ISSN 1979-049X
MLANGUN JURNAL KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN VOLUME 8, NOMOR 2, DESEMBER 2014 Penanggungjawab Kepala Kantor Bahasa Provinsi Jambi Pemimpin Redaksi Fitria, S.S.,M.A. Dewan Redaksi Sarwono, S.Pd. Lukman, S.Pd., M.A. Penyunting Ahli (Mitra Bestari) Prof. Rusdi Muchtar, APU (LIPI) Prof. Dr. Mujiono Wiryotinoyo, M.Pd. (Universitas Jambi) Dr. Herman Budiyono, M.Pd. (Universitas Jambi) Dr. Sudaryono, M.Pd. (Universitas Jambi) Administrasi M. Jul Adwin Desain Cover dan Tata Letak Mhd. Zaki, S.Sos., M.H. Penerbit Kantor Bahasa Provinsi Jambi Alamat Redaksi Kantor Bahasa Provinsi Jambi Jalan Arif Rahman Hakim No. 101 Telanaipura, Jambi 36124 Telepon/Faksimile (0741) 669466-61131 Laman: www.jurnalmlangun.com Pos-el:
[email protected]
Jurnal Mlangun terbit dua kali dalam satu tahun, setiap bulan Juni dan Desember. Redaksi menerima tulisan ilmiah dari pakar, peneliti, dan dosen yang berkaitan dengan wilayah kajian kebahasaan, kesastraan dan pengajaran. Pemuatan suatu tulisan tidak berarti bahwa redaksi menyetujui isi karangan tersebut. Setiap karangan dalam jurnal ini dapat diperbanyak setelah mendapat izin tertulis dari penulis, redaksi, dan penerbit
Ketik Judul di Sini Nama Penulis
i
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
ii
PENGANTAR REDAKSI
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah karena izin-Nya jurnal Mlangun, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014 dapat diterbitkan. Pada edisi ini menampilkan delapan tulisan: dua kajian sastra, dua kajian linguistik, satu pengajaran BIPA, dan tiga kajian pengajaran yang ditulis oleh staf teknis dan peneliti Kantor Bahasa Provinsi Jambi dan luar Kantor Bahasa Jambi (Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan, Institut Pertanian Bogor, Universitas Negeri Semarang, dan Universitas Negeri Jambi). Dua kajian sastra membahas ajaran budi pekerti yang terdapat dalam Serat Panitisastra dan kajian sosiologi sastra pada puisi “Duniaku Yang Alit” karya Nana Ernawati. Sementara itu, dua kajian linguistik membahas metafora dalam bahasa Banjar dan kajian sosiolinguistik pada interaksi bahasa tiga etnis yang berlainan (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Kota Pekalongan. Pengajaran BIPA mengkaji kemampuan berbicara bahasa Indonesia melalui teknik Riga, dan tiga kajian pengajaran lainnya membahas penggunaan kaidah bahasa Indonesia di sekolah, kemampuan menulis dasar argumen keyakinan guru di sekolah, dan pelatihan penggunaan alat peraga matematika dalam upaya peningkatan kompetensi menulis eksposisi pada guru di sekolah. Terwujudnya Jurnal Mlangun edisi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu redaksi mengucapkan terima kasih yang tulus kepada penyunting ahli (mitra bestari) yang telah memberikan penilaian dan masukkan sehingga naskah ini layak diterbitkan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua dewan redaksi yang telah bekerja dengan maksimal sehingga jurnal ini dapat diterbitkan. Semoga Jurnal Mlangun ini bermanfaat bagi pembaca dan menambah wawasan yang positif dalam bidang bahasa, sastra, dan pengajaran. Redaksi menerima kritik dan saran untuk penyempurnaan jurnal ini menjadi lebih baik pada edisi berikutnya.
Wassalam, Tim Redaksi Mlangun
iii
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
iv
DAFTAR ISI
Ajaran Budi Pekerti dalam Serat Panitisastra Andi Asmara.....................................................................................................
93-108
Ketika Perempuan Memandang Perempuan Sebuah Kajian Sosiologi Sastra Puisi “Duniaku Yang Alit” Karya Nana Ernawati Titik Wijanarti..................................................................................................
109-115
Bentuk Metafora dalam Mantra Banjar Jahdiah.............................................................................................................
116-126
Perwujudan Keberagaman Bahasa dan Budaya pada Interaksi Bahasa Tiga Etnis (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Kota Pekalongan Nur Fateah, S.Pd., M.A....................................................................................
127-141
Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia Mahasiswa BIPA Melalui Teknik Riga Krishandini......................................................................................................
142-156
Kesalahan Penggunaan Kaidah Bahasa Indonesia dalam Penulisan Soal Ulangan Umum Bersama Semester Genap SMA di Kabupaten Muaro Jambi Sarwono...........................................................................................................
157-170
Proses Pembelajaran Kemampuan Menulis dan Dasar Argumen Keyakinan Guru di Sekolah Menengah Pertama Nusa Herman Budiyono............................................................................................
171-183
Pelatihan dengan Penggunaan Alat Peraga Matematika dalam Upaya Peningkatan Kompetensi Menulis Eksposisi pada Guru SMA Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Hendry Akbar...................................................................................................
184-199
v
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
vi
MLANGUN ISSN 1979-049X
Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
Kata-kata kunci bersumber dari artikel
Abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin
DDC 807.2 Andi Asmara Ajaran Buki Pekerti Dalam Serat Panitisastra Mlangun, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, hlm …… Ajaran budi pekerti yang adiluhung banyak tersimpan di dalam karya-karya sastra tradisional Jawa, seperti Serat Panitisastra. Tulisan ini bertujuan untuk mengupas ajaran budi pekerti yang terdapat dalam Serat Panitisastra. Terpahaminya ajaran budi pekerti tersebut diharapkan mampu memberikan pencerahan jiwa terhadap individu-individu di dalam masyarakat. Dengan demikian tercapailah tata kehidupan yang harmonis, seimbang lahir dan batin. Metode yang digunakan yaitu metode analisis wacana dan interprestasi, sedangkan teori yang dipakai ialah teori pragmatik. Teori pragmatik diterapkan berkait erat dengan manfaat karya sastra bagi pembaca dan masyarakat. Hasil pengkajian ini adalah diketahuinya ajaran budi pekerti dan manfaatnya bagi individu dalam hidup bermasyarakat. Kata kunci: Ajaran, budi pekerti, Serat Panitisastra
DDC 801.93 Titik Wijanarti Ketika Perempuan Memandang Perempuan Sebuah Kajian Sosiologi Sastra Puisi “Duniaku yang Alit” Karya Nana Ernawati Mlangun, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, hlm …….. Sejarah sastra Indonesia mencatat bahwa masalah perempuan telah lama dipersoalkan jauh sebelum Marah Rusli menulis Siti Nurbaya. Perbincangan tentang perempuan dalam karya sastra terus menguat seiring dengan perkembangan dinamika sosial budaya masyarakat Indonesia. Penelitian ini mengkaji sebuah puisi yang ditulis oleh seorang penulis perempuan dan berbicara tentang perempuan dengan menggunakan teori sosiologi sastra. Di samping teori sosiologi sastra, penelitian ini juga menggunakan perspektif teori sastra feminis. Perspektif tersebut dinilai perlu dimasukkan di dalam penelitian ini karena dalam sebuah penelitian sosiologis suatu karya sastra tidak dapat dilepaskan dari masalah perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Berdasarkan analisis sosiologi sastra terhadap puisi “Duniaku yang Alit” karya Nana Ernawati dapat diperoleh simpulan bahwa perempuan dalam masyarakat masih diposisikan sebagai manusia nomor dua setelah lakilaki. Hal itu terungkap dalam berbagai ekspresi yang menggambarkan bahwa perempuan selalu berada dalam wilayah domestik untuk melayani kaum laki-laki. Perlawanan terhadap ketidakadilan gender telah dilakukan oleh kaum perempuan tetapi belum berarti apa-apa. Kata kunci: Perempuan,puisi,sosiologi sastra
vii
MLANGUN ISSN 1979-049X
Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
Kata-kata kunci bersumber dari artikel
Abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin
DDC 889.253.3 Jahdiah Bentuk Metafora dalam Mantra Banjar Mlangun, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, hlm …… Mantra yang berkembang dalam masyarakat memiliki fungsi sebagai pengungkap tata nilai sosial budaya dan sekaligus juga disebut tata kehidupan daerah Banjar. Bahkan lewat matra dapat digali nilai budaya yang lebih mendalam, yaitu kepercayaan atau religi serta kebergunaannya. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang difokuskan pada deskripsi tentang bentuk metafora dalam mantra Banjar. Penelitian ini tergolong jenis penelitian kualitatif. Sumber data penelitian ini berupa data utama dan data penunjang. Data utama penelitian ini diambil dari mantra Banjar yang ada dimasyarakat dan penunjang buka mantra Banjar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam mantra banjar diperoleh metafora yang berhubungan dengan manusia, hewan, tumbuhan, makhluk gaib, warna, dan keadaan alam. Kata kunci: Masyarakat Banjar, mantra, metafora
