menjalankan roda organisasi, terutama pada organisasi besar, terdiri dari banyak bagian, dan memiliki program kerja yang komplek.
Diantaranya yang perlu dijelaskan dalam
penelitian ini adalah fungsi penganggaran (budgeting), pemberian motivasi (motivating),
memberdayakan
(empowering),
dan
pengkoordinasian
(coordinating). Penganggaran atau budgeting adalah perencanaan yang rinci untuk masa depan
yang dinyatakan secara kuantitatif dan lebih spesifik
memperlihatkan bagaimana sumber daya didapat dan digunakan pada periode tertentu dengan mengidentifikasi tujuan dan tindakan yang diperlukan untuk mencapainya (Lestari, 2009: 6). Biasanya, anggaran disusun untuk jangka waktu satu tahun, dinyatakan dalam satuan moneter, dan dimaksudkan untuk mencapai sasaran organisasi selama periode yang dianggarkan. Anggaran berkaitan dengan manajemen keuangan yang akan direalisasikan pada jangka waktu tertentu. Rencana keuangan seperti ini biasa disebut dengan istilah budgeting (Muhammad, 2008: 283). Anggaran merupakan salah satu tool yang penting bagi suatu perusahaan untuk mencapai tujuannya. Dalam rencana keuangan (budgeting), terdapat empat unsur penting yang perlu diperhatikan,
33
yaitu rencana kegiatan yang akan direalisasikan pada jangka waktu tertentu, bersifat komprehensif karena meliputi seluruh kegiatan yang direncanakan, dinyatakan dalam satuan unit moneter, dan unsur waktu yang dinyatakan dalam jangka waktu tertentu pada masa mendatang (Munandar, 2001: 1-6). Pemberian motivasi (motivating) menurut Bernard Berelson dalam Suryana (http://file.upi.edu)8 didefinisikan sebagai keadaan kejiwaan dan sikap mental manusia yang memberikan energi, mendorong kegiatan atau gerakan, mengarahkan, dan menyalurkan perilaku ke arah pencapaian kebutuhan yang memberikan
kepuasan
atau
mengurangi
ketidakseimbangan.
Dalam
manajemen, motivasi hanya ditunjukkan kepada sumber daya manusia, khususnya kepada para bawahan atau pengikut, dan mempersoalkan bagaimana cara mengarahkan daya dan potensi anggota organisasi agar mau bekerjasama secara produktif sehingga berhasil mewujudkan tujuan yang telah ditentukan sebelumnya (Hasibuan, 2003: 216). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 1994: 213), kata memberdayakan (empowering) berasal dari kata daya yang berarti kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak. Ginanjar Kartasasmita dalam Mubyarto
(2000:
263)
mendefinisikan
pemberdayaan
sebagai
upaya
membangun daya dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran
akan
potensi
yang
dimilikinya
serta
berupaya
untuk
mengembangkannya. Pengkoordinasian (coordinating) merupakan fungsi manajemen yang bertujuan menyatukan, menghubungkan, dan menyelaraskan seluruh kegiatan 8
Diakses hari Senin, 07-01-2013. Pukul 13.30 WIB.
34
agar anggota organisasi dapat bekerja sama dalam mencapai tujuan organisasi (Saebani, 2010: 113). Hasibuan (2003: 85) menyatakan bahwa fungsi coordinating adalah mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsur-unsur manajemen dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi. Bagi manajer, fungsi koordinasi merupakan salah satu fungsi manajemen yang penting dan tidak mudah dilakukan karena berkaitan dengan irama langkah organisasi yang mengarah pada satu tujuan. 3. Manajemen Investasi Menurut Donald E. Fishcher dan Ronald J. Jordan, seperti dikutip Ahmad (1996: 1), investasi dimaknai sebagai komitmen untuk menempatkan dana dengan harapan untuk memperoleh keuntungan atas dana tersebut pada masa-masa yang akan datang dan juga dimaksudkan untuk mengantisipasi merosotnya nilai harta kekayaan karena digerogoti inflasi. Secara umum, investasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu investasi pada sektor riil (real assets investment) dan investasi pada sektor keuangan (financial assets investement). Real asset investment adalah komitmen mengikatkan aset pada sektor riil. Aset riil adalah aset yang memiliki sifat nyata, seperti gedung, tanah, kendaraan, mesin, dan lain sebagainya. Karena sifatnya yang berwujud, aset riil merupakan cerminan dari kekayaan masyarakat dan memiliki kontribusi secara langsung terhadap kapasitas produksi dalam suatu perekonomian (Marcus, 2006: 4). Contoh investasi pada aset nyata seperti pembelian emas, tanah, real estate, mendirikan perusahaan, membeli ruko untuk berdagang, dan membeli
35
benda-benda berharga lainnya dengan maksud untuk dijual kembali. Pada jenis investasi ini investor melakukan investasi secara langsung mengeluarkan sejumlah dana untuk membeli aset nyata. Sedangkan financial assets investment merupakan investasi yang dilakukan pada aspek keuangan, seperti saham, deposito, reksadana, obligasi, dan pasar modal. Aset finansial tidak secara langsung mencerminkan kekayaan masyarakat, sebab saham atau obligasi yang hanya merupakan lembaran kertas dan tidak memiliki kontribusi secara langsung terhadap kegiatan produksi (Marcus, 2006: 4). Contoh investasi pada asset financial adalah dengan membeli instrumen keuangan, misalnya saham dan obligasi. Instrumen ini bukan berupa aset nyata melainkan hanya berupa kertas klaim (bukti) terhadap penerbitnya. Dalam perspektif ekonomi Islam, investasi merupakan kegiatan yang dianjurkan. Banyak manfaat yang akan diperoleh dari investasi seperti ini, diantaranya harta yang dimiliki menjadi produktif dan dapat mendatangkan manfaat bagi orang lain, seperti akan membuka lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. G. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang bertujuan
mendeskripsikan
bentuk-bentuk
pengelolaan
aset
wakaf
dan
pemanfaatan hasilnya untuk Masjid Agung Semarang. Aset wakaf yang dijadikan obyek penelitian adalah bandha wakaf Masjid Agung Semarang yang dikelola dalam berbagai model oleh tiga lembaga, yaitu Badan Kesejahteraan Masjid Kota
36
Semarang, Badan Pengelola Masjid Agung Semarang, dan Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah. Data yang digali adalah data lapangan yang ada di bandha Masjid Agung Semarang. Sumber data primer yang diharapkan memberikan data secara langsung kepada peneliti berupa hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi dari BKM, BP Masjid Agung Semarang, dan BP Masjid Agung Jawa Tengah. Sedangkan sumber sekundernya adalah seluruh kepustakaan yang mendukung dan memperkuat data-data primer. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan manajemen. Menurut Putra (2013: 102), penelitian kualitatif manajemen dilakukan untuk menggali makna yang dihayati oleh para pengelola (manajer) dalam menjalankan
fungsi-fungsi
manajemen,
proses-proses
dalam
pengambilan
keputusan, sistem pengawasan, aspek kepemimpinan, dan aspek-aspek manajemen lainnya. Pendekatan manajemen dipandang cocok untuk memahami data-data penelitian yang berkaitan dengan pengelolaan bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Secara spesifik, penelitian ini menjadikan prinsip-prinsip good corporate governance sebagai pisau analisis untuk mendeskripsikan pengelolaan bandha wakaf. Seperti diketahui, tuntutan untuk menerapkan tata kelola organisasi yang baik,
termasuk
organisasi
lembaga
wakaf,
dirasakan
semakin
penting
direalisasikan. Tata kelola organisasi wakaf yang baik diharapkan dapat mengantarkan lembaga wakaf dari pola manajemen wakaf tradisional menuju pola manajemen modern yang berbasiskan pada nilai-nilai transparansi, akuntabilitas,
37
responsibilitas, keadilan, dan independensi. Manajemen wakaf yang dikelola secara tradisional, dalam banyak kasus, belum mampu mewujudkan tujuan disyariatkannya wakaf secara optimal. Banyak lembaga wakaf tradisional mengalami permasalahan manajerial yang pada akhirnya menghambat pengembangan lembaga itu sendiri, seperti tidak adanya perencanaan yang baik, kepemimpinan yang tidak demokratis, kontrol yang lemah, tidak transparan, tidak ada mekanisme pembagian tugas yang jelas, terjadi kesenjangan antara hak pengelola dengan hak mauqu>f ‘alaih, dan terjerumus pada konflik kepentingan yang tidak mudah diselesaikan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik observasi dilakukan untuk mengamati, mencatat, dan memotret segala sesuatu yang berkaitan dengan model pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Pengamatan dilakukan secara langsung di lembaga-lembaga yang bertanggung jawab mengelola dan mengembangkan bandha wakaf, yaitu Badan Kesejahteraan Masjid Kota Semarang, Badan Pengelola Masjid Agung Semarang, dan Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah. Di antara obyek yang diamati adalah kondisi bandha wakaf Masjid Agung Semarang seperti Masjid Agung Semarang dan model pengelolaannya, Masjid Agung Jawa Tengah dan model pengelolaannya, SPBU Masjid Agung Semarang, Komplek Pertokoan Wakaf Produktif (Wakaf Produktif Center) dan model pengelolaannya, dan aset-aset bandha wakaf lainnya yang diberdayakan sebagai lahan pertanian.
38
Teknik wawancara dilakukan secara terbuka terhadap para pengelola bandha wakaf Masjid Agung Semarang untuk menggali berbagai macam informasi yang berkaitan dengan model pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf Masjid Agung Semarang.
Teknik
wawancara juga
dimaksudkan untuk
mengklarifikasi temuan hasil observasi dan menemukan berbagai permasalahan yang dihadapi bandha wakaf. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam melalui tanya jawab sambil bertatap muka antara peneliti dengan informan. Menurut Bungin (2008: 108), wawancara bisa dilakukan dengan menggunakan pedoman maupun tanpa pendoman. Terhadap sebagian informan kunci, peneliti terlebih dahulu menyusun kisi-kisi pertanyaan yang diwujudkan dalam guide wawancara tertulis. Sedangkan wawancara tanpa pedoman tertulis dilakukan terhadap sebagian informan yang dimaksudkan untuk melengkapi atau mengklarifikasi data yang diperoleh sebelumnya. Selain itu, sebagian wawancara dilakukan dalam situasi yang formal dan sebagian lainnya dilakukan secara informal sesuai dengan kebutuhan dan alur pembicaraan. Selama proses wawancara berlangsung, peneliti berusaha mencatat informasi-informasi penting yang diperoleh dari sumber informasi dan merekam wawancara tersebut dengan alat perekam. Sebagian dari hasil wawancara tersebut selanjutnya ditulis dalam bentuk naskah hasil wawancara. Informan yang berhasil diwawancarai adalah para pengelola bandha wakaf Masjid Agung Semarang yang terdiri dari Badan Kesejahteraan Masjid Kota Semarang, Badan Pengelola Masjid Agung Semarang, dan Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah.
39
Sejumlah informan kunci yang berhasil diwawancarai sebagai berikut: 1. Hasan Toha Putra (Ketua Badan Pengelola Masjid Agung Semarang). Data yang diperoleh dari Hasan Toha Putra berkaitan dengan kebijakan umum Badan Pengelola Masjid Agung Semarang, visi pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf, sejarah kepemilikan SPBU MAS, hubungan antara para pengelola bandha wakaf, dan pandangan Ketua Badan Pengelola MAS tentang alternatif solusi bagi permasalahan manajerial bandha wakaf saat ini. 2. Hanif Ismail (Ketua Bidang Ketakmiran Badan Pengelola Masjid Agung Semarang). Data yang diperoleh dari Hanif Ismail berkaitan dengan kedudukan Badan Kesejahteraan Masjid sebagai nazhir bandha wakaf dan hubungan antara Badan Pengelola Masjid Agung Semarang dengan Badan Kesejahteraan Masjid. 3. Fery Pujiyanto (Manajer SPBU Masjid Agung Semarang periode 2012 sampai sekarang) dan Wahid Ahmad (Manajer SPBU Masjid Agung Semarang periode 2005-2012). Sebagai manajer dan mantan manajer SPBU, keduanya memberikan informasi penting mengenai pengelolaan SPBU, kepemilikan SPBU, biaya operasional SPBU, dan besarnya keuntungan SPBU yang disetorkan kepada Badan Pengelola Masjid Agung Semarang. 4. Ali Mufiz (Ketua Badan Pengelola MAJT), Agus Fathuddin Yusuf (Sekretaris Badan Pengelola MAJT), Muhsin Jamil (Wakil Sekretaris Badan Pengelola MAJT), Khamad Ma’shum (Ketua Bidang Usaha
40
Badan Pengelola MAJT), Muhtarom (Ketua Bidang Ketakmiran Badan Pengelola MAJT), Fatquri (Kepala Tata Usaha MAJT). Data yang berhasil diperolah dari jajaran pengurus Badan Pengelola MAJT tersebut berkaitan dengan sejarah berdirinya MAJT, model pengelolaan dan pengembangan aset-aset MAJT baik berupa aset komersial maupun non komersial, dan hubungan antara Badan Pengelola MAJT, Badan Pengelola MAS, dan BKM. 5. Joko (pengguna kios pada Masjid Agung Jawa Tengah). 6. Arifin (Staf BKM Kota Semarang). Data yang diperoleh berupa sejarah BKM sebagai nazhir bandha wakaf, model pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf terutama yang berupa lahan pertanian, perkebunan, dan hunian, hubungan antara BKM dengan pengelola bandha wakaf lainnya, dan visi BKM tentang pengembangan bandha wakaf pada masa yang akan datang. Informan-informan tersebut dianggap mengetahui secara mendalam tentang bandha wakaf Masjid Agung Semarang karena mereka terlibat secara langsung dalam proses pengelolaan bandha wakaf saat ini dan sebagian dari mereka merupakan saksi sejarah bagi perjalanan bandha wakaf pada saat mengalami proses tukar guling yang melahirkan babak baru bagi pengelolaan bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Teknik dokumentasi dilakukan untuk mengungkap data-data yang tersimpan dalam dokumen, untuk menggali data-data yang tidak dapat diperoleh melalui observasi dan wawancara, atau untuk melengkapi dan memperkuat data-
41
data yang diperoleh dari penggunaan teknik observasi dan wawancara. Teknik dokumentasi dilakukan untuk melihat dan menyelidiki data-data tertulis yang terkait dengan pengelolaan bandha wakaf Masjid Agung Semarang seperti datadata historis berupa surat-surat keputusan yang berkaitan dengan bandha wakaf Masjid Agung Semarang, dokumen mengenai program kerja, laporan-laporan kegiatan yang dilakukan BKM, BP MAS, dan BP MAJT, maupun data-data tertulis lainnya, baik yang diperoleh secara langsung dari para pengelola bandha wakaf maupun diperoleh dengan cara mengunduh (download) dari situs Badan Pengelola MAJT, yaitu www.majt.org. Dokumen-dokumen lain yang dijadikan rujukan bagi pengumpulan data penelitian ini diantaranya peraturan perundangundangan, jurnal, surat kabar, brosur, dan majalah. Data mengenai pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf yang telah berhasil digali, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Dalam penelitian ini, metode ini dilakukan dengan memaparkan hasil penelitian tentang model pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf untuk ditarik sebuah kesimpulan. Proses analisis dilakukan untuk memahami, menelaah, mendalami, dan menginterpretasikan fenomena yang muncul terkait aktifitas pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Karena penelitian ini terdiri dari dua unit analisis, yaitu tentang model pengelolaan dan model pengembangan, maka untuk memudahkan penelitian ini dalam rangka merumuskan model kedua unit analisis tersebut, peneliti menggunakan dua teori, yaitu teori good corporate governance untuk menganalisis
42
model pengelolaan bandha wakaf dan teori pengembangan usaha untuk menganalisis model pengembangannya. Menurut Sugiyono (2008: 337), analisis data dilakukan sejak pengumpulan data berlangsung dan berakhir setelah pengumpulan data selesai dilakukan. Dengan demikian, pada saat pengumpulan data, peneliti melakukan analisis terhadap temuan-temuan hasil pengumpulan data. Jika hasil analisis dirasa kurang memuaskan, peneliti melakukan pengumpulan data lagi sehingga data yang diperlukan dapat terpenuhi dan kredibel. Menurut Putra (2013: 76), analisis data kualitatif dalam bidang manajemen dapat dilakukan banyak cata atau teknik, salah satunya yang digunakan dalam penelitian ini, adalah model Miles dan Huberman. Menurut Miles dan Huberman dalam Emir (2012: 129), proses analisis data dilakukan melalui serangkaian aktifitas yang saling berkaitan dan dinamis. Langkah pertama adalah reduksi data, yaitu merangkum data mengenai pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf, memilih dan mengfokuskan pada data-data penting yang diperlukan dan relevan, dan membuang yang tidak perlu sehingga data yang telah direduksi dapat memberikan
gambaran
lebih
jelas
mengenai
model
pengelolaan
dan
pengembangan bandha wakaf dan membantu peneliti melakukan pengumpulan data selanjutnya. Setelah proses reduksi data selesai, langkah selanjutnya adalah menyajikan data atau data display, yaitu kumpulan informasi yang disusun dalam bentuk teks naratif yang memungkinkan peneliti mengambil tindakan dan kesimpulan (Emir, 2012: 131). Dalam tahapan ini, peneliti menyusun teks naratif mengenai sejarah
43
bandha wakaf, kondisi obyektif saat ini, model pengelolaannya, dan model pengembangannya. Peneliti juga melakukan analisis terhadap isu-isu aktual yang terkait dengan fokus penelitian, seperti masalah transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, keadilan, dan independensi dalam masalah pengelolaan bandha wakaf. Demikian pula halnya dengan isu-isu aktual yang terkait dengan masalah pengembangan bandha wakaf. Lebih lanjut, peneliti melakukan penelurusan data lagi dengan teknik-teknik pengumpulan data yang mendukung untuk melengkapi data-data yang telah dianalisis sebelumnya. Sebagian sumber data diminta informasinya lebih dari satu kali dan dengan berbagai pendekatan agar bersedia mengungkap data yang belum ditemukan. Data yang berhasil dikumpulkan, selanjutnya diuji keabsahannya dengan cara menyandingkan data tersebut dengan data-data lain yang diperoleh dengan teknik berbeda. Teknik ini oleh Putra (2013: 178) disebut teknik triangulasi yang dapat dilakukan dengan cara triangulasi sumber, metode, waktu, dan teori. Menurut Norman K. Denkin dalam Mudjia Rahardjo (http://mudjiarahardjo.com)9, triangulasi dimaksudkan sebagai gabungan atau kombinasi berbagai metode yang dipakai untuk mengkaji fenomena yang saling terkait dari sudut pandang dan perspektif yang berbeda. Menurutnya, triangulasi meliputi empat hal, yaitu triangulasi metode, triangulasi antar-peneliti, triangulasi sumber data, dan triangulasi teori. Dalam penelitian ini, triangulasi yang digunakan meliputi triangulasi metode, triangulasi sumber data, dan triangulasi teori. Sedangkan triangulasi antar-peneliti tidak dilakukan karena penelitian ini bersifat individual dan tidak melibatkan peneliti lain dalam proses pengumpulan dan analisis data. 9
Diakses hari Kamis, 02 Mei 2013, pukul 10.15 WIB.
44
Triangulasi metode atau teknik dalam penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan data yang diperoleh melalui teknik observasi dengan data yang diperoleh melalui teknik wawancara dan studi dokumen. Misalnya, hasil wawancara dengan pengurus BKM mengenai mekanisme lelang tanah bandha wakaf di Desa Weroyo diklarifikasi dengan data-data dokumenter dan hasil observasi lapangan. Demikian pula, data yang berkaitan dengan angka, yaitu luasnya tanah bandha wakaf maupun hasil pengelolaan unit usaha di lingkungan MAJT yang diperoleh melalui wawancara dikonfirmasi melalui laporan-laporan keuangan. Demikian pula data yang diperoleh melalui teknik dokumentasi dikonfirmasi dan dibandingkan dengan data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi. Triangulasi sumber digunakan untuk menggali data tentang pengelolaan SPBU MAS dari manajer untuk dikonfirmasikan dengan data yang diperoleh dari pengelola wakaf lainnya, termasuk dilakukan konfirmasi antara data dari manajer yang lama dengan data yang diperoleh dari manajer penggantinya. Triangulasi waktu, misalnya, digunakan untuk menggali data tentang hubungan antara para pengelola bandha wakaf untuk mengetahui konsistensi data yang diperoleh. Selain menggunakan teknik wawancara dan observasi, peneliti juga menggali data tentang pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf melalui dokumen tertulis, suratsurat keputusan, catatan-catatan resmi tentang bandha wakaf, seperti yang dikeluarkan oleh BKM, catatan pribadi seperti yang dibuat oleh Sekretaris Badan Pengelola MAJT, dan gambar atau foto. Masing-masing sumber data memberikan pandangan yang beragam mengenai pengelolaan dan pengembangan bandha
45
wakaf. Informasi yang beragam dan berbeda-beda, sesuai dengan sudut pandang sumber data, membantu peneliti untuk mendapatkan data yang cukup dan dapat dipercaya. Triangulasi teori digunakan untuk membandingkan rumusan model pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf dengan berbagai perspektif, yaitu perspektif good corporate governance, teori pengembangan usaha, teori tata kelola wakaf, dan dibandingkan dengan model pengelolaan wakaf yang telah dilakukan oleh lembaga lain, yaitu Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern (YPPWPM) Gontor. Hasil dari triangulasi ini memberikan kedalaman pemahaman mengenai rumusan model pengelolaan dan pengembangan wakaf yang dideskrpsikan dalam penelitian ini. Tahap terakhir dalam penelitian ini adalah penarikan kesimpulan (Emir, 2012: 133). Kesimpulan diwujudkan dalam bentuk statemen-statemen mengenai model pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf Masjid Agung Semarang yang merupakan jawaban bagi pertanyaan yang dirumuskan dalam masalah penelitian ini. Dalam penelitian ini, tahapan-tahapan analisis data seperti dijelaskan di atas bukan merupakan tahapan yang bersifat statis, namun merupakan satu kesatuan yang utuh yang digunakan dalam menganalisis data-data dalam penelitian ini. H. Sistematika Penulisan Penelitian ini tersaji dalam enam bab. Diawali dengan bab pertama sebagai pendahuluan. Bab ini menguraikan tentang alasan pemilihan lokasi, identifikasi masalah, pembatasan, perumusan masalah, tujuan, dan kegunaan yang akan dicapai
46
dalam penelitian ini. Bab ini juga berisi studi atau kajian pustaka dan metode yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian. Bab kedua berisi tinjauan umum tentang wakaf, teori tata kelola wakaf, dan teknik perluasan usaha. Pembahasan mengenai wakaf dimulai dengan menjelaskan pengertian, dasar hukum, tujuan, unsur-unsur, dan konsep wakaf produktif. Pada bab ini juga dibahas tentang teori tata kelola wakaf yang diadopsi dari teori tata kelola perusahaan (good corporate governance) dan teori pengembangan usaha yang dapat dilakukan dengan empat strategi, yaitu strategi diferensiasi, strategi diversifikasi, strategi desentralisasi, dan strategi dekonsentrasi. Teori-teori tersebut digunakan sebagai pisau analisis untuk melihat proses manajemen pada bandha wakaf dan kemungkinan pengembangan yang dapat dijadikan sebagai alternatif bagi pengelolaan aset wakaf Masjid Agung Semarang. Selanjutnya bab ketiga membahas data obyektif bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Pembahasan dimulai dengan aspek sejarah Masjid Agung Semarang dan bandha wakaf yang dimilikinya. Bab ini juga membahas pihakpihak yang diberi amanah mengelola bandha wakaf tersebut, yaitu BKM Kota Semarang sebagai nazhir, dan dua lembaga lain yang ikut mengelola sebagian aset wakaf Masjid Agung Semarang, yaitu BP
Masjid Agung Semarang, dan BP
Masjid Agung Jawa Tengah. Bab keempat membahas model pengelolaan bandha wakaf Masjid Agung Semarang yang dapat dibedakan menjadi model wakaf konsumtif dan model wakaf produktif. Model wakaf konsumtif berupa kedua masjid yang berdiri di atas bandha wakaf, yaitu Masjid Agung Semarang dan Masjid Agung Jawa Tengah.
47
Model wakaf produktif diantaranya diwujudkan dalam bentuk SPBU yang terletak di Kelurahan Sawah Besar Kecamatan Gayamsari Kota Semarang. Dalam bab ini, dibahas sejarah berdirinya SPBU tersebut, status tanahnya, pengelolaannya, dan mekanisme pembagian keuntungan dari pengelolaannya. Selain SPBU, model pengelolaan aset wakaf Masjid Agung Semarang juga dilakukan dalam bentuk lahan pertanian dan perkebunan. Pada bab ini, dibahas model pengelolaan yang dilakukan oleh nazhir melalui proses lelang untuk menentukan pihak-pihak yang berhak memanfaatkan aset tersebut berdasarkan akad sewa-menyewa serta bagaimana proses distribusi hasil pengelolaan dalam bentuk tersebut. Bab ini juga membahas model pengelolaan aset wakaf Masjid Agung Semarang dalam bentuk area komersial dan bisnis, seperti pertokoan, gedung pertemuan, perkantoran, hotel, dan lainnya. Bab kelima membahas tentang model pengembangan yang dapat dilakukan oleh pengelola aset wakaf Masjid Agung Semarang. Pada bab ini dimunculkan beberapa alternatif bagi pengembangan aset wakaf tersebut dalam rangka menjadikan wakaf sebagai sumber dana abadi bagi masjid. Bab ini juga membahas prospek pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf, strategi yang digunakan, pengembangan sumber daya manusia, networking, dan rumusan model pengelolaan dan pengembangan yang menjadi fokus penelitian. Terakhir bab keenam, yaitu penutup yang berisi kesimpulan, implikasi, dan rekomendasi.
48
BAB II PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN WAKAF A. Wakaf dalam Perspektif Hukum Islam 1. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf Secara etimologis, wakaf berasal dari “waqafa” yang berarti “habasa”. Dalam kamus Lisa>n al-‘Arab, (Ibn Manz}u>r, t.th.: 6/44) kalimat “h}abasahu” berarti “dia telah menahanannya”. Menurut Qah{af (2006: 55), kata “waqf” dan “h}abs” berarti menahan sesuatu dari konsumsi dan melarang seluruh manfaat atau keuntungan dari selain pihak yang menjadi sasaran wakaf. Dalam istilah fikih, terdapat perbedaan mengenai rumusan definisi wakaf. Sebagian perbedaan ini bersifat redaksional dan sebagian lainnya berkaitan dengan pandangan mereka mengenai hukum wakaf, seperti syarat harta yang boleh diwakafkan, sifat wakaf apakah langgeng atau sementara, dan prinsip wakaf yang berkaitan dengan pemindahan hak milik (la>zim) atau tidak (gair la>zim). Asy-Syarbi>ni, dari ulama maz|hab Sya>fi’i>, mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakif untuk diserahkan kepada nazhir yang dibolehkan oleh syariah (asy-Syarbi>ni>, 1994: 3/522).10
10
Redaksi aslinya sebagai berikut: ْ َع ْي ِن ُِهُبِق ُص َرفُُمبَاحُُ َم ْوجود ْ علَىُ َم َ ُص ُّرفُُِفِيُ َرقَ َبتِ ُِه َ َُُِحبْسُُ َمالُُي ْمكِنُُ ِاِل ْنتِفَاعُُ ِب ُِهُ َم َُعُبَقَاء َ َّط ُعُِالت
49
Sebagian ulama maz|hab H{anbali> mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang lebih sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibn Quda>mah, t.th.: 6/185).11 Dalam maz|hab Ma>liki>, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun kepemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (s}i>gah) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan wakif (as}-S}a>wi, 1995: 4/91-10).12 Menurut mazhab ini, wakaf tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari pada kepemilikan wakif (al-H}at}t}a>b, 1995: 7/626), namun wakaf mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta itu kepada pihak yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya. Kelebihan dari definisi ini adalah memberikan peluang bagi wakaf sementara.13 Ini merupakan kelebihan dari definisi wakaf mazhab ini dan diterima oleh mayoritas ulama kontemporer. Sebagian ulama maz|hab H{anafi> mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibn ‘A>bidi>n, 1994: 6/519).14 Definisi wakaf juga dijelaskan oleh ulama fikih kontemporer seperti Nazi>h Hamma>d dan Munzir Qah{}af. Nazi>h Hamma>d, (1995: 353)
Redaksinya sebagai berikut: ُُوُُتَ ْس ِبيْلُُال َم ْنفَ َع ُِة ْ َ تَحْ ِبيْسُُاأل َ ص ِل Redaksi aslinya sebagai berikut: ُْ ِص ْيغَةُُمدَُّة َُ َماُيَ َراهُُالمحْ ب س ِ َج ْعلُُ َم ْنفَ َع ُِةُ َم ْمل ْوكُُ َولَ ُْوُبِأجْ َرةُُأ َ ُْوُغَلَّ ِت ُِهُلِم ْستَحِ قُُ ِب 13 al-H}at}t}a>b (1995: 7/626) secara tegas menyatakan bahwa wakaf tidak disyaratkan 11 12
ta~bi>d. 14
Redaksi aslinya sebagai berikut: ُصدُّقُُبِال َم ْنفَعَ ِة عليُمِ ْل َ َُُحبْسُُالعَي ِْن َ َِفُُِوُُالت َ كُُِالواق َ
50
mendefinisikan wakaf sebagai akad menahan aset wakaf dan menyalurkan manfaatnya pada sabi>lilla>h.15 Munzir Qah}af (2006: 62) mendefinisikan wakaf yaitu akad menahan harta, baik bersifat selamanya maupun jangka waktu tertentu, untuk diambil manfaatnya secara berulang-ulang, dari harta tersebut atau dari hasilnya, untuk keperluan kebaikan, baik yang bersifat umum maupun khusus. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Mengenai dasar hukum wakaf, secara umum tidak ditemukan ayat dalam al-Qura~>n yang menerangkan hukum wakaf secara detail. Dalil-dalil dari al-Qura~>n yang dijadikan sebagai dasar bagi disyariatkannya wakaf adalah ayat-ayat yang menjelaskan tentang infa>q fi> sabi>lilla>h. Hal ini dapat dimaklumi mengingat wakaf merupakan bagian dari infa>q fi> sabi>lilla>h yang dianjurkan oleh Islam.16 Selain itu, ayat-ayat yang memerintahkan berbuat kebaikan atau al-khair juga dapat dijadikan dalil disyariatkannya wakaf. Kata al-khair dimaknai sebagai perbuatan yang hukumnya sunnah, termasuk wakaf.17 Redaksi aslinya sebagai berikut: ُُوت َ ْس ِبيْلُُالث َ َم َر ُِة ْ ت َحْ ِبيْسُُاأل َ ص ِل Ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan kata-kata infak diantaranya Surat al-Baqarah: 167, Surat A>li> ‘Imra>n: 92, Surat al-Baqarah: 261. Infak yang diperintahkan dalam Surat alBaqarah: 167 dimaknai sebagai sedekah (Kas|i>r, 1994: 1/294). Sedangkan wakaf termasuk sedekah. 17 Di antara ayat yang menggunakan kata al-khair adalah Surat A>li> ‘Imra>n: 115 dan Surat al-H{ajj: 77. 15 16
51
Dalil mengenai wakaf secara lebih detail terdapat dalam hadis. Terdapat banyak hadis yang menjelaskan disyariatkannya wakaf, diantaranya sebagai berikut:
َْب َْ ضا ْفَأَتَى ْالن َْ َص َْ ال ْأ َْ َاّللُ ْ َعن ُه َما ْق َْ ْ َعنْ ْابنْ ْعُ َمَْر ْ َرض َْي ً اب ْ ُع َم ُْر ِْبَي بَ َْر ْأَر ْْفْ ََت ُم ُرن َْ سْمن ْهُْفَ َكي َْ الْقَطْْأَن َف ًْ ضاْ َْلْأُصبْْ َم ُْ َصب َْ اّللُْ َعلَيهْْ َو َسلَ َْمْفَ َق َْ ْصلَى ً تْأَر َ الْأ َ ْاعُْأَصلُ َهاْ َوَْل ْ ََقْ ُع َم ُْرْأَْنَْهَُْْلْيُب َْ صد َْ صدَق َْ تْ َحبَس َْ الْإنْْشئ َْ َبهْْق َ َتِْبَاْفَت َ َتْأَصلَ َهاْ َوت
ْاّللْ َوالضَيفْْ َوابنْْال َسبيلَْْْل َْ ْْبْ َوالرقَابْْ َوفْْ َسبيل َْثْفْْال ُف َقَراءْْ َوال ُقر ُْ ور ُْ وه َ ُي َ ُبْ َوَْلْي ْصدي ًقاْ َغي َْرْ ُمتَ َْمولْْفيه َْ َُجن َ ْاحْ َعلَىْ َمنْْ َوليَ َهاْأَنْْ ََي ُك َْلْمن َهاِْبل َمع ُروفْْأَوْْيُطع َْم
Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar, bahwa ‘Umar Ibn Khat}t}a>b memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi SAW, seraya berkata, “Wahai Rasulullah saya memperoleh tanah yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut, maka apa yang engkau perintahkan (kepadaku) mengenainya?” Nabi SAW menjawab, ”Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasilnya)”. Ibnu ‘Umar berkata, “Maka ‘Umar menyedekahkan tanah tersebut (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan, yaitu kepada orang-orang fakir, kerabat, riqa>b (hamba sahaya), sabi>lilla>h, tamu dan ibn sabi>l. Tidak berdosa bagi orang yang mengelola untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara ma’ru>f (wajar) atau memberi makan seorang teman, dengan tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik.18 Hadis ‘Umar ini adalah hadis yang paling populer dalam kajian wakaf
sehingga tidak salah jika Ibnu H{ajar menyebutnya sebagai as}l (asal/dasar) bagi disyariatkannya wakaf. Berdasarkan hadis ini pula Ibnu H{ajar menyebutkan pendapat yang mengatakan bahwa wakaf ‘Umar ini merupakan wakaf yang pertama kali terjadi dalam sejarah Islam.19
18 Hadis ini disebutkan dalam : باب ُالوقف ُكيف ُيكتب, nomor ba>b 28 dari kita>b alWas}a>ya>, nomor hadis 2772 (al-‘Asqala>ni>, 2000: 5/501), S{ah{i>h{ Muslim, Kita>b alWas{iyah, Bab al-Waqfi, nomor hadis 1632, juz 6, hal. 72, dan Sunan Tirmizi>, Kita>b alAh{ka>m, Bab Fi> al-Waqfi, nomor hadis 1375, juz 5, hal. 659. 19 Wakaf merupakan karakteristik ajaran agama Islam. Ketika mengutip pendapat alIma>m asy-Sya>fi’i> yang menyatakan bahwa kaum Jahiliyah tidak pernah melakukan wakaf, adDasu>qi> (1996: 5/455) mengatakan bahwa apa yang dilakukan kaum Jahiliyah pada masa dahulu
52
Hadis lain tentang wakaf diriwayatkan Ima>m Muslim berikut ini:
ْ أَوْ علم،ص َدقَْة َجاريَة ْ َآد َْم ان َق طَ َعْ َع َم لُْهُ إ ْلَ منْ ثَال َْ إ َذا َم َ ات اب ُْن َ ْ: ث ُصالحْ يَدعُو لَْه َ ْ أَوْ َولَد،يُن تَ َف ُْع به Apabila anak adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: s}adaqah ja>riyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya.20 Oleh Muslim, hadis ini ditempatkan dalam Bab Wakaf, sebab ia menafsirkan kata s{adaqah ja>riyah sebagai wakaf (S}an’a>ni>, 1988: 3/167). 2. Unsur-unsur Wakaf Istilah unsur-unsur wakaf disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Berdasarkan UU ini, unsur-unsur wakaf terdiri dari s}i>gah atau ikrar wakaf, wakif (orang yang berwakaf), mauqu>f (harta benda wakaf), mauqu>f ‘alaih (penerima manfaat wakaf), nazhir (pengelola wakaf), dan jangka waktu wakaf. Akta Ikrar Wakaf (s}i>gah), seperti dijelaskan Pasal 1 angka 3 dari Undang-Undang Wakaf, merupakan pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. Unsur yang kedua adalah wakif atau orang yang berwakaf. Karena wakaf merupakan akad tabarru’,21 maka wakif disyaratkan memiliki
seperti membangun Ka’bah dan membuat sumur Zamzam tidak disebut wakaf sebab dilakukan atas dasar tafa>khur (untuk kebanggaan) bukan tabarrur (sebagai kebaikan). 20 Hadis ini dimuat dalam S{ah{i>h{ Muslim, Kita>b al-Wasiyah, hadis nomor 1631, juz 6, halaman 71-72. Dimuat juga dalam Sunan an-Nasa>i~, juz 6, halaman 251 dan Sunan atTirmizi>, Kita>b al-Ah{ka>m, nomor hadis 1376, juz 5, halaman 660. 21 Akad tabarru’ didefinisikan Ahmad Rofiq (1995: 493) sebagai akad mendermakan harta benda dan pada tempat yang berbeda menyebutnya akad melepaskan hak milik tanpa mengharap imbalan. Syamsul Anwar (2007: 83) menyebutnya akad cuma-cuma atau akad donasi.
53
kecakapan melakukan tindakan tabarru’, yaitu sehat akalnya, dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan terpaksa/dipaksa, dan telah mencapai umur ba>lig. Selain itu, dalam akad tabarru’ tidak diperlukan adanya qabu>l dari pihak yang menerimanya (Rofiq, 1995: 494). Unsur yang ketiga adalah harta benda wakaf (mauqu>f atau mauqu>f bihi). Menurut al-Kabi@si@, (2003: 247), harta yang boleh diwakafkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu memiliki nilai guna (qi>mah), diketahui (ma’lu>m), dimiliki secara penuh oleh wakif, dan bisa berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. Berkaitan dengan syarat yang terakhir ini, Djunaidi (2008: 44) menyatakan bahwa pada prinsipnya tidak ada mazhab fikih yang menolak dibolehkannya wakaf benda bergerak. Boleh atau tidaknya macammacam benda yang diwakafkan merupakan hasil ijtihad yang tidak didasarkan kepada nash yang qat{’i>, sehingga dimungkinkan adanya hasil ijtihad baru mengenai benda-benda yang boleh diwakafkan. Unsur berikutnya adalah pemanfaatan hasil wakaf atau mauqu>f ‘alaih. Pasal 1 poin (5) PP tentang Pelaksanaan UU Wakaf mendefinisikan mauqu>f ‘alaih sebagai pihak yang ditunjuk untuk memperolah manfaat dari peruntukan harta benda wakaf sesuai pernyataan kehendak wakif yang dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf. Qah}af (2006: 156) menjelaskan apa yang disebutnya sebagai tujuan wakaf, yaitu bidang-bidang yang berhak mendapatkan manfaat wakaf. Menurutnya, penerima manfaat wakaf harus berupa salah satu bidang kebaikan
54
secara umum, tidak mengandung maksiat yang dilarang oleh syariat dan akhlak, dan tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Unsur wakaf yang kelima adalah pengelola wakaf atau nazhir. Menurut Sari (2006: 63), nazhir wakaf merupakan pihak yang memegang amanah melakukan perawatan, pengurusan, pengelolaan, dan pengembangan aset wakaf sesuai dengan tujuan perwakafan.22 Mengutip dari az-Zuhaili> dalam alFiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (t.th.: 10/7605), ulama fikih tidak menjadikan nazhir sebagai salah satu rukun wakaf. Bagi maz|hab H{anafi>, rukun wakaf cukup s}i>gah, yaitu lafaz}-lafaz} yang menunjukkan makna wakaf. Mayoritas ulama juga tidak menjadikan nazhir sebagai salah satu rukun wakaf. Bagi mereka, rukun wakaf ada 4 yaitu wakif, harta yang diwakafkan, mauqu>f ‘alaih dan s}i>gah. Tugas-tugas nazhir bergantung kepada bentuk wakafnya, yaitu apakah wakaf mut}laq ataukah wakaf muqayyad. Dalam wakaf mutlak, nazhir berkewajiban memelihara, mengelola, dan mengembangkan harta wakaf dengan sungguh-sungguh agar dapat menghasilkan keuntungan dengan beragam investasi kemudian membagikannya kepada pihak-pihak yang berhak mendapatkannya. Sedangkan dalam wakaf muqayyad, tugas dan wewenang nazhir terbatas pada apa yang disyaratkan oleh wakif (az-Zuhaili>, t.th.: 10/7688). Dalam UU Wakaf pasal 11, tugas-tugas nazhir adalah melakukan administrasi harta benda wakaf, mengelola, dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya, mengawasi dan 22
Istilah lain adalah al-mutawalli atau al-qayyim (‘A
n, 1994: 6/683).
55
melindungi harta benda wakaf, dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia. Unsur wakaf yang terakhir adalah jangka waktu wakaf. Harta benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya. Ketentuan umum Undang-Undang Wakaf menyatakan dibolehkannya wakaf untuk jangka waktu tertentu. Wakaf dengan jangka waktu tertentu memberi peluang bagi mereka yang ingin beramal dengan tidak bermaksud melepaskan hak kepemilikannya secara menyeluruh. 3. Bentuk-bentuk Wakaf a. Pembagian Wakaf dari Segi Tujuannya Dari segi tujuannya, wakaf dibedakan menjadi tiga, yaitu wakaf ahli>, wakaf khairi>, dan wakaf musytarak. Wakaf ahli> biasa disebut juga wakaf keluarga atau wakaf khusus. Disebut demikian karena manfaat dan hasil wakaf hanya diberikan wakif kepada seseorang atau sekelompok orang berdasarkan hubungan dan pertalian yang dimaksud oleh wakif, seperti wakaf untuk tetangga dengan jumlah dan nama yang telah ditentukan oleh wakif, wakaf untuk istri, anak-anaknya, dan keturunannya. Dalil dibolehkannya wakaf ahli> dapat dijumpai pada hadis Abu> T{alhah ketika menjadikan wakafnya untuk keluarga dan kerabatnya (Sa>biq, t.th.: 3/ 521). Wakaf khairi> disebut juga wakaf umum, yaitu wakaf yang tujuannya mencakup semua orang yang berada dalam tujuan wakaf baik
56
cakupan ini untuk seluruh manusia, atau kaum muslimin, atau orang-orang yang berada di daerah mereka. Wakaf musytarak merupakan wakaf yang menggabungkan antara wakaf ahli> dan wakaf khairi>. Biasanya, wakaf musytarak dimulai dari wakaf ahli> kemudian seiring dengan berjalannya waktu, wakaf ahli> tersebut berubah menjadi wakaf khairi>. b. Pembagian Wakaf dari Segi Waktu Dari segi waktu, wakaf dapat dibedakan menjadi dua, yaitu wakaf mua~bbad dan wakaf mua~qqat. Wakaf mua~bbad adalah wakaf yang berlangsung selamanya, dan tidak dibatasi dengan jangka waktu tertentu. Sedangkan wakaf mua~qqat adalah wakaf yang dibatasi oleh jangka waktu tertentu. c. Pembagian Wakaf dari Segi Penggunaannya Dari segi penggunaannya, wakaf dapat dibedakan menjadi wakaf muba>syir dan wakaf istis|ma>ri>. Wakaf muba>syir adalah harta wakaf yang menghasilkan pelayanan masyarakat dan bisa digunakan secara langsung seperti madrasah dan rumah sakit. Sedangkan wakaf istis|ma>ri> adalah harta wakaf yang ditujukan untuk penanaman modal dalam produksi barang-barang dan pelayanan yang dibolehkan syara’ dalam bentuk apapun kemudian hasilnya diwakafkan sesuai keinginan wakif. Wakaf istis|ma>ri> biasa disebut juga wakaf produktif, yaitu wakaf harta yang digunakan untuk kepentingan investasi, baik di bidang pertanian, perindustrian, perdagangan, dan jasa. Manfaat pada wakaf
57
produktif tidak diperoleh dari benda wakaf secara langsung, melainkan dari keuntungan atau hasil pengelolaan wakaf. Kata produktif merupakan kata sifat yang berasal dari kata produk yang berarti hasil, hasil kerja, barang atau benda yang dihasilkan (al-Barry, 2003: 633). Berdasarkan makna tersebut, kata produktif memiliki pengertian sesuatu yang memiliki daya hasil atau mempunyai kemampuan untuk menghasilkan (dalam jumlah besar). Makna lain dari kata produktif adalah subur (al-Barry, 2003: 633). Jaih Mubarok (2008: 16) mengartikan wakaf produktif sebagai proses pengelolaan benda wakaf untuk menghasilkan barang atau jasa yang maksimum dengan modal yang minimum. Menurut Mubarok (2008: 28), wakaf produktif dikelola dengan pendekatan bisnis, yakni suatu usaha yang berorientasi pada keuntungan dan keuntungan tersebut disedekahkan kepada pihak yang berhak menerimanya. Tujuan utama bisnis adalah laba atau keuntungan melalui berbagai usaha yang mampu menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Berbagai usaha yang termasuk kegiatan bisnis meliputi usaha pertanian, produksi, konstruksi, distribusi, transportasi, komunikasi, dan usaha jasa (Alma, 2009: 115). Menurut Antonio dalam Mubarok (2008: 35), wakaf produktif adalah pemberdayaan wakaf yang ditandai dengan tiga ciri utama, yaitu pola manajemen yang integratif, mengikuti asas kesejahteraan nazhir, dan asas transparansi dan tanggung jawab. Pola manajemen wakaf integratif berarti memberi peluang bagi dana wakaf untuk dialokasikan kepada
58
program-program pemberdayaan dengan segala macam biaya yang tercakup didalamnya. Asas kesejahteraan nazhir menuntut pekerjaan nazhir tidak lagi diposisikan sebagai pekerja sosial, tetapi sebagai profesional yang bisa hidup layak dari profesi tersebut. Sedangkan asas transparansi dan tanggung jawab mengharuskan lembaga wakaf melaporkan proses pengelolaan dana kepada umat tiap tahun. d. Pembagian Wakaf dari Segi Kekuasaan Nazhir
Dari segi kekuasaan nazhir, wakaf dapat dibedakan menjadi dua, yaitu wakaf mut}laq dan wakaf muqayyad. Wakaf mut}laq adalah praktik wakaf di mana wakif menyerahkan sepenuhnya kepada nazhir untuk mengelolanya.
Wakaf
muqayyad
adalah
wakaf
di
mana
wakif
mensyaratkan agar harta wakaf dikelola dengan cara tertentu atau diberikan kepada pihak tertentu. Dalam praktik wakaf mut}laq, nazhir lebih leluasa melakukan upaya-upaya produktif sehingga harta wakaf bisa berhasil lebih maksimal. 4. Manajemen Investasi Wakaf Dalam konsep wakaf, nazhir berkewajiban mengembangkan harta wakaf secara produktif dan profesional agar mendatangkan keuntungan yang akan disalurkan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Investasi harta benda wakaf dapat dilakukan nazhir dalam berbagai bidang, seperti bidang sosial, keagamaan, pendidikan, dan kegiatan ekonomi. Dalam upayanya mengembangkan harta benda wakaf, nazhir memiliki banyak alternatif model investasi yang dapat dijadikan pilihan. Pada prinsipnya, harta wakaf harus
59
dikelola dan tidak boleh diabaikan. Terbengkalainya harta wakaf dapat menimbulkan dampak negatif dan merugikan banyak pihak, terutama mauqu>f ‘alaih (Shihab, 2008: 18). Masalahnya adalah sebagian besar wakaf yang dikelola oleh para nazhir pada masa sekarang ini berupa wakaf tanah atau bangunan. Sedangkan kondisi tanah atau bangunan itu sendiri jika ditinjau dari segi ekonomi akan bergantung kepada lokasi tanah atau bangunan tersebut. Tanah wakaf yang terletak di lingkungan strategis, seperti di pinggir jalan atau di tengah perkotaan memiliki nilai ekonomis yang berbeda dengan tanah yang letaknya tidak strategis. Kondisi yang demikian ikut mempengaruhi bentuk-bentuk investasi yang dipilih nazhir dalam rangka mengelola dan mengembangkan aset wakaf tersebut. Qah}af (2006: 217) menawarkan dua bentuk pengelolaan dan pengembangan harta wakaf, yaitu bentuk istigla>l yang dapat diartikan sebagai upaya pemanfaatan harta benda wakaf dan bentuk tanmiyah yang dapat diartikan sebagai upaya meningkatkan atau mengembangkan harta wakaf. Bagi Qah{af, keduanya layak mendapatkan porsi pembahasan yang berbeda. Istigla>l al-waqf atau pemanfaatan harta wakaf dimaksudkan sebagai upaya pemanfaatan harta wakaf agar dapat menjalankan fungsinya. Misalkan saja, harta wakaf yang pemanfataannya untuk sarana ibadah memerlukan biaya bagi perawatan fisik, biaya kebersihan, biaya operasional ibadah yang meliputi listrik, air, bisya>rah untuk imam, kha>t{ib Jumat, muaz}z}in, penceramah, maupun para usta>z| dan usta>z|ah yang mengajar baca tulis al-Qur~a>n.
60
Demikian pula harta wakaf yang dimanfaatkan sebagai tempat pendidikan maupun lembaga kesehatan. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan operasional seperti di atas, pengelola wakaf cukup melakukan investasi yang mengandalkan kepada pokok wakaf itu sendiri. Misalnya, biaya perawatan masjid cukup diambilkan dari hasil atau pemasukan wakaf atau bisa juga dengan cara meminjam kepada lembaga-lembaga keuangan lalu cara mengangsurnya diambilkan dari hasil wakaf. Demikian pula harta wakaf yang berupa lahan pertanian, jika membutuhkan dana untuk keperluan teknis bercocok tanam, seperti pembelian benih, pupuk, maupun biaya operasional lainnya maka cukup dilakukan dengan cara meminjam kepada sumber-sumber dana, kemudian biaya untuk mengembalikannya diambilkan dari hasil panen. Investasi yang dilakukan untuk pemanfaatan harta wakaf seperti ini biasanya bersifat jangka pendek dan biaya investasi yang diperlukan tidak melebihi nilai pokok atau modal wakafnya (Qah}af, 2006: 217). Sedangkan tanmiyah al-waqf atau pengembangan harta wakaf dimaksudkan sebagai upaya menambah volume harta yang dapat dimanfaatkan, diinvestasikan, atau dijadikan sebagai modal bagi wakaf. Sebagai contoh, jika harta yang diwakafkan berupa tanah kosong yang dapat dimanfaatkan sebagai hunian, maka untuk dapat memanfaatkan tanah wakaf tersebut memerlukan investasi baru dalam jumlah yang cukup besar yang ditambahkan kepada modal atau pokok wakaf untuk mendirikan sejumlah bangunan layak huni berikut
sarana-sarana
penunjangnya,
61
seperti
ketersediaan
jalan
yang
menghubungkan antara lokasi wakaf dengan jalan raya, fasilitas listrik, dan air. Demikian pula jika tanah kosong tersebut diproyeksikan sebagai area bisnis, perkantoran, dan lain sebagainya. Pengembangan wakaf seperti ini akan menambah nilai investasi bagi harta wakaf tersebut dan tentu saja diharapkan dapat meningkatkan produktivitasnya. Bahkan bisa jadi nilai investasi tambahan yang dibutuhkan melebihi dari nilai harta wakaf yang tersedia. Selain itu, investasi yang dilakukan dalam kerangka pengembangan harta wakaf seperti ini termasuk investasi jangka panjang atau investasi jangka menengah (Qah}af, 2006: 217). Bentuk investasi yang dapat dikembangkan di atas tanah wakaf bervariasi sesuai dengan lokasi atau posisi tanah wakaf tersebut. Pengelola wakaf harus mampu berpikir cerdas dan kreatif dalam rangka memberdayakan tanah wakaf yang diamanahkan kepadanya agar dapat didayagunakan secara maksimum. Permasalahan yang acap kali muncul berkaitan dengan model investasi tanah wakaf seperti ini adalah berkaitan dengan pendanaan. Masalah klasik ini seringkali menjadi alasan bagi kondisi tanah wakaf yang tidak dikelola dengan baik. Qah}af dalam Rozalinda (2010: 113) memberikan tawaran bagi bagi penyelesaian masalah ini agar harta benda wakaf dapat dimaksimalkan fungsinya sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi kaum d}u’afa~>’. Di antara tawaran yang diajukan Qah}af adalah melakukan pembiayaan wakaf dengan cara menciptakan wakaf baru untuk melengkapi wakaf yang
62
sudah ada, seperti perluasan sarana ibadah, perluasan sarana pendidikan, perluasan layanan kesehatan dan pemberdayaan (Rozalinda, 2010: 113). Langkah pertama yang dilakukan nazhir dalam hal ini adalah menyusun master
plan
bagi
pengembangan
wakaf
tersebut.
Pada
umumnya,
pengembangan atau perluasan aset wakaf dilakukan dengan cara perluasan horisontal, vertikal, maupun menggabungkan keduanya. Setelah itu, nazhir dapat menyusun perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan perluasan tersebut, termasuk langkah-langkah untuk menggalang dana yang dibutuhkan. Penggalangan dana (funding) hanya dapat efektif jika disertai dengan sosialisasi yang baik, dipahami oleh calon wakif baru, dan tepat sasaran. Nazhir bisa menerbitkan sertifikat wakaf baru, biasanya berupa wakaf barang namun dinominalkan dalam bentuk uang, seperti wakaf uang untuk membeli lahan permeter yang dipatok dengan harga tertentu. Meskipun wakif menyerahkan harta wakafnya dalam bentuk uang, wakaf seperti ini tetap termasuk wakaf tanah atau benda lainnya, hanya dinominalkan dalam bentuk uang. Tujuannya sekedar untuk memudahkan proses terjadinya wakaf dari wakif. Model pembiayaan seperti ini biasanya dilakukan nazhir bagi pengembangan wakaf yang sifatnya konsumtif, seperti perluasan masjid dengan cara menambah area parkir, halaman, ruang perpustakaan, tempat wudhu, dan WC. Namun jika pengembangannya dilakukan dalam bentuk unitunit usaha, area komersial, dan bisnis, model pembiayaan seperti ini tidak lazim. Model pembiayaan bagi pengembangan harta benda wakaf dalam bentuk unit-unit usaha lebih tepat dilakukan melalui kerjasama bisnis,
63
diantaranya berdasarkan konsep mud}a>rabah, ija>rah, muza>ra’ah, dan istibda>l seperti yang ditawarkan Abu> Zaid pada pembahasan selanjutnya. Lebih jelasnya, konsep Qah{af mengenai pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dapat dilihat dalam skema model seperti dijelaskan gambar 2.1. Gambar 2.1 Model Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf menurut Munzir Qah{af
Dari skema di atas diketahui bahwa modal wakaf dapat dikelola dan dikembangkan dalam dua bentuk, yaitu melalui istig{la>l al-waqfi dan tanmiyah al-waqfi. Bentuk pertama diterapkan untuk mengelola wakaf
64
konsumtif dan dikembangkan melalui penambahan wakaf baru sedangkan bentuk kedua diterapkan untuk mengelola wakaf produktif dan dikembangkan melalui kegiatan investasi yang dapat dilakukan secara mandiri atau kerjasama dengan pihak lain. Hanya saja, investasi yang dilakukan berkaitan dengan harta benda wakaf yang memiliki karakteristik baqa>~ al-‘ain atau kekal barangnya, maka perlu diperhatikan ketentuan-ketentuan investasi wakaf seperti berikut: a. Memilih model-model investasi yang halal dan dibolehkan. b. Melakukan diversifikasi usaha dengan maksud meminimalisir risiko kerugian dan didukung dengan jaminan, kontrak bisnis yang ketat, dan didahului studi kelayakan usaha yang wajar sebagaimana proyek-proyek bisnis pada umumnya. c. Memilih bentuk-bentuk usaha yang relatif aman dan menghindari bentukbentuk usaha yang memiliki risiko tinggi atau spekulatif. d. Memilih jenis-jenis usaha yang sesuai dengan harta wakaf dan tidak bertentangan dengan kepentingan pihak-pihak yang berhak menerima manfaat wakaf, terutama bagi harta benda wakaf selain uang. e. Memantau secara rutin perkembangan usaha dan menyusun laporan secara berkala untuk menjamin transparansi. f. Mempriotitaskan
investasi
terdekat
yang
menyentuh
kepentingan
masyarakat di sekitar lembaga wakaf (Shihab, 2008: 144). Abu> Zaid (2000: 52) membagi cara investasi harta wakaf menjadi dua, yaitu investasi mandiri (istisma>r z|a>ti>) dan investasi dengan menggandeng mitra (istisma>r kha>riji>). Investasi mandiri adalah investasi yang dilakukan
65
oleh nazhir wakaf secara mandiri dengan mengandalkan kepada sumber daya yang ada pada lembaga wakaf (Zaid, 2000: 52). Dalam investasi wakaf mandiri ini, nazhir mengoptimalkan harta wakaf yang hendak diberdayakan secara mandiri berdasarkan kemampuan yang dimiliki dan tidak merasa perlu menggandeng pihak lain sebagai investor atau mitra. Di antara model pengembangan harta wakaf secara mandiri yang dapat dilakukan nazhir adalah melalui model ibda>l dan istibda>l, mendirikan bangunan atau proyek bisnis yang diberdayakan dengan cara disewakan kepada pihak lain, atau dengan cara membeli saham atau obligasi di pasar modal (Zaid, 2000: 51). Sedangkan investasi dengan cara menggandeng mitra adalah model investasi yang dilakukan oleh nazhir atau lembaga wakaf dengan cara menggandeng investor untuk memberdayakan harta wakaf yang ada agar dapat memberikan hasil yang maksimal (Zaid, 2000: 56). Model investasi wakaf mandiri dapat dilakukan dengan mengikuti skema akad ibda>l dan istibda>l dan berdasarkan akad ija>rah. a. Investasi Wakaf melalui Ibda>l dan Istibda>l Ibda>l dan istibda>l merupakan penggantian harta wakaf dengan cara menjual harta wakaf yang ada dan menggantikannya dengan harta wakaf lainnya. Langkah ini bisa ditempuh lembaga wakaf jika kondisi harta wakaf tidak dapat lagi dimanfaatkan, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Dalam keadaan seperti ini, para ahli fikih membolehkan nazhir untuk menjual harta wakaf dan menggantinya dengan harta wakaf yang lebih bermanfaat. Maz|hab H{anafi> merupakan maz|hab yang paling luas
66
memberikan kelonggaran bagi nazhir wakaf untuk melakukan ibda>l dan istibda>l. Sedangkan maz|hab Sya>fi’i> merupakan maz|hab yang paling ketat memberikan kesempatan bagi nazhir melakukan ibda>l dan istibda>l. Alasan maz|hab Sya>fi’i> memperketat peluang ibda>l dan istibda>l adalah untuk melindungi aset wakaf itu sendiri dari berbagai kemungkinan tidak baik yang dapat merugikan atau bahkan menghilangkan harta wakaf tersebut, seperti niat tidak baik dari nazhir, penipuan, atau kecerobohan dalam proses ibda>l dan istibda>l. Maz|hab yang melonggarkan wewenang nazhir melakukan ibda>l dan istibda>l berdalih demi kepentingan harta wakaf itu sendiri dan bagi mauqu>f ‘alaih. Bagi mereka, harta wakaf yang tidak dapat dimanfaatkan sama sekali atau hanya memberi manfaat yang terbatas dapat diganti dengan harta wakaf lain lebih baik dan lebih bermanfaat. Sedangkan mengenai kekhawatiran akan terjadinya kerugian bagi harta wakaf, pendukung maz|hab ini memberikan empat syarat bagi penggantian wakaf, yaitu agar dilakukan dengan harga yang sesuai (tidak ditukar dengan harga atau ganti yang jauh lebih murah), tidak ada prasangka negatif bagi pihakpihak yang terlibat dalam proses ibda>l dan istibda>l, hasil penjualan harta wakaf tersebut digunakan untuk membeli aset wakaf lainnya sebagai ganti, dan aset wakaf yang baru lebih bermanfaat dari pada harta wakaf yang lama (Zaid: 2000: 53). Ada tiga poin yang dapat disimpulkan dari syarat-syarat di atas. Pertama, dibolehkannya ibda>l dan istibda>l hendaknya dilakukan dalam
67
rangka meningkatkan manfaat harta wakaf tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga maksud dari pengelolaan harta wakaf yang bermuara pada penyaluran hasil atau keuntungan kepada mauqu>f ‘alaih. Pesan ini dapat dipahami dari syarat keempat. Kedua, dibolehkannya ibda>l dan istibda>l harus tetap memperhatikan sifat keabadian harta wakaf. Pesan ini dapat dipahami dari syarat ketiga. Ketiga, harta benda wakaf tidak boleh menjadi rebutan atau sumber konflik bagi berbagai kepentingan pribadi yang dapat merugikan harta wakaf. Oleh karena itu, harta benda wakaf tidak boleh dibeli dengan harga di bawah standar, diganti dengan aset bermasalah, atau diintervensi berbagai kepentingan pribadi yang didorong oleh sifat tamak dan rakus terhadap harta yang dianggap sebagai milik bersama. Proses tukar guling harta benda wakaf yang dilakukan karena masuknya berbagai kepentingan seperti ini akan melahirkan rasa curiga, prasangka negatif, dan tudingan-tudingan miring lainnya yang diarahkan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam proses tersebut. b. Investasi Wakaf Berdasarkan Akad Ija>rah Menurut Abu> Zaid (2000: 53), investasi harta benda wakaf dengan cara menyewakannya kepada pihak lain merupakan model pengembangan harta wakaf yang sudah lama dikenal dan hingga saat ini masih paling banyak diminati oleh pengelola wakaf. Di antara sebabnya adalah prosesnya yang mudah dan risiko yang kecil bagi pengelola wakaf. Al-Ija>rah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-‘iwad}u atau ganti. Dalam istilah fikih, akad ija>rah diartikan sebagai akad pemindahan
68
hak guna (manfaat) suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan adanya pembayaran upah (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri (Afandi, 2009: 179). Menurut Abu> Zaid (2000: 53), investasi harta benda wakaf dengan cara menyewakannya kepada pihak lain merupakan model pengembangan harta wakaf yang sudah lama dikenal dan hingga saat ini masih diminati oleh pengelola wakaf. Dalam bidang wakaf, investasi model ija>rah dapat dilakukan secara langsung dengan menyewakan harta benda wakaf kepada pihak yang membutuhkan harta benda tersebut dengan imbalan tertentu. Jika harta benda wakaf berupa uang, investasi model ija>rah dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menginvestasikan wakaf uang ke bentuk wakaf properti seperti membangun real estate atau pusat-pusat bisnis, kemudian menyewakannya kepada masyarakat. Menyewakan harta wakaf dapat mendatangkan keuntungan pasti (fix of return) dan tidak ada pihak yang melarangnya.
