MOBILISASI MASSA PARTAI MELALUI SENI PERTUJUKAN REOG DI PONOROGO TAHUN 1950-1980 Sururil Mukarromah Shinta Devi I.S.R Abstrak Penelitian ini menjelaskan tentang peran kesenian Reog Ponorogo dalam menarik massa. Kemampuan seni Reog Ponorogo pada masa Orde Lama dimanfaatkan partai politik untuk memperkenalkan partai. Keberhasilan itu dibuktikan pada hasil pemilu pada tahun 1955, ketika Partai Komunis Indonesia dan PNI muncul sebagai partai dengan pengikut terbanyak. Keberhasilan partai politik dalam menarik massa berdampak pada popularitas kelompok kesenian Reog. Namun pada masa Orde Baru, kondisi menjadi terbalik, yaitu pemerintah Orde Baru melakukan pembubaran terhadap kelompok seni Reog yang pernah dimanfaatkan oleh PKI. Kata Kunci: Reog, Ponorogo, Mobilisasi Massa Abstract This study describes Reog Ponorogo role in attracting the masses. The ability of art Reog Ponorogo the Old Order used to introduce the party's political parties. The success was evidenced in the results of the election in 1955, when the Communist Party of Indonesia and PNI emerged as the party with the most followers. The success of political parties in the appeal to the masses affect the popularity of the group Reog. But in the New Order, the condition is reversed, the New Order government did the dissolution of the group who had used the art Reog by PKI. Key word: Reog, Ponorogo, Mass Mobilization.
Sejarah awal Terbentu knya Reog Ponorogo Seni pertunjukan reog Ponorogo merupakan salah satu tradisi yang masih hidup di masyarakat. Selain sebagai arena untuk berolah seni, kegiatan seni pertunjukan ini juga bertujuan untuk mempererat tali silaturrahmi antar masyarakat Ponorogo, karena pada setiap penampilannya, reog mampu menarik perhatian masyarakatnya. Sebagai media komunikasi, seni pertunjukan reog dapat dipergunakan sebagai penggerak massa
dalam jumlah yang cukup besar (Hartono: 1980, 14). Dalam buku harian yang ditulis oleh KH. Mujab Tohir, kesenian reog awalnya bernama “Barongan”. Kesenian itu di bawa oleh Ki Ageng Kutu Suryongalam yang berasal dari Bali. Oleh karena itu kesenian reog hampir mirip dengan kesenian dari Bali yang bernama Barong. Reog bukanlah barong asli, karena itu disebut Barongan. Awalnya pemain reog yang membawakan dhadak merak terdiri dari dua orang, satu di depan dan satunya
1 Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya 2 Dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya
65
Verleden, Vol. 1, No.1 Desember 2012: 1 - 109 di belakang. Seperti yang diungkapkan tokoh besar reog tersebut bahwa pemain barongan adalah pemain sebagai singa yang kepalanya dihinggapi bulu merak dan selalu diikuti oleh pembarong yang ada di belakangnya. Seolah-olah sebagai kaki belakang singa (Mujab Tohir: t.tn, 23). Hal tersebut dibuktikan dengan adanya gambar pementasan reog pada tahun 1920. Dalam gambar tersebut terlihat dengan jelas pamain reog (dhadak merak) terdiri dari dua orang. (lihat gambar 4). Akan tetapi sampai sekarang belum ada sumber yang menyatakan sejak kapan pastinya dhadak merak akhirnya dimainkan oleh satu orang saja. Gambar 4 Pementasan Reog Di Ponorogo Pada Tahun 1920
kes enian re og. Aki batnya t imbul persaingan antar kelompok reog, hingga menimbulkan konflik politik. Peristiwa ini banyak menimbulkan korban yang sia sia. Selain itu pada masa pemerintah kolonial Belanda tidak ada keamanan dalam seni pertunjukan reog (Mujab Tohir: t.tn, 23). Sehingga kesenian ini tidak berkembang dengan baik. Pada zaman pemerintahan kolonial Jepang tahun 1942, perkumpulan dan kegiatan kesenian Reog dapat dikatakan tenggelam. Seniman-senimanya tidak menampakkan diri. Hal ini disebabkan karena dengan seringnya berkumpul akan mengundang kecurigaan pemerintah penjajah dan akhirnya dilarang sama sekali (Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Ponorogo: 2004, 5). Tentara Jepang melarang adanya perkumpulanperkumpulan kesenian reog karena dapat berfungsi memobilisasi massa. Peran Ke sen ian Re og Terhad ap Kondisi Politik di Ponorogo
Per ku mp ulan Reog tu mb uh lagi d e n g a n b a i k s e t e l a h p ro kl a m a s i
Sumber : http://awandarizki.blogspot.com/2011/11/ponoro go-tempoe- doeloe.html, diakses pada tanggal 12 Maret 2012, pukul 10.26 WIB.