DDC 491.41 Nur Fateah Perwujudan Keberagaman Bahasa dan Budaya Pada Interaksi Bahasa Tiga Etnis (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Kota Pekalongan Mlangun, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, hlm 46-53 Penelitian ini mengungkap keberagaman dalam masyarakat multi etnik yang hidup berdampingan dan dapat menciptakan keharmonisan. Perwujudan manifestasi budaya dan kehidupan masyarakat dapat dilihat dari bahasanya. Hal ini terlihat dalam interaksi bahasa tiga etnik (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Kecamatan Pekalongan Timur, Kota Pekalongan yang memunculkan banyak fenomena kebahasaan. Dengan menggunakan teori sosiolinguistik yang berkaitan dengan pemakaian bahasa pada masyarakat multi etnik ditemukan faktor-faktor yang menentukan pilihan bahasa masyarakat tutur tiga etnis (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Kota Pekalongan, yaitu faktor usia, faktor pendidikan, faktor lawan tutur, topik tuturan dan faktor kedudukan sosial dalam masyarakat. Penelitian ini menunjukkan Bahasa Jawa yang gunakan oleh warga Sugihwaras secara umum adalah bahasa Jawa ragam ngoko. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh semua etnis di Sugihwaras. Penggunaan bahasa Indonesia lebih didominasi oleh etnis Arab dan Cina, terutama dalam ranah-ranah yang resmi dan agak resmi. Kata kunci: Keberagaman bahasa, interaksi tiga bahasa, sosiolinguistik, bahasa Jawa Ragam Ngoko
viii
MLANGUN ISSN 1979-049X
Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
Kata-kata kunci bersumber dari artikel
Abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin
DDC 481.5 Krishandini Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia Mahasiswa Bipa Melalui Teknik Riga Mlangun, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, hlm …………….. Pembelajaran bahasa asing pada saat ini lebih difokuskan pada pembelajaran dengan pendekatan komunikatif. Salah satu teknik pembelajaran dengan pendekatan komunikatif di antaranya: teknik role play, teknik interview , dan teknik games. Dalam penelitian ini digunakan metode Classroom Action Research (CAR) model Elliot. Penelitian ini bertujuan agar dapat meningkatkan kemampuan berbicara mahasiswa BIPA di Institut Pertanian Bogor. Berdasarkan hasil prestasi belajar yang dicapai mahasiswa BIPA dengan menerapkan teknik ini, terdapat peningkatan hasil belajar. Nilai rerata perolehan mahasiswa pada tes awal sebelum tindakan rerata nilai 52,34 berhasil naik menjadi 85,32 pada tes akhir siklus ketiga. Peningkatan kemampuan berbicara mahasiswa BIPA menggunakan tindakan dengan cara menggabungkan teknik roleplay, interview, dan games yang disebut teknik Riga. Kata kunci: Kemampuan berbicara,mahasiswa BIPA, dan teknik Riga
DDC 418.1 Sarwono Kesalahan Penggunaan Kaidah Bahasa Indonesia dalam Penulisan Soal Ulangan Umum Bersama Semester Genap SMA di Kabupaten Muaro Jambi Mlangun, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, hlm ……………. Banyak guru yang menganggap bahwa bahasa Indonesia tidak perlu dipelajari karena sudah biasa menggunakannya setiap hari. Hal ini menyebabkan terjadinya kesalahan penggunaan kaidah bahasa Indonesia terutama pada pembuatan soal ulangan umum di sekolah-sekolah. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk-bentuk kesalahan penggunaan kaidah bahasa Indonesia pada penulisan soal-soal ulangan umum bersama semester genap SMA di Kabupaten Muarojambi dan untuk menganalisis bentuk-bentuk kesalahan penggunaan kaidah bahasa Indonesia pada penulisan soal-soal ulangan umum bersama semester genap SMA di Kabupaten Muarojambi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik observasi dan teknik catat atau rekam. Penganalisisan data penelitian ini menggunakan teknik kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penulisan soal-soal ulangan umum bersama semester genap SMA di Kabupaten Muarojambi masih banyak kesalahan. Kesalahan tersebut berupa kesalahan ejaan, pemilihan kata, dan struktur kalimat. Kata kunci: Kesalahan, kaidah bahasa, ulangan umum
ix
MLANGUN ISSN 1979-049X
Volume 8, Nomor 2, Desember 2014
Kata-kata kunci bersumber dari artikel
Abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin
DDC 449.218.2 Herman Budiono Proses Pembelajaran Kemampuan Menulis dan Dasar Argumen Keyakinan Guru di Sekolah Menengah Pertama Nusa Mlangun, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, hlm ………… Proses pembelajaran menulis harus ditangani secara seksama sehingga pelaksanaannya dapat efektif dan efisien. Guru yang berkualitas akan menciptakan proses pembelajaran yang berkualitas. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan proses pembelajaran kemampuan menulis di SMP Nusa dan dasar argumen keyakinan guru tentang penerapan proses pembelajaran tersebut. Penelitian ini menggunakan penelitian kelas berpendekatan kualitatif. Proses pembelajaran kemampuan menulis dan dasar argumen keyakinan guru tersebut dideskripsikan sesuai dengan rinciannya masing-masing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pembelajaran kemampuan menulis di SMP Nusa dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan tahapan-tahapan proses menulis, yaitu prapenulisan, penulisan draf, revisi (isi, retorika,dan kalimat), dan revisi (ejaan dan tanda baca). Pada tiap-tiap tahapan itu digunakan beberapa strategi dan prosedur tertentu yang didasari oleh dasar argumen keyakinan guru. Menurut guru, strategi dan prosedur yang diterapkan dalam pembelajaran dapat melatih siswa berpikir kreatif, selektif, asosiatif, skematis, dan analitis Kata Kunci: Proses pembelajaran, kemampuan menulis, dasar argumen guru
DDC 410 Hendry Akbar Pelatihan dengan Penggunaan Alat Peraga Matematika dalam Upaya Peningkatan Kompetensi Menulis Eksposisi pada Guru SMA Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Mlangun, Volume 8, Nomor 2, Desember 2014, hlm ………… Pembelajaran menulis merupakan muara dari seluruh aspek keterampilan berbahasa. Sebagai seorang guru harus lebih meningkatkan kompetensi dirinya dalam menulis melalui pembelajaran maupun pelatihan agar siswa memiliki kompetensi yang tinggi dalam menulis. Penelitian ini bertujuan ingin membuktikan apakah dengan pelatihan menggunakan alat peraga matematika dapat meningkatkan kompetensi guru bahasa Indonesia dalam menulis eksposisi. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan sekolah dengan subjek penelitian dua puluh guru anggota MGMP Bahasa Indonesia SMA Kabupaten Muarojambi. Hasil penelitian tindakan menunjukkan bahwa pelatihan dengan penggunaan alat peraga matematika dapat meningkatkan kompetensi guru menulis eksposisi. Kata kunci: Pelatihan, alat peraga matematika, menulis eksposisi
x
Ajaran Budi Pekerti dalam Serat Panitisastra The Moral Teachings in Serat Panitisastra Andi Asmara Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur Pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Ajaran budi pekerti yang adiluhung banyak tersimpan di dalam karya-karya sastra tradisional Jawa, seperti Serat Panitisastra. Tulisan ini bertujuan untuk mengupas ajaran budi pekerti yang terdapat dalam Serat Panitisastra. Terpahaminya ajaran budi pekerti tersebut diharapkan mampu memberikan pencerahan jiwa terhadap individu-individu di dalam masyarakat. Dengan demikian tercapailah tata kehidupan yang harmonis, seimbang lahir dan batin. Metode yang digunakan yaitu metode analisis wacana dan interprestasi, sedangkan teori yang dipakai ialah teori pragmatik. Teori pragmatik diterapkan berkait erat dengan manfaat karya sastra bagi pembaca dan masyarakat. Hasil pengkajian ini adalah diketahuinya ajaran budi pekerti dan manfaatnya bagi individu dalam hidup bermasyarakat. Kata kunci: Ajaran, budi pekerti, Serat Panitisastra
ABSTRACT The moral teaching are often foundt in the literary work of Java tradition. ‘Serat Panitisastra’ is one them. This paper is aimed to explore the moral teachings in ‘Serat Panitisastra’. By understanding the moral teaching, it was expected that it can light on the lives of individuals in society. Thus the system of harmonious life, both physically and spiritually balance can be reached. The method used is discourse analysis and interpretation methods, while the theory used in this paper is a pragmatic theory. Pragmatic theory applied because it is closely related to literary works for the benefit of readers and the community. The results of this assessment are knowledge of the moral teaching and its benefits to the individual in social life. Keywords: moral teaching, Serat Panitisastra
93
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
1. Pendahuluan Dalam tatanan masyarakat modern yang konsumtif dan cenderung materialistis, normanorma tradisional yang menekankan sifat kejujuran, kerendahan hati, kesederhanaan, tolong-menolong, dan tepa salira yang dilandasi oleh budi pekerti luhur tampak semakin ditinggalkan. Akibat pergeseran tuntutan hidup, cara hidup, dan norma hidup tersebut, manusia modern menjadi sangat individual. Rasa empati dan simpati atas penderitaan hidup sesamanya semakin menipis dan yang sangat disayangkan adalah diabaikannya sifat kejujuran.