Hasilnya
dapat
digunakan
untuk
membiayai
biaya
pemeliharaan harta wakaf atau disalurkan kepada mauqu>f ‘alaih. Menurut
Rozalinda
(http://rozalinda.wordpress.com),23
pengembangan harta benda wakaf dapat memanfaatkan kemajuan teknologi bangunan yang memungkinkan perluasan gedung secara vertikal. Masjid yang pada mulanya terdiri dari satu lantai dapat dibongkar dan dibangun kembali menjadi beberapa lantai di atas tanah yang sama. Lantai satu digunakan untuk masjid, lantai dua digunakan untuk ruang bimbingan 23
Diakses hari Jumat, 17 Pebruari 2012, pukul 03.00 WIB
69
belajar bagi anak-anak sekolah, lantai tiga untuk balai pengobatan, lantai empat untuk ruang pertemuan serba guna, dan seterusnya. Contoh bagi model investasi wakaf berdasarkan akad ija>rah ini pernah dilakukan Lembaga Wakaf Lebanon. Model kerjasama ini dimaksudkan untuk memproduktifkan tanah wakaf yang terletak di dekat pusat perbelanjaan. Skema yang dipraktikkan adalah skema akad ija>rah, yaitu dengan menawarkan kepada calon investor agar menyewa tanah tersebut dalam waktu yang panjang dan mendirikan pusat bisnis di atas tanah wakaf tersebut. Dalam akad kerjasama ini, investor sendiri yang mengelola pusat bisnis tersebut dan berkewajiban membayar cicilan sewa yang disepakati setiap tahun kepada Lembaga Wakaf. Setelah waktu yang disepakti berakhir, bangunan dan hak kelola pusat bisnis tersebut menjadi milik Lembaga Wakaf Lebanon (Qabbani>, 2000: 96). Sedangkan model investasi wakaf dengan menggandeng mitra dapat dilakukan nazhir dengan cara menggandeng investor melalui berbagai akad yang mengikat kedua belah pihak dan tidak bertentangan dengan hakikat wakaf. Dalam kajian fikih klasik, dikenal banyak akad yang berkaitan dengan manajemen investasi wakaf ini, seperti akad musya>rakah dan mud}a>rabah, akad istis}na>’, akad muza>ra’ah, akad masa>qah, dan akad muga>rasah. Musya>rakah merupakan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana. Dalam
70
akad tersebut, masing-masing pihak mempunyai hak untuk melakukan tidakan hukum terhadap modal yang dikelola (Afandi, 2009: 120). Sedangkan mud|a>rabah dimaksudkan sebagai akad kerjasama usaha antara pemilik modal dan pengelola untuk melakukan kegiatan usaha, laba dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan bila terjadi kerugian ditanggung oleh pemilik dana kecuali disebabkan oleh kelalaian dari pihak pengelola dana (Afandi, 2009: 102). Lembaga wakaf bisa menjadikan model investasi yang terdiri dari akad mud|a>rabah dan musya>rakah ini sebagai alternatif dalam mengembangkan aset-aset yang dimilikinya. Melalui model ini, menurut Abu> Zaid (2000: 56) lembaga wakaf menjalin kerjasama bisnis dengan lembaga-lembaga bisnis lain atau investor untuk mendirikan proyek investasi yang melibatkan modal dari kedua belah pihak. Dalam kerjasama ini, lembaga wakaf menawarkan aset wakaf sebagai bentuk partisipasi sedangkan pihak lain yang bertugas menjalan bisnis tersebut, di samping juga berperan sebagai investor. Keuntungan dari hasil usaha dibagi sesuai mekanisme yang telah disepakati sebelumnya. Dalam akad kerjasama ini, pihak investor bertugas menjalankan perputaran roda bisnis tersebut dengan syarat bersedia melepaskan partisipasi sahamnya secara berkala dan sedikit demi sedikit. Sehingga, setelah melalui waktu yang telah disepakati, kepemilikan proyek bisnis tersebut kembali kepada lembaga wakaf secara penuh. Dalam akad kerjasama ini terdapat dua jenis akad, yaitu akad musya>rakah, sebab kedua belah pihak sama-sama menyertakan modal bagi proyek tersebut. Sedangkan akad mud|a>rabah
71
terjadi pada saat lembaga wakaf perannya terbatas hanya pada saat penyertaan modal berupa tanah wakaf, sedangkan kegiatan bisnis secara penuh dilakukan oleh pihak kedua. Menurut keputusan Majma’ al-Fiqh al-Isla>mi> yang berkantor di Jeddah, seperti dikutip Abu> Zaid (2000: 56), akad kerjasama yang melibatkan dua akad sekaligus seperti di atas dibolehkan. Sedangkan model investasi wakaf berdasarkan akad istis}na>’ merupakan akad atas barang yang menjadi tanggungan. Abu> Zaid (2000: 56) memberikan uraian praktis bagi penerapan akad ini bagi investasi harta wakaf, yaitu lembaga wakaf menjalin kerjasama dengan investor untuk mendirikan proyek investasi di atas tanah wakaf. Ide proyek ini biasanya berasal dari lembaga wakaf, sehingga ia sendiri yang menentukan bentuk proyek, apakah berupa pusat perbelanjaan, pertokoan, hotel, atau area komersial lainnya. Pihak investor memiliki kewajiban merealisasikan proyek tersebut sesuai dengan kriteria yang telah disepakati sebelumnya. Setelah bangunan tersebut selesai, investor wajib menyerahkannya kepada lembaga wakaf untuk dikelola dengan kesepatakan lembaga wakaf berkewajiban membayar biaya investasi bangunan tersebut dengan cara diangsur. Menurut Abu> Zaid (2000: 96), model pembiayaan ini bagi lembaga wakaf lebih baik dibandingkan dengan model-model pembiayaan lainnya. Melalui akad istis}na>’, lembaga wakaf dapat memiliki proyek-proyek investasi dengan tanpa merasa khawatir akan hilangnya pokok harta wakaf, sebab memang tidak pernah keluar dari kepemilikannya. Akad ini juga memberi jalan keluar terbaik berupa win-win solution bagi kedua pihak, yaitu
72
lembaga wakaf dan investor. Lembaga wakaf tidak berkeinginan untuk menjalin kerjasama dengan pihak asing dalam waktu yang sangat lama, sebab kepemilikan lembaga wakaf terhadap harta wakaf terikat dengan hak-hak pihak lain, khususnya mauqu>f ‘alaih. Demikian pula, investor juga berkeinginan untuk segera mendapatkan haknya, yaitu modal yang digunakan untuk merealisasikan proyek ditambah keuntungan. Setelah haknya terpenuhi, investor dapat masuk kepada proyek-proyek lain untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Contoh model investasi harta wakaf dengan akad istis}na>’ pernah dilakukan Lembaga Wakaf Lebanon yang bekerjasama dengan al-Ama>nah al‘A>mmah li al-Awqa>f di Kuwait pada tahun 1997 untuk mendirikan pusat perdagangan di salah satu lokasi strategis di Kota Beirut. Berdasarkan akad kerjasama ini, al-Ama>nah al-‘A>mmah li al-Awqa>f, selaku investor, berkewajiban mendirikan bangunan seperti yang telah disepakati untuk dijadikan sebagai pusat perbelanjaan. Setelah selesai, al-Ama>nah al‘A>mmah li al-Awqa>f menyerahkan hak kelola pusat perbelanjaan tersebut kepada Lembaga Wakaf Lebanon. Tugas Lembaga Wakaf Lebanon adalah mengelola aset wakaf tersebut dan berkewajiban membayar biaya pendirian pusat perbelanjaan tersebut kepada al-Ama>nah al-‘A>mmah li al-Awqa>f dengan cara diangsur. Uang yang digunakan untuk membayar angsuran berasal dari keuntungan yang diperoleh Lembaga Wakaf Lebanon dari usahanya mengelola pusat perbelanjaan tersebut (Qabba>ni>, 2000: 96).
73
Investasi wakaf juga bisa dilakukan dengan mengikuti skema akad muza>ra’ah, musa>qah, dan muga>rasah24. Model-model investasi ini merupakan model investasi yang dimaksudkan untuk mengembangkan aset berupa tanah, terutama tanah pertanian. Lembaga wakaf dapat memanfaatkan model-model investasi ini untuk memproduktifkan tanah wakaf miliknya dengan cara menjalin kerjasama dengan petani atau pelaku usaha dalam bidang pertanian dan perkebunan dengan pembagian keuntungan yang disepakati sebelumnya.
Melalui
model
investasi
ini,
lembaga
wakaf
bisa
memproduktifkan tanah wakaf yang dimilikinya dengan tanpa menanggung risiko besar karena akad ini tidak berkaitan dengan status tanah obyek akad. B. Good Corporate Governance Dunia internasional pernah dikejutkan oleh terjadinya krisis moneter yang melanda negara-negara berkembang, khususnya di kawasan Asia, termasuk diantaranya Indonesia yang mulai mencapai klimaksnya pada tahun 1997. Dalam era globalisasi, dampak dari krisis moneter di kawasan tersebut tidak hanya dirasakan oleh negara-negara yang terkena krisis saja, melainkan dirasakan pula oleh negara-negara lain, meskipun terpisah jarak yang cukup jauh secara geografis. Di Indonesia, krisis moneter berlangsung cukup lama sehingga menjalar dan menimbulkan krisis multidimensi seperti krisis ekonomi, krisis politik, krisis kepercayaan, dan lainnya yang berdampak pada berbagai sektor, seperti pada
24 Muza>ra’ah dan mukha>barah merupakan akad pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian. Dalam mukha>barah, bibit disediakan oleh petani penggarap, sedangkan bibit dalam muza>ra’ah disediakan pemilik tanah (Ghazaly, 2010: 114). Dalam mug{a>rasah, pemilik tanah dan petani penggarap bekerja secara bersama-sama. Musa>qah merupakan akad kerjasama antara pemilik tanah dengan petani penggarap dengan tujuan agar tanah tersebut dipelihara dan dirawat agar dapat memberikan hasil yang maksimal. Hasil dari pengolahan tanah tersebut dibagi sesuai dengan kesepakatan (Ghazaly, 2010: 109).
74
tatanan penyelenggaraan pemerintahan dan pada pelaku-pelaku ekonomi (sektor swasta). Pada sektor penyelenggaraan negara, terjadi krisis budaya yang ditandai dengan merebaknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan juga mengalami penurunan akibat tidak tercapainya check and balance antara pemegang kekuasaan eksekutif, judikatif, dan legislatif. Sementara pada sektor pelaku ekonomi, krisis ekonomi telah menunjukkan kinerja ekonomi nasional yang rendah dan tidak mampu memberikan kontribusi yang optimal, baik bagi kepentingan nasional maupun kepentingan stakeholders lainnya. Para pelaku ekonomi nasional, baik pemerintah maupun swasta, pada umumnya menunjukkan tata kelola perusahaan yang salah sehingga tidak memiliki daya saing atau keunggulan kompetitif ketika terjun di pasar internasional. Sebagian besar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) belum mampu memenuhi ekspektasi masyarakat dan tidak memberikan kontribusi yang memadai bagi kepentingan orang banyak (Sedarmayanti, 2007: 50). Salah satu permasalahan utama yang menjadi pemicu krisis moneter dan selanjutnya menjadi krisis ekonomi tersebut adalah rendahnya kinerja dan daya saing dari perusahaan milik negara maupun milik swasta. Menurut analisis Sedarmayanti (2007: 51), hal itu disebabkan oleh kesalahan manajemen dalam menyelenggarakan tata kelola pemerintahan dan tata kelola perusahaan, baik milik negara maupun swasta. Berpijak dari analisis ini, muncul gagasan untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan melalui perbaikan implementasi good governance dan tata kelola perusahaan melalui perbaikan implementasi good
75
corporate governance. Keduanya harus berjalan seimbang karena good corporate governance tidak dapat dipisahkan dari kebijakan legal dan ekonomik suatu negara. Kebijakan negara dalam masalah ekonomi akan mempengaruhi efektif atau tidaknya implementasi good corporate governance bagi perusahaan yang ada pada negara tersebut. 1. Pengertian Governance Secara umum, kata governance diartikan sebagai kualitas hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Menurut Sedarmayanti (2007: 2), kata governance memiliki tiga domain, yaitu state (negara/pemerintahan), private sectors (sektor swasta/dunia usaha), dan society (masyarakat). Dalam konsep governance, ketiganya merupakan stakeholders yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya
masing-masing.
Institusi
pemerintah berfungsi
menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor dunia usaha menciptakan dan menggerakkan roda perekonomian, masyarakat berperan dalam membangun interaksi sosial, ekonomi, dan politik termasuk mengajak kelompok masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan politik (Sedarmayanti, 2007: 5, Santoso, 2009: 131). Istilah governance pertama kali dipopulerkan oleh Bank Dunia (World Bank) melalui publikasi yang diterbitkan pada tahun 1992 dengan judul Governance and Development. Menurut Bank Dunia, seperti dikutip Sedarmayanti (2007: 3), governance adalah: “the manner in which power is exercised in management of country’s social and economic resources for development”
76
Suatu cara di mana kekuasaan dijalankan untuk mengelola sumber-sumber daya sosial dan ekonomi milik negara yang dimanfaatkan untuk pengembangan. Definisi governance yang lebih ekspansif dijelaskan oleh United Nation Development Programme (UNDP). Menurut UNDP, governance meliputi pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat madani serta interaksi antar ketiga elemen tersebut. Lebih lanjut, UNDP menjelaskan ciri-ciri bagi tata kelola yang layak disebut good governance, yaitu mengikutsertakan semua, transparan dan bertanggung jawab, efektif dan adil, menjamin adanya supremasi hukum, menjamin bahwa prioritas politik, sosial, dan ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat, serta memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan (Sedarmayanti (2007: 3). Governance yang baik hanya dapat tercipta apabila ditopang dua kekuatan saling mendukung, yaitu warga yang bertanggung jawab, aktif, dan memiliki kesadaran, bersama dengan pemerintah yang terbuka, tanggap, mau mendengar, dan mau melibatkan. Pemerintahan yang baik tidak akan terjadi tanpa adanya masyarakat madani yang kuat (Sedarmayanti: 2007: 3). World Conference on Governance yang dilaksanakan UNDP pada tahun 1999, seperti dikutip dari Sedarmayanti (2007: 2), menjelaskan makna good governance, yaitu suatu proses tata kelola pemerintahan yang baik, dengan melibatkan stakeholders, terhadap berbagai kegiatan perekonomian, sosial politik, dan pemanfaatan beragam sumber daya seperti sumber daya alam, keuangan, dan manusia bagi kepentingan rakyat. Selanjutnya untuk
77
melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik seperti tersebut di atas, UNDP
(http://www.undp.or.id)25
menetapkan
sepuluh
prinsip
good
governance, yaitu participation (partisipasi publik), rule of law (kepastian hukum), transparency (transparansi), equality (kesetaraan), responsiveness (daya tanggap), vision (bervisi), accountability (akuntabilitas), supervision (pengawasan), efficiency & effectiveness (efisiensi dan efektivitas), dan professionalism (profesionalisme atau profesionalitas). Good governance mengandung arti hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Dalam praktiknya, suatu pemerintahan disebut good governance apabila mengembangkan dan menerapkan
prinsip-prinsip
profesionalitas,
akuntabilitas,
transparansi,
pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan dapat diterima masyarakat (Santoso, 2009: 131).
2. Pengertian dan Prinsip Good Corporate Governance a. Pengertian Good Corporate Governance Hunger
dan
Loheelen
dalam
Sedarmayanti
(2007:
mendefinisikan corporate sebagai berikut: A corporation is a mechanism established to allow different parties to contribute capital, expertise, and labor, for their mutual benefit. Korporasi adalah mekanisme yang dibangun agar berbagai pihak dapat memberikan kontribusi berupa modal, keahlian, dan tenaga, demi manfaat bersama.
25
Diakses hari Jumat, 03 Mei 2013, pukul 13.30 WIB.
78
52)
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) dalam Sedarmayanti (2007: 53) memberikan definisi bagi corporate governance sebagai berikut: Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Tujuan corporate gonernance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Dalam Cadbury Report, seperti disebutkan Sedarmayanti (2007: 53), corporate governance dimaksudkan sebagai sistem yang berfungsi untuk mengarahkan dan mengendalikan organisasi. Lebih lanjut, Cadbury Report menjelaskan definisi corporate governance sebagai berikut: A set of rules that define the relationship between shareholders, managers, creditors, the government, employees and other internal and external stakeholders in respect to their right and responsibilities. Seperangkat aturan yang merumuskan hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, karyawan, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya baik internal maupun eksternal sehubungan dengan hak-hak dan tanggung jawab mereka. Organization for economic Cooperation and Development (OECD) dalam Sedarmayanti (2007: 53) menyebutkan pengertian corporate governance sebagai berikut: The structure through which shareholders, directors, managers set of the board objectives and monitoring performance Struktur yang olehnya para pemegang saham, komisaris, dan manajer menyusun tujuan-tujuan perusahaan dan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut dan mengawasi kinerja.
79
b. Prinsip-prinsip Good Corporate Governance Menurut Sutedi (2011: 11-12), good corporate governance harus memenuhi prinsip-prinsip dasar GCG, yaitu transparency, accountability, fairness, dan sustainability. Sedarmayanti (2007: 55) mengutip prinsipprinsip dasar GCG yang dikembangkan OECD yang dapat diterapkan dan dikembangkan oleh korporasi yang berbeda-beda, sesuai dengan keadaan budaya dan tradisi masing-masing negara. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah fairness, disclosure and transparency, accountability, dan responsibility. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) menetapkan lima asas bagi GCG yang harus diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Menurut KNKG (2006: 5), rumusan mengenai prinsip-prinsip GCG tersebut didasarkan pada kepentingan perusahaan itu sendiri agar dapat mencapai kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders). Menurut Boediono (Binhadi, 2006: i), prinsip-prinsip GCG bukan merupakan peraturan perundangan namun diperlukan bagi perusahaan yang ingin mempertahankan kesinambungan usahanya dalam jangka panjang dalam koridor etika bisnis yang berlaku. Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance, Mas Ahmad Daniri, dalam Binhadi (2006: ii) menyatakan bahwa prinsip-prinsip GCG merupakan prinsip yang terus hidup (living document) sehingga perlu untuk selalu disesuaikan dengan perkembangan keadaan dan kondisi masing-masing lembaga.
80
Kelima
asas
tersebut
adalah
transparency,
accountability,
responsibility, independency, dan fairness. Jika dibandingkan dengan 10 prinsip good governance yang dirumuskan UNDP, empat dari lima prinsip GCG yang dirumuskan KNKG telah disebutkan dalam rumusan UNDP, yaitu transparency, equality, responsiveness, dan accountability. Satu prinsip yang tidak disebutkan secara eksplisit adalah prinsip independensi. Menurut peneliti, prinsip ini dapat dimasukkan ke dalam prinsip terakhir yang dirumuskan UNDP, yaitu professionalism. Sebab independensi merupakan salah satu indikator profesionalitas dalam kinerja organisasi. Prinsip-prinsip good governance lainnya yang tidak disebutkan dalam prinsip-prinsip GCG seperti dirumuskan KNKG, yaitu participation, rule of law, vision, supervision, efficiency & effectiveness, dan professionalism, dijadikan sebagai kerangka umum bagi teori tata kelola yang baik. Berikut ini penjelasan mengenai asas-asas GCG menurut KNKG (Binhadi, 2006: 5-7): 1) Transparency (Transparansi) Transparansi dalam kontek GCG dimaksudkan untuk menjaga obyektifitas perusahaan dalam menjalankan bisnisnya. Perusahaan harus menyediakan beragam informasi yang bersifat material, memadai, akurat, relevan, dan kepada setiap stakeholders yang membutuhkan informasi-informasi tersebut. Informasi yang memadai, akurat, dan terpercaya diperlukan oleh para investor untuk menyusun langkahlangkah bisnis mereka berkaitan dengan kondisi perusahaan tersebut.
81
Sebaliknya, informasi yang tidak transparan menyebabkan banyak pihak tidak dapat mengakses berbagai informasi yang diperlukan sehingga dapat menyulitkan pihak-pihak luar untuk melihat apakah perusahaan tersebut dalam keadaan sehat atau bermasalah. Informasi yang tidak memadai dan tidak akurat dapat menyulitkan para investor dalam memprediksi nilai dan risiko dari modal yang mereka investasikan (Sutedi, 2011: 11). Selain bersifat akurat, informasi-informasi penting yang berkaitan dengan perusahaan tersebut juga harus disampaikan pada waktu yang tepat. Informasi yang disampaikan pada waktu yang tidak tepat dapat menimbulkan kesalahan dalam prediksi dan pengambilan keputusan (Sedarmayanti, 2007: 56).
Selain itu, informasi-informasi tersebut harus dapat diakses dan dipahami
dengan
mudah
oleh
para
pemangku
kepentingan
(stakeholders). Agar hal itu dapat dicapai, perusahaan harus mengambil langkah-langkah inisiatif untuk mengungkapkan informasi-informasi yang berkaitan dengan kepatuhannya terhadap peraturan perundangundangan
dan
masalah-masalah
penting
lainnya
bagi
proses
pengambilan keputusan oleh para pemegang saham, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya. Sebagai contoh, kebijakan-kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan
82
dengan berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut (Binhadi, 2006: 5). Menurut KNKG, di antara bentuk informasi yang harus disediakan sebuah perusahaan secara transparan adalah visi, misi, sasaran usaha, strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan dan kempensasi pengurus, pemegang saham, kepemilikan saham oleh anggota Direksi dan anggota Dewan Direksi beserta anggota keluarganya dalam perusahaan dan perusahaan lainnya, sistem manajemen risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal, sistem dan pelaksanaan GCG serta tingkat kepatuhannya, dan kejadiankejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi perusahaan (Binhadi, 2006: 5).
2) Accountability (Dapat Dipertanggungjawabkan) Perusahaan
dituntut
mampu
mempertanggungjawabkan
kinerjanya secara transparan dan wajar. Agar hal itu dapat tercapai, menurut KNKG dalam Binhadi (2006: 6), perusahaan harus dikelola secara benar, terukur, dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan stakeholders lainnya. Dalam good corporate governance, tanggung jawab manajemen dilakukan melalui pengawasan yang efektif berdasarkan keseimbangan kekuasaan antara manajer, pemegang saham, dewan komisaris, dan
83
auditor. Jika keseimbangan kekuasaan antara pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan tersebut tidak terjadi, dimungkinkan perusahaan tersebut tidak accountable (Sedarmayanti, 2007: 56). Sebuah perusahaan dikatakan tidak accountable jika ada kontrol yang kuat dari sebagian kecil pemegang saham atau pemilik keluarga terhadap jalannya perusahaan. Prinsip ini menjadi tidak terpenuhi pada sebuah perusahaan yang menerapkan semacam pembagian kekuasaan antara manajer perusahaan dan pemegang saham yang diwakili oleh dewan direksi atau adanya manajemen perusahaan yang duduk dalam dewan direksi sehingga berpotensi terjadinya KKN (Sutedi, 2011: 11). Agar kinerja masing-masing unit dapat terukur, menurut KNKG dalam Binhadi (2006: 6), perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-masing unit atau organ dalam perusahaan, termasuk seluruh karyawan, secara jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai perusahaan (corporate values), dan strategi perusahaan. Selain itu, perusahaan juga harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan perusahaan. Perusahaan juga harus menetapkan ukuran yang jelas bagi kinerja masing-masing organ perusahaan dan sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment system) bagi seluruh anggota unit perusahaan yang berhak mendapatkannya. 3) Fairness (Kejujuran atau Kewajaran).
84
Good corporate governance menekankan pada kejujuran. Investor harus memiliki hak-hak yang jelas tentang kepemilikan dan sistem dari aturan dan hukum yang dijalankan untuk melindungi hakhaknya. Selain mengandung arti kejujuran, prinsip fairness juga berarti kewajaran (Sedarmayanti, 2007: 55), yaitu adanya perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, khususnya terhadap pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing. Prinsip ini menuntut adanya keterbukaan informasi, khususnya informasi-informasi yang bersifat primer dan adanya larangan untuk melakukan pembagian saham untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam. Perusahaan harus mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan pemegang saham dan kepentingan stakeholders lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan (Binhadi, 2006: 7). Agar asas ini dapat terlaksana dengan baik, KNKG dalam Binhadi (2006: 7) menuntut perusahaan agar senantiasa memberikan kesempatan kepada para pemangku kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan perusahaan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing. Selain itu, perusahaan dituntut untuk memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada setiap pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi
yang
diberikan
85
kepada
perusahaan
dengan
tanpa
membedakan faktor-faktor subjektif yang jauh dari standar kerja profesional. 4) Responsibility (Responsibilitas) Perusahaan yang telah eksis dan menghasilkan keuntungan, dalam jangka panjang harus mampu memastikan derajat kepatuhannya terhadap
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
dan
komitmennya terhadap masyarakat dan lingkungannya (corporate social responsibility). Menurut Sutedi (2011: 12), perusahaan harus mampu menemukan cara untuk memuaskan pegawai dan komunitasnya agar berhasil, memiliki sense yang baik terhadap lingkungan, memperhatikan hukum yang berlaku, memperlakukan pekerja secara adil, dan menjadi warga corporate yang baik. Perusahaan yang demikian diharapkan dapat menghasilkan keuntungan yang lama bagi stakeholders. Langkah praktisnya, seperti ditegaskan oleh KNKG dalam Binhadi (2006: 6), setiap organ perusahaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhannya terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, anggaran dasar, dan peraturan perusahaan yang dikeluarkannya. Terhadap fungsi corporate social responsibility, perusahaan harus membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai, terutama bentuk kepeduliannya terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan di sekitar perusahaan. 5) Independency (Independensi)
86
Menurut KNKG dalam Binhadi (2006: 6), agar asas GCG dapat terlaksana dengan baik, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak-pihak lain. Masing-masing organ dalam perusahaan harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif. Organ-organ perusahaan harus mampu melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan aturan yang berlaku, tidak saling mendominasi, dan tidak saling melempar tanggung jawab. C. Pengembangan Usaha dalam Manajemen Wakaf Produktif Dalam Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia (Pena, t.th:
415), kata
pengembangan berasal dari kata “berkembang” yang berarti mekar, terbuka, menjadi besar, luas, maju, baik, dan sempurna. Menurut Hadi (2011: 191), pengembangan adalah setiap usaha untuk memperbaiki pelaksanaan pekerjaan yang sekarang maupun yang akan datang, dengan memberikan keterangan, mempengaruhi sikap-sikap, atau menambah keterampilan-keterampilan. Menurut Supartini (2011: 22) pengembangan adalah segala sesuatu yang dilakukan untuk mengubah dan memajukan apa yang sudah dimiliki menjadi lebih baik. Pengembangan mengandung arti membuat, mengadakan, atau mengatur sesuatu yang belum ada, dan memajukan, memperbaiki, dan meningkatkan sesuatu yang sudah ada. Pengembangan dilakukan dengan cara merubah dan menambah
87
sesuatu yang dimiliki agar lebih menarik, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pengembangan tidak harus merubah atau mengganti apa yang ada namun bisa dilakukan dengan cara menggali berbagai potensi yang tersedia atau memanfaatkan kemampuan unsur-unsur yang ada. Kata pengembangan berkaitan dengan kata pengelolaan. Istilah pengelolaan berasal dari kata “kelola” yang berarti serangkaian usaha untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi yang dimiliki secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan. Jika dilihat dari sudut pandang manajemen, pengelolaan dimaksudkan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang terdiri dari unsur-unsur manajemen dalam mencapai tujuan organisasi. Jika kedua sudut pandang tersebut digabungkan, kata pengelolaan dapat dimaknai sebagai rangkaian kegiatan yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengendalian yang bertujuan menggali dan memanfaatkan seluruh potensi sumber daya secara efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam penelitian ini, istilah pengelolaan dan pengembangan memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Dari segi waktu, pengembangan selalu diawali dengan pengelolaan. Pengelolaan yang baik selalu berdampak pada pengembangan terhadap obyek yang dikelola. Sedangkan pengelolaan yang tidak baik dapat menyebabkan obyek yang dikelola tidak berkembang bahkan mengalami
penyusutan.
Kedua
istilah
tersebut
dipisahkan
dengan
kata
penghubung, yaitu “dan”, untuk memberikan ruang bagi istilah pengelolaan yang tidak berdampak pada pengembangan. Selain itu, berdasarkan perbedaan makna dasar dari kedua istilah tersebut, kata pengelolaan dimaksudkan sebagai upaya
88
untuk menggali dan memanfaatkan potensi yang dimiliki bandha wakaf sedangkan kata pengembangan dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan nilai tambah bagi pengelolaan yang sudah dilakukan atau meningkatkan kinerja pengelolaan bandha wakaf melalui serangkaian kegiatan yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Menurut Suryana (2001: 87), ada dua keterampilan manajemen yang diperlukan bagi pengembangan usaha, yaitu keterampilan manajemen personalia dan keterampilan manajemen keuangan. Keterampilan manajemen personalia menyangkut keterampilan mengelola tenaga kerja yang meliputi merencanakan, mengorganisir,
mengarahkan,
mengendalikan,
mengembangkan,
memberi
kompensasi, dan memutus hubungan kerja untuk mencapai sasaran perusahaan. Di antara indikator keberhasilan manajemen personalia adalah kemampuan manajer untuk menempatkan orang pada tempat yang tepat dan kemampuannya memberikan reward atau punishment sesuai dengan kinerja yang ditunjukkannya. Sedangkan
keterampilan
manajemen
keuangan
merupakan
bentuk
keterampilan fungsional yang dapat menjelaskan bagaimana cara menggunakan dana secara efektif dan efisien, cara memperoleh dana dengan memilih sumber permodalan yang tepat, dan cara membagi keuntungan atau hasil usaha. Pada era liberalisasi ekonomi seperti sekarang ini, pengembangan usaha merupakan langkah yang harus ditempuh oleh setiap pelaku bisnis. Persaingan bisnis yang semakin ketat menuntut pelaku usaha berlaku pintar dalam menyusun strategi menghadapi pasar yang tidak mudah dikendalikan. Selain itu, perkembangan yang pesat dalam bidang teknologi dan informasi telah membuat
89
konsumen lebih cermat dan cerdas dalam memilih barang atau jasa. Pengembangan usaha dapat dilakukan melalui beberapa teknik seperti intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi. Intensifikasi usaha dimaksudkan sebagai upaya peningkatan hasil usaha melalui penggunaan berbagai macam teknologi
yang
dapat
meningkatkan
volume
produksi
dan
kualitasnya.
Ekstensifikasi usaha dimaksudkan sebagai upaya peningkatan hasil usaha dengan cara memperluas wilayah produksi sehingga dapat menghasilkan jumlah yang lebih besar dan dapat memasarkan barang pada area yang lebih luas. Sedangkan diversifikasi usaha dimaksudkan sebagai upaya memperbanyak jenis usaha sehingga dapat memperbanyak produk dan menambah keuntungan hasil usaha. Adriansyah (2011: 22) menjelaskan empat strategi dalam mengembangkan usaha, yaitu strategi penetrasi pasar, strategi pengembangan pasar, strategi pengembangan produk, dan strategi diversifikasi. Strategi penetrasi pasar (market penetration) dilakukan dengan cara memasarkan produk yang ada (existing product) untuk pelanggan yang ada saat ini (existing costumers). Di antara cara yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan promosi produk dan mereposisi merk. Dalam strategi ini, tidak dilakukan perubahan produk atau menambah produk untuk pelanggan baru (Adriansyah, 2011: 22). Melihat karakteristiknya, strategi ini dimaksudkan untuk mempertahankan atau meningkatkan pangsa pasar dari produk yang sudah ada, meningkatkan loyalitas pelanggan yang ada dengan cara memberikan pelayanan khusus atau skema tertentu bagi pelanggan setia, dan merestrukturisasi pasar dengan melakukan promosi yang agresif dan penawaran harga yang kompetitif dengan maksud untuk memperkuat produk dan membuat
90
pasar tidak menarik bagi kompetitor. Strategi pengembangan pasar (market development strategy) dilakukan dengan cara memasarkan produk yang sudah ada pada pasar yang baru. Hal ini berarti bahwa produknya tidak mengalami perubahan hanya saja ditawarkan pada pasar yang berbeda (Adriansyah, 2011: 23). Strategi pengembangan produk (product development strategy) dilakukan dengan cara menawarkan produk yang baru dan berbeda dengan produk sebelumnya kepada konsumen atau pasar yang sudah ada (Adriansyah, 2011: 24). Sedangkan strategi diversifikasi (diversification strategy) merupakan strategi perusahaan untuk menawarkan produk yang baru kepada pelanggan atau pasar yang baru (Adriansyah, 2011: 24). Eriyatno (2012: 107) menawarkan empat strategi bisnis yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas usaha dan berdampak pada pemberdayaan masyarakat. Keempat strategi bisnis tersebut adalah strategi diferensiasi praktik bisnis, strategi diversifikasi, strategi desentralisasi proses industri, dan strategi dekonsentrasi usaha penunjang. Menurutnya, keempat strategi bisnis tersebut dapat diwujudkan secara terpisah dan dapat pula saling berkaitan dalam satu rangkaian proses bisnis. Dalam penelitian ini, tawaran konsep dari Eriyatno ini yang akan dijadikan sebagai pisau analisis untuk melihat pola pengembangan yang terjadi pada bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Berdasarkan rumusan Eriyatno, pengembangan usaha atau bisnis dapat dilakukan dengan menggunakan empat strategi, yaitu strategi diferensiasi, strategi diversifikasi, strategi desentralisasi, dan strategi dekonsentrasi usaha penunjang. 1. Strategi Diferensiasi
91
Strategi diferensiasi (differentiation) dalam bisnis merupakan strategi perusahaan untuk memiliki produk atau menawarkan layanan (jasa) berbeda dengan produk atau layanan yang ditawarkan oleh perusahaan lainnya. Strategi ini merupakan sistem pengembangan produk yang memadukan antara manajemen, teknologi, dan tenaga kerja lokal yang saling berkaitan dengan permintaan pasar sehingga mampu menghadapi pasar yang kompetitif (Eriyatno, 2012: 109). Karakteristik dari strategi diferensiasi adalah keunikan produk atau teknik pengolahan sehingga tidak mudah ditiru dan berbeda dengan praktik bisnis yang dijalankan pihak lain. Strategi ini dapat dilakukan dengan menciptakan produk yang unik, memberikan pelayanan yang unik, atau menciptakan image produk yang unik dan berbeda dari produk yang beredar di pasar. Perbedaan atau keunikan tersebut bisa terletak pada produk yang dihasilkan, jasa yang ditawarkan, ataupun cara memasarkan. Rifai (2012: 205) menyebut saat ini sebagai era pertarungan diferensiasi. Masih menurut Rifai, praktik diferensiasi telah memasuki cakupan sumber yang luas dan bisa dimunculkan dari manipulasi sejumlah faktor seperti fitur, kinerja produk, tampilan, desain, konsisitensi, daya tahan, kepercayaan, ataupun tawaran kemudahan dalam maintenance. Kata unik dalam produk tidak sekedar asal beda dengan yang lain. Keunikan produk lebih ditekankan pada makna manfaat spesifik yang dapat dirasakan oleh konsumen dari produk tersebut. Dalam dunia usaha yang selalu mengalami perubahan, keunikan produk juga mengikuti trend pasar yang
92
bersifat dinamis. Suatu produk yang dikatakan unik pada suatu waktu akan menjadi standar atau biasa-biasa saja pada waktu yang berbeda. Demikian pula dari sisi lokasi. Produk yang unik di daerah tertentu bisa jadi dianggap biasa oleh konsumen di daerah lain. Oleh karena itu, pelaku bisnis tidak mungkin menyediakan produk yang dapat memuaskan konsumen secara sempurna dan dalam waktu yang lama. Pengusaha cukup menawarkan satu atau beberapa segi keunggulan bagi produknya yang dapat dilihat dari diferensiasi harga, diferensiasi pasar, diferensiasi produk, dan diferensiasi layanan. Diferensiasi harga berkaitan dengan tawaran harga kompetitif bagi produk tertentu. Harga yang ditawarkan tidak secara otomatis berarti menawarkan harga termurah, namun lebih ditekankan pada nilai manfaat yang diberikan kepada konsumen ketika membeli produk yang ditawarkan. Diferensiasi pasar bisa diwujudkan dengan menawarkan lokasi bisnis yang lebih mudah dijangkau konsumen. Diferensiasi produk berkaitan dengan kualitas produk yang ditawarkan atau menjadi produk inovatif yang belum pernah
dikenal
sebelumnya.
Sedangkan
difererensiasi
layanan
dapat
diwujudkan pada penyajian yang lebih cepat, sistem home delivery bagi produk-produk tertentu, layanan purna jual, garansi yang lebih menarik, atau kemampuan yang spesifik bagi produk yang dimaksud. Produk yang unik, baik berupa barang maupun jasa, akan memberikan keuntungan bagi produsen, seperti lebih mudah dikenal, tertanam image yang kuat, dan memberikan daya tarik tersendiri bagi para konsumen. Oleh karena itu, untuk menjalankan strategi diferensiasi ini, perusahaan dituntut selalu
93
mengembangkan produk-produknya yang bersifat inovatif dan dapat menjamin keunikan tersebut secara berkesinambungan. Produk yang unik akan terlihat lebih unggul dibandingkan produk-produk lain yang dianggap standar oleh konsumen. Keunggulan sebuah produk dapat membantu produsen untuk menanamkan image yang kuat dan membangun loyalitas konsumen tentang produk tersebut. Jika kedua hal tersebut dapat terwujud, konsumen akan memburu produk-produk tersebut meskipun ditawarkan dengan harga lebih mahal dibandingkan harga yang beredar di pasaran. Dalam berbisnis, melahirkan produk inovatif dan kreatif26 merupakan salah satu kunci sukses bagi keberlangsungan sebuah usaha (Hendro, 2011: 106). Produk yang standar, apa adanya, tidak mengembangkan kreativitas dan inovasi akan ditinggalkan konsumen yang segera merasa jenuh dengan produk yang ada. Strategi diferensiasi akan membantu produsen untuk mengatasi pasar yang telah jenuh tersebut dengan melakukan modifikasi, baik minor maupun mayor, pada produk-produk yang ditawarkan. 2. Strategi Diversifikasi Dalam istilah ekonomi, diversifikasi dimaksudkan sebagai usaha penganekaragaman produk atau lokasi yang dilakukan suatu perusahaan untuk menghindari ketergantungan pada ketunggalan kegiatan produk, jasa, dan investasi, dan untuk memaksimalkan keuntungan sehingga arus kas perusahaan lebih stabil (Sumadji, 2006: 260). Diversifikasi usaha dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti
26
Menurut Saiman (2009: 95), kreatifitas berkaitan dengan daya cipta sedangkan inovasi berkaitan dengan daya perubahan.
94
mengembangkan jenis usaha baru, mengembangkan wilayah usaha baru, dan mengembangkan jenis barang dan jasa baru. Saat ini telah berkembang modelmodel diversifikasi usaha yang dilakukan pada satu bidang usaha tertentu, seperti usaha dalam bidang pertanian yang telah berkembang menjadi usaha agroindustri, agrowisata, dan agrobisnis. Dalam bidang jasa, seperti usaha jasa angkutan, saat ini telah berkembang menjadi berbagai macam jenis, seperti angkutan umum, apariwisata, usaha travel, pengiriman barang, dan lainnya. Diversifikasi bisa dilakukan dengan memperbanyak macam produk atau jasa yang ditawarkan. Dengan jumlah produk atau jasa yang ditawarkan bertambah banyak, kemungkinan volume penjualan meningkat dan pendapatan pun ikut bertambah. Diversifikasi juga bisa dilakukan sebagai usaha perusahaan untuk mengantisipasi risiko pada salah satu unit bisnis dengan cara menutupinya dengan keuntungan pada unit bisnis lainnya. Jenis usaha yang baru dibuka bisa merupakan jenis usaha yang berkaitan dan bisa juga tidak berkaitan. Diversifikasi dikatakan berkaitan apabila terjalin hubungan di antara unit-unit bisnisnya, seperti unit produk, jasa, teknologi, maupun jaringan distribusi. Jika jalinan pada unit-unit tersebut semakin kuat, tingkat diversifikasinya semakin rendah. Diversifikasi berkaitan dapat dilakukan ketika perusahaan memiliki tingkat persaingan tinggi namun industri tersebut dianggap tidak menarik lagi sehingga perlu mencoba memasuki bisnis yang baru. Strategi diversifikasi yang tidak berkaitan merupakan strategi perkembangan perusahaan yang memasuki industri baru dan tidak berkaitan
95
sama sekali dengan strategi yang ada saat ini. Diversifikasi ini dilakukan ketika realisasi manajemen pada bisnis yang saat ini dijalankan dianggap tidak menarik lagi atau karena adanya kendala dalam mendapatkan sumber daya atau keahlian pada unit usaha yang ada sehingga diputuskan untuk melakukan diversifikasi. Menurut Eriyatno (2012: 114), diversifikasi dapat dilakukan pada produk hasil industri yang utama maupun produk ikutan. Pada kenyataannya, banyak perusahaan yang menghasilkan produk-produk tertentu (produk utama), ternyata juga menghasilkan berbagai macam produk ikutan, baik berupa hasil sampingan maupun limbah produk. Hasil-hasil ikutan tersebut akan lebih bermakna jika dikembangkan menjadi produk-produk ikutan yang memiliki keunggulan dan inovatif.
Oleh Eriyatno, inovasi dalam pengolahan produk-produk ikutan tersebut dikemas dalam format diversifikasi produk ikutan. Fokus dari model diversifikasi produk ikutan ini adalah kreativitas aneka macam produk dan memiliki nilai lebih, seperti variasi produk yang beragam atau ditawarkan dengan kemasan yang berbeda. 3. Strategi Desentralisasi Desentralisasi merupakan strategi perusahaan untuk memberikan otonomi secara luas kepada para pimpinan cabang sehingga mampu memberikan produk yang lebih baik sedangkan manajemen pusat hanya berfungsi membuat kebijakan yang bersifat umum (Sumadji, 2006: 239).
96
Strategi desentralisasi merupakan proses penyebaran kegiatan produksi. Penyebaran ini dilakukan dengan membentuk jaringan-jaringan, baik pada level penyediaan bahan baku atau pada level pemasaran produk. Biasanya, pengusaha besar berusaha membuat aktivitas usahanya secara terpusat agar memudahkan proses monitoring dan controlling. Namun manajemen berbasis sentralisasi memiliki banyak kelemahan, seperti terjadinya pemusatan risiko dan dapat berdampak negatif bagi keberlanjutan bisnis paripurna. Model desentralisasi dapat mengurangi risiko tersebut karena akan terjadi pengalihan sebagian lini bisnis pada unit-unit berbeda sehingga akan terjadi proses penyebaran risiko (Eriyatno, 2012: 117). Dalam bisnis besar, terdapat isu penting yang perlu diperhatikan, yaitu otoritas yang berhak mengambil keputusan. Permasalahan yang muncul berkaitan dengan pihak yang memiliki otoritas tersebut, yaitu apakah menjadi hak manajemen pusat ataukah didelegasikan kepada hirarki yang lebih rendah dan jauh dari pusat. Pola manajemen yang pertama disebut sentralisasi dan pola manajemen yang kedua disebut desentralisasi. Dalam desentralisasi, pengambilan keputusan berada pada tingkat yang lebih rendah. Sedangkan dalam sentralisasi, pengambilan keputusan berada pada tingkat pusat. Dalam organisasi yang menerapkan kebijakan sentralisasi, keputusan-keputusan diambil oleh tingkatan organisasi yang berada di pusat. Dari pusat, berbagai informasi, ide, dan keputusan mengalir ke tingkat organisasi yang lebih rendah. Dalam sebuah organisasi desentralisasi, pengambilan keputusan
97
dilimpahkan kepada tingkat organisasi yang lebih rendah, seperti divisi, cabang, departemen, atau anak perusahaan. Dengan demikian, semakin besar organisasi yang menerapkan desentralisasi, akan terjadi penyebaran otoritas pengambilan keputusan sehingga akan memasukkan lebih banyak manajer junior dalam hirarki organisasi. Menurut
(http://akuntansibisnis.wordpress.com)27
Simbolon
desentralisasi merupakan praktik pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada jenjang yang lebih rendah. Desentralisasi dapat diwujudkan melalui pembentukan unit-unit usaha yang disebut divisi. Dalam sebuah perusahaan besar, biasanya terdapat banyak divisi yang memiliki tugas dan target yang berbeda-beda. Divisi-divisi tersebut dapat dibedakan berdasarkan kriteria barang yang diproduksi, jasa yang ditawarkan, atau letak geografis. Dalam desentralisasi ini, perusahaan dapat membentuk jaringanjaringan yang dapat berfungsi sebagai penyedia sumber bahan baku atau jaringan-jaringan pemasaran yang mengantarkan produk sampai ke tangan konsumen. Jaringan-jaringan tersebut dapat dilakukan oleh unit-unit usaha milik perusahaan induk maupun hasil kerja sama dengan mitra-mitra binaan. Agar model bisnis ini berjalan dengan baik, diperlukan adanya persamaan persepsi sesama pelaku, adanya kepercayaan yang tinggi (smart trust), dan loyalitas dari mitra-mitra lokal anggota jaringan. 4. Strategi Dekonsentrasi Usaha Penunjang Strategi dekonsentrasi wewenang 27
dan
pemindahan
dimaksudkan sebagai upaya pelimpahan fungsi
manajemen tertentu
Diakses hari Jum’at, 11 Januari 2013, pukul 15.30 WIB.
98
dari tingkat
pusat ke tingkat unit yang lebih rendah dalam lembaga atau organisasi yang sama, tetapi kontrol keseluruhan program tetap berada di tingkat pusat (Pena, t.th.: 216). Dekonsentrasi memiliki kedekatan makna dengan desentralisasi, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari tingkat manajemen pusat kepada manajemen cabang. Perbedaannya terletak pada besarnya otoritas yang dimiliki oleh manajemen cabang. Manajemen cabang pada kebijakan desentralistik memiliki otoritas yang lebih luas karena memiliki wilayah otonomi. Sedangkan dekonsentrasi tidak memberikan otonomi bagi manajemen cabang. Dalam definisi di atas, kontrol keseluruhan program pada strategi dekonsentrasi tetap dipegang oleh manajemen pusat. Pada umumnya, setiap perusahaan membagi usahanya menjadi dua bidang proses kerja, yaitu kegiatan pokok perusahaan (core bussines) dan kegiatan penunjang perusahaan (non core bussines). Kegiatan pokok perusahaan merupakan kegiatan inti perusahaan dalam menghasilkan produk atau jasa yang merupakan akhir dari proses kerja pada perusahaan. Menurut Cahyo (http://angkringanindustri.blogspot.com),28 kegiatan pokok perusahaan merupakan kegiatan perusahaan yang diharapkan mampu memberikan kontribusi yang besar atas keunggulan yang dipersepsikan oleh pelanggan dari hasil akhir, memberikan akses potensial ke dalam pasar yang jelas, dan merupakan kegiatan yang sulit ditiru atau digantikan. Sedangkan kegiatan penunjang merupakan kegiatan yang bukan kegiatan inti perusahaan
28
Diakses hari Jum’at, 11 Januari 2013, pukul 15.30 WIB
99
namun termasuk dalam rantai proses kerja perusahaan. Apabila kegiatan penunjang ini berhenti, maka kegiatan pokok perusahaan menjadi terhambat. Pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan penunjang adalah kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi atau kegiatan yang tidak termasuk usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Selanjutnya pasal tersebut menyebutkan contoh-contoh kegiatan penunjang, yaitu usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh, usaha tenaga pengaman (security), usaha jasa penunjang di pertambangan
dan
perminyakan,
serta
usaha
penyediaan
angkutan
pekerja/buruh. Pada perkembangannya, konsep usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core business merupakan konsep yang multitafsir, mudah berubah, dan berkembang secara dinamis. Dalam kasus outsourching, kegiatan usaha yang boleh dialihdayakan hanyalah kegiatan usaha penunjang. Namun dalam praktiknya, banyak perusahaan memperluas cakupan kegiatan yang dialihdayakan sehingga meliputi kegiatan-kegiatan yang pada mulanya dianggap usaha inti. Lebih lanjut, menurut Eriyatno (2012: 121), usaha penunjang diartikan secara lebih luas sehingga mencakup unit-unit usaha yang dikembangkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar usaha tersebut dan dapat meningkatkan nilai usaha yang dimaksud. Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa dekonsentrasi usaha penunjang dimaksudkan sebagai usaha yang tidak
100
termasuk dalam kegiatan inti perusahaan namun merupakan bagian dari rantai proses kerja perusahaan. Usaha yang termasuk dalam usaha penunjang masih berada dalam dalam kontrol yang dilakukan oleh manajemen pada tingkat pusat. Menurut Eriyatno (2012: 120), berdirinya suatu industri bisnis akan berdampak, baik secara langsung maupun tidak, pada kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar industri tersebut. Berdirinya suatu unit usaha atau mitramitra usaha binaan, meskipun terletak di daerah terpencil dan dilengkapi dengan fasilitas yang sederhana, dapat mempengaruhi kehidupan dan peningkatan kesejahteraan perekonomian masyarakat lokal. Dalam strategi dekonsentrasi usaha penunjang ini, industri diharapkan turut berpartisipasi dan memfasilitasi unsur-unsur yang menjadi pendukung dan pelengkap bagi aktivitas industri itu sendiri. Diakui atau tidak, perkembangan unsur-unsur penunjang memberikan dampak positif dan meningkatkan nilai tambah bagi perkembangan industri sehingga pihak pengelola perlu memberi perhatian, pelayanan, dan penanganan khusus terhadap unit-unit usaha penunjang di sekitarnya. Menurut Eriyatno (2012: 121), strategi dekonsentrasi usaha penunjang memerlukan ketersediaan infrastruktur lingkungan usaha yang kondusif dan keterampilan bekerja yang baik pada pelaku usaha-usaha penunjang. Melalui dekonsentrasi, akan terjadi perluasan usaha dan bertambahnya lapangan kerja baru bagi warga sekitar. Unit-unit usaha penunjang dapat dikembangkan dalam bentuk UKM pendukung dan pelengkap sehingga dapat meningkatkan taraf
101
hidup dan memunculkan banyak entrepreneur yang kreatif. Unit-unit usaha penunjang tersebut dapat berupa aneka macam usaha mikro dan kecil seperti toko, warung, jasa transportasi, kontrakan rumah, dan lainnya.
102
BAB III BANDHA WAKAF MASJID AGUNG SEMARANG A. Sejarah Masjid Agung Semarang Banyak penelitian menyatakan bahwa Masjid Agung Semarang didirikan oleh Sunan Pandan Arang. Tim Peneliti Masjid Agung Jawa Tengah (2008: 30) menyebutkan adanya kesepakatan ahli sejarah mengenai hal tersebut. Sunan Pandan Arang adalah seorang maula>na> dari Arab yang aslinya bernama Maula>na> Ibnu Abdul Salam. Pada mulanya, ia mendapat tugas dari Sunan Kalijaga untuk menyebarkan Islam di kawasan sebelah barat kesultanan Demak, yaitu Pulau Tirang yang kelak disebut Semarang (MAJT, 2008: 40). Dalam perjalanannya, Sunan Pandan Arang diangkat menjadi adipati pertama Semarang dan dikenal dengan sebutan Adipati Pandan Arang I. Masjid yang dibangun Adipati Pandan Arang I tidak hanya dijadikan sebagai tempat ibadah dan mengajarkan ilmu agama, melainkan juga untuk menyelenggarakan pemerintahan. Menurut Tim Peneliti MAJT (2008: 45), waktu pendirian masjid tersebut tidak berselang lama dari kehadiran Pandan Arang di Pulau Tirang, yaitu pada akhir abad ke-15 M.29 Lokasi masjid yang dibangun Pandan Arang itu menurut Tim Peneliti MAJT (2008: 46) diduga berada di dekat tempat tinggalnya, yaitu di kawasan yang saat ini disebut Mugas Atas. Di tempat ini pula, ditemukan makam Pandan Arang yang masih dapat disaksikan sampai saat ini. 29
Menurut Badan Kesejahteraan Masjid seperti dikutip Tim Peneliti MAJT (2008: 41), peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1575 M. Namun informasi ini diragukan sendiri oleh Tim Peneliti MAJT sebab bertentangan dengan informasi lain yang menyatakan bahwa Adipati Pandan Arang I telah meninggal dunia jauh sebelum tahun tersebut, yaitu 1496 M. Meninggalnya Pandan Arang ditandai dengan candra sengkala muktiningrat catur bumi (MAJT, 2008: 48).
103
Kawasan Mugas Atas dianggap kondusif bagi tempat tinggal dan tempat belajar agama Islam, namun tidak cukup strategis untuk mengendalikan sebuah pemerintahan. Oleh karena itu, setelah diangkat sebagai Adipati Semarang, Pandan Arang memutuskan untuk meninggalkan Mugas dan memilih Bubakan sebagai tempat tinggal sekaligus pusat pemerintahan Kadipaten Semarang (MAJT, 2008: 49). Di antara alasan Pandan Arang memilih Bubakan sebagai pusat pemerintahan adalah letaknya yang dekat dengan pelabuhan sehingga kawasan itu mengalami perkembangan lebih pesat dan ramai. Seperti diketahui, pada masa itu arus perdagangan lebih banyak dilakukan melalui transportasi laut, terutama yang dilakukan oleh etnis China (MAJT, 2008: 52). Di Bubakan, Pandan Arang membangun berbagai infrastruktur yang mendukung kelancaran pemerintahannya, seperti istana kadipaten, alun-alun, penjara, dan masjid. Keberadaan masjid dipandang perlu bukan sekedar sebagai sarana ibadah, melainkan juga sebagai sarana pembinaan dan pengajaran ilmu-ilmu agama Islam bagi umat Islam. Keberadaan masjid dengan pusat pemerintahan mengindikasikan adanya ikatan yang kuat antara penyelenggaraan roda pemerintahan dengan praktik keagamaan (MAJT, 2008: 54). Meskipun keberaadaan masjid di Bubakan ini telah disepakati oleh ahli sejarah, hingga kini tidak diketahui secara pasti letak masjid tersebut. Kesulitan dalam menentukan lokasi masjid tersebut disebabkan tidak ditemukannya tandatanda atau prasasti yang dapat dijadikan petunjuk bagi letak masjid tersebut. Tanda-tanda atau prasasti tersebut hilang karena masjid Bubakan terbakar ketika
104
terjadi kerusuhan yang melibatkan orang-orang China yang dibantu orang-orang pribumi melawan tentara VOC dalam sebuah peperangan di kawasan Pecinan yang dikenal dengan Perang Semarang pada tahun 1741 M (MAJT, 2008: 53). Setelah terbakar, masjid kemudian berpindah di kawasan yang sekarang ini disebut dengan Kauman, berdekatan dengan pasar Johar (MAJT: 2008: 51). Masjid Kauman dibangun oleh Bupati Suromenggolo II yang berkuasa pada tahun 1717 hingga tahun 1751 M. Namun hingga akhir masa pemerintahan Bupati Suromenggolo II, pembangunan masjid Kauman belum juga selesai. Penerus Suromenggolo II, yaitu Bupati Suromenggolo III kemudian melanjutkan pembangunan masjid tersebut hingga berakhir tahun 1760 M (MAJT, 2008: 62). Dalam perkembangannya, masjid Kauman terus mengalami perbaikan dan perkembangan seiring dengan pergantian kepala daerah atau bupati di Semarang. Dalam catatan masjid Kauman dituliskan bahwa masjid tersebut pernah mengalami kerusakan akibat tersambar petir. Peristiwa itu terjadi, berdasarkan informasi dari prasasti yang melekat pada gapuro masjid Kauman, pada hari Jumat tanggal 11 April 1885 jam setengah sembilan malam (MAJT, 2008: 65). Setelah tersambar petir, masjid Kauman dibangun kembali pada tanggal 23 April 1889. Perbaikan masjid Kauman dilakukan oleh Bupati Semarang pada masa itu, yaitu Raden Tumenggung Cokrodipuro dan dibantu oleh Asisten Residen Semarang G.I. Blume (MAJT, 2008: 67). Renovasi itu diarsiteki oleh Ir. G.A. Gambier dan selesai pada tanggal 23 November 1890.30
30
Informasi ini diperoleh dari 3 inskripsi yang tertulis pada tiang-tiang sisi gapuro (pintu gerbang) masjid yang ditulis dalam bahasa Belanda, bahasa Jawa, dan bahasa Melayu bertuliskan Arab Pegon. Tulisan tersebut berbunyi, “Mesjid terbakar hari Jum’at tanggal 11 April 1885 jam setengah Sembilan malam, dibangun kembali tanggal 23 April 1889 atas bantuan G.I. Meere
105
Pada tahun 1897 M, Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Adipati Purbaningrat (w. 1927 M) menganugerahkan tiga buah pusaka kepada masjid Kauman. Ketiga pusaka tersebut berupa tiga tombak yang bernama tombak Kyai Plered, Kyai Puger, dan Kyai Mojo. Ketiganya saat ini tersimpan di bagian atas masjid. Tombak-tombak tersebut pernah juga disimpan oleh Walikota Semarang H. Soetrisno Suharto pada masa pemerintahannya. Setelah masa pemerintahannya berakhir, ketiga tombak tersebut dikembalikan ke masjid Kauman (MAJT, 2008: 69). Pada tahun 1950 M, dilakukan renovasi terhadap masjid Kauman berupa perluasan serambi. Perluasan ini dilakukan atas dasar inisatif dari Kepala Djawatan Urusan Agama Propinsi Jawa Tengah, KH. Saefuddin Zuhri, dan Walikota Semarang, RM. Hadi Soebeno Sosrowerdoyo (MAJT, 2008: 70). Selanjutnya pada tahun 1962, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 92 Tahun 1962, pemerintah memberikan status hukum kepada masjid Kauman Semarang sebagai masjid wakaf dan menunjuk Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) yang merupakan salah satu lembaga di bawah pembinaan Departemen Agama sebagai nazhirnya. Melalui SK ini, segala sesuatu yang berkaitan dengan masjid Kauman Semarang menjadi tanggung jawab BKM, seperti perbaikan masjid dan kegiatan-kegiatannya. Sebelum adanya SK tersebut, urusan masjid dikelola oleh umat Islam di sekitar Kauman yang ditunjuk oleh Kyai Penghulu Kadipaten. Pengurus masjid ini mendapatkan imbalan dari hasil
Asisten Residen Semarang dan Raden Tumenggung Tjokrodipuro Bupati Semarang, pelaksana Ir. G.A. Gambier, selesai tanggal 23 Nopember 1890” (MAJT, 2008: 68).
106
pengelolaan tanah bengkok yang lebih dikenal dengan bandha wakaf masjid (MAJT, 2008: 71). Pada perkembangannya, masjid Kauman Semarang terus berbenah dan mengalami perbaikan-perbaikan. Di antara perbaikan yang dilakukan adalah perbaikan atap dan interior masjid pada tahun 1979/1980, pemugaran serambi masjid pada tahun 1987/1988, dan perbaikan lantai masjid dengan lapisan marmer tahun 1999/2000 (MAJT, 2008: 72, Yusuf, 2000: 8). B. Kontroversi Tukar Guling Bandha Wakaf Seperti diketahui, beredar kabar di kalangan masyarakat luas mengenai hilangnya tanah wakaf Masjid Agung Semarang. Berdasarkan informasi resmi dari Takmir Masjid Agung Semarang sesuai dengan KMA No. 12 tahun 1980, kekayaan atau bandha Masjid Agung Semarang ini berupa tanah seluas 119,1270 hektar yang tersebar di enam kelurahan yang sebelum ada pemekaran wilayah Kota Semarang, semua lokasi tanah tersebut termasuk dalam wilayah Kabupaten Demak. Informasi lain yang dimuat koran Suara Merdeka, Kamis 6 Agustus 1998, menyebutkan luas tanah wakaf Masjid Agung Semarang mencapai 400 hektar (MAJT, 2008: 76). Dalam penelusuran Yusuf (2000: 7), kekayaan Masjid Agung Semarang ini merupakan wakaf dari Ki Ageng Pandan Arang yang merupakan pendiri sekaligus bupati pertama KotaSemarang. Dalam sejarah kerajaan di Jawa, seorang raja biasa memberikan bidang-bidang tanah kepada seseorang atau sekelompok orang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Tanah pemberian raja seperti itu disebut tanah perdikan (Ismawati, 2006: 66). Tanah perdikan bisa diberikan
107
kepada seseorang yang dipercaya mengelola sebuah lembaga pendidikan keagamaan, masjid, maupun asrama. Dalam kultur sejarah kerajaan Jawa, tanah merupakan hak milik raja sehingga segala bentuk pajak yang berkaitan dengan tanah tersebut diserahkan kepada raja. Dengan statusnya sebagai tanah perdikan, tanah-tanah tersebut dibebaskan dari pajak dan pemiliknya dibebaskan dari kerja rodi (Ismawati, 2006: 67). Menurut Yusuf (2000: 7), sejak zaman kesultanan Demak, Masjid Agung Semarang telah memiliki kekayaan berupa tanah yang sangat luas yang semula disediakan sebagai upah untuk digarap para merbot dan sebagian lagi untuk biaya pemeliharaan masjid itu sendiri.31 Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mengeluarkan peraturan baru tentang pertanahan, yaitu Undang-Undang Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Menurut ketentuan Undang-Undang ini, masjid tidak bisa memiliki tanah wakaf kecuali jika telah memiliki badan hukum. Oleh karena itu, pada tahun 1962 Menteri Agama membentuk Pengurus Kas Masjid (PKM) sebagai badan hukum masjid. Kemudian, pengelolaan masjid ini berubah dan berpindah tangan setelah Menteri Agama saat itu, KH. Saifuddin Zuhri, menerbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 92 tahun 1962 tertanggal 14 Nopember 1962. KMA ini terdiri dari 4 keputusan, salah satunya menyatakan bahwa Masjid Agung Semarang dan segala kekayaannya adalah barang wakaf, oleh karenanya penanggung jawab pengelolaannya
31
Selain Masjid Semarang, Masjid Agung Kendal dan Masjid al-Muttaqi>n di Kaliwungu juga memiliki sumber dana yang berasal dari hasil pengelolaan tanah atau sawah yang merupakan pemberian dari penguasa kerajaan Islam pada masa Kerajaan Demak. Tanah-tanah tersebut diberikan kepada para ulama yang ditugaskan untuk menyebarluaskan ajaran agama Islam di daerah Semarang, Kendal, dan sekitarnya agar dapat dijadikan sebagai modal bagi kehidupan mereka. Tanah-tanah tersebut dibebaskan dari pembayaran pajak bumi (Ismawati, 2006: 105).
108
dibebankan kepada nazhirnya, yaitu Pengurus Kas Masjid (PKM) Semarang (MAJT, 2008: 78). Pada tahun 1976, atas saran banyak pihak, MUI Kota Semarang mengeluarkan fatwa pada tanggal 13 Oktober 1976 tentang istibda>l al-waqfi atau penggantian tanah wakaf. Fatwa ini dilatarbelakangi oleh realita tanah-tanah tersebut yang tidak produktif sehingga perlu ditukar dengan tanah-tanah yang lebih produktif. Atas dasar fatwa ini, Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Kota Semarang mengadakan lelang unuk mencari pihak-pihak lain yang sanggup menjadi penukar tanah bandha masjid (MAJT, 2008: 79). Akhirnya, pada tahun 1980, Menteri Agama H. Alamsjah Ratu Perwiranegara, menerbitkan KMA No. 12 tahun 1980 tentang penunjukan PT Sambirejo Semarang sebagai penukar tanah bandha Masjid Agung Semarang. PT Sambirejo sendiri dipimpin oleh Boediono dan Soemarno, orang kepercayaan Tjipto Siswoyo, Direktur PT Tensindo. Pada lampiran KMA tersebut dinyatakan bahwa tanah bandha masjid yang luasnya 119,1270 hektar ditukar dengan tanah pertanian yang lebih produktif seluas 250 hektar yang berlokasi di Kabupaten Demak. Alasannya, sebagian besar tanah bandha masjid tersebut dinilai tidak produktif karena terletak di rawa-rawa sehingga banyak pihak menginginkan agar tanah tersebut dilelang. Setelah melalui proses pelelangan yang cukup panjang, pemenang lelang jatuh pada PT Sambirejo karena dipandang mampu memberikan keuntungan bagi BKM Kota Semarang. Penunjukan PT Sambirejo oleh KMA No. 12 tahun 1980 didasarkan pada surat tertulis yang disampaikan oleh BKM Kota Semarang, BKM Propinsi Jawa Tengah, Walikota Semarang, Fatwa MUI Kota
109
Semarang, Kakanwil Depag Jawa Tengah, BKM Pusat dan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama (Yusuf, 2007: 15). Tukar guling tanah tersebut terjadi pada tahun 2008 dengan ketentuanketentuan seperti terlampir dalam KMA No. 12 tahun 1980, yaitu sebagai berikut: 1. Jumlah tanah penukar seluas 250 hektar. 2. Merupakan tanah pertanian dengan panen padi dua kali setahun dan dapat ditanami palawija berdasarkan surat keterangan Dinas Pertanian setempat. 3. Beririgasi teknis. 4. Terletak di pinggir jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat. 5. Terletak di daerah TK II Demak atau Purwodadi. 6. Dapat dijadikan bandha Masjid Agung Semarang. 7. Penyerahan kepada BKM Kota Semarang sudah bersertifikat atas nama bandha Masjid Agung Semarang. 8. Terletak berdekatan dan paling banyak 6 blok. 9. Telah ditunjukkan lokasinya kepada BKM atau tim teknis yang ditunjuk. 10. Biaya pengukuran, pemeriksaan tanah, sertifikat, dan biaya surat perjanjian di hadapan notaris/PPAT menjadi beban PT Sambirejo Semarang (MAJT, 2008: 82). Selain itu, PT Sambirejo diwajibkan menyediakan tanah seluas 1,5 hektar bersertifikat atas nama Masjid Agung Semarang, terletak di Kota Semarang sekitar jalan menuju Purwodadi-Semarang, membangun wisma di atasnya seluas 600 m2 dan menyerahkannya kepada BKM Kota Semarang, memberikan sumbangan
110
rehabilitasi di Masjid Agung Semarang sebesar Rp 100.000.000,00, dan disumbangan untuk BKM Pusat sebesar Rp 103.000.000,00. PT Sambirejo telah menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan tukar guling sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut di atas. Namun dalam praktiknya, PT Sambirejo berkali-kali melakukan penundaan atau pengunduran waktu. Pelaksanaan tukar guling itu sendiri secara formal ditetapkan oleh KMA No. 18 tahun 1985 tertanggal 2 Maret 1985 tentang Pengesahan Penyelesaian Tukar Menukar Tanah Bandha Masjid Agung Semarang antara BKM Pusat dan PT Sambirejo. Keluarnya KMA ini merujuk pada pertimbangan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Depag tanggal 25 Agustus 2005 (MAJT, 2008: 84). Berdasarkan KMA itu, PT Sambirejo berusaha memanfaatkan tanah yang dikuasainya dengan cara mengkapling dan menjual sebagian darinya kepada para penduduk. Perusahaan ini juga telah menerima angsuran dari ribuan warga yang membeli tanah tersebut. Sementara BKM Kota Semarang belum bisa memanfaatkan tanah hasil penukarannya karena belum turun keputusan resmi tentang siapa pengelolanya. Persoalan muncul ketika belakangan diketahui adanya sertifikat tanah yang tidak jelas keberadaan tanahnya. Diantaranya seperti dilaporkan tim BPK yang memeriksa dan mengecek tanah-tanah tersebut pada bulan Pebruari 1991 terdapat 19 buah sertifikat tanah seluas 18,16 hektar yang bersifat fiktif dan 30 buah sertifikat tanah seluas 51,87 hektar adalah sertifikat palsu karena pemilik tanahtanah tersebut tidak pernah menjualnya (MAJT, 2008: 85).