Pada zaman pemerintah Kolonial Belanda, reog dianggap sebagai kesenian yang akan membawa pengaruh dan merugikan pemerintahan K ol onia l Belanda. Maka dari itu perkembangan seni reog Ponorogo tidak memperoleh bimbingan serta fasilitas. Dampak dari kebijakan pemerintah Kolonial Belanda ad al ah m uncu lnya pe rkump ula nperkumpulan reog di desa-desa yang tidak terorganisir dengan baik. Hal tersebut berdampak buruk terhadap
66
kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945. Saat itu hampir setiap desa memiliki perkumpulan Reog. Kuantitas organisasi perkumpulan reog meningkat cukup baik, tetapi kualitas belum menunjukkan kemajuan sekali (Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Ponorogo: 2004, 5). Seiring dengan perkembangannya, reog mempunyai fungsi yang berbeda. Pada tahun 1950, pertunjukkan reog yang sempat mati telah hidup kembali. Namun sangat disayangkan, karena kesenian reog digunakan untuk kepentingan politik. Hal itu berakibat pada kualitas kesenian reog yang ti da k la gi di gunakan untuk meningkatkan kesenian reog, tetepi dijadikan sebagai alat perjuangan politik (Tempo: No. 37, 32). Pemilu 1955 memunculkan partaipartai politik besar. Di daerah Jawa Timur partai yang memperoleh suara terbanyak antara lain yaitu : PKI, PNI, NU dan Masyumi (Suluh Indonesia, 20 Desember
Selain untuk mengumpulkan massa, PKI 1955). Masa tahun 1950 sampai 1959 ju ga m em a nfa a tk a n re og unt u k sering disebut sebagai masa kejayaan mengalihkan perhatian masyarakat, yaitu partai politik, karena partai politik ketika pengangkatan jenazah korban memainkan peranan yang sangat penting pembunuhan PKI di lubang-lubang PKI, dalam kehidupan bernegara melalui perhatian masyarakat dialihkan melalui sistem parlementer. Hampir semua partai kesenian reog (Jawa Pos: 26 September berpacu untuk memperoleh mass a 1989, 4). Hal itu dilakukan agar PKI s ebanya k-ba nyaknya de ngan ca ra terlihat baik dan mendapat simpati dari manggandeng kesenian untuk menarik masyarakat. Seiring dengan adanya massa. Hampir semua kesenian pada saat persaingan antara golongan nasionalis, itu mempunyai peranan yang sama, yaitu komunis, dan Islam. digunakan partai untuk menarik simpati Pada saat itu sebagian bes ar masyarakat. Pada masa itu reog tak luput kelompok reog bergabung dalam Barisan dari perhatian partai politik untuk Reog Ponorogo (BRP), organisasi reog dijadikan alat memobilisasi massa. Reog ya ng a w al ny a m er upa ka n m il i k P onorogo pa ling ba nya k m enarik masyarakat Ponorogo, tetapi kemudian perhatian massa pendukung dan apresiator dimenangkan oleh PKI. Kondisi tersebut di wilayah Ponorogo, meskipun di memancing PNI membuat Barisan Reog Ponorogo juga terdapat banyak kesenian Nasional (BREN), dan NU membentuk antara lain kesenian gajah-gajahan, odrot, Cakra (Cabang Reog Agama) pada tahun samroh, terbanan, orkes melayu, dan jaran 1955. Dominasi PKI dalam Barisan Reog thik. Ponorogo (BRP) mandapat simpati yang Hampir tak dijumpai partai politik di besar dari masyarakat Ponorogo. Hal itu Ponorogo pada saat itu yang tidak terlihat dari perolehan suara pada pemilu menggandeng dan merangkul kesenian parlemen tahun 1955 (lihat tabel VI), PKI sebagai alat peraih simpati dan unjuk memperoleh suara terbanyak. Sedangkan kekuatan di tengah-tengah massa yang pada pemilu konstituante di Jawa Timur lebih luas. Bahkan setiap partai sengaja PKI mendapat jumlah suara 2.266.801 meresmikan wadah-wadah