dari hari kehari semakin tergerus zaman. Tata nilai dan norma-norma tradisional diangap ketinggalan dan tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Norma kehidupan yang mengacu pada budaya barat yang sejatinya tidak cocok dengan budaya ketimuran berangsur-angsur menggeser budaya bangsa yang adiluhung. Dalam era globalisasi seperti sekarang ini seharusnya kita menyadari pentingnya nilai-nilai tradisional sebagai filter terhadap masuknya budaya asing yang tidak selaras dengan budaya bangsa. Menggali kembali nilai-nilai ketradisionalan bangsa sebagai bekal menghadapi tantang zaman menjadi
Sifat jujur dan rendah hati yang menjadi ciri norma tradisional dewasa ini semakin sulit ditemukan di tengah masyarakat. Ironisnya, apabila ada individu yang dengan susah payah mempertahankan sikap hidup yang adiluhung, jujur, dan rendah hati, malah dianggap sebagai sifat nyleneh dan bodoh. Tidak jarang individu yang berwatak adiluhung tersebut malah tersisih dan dikucilkan. Semakin menipisnya nilai-nilai kemanusiaan tersebut menjadi penyebab utama kian hampanya rasa hidup manusia. Kehampaan hidup itu mengakibatkan perilaku manusia menjadi tidak terkontrol, karena itu pelanggaran terhadap normanorma kebenaran semakin jamak dilakukan. Manusia menjadi kehilangan arah tujuan hidupnya. Nilai-nilai kehidupan yang penuh kelembutan dan cita kasih menjadi sulit di temukan di masyarakat. Karakter ketimuran yang santun dan rendah hati yang dahulu pernah dicontohkan oleh nenek moyang kita
keharusan apabila kita tidak ingin menjadi bangsa yang kehilangan jati diri. Setiap masyarakat memiliki dan mengenal nilai-nilai dan norma-norma etis ( Bertens, 2011: 31). Nilai dan norma tersebut berkaitan erat dengan perilaku atau moralitas individu di dalam masyarakat. Masyarakat Jawa menyebut moral dengan istilah budi pekerti, unggah-ungguh, sopan santun, dan tata krama. Keseluruhan dari norma yang berlaku di masyarakat tersebut pada dasarnya adalah sebuah bentuk pengendalian diri. Pengendalian ego individu yang merugikan orang lain. Setiap hak yang dimiliki oleh individu bertalian dengan hak yang dimiliki oleh individu lain. Agar antara hak dan kewajiban setiap individu dapat terlaksana secara baik, dibuatlah norma atau etika. Norma –norma di dalam masyarakat itu merupakan tuntunan moral bagi setiap individu agar dapat hidup bahagia lahir dan batin. Cita-cita terhadap kebahagiaan hidup seutuhnya itu tercermin dari prinsipprinsip moral yang diberlakukan di dalam
94
.
Ajaran Budi Pekerti dalam Serat Panitisastra Andi Asmara
masyarakat. Kebahagiaan hidup seutuhnya dapat tercapai apabila setiap individu di dalam masyarakat dapat memenuhi kebutuhan lahir dan batinnya. Dua kebutuhan tersebut selayaknya dipenuhi secara seimbang. Akan tetapi, di dalam tatanan masyarakat modern ada kecenderungan pemenuhan kebutuhan lahiriah saja yang diutamakan dan diupayakan. Kebutuhan rohani, di sisi lain seperti diabaikan. Hal ini terbukti dengan semakin ditinggalkannya sifat jujur dan rendah hati oleh masyarakat modern. Kejujuran merupakan jalan untuk
tersebut adalah karya satra tradisional Jawa. Sastra Jawa sarat dengan petuah-petuah dan tuntunan moral perihal ajaran budi luhur yang besar manfaatnya bagi bekal hidup lahir batin. Serat Panitisastra digubah pada zaman Kerajaan Surakarta mengambil babon Nitisastra zaman Kerajaan Majapahit adalah salah satu cipta sastra tradisional Jawa yang kaya dengan ajaran-ajaran moral atau budi pekerti luhur yang dapat dijadikan sebagai tuntunan hidup bermasyarakat. Apabila dihayati secara mendalam pesan-pesan tersebut akan mampu memberi pencerahan
menemukan kebenarn mengenai hal-hal yang substansial yang bersifat universal (Kusumohamidjojo, 2010:23). Dengan begitu akan tercapai sebuah kebebasan eksistensial yaitu kebebasan tertinggi ( Bertens, 2011: 122). Kebebasan eksistensial berkait dengan kebebasan batiniah dari belenggu nafsu. Berpikir dan bertindak di bawah kendali budi akan membuat manusia menjadi arif bijaksana. Segala perilakunya senantiasa ditujukan untuk kebaikan diri dan orang lain sekaligus. Semua nafsu negatif mampu dikendalikan sehingga terbentuk pribadi berbudi bawa laksana. Berpijak dari berbudi pekerti luhur inilah nenek moyang Nusantara menjalani hidup bermasyakat, sehingga tercapai kehidupan yang tata tenteram kerta raharja. Ajaran budi pekerti yang adiluhung, yang merupakan warisan secara turun-temurun nenek moyang itu banyak tersimpan di dalam karya-karya sastra tradisional nusantara. Salah satu karya sastra tradisional nusantara yang kaya dengan ajaran budi pekerti
batin bagi individu dan masyarakat. Pengkajian dan pengenalan kembali nilai-nilai budi pekerti luhur yang terekam di dalam karya sastra tradisional, khususnya Serat Panitisastra sebagai sastra piwulang perlu lakukan. Selain sebagai bentuk pelestarian budaya, penelitian terhadap Serat Panitisastra juga sebagai sumbangsih pemikiran kepada masyarakat dalam menghadapi arus globalisasi dan modernisasi yang tidak terelakkan agar masyarakat tidak kehilangan jati dirinya demi tercapainya kehidupan yang tata tenteram kerta raharja, bahagia lahir dan batin. Kerangka Teori Teori berfungsi untuk mendapatkan gambaran mengenai objek dan proses empirik secara spesifik (Faruk, 2012:20). Dalam mengkaji Serat Panitisastra ini diterapkan teori pragmatik. Kajian pragmatik menekankan aspek kegunaan karya sastra terahadp pembaca. Sejauh mana karya sastra tersebut dapat memengaruhi bahkan 95
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
mengubah sikap hidup pembaca. Sikap hidup tersebut adalah sikap hidup yang positif karena terinspirasi oleh karya sastra yang pernah dibacanya. Karya sastra yang bermutu dan bernilai akan sanggup mengubah cara pandang dan cara hidup pembacanya. Melalui karya sastra yang dibacanya tersebut seseorang dapat melakukan introspeksi diri. Membandingkan dirinya dengan ajaran yang ada di dalam karya sastra sehingga tercapai pribadi yang ideal yang selaras dengan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu, tidak salah kalau dikatakan bahwa karya sastra dipandang sebagai media yang sangat efektif dalam upaya membina moral dan kepribadian suatu masyarakat dalam hal ini diartikan sebagai suatu norma dan suatu konsep tentang kehidupan (Semi, 1989:49). Dipandang melalui aspek pragmatik, teks sastra dikatakan berkualitas apabila dapat memenuhi keinginan dan harapan pembaca. Terpenuhinya harapan pembaca menjadi aspek penting dalam kajian pragmatik terhadap suatu karya sastra. Betapa pun hebatnya sebuah karya sastra, jika tidak dapat dipahami oleh pembaca boleh dikatakan teks tersebut gagal. Teks sastra tersebut hanya tergolong black literature (sastra hitam) yang hanya bisa dibaca dan dipahami oleh pengarangnya. Apabila ini terjadi, teks sastra menjadi tidak memiliki nilai guna dalam masyarakat. Karya semacam ini hanya menara gading yang tidak pernah akrab dengan pembaca. Oleh karena itu, aspek pragmatik terpenting manakala teks sastra itu mampu menumbuhkan kesenangan bagi pembaca. 96
Pembaca menjadi faktor yang sangat dominan dalam pemaknaan karya sastra (Endraswara, 2003:115). Kajian yang mengedepankan pentingnya karya sastra pembacanya ini mula-mula dikemukakan oleh Horace dalam bukunya yang berjudul Ars Poetica (Abrams, 1979: 16). Horace menyatakan manfaat karya sastra bagi pembacanya ini dengan istilah dulce et utile ‘berguna dan menghibur’. Oleh karena itu, sebuah karya sastra sepatutnya memiliki nilai guna dan hiburan atau kenikmatan bagi pembacanya (Teeuw, 1998: 183). Kajian pragmatik mendorong pembaca dapat memetik nilai positif dari karya sastra yang dibacanya. Dengan begitu, karya sastra bukan sekadar memberi hiburan, tetapi mampu memengaruhi sikap pembaca. Pembaca Serat Panitisastra diharapkan tidak hanya menjadi penikmat pasif sebuah karya sastra. Melalui telaah ini, pembaca Serat Panitisastra didorong serta diharapkan mampu menghayati nilai-nilai budi pekerti luhur yang terkandung di dalamnya. Nilainilai budi pekerti luhur tersebut seyogyanya diterapkan dalam kehidupan dan perilaku sehari-hari sehingga mampu menjadi sumber pemahaman dalam berhubungan dengan sesama manusia dan Tuhan. Tercapainya hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan manakala tercapai keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan lahiriah dan batiniah, raga dan jiwa. Terpenuhinya secara berimbang kebutuhan raga dan jiwa adalah kunci tercapainya keharmonisan hidup individu dengan individu dan individu dengan Tuhan. Keharmonisan dalam berhubungan dengan sesama dan
.