111
Atas desakan berbagai pihak, PT Sambirejo mengakui kesalahan tersebut dan meminta waktu 8 bulan untuk menyelesaikannya. Namun pada kenyataannya, perusahaan tersebut mengingkari pernyataannya sendiri sehingga BKM Pusat mengirim surat tertanggal 12 Agustus 1991 kepada Walikota Semarang agar melakukan pemblokiran atas tanah-tanah eks bandha Masjid Agung Semarang. Permintaan ini dipenuhi Walikota Semarang yang memerintahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kota Semarang melalui surat tanggal 5 Pebruari 1992 agar memblokir tanah-tanah eks bandha masjid tersebut (MAJT, 2008: 87). Karena PT Sambirejo tidak memenuhi kewajibannya, maka Menteri Agama membentuk Tim Penyelesaian Kasus Tukar Menukar Tanah Bandha Masjid Agung Semarang dan menunjuk ketua BKM Pusat sebagai Ketua Tim melalui KMA No. 134 tahun 1992. Setelah satu tahun melakukan tugasnya, Tim tersebut merekomendasikan kepada Menteri Agama agar membatalkan tukar menukar tanah tersebut dan mencabut KMA No. 18 tahun 1985. Rekomendasi Tim ini dipenuhi Menteri Agama namun setelah berselang hampir 4 tahun, yaitu melalui KMA No. 472 tahun 1996 yang mencabut KMA No. 18 tahun 1985 dan memerintahkan BKM Pusat untuk melakukan tuntutan pidana dan perdata kepada PT Sambirejo ke Pengadilan Negeri Semarang. Keterlambatan pencabutan KMA No. 18 tahun 1985 tersebut dinilai sebagian kalangan sebagai kelalaian Departemen Agama, sebab selama itu pula status tanah yang diperselisihkan telah mengalami banyak perubahan, termasuk banyaknya bangunan seperti rumah, pertokoan, bahkan SPBU. Hal ini menjadi indikasi Badan Pertanahan Nasional Kota Semarang tidak melaksanakan perintah
112
Walikota Semarang untuk melakukan pemblokiran aset tanah tersebut dengan baik (MAJT, 2008: 89). Upaya hukum melalui pengadilan yang dilakukan oleh BKM Pusat juga tidak menorehkan hasil positif, sebab pada tingkat pertama dan banding, BKM Pusat mengalami kekalahan dikarenakan bukti-bukti yuridis yang dimiliki PT Sambirejo lebih kuat. Apalagi, proses pengadilan yang memakan waktu lama telah memberikan kesempatan kepada pengelola tanah untuk melakukan perubahan dan mendirikan banyak bangunan, diantaranya SLTP Negeri Semarang 4 Semarang dan SD Negeri Pattimura. Atas kekalahan ini, BKM Pusat menempuh jalur kasasi (MAJT, 2008: 89). Pada tahun 1998, berita tentang dikuasainya tanah bandha Masjid Agung Semarang oleh pihak lain menjadi berita heboh dan menjadi headline harian lokal Suara Merdeka. Diantaranya edisi 28 Juli 1998 yang menurunkan tulisan yang berjudul, “119 hektar Tanah Wakaf Masjid Agung Semarang Lenyap, Sebagian untuk Bancakan Pejabat”, “Depag harus Bertanggung jawab” (Yusuf, 2007: xiv). Kegagalan melalui jalur hukum, para pengelola Masjid Agung Semarang melakukan upaya non ligitasi, yaitu penyelesaian kasus melalui musyawarah. Menteri Agama pun meminta bantuan berbagai pihak seperti Ketua Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakortanas) yang sekaligus Panglima ABRI yang selanjutnya tugas ini dilaksanakan oleh Pangdam IV Diponegoro yaitu Mayjend TNI Bibit Waluyo. Upaya lain BKM adalah meminta bantuan Komisi E DPRD dan Bakortanasda Jateng dan DIY agar membentuk untuk mempercepat kasus ini. Tim ini disebut Tim Terpadu I dan II (MAJT, 2008: 92).
113
Tim
ini
berhasil
mengamankan
tanah
seluas
66,2
hektar
dan
mengembalikannya kepada BKM dan melaporkan pelaku pemalsuan sertifikat ke Polda Jateng. Namun, banyak kendala yang dihadapi tim ini, diantaranya sebagian pelaku dan saksi sudah meninggal dunia, PT Sambirejo telah bubar, dan Tjipto Siswoyo, Presdir PT Tensindo, selaku penguasa sertifikat tanah-tanah tersebut bersikap tidak kooperatif. Upaya damai dengan Tjipto Siswoyo acap kali mengalami kegagalan. Bahkan, ketika ditawarkan agar tanah-tanah tersebut dibagi dua dengan prosentase 75 % untuk BKM dan 25 % untuk Tjipto Siswoyo pun ditolaknya. Sikap keras hati Tjipto Siswoyo direspon oleh berbagai kalangan yang merasa prihatin dengan tanah wakaf tersebut, khususnya dari generasi muda, dengan sikap yang tidak kalah kerasnya. Mereka melakukan demonstrasi besarbesaran di rumah Tjipto Siswoyo di jalan Branjangan 22-23 usai shalat Jumat tanggal 17 Desember 1999. Tidak selang lama setelah itu, tepatnya tanggal 23 Desember 1999 pukul 19.00 WIB, Tjipto Siswoyo menyerah dengan mengeluarkan pernyataan akan mengembalikan seluruh tanah bandha Masjid Agung Semarang kepada BKM. Esok harinya, Jumat 24 Desember 1999 direncanakan serah terima sertifikat di rumah dinas Pangdam IV Diponegoro. Namun rencana ini batal karena para pemuda menuntut agar penyerahan dilakukan di depan Masjid Agung. Sampai akhirnya, penyerahan seluruh sertifikat tanah-tanah tersebut secara resmi kepada Tim Terpadu dilakukan di lantai 2 Gedung Setwilda di Jalan Pahlawan tanggal 24
114
Januari 2000. Terhitung hari itu, maka kasus pengembalian tanah bandha Masjid Agung Semarang yang hilang tersebut dianggap telah selesai (MAJT, 2008: 96). C. Berdirinya Masjid Agung Jawa Tengah Berdirinya Masjid Agung Jawa Tengah berkaitan erat dengan sejarah Masjid Agung Semarang. Menurut Tim Peneliti MAJT (2008: 100) kembalinya bandha wakaf Masjid Agung Semarang menjadi latar belakang sejarah pendirian Masjid Agung Jawa Tengah. Mengenai ide pendirian Masjid Agung Jawa Tengah ini, Tim Peneliti MAJT menyimpulkan ada dua versi yang berbeda. Versi pertama menyatakan bahwa ide ini muncul dari KH. Toyfoer dari Rembang. Kyai kharismatik ini mengusulkan didirikannya masjid yang besar yang dapat digunakan sebagai Islamic Center yang representatif bagi kepentingan umat Islam dalam skala Jawa Tengah. Ide ini kemudian disampaikan kepada Gubernur Jawa Tengah H. Mardiyanto. Versi kedua menyatakan bahwa ide pendirian Masjid Agung Jawa Tengah berasal dari Gubernur sendiri yang kemudian disampaikan kepada para anggota DPRD Jawa Tengah. Di antara alasan yang disampaikan adalah bahwa pendirian masjid tersebut sebagai wujud rasa syukur atas kembalinya bandha wakaf Masjid Agung Semarang setelah melalui proses yang panjang, membutuhkan waktu yang lama, mengeluarkan energi yang besar, serta mental dan kesabaran yang kuat. Tim Peneliti MAJT nampaknya lebih cenderung kepada versi kedua ini. Hal
ini
diperkuat oleh hasil wawancara langsung dengan Gubernur Jawa Tengah H. Mardiyanto yang mengakui bahwa ide dasar pembangunan masjid tersebut berasal darinya (MAJT, 2008: 102). Selain sebagai bentuk rasa syukur atas kembalinya
115
tanah Masjid Agung Semarang, Gubernur memberikan pertimbangan dengan melihat kepada propinsi tetangga yaitu Jawa Timur yang telah memiliki Masjid Akbar dan Jawa Barat telah memiliki Pusat Dakwah Islamiah (PUSDAI). Kembalinya bandha wakaf Masjid Agung Semarang menjadi momen yang tepat bagi sebuah ide besar dan monumental sebagai hadiah bagi umat Islam Jawa Tengah yang sudah saatnya memiliki sebuah masjid yang akan menorehkan sejarah hingga masa-masa yang akan datang. Masjid tersebut dinamakan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT, 2008: 103). Sebagaimana layaknya mega proyek lainnya, ide pendirian masjid ini pun mendapatkan respon yang beragam dari berbagai kalangan. Sebagian kalangan yang menolak rencana ini mengkhawatirkan akan banyak anggaran keuangan daerah yang tersedot untuk membiayai pelaksanaan gagasan tersebut. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan semakin mantapnya ide tersebut, banyak kalangan yang semula menolak ide ini pada akhirnya menerima dan mendukungnya. Ide ini ditindaklanjuti oleh Gubernur dengan membentuk Tim Koordinasi Pembangunan Masjid Agung Jawa Tengah yang terdiri dari unsur Pemerintah Propinsi, MUI, Masjid Agung Semarang, Depag, DPU, ormas Islam, pemkot, dan cendekiawan. Selanjutnya, tim yang dibentuk pada tanggal 6 Juni 2001 ini lebih dikenal dengan Panitia Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Panitia Masjid Agung Jawa Tengah memulai pekerjaannya dengan menentukan tempat yang akan dijadikan lokasi masjid, memastikan status tanah,
116
menyusun anggaran dan pembiayaan dari APBD, serta desain masjid dan fasilitasfasilitas yang akan dibangun di sekitarnya. Pemilihan lokasi itu sendiri sempat menjadi bahan sorotan sebab desain masjid tersebut membutuhkan area seluas 10 hektar sedangkan bandha wakaf Masjid Agung Semarang terdiri dari banyak lokasi yang terpisah-pisah dan hanya ada satu yang memiliki lahan seluas 10 hektar yaitu di Jalan Gajah yang terletak sekitar 800 m dari Jalan Arteri Soekarno-Hatta. Pembangunan masjid dimulai pada hari Jumat, tanggal 6 September 2002, yang ditandai dengan pemasangan tiang pancang perdana yang dilakukan Menteri Agama RI, Prof. Dr. H. Said Agil Husen al-Munawar, KH. MA Sahal Mahfuz dan Gubernur Jawa Tengah, H. Mardiyanto. Pemasangan tiang pancang pertama tersebut juga dihadiri oleh tujuh duta besar dari negara-negara sahabat, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Mesir, Palestina, dan Abu Dhabi. Akhirnya, umat Islam di Jawa tengah patut berbangga karena mereka dapat memiliki masjid agung yang megah dan indah, sarat keistimewaan dibanding masjid-masjid lain, yakni Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) yang terletak di Jl. Gajah Raya, Semarang. Masjid Agung Jawa Tengah diresmikan pada tanggal 14 November 2006 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono. Masjid dengan luas area tanah 10 hektar dan luas bangunan induk untuk shalat 7.669 m2 tersebut bergaya arsitektur perpaduan antara Timur Tengah, Jawa Tengah, dan Yunani. Gaya Timur Tengah terlihat dari kubah dan empat minaretnya. Gaya Jawa tampak dari bentuk tanjungan di bawah kubah utama. Sedangkan gaya Yunani tampak pada 25 pilar-pilar kolosium yang dipadu dengan kaligrafi yang indah.
117
Meskipun baru diresmikan pada tanggal 14 Nopember 2006, masjid ini telah difungsikan untuk ibadah sebelum tanggal tersebut. Masjid megah ini telah digunakan ibadah shalat Jumat untuk pertama kalinya pada tanggal 19 Maret 2004 dengan khatib Drs. H. M. Chabib Thoha, MA. D. Babak Baru Bandha Wakaf MAS: BKM Menyerahkan ke BP MAS Persoalan tanah wakaf MAS sudah berlangsung lama dan menimbulkan konflik antara BKM Kota Semarang dan Badan Pengelola Masjid Agung Semarang mengenai pihak yang berhak menjadi nazhir bagi bandha wakaf tersebut. Berbagai upaya pernah dicoba untuk mencari jalan keluar bagi persoalan tersebut. Diantaranya pertemuan yang dilakukan oleh pimpinan BKM dan Badan Pengelola Masjid Agung Semarang di rumah dinas Walikota Semarang pada hari Senin tanggal 23 Mei 2011. Pertemuan tersebut diharapkan dapat mengakhiri konflik antara kedua belah pihak dan menjadi era baru bagi pengelolaan bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Pada hari itu, Walikota Soemarmo HS mengumpulkan sejumlah tokoh masyarakat yang terdiri dari pejabat teras Pemkot, perwakilan dari Badan Pengelola Masjid Agung Semarang, perwakilan dari Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah, dan perwakilan dari Badan Kesejahteraan Masjid Kota Semarang. Tujuan dari pertemuan tersebut adalah untuk membahas status bandha wakaf Masjid Agung Semarang yang selama ini dipersoalkan keberadaannya. Dengan statusnya sebagai nazhir, BKM Kota Semarang merasa berhak mengelola bandha wakaf tersebut, sedangkan Badan Pengelola MAS sebagai mauqu>f ‘alaih merasa tidak pernah mendapatkan haknya dari hasil pengelolaan bandha wakaf
118
tersebut (www.suaramerdeka.com).32 Pertemuan itu sendiri menghasilkan kesepakatan krusial berupa penyerahan bandha wakaf Masjid Agung Semarang oleh Ketua Umum BKM Kota Semarang selaku nazhir yang juga Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Semarang kepada Badan Pengelola Masjid Agung Semarang. Kesepakatan itu dituangkan dalam dalam berita acara bermaterai yang ditandatangani oleh Ketua BKM Kota Semarang dan Ketua Badan Pengelola Masjid Agung Semarang. Penandatanganan berita acara tersebut dilakukan pada hari Senin, tanggal 23 Mei 2011 tengah malam di rumah dinas Walikota Semarang dengan saksi Ketua Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Ali Mufiz, dan Walikota Soemarmo HS, diketahui Kepala Kanwil Kemenag Jateng selaku Ketua Umum BKM Jateng, Imam Haromain Asyari. Pada akhir pertemuan, dilakukan pembacaan berita acara oleh Agus Fathuddin mengenai hasil pertemuan yang disepakati pada malam hari itu, yaitu penyerahan bandha MAS dan teknisnya, termasuk sertifikat hak atas tanah baik yang berada di BKM dan Badan Kesbangpolinmas Jateng. Dalam berita acara tersebut, dinyatakan bahwa teknis penyerahan akan dilakukan maksimal satu bulan ke depan secara bertahap. Di atas kertas, terhitung mulai tanggal tersebut, pengelolaan bandha wakaf Masjid Agung Semarang yang selama ini berada di bawah kekuasaan BKM Kota Semarang akan segera berpindah tangan kepada Badan Pengelola Masjid Agung Semarang. Penyerahan hak kelola ini diharapkan dapat mengakhiri konflik berkepanjangan antara keduanya mengenai pihak yang berhak mengelola bandha 32
Diakses hari Jumat, 17 Pebruari 2012, pukul 09.00 WIB.
119
wakaf tersebut. Bagi BP MAS, penyerahan hak kelola tersebut merupakan buah dari perjuangan mereka selama ini yang menuntut dikembalikannya hak kelola bandha wakaf tersebut kepada pihak yang berhak menjadi mauqu>f alaih. Namun rupanya, kesepakatan pada malam hari itu tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Catatan di atas kertas dan realita di lapangan masih mengalami disparitas yang jauh. Penuturan Hasan Toha Putra (Wawancara: 16-042012) berikut ini menjelaskan keadaan yang sebenarnya setelah pertemuan pada malam hari itu, Saat itu, di rumah Bapak Walikota, Pak Sumarmo, sebelum ditahan, kita kumpul sampai larut malam, disepakati tentang serah terima bandha wakaf. Tapi sampai sekarang, tidak ada follow up-nya. Padahal, disepakati akan diserahkan seluruh sertifikat dalam waktu satu bulan. Ketika ditanyakan apa saja yang disudah diserahkan BKM kepada Badan Pengelola Masjid Agung Semarang, Hasan Toha Putra (Wawancara: 16-04-2012) menjawab, Ada yang sudah diserahkan, yaitu gedung wakaf berupa pertokoan yang terletak di samping SPBU. Itu sudah diserahkan sertifikat dan hak kelolanya. Ada lagi yang diserahkan, yaitu gedung atau wisma BKM yang terletak di Pedurungan. Sampai saat ini, gedung itu mangkrak dan dipermasalahkan. Selain itu, masih ditahan BKM. Sampai saat ini, sikap BKM terhadap status bandha wakaf Masjid Agung Semarang tetap belum berubah. Menurut Arifin (Wawancara: 07-05-2012), pertemuan pada malam hari itu menghasilkan kesepakatan yang tidak fair karena adanya tekanan terhadap BKM dari pihak-pihak yang hadir pada pertemuan tersebut. Setelah pertemuan itu, pimpinan BKM melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait termasuk pihak kejaksaan negeri sebagai pengacara negara untuk menyikapi kesepakatan yang tertuang dalam berita acara bermaterai tersebut.
120
Pihak kejakasaan memberikan solusi berupa mediasi dan akan memanggil pihakpihak yang terlibat dalam pertemuan tersebut satu persatu. Namun hingga saat ini, upaya mediasi itu tidak berjalan dan kesepakatan yang ditulis dalam berita acara itu pun tidak dapat terlaksana. Mengomentari hal ini, Arifin menyatakan bahwa BKM sebenarnya tidak memiliki kepentingan apa-apa terhadap harta wakaf itu. BKM hanya menjalankan tugas yang diberikan Menteri Agama melalui KMA Nomor 92 Tahun 1962 yang menugaskan BKM untuk mengelola bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Seandainya Menteri Agama memerintahkan BKM untuk menyerahkan bandha wakaf tersebut kepada Badan Pengelola Masjid Agung Semarang maka BKM akan melaksanakan perintah tersebut. Selama Menteri Agama tidak mencabut KMA tersebut maka hak BKM terhadap bandha wakaf tersebut tidak berubah. Mengenai status bandha wakaf tersebut, Arifin (Wawancara: 17-02-2011) menyatakan, Wakifnya adalah pemerintah dan nazhirnya juga pemerintah. Dulu, Pandan Arang itu menyerahkan tanah-tanah tersebut kepada yang namanya Penghulu Besar dan Penghulu Alit. Penghulu Besar itu adalah Menteri Agama dan Penghulu Alit itu adalah Kandepag. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Arifin sebagai representasi dari BKM dan Hasan Toha Putra sebagai representasi dari Badan Pengelola MAS, tersirat harapan akan adanya titik temu antara kepentingan kedua belah pihak. Arifin memberikan jalan keluar bagi polemik seputar siapa yang berhak mengelola bandha wakaf tersebut dengan jalan win-win solution. Caranya dengan dikelola secara bersama, baik dalam urusan permodalan maupun pendistribusian hasil pengelolaan. Masalah teknisnya dapat dibicarakan secara bersama untuk mencapai kesepakatan tentang berbagai model pengelolaan dan pengembangan terhadap
121
bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Menurut Arifin, BKM bisa saja mengambil jalur hukum untuk menyelesaikan konflik tersebut. Undang-Undang Wakaf Pasal 67 ayat 1 menyatakan dengan tegas bahwa barangsiapa mengelola harta wakaf tanpa izin nazhir dipidana paling lama lima (5) tahun atau denda mencapai Rp 500.000.000,00. Tapi BKM selama ini menyadari bahwa jalur hukum tidak tepat mengingat banyaknya pertimbangan demi kebaikan bersama. Sampai ditemukannya jalan terbaik, yaitu win-win solution tadi, sikap BKM selama ini adalah colling down. Isyarat positif juga muncul dari Hasan Toha Putra selaku Ketua Badan Pengelola Masjid Agung Semarang. Dalam wawancara dengan peneliti, Hasan tidak mempermasalahkan posisi BKM sebagai nazhir. Hasan hanya meminta agar hak kelola bandha wakaf dikembalikan kepada Badan Pengelola karena selama bertahun-tahun dikelola BKM tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Hasan (Wawancara: 16-04-2012) menyatakan, Kami, Badan Pengelola, tidak memiliki kepentingan apa-apa. Tidak masalah, nazhir tetap di tangan BKM. Berikan tanah itu kepada kami. Sebab BKM di mata masyarakat sudah rusak. Tidak amanah. Makanya, serahkan kepada kami. Biar kami yang mengurus. Setelah itu, silakan kami diminta pertanggunganjawaban. Itu kan gampang. Silahkan diaudit. Untuk BKM, kami bisa berikan haknya, baik itu yang 10 % dari hasil pengelolaan sebagai nazhir ataupun lainnya. Menurut peneliti, di balik sikap keras yang ditunjukkan kedua belah pihak, terdapat harapan akan adanya jalan keluar bagi masalah ini. Tidak dapat dipungkiri, terlantarnya sebagian bandha wakaf Masjid Agung Semarang diantaranya disebabkan adanya perselisihan mengenai siapa yang berhak mengelolanya. Selama ini, BKM merasa diganggu oleh pihak-pihak yang merasa
122
berhak menjadi mauqu>f ‘alaih, yaitu Badan Pengelola Masjid Agung Semarang. Demikian pula, Badan Pengelola Masjid Agung Semarang merasa tidak mampu berbuat lebih jauh lagi karena secara juridis-formal menyadari posisi BKM yang lebih kuat jika dihadapkan pada permasalahan hukum. Setiap ada program atau tawaran investasi dari investor yang berkaitan dengan bandha wakaf, Badan Pengelola Masjid Agung Semarang tidak bisa memberikan kepastian hukum akan status tanah yang dijadikan sebagai lahan investasi. Akibanya, banyak program pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf yang tidak berjalan dan tidak dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan. E. Bandha Wakaf Masjid Agung Semarang 1. Status Bandha Wakaf Masjid Agung Semarang Status bandha Masjid Agung Semarang33 sebagai aset wakaf dinyatakan secara eksplisit oleh Keputusan Menteri Agama Nomor 92 Tahun 196234. Dalam keputusan ini juga dinyatakan bahwa Masjid Semarang adalah masjid wakaf dan diberi nama Masjid Wakaf Semarang. Masjid35 Wakaf Semarang memiliki tanah/sawah bandha masjid dan barang-barang lainnya yang telah dimiliki pada waktu itu. Sebagai nazir dari Masjid Wakaf Semarang ditunjuk Pengurus Kas Masjid (PKM) di Semarang. KMA tersebut dibuat untuk menegaskan status bandha masjid yang pada mulanya merupakan tanah perdikan yang diberikan oleh Bupati Semarang
33 KMA Nomor 92 Tahun 1962 menyebut Masjid Agung Semarang dengan istilah Masjid Semarang. Kata masjid dalam KMA tersebut ditulis dengan ejaan lama, yaitu mesdjid. 34 Selain menetapkan status hukum bagi Masjid Semarang, KMA ini juga berlaku bagi Masjid Kendal, Kaliwungu, dan Demak. 35 Kata masjid dalam KMA ini tidak berarti suatu gedung sebagai obyek dari pada hukum, melainkan sebagai sebagai subyek (badan) hukum yang dapat memiliki tanah, sawah, atau barangbarang lainnya.
123
yang pertama, yaitu Pandan Arang. Berdasarkan hal itu, bandha wakaf tersebut disebut oleh Arifin (Wawancara: 17-02-2011) yang pernah menjadi anggota BKM Kota Semarang sebagai wakafnya pemerintah. Dalam kajian fikih wakaf, tanah yang diberikan statusnya sebagai tanah wakaf oleh pemerintah seperti ini dikategorikan sebagai tanah irs{a@d, yaitu wakaf tanah yang dilakukan para penguasa atau sultan, bukan berasal dari harta milik pribadi melainkan dari harta milik umat atau bait al-ma@l, yang dimaksudkan untuk kepentingan umum seperti pembangunan masjid, sekolah, dan lainnya (al-Kabi@si@, 2003: 258). Menurut Abu> Zahrah, (1971: 114), hukum yang berkaitan dengan tanah irs{a>d tidak sepenuhnya sama dengan hukum wakaf sehingga tidak semua hukum wakaf dapat diberlakukan padanya. Mengutip pendapat sebagian maz|hab Sya>fi’i> dan H{anafi>@, Abu> Zahrah menjelaskan bahwa di antara hukum wakaf yang berlaku pada irs{a>d adalah tidak dibolehkannya penguasa yang melakukan irs{a>d untuk merubah peruntukan atau manfaatnya. Abu> Zahrah tampaknya mendukung pendapat ini selama pihak yang menerima manfaat dari irs{a@d tersebut masih membutuhkannya dan tidak terdapat pihak lain yang lebih berhak mendapatkannya. Bagi Zahrah (1971: 114), ketentuan irs{a@d ini tidak berlaku secara mutlak, tetapi hanya berlaku selama pihak penerima manfaat irs{a@d masih membutuhkan dan tidak ada pihak lain yang lebih berhak mendapatkannya. Menurut Qah}af (2006: 32), wakaf model irs{a@d mulai berkembang pada masa ‘Abba@siyah. Pada masa itu, para khalifah dan gubernur
124
mewakafkan aset-aset seperti tanah dan bangunan yang tidak semuanya berasal dari harta milik mereka, melainkan sebagian besar darinya merupakan kekayaan bait al-ma@l. Wakaf model irs{a@d ini berkembang pesat pada masa-masa berikutnya, khususnya Dinasi Ayyu@biyyah, Mamlu@k, dan Usma@ni@. Pada masa-masa ini banyak berdiri madrasah, perpustakaan, dan pusat-pusat keilmuan yang didanai oleh hasil keuntungan dari pengelolaan aset-aset tanah yang berasal dari wakaf model irs{a@d ini. Dalam sejarah perwakafan di dunia Islam, akan dijumpai besarnya peran pemerintah muslim saat itu dalam mengembangkan wakaf, baik dari segi penyediaan tanah wakaf maupun pendanaannya. Aset-aset wakaf yang melegenda hingga saat ini tidak lepas dari peran penguasa atau pemerintah pada zamannya.36 2. Kondisi Bandha Wakaf Masjid Agung Semarang Secara geografis, tanah bandha wakaf Masjid Agung Semarang saat ini terletak di tiga daerah, yaitu Kota Semarang, Kabupaten Demak, dan Kabupaten Kendal. Tanah yang masuk dalam wilayah Kota Semarang terletak di Kecamatan Genuk, Kecamatan Semarang Utara, Kecamatan Semarang Tengah, dan Kecamatan Semarang Timur. Tanah yang masuk dalam wilayah
36
Seperti wakaf al-Azhar di Mesir yang dibangun oleh Jauhar al-Saqali> dari Dinasti Fa@@thimiyah pada tahun 362 H / 972 M, Madrasah al-Nizha@miyah di Baghdad yang dibangun oleh Wazi@r Niz}a@m al-Mulu@k pada tahun 455 H / 1063 M, Perpustakaam Bait al-Hikmah yang dibangun Khali@fah al-Makmu@n ( 813 - 833 M ), dan lain sebagainya. Pada masa Turki Usmani, di wilayah Balkan, perkembangan wakaf tidak lepas dari peran salah seorang elit politiknya yang bernama Sanan Pasya. Ia telah membangun kota-kota wakaf di tiga benua, yaitu Eropa (Turki dan Balkan), Asia (Sya>m), dan Afrika (Mesir) (Arnauth, 2000: 55). Pada masa dinasti Abba>siyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “S}adr al-Waqfi” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf (Rizqi, 2006: 33).
125
Kabupaten Demak terletak di Kecamatan Karang Tengah dan tanah yang masuk dalam wilayah Kabupaten Kendal terletak di Kecamatan Weleri. Tanah bandha wakaf MAS tersebut dipandang oleh sebagian nazhir sebagai tanah yang kurang produktif sehingga perlu dilakukan tukar guling dengan tanah yang lebih produktif. Dalam proses tukar guling tersebut, tanah bandha wakaf MAS direncanakan akan ditukar dengan tanah seluas 250 hektar dan ditambah dengan denda (adendum) seluas 32 hektar. Tanah pengganti tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3.1 Lokasi dan Luas Tanah Pengganti No 1 2 3 4 5 6
Lokasi Tanah Kelurahan Trimulyo Kec. Genuk Kecamatan Karang Tengah Demak Kecamatan Weleri Kendal Keamatan Kebon Agung, Demak Kecamatan Sayung, Demak Kecamatan Karang Tengah Demak Total Sumber: Diolah dari data penelitian.
Luas Tanah 6,5120 hektar 2,2550 hektar 1,2200 hektar 55,1457 hektar 110,9918 hektar 84,2717 hektar 260.3962 hektar
Sebagaimana diuraikan dalam pembahasan terdahulu, tanah yang dijanjikan oleh PT Sambirejo tidak seluruhnya terpenuhi. Terdapat banyak kejanggalan pada tanah yang dijadikan sebagai pengganti tersebut, diantaranya luas tanah yang tidak sesuai, banyak tanah yang tidak bebas dari kepemilikan warga, dan sertifikat fiktif, yaitu sertifikat tentang tanah di daerah tertentu namun tidak ditemukan tanahnya atau ditemukan tanahnya namun dikuasai oleh pihak lain. Kejanggalan tersebut pada akhirnya menimbulkan kontroversi yang melibatkan proses hukum dan kemarahan umat Islam akan isu hilangnya bandha wakaf MAS karena diambil alih oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Muara
126
dari kontroversi tersebut adalah dikembalikannya kepemilikan bandha wakaf MAS kepada BKM oleh Tjipto Siswoyo pada tahun 2001. Meskipun tanah bandha wakaf MAS telah dikembalikan kepada nazhirnya, bukan berarti masalah sudah selesai. Proses tukar guling bandha wakaf MAS meninggalkan sejumlah permasalahan yang harus dicari solusinya oleh pengelola tanah bandha wakaf tersebut. Pada tahun 2005, BKM Kota Semarang melakukan pendataan mengenai tanah-tanah bandha wakaf MAS. Berdasarkan data BKM tahun 2005, diketahui bahwa luas tanah bandha wakaf MAS adalah 1.316.773 m² atau sekitar 131 hektar. Tanah tersebut tersebar dalam tiga daerah, yaitu Kota Semarang, Kabupaten Demak, dan Kabupaten Kendal dengan rincian dan kondisinya sebagai berikut: a. Kondisi Bandha Wakaf MAS yang Terletak di Kota Semarang 1) Kondisi Bandha Wakaf MAS yang Terletak di Kecamatan Gayamsari Luas total bandha wakaf MAS yang terletak di Kecamatan Gayamsari adalah 418,705 m2 dengan rincian dan kondisinya sebagai berikut: a) Kondisi Bandha Wakaf MAS yang Terletak di Kelurahan Sawah Besar Kecamatan Gayamsari. Tanah bandha wakaf MAS yang terletak di Kelurahan Sawah Besar Kecamatan Gayamsari luasnya mencapai 22,930 hektar. Di atas lahan tersebut berdiri SPBU Masjid Agung Semarang. Di sekitar SPBU, terhampar tanah wakaf yang saat ini dalam kondisi tidak produktif. Pada sebagian tanah tersebut,
127
terutama yang terletak di sebelah timur dan berbatasan dengan jalan kampung rawan ditempati PKL yang memanfaatkan tanah bandha wakaf MAS tanpa seizin nazhir (Hasil Survai BKM tahun 2010). Di samping SPBU Masjid Agung Semarang, berdiri pertokoan yang dilabeli Model Pertokoan Wakaf Produktif. Bangunan tersebut terdiri dari 28 kios dengan ukuran setiap kiosnya 3 x 7 meter. Pertokoan tersebut dibangun dengan dana 2 milyar yang merupakan pinjaman dari Departemen Agama. Saat ini, pertokoan tersebut dalam keadaan mangkrak dan tidak berjalan seperti yang diharapkan. b) Kondisi Bandha Wakaf MAS yang Terletak di Kelurahan Sambirejo Kecamatan Gayamsari Total luas tanah bandha wakaf MAS yang terletak di Kelurahan Sambirejo adalah 323.495 m2. Di atas tanah tersebut, berdiri bangunan MAJT dan fasilitasnya yang menempati lahan 10 hektar. Sisanya, yaitu 223.495 m2 direncanakan untuk dikapling menjadi 4 (empat) kapling yang direncanakan sebagai berikut: (1) Zona pendidikan (Ma’had ‘A>li>>) seluas 10 hektar, (2) Pasar Induk Agro seluas 3 hektar, (3) Rumah Sakit Islam seluas 5 hektar, dan (4) Makam ulama seluas 1 hektar. Sisanya dimanfaatkan untuk jalan dan zona budaya. Pada bulan Juli 2009, BKM telah membebaskan dari para penggarap sebelumnya sebanyak 13 petak sawah seluas 3.5 hektar
128
untuk pembangunan gedung ma’had ‘a>li>>. Masing-masing penggarap yang berjumlah 6 orang diberi tali asih sebesar Rp 3.500.000,00/orang. Sisa tanah lainnya masih digarap oleh penduduk sekitar dengan sistem kontrak atau sewa kepada BKM sebesar Rp 15.000,00/bulan. Penanganan tanah tersebut selanjutnya diserahkan kepada Tim Kecamatan (Kepala KUA Gayamsari). c) Kondisi Bandha Wakaf MAS yang Terletak di Kelurahan Siwalan Kecamatan Gayamsari Tanah bandha wakaf MAS yang terletak di Kelurahan Siwalan terdiri dari dua bidang. Yang pertama seluas 14.695 m2 merupakan sisa dari tanah yang telah dibebaskan untuk jalan tol dekat gerbang tol Muktiharjo bagian barat dan berbatasan dengan kampung. Luas tanah aslinya adalah 40.080 m2. Satu bidang tanah wakaf lainnya seluas 41.290 m2 terbelah jalan tol. Hasil survey BKM tahun 2010 menjelaskan bahwa sebagian dari tanah tersebut diberdayakan sebagai lahan pertanian dan sebagian lainnya dihuni penduduk dengan tanpa izin dari nazhir. Kondisi ini perlu segera diselesaikan sebab jika dibiarkan akan semakin sulit ditertibkan. Warga yang sudah terlanjur menempati lahan tersebut dalam waktu yang lama, akan semakin sulit diminta pindah. Berbagai upaya penertiban pernah dilakukan seperti bekerjasama dengan BRI agar mereka yang menempati tanah bandha wakaf MAS tersebut membayar sewa lahan dengan sistem kontrak yang bisa dibayarkan
129
dengan mengangsur melalui BRI. Berbagai upaya pendekatan kepada warga juga diupayakan, seperti pendekatan agama dan pendekatan hukum agar tanah wakaf tersebut membawa manfaat dan dapat disalurkan kepada mauqu>f ‘alaih (Wawancara dengan Arifin: 17 -02-2011). d) Kondisi Bandha Wakaf MAS yang Terletak di Kelurahan Karang Ingas Kecamatan Gayamsari Berdasarkan hasil survey BKM tahun 2010, diketahui bahwa tanah bandha wakaf yang terletak di Kelurahan Karang Ingas luasnya mencapai 17.000 m2. Namun hingga saat ini belum dapat diberdayakan dengan baik dan tidak ditemukan sertifikatnya. 2) Kondisi Bandha Wakaf MAS yang Terletak di Kecamatan Pedurungan Tanah bandha wakaf MAS yang terletak di Kecamatan Pedurungan luasnya mencapai 133,975 m2 dengan rincian dan kondisinya sebagai berikut: a) Kondisi Bandha Wakaf MAS yang Terletak di Kelurahan Tlogomulyo Kecamatan Pedurungan Bandha wakaf MAS yang terletak di Kelurahan Tlogomulyo Kecamatan Pedurungan luasnya mencapai 33,503 m2. Tanah tersebut merupakan tanah kering yang diberdayakan oleh penduduk setempat, diantaranya ditanami berbagai macam tanaman dan pepohonan. Hasil survey BKM tahun 2010 menemukan bahwa sebagian dari tanah tersebut dimanfaatkan oleh warga sebagai jalan
130
kampung dan sebagian lainnya dijadikan sebagai tempat hunian. Semua itu dimanfaatkan oleh warga dengan tanpa izin dari nazhir sehingga perlu ditertibkan. b) Kondisi Bandha Wakaf MAS yang Terletak di Kelurahan Tlogosari Wetan Kecamatan Pedurungan Berdasarkan hasil survey BKM tahun 2010, diketahui bahwa tanah bandha wakaf MAS yang terletak di Kelurahan Tlogosari Wetan Kecamatan Pedurungan luasnya sekitar 31,006 m2. Kondisi tanah tersebut berupa tanah kering yang dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk ditanami berbagai macam tanaman dan pepohonan, seperti pohon pisang dan lainnya. Warga sekitar memanfaatkan tanah tersebut dengan tanpa izin dari nazhir sehingga perlu ditertibkan.
c) Kondisi Bandha Wakaf MAS yang Terletak di Kelurahan Kalicari Kecamatan Pedurungan Tanah bandha wakaf MAS yang terletak di Kelurahan Kalicari Kecamatan Pedurungan luasnya mencapai 51,350 m2. Kondisi tanah tersebut bervariasi, sebagian diantaranya berupa area persawahan yang ditanami padi oleh warga. Sebagian lainnya berupa tanah kering yang dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk ditanami berbagai macam tanaman dan pepohonan, seperti pohon pisang dan pepohonan kampung lainnya. Sebagian lainnya
131
lagi dijadikan sebagai lahan perikanan oleh warga setempat. Berdasarkan hasil survey BKM tahun 2010, diketahui bahwa warga sekitar memanfaatkan tanah tersebut dengan tanpa izin dari nazhir sehingga perlu ditertibkan. d) Kondisi Bandha Wakaf MAS yang Terletak di Kelurahan Palebon Kecamatan Pedurungan Tanah bandha wakaf MAS yang terletak di Kelurahan Palebon Kecamatan Pedurungan luasnya sekitar 15,388 m2. Hasil survey BKM tahun 2010 menemukan bahwa tanah tersebut hingga saat ini tidak memiliki sertifikat. Di atas tanah tersebut berdiri bangunan Wisma Sejahtera BKM Kota Semarang. Kondisi Wisma Sejahtera BKM itu sendiri dalam keadaan rusak berat. BKM berusaha mengelola bangunan tersebut dengan cara menawarkannya kepada pihak-pihak yang berminat dengan sistem kontrak. Tawaran tersebut mendapatkan respon dari banyak pihak yang bermaksud memanfaatkannya untuk berbagai kepentingan usaha, seperti bengkel motor atau mobil, percetakan, dan tempat tinggal atau koskosan. Sampai saat ini, tanah dan bangunan tersebut tidak memiliki sertifikat. Saat ini tanah tersebut menjadi tanah sengketa, karena digugat oleh salah seorang yang mengatasnamakan PT Sambirejo. Pihak yang menggugat pernah diundang untuk membicarakan masalah tersebut namun tidak pernah datang. Pernah ditempel
132
tulisan pengumuman yang berisi tanah dan bangunan ini merupakan tanah
sengketa.
Sehingga
pihak
yang
bermaksud
memberdayakannya pun mengundurkan diri (Wawancara dengan Arifin: 17-02-2011). 3) Kondisi Bandha Wakaf MAS yang Terletak di Kecamatan Semarang Timur Total luas tanah bandha wakaf MAS yang terletak di Kecamatan Semarang Timur mencapai 10,300 m2. Tepatnya, tanah tersebut terletak di Kelurahan Sarirejo, Kecamatan Semarang Timur, yang terbagi dalam tiga kampung, yaitu Kampung Petelan seluas 7,500 m2, Kampung Suburan seluas 600 m2, dan kampung Gutitan seluas 2,200 m2. Menurut hasil survey BKM tahun 2010, seluruh tanah tersebut hingga saat ini tidak bersertifikat dan sebagian dihuni oleh penduduk dengan tanpa seizin nazhir. Khusus mengenai tanah bandha wakaf MAS yang terletak di kampung Gutitan, saat ini telah dihuni oleh warga Gutitan yang jumlahnya mencapai 200 KK. Tanah tersebut dihuni warga Gutitan secara turun-temurun dan sebagian dari tanah tersebut telah diperoleh dengan cara membeli dari warga asli atau warga yang telah lama menetap di daerah tersebut. Warga Gutitan juga telah mengelola tanah wakaf MAS di Gutitan seperti tanah milik sendiri atau milik warga secara umum sehingga mereka bersama-sama meratakan jalan, membangun jembatan, dan lainnya. Penelitian Nailul Imdad
(2009)
menyatakan
133
bahwa
sebenarnya
warga
Gutitan
mengetahui bahwa tanah yang mereka tempati bukan tanah milik mereka sendiri. Sebagian warga beranggapan tanah tersebut merupakan tanah negara (landreform). Sebagian yang lain mengetahui bahwa tanah tersebut merupakan tanah bandha wakaf Masjid Agung Semarang yang dikelola BKM. 4) Kondisi Tanah Bandha wakaf MAS yang Terletak di Kecamatan Genuk Tanah bandha wakaf MAS yang terletak di Kecamatan Genuk luasnya mencapai 59,892 m2. Tanah tersebut tepatnya berada di Kelurahan Tri Mulyo dan telah bersertifikat. Hasil survey BKM tahun 2010 menemukan bahwa tanah tersebut saat ini dimanfaatkan warga sebagai lahan pertanian dan usaha tambak. Di antara upaya BKM untuk menertibkan tanah tersebut dan memberdayakannya adalah dengan cara menawarkan akad kontrak murah kepada pengelola lahan pertanian dan tambak (Wawancara dengan Arifin: 17-02-2011). 5) Kondisi Tanah Bandha Wakaf MAS yang Terletak di Kecamatan Semarang Tengah Luas tanah bandha wakaf MAS yang terletak di Kecamatan Semarang Tengah, tepatnya di Kelurahan Bangunharjo, adalah 5,984 m2. Di atas tanah tersebut saat ini berdiri bangunan Masjid Agung Semarang dan beberapa gedung atau fasilitas berada di sekitarnya. Berdasarkan temuan survey BKM tahun 2010, kondisi tanah itu sendiri hingga saat ini belum bersertifikat dan masih berupa kutipan C Desa. b. Kondisi Tanah Bandha Wakaf MAS yang Terletak di Kabupaten Demak
134
Berdasarkan data kekayaan BKM tahun 2005, tanah bandha wakaf MAS yang terletak di Kabupaten Demak luasnya mencapai 675,717 m 2. Tanah tersebut tersebar di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Sayung seluas 216.621 m2, Kecamatan Karang Tengah seluas 389.141 m2, dan Kecamatan Kebonagung seluas 69.955 m2. Rincian dan kondisinya adalah sebagai berikut: 1) Kondisi Tanah Bandha Wakaf MAS yang Terletak di Kecamatan Sayung Tanah bandha wakaf MAS yang terletak di Kecamatan Sayung tersebar di lima desa, yaitu Desa Sidorejo seluas 103.351 m2, Desa Banjarsari seluas 67.516 m2, Desa Tugu seluas 13.208 m2, Desa Timbul Sloko seluas 9.996 m2, dan Desa Batu seluas 22.550 m2. Sebagian besar tanah tersebut sudah bersertifikat dan diamankan oleh Tim Terpadu BMA (Kesbanglinmas) TK. I Jawa Tengah. Ada sebagian tanah yang sertifikatnya sedang dalam proses BPN, seperti tanah seluas 2.960 m2 yang terletak di Desa Banjarsari. Sedangkan tanah yang terletak di Desa Batu, semuanya belum bersertifikat. 2) Kondisi Tanah Bandha Wakaf MAS yang Terletak di Kecamatan Karang Tengah Tanah bandha wakaf MAS yang terletak di Kecamatan Karang Tengah luasnya mencapai 389.141 m2. Tanah tersebut tersebar di empat desa, yaitu Desa Wonogung (122.908 m2), Desa Wonokerto (122.204 m2), Desa Wonowoso (88.424 m2), dan Desa Sampang (40.000 m2).
135
Berdasarkan data BKM tahun 2005, seluruh tanah bandha wakaf MAS yang terletak di Kecamatan Karang Tengah telah bersertifikat, kecuali tanah yang terletak di Desa Sampang seluas 40.000 m2 yang masih dalam proses BPN. 3) Kondisi Tanah Bandha Wakaf MAS yang Terletak di Kecamatan Kebonagung Tanah bandha wakaf MAS yang terletak di Kecamatan Kebonagung luasnya mencapai 69.955 m2 dan semuanya terletak di Desa Werdoyo. Dari segi legalitas, seluruh tanah wakaf MAS yang terletak di Kecamatan Kebonagung telah bersertifikat dan diamankan di Kesbanglinmas Tingkat I Jawa Tengah.
c. Kondisi Tanah Wakaf MAS yang terletak di Kabupaten Kendal Tanah bandha wakaf yang terletak di Kabupaten Kendal luasnya mencapai 12.000 m2. Tanah wakaf tersebut terletak di Desa Tanjungsari Kecamatan Weleri. Seluruhnya sudah bersertifikat. Tabel 3.2 Tanah Bandha Wakaf Masjid Agung Semarang No 1 2 3
Lokasi Total Luas Tanah di Kota Semarang Total Luas Tanah di Kabupaten Demak Total Luas Tanah di Kabupaten Kendal Jumlah Total Luas Tanah Bandha Wakaf
Luas (m2) 628.856 675.717 12.200 1.316.773
Sumber: Diolah dari data kekayaan BKM tahun 2005 3. Pengelola Bandha Wakaf Masjid Agung Semarang
136
Keterangan
Di antara unsur wakaf adalah adanya pihak yang menjadi pengelola atau nazhir wakaf. Pada kasus bandha wakaf Masjid Agung Semarang pihak yang menjadi nazhir adalah Badan Kesejahteraan Masjid Kota Semarang berdasarkan KMA Nomor 92 Tahun 1962. Pada mulanya, kedudukan BKM sebagai nazhir bandha wakaf Masjid Agung Semarang dapat diterima oleh semua kalangan dan keluarnya KMA Nomor 92 Tahun 1962 tersebut tidak mendapatkan reaksi penolakan dari warga Semarang dan sekitarnya. Dalam perkembangannya, posisi BKM Kota Semarang sebagai nazhir pernah menjadi kontroversi dan dipertanyakan oleh sebagian kalangan, khususnya pihak-pihak yang saat ini mengelola Masjid Agung Semarang dan Masjid Agung Jawa Tengah. Di antara alasan pihak yang tidak setuju dengan kedudukan BKM adalah kondisi sebagian tanah wakaf Masjid Agung Semarang yang tidak terawat dengan baik. Kontroversi BKM sebagai nazhir semakin mengemuka dengan terjadinya kasus tukar guling tanah wakaf Masjid Agung Semarang yang dicurigai adanya praktik-praktik manipulasi dan kolusi antara BKM, pejabat Departemen Agama, dan pihak PT Sambirejo. Seperti diketahui, kasus tersebut berujung pada hilangnya sebagian bandha wakaf Masjid Agung Semarang dan hilangnya kepercayaan publik pada BKM. Pihak-pihak yang tidak percaya dengan BKM berusaha mencari legitimasi untuk mengelola sebagian aset wakaf Masjid Agung Semarang tersebut. Diantaranya melalui Surat Keputusan Walikota Semarang yang membentuk kepengurusan Badan Pengelola Masjid Agung Semarang dan Surat
137
Keputusan Gubernur Jawa Tengah yang membentuk Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah. Saat ini, pengelolaan aset wakaf Masjid Agung berada di bawah kendali Badan Pengelola Masjid Agung Semarang, Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah, dan Badan Kesejahteraan Masjid Kota Semarang. Berikut ini uraian mengenai ketiga lembaga tersebut. a. Badan Kesejahteraan Masjid Menurut Keputusan Menteri Agama (KMA) Republik Indonesia Nomor 505 Tahun 2003 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Kesejahteraan Masjid, BKM adalah badan kesejahteraan masjid di bawah pembinaan Kementerian Agama. BKM berakidah Islam dan berasaskan Pancasila. BKM mempunyai susunan organisasi secara vertikal di Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Kelurahan/Desa dan berkedudukan di ibukota masing-masing (Nihayah, 2006: 35). Pasal 5 dari KMA tersebut menyatakan bahwa tujuan BKM adalah: 1) Menjaga martabat, kesucian, kehormatan dan kesejahteraan masjid serta tempat ibadah umat Islam atas dasar taqwa; 2) Meningkatkan ida>rah, ima>rah dan ri’a>yah mesjid dan tempat ibadah umat Islam lainnya, sesuai dengan fungsinya sebagai tempat ibadah, pusat pendidikan agama Islam non formal dan pemberdayaan ekonomi umat, serta media kesehatan umat. Selanjutnya Pasal 6 menyebutkan usaha-usaha yang dapat dilakukan BKM untuk mencapai tujuan di atas, yaitu: 1) Membantu pembentukan dan penyempurnaan pengurus masjid 2) Memberikan bantuan yang diperlukan baik fisik, maupun non fisik untuk pembangunan/rehabilitasi dan pemeliharaan masjid. 3) Membantu pembinaan perpustakaan dan balai kesehatan masjid.
138
4) Membantu pembinaan organisasi dan administrasi pemberdayaan masjid. 5) Memberikan bimbingan peningkatan mutu khutbah Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha dengan mengadakan orientasi, penerbitan buku-buku pedoman dan bimbingan pemberdayaan masjid. 6) Membantu penyelenggaraan pendidikan keagamaan bagi jamaah masjid dan remaja masjid, TPA/TPQ, dan Majelis Taklim yang berada di masjid. 7) Mengusahakan agar terselenggarakanya radio siaran sebagai media dakwah. 8) Kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan asas dan tujuan BKM (Nihayah, 2006: 35-36). Pasal 20 menjelaskan bahwa kekayaan BKM berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau barang. Selain itu kekayaan BKM dapat diperoleh dari sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat, wakaf, hibah, wasiat, dan perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar BKM dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disebutkan dalam Pasal 10 dari KMA Nomor 505 Tahun 2003, pengurus BKM Kabupaten/Kota terdiri dari : 1) Pegawai Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan satuan kerja lainnya yang terkait serta unsur Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Masjid Indonesia (DMI), dan tokoh masyarakat sebagai anggota. 2) Kepala Seksi Pemberdayaan Masjid/Kepala Seksi Pendidikan alQura~>n dan Pemberdayaan Masjid/Kepala Seksi Penamas pada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota karena jabatannya diangkat menjadi Ketua BKM Kabupaten/Kota dan salah satu pegawai seksi Pemberdayaan Masjid/Seksi Pendidikan al-Qur’an dan Pemberdayaan Masjid/Seksi Penamas menjadi Sekretaris BKM Kabupaten/Kota. 3) Pengurus BKM Kabupaten/Kota minimal 9 (sembilan ) orang terdiri Ketua, Sekretaris,, Bendahara dan Bidang Ida>rah, Ima>rah dan Ri’a>yah serta anggota sesuai dengan kebutuhan (Nihayah, 2006: 37). b. Badan Pengelola Masjid Agung Semarang
139
Badan Pengelola Masjid Agung Semarang merupakan lembaga yang dibentuk oleh Walikota Semarang melalui Surat Keputusan Walikota Semarang Nomor 451.205/31 Tentang Pembentukan Badan Pengelola Masjid Agung Semarang. Berdasarkan SK tersebut, Badan Pengelola Masjid Agung Semarang memiliki tugas-tugas sebagai berikut: 1) Menjaga kesucian dan kemakmuran Masjid Agung Semarang. 2) Menyelenggarakan tugas administratif dan teknis pengelolaan, pemberdayaan bandha Masjid Agung Semarang dan harta kekayaannya. 3) Melaksanakan pembangunan secara bertahap dengan baik dan benar untuk menjadikan Masjid Agung Semarang yang megah, lengkap, dan nyaman. Dalam melaksanakan tugasnya Badan Pengelola Masjid Agung Semarang bertanggung jawab dan melaporkan hasilnya kepada Walikota Semarang. Pengurus Badan Pengelola MAS terdiri dari tujuh orang diketuai oleh Hasan Toha dan bertugas sebagai sekretaris adalah Khamad Ma’shum. Badan Pengelola dibantu oleh dua bidang, yaitu Bidang Ketakmiran dan Bidang Pemberdayaan Bandha dan Harta Kekayaan Masjid. Masing-masing bidang terdiri dari sembilan orang dengan Ketua Bidang Ketakmiran dijabat oleh Hanief Ismail dan Ketua Bidang Pemberdayaan Bandha dan Harta Kekayaan Masjid dijabat oleh Djoko Slamet Utomo. Selanjutnya,
Bidang
Ketakmiran
Masjid
Agung
Semarang
menyusun susunan seksi-seksi kepengurusan pada Takmir Masjid Agung Semarang agar dapat menjalankan program-program ketakmiran. Susunan seksi-seksi pada Pengurus Takmir Masjid Semarang ditetapkan berdasarkan
140
Keputusan Ketua Pengurus Takmir Masjid Agung Semarang Nomor: 018.A/PTMAS/2005 tentang Pembentukan Seksi-seksi Pengurus Takmir Masjid Agung Semarang. Seksi-seksi dalam bidang ketakmiran terdiri dari Seksi Peribadatan dan Dakwah, Seksi Sosial dan Pengabdian Masyarakat, Seksi Pemeliharaan dan Pembangunan, dan Seksi Usaha. c. Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah nomor 451/26/2009. Badan Pengelola tersebut bertugas selama empat tahun atau masa tugasnya adalah 2009-2013. Susunan organisasi kepengurusan MAJT pada periode 2009-2013 terdiri dari Pembina, Dewan Penasihat, Dewan Pengawas, dan Pengelola. Pembina terdiri dari tiga orang, yaitu Mardiyanto, Bibit Waluyo, dan Masyhudi. Dewan Penasihat terdiri dari 9 orang, diketuai oleh Sahal Mahfudz. Dewan Pengawas terdiri dari 8 orang, diketuai oleh Masruri Mughni. Dewan Pengelola terdiri dari 7 orang, bertindak sebagai ketua adalah Ali Mufiz dan sekretaris Agus Fathuddin Yusuf. Di bawah Badan Pengelola terdapat dua bidang, yaitu Bidang Ketakmiran yang diketuai oleh Muhtarom dan Bidang Pengembangan Usaha yang diketuai oleh Khamad Ma'sum. Bidang Ketakmiran membawahi empat Sub Bidang, yaitu Sub Bidang Peribadatan, Sub Bidang Pendidikan, Dakwah, dan Wanita, Sub Bidang Kemasyarakatan, dan Sub Bidang Peringatan Hari Besar Islam (PHBI). Sementara Bidang Usaha
141
terdiri dari empat Sub Bidang, yaitu Sub Bidang Kerjasama, Sub Bidang Aset, Sub Bidang Umum dan Ketertiban, dan Sub Bidang Hubungan Masyarakat. Tugas dan kewenangan Badan Pengelola MAJT diatur berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Pembina, Dewan Penasihat, Dewan Pengawas, dan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah. Berdasarkan Pasal 37 ayat 2 dari Pergub ini pula, Ketua Pengelola MAJT dapat mengangkat staf Tata Usaha sesuai kebutuhan dan kemampuan organisasi dengan pertimbangan Pembina. Selain itu, MAJT memiliki dua lembaga otonom, yaitu Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah atau LAZISMA MAJT dan Remaja Islam Masjid Agung Jawa Tengah atau RISMA-JT. Sesuai namanya, LAZISMA dibentuk untuk mengelola zakat, infak, dan sedekah dari masyarakat, baik dari segi penggalangan dana maupun penyalurannya kepada pihak yang berhak mendapatkannya. Sedangkan RISMA-JT merupakan lembaga yang mewadahi kegiatan remaja atau anak muda. Badan Pengelola MAJT telah berhasil merumuskan visi, misi, dan jatidiri MAJT sebagai berikut:37 Visi MAJT adalah:
37 Visi dan misi yang disusun berdasarkan pendapat-pendapat yang berkembang dalam forum diskusi panel yang diselenggarakan oleh Badan Pengelola MAJT pada hari Sabtu 9 S}afar 1246 H / 19 Maret 2005 M, bertempat di Ruang Aula MAJT. Diskusi ini dimulai dengan pidato kunci oleh Gubernur Jawa Tengah H. Mardiyanto, dan presentasi makalah disampaikan oleh 4 (empat) narasumber, yaitu Prof. Dr. H. Achmad Rofiq, M.A., Prof. Dr. H. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Dr. H. Moch. Chabachib, Akt., Drs. H. Hasan Toha Putra, M.B.A. bertindak selaku moderator adalah Drs. H. Noor Achmad, M.A.
142
Terwujudnya Masjid Agung Jawa Tengah yang makmur, mandiri, modern, dan megah, serta mampu melaksanakan fungsinya sebagai pusat peribadatan, wahana musyawarah dan silaturrahim, lembaga dakwah, pendidikan, pengembangan ilmu, dan budaya Islami, serta pemberdayaan umat, yang dilandasi oleh keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Untuk mewujudkan visi di atas, dirumuskan misi sebagai berikut: 1) Menyelenggarakan berbagai macam kegiatan untuk memakmurkan masjid dan meningkatkan syiar Islam. 2) Membentuk unit-unit kerja yang bergerak dalam bidang keuangan dan bisnis untuk menggali dana guna membiayai pengelolaan masjid dan kemaslahatan umat. 3) Mewujudkan terjaganya kesucian, kebersihan, dan ketertiban masjid. 4) Mewujudkan sebuah masjid yang luas dan mampu bertahan lama, dengan arsitektur yang mencerminkan perpaduan antara corak universal arsitektur Islam, budaya lokal, dan teknologi modern, serta dilengkapi dengan berbagai fasilitas, agar dapat berfungsi sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. 5) Mewujudkan sistem pengelolaan masjid yang modern dan profesional. 6) Mengembangkan seni budaya bernafaskan Islam yang harmoni dengan budaya lokal dan pemeliharaan estetika masjid. 7) Mewujudkan masjid sebagai sentral wisata relijius dan kebanggaan masyarakat Jawa Tengah. 8) Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan peribadatan, dakwah dan pendidikan dalam rangka membimbing umat agar memiliki keteguhan iman dan takwa, akhlaqul karimah, kesalihan individu dan sosial, semangat ukhuwah Islamiah, patriotisme, berilmu, patuh pada hukum, dan peduli lingkungan serta memelihara iklim sejuk. 9) Mewujudkan keterpaduan yang harmonis antara Masjid Agung Jawa Tengah dengan Masjid Agung Semarang, dan menjalin kerjasama dengan masjid-masjid lain, pemerintah, dan seluruh komponen masyarakat. Sedangkan jatidiri MAJT dirumuskan sebagai berikut: Sebuah tempat ibadah yang merefleksikan model peribadatan di Masjid Haramain yang dibangun oleh pemerintah dan masyarakat Jawa Tengah, sebagai tempat umat Islam bersujud kepada Allah dan tempat mendidik mereka menjadi umat yang beriman, bertakwa, berakhlaqul karimah, memelihara kesatuan dan persatuan umat/bangsa dan keserasian antara arsitektur Masjid
143
Nabawi yang dipadukan dengan arsitektur masjid-masjid para wali di Jawa. Tujuan MAJT dirumuskan sebagai berikut: 1) Terjaganya kesucian, kebersihan, dan ketertiban masjid sebagai tempat ibadah yang nyaman dan aman. 2) Meningkatnya kesadaran umat dalam beribadah dan memiliki daya saing tinggi, sejahtera dan berakhlaqul karimah. 3) Meningkatnya ukhuwah islamiah dan hubungan yang harmonis antara ulama, umaro, dan masyarakat. 4) Berkembangnya kebudayaan Islam yang menopang terbentuknya masyarakat madani. 5) Meningkatnya pendapatan usaha yang memperkuat kemampuan keuangan Badan Pengelola yang kokoh dan mandiri. 6) Terpeliharanya sarana dan prasarana dengan baik serta pendayagunaannya secara optimal dan berkelanjutan. 7) Meningkatnya kualitas manajemen pengelolaan masjid yang modern dan profesional. 8) Meningkatnya sumber daya manusia Badan Pengelola maupun Pelaksana yang amanah, terlatih, alim, profesional, dan sejahtera. 9) Meningkatnya jejaring kerja antara Masjid Agung Jawa Tengah dengan lembaga lain yang terkait. 10) Sebagai sentra wisata relijius di Jawa Tengah. 11) Sebagai monumen kembalinya tanah bandha Masjid Agung Semarang.
144
BAB IV MODEL PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN BANDHA WAKAF MASJID AGUNG SEMARANG
A. Mengidentifikasi Model Wakaf Konsumtif pada Bandha Wakaf Seperti dijelaskan pada Bab II bahwa wakaf konsumtif merupakan harta benda wakaf yang dimanfaatkan secara langsung. Wakaf jenis ini dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya seperti wakaf masjid yang digunakan sebagai tempat ibadah, wakaf madrasah yang digunakan sebagai tempat belajar, wakaf sumur atau sumber air minum, wakaf rumah yang digunakan untuk tempat tinggal, dan sejenisnya. Pada perkembangannya, wakaf jenis ini membutuhkan biaya operasional yang bervariasi sesuai dengan tujuan wakaf. Pada zaman yang dihiasi dengan peralatan high-tech dan modern seperti sekarang ini, setiap fasilitas yang sifatnya konsumtif sekalipun tetap membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai dan biayanya tinggi. Lembaga wakaf yang tidak mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf secara produktif biasanya menutup biaya-biaya tersebut secara insindentil dan sporadis, seperti menggalang dana pada saat dibutuhkan atau mengedarkan kotak infak kepada para donatur. Berikut ini uraian mengenai kondisi obyektif bandha wakaf Masjid Agung Semarang yang sejak awal diproyeksikan dalam bentuk wakaf langsung, yaitu berupa Masjid Agung Semarang dan Masjid Agung Jawa Tengah dan beberapa fasilitas yang dapat dimasukkan dalam kategori wakaf langsung. 1. Pengelolaan dan Pengembangan Masjid Agung Semarang 145
Masjid Agung Semarang dikenal oleh warga sekitar dengan istilah Masjid Kauman. Oleh Tim Peneliti Masjid Agung Jawa Tengah, Masjid Agung Semarang disebut dengan istilah Masjid Besar Kauman Semarang. Pada Bab III telah diuraikan mengenai sejarah Masjid Agung Semarang dan pendirinya sampai pada kondisinya saat ini yang terletak bersebelahan dengan Pasar Johar, Semarang. Dari segi jamaah, Masjid Agung Semarang termasuk masjid yang ramai khususnya pada saat pelaksanaan shalat-shalat fardhu dan dan shalat Jumat. Letaknya yang bersebelahan dengan pasar induk Kota Semarang turut mewarnai keberadaan jamaah masjid ini. Bisa jadi sebagian besar dari jamaah masjid tersebut adalah pedagang pasar ataupun warga yang bermaksud belanja di pasar tersebut. Dari segi kegiatan, Masjid Agung Semarang termasuk masjid yang makmur dengan kegiatan, terutama kegiatan keagamaan seperti kajian rutin mingguan, bulanan, selapanan, dan tahunan. Pengelolaan Masjid Agung Semarang didasarkan kepada Surat Keputusan Walikota Semarang yang membentuk Badan Pengelola Masjid Agung Semarang yang terdiri dari tujuh orang dan dilengkapi dengan sembilan orang sebagai pengurus ketakmiran dan sembilan lainnya sebagai pengurus bandha atau harta kekayaan masjid. Selain itu, Masjid Agung Semarang memiliki Lembaga Amil Zakat Masjid Agung Semarang, Koperasi Syariah Masjid Agung Semarang (KOSAMAS), dan beberapa kelompok kajian yang terdiri dari ibu-ibu Masjid Agung Semarang (IMAS), kajian jamaah Ahad Pagi Masjid Agung Semarang, dan lainnya.
