BAB V KESIMPULAN Permasalahan pertama yang berusaha diungkap melalui penelitian ini adalah membuktikan dan sekaligus mempertegas pernyataan Levi-Strauss, yang mengatakan bahwa mitos asal usul orang Sasak dalam tembang Doyan Neda itu adalah bentuk yang kacau balau, namun dipercayainya bahwa di balik yang kacau balau atau ketidakteraturan itu terdapat keteraturan. Mitos asal usul orang Sasak dalam tembang Doyan Neda diciptakan orang untuk menyampaikan pesan, sehingga tidak mungkin membuat suatu konsepsi yang mengandung arti tanpa adanya (konsep mengenai) aturan. Tugas seorang antropolog di sini adalah untuk menemukan tataran (order) tersebut, sehingga dapat menemukan pesan yang dibawanya, yang sekaligus merupakan permasalahan kedua ini dan dari pesan yang disampaikannya itu kemudian ditransformasikan ke dalam kehidupan orang Sasak baik dari sisi sosial, budaya, ekologis, politis, ekonomis, dan religiusitasnya dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, permasalahan ketiga yang akan mencoba berusaha diungkapkan melalui penelitian ini. Untuk menemukan keteraturan-keteraturan pada mitos asal usul orang Sasak di dalam tembang Doyan Neda ini adalah melalui pembuatan model atau konseptualisasi yang berupa struktur dari isi ceritera tersebut. Dalam penelitian ini membuat model, yang merupakan “perasan” analisis dari sebuah mitos di mana pesan inti dan “keseluruhan roh” mitos dipetakan. Model garis hirarki dari atas ke bawah dan model garis paralel dari samping ke samping yang telah dibuat seperti pada bab III dan IV, mengarahkan ditemukan bahwa mitos asal usul orang Sasak dalam tembang Doyan Neda yang mengisahkan tentang perwujudan empat puluh jin Perwangsa menjadi manusia Sasak hingga terbentuknya kerajaan awal Sasak telah memiliki andil besar dalam penggambaran konsepsi hidup orang Sasak, yakni suatu ceritera yang mengkomunikasikan suatu tata hidup orang Sasak dengan menunjukkan ruang ilahi, alam semesta, ruang alam gaib dan ruang sosial Sasak.
255
Model-model dari mitos asal usul orang Sasak dalam tembang Doyan Neda tersebut menggambarkan bahwa di dalam mitos terdapat suatu keteraturan tentang pola “konsepsi hidup orang Sasak” dalam tata hidupnya dengan menunjukkan ruang ilahi, alam semesta, ruang alam gaib dan ruang sosial Sasak (seperti “pusat anutan” orang Sasak dalam realitas religius dan pengabsahan kekuasaan, selanjutnya kekerabatan dan kekuasaan). Keteraturan ini hanya dapat ditemukan melalui modelmodel dari peneliti, sedangkan yang membuat ceritera Doyan Neda tanpa sadar telah membuat keteraturan tersebut. Meskipun ceritera tembang Doyan Neda menceritakan mitos asal usul orang Sasak sampai terbentuknya sistem kosmologi, kekerabatan dan kekuasaan, hingga “pusat anutan” dalam kekuasaan orang Sasak tersebut secara sewenang-wenang, ia tetap pada aturan ceritera yang berkaitan dengan pola sosial, budaya, ekologis, politis, ekonomis, dan religiusitasnya tadi. Hal ini dibuktikan dengan beberapa macam mitos orang Sasak, yang ditampilkan oleh pengarangnya tetap memiliki bangunan model struktur yang sama, yaitu model garis hirarki dari atas ke bawah atau dari pusat ke pinggir atau dari pinggir ke pusat, dan model garis paralel dari samping ke samping, berdasarkan relasi tokoh dan ruang yang memiliki persamaan (homolog) dan perbedaan (beroposisi). Dari hasil analisis mitos asal usul orang Sasak dalam tembang Doyan Neda tersebut, bisa dilihat bahwa apa yang terjadi pada tokoh Dewi Anjani, Paman Patih dan Ayam Kecil terjadi pula pada tokoh Penghulu Alim, Istri Penghulu dan kaumnya, dan terjadi juga pada tokoh Dewa Meraja Kusuma, Aria Beringin dan Sigar Penjalin, begitu juga yang terjadi pada tokoh Raksasa Pilmunik, Dewi Mas Sari Kencana, Puteri Indra Sasih, dan Puteri Niktir, serta terjadi pula pada tokoh Raja Majapahit, Raja Jawa, Raja Madura, Anakoda dari Majapahit, Anakoda dari Jawa dan Anakoda dari Madura. Di sini bisa dilihat terjadinya apa yang disebut transformasi, yakni perubahan bukan pada struktur dalam (deep structure), melainkan pada struktur luar (surfce structure), juga persamaan yang tersembunyi antara tokoh-tokoh dalam tembang Doyan Neda tersebut.