Tuhan dapat tercapai apabila individu yang bersangkutan memiliki budi pekerti yang luhur. Memahami dan melaksanakan budi pekerti luhur tersebut dalam perilaku hidup sehari-hari. Begitu pentingnya peran moral bagi manusia, sehingga dikatakan bahwa budi pekerti luhur adalah tuntunan utama hidup manusia. Budi perkerti pula yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Tanpa menggunakan budi pekerti sebagai landasan hidup, manusia tidak ada bedanya dengan binatang karena tanpa tuntunan budi pekerti hidup suatu makhluk berada di bawah kendali naluri atau nafsu rendah semata. Kesadaran moral merupakan dasar bagi tumbuhnya rasa tanggung jawab dalam memberi dan mengisi arti hidup dan kehidupan manusia. Tanpa kesadaran moral manusia akan mengalami ketidak harmonisan dalam hidupnya (Ardana, 1987: 88). Metode Penelitian Metode adalah cara atau strategi untuk memahami realitas secara sistematis (Ratna, 2012: 340). Dalam penelitian ini diterapkan metode analisis wacana dan interpretasi. Teks diinterpretasikan sedemikian rupa sesuai dengan tujuan penelitian. Interprestasi dilakukan seturut dengan makna teks secara konseptual sehingga interpretasi tersebut tidak menyimpang dari hakikat teks. Sumber data penelitian ialah teks Serat Panitisastra yang berbentuk macapat yang terdiri atas 10 pupuh dan 153 pada atau bait. Penulisannya menggunakan huruf latin dan bahasanya menggunakan bahasa Jawa baru. Metode pengumpulan data secara umum dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu
Ajaran Budi Pekerti dalam Serat Panitisastra Andi Asmara
metode pengamatan langsung, metode menggunakan pertanyaan, dan metode khusus. Metode pengamatan langsung adalah metode pengumpulan data dengan mengamati langsung objek penelitian. Pada tahap pengumpulan data diterapkan metode pengamatan, yaitu mengamati secara langsung objek penelitian. Diterapkannya metode ini diharapkan data-data penunjang atau sekunder dapat diperoleh secara lengkap dan memadai. Pada tahap ini metode di atas dibantu dengan teknik catat. Teknik catat dilakukan untuk menjamin keakuratan data. Sehubungan dengan jenis penelitian, penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang menitikberatkan pada analisis teks Serat Panitisastra. Pada tahap analisis, diterapkan metode deskriptif kualitatif yang bertujuan memberikan gambaran secara jelas dan nyata tentang data-data yang bertautan. Data-data yang ada dianalisis secara mendalam dan secermat mungkin sehingga terjalin suatu kelogisan dan kesinambungan fakta. 2. Hasil dan Pembahasan Ajaran Budi Pekerti Serat Panitisastra a. Wewaler Pengertian wewaler adalah norma-norma terlarang di dalam masyarakat yang tidak boleh dilanggar. Wewaler yang dimaksud dapat berupa norma yang tidak tertulis yang berlaku di dalam masyarakat ataupun norma hukum negara yang diatur dalam undangundang. Wewaler merupakan tata susila sehari-hari dalam hidup bermasyarakat. Tinggi-rendahnya derajat moral seseorang tergantung pada ketaatannya dalam mematuhi wewaler yang ada (Tanpo Aran, 1988: 73). 97
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
Mematuhi wewalering bebrayan adalah suatu keharusan bagi setiap warga masyarakat sebab wewaler merupakan dasar tata hidup bermasyarakat. Kesungguhan mentaati wewaler akan berdampak terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat secara umum. Oleh karena itu, wewaler memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keharmonis tata kehidupan. Adapun petuahpetuah yang berisi wewaler dalam teks Serat Panitisastra dapat dijumpai pada kutipankutipan berikut. V.12 Kasektening sujanma Saha dayanipun Tan ana angluwihana Lan sektining para dewa angluwihi Manusya tan tumibang Kesaktian manusia Dengan segala kekuatannya Tak ada yang melebihi Kesaktian para dewa, kesaktian para dewa itu sangat lebih Manusia tidak mampu menandinginnya Pupuh V dhandhanggula bait 12 berisi peringatan kepada manusia agar tidak sombong atau adigang-adigung merasa paling hebat. Dalam pupuh tersebut peringatan agar tidak bersikap jumowo ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kesaktian. Sesakti apa pun manusia itu pasti masih kalah sakti dengan para dewa. Implementasi ajaran tersebut dalam kehidupan modern sekarang ini dapat dikaitkan dengan pangkat, jabatan, dan harta benda. Seyogyanya manusia bersikap rendah hati meskipun memiliki pangkat dan jabatan yang tinggi serta harta benda yang berlimpah. Sikap sombong karena memiliki 98
pangkat, jabatan yang yang tinggi, dan harta yang berlimpah justru akan menjatuhkan martabatnya di hadapan sesama makhluk dan di hadapan sang Khalik. Oleh karena tidak seorang pun di dunia ini yang menyukai orang yang berwatak sombong, angkuh, dan tinggi hati. Sehubungan dengan sikap hidup seharihari hendaknya jangan merasa diri lebih hebat dari yang lain. Menyatakan diri lebih unggul adalah kesombongan. Semestinya manusia tidak perlu minta pengakuan dari sesamanya atas kemapuan dirinya. Tanpa meminta pun, apabila seseorang mampu menunjukkan dan membuktikan kemanfaatannya terhadap sesama pengakuan itu pasti akan datang. Sikap rendah hati dalam kehidupan sehari-hari adalah ciri utama manusia yang berbudi luhur. Kita dikatakan mempunyai sifat rendah hati apabila kita bisa membawa diri dengan ramah dan santun dalam hidup bebrayan. Dengan sifat rendah hati dalam hidup bebrayan, maka kita menjadi segan terhadap keinginan untuk menonjolkan diri (Tanpoaran, 1988:91). X.15 Ring janma ywa memada Nanacad wong iku Tan ana kang tanpa cacad Jangan memperbincangkan keburukan orang lain Membicarakan cacat orang Tidak ada orang yang tanpa cacat Membicarakan keburukan orang lain hakikatnya adalah mengungkapkan keburukan diri sendiri. Oleh karena itu, janganlah membicarakan dan mencela kekurangan orang lain karena tidak ada
Ajaran Budi Pekerti dalam Serat Panitisastra Andi Asmara
.