146
Dari segi fasilitas, Masjid Agung Semarang memiliki fasilitas yang cukup memadai untuk menjalankan fungsinya sebagai masjid yang merepresentasikan Kota Semarang. Masjid Agung Semarang terdiri dari dua lantai. Lantai bawah terdiri dari ruang utama yang digunakan untuk tempat shalat dan serambi depan yang cukup luas. Kedua ruang terebut dapat digunakan untuk beribadah dan mampu menampung ribuan jamaah. Sedangkan lantai atas tidak digunakan untuk shalat rutin namun dimanfaatkan untuk beberapa kegiatan seperti rapat dan digunakan untuk menyimpan barang-barang berharga milik masjid, seperti tiga tombak yang disinggung sebelumnya. Tempat wudhu dan toilet menempati ruang yang sebenarnya tidak terlalu besar, namun didesain sedemikian rupa sehingga mampu dimanfaatkan banyak orang secara bersamaan. Sedangkan kamar mandi dan WC jumlahnya masih terbatas dan belum sebanding dengan kebutuhan jamaah. Dari segi layanan, BP MAS memiliki layanan kesehatan dalam bentuk klinik yang dinamakan Klinik Masjid Agung Semarang. BP
MAS juga
memiliki mobil jenazah yang dioperasikan secara gratis bagi masyarakat yang membutuhkannya. Saat ini, tersedia dua unit mobil jenazah. Keduanya merupakan hibah dari donatur. Dari segi pendanaan, MAS memiliki beberapa lini donasi yang disesuaikan dengan penggunaannya. Diantaranya melalui pemberdayaan kotakkotak infak yang disediakan di beberapa tempat di dalam masjid, seperti kotak infak berjalan setiap hari Jumat, kotak infak besar yang terletak di depan
147
masjid, kotak infak khusus untuk biaya kebersihan toilet dan kamar mandi, kotak infak khusus untuk biaya operasional jenazah, dan kotak infak khusus untuk wakaf penambahan aset masjid. Selain melalui kotak infak, penggalangan dana masjid juga dilakukan dengan pendekatan kepada donatur, seperti donatur khusus untuk dana kebersihan, donatur khusus untuk dana operasional mobil jenazah, donatur khusus untuk penambahan aset masjid, seperti yang sedang berjalan saat ini untuk membeli Hotel Bojong dan membangun Islamic Center. 2. Pengelolaan dan Pengembangan Masjid Agung Jawa Tengah Aset MAJT dapat dibedakan menjadi dua, yaitu aset komersial dan aset non komersial. Aset komersial akan dibahas pada bagian lain dari disertasi ini. Bab ini hanya akan membahas aset wakaf MAJT yang dapat dikategorikan wakaf langsung. Aset tersebut terdiri dari bangunan induk masjid, radio DAIS, poliklinik, perpustakaan, pertamanan, water supply, wisma imam dan tamu, museum Perkembangan Islam Jawa Tengah, dan teropong bintang. a. Bangunan induk masjid dan area di sekitarnya. Bangunan ini terdiri dari ruang shalat utama seluas 7,669 m2, plaza depan seluas 7.500 m2 yang dilengkapi dengan payung raksasa,38 ruang perluasan shalat pada sayap kiri dan kanan, ruang VIP dan ruang transit umum, ruang pertemuan yang terletak di sebelah utara kantor sekretariat, dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya yang digunakan untuk keperluan ibadah dan ketakmiran.
38
Namun sayangnya, sebagian besar pengunjung merasa kecewa karena tidak dapat menyaksikan payung tersebut terbuka. Pengunjung lebih sering menyaksikan payung tersebut tertutup dan dalam bentuk kerucut sambil bercerita atau mengengar cerita bahwa payung tersebut akan dibuka pada saat-saat tertentu, meski tidak tahu kapan saat-saat dibukanya itu
148
b. Stasiun Radio Dais atau Dakwah Islam. Studio ini terletak di lantai dasar menara dan mengudara mengudara pada frekuensi 107,0 MHz ini. Selain berfungsi sebagai sarana dakwah, radio DAIS merupakan sarana promosi mengenai MAJT dan kegiatan-kegiatannya kepada masyarakat.39 c. Poliklinik MAJT. Poliklinik MAJT diresmikan penggunannya oleh Gubernur Jawa Tengah Ali Mufiz pada tanggal 9 Juli 2008. Sejauh ini, pelayanan Poliklinik MAJT telah melayani pelayanan kesehatan umum dan gigi bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya jamaah dan warga sekitar MAJT.40 d. Ruang Perpustakaan. Ruang perpustakaan MAJT luasnya mencapai 1650 m2, counter desk 1 buah, ruang perpustakaan yang mempunyai fasilitas AC sebanyak 2 buah, dan toilet di lantai 1 dan lantai 2. e. Pertamanan. Pertamanan MAJT luasnya mencapai 48.500 m2, terletak di sektor pintu gerbang, sektor selatan Convention Hall, sektor sebelah utara perpustakaan, sektor belakang masjid, dan sektor timur rumah kyai. f. Water Supply. Fasilitas Water Supply terdiri dari sumur 1 buah, tower dengan kapasitas 25 m3 setinggi 30 m, dan pompa air 1 buah berkekuatan 3 HP / PK. g. Wisma Imam MAJT dan Wisma Tamu.
39
Radio ini termasuk radio komunitas. Setiap bulan, Pengelola MAJT mengalokasikan dana sebesar Rp 5 juta untuk membantu biaya operasional (Wawancara dengan Agus Fathudin Yusuf: 13-04-2010). 40 Poliklinik MAJT belum termasuk aset MAJT yang menguntungkan, meskipun sudah dapat dikatakan sebagai unit yang mandiri. Ke depan, poliklinik MAJT diproyeksikan sebagai unit usaha yang produktif (Wawancara dengan Agus Fathudin Yusuf: 13-04-2010).
149
h. Museum Perkembangan Islam Jawa Tengah (PIJT). Museum ini terletak di lantai dua dan lantai tiga menara al-H{usna>. Keberadaannya dimaksudkan untuk menjadi sumber informasi dan pengetahuan tentang agama Islam, khususnya kebudayaan Islam di Jawa Tengah, dan sebagai sarana meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kultur budaya mereka sendiri (MAJT, 2008: 152). i. Teropong bintang dan teropong pandang. Teropong-teropong ini terletak di lantai puncak menara al-H{usna>. Teropong bintang difungsikan pada saat-saat tertentu sebagai alat untuk melihat hilal atau ru’yah untuk menentukan awal bulan Qamariyah, terutama awal bulan Ramad{a@n, awal bulan Syawwa@l, dan awal bulan Z|ul H{ijjah.41 Sedangkan teropong pandang digunakan untuk menyaksikan pemandangan Kota Semarang, khususnya obyek-obyek yang jauh sehingga tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Sejauh ini, Badan Pengelola MAJT telah melakukan berbagai upaya untuk memaksimalkan fungsi masjid sebagai tempat ibadah dan pusat kebudayaan. Sebagai tempat ibadah, MAJT telah melakukan tugasnya sebagai tempat ibadah bagi umat Islam yang bermaksud menunaikan shalat di masjid ini, baik shalat lima waktu maupun shalat-shalat sunnah, seperti shalat Tara@wi@h pada bulan Ramadan dan shalat I.
41
Teropong bintang ini juga sering dimanfaatkan sebagai sarana pelatihan rukyat agar peserta pelatihan mampu mengoperasionalkan alat tersebut. Untuk mendukung fungsi rukyat ini, selain teropong bintang tersebut juga dilengkapi dengan sarana pelengkap seperti komputer, sky censor dan tripod
150
Dari segi pelayanan kesehatan, MAJT telah dilengkapi dengan Poliklinik MAJT yang melayani pelayanan kesehatan umum dan gigi. Sebagai bagian dari usaha wakaf, Poliklinik MAJT harus mampu menjadi pilihan pertama bagi jamaah dan warga sekitar MAJT khususnya dari kalangan kaum d{u’afa@. Dari segi pendidikan dan dakwah, MAJT telah menjalankan kegiatankegiatan keagamaan yang bernuansa dakwah amar ma’ru@f nahi munkar, baik dalam bentuk kajian, ceramah umum, khutbah, dan pelatihan. Pendidikan formal akan direalisasikan pada program ma’had ‘a>li>>>.42 Sebagian program dakwah MAJT disalurkan melalui stasiun Radio Dakwah Islam (DAIS).43 Program pemberdayaan ekonomi diwujudkan dalam bentuk kegiatankegiatan ekonomi riil yang terjadi di lingkungan MAJT, seperti penyewaan ruang usaha, ruang perkantoran, dan pedagang-pedagang kecil di sekitar MAJT. Namun, menurut peneliti hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan ekonomi yang diberdayakan melalui hasil wakaf, sebab para pedagang tersebut menyewa ruang usaha atau perkantoran yang menjadi fasilitas MAJT dengan biaya yang cukup tinggi.44 B. Mengidentifikasi Model Wakaf Produktif pada Bandha Wakaf MAS 1. Pengelolaan dan Pengembangan Bandha Wakaf dalam Bentuk SPBU a. Sejarah SPBU MAS 42
Program ini hingga saat ini belum terwujud. BP MAJT masih mensubsidi untuk membantu operasional radio DAIS sebesar Rp 5 juta setiap bulan atau Rp 60 juta pertahun. 44 Biaya sewa ruang usaha MAJT mencapai Rp 7.500.000,00 pertahun (Wawancara dengan Joko, Penggguna atau Penyewa Konter di Office MAJT: 13-04-2010). 43
151
Tanah bandha wakaf Masjid Agung Semarang yang diberdayakan dalam bentuk SPBU terletak di Jalan Arteri Soekarno-Hatta, Kelurahan Sawah Besar, Kecamatan Gayamsari. Pada mulanya, SPBU Masjid Agung Semarang merupakan unit usaha yang dimiliki oleh mantan Walikota Semarang Sutrisno Suharto. Penelitian Husein (2006) menyebutkan bahwa lahan itu sendiri diperoleh Sutrisno Suharto dengan cara membelinya dari Tjipto Siswoyo selaku pemenang tender tukar guling bandha wakaf Masjid Agung Semarang.
Persoalan
ini
mengemuka
seiring
dengan
terkuaknya
kontroversi tukar guling bandha wakaf Masjid Agung Semarang yang menyebabkan raibnya sebagian bandha wakaf tersebut karena dikuasai pihak lain. Lahan tempat beroperasinya SPBU milik Sutrisno Suharto ini termasuk lahan wakaf yang dikembalikan Tjipto Siswoyo kepada BKM sehingga dengan sendirinya SPBU itu harus dikembalikan kepada yang berhak memilikinya. Proses pengembalian tanah wakaf yang sudah dalam bentuk SPBU yang dibangun oleh mantan Walikota Sutrisno Suharto ini mengalami tarik ulur yang panjang. Menurut Arifin (Wawancara: 07-05-2012), saat itu Sutrisno Suharto menawarkan tiga alternatif kepada BKM mengenai kepemilikan SPBU. Pertama, kepemilikan SPBU tetap pada Sutrisno Suharto dan dia harus membeli tanah BKM. Kedua, BKM membeli SPBU dengan harga yang disepakati. Ketiga, kepemilikan bersama antara Sutrisno Suharto dan BKM atas SPBU dengan sistem bagi hasil. Menurut Arifin,
152
kecenderungan BKM pada saat itu adalah alternatif yang ketiga, yaitu kepemilikan bersama antara Sutrisno Suharto dengan BKM dengan sistem bagi hasil. Namun yang terjadi, menurut Arifin, adalah adanya pihak ketiga, yaitu Gubernur Jawa Tengah yang saat itu dijabat Mardiyanto, tibatiba membeli SPBU tersebut. Rupanya, selain membuka wacana dengan BKM, Sutrisno Suharto juga membuka pembicaraan dengan pengelola Masjid Agung Semarang yang didukung oleh Gubernur Jawa Tengah dan Walikota Semarang. Informasi ini diperoleh dari hasil wawancara peneliti dengan Ketua Badan Pengelola Masjid Agung Semarang, yaitu Hasan Toha Putra. Hasan (Wawancara: 16-04-2012) menuturkan, Saat itu, saya, mantan Wagub Pak Ali Mufiz, dan Walikota Pak Sukawi, pada bulan Ramadhan, bertemu Bapak Sutrisno Suharto di hotel Santika, yang dekat Gramedia itu. Kita berbicara tentang SPBU itu. Setelah itu, ditindaklanjuti. Saya diminta untuk bicara dari hati ke hati dengan Pak Trisno. Itu setelah Ramadhan. Tapi sebelumnya, Pak Trisno minta untuk bertemu berdua dengan bapak Gubernur, yaitu Pak Mardiyanto. Subh}a>nalla>h. Pak Trisno terbuka hatinya.
Menurut keterangan Hasan, pada mulanya Sutrisno Suharto meminta pihak Masjid Agung Semarang agar membeli SPBU itu seharga 3 milyar rupiah. Namun pihak Masjid Agung Semarang tidak mampu memenuhi permintaan tersebut. Sutrisno Suharto tetap bertahan dengan angka tersebut, sehingga ketika ditawar sampai 2.5 milyar rupiah pun tidak disetujuinya.
153
Sampai akhirnya, menurut penjelasan Hasan, Sutrisno Suharto bertemu secara empat mata dengan Gubernur Jawa Tengah, Mardiyanto. Hasan mengaku tidak tahu apa yang dibicarakan, namun setelah itu Allah membuka hati Sutrisno Suharto sehingga ia bersedia menyerahkannya dengan harga 1.5 milyar rupiah. Setelah ada kesepakatan itu, Badan Pengelola Masjid Agung Semarang mendapat bantuan dari Gubernur sebesar 1 milyar rupiah. Bantuan dari Gubernur Jawa Tengah, Mardiyanto, itu selanjutnya dibayarkan kepada Sutrisno Suharto. Badan Pengelola Masjid Agung Semarang berjanji akan segera melunasi kekurangannya, yaitu Rp 500.000.000,00. Namun, Sutrisno Suharto justru mengikhlaskan jumlah uang tersebut sehingga Badan Pengelola Masjid Agung Semarang tidak perlu melunasinya. Mengomentari hal ini, Hasan (Wawancara: 16-04-2012) mengungkapkan rasa syukurnya sebagai berikut: Ini subh}a>nalla>h. Padahal saat itu, kami sudah menawar hingga 2.5 milyar, tapi tidak dikasihkan. Itulah, Allah yang membolak-balikkan hati seseorang. Hari ini masih keras, tapi besok bisa lunak. Kami dalam mengurus bandha wakaf ini, merasakan banyak sekali ma’u>nah dari Allah. Banyak yang tidak rasional.
Setelah proses jual beli selesai, langkah yang ditempuh Badan Pengelola Masjid Agung Semarang berikutnya adalah mengurus balik nama SPBU tersebut. Atas pertimbangan yang sifatnya pragmatis, SPBU Masjid Agung Semarang dibalik nama atas nama Hasan Toha Putra selaku Ketua Badan Pengelola. Mengenai proses balik nama itu, Hasan (Wawancara: 16-04-2012) menuturkan,
154
Urusan balik nama itu sendiri panjang ceritanya. Kami datang ke Pertamina, ternyata banyak sekali urusannya. Kami diminta untuk membayar ini dan itu. Itu sangat memberatkan. Sampai akhirnya disepakati tentang cara pembayaran biaya balik nama tersebut. Yaitu dengan dipotong dari hasil penjualan bensin dan solar. Maaf, saya tidak ingat persisnya. Catatannya ada pada Pak Khamad. Misalnya saja, keuntungan perliter itu 100 rupiah, maka itu dibagi dua, anggaplah 70 % untuk kami dan 30 % untuk Pertamina sebagai bagian dari cicilan untuk membayar biaya balik nama itu. Itu berjalan sampai lunas. Kemudian
untuk
pengelolaannya,
Gubernur
Jawa
Tengah
menyerahkannya kepada Walikota Semarang, yaitu Bapak Sukawi Sutarip. Selanjutnya, Walikota Semarang menunjuk Badan Pengelola Masjid Agung Semarang untuk menjalankan operasional bisnis SPBU dan berkewajiban mengembangkannya. Mengomentari sejarah berdirinya SPBU MAS seperti di atas, Husein (2006) menyatakan bahwa keberadaan SPBU sebagai salah satu bentuk pemberdayaan bandha wakaf MAS lebih tepat disebut sebagai “kecelakaan” yang menguntungkan. Husein beralasan bahwa tanah wakaf tersebut sebelumnya merupakan tanah kosong yang tidak produktif kemudian dikelola dengan tanpa rencana menjadi tanah wakaf produktif yang menghasilkan keuntungan materiil yang signifikan. b. Pengelolaan SPBU MAS Saat ini, SPBU MAS melayani penjualan BBM jenis pertamax, premium, dan bio solar, membuka layanan cuci dan salon mobil, layanan ATM, fasilitas pengisian angin dan air radiator, terapi bugar dan klinikita Masjid Agung Semarang, dan memiliki minimarket.
155
Fasilitas SPBU MAS telah memenuhi standar layanan dan standar bangunan fisik perkantoran dan bangunan kanopi tempat penjualan SPBU yang layak. Dari segi bangunan fisik, SPBU MAS memiliki bangunan utama yang terdiri dari dua lantai. Lantai bawah dimanfaatkan untuk kantor administrasi SPBU, kantor manajer, kantor karyawan, minimarket, terapi bugar dan klinikita Masjid Agung Semarang, layanan ATM Mandiri dan ATM BRI, dan warung makan. Di sebelah kanan bangunan utama, terdapat ruang usaha yang disewakan untuk usaha cuci dan salon mobil. Lantai atas terdiri dari ruang staf dan karyawan SPBU, tempat wudhu, dan mushalla yang cukup luas dan bersih. Dari segi bangunan, SPBU MAS memiliki dua kanopi penjualan BBM dan empat dispenser. Masing-masing dispenser memiliki dua nozzle. Kanopi pertama, yang merupakan kanopi utama dan digunakan untuk melayani pembeli dengan menggunakan kendaraan roda empat, memiliki tiga dispenser dan enam nozzle. Dispenser pertama yang terletak paling dekat dengan jalan raya memiliki dua nozzle, yaitu nozzle 1 dan nozzle 2 yang digunakan untuk menjual BBM jenis premium. Dispenser kedua yang terletak di tengah memiliki dua nozzle, yaitu nozzle 3 untuk menjual BBM jenis premium dan nozzle 4 untuk menjual BBM jenis pertamax. Dispenser ketiga terdiri dari dua nozzle, yaitu nozzle 5 dan nozzle 6 yang digunakan untuk menjual BBM jenis bio solar. Kanopi kedua letaknya terpisah dengan kanopi utama hanya memiliki satu dispenser dengan dua nozzle, yaitu nozzle 7 dan nozzle 8.
156
Keduanya digunakan untuk menjual BBM jenis premium dan khusus melayani pembeli dengan kendaraan roa dua atau motor. Badan Pengelola Masjid Agung Semarang mengawali pengelolaan SPBU 44.501.18 ini pada bulan Januari 2005. Pada saat itu, Badan Pengelola menunjuk Wahid Ahmad sebagai manajer. Sebelum menjadi manajer SPBU, Wahid Ahmad merupakan salah satu pengurus Badan Pengelola dan telah melakukan training atau magang di SPBU tersebut selama dua bulan, yaitu bulan Nopember dan Desember 2004. Maksud dari training tersebut adalah untuk mempelajari secara langsung operasional bisnis SPBU dan mempersiapkan langkah-langkah peralihan hak dari pemilik lama, yaitu Sutrisno Suharto dan Susanti Dian Safitri, kepada pemilik baru, yaitu Badan Pengelola Masjid Agung Semarang (Wawancara dengan Wahid Ahmad: 24-05-2012). Setelah secara resmi menerima hak kelola SPBU tersebut, Badan Pengelola segera melakukan pembenahan agar sesuai dengan visi Masjid Agung Semarang. Selain menempatkan Wahid Ahmad pada posisi manajer, Badan Pengelola merekrut beberapa karyawan baru untuk penyegaran. Sebagian karyawan lama tetap dipertahankan dan sebagian lainnya digantikan dengan tenaga-tenaga baru yang lebih produktif. Pembenahan juga dilakukan pada fisik SPBU seperti perbaikan sarana dan prasarana. Sebagai salah satu bentuk sosialisasi atas perubahan kepemilikan tersebut, pada bagian depan kanopi pompa bensin SPBU dipasang tulisan yang berbunyi “Selamat datang di SPBU Masjid Agung
157
Semarang” dan tulisan lain berbunyi “Celakalah bagi orang-orang yang berbuat curang”.45 Secara sepintas, setiap orang yang melewati jalan depan SPBU MAS dapat membaca dan mengetahui status SPBU tersebut sehingga diharapkan dapat menarik minat calon konsumen agar membeli BBM di SPBU tersebut. Saat ini, kondisi SPBU Masjid Agung Semarang telah dipercaya oleh masyarakat sebagai salah satu SPBU yang terjamin kualitasnya dan juga tera atau ukurannya. Secara umum, masyarakat Kota Semarang juga sudah mengetahui keberadaan dan kepemilikan SPBU tersebut. Tidak dipungkiri juga adanya sebagian konsumen yang sengaja membeli BBM di SPBU MAS karena alasan yang sifatnya ideologis, yaitu membeli BBM sambil beramal dengan turut memakmurkan Masjid Agung Semarang. Kepercayaan konsumen akan kualitas BBM, akurasi tera atau ukuran, layanan yang baik, dan kepemilikan SPBU oleh sebuah masjid merupakan modal yang kuat bagi kelangsungan usaha tersebut. Apabila kepercayaan masyarakat tersebut dapat terjaga dengan baik, dapat diprediksi minat konumen atau calon konsumen untuk membeli BBM di SPBU tersebut terus meningkat. Apalagi kondisi saat ini, persaingan bisnis SPBU semakin ketat dan masyarakat semakin cerdas dalam memilih barang yang akan dibeli.
45
Saat ini, tulisan tersebut dipasang di atas kantor sekretariat SPBU MAS dan tidak di bagian atas kanopi karena dianggap tidak sesuai dengan standar SPBU yang telah lulus sertifikat Pasti Pas. Kalimat yang berbunyi “Celakalah orang-orang yang berbuat curang” merupakan terjemahan dari Surat al-Mut}affifi>n: 1.
158
Menurut Wahid Ahmad (Wawancara: 24-05-2012), rata-rata penjualan atau omset yang berhasil dijual SPBU Masjid Agung Semarang dari seluruh bentuk BBM yang ditawarkan adalah 20.000 liter perhari. Pada masa kepemimpinannya dari tahun 2005 hingga awal 2012, rekor penjualan paling tinggi dalam satu hari bagi seluruh bentuk BBM adalah 22.000 liter. Berdasarkan volume penjualan tersebut, menurut Fery Pujiyanto (Wawancara: 28-02-2013), pendapatan bersih yang diperoleh dari pengelolaan SPBU Masjid Agung Semarang rata-rata berada pada kisaran 35 juta hingga 40 juta rupiah perbulan. Angka tersebut merupakan nominal yang diserahkan manajemen SPBU Masjid Agung Semarang kepada Badan Pengelola Masjid Agung Semarang setelah dikurangi biaya-biaya operasional seperti gaji karyawan, listrik, dan lain-lain. c. Pengembangan SPBU MAS: Mendapatkan Sertifikat Pasti Pas Ketika masih bernaung di bawah UU No 22 Tahun 1971, selain sektor hulu, Pertamina merupakan perusahaan monopoli dalam mengelola usaha minyak dan gas bumi di Indonesia. Ketika era globalisasi dimulai, UU No 22 Tahun 1971 diganti dengan UU Migas No 22 Tahun 2001. Berdasarkan UU ini, Pertamina bukan lagi satu-satunya pemain dalam sektor hilir usaha di bidang migas, melainkan hanya salah satu pelaku bisnis dalam bidang migas yang bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain, baik domestik maupun asing, yang bergerak dalam bidang tersebut. Untuk merespon perubahan tersebut, Pertamina dituntut melakukan berbagai transformasi agar dapat menjadi perusahaan yang mampu bersaing
159
dengan perusahaan-perusahaan asing. Di antara kebijakan yang diambil Pertamina adalah mengenalkan dua macam SPBU, yaitu SPBU Pertamina biasa (Non Pasti Pas) dan SPBU Pasti Pas. SPBU Pasti Pas merupakan upaya dari Pertamina untuk membenahi industri ritel BBM. Untuk mendukung upaya ini, Pertamina dalam Depary (2010: 22) meluncurkan program yang dikenal dengan Program Pertamina Way yang merupakan program pembenahan manajemen dan pelayanan SPBU yang terdiri dari 5 elemen, yaitu pelayanan staf yang terlatih, jaminan kualitas dan kuantitas, peralatan yang terawat dengan baik, format fisik yang konsisten, dan penawaran produk dan pelayanan yang baik. SPBU yang telah menerapkan SPBU Pertamina Way dinilai telah memenuhi jaminan pelayanan terbaik sesuai standar internasional dan selanjutnya disertifikasi menjadi SPBU Pasti Pas. Pasti Pas adalah SPBU yang telah mendapatkan sertifikat Pasti Pas dari auditor independen46 dengan jaminan pelayanan terbaik yang memenuhi standar kelas dunia. Konsumen akan mendapatkan kualitas dan kuantitas BBM yang terjamin, pelayanan yang ramah, serta fasilitas yang nyaman. Sedangkan SPBU yang belum mengikuti Program Pertamina Way disebut dengan SPBU biasa atau SPBU Non Pasti Pas. Perbedaan antara SPBU Pasti Pas dengan SPBU biasa dapat dilihat dari segi fisik, non fisik, maupun kebijakan pertamina terhadap kedua jenis SPBU tersebut. Secara
46
Seluruh proses sertifikasi dilakukan secara independen oleh Bureau Veritas, institusi auditor independen internasional yang memiliki pengalaman Internasional untuk melakukan audit pelayanan SPBU (http://pastipas.pertamina.com, diakses hari Jum’at, 17 Pebruari 2012, jam 03.30 WIB
160
fisik, SPBU Pasti Pas berbeda dengan SPBU biasa, misalnya dari segi bentuk
bangunan, kondisi
peralatan, maupun pelayanan terhadap
konsumen. Secara non fisik atau yang tidak dapat dilihat, SPBU Pasti Pas menerapkan standar yang lebih baik dalam hal kepercayaan konsumen, menjaga citra SPBU, kepastian kalibrasi pompa, dan lainnya. Merespon perubahan kebijakan dari Pertamina tersebut, SPBU Masjid Agung Semarang segera berbenah untuk mengikuti perkembangan yang terjadi pada dunia bisnis SPBU. Dapat diprediksi bahwa pada saat akan membeli BBM, konsumen akan lebih memilih SPBU yang telah mendapatkan sertifikat Pasti Pas daripada SPBU biasa karena melihat beberapa keunggulan yang terdapat pada SPBU Pasti Pas. Pertimbangan lain bagi SPBU Masjid Agung Semarang untuk mendapatkan sertifikat Pasti Pas karena adanya kebijiakan Pertamina yang lebih memihak pada SPBU Pasti Pas, terutama dalam hal pembagian margin keuntungan. Pertamina memberikan margin keuntungan yang lebih besar bagi SPBU Pasti Pas daripada keuntungan yang diberikan kepada SPBU biasa. Hal ini diantaranya dimaksudkan agar seluruh SPBU yang menjadi mitra Pertamina dalam bidang distribusi BBM dapat menerapkan standar yang diakui secara internasional. Jika dilihat dari segi kepemilikan, SPBU MAS merupakan SPBU yang dimiliki dan dikelola oleh pihak swasta, yaitu Badan Pengelola Masjid Agung Semarang. Berdasarkan hal ini, SPBU MAS termasuk dalam
161
kategori SPBU DODO atau Dealer Owned Dealer Operated. 47 Sedangkan jika dilihat dari volume penjualan, SPBU Masjid Agung Semarang tergolong pada SPBU TIPE C karena rata-rata omset penjualan harian SPBU Masjid Agung Semarang adalah 20 KL BBM.48 SPBU Pertamina Pasti Pas juga bertingkat, sesuai dengan standar kinerja SPBU itu sendiri dan berdasarkan standar yang telah ditetapkan Pertamina, yaitu Pasti Pas Silver, Pasti Pas Gold, dan Pasti Pas Diamond.49 Dari segi ini, SPBU Masjid Agung Semarang termasuk dalam kategori SPBU Pasti Pas Silver (Wawancara: Wahid Ahmad, 24 Mei 2012) Selain keuntungan finansial, SPBU Masjid Agung Semarang yang telah memiliki sertifikat Pasti Pas, akan mendapatkan banyak keuntungan, seperti peningkatan kepercayaan, kepuasan, dan kesetiaan pelanggan, prioritas dalam distribusi BBM, training bagi pekerja SPBU, diikutkan
47 Dari segi struktur kepemilikan, SPBU Pertamina dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (1) SPBU DODO (Dealer Owned Dealer Operated), yaitu SPBU yang dimiliki dan dikelola seluruhnya oleh swasta, baik lahan, aset, maupun pengoperasiannya, (2) SPBU CODO (Company Owned dealer Operated), yaitu SPBU sebagai bentuk kerjasama antara Pertamina dengan swasta, dan (3) SPBU COCO (Company Owned Company Operated), yaitu SPBU yang dimiliki dan dikelola Pertamina melalui anak perusahannya, yaitu PT Pertamina Retail. (http://sppbe.pertamina.com, diakses hari Jum’at, 17 Pebruari 2012, jam 03.15 WIB) 48 Berdasarkan perkiraan volume penjualan, SPBU dapat dibagi menjadi 5 tipe (Depary, 2010: 29), yaitu SPBU Tipe A yang beromset harian lebih dari 35 KL, SPBU Tipe B dengan omset 25 KL – 35 KL, SPBU Tipe C dengan omset 20 KL – 25 KL, SPBU Tipe D dengan omset 15 KL – 20 KL, dan SPBU Tipe E dengan omset kurang dari 15 KL. Selain dari volume penjualan BBM, pembagian tipe SPBU juga dapat dilihat dari segi luasnya lahan dan lebarnya muka jalan. Untuk SPBU Tipe C, syarat minimal luasnya lahan adalah 1.225 m2 dengan minimal lebarnya muka jalan 35 m. (http://sppbe.pertamina.com, diakses hari Jum’at, 17 Pebruari 2012, jam 03.15 WIB). 49 Pasti Pas Silver adalah SPBU dengan sertifikat awal dari Intertex mendapatkan margin dari Pertamina yang berbeda dengan SPBU biasa. Selisih Margin dengan SPBU biasa sebesar Rp. 15,00 inilah yang menjadi semangat para Karyawan. Karena 20% dari Margin ini harus dikembalikan kepada karyawan (reward) untuk menjadi pemacu semangat mengejar sertifikat yang lebih baik. Untuk mendapatkan sertifikat Pasti Pas Gold, SPBU menambah pengisian angin dan air gratis, dan ada 1 Gerai ATM. Lebih mudah lagi kalau ada tambahan C-Store (minimarket). Pasti Pas Diamond merupakan sertifikat paling tinggi di Indonesia. Untuk mendapatkannya, harus ada 2 Bright (franchise Petamina) selain yang sudah ada standartnya dari SPBU PastiPas Gold. (http://konsultanspbu.blogspot.com, diakses hari Jum’at, 17 Pebruari 2012, jam 03.25 WIB)
162
dalam program-program marketing Pertamina Way, diberikan berbagai aksesoris Pertamina Way (seperti seragam, kantong uang, dan topi), dan menjadi bagian dari Pasti Pas Community (Depary, 2010: 31). Berbagai keunggulan yang dimiliki SPBU Pasti Pas telah berhasil mendorong para pengusaha SPBU untuk menambah investasi baru guna menyesuaikan dengan kebijakan tersebut. Investasi tersebut digunakan untuk menyediakan fasilitas dan layanan tambahan agar dapat masuk dalam kriteria SPBU Pasti Pas. Investasi yang dibutuhkan untuk merombak SPBU Masjid Agung Semarang dari SPBU biasa menjadi SPBU Pasti Pas tergolong tidak sedikit, yaitu mencapai angka 400 juta rupiah (Wawancara dengan Wahid Ahmad: 24-05-2012). Biaya tersebut digunakan untuk memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan Pertamina bagi SPBU yang bermaksud mengajukan sertifikat Pasti Pas seperti persyaratan yang berkaitan dengan fisik dan kelengkapan administrasi. Biaya paling besar dialokasikan untuk merubah tampilan fisik SPBU, terutama kanopi pompa bensin yang harus disesuaikan dengan standar Pertamina. Di antara dampak dari perubahan status SPBU Masjid Agung Semarang adalah dihilangkannya tulisan yang sebelumnya tertera pada kanopi pompa bensin yang berisikan ucapan selamat datang kepada konsumen. Setelah mendapatkan sertifikat Pasti Pas dan keharusan mengikuti standar fisik yang ditetapkan Pertamina, tulisan yang menjelaskan kepemilikan SPBU dan sejenisnya harus dihilangkan. Besarnya nilai investasi dan keharusan mengikuti persyaratan
163
seperti tersebut di atas dirasa sebanding dengan keuntungan yang hendak diraih. Selain mendapatkan margin keuntungan yang lebih besar dari Pertamina, SPBU Pasti Pas juga mampu mendongkrak omset penjualan karena saat ini sebagian besar konsumen sudah termotivasi untuk mengisi BBM di SPBU yang telah mendapatkan sertifikat Pasti Pas. Dengan meningkatnya jumlah konsumen yang membeli BBM di SPBU tersebut, diharapkan juga turut mendongkrak pendapatan SPBU melalui unit-unit usaha lainnya, seperti minimarket, restoran, dan jasa toilet. SPBU Masjid Agung Semarang telah berhasil mendapatkan sertifikat Pasti Pas sejak bulan Mei 2011. Berdasarkan peringkat kinerjanya, SPBU Masjid Agung Semarang termasuk dalam kategori SPBU Pasti Pas Silver dan berhak mendapatkan margin keuntungan dari penjualan premium dan solar sebesar Rp 205,00 perliter dan dari penjualan BBM jenis pertamax sebesar Rp 325,00 perliter (Wawancara dengan Wahid Ahmad: 24-05-2012). Menurut Fery Pujiyanto (Wawancara: 28-02-2013), agar dapat mempertahankan peringkat SPBU Pasti Pas Silver, manajemen SPBU harus berusaha menjaga mutu atau kualitas layanan dan diaudit oleh auditor independen setiap bulan. Apabila berhasil mempertahankan peringkat tersebut dan dinyatakan lulus pada saat audit setiap bulan selama tiga kali berturut-turut, maka SPBU Masjid Agung Semarang berhak untuk mengajukan permohonan kepada Pertamina untuk mendapatkan peringkat SPBU Pasti Pas yang lebih tinggi, yaitu peringkat gold. Manajemen SPBU
164
Masjid Agung Semarang saat ini sedang berusaha mempertahankan standar administrasi dan layanan SPBU Pasti Pas Silver dan pada saat yang sama sedang berusaha meningkatkan kinerjanya agar dapat mendapatkan peringkat yang lebih tinggi. Menurut Fery Pujiyanto (Wawancara: 28-022013), kendala utama bagi SPBU MAS untuk mendapatkan peringkat gold terletak pada tingkat penjualan BBM khusus yang tidak mampu memenuhi volume yang ditetapkan Pertamina. d. Peluang Usaha SPBU bagi Lembaga Wakaf Hingga saat ini, bisnis SPBU masih menjadi bisnis yang menjanjikan dan diminati banyak investor. Meskipun tingkat persaingan semakin tajam, beberapa SPBU yang berdiri di atas lahan strategis dan memberikan pelayanan yang baik masih tetap eksis dan semakin berkembang seiring dengan bertambahnya jumlah kendaraan bermotor setiap harinya. Bagi lembaga wakaf, bisnis SPBU merupakan salah satu alternatif bisnis yang menarik, khususnya bagi aset-aset wakaf berupa tanah yang terletak di kawasan strategis. Tingkat keuntungan yang cukup tinggi dan risiko kerugian yang kecil menjadikan bisnis SPBU sebagai model atau percontohan bagi pemberdayaan wakaf produktif. Meskipun bisnis SPBU termasuk jenis usaha yang cocok bagi pengembangan aset wakaf produktif, tidak banyak lembaga wakaf yang mampu mewujudkannya. Hal ini disebabkan oleh syarat-syarat pendirian bisnis SPBU yang cukup berat, khususnya berkaitan dengan ketersediaan
165
lahan strategis dan modal yang cukup besar. Lembaga wakaf yang berminat memasuki bisnis ini harus menyediakan tempat usaha yang cukup luas, terletak di pinggir jalan besar, banyak dilalui kendaraan, dan persaingan ritel bensin di sekitar lokasi tersebut belum tinggi. Terkait dengan kerjasama mendirikan SPBU ini, lembaga wakaf juga harus mempersiapkan royalty fee dan dana deposit. Royalty fee merupakan dana yang diberikan dari pembagian menurut prosentase keuntungan yang besarnya ditentutan oleh lokasi dan hasil negosiasi atau kesepakatan bersama (Suhardo, 2008: 66). Setiap lima tahun sekali, Pertamina akan mengevaluasi SPBU yang bersangkutan dan menarik royalty fee yang telah disepakati. Jika lokasi SPBU cukup luas dan lokasinya strategis, lembaga wakaf sebagai pemilik SPBU dibolehkan membuka unit-unit usaha lain di sekitar lokasi SPBU. Hal itu itu dimaksudkan agar dapat menarik minat konsumen untuk mengisi BBM di SPBU tersebut dan juga untuk meningkatkan penghasilan SPBU. Di antara jenis-jenis usaha yang dapat dibuka di sekitar SPBU adalah
Store
Pertamina Bright atau toko ritel, Pertamina Speed Service Station atau gerai pelayanan bengkel cepat, cuci motor dan mobil, restoran dan aneka makanan, dan stand ATM Selain unit-unit usaha tersebut, fasilitas pendukung yang selalu ada pada setiap SPBU adalah mushalla, toilet atau WC, dan area istirahat. Beberapa SPBU memberikan fasilitas dan layanan yang sangat baik dan memanjakan pelanggan sebagai bagian dari strategi marketing agar dapat
166
menanamkan loyalitas konsumen pada SPBU tersebut. Berbagai fasilitas dan layanan tersebut tentu saja menguntungkan konsumen sehingga dengan sendirinya mereka akan memilih mengisi BBM pada SPBU yang menawarkan layanan terbaik bagi mereka. Dengan demikian, apabila ada SPBU yang tidak mau berbenah, tidak memberikan layanan yang dikenal dengan Pasti Pas, tidak menyediakan fasilitas-fasilitas yang memuaskan konsumen, apalagi seringkali merugikan konsumen, dapat dipastikan akan sepi dari pembeli, mengingat persaingan bisnis SPBU yang semakin ketat dan semakin banyaknya jumlah SPBU yang dapat dijumpai pengendara. 2. Pengelolaan Bandha Wakaf dalam Bentuk Pertokoan BKM Kota Semarang Di antara bentuk pengelolaan bandha wakaf Masjid Agung Semarang adalah pertokoan BKM. Komplek pertokoan BKM Kota Semarang menempati lahan seluas 22.500 m2 dan terletak di Jalan Soekarno Hatta, Kelurahan Sawah Besar, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang. Letaknya cukup strategis di pinggir jalan sebelah SPBU yang juga merupakan aset BKM Kota Semarang. Letaknya juga dekat dengan Masjid Agung Jawa Tengah yang menjadi tempat wisata religi. Pada mulanya, komplek pertokoan BKM ini direncanakan menjadi salah satu proyek percontohan model wakaf produktif Kementerian Agama. Selain komplek pertokoan BKM, masih ada empat lagi proyek percontohan model wakaf produktif Kementerian Agama, yaitu Gedung Unit Usaha Universitas Wahid Hasyim Semarang, Jateng, Pertokoan Darul Hikam Cirebon, Jabar, Gedung Usaha Perekonomian Darul Mukhlisin UMI Padanglampe, dan
167
Pertokoan PCNU Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Selatan. Kelimanya secara simbolik telah diresmikan oleh Menteri Agama di komplek pertokoan proyek percontohan BKM Kota Semarang, 6 September 2007. Proses pendirian komplek pertokoan ini diawali dengan prosposal yang diajukan Farikhin pada tanggal 13 September 2006 untuk memohon bantuan dana bagi pengembangan aset bandha wakaf MAS yang yang dikelola BKM kepada Departemen Agama. Proposal tersebut disahkan oleh BKM selaku nazhir bagi tanah wakaf tersebut pada tanggal 27 September 2006 dan direkomendasikan oleh Wakil Gubernur Jawa Tengah, Kanwil Departemen Agama Provinsi Jawa Tengah, Kandepag Kota Semarang dan KUA Kecamatan Gayamsari. Proposal tersebut disetujui oleh Departemen Agama RI melalui SK Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/167 Tahun 2006, tertanggal 13 Oktober 2006. Bantuan dana yang disetujui adalah sebesar Rp 2.000.000,00 yang diperuntukkan bagi pembangunan 28 unit bangunan dengan luas tanah 5.000 m2 (Suhardo, 2008: 37). Peletakan batu pertama bagi pembangunan komplek pertokoan tersebut dilakukan pada tanggal 28 Desember 2006 dan selesai dikerjakan dalam waktu sekitar 120 hari. Sedangkan peresmiannya dilakukan pada tanggal 6 September 2007. Komplek Pertokoan BKM terdiri atas dua unit bangunan besar yang didesain memanjang tegak lurus mengarah kiblat. Setiap bangunan besar memanjang tersebut terbagi dalam 14 ruang atau petak yang masing-masing berukuran 3 m x 7,20 m. Di antara sarana penunjang dalam komplek pertokoan tersebut adalah
168
halaman parkir yang cukup luas, yaitu sekitar 2000 m2, gudang 1 buah, gedung generator 1 buah, kamar mandi atau WC sebanyak 6 buah, dan tempat bermain atau penitipan anak. Sedangkan untuk tempat shalat, sengaja tidak dibangun dengan alasan berdekatan dengan MAJT (Suhardo, 2008: 38). Menurut Arifin (Wawancara: 17-02-2011), jika setiap kios atau bedeng dikontrakkan dengan harga Rp 10.000.000,00 pertahun, maka BEP (Break Even Point) akan terjadi pada tahun ke delapan, dan jika harga sewa per kios nilainya Rp 7.500.000,00 maka BEP akan terjadi pada tahun ke sebelas. Semua itu didasarkan pada asumsi semua kois laku atau dikontrak orang. Jika ada sebagian kios yang tidak laku, tentu saja akan memperpanjang masa BEP-nya sesuai dengan jumlah kios yang laku setiap tahunnya. Hasil
atau
keuntungan
dari
pengelolaan
pertokoan
tersebut
direncanakan akan disalurkan kepada pemeliharaan Masjid Agung Semarang dan pemberdayaan anak-anak yatim atau kaum d}u’afa~>’ fakir dengan cara pemberian beasiswa pendidikan maupun pemberian kredit mikro untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Saat ini, kondisi pertokoan BKM yang diidamkan sebagai model pertokoan wakaf produktif tidak berjalan sesuai harapan, sebab jumlah kios yang disewa oleh masyarakat hanya 30 persen saja dengan harga sewa Rp 7.500.000,00. Masih menurut Arifin, kendala bagi pemasaran kios-kios tersebut adalah bentuk bangunan yang tidak menghadap ke jalan raya sehingga sebagian besar kios tersebut dianggap tidak strategis. Proyeksi keuntungan usaha tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Tabel 4.1
169
Kebutuhan Investasi Awal Nomor Jenis Kebutuhan 1 Jumlah bangunan 28 unit x (3 x 7,2 M2) 2 Lahan parkir 3 Gudang 4 Gedung generator 5 Kamar mandi atau WC 6 Sumur bor 7 Dana bantuan wakaf produktif Sumber: Diolah dari Suhardo (2008: 39)
Jumlah 604,8 M2 2.000 M2 1 buah 1 buah 6 buah 1 buah Rp 2.000.000,00
Tabel 4.2 Proyeksi pendapatan Bulanan No Jenis Usaha 1 Sewa kamar 28 x Rp 750.000 2 Jasa parkir 30 hari x Rp 300.000,00 3 Total pendapatan perbulan 4 Total pendapatan pertahun Sumber: Diolah dari Suhardo (2008: 39)
Jumlah Rp 21.000.000,00 Rp 9.000.000,00 Rp 30.000.000,00 Rp 360.000.000,00
Tabel 4.3 Proyeksi Pengeluaran Bulanan No Jenis pengeluaran 1 Biaya operasional (satpam, listrik, telepon) 2 Keuntungan bersih bulanan 3 Keuntungan bersih pertahun Sumber: Diolah dari Suhardo (2008: 39)
Jumlah Rp 10.000.000,00 Rp 20.000.000,00 Rp 240.000.000,00
Dengan demikian, BEP atau break even point akan terjadi pada tahun ke 8 lebih 3 bulan. Rinciannya adalah sebagai berikut: Rp 2.000.000.000,00 / Rp 240.000.000,00 = 8.3 (Suhardo, 2008: 39). Namun pada kenyataannya, kondisi pertokoan BKM tersebut saat ini banyak yang mangkrak dan mulai rusak. Menurut Arifin (Wawancara: 17-022011), saat ini hanya sekitar 30 % saja dari jumlah kios yang disewa oleh pemilik usaha dengan uang sewa sebesar Rp 7.500.000,00 pertahun. Itu artinya, hanya ada sekitar 8 sampai 9 kios saja yang disewa orang. Jika dikalikan
170
dengan uang sewa, maka akan setara dengan Rp 60.000.000,00 (yaitu hasil perkalian 8 x 7.500.000) atau Rp 67.500.000,00 (yaitu hasil perkalian 9 x 7.500.000) setiap tahunnya. Jumlah tersebut tentu saja masih jauh dari yang diharapkan, yaitu sekitar Rp 2.520.000.000,00 pertahun (hasil perkalian 28 kios x Rp 7.500.000). Dengan pemasukan dari hasil sewa kios yang hanya berkisar pada angka Rp 60 jutaan pertahun atau sekitar Rp 5 jutaan perbulan, dapat dipastikan pertokoan BKM tersebut tidak dapat menutup biaya operasional yang meliputi listrik, air, telepon, dan jasa keamanan. Dengan demikian, harapan akan terjadinya BEP pada tahun ke-11 dapat dipastikan tidak akan tercapai. Banyak alasan mengapa pertokoan BKM yang menggunakan brand Percontohan Wakaf Produktif BKM Kota Semarang tersebut tidak diminati pengusaha. Diantaranya desain bangunan yang tidak menghadap ke jalan raya, namun dibangun saling berhadap-hadapan sehingga tidak memiliki wajah yang dapat dilihat oleh calon pembeli. Selain itu, usaha untuk memasarkan atau menawarkan pertokoan tersebut disinyalir tidak dilakukan dengan pendekatan bisnis sehingga tidak mampu menarik minat pengusaha. Lebih dari itu semua, faktor man behind the gun, yaitu BKM Kota Semarang sebagai pihak yang menyusun konsep pertokoan tersebut tidak berfungsi sebagaimana layaknya usaha yang dibutuhkan oleh pelaku dunia usaha. Saat ini, pengelolaan Komplek Pertokoan BKM telah berpindahtangan dari BKM kepada Badan Pengelola. Pemindahan hak kelola tersebut merupakan tindak lanjut dari pertemuan antara pimpinan BKM dan Badan
171
Pengelola MAS pada hari Senin tanggal 23 Mei 2011 di rumah dinas Walikota Semarang. Badan Pengelola MAS segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mengembangkan komplek pertokoan tersebut. Di antara perubahan yang dilakukan Badan Pengelola MAS adalah mengganti nama Komplek Pertokoan BKM menjadi Wakaf Produktif Center (WPC) dan menjadikan komplek tersebut sebagai Pusat Grosir Sandang Masjid Agung Semarang. Selain itu, wajah komplek pertokoan tersebut dirubah sehingga menjadi lebih menarik dengan dominasi warna hijau. Dampaknya yang dapat dilihat secara lahiriah adalah suasana perdagangan yang lebih hidup dengan beroperasinya beberapa kios yang sebelumnya kosong. Meskipun saat ini, kios-kios tersebut belum sepenuhnya beroperasi, perubahan yang dilakukan Badan Pengelola MAS memberi harapan baru bagi pengembangan aset wakaf produktif yang sebelumnya berjalan stagnan. 3. Pengelolaan dan Pengembangan Bandha Wakaf dalam Bentuk Area Komersial dan Bisnis pada MAJT dan MAS Secara fisik, luas tanah yang menjadi komplek MAJT adalah 10 hektar.50 Di atas lahan tersebut didirikan sejumlah aset yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu aset-aset wakaf komersial dan aset-aset wakaf nonkomersial.51 Pada bab sebelumnya telah dibahas aset wakaf MAJT yang
50 Menurut Fathuri (Wawancara: 10-04-2010), pengelola MAJT hingga saat ini tidak memiliki dokumen resmi mengenai aset utama MAJT, termasuk sertifikat tanah dan Izin Mendirikan Bangunan. 51 Istilah komersial dan non-komersial adalah istilah yang lazim dipakai oleh Badan Pengelola MAJT. Padanannya dalam konsep wakaf di Indonesia adalah istilah produktif dan konsumtif. Namun, Qahaf tidak menggunakan kedua istilah tersebut ketika membahas bentukbentuk wakaf. Istilah yang dipakai Qahaf adalah wakaf langsung (al-waqf al-mubasyir) dan wakaf
172
sifatnya konsumtif (wakaf langsung) sedangkan pada bab ini akan membahas bagian dari asset wakaf MAJT yang dikategorikan aset wakaf produktif atau lebih dikenal dengan istilah area komersial dan bisnis MAJT. Area komersial dan bisnis MAJT merupakan lahan wakaf yang dikelola dan dikembangkan dengan cara menawarkan berbagai fasilitas layanan bagi masyarakat yang memerlukan. Bentuk-bentuk area komersial dan bisnis tersebut adalah menara al-H{usna@, restoran berputar, komplek pertokoan, Convention hall, hotel atau penginapan, ruang perkantoran, dan lahan parkir. a. Menara al-H{usna@. Nama al-H{usna@ diambilkan dari nama-nama Allah yang biasa dikenal dengan istilah al-Asma@ al-H{usna@. Tinggi menara al-H{usna@ adalah 99 meter yang juga disesuaikan dengan jumlah nama-nama Allah yaitu 99 nama.52 Menara ini dilengkapi dengan fasilitas tangga elektrik atau lift yang terdiri dari dua unit dengan kapasitas maksimum masing-masing mampu mengangkut 10 orang atau setara dengan beban 750 kg. (MAJT, 2008: 142). Bagi pengunjung MAJT, menara ini terasa fenomenal dan megah sehingga menarik minat dan rasa penasaran mereka untuk membeli tiket dan naik ke puncak tertinggi
investasi (al-waqf al-istismari). Keduanya merupakan bentuk-bentuk wakaf jika ditinjau dari segi penggunan harta wakaf. Menurut Qahaf (2006: 159). Wakaf langsung adalah wakaf yang pokok wakafnya digunakan untuk mewujudkan tujuan-tujuannya, seperti masjid digunakan untuk beribadah, madrasah digunakan untuk pendidikan, dan rumah sakit digunakan untuk melayani pengobatan. Sedangkan wakaf investasi adalah wakaf yang pokok wakafnya digunakan untuk menghasilkan keuntungan, kemudian hasil dari keuntungannya ini digunakan untuk mewujudkan tujuan wakaf. 52 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa setiap satu meter bangunan pada menara alH{usna> ini mencerminkan salah satu nama Alla>h, mulai dari bawah (lantai dasar) sampai lantai puncak
173
bangunan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya tiket masuk yang terjual, khususnya pada hari Sabtu-Minggu atau musim liburan sekolah.53 b. Restoran Berputar. Restoran ini terletak di lantai 18 menara al-H{usna>. Meski didesain dapat berputar 360 derajat, restoran ini dijalankan dalam keadaan diam (tidak berputar). c. Pusat penampungan pedagang, yang terdiri dari souvenir shop, 70 kios, tempat pedagang makanan, dan toilet umum 2 buah untuk wanita dan 2 buah untuk pria. d. Convention hall atau auditorium yang mampu menampung lebih dari 2.000 orang. e. Graha Agung Hotel, yaitu hotel atau tempat penginapan yang terdiri dari 23 kamar dengan berbagai kelas. f. Ruang perkantoran dengan luas total mencapai 2100 m2, terdiri dari 19 unit, sebuah hall seluas 200 m2, dan fasilitas lain berupa AC, sarana komunikasi, dan listrik (PLN dan genset). g. Ruang parkir yang mampu menampung 30 bus, 680 mobil, dan 670 sepeda motor. Ada yang menarik dari cara Badan Pengelola MAJT mengoperasikan aset-aset wakaf yang sifatnya produktif tersebut, yaitu Badan Pengelola tidak mengelolanya secara mandiri, melainkan menggandeng pihak ketiga, yaitu PT
53
Pada hari Ahad, 24 Juni 2007 tiket masuk yang terjual mencapai jumlah 3.730 tiket. (MAJT, 2008: 143). Harga tiket masuk menara bervariasi antara hari libur dan hari kerja. Pada hari libur harga tiket menara adalah Rp 5.000,00 dan pada hari kerja Rp 3.000,00. Dengan demikian, kita dapat menghitung pemasukan MAJT dari menara pada hari itu sebesar Rp 18.650.000,00
174
Madani Agung Jaya. Badan Pengelola hanya bertanggung jawab atas pengelolaan aset-aset wakaf yang bersifat non nkomersial. Kerjasama dengan PT Madani Agung Jaya mulai dilaksanakan sejak tangga 1 September 2006. Praktiknya, PT Madani Agung Jaya berkewajiban mengelola aset-aset wakaf MAJT yang bersifat komersial dan diharapkan dapat memberikan hasil yang akan digunakan untuk menutup biaya-biaya operasional masjid seperti gaji karyawan, rekening listrik, biaya perawatan, dan lain-lain. Proporsi pembagian keuntungan antara Badan Pengelola dengan PT Madani Agung Jaya adalah 30 % untuk Badan Pengelola dan 70 % untuk PT Madani Agung Jaya (Wawancara dengan Agus Fathuddin Yusuf: 13-04-2010). Dalam perspektif wakaf, bagi hasil dari PT Madani Agung Jaya kepada Badan Pengelola MAJT itulah yang disebut sebagai hasil atau keuntungan wakaf yang sebagian besar diantaranya disalurkan kepada mauqu@f ‘alaih atau penerima manfaat wakaf, baik secara langsung maupun melalui programprogram kegiatan yang bersifat pemberdayaan. Menurut peneliti, model pengelolaan wakaf MAJT dengan cara menggandeng pihak lain sebagai mitra bisnis ini merupakan langkah unik yang ditempuh pengelola MAJT. Hal itu disebabkan pengelolaan aset-aset wakaf secara produktif tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang, melainkan oleh pihak-pihak yang memiliki kemampuan dan pengalaman dalam pengelolaan aset. Menurut Badan Pengelola MAJT, PT Madani Agung Jaya dipandang mampu melakukannya.
175
Dalam perjalanannya, kerjasama tersebut mengalami banyak kendala yang menimbulkan rasa tidak adil dari pihak Badan Pengelola. Kecurigaan mulai muncul pada saat melihat laba bersih yang diperoleh PT Madani Agung Jaya ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan Badan Pengelola. Menurut mereka, biaya operasional PT Madani Agung Jaya terlalu besar sehingga mengecilkan jumlah nominal yang akan dibagikan. Selain itu, menurut Sekretaris Badan Pengelola MAJT (Wawancara: 1304-2010), terdapat perbedaan persepsi mengenai biaya perawatan masjid, yaitu apakah biaya tersebut menjadi tanggung jawab Badan Pengelola ataukah PT Madani Agung Jaya. Sebab, pada kenyataannya PT Madani Agung Jaya tidak melakukan perawatan masjid secara memadai sehingga banyak terjadi banyak kerusakan yang dibiarkan. 4. Pengelolaan Bandha Wakaf dalam Bentuk Pertanian dan Hunian Dari data tanah bandha wakaf MAS yang tersebar di Kota Semarang, Kabupaten Demak, dan Kabupaten Kendal, tanah wakaf yang dapat diklasifikasikan sebagai lahan pertanian, perkebunan, atau usaha lain adalah tanah yang terletak di Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak, dan sebagian tanah yang terletak di Kelurahan Sambirejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, tepatnya di belakang Masjid Agung Jawa Tengah. Bentuk pemanfaatan lain dari tanah bandha wakaf MAS adalah sebagai tempat hunian yang dihuni oleh penduduk. Tanah bandha wakaf MAS yang dihuni oleh penduduk terletak di Kampung Gutitan dan Kampung Suburan. Keduanya terletak di Kelurahan Sarirejo, Kecamatan Semarang Timur.
176
Berikut ini data selengkapnya mengenai tanah bandha wakaf MAS yang diberdayakan sebagai lahan pertanian, perkebunan, tambak, dan hunian. Tabel 4.4 Lokasi Tanah untuk Pertanian, Perkebunan, dan Hunian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Lokasi Desa Batu Kecamatan Sayung Desa Wonokerto Kecamatan Karang Tengah Desa Wonowoso Kecamatan Karang Tengah Desa Sampang Kecamatan Karang Tengah Desa Werdoyo Kecamatan Kebonagung Desa Tanjungsari Kecamatan Weleri Kelurahan Sambirejo Kecamatan Gayamsari Kelurahan Kalicari Kecamatan Pedurungan Desa Sidorejo Kecamatan Sayung Desa Banjarsari Kecamatan Sayung Desa Tugu Kecamatan Sayung Desa Timbulsloko Kecamatan Sayung Desa Wonoagung Kecamatan Karang Tengah Kelurahan Trimulyo Kecamatan Genuk Kelurahan Tlogomoyo Kecamatan Pedurungan Kel. Tlogosari Wetan Kec. Pedurungan Kp Gutitan Kel. Sarirejo, Kec. Semarang Timur Kp Suburan Kel. Sarirejo, Kec. Semarang Timur Sumber: Diolah dari data penelitian.
Bentuk Pemberdayaan Lahan pertanian Lahan pertanian Lahan pertanian Lahan pertanian Lahan pertanian Lahan pertanian Lahan pertanian Lahan pertanian Lahan pertanian Lahan pertanian Lahan pertanian Lahan pertanian Lahan pertanian Lahan pertanian Lahan perkebunan Lahan perkebunan Hunian warga Hunian warga
Pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf tersebut dapat dibedakan menjadi dua cara, yaitu mekanisme lelang dan mekanisme sewa secara langsung. a. Mekanisme Lelang Lelang merupakan salah satu cara alternatif untuk mencari pihakpihak yang akan memanfaatkan bandha wakaf MAS dengan cara membayar uang sewa. Lelang adalah menjual atau penjualan di hadapan orang banyak dengan maksud mencapai penawaran yang paling tinggi. Melalui mekanisme lelang, BKM bermaksud menyewakan tanah-tanah 177
tersebut kepada para petani penggarap dengan biaya sewa tertentu sampai batas waktu tertentu berdasarkan akad sewa-menyewa (ija>rah). Dalam praktinya, BKM tidak menyewakan tanah-tanah tersebut secara langsung kepada para petani penggarap, melainkan diserahkan kepada pihak lain yang diharapkan dapat menjadi mediator antara BKM dengan para petani penggarap. BKM beralasan bahwa tanah yang hendak dikontrakkan jumlahnya sangat banyak dan terbagi dalam banyak petak sehingga tidak mungkin dikontrak oleh satu atau dua orang petani penggarap. BKM tidak mungkin melayani sewa-menyewa tanah secara perorangan. BKM membutuhkan mediator yang menjadi penyambung antara kepentingan BKM dan kepentingan para petani penggarap. Mediator tersebut diharapkan dapat mengontrak tanah-tanah BKM dengan harga tinggi dan dalam jumlah besar. Pada akhirnya, mediator tidak menggunakan tanah yang dikontrak untuk digunakan sendiri, melainkan disewakan lagi kepada petani penggarap berdasarkan kemampuan petani sesuai dengan kesepakatan di antara mereka. Pemenang lelang adalah pihak yang memberikan penawaran tertinggi kepada BKM untuk mengontrak tanah-tanah wakaf untuk jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. Selanjutnya, pemenang lelang memiliki hak penuh untuk memberdayakan tanah-tanah yang dilelang, seperti menggarapnya sendiri atau menyewakannya kembali kepada pihak lain. Biasanya, pemenang lelang memilih alternatif yang kedua, yaitu
178
menyewakannya kembali kepada para petani penggarap sawah. Selisih harga sewa antara yang dibayarkan kepada BKM dengan yang diterima dari para penggarap sawah itu menjadi keuntungan para pemenang lelang. Sehingga para pemenang lelang ini dapat disebut sebagai mediator atau broker tanah. Untuk membantu pelaksanaan lelang, BKM membentuk Tim Lelang yang akan menjalankan proses lelang. Dalam kasus lelang tanah wakaf di Desa Werdoyo, pelaksanaan lelang dilakukan oleh BPD atau Badan Perwakilan Desa Werdoyo (Wawancara dengan Bu Carik Werdoyo: 08-05-2012). Pada mulanya, proses lelang tanah berjalan dengan lancar, tertib, dan selama bertahun-tahun selalu menghasilkan pemenang lelang, yaitu pihak yang berani memberikan penawaran harga paling tinggi. Oleh pemenang lelang, tanah tersebut selanjutnya disewakan lagi kepada para petani penggarap. Pihak pemenang lelang bisa disebut sebagai broker tanah yang berusaha mencari keuntungan dari selisih harga lelang dengan harga sewa yang ditawarkan kepada para petani penggarap tanah. Menurut Arifin (Wawancara: 17-02-2011), uang sewa tanah yang terletak di Desa Werdoyo mencapai Rp 80.000.000,00/tahun. Namun jumlah uang yang dibayarkan ke BKM hanya Rp 20.000.000,00/tahun. Sisanya digunakan untuk operasional lelang dan untuk membantu masjid-masjid yang membutuhkan (Wawancara dengan Bu Carik Werdoyo: 08-05-2012). Namun semenjak tahun 2010, proses lelang bandha wakaf BKM
179
tidak
lagi
berjalan
seperti
pada
tahun-tahun
sebelumnya.
Pada
perkembangannya, muncul berbagai intrik dan provokasi yang tidak diketahui sumbernya sehingga muncul semacam kesepakatan atau kekompakan di antara petani bahwa mereka tidak pernah merasa menjual tanah kepada BKM. Sehingga saat ini, tanah-tanah tersebut digarap oleh petani setempat dengan tanpa izin nazhir dan tanpa uang sewa. Mereka beranggapan tanah tersebut adalah milik mereka dan bukan milik BKM. Perubahan sikap warga ini menurut Bu Carik Werdoyo (Wawancara: 0805-2012) bisa jadi dipengaruhi oleh kasus-kasus tanah BKM yang terjadi di sekitar Desa Werdoyo yang berhasil kembali hak kelolanya ke tangan warga. Seperti kasus tanah BKM di Desa Sarimulyo yang pada mulanya diklaim tanah BKM, namun pada kenyataannya memiliki sertifikat ganda dan warga Desa Sarimulyo berhasil mendapatkan kembali sertifikat hak milik atas tanah tersebut. Menurut Nawawi54, warga Desa Sarimulyo tidak pernah merasa menjual tanah-tanah mereka kepada BKM. Mereka hanya menggadaikan sertifikatnya kepada BKM atas sejumlah uang yang mereka terima dari BKM. Setelah melalui proses yang panjang, termasuk proses hukum di persidangan, warga Desa Sarimulyo akhirnya berhasil mendapatkan kembali sertifikat hak milik mereka atas tanah-tanah tersebut. Informasi ini, menurut Bu Carik Desa Werdoyo (Wawancara: 0805-2012), barangkali turut menyulut motivasi warga Desa Werdoyo untuk menggugat status tanah-tanah yang pernah mereka miliki pada masa-masa 54
Nawawi merupakan warga Deso Solowire dan ahli waris dari ayahnya, Muh. Sahlan (almarhum) yang pada saat itu turut menggadaikan tanahnya kepada BKM. Wawancara dilakukan pada hari Selasa, 8 Mei 2012.
180
dahulu dengan dalih orang-orang tua mereka pada masa itu tidak bermaksud menjual tanah-tanah tersebut kepada BKM, melainkan hanya menggadaikannya. Atas masukan dari beberapa tokoh desa, pada tahun 2010 warga sepakat menolak pelaksanaan lelang dan tidak lagi mengakui hak BKM atas tanah-tanah tersebut. Akibatnya, pelaksanaan lelang pada tahun itu batal dan pada tahun 2011 tidak lagi diadakan. Terlepas dari kontroversi tersebut, model penyewaan tanah dengan mekanisme lelang memiliki kelebihan dan kekurangan. Di antara kelebihannya adalah memudahkan BKM dalam mengelola tanah-tanah wakaf yang hendak diberdayakan dengan akad sewa. BKM tidak perlu mengurusi tanah tersebut satu demi satu. Sedangkan dampak negatifnya lebih dirasakan oleh petani penggarap. Mereka akan mendapatkan harga lebih tinggi karena mendapatkan tanah melalui tangan kedua dan tidak secara langsung mengontrak dari BKM. Selain itu, pemenang lelang yang dimaksudkan sebagai mediator bisa jadi akan dianggap sebagai broker atau spekulan tanah. Mereka memiliki modal yang besar untuk mendapatkan tanah dari BKM, kemudian mereka menyewakannya kepada petani penggarap. Selisih harga itulah yang menjadi keuntungan pemenang lelang. Sementara bagi petani penggarap, hal itu justru dirasa memberatkan. b. Model Sewa secara Langsung Selain menggunakan mekanisme lelang, BKM juga menyewakan beberapa petak tanah wakaf secara langsung kepada para pengguna, seperti
181
area persawahan yang terletak di Kelurahan Sambirejo Kecamatan Gayamsari (tepatnya di belakang Masjid Agung Jawa Tengah) dan tanah hunian atau perkampungan yang terletak di Kampung Gutitan dan Suburan.