256
Dengan model yang dapat diturunkan seperti terlihat pada analisis mitos asal usul orang Sasak dalam tembang Doyan Neda di Bab IV, bisa diketahui bagaimana sesungguhnya orang Sasak mengidealkan sebuah posisi penting dalam kehidupan di muka bumi ini, yakni posisi pusat/tengah (center) sebagai “anutannya”. Posisi yang menyimbolkan jati diri manusia yang sudah bertransformasi batin (konsep hidup orang Sasak). Di sini, yang mendasari konsep hidup orang Sasak adalah struktur kosmologi atau tata hidup orang Sasak dengan latar belakang ajaran agama Islam (yang bertolak dari keyakinan transendental itu) dengan mengadakan sakralisasi realitas sosial dan budaya. Kehadiran atau eksistensi manusia tidaklah sekedar peristiwa alamiah, tetapi juga secara adikodrati bermakna. Di satu sisi memperlihat kesan akan superioritas adikodrati sebagai sumber tatanan, namun di lain sisi juga memaksa dunia manusia mengaku kenyataan bahwa dirinya lebih inferior dari adikodrati. Sumber tatanan ini menjadi penting karena keterkaitannya dengan kepekaan religius orang Sasak yang tinggi dengan memperlihatkan koherensinya pada tokoh Penghulu Alim sebagai ‘pemimpin doa’ pada acara hajatan warga dan Istri Penghulu yang selalu menerima keadaan yang telah menjadi ketentuan Allah serta Dewa Meraja Kusuma yang selalu bakti kepada orang tuanya dan memberikan pertolongan terhadap orang-orang yang dalam kesulitan. Oleh karena itu, agama merupakan faktor penentu dalam pola perilaku atau tindak-tanduk, unsur utama dalam pembentukan motivasi dan kerangka dasar dalam penciptaan asumsi (Abdullah, 1987: 230-231). Selain itu, model yang dapat diturunkan seperti terlihat pada analisis mitos asal usul orang Sasak dalam tembang Doyan Neda di Bab IV juga, bisa diketahui bagaimana sesungguhnya orang Sasak mengidealkan kerajaan Majapahit sebagai posisi puncak dalam kekuasaan, yakni posisi pusat/tengah (center). Posisi yang menyimbolkan “pusat anutan” yang sudah bertransformasi batin (struktur kerajaan Selaparang). Dalam kaitannya dengan struktur kekerajaan Sasak awal bahwa peranan pranata kekerabatan dalam bentuk kekuasaan politik, seperti halnya, kerajaan
257
Selaparang, kerajaan Jero Baru dan kerajaan Sembah Ulun yang telah berhasil mengepakkan kekuasaannya ke wilayah-wilayah lain di Lombok. Ini tercermin dari kerajaan Selaparang yang membawahi kerajaan-kerajaan kecil lainnya, seperti Pemokong, Bayan, Sokong, Langko, Pejanggik, Parwa, dan Kedaro. Di situ terlihat bahwa kerajaan Selaparang sebagai “pusat kekuasaan” dari kerajaan-kerajaan yang lain. Pemusatan kekuasaan ini di dukung juga dalam lingkungan keluarga sendiri yang mengambil kedudukan-kedudukan penting dalam tampuk kekuasaan, ini dapat dijumpai baik pada masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Pemusatan kekuasaan pada para anggota keluarga sendiri atau anggota kerabat terdekat yang berkelanjutan merupakan salah satu faktor yang membentuk sistem pewarisan kekuasaan. Sebagaimana pewarisan kekuasaan itu menyebabkan kedudukan perolehan (Mansoben, 1995: 259-260). Pewarisan kekuasaan ini didasari dengan berbagai sistem kekerabatan orang Sasak. Sistem kekerabatan memberikan legitimasi bentuk sosialnya yang konkret, oleh karena sistem gelar itu juga memberikan legitimasinya. Dengan demikin, kita dapat lihat bahwa tata aturan kekerabatan Sasak yang berkaitan juga dengan tata aturan politik, maka keberadaan hubungan-hubungan politik ini berlandaskan prinsip keturunan yang berada di luar kerangka sempit kekerabatannya. Artinya, kekerabatan memberikan suatu prinsip sebagai sebuah model dan bahasa bagi masyarakat Sasak dalam realitas sosial dan budaya. Bisa dikatakan bahwa posisi pusat/tengah (center) itu merupakan apa yang disebut sebagai model for (model untuk) bagi orang Sasak, yang mengarahkan atau menjadi titik orientasi bagi perilaku budaya dalam keseluruhan kehidupan yang mereka jalani. Posisi di pusat/tengah juga sekaligus menjadi apa yang disebut sebagai model of (model dari) orang Sasak, artinya sebagai suatu pola ideal yang diikuti dan diusahakan realisasinya oleh orang Sasak. Posisi di tengah, di pusat adalah sebuah posisi yang menyatukan, menyelaraskan, dan menyeimbangkan. Posisi di tengah, di pusat juga adalah sebuah pusat yang tenang, diam, hening dan abadi (Ahimsa-Putra, 1997b: 2006; Purnama, 2000; Leni via Nasrullah, 2008:164).