seorang pun yang tanpa cacat demikianlah inti ajaran pupuh X dhandhanggula, bait 15. Orang yang suka membicarakan keburukan orang lain adalah orang yang belum memahami hakikat diri pribadi. Mengungkap keburukan seseorang di hadapan orang lain adalah sikap batin yang salah. Hal ini menunjukkan kekotoran batin yang bersangkutan. Seseorang yang telah mawas diri dan mampu melepaskan diri dari jerat rasa iri dan dengki tidak akan mencela dan membicarakan keburukan orang lain. Orang yang pikiran dan hatinya masih dipenuhi hal-hal yang buruklah yang suka mencela dan membicarakan kesalahan orang lain. Dalam upaya mencapai kehidupan rohani yang tata tenteram setiap individu harus mampu mengikis rasa serakah, iri, dengki, jahil, amarah, dan sombong. Perasaanperasaan negatif yang mendorong perilaku sasar itu harus dilenyapkan dari batin manusia. Sirnanya perasaan-perasaan negatif itu membukakan tabir ketenteraman hati. b. Sopan-Santun Sopan santun atau etika adalah tindaktanduk atau tingkah laku seseorang dalam berinteraksi sosial di dalam masyarakat. Beretika berarti bagaimana seharusnya kita berperilaku dengan baik. Etika memberikan nasihat-nasihat mengenai perilaku. Biasanya dalam bentuk ungkapan, mutiara kata, peribahasa, dan sebagainya yang menyiratkan norma-norma positif yang berlaku di dalam masyarakat (Soelaeman, 1988:160). Sopan-santun sebagai suatu norma pergaulan hidup sehari-hari diyakini akan membawa keharmonisan hidup
dalam hubungannya dengan lingkungan, sesama, dan Tuhan. Jadi, adat sopan-santun sebenarnya mencakup pengertian tata laksana kehidupan yang luas. Dalam hal yang sangat khusus, sopan-santun hanya mengatur tata pergaulan antar manusia. Di dalam masyarakat Jawa, sikap andhap asor yang merupakan pengejawantahan dari sikap santun yang diajarkan dengan cara penanaman rasa malu. Rasa malu diartikan sebagai rasa malu untuk berbuat salah. Rasa malu ini harus menjadi sikap yang tertanam dalam-dalam hingga menjiwai seluruh tingkah laku. Rasa malu berperan untuk melatih penguasaan diri. Inti dari penanaman sikap malu berbuat salah ini adalah untuk mengembangkan penguasaan diri dan kebijaksanaan untuk saling hormatmenghormati sehingga tercipta kedamaian hidup dengan orang lain (Mulder, 1985:38). Dalam Serat Panitisastra ajaran sopansantun tecermin pada kutipan-kutipan berikut. I.2 Wuryaning reh janma kang datan wrin Subasita yeku ingaranan Wong midha punggung yektine Tegesing midha punggung Midha bodho tan wrin ing westhi Tegesing punggung janma Sor pamilihipun Lan malih kang subasita Ing tegese silakrma kang rumiyin Kapindho basakrama Sebagai pembuka ajaran insan yang tidak maklum Akan sopan santun orang demikian itu disebut Orang midha punggung Arti midha punggung Midha berarti bodoh tidak memahami rasa 99
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
Arti punggung ialah orang Yang rendah daya pilihnya Selanjutnya perihal sopan santun Dalam arti sila krama maknanya yang pertama Makna yang kedua basa krama Pada pupuh I dhandhanggula, bait 2 dikatakan bahwa orang yang tidak tahu sopan-santun adalah orang midha punggung, yaitu orang yang tidak memahami rasa hidup. Orang demikian itu, tutur katanya kasar dan segala tindak tanduknya jauh dari sifat santun. Oleh karena itu, dijelaskan lebih lanjut bahwasanya ciri-ciri insan utama itu dapat diketahui dari nada bicara dan tindak tanduknya. Orang yang memahami rasa hidup, segala tutur katanya terdengar lembut dan meyenangkan hati yang mendengarkannya. Cara membawa diri juga demikian santun dan rendah hati. Tidak tampak sikap kasar dan tergesa-gesa dalam mengerjakan segala hal. Semua tutur kata dan perbuatannya senantiasa dipertimbangkan masak-masak dan dilakukan penuh hati-hati dengan harapan supaya tidak merugikan orang lain. Halusnya perasaan akan membuat perilaku seseorang itu menjadi lemah lembut. Lemah lembut bukan berarti membuat seseorang menjadi lamban dan tidak bergairah. Sebaliknya, kelembutan rasa hati malah membuat sikap seseorang menjadi cermat, cepat, tanggap, dan gesit. Segala sesuatu yang dikerjakan menjadi terarah dan efesien. Hal ini terjadi karena pikiran dan perasaan fokus pada stu objek yang tengah dikerjakan. pikiran dan perasaan tidak terpencar atau mengembara ke mana-mana. I.4 Lawan malih yen janma tan wrin 100
Ing subasita sasat Iyo nora weruh Ing rhasa kang nem prakara Kecut pedhes asin pait legi gurih Jangkep aran sad rasa Dan lagi apabila orang tidak memahami Peri sopan santun sama saja seperti tidak mengenal Rasa yang enam macamnya Kecut, pedas, asin, pahit, manis, dan gurih Yang disebut sad rasa itulah lengkapnya Pupuh I dhandhanggula, bait 4 mengajarkan bahwa orang yang tidak tahu sopan santun sama saja dengan tidak mengenal sadrasa, yaitu rasa kecut, pedas, asin, pahit, manis, dan gurih. Enam rasa tersebut sebenarnya menyimbolkan hakikat dari rasa hidup. Oleh sebab itu, barang siapa yang tidak bersikap santun dalam kehidupannya, pastilah belum memahami rasa hidup. Rasa hidup, dalam hal ini rasa sejati hanya bisa dirasakan setelah manusia dapat melewati ambang pintu kelembutan hati yang teraktualisasikan dalam perilaku sehari-hari sebagai sopan-santun. Betapa pentingnya berperilaku santun, karena hanya perilaku santunlah yang mampu menuntun manusia menuju pencerahan hidup yang sejati. Penghalang bagi manusia untuk bisa memahami rasa sejati adalah masih terikatnya perasaan terhadap sadrasa. Enam rasa yang dimaksud adalah rasa yang lahir dari pergerakan indra-indra. Indra-indra yang senantiasa aktif seiring dengan aktifnya pikiran itu begitu kuat membelenggu kesadaran manusia. Kuatnya belenggu kesadaran indra mengakibatkan rasa sejati
.
tidak mampu ditembus oleh kesadaran individu. Hanya dengan melepaskan diri dari belenggu sadrasalah manusia mampu memahami dan merasakan rasa sejati. II.5 Yen panengraning manusya Susilarja lus ing budi Awasena ta dhingin Tingkah kramaning pamuwus Ping kalih palenggahan Ruruh semune katawis Yen wong becik ayem santosa trus ing tyas Kalau tanda manusia Yang sopan, baik, dan halus budi Perhatikanlah mula pertama Tindak tanduknya sewaktu berbicara Kedua, cara duduknya Yang menampakkan air muka tenang Bila orang yang baik pastilah damai, teguh, sampai lubuk hati Pupuh II sinom, bait 5 mengajarkan bahwa tanda-tanda orang yang sopan, baik, dan halus budi dapat dilihat dari mula pertama berbicara, tindak tanduknya sewaktu berbicara, dan cara duduknya yang menampakkan air muka tenang. Apa bila orang tersebut baik, pastilah damai, teguh, sampai lubuk hati. Dalam hal pandangan, sorot matanya tajam dan tidak telingkah. Dalam hal bersantap tampak pelan, tenang, dan tidak tergesa-gesa. Dalam hal berbicara, tidak tergagap, nadanya datar tapi jelas, dan penuturannya terinci. Orang yang memiliki ciri-ciri tersebut pastilah memiliki kasih sayang yang besar terhadap semua makhluk. Hal ini karena hati nuraninya telah terbuka dan kesadaran rohaninya telah meningkat. Sifat kasih sayang yang tulus terhadap sesama adalah
Ajaran Budi Pekerti dalam Serat Panitisastra Andi Asmara
hasil dari pengendalian diri yang secara lahiriah terwujud dalam bentuk sopan santun. Kesantunan merupakan satu penanda bahwa seseorang telah mencapai taraf pengendalian diri yang baik. Kesantunan berarti pula penanda kemampuan individu dalam mengendalikan pergerakan pancaindra dan pikirannya. Terkendalinya pancaindra dan pikiran berarti pula terkendalinya nafsu-nafsu manusia karena dorongan nafsu teraktualisasi melalui pikiran dan pancaindera yang akhirnya melahirkan perbuatan. c. Kemanusiaan Kemanusiaan adalah sikap peduli terhadap sesama. Rasa kemanusiaan tersebut bisa terjadi pada saat sesama kita sedang tertimpa musibah atau sedang bahagia sekalipun. Pokoknya, pada saat itu sesame kita tengah butuh bantuan kita, entah bantuan yang berupa materi, tenaga, atau pun nasihat dan pemikiran kita. Dorongan rasa kemanusiaan sulit dipisahkan atau dibedakan dengan dorongan rasa kasihan. Perasaan kasihan secara harfiah berarti ‘merasa dengan’. Dalam pengertian ini, perasaan-perasaan sosial kita yang paling dasar, dasar seluruh moralitas, dan merupakan perekat emosional yang menghimpun masyarakat dan akhirnya seluruh manusia secara bersama-sama. Adanya rasa kasihan yang ditanamkan dalam akhlak, membantu seseorang menjadi pemurah, sebab sering terdapat dikotomi antara tuntuan moralitas dan watak egois (Soelaeman, 1988:54). Rasa kasihan merupakan sentimen yang kita rasakan terhadap orang lain. Sentimen dalam hal ini adalah suatu emosi yang 101
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
abstrak. Sentimen tersebut tidak membedabedakan orang yang kita kenal dengan yang tidak kita kenal. Rasa kasihan merupakan bibit dari apa yang dinamakan cinta. Pesanpesan kemanusiaan dalam Serat Panitisastra dapat dijumpai pada kutipan-kutipan berikut. II.9 Kalamun ana wong sugih Arta peni retnadi Nanging ta panganggenipun Kusut busana datan Amurwat ing sawatawis Myang kalamun mangan kang datan mirasa Jika ada orang kaya Harta, perhiasan, emas manikam, Tetapi pakaiannya kusut Tidak layak sedikit pun Apabila makan dia makan makanan yang tidak enak II.10 Tan meweh maring pandhita Tan loma ing pekir miskin Wong kang mangkono punika Tan wruh celeking kang dhiri Nyana tuwuhireki Panjang nora nuli lupus Mungguh ing umur datan Ana kang bisa amasthi Tidak berderma kepada pendeta Tidak bermurah hati kepada fakirmiskin Orang yang demikian itu Tidak maklum akan batas usianya yang pendek Ia menyangka umurnya Panjang tidak segera mati Meskipun tentang hal umur Tidak ada seorang pun yang dapat memastikan Dalam hidup bermasyarakat manusia hendaknya bisa membawa diri secara wajar, maksudnya bisa menempatkan diri sesuai dengan status sosialnya. Menempatkan diri sesuai dengan status sosial bukan berarti 102
merasa lebih tinggi atau lebih penting dari yang lain apabila kebetulan memiliki kedudukan yang tinggi. Dalam berprilaku sesuai status sosial bersikap rendah hati tetap harus dilaksanakan sebagai prinsip hidup. Sebaliknya, bagi yang tidak memiliki kedudukan juga jangan sampai merasa rendah diri. Bersikap sewajarnya juga berlaku dalam hal berbusana dan makanan. Sesuai dengan ajaran dalam pupuh II sinom bait 9 dan 10 etika berpakaian dan makan harus dijaga. Tidak pantas apabila orang yang kaya harta benda namun pakaiannya kusut dan compang-camping, makanannya pun juga seadanya, bahkan tidak layak. Dipaparkan pula tidak pantas bagi orang yang berkelebihan harta benda apabila tidak mau berderma kepada para alim dan fakir miskin. Orang kaya semacam itu dikatakan orang kaya yang tidak sadar terhadap batas usianya yang pendek. Ia menyangka umurnya masih panjang dan tidak akan segera mati, meskipun soal umur tidak ada seorang pun yang tahu. Secara batiniah sifat kikir manusia itu lahir dari keterikatannya yang begitu besar terhadap harta benda. Besarnya rasa kepemilikan membuat seseorang enggan mendermakan sebagain harta bendanya kepada sesama. Terlalu mencintai dunia adalah racun bagi kehidupan rohani. Dalam kerohanian kecintaan terhadap dunia yang berlebihan dalah penghalang. Bagi penghayat kerohanian, hal-hal yang bersifat keduniawain dianggap bukan suatu belenggu selama yang bersangkutan tidak terjerat olehnya. Harta benda hanyalah sarana untuk menghidupi raga.