1) Area Persawahan di Belakang MAJT Area persawahan yang terletak di Kelurahan Sambirejo saat ini dikelola secara baik oleh para petani penggarap. Para petani tersebut mendapatkan hak kelola area persawahan tersebut dengan cara menyewa kepada BKM Kota Semarang. Tanah-tanah tersebut dikontrakkan dengan harga yang relatif ringan, yaitu Rp 15.000,00 perbulan untuk setiap petaknya. Teknisnya, BKM tidak menangani kontrak tanah tersebut, melainkan diserahkan kepada Tim Kecamatan, yaitu Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Gayamsari. Area persawahan tersebut memang produktif jika dilihat dari segi pemanfaatannya. Sebab bentuk produktivitas area persawahan adalah jika menghasilkan hasil pertanian yang signifikan. Namun jika dilihat dari letak tanah dan dibandingkan dengan tingkat produktivitas tanah-tanah yang terletak di sekitarnya, maka tingkat produktivitas tanah wakaf yang diberdayakan dalam bentuk area pertanian menjadi sangat kecil. Tanah yang begitu luas dan terletak di tengah-tengah kawasan yang padat penduduk digarap oleh para petani penggarap
182
sawah dengan nilai kontrak Rp 15.000,00 /bulan/petak tentu bukan tanah yang memberikan hasil signifikan. 2) Area Perkampungan di Kampung Gutitan, Suburan, dan Siwalan. Tanah wakaf yang terletak di Kampung Gutitan dan Kampung Suburan saat ini dihuni oleh warga setempat dengan tanpa seizin nazhir. Mereka mengelola tanah wakaf MAS di Gutitan seperti tanah milik sendiri, meskipun banyak di antara mereka yang menyadari bahwa tanah yang mereka tempati bukan milik mereka. Mereka menempati tanah tersebut cukup lama dan didapat secara turun-temurun, sehingga menganggapnya seperti tanah milik sendiri. Kondisi yang sama juga terjadi di Kelurahan Siwalan Kecamatan Gayamsari. Sebagian dari tanah bandha wakaf yang terletak di Kelurahan Siwalan ini diberdayakan warga sebagai tanah pertanian dan sebagian lainnya dimanfaatkan sebagai hunian. Hal yang patut disayangkan adalah mereka mendayagunakan tanah-tanah tersebut dengan tanpa izin nazhir. Di antara upaya BKM untuk mengembalikan hak kelola bagi tanah tersebut adalah tetap membiarkannya dihuni oleh warga namun dengan kesadaran bahwa mereka tidak menempati lahan mereka sendiri, melainkan lahan bandha wakaf MAS yang dikelola BKM. Karena menempati tanah milik BKM, mereka harus membayar uang sewa atau kontrak, meskipun dengan harga ringan. Meskipun secara hasil tidak dapat dikatakan produktif, BKM sudah merasa mendapatkan legalitas atas status tanah tersebut.
183
C. Model Pengembangan Bandha Wakaf Masjid Agung Semarang 1. Penambahan Aset Wakaf Baru: Pembelian Hotel Bojong BP MAS menambah aset wakaf MAS dengan membeli tanah dan bangunan seluas 1.158 m2 yang sebelumnya berupa Hotel Bojong dengan harga 3.5 milyar rupiah lengkap dengan segala perabotannya dari seorang pengusaha dari Jakarta. Hotel Bojong itu sendiri terletak di Jalan Pemuda 8 Semarang dan termasuk hotel dengan kelas melati 2. Dilihat dari segi letaknya, alasan pembelian tanah dan bangunan hotel Bojong dapat dipahami sebagai upaya BP MAS untuk menambah lahan MAS yang memang selama ini dirasakan sempit dan tidak memiliki sisa lahan yang dapat digunakan untuk pengembangan. Letak tanah dan bangunan Hotel Bojong berada di sebelah kanan MAS dan berdampingan dengan bangunan masjid. Selain itu, MAS selama ini tidak memiliki wajah yang dapat diakses dari jalan besar, khususnya jalan Pemuda. Satu-satunya akses jalan menuju MAS adalah melalui jalan pasar Johar yang kondisinya saat ini dirasakan sudah sangat padat. Dengan dibelinya tanah dan bangunan Hotel Bojong ini, diharapkan MAS memiliki wajah yang dapat diakses melalui jalan Pemuda sehingga memberikan nilai tersendiri bagi keberadaan masjid dan juga memudahkan jamaah yang bermaksud menuju masjid. Lokasi masjid yang berdampingan dengan pasar dan padat penduduk membuat masjid tidak memiliki lahan yang cukup sebagai tempat parkir bagi jamaah masjid, baik bagi kendaraan roda dua maupun roda empat. Selama ini,
184
lahan parkir bagi jamaah MAS menggunakan lahan di depan masjid yang berdampingan dengan lahan parkir pasar Johar. Luas lahannya pun tidak memadai, apalagi pada saat shalat Jumat atau pada saat acara yang melibatkan jamaah cukup banyak. Kondisi yang lebih parah dirasakan bagi jamaah yang menggunakan kendaraan roda empat. Lahan parkir yang tersedia bagi mereka jauh dari memadai dan tidak layak bagi sebuah masjid Agung yang memiliki sejarah dan lahan wakaf yang sangat luas. Badan Pengelola MAS merasa kesulitan untuk membuka akses jalan dan area parkir pada saat kedatangan tamu-tamu penting, seperti pejabat pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Untuk membeli tanah dan bangunan Hotel Bojong tersebut, BP MAS mengeluarkan dana yang tidak sedikit, yaitu 3.5 milyar rupiah. Jumlah tersebut terdiri dari 1.5 milyar rupiah yang berasal dari dana kas BP MAS dan sisanya merupakan dana pinjaman. Terhadap dana pinjaman yang jumlahnya mencapai 2 milyar rupiah tersebut, BP MAS menggalang dana dengan berbagai cara, diantaranya: a. Penggalangan dana melalui wakaf tunai. Besarnya wakaf tunai ini bervariasi sesuai dengan kemampuan pihak yang hendak berwakaf (wakif). Nilai nominal wakaf yang terbesar adalah dengan cara membeli saham senilai 1 meter harga tanah atau bangunan hotel Bojong, yaitu sebesar Rp 3.240.000,00. Selain itu, juga ditawarkan varian-varian wakaf yang lebih ringan, yaitu senilai Rp 500.000,00, Rp 100.000,00, dan Rp 10.000,00. Sosialisasi program ini dilakukan melalui berbagai brosur atau selebaran yang ditempelkan di berbagai papan pengumuman di MAS, koran Suara
185
Merdeka, diumumkan melalui siaran pengeras suara yang dapat didengarkan oleh jamaah, warga sekitar, maupun pengunjung pasar Johar, dan diumumkan setiap hari Jumat sebelum pelaksanaan shalat Jumat. Selain itu, juga dilakukan sosialisasi secara langsung dengan cara mengunjungi pihak-pihak yang potensial menjadi donatur besar bagi program tersebut. b. Penggalangan dana melalui program tukar-guling wakaf. Bagi calon wakif yang memiliki tanah di tempat lain dapat mewakafkan tanah tersebut kepada BP MAS dengan ketentuan BP MAS boleh menjualnya kepada pihak lain untuk diuangkan, selanjutnya uang tersebut dimasukkan ke dalam kas yang akan digunakan untuk merealisasikan program tersebut. Selain untuk perluasan masjid, gedung tersebut rencananya akan dijadikan sebagai Islamic Center dengan berbagai fasilitas seperti balai pertemuan, toko, kantor, majelis taklim, tempat parkir, dan gudang atau tempat penyimpanan segala kebutuhan masjid. 2. Pengembangan Wakaf dalam Bentuk Pasar Induk Agro Model pengembangan dalam bentuk Pasar Induk Agro Masjid Agung Semarang sudah direncanakan oleh BKM. Pada tanggal 26 Agustus 2009, Kepala Kantor Departemen Agama Kota Semarang selaku Ketua Umum BKM Kota Semarang mengirim surat kepada Menteri Agama RI Nomor: Kd.11.33/2/BA.03.2/7015/2009 mengenai pendayagunaan sebagian tanah bandha wakaf Masjid Agung Semarang untuk dibangun Pasar Induk Agro MAS yang akan memperdagangkan komoditi hasil pertanian. Lokasi tanah
186
yang direncanakan berada di Kelurahan Sambirejo Kecamatan Gayamsari Kota Semarang seluas 3 hektar. Untuk merealisasikan rencana tersebut, BKM selaku nazhir berencana menggandeng PT Selaras Makmur Bersama yang berkedudukan di Jalan Proklamasi Nomor 44, Jakarta Pusat. Prinsip yang dipakai dalam kerjasama itu adalah saling menguntungkan dan bertujuan meningkatkan kesejahteraan masjid dan kemaslahatan umat. Penggunaan sebagian tanah bandha wakaf Masjid Agung Semarang tersebut oleh PT Selaras Makmur Bersama dengan sistem Bangun Guna Serah (BGS). Serah terima tanah tersebut dari BKM ke PT Selaras Makmur Bersama direncanakan paling lambat bulan April 2010. Pembangunan pasar tersebut direncanakan berlangsung selama 6 bulan terhitung dari bulan September 2010 sampai Maret 2011. Pemanfaatan tanah bandha wakaf MAS oleh PT Selaras Makmur Bersama didasarkan pada akan sewa (al-ija>rah) dan bagi hasil usaha. Besarnya nilai kontrak tanah yang ditawarkan BKM kepada PT Selaras Makmur Bersama adalah Rp 500.000.000,00 pertahun yang dibayarkan sebesar 30 % kepada BKM, 35 % kepada BP Masjid Agung Semarang, dan 35 % kepada BP Masjid Agung Jawa Tengah. Sedangkan ketentuan mengenai bagi hasil usaha ditawarkan sebagai berikut: a. Apabila komoditi yang masuk pasar induk pada bulan tertentu kurang dari 500 (lima ratus) ton rata-rata perhari, maka besarnya bagi hasil adalah Rp 10.000.000,00 perbulan.
187
b. Apabila komoditi yang masuk pasar induk pada bulan tertentu lebih dari 500 (lima ratus) ton rata-rata perhari, maka besarnya bagi hasil adalah Rp 15.000.000,00 perbulan. c. Apabila komoditi yang masuk pasar induk pada bulan tertentu kurang dari 600 (enam ratus) ton rata-rata perhari, maka besarnya bagi hasil adalah Rp 20.000.000,00 perbulan. d. Apabila komoditi yang masuk pasar induk pada bulan tertentu kurang dari 700 (tujuh ratus) ton rata-rata perhari, maka besarnya bagi hasil adalah Rp 25.000.000,00 perbulan, ditambah 10 % x fee kiloan dari selisih jumlah tonase di atas 800 ton. Jangka waktu perjanjian kerjasama antara BKM dengan {PT Selaras Makmur Bersama adalah selama 30 tahun sejak ditandatangani dan dapat diperpanjang berdasarkan berbagai pertimbangan dan persetujuan BKM. Tiga bulan sebelum perjanjian berakhir, PT Selaras Makmur Bersama berkewajiban menyerahkan bangunan gedung Pasar Induk Agro MAS dan kelengkapannya dalam kondisi baik dan layak pakai serta bebas dari penguasaan pihak manapun secara hukum, sesuai dengan daftar inventaris yang akan dibuat oleh tim dari pihak-pihak yang terlibat dalam penjanjian tersebut. Tanah yang direncakan akan dibangun Pasar Induk Agro Jawa Tengah merupakan area persawahan atau tanah basah. Oleh karena itu, tugas pertama yang perlu dilakukan oleh BKM adalah pengeringan, pengurugan, dan pemadatan agar menjadi tanah siap bangun. Selain itu, proyek pengeringan, pengurugan, dan pemadatan dimaksudkan agar posisi tanah yang akan
188
dibangun Pasar Induk Agro Jawa Tengah sejajar dengan tanah yang menjadi lahan bangunan Masjid Agung Jawa Tengah. 3. Pengembangan Wakaf dalam Bentuk Ma’had ‘A>li> Istilah ma’had ‘a>li>>> dipahami sebagai lembaga pendidikan perguruan tinggi program sarjana yang menyelenggarakan program-program studi keagamaan bagi santri pasca SLTA yang bertujuan menyiapkan kaderkader ulama. Istilah ini berkembang di lingkungan pondok pesantren dan biasanya nama yang menyertai istilah tersebut adalah nama sebuah pondok pesantren yang mendirikannya, seperti Ma’had ‘A>li> Hasyim Asy’ary Tebu Ireng atau Ma’had ‘A>li> al-Hikmah Sirampog Benda Brebes. Karakteristik dari lembaga pendidikan ini adalah memadukan antara sistem pendidikan pesantren dengan perguruan tinggi modern. Sebagai bagian dari kegiatan pondok pesantren, maka mahasiswa yang menempuh pendidikan di sebuah ma’had ‘a>li>>> biasanya diharuskan tinggal di pondok pesantren atau asrama ma’had ‘a>li>>>. Tujuan utama lembaga pendidikan ini adalah menyediakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan siap pakai, memiliki skill dan kompetensi yang memadai, memiliki kedalaman intelektual dan spiritual, terampil, ulet, dan terlatih terutama dalam bidang-bidang keagamaan pada saat terjun di masyarakat. Dengan adanya lembaga pendidikan setara perguruan tinggi yang dikelola pondok pesantren, diharapkan penyediaan SDM seperti di atas dapat dicapai dengan biaya ringan.
189
Tanah bandha wakaf MAS yang direncanakan untuk dibangun ma’had ‘a>li>>> terletak di belakang Masjid Agung Jawa Tengah, yaitu di Kelurahan Sambirejo. Luas tanah secara keseluruhan adalah 223.495 m2. Dari total luas tanah tersebut, tanah yang dialokasikan untuk program pengembangan bandha wakaf dalam bentuk ma’had ‘a>li>> seluas 30.000 m2 atau 3 hektar. Rencana pengembangan tanah wakaf MAS dalam bentuk ma’had ‘a>li>>> sebenarnya sudah menapak pada langkah-langkah kongkrit. BKM Kota Semarang telah membentuk kepanitiaan yang bertugas mempersiapkan langkah-langkah awal hingga berdirinya ma’had ‘a>li>>> tersebut. Pembentukan panitia tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Kepala Kantor Departemen Agama Kota Semarang selaku Ketua Umum BKM Kota Semarang Nomor Kd.11.33/2/KP.01.1/7178/2009 tentang Pembentukan Panitia Pelaksana Pembangunan Gedung Ma’had ‘A>li> di atas Tanah Wakaf Bandha Masjid Agung Semarang Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Kota Semarang sebagai Nazhir Berlokasi di Kelurahan Sambirejo Kecamatan Gayamsari Kota Semarang. Dalam SK tersebut, disebutkan tugas panitia pembangunan ma’had ‘a>li>>> sebagai berikut: a. Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait. b. Merencanakan dan melaksanakan pembangunan gedung ma’had ‘a>li>>> di atas tanah tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku. c. Melaporkan hasil kerjanya secara berkala kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kota Semarang selaku Ketua Umum BKM Kota Semarang.
190
Tanah yang akan dibangun ma’had ‘a>li>>> merupakan area persawahan atau tanah basah. Oleh karena itu, tugas pertama yang perlu dilakukan oleh panitia pendirian ma’had ‘a>li>>> tersebut adalah pengeringan, pengurugan, dan pemadatan agar menjadi tanah siap bangun. Dalam menjalankan tugasnya, BKM perlu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk diantaranya dengan pemerintah daerah setempat, yaitu Walikota Semarang dan Gubernur Jawa Tengah. Atas dasar pertimbangan
tersebut,
BKM
mengajukan
permohonan
dana
kepada
Pemerintah Kota Semarang dan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah untuk merealisasikan program-programnya, yaitu dalam hal ini proyek pengeringan, pengurugan, dan pemadatan bandha wakaf yang akan dijadikan sebagai lembaga pendidikan dan pasar induk agro Jawa Tengah. Dalam draft proposal yang diajukan ke Gubernur, disebutkan bahwa luas tanah yang akan dikeringkan, diurug, dan dipadatkan adalah 6 hektar, terdiri dari 3 hektar untuk ma’had ‘a>li>>> dan 3 hektar untuk pasar induk agro Jawa Tengah. Proyek pengeringan, pengurugan, dan pemadatan tanah tersebut memerlukan biaya sebesar Rp. 10.020.000.000,00 dengan keterangan sebagai berikut : a. Kedalaman tanah yang akan diurug ± 3 m. b. Untuk mencapai titik 0 sama dengan Masjid Agung Jawa Tengah, setiap m2 diperlukan tanah urug 6 kubik, setiap kubik diperlukan pengadaan tanah urug dan biaya pengeringannya sebesar
Rp. 27.833,00.
Jadi Rp. 27.833,00 x 6 x 60.000 m2 = Rp. 10.020.000.000,00
191
Selain biaya pengeringan, pengurugan, dan pemadatan tanah, biaya yang tidak kalah besarnya adalah biaya pembangunan ma’had ‘a>li>>> itu sendiri. Untuk biaya pembangunan ma’had ‘a>li>>> dan berbagai fasilitas pendukungnya, BKM sudah memiliki modal sebesar 6 milyar rupiah yang berasal dari uang ganti rugi tanah wakaf Masjid Agung Semarang yang dijadikan jalan raya tembus dari Jalan Soekarno–Hatta menuju Masjid Agung Jawa Tengah. Seperti diketahui, untuk mengembangkan Masjid Agung Jawa Tengah perlu dibuatkan jalan raya tembus yang menghubungkan Masjid Agung Jawa Tengah dengan Jalan Arteri Soerkarno-Hatta. Mengingat lahan yang direncanakan untuk dijadikan jalan tembus tersebut adalah tanah wakaf milik Masjid Agung Semarang, maka BKM merasa perlu meminta izin kepada Menteri Agama selaku ketua BKM Pusat. Permohonan izin tersebut direspon oleh Menteri Agama berupa Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor : 114 Tahun 2008, tentang Izin Perubahan Status Tanah Wakaf Terletak di Kelurahan Sambirejo, Kec. Gayamsari, Kota Semarang, Propinsi Jawa Tengah, Jl. Akses Masuk dari Jl. Alteri Soekarno – Hatta Menuju Masjid Agung Jawa Tengah, Menjadi Jalan Raya Tembus dari Jalan Soekarno–Hatta Menuju Masjid Agung Jawa Tengah dengan Penggantian Berupa Sejumlah Uang untuk Pembangunan Gedung Ma’had ‘A>li>. Uang yang dijadikan sebagai ganti rugi tersebut sebesar 6 milyar rupiah. Saat ini, uang tersebut tersimpan di rekening BKM.
192
Pada perkembangannya, berdasarkan hasil rapat bersama antara pengurus BKM Pusat, BKM Propinsi Jawa Tengah, BP MAJT, BP MAS, dan yang lainnya yang dipimpin oleh Gubernur Jawa Tengah tanggal 1 April 2010 di Kantor Gubernur Jawa Tengah, disepakati penghentian sementara pembangunan ma’had tersebut sampai ada jaminan dari Kementerian Agama bahwa gedung tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal serta adanya biaya operasional dari Kementerian Agama. 4. Pengembangan Wakaf untuk Kesehatan Pengembangan wakaf untuk kesehatan telah dirintis oleh para pengelola bandha wakaf dalam bentuk klinik yang dikembangkan oleh Badan Pengelola Masjid Agung Semarang dan Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah. Klinik yang dikelola Badan Pengelola Masjid Agung Semarang bernama Klinikita Masjid Agung Semarang (Klinikita MAS). Klinik ini menempati salah satu ruang pada bangunan kantor SPBU Masjid Agung Semarang. Saat ini Klinikita MAS membuka layanan praktik dokter umum dan dokter gigi. Layanan kesehatan juga dilakukan oleh Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah dengan nama Poliklinik Masjid Agung Jawa Tengah. Bangunan Poliklinik MAJT yang berlokasi di sebelah kanan pintu masuk MAJT diresmikan penggunaannya oleh Gubernur Jawa Tengah Ali Mufiz pada tanggal 5 Rajab 1429 H bertepatan dengan tanggal 9 Juli 2008. Layanan yang diberikan pada Poliklinik MAJT adalah Poli Umum dan Poli Gigi. Meskipun dua klinik tersebut belum dapat dirasakan secara luas oleh masyarakat, keberadaannya telah mencerminkan keinginan para pengelola
193
bandha wakaf untuk membuka kamar baru bagi model pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf, yaitu pemberdayaan wakaf untuk kesehatan. Dalam jangka panjang, Klinikita MAS dan Poliklinik MAJT dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi Rumah Sakit Islam yang berdiri di atas tanah bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Seperti dimaklumi, keberadaan layanan kesehatan seperti rumah sakit, poliklinik, dan apotik memiliki peran strategis bagi masyarakat. Sebagaimana pendidikan, kesehatan merupakan kebutuhan primer setiap orang sehingga harus mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Wakaf untuk kesehatan telah menjadi bagian penting dari sejarah perwakafan Islam. Keberadaan wakaf telah membantu penyediaan fasilitasfasilitas publik di bidang kesehatan, seperti rumah sakit, poliklinik, apotik, maupun layanan pendidikan medis. Berbagai rumah sakit didirikan dan dibiayai dari hasil pengelolaan aset wakaf, seperti di Cairo, Istambul, dan negara Islam lainnya. Di Spanyol, fasilitas rumah sakit yang dibiayai oleh lembaga wakaf melayani segenap lapisan masyarakat, baik muslim maupun non muslim (Djunaidi, 2008: 90). Wakaf telah berperan besar bagi pengembangan layanan kesehatan. Sejarah Islam mencatat adanya korelasi antara perkembangan wakaf dengan perkembangan ilmu kedokteran dan perannya bagi kesehatan masyarakat. Wakaf merupakan salah satu sumber utama bagi pendanaan rumah sakit, sekolah atau pendidikan medis, fasilitas-fasilitas yang merupakan pelengkap bagi layanan kesehatan, seperti kebersihan toilet umum, pemenuhan gizi anak,
194
dan kesehatan manula. Wakaf untuk kesehatan tidak hanya berupa tanah dan bangunan rumah sakit, melainkan juga banyak ditemukan aset wakaf dalam bentuk tanah, kebun, apartemen, pertokoan, dan lainnya yang diwakafkan untuk menjamin keberlangsungan layanan kesehatan yang memerlukan biaya besar. Layanan kesehatan saat ini termasuk layanan yang memerlukan biaya mahal sehingga tidak mampu diakses oleh kalangan menengah ke bawah. Lembaga wakaf dapat berperan dalam rangka mengatasi masalah ini, yaitu dengan cara merancang suatu program yang khusus melayani kesehatan masyarakat. Dalam rangka funding, lembaga wakaf bisa bekerjasama dengan lembaga zakat untuk menggalang dana tabarru’ atau hibah dari masyarakat, baik lembaga maupun pribadi, untuk menopang biaya fasilitas-fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit dan obat-obatan. Dengan demikian, wakaf mampu berperan dalam rangka taka>ful ijtima>’i> (solidaritas sosial), di mana orang yang kaya turut serta menanggung biaya yang dibebankan kepada orang miskin atau kepada negara seperti dalam kasus mahalnya biaya kesehatan seperti di atas. Selain rumah sakit, layanan kesehatan yang dapat dilakukan oleh lembaga wakaf adalah apotik dan obat-obatan yang bermutu. Apotik dan obatobatan tersebut bisa menyatu dengan rumah sakit dan bisa pula usaha mandiri wakaf dalam bentuk apotik dan toko obat yang diprakarsai oleh lembaga wakaf.
195
Untuk mewujudkan usaha ini, lembaga wakaf bisa bekerjasama dengan lembaga wakaf lain, terutama lembaga wakaf yang mengelola wakaf uang. Dalam hal ini, lembaga wakaf daerah, seperti lembaga wakaf yang mengelola bandha wakaf Masjid Agung Semarang menjalin kerjasama dengan pengelola wakaf uang dimana nazhir bandha wakaf Masjid Agung Semarang menyediakan tanah yang strategis sedangkan lembaga pengelola wakaf uang menyediakan dana untuk mendirikan atau merenovasi bangunan dan obatobatan yang akan dijual kepada masyarakat. Nazhir bandha wakaf Masjid Agung Semarang juga bisa menjalin kerjasama dengan lembaga zakat atau lembaga yang bergerak dalam dunia filantropi lainnya untuk menjalankan program pemberdayaan wakaf bagi kesehatan ini. Dalam kerjasama ini, lembaga wakaf menyediakan tanah atau bangunan sedangkan lembaga zakat menyediakan obat-obatan. Bagi pengelola bandha wakaf Masjid Agung Semarang, tanah yang dimaksud bisa saja berupa tanah sudah ada saat ini dan belum diberdayakan dengan baik, bisa juga melakukan fundraising untuk mencari calon-calon wakif baru yang memiliki tanah strategis di lingkungan kota Semarang dan sekitarnya. Sebagai pilot project, lembaga wakaf bisa melakukan pemetaan Kota Semarang untuk mendirikan apotik atau toko obat di setiap kecamatan, misalnya, yang didanai secara bersama oleh lembaga wakaf dan lembaga zakat.
196
197
BAB V PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN BANDHA WAKAF MASJID AGUNG SEMARANG SEBAGAI MODEL
A. Bandha Wakaf dalam Perspektif Manajemen Wakaf Produktif 1. Bandha Wakaf MAS dalam Tinjauan Hukum Islam Seperti disebutkan di muka bahwa pada mulanya status tanah bandha wakaf Masjid Agung Semarang merupakan tanah peninggalan Pandan Arang yang diperuntukkan bagi pengelola atau merbot Masjid Agung Semarang. Tanah wakaf yang diberikan oleh penguasa seperti ini dalam sejarah Islam dikenal dengan istilah irs}a>d. Hukum yang berlaku pada tanah irs}a>d adalah hukum yang berlaku pada wakaf. Hukum wakaf pada tanah bandha wakaf MAS kemudian dikuatkan oleh Keputusan Menteri Agama Nomor 92 Tahun 1962 yang menyatakan bahwa tanah bandha wakaf Masjid Agung Semarang menjadi tanah wakaf sehingga berlaku padanya hukum wakaf. KMA tersebut juga menunjuk BKM Kota Semarang sebagai nazhir. Dengan demikian seluruh unsur wakaf yang dijelaskan oleh Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf telah terpenuhi pada bandha wakaf MAS. Jika ditinjau dari segi pembagian wakaf seperti dijelaskan pada Bab II, bandha wakaf Masjid Agung Semarang dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Bandha Wakaf termasuk Kategori Wakaf Khairi>. Dari segi tujuannya, bandha wakaf Masjid Agung Semarang termasuk dalam kategori wakaf khairi> atau wakaf umum. Pada kasus
198
bandha wakaf Masjid Agung Semarang, sasaran penerima wakaf tidak dibatasi pada sekelompok orang berdasarkan kriteria tertentu, sebagaimana halnya yang terjadi pada wakaf ahli. Pada wakaf ahli, wakif akan menentukan pihak-pihak yang berhak mendapatkan manfaat wakaf yang biasanya didasarkan pada ikatan emosional dengan wakif, seperti ikatan keluarga atau ikatan sosial tertentu. Sedangkan dalam kasus bandha wakaf, wakif tidak menyebutkan syarat-syarat khusus yang berkaitan dengan mereka. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pihak yang menjadi mauqu>f ‘alaih pada bandha wakaf adalah Masjid Agung Semarang itu sendiri. Permasalahannya adalah sejauhmana batasan pemanfaatan hasil wakaf yang menjadi haknya Masjid Agung Semarang. Masjid merupakan tempat yang menjadi pusat ibadah dan pusat kebudayaan. Sebagai tempat ibadah, masjid didesain menjadi tempat ibadah yang mengikuti konsep zamannya. Pada masa sekarang ini, masjid-masjid tertentu yang memiliki potensi berkembang, selayaknya memiliki bangunan fisik yang bagus dan menempati area yang cukup luas untuk menampung jamaah shalat lima waktu, shalat Jumat, shalat I, shalat I, dan lainnya. Kondisi zaman sekarang juga menuntut tersedianya lahan parkir yang luas, teratur dengan rapi, dan terjaga dari sisi keamanan. Selain itu, kebersihan masjid dan tempat wudhu harus menjadi perhatian pengurus masjid. Selain sebagai pusat ibadah, masjid juga diproyeksikan sebagai pusat kebudayaan dan peradaban umat Islam.
199
Tidak diragukan lagi bahwa konsep masjid seperti di atas membutuhkan biaya yang tidak sedikit, baik untuk pembangunan fisik, maintenance, maupun biaya operasional. Biaya operasional masjid itu sendiri bisa berupa biaya operasional rutin, seperti harian, mingguan, bulanan, bahkan tahunan, maupun biaya operasional yang sifatnya insindetal karena terkait dengan program-program kegiatan spesifik. Masjid Agung Semarang dapat dikategorikan pada kelompok masjid yang memiliki sumber pendanaan yang memadai dan bersifat permanen karena memiliki bandha wakaf yang dikelola dan dikembangkan dalam berbagai kegiatan bisnis yang menguntungkan. Dari segi besarnya aset yang dimiliki, Masjid Agung Semarang dituntut mampu mewujudkan masjid yang mandiri, bahkan mampu memberdayakan masjid-masjid lain di sekitarnya. b. Bandha Wakaf termasuk Kategori Wakaf Mua~bbad. Dari segi waktunya, bandha wakaf Masjid Agung Semarang termasuk wakaf yang sifatnya abadi (waqf mua~bbad) karena dalam wakaf yang dilakukan oleh Pandan Arang tersebut tidak ditemukan indikasi yang menyatakan adanya jangka waktu tertentu. Setelah “diikrarkan” kembali melalui KMA Nomor 92 Tahun 1962, bandha wakaf Masjid Agung Semarang memiliki status hukum yang jelas dan tidak ada lagi yang mempermasalahkannya. Dalam KMA tersebut tidak ditemukan indikasi yang dapat ditafsirkan sebagai wakaf sementara. Dengan demikian, status bandha wakaf Masjid Agung Semarang menjadi jelas sebagai wakaf yang
200
bersifat permanen, berlangsung selamanya, dan tidak dibatasi dengan jangka waktu tertentu. c. Bandha Wakaf Menggabungkan Wakaf Konsumtif dan Produktif Dari segi penggunaannya, bandha wakaf Masjid Agung Semarang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu wakaf muba>syir (wakaf langsung atau konsumtif) dan wakaf istisma>ri> (wakaf untuk investasi atau wakaf produktif). Aset bandha wakaf yang dapat dikategorikan wakaf muba>syir diantaranya Masjid Agung Semarang, Masjid Agung Jawa Tengah, layanan kesehatan (Klinik MAS dan MAJT), layanan ambulan MAS, layanan zakat, infak, dan sedekah pada MAS dan MAJT, museum Perkembangan Islam Jawa Tengah, dan perpustakaan atau ruang baca pada MAS dan MAJT. Sedangkan aset bandha wakaf yang dapat dikategorikan dalam wakaf produktif diantaranya dalam bentuk lahan pertanian, SPBU, komplek pertokoan, dan area komersial atau bisnis yang terdapat pada MAJT. d. Bandha Wakaf termasuk Kategori Wakaf Mut}laq Dari segi kekuasaan nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf, bandha wakaf Masjid Agung Semarang termasuk dalam kategori wakaf mut}laq. Dalam wakaf mutlak, pengelolaan bandha wakaf diserahkan sepenuhnya kepada nazhir sehingga memiliki keluasaan dalam melakukan upaya-upaya memproduktifkan harta wakaf. Satu-satunya syarat bagi nazhir dalam pengelolaan bandha wakaf adalah adanya ketentuan yang berkaitan dengan mauqu>f ‘alaih, yaitu untuk kepentingan Masjid Agung Semarang.
201
2. Bandha Wakaf dalam Perspektif Manajemen Investasi Wakaf Selama ini, harta benda wakaf lebih banyak yang dikelola secara tradisional dan tidak bekerja secara penuh dalam mengelola harta benda wakaf. Akibatnya banyak harta benda wakaf yang kondisinya tidak menggembirakan. Kondisi bandha wakaf Masjid Agung Semarang menguatkan asumsi tersebut. Selama ini, pengelolaan bandha wakaf Masjid Agung Semarang jauh dari kata profesional sehingga banyak aset wakaf yang tidak diberdayakan dengan baik. Sebagian aset wakaf dibiarkan terlantar dan tidak menghasilkan sesuatu meskipun berada pada lokasi strategis atau berupa lahan produktif. Selain itu, pengelolaan bandha wakaf diwarnai dengan berbagai konflik kepentingan yang melibatkan banyak pihak. Saat ini, posisi BKM sebagai nazhir selalu mendapat kritik tajam dari Badan Pengelola Masjid Agung Semarang dan Masjid Agung Jawa Tengah. Menurut peneliti, posisi BKM Kota
Semarang
berada
pada
kondisi
yang
sulit
karena
dituntut
pertanggungjawabannya secara kultural oleh masyarakat dan secara formal oleh BKM Pusat. Posisi Badan Pengelola Masjid Agung Semarang dan Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah juga berada pada posisi yang tidak kuat, karena meskipun mendapatkan dukungan kuat dari masyarakat, keberadaannya tidak mendapatkan legitimasi secara hukum formal. Di antara kendala yang dikemukakan BKM dalam mengelola dan mengembangkan bandha wakaf adalah masalah pendanaan. Sebagai bagian dari Kementerian Agama, BKM bergantung kepada anggaran yang ditetapkan pada kementerian tersebut, termasuk dalam menyusun program-program
202
pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf. Hal ini bisa dilihat dari bentukbentuk pemberdayaan, yang berupa fisik bangunan, yang telah dilakukan BKM merupakan bagian dari proyek yang ada pada Kementerian Agama, seperti Komplek Pertokoan BKM maupun rencana pendirian Ma’had ‘Ali> yang tertunda karena tidak ada jaminan dana operasional dari Kementerian Agama. Dalam hal ini, BKM sebagai nazhir tidak berusaha mencari peluang lain untuk mengatasi pendanaan tersebut. Tawaran dari Qahaf bisa dilakukan BKM sebagai salah satu cara mengatasi malasah dana yang terbatas, yaitu berusaha menciptakan wakaf-wakaf baru untuk melengkapi wakaf yang sudah ada. Wakaf-wakaf baru tersebut bisa dibuka untuk menggalang dana bagi perluasan masjid, sarana pendidikan, layanan kesehatan, dan lain-lain. Tawaran Qahaf ini telah dilakukan oleh Badan Pengelola Masjid Agung Semarang ketika berusaha menggalang dana untuk membeli hotel Bojong dengan cara membagi nominal biaya tersebut menjadi saham-saham yang ditawarkan dengan harga tertentu. Untuk keperluan ini pula, Badan Pengelola MAS menawarkan wakaf-wakaf baru, bisa berupa tanah maupun lainnya, yang telah diikrarkan akan dijual dan hasilnya akan digunakan untuk menutup biaya pembelian hotel tersebut. Penambahan wakaf baru bisa dimulai dengan menyusun master plan bagi pengembangan atau perluasan aset wakaf yang bisa dilakukan secara horisontal maupun vertikal. Perluasan secara horisontal dapat berupa penambahan lahan baru atau perluasan bangunan pada lahan wakaf yang tersedia sedangkan perluasan vertikal dilakukan apabila perluasan horisontal
203
tidak dapat dilakukan karena lahan yang terbatas. Setelah master plan berhasil dibuat, langkah berikutnya adalah menyusun rencana anggaran yang diperlukan untuk pengembangan tersebut. Biaya-biaya tersebut kemudian digalang melalui mekanisme fundraising, termasuk diantaranya membuka wakaf-wakaf baru tersebut. Penambahan aset wakaf dilakukan BKM dengan mendirikan Komplek Pertokoan BKM. Mekanisme yang dipakai tidak dengan membuka wakaf baru, melainkan dengan memanfaatkan adanya peluang dari Kementerian Agama berupa bantuan wakaf produktif bagi lembaga wakaf yang memiliki lahan strategis dengan mekanisme pinjaman. Apa yang telah dilakukan BKM memang telah berhasil merubah lahan kosong yang terletak di pinggir jalan besar menjadi komplek pertokoan yang cukup bagus dan menjanjikan. Namun apa yang dilakukan BKM dengan menunggu adanya peluang dari pihak luar seperti itu mengisyaratkan bahwa program pengembangan tersebut dilakukan secara sporadis dan tidak terkonsep. Kasus yang hampir sama terjadi pada SPBU MAS yang dilakukan Badan Pengelola MAS. Unit usaha ini diperoleh Badan Pengelola dengan cara yang tidak terkonsep sebelumnya karena SPBU tersebut dibangun oleh orang lain di atas tanah bandha wakaf. Sedangkan master plan yang masih dalam tahap rencana yang mendekati realisasi adalah pembangunan pasar induk Masjid Agung Semarang yang akan dibangun sebelah kanan Masjid Agung Jawa Tengah. Apabila pembangunan pasar induk ini terwujud, diharapkan bisa menjadi contoh bagi
204
pengembangan bandha wakaf yang memang direncanakan secara matang sejak awal dan dibangun atas dasar kerjasama antara pengelola wakaf dengan investor. Uraian di atas menjelaskan bahwa baik BKM maupun Badan Pengelola Masjid Agung Semarang telah melakukan upaya penambahan aset wakaf melalui beberapa cara. Terhadap penambahan aset wakaf yang sifatnya konsumtif seperti pembelian hotel Bojong untuk melengkapi fasilitas Masjid Agung Jawa Tengah, Badan Pengelola MAS melakukan upaya penambahan wakaf baru melalui saham-saham yang dinilai dengan harga tertentu untuk dijual kepada masyarakat sebagai salah bentuk fundraising wakaf. Sedangkan apa yang dilakukan BKM ketika membangun Komplek Pertokoan BKM dan Badan Pengelola MAS ketika mendapatkan hak kelola SPBU, keduanya tidak berusaha membuka wakaf baru untuk mendirikan unit-unit usaha tersebut, melainkan dengan mengajukan bantuan kepada Pemerintah, yaitu BKM kepada Kementerian Agama Pusat dan Badan Pengelola MAS mengajukannya kepada Gubernur Jawa Tengah. Sedangkan pengembangan bandha wakaf melalui kerjasama dengan pihak ketiga, terutama dalam hal permodalan, tampak masih dalam tahap perencanaan. Abu> Zaid menawarkan dua konsep investasi bagi pengembangan harta benda wakaf, yaitu investasi mandiri dan investasi dengan menggandeng mitra atau pihak ketiga. Investasi mandiri adalah investasi yang dilakukan oleh nazhir wakaf secara mandiri dengan mengandalkan kepada sumber daya yang ada pada lembaga wakaf (Zaid, 2000: 52). Dalam investasi wakaf mandiri ini,
205
nazhir mengoptimalkan harta wakaf yang hendak diberdayakan secara mandiri berdasarkan kemampuan yang dimiliki dan tidak merasa perlu menggandeng pihak lain sebagai investor atau mitra. Sedangkan investasi dengan cara menggandeng mitra dilakukan dengan cara menggandeng investor untuk memberdayakan harta wakaf yang ada agar dapat memberikan hasil yang maksimal (Zaid, 2000: 56). Investasi mandiri pernah dilaksanakan BKM dengan cara ibda>l alwaqfi atau tukar guling bandha wakaf. Melalui proses tersebut, diharapkan tanah wakaf letaknya strategis namun tidak produktif dapat diganti dengan lahan wakaf yang lebih luas dan lebih produktif, meskipun lokasinya kurang strategis. Dalam perkembangannya, proses tersebut dilaksanakan secara tidak transparan sehingga yang menimbulkan kerugian pada bandha wakaf itu sendiri. Berdasarkan pengalaman ini, tawaran ibda>l al-waqfi yang dikemukakan Abu> Zaid sebagai salah bentuk investasi mandiri jika tidak dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab dapat berujung pada hilangnya harta benda wakaf yang dimaksud. Sedangkan investasi mandiri melalui akad ija>rah merupakan bentuk investasi bagi harta wakaf yang sifatnya tradisional dan merupakan bentuk pengelolaan yang paling banyak dilakukan lembaga wakaf. Kelebihan dari bentuk ini adalah lembaga wakaf akan tetap mendapatkan hasil secara rutin namun biasanya nilainya tidak terlalu besar. Pada masa lalu, model menyewakan bangunan merupakan pilihan yang diminati, namun pada masa
206
sekarang sudah banyak bentuk-bentuk pemberdayaan yang lebih memberikan hasil lebih besar daripada menyewakan aset wakaf secara tradisional. Investasi dengan cara menggandeng mitra telah dilakukan oleh Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah ketika menggandeng PT Madani Agung Jaya untuk mengelola aset-aset masjid yang sifatnya komersial seperti Menara al-H}usna>, Hotel Agung Jaya, Convention Hall, dan lainnya. Kerjasama tersebut direalisasikan melalui mekanisme bagi hasil sesuai dengan nisbah yang disepakati. PT Madani Agung Jaya berkewajiban mengelola aset-aset wakaf yang komersial tersebut dan memberikan nisbah bagi hasilnya kepada Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah. Oleh Badan Pengelola MAJT, setoran dari PT Madani Agung Jaya dijadikan sebagai salah satu pendapatan Badan Pengelola untuk menjalankan operasional masjid. Pada perkembangan selanjutnya, kerjasama tersebut dinilai merugikan Badan Pengelola karena hanya mendapatkan nisbah bagi hasil yang dinilai terlalu sedikit. Setelah berjalan selama empat tahun,55 kerjasama tersebut diakhiri dan pengelolaan sepenuhnya dijalankan oleh Badan Pengelola melalui unit usaha yang dibentuknya. Menurut peneliti, kerjasama antara Badan Pengelola MAJT dan PT Madani Agung Jaya memang terasa tidak fair karena kerjasama ini tidak dimulai dari awal, termasuk pemodalan. Setelah seluruh aset masjid berdiri dan siap beroperasi, tiba-tiba muncul PT Madani Agung Jaya yang turut mengelola aset-aset komersial tersebut dengan nisbah yang tidak adil. Model kerjasama
55
Kerjasama tersebut dimulai tanggal 1 September 2006 dan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2010 (Wawancara dengan Agus Fathuddin Yusuf: 13-04-2010).
207
ini berbeda dengan model yang ditawarkan Abu> Zaid karena pihak yang diajak bermitra merupakan pihak investor yang menyediakan dana bagi pengembangan harta benda wakaf. Sedangkan pada kasus aset komersial Masjid Agung Jawa Tengah, seluruh biaya untuk membangun masjid dan segenap fasilitasnya berasal dari Pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan hal ini, patut diduga ada unsur politik yang masuk dalam proses mencapai kesepakatan pada kerjasama tersebut. Tawaran dari Abu> Zaid layak diterapkan oleh para pengelola bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Jika menggandeng mitra sebagai investor sudah direncanakan pada proyek pembangunan pasar induk MAS, model yang sama juga dapat diterapkan pada rencana-rencana pengembangan lainnya, seperti pembangunan rumah sakit, ma’had ‘ali>, pusat perbelanjaan, dan lainnya. Dengan demikian, kendala terbatasnya dana seperti yang dikemukakan BKM dapat teratasi karena BKM maupun Badan Pengelola MAS dan MAJT tidak perlu mengeluarkan biaya sendiri. 3. Implementasi Prinsip-prinsip Good Corporate Governance dalam Pengelolaan Bandha Wakaf MAS Penelitian Rozalinda (2010: 43) menyebutkan bahwa lembaga wakaf profesional perlu dikelola sebagaimana layaknya perusahaan. Manajemen yang diterapkan pada lembaga wakaf yang menerapkan teori wakaf produktif dapat mengadopsi manajemen yang diterapkan pada perusahaan. Good corporate governance merupakan tawaran bagi lembaga yang menghadapi krisis manajemen, seperti hilangnya kepercayaan publik karena
208
maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), tidak transparan dalam laporan dan pembuatan kebijakan, dan lainnya. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya good corporate governance merupakan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara unit-unit internal perusahaan dan stakeholders yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka. Melalui impelementasi prinisp-prinsip GCG, organisasi bisnis diharapkan dapat diarahkan dan dikendalikan. Berikut ini uraian mengenai implementasi prinsip-prinsip good corporate governance dalam pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf Masjid Agung Semarang. a. Implementasi Prinsip Transparansi pada Pengelolaan Bandha Wakaf. Sebagai organisasi yang mengelola aset publik, para pengelola bandha wakaf dituntut menyediakan informasi yang akurat dan membuka askesnya kepada masyarakat. Dalam pengelolaan bandha wakaf, prinsip ini belum sepenuhnya dapat diimplementasikan dengan baik. Pihak-pihak yang berkepentingan dengan bandha wakaf masih merasakan kesulitan untuk mengetahui kondisi riil bandha wakaf dan pengelolaannya secara menyeluruh. Seperti diketahui, di antara sesama pengelola bandha wakaf tidak terjalin komunikasi yang baik sehingga memunculkan sikap saling curiga yang diakibatkan oleh informasi yang tidak akurat. Saat ini, sebagian dari Badan Pengelola Masjid Agung Semarang tidak mengetahui bagaimana
209
kondisi bandha wakaf yang tersebar di tiga kabupaten tersebut (Wawancara dengan Wahid Ahmad: 24-05-2012). Dari segi transparansi laporan keuangan, kinerja ketiga lembaga pengelola bandha wakaf menunjukkan tingkat transparansi yang beragam. Badan Pengelola Masjid Agung Semarang secara periodik, biasanya bulanan, menyampaikan beberapa bentuk laporan keuangan kepada masyarakat dengan cara menempelkannya pada papan pengumuman masjid, seperti laporan hasil infak hari Jumat, laporan tentang jumlah dan penggunaan donasi untuk mobil jenazah, dan lainnya. Dari segi penggalangan dana melalui kotak infak, pengelola MAS menyediakan sejumlah kotak infak yang telah ditentukan tujuan penggunaannya. Ciri khas dari kotak-kotak infak tersebut adalah bersifat transparan karena terbuat dari kaca terang sehingga dapat dilihat oleh setiap orang yang melewatinya. Dalam laporan keuangan masjid, kotak infak tersebut dikenal dengan istiah kotak infak kaca. Saat ini, paling tidak terdapat empat jenis tujuan dari kotak infak yang dimaksud, yaitu kotak infak kaca untuk biaya kebersihan, kotak infak kaca untuk biaya operasional dan pemeliharaan ambulan, kotak infak kaca untuk pembelian bangunan dan tanah hotel Bojong, dan kotak infak kaca untuk membeli karpet utama masjid. Selain itu, terdapat kotak infak yang digalang dari dana parkir kendaraan dan kotak infak berjalan yang digalang pada setiap shalat Jumat. Kondisi keuangan pengurus Masjid Agung Semarang biasa diumumkan secara rutin kepada jamaah setiap pekan sekali, yaitu
210
menjelang pelaksanaan shalat Jumat. Sebagai contoh, pada bulan Juli 2011 disampaikan pengumuman bahwa saldo pengurus Masjid Agung Semarang per 1 Juli 2011 sebesar Rp 24.652.800,00. Berkaitan dengan biaya operasional dan pemeliharaan dua unit mobil ambulan, Badan Pengelola MAS menyelenggarakan program donatur dari jamaah untuk umat. Teknisnya, Badan Pengelola MAS menyediakan beberapa kotak infak yang terbuat dari kaca yang dapat dilihat dengan jelas (transparan). Kotak infak tersebut dibuka setiap pekan dan dilaporkan kepada jamaah setiap bulan. Berdasarkan laporan bulan November 2012, pekan pertama bulan November 2012 terkumpul uang infak sebesar Rp 662.000,00, pekan kedua terkumpul dana sebesar Rp 656.000,00, pekan ketiga terkumpul uang infak sebesar Rp 1.079.300,00, pekan keempat terkumpul dana sebesar Rp 582.800,00, dan pekan kelima terkumpul dana sebesar Rp 757.800,00. Dengan demikian, total dana yang diperoleh dari donatur pada bulan November untuk biaya operasional ambulan adalah sebesar Rp 3.737.900,00. Laporan bulan November juga menyebutkan bahwa sampai bulan Oktober 2012, kas untuk pengelolaan dua unit mobil jenazah memiliki saldo sebesar Rp 72.158.060,00. Pemasukan lain pada bulan November adalah berasal dari bagi hasil tabungan pada Bank Syariah Mandiri sebesar Rp 165.013,00. Dengan demikian, total saldo biaya operasional dan pemeliharan dua unit ambulan Masjid Agung Semarang adalah sebesar Rp 76.060.973,00.
211
Dari Laporan Operasional dan Pemeliharaan Ambulan bulan November 2012 diketahui bahwa selama bulan November 2012, total biaya yang dikeluarkan pengelola untuk operasional dan pemeliharaan dua unit ambulan MAS adalah sebesar Rp 5.817.000,00. Biaya tersebut digunakan untuk membeli satu unit keranda untuk mengangkut jenazah yang terbuat dari alumunium, bisya>rah petugas atau kru ambulan, isi freon, beli oli, solar, dan cuci mobil. Tabel 5.1 Penerimaan Hasil Infak untuk Operasional Ambulan MAS bulan November 2012 Tanggal Penerimaan dari Jumlah 01/11/2012 Saldo Kas Bulan Oktober 2012 Rp 72.158.060,00 02/11/2012 Infak Operasional Ambulan (Kotak Rp 662.000,00 Kaca) 16/11/2012 Infak Operasional Ambulan (Kotak Rp 1.079.300,00 Kaca) 23/11/2012 Infak Operasional Ambulan (Kotak Rp 582.800,00 Kaca) 30/11/2012 Infak Operasional Ambulan (Kotak Rp 757.800,00 Kaca) Jumlah Total Rp 3.737.900,00 Bagi Hasil dari Bank Syariah Mandiri Rp 165.013,00 Total Saldo November 2012 Rp 76.060.973,00. Sumber : Laporan operasional dan pemeliharaan ambulan MAS bulan November 2012 Tabel 5.2 Pengeluaran untuk Operasional dan Pemeliharaan Ambulan MAS bulan November 2012 Tanggal Pengeluaran Jumlah 03/11/2012 Pembuatan 1 unit keranda bandasa Rp 3.400.000,00 17/11/2012 Tambal ban tubles Rp 15.000,00 19/11/2012 Beli solar ambulan H 1989 JS Rp 122.000,00 20/11/2012 Cuci salju ambulan H 1989 JS Rp 30.000,00 26/11/2012 Beli solar ambulan H 1983 U S Rp 150.000,00 26/11/2012 Is freon ambulan H 1989 JS Rp 200.000,00 30/11/2012 Bisyarah petugas Rp 1.900.000,00 Jumlah pengeluaran Rp 5.817.000,00 Saldo kas bulan November 2012 Rp 70.243.973,00 Sumber : Laporan operasional dan pemeliharaan ambulan MAS bulan November 212
2012 Badan Pengelola MAS juga menyusun laporan bulanan mengenai penerimaan dan pengeluaran yang digunakan untuk mengelola kebersihan Masjid Agung Semarang. Pada mulanya, kebersihan masjid didanai dari kas pengurus Masjid Agung Semarang. Namun semenjak tanggal 1 Muharram 1421 H atau 6 April 2000, operasional kebersihan Masjid Agung Semarang dilakukan oleh tim kebersihan yang didanai oleh jamaah dengan cara menggalang donatur tetap dan khusus untuk biaya kebersihan. Besarnya dana yang berhasil digalang melalui donatur ini bervariasi setiap bulannya. Misalnya pada bulan Oktober 2011, jumlah total donasi dari donatur tetap bagi biaya kebersihan sebesar Rp 1.125.000,00. Sedangkan bulan November 2012 terkumpul dana sebesar Rp 1.175.000,00 dari 105 donatur tetap. Selain dari donatur tetap atau rutin tersebut, pengurus Masjid Agung Semarang juga menyediakan kotak infak khusus untuk biaya kebersihan. Berdasarkan laporan keuangan untuk dana kebersihan pada bulan November 2012, diketahui jumlah dana yang berhasil dari kotak infak adalah Rp 1.265.000,00.56 Berdasarlan laporan dana kebersihan selama bulan November 2012, diketahui bahwa total jumlah pemasukan untuk keperluan tersebut sebesar Rp 4.275.500,00. Dana tersebut berasal dari donatur jamaah masjid selama bulan November 2012, yaitu Rp 2.440.000,00 dan dana kas Takmir Masjid Agung Semarang sebesar Rp 1.835.500,00. 56
Jumlah ini merupakan hasil dari pengurangan dari total dana dari donatur jamaah sebesar Rp 2.440.000,00 dikurangi jumlah dana dari donatur tetap pada bulan yang sama, yaitu Rp 1.175.000,00.
213
Tabel 5.3 Laporan Penerimaan dan Pengeluaran untuk Kebersihan Masjid Agung Semarang Bulan November 2012 Penerimaan Donatur jamaah bulan November 2012 Kas Takmir MAS Total
Rp 2.440.000,00 Rp 1.835.500,00 Rp 4.275.500,00
Pengeluaran Honorarium petugas cleaning Rp 3.604.000,00 service Rapat kebersihan Rp 222.000,00 Alat kebersihan Rp 49.500,00 Honor Kolektor donatur Rp 150.000,00 Bisyarah kordinator cleaning Rp 250.000,00 service Total Rp 4.275.500,00 Akhir saldo Rp 0,00 Sumber: Laporan penerimaan dan pengeluaran biaya kebersihan MAS bulan November 2012
Berbeda dengan Badan Pengelola MAS yang secara rutin menyampaikan laporan mengenai kondisi keuangan Masjid Agung Semarang, Takmir Masjid Agung Jawa Tengah terkesan tertutup dalam masalah keuangan. Tidak banyak laporan keuangan yang dapat diakses oleh setiap jamaah atau pihak yang berkepentingan. Satu-satunya laporan keuangan yang peneliti dapatkan adalah laporan keuangan dari Badan Pengelola MAJT pada tahun 2009. Laporan itu pun tidak diperoleh dengan mudah. Pada laporan itu dijelaskan bahwa aset-aset MAJT dibedakan menjadi dua, yaitu aset wakaf yang bersifat komersial dan aset wakaf yang bersifat non komersial. Terhadap aset-aset wakaf yang bersifat komersial,
214
pada mulanya Badan Pengelola menggandeng PT Madani Agung Jaya. Badan Pengelola hanya bertanggung jawab atas pengelolaan aset-aset wakaf yang bersifat non komersial. Hasil dari pengelolaan aset-aset komersial MAJT dapat dilihat pada tabel 5.4. Tabel 5.4 Hasil Pengelolaan Area Komersial pada MAJT Tahun 2009 NNo Sumber Pemasukan Jumlah 1 Convention Hall 1.113.119.161 2 Menara al-H{usna> 1.716.112.045 3 Wisma/Hotel 471.691.847 4 Parkir 221.218.650 5 Souvenir Shop 290.066.902 6 Office Space 225.712.504 7 Mini Hall 143.468.728 8 Lain-lain 856.647.895 Jumlah 5.038.037.732 Sumber: Diolah dari Laporan Kegiatan 2009 BP. MAJT Dalam laporan tersebut tidak dijelaskan sumber pemasukan lain-lain (pada nomor 8) yang besarnya mencapai Rp 856.647.895,00. Penghasilan lain yang diperoleh Badan Pengelola MAJT selama tahun 2009 jumlahnya mencapai Rp 854.569.310,00. Jumlah tersebut berasal dari penggalangan dana melalui kotak-kotak infak, penyelenggaran poliklinik, bantuan dari pihak-pihak ketiga, dan sebagainya sebagaimana disebutkan dalam tabel 5.5. Tabel 5.5 Pemasukan BP MAJT Tahun 2009 di Luar Hasil Pengelolaan Area Komersial No 1 2 3 4
Sumber Pemasukan Kotak Jumat Kotak Besar Kotak Toilet Kotak Sandal
Jumlah 265.292.150 189.622.000 53.850.500 63.600.500
215
5 Kotak Ramadhan 150.923.900 6 Kotak Idul Adha 25.367.000 7 Poliklinik 75.745.060 8 Pengajian Akbar 5.813.900 9 Sewa Ruang (I<ja>b Qabu>l) 112.087.000 10 Dugderan 34.500.000 11 Bantuan Gubernur 243.000.000 12 Bantuan/Kerjasama 75.575.000 13 Infak Pihak Ketiga 25.571.200 14 Lain-lain 2.750.000 Jumlah 854.569.310 Sumber: Diolah dari Laporan Kegiatan 2009 BP. MAJT Laporan tersebut juga menjelaskan mengenai penggunaan sumber dana yang berasal dari bantuan Gubernur Jawa Tengah sebesar Rp 243.000.000,00, yaitu dimanfaatkan untuk upacara dugderan (menjelang 1 Ramadhan) sebesar Rp 14.000.000,00, perbaikan minaret MAJT sebesar Rp
75.000.000,00,
dan
perbaikan
payung
elektrik
sebesar
Rp
150.000.000,00. Pemasukan yang berasal dari bantuan atau kerjasama dengan pihak lain berasal dari PT Galatama, Harley Davidson Club, Anis Nugraha Widharto, PT Madani Agung Jaya, PT Semen Gresik, PT Bentoel, dan BRI Pandanaran. Laporan tersebut juga menjelaskan bahwa keuntungan kotor yang diperoleh PT Madani Agung Jaya adalah sebesar Rp 5.038.037.732,00. Dari jumlah tersebut, ternyata diketahui biaya operasional PT Madani Agung Jaya mencapai Rp 4.161.515.725,00 sehingga laba bersih yang diperoleh PT Madani Agung Jaya adalah sebesar Rp 876.522.007,00. Badan Pengelola hanya mendapatkan bagian sebesar Rp 262.956.602,00. Tabel 5.6
216
Pembagian Hasil Laba antara PT Madani Agung Jaya dengan BP MAJT Tahun 2006 2007 2008 2009
Hasil Kotor
Laba PT Madani BP MAJT (100 %) (70 %) (30 %) 1.123.468.850 179.966.622 126.456.622 53.510.000 1.123.468.850 681.693.892 480.868.914 200.824.978 4.939.052.978 722.763.750 544.713.360 183.050.390 5.038.037.732 876.522.007 613.565.405 262.956.602 Sumber: Laporan Kegiatan Badan Pengelola MAJT Tahun 2009 Perlu dijelaskan bahwa pada saat laporan tersebut dibuat, pihak
yang berwenang mengelola area komersial dan bisnis pada MAJT adalah PT Madani Agung Jaya sesuai dengan kontrak kerjasama bagi hasil dengan Badan Pengelola MAJT. Kontrak kerjasama tersebut pada akhirnya berakhir terhitung sejak 1 September 2010. Selanjutnya Badan Pengelola MAJT membentuk Direktorat Operasional (Dirops) yang bertugas mengurus aset-aset komersial tersebut. Pada perkembangannya, tugas Dirops dikembalikan lagi kepada Bidang Usaha BP MAJT, tepatnya pada pertengahan Pebruari 2013. Setelah kerja sama dengan PT Madani Agung Jaya berakhir, kondisi keuangan MAJT sudah mengalami perbaikan sebab sudah dikelola secara mandiri oleh Badan Pengelola sehingga tidak ada lagi pembagian keuntungan yang tidak adil seperti dikeluhkan sebelumnya. Hanya saja, banyaknya kerusakan yang terjadi pada fasilitas-fasilitas MAJT tampaknya menjadi beban cukup berat bagi pengelola untuk memperbaikinya dan menyedot anggaran yang tidak banyak. Sampai saat ini pun, tidak tampak ada upaya renovasi yang signifikan pada fasilitas-fasilitas tersebut.