seni budaya atau 20% lebih dari jumlah pemilih yang (sebagai organ partai) agar terlihat serius terdaftar 10.961.181 (Suluh Indonesia: 22 mengapresiasi kesenian. Dominasi PKI Nobember 1955). dalam membawa reog dalam merebut massa sangatlah besar dan sulit untuk TabeL VI digoyahkan. Barisan Reog Ponorogo yang Hasil Jumlah Suara Partai di Kabupaten dimiliki oleh PKI semakin berada pada Ponorogo dalam puncaknya ketika doktrin “kerakyatan” Pemilihan umum Parlemen Tahun 1955 memperoleh sambutan yang cukup luas di kalangan konco reog. Oleh karena itu No Nama Partai Jumlah Suara banyak dari kalangan santri di Ponorogo PKI 137.816 kurang bersahabat terhadap reog karena 1 diidentikkan dengan PKI (Desantra: Edisi NU 96.039 5 2007, 7). Oleh sebab itu NU juga 2 mendirikan Cabang Kesenian Reog 3 PNI 79.008 Agama (CAKRA) untuk menaungi reog. Kemudian PNI juga mendirikan Barisan 4 MASYUMI 34.198 Reog Nasional (BREN). Buruh 6.023 Kepopuleran reog di kalangan 5 masyarakat pada saat itu membuat partai Parkindo 361 politik, terutama PKI menggunakan reog 6 sebagai alat untuk mengumpulkan masa. Sumber:” Berita-Berita Daerah Jawa Timur” dalam
Terompet Masyarakat, Rabu, tanggal 10 Januari 1956.
67
Verleden, Vol. 1, No.1 Desember 2012: 1 - 109 Dari data tersebut dapat dilihat bahwa PKI, NU, dan PNI, partai yang menggunakan kesenian reog sebagai alat untuk memperoleh perhatian massa di Ponorogo memperoleh suara terbanyak. Sedangkan Masyumi, Partai Buruh, dan Parkindo pada saat itu tidak menggunakan reog untuk memperoleh perhatian massa. Namun setelah terjadinya peristiwa G-30 S, yang membuat perjalanan partai yang menjadikan komunisme sebagai ide ologi nya ha rus berakh ir. P K I dinyatakan sebagai partai terlarang di sel uruh wilayah Negara Kes atuan Re publ i k Ind one si a ber das a rka n Keputusan Presiden No.1/3/1996 dan Ketetapan MPRS No.XXV/MPRS/1966, (Hendro Subroto: 2008, X). Hal tersebut berakibat pada banyaknya orang-orang terbunuh, maka BRP dibubarkan. Pada saat itu banyak anggota perkumpulan reog yang terbunuh. Bahkan ada pemilik yang membakar semua perangkat reog (Tempo: No. 37, 10 November 1979). Saat itu pembantain besar-besaran terhadap perkumpulan reog terjadi di des a Somoroto, dan selama dua tahun masyarakat takut untuk memainkan ataupun menanggap reog, karena mereka takut jika dikira simpatisan PKI. Untuk mengisi kekosongan selama reog mengalami kefakuman, pada tahun 1968 para Ulama Nahdlatul Ulama (NU) mempunyai ide menghidupkan kembali kesenian pengganti reog yang bernuansa Islam. Seni ini dimunculkan dan diberi wajah baru yang bernama Gajah-gajahan. Gajah-gajahan ini ada kecenderungan menirukan kafilah di padang pasir Arab Sa udi (Waw anc ara M urdianto: 21 Februari 2011). Musiknya diiringi hadroh atau samproh. Pada saat pertunjukan gajahgajahan, patung gajah tersebut dinaiki seorang anak perempuan atau anak lakilaki dan menari diatasnaya. Jika untuk acara khitanan, biasanya yang naik diatasnya adalah yang dikhitan (disunat). Gajah-gajahan bukan sekedar kesenian panggung, tetapi juga sebagai sarana
68