.
Ajaran Budi Pekerti dalam Serat Panitisastra Andi Asmara
Dalam kehidupan bermasyarakat sudah selayaknya apabila yang kuat membantu yang lemah dan yang kaya membantu yang miskin. Bagi manusia yang sadar terhadap hakikat kehidupan, kekayaan adalah sarana untuk berbuat amal kebajikan. Itu sebabnya, membantu sesama yang sedang dalam kesusuhan dan kekurangan menjadi sebuah kewajiban. Harus disadari seberapa pun banyak harta yang kita kumpulkan di dunia ini, tidak akan kita bawa mati. Harta adalah titipan Ilahi yang harus disedekahkan jika kita berkelebihan. Pada pupuh VIII sinom, bait 10 ditegaskan
bahwa ia hidup sejalan dengan hakikat hidup dan bahwa ia telah menemukan jalan ke arah kebenaran secara langsung tanpa perantara. Terhadap kenyataan tersebut ia menarik kekuatan dari Tuhan, sehingga ia tidak bergantung lagi pada sumber-sumber kebenaran di luar batinnya sendiri (Mulder, 1985:32). Dasar dari laku kerohanian adalah pengendalian nafsu amarah, aluamah, sufiyah, dan mutmainah yang menyertai manusia. Nafsu-nafsu tersebut merepresentasikan dorongan dalam diri manusia untuk memenuhi kebutuhan badaniah dan
bahwa harta dan emas yang berlimpah harus dijaga secara baik, namun jangan sampai lupa untuk disedekahkan sebagian kepada para pendeta dan fakir miskin, orang jompo, dan prajurit. Para pendeta adalah salah satu golongan yang wajib menerima sedekah karena mereka adalah para rohaniawan yang setia menjaga kebenaran. Selain itu, para pendeta umumnya adalah orang yang telah meninggalkan kepentingan duniawi, sehingga keperluan duniawinya perlu ditopang oleh anggota masyarakat yang berkelebihan
rohaniah (Endraswara, 2003:42). Manfaat dari menahan nafsu begitu besar artinya bagi kemajuan rohani seseorang. Adat yang pantas, laras, sepadan, dan budiman dari orang yang merasa puas adalah kemenangan besar atas nafsu, dan orang yang demikian itu sangat tertib dalam laku perbuatannya (Suryadipura, 1993:305). Mengendalikan nafsu adalah jalan menuju kebahagiaan hidup, kesempurnaan, kebebasan untuk berhadapan muka dengan Tuhan, bermakrifat kepada tuhan sebagai insan kamil (Suryadipura, 1993:301). Adapun ajaran yang bernilai kerohanian dalam Serat Panitisastra adalah sebagai berikut.
d. Kerohanian Kerohanian atau kebatinan adalah segala sesuatu yang berhubungan atau bersangkut paut dengan dunia batin. Kerohanian senantiasa berpusat pada pribadi yang menempatkan aku pada titik inti segala penilaian. Perkembangan dari rasa seseoranglah yang menjadi tolok ukur eksistensi. Lapangan pengujian terakhir dari pengalaman rohani seseorang adalah keyakinan yang berpusat pada diri sendiri
V.12 Lamun mungguh satruning agesang Tan ana nglewihi kabeh Saking regeding kalbu Yeku dadya satruning urip Adapun di antara musuh-musuh dalam hidup ini Tidak ada yang melebihi Dari kekotoran kalbu Itulah yang menjadi musuh dalam hidup ini 103
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
Pupuh V dhandhanggula, bait 12 mengajarkan bahwa kekotoran batin adalah musuh utama dalam hidup manusia. Oleh sebab itu, manusia harus berjuang sekuat tenaga membersihkan batinnya dari berbagai iktikad buruk yang dapat merusak harkat dan martabatnya. Kekotoran batin terjadi karena pikiran tunduk kepada nafsu-nafsu negatif. Pikiran yang tidak terjaga, akan dihinggapi oleh berbagai keinginan atau nafsu yang buruk. Nafsu negatif dapat mempengaruhi pikiran karena suara hati nurani atau budi diabaikan oleh manusia. Supaya terhindar dari keinginankeinginan yang buruk karena dorongandorongan nafsu negatif, manusia harus mengikuti kata hatinya. Kata hati senantiasa menyuarakan kebenaran, yang bermanfaat bagi diri pribadi dan sesama manusia. Kata hati hanya dapat disadari saat nafsunafsu negatif terkendali sepenuhnya. Tanpa pengendalian nafsu maka kata hati yang bersumber dari hati nurani tidak akan mampu ditangkap oleh kesadaran manusia. Untuk mampu menangkap getaran kata hati diperlukan kejernihan pikiran dan perasaan. VI.1 Yen ana manusya iku Ngukuhi pakarti becik Ujaring sastra tinulad Mantep tan arsa rarenggi Ing tembe tanwun amanggya Kaluhuraning dumadi
Ngunduh wohing pakarti itulah inti amanat yang disampaikan dalam pupuh VI kinanthi, bait 1. Perbuatan baik akan berbuah kebaikan dan perbuatan buruk akan berbuah bencana. Hukum sebab akibat adalah hukum kesejatian yang tidak terelakkan, yang mengikat semua makhluk hidup di jagat raya. Dinyatakan dalam bait di atas bahwasanya siapa saja yang berpegang teguh pada pekerti baik dan ajaran sastra kelak dikemudian hari akan mendapat kemuliaan. Kemuliaan yang dimaksud bisa kemuliaan di dunia berupa penghormatan, jabatan, atau harta benda, namun bisa juga kemuliaan rohani berupa pencerahan spiritual. Bait tersebut menerangkan bahwasannya seisi jagat raya ini tunduk pada hukum sebab dan akibat. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini jelas memiliki suatu sebab dan suatu sebab menjadikan suatu akibat. Sebab dan akibat hadir silih berganti sebagaimana baik dan buruk yang terus bertautan. Perbuatan yang baik akan melahirkan akibat yang baik. Perbuatan buruk akan mengakibatkan hal yang buruk.
Kalau ada orang Yang kokoh berpegang pada pekerti baik Segala ajaran sastra dijadikan teladan Mantap tanpa ada keraguan Di hari kemudian pastilah akan mendapat Keluhuran sebagai makhluk
Jalan untuk mendapatkan Kesejahteraan tak lain kecuali Tutur katanya sendiri Sebab musabab mendapat Sahabat adalah sayang menyayangi Sebab musabab mendapat sakit dan duka Serta bertemu maut atau keselamatan
104
X.17 Myang maraganing anemu Ing kamukten tan liyan saking Pangucape priyangga Mulaning anemu Pawong sanak sih sinihin Myang mulaning amanggih lara prihatin Myang manggih pati gesang
.