217
Peneliti tidak berhasil mendapatkan laporan keuangan dari BKM yang menjelaskan kondisi finansial bagi pengelolaan bandha wakaf. Laporan pertanggungjawaban yang disusun BKM tahun 2011 tidak mencantumkan hal itu. Sebagian informasi menyebutkan BKM menyimpan dana wakaf sebesar Rp 6.000.000.000,00 yang merupakan ganti rugi dari tanah bandha wakaf yang dijadikan jalan alternatif dari jalan arteri menuju Masjid Agung Jawa Tengah. Dana tersebut rencananya akan digunakan untuk membangun ma’had a>li> di belakang MAJT. Namun hingga saat ini, rencana tersebut belum berhasil direalisasikan. Selain informasi tersebut, peneliti tidak berhasil mendapatkan informasi mengenai kondisi keuangan BKM yang berkaitan dengan bandha wakaf. Dalam laporan BKM tahun 2011 disebutkan
bahwa BKM
menghadapi banyak kendala dalam mengelola dan mengembangkan bandha wakaf, diantaranya masalah pendanaan. Menurut peneliti, hal ini menunjukkan bahwa BKM tidak mendapatkan hasil signifikan dari pengelolaan bandha wakaf selama ini. Selain dalam bidang keuangan, masalah transparansi dalam pengelolaan bandha wakaf dapat dilihat dari buruknya komunikasi di antara ketiga lembaga tersebut juga menyebabkan hak-hak dan kewajiban masing-masing pengelola tidak dapat terdistribusikan dengan baik. Pihak BKM maupun BP MAS merasa lebih berhak atas aset tertentu namun tidak dapat melakukan langkah selanjutnya karena merasa terganggu dengan pihak-pihak lain. Dari segi itu, hanya BP MAJT yang dapat menjalankan
218
organisasinya secara independen karena hanya mengelola lahan yang terbatas dan hingga saat ini tidak ada campur tangan yang berarti dari BKM. Berkaitan dengan transparansi penyaluran hasil wakaf kepada mauqu>f ‘alaih, hingga saat ini tidak ditemukan laporan yang jelas dan mudah dipahami mengenai prosentase hasil wakaf yang digunakan untuk kepentingan mauqu>f ‘alaih. Demikian pula dengan hak nazhir atau pengelola yang batasi oleh Undang-Undang Wakaf sebesar 10 % dari hasil pengelolaan. Laporan-laporan keuangan dari ketiga lembaga tidak menjelaskan hal tersebut. Tidak adanya laporan-laporan tersebut menyebabkan banyak pihak tidak dapat mengakses berbagai informasi yang diperlukan sehingga mereka tidak dapat melihat besarnya aset riil yang dikelola. b. Implementasi Prinsip Akuntabilitas pada Pengelolaan Bandha Wakaf. Penerapan
prinsip
akuntabilitas
menunjukkan
adanya
alur
manajemen yang dapat ditelusuri sampai sumbernya dan alur tersebut dapat diterima secara logis. Hal ini berarti setiap karyawan pada lembaga pengelola wakaf harus memiliki tugas dan tanggung jawab yang jelas, wajib melaporkan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab tersebut, dan dikendalikan secara obyektif agar tidak melakukan penyimpangan. Implementasinya pada pengelolaan bandha wakaf, tarik-menarik antara tiga lembaga telah menyebabkan kondisi pengelolaan bandha wakaf jauh dari prinsip akuntabel, seperti hilangnya keseimbangan di antara
219
pengelola, tidak jelasnya tanggung jawab atas kondisi pengelolaan, dan tidak efektifnya sistem pengendalian internal dalam organisasi. Seperti diketahui, bandha wakaf saat ini dikelola oleh tiga lembaga dan masing-masing lembaga menguasai aset yang berbeda. Selain hilangnya komunikasi di antara ketiganya, setiap lembaga mendapatkan hak atas aset yang dikelolanya tidak berdasarkan atas ketentuan-ketentuan manajerial yang logis. Peneliti tidak menemukan jawaban yang rasional atas beberapa pertanyaan, seperti kenapa BKM mengelola aset-aset pertanian yang letaknya jauh dari Kota Semarang? Kenapa BP MAS mengelola SPBU? Atau kenapa surat keputusan mengenai pengangkatan BP MAS dibuat Walikota dan BP MAJT dibuat Gubernur? Tidak adanya koordinasi antara ketiganya juga menyebabkan pengelolaan bandha wakaf tidak memiliki pimpinan yang menyatukan visi, misi, langkah, maupun program-program yang sifatnya aplikatif. Masingmasing lembaga berjalan secara terpisah sehingga tidak ada sistem yang dapat mengawasi dan mengendalikan kegiatan mereka agar dapat mewujudkan visi dan misinya. Setiap lembaga merasa mendapatkan legitimasi, meskipun dari sumber yang berbeda-beda. BKM merasa mendapatkan mandat sebagai nazhir dari Kementerian Agama, BP MAJT merasa mendapatkan mandat dari SK Gubernur, dan BP MAS mendapatkan mandat dari SK Walikota dan dukungan masa yang simpati atas nasib bandha wakaf. Masing-masing lembaga merasa lebih berhak mengelola dan mengembangkan bandha
220
wakaf namun terkendala dengan mandat yang dipegang lembaga lain. Lembaga yang dikelola dengan manajemen seperti ini diprediksi akan kehilangan prinsip akuntabilitas dalam menjalankan organisasinya. c. Implementasi Prinsip Fairness pada Pengelolaan Bandha Wakaf. Lembaga wakaf merupakan lembaga publik yang mengelola harta benda wakaf karena menjalankan amanah agama. Harta benda wakaf tidak dimiliki oleh lembaga wakaf sebagaimana perusahaan swasta yang memiliki secara penuh aset-asetnya. Harta benda wakaf juga tidak dimiliki negara sebagaimana layaknya BUMN. Harta benda wakaf merupakan amanah yang harus dikelola dan dikembangkan secara jujur dan amanah untuk
didistribusikan
hasilnya
kepada
pihak-pihak
yang
berhak
mendapatkannya. Tudingan miring yang dialamatkan kepada BKM selama ini bisa jadi merupakan akibat dari hilangnya rasa percaya akan kejujuran dan sifat amanah dalam mengelola bandha wakaf. Publik sepertinya tidak pernah tahu bagaimana kondisi bandha wakaf, berapa luasnya, di mana letaknya, bagaimana perkembangannya, berapa hak yang diterima nazhir, dan berapa hak yang disalurkan kepada mauqu>f ‘alaih. Dampak dari tudingan miring tersebut telah melahirkan Badan Pengelola MAS dan Badan Pengelola MAJT yang saat ini secara de facto mengelola dan mengembangkan sebagian dari bandha wakaf tersebut. Meskipun berusaha lebih baik dalam mengelola dan mengembangkan, BP MAS dan BP MAJT masih belum berhasil menghadirkan lembaga wakaf
221
yang transparan dan profesional. Keduanya masih terlibat dalam konflik dengan BKM mengenai siapa yang berhak mengelola dan mengembangkan bandha wakaf. Akibatnya bandha wakaf belum semuanya dapat diberdayakan secara produktif. Selain kejujuran dalam mengelola dan menyediakan informasi, pengelola bandha wakaf dituntut memperlakukan pihak-pihak yang berkepentingan dengan harta wakaf tersebut secara wajar, berlaku obyektif, dan tidak boleh membeda-bedakan sesama stakeholders atas dasar faktor subjektif. Penerapan prinsip fairness pada lembaga wakaf menekankan pentingnya perlakuan yang sama (equal) di antara semua pihak yang berkepentingan dengan organisasi wakaf. Menurut peneliti, konflik pengelolaan bandha wakaf telah mengorbankan hak-hak mauqu>f ‘alaih. Harta benda wakaf yang tidak dikelola dengan baik menjadikan harta bandha wakaf terbengkalai dan tidak memberikan hasil yang banyak. Sebenarnya pihak yang menjadi mauqu>f ‘alaih tidak diperselisihkan, yaitu Masjid Agung Semarang. Pada kenyataannya, tanah bandha wakaf yang dikelola BKM tidak sepenuhnya disalurkan kepada Masjid Agung Semarang, melainkan kepada programprogram BKM yang termasuk diantaranya Masjid Agung Semarang. Menurut peneliti, mekanisme penyaluran manfaat wakaf seperti itu bertentangan dengan prinsip fairness dalam GCG. Demikian pula apa yang dilakukan BP MAJT yang menjadikan seluruh hasil pengelolaan dari area komersial dan bisnis sebagai pemasukan BP MAJT dan tidak dikaitkan lagi
222
dengan Masjid Agung Semarang merupakan kebijakan yang tidak sesuai dengan prinsip fairness. d. Implementasi Prinsip Responsibilitas pada Pengelolaan Bandha Wakaf. Prinsip responsibilitas berkaitan dengan prinsip transparansi karena manajemen yang transparan merupakan salah satu bentuk responsibilitas itu sendiri. Pengelola bandha wakaf yang mengelola harta amanah dituntut senantiasa mengedepankan prinsip keterbukaan dalam mengelola dan mengembangkannya. Hilangnya kepercayaan terhadap pengelola bandha wakaf selama ini diantaranya disebabkan hilangnya prinsip keterbukaan sehingga menimbulkan desas-desus dan tudingan negatif terhadap BKM. Informasi yang disampaikan merupakan informasi yang utuh, sesuai dengan fakta yang ada, tidak ada yang disembunyikan, dan tidak disamarkan. Informasi yang akurat adalah informasi yang mengandung kebenaran dan ketepatan. Jika tidak demikian, informasi tersebut dapat dianggap sebagai informasi yang tidak bertanggung jawab, tidak benar, dan menyesatkan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban pengelola terhadap amanah yang dikelolanya, setiap stakeholders berhak mengetahui bagaimana kondisi
bandha
wakaf
dan
bagaimana
pengelolaannya
sehingga
masyarakat, dan khususnya mauqu>f ‘alaih, menjadi tahu kondisinya. Jika pengelolaannya dilakukan atas dasar kerjasama dengan pihak lain, pengelola wakaf hendaknya menyediakan akses tentang pihak yang diajak kerjasama, bagaimana polanya, berapa besar keuntungan yang diprediksi
223
akan diperoleh lembaga wakaf, dan lainnya. Laporan keuangan (financial statement) merupakan salah satu laporan yang wajib disiapkan oleh lembaga wakaf dan harus disampaikan secara akurat, tepat pada waktunya, dan dengan metode yang benar. Sayangnya, keterbukaan seperti belum dapat terwujud dalam pengelolaan bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Bentuk tanggung jawab lainnya adalah tingkat kepatuhannya terhadap hukum wakaf dan peraturan yang berlaku, khususnya UndangUndang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004. Diantaranya hukum yang berkaitan dengan status nazhir, hak-hak dan kewajiban-kewajiban nazhir, dan hak mauqu>f ‘alaih. Dari segi ini, pengelolaan bandha wakaf justru terjebak dalam konflik internal yang mencerminkan rendahnya tingkat kepatuhan terhadap Undang-Undang tersebut. Sebagai contoh, hingga saat ini siapa yang berhak menjadi nazhir saja masih dipersoalkan dan diprediksi tidak akan mendapatkan kata sepakat dalam waktu dekat. Bagi BKM yang merasa
mendapatkan
hak
kenazhiran
dari
Kementerian
Agama,
pengelolaan BP MAS dan BP MAJT terhadap sebagian bandha wakaf yang saat ini dikuasainya merupakan bentuk penyimpangan dari Undang Undang Wakaf di atas. Dalam menjalankan bisnisnya, pengelola bandha wakaf perlu memperhatikan tanggung jawab sosial, menghindari penyalahgunaan wewenang, menjunjung tinggi etika dalam berbisnis, dan menciptakan dan memelihara lingkungan bisnis yang sehat. Dari segi ini, pengelolaan bandha wakaf tampak tidak banyak terlibat dalam persaingan bisnis dengan
224
pelaku pasar lainnya. Hal itu disebabkan bentuk-bentuk pemberdayaan yang dilakukan terhadap bandha wakaf tidak dijalankan secara langsung, melainkan disewakan kepada pelaku ekonomi lainnya. Implementasi dari prinsip responsibilitas lainnya adalah tingkat partisipasi atau keterlibatan yang aktif dari setiap pelaku dalam organisasi. Partisipasi yang aktif dari setiap pengelola bandha wakaf menunjukkan organisasi tersebut berjalan dinamis sehingga dapat menunjang kinerja lembaga. Partisipasi dapat diukur melalui upaya seseorang dalam menunaikan kewajibannya, mendapatkan haknya, dan tindakan-tindakan lain yang disesuaikan dengan posisinya dalam lembaga tersebut. Kendala bagi penerapan prinsip ini pada pengelolaan bandha wakaf dapat dilihat dari segi hilangnya kesatuan langkah pengelola yang diakibatkan konflik kepentingan yang tak kunjung selesai dari para pengelola bandha wakaf. e. Implementasi Prinsip Independensi pada Pengelolaan Bandha Wakaf Secara umum, implementasi prinsip pada pengelolaan bandha wakaf masih belum menunjukkan indikasi yang baik. Konflik di antara pengelola tampaknya dapat dijadikan sebab bagi sulitnya prinsip ini diterapkan. Masing-masing pengelola memiliki garis kebijakan yang berbeda sehingga berpotensi menimbulkan gesekan-gesekan yang dapat memperlebar jarak. Dengan banyaknya kepentingan yang hendak masuk dalam pengelolaan bandha wakaf, kinerja masing-masing pengelola menjadi tidak obyektif dan tidak lepas dari intervensi pihak-pihak yang turut dalam konflik kepentingan tersebut.
225
Dengan derasnya tuntutan dari BP MAS dan masyarakat agar BKM menyerahkan hak kelola bandha wakaf kepada BP MAS, tidak banyak yang dapat diharapkan dari BKM. Dampak yang paling mudah diprediksi adalah munculnya sifat apatis dari personel-personel BKM terhadap nasib bandha wakaf, sementara pada sisi lain mereka tidak dapat menyerahkan hak kelola tersebut kepada pihak lain. BKM berasalan selama KMA Nomor 92 Tahun 1962 tidak dicabut maka hak kelola atas bandha wakaf tidak dapat dilepaskan dari BKM (Wawancara dengan Arifin: 17-02-2011). BKM tampak menyederhanakan masalah dengan menyerahkan urusan tersebut kepada Menteri Agama. Menurut BKM, apabila Menteri Agama memerintahkan agar BKM melepaskan hak kelola atas tanah tersebut dan menyerahkannya kepada pihak lain, BKM pasti akan melakukannya. Sebaliknya, posisi BP MAS juga tidak jelas sebab selalu merasa ragu-ragu setiap akan mengambil keputusan investasi jangka panjang terhadap bandha wakaf yang dikuasainya. Permasalahan utamanya terletak pada legalitas aset yang akan dikembangkan. Dengan legalitas masih dipegang BKM, selama itu pula keputusan-keputusan penting seputar bandha wakaf menjadi terkendala. Di antara dampak dari tidak terimplementasikannya prinsip independensi ini, masing-masing pengelola bandha wakaf berusaha melepaskan tanggung jawab dari kondisi bandha wakaf saat ini dan melemparkannya kepada pihak lain. Dengan kata lain, masing-masing pengelola saling menyalahkan. BKM menuding BP MAS, BP MAJT, dan
226
pihak-pihak yang berada di belakang keduanya sebagai pihak yang merecoki BKM dalam upaya pengembangan bandha wakaf. Sementara kubu di luar BKM menuding BKM sebagai pihak yang tidak amanah dalam mengelola bandha wakaf. 4. Implementasi Teknik Pengembangan Usaha pada Bandha Wakaf Seperti dijelaskan Bab II, kata pengembangan dimaksudkan sebagai upaya untuk menjadikan sesuatu yang sudah ada sebelumnya lebih mekar, lebih luas, lebih maju, lebih baik, lebih besar, dan lebih sempurna. Pengembangan dilakukan dengan cara melakukan perbaikan terhadap sesuatu yang ada saat ini dan menambahkan inovasi-inovasi pada sesuatu yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Upaya perbaikan tersebut, menurut Hadi (2011: 191), dapat dilakukan pada peningkatan kualitas dan kuantitas pekerjaan, peningkatan layanan administrasi, dan peningkatan kualitas SDM. Dalam kasus bandha wakaf Masjid Agung Semarang, berbagai upaya pengembangan
sudah
dilakukan
oleh
para
pengelola,
yaitu
Badan
Kesejahteraan Masjid Kota Semarang, Badan Pengelola Masjid Agung Semarang, dan Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah. Penelitian ini menjelaskan bahwa BKM telah melakukan sejumlah usaha untuk mengembangkan bandha wakaf, seperti memperbaiki administrasi bandha wakaf dengan cara mendata ulang aset-aset wakaf, terutama tanahtanah wakaf yang dikuasai atau diklaim oleh pihak lain. Upaya perbaikan administrasi tersebut ditindaklanjuti dengan pembentukan tim yang bertugas menertibkan dan memberdayakan tanah-tanah bandha wakaf, seperti tim yang
227
dibentuk pada tahun 2009 untuk menertibkan tanah-tanah bandha wakaf yang terletak di Kecamatan Gayamsari, Kecamatan Semarang Timur, Kecamatan Genuk, dan Kecamatan Pedurungan. BKM juga telah berusaha meningkatkan pengelolaan tanah-tanah bandha wakaf yang berupa area persawahan di Kabupaten Demak, seperti upaya BKM pada tahun 2010 untuk menyelenggarakan lelang bagi pihak-pihak yang bermaksud memanfaatkan sawah-sawah BKM yang terletak di Desa Werdoyo. Dalam upayanya mengembangkan bandha wakaf, BKM juga telah melakukan upaya pemanfaatan aset-aset bandha wakaf yang sudah didirikan bangunan agar dapat difungsikan secara lebih baik, seperti yang dilakukan BKM untuk memaksimalkan fungsi bangunan yang komplek pertokoan wakaf produktif yang terletak di samping SPBU MAS dan komplek Wisma BKM Sejahtera yang terletak di Palebon, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang dengan cara sosialisasi kepada calon pengguna. Badan Pengelola Masjid Agung Semarang telah melakukan berbagai upaya pengembangan terhadap bandha wakaf, baik secara administratif, manajerial, maupun operasional. Secara administratif, Badan Pengelola Masjid Agung Semarang terus berupaya mencari legalitas bagi upayanya untuk mengelola dan menambah tanah-tanah bandha wakaf yang dikelolanya. BP MAS selalu berusaha meyakinkan kepada jamaah masjid, warga Kota Semarang, dan Pemerintah akan usahanya mendapatkan hak untuk mengelola bandha wakaf tersebut.
228
Secara manajerial, Badan Pengelola Masjid Agung Semarang berusaha melakukan penyegaran dengan melakukan perbaikan-perbaikan manajerial, seperti yang terjadi pada pengelola SPBU Semarang yang sebelumnya dikomandani Wahid Ahmad (2005-2012) kemudian dilanjutkan oleh Fery Pujiyanto. Secara operasional, Badan Pengelola Masjid Agung Semarang berusaha meningkatkan pengelolaan aset wakaf yang dikelolanya, seperti menambah aset wakaf dengan membeli hotel Bojong, meningkatkan manajemen SPBU sehingga mendapatkan sertifikan Pasti Pas, dan merubah wajah dan image komplek pertokoan BKM menjadi Wakaf Produktif Center. Pengelola bandha wakaf lainnya, yaitu Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah, juga telah melakukan langkah-langkah strategis dalam rangka perbaikan manajerial terhadap pengelolaan bandha wakaf. Secara fisik, bisa jadi tidak terlihat perubahan monumental terhadap Masjid Agung Jawa Tengah. Namun secara manajerial, BP MAJT telah melakukan perombakan terhadap pengelola aset-aset MAJT yang bersifat komersial. Jika pada mulanya, aset-aset wakaf tersebut dikelola oleh PT Madani Agung Jaya, maka mulai tahun 17 Mei 2010 aset-aset wakaf tersebut dikelola melalui lembaga yang dibentuk sendiri oleh BP MAJT yaitu Direktorat Operasional (Dirops) yang diketuai oleh Slamet Prayitno. Dalam perjalanannya, Badan Operasional MAJT tersebut hanya bertahan dua tahun karena sejak pertengahan Pebruari 2013, lembaga tersebut dibubarkan dan pengelolaan dikembalikan kepada BP
229
MAJT di bawah Bidang Usaha MAJT (Wawancara dengan Muhsin Jamil: 2802-2013). Uraian di atas menjelaskan bahwa para pengelola bandha wakaf telah berusaha
melakukan
upaya
pengembangan
dengan
cara
mengubah,
memperbaiki, menambah, dan memajukan, baik secara administratif, manajerial, maupun operasional, agar pengelolaan bandha wakaf menjadi lebih baik, lebih menarik, dan mendatangkan manfaat yang lebih besar. Berdasarkan konsep yang ditawarkan Ardiansyah (2011: 22), pengembangan bandha wakaf dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kinerja pemasaran atau promosi tentang unit-unit usaha bandha wakaf kepada para pengusaha atau warga masyarakat Semarang dan sekitarnya agar mereka tertarik untuk berinvestasi maupun memanfaatkan produk-produk yang ditawarkan. Dalam praktiknya, sebagian bandha wakaf telah dikelola dengan menggunakan teknik-teknik tersebut untuk meningkatkan keuntungan, seperti yang terjadi pada pengelolaan SPBU, pertokoan BKM, dan area komersial Masjid Agung Jawa Tengah. Pengelola SPBU sudah mengembangkan fasilitas dan layanan dengan mengikuti program Pertamina Way dan mendapatkan sertifikat Pasti Pas. Untuk mendapatkan dan mempertahankan sertifikat Pasti Pas, SPBU MAS dituntut senantiasa menjaga standar kinerjanya dalam bentuk fasilitas yang memadai dan layanan yang berorientasi pada kepuasan konsumen. Selain fasilitas yang lebih lengkap, BP MAS telah menambah unitunit usaha baru yang dikembangkan dalam lingkungan SPBU, seperti
230
supermarket, restoran, tempat cuci mobil, dan ATM. Peningkatan kinerja dan penambahan fasilitas tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan SPBU dan pada akhirnya dapat memberikan kontribusi lebih besar kepada pengembangan bandha wakaf secara umum. Pengembangan usaha melalui teknik ini juga dilakukan pada komplek pertokoan BKM. Dari sisi bangunan fisik, komplek ini terdiri dari sejumlah kios yang diharapkan dapat dimanfaatkan oleh para pengusaha dengan sistem kontrak. Melalui upaya ini, BKM memprediksi akan mendapatkan keuntungan lebih besar daripada desain bangunan yang hanya terdiri dari beberapa unit. Ketika perkembangan pertokoan ini tidak berjalan sesuai harapan dan setelah hak kelolanya secara de facto berpindah ke tangan Badan Pengelola MAS, sistem pengelolaannya dirubah dengan menggunakan branding pusat percontohan wakaf produktif. Perubahan manajemen yang dilanjutkan dengan perbaikan sistem marketing diharapkan dapat meningkatkan kinerja usaha tersebut sehingga menjadi lebih berkembang dan pada akhirnya dapat meningkatkan kontribusinya kepada pengembangan bandha wakaf. Teknik ini juga diterapkan pada pengelolaan area komersial yang terletak di komplek MAJT. Penambahan fasilitas masjid dan beragamnya unit usaha telah menjadikan komplek MAJT sebagai magnit yang mampu menarik banyak pengunjung dan memberikan pemasukan yang signifikan bagi pengelolaan masjid. Meskipun secara manajemen, pengelolaan MAJT terpisah dari BKM dan BP MAS, meningkatnya kinerja MAJT berdampak positif bagi pengembangan bandha wakaf.
231
Pengembangan bandha wakaf juga dilakukan dengan menerapkan ide yang dilontarkan Eriyatno. Menurut Eriyatno, pengembangan usaha dapat dilakukan dengan menggunakan empat strategi, yaitu strategi diferensiasi, diversifikasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi usaha penunjang. Berikut ini uraian
mengenai
pengembangan
bandha
wakaf
yang
dilihat
dari
implementasinya terhadap ide-ide yang ditawarkan Eriyatno tersebut, sebagai berikut: a. Implementasi Strategi Diferensiasi pada Pengembangan Bandha Wakaf Menurut
Eriyatno
(2012:
109),
strategi
diferensiasi
yang
mengandalkan pada keunggulan atau keunikan sebuah produk merupakan salah satu kunci kesuksesan dalam bisnis. Keunggulan tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk produk yang unik, layanan yang spesifik, teknik yang tidak mudah ditiru, image yang kuat akan kualitas dan keunikan produk, cara pemasaran, model kemasan, order and delivery system, fiturfitur yang berkaitan dengan tampilan dan desain, layanan purna jual, dan harga produk. Keunikan dalam strategi ini lebih ditekankan pada kualitas dan nilai manfaat yang dapat dirasakan oleh konsumen sehingga memiliki daya tarik tersendiri dan dapat menguatkan image produk. Oleh karena itu, diferensiasi tidak serta merta asal beda dengan yang lain, tidak pula asal murah, atau asal mudah dijangkau. Menurut peneliti, pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf memiliki banyak keunikan dan keunggulan. Keunikan pertama yang
232
melekat pada bandha wakaf adalah istilah bandha wakaf itu sendiri. Sebagai sebuah nama, bandha wakaf sudah menjadi brand yang kuat, khususnya bagi masyarakat Semarang. Istilah tersebut terdiri dari dua kata, yaitu bandha dan wakaf. Keduanya berasal dari bahasa yang berbeda, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Arab. Ketika digabungkan, keduanya membentuk satu istilah yang unik dan tidak ditemukan di tempat lain. Keunikan berikutnya adalah makna dari istilah wakaf yang sudah diketahui secara umum sebagai ‘amal ja>riyah dan berdimensi ibadah. Jika pada mulanya, bandha wakaf hanya diperuntukkan bagi merbot atau pengelola masjid, maka saat ini bandha wakaf telah dikenal sebagai harta benda wakaf yang bersifat produktif dan dari segi besarnya aset wakaf dapat dikatakan fenomenal. Setelah sebagian bandha wakaf dikembangkan dengan pendekatan bisnis, para pengelola mulai memanfaatkan image tersebut sebagai salah satu strategi pemasaran yang diharapkan dapat menjaring konsumen-konsumen yang bersifat loyal. Hal ini dapat ditangkap dengan jelas dari adanya tulisan yang ditempel pada SPBU Masjid Agung Semarang yang berbunyi “Selamat datang di SPBU Masjid Agung Semarang” dan tulisan lain merupakan ayat pertama dari surat alMut}affifi>n, yaitu “Celakalah bagi orang-orang yang berbuat curang”. Strategi ini dimaksudkan untuk menjaring calon-calon konsumen yang bersifat ideologis dan emosional. Pengelola bandha wakaf berusaha untuk menanamkan image pada konsumen yaitu keyakinan akan adanya unsur ibadah dan pahala ketika melakukan transaksi dengan salah satu unit
233
usaha bandha wakaf. Selain faktor wakaf, keunikan lain yang ditawarkan adalah peruntukan wakaf itu sendiri, yaitu Masjid Agung Semarang. Seperti diketahui, Masjid Agung memiliki nilai historis dan spiritual yang melekat pada sejarah Kota Semarang. Dilihat dari klasifikasinya, Masjid Agung merupakan masjid kebanggaan masyarakat yang menempati wilayah administratif kabupaten atau kota. Hal ini berarti kepemilikan Masjid Agung Semarang terkait dengan seluruh masyarakat Kota Semarang. Makna ini terlihat secara jelas pada saat pengelola Masjid Agung Semarang selalu berusaha melibatkan massa atau umat Islam untuk menuntut haknya atas kepemilikan dan pengelolaan bandha wakaf. Dalam kaitannya dengan unit-unit usaha bandha wakaf, posisi Masjid Agung Semarang dapat dijadikan sebagai strategi pemasaran dengan menanamkan image akan kepemilikan bersama terhadap masjid tersebut. Sehingga ketika ada seorang pelanggan melakukan transaksi dengan salah satu unit usaha tersebut, ia merasa sedang bertransaksi dengan lembaga yang mengusung kepemilikan bersama. Penggunaan istilah wakaf produktif bagi masyarakat Islam secara umum juga merupakan keunikan tersendiri. Selain karena istilah tersebut belum populer bagi masyarakat umum, kondisi perwakafan pada umumnya masih bersifat tradisional sehingga istilah tersebut dapat memberikan harapan baru bagi pengelolaan wakaf. Hal ini dapat dilihat dari papan nama yang dituliskan di bagian depan komplek tersebut pada saat masih dikelola
234
BKM. Penggunaan istilah percontohan wakaf produktif dimaksudkan untuk menarik perhatian orang yang melintas di jalan itu. Strategi diferensiasi dapat dilihat secara lebih jelas pada komplek Masjid Agung Jawa Tengah. Sebagian dari bangunan Masjid Agung Jawa Tengah didesain secara unik dan dapat menarik perhatian pengunjung, seperti payung elektrik raksasa dan tempat shalat di ruang terbuka yang dilengkapi dengan tiang-tiang yang membentuk gapura dan dihiasi dengan ornamentasi yang unik pula. Selain itu, beberapa area komersial pada komplek Masjid Agung Jawa Tengah didesain dengan keunikan yang mengundang kagum para pengunjung, seperti menara al-H{usna> dan restoran berputar. Berbagai keunikan dalam pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf seperti di atas turut memberikan kontribusi bagi perkembangan bandha wakaf. Namun seiring dengan perkembangan waktu dan semakin cerdasnya konsumen, berbagai keunikan yang sebagian besar bertumpukan pada alasan-asalan ideologis dapat diprediksi akan mengalami degradasi jika tidak didukung dengan keunikan-keunikan lainnya yang bersifat rasional. Secara rasional, konsumen SPBU MAS akan tetap loyal apabila dilayani dengan baik dan haknya terpenuhi. Pengunjung MAJT akan merasa nyaman jika mendapatkan apa yang dicari. Pengontrak sawah BKM akan memperpanjang masa kontraknya apabila diperlakukan secara baik dan terpenuhi haknya. Pengontrak kios pada komplek pertokoan wakaf
235
produktif akan merasa nyaman kalau usahanya di lokasi tersebut berkembang dengan baik. Sebagian dari permasalahan yang dihadapi
bandha wakaf
merupakan akibat dari buruknya manajemen yang dilakukan oleh pengelola. Para pengontrak sawah BKM di Kabupaten Demak dan Kendal merasakan adanya manajemen yang tidak benar sehingga mereka memilih untuk keluar dari mekanisme yang ditawarkan BKM. Kondisi pertokoan BKM yang tidak kondusif membuat calon pengguna tidak berminat membuka usaha di tempat tersebut. Hal ini sepertinya disadari oleh pengelola komplek pertokoan yang baru sehingga perlu melakukan penyegaran, seperti perombakan manajemen, merubah nama menjadi Wakaf
Produktif
Center,
dan
membuat
keunikan
baru
dengan
menjadikannya sebagai Pusat Grosir Sandang. b. Implementasi Strategi Diversifikasi pada Pengembangan Bandha Wakaf Menurut Suryana (2001: 116), perluasan usaha dapat dilakukan dengan cara menambah jenis usaha baru, produk, dan jasa baru yang berbeda dengan yang sekarang diproduksi, serta dilakukan dengan teknologi yang berbeda. Teknik seperti ini disebut dengan teknik diversifikasi. Diversifikasi merupakan pilihan strategis yang diterapkan para pengelola (manajer) perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya, yaitu dengan cara membuka dan mengembangkan unit-unit usaha baru selain bisnis utamanya.
236
Diversifikasi pada pengelolaan bandha wakaf dilakukan dengan memperbanyak varian jenis produk atau jasa yang ditawarkan, seperti usaha SPBU, komplek pertokoan, fasilitas di lingkungan MAJT, dan investasi tanah produktif lainnya. Pengelola bandha wakaf berusaha menawarkan berbagai macam produk atau jasa agar dapat menjaring konsumen lebih banyak sehingga keuntungan pun meningkat. Diversifikasi juga bisa dimaksudkan untuk minimalisasi risiko dari salah satu unit usaha karena jika terjadi kerugian pada unit tersebut dapat ditutup dengan keuntungan pada unit lain. Dilihat dari jenis strateginya, diversifikasi yang dilakukan terhadap bandha wakaf merupakan strategi diversifikasi yang tidak berkaitan antara satu dengan lainnya. Masing-masing bentuk pengelolaan bandha wakaf tampak tidak saling berkaitan dan merupakan bentuk usaha yang berbeda dari segi produknya maupun teknologi yang dipakai. Kelemahan lain dari bandha wakaf dari sisi ini adalah kesulitan untuk menentukan jenis usaha yang layak dijadikan sebagai bisnis utama dari bandha wakaf. Masingmasing pengelola memiliki unit usaha yang dikelola secara mandiri dan tidak terintegrasi dengan unit-unit usaha lainnya. Pengelola bandha wakaf telah merencanakan berbagai bentuk pengembangan baik dalam bentuk layanan yang sifatnya konsumtif maupun dalam bentuk unit-unit usaha baru yang bersifat produktif. Bentukbentuk pengembangan yang masih dalam tahap perencanaan tersebut berupa pembangunan pasar agro, rumah sakit, dan lembaga pendidikan
237
formal. Dari sisi bentuknya, unit-unit pengembangan yang hendak dirintis merupakan bentuk-bentuk pengembangan yang berbeda dengan bentukbentuk pengembangan yang telah ada sebelumnya. Apabila pada saatnya nanti rencana pengembangan tersebut dapat terwujud, dapat diharapkan adanya kawasan wakaf yang menawarkan berbagai macam bentuk pengelolaan dan dapat dijadikan sebagai rujukan bagi lembaga pengelola wakaf lainnya. Harapan semacam ini tidak terlalu berlebihan sebab lahannya sudah tersedia dan sebagian dari bandha wakaf yang direncanakan tersebut, yaitu kawasan yang mengelilingi MAJT, merupakan lahan yang menyatu sehingga dimungkinkan akan terbentuk kawasan wakaf terpadu yang dapat dijadikan sebagai model pengelolaan wakaf yang menggabungkan antara wakaf konsumtif dan wakaf produktif. c. Implementasi Strategi Desentralisasi pada Pengembangan Bandha Wakaf Desentralisasi merupakan strategi yang diterapkan perusahaan untuk melakukan penyebaran proses produksi dan proses distribusi. Penyebaran ini dilakukan dengan cara memberikan otonomi yang lebih luas kepada divisi-divisi. Penyebaran proses produksi dan distribusi tersebut akan diiringi dengan penyebaran risiko. Ini merupakan kelebihan dari desentralisasi. Sedangkan kelemahan desentralisasi adalah ditandai dengan lemahnya fungsi controlling dan monitoring dari manajemen pusat karena luasnya otonomi pada tingkat divisi atau bagian. Menurut Sumadji (2006: 239), manajemen pusat hanya berfungsi membuat kebijakan-kebijakan yang bersifat umum dan menyeluruh.
238
Pada kasus bandha wakaf, pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf dilakukan oleh tiga lembaga yang masing-masing memiliki otonomi penuh terhadap aset yang dikelolanya. Saat ini, masing-masing pengelola memiliki lahan-lahan bisnis yang dikelola secara terpisah, yaitu BKM mengelola area persawahan yang digarap para petani, BP MAS mengelola SPBU, WPC, dan area komersial di sekitar Masjid Agung Semarang, dan BP MAJT mengelola aset wakaf yang berada di sekitar komplek MAJT. Otoritas masing-masing terhadap unit-unit usaha yang dikelolanya bersifat penuh dan tidak berkaitan antara satu dengan lainnya. Posisi ketiganya tidak tersusun secara hirarkis sehingga tidak ada pembagian otoritas antara manajemen atas dan bawah. Secara manajerial, hal ini merupakan kelemahan yang terjadi pada pengelolaan bandha wakaf. Namun dari segi pendayagunaan aset wakaf, unit-unit usaha yang berdiri di atas lahan bandha wakaf sebagian diantaranya menghasilkan keuntungan yang besar, seperti SPBU dan area komersial pada MAJT. Dari segi ini, hanya area persawahan BKM yang tidak memberikan hasil bagi BKM karena banyaknya permasalahan yang terjadi. Sedangkan pengelolaan WPC saat ini dapat dianggap sedang dalam tahap pembenahan dan diprediksi akan segera memberikan hasil. Oleh karena itu, dari segi pengambilan keputusan, apa yang terjadi pada bandha wakaf merupakan praktik dari desentralisasi
yang
mempercayakan pengambilan keputusan pada manajemen tingkat bagian atau
divisi.
Masing-masing
lembaga
239
bertugas
mengelola
dan
mengembangkan aset-aset wakaf yang dikuasainya. Hanya saja, hal yang perlu disayangkan adalah hilangnya manajemen pusat yang menyatukan ketiga lembaga. Seandainya saja ketiganya dikendalikan oleh sebuah manajemen yang terpadu, niscaya akan terbentuk hirarki manajemen yang akuntabel. Jika masing-masing lembaga bekerja berdasarkan otoritas yang penuh, tidak demikian halnya dengan divisi-divisi yang berada di bawah ketiga lembaga tadi. Masing-masing lembaga menerapkan manajemen sentralistik terhadap unit-unit usaha yang berada di bawah kekuasannya. BP MAS yang memiliki beberapa unit usaha seperti SPBU, WPC, dan area komersial di sekitar MAS menerapkan kebijakan sentralistik terhadap unitunit usaha tersebut. Demikian pula dengan BP MAJT yang memiliki beberapa unit usaha di sekitar MAJT, seperti hotel, menara al-H{usna>, area parkir, pusat pertokoan, dan convention center melakukan sistem manajemen yang tidak memberikan otonomi luas bagi masing-masing unit usaha. Desentralisasi memiliki keunggulan bagi pengembangan bandha wakaf, yaitu terpusatnya konsentrasi masing-masing lembaga kepada pengembangan aset-aset tertentu. Bahkan, munculnya unit-unit usaha yang berdiri saat ini sebagian besar tidak didasari oleh kebijakan umum pada manajemen pusat (saat itu BKM), namun berdiri dan berkembang sebagai berkah dari hilangnya kebijakan yang bersifat sentralistik. Pada akhirnya, setelah semuanya berjalan dengan baik dan bandha wakaf mulai bergeliat
240
dan tertata secara manajerial, diharapkan pada masa-masa yang akan datang akan terjadi hirarki manajemen yang menyatukan ketiga lembaga tersebut. Pada saat itu, lembaga-lembaga pengelola bandha wakaf dapat mengelola unit-unit usaha secara otonom namun dikendalikan oleh kebijakan-kebijakan umum yang dibuat oleh manajemen yang lebih tinggi. d. Implementasi Teknik Dekonsentrasi Usaha Penunjang pada Pengembangan Bandha Wakaf Usaha penunjang (non core business) sering disandingkan dengan usaha pokok atau usaha inti (core business). Pada umumnya, setiap perusahaan memiliki dua unit usaha tersebut. Secara sederhana, usaha inti merupakan usaha yang diharapkan mampu memberikan kontribusi yang besar bagi perusahaan. Sedangkan usaha penunjang merupakan usaha yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi atau usaha yang tidak termasuk dalam kategori usaha pokok. Pada perkembangannya, kedua jenis kegiatan tersebut menjadi konsep multitafsir, mudah berubah, dan berkembang secara dinamis. Eriyatno (2012: 121) termasuk orang yang memperluas makna usaha penunjang sehingga meliputi usaha-usaha yang dikembangkan oleh masyarakat sekitar dan dapat meningkatkan nilai usaha yang dimaksud. Sebab, masih menurut Eriyatno (2012: 120), berdirinya suatu industri bisnis akan berdampak, baik secara langsung maupun tidak, pada kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar industri tersebut.
241
Sebagai lembaga yang mengelola wakaf produktif, para pengelola bandha wakaf telah melibatkan banyak mitra yang turut mempengaruhi pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf. Dalam upayanya mengelola tanah pertanian, BKM menggandeng para petani penggarap sebagai mitra BKM. BP MAS juga memiliki banyak mitra, seperti pihakpihak yang mengelola unit-unit usaha di lingkungan SPBU dan para pedagang yang mengontrak kios-kios di WPC dan di area Masjid Agung Semarang.
BP
MAJT
juga
memiliki
banyak
mitra
yang
turut
menghidupkan kegiatan bisnis di sekitar MAJT. Perkembangan bisnis bandha wakaf tidak dapat dipisahkan dari perkembangan unit-unit usaha yang dikelola mitra-mitra tersebut. Para petani penggarap area persawahan BKM akan memperpanjang kontrak jika mereka mendapatkan hasil yang baik. Para pedagang akan setia menjual dagangan mereka di kios-kios WPC jika komplek tersebut dipadati pengunjung dan dagangan mereka laku. Demikian pula halnya dengan mitra-mitra BP MAJT yang menjalankan usaha di atas lahan MAJT. Jadi, antara usaha pokok dan usaha penunjang saling berkaitan. Namun kenyataannya, mitra-mitra tersebut tidak seluruhnya merasakan kepuasan terhadap manajemen bandha wakaf sehingga para petani penggarap membelot dari kebijakan BKM, para pedagang tidak tertarik untuk membuka usaha di WPC, dan komplek pertokoan MAJT tidak menjadi tujuan bagi konsumen.
242
Strategi dekonsentrasi usaha penunjang diharapkan dapat membantu para mitra bandha wakaf untuk mengembangkan usaha mereka. Sebagai contoh, para petani penggarap dapat dikumpulkan dalam sebuah organisasi koperasi yang melayani keperluan mereka, baik dalam penyediaan modal maupun bahan-bahan pertanian. BP MAS dan BP MAJT dapat membantu para pedagang yang membuak usaha di area bandha wakaf dengan menyediakan bahan baku, membuka akses permodalan, meningkatkan kinerja pemasaran, dan kegiatan-kegiatan lain yang menunjang usaha para mitra bandha wakaf. Dalam strategi dekonsentrasi usaha penunjang ini, para pengelola bandha wakaf diharapkan turut berpartisipasi dan memfasilitasi unsurunsur yang menjadi pendukung dan pelengkap bagi aktivitas bisnis itu sendiri. Pengelola bandha wakaf juga perlu menyediakan infrastrukturinfrastruktur yang diperlukan bagi pengembangan usaha-usaha binaan dan membekali para mitra dengan keterampilan-keterampilan yang memadai untuk menjalankan usaha-usaha tersebut. Perkembangan mitra-mitra binaan bandha wakaf akan memberikan dampak positif dan memberikan nilai tambah bagi perkembangan bandha wakaf sehingga pihak pengelola perlu memberi perhatian, pelayanan, dan penanganan khusus terhadap unit-unit usaha penunjang di sekitarnya. Dengan berkembangnya usaha-usaha penunjang melalui strategi dekonsentrasi ini, diharapkan akan terjadi perluasan usaha bandha wakaf dan berdampak pada terbukanya lapangan kerja baru bagi warga di sekitar
243
lokasi bandha wakaf. Melalui strategi dekonsentrasi yang bertujuan memberdayakan mitra-mitra binaan, diharapkan dapat memunculkan banyak entrepreneur yang akan memperkaya warna-warni usaha yang berkembang di sekitar bandha wakaf.
B. Prospek Pengelolaan dan Pengembangan Bandha Wakaf Masjid Agung Semarang 1. Strategi Pengembangan Bandha Wakaf Masjid Agung Semarang Sebagai aset wakaf, bandha wakaf merupakan aset publik yang harus dikelola dan dikembangkan secara optimal agar dapat memberikan dampak kesejahteraan bagi pihak-pihak yang menjadi mauqu>f ‘alaih. Dalam mengelola dan mengembangkan bandha wakaf, para pengelola harus memperhatikan karakteristik harta wakaf yang berkaitan dengan sifat keabadian harta wakaf. Perbedaan ini berdampak pada bentuk-bentuk investasi yang dipilih untuk mengembangkan bandha wakaf. Selain berorientasi pada keuntungan, investasi bandha wakaf sebaiknya dilakukan berdasarkan kemanfaatan yang mendukung tercapainya sasaran wakaf, yaitu kesejahteraan kaum d}u’afa~>’. Para pengelola perlu menentukan skala prioritas bagi unitunit usaha yang hendak dikembangkan berdasarkan asas pemberdayaan tersebut. Pada praktiknya, pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf telah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam investasi wakaf tersebut. Hal ini dapat
244
dilihat dari bentuk-bentuk pengembangan yang lebih banyak menekankan pada keabadian aset. Bentuk-bentuk investasi yang memiliki risiko besar selama ini belum berhasil dijalankan oleh para pengelola. Terbatasnya bentuk-bentuk pengelolaan dan pengembangan tersebut menyebabkan bandha wakaf terkesan lambat dan belum mampu memenuhi harapan masyarakat sebagai stakeholders. Para pengelola bandha wakaf perlu melakukan langkah-langkah sistematis untuk mempercepat pengembangan bandha wakaf. Langkah-langkah tersebut adalah melakukan sosialisasi secara masif agar terbentuk opini wakaf produktif di kalangan masyarakat pengguna, mengembangkan fundraising, dan menggugah kesadaran umat Islam melalui pendekatan kegamaan dan kesejahteraan sosial. a. Membentuk Opini Bandha Wakaf sebagai Wakaf Produktif Kuatnya dominasi wakaf konsumtif telah membuat wakaf produktif dan tidak banyak dikenal oleh umat Islam di Indonesia. Pengelola wakaf produktif dituntut bekerja keras untuk memperkenalkan paradigma wakaf tersebut agar mendapatkan respon yang lebih positif dari masyarakat. Pengelola bandha wakaf, khususnya Badan Pengelola Masjid Agung Semarang, telah berusaha melakukan hal itu melalui berbagai media publikasi yang dimiliki. Media publikasi utama bagi BP MAS tentu saja Masjid Agung Semarang itu sendiri yang memiliki basis jamaah cukup besar. Pada even-even yang melibatkan banyak jamaah, seperti pelaksanaan shalat Jumat, pengurus Masjid seringkali menyampaikan pengumuman sebelum khutbah dimulai mengenai kondisi bandha wakaf yang sebagian
245
besar diantaranya dikuasai BKM. Media lisan juga dilakukan takmir Masjid melalui pengeras suara yang dikumandangkan beberapa saaat sebelum dan sesudah pelaksanaan shalat fardhu dan dapat didengar oleh sebagian pengunjung Pasar Johar. Selain melalui media lisan, takmir Masjid juga memanfaatkan papan-papan pengumuman masjid untuk melaporkan perkembangan bandha wakaf dan beberapa program yang akan dilakukan dilakukan Badan Pengelola. Badan Pengelola juga menggunakan media cetak, seperti koran Suara Merdeka, untuk menyampaikan perkembangan bandha wakaf dan pentingnya pengelolaan secara produktif. Apa yang dilakukan Badan Pengelola Masjid Agung Semarang perlu ditingkatkan, dilakukan secara kontinyu, dan tidak terbatas pada momen-momen tertentu. Badan Pengelola MAJT dan BKM perlu mencontoh semangat yang ada pada Badan Pengelola MAS agar terjadi keterpaduan visi dan langkah dalam mengelola aset yang sama. Apabila hal itu terjadi, program-program bandha wakaf diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi peningkatan kesejahteraan kaum d}u’afa>~ dalam berbagai bidang kehidupan. Masyarakat pengguna wakaf (stakeholders) perlu diingatkan secara terus-menerus bahwa institusi wakaf telah dicatat sejarah sebagai salah satu penopang peradaban umat Islam. Sasaran wakaf telah merambah ke seluruh bidang kemaslahatan seperti masjid, mushalla, sekolah, tanah pertanian, rumah, toko, kebun, pabrik roti, bangunan kantor, gedung pertemuan,
246
tempat perniagaan, pasar, tempat pemandian, gudang beras, dan lain-lain (Erfanie, 2008: 303). Dalam bidang pendidikan, wakaf turut memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Pada masa itu, para pengajar atau guru dapat bekerja dengan baik karena nafkahnya dapat tercukupi dari hasil keuntungan wakaf. Para pelajar pun dapat belajar dengan tenang dan tenteram sepanjang waktu karena mendapat jaminan tempat tinggal, pakaian, makanan, dan kebutuhan hidup lainnya (Erfianie, 2008: 304). Wakaf berperan penting dalam memajukan kegiatan-kegiatan ilmiah, seperti memfasilitasi para sarjana dan mahasiswa berbagai sarana dan prasarana yang memadai untuk melakukan berbagai kegiatan riset guna menyelesaikan studi mereka. Berbagai program penulisan buku, penerjemahan, dan kegiatan ilmiah lainnya dalam berbagai cabang ilmu dibiayai oleh lembaga wakaf (Erfanie, 2008: 304). Pada masa sekarang, perkembangan wakaf mengalami dinamika pasang surut. Namun hal itu tidak menafikan adanya ikhtiya>r dari berbagai negara untuk menyelenggarakan kembali pengelolaan wakaf agar dapat menjalankan fungsinya sebagai institusi yang concern terhadap kesejahteraan umat. Menurut Arnaut (2000: 84), wakaf pada era modern telah mengalami pergeseran dari paradigma wakaf tradisional yang berbasis pada wakaf tanah dan bangunan menuju era wakaf yang lebih luas. Di antara bentuk kongkritnya adalah adanya kesadaran baru untuk mewakafkan sejumlah uang yang cukup besar untuk disimpan dalam
247
bentuk deposito mud}a>rabah pada salah satu bank Islam, kemudian hasilnya yang berupa bagi hasil dari deposito tersebut disalurkan pada peningkatan kualitas SDM dan penelitian-penelitian ilmiah. Paradigma wakaf produktif dan keberhasilan pengelolaan wakaf di berbagai belahan dunia diupayakan dapat tersosialisasi dengan baik, menjadi pelecut motivasi bagi para pengelola bandha wakaf, dan membentuk opini yang kuat mengenai peran wakaf produktif dalam mewujudkan kesejahteraan. Menurut As}-S{alah}a>t (2006: 110), banyak faktor yang turut berperan dalam membetuk opini masyarakat tentang wakaf, diantaranya menjalin komunikasi, baik secara luas maupun individual, dan sosialisasi melalui media masa, baik media cetak maupun visual. Membentuk opini juga bisa dilakukan melalui pendekatan-pendekatan kepada tokoh-tokoh berpengaruh di masyarakat (reference groups), seperti tokoh politik, tokoh agama, tokoh ekonomi, tokoh organisasi kepemudaan, dan lain sebagainya. As}-S{alah}a>t (2006: 110) menawarkan beberapa metode yang dapat dilakukan pengelola bandha wakaf untuk membentuk opini wakaf, yaitu metode metode al-is|a>rah (menyentuh emosi), metode at-tah}ri>d} (provokasi), metode at-tikra>r (pengulangan), dan metode t{arh} alh{aqa>’~iq (mengungkap fakta) Metode al-is|a>rah dapat dilakukan pengelola bandha wakaf dengan cara menyentuh perasaan umat Islam untuk berwakaf khususnya pada waktu-waktu yang tepat seperti bulan Ramadan dan saat-saat
248
emosional pada dalam kehidupan seseorang, seperti saat sedih karena kematian atau sakit parah dan saat senang karena banyaknya nikmat dalam hidup (As}-S{alah}a>t, 2006: 110). Metode provokatif (at-tah}ri>d}) dilakukan dengan cara menyentuh perasaan g}i>rah atau semangat keberagamaan pada situasi-situasi tertentu yang dapat menyalakan g}i>rah keislaman. Metode ini telah dilakukan Badan Pengelola Masjid Agung Semarang dengan cara memanfaatkan kontroversi tukar guling bandha wakaf yang telah tersebar di masyarakat luas untuk membentuk opini pentingnya wakaf dan urgensinya bagi perkembangan Islam di Kota Semarang dan sekitarnya.57 Metode at-tikra>r (pengulangan) dilakukan Badan Pengelola MAS dengan cara mengulang-ulang informasi mengenai bandha wakaf dan beberapa program pengembangannya, misalnya pada setiap hari Jumat sebelum khutbah dimulai. Metode mengulang-ulang informasi termasuk metode
yang efektif
untuk
menguatkan
opini
pada masyarakat.
Pengulangan yang dimaksud bukan berarti pengulangan kata-kata semata, melainkan pengulangan hakikat informasi yang disampaikan dengan berbagai teknik untuk menghindari kejenuhan (As}-S{alah}a>t, 2006: 111). Metode {t}arh} al-h{aqa>’~iq (mengungkap fakta) dilakukan dengan mengungkap fakta apa adanya. Untuk mendapatkan simpati dari masyarakat, BP MAS sering menyampaikan fakta bahwa Masjid Agung 57
Realitanya, metode ini berhasil menyelamatkan sebagian bandha wakaf Masjid Agung Semarang dari PT Sambirejo dan dikembalikan hak kelolanya kepada nazhir yang ditunjuk oleh Menteri Agama saat itu, yaitu BKM Kota Semarang. Metode ini pula yang dipakai Badan Pengelola Masjid Agung Semarang untuk mendapatkan hak kelola atas bandha wakaf Masjid Agung Semarang dari tangan BKM Kota Semarang ke Badan Pengelola Masjid Agung Semarang.
249
Semarang memiliki bandha wakaf yang luas namun dikelola oleh BKM secara tidak amanah dan tidak menyalurkan hasilnya kepada masjid. Informasi ini pada dasarnya merupakan informasi yang sudah diketahui masyarakat luas karena telah disebarluaskan oleh media. Namun apabila pengungkapan fakta dilakukan secara berlebihan justru dapat berdampak kontra produktif bagi terbentuknya opini mengenai pesan yang hendak disampaikan (As}-S{alah}a>t, 2006: 111). Jika Badan Pengelola MAS tampak aktif menyampaikan ragam informasi mengenai kondisi bandha wakaf, tidak demikian halnya dengan BP MAJT dan BKM. Informasi-informasi yang disampaikan BP MAJT lebih banyak berkaitan dengan kegiatan-kegiatan MAJT sedangkan BKM tidak banyak menjelaskan kondisi bandha wakaf kepada publik. b. Strategi Pengembangan Bandha Wakaf dengan Fundraising Penggalangan dana untuk meningkatkan kinerja bandha wakaf melalui fundraising akhir-akhir ini gencar dilakukan oleh Badan Pengelola Masjid Agung Semarang, khususnya pada saat penggalangan dana untuk menyelesaikan pembelian hotel Bojong. Secara teoritik, meskipun wakaf produktif dikelola dengan manajemen perusahaan, pengelola wakaf produktif memiliki mekanisme penggalangan dana atau modal yang lebih prospektif karena dapat dilakukan melalui mekanisme fundraising. Fundraising wakaf dapat diartikan sebagai kegiatan menghimpun atau menggalang dana wakaf dari masyarakat, baik individu, kelompok, organisasi, atau perusahaan, yang akan disalurkan dan didayagunakan bagi
250
mauqu>f ‘alaih. Bagi lembaga wakaf, fundraising merupakan kegiatan yang penting bagi lembaga wakaf dalam rangka mengelola program dan mengembangkannya agar dapat mencapai maksud atau tujuan yang diharapkan (Sani, 2010: 25). Dari segi tujuan, kegiatan fundraising wakaf paling tidak memiliki 5 tujuan, yaitu menghimpun dana wakaf, menghimpun donatur atau wakif, menghimpun simpatisan, membentuk brand image, dan memberikan kepuasan bagi wakif atau donatur. Menghimpun harta wakaf merupakan tujuan utama dari fundraising wakaf. Bila aktifitas fundraising tidak berhasil mendapat harta wakaf baru berarti kegiatan fundraising tersebut dinyatakan gagal, meskipun bisa jadi berhasil menimbulkan impact positif selain berupa harta (Sani, 2010: 25). Penggalangan dana wakaf baru bagi pengelolaan bandha wakaf dilakukan secara insidentil dan tampak tidak terstruktur. Seperti yang dilakukan BP MAS pada saat membeli hotel Bojong dan rencana pembangunan Islamic Center. Pengelola bandha wakaf lebih banyak menempuh jalur permohonan bantuan dan penawaran kerjasama dengan pihak-pihak lain sebagai mitra dalam pengelolaan dan pengembangan bandha benda wakaf. Karena upaya menggalang dana wakaf baru tidak banyak dilakukan para pengelola bandha wakaf, maka kegiatan menghimpun donatur tidak dapat dijalankan secara maksimal. Kegiatan ini sulit dilakukan para pengelola bandha wakaf karena penggalangan dana tidak dilakukan secara reguler namun lebih bersifat insendentil. Semestinya kegiatan fundraising
251
wakaf tidak terhenti pada upaya menghimpun harta wakaf saja, melainkan berusaha untuk menghimpun para wakif dan donatur lainnya dan berusaha memberikan apresiasi atau layanan yang diharapkan dapat memperkuat trust mereka kepada lembaga wakaf. Sani (2010: 25) menyebut tujuan kedua ini dengan istilah me-maintain donatur. Kegiatan fundraising berikutnya yang dapat dilakukan para pengelola bandha wakaf adalah menghimpun simpatisan atau pendukung. Hal ini perlu dilakukan karena tidak setiap orang yang diprospek untuk berwakaf mampu melakukannya. Di antara mereka, ada yang menolak dan ada yang bersedia. Adalagi sekelompok orang yang tidak bisa berwakaf saat itu karena tidak memiliki harta yang memadai, namun memiliki keinginan di masa yang akan datang dan menyimpan rasa simpati yang tinggi dengan aktifitas lembaga wakaf. Kelompok seperti ini tidak selayaknya dibiarkan begitu saja, sebab mereka dapat diberdayakan untuk membantu
kegiatan
fundraising
wakaf,
baik
sebagai
simpatisan,
pendukung, maupun sukarelawan. Kelompok ini bisa diharapkan menjadi informan positif bagi program-program bandha wakaf kepada orang lain. Dengan adanya simpatisan ini, pengelola bandha wakaf memiliki jaringan informasi informal yang menguntungkan bagi kegiatan fundraising (Sani, 2010: 26). Kegiatan berikutnya yang perlu dilakukan bagi penggalangan dana wakaf adalah membangun brand image mengenai bandha wakaf. Citra yang positif tentang bandha wakaf akan berdampak pada perilaku
252
masyarakat
untuk
mendukung
dan
diharapkan
selanjutnya
akan
menyalurkan harta wakafnya melalui lembaga yang mengelolanya. Sebaliknya, citra negatif terhadap bandha wakaf dapat menghalangi maksud calon wakif untuk berwakaf (Sani, 2010: 27). Saat ini, posisi BP MAS di mata masyarakat sedang dalam kondisi yang mendukung bagi pencitraan yang baik bagi bandha wakaf. Selain karena sedang gencar menyampaikan perkembangan bandha wakaf, kondisi BP MAS yang dicitrakan sebagai pihak yang dirugikan oleh BKM dapat mendapatkan simpati dari masyarakat. Dalam kegiatan fundraising, kegiatan yang tidak boleh disepelekan adalah memberikan kepuasan bagi donatur atau wakif. Kepuasan wakif atau donatur bagi kegiatan fundraising wakaf merupakan goal in the long run. Jika wakif baru merasakan kepuasan terhadap kinerja bandha wakaf, maka hal itu akan berdampak positif bagi kegiatan fundraising. Wakif atau donatur yang merasa puas akan memiliki trust terhadap kinerja bandha wakaf sehingga diyakini akan menyalurkan harta wakaf atau donasinya kepada lembaga tersebut.58 Adakalanya sebagian donatur merasa loyal dengan bandha wakaf sehingga dapat menjadi tenaga fundraiser informal atau simpul-simpul bagi penghimpunan harta wakaf dari calon wakif atau donatur lainnya (Sani, 2010: 27). Sebaliknya, donatur yang tidak puas diyakini akan menghentikan donasinya dan dapat membawa image negatif bagi kegiatan fundraising bandha wakaf. Oleh karena itu, kegiatan 58
Penelitian PIRAC tahun 2007 menyebutkan bahwa alasan utama seorang muslim untuk berderma menempatkan motivasi keagamaan sebagai motivasi tertinggi, yaitu mencapai 96 % (Abidin, 2008: 88). Penelitian PIRAC (2007), sebab donasi adalah adanya trust kepada lembaga.
253
fundraising wakaf erat kaitannya dengan kegiatan mengelola, memelihara, dan memuaskan wakif atau donatur. c. Strategi Pengembangan Bandha Wakaf melalui Pendekatan Keagamaan Pendekatan keagamaan diyakini masih memiliki peran yang besar bagi berkembangnya dunia perwakafan. Wakaf diyakini oleh umat Islam sebagai bagian dari ‘amal ja>riyah. Lembaga wakaf perlu menggandeng tokoh-tokoh agama untuk menjalankan program sosialisasi wakaf melalui pendekatan ‘amal ja>riyah. Lingkungan masyarakat di sekitar Masjid Agung Semarang merupakan masyarakat agamis sebagaimana layaknya lingkungan Kauman di kota-kota lain. Dukungan masyarakat Kauman kepada BP MAS diharapkan dapat membantu pencapaian program-program pengembangan bandha wakaf. Kondisi ini tampak dipahami dengan baik oleh BP MAS sehingga tawaran untuk berinfak, bersedekah, dan berwakaf senantiasa dikaitkan dengan janji-janji Allah dalam al-Quran dan janji-janji Rasulullah SAW dalam hadis bagi orang-orang yang mau berinfak di jalan Allah. d. Strategi Pengembangan Bandha Wakaf melalui Pendekatan Kesejahteraan Sosial Pendekatan pemberdayaan yang bersifat ekonomi tampak belum banyak dilakukan oleh ketiga pengelola bandha wakaf. Hal ini dapat dimaklumi karena kondisi bandha wakaf itu sendiri yang belum dapat sepenuhnya mampu memberdayakan mauqu>f ‘alaih sehingga belum dapat diharapkan memberikan kontribusi nyata bagi pemberdayaan masyarakat
254
d}u’afa>
di
sekitar
Masjid
Agung
Semarang.
Program-program
pemberdayaan yang sudah dilakukan masih terbatas pada kajian-kajian agama dan layanan kesehatan melalui klinik MAS dan klinik MAJT. Layanan yang berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi dalam batas-batas tertentu dilakukan melalui lembaga amil zakat pada MAS dan MAJT yang telah menyalurkan zakat, infak, dan sedekah kepada mustahik. Melalui pendekatan kesejahteraan sosial, wakaf diharapkan menjadi solusi bagi realitas problematika kehidupan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Kondisi sosial ekonomi mayarakat yang tidak seimbang yang diakbitkan oleh kesenjangan yang besar antara orang kaya dengan orang miskin diduga menjadi salah satu faktor penting bagi terjadinya konflik sosial (Djunaidi, 2008: 19). 2. Pengembangan SDM pada Pengelolaan Bandha Wakaf Di antara permasalahan yang dihadapi bandha wakaf adalah konflik menajemen yang melibatkan sesama pengelola bandha wakaf. Konflik itu berasal dari sikap BKM yang merasa berhak mengelola bandha wakaf berdasarkan KMA Nomor 92 Tahun 1962 dan sikap Badan Pengelola MAS yang merasa terhalangi haknya untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan bandha wakaf tersebut. Pada kenyataannya, kondisi bandha wakaf yang selama ini dikelola BKM tidak menunjukkan perkembangan positif, bahkan sebagian bandha wakaf diklaim Badan Pengelola MAS telah berpindah tangan kepada pihakpihak yang tidak memiliki hak untuk mengelolalnya. Badan Pengelola MAS
255
menuduh BKM tidak cukup amanah mengelola bandha wakaf karena memang status anggota BKM merupakan pejabat pada Kementerian Agama dan tidak mungkin diharapkan mencurahkan perhatian secara penuh kepada bandha wakaf. Padahal mengelola aset wakaf yang dilakukan dengan pendekatan paradigma wakaf produktif tidak mungkin dikerjakan secara amatir dan paruh waktu. Pengelolaan aset wakaf produktif menuntut kompetensi manajerial dan kewirusahaan yang mampu mengembangkan aset-aset wakaf secara produktif sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal bagi stakeholders wakaf. Selain itu, kondisi bandha wakaf yang menjadi sumber konflik sebenarnya merupakan ironi bagi dunia philanthropy Islam karena konsep wakaf merupakan perbuatan yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila> Alla>h) dan berdimensi pemberdayaan sosial. Makna yang demikian seharusnya menjadi sumber inspirasi bagi kebersamaan dalam kebaikan (ta’a>wun ala> al-birri) dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, konflik internal pada pengelolaan wakaf perlu ditelusuri sebabnya dan dicari solusinya. Sebagaimana halnya konflik kepentingan dalam bidang pekerjaan lainnya, sikap mementingkan diri sendiri dan mengesampingkan sikap simpati dan empati kepada pihak lain sering menjadi sebab bagi munculnya ketegangan-ketegangan dalam hubungan sesama manusia. Pada pembahasan ini, peneliti berusaha menawarkan konsep kecerdasan emosi, spiritual, dan moral sebagai ikhtiyar mencari jalan terbaik bagi penyelesaian konflik internal dalam manajemen wakaf.
256
Berdasarkan hasil wawancara dengan BKM dan Badan Pengelola MAS, peneliti menemukan keseragaman pendapat akan pentingnya produktivitas bandha wakaf sehingga mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi stakeholders wakaf. Peneliti juga menemukan harapan akan adanya solusi berupa win-win solution bagi pihak-pihak yang berkepentingan. BKM sebenarnya tidak berkepentingan dengan bandha wakaf kecuali sekedar menjalankan amanah KMA di atas (Wawancara dengan Arifin: 17-02-2011). Badan Pengelola MAS juga siap mencari jalan tengah yang menguntungkan kedua belah pihak (Wawancara dengan Hasan Toha Putra: 16-04-2012). Berdasarkan uraian di atas, pengembangan sumber daya manusia (SDM) bagi pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf dapat dilakukan melalui pengembangan dua bidang, yaitu pengembangan kewirausahaan (entrepreneurship) dan pengembangan kecerdasan emosi dan spiritual. a. Menggagas Nazhir Entrepreneur bagi Pengembangan Bandha Wakaf Sebagaimana organisasi pada umumnya, semua potensi sumber daya nazhir dalam organisasi pengelola bandha wakaf berpengaruh dalam upaya lembaga wakaf mencapai tujuannya. Dalam ilmu manajemen dinyatakan bawah sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor sentral dalam suatu organisasi. Dari keseluruhan sumber daya yang dimiliki organisasi, sumber daya manusia diyakini memiliki peran penting dan menentukan (Gomes, 2003: 2). Sumber daya nazhir dalam mengelola wakaf seringkali dijadikan sorotan bagi kondisi harta wakaf yang tidak dikelola dengan benar. Betapapun banyaknya aset wakaf yang dimiliki
257
sebuah lembaga wakaf, jika tidak didukung sumber daya manusia yang kompeten, lembaga wakaf tersebut diyakini tidak dapat memberikan manfaat yang maksimal. Pengelolaan bandha wakaf merupakan salah satu bukti nyata dari lembaga wakaf yang memiliki aset besar namun tidak dapat memberikan manfaat yang maksimal. Selain jumlahnya yang besar, banyak di antara bandha wakaf yang terletak pada lokasi strategis atau memiliki potensi dikembangkan sesuai dengan karakteristik tanahnya. Secara teoritis, tidak ditemukan kendala berarti bagi pengembangan bandha wakaf jika dikelola oleh tenaga-tenaga terampil dalam manajerial dan dalam dunia usaha. 1) Kompetensi Nazhir dalam Mengelola dan Mengembangan Bandha Wakaf Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2002: 516), kompetensi berarti kewenangan atau kecakapan untuk memutuskan sesuatu. Hal itu berarti, kompetensi merupakan dasar bagi kerja profesional. Artinya, profesionalisme tidak akan terwujud tanpa ada kompetensi yang mendukung. Seorang nazhir tidak mampu bekerja secara profesional jika tidak memiliki kompetensi yang diperlukan untuk menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Secara garis besar, macam-macam kompetensi yang harus dipenuhi seorang nazhir agar menjadi nazhir amanah dan profesional dibedakan menjadi dua, yaitu kompetensi yang berhubungan dengan keagamaan atau di>niyyah yang dalam kajian fikih klasik disebut
258
dengan syarat ‘ada>lah, dan kompetensi yang berhubungan dengan kemampuan nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf, atau yang biasa disebut dengan syarat kifa>yah. Kompetensi
di>niyyah
adalah
kompetensi
nazhir
yang
berhubungan dengan keagamaan, seperti yaitu ilmu syar'i> dan pengamalannya, ditambah lagi dengan maksud institusi wakaf yaitu dalam rangka berdakwah dan menyampaikan ajaran agama Islam kepada umat manusia. Dengan demikian, kompetensi di>niyyah dapat dibagi menjadi tiga, yaitu kompetensi ‘ilmiyyah-di>niyyah, yaitu kompetensi nazhir yang berkaitan dengan ilmu-ilmu keislaman, kompetensi ‘amaliyyah-syar'iyyah, yaitu berkaitan dengan pengamalan agama Islam, dan kompetensi da'wiyyah, yaitu kompetensi nazhir yang berkaitan dengan tugas-tugas dakwah. Kompetensi kifa>yah adalah kompetensi yang mengacu kepada kemampuan
nazhir
memanfaatkan,
dalam
memelihara,
mengembangkan,
menjaga,
melindungi,
menginvestasikan
dan
mendistribusikan hasil atau keuntungan wakaf kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya (as}h}a>b al- istih}qa>q). Kompetensi kifa>yah dapat dibagi menjadi dua, yaitu kompetensi yang berhubungan dengan manajemen dan kompetensi yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi-bisnis. Kompetensi manajerial adalah kemampuan memahami dan mengaplikasikan fungsi manajemen yang terdiri dari empat fungsi, yaitu planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), directing
259
(pengimplementasian) dan controlling (pengendalian). Artinya, nazhir harus mampu merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan mengawasi organisasi wakaf yang berada dalam wilayah organisasinya. Sedangkan kompetensi yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi-bisnis, seorang nazhir harus memiliki keinginan yang kuat untuk mengembangkan usaha, berpengalaman dan atau siap untuk dimagangkan, mempunyai ketajaman melihat peluang usaha, memiliki jiwa entrepreneur, dan mampu menjalin komunikasi dalam rangka memperkuat jaringan. 2) Pentingnya Entrepreneurship bagi Pengembangan Bandha Wakaf. Padanan kata entrepreneur dalam bahasa Indonesia adalah wirausaha atau wiraswasta. Jaih Mubarok (2008: 172) mengutip elaborasi Schumpeter mengenai kewiraswastaan yang menekankan pada aspek kemampuan naluriah dalam mengombinasikan 5 hal yaitu: (1) pengenalan barang baru, (2) metode produksi baru, (3) pasar baru, (4) penyediaan bahan mentah baru, dan (5) organisasi industri baru. Entrepreneur memiliki karakter yang tidak dimiliki selain entrepreneur.