s os ia l is a s i s u at u ka ba r t ert e nt u (misal:pengajian) dari si penghajat kepada masyarakat luas. Saat memerankan fungsi sosialisasi ini, gajah-gajahan diarak ke liling de sa atau beberapa desa disekitarnya. Kesenian gajah-gajahan tidak memiliki pakem yang tetap pada awalnya. mulai instrument, gerak, tari, dan musiknya bisa s aja berubah sesuai perkembangan zaman. Sementara menurut KH. Sugianto Hassanudin, gajah-gajahan merupakan sebuah usaha dari para santri untuk membuat kesenian yang lebih islami, sebab pada saat itu kalangan santri berpendapat bahwa reog yang dikuasai oleh komunis tidak lagi mencerminkan nilai-nilai Islam. Selain itu munculnya reog CAKRA yang didirikan oleh KH. Mujab Tohir (tokoh NU), dinilai kurang bisa mewakili kesenian islam (Wawancara dengan Sugianto Hassaanudin, tanggal 24 Maret 2011). Gambar 6 Pementasan Kesenian Gajah-Gajahan di Ponorogo Tahun 1968
Sumber: Koleksi Pribadi Drs. Sugianto Hassan. Ketika kesenian gajah-gajahan hadir di tengah-tengah masyarakat Ponorogo, kesenian ini juga berhasil menarik perhatian masyarakat. Sama halnya dengan reog, pada akhirnya kesenian ini juga digunakan untuk menggalang masa. Ket ika pemilihan kepala desa di kecamatan Sambit tahun 1968, kesenian
ini digunakan untuk mengambil simpati masyarakat sekitarnya. Cara untuk menarik perhatian massa salah satunya adalah dengan menyanyikan lagu atau yelyel. Sambel wijen kulupan dong doro Jangan gudeg dicampur mlinjo Urip ijen ketoke nelongso Barang melu aku malah oleh bejo Artinya: Sambal wijen sayur daun doro Sayur gudeg dicampur mlinjo Hi d up se n di r i t e rl i h a t memprihatinkan Jika ikut saya pasti bakal untung Salah satu lagu dan yel-yel tersebut dinyanyikan ketika gajah-gajahan berputar keliling kampung. Akan tetapi dengan seringnya diundang untuk menggalang masa, akhirnya membawa kesenian ini pada konflik politik lokal. Di beberapa desa gajah-gajahan mati karena sering menjadi ajang perebutan massa dalam pemilihan kepala desa (Wawancara dengan Murdianto: 21 Februari 2011). Pada akhirnya kesenian gajah-gajahan yang baru muncul di tahun 1968, hanya bertahan selama dua tahun. Kemudian berhenti dan ditinggalkan di tahun 1970. Hal tersebut dikarenakan adanya konflik politik lokal, selain itu kesenian gajahgajahan tidak memiliki akar sejarah yang kuat di dalam masyarakat Ponorogo. Tidak seperti halnya kesenian reog, yang sudah mendarah daging dalam masyarakat di P onorogo (Waw anca ra dengan Sugianto Hassanudin: Pada Tanggal 24 Maret 2011). Dampak Terpecahnya Kesenian Reog Pada Masyarakat Ponorogo Setelah peristiwa G30S dan diakhiri dengan keputusan pemerintah melarang PK I sebagai partai terlarang dan membubarkan BRP. Membuat para pemain reog berhenti untuk mementaskan selama kurang lebih 3 tahun. Tetapi di tahun 1969, kesenian ini mulai berani
untuk tampil, seperti yang diungkapkan oleh Kasni Gunopati (Mbah Wo Kucing). Orang-orang tidak berani main reog lagi karena takut. Selain itu banyak yang sudah tua. Yang pertama berani mendirikan reog lagi saya. Reog mulai berani keluar pada tahun 1969, yang lainnya belum berani. Demikianlah ungkapan dari Mbah Wo semasa masih hidup. Kesenian ini mulai hidup kembali di tahun 1969. Adanya kesenian ini mulai hidup kembali ditandai dengan adanya PON VII di Surabaya pada ta hu n 196 9, p ani t ia PON mempertunjukkan kesenian ini untuk upacara penutupan (Tempo: Nomor 37, 10 November 1979). Setelah Barisan Reog Ponorogo dibubarkan dan reog m enga lamai kefakuman pada tahun 1966-1969, otomatis tinggal CAKRA dan BREN yang masih bertahan. Para pemimpin CAKRA dan BREN kemudian memprakarsai terbentuknya INTI (Insan Taqwa Illahi). Sebenarnya sebelum tahun 1977 INTI sudah ada dan terbentuk, namanya bukan INTI melainkan Bolo Ireng, anggotanya adalah orang-orang yang terdiri dari para warok dan juga “pentolan