Pupuh X asmaradana, bait 17 memaparkan bahwa tutur kata yang baik menyebabkan kebahagiaan, tutur kata yang buruk menyebabkan penderitaan, dan kasih sayang menyebabkan banyak mendapat sahabat. Apabila dicermati, apa yang disampaikan dalam bait tersebut tidak lain adalah kerja dari hukum karma atau sebab dan akibat. Hukum karma memiliki tiga fase pembentukan. Pertama, hukum karma yang terjadi pada fase pikiran. Pada fase pikiran ini karma masih berbentuk benih berupa kehendak atau keinginan. Kedua, hukum karma terjadi pada fase lisan. Pada fase lisan ini karma sudah berbentuk tindakan berupa ucapan atau kata-kata. Ketiga, hukum karma terjadi pada fase tindakan. Pada fase tindakan ini karma yang terjadi sudah berbentuk perbuatan nyata. Fase tindakan ini disebut sebagai karma yang sempurna karena ketiga fase karma sangat mungkin telah dilakukan sepenuhnya. Sesuai prinsip hukum sebab dan akibat, apa yang kita peroleh atau kita dapati saat ini adalah buah atas perbuatan kita di masa lalu. Bisa perbuatan kita sedetik yang lalu, sehari sebelumnya, seminggu, sebelun, setahun, 10 tahun, atau bahkan ratusan tahun silam dalam kehidupan kita yang terdahulu. Sesuatu hal yang tidak bisa diingkari adalah bahwa setiap makhluk hidup akan menerima akibat dari perbutannya, sekecil apa pun akan mendapat balasan yang setimpal. X.10 Wong punika ywa manut Budining wong sudra tan becik Temahan winawasa Ing para myang kayun
Ajaran Budi Pekerti dalam Serat Panitisastra Andi Asmara
Janganlah orang menurut Pikiran orang sudra, tidak baik Akhirnya akan dikuasai Oleh kehendak dan hal-hal yang buruk Pupuh X dhandhanggula, bait 10 memuat himbauan agar menjauhi dan tidak meniru pikiran orang sudra. Pikiran orang sudra maksudnya adalah pikiran yang tidak terpuji yang mendorong manusia berbuat hal-hal yang buruk, yang dilarang oleh negara dan agama. Pentingnya menjauhi pikiran yang buruk ditekankan dalam bait 10 tersebut, sebab pikiran yang dikuasai oleh sifat-sifat buruk akan menuntun manusia berbuat pada hal-hal yang buruk pula. Pikiran adalah komando dari segala tingkah laku manusia. Apa yang dipikirkan itu pulalah yang akan diperbuat. Manusia agar terbebas dari perbuatan buruk, pertama-tama harus menghindarkan pikirannya dari hal-hal yang buruk. Berbagai hal yang buruk harus dilenyapkan dari alam pikiran, selanjutnya pikiran diisi dengan hal-hal yang baik. Berpikir positif atas apa yang terjadi terhadap diri dan sekeliling kita adalah kunci berperilaku benar. Tanpa berpikir positif niscaya bisa berbuat baik, sebab pikiran adalah akar dari perbuatan. Pikiran adalah pengendali dari setiap perkataan dan perbuatan kita. Oleh sebab itu, siapa saja yang tidak mampu mengendalikan pikirannya niscaya perkataan dan perbuatannya juga tidak akan terkendali. Apa saja yang dipikirkan itulah hal yang akan dikatakan dan diperbuat. e. Ketuhanan Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari unsur keyakinan. Keyakinan 105
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
manusia terhadap pencipta semesta disebut ketuhanan. Manusia suatu keyakinan karena manusia dalam hidupnya selalu memunyai pengharapan dan cita-cita, sehingga ia berusaha mewujudkan keyakinan dan pengharapannya itu dalam karya yang nyata. Keyakinan begitu penting bagi manusia, dapat dikatakan keyakinan adalah salah satu syarat kehidupan manusia. Tanpa keyakinan manusia akan senantiasa diliputi oleh perasaan bimbang (Soelaeman, 1988:91). Seseorang yang menganut agama atau suatu kepercayaan mengakui bahwa Tuhan adalah penguasa hidup dan mati (Soelaeman, 1988:90). Tuhan adalah pangkal dari segala peristiwa. Apa yang terjadi di dunia ini dan apa yang dialami manusia semata-mata adalah kehendak-Nya. Manusia memerlukan keyakinan dalam hidupnya karena keyakinan akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup budayanya. Kepercayaan terhadap Tuhan memunyai pengaruh yang cukup besar di dalam upaya mencapai ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa itu tidak dapat hanya dipupuk dengan suatu pemikiran yang logis-logis saja. Ketenangan jiwa perlu pula dipupuk dengan perasaan, emosi, dan kepercayaan kepada Tuhan. Tanpa unsure keyakinan kepada Tuhan jiwa akan menjadi kosong, yang berakibat pada hilangnya keharmonisan hidup seseorang (Ardana, 1987:78—79). Dalam Serat Panitisastra nilai-nilai ketuhanan tercermin pada kutipan-kutipan berikut. I.6 Wisaning wong anembah Ing Hyang Kang Maha Gung Yen carobo ing tyasira Dadya reged kethuh amatuh mulintir Nembahe tan katrimah 106
Racun bagi orang yang berbakti Kepada Yang Maha Agung Bila ceroboh dalam hati Lalu menjadi kotor, aib, manja, dan lengah Puja baktinya tiada diterima Allah Pupuh I dhandhanggula, bait 6 menguraikan tentang kendala bagi seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan. Dikatakan bahwa racun bagi orang yang berbakti kepada Yang Maha Agung adalah apabila ceroboh dalam hati. Kecerobohan adalah jalan bagi kesesatan, sebab kecerobohan akan menyebabkan pikiran dan perbuatan kita tidak bisa terkonsentrasi pada apa yang sedang dikerjakan. Kecerobohan membuat pikiran galau dan kalut dengan begitu perbuatan pun menjadi kacau balau. Dalam hal berbakti kepada Tuhan, kecerobohan menyebabkan kekotoran batin yang menimbulkan kelengahan. Puja bakti kepada Tuhan menjadi kurang khusuk dan dilakukan hanya setengah hati. Oleh karena itu, betapa pentingnya mawas diri serta menjaga kesucian hati dan pikiran dalam upaya mendekatkan diri kepada sang Khalik. II.14 Tan ngabekti ing Hyang Widi Katungkul ulah kawiryan Tidak berpuja bakti kepada Hyang Widi Karena terlena mengejar kemuliaan duniawi Manusia dikatakan nista dalam hal budi apabila tidak suka berpuja bakti kepada Tuhan karena terlena mengejar kemuliaan duniawi. Pada pupuh II sinom, bait 14 awal dipesankan agar manusia tidak mengagungagungkan kemuliaan dan kenikmatan
.
duniawi. Seseorang yang pandangan hidupnya terjebak dalam keduniawian, bisa dipastikan tingkat keimanannya tipis. Hal ini karena hampir seluruh waktu dalam hidupnya diabdikan untuk kepentingan duniawi. Sedikit waktu yang tersisa, baru digunakan untuk berbakti kepada Tuhan. Sejatinya manusia tidak bisa memilih satu di antara dua, keduniawian atau kerohanian, sebab kesadaran tidak bisa di tempatkan pada dua objek yang berbeda pada moment yang bersamaan. Dalam masalah ini, manusia di hadapkan pada pilihan yang cukup dilematis, mengejar keduniawian di satu sisi tidak baik, namun melepaskan keduniawian sepenuhnya juga kurang baik. Menjaga keseimbangan antara keduniawian dan kerohanian adalah jalan yang terbaik. Pada hakikatnya keduniawian itu bukan sesuatu yang harus dijauhi oleh para pelaku kerohanian. Keduniawian itu tidak ada bedanya dengan raga kita yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai derajat spiritual yang lebih dalam lagi. Keduniawian tidak perlu ditolak, namun jangan juga larut olehnya. Keduniawian adalah sarana hidup bagi raga yang harus dihayati sesuai dengan hukum duniawi. Dimanfaatkan sedemikian rupa tanpa rasa memiliki, tanpa rasa keterikatan. 3. Simpulan Serat Panitisastra yang digubah pada zaman Kerajaan Surakarta yang mengambil babon dari Panitisastra Jawa kuno yang ditulis pada zaman Kerajaan Majapahit sangat pantas apabila disebut sebagai salah satu karya sastra tradisional Jawa yang
Ajaran Budi Pekerti dalam Serat Panitisastra Andi Asmara
memiliki keunggulan dalam hal pesan moral yang disampaikan. Ajaran budi pekerti yang tersirat dan tersurat dalam Serat Panitisastra sarat dengan petuah-petuah yang bernilai wewaler, sopan-santun, kemanusiaan, kerohanian, dan ketuhanan. Ajaran-ajaran tersebut bersifat universal sehingga mampu mengarungi arus zaman. Oleh karena itu, pesan-pesan tersebut masih tetap relevan apabila diterapkan pada zaman modern sekarang ini. Ajaran budi pekerti dalam Serat Panitisastra bermanfaat sebagai katalisator bagi masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya ketimuran. Diera globalisasi sekarang ini, kita perlu menanamkan dan memperkokoh kembali budaya bangsa agar tidak kehilangan jati diri. Penghayatan kembali nilai-nilai luhur warisan nenek moyang diyakini akan membawa keseimbangan hidup lahir dan batin tata tenteram kerta raharja sehingga tercapai kehidupan yang harmonis antara individu dengan individu dan individu dengan Tuhan.. Daftar Pustaka Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the lamp: Romantic Theory and Critical Tradition. London: Oxford University Press. Ardana, I Gusti Gde. 1987. Ilmu Budaya Dasar. Denpasar: Universitas Udayana. Bertens, K. 2011. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. 107
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kusumohamidjojo, Budiono. 2010. Filsafat Kebudayaan Proses Realisasi Manusia. Yogyakarta: Jalasutra Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan. Ratna, Kutha Nyoman. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung. Angkasa.