258
Setelah kita melihat model garis hirarki yang berulangkali muncul di Bab IV telah menunjukkan kesamaan-kesamaan yang tampaknya menjadi landasan bagi keseluruhan mitos asal usul orang Sasak dalam tembang Doyan Neda, baik dalam konteks sosial, budaya, ekologis, politis, ekonomis, dan religiusitas orang Sasak, yang membuat mitos-mitos ini menjadi lebih universal. Nilai-nilai universal dalam karakter dan pemikiran orang Sasak telah lama menyatu secara inheren dalam perilaku budaya Sasak. Pesan perilaku budaya yang terkandung oleh mitos asal usul orang Sasak ini adalah pesan yang universal, yaitu nilai-nilai luhur universal itu merupakan model struktur pemikiran dan perilaku orang Sasak. Inilah jantung setiap tingkah laku. Mitos asal usul orang Sasak ini juga dapat menjadi pola dari dan sekaligus pola bagi tingkah laku orang Sasak. Artinya, orang Sasak memiliki model pemikiran dan perilakunya mengenai tata aturan dalam konsep ruang hidup (kosmologi), “pusat anutan” dalam pengabsahan kekuasaan, dan sistem kekerabatan yang dibentuknya untuk mendapatkan sebuah legitimasi kekuatan, kekuasaan dan wewenang. Sebagaimana relasi-relasi yang di tampilkan oleh tokoh-tokoh Allah, Dewi Anjani, Paman Patih, Ayam Kecil, Penghulu Alim, Istri Penghulu, Dewa Meraja Kusuma, Aria Beringin, Sigar Penjalin, Raksasa Pilmunik, Dewi Mas Sari Kencana, Puteri Indra Sasih, Puteri Niktir, Raja Majapahit, Raja Jawa, Raja Madura, Anakoda dari Majapahit, Anakoda dari Jawa dan Anakoda dari Madura, dan beberapa tokoh yang lain adalah transformasi dari nilai universal Sasak. Dengan demikian, orang Sasak dalam memaknai mitos asal usulnya dari empat puluh jin perwangsa merupakan hal yang tidak masuk akal dan tidak sinkron dengan kepercayaan yang dianutnya sekarang, yakni agama Islam. Ajaran Islam telah merasuk ke batin orang Sasak dalam pandangannya mengenai asal usulnya. Pengaruh agama Islam telah mengajarkan tentang titik pusat keimanan kepada Tuhan, karena Dia-lah yang memiliki Kuasa untuk menciptakan setiap ruang dan waktu, dari setiap
259
ciptaannya ini juga telah menetapkan keteraturan, kosmos, yang memungkinkan manusia hidup di dalam dunia ini. Jadi, Tuhan mencipta; alam semesta menjadi lokus untuk mendisplay hasil ciptaan-Nya. Manusia adalah makhluk yang dipilih Tuhan untuk menjadi tokoh utama (khalifah) di muka bumi, dan manusia menjadi penafsir atas semua hasil ciptaan Tuhan. Manusia bertanggung jawab untuk mengelola alam dan meneruskan hasil ciptaan Tuhan tersebut, agar kehidupan manusia menjadi lebih tertata. Oleh karena itu, manusia Sasak secara simbolik telah mentransformasikannya menjadi sistem kepercayaan yang meyakini adanya kekuatan adikodrati melalui pengulangan ritual kosmogoni. Apa yang akan menjadi dunia manusia harus dicipta lebih dulu dan setiap penciptaan memiliki model paradigmatik—penciptaan jagad raya oleh Tuhan (Eliade, 2002: 25).