reog”,”tameng desa”, menurut mbah Wo Kucing yang juga anggota INTI, mereka adalah orangorang “nakal” atau “preman desa” yang bertugas untuk mengamankan pemilu. INTI dulunya adalah bolo ireng, yaitu bekas orang-orang jahat. Semua dikum pul kan unt uk di beri tuga s mengamankan Ponorogo. Pada waktu itu terkumpul lebih kurang 126 orang. Itu terjadi pada tahun 1959. Pada saat itu oleh Bapak Bupati diadakan pesta dengan memotong satu ekor sapi. Orang-orang yang be rkumpu l ini me nyat aka n kesanggupannya untuk mangamankan daerah Ponorogo. I NTI d ib en tuk u n tu k mempersatukan unit-unit reog yang ada di semua wilayah Ponorogo, termasuk dari CAKRA dan BREN. INTI tidak berpihak pada siapapun, dan tidak masuk dalam partai politik. Pada tahun 1977 Bupati Tingkat II
69
Verleden, Vol. 1, No.1 Desember 2012: 1 - 109 Ponorogo Soemadi memanggil para tokoh CAKRA dan BREN. Bupati meminta agar para tokoh dan anggotanya berkenan untuk membantu keamanan daerah P onorogo dan m engakt ifkan da n menyatakan reog-reog yang ada, baik dari CAKRA maupun dari BREN. Mereka dikumpulkan oleh Bupati di rumah salah satu kepala desa (Imam Sukadi) yang dihadiri oleh 70 orang, dan dijelaskan sekali lagi maksud dari Bupati, para hadirin yang datang menerima dan setuju. Kesatuan unit-unit reog dari CAKRA dan BREN yang telah disatukan ini, oleh KH. Mujab Tohir diberi nama INTI ( Insan Taqwa Ilahi). INTI akhirnya terbentuk pada tahun 1977 dengan diketuai oleh KH. Mujab Tohir. Satu Oragnisasi yang tidak berpihak pada partai politik dan membina kesenian reog yang ada di seluruh Kabupaten Ponorogo. Maka setelah dilakukan pembinaan, reog mengalami berbagai perkembangan dan perubahan. Hal ini terjadi karena reog yang awalnya merupakan kesenian lokal berkembang m en j ad i k e s en ia n na s io na l da n internasional dengan sering banyaknya dipakai sebagai sarana pariwisata di luar negeri maupun dalam negeri. Kemudian upaya pembinaan juga ditempuh oleh pemerintah kabupaten Ponorogo, yaitu dengan merealisasikan di setiap desa memiliki satu unit reog dan dibangunnya salah satu sarana kegiatan berupa padepokan Reog Ponorogo. Disamping terwujudnya monumental reog secara lengkap disetiap perbatasan kota sebagai gapura akbar bahkan sampai di tingkat desa dan kelurahan. Untuk menyeragamkan dari dampak adanya organisasi politik terhadap reog, pemerintah mengeluarkan peraturan tentang kesenian reog yaitu, organisasi kesenian reog hanya boleh dimiliki oleh perseorangan atau desa, “tidak boleh dimiliki oleh partai politik”. Untuk perkembangannya, pemerintah Ponorogo sering menyuguhkannya dihadapan tamutam u penti ng. K emudian langkah
70
s e l a nj u t n ya a d a la h p e m er i n t a h menyelenggarakan sarasehan. P emerintah juga m emberi ka n pedoman dasar terhadap kesenian Reog Ponorogo, agar kesenian ini memiliki pakem yang tidak dapat di pecahkan lagi. Pedoman dasar tersebut adalah landasan dan semua rambu-rambu yang harus ditaati dalam perjalanan kesenian reog Ponorogo, dari alur cerita sampai pada aransemen dan instrumennya. Kesenian reog juga merupakan kesenian tradisional yang hidup dan mengandung nilai-nilai historis dan legendaris. Atau dengan kata lain Reog Ponorogo yang kita lihat adalah bentuk akhir dari dinamika perjalanan panjang yang mengandung nilai-nilai filosofis, religius, dan edukatif. Kesimpulan
Menuli s cat atan sejar ah tentang Kesenian Reog Ponorogo menjadi sesuatu yang menarik untuk dilihat kembali.