Demikian
pula,
entrepreneur
muslim
memiliki
keunggulan yang tidak dimiliki entrepreneur lainnya, yaitu dimensi religius yang menyatu dalam budaya kewirausahaannya. Karakterkarakter yang harus dimiliki seorang entrepreneur diantaranya mempunyai visi dan misi, mampu melihat peluang secara jeli dan cermat, inovatif dan kreatif, memiliki keberanian untuk memulai,
260
pandai beradaptasi dengan gejala perubahan, berupaya secara sungguhsungguh untuk bermanfaat bagi orang lain, berani mengambil risiko, mampu memanfaatkan sumber daya secara efektif dan efisien, menghargai setiap masukan dan kritikan yang membangun, berorientasi pada kepuasan konsumen, berorientasi pada pengembangan usaha, berjiwa kompetisi, selalu menjaga motivasi dan etos kerja, dan tentu saja memiliki jiwa leadership yang baik. Selain memiliki sifat-sifat dasar entrepreneurship seperti di atas, entrepreneur muslim memiliki keunggulan dari segi integritas pribadinya yang lahir dari dorongan agama dan keterikatannya dengan Allah. Integritas entrepreneur muslim tersebut diantaranya bekerja dengan niat ibadah, berpedoman pada akhlak yang baik kepada Allah, motivasinya bersifat vertikal dan horisontal, memandang profesi sebagai amanah, menjadikan bekerja sebagai sarana berdakwah, dan komitmen terhadap pemberdayaan kaum d}u’afa>. Bandha wakaf perlu dikelola dan dikembangkan oleh nazhir yang memiliki jiwa entrepreneurship. Karakteristik nazhir entrepreneur diharapkan dapat mengembangkan bandha wakaf dengan cepat, memunculkan banyak ide bisnis, memperluas jaringan dan mitra, baik sesama nazhir, pelaku usaha, maupun pemerintah. Nazhir entrepreneur diharapkan menjadi solusi bagi pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf yang tidak maksimal dan, secara lebih luas, menjadi jawaban
261
dari adanya perubahan paradigma dalam pengelolaan wakaf, yaitu dari paradigma tradisional menuju paradigma wakaf produktif. Perubahan paradigma wakaf juga semestinya diikuti dengan perubahan paradigma pengelolanya. Kompetensi yang dibutuhkan untuk mengelola wakaf produktif berbeda dengan syarat-syarat nazhir tradisional. Kompetensi yang berkaitan dengan entrepreneurship diyakini memiliki banyak keunggulan dan dampak positif bagi lembaga wakaf. Sebab, untuk menjadi nazhir entrepreneur disyaratkan memiliki sifat-sifat dasar seorang entrepreneur dan integritas sebagai nazhir yang bertanggung jawab mengelola harta umat yang dikelola melalui lembaga wakaf. Untuk mewujudkan nazhir entrepreneur bukan merupakan perkara mudah, sebab akan menghadapi banyak kendala, baik yang berkaitan dengan sistem perwakafan maupun wacana entrepreneurship yang memang masih menjadi persoalan tersendiri bagi kemandirian bangsa Indonesia ini, termasuk umat Islam. Oleh karena itu, diperlukan kerja keras dan percepatan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut dengan semangat entrepreneurship yang sudah dimiliki oleh pemerhati dan peneliti wakaf agar wacana wakaf produktif segera dapat diimplementasikan dan institusi wakaf dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan apa yang diharapkan. b. Pentingnya Kecerdasan Emosi dan Spiritual bagi Pengelola Bandha Wakaf Pengelolaan bandha wakaf mengajarkan permasalahan yang
262
muncul dalam mengelola wakaf tidak hanya berkaitan dengan kompetensi nazhir secara keagamaan (di>niyyah) maupun manajerial (kifa>yah). Pengelolaan bandha wakaf yang dilakukan oleh tiga lembaga dan ditandai dengan buruknya komunikasi di antara lembaga-lembaga tersebut memunculkan gagasan akan pentingnya nazhir yang bekerja dengan didasari kemampuan bekerjasama dan mementingkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam mengelola sumber daya manusia, diyakini bahwa kesuksesan pengelolaan bandha wakaf tidak semata-mata didasarkan keterampilan dan kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi dari para pengelola, tetapi didasarkan juga pada kecerdasan emosional (Emotional Quotient/EQ). Goleman (2001: 35) menyatakan bahwa semakin komplek pekerjaan seseorang, semakin besar kebutuhannya akan kecerdasan emosi. Kekurangan dalam kecerdasan ini dapat mempengaruhi kemampuannya dalam bidang teknis atau bahkan dapat mengganggu kecemerlangan otak yang dimilikinya. Menurut Gardner dalam Goleman (2004: 50), kesuksesan seseorang dalam hidup tidak hanya didasarkan pada satu jenis kecerdasan yang monolitik, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar. Mengomentari hal ini, Goleman (2004: 51) menyatakan bahwa kata kunci dalam pandangan terhadap kecerdasan ini adalah kegandaan atau multiple. Kecerdasan model Gardner ini melampui konsep IQ sebagai faktor tunggal
263
yang tidak dapat diotak-atik.59 Kecerdasan emosi bagi pengelola bandha wakaf merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan diri dan perasaan para pengelola lainnya, kemampuan memotivasi diri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan para pengelola yang lain. Di antara manifestasi penting bagi kecerdasan emosional adalah mampu memahami diri secara objektif, mampu menanggapi kesedihan dan kegembiraan secara tepat, dan mampu mengekspresikan rasa cinta dan empati kepada orang lain secara proporsional (Hendrawan, 2009: 62). Setelah itu, pengelola bandha wakaf perlu berbekal dengan apa yang dikenal dengan kecerdasan spiritual atau spiritual quotient. Spiritual adalah sesuatu yang berhubungan dengan spirit. Dalam bahasa Arab, kata ini biasa disebut ru>h}aniyah yang diambil dari kata ruh atau ma’nawiyah yang diambil dari kata makna. Keduanya mengandung konotasi yang berkaitan dengan realitas yang lebih tinggi daripada bagian dari manusia yang bersifat materiil (Hendrawan, 2009: 18). Danah Zohar dan Ian Marshall merumuskan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan
59 Howard Gardner merumuskan delapan bentuk kecerdasan, yaitu kecerdasan musical, kinestetik (kecerdasan menari), visual (kecerdasan menggambar, mengekspresikan sesuatu dalam bentuk lukisan), logis matematis, interpersonal (personal), intrapersonal (berpikir refleksi), linguistic (menggunakan bahasa), dan naturalistik. Gardner tidak memasukkan kecerdasan spiritual di dalam delapan bentuk kecerdasan tersebut, karena menurutnya kecerdasan spiritual tidak memiliki tempat di otak kita seperti kecerdasan-kecerdasan lainnya. Kecerdasan interpersonal ini kemudian dikembangkan oleh peneliti-peneliti berikutnya, termasuk Daniel Goleman, dan menyebutnya sebagai kecerdasan emosional.
264
kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain (Zohar, 2007: 4). Cerdas spiritual berbeda dengan sikap relijius yang menampilkan praktik-prkatik agama atau ibadah, seperti rajin shalat, rajin ke masjid, rajin berdoa, dan sebagainya. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan orang dalam memberi makna bagi kehidupannya. Dengan SQ, seseorang bisa menjadi lebih cerdas secara spiritual dalam beragama, sebab SQ mampu menghubungkan seseorang dengan makna dan ruh esensial di balik agama yang dianutnya. Orang yang memiliki SQ tinggi, akan mampu menjalankan praktik agama tertentu, namun tidak melakukannya dengan picik, fanatik, atau prasangka (Zohar, 2007: 12). Meskipun SQ dan EQ berbeda, keduanya memiliki muatan yang sama-sama penting untuk bersinergi satu sama lain, yang kemudian oleh Ary Ginanjar Agustian digabungkan menjadi kecerdasan emosional dan spiritual atau lebih dikenal sebagai Emotional and Spiritual Quotient (ESQ). ESQ mampu mengintegrasi kekuatan otak dan hati manusia dalam membangun karakter dan kepribadian yang tangguh, yang didasari nilainilai mulia kemanusiaan, yang pada akhirnya akan tercapai kemajuan dan keberhasilan melalui sumber daya manusia yang berkualitas, yang tidak hanya cerdas secara intelektual, namun juga diimbangi dengan kecerdasan emosi-spiritual yang tinggi pula. Menurut Agustian (2001: 57), kecerdasan spiritual dalam format ESQ adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap
265
perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya, dan memiliki pola pemikiran tauhidi, serta berprinsip ikhlas karena Allah semata. Pengelola bandha wakaf yang memiliki kecerdasan emosi-spiritual diharapkan dapat mengenali, memahami perasaan dan suara hati, baik hatinya sendiri maupun orang lain, membangun ketangguhan pribadi, dan membangun ketangguhan sosial. Selain itu, nazhir bandha wakaf diharapkan dapat merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya kepekaan emosi sebagai informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi untuk mencapai sinergi, yakni saling menjalin kerjasama antara seseorang atau kelompok orang dengan orang lain atau kelompok lain dan saling menghargai berbagai perbedaan, yang bersumber dari suara hati manusia sebagai dasar mengenali dan memahami bagian terdalam dari suara hati kita sendiri, juga perasaan serta suara hati orang lain. Rumusan ESQ Model yang dikembangkan Ary Ginanjar Agustian berusaha menjangkau nilai-nilai ketuhanan dalam hal pengembangan karakter dan kepribadian, yaitu berdasarkan nilai-nilai rukun iman dan rukun Islam. Agustian mengungkapkan tahapan-tahapan yang digunakan membangun kecerdasan emosi-spiritual, yaitu penjernihan emosi (zero mind process), membangun mental (mental building), dan membangun ketangguhan pribadi (personal strength). Lebih lanjut, Doug Lennick dan Pred Kiel dalam Antonio (2009: 29) mereduksi bentuk-bentuk kecerdasan yang dikenal selama ini pada
266
kecerdasan moral (moral intelligence) sebagai faktor utama dalam meningkatkan kesuksesan seseorang atau organisasi. Oleh Doug Lennick dan Pred Kiel dalam Antonio (2009: 30), kecerdasan moral adalah kapasitas
mental
untuk
menentukan
bagaimana
prinsip-prinsip
kemanusiaan universal diterapkan terhadap nilai-nilai, tujuan, dan tindakan kita. Menurut Antonio (2009: 30), kecerdasan moral adalah kemampuan membedakan antara yang benar dan yang salah dalam tinjauan universal, yaitu berdasarkan prinsip-prinsip umum yang diterima semua orang tanpa membedakan etnis, gender, agama, dan lainnya. Kecerdasan moral diwujudkan dalam perilaku Muhammad yang digambarkan oleh ‘Ahu ‘anha> sebagai akhlak alQuran.60 Gelar yang melekat pada diri Muhammad semenjak sebelum diangkat sebagai nabi adalah berkaitan dengan komitmen moral, yaitu alami>n (dapat dipercaya) (Antonio, 2009: 28). Demikian pula dengan pujian al-Qura~>n terhadap akhlak Nabi Muh}ammad sebagai pribadi yang memiliki akhlak yang agung.61 Berbagai macam kecerdasan di atas, apabila terpenuhi pada para pengelola bandha wakaf diharapkan dapat meningkatkan kinerja lembaga yang dikelola, khususnya yang berkaitan dengan buruknya komunikasi yang terjadi pada sesama pengelola. Apabila masalah ini terselesaikan,
60
Hadis diriwayatkan Muslim dalam Kitab S{ah}i>h Muslim (746), Ah}mad dalam alMusnad (24269), dari ‘Ahu ‘anha>. Teksnya adalah, “Beritahukan kepadaku tentang akhlak Rasulullah?” ‘Ah dalam surat al-Qalam (68): 4.
267
pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf pada masa yang akan datang diprediksi mampu memberikan hasil yang lebih baik. 3. Peran Networking bagi Pengembangan Bandha Wakaf Membangun jejaring bagi pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf merupakan salah satu aspek penting, khususnya dalam bidang fundraising. Untuk itu, para pengelola bandha wakaf perlu membangun sinergi, relasi, mitra, dan komunikasi dengan pihak-pihak yang dapat mendukung lembaga wakaf. Dalam rangka mengembangkan wakaf, Habib Chirzin dalam Mubarok (2008: 177) menganjurkan agar dibentuk jaringan dan kerjasama wakaf, yaitu berupa jaringan sesama lembaga wakaf, jaringan kepakaran wakaf, jaringan permodalan, investasi, dan pengembangan wakaf, jaringan informasi dan komunikasi wakaf, dan jaringan penerbitan media wakaf.62 Networking yang telah dirintis dan dapat dikembangkan lebih jauh oleh para pengelola bandha wakaf adalah melibatkan pihak-pihak berikut: a. Networking dengan Pemerintah Peran Pemerintah terhadap pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf Masjid Agung Semarang sudah cukup besar. Hal itu dapat dilihat dari asal-usul bandha wakaf itu sendiri, yaitu sebagai wakaf pemerintah karena diberikan oleh Pandan Arang dalam kedudukannya sebagai Bupati 62
Menurut anggota Divisi Kelembagaan BWI, Arifin Nurdin (www.bwi.or.id, diakses hari Kamis, 6 September 2012, pukul 14.20 WIB)62, setidaknya ada enam manfaat networking bagi pengelolaan dan pengembangan wakaf produktif, yaitu meningkatkan kerjasama (increased collaboration), memanfaatkan sumber daya secara bersama (resource sharing), memecahkan berbagai permasalahan secara bersama (problem solving), memberikan dukungan secara teknis secara lebih mudah (technical support), meningkatkan efisiensi (efficiency), dan eningkatkan hasil kerja yang lebih besar (greater output).
268
Semarang. Atas dasar inilah kemudian Kementerian Agama merasa berkepentingan untuk mengurus bandha wakaf tersebut melalui organisasi BKM Kota Semarang. Oleh Arifin, bandha wakaf disebut sebagai wakaf penguasa kepada penguasa. Dalam perjalanannya, Masjid Agung Semarang sebagai pihak yang berhak atas manfaat dari hasil pengelolaan bandha wakaf tersebut pernah diurus secara langsung oleh BKM Kota Semarang. Sebelum dibentuk Badan Pengelola Masjid Agung Semarang berdasarkan SK Walikota Semarang Nomor 451.205/31, pengurus takmir Masjid Agung Semarang ditetapkan oleh BKM Kota Semarang dan berada di bawah koordinasi Kantor Kementerian Agama Kota Semarang (Wawancara dengan Arifin: 17-02-2011). Saat ini, Masjid Agung Semarang dikelola oleh Badan Pengelola Masjid Agung Semarang yang ditetapkan oleh SK Walikota Semarang. Adanya Surat Keputusan dari seorang Walikota Semarang untuk sebuah kepengurusan masjid itu sendiri mengindikasikan adanya kaitan historis antara Pemerintah dan masjid yang dimaksud. Kondisi serupa juga terjadi pada kepengurusan Masjid Agung Jawa Tengah yang ditetapkan oleh SK dari Gubernur Jawa Tengah dalam bentuk Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah. Uraian di atas menjelaskan keterkaitan Masjid Agung Semarang dan bandha wakaf yang dimilikinya dengan Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Agama, Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah, dan
269
Pemerintah Daerah Kota Semarang. BKM berhasil
memanfaatkan
peluang
yang
ditawarkan
Kementerian Agama untuk mengembangkan wakaf produktif dalam bentuk komplek pertokoan BKM. Komplek pertokoan tersebut mendapatkan bantuan berupa pinjaman dana sebesar 2 milyar rupiah. Oleh BKM, komplek tersebut semula dikenal dengan nama Komplek Pertokoan BKM dan saat ini dikelola oleh Badan Pengelola Masjid Agung Semarang.
Kontribusi Pemerintah Propinsi Jawa Tengah dalam pengembangan bandha wakaf cukup besar. Sejak kasus tukar guling bandha wakaf yang kontroversial itu mengemuka dan berdampak pada raibnya sebagian bandha wakaf karena dikuasai pihak lain, Pemerintah Jawa Tengah melalui Gubernur Jawa Tengah dan lainnya pada saat itu terlibat cukup aktif pada proses pengembalian bandha wakaf tersebut, seperti dengan cara melakukan pendekatan kepada Tjipto Siswoyo agar bersedia menyerahkan sertifikat-sertifikat bandha wakaf yang dikuasainya dan pendekatan kepada Sutrisno Suharto agar bersedia menyerahkan SPBU kepada Badan Pengelola MAS. Kontribusi terbesar terlihat dalam bentuk ide pendirian Masjid Agung Jawa Tengah dan realisasi ide tersebut dengan dukungan dana sepenuhnya dari Pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Penggunaan nama Jawa Tengah pada masjid tersebut mencerminkan keterikatan yang kuat dengan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah63. Selain itu, kepengurusan
63
Nama Masjid Agung Jawa Tengah merupakan nama yang tidak tepat sebab dari segi kualifikasinya, istilah Masjid Agung merupakan masjid yang berada pada tingkat Kabupaten atau
270
masjid tersebut yang diberi nama Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah didasarkan kepada Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Tengah. Saat ini pun yang menjabat sebagai Ketua Badan Pengelola adalah mantan Wakil Gubernur dan pernah menjabat sebagai Plt. Gubernur Jawa Tengah, yaitu Ali Mufiz. Peran Pemerintah Propinsi Jawa Tengah terhadap pengembangan bandha wakaf diikuti oleh Pemerintah Kota Semarang. Jika Masjid Agung Jawa Tengah dikesankan menjadi milik Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, maka Pemerintah Kota Semarang memiliki Masjid Agung Semarang. Hal itu diantaranya ditandai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan bagi pengelolaan masjid tersebut dalam bentuk Badan Pengelola Masjid Agung Semarang. Selain dalam bentuk dana, dukungan Pemerintah Kota Semarang juga dilakukan dalam bentuk pendekatan politis dan memberikan fasilitas bagi penyelesaian konflik manajerial dalam pengelolaan bandha wakaf Masjid Agung Semarang. b. Networking dengan Tokoh Masyarakat, Donatur, dan Sukarelawan. Bekerja dengan tokoh masyarakat penting dilakukan dalam membangun jejaring dalam fundraising wakaf. Tokoh masyarakat memiliki pengaruh yang luas sehingga dapat memperkuat posisi lembaga wakaf, termasuk diantaranya memperluas jaringan dengan donatur atau calon donatur. Donatur merupakan orang yang mempunyai penghasilan lebih dan suka berderma, bersedekah, memberikan bantuan kepada orang-orang yang
Kota. Sedangkan masjid yang berada pada tingkat propinsi semestinya menggunakan nama Masjid Raya.
271
membutuhkan (d{u’afa>). Pengelola wakaf sebaiknya memiliki data base tentang orang-orang seperti itu sebagai salah satu cara menggalang dana wakaf. Selain tokoh masyarakat dan donatur, penting bagi lembaga wakaf untuk menjalin komunikasi dan jejaring dengan sukarelawan atau simpatisan yang memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan dan keadilan sosial. Biasanya, sukarelawan terdiri dari orang-orang yang bekerja secara amanah, transparan, mandiri, penuh kesadaran, dan profesional. Selain itu, sukarelawan biasanya bekerja dengan tidak mengharapkan imbalan atau jasa. Mereka siap membantu dengan sumbangan pikiran, tenaga, dan materi agar dapat menggalang dana wakaf lebih optimal. Pada kenyataannya, pengelolaan bandha wakaf telah banyak melibatkan tokoh-tokoh tersebut, baik dimaksudkan sebagai penyangga kekuatan politik, penyandang dana, maupun sukarelawan yang siap bekerja atas dorongan rasa simpati terhadap nasib bandha wakaf. Jika dilihat dari susunan Badan Pengelola baik pada Masjid Agung Semarang maupun Masjid Agung Jawa Tengah dapat dengan mudah ditemukan nama-nama besar di Kota Semarang dan Jawa Tengah. Nama-nama tersebut memiliki latar belakang yang berbeda-beda dan diharapkan dapat membantu proses pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf, seperti kalangan pejabat, pengusaha, akademisi, ulama, dan tokoh masyarakat. c. Networking dengan Lembaga Keuangan Syariah Untuk mengembangkan pengelolaan wakaf, lembaga wakaf perlu
272
menjalin kerjasama dengan lembaga keuangan syariah (LKS), seperti Bank Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), maupun Bait al-Ma>l wa at-Tamwi>l (BMT). Baik lembaga wakaf maupun LKS memiliki tujuan yang berdekatan, yaitu dalam rangka pengembangan ekonomi syariah. Lembaga keuangan syariah dengan berbagai macam bentuknya telah membuktikan eksistensi dan perannya dalam memberdayakan ekonomi umat, bahkan menjadi ikon penting dalam pengembangan ilmu ekonomi syariah. Sedangkan posisi lembaga wakaf yang sebenarnya lebih lama berkiprah dalam bidang pemberdayaan kaum d}u’afa~>’, hingga saat ini belum mampu menunjukkan eksistensi dan perannya dalam perkembangan ilmu ekonomi syariah. Jalinan kerjasama antara kedua lembaga tersebut diharapkan menjadi mutual benefit, bukan hanya bagi kedua lembaga, namun juga bagi ilmu ekonomi syariah. Lembaga keuangan syariah saat ini telah berkembang pesat dan memiliki jaringan yang luas. Lembaga wakaf dapat memanfaatkan
kedekatan
tujuan
masing-masing
lembaga
untuk
mengembangkan lembaga wakaf agar turut berkembang seiring dengan euphoria ekonomi syariah. Kerjasama yang dimaksud bisa dilakukan dalam bidang sosialisasi program dan penggalangan dana, khususnya wakaf uang. Lembaga wakaf dapat memanfaatkan layanan lembaga keuangan syariah yang memiliki fasilitas lebih luas sehingga dapat menjangkau calon wakif lebih banyak. Pada sisi lain, lembaga keuangan syariah juga diuntungkan dengan adanya
273
dana tunai yang tersimpan di lembaga tersebut. Dengan adanya sinergi seperti itu, lembaga wakaf juga memiliki akses lebih mudah jika membutuhkan dana untuk menjalankan program-programnya, terutama dalam bidang properti. LKS dapat membantu lembaga wakaf dari sisi fundraising dan pendanaan atau sebagai investor. d. Networking dengan Lembaga Zakat Lembaga zakat dan lembaga wakaf memiliki banyak kedekatan, baik dalam program penggalangan dana maupun program penyaluran dana. Sebagian besar lembaga zakat membuka layanan wakaf dan demikian pula sebaliknya. Selain itu, baik lembaga zakat maupun wakaf juga melayani pengelolaan dana infak dan sedekah. Perbedaannya terletak pada konsentrasi atau fokus masing-masing lembaga. Lembaga zakat menjadikan pengelolaan dana berbasis hukum zakat sebagai tugas utamanya, selain juga mengelola dana infak, sedekah, dan wakaf sebagai tambahan. Lembaga wakaf menjadikan pengelolaan harta wakaf sebagai tugas utamanya, selain juga mengelola dana zakat, infak, dan sedekah. Di dalam struktur Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah, terdapat lembaga zakat yaitu LAZISMA (Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Masjid Agung). Sebagaimana lembaga amil zakat lainnya, LAZISMA bertugas menggalang dana zakat, infak, dan sedekah untuk disalurkan kepada mustah}iq berdasarkan hukum zakat, infak, dan sedekah. Melihat dari namanya, nampaknya LAZISMA mengesampingkan kata
274
wakaf dalam program-programnya. Bisa jadi LAZISMA merasa tidak perlu mengelola harta wakaf karena Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah merupakan lembaga yang berdiri di atas lahan wakaf dan tidak menjadikan penambahan aset wakaf baru sebagai prioritas programnya. Badan Pengelola Masjid Agung Semarang juga melayani zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Bedanya, pengelolaan zakat, infak, dan sedekah melalui LAZISMA dapat dikatakan lebih modern karena mengikuti trend pengelolaan zakat, infak, dan sedekah sebagaimana layaknya lembaga amil zakat profesional lainnya. Sedangkan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan wakaf di bawah naungan Masjid Agung Semarang tidak demikian, sebab dikelola secara langsung oleh Badan Pengelola Masjid Agung Semarang melalui salah satu divisinya. BKM Kota Semarang juga tidak memiliki program yang secara spesifik mengurusi zakat. Lembaga ini berada di bawah Kementerian Agama dan memiliki tugas dan kewajiban yang berkaitan dengan kesejahteraan masjid dan tidak memiliki program-program yang berkaitan dengan pengelolaan dana zakat, infak, atau sedekah. Di bawah naungan Kementerian Agama, terdapat bidang khusus yang menangani zakat dan wakaf, yaitu Urusan Zakat dan Wakaf. Berdasarkan data di atas, pengelola bandha wakaf Masjid Agung Semarang masih belum dapat memanfaatkan lembaga amil zakat sebagai salah satu peluang untuk mengembangkan pengelolaan bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Bahkan Badan Pengelola MAJT sekalipun tidak
275
menjadikan LAZISMA sebagai salah satu lini untuk mengembangkan aset wakaf yang dimilikinya. Selain itu, banyaknya lembaga amil zakat yang saat ini sudah berkembang cukup pesat di tanah air dan memiliki banyak cabang di berbagai kota besar, diantaranya Kota Semarang, semestinya dapat dimanfaatkan oleh semua pihak yang mengelola bandha wakaf Masjid Agung Semarang, terutama dalam bidang fundraising. Demikian pula, jika sebagian dari lembaga-lembaga amil zakat tersebut memiliki programprogram yang berkaitan dengan penyaluran dana wakaf, maka pengelola bandha wakaf MAS dapat masuk di dalamnya. Untuk itu, pengelolaan bandha wakaf MAS memang harus dibenahi diantaranya dengan mengfokuskan diri sebagai lembaga pengelola wakaf, bukan dalam bentuk Badan Pengelola Masjid Agung Semarang atau Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah seperti saat ini. Sebab kesan yang didapat dari kedua lembaga tersebut adalah lembaga ketakmiran yang berkaitan dengan kemakmuran masjid dan jauh dari kesan lembaga pengelola wakaf profesional dalam mengelola dan mengembangkan bandha wakaf. Dengan adanya kerjasama dengan lembaga zakat, beberapa kendala finansial yang dihadapi pengelola bandha wakaf MAS dapat dicarikan jalan keluarnya. Misalnya tertundanya program pengembangan bandha wakaf dalam bentuk ma’had ‘a>li>>> karena tidak jelasnya sumber dana bagi operasional lembaga pendidikan tersebut jika telah berdiri. Kendala finansial seperti ini dapat dicarikan solusinya melalui kerjasama yang
276
saling menguntungkan dengan lembaga-lembaga amil zakat yang memiliki program-program pendidikan dan dapat disinergikan dengan program pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf Masjid Agung Semarang tersebut. e. Networking dengan Sesama Lembaga Wakaf Perkembangan lembaga wakaf memang kalah cepat dengan perkembangan lembaga amil zakat. Jika lembaga amil zakat sudah berkembang demikian pesat sehingga muncul nama-nama lembaga amil zakat, baik berskala local maupun nasional, maka tidak demikian halnya dengan nama-nama lembaga wakaf. Selama ini, kita hanya mendengar nama
Tabung
Wakaf
Indonesia,
sebagai
lembaga
wakaf
yang
mengfokuskan pada pengelolaan harta wakaf. Tabung Wakaf Indonesia sendiri merupakan pengembangan dari lembaga amil zakat, yaitu Dompet Dhuafa yang pada mulanya didirikan oleh Harian Republika. Selain TWI, lembaga yang semenjak awal didirikan sebagai pengelola wakaf adalah Badan Wakaf Indonesia. BWI merupakan lembaga independen yang didirikan untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional. Jauh sebelum TWI dan BWI berdiri, beberapa lembaga wakaf sudah berdiri dan berkembang, seperti Badan Wakaf UII, BAMUI, YPPWPM Gontor, dan sebagainya. Namun lembaga-lembaga tersebut mengelola wakaf dalam bidang tertentu, yaitu bidang pendidikan. Lembaga-lembaga wakaf tersebut berbeda dengan TWI dan BWI yang sejak awal didirikan sebagai
lembaga
pengelola
wakaf
277
secara
umum,
yaitu
untuk
memberdayakan ekonomi kaum d}u’afa~>’. Kalau kita menengok lembaga-lembaga pengelola wakaf di luar negeri, akan kita dapatkan beberapa nama lembaga wakaf yang sudah banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan wakaf. Sebut saja alAma>nah al-‘A>mmah li al-Awqa>f di Kuwait, Majelis Tinggi Wakaf Arab Saudi, dan lain sebagainya. Keberadaan lembaga-lembaga wakaf tersebut diharapkan dapat memberi inspirasi dan motivasi bagi lembagalembaga wakaf di daerah. Setiap lembaga wakaf memiliki sejumlah program yang berdekatan dan semestinya dapat saling menjalin kerjasama saling menguntungkan. Sebagian lembaga wakaf dapat berperan sebagai investor bagi pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Sebagai contoh, program pengembangan bandha wakaf MAS yang akan mendirikan rumah sakit Islam, pengelola wakaf MAS dapat bekerjasama dengan lembaga wakaf seperti TWI, BWI, atau lembaga-lembaga wakaf di luar negeri untuk membantu pendanaan program tersebut. C. Merumuskan Model bagi Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Hingga saat ini, perjalanan bandha wakaf Masjid Agung Semarang telah berlangsung selama lebih dari lima ratus tahun.64 Dalam perjalanan yang panjang itu, kondisi bandha wakaf telah mengalami pasang surut dari segi pengelolaan dan pengembangannya. Namun dari sisi tujuan, pengelolaan bandha wakaf tetap dimaksudkan untuk membantu pendanaan Masjid Agung Semarang.
64
Sejarah bandha wakaf dimulai sejak kehadiran Pandan Arang di Semarang pada akhir abad 15 M.
278
Pengalaman dari bandha wakaf telah memberi pelajaran berharga bahwa besarnya aset wakaf tidak serta merta berdampak pada banyaknya hasil yang diraih. Sebab potensi yang besar jika dikelola secara tidak benar justru menjadi kendala yang diakibatkan oleh sifat-sifat buruk dalam diri manusia. Barangkali karena aset wakaf merupakan aset publik yang memiliki karakteristik berbeda dengan aset pribadi, banyak pihak yang merasa berkepentingan terhadap bandha wakaf sehingga menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Pengalaman ini mengajarkan akan pentingnya kecerdasan nazhir secara emosional dan spiritual dalam mengelola dan mengembangkan wakaf agar konflik semacam itu dapat segera diselesaikan dan dan agar tidak terulang pada masa-masa yang akan datang. Pada bagian ini akan dibahas mengenai wakaf sebagai sumber dana abadi bagi masjid dan rumusan model mengenai pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf Masjid Agung Semarang. 1. Wakaf sebagai Sumber Dana Abadi Wakaf berbasis masjid berkaitan dengan mauqu>f ‘alaih atau pihak yang berhak menerima manfaat wakaf, yaitu masjid. Menurut Must}afa> azZarqa> (t.th. 142), harta wakaf harus diberdayakan dan disalurkan manfaatnya untuk kepentingan mauqu>f ‘alaih sesuai dengan ketentutan yang ditetapkan oleh wakif. Wakif memiliki kebebasan penuh untuk menentukan siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan manfaat dari wakafnya. Wakif juga berhak menentukan mekanisme atau cara pembagian keuntungan dari hasil wakaf kepada pihak-pihak yang telah ditetapkan, baik berupa orang, sekelompok orang, organisasi, maupun lembaga. Syarat atau ketentuan dari wakif mengenai
279
pihak-pihak yang berhak menerima wakaf ini, menurut az-Zarqa> (t.th: 152) merupakan syarat atau ketentuan yang harus dihormati dan tidak boleh dilanggar, apapun alasannya.65 Berdasarkan penjelasan di atas, wakaf berbasis masjid dimaksudkan sebagai aset wakaf yang diberdayakan secara produktif dan diharapkan mendatangkan keuntungan atau hasil untuk dimanfaatkan bagi kepentingan masjid. Secara bahasa, masjid berarti tempat sujud (Munawwir, 2002: 610). Dalam pengertian sehari-hari, masjid dipahami sebagai bangunan tempat shalat kaum muslim (Shihab, 2001: 459). Lokakarya Ida>rah Masjid yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 9-10 Nopember 1974, seperti dikutip dari Siswanto (2005: 26), mendefinisikan masjid sebagai tempat untuk beribadah kepada Allah semata dan sebagai pusat kebudayaan Islam. Dalam pengantar penerbit pada buku Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia yang ditulis oleh Abdul Baqir Zein, disebutkan fungsi-fungsi masjid pada zaman Nabi Muhammad SAW, yaitu sebagai sarana ibadah, sarana pembinaan, pelayanan, pengamanan, dan benteng pertahanan dalam menghadapi serangan musuh (Zein, 1998: 6). Dalam perjalanan sejarahnya, masjid telah mengalami banyak perkembangan. Masjid-masjid yang didukung oleh kelengkapan sarana dan
65
Az-Zarqa> membagi syarat-syarat yang ditetapkan waqi>f tentang wakafnya menjadi tiga kelompok. Pertama, syarat-syarat yang dilarang. Kedua, syarat-syarat yang dibolehkan, namun boleh diabaikan jika ada hajat. Ketiga, syarat-syarat yang dibolehkan dan tidak boleh diabaikan apapun alasannya. Syarat-syarat yang berkaitan dengan pihak-pihak yang berhak menerima manfaat wakaf termasuk kelompok syarat yang ketiga sehingga harus diperhatikan dan tidak boleh diabaikan.
280
prasarananya mampu melaksanakan program-program yang komprehensif dan memiliki kegiatan-kegiatan yang menunjukkan spesifikasinya, seperti pusat pendidikan dan kegiatan bisnis. Di Indonesia, fungsi masjid tidak berbeda dengan masjid-masjid lain di seluruh dunia, tapi sebagian masjid yang dibangun di awal sejarah Islam nusantara memiliki fungsi yang spesifik, unik, mistik, dan menjadi tempat ziarah (Juliadi, 2007: 12). Tidak dipungkiri, kendala besar untuk menyelenggarakan visi masjid sebagai pusat ibadah dan pusat kebudayaan Islam adalah masalah pendanaan. Setiap kegiatan yang dilakukan pengelola masjid pastilah memerlukan dana, apalagi jika berkaitan dengan pengadaan infrastruktur, seperti bangunan dan sarana-sarana fisik lainnya. Pertanyaan yang acap kali mengemuka adalah dari mana masjid dapat memperoleh semua biaya tersebut. Selama ini, sumber dana masjid sering tidak menentu dan tergantung pada keaktifan dan tuntutan kegiatan yang sifatnya temporal (Harahap, 1996: 13). Sumber keuangan masjid biasanya dilakukan secara tradisional, yaitu berasal dari kotak infak. Meski hampir semua masjid melakukan penggalangan dana melalui model ini, berbagai kritik kerap ditujukan kepadanya, terutama jika dilakukan di tempat umum dan dengan cara yang dianggap kurang etis. Penggalangan dana seperti itu biasanya juga tidak menghasilkan dana yang mencukupi bagi kebutuhan masjid, sehingga keluhan keterbatasan dana tetap saja ada. Di antara alternatif yang dapat dikembangkan pengelola masjid untuk menggalang dana adalah melalui pemberdayaan aset wakaf, terutama bagi
281
masjid-masjid tertentu yang memiliki aset wakaf yang cukup besar atau terletak di tempat-tempat strategis. Memberdayakan aset wakaf berbasis masjid bukan hanya berarti memberdayakan aset tanah yang menjadi tempat berdirinya masjid itu sendiri, namun memberdayakan semua aset yang dimiliki secara produktif agar dapat berkembang menjadi masjid yang mandiri dan berdaya. Model pengelolaan wakaf produktif dilakukan dengan pendekatan bisnis, yakni suatu usaha yang berorientasi pada keuntungan dan keuntungan tersebut disedekahkan kepada pihak yang berhak menerimanya. Dalam wakaf produktif, laba atau keuntungan yang dihasilkan harus dalam jumlah besar dan signifikan. Artinya, jika harta benda wakaf berupa lahan tanah yang luas namun hanya menghasilkan keuntungan yang sedikit dan tidak signifikan, tidak dapat dikategorikan sebagai wakaf produktif. Makna ini diambilkan dari kata produktif yang oleh al-Barry (2003: 633) diartikan sebagai sesuatu yang memiliki daya hasil atau mempunyai kemampuan untuk menghasilkan (dalam jumlah besar). Karena lazimnya harta benda wakaf yang dimiliki masjid saat ini berupa tanah, maka bersadarkan konsep wakaf produktif, tanah-tanah yang dimiliki masjid tersebut diberdayakan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan manfaat ekonominya. Tanah yang tidak dimanfaatkan untuk bangunan masjid bisa didesain sebagai tempat-tempat yang produktif seperti pertokoan, minimarket, swalayan, perkantoran, atau ruang pertemuan selama lokasi tanah tersebut memungkinkan untuk dimanfaatkan untuk maksudmaksud tersebut. Hasil atau keuntungan dari kegiatan bisnis tersebut dapat
282
dipergunakan sebagai sumber dana abadi bagi masjid sehingga keuangan masjid bisa menjadi kuat, mandiri, dan berdaya. Pengalaman pengelolaan wakaf masjid di tempat lain dapat dijadikan sebagai contoh bagi pengelolaan dan pengembangan wakaf berbasis masjid, khususnya bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Imam Suprayogo (http://rektor.uin-malang.ac.id)66 memberikan contoh menarik mengenai pengelolaan masjid yang sumber dananya digali dari hasil pengelolaan wakaf. Masjid yang dimaksud adalah Masjid al-H{aram di Mekah dan Masjid anNabawi> di Madinah. Untuk mengatasi pendanaan bagi kedua masjid tersebut, Raja ‘Abdulla>h membangun hotel yang terletak di dekat Masjid al-H{aram dan dilengkapi dengan sarana bisnis modern, yang disebut Tower Zam-Zam. Seluruh hasil dari hotel tersebut digunakan untuk merawat dan mengelola masjid. Di negara Saudi, biaya perawatan dan pemeliharaan Masjid al-H{aram dan Masjid an-Nabawi> memang menjadi tanggung jawab raja, sehingga menyebut dirinya sebagai Kha>dim al-H{aramain. Cara ini, menurut Suprayogo, merupakan pendekatan modern dalam penggalian dana bagi kegiatan masjid, sehingga jika dikembangkan oleh siapapun, baik pihak pemerintah maupun swadaya masyarakat, dapat mengatasi permasalahan klasik yang berkaitan dengan sumber dana bagi masjid. Jauh sebelum itu yaitu pada akhir abad 18 dan awal abad 19, Dumper (1999: 11) menceritakan tentang sebuah masjid wakaf yang memiliki pengaruh luas di wilayah Acre, Palestina. Masjid tersebut berdiri di atas tanah yang telah diwakafkan oleh Ah}mad Pasha al-Jaza>r. Wakaf al-Jaza>r dituliskan dalam 66
Diakses hari Jum’at, 17 Pebruari 2012, jam 16.45 WIB
283
sebuah waqfiyah yang dibuat pada tahun 1784 oleh Gubernur Acre pada waktu itu. Wakaf al-Jaza>r mencakup beberapa bangunan seperti hotel, pemandian umum, pasar, masjid, sekolah, bengkel, dan fasilitas lainnya. Semua dirancang untuk mendorong program-program pembangunan di Kota Acre, baik dalam bidang perkembangan agama, perdagangan, industri, kesehatan, pariwisata, dan lainnya. Masjid yang dibangun diberi nama Masjid al-Jaza>r. Hotelnya dinamakan Kha>n al-‘Umdan. Hasil dari pengelolaan wakaf al-Jaza>r yang berupa hotel tersebut mampu untuk membangun dua hotel sejenis. Di sekitar masjid dibangun pasar dan bazar. Uang sewa yang diperolah dari pengelolaan pasar dan bazar tersebut digunakan untuk biaya operasional dan pemeliharaan masjid. Selain itu, di atas tanah wakaf al-Jaza>r juga dibangun dua pemandian umum yang dikelola secara komersial (Dumper, 1999: 12). Dampak dari pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf al-Jaza>r, dapat dilihat dari pesatnya perkembangan Kota Acre sehingga menjadi ramai dan menjadi tujuan bagi masyarakat luar kota untuk mengunjungi kota tersebut. Dumper (1999: 13) menyebutkan kalimat yang melegenda di kota tersebut sebagai ilustrasi perkembangan Kota Acre, yaitu berbunyi, “Setiap hari, seribu unta memasuki kota.” Dalam waqfiyah al-Jaza>r juga disebutkan bahwa sebagian dari pendapatan wakaf harus disisihkan untuk bisya>rah atau tunjangan bagi imam masjid, khatib Jumat, lima (5) orang muazzin, satu (1) orang muazzin kepala. Selain itu, beberapa karyawan untuk mengelola masjid juga direkrut dan dibiayai dari hasil pengelolaan wakaf al-Jaza>r, seperti karyawan penjaga
284
pintu, tukang lampu, tukang kebersihan, dan pemeliharaan. Waqfiyah juga menyebutkan agar disediakan tempat tinggal bagi pengelola wakaf dan di sekitar masjid didirikan sekolah dan perpustakaan (Dumper, 1999: 13).
2. Rumusan Model bagi Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf a. Model Pengelolaan dan Pengembangan Bandha Wakaf Berdasarkan uraian Bab IV diketahui bahwa pengelolaan bandha wakaf Masjid Agung Semarang dilakukan dengan cara menggabungkan model pengelolaan wakaf konsumtif dan wakaf produktif. Penelitian ini menemukan fakta yang menjelaskan bahwa pengelola bandha wakaf melakukan penggalangan dana melalui bantuan dari pihak-pihak tertentu untuk mengelola dan mengembangkan bandha wakaf tersebut. Sebagai contoh, pengembangan bandha wakaf dalam bentuk MAJT didanai dari APBD Jawa Tengah. Pembangunan komplek pertokoan BKM atau sekarang dinamakan Wakaf Produktif Center (WPC) dibangun atas dasar bantuan dari Kementerian Agama RI. Demikian pula halnya dengan SPBU Masjid Agung Semarang. SPBU ini tidak dikembangkan atas dasar konsep pengelolaan dan pengembangan harta wakaf yang komprehensif melainkan dimiliki Masjid Agung Agung secara kebetulan karena faktor-faktor sejarah seperti
dijelaskan
pada
Bab
IV.
Dana
yang
digunakan
untuk
mengembalikan hak milik SPBU tersebut kepada Masjid Agung Semarang juga didapat dari bantuan Gubernur Jawa Tengah dan donasi pemilik lama.
285
Dana yang diperoleh dari bantuan tersebut selanjutnya dikelola melalui kerjasama dengan pelaku usaha dengan akad sewa (ija>rah) seperti yang terjadi pada komplek pertokoan BKM, unit-unit usaha pada Masjid Agung Semarang, dan fasilitas-fasilitas bisnis pada MAJT seperti souvenir shop dan area kuliner.
286
Dalam skema model gambar 5.1, diketahui bahwa pengelola bandha wakaf Masjid Agung Semarang telah memiliki aset yang besar. Aset tersebut dikelola dan dikembangkan melalui mekanisme fundraising sehingga saat ini memiliki beberapa bentuk pengelolaan yang dapat dikategorikan dalam bentuk wakaf produktif dan wakaf konsumtif. Mekanisme fundraising yang menyamakan antara pengembangan wakaf produktif dan konsumtif menurut peneliti perlu dikaji ulang. Fundraising dalam bentuk penambahan wakaf baru semestinya dilakukan untuk mengembangkan aset-aset wakaf yang sifatnya konsumtif atau wakaf langsung. Sedangkan mekanisme fundraising untuk mengembangkan aset wakaf produktif sebaiknya dilakukan berdasarkan atas kerjasama investasi. Gambar tersebut juga menjelaskan bahwa hasil wakaf yang diperoleh dari pengelolaan wakaf produktif disalurkan kepada mauqu>f ‘alaih yang juga merupakan bentuk wakaf konsumtif, yaitu dalam hal ini Masjid Agung Semarang. Penelitian ini menemukan bahwa pengelolaan bandha wakaf telah menambah cakupan wakaf konsumtif dengan menjadikan Masjid Agung Jawa Tengah sebagai bagian dari mauqu>f ‘alaih atau pihak yang berhak menerima sasaran wakaf. Ditinjau dari segi pengelola, penyaluran hasil wakaf kepada kedua pihak mauqu>f ‘alaih tersebut dilakukan secara terpisah, yaitu BP MAS mengelola aset bandha wakaf untuk kepentingan Masjid Agung Semarang dan BP MAJT mengelola aset bandha wakaf untuk kepentingan Masjid Agung Jawa Tengah. Sementara itu, BKM memiliki agenda tersendiri
287
dengan menyalurkan sebagian dari hasil pengelolaan aset bandha wakaf kepada masjid-masjid yang menjadi binaan BKM. Dalam penelitian ini, mauqu>f ‘alaih yang dibina oleh BKM disebut dengan istilah mauqu>f ‘alaih ‘a>m karena berada di luar kontek mauqu>f ‘alaih yang disebutkan dalam ikrar wakaf. Mauqu>f ‘alaih yang disebutkan dalam ikrar wakaf disebut dengan istilah mauqu>f ‘alaih kha>s}. Model pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf Masjid Agung Semarang dapat dijelaskan dalam skema model berikut ini: Gambar 5.1 Model Pengelolaan dan Pengembangan Bandha Wakaf
b. Rumusan Model Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf
288
Model pengelolaan dan pengembangan wakaf dapat dirumuskan pada sebuah bagan yang menjelaskan tentang penggabungan bentuk-bentuk wakaf produktif dan wakaf konsumtif. Rumusan model berikut dimulai dari adanya modal wakaf yang dimiliki lembaga wakaf. Berangkat dari modal tersebut, lembaga wakaf melakukan kegiatan fundraising dan merencanakan aktifitasaktifitas pengembangan yang akan diwujudkan dalam bentuk penggabungan wakaf
produktif
dan
wakaf
konsumtif.
Kegiatan
fundraising
dan
pengembangan wakaf konsumtif dapat dilakukan melalui penambahan aset wakaf baru sedangkan kegiatan fundraising dan pengembangan wakaf produktif dilakukan melalui pendekatan kerjasama bisnis. Bentuk-bentuk wakaf produktif dan wakaf konsumtif yang dijalankan hendaknya bersifat komprehensif
sehingga
diharapkan
dapat
menyentuh
dan
membantu
terpenuhinya kebutuhan hidup orang banyak. Muara dari model pengelolaan dan pengembangan tersebut adalah terdistribusikannya hasil wakaf kepada mauqu>f
‘alaih.
Lebih
jelasnya,
rumusan
model
pengelolaan
dan
pengembangan wakaf dijelaskan dalam skema gambar 5.2. Pada umumnya, lembaga wakaf sudah memiliki modal wakaf yang berupa tanah. Lokasi dan luas tanah akan berpengaruh pada besar atau kecilnya modal yang dimiliki lembaga wakaf. Tanah wakaf yang terletak pada lokasi strategis memiliki nilai yang tinggi dan dapat membantu lembaga wakaf untuk mengembangkannya. Misalnya, tanah wakaf yang berada di pinggir jalan utama dapat dikelola dalam bentuk SPBU yang memiliki berbagai macam fasilitas yang bernilai bisnis. Jika pada mulanya tanah wakaf yang terletak di
289
lahan strategis tersebut berupa bangunan masjid, maka dapat dikembangkan, baik secara vertikal maupun horisontal, dalam bentuk unit-unit usaha. Gambar 5.2 Model Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf
Demikian pula, tanah wakaf yang luas akan memudahkan lembaga wakaf untuk mengelola dan mengembangkannya. Lembaga wakaf yang memiliki lahan pertanian yang luas dapat mendayagunakan tanah-tanah tersebut dengan cara ditanami berbagai macam jenis tanaman, seperti padi,
290
cabe,
melon,
semangka,
dan
lainnya.
Model
pengelolaannya
bisa
dibudidayakan sendiri oleh lembaga wakaf atau disewakan kepada para petani penggarap. Tanah wakaf yang luas dan strategis akan mempermudah tugas nazhir dalam mengelola dan mengembangkannya sehingga maksud wakaf dapat dicapai lebih cepat. Misalnya tanah wakaf berupa lahan pertanian dan tanah kering yang terletak di pinggir jalan atau di tengah perkampungan. Tanah wakaf yang berupa pertanian dapat dikelola dengan ditanami beberapa macam tanaman seperti di atas. Tanah kering di pinggir jalan dapat dikelola dan dikembangkan menjadi unit-unit usaha, seperti komplek pertokoan, ruko, maupun SPBU. Sedangkan tanah kering di lingkungan perkampungan dapat dijadikan komplek perumahan yang dikelola dengan sistem kontrak kepada para penghuni. Pada
masa
sekarang,
harta
benda
wakaf
sudah
mengalami
perkembangan dan lebih variatif, khususnya setelah wakaf uang menjadi populer. Bentuk-bentuk benda wakaf tidak lagi berupa benda tak bergerak, tapi juga berupa benda tak bergerak seperti kendaraan dan uang. Dari segi besarnya modal, lembaga wakaf dapat dibagi menjadi dua, yaitu lembaga wakaf yang memiliki modal besar dan lembaga wakaf yang memiliki modal terbatas. Lembaga wakaf yang memiliki modal besar mampu menyusun program-program pengelolaan dan pengembangan seperti yang diharapkan wakif. Misalnya, ada wakif yang mewakafkan tanah yang luas untuk dikelola sebagai pesantren modern dan menyiapkan sejumlah dana yang
291
cukup untuk merealisasikannya. Lembaga wakaf profesional diharapkan menjadi lembaga independen yang mandiri secara finansial dan tidak bergantung kepada pihak-pihak lain. Sedangkan jenis kedua adalah lembaga wakaf yang memiliki modal wakaf terbatas. Misalnya lembaga wakaf yang memiliki sebidang tanah untuk dijadikan sebagai tempat ibadah, sarana pendidikan, atau layanan kesehatan namun tidak memiliki tempat dan dana yang cukup untuk mewujudkannya. Kebanyakan lembaga wakaf di Indonesia termasuk dalam kategori ini. Banyak calon wakif yang siap mewakafkan harta benda miliknya lalu menyerahkan harta wakaf tersebut kepada pihak-pihak tertentu, seperti pengurus masjid maupun pengelola pondok pesantren, namun tidak disertai dengan dukungan dana untuk pengelolaan dan pengembangan harta wakaf tersebut. Tidak sedikit harta benda wakaf kategori ini yang terbengkalai dan dibiarkan oleh pengelola seperti apa adanya selama bertahun-tahun karena tidak memiliki dana untuk mengembangkannya. Skema model di atas menuntut adanya kegiatan fundraising bagi kedua jenis lembaga wakaf di atas. Hanya saja, berdasarkan rekomendasi dari Qah}af dalam Rosalinda (2010: 113), model penggalangan dana wakaf dibedakan antara wakaf yang dimaksudkan untuk dimanfaatkan secara langsung (wakaf konsumtif) dengan wakaf yang dimaksudkan untuk investasi (wakaf produktif). Terhadap wakaf konsumtif, nazhir dapat menggalang dana wakaf melalui penambahan wakaf-wakaf baru melalui mekanisme filantropi, seperti derma, infak, dan sedekah. Bentuk-bentuk penggalangan dana yang sifatnya
292
filantropis dapat dilakukan melalui berbagai strategi, seperti menawarkan program-program riil dan dilengkapi dengan rencana anggaran yang dibutuhkan. Contoh dari program-program wakaf yang dimaksudkan untuk dimanfaatkan secara langsung adalah membangun masjid, menyempurnakan bangunan, pembangunan gedung baru bagi pengembangan madrasah atau pondok pesantren, mendirikan radio komunitas sebagai sarana dakwah, mendirikan taman bacaan, membangun toilet pada masjid atau mushalla, dan lainnya. Termasuk dalam kategori ini rencana perluasan area masjid atau madrasah dengan cara membeli tanah baru dan mendirikan bangunan di atasnya. Tawaran yang diajukan bisa didesain dalam bentuk sertifikat wakaf tunai yang mewakili nilai tertentu dari harta wakaf yang hendak dimiliki. Selain itu, pengelola wakaf dapat juga menggunakan konsep infak dan sedekah untuk mencari dana bagi program-program tersebut. Terhadap kategori wakaf yang dimaksudkan untuk diproduktifkan, rumusan model di atas merekomendasikan mekanisme fundraising yang sesuai dengan maksud wakaf, yaitu untuk menjalankan bisnis dan mencari keuntungan. Pada wakaf jenis ini, lembaga wakaf dapat menyusun master plan yang disesuaikan dengan kondisi harta benda wakaf dan letaknya. Menurut al-Barry (2003: 633), di antara makna produktif adalah memiliki daya hasil untuk menghasilkan dalam jumlah besar. Hal ini berarti harta benda wakaf yang dikelola secara tradisional dan tidak dikembangkan dengan mengikuti trend bisnis yang mengandalkan efektivitas dan efisiensi tidak termasuk dalam kategori wakaf produktif. Menurut Arifin (wawancara:
293
07-05-2012), tanah wakaf yang terletak di lingkungan strategis jika ditanami dengan tanaman yang dibudidayakan petani pada umumnya, seperti padi, jagung, kacang, dan cabe tidak termasuk dalam kategori wakaf produktif jika hasil yang diperoleh dari usaha pertanian tidak sebanding dengan nilai tanah karena lokasinya yang bagus atau hasil yang dapat diperoleh jika dikelola dalam bentuk lain. Tanah-tanah wakaf yang terletak di pinggir jalan utama atau di perkotaan yang padat penduduk lebih tepat “ditanami” bangunan atau gedung yang disesuaikan dengan kepentingan bisnis modern, seperti gedung pertemuan, perkantoran, pusat perbelanjaan, hotel, komplek pertokoan, dan SPBU. Perbedaan jenis usaha tersebut berdampak pada besarnya dana atau modal yang diperlukan untuk mengelola dan mengembangkannya. Modal yang diperlukan untuk mengelola usaha pertanian tidak sebesar modal yang digunakan untuk membangun pusat-pusat bisnis modern. Alasan ini pula yang biasa dikemukakan oleh pengelola wakaf tradisional karena lebih memilih jenis usaha pertanian bagi tanah-tanah produktif, meskipun terletak pada lokasi strategis. Lembaga wakaf yang mengelola dan mengembangkan asetnya pada bidang-bidang usaha yang memerlukan dana besar dapat menerapkan konsep yang ditawarkan Abu> Zaid (2000: 52), yaitu model investasi mandiri dan investasi dengan menjalin kerjasama. Lembaga wakaf yang memiliki dana besar dapat menerapkan model investasi wakaf secara mandiri dengan cara mengoptimalkan kekayaan wakaf berdasarkan kemampuan yang dimiliki dan
294
tidak perlu menggandeng investor. Sedangkan lembaga wakaf yang tidak memiliki dana besar dapat menerapkan model investasi kedua, yaitu dengan cara menggandeng mitra sebagai investor. Lebih lanjut, Abu> Zaid (2000: 56) menawarkan lima bentuk investasi dengan cara menggandeng mitra, yaitu berdasarkan akad musya>rakah dan mud}a>rabah,
akad
istis}na>’,
akad
muza>ra’ah,
masa>qah,
dan
muga>rasah. Menurut peneliti, Abu> Zaid hanya memberikan tawaran bagi bentuk-bentuk akad investasi yang bersifat pilihan dan bukan bermaksud membatasi. Artinya, lembaga wakaf dapat menerapkan model-model investasi tersebut dan dapat juga menerapkan model-model lainnya yang dipandang sesuai dengan kondisi wakaf pada lingkungan dan era masing-masing. Bisnis modern telah memperkenalkan banyak alternatif bagi pengembangan usaha seperti dalam bentuk holding company dan prinsip waralaba. Tawaran Qah}af yang membedakan model pembiyaan bagi pengelolaan dan pengembangan wakaf konsumtif dan wakaf produktif seperti di atas layak mendapat perhatian. Alasannya, konsep wakaf yang pada dasarnya bersifat filantropis
tidak
salah
apabila
dikelola
dan
dikembangkan
melalui
penambahan-penambahan wakaf baru yang sifatnya juga filantropis. Terhadap aset wakaf yang dimaksudkan untuk dimanfaatkan barangnya secara langsung, seperti wakaf masjid sebagai tempat ibadah maupun lembaga pendidikan sebagai tempat pengembangan ilmu, dapat dimaklumi jika kebutuhan dana tambahan dicarikan solusinya dengan jalan menambah wakaf baru.
295
Namun apabila penambahan wakaf baru dimaksudkan untuk mengelola dan mengembangkan unit-unit usaha wakaf, seperti membangun hotel, mendirikan SPBU, atau pusat-pusat perbelanjaan, dikhawatirkan akan mengurangi kepercayaan stakeholders terhadap pengelola wakaf. Publik akan mempermasalahkan apabila ada lembaga wakaf yang bermaksud mendirikan pusat-pusat perbelanjaan modern namun menyebarkan sertifikat-sertifikat wakaf uang untuk mendanai proyek tersebut. Dalam jangka panjang, kredibilitas lembaga wakaf yang akan dipertaruhkan sehingga tidak mustahil mendapat image negatif dari stakeholders, khususnya pelaku usaha yang lain. Wakaf konsumtif yang dimaksudkan dalam model ini adalah bentukbentuk wakaf yang dimanfaatkan secara langsung oleh banyak orang. Seperti diketahui, hajat hidup manusia itu beragam, sehingga bentuk-bentuk wakaf konsumtif diharapkan dapat menyentuh berbagai macam hajat hidup tersebut, seperti dalam bidang layanan ibadah, pendidikan, dakwah, kesehatan, sarana olah raga, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya yang dibiayai dengan dana wakaf. Seiring dengan perkembangan zaman, bentuk-bentuk wakaf langsung tersebut seyogyanya dikelola secara profesional dan modern sehingga dapat dinikmati publik dengan nyaman. Sebagai tempat ibadah, masjid wakaf dikelola dan dikembangkan menjadi masjid paripurna yang memberikan layanan terbaik bagi jamaah, seperti bangunannya yang representatif, ketersediaan toilet dan tempat wudhu yang memadai, kebersihan yang selalu terpelihara, taman bacaan masjid yang menyediakan buku-buku bermutu dan
296
nyaman, tempat parkir yang luas dan aman, dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya yang menjadikannya layak dijadikan sebagai masjid percontohan. Wakaf dalam bidang pendidikan diharapkan menjadi lembaga yang menyelenggarakan pendidikan favorit, bermutu, dan menjadi pilihan bagi stakeholders karena prestasi yang dicapai, sarana dan prasarana yang lengkap, tenaga pendidik yang profesional, dan atmosfer akademik yang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah Islam, wakaf turut berperan bagi pengembangan lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan melalui madrasah, perguruan tinggi, lembaga pengembangan ilmu pengetahuan, lembaga penerbitan buku-buku referensi, dan pemberian beasiswa bagi para pelajar berprestasi. Wakaf dalam bidang kesehatan dapat dikembangkan dengan dukungan dana yang dihasilkan Unit-unit usaha wakaf produktif. Wakaf untuk kesehatan dapat diwujudkan dalam bentuk rumah sakit, poliklinik, pengobatan murah atau gratis, apotik yang didirikan oleh lembaga wakaf, lembaga pendidikan kesehatan, dan beasiswa bagi pelajar dalam bidang ilmu kedokteran yang didukung oleh hasil wakaf. Layanan kesehatan yang didanai dari hasil wakaf diharapkan menjadi layanan yang bermutu, menjadi pilihan bagi pasien, dilengkapi sarana dan prasarana yang memadai, dan didukung tenaga medis yang profesional dan dipercaya. Demikian pula halnya dengan kontribusi wakaf pada bidang-bidang lain yang menjadi sasaran wakaf secara langsung. Layanan dalam bidang-bidang tersebut diharapkan menjadi layanan terbaik di bidangnya sehingga menjadi
297
rujukan bagi masyarakat yang hendak memanfaatkan berbagai layanan tersebut. Mereka datang ke lembaga wakaf dan memanfaatkan layanan yang diberikan karena terdorong oleh kualitas layanan yang diberikan dan bukan semata-mata didorong oleh alasan ideologis sebagai lembaga yang berbasis agama. Melalui konsep wakaf yang memadukan antara wakaf langsung dan wakaf produktif, layanan-layanan terbaik dalam bidang-bidang tersebut dapat diwujudkan. Konsep ini juga merupakan jawaban bagi pertanyaan yang meragukan kemungkinan adanya layanan pendidikan atau kesehatan yang berkualitas tanpa didukung oleh biaya pendidikan atau pengobatan yang mahal. Betul bahwa layanan pendidikan dan kesehatan yang bermutu memerlukan biaya yang mahal, namun dalam konsep ini, biaya yang mahal tersebut tidak sepenuhnya didapat dari masyarakat pengguna, melainkan dari hasil pengelolaan dan pengembangan wakaf produktif yang mampu memberikan kontribusi signifikan bagi peningkatan layanan wakaf secara langsung dalam berbagai bidang seperti tersebut di atas. Diakui bahwa trend yang berkembang saat ini, khususnya dalam dunia pendidikan dan kesehatan, adalah penerapan manajemen yang berorientasi pada profit. Trend ini dapat juga dilakukan oleh lembaga wakaf, seperti melakukan perubahan visi lembaga pendidikan dan kesehatan dari lembaga pemberdayaan menjadi lembaga bisnis. Tidak dipungkiri, saat ini lembaga pendidikan yang menawarkan kompetensi-kompetensi tertentu kepada pelajar dan mahasiswa dapat difungsikan sebagai lembaga bisnis yang mampu
298
menghasilkan keuntungan. Demikian pula rumah sakit maupun institusi kesehatan
lainnya.
Semuanya
dapat
bermetamorfosis
dari
lembaga
pemberdayaan menjadi lembaga bisnis sesuai dengan visi yang ditargetkan pengelolanya. Dalam proses metamorfosis itu, unit-unit usaha bisnis pada wakaf produktif dapat berperan memberikan subsidi bagi lembaga yang dimaksud sampai akhirnya menjadi salah satu bagian dari unit-unit usaha yang dikelola lembaga wakaf. Dengan demikian, lembaga pendidikan atau kesehatan yang pada mulanya dimaksudkan sebagai bagian dari unit wakaf langsung (konsumtif) berubah dan berkembang menjadi unit usaha wakaf yang berorientasi pada profit. Perubahan seperti ini tidak merubah hakikat wakaf yang dikembangkan selama hasil dari pengelolaan unit-unit usaha tersebut dikembalikan kepada mauqu>f ‘alaih. Lembaga wakaf yang telah memiliki unit usaha produktif dalam bidang pendidikan dan kesehatan hendaknya tetap mengembangkan salah satu unsur wakaf lainnya, yaitu mauqu>f ‘alaih dalam kedua bidang tersebut. Seperti diketahui, tidak semua jurusan atau keahlian yang ditawarkan lembaga pendidikan dapat diterima pasar dengan pendekatan bisnis, yaitu menetapkan biaya pendidikan yang mahal. Beberapa keahlian, seperti keahlian ilmu-ilmu agama, tidak dapat diterapkan manajemen pendidikan berbasis bisnis tersebut. Menurut peneliti, pengembangan ilmu-ilmu agama perlu ditopang oleh lembaga wakaf atau lainnya agar tetap eksis dan berkembang. Oleh karena itu, lembaga pendidikan agama seperti madrasah, pondok pesantren, dan perguruan tinggi agama Islam berhak mendapatkan dukungan dana pengembangan dari
299
hasil wakaf sehingga lembaga-lembaga pendidikan tersebut diharapkan dapat melanjutkan tradisi keilmuan yang diwariskan oleh ilmuwan-ilmuwan muslim pada masa dahulu. Dana wakaf juga dapat disalurkan pada pengembangan ilmu agama melalui penerbitan buku-buku yang bermanfaat, beasiswa bagi santri-santri tah}fi>z al-Qur’an, pendidikan dan pengkaderan, pendirian islamic center, perpustakaan yang menjadi rujukan bagi peneliti dan akademisi, pemberdayaan ekonomi para imam, muazin, ustadz, kyai, muballig{, dan orang-orang yang bergerak dalam bidang pengembangan dan penyebaran agama Islam. Demikian pula halnya dengan lembaga kesehatan. Bisa jadi lembaga wakaf memiliki rumah sakit yang bonafid dan diminati oleh pasien-pasien dari golongan ekonomi atas. Rumah sakit seperti itu selayaknya dikelola berdasarkan manajemen bisnis dan menjadi salah satu unit usaha yang diharapkan memberikan kontribusi finansial bagi lembaga wakaf yang menaunginya. Namun demikian, hendaknya lembaga wakaf tetap memberikan layanan dalam bidang kesehatan yang merupakan salah satu unit wakaf langsung dengan mengandalkan dana dari unit-unit usaha produktif lainnya. Unit wakaf langsung dalam bidang kesehatan ini memberikan layanan secara gratis atau dengan biaya murah dan diperuntukkan bagi semua lapisan masyarakat yang bermaksud memanfaatkan layanan tersebut. Sebagai aset wakaf, unit-unit usaha yang dikelola lembaga wakaf harus memperhatikan konsep keabadian harta benda wakaf dan prinsip-prinsip syariah dalam berbisnis. Di atas sudah dijelaskan mengenai konsep pendidikan
300
yang sudah berkembang menjadi unit pendidikan yang dikelola dengan pendekatan bisnis. Lembaga tersebut bisa saja pada mulanya dimaksudkan sebagai unit wakaf konsumtif akan tetapi pada perkembangannya berubah menjadi unit wakaf produktif. Unit usaha wakaf dalam bidang pendidikan diyakini cocok menjadi salah satu jaringan bisnis wakaf sebab dapat mempertahankan konsep keabadian aset wakaf yang dalam hal ini berupa tanah dan bangunan. Di samping itu, asal mula usaha ini yang berawal dari unit wakaf konsumtif dapat membantu lembaga wakaf untuk meminimalisir risiko kerugian yang diakibatkan oleh rendahnya minat stakeholders untuk memanfaatkannya. Hal yang sama juga terjadi pada unit usaha wakaf dalam bidang kesehatan. Pada mulanya, unit usaha ini bisa berawal dari unit wakaf konsumtif yang berkembang menjadi unit usaha wakaf produktif karena dinilai mampu memberikan layanan bermutu dan diprediksi memiliki pangsa pasar yang jelas dan loyal. Berdasarkan asumsi tersebut, kemungkinan untuk mengalami kerugian juga dapat diminimalisir sedangkan konsep keabadian aset wakaf tetap terjaga karena tidak memiliki risiko tinggi atau spekulatif. Jenis usaha wakaf lainnya adalah usaha dalam bidang Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Jenis usaha ini diprediksi mampu memberikan keuntungan yang signifikan dan memiliki tingkat risiko yang kecil. Pada kenyataannya, unit usaha SPBU tidak hanya menjual bahan bakar minyak, melainkan dilengkapi dengan beberapa fasilitas dan unit usaha yang dapat menambah keuntungan bagi pengusaha SPBU.