Menceritakan kembali kisah yang sudah lewat dengan kejujuran dan penuh dengan ket e rbuka a n me rup aka n l an gka h menempatkan sejarah pada tempatnya yang pantas, yaitu sejarah bersifat obyekti f. Sej arah ke se nian Re og Ponorogo memiliki tempat di hati masyarakat khus usnya mas yarakat Ponorogo serta penggemarnya. Kesenian reog yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Ponorogo, menjadikan reog sebagai salah satu kesenian yang masih hidup dan berkembang sampai saat ini. Eksistensinya yang mengandung nilai-nilai historis, filosofis, religius, kreatif, dan edukatif menjadikan reog sebagai hiburan rakyat yang legendaris. Di s eti ap re og di tam pil kan m aka masyarakat berbondong-bondong untuk melihatnya. Kemampuan reog yang dapat menggerakan massa dalam jumlah yang besar, membuat sejumlah partai politik pada tahun 1955 melihat sebagai peluang untuk memperoleh massa. Serta berharap dapat memperoleh dukungan besar dari masyarakat apabila menggunakan reog sebagai alat untuk mengumpulkan massa.
Terbukti dengan menggunakan reog, partai politik dapat dengan mudah mengambil hati masyarakat Ponorogo. Hal ini disebabkan karena kecintaan masyarakat terhadap kesenian reog sangatlah besar. Peran reog dalam memobilisasai massa semakin bertambah dan meningkat, ini terbukti dengan besarnya dukungan serta banyaknya perolehan suara bagi partai yang mempunyai organisasi reog di Ponorogo. Semakin maraknya partai yang menggunakan reog sebagai sarana untuk memperoleh massa, kemudian berdiri organisasi-organisasi reog yang dimiliki oleh partai politik dan beroperasi dalam putaran politik. Hingga membawa kesenian ini berada pada konflik politik. Pada akhirnya apapun statusnya di dalam partai itu sendiri, organis asi atau kelompok kesenian tersebut justru lebih terkenal daripada partainya sendiri. Karena dalam prakteknya lembagalembaga itulah yang berada pada garis depan, dan langsung berhadapan dengan masyarakat, yang kemudian menjadi pengumpul massa yang sangat efektif. Menghadapi Sejarah Indonesia yang penuh denga n pe rubahan, s ebuah peristiwa besar kadang dapat beradaptasi, k a d a n g m e nj a di s e s u a t u y a n g m e na k ut k an , b a hk a n t e r ka da n g menghilang bersamaan dengan kehidupan sehari-hari. Begitupun dengan reog, yang awalnya merupakan sebuah kesenian yang hendaknya di tempatkan pada tempatnya sebagai seni, harus mengalami perubahan besar, yaitu digunakan sebagai alat propaganda. O leh karena itulah peristiwaperistiwa yang melibatkan dinamika serta perkembangan reog terus hidup supaya kita tidak melupakannya. Menuliskan tentang sejarah Reog Ponorogo bukan hanya sekedar mengenang apa yang telah terjadi, tetapi juga bisa untuk menarik kearifan lokal yang bisa kita manfaatkan untuk mengembangkan diri bagi masa depan. Karena dalam kisah sejarah itu terkandung nilai luhur dan falsafah hidup
yang sangat berarti. Daftar Pustaka Arsip Catatan Harian Tokoh Reog Ponorogo: KH. Mujab Tohir D okum e n “D i al og Int er akt i f K ebuda yaan ” denga n Waro k P onorogo. D iterbitkan dalam bentuk buku oleh Merak Desantra Gong FM. Surat Kabar dan Majalah Jawa Pos, 26 September 1989 Suluh Indonesia, 20 Desember 1955 Suluh Indonesia, 22 November 1955 Buku Anonim. 2004. Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo Dalam Pentas Budaya. Ponorogo: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II. Hartono. 1980. Reyog Ponorogo (Untuk Perguruan Tinggi). Jakarta: Proyek Penulisan dan Penerbitan Buku/ Majalah Pengetahuan Ilmu Profesi Depdikbud. Herman, Joseph. 1995. Dr am a Tradisional Reog, Suatu sistem Kajian Sistem Pengetahuan Dan Religi . Yogyakarta: Departemen P endidikan Da n Kebudayaa n D ir ek to r at J en d r al Kebudayaan. Subroto, Hendro. 2008. Dewan Revolusi PKI Menguak K egagala n Me ngk om uni s kan I ndone s ia . Jakarta: Putaka Sinar Harapan.
71