301
Bidang usaha berikutnya yang dapat dikelola lembaga wakaf adalah pusat perbelanjaan modern dan komplek pertokoan dan perkantoran. Unit-unit usaha ini biasanya dilatarbelakangi oleh kepemilikan lembaga wakaf terhadap aset wakaf yang cukup luas dan terletak pada lokasi strategis. Lembaga wakaf hanya perlu mendirikan bangunan di atas lahan tersebut dalam bentuk kios-kios yang disewakan dan menyediakan fasilitas-fasilitas lain yang dimaksudkan untuk menarik minat masyarakat untuk mengunjungi dan belanja di komplek tersebut. Unit usaha lain yang dapat didirikan di atas lahan wakaf adalah bisnis kos-kosan, penginapan, dan hotel. Lembaga wakaf dapat memiliki modelmodel bisnis ini sesuai dengan kondisi aset wakaf yang dimilikinya dan lingkungan yang mengitarinya. Jika tanah wakaf terletak di lingkungan pendidikan atau kawasan industri, usaha dalam bentuk kos-kosan atau rumah kontrakan bisa menjadi pilihan alternatif. Namun jika lokasi tanah wakaf terletak pada lingkungan perdagangan dan pusat perbelanjaan, maka usaha yang cocok adalah dalam bentuk penginapan atau hotel berbintang. Unit usaha seperti ini juga sesuai dengan konsep wakaf yang memperhatikan prinsip keabadian aset wakaf dan tingkat spekulasi yang rendah. Unit usaha lainnya yang dapat dikembangkan lembaga wakaf berdasarkan lokasi dan kondisi aset wakaf yang dimiliki adalah usaha dalam bidang agrobisnis dan perikanan. Tanah wakaf yang berupa area persawahan dapat dikelola dalam bentuk usaha pertanian atau perkebunan. Sedangkan tanah wakaf yang memiliki sumber air yang bagus dapat dikelola menjadi
302
lahan perikanan atau tambak. Model pengelolaannya bisa dikelola secara mandiri melalui tim yang dibentuk khusus untuk mengelola usaha pertanian, perkebunan, dan perikanan atau disewakan kepada petani penggarap, baik disewakan secara langsung maupun melalui sistem lelang. Lembaga wakaf yang sudah besar dapat memiliki unit-unit usaha yang bergerak dalam berbagai bidang. Selain itu, lembaga wakaf juga memiliki unitunit layanan yang merupakan realisasi dari wakaf konsumtif. Dengan demikian, lembaga wakaf dapat menjadi induk dari divisi-divisi usaha wakaf produktif dan wakaf konsumtif. Masing-masing divisi atau bidang memiliki unit-unit usaha yang berkaitan dengan divisi tersebut. Selain itu, setiap unit dimungkinkan memiliki sub-sub unit yang merupakan kelengkapan atau pengembangan bagi unit yang dimaksud. Misalnya, divisi wakaf dalam bidang kesehatan dapat berupa unit-unit rumah sakit. Pada satu unit rumah sakit yang besar dipastikan memiliki sub-sub unit usaha yang merupakan kelengkapan atau fasilitas dari unis usaha rumah sakit, seperti apotik, ruang rawat inap, dan layanan medis lainnya. Usaha wakaf dalam bidang pendidikan dapat berupa lembaga pendidikan semenjak jenjang paling rendah hingga paling tinggi. Setiap lembaga pendidikan dapat memiliki sub-sub unit usaha yang melengkapi unit yang dimaksud, seperti koperasi, komplek pertokoan, kantin, unit usaha yang merupakan laboratorium bagi bidang keahlian tertentu, jasa konsultasi, dan lembaga kursus, pelatihan, atau training. Jenis pengembangan usaha yang dilakukan lembaga wakaf seperti di atas dapat berupa hoding company wakaf yang memiliki banyak perusahaan
303
dalam bergerak dalam bidang-bidang usaha yang berbeda-beda. Kebijakan yang berlaku pada perusahaan-perusahaan tersebut mengikuti kebijakan yang ditentukan oleh holding company wakaf. Pada skema model di atas, mauqu>f ‘alaih diposisikan sebagai pihak yang menikmati hasil wakaf. Bagi Munzir Qah}af (2006: 156), mauqu>f ‘alaih merupakan tujuan wakaf yang dapat berupa salah satu bidang kebaikan secara umum, tidak mengandung maksiat yang dilarang oleh syariat dan akhlak, dan tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Az-Zuh}aili> (1996: 10/7640) membagi mauqu>f ‘alaih menjadi dua, yaitu mauqu>f ‘alaih mu’ayyan dan mauqu>f ‘alaih g}air muayyan. Mauqu>f ‘alaih mu’ayyan adalah mauqu>f ‘alaih yang sudah ditentukan oleh wakif pada saat ikrar wakaf sedangkan mauqu>f ‘alaih g{air muayyan adalah mauqu>f ‘alaih yang tidak ditentukan oleh wakif. Mauqu>f ‘alaih mu’ayyan dapat berupa satu orang, sekumpulan orang, atau institusi tertentu seperti masjid, lembaga pendidikan, layanan kesehatan, dan lainnya. Sedangkan mauqu>f ‘alaih g{air mu’ayyan merupakan sasaran wakaf yang bersifat umum dan dapat meliputi kaum d}u’afa>, ulama, para pejuang, masjid-masjid, sekolah-sekolah, bendungan-bendungan, urusan jenazah, dan lainnya. Dalam skema di atas, mauqu>f ‘alaih dapat dibagi menjadi dua, yaitu mauqu>f ‘alaih yang merupakan sasaran wakaf secara langsung dan mauqu>f ‘alaih yang merupakan tujuan wakaf secara umum. Dalam skema ini, mauqu>f ‘alaih yang pertama disebut mauqu>f ‘alaih kha>s (penerima manfaat wakaf yang bersifat khusus) dan mauqu>f ‘alaih ‘a>m (penerima manfaat wakaf
304
secara umum). Mauqu>f ‘alaih kha>s merupakan sasaran wakaf yang harus memperhatikan syarat-syarat wakif (apabila ada) yang tertera dalam Akta Ikrar Wakaf atau sasaran wakaf yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sasaran wakaf yang disebutkan dalam Akta Ikrar Wakaf. Seperti dalam kasus bandha wakaf, wakaf untuk Masjid Agung Semarang memiliki makna yang luas karena meliputi konsep masjid yang menjadi pusat ibadah dan pusat peradaban. Seperti diketahui, konsep masjid merupakan konsep yang dinamis dan mengalami
perkembangan
sesuai
dengan
kondisi
masyarakat
yang
memanfaatkan masjid tersebut. Sedangkan mauqu>f ‘alaih ‘a>m atau yang bersifat umum merupakan sasaran wakaf yang tidak ditentukan wakaf dalam Akta Ikrar Wakaf maupun sasaran wakaf yang merupakan surplus dari hasil wakaf yang didistribusikan kepada mauqu>f ‘alaih kha>s. Dalam kasus bandha wakaf, Masjid Agung Semarang
merupakan
mauqu>f
‘alaih
kha>s.
Namun
dalam
perkembangannya, harta wakaf dimungkinkan akan memberikan hasil wakaf yang besar dan melebihi dari kebutuhan Masjid Agung Semarang sehingga kelebihan tersebut didistribusikan kepada masjid-masjid atau pihak-pihak lain yang berhak mendapatkannya. Semakin besar aset yang dimiliki dan semakin besar keuntungan yang diperoleh akan berdampak pada semakin banyaknya pihak yang menjadi mauqu>f ‘alaih. Hanya saja, antara mauqu>f ‘alaih ‘a>m dan mauqu>f ‘alaih kha>s diperlukan koordinasi yang baik agar terjalin kerjasama yang sinergis dan agar tidak menimbulkan efek kontraproduktif yang diakibatkan oleh distribusi hasil wakaf yang tidak adil.
305
Dalam hal ini, az-Zuhali (1996: 10/7650) menjelaskan syarat-syarat mauqu>f ‘alaih yang disebutnya gair mu’ayyan, yaitu hendaknya merupakan bidang-bidang kebaikan yang bersifat umum dan termasuk dalam kategori amal yang bertujuan mendekatkan diri atau taqarrub kepada Allah. Menurut Iman (www.elzawa-uinmaliki.org)67, mauqu>f ’alaih (sasaran wakaf) berkaitan erat dengan aspek qurbah atau mendekatkan diri kepada Allah dan aspek al-birr atau kebajikan. Cakupan yang dapat menjadi mauqu>f ‘alaih sangat luas karena meliputi seluruh bentuk kepentingan umum yang mengandung unsur taqarrub kepada Allah. Banyaknya bidang yang dapat menjadi mauqu>f ‘alaih menuntut nazhir bersikap cermat dalam menemukan sasaran manfaat wakaf secara tepat. Pada struktur lembaga keuangan syariah, biasanya terdapat Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kinerja lembaga keuangan syariah, khusunya dalam bidang kesesuaiannya dengan ilmu syariah. Sesuai dengan namanya, Dewan Pengawas Syariah bertugas melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah dan turut berperan dalam upaya pengembangan lembaga keuangan syariah. Lembaga wakaf dapat mengadopsi konsep Dewan Pengawas Syariah ini untuk memastikan praktik syariah pada kinerja lembaga wakaf. Pengawasan syariah tidak diterapkan secara eksplisit pada lembaga pengelola bandha wakaf. Pengawasan yang ada lebih bersifat manajerial dan tidak fokus pada permasalahan-permasalahan
syariah
dalam
bidang
pengelolaan
dan
pengembangan wakaf. Pengawasan ini bersifat menyeluruh terhadap seluruh 67
Diakses hari Jumat, 17 Pebruari 2012, pukul 03.00 WIB
306
aktifitas pengelolaan dan pengembangan wakaf, yaitu meliputi modal wakaf yang dimiliki, aktifitas fundraising dan pengembangan lembaga, bentuk-bentuk wakaf yang bersifat konsumtif dan produktif, dan distribusi hasil wakaf kepada mauqu>f ‘alaih. Pengawasan yang bersifat komprehensif dan dilakukan sejak dini penting dilakukan untuk meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan untuk menghindarkan lembaga wakaf dari masalah yang lebih besar. Para pengelola wakaf diharapkan memiliki komitmen terhadap penerapan
prinsip-prinsip
syariah
dalam
aktifitas
pengelolaan
dan
pengembangan harta benda wakaf karena penyimpangan dapat terjadi kapan saja dan pada level manapun. Agar pengawasan syariah dapat berjalan efektif, anggota Dewan Pengawas Syariah disyaratkan memiliki kualifikasi keilmuan yang memadukan antara ilmu syariah dengan ilmu ekonomi dan bisnis modern. Apabila pengangkatan anggota DPS tidak didasarkan pada keilmuannya, dikhawatirkan fungsi pengawasan DPS tidak berjalan efektif. Apabila kinerja lembaga wakaf mengabaikan kepatuhan terhadap prinsip syariah dikhawatirkan berdampak pada reputasi lembaga wakaf yang bermuara pada kekecewaan masyarakat dan merusak citra lembaga wakaf.\ Lebih lanjut, Dewan Pengawas Syariah dapat menjalin kerjasama pengawasan dengan Badan Wakaf Indonesia
yang
memang ditugaskan melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.
307
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, penelitian ini sampai pada kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengelolaan bandha wakaf Masjid Agung Semarang dilakukan dengan cara menggabungkan dua bentuk wakaf, yaitu wakaf produktif dan wakaf konsumtif. Dari segi variasi model, pengelolaan bandha wakaf telah memiliki sejumlah kamar model, yaitu pengelolaan wakaf untuk kegiatan ibadah, dakwah, layanan kesehatan, dan variasi jenis usaha dalam bentuk SPBU, pusat pertokoan, hotel, ruang pertemuan, dan perkantoran. Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun kamar-kamar model yang dimiliki bandha wakaf telah merambah berbagai bidang, pengelolaannya belum berhasil menjadikan Masjid Agung Semarang sebagai masjid yang kuat secara finansial. Hal itu disebabkan oleh buruknya sistem manajemen yang dapat dilihat dari buruknya implementasi prinsip-prinsip good corporate governance, yang terdiri dari prinsip transparansi, akuntabilitas, kewajaran, responsibilitas, dan independensi. 2. Pengembangan bandha wakaf dilakukan dengan cara memperbaiki bentuk-
bentuk pengelolaan yang sudah berjalan agar menjadi lebih produktif. Pengembangan bandha wakaf juga dilakukan dengan cara merencanakan dan membentuk kamar-kamar model baru yang belum dijalankan. Sebagian dari rencana pengembangan kamar-kamar model baru tersebut telah mendekati tahap realisasi sedangkan sebagian lainnya masih tahap perencanaan. 308
Jika ditinjau dari strategi pengembangan usaha yang ditawarkan Eriyatno, yaitu strategi strategi diferensiasi, diversifikasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi, pengembangan bandha wakaf telah menerapkan strategi-strategi tersebut. Sebagian aset bandha wakaf telah mengalami perkembangan yang signifikan, seperti pengembangan SPBU sehingga berhasil mendapatkan sertifikat Pasti Pas, memaksimalkan potensi bisnis pada lingkungan Masjid Agung Jawa Tengah, dan pengembangan komplek pertokoan BKM yang didesain ulang menjadi Wakaf Produktif Center. Dari segi penganekaragaam jenis usaha, pengelolaan bandha wakaf telah memiliki program-program yang meliputi bidang-bidang pokok dalam pengembangan wakaf, seperti bidang ibadah, pendidikan, kesehatan, dan bisnis. Para pengelola telah berhasil menyusun
sejumlah
model
pengembangan
yang
diprediksi
mampu
meningkatkan kinerja pengelolaan bandha wakaf. B. Implikasi 1. Implikasi Teoritik Secara teoritik, lembaga wakaf memang berbeda dengan lembaga bisnis murni. Namun besarnya aset wakaf yang bersifat produktif jika tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan tidak mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi maksud disyariatkannya wakaf. Kondisi bandha wakaf yang belum mampu diberdayakan secara maksimal membuktikan pentingnya tata kelola yang baik untuk mewujudkan lembaga wakaf yang amanah dan profesional. Penelitian ini membuktikan bahwa ketika prinsip-prinsip good corporate governance tidak dapat diimplementasikan dengan baik, ternyata
309
besarnya aset wakaf tidak mampu memberikan kontribusi seperti yang diekspektasikan banyak orang. Lembaga philanthropy atau lembaga keagamaan lainnya tidak cukup mengandalkan kepercayaan pada sosok pribadi atau lembaga tertentu, tetapi didasarkan pada standar kinerja yang dapat diukur dan menggunakan teknikteknik manajerial yang diterima secara universal. Sebaliknya, penerapan prinsip-prinsip good corporate governance saja tidak cukup apabila tidak didukung dengan pelaku-pelaku yang amanah dan bertanggung jawab. Oleh karena itulah penelitian ini melihat pentingnya sentuhan spiritual pada lembaga pengelola wakaf maupun lembaga keuangan syariah lainnya, seperti pentingnya kecerdasan emosi, spiritual, dan moral bagi pengelola sebagai penopang bagi kinerja manajerial yang baik. Berdasarkan uraian di atas, pengelolaan wakaf perlu dilakukan dengan apa yang dirumuskan dalam penelitian dengan istilah Good Waqf Governance, yaitu tata kelola wakaf yang tidak hanya menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance seperti yang disebutkan di atas, melainkan juga memperhatikan tentang karakteristik dari institusi wakaf itu sendiri. Sebagai bagian dari lembaga philantrophy, Good Waqf Governance perlu didukung oleh pengelola yang memiliki kemampuan manajerial yang bagus sekaligus memiliki komitmen keagamaan yang tinggi.
2. Implikasi Praktis
310
Ekspektasi yang tinggi dari stakeholders terhadap lembaga wakaf, khususnya bandha wakaf Masjid Agung Semarang, dapat dimaklumi mengingat besarnya aset wakaf yang dimiliki. Namun pengelolaan yang tidak baik dapat meruntuhkan ekspektasi tersebut sehingga menimbulkan gejolak dan kontroversi. Untuk itu, lembaga wakaf perlu mewujudkan prinsip-prinsip good corporate governance agar dapat memenuhi tuntutan masyarakat sebagai lembaga
yang amanah dan profesional.
Pengalaman
bandha wakaf
menunjukkan bahwa besarnya aset wakaf tidak serta merta menjadikan lembaga wakaf itu berhasil mewujudkan misinya sebagai lembaga yang bergerak dalam bidang pemberdayaan. Penelitian ini membuktikan pentingnya faktor manajerial dalam mengelola wakaf untuk mendekatkan ekspektasi masyarakat dengan hasil yang didapat lembaga wakaf. Jika kesenjangan itu tetap terjadi, diprediksi lembaga tersebut akan kehilangan trust dari stakeholders sehingga berdampak pada munculnya sikap apatis, baik dari masyarakat pengguna maupun dari pengelola itu sendiri. Secara praktis, para pengelola bandha wakaf perlu menerapkan tata kelola wakaf yang baik (Good Waqf Governance) dan segera mencari jalan keluar bagi permasalahan yang menghambat kinerja bandha wakaf, khususnya yang berkaitan dengan system kenazhiran. Untuk itulah lembaga wakaf harus mampu menunjukkan kinerja yang transparan dan bertanggung jawab di hadapan hukum Islam, Undang-Undang Wakaf, dan di hadapan masyarakat. Lembaga wakaf juga harus berusaha mewujudkan kinerja yang independen dan terbebas dari kepentingan-
311
kepentingan selain kepentingan pengelolaan dan pengembangan harta wakaf itu sendiri. Dari segi manajemen, pengelolaan harus dilakukan secara integratif sehingga terjalin sinergi antara satu unit dengan unit lainnya dan bekerja berdasarkan business plan yang baik sehingga dapat mewujudkan visi dan misi lembaga secara bersama-sama. Keseragaman langkah dalam mengelola wakaf hanya bisa dilakukan jika masing-masing personel mampu mengedepankan kepentingan wakaf di atas kepentingan pribadi atau golongan. Di sinilah pentingnya kecerdasan emosi dan spiritual dalam manajemen wakaf. Selain itu, pengembangan lembaga wakaf tidak dapat dikerjakan secara mandiri tanpa melibatkan pihakpihak lain. Pengelola wakaf perlu menjalin kerjasama dan jejaring dengan pihak-pihak yang memiliki kedekatan dengan visi dan misi wakaf, baik kerjasama dalam bidang permodalan maupun program. C. Rekomendasi Rekomendasi yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini adalah pentingnya lembaga wakaf untuk mewujudkan tata kelola wakaf yang baik dan mengikuti standar tata kelola yang berlaku pada lembaga-lembaga lain. Sudah saatnya wakaf dikelola secara transparan, akuntabel, amanah, dan terbebas dari berbagai kepentingan selain kepentingan wakaf itu sendiri. Untuk mewujudkan itu, lembaga wakaf dituntut memiliki garis manajerial yang jelas dan terpadu. Secara spesifik, rekomendasi dari penelitian ini disampaikan untuk pihakpihak berikut ini: 1. Untuk Ilmuwan Wakaf dan Hukum Islam
312
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi ilmuwan hukum Islam maupun bagi akademisi akan pentingnya penerapan tata kelola yang baik bagi lembaga keuangan syariah, khususnya lembaga wakaf. Penerapan prinsipprinsip good corporate governance diharapkan dapat memberikan sentuhan yang baik bagi pengelolaan lembaga-lembaga keuangan syariah, baik yang bersifat profit seperti perbankan syariah maupun non profit seperti lembaga zakat. Sedangkan dalam hal pengembangan usaha, teknik perluasan skala usaha dan teknik perluasan cakupan usaha dapat diterapkan pada lembagalembaga yang berusaha mengembangkan usahanya, baik secara bisnis maupun di luas bisnis. Pengembangan itu bisa dilakukan secara internal melalui proses intensifikasi dan secara eksternal melalui diversifikasi. Teori-teori tersebut dapat dijadikan sebagai pisau analisis untuk menilai lembaga-lembaga keuangan syariah yang saat ini sudah semakin banyak agar bertambahnya secara kuantitas juga diiringi dengan meningkatnya kualitas pengelolaan dan pengembangan. Teori-teori tersebut juga dapat dijadikan referensi pada saat menyampaikan materi, baik dalam seminar maupun perkuliahan,
sehingga
dapat
dikembangkan
lebih
lanjut,
diperbaiki
kelemahannya, dan dan diadopsi kelebihannya. 2. Untuk Praktisi Pengelola Wakaf Penelitian ini sampai pada rumusan model tata kelola wakaf yang merupakan pengembangan dari teori tata kelola wakaf dan kontribusi dari data lapangan yang terjadi pada bandha wakaf Masjid Agung Semarang. Pada saat
313
lembaga wakaf masih memiliki aset yang terbatas, tata kelola wakaf masih dapat
dilakukan
dengan
manajemen
konvensional.
Seiring
dengan
perkembangan lembaga wakaf dan bertambahnya aset, tata kelola wakaf akan menghadapi permasalahan yang kompleks sehingga diperlukan gagasangagasan yang mencerahkan. Model yang dirumuskan dalam penelitian ini dapat menjadi salah satu varian bagi model-model pengelolaan wakaf, terutama bagi lembaga wakaf yang memiliki aset besar dan melibatkan banyak stakeholder. a. Untuk Pengelola Wakaf secara Umum Bagi praktisi wakaf, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi terwujudnya tata kelola wakaf yang baik. Para pengelola wakaf dapat menjadikan prinsip-prinsip good corporate governance sebagai acuan dalam menjalankan lembaganya. Penerapan good corporate governance diharapkan dapat membantu tercapainya manajemen wakaf yang transparan, akuntabel, dan independen. Pengalaman bandha wakaf dapat dijadikan pelajaran bahwa besarnya aset wakaf bukan semata-mata tujuan yang harus dikejar. Penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen pengelolaan yang baik memiliki tingkat urgensi yang tidak boleh diabaikan karena aset yang besar jika dikelola secara tidak benar ternyata tidak mendatangkan hasil seperti yang diharapkan. Selain itu, pengelola lembaga wakaf dapat menggunakan teknikteknik pengembangan usaha yang telah dirumuskan oleh para ahli dalam bidang tersebut dalam upayanya mengembangkan aset wakaf dengan baik
314
agar dapat memberikan hasil lebih besar. Pengelola wakaf tidak boleh cepat merasa puas dengan hasil yang diperoleh karena lembaga wakaf tidak dikelola untuk mewujudkan kepentingan mereka sendiri, melainkan untuk menjalankan sebuah misi yang berorientasi pada kesejahteraan orang banyak. Berdasarkan pola pikir seperti ini, manajemen wakaf merupakan proses yang tidak pernah selesai (never ending process) karena bergerak pada ruang yang selalu aktual sepanjang perjalanan hidup manusia, yaitu mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan. Unit usaha wakaf yang sudah ada perlu ditingkatkan dan potensi usaha yang dapat diraih perlu diwujudkan. Semua itu dilakukan dengan tetap memperhatikan kultur dan kondisi masing-masing lembaga. b. Untuk Pengelola Bandha Wakaf Masjid Agung Semarang Secara praktis, para pengelola bandha wakaf sudah saatnya menemukan solusi bagi pola pengelolaan yang melibatkan tiga lembaga tersebut. Seperti dijelaskan dalam penelitian ini, masalah kenazhiran merupakan salah satu persoalan yang menjadikan pengelolaan tidak maksimal. Penelitian ini juga menemukan bahwa beberapa sumber data yang berhasil diwawancarai menekankan perlunya solusi yang menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution). Menurut peneliti, upaya menuju solusi bersama tersebut selayaknya segera direalisasikan. Penelitian ini menyimpulkan masing-masing lembaga mengelola dan mengembangkan bandha wakaf secara terpisah dan tidak didasarkan
315
pada konsep yang mencerminkan visi dan misi bandha wakaf. Oleh karena itu penelitian ini merekomendasikan kepada para pengelola bandha wakaf agar duduk bersama untuk menyusun visi dan misi yang dapat dijadikan sebagai rujukan bersama bagi pengelolaan bandha wakaf. Dari segi implementasi prinsip-prinsip manajemen, penelitian ini merekomendasikan kepada para pengelola bandha wakaf agar menerapkan tata kelola wakaf yang baik (Good Waqf Governance) yang terdiri dari prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, kewajaran, dan independensi. Sebagai konsekuensi dari implementasi prinsip-prinsip tersebut, diantaranya pengelola bandha wakaf diharapkan untuk membuka akses informasi yang lebih lebar bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengetahui kondisi riil bandha wakaf. Keterbukaan informasi akan memberikan kesempatan kepada stakeholders untuk memberi masukan yang berharga bagi pengelolaan dan pengembangan bandha wakaf. 3. Untuk Pemegang Kebijakan atau Pemerintah Keberadaan lembaga wakaf dapat diharapkan membantu programprogram
Pemerintah
terutama
yang
berkaitan
dengan
pemberdayaan
masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah. Seiring dengan maraknya ide good governance dan good corporate governance, Pemerintah dapat mengambil inisiatif untuk mendorong terwujudnya tata kelola wakaf yang baik. Pengalaman dari pengelolaan bandha wakaf menunjukkan bahwa Pemerintah yang diwakili Kementerian Agama, Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, dan Pemerintah Kota Semarang telah turut berperan dalam
316
pengelolaan bandha wakaf. Kelemahan yang perlu dihindari dari pengalaman tersebut adalah rendahnya tingkat komunikasi antara pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan bandha wakaf. Apabila Pemerintah mampu menjadi penengah yang menjembatani kesenjangan dalam pengelolaan tersebut, kondisi bandha wakaf diharapkan lebih baik. Di antara langkah praktis yang dapat dilakukan Pemerintah adalah melakukan sosialisasi Undang-Undang Wakaf dan berusaha memastikan adanya kepatuhan lembaga-lembaga wakaf terhadap Undang-Undang Wakaf tersebut sehingga keberadaan lembaga wakaf dapat dipertanggungjawabkan di hadapan hukum yang berlaku. Sosialisasi dapat dilakukan melalui berbagai program, seperti pelatihan, workshop, dan seminar. 4. Untuk Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya, khususnya peneliti wakaf maupun lembaga keuangan syariah lainnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan inspirasi akan pentingnya penggunaan teori-teori manajemen untuk dijadikan sebagai pisau analisis bagi pengelolaan sebuah lembaga keagamaan. Prinsipprinsip dalam good corporate governance dapat dijadikan sebagai tool atau alat untuk menganalisis proses manajemen pada lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan penelitian mengenai model kepemimpinan yang terjadi pada para pengelola bandha wakaf dengan menjadikan salah satu pertanyaan utamanya
317
adalah bagaimanakah model kepemimpinan dalam manajemen bandha wakaf yang dilakukan oleh tiga lembaga. Dari segi pengembangan usaha, penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi akan pentingnya mengembangkan unit-unit usaha bagi sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pemberdayaan umat. Pengembangan usaha pada lembaga wakaf maupun lembaga lainnya dapat dilakukan dengan cara memaksimalkan potensi usaha yang sudah ada atau dengan cara merambah jenis-jenis usaha baru untuk mengembangkan potensi-potensi bisnis yang belum diberdayakan.
318
DAFTAR PUSTAKA ‘A>bidi>n, Muh}ammad Ami>n Asy-Syahi>r bi Ibn, 1994, Rad al-Muh{ta>r ‘Ala> ad-Dur al-Mukhta>r Syarh{ Tanwi>r al-Abs}a>r, Bairu>t: Da>r alKutub al-Ilmiyyah. Abidin, Hamid, dan Kurniawati, 2008, Mensejahterakan Umat dengan Zakat: Potensi dan Realita Zakat Masyarakat di Indonesia, Jakarta; Piramedia. Adi, Rianto, 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Penerbit Granit. Afandi, M. Yazid, 2009, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syari'ah, Yogyakarta: Logung Pustaka. Agustian, Ary Ginanjar, 2001, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient, Jakarta: Penerbit Agra. Ahmad, Kamaruddin, 1996, Dasar-Dasar Manajemen Investasi dan Portofolio, Jakarta: Rineka Cipta. Ali, Sayuthi, 2002, Metode Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Alma, Buchari, dan Donni Juni Priansa, 2009, Manajemen Bisnis Syariah, Bandung: Penerbit Alfabeta. Anggara, Surya, 2012, Ilmu Administrasi Negara: Kajian Konsep, Teori, dan Fakta dalam Upaya Menciptakan Good Governanace, Bandung: Pustaka Setia Antonio, Muhammad Syafii, 2009, Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager, Jakarta: ProLM Centre & Tazkia Publishing, cet. XVI Armansyah, 2009, Peranan dan Pemberdayaan Komite Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan SMA Negeri di Kota Binjai, Tesis tidak dipublikasikan pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Al-‘Asqala>ni>, Ah}mad Ibn ‘Ali> Ibn H{ajar, 2000, Fath} al-Ba>ri> Syarh{ S{ah}i>h Bukha>ri>, Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Ayub, Moh E., 2005, Manajemen Masjid, Jakarta: Gema Insani Bamualim, Chaider S, dan Irfan Abubakar (edt), 2005, Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
319
Al-Ba@qi@, Ibra@hi@m Mah{mu@d ‘Abd, 2006, Daur al-Waqfi fi> Tanmiyyah al-Mujtama’ al-Madani>: Numu>z}aj al-Ama>nah al-A>mmah li alAwqa>f bi Daulah al-Kuwait, Kuwait: al-Ama>nah al-‘A>mmah li alAwqa>f. Al-Barry, M. Dahlan. Y, dan Yacub, L.Lya Sofyan, 2003, Kamus Induk Istilah Ilmiah, Surabaya: Penerbit Target Press. Binhadi, dkk., 2006, Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, Jakarta: Komite Nasional Kebijakan Governance. Bisri, Cik Hasan, 2004, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Bungin, M. Burhan, 2008, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana. Cahyo, Nur, 2012, Implementasi Pengalihan Pekerjaan Penunjang dengan Outsourcing, diunduh pada hari Selasa, 15 Januari 2013, dari http://angkringanindustrialrelation.blogspot.com/2012/05/implementasipengalihan-pekerjaan.html Daryono, Slamet, 2001, Raibnya Harta Wakaf Masjid Besar Semarang dan Upaya Pengembaliannya dalam Tinjauan Hukum Islam, skripsi tidak dipublikasikan, Fakultas Syariah IAIN Walisongo Ad-Dasu>qi>, Muh}ammad ibn Ah}mad ibn ‘Arafah, 1996, Ha>syiyah adDasu>qi>, Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Depary, Astrid Orsini, 2010, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pemasaran di Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU) di Semarang, tesisi tidak dipublikasikan, Program Pascasarjana Magister Manajemen Universitas Diponegoro. Depdiknas, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Dewi, Gemala, dkk., 2005, Hukum Perikatan Islam, Jakarta: Kencana. Djunaidi, Ahmad, dkk, 2008, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag RI -------------------------, 2008, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag RI. Dumper, Michael, 1999, Wakaf Muslim di Negara Yahudi, Jakarta: Penerbit Lentera.
320
Emir, 2012, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Erfanie, Sairi, 2008, “Wakaf Sebagai Instrumen Investasi Publik”, dalam Jusmaliani (ed.), Investasi Syariah, Yogyakarta: Kreasi Wacana. Furchan, Arief, 1992, Pengantar Metode Penbelitian Kualitatif, Surabaya: Penerbit Usaha Nasional. Ghazaly, Abdul Rahman, dkk., 2010, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Goleman, Daniel, 2001, Working With Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. ------------------------, 2004, Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional, Mengapa EI lebih Penting daripada EQ, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gomes, Faustino Cardoso, 2003, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jogjakarta: Penerbit Andi Hadi, Waluyo, dan Dini Hastuti, 2011, Kamus Terbaru Ekonomi dan Bisnis, Surabaya: Reality Publisher H{amma>d, Nazi>h, 1995, Mu’jam al-Mus}t}alaha>t al-Iqtis}a>diyyah fi> Lugati al- Fuqaha>~, Virginia: al-Ma’had al-‘A>lami> li al-Fikri alIsla>mi> Handoko, T. Hani, (1990), Manajemen Edisi II, Jogjakarta: BPFE Harahap, Sofyan Syafri, 1996, Manajemen Masjid, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. Hasibuan, Malayu S.P., 2003, Manajemen: Dasar, Pengertian, dan Masalah, Jakarta: Bumi Aksara, cet. ke-II Al-H}at}t}a>b, Abu> ‘Abdulla>h Muh}ammad ibn Muh}ammad ibn ‘Abdurrahma}n al-Magribi> al-Ma’ru>f bi, 1995, Mawa>hib al-Jali>l li Syarh} Mukhtas}ar Khali>l, Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Hendrawan, Sanerya, 2009, Spiritual Management From Personal Enlightenment Towards God Corporate Governance, Bandung: Mizan. Huda, Nurul, dan Mustafa Edwin Nasution, 2007, Investasi pada Pasar Modal Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
321
Husein, M., 2006, Pengelolaan Tanah Wakaf Produktif (Studi Kasus Tanah Wakaf Dalam Bentuk Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Kelurahan Sawah Besar Kecamatan Gayamsari Kota Semarang), skripsi tidak dipublikasikan, Jurusan Ahwal Syahsiyah, Fak. Syariah IAIN Walisongo. Iman, Nurul, 2010, Telaah Konsep Mauqu>f ‘Alaih, diunduh pada tanggal 17 Pebruari 2012, dari: http://www.elzawa-uinmaliki.org/telaah-konsep-mauquf%E2%80%98alaih-dalam-rangka-optimalisasi-peruntukan-harta-wakaf/
Ismawati, 2006, Continuity and Change: Tradisi Pemikiran Islam di Jawa Abad XIX-XX, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI. Ismawati, 2007, Penyelesaian Sengketa Tanah Wakaf; Studi Terhadap Tanah Wakaf Banda Masjid Agung Semarang, tesis tidak dipublikasikan, Program Studi Kenotariatan, Program Pascasarjana Undip. Juliadi, 2007, Masjid Agung Banten: Nafas Sejarah dan Budaya, Yogyakarta: Penerbit Ombak. Al-Kabi@si@, Muhammad ‘A>bid ‘Abdulla>h, 2003, Hukum Wakaf, Depok: IIman Press. Kamaludin, Undang Ahmad, dan Muhammad Alfan, 2010, Etika Manajemen Islam, Bandung: Pustaka Setia. Kasi>r, Abu> al-Fida>' al-H}a>fiz{ Ibn, 1994, Tafsi>r al-Qura~>n al-‘Az}i>m, Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Leboeuf, Michael, 2007, The Perfect Business, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama MAJT, Tim Peneliti, 2008, Sejarah Masjid Besar Kauman Semarang dan Masjid Agung Jawa Tengah, Semarang: MAJT Press. Mahdi>, Mahmu>d Ah}mad (ed.), 2003, Niz}a>m al-Waqfi fi at-Tatbi>q alMu’a>s}ir, Kuwait: Al-Ama>nah al-‘A>mmah li al-Awqa>f. Mangunsuwito, S.A. 2004, Kamus Bahasa Jawa: Jawa-Indonesia, Bandung: Yrama Widya. Manz|u>r, Ibn , t.th., Lisa>n al-‘Arab, Da>r al-Ma’a>rif. Marcus, Alan J., dkk., 2006, Investment: Investasi, Jakarta: Salemba Empat Merdeka, Suara, 2011, BKM Serahkan Bandha Masjid, ttp://www.suara merdeka.com/v2/index.php/read/cetak/2011/05/25/147639/BKM-Serahkan -Bandha-MasjidMubarok, Jaih, 2008, Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
322
Muhaimin, 2011, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press Mulyana, Dedi, 2008, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cetakan VIII. Al-Munawwar, Said Agil Husin, 2004, Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial, Jakarta, Penamadani, cet. I. Munawwir, A.W., 2002, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif. Munif, Achmad, 2002, Ruilslag (Tukar Guling) Tanah Wakaf dengan Tanah Lain yang Bukan Tanah Wakaf {Studi Kasus Tukar Guling Tanah Wakaf Milik Banda Masjid Agung Semarang, Dengan Tanah Lain yang Bukan Tanah Wakaf", skripsi tidak dipublikasikan, Fakultas Syariah IAIN Walisongo An-Naisa>bu>ri>, al-Ima>m Abu> al-H{usain Muslim ibn al-H{ajja>j, 1995, S{ah{i>h{ Muslim, Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Najib, Tuti A dan al-Makassari, ed., Ridwan, 2006, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: CSRC Nasution, Mustafa Edwin, dan Uswatun Hasanah, 2005, Wakaf Tunai-Inovasi Finansial Islam Peluang Dan Tantangan Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, Jakarta: PKTTI-UI, cet. I. Nazir, Moh., 1988, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia. Nihayah, Durotun, 2006, Analisis Hukum Islam terhadap Pendayagunaan Harta Wakaf (Studi Lapangan di BKM Kabupaten Demak), skripsi tidak dipublikasikan, Jurusan Ahwal Syahsiyah, Fakultas Syariah IAIN Walisongo. Noor, Ismail, 2011, Manajemen Kepemimpinan Muhammad, Bandung: Mizan Nurdin, Arifin, 2011, Urgensi Sinergi dalam Pemberdayaan Wakaf, http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=836:urg ensi-sinergi-kelembagaan-dalam-pemberdayaanwakaf&catid=27:opini&Itemid=137&lang=en Pasyah, Noorhilal, dkk., 2005, Nazhir Profesional dan Amanah, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Jakarta. Pena, Tim Prima, t.th., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Penerbit Gitamedia Press.
323
Poerwadarminta, WJS., 2005, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Prawirosento, E. Suyadi, 1995, Model Pembangunan Sumber Daya Manusia Negara-Negara Berkembang, Yogyakarta: BPFE Print, Murray, 1993, Curriculum Development and Design, Sydney: Allen & Unwin Pty Ltd. Putra, Nusa, 2013, Metode Penelitian Kualitatif Manajemen, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Qabba>ni>, Marwa>n ‘Abd ar-Rauf, 2000, “Mu~’assasah al-Waqf fi> at-Tat}bi>q al-Mu’a>sir: Numu>zaj al-Awqa>f fi> al-Jumhu>riyyah alLubna>niyyah”, dalam Majalah Awqa>f yang diterbitkan al-Ama>nah al‘A>mmah li al-Awqa>f di Kuwait, zero issue, November 2000 Qahaf, Munzir, 2006, al-Waqf al-Isla>mi>: Tat}awwuruhu, Ida>ratuhu, Tanmiyyatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr. Quda>mah, asy-Syaikh al-Ima>m al-‘Ala>mah Ibn, t.th., al-Mugni>, Bairu>t: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah. Al-Qurt}ubi>, al-Ima>m Abu> ‘Abdulla>h Muh}ammad ibn Ah}mad alAns}a>ri>, 1993, al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qura~n, Bairu>t: Da>r alKutub al-‘Ilmiyyah Rahardjo, Mudjia, 2010, Triangulasi dalam Penelitian http://mudjiarahardjo.com/artikel/270.html?task=view.
Kualitatif,
Rivai, Veithzal, 2004, Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Rizqi, Mali>h}{ah Muh}ammad, 2006, at-Tat{awwur al-Mua~ssasi li Qit{a>’ alAwqa>f fi> al-Mujtama’a>t al-Isla>miyyah, Kuwait: Al-Ama>nah al‘A>mmah lil-Awqa>f. Rofiq, Ahmad, 1995, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press. Rozalinda, 2010, Pengelolaan Wakaf Uang: Studi Kasus pada Tabung Wakaf Indonesia (TWI) Dompet Dhuafa Republika, disertasi tidak dipublikasikan pada Sekolah Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syari>f Hidya>tulla>h. ……………, 2010, Pengelolaan Wakaf Uang pada Tabung Wakaf Indonesia (TWI) Dompet Dhuafa Republika, http://rozalinda. wordpress.com /2010/05/04/manajemen-investasi-wakaf-uang/
324
Sa>biq, Sayyid, 1412 H, Fiqh al-Sunnah, Cairo: Da>r al-Fath} Li al-I'la>m al‘Arabi>. Sa’diyah, Ana Rokhmatus, dan Suratman, 2011, Hukum Investasi dan Pasar Modal, Jakarta: Sinar Grafika. As}-S{alah}a>t, Sa>mi> Muhammad, 2006, Al-I’la>m al-Waqfi>: Daur wasa>i~l al-ittis}a>l al-jama>hiri fi> da’mi wa t}at}wi>ri a~da>i~ al-muassasa>t al-Waqfiyyah, Kuwait: Al-Ama>nah al-‘A>mmah lil-Awqa>f, Ida>rah adDira>sa>t wa al-’Ila>qa>t al-Kha>rijiyyah. As}-S}an’a>ni>, al-Ima>m Muh}ammad ibn Isma>’il al-Ami>r al-Yamani>, 1988, Subul as-Sala>m Syarh} Bulu>g al-Mara>m min Jam’i adillah alAhka>m, Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Sani, M. Anwar, 2010, Jurus Menghimpun Fulus: Manajemen Zakat Berbasis Masjid, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Santoso, Pandji, 2009, Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance, Bandung: Refika Aditama. Sari, Elsi Kartika, 2006, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, Jakarta: Penerbit PT Grafindo. As}-S}a>wi>, asy-Syaikh Ah}mad, 1995, Bulgah as-Sa>lik li Aqrab al-Masa>liki ‘ala> asy-Syarh} as-Sagi>r li al-Qutb Sayyidi> Ah}mad ad-Dardi>ri, Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Sedarmayanti, 2007, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan yang Baik), Bandung: Mandar Maju. Shihab, M. Quraish, 2001, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, cet. ke-XII. --------------------------, 2008, Berbisnis dengan Allah: Tips Jitu Jadi Pebisnis Sukses Dunia-Akhirat, Tangerang: Penerbit Lentera Hati Simbolon, Harry Andrian, 2010, Desentralisasi dan Akuntansi Pertanggungjawaban, diunduh pada hari Jum’at, 11 Januari 2013 dari http://akuntansibisnis.wordpress.com/2010/06/16/desentralisasi-danakuntansi-pertanggungjawaban. Siswanto, 2005, Panduan Praktis Organisasi Remaja Masjid, Jakarta: Pustaka AlKautsar. Stoner, James AF, Alfonsus Sirait, 1996, Majanemen Jilid 2, Jakarta: Penerbit Erlangga, Cet. ke-2
325
Sudarsono, 2002, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta Sudarsono, Heru, 2007, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisis Kampus FE UII, cet. IV Suhardo, dkk., 2008, Model Pengembangan Wakaf Produktif, Jakarta: Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf. Sule, Erni Tisnawati, Kurniawan Saefullah, 2005, Pengantar Manajemen, Jakarta: Kencana, cet.ke- 1 Sumadji, P., dkk., 2006, Kamus Ekonomi, Penerbit Wipress. Sunarti, Mamik, 2006, Analisis Hukum Islam terhadap Pemberdayaan Ekonomi Harta Wakaf (Studi Lapangan Harta Wakaf Masjid Agung Semarang). Skripsi tidak dipublikasikan, Jurusan Muamalah, Fakultas Syariah IAIN Walisongo. Suryana, 2001, Kewirausahaan, Jakarta: Salemba Empat. Surah, Abu> ‘I<sa> Muh{ammad ibn ‘I<sa> ibn, t.th, al-Ja>mi>’ as-S{ah{i>h{ wa huwa Sunan at-Tirmizi>, Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Sutedi, Adrian, 2011, Good Corporate Governance, Jakarta: Sinar Grafika As-Suyu>t{i>, al-H{a>fiz Jala>luddi>n, t.th., Syarh{ Sunan an-Nasa>i~, Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Syahidin, 2003, Pemberdayaan Umat Berbasis Masjid, Bandung: AlFabeta. Asy-Syarbi>ni>, Syamsuddi>n Muh}ammad ibn Muh}ammad al-Khati>b, 1994, Mugni> al-Muh}ta>j ila> Ma’rifah Alfa>z} al-Minha>j, Bairu>t: Da>r alKutub al-Ilmiyyah. Asy-Syu’aib, Kha>lid ‘Abdulla>h, 2006, an-Naz}a>rah ‘ala> al-Waqfi, Kuwait: Al-Ama>nah al-‘A>mmah li al-Awqa>f. At}-T{aba>ri>, Muhammad Ibn Jari>r Ibn Yazi>d Ibn Kasi>r Ibn Ga>lib al‘A>mili>, Abu> Ja'far, 2000, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta'wi>l al-Qur'a>n, Beirut: Mua~ssasah ar-Risa>lah Tamin, Oytar Z., 2000, Perencanaan dan Permodelan Transportasi, Bandung: Penerbit ITB, cetakan II. Terry, George R, Leslie W. Rue, 2005, Dasar-Dasar Manajemen, Jakarta: Bumi Aksara, cet. ke-9
326
UNDP, United Nation Development Programme/Governance Unit Jakarta, 2002, Introduction Good Local Governance: The Indonesian Experience, http://www.undp.or.id/programme/governance/intro_glg.pdf Wahid, Nazaruddin Abdul, 2010, Sukuk: Memahami dan Membedah Obligasi pada Perbankan Syariah, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Yusuf, Agus Fathuddin, 2000, Melacak Banda Masjid yang Hilang, Semarang: Aneka Ilmu. Zahrah, Muh}ammad Abu>, 1971, Muhad}ara>t fi al-Waqf, Beirut: Da>r al-Fikr al-Arabi>. Zaid, Ahmad Abu>, 2000, Niz}a>m al-Waqf al-Isla>mi>: Tat}wi>ru Asa>li>b al-‘Amal wa Tah}li>l Nata>~’ij Ba’d}i ad-Dirasa>t al-H{adi>s|ah, Kuwait: Kerja sama ISESCO dan al-Ama>nah al-‘A>mmah li al-Awqa>f Az-Zarqa>, Must}afa> Ah}mad, t.th., Ahka>m al-Waqfi, Dar Ammar. Zein, Abdul Baqir, 1998, Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia, Jakarta: Gema Insani Pers Zohar, Danah, dan Ian Marshall, 2007, SQ: Kecerdasan Spiritual, Bandung: Mizan, cet. IX. az-Zuh}aili>, Wahbah, 1997, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, Beirut: Dar alFikr, cetakan IV.
327
DAFTAR WAWANCARA Wawancara dengan Agus Fathuddin Yusuf, (Sekretaris Badan Pengelola MAJT), pada hari Selasa, tanggal 13 April 2010, jam 09.30-11.00 WIB, di kantor sekretariat Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah. Wawancara dengan Arifin, (mantan Staf BKM Kota Semarang, sekarang menjabat urusan ibadah haji Kementerian Agama Kota Semarang), pada hari Senin, tanggal 17 Pebruari 2011, jam 20.00-22.00 WIB, di rumah Bapak Arifin di Palebon. Wawancara dengan Bu Carik Werdoyo, (isteri Bapak Carik Werdoyo), pada hari Selasa, tanggal 08 Mei 2012, jam 11.00-12.00 WIB, di rumahnya di Desa Werdoyo. Wawancara dengan Fatquri, (Kepala Tata Usaha Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah), pada hari Sabtu, tanggal 10 April 2010, jam 10.00-11.30 WIB, di sekretariat Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah. Wawancara dengan Fery Pujiyanto, (Manajer SPBU Masjid Agung Semarang) pada hari Kamis, tanggal 28 Pebruari 2013, jam 09.00-10.00 WIB, di kantor sekretariat SPBU MAS. Wawancara dengan Ghufron, (Staf Taman Bacaan Masjid Agung Semarang), pada hari Senin, tanggal 29 N0vember 2010, di ruang baca Masjid Agung Semarang. Wawancara dengan Hanif Ismail, (Ketua Bidang Ketakmiran Badan Pengelola Masjid Agung Semarang), pada hari Jumat, tanggal 16 Juli 2010, jam 11.00-11.30 WIB, di kantor sekretariat Badan Pengelola Masjid Agung Semarang. Wawancara dengan Hasan Toha Putra, (Ketua Badan Pengelola Masjid Agung Semarang) pada hari Senin, tanggal 16 April 2012, jam 10.00-11.30 WIB, di kantor Yayasan Badan Wakaf UNISULA. Wawancara dengan Joko, (pengguna atau penyewa kios MAJT) pada hari Selasa, tanggal 13 April 2010, jam 11.00-11.30 WIB, di kios MAJT. Wawancara dengan Khamad Ma’shum, (Ketua Bidang Usaha Badan Pengelola Masjid Agung Semarang dan MAJT), pada hari Selasa, tanggal 01 Maret 2011, jam 14.00-14.30 WIB di rumahnya tidak jauh dari Masjid Agung Semarang. Wawancara dengan Muchtar, (karyawan SPBU Masjid Agung Semarang), hari Rabu, tanggal 16 Pebruari 2011, di SPBU Masjid Agung Semarang. Wawancara dengan Muhsin Jamil (Wakil Sekretaris BP. MAJT), hari Kamis, tanggal 28 Pebruari 2013, jam 12.15-13.00 WIB, di hotel Pandanaran. Wawancara dengan Muhtarom, (Ketua Bidang Ketakmiran Masjid Agung Jawa Tengah), pada hari Senin, tanggal 02 November 2009, jam 10.00-11.00 328
WIB, di kantor sekretariat Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah. Wawancara dengan Nawawi, (warga Selowiri, Damak), pada hari Selasa, tanggal 08 Mei 2012, jam 14.00-15.30 WIB, di Selowiri, Demak. Wawancara dengan Wahid Ahmad (mantan Kepala Unit SPBU Masjid Agung Semarang dan pengurus Badan Pengelola bagian pemeliharaan aset), hari Selasa siang, 01 Maret 2011, jam 10.30 – 11.45 WIB, di lantai atas Sekretariat Badan Pengelola Masjid Agung Semarang. Wawancara dengan Witoyo, (Anggota BP. MAS dan Mantan Pengurus BKM), pada hari Kamis, tanggal 28 Pebruari 2013, jam 10.00-11.30 WIB, di kantor sekretariat SPBU MAS.
329
GLOSARI
Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, system dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Badan Pengelola adalah lembaga yang bertugas menjaga kesucian dan kemakmuran masjid, menyelenggarakan tugas administratif dan teknis pengelolaan kekayaan masjid, dan melaksanakan pembangunan masjid. Dalam penelitian ini adalah Badan Pengelola Masjid Agung Semarang dan Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah. Bandha wakaf adalah kekayaan atau harta benda wakaf yang dimiliki oleh Masjid Agung Semarang berupa tanah yang diberikan oleh Ki Ageng Pandan Arang yang merupakan pendiri sekaligus bupati pertama Kota Semarang BKM atau Badan Kesejahteraan Masjid adalah lembaga di bawah pembinaan Kementerian Agama yang bertujuan menjaga martabat, kesucian, kehormatan, dan kesejahteraan masjid dan meningkatkan ida>rah, ima>rah, dan ri’a>yah masjid dan tempat ibadah umat Islam lainnya. Dekonsentrasi adalah upaya pemindahan fungsi manajemen dari tingkat pusat ke tingkat unit yang lebih bawah dalam suatu organisasi yang sama, tetapi kontrol keseluruhan program tetap di tingkat pusat. Desentralisasi adalah proses penyebaran kegiatan produksi untuk mengurangi risiko usaha dengan cara mengalihkan sebagian lini bisnis pada unit-unit berbeda. Diferensiasi adalah strategi perusahaan untuk memiliki produk atau menawarkan layanan (jasa) berbeda dengan produk atau layanan yang ditawarkan oleh perusahaan lainnya. Diversifikasi adalah upaya memperbanyak jenis usaha sehingga dapat memperbanyak produk dan dapat menambah keuntungan hasil usaha. Ekstensifikasi adalah upaya peningkatan hasil usaha dengan cara memperluas wilayah produksi sehingga dapat menghasilkan jumlah yang lebih besar dan dapat memasarkan barang pada area yang lebih luas. Entrepreneurship adalah kewirausahaan yang menekankan pada aspek kemampuan naluriah dalam mengombinasikan pengenalan sesuatu yang baru, khususnya dalam hal pengenalan produksi, metode produksi, pengenalan pasar, penyediaan bahan mentah, dan sistem organisasi. Good Corporate Governance adalah adalah praktik pengelolaan perusahaan yang menerapkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
330
kewajaran dan keadilan, dan independensi untuk menjamin keseimbangan dalam pemenuhan kepentingan seluruh stakeholders. Independensi adalah suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh / tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Intensifikasi adalah upaya peningkatan hasil usaha melalui penggunaan berbagai macam teknologi yang dapat meningkatkan volume produksi dan kualitasnya. Kecerdasan emosi adalah suatu kecerdasan yang merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna ibadah melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia seutuhnya, memiliki pola pemikiran tauhidi, dan berprinsip ikhlas karena Allah semata. Kejujuran dan Kewajaran adalah keadilan dan kesetaraan didalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan yang dilakukan oleh sebuah lembaga agar mampu mencapai tujuan dan sukses dalam kegiatannya. Mauqu>f ‘alaih adalah orang atau kelompok orang yang menerima manafaat wakaf, seperti para murid di pesantren yang mendapat manfaat dari aset wakaf. Model adalah gambaran atau representasi dari sebuah kenyataan, didalamnya terdapat seperangkat variabel yang saling berkaitan dalam pola hubungan tertentu sehingga realitas yang ada dapat dipahami secara rinci. Nazhir adalah pengelola wakaf yang bertanggung jawab untuk mengatur dan mengembangkan wakaf. Networking adalah membangun hubungan yang saling menguntungkan dan komunikasi dua arah dengan cara berbagi potensi dan informasi, mendapatkan integritas dan mempengaruhi, dan menciptakan visi yang mengarahkan kemampuan masing-masing individu untuk melakukan sesuatu terhadap orang lain.
331
Responsibilitas adalah kesesuaian (kepatuhan) didalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. Transparansi adalah keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum. Wakaf produktif adalah proses pengelolaan wakaf yang dilakukan dengan pendekatan bisnis dan berorientasi pada keuntungan yang akan disalurkan kepada pihak yang berhak menerimanya. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
332
DAFTAR INDEKS accountability, 9, 84, 86, 87 Akta Ikrar Wakaf, 31, 58, 60, 328 akuntabilitas, 40, 47, 84, 236, 238, 332, 341, 356 Area Komersial dan Bisnis, 186 Badan Kesejahteraan Masjid, 3, 4, 39, 41, 42, 43, 110, 114, 116, 127, 147, 148, 149, 205, 245, 355 Badan Pengelola, 4, 23, 25, 39, 41, 42, 43, 44, 45, 49, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 148, 150, 151, 152, 153, 155, 157, 162, 165, 166, 167, 169, 171, 174, 185, 186, 188, 189, 199, 208, 217, 219, 220, 223, 224, 226, 227, 229, 231, 232, 233, 234, 238, 245, 246, 247, 249, 264, 265, 268, 269, 270, 275, 277, 290, 291, 292, 293, 294, 296, 297, 298, 353, 354, 355 bandha wakaf, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 16, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 31, 32, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 95, 98, 114, 123, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 156, 163, 164, 166, 167, 180, 181, 190, 191, 193, 197, 201, 202, 204, 206, 208, 211, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 220, 221, 222, 224, 225, 226, 234, 235, 236, 237, 238, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 252, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 261, 262, 263, 264, 265, 267, 268, 269, 270, 271, 272, 273, 274, 275, 276, 277, 278, 282, 283, 284, 285, 287, 288, 289, 290, 291, 292, 294, 297, 298, 300, 301, 305, 307, 309, 310, 328, 329, 330, 332, 333, 334, 335, 336, 338, 339, 340, 341, 342 BKM, 2, 3, 4, 5, 7, 23, 25, 39, 44, 45, 48, 49, 51, 114, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 136, 137, 138, 139,
140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 164, 165, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 213, 217, 218, 219, 220, 222, 224, 234, 235, 237, 238, 239, 240, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 253, 254, 257, 258, 259, 261, 265, 268, 269, 273, 275, 277, 290, 291, 297, 307, 308, 310, 333, 348, 353, 354, 355 Bubakan, 111 budgeting, 35 controlling, 33, 104, 257, 280 Convention Centre, 6 coordinating, 35, 37 dekonsentrasi, 10, 51, 98, 106, 108, 109, 250, 261, 262, 333 desentralisasi, 10, 51, 98, 104, 105, 106, 250, 257, 258, 333, 350 diferensiasi, 10, 51, 98, 99, 100, 101, 250, 251, 253, 333 directing, 33, 34, 280 diversifikasi, 10, 51, 71, 96, 97, 98, 101, 102, 103, 250, 255, 256, 333, 338 ekstensifikasi, 10, 96 empowering, 35, 37 entrepreneur muslim, 281 Entrepreneurship, 280, 355 ESQ, 286, 287, 344 fairness, 9, 86, 87, 91, 239, 240 field research, 39 financial assets investment, 16, 38 fokus kepada pelanggan, 28 fundraising, 18, 211, 219, 221, 264, 270, 271, 273, 289, 293, 295, 298, 309, 311, 315, 316, 330 Fungsi-fungsi Manajemen, 33 good corporate governance, 8, 9, 11, 12, 22, 24, 26, 40, 46, 50, 51, 82, 86, 90, 225, 332, 334, 335, 337, 339, 341, 342 Good Waqf Governance, 335, 336, 341 Hasan Toha Putra, 43, 128, 129, 130, 131, 153, 165, 166, 277, 353 Hotel Agung, 6, 223
333
Hotel Bojong, 159, 198, 199 Ibda>l dan istibda>l, 72 Ija>rah, 74, 75 independency, 9, 87 independensi, 40, 47, 87, 244, 332, 341, 356 inovasi, 101, 103, 245 intensifikasi, 10, 96, 338 Islamic Center, 123, 159, 200, 271 Istigla>l al-waqf, 66 istisma>r kha>riji>, 71 istisma>r z|a>ti>, 71 jangka waktu wakaf, 58, 61 keadilan, 40, 47, 293, 356 Kecerdasan Emosi, 283, 344, 346 kecerdasan moral, 287 kecerdasan spiritual, 284, 285, 286 Kejujuran, 91, 356 Keputusan Menteri Agama, 2, 113, 116, 132, 148, 207, 213 Kewajaran, 91, 356 KMA, 2, 3, 114, 116, 117, 119, 120, 130, 132, 133, 147, 148, 149, 150, 213, 216, 243, 275, 277 Komite Nasional Kebijakan Governance, 10, 86, 345 kompetensi di>niyyah, 279 Kompetensi kifa>yah, 279 Lahan pertanian dan perkebunan, 6 Ma’had ‘A>li, 138, 203, 204, 205, 207 manajemen investasi, 16, 18, 28, 76 manajemen wakaf tradisional, 40 Masjid Agung Jawa Tengah, 4, 5, 23, 25, 39, 41, 42, 44, 51, 52, 110, 123, 124, 125, 127, 147, 148, 152, 153, 154, 155, 157, 159, 180, 190, 196, 202, 203, 204, 206, 207, 208, 216, 218, 220, 221, 223, 224, 231, 235, 245, 247, 248, 253, 290, 292, 294, 296, 298, 309, 310, 333, 347, 353, 354, 355 Masjid Agung Semarang, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 10, 16, 17, 18, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 31, 32, 39, 40, 41, 42, 43, 45, 46, 50, 51, 52, 53, 98, 110, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 135, 137, 144, 145, 147, 148, 150, 151, 154, 155, 156, 157,
158, 159, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 173, 174, 175, 176, 177, 180, 182, 185, 198, 201, 202, 205, 206, 207, 208, 209, 211, 213, 214, 215, 216, 217, 219, 220, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 239, 241, 245, 246, 247, 252, 258, 261, 263, 264, 265, 268, 269, 270, 274, 289, 290, 291, 292, 294, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 305, 307, 308, 309, 310, 328, 329, 332, 335, 338, 340, 347, 348, 351, 353, 354, 355 masjid Kauman, 112, 113, 114 mauqu>f, 7, 24, 41, 58, 59, 60, 65, 73, 74, 75, 79, 127, 128, 132, 140, 214, 217, 236, 238, 239, 241, 263, 270, 274, 301, 309, 310, 312, 322, 327, 328, 329, 330 mauqu>f ‘alaih, 7, 24, 41, 58, 59, 60, 65, 73, 74, 75, 79, 127, 132, 140, 214, 217, 236, 238, 239, 241, 263, 270, 274, 301, 309, 310, 312, 322, 327, 328, 329, 330 mauqu>f ‘alaih ‘a>m, 310, 328, 329 mauqu>f ‘alaih g}air muayyan, 327 mauqu>f ‘alaih kha>s, 310, 328, 329 mauqu>f ‘alaih mu’ayyan, 327 Mekanisme Lelang, 191 Menara al-H{usna>, 5, 231 model pengelolaan, 8, 9, 10, 21, 24, 25, 32, 41, 42, 44, 46, 47, 49, 50, 52, 53, 130, 189, 208, 257, 307, 312, 338 model pengembangan, 9, 10, 46, 52, 72, 74, 75, 333 motivating, 35, 36 MUI Kota Semarang, 2, 116, 117 nazhir, 2, 4, 13, 14, 16, 27, 43, 44, 51, 52, 54, 58, 60, 61, 64, 65, 68, 69, 71, 72, 73, 76, 126, 127, 131, 135, 137, 139, 141, 142, 143, 147, 181, 194, 197, 201, 211, 213, 217, 218, 221, 236, 237, 238, 241, 268, 277, 278, 279, 280, 282, 283, 287, 301, 314, 315, 330, 331 nazhir entrepreneur, 282 Networking, 289, 293, 294, 295, 299, 357
334
organizing, 33, 280 Pandan Arang, 1, 110, 111, 115, 130, 133, 213, 215, 290, 300, 355 Pasti Pas, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 180, 247, 249, 333 Pengurus Kas Masjid, 2, 116, 133 perbaikan proses, 28 philanthropy, 12, 276, 334 planning, 33, 280 Pondok Modern Darussalam Gontor, 19 profesionalisme nazhir, 14 PT Madani Agung Jaya, 188, 189, 190, 223, 231, 233, 234, 247 PT Sambirejo, 3, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 136, 142, 148, 268 PT Tensindo, 4, 117, 122 Qah}af, 16, 22, 27, 56, 60, 65, 67, 68, 134, 315, 318, 327 real assets investment, 16, 38 responsibilitas, 40, 47, 240, 242, 332, 341, 356 responsibility, 9, 86, 87, 93 Rumusan Model, 307, 311 SPBU, 5, 7, 17, 23, 28, 31, 41, 43, 49, 52, 120, 129, 137, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 208, 216, 220, 221, 237, 246, 247, 248, 252, 254, 255, 257, 258, 259, 261, 292, 308, 312, 314, 317, 319, 325, 332, 333, 345, 347, 353, 354 stakeholder, 338, 356 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum, 5, 17, 324, 347
sumber daya manusia, 18, 34, 36, 53, 155, 204, 277, 284, 286 tanmiyah al-waqf, 67 Tata Kelola Wakaf, 30 teori pengembangan usaha, 10, 22, 26, 46, 50, 51 Tjipto Siswoyo, 4, 117, 122, 136, 163, 291 transparansi, 30, 40, 47, 64, 71, 84, 92, 226, 235, 236, 240, 332, 341, 356 transparency, 9, 84, 86, 87 Tukar Guling, 114, 348 Undang-Undang Wakaf, 12, 25, 58, 61, 131, 236, 241, 336, 342 UNDP, 83, 84, 87, 351 Unsur-unsur Wakaf, 58 Wakaf, 10, 11, 337 Wakaf Konsumtif, 156, 216 wakaf produktif, 5, 8, 17, 21, 24, 27, 28, 31, 51, 52, 63, 64, 70, 167, 178, 181, 183, 186, 216, 220, 224, 246, 249, 253, 254, 257, 260, 264, 267, 270, 276, 282, 283, 289, 291, 304, 307, 309, 311, 315, 316, 318, 320, 321, 322, 324, 326, 332 Wakaf Produktif Center, 5, 41, 185, 247, 255, 308, 333 Wakaf untuk Kesehatan, 208 wakif, 24, 31, 54, 55, 56, 58, 59, 60, 61, 63, 64, 68, 69, 200, 211, 214, 270, 271, 272, 273, 295, 301, 314, 315, 327, 328, 357 YPPWPM, 21, 22, 50, 299
335