108
Soelaeman, M. Munandar. 1988. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung. PT Eresco. Sudewa, Alexander. 1991. Serat Panitisastra: Tradisi, Resepsi, dan Transformasi. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Suryadipura, Paryana R. 1993. Alam Pikiran. Jakarta: Bumi Aksara. Tanpo Aran. 1988. Sangkan Paraning Dumadi. Djojo Bojo: Surabaya. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Ketika Perempuan Memandang Perempuan Sebuah Kajian Sosiologi Sastra Puisi “Duniaku Yang Alit” Karya Nana Ernawati When Female Looking Female a Sociological Study of Literary, Poetry “Duniaku yang Alit” by Nana Ernawati Titik Wijanarti Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah Post-el :
[email protected]
ABSTRAK Sejarah sastra Indonesia mencatat bahwa masalah perempuan telah lama dipersoalkan jauh sebelum Marah Rusli menulis Siti Nurbaya. Perbincangan tentang perempuan dalam karya sastra terus menguat seiring dengan perkembangan dinamika sosial budaya masyarakat Indonesia. Penelitian ini mengkaji sebuah puisi yang ditulis oleh seorang penulis perempuan dan berbicara tentang perempuan dengan menggunakan teori sosiologi sastra. Di samping teori sosiologi sastra, penelitian ini juga menggunakan perspektif teori sastra feminis. Perspektif tersebut dinilai perlu dimasukkan di dalam penelitian ini karena dalam sebuah penelitian sosiologis suatu karya sastra tidak dapat dilepaskan dari masalah perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Berdasarkan analisis sosiologi sastra terhadap puisi “Duniaku yang Alit” karya Nana Ernawati dapat diperoleh simpulan bahwa perempuan dalam masyarakat masih diposisikan sebagai manusia nomor dua setelah laki-laki. Hal itu terungkap dalam berbagai ekspresi yang menggambarkan bahwa perempuan selalu berada dalam wilayah domestik untuk melayani kaum laki-laki. Perlawanan terhadap ketidakadilan gender telah dilakukan oleh kaum perempuan tetapi belum berarti apa-apa. Kata kunci : perempuan,puisi,sosiologi sastra
ABSTRACT History of Indonesian literature notes that women’s issues have long been questioned long before Marah Rusli wrote Siti Nurbaya. Discussion about women in literature has been getting stronger and stronger in line with the socio-cultural dynamics of the development of Indonesian society. This study examines a poem written by a female author and talks about women by using of sociology of literature theory. In addition to the sociology of literature theory, this study also uses the perspective of feminist literary theory. Perspective is considered necessary to be included in this study because in a sociological study, a literary work cannot be separated from the problem of role differences between men and women in the community. Based on the analysis of sociological literature on the poem “Duniaku yang Alit “ by Nana Ernawati, it can be concluded that women in society are still positioned as number two, after man. This 109
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
was revealed in a variety of expressions that illustrated that women are always in the domestic sphere to serve men. Resistance against gender injustice has been done by women but it does not mean anything. Keywords: women, poetry, sociology of literature
1. Pendahuluan Isu perempuan dalam sastra bukanlah sebuah hal yang baru dalam sastra Indonesia. Sejarah sastra Indonesia mencatat bahwa persoalan perempuan telah lama dipersoalkan jauh sebelum Marah Rusli menulis Siti Nurbaya. Berbagai persoalan kehidupan perempuan seperti diskriminasi berupa ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan hingga kekerasan di dalam rumah tangga merupakan persoalan yang banyak ditemukan dalam karya sastra Indonesia. Perbincangan tentang perempuan dalam karya sastra terus menguat seiring dengan perkembangan dinamika sosial budaya masyarakat Indonesia. Era reformasi misalnya, melahirkan penulis-penulis perempuan yang juga cukup “fenomenal” dalam berbicara persoalan kaumnya. Novel Saman (1998) karya Ayu Utami misalnya, adalah sebuah contoh novel yang berani menampilkan persoalan perempuan dari wilayah dan perspektif yang berbeda jika dibandingkan dengan karya sastra sebelumnya. Jika era reformasi telah melahirkan novel-novel fenomenal seperti Saman, lalu bagaimana dengan saat ini setelah lebih dari satu dekade era reformasi? Masihkah persoalan perempuan menjadi topik yang menarik dalam karya sastra? Penelitian ini mengkaji sebuah puisi yang ditulis oleh seorang penulis perempuan 110
dan berbicara berbicara tentang perempuan. Puisi “Duniaku yang Alit” ditulis oleh Nana Ernawati dan diterbitkan bersama puisi-puisi lain yang juga ditulis oleh perempuan dalam antologi Perempuan Langit. Pemilihan objek penelitian berupa puisi didasarkan pada alasan bahwa masih terbatasnya penelitian masalah perempuan dalam genre puisi jika dibandingkan dengan novel. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan masalah perempuan dalam puisi “Duniaku yang Alit” karya Nana Ernawati. Manfaat penelitian ini adalah untuk memperkaya khasanah penelitian sastra Indonesia khususnya kajian sastra feminis. Kerangka Teori Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiologi sastra. Dalam konteks sosiologi sastra, Damono (1979:1) mengemukakan bahwa karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Senada dengan Damono, Ratna (2002:1011) mengemukakan bahwa studi sosiologis didasarkan atas pengertian bahwa setiap fakta kultural lahir dan berkembang dalam kondisi sosiohistoris tertentu. Sistem produksi karya seni, karya sastra khususnya, dihasilkan melalui antarhubungan bermakna, dalam hal ini subjek kreator dengan masyarakat.
Ketika Perempuan Memandang Perempuan... Titik Wijanarti
Bahan utama penciptaan sebuah karya sastra adalah ide cerita. Ide cerita dapat berasal dari realitas sosial yang terjadi. Hubungan antara karya sastra dan kenyataan dikemukakan oleh Teeuw (1982:18-26) bahwa ada empat cara yang mungkin dilakukan, yaitu: 1) afirmasi : dengan cara menetapkan norma-norma yang telah ada, 2) restorasi : sebagai kerinduan terhadap norma yang telah usang, 3) negasi : mengadakan pemberontakan terhadap norma yang berlaku, dan 4) inovasi : mengadakan pembaruan terhadap norma yang ada. Rene Wellek dan Austin Waren
suatu karya sastra tidak dapat dilepaskan dari masalah perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Teori sastra feminis di dalam penelitian ini tidak dilihat sebagai sebuah teori yang lengkap dan mendasar, tetapi hanya digunakan sebagai cara pandang di dalam proses analisis karya secara sosiologis. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa teori sastra feminis dapat dilihat sebagai bagian dari teori sosiologi sastra itu sendiri.
(1995:111;1956:84) membuat klasifikasi terhadap studi sosiologi sastra ke dalam tiga dimensi. Pertama, sosiologi pengarang yang mempermasalahkan profesi pengarang dan ideologi yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Berdasarkan apa yang dikemukakan Wellek dan Waren mengenai klasifikasi terhadap studi sosiologi sastra, penelitian ini menggunakan dimensi yang kedua yaitu studi yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri. Penelitian ini memfokuskan fakta-fakta sosial yang ditemukan dalam karya sastra yang menjadi objek penelitian yaitu puisi “Duniaku yang Alit”. Di samping teori sosiologi sastra, penelitian ini juga menggunakan perspektif teori sastra feminis. Perspektif tersebut dinilai perlu dimasukkan di dalam penelitian ini karena dalam sebuah penelitian sosiologis
penelitian ini adalah metode analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif menurut Sudaryanto (1988 :57) adalah sebuah metode penelitian yang bertujuan mendeskripsikan suatu keadaan seacra empiris atau memaparkan fakta di lapangan secara apa adanya. Metode analisis deskriptif dalam penelitian ini diterapkan dalam bentuk pendeskripsian seluruh tulisan yang berkaitan dengan sastra yang dimuat dalam keempat koran lokal yang diteliti. Pendeskripsian tersebut dilengkapi dengan analisis yang menyangkut jenis tulisan, frekuensi kemunculan tulisan yang sejenis, dan juga analisis tematiknya.
Metode Penelitian Adapun metode yang digunakan dalam
2. Hasil dan Pembahasan Puisi “Duniaku yang Alit” Duniaku yang Alit : hari perempuan Aku menunggumu disini Tapi aku tak mau diam, Aku tak mau menyulam Atau membuat panggang ayam Aku juga tak kan gilas kemejamu Itu tak mengubah apapun tentang aku, 111
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
Yang lama kau tindas, Lama sekali kau tindas Aku silangkan kedua lenganku, Agar kau tak bisa mengurainya, Untuk memelukku, menganggapku Mudah kau peluk, Mudah di-luk Kamu terlalu Kakiku panjang, Kukitari ujung langit ke ujung langit Meski sesungguhnya Kutelusuri pinggiran ranjang sampai ke kolong-kolongnya yang gelap Tapi spreinya tetap terlipat,terlipat tanpa cela Dan kau duduk mencangkung di sana, Menyaksikan malam datang Malam yang tanpa aba-aba Aku perempuan yang meneriaki langit Yang memanah awan yang terus congkak Menggulung hari Aku perempuan yang tahu diri Tapi aku tetap tak akan menyulam Tak mau bikin panggang ayam Tak mau menggilas kemejamu Jakarta,10 Maret 2014 (Perempuan Langit, halaman 214-215) Masalah Perempuan dalam Puisi “Duniaku Yang Alit” Persoalan Judul Frasa “Duniaku yang Alit” dipilih oleh Nana Ernawati sebagai judul yang disematkan dalam puisinya. Dalam frasa tersebut dapat dilihat tentang dua hal dari puisi tersebut. Pertama, kata “dunia” dalam judul tersebut menginformasikan bahwa puisi tersebut berbicara tentang sebuah “dunia”. Dunia adalah sesuatu yang besar. Ini berarti bahwa yang disampaikan Nana Eranawati 112
bukanlah sesuatu yang bersifat individu tetapi sebuah kolektivitas. Dalam konteks ini ,“dunia” yang dimaksud Nana Ernawati dapat dimaknai sebagai dunia perempuan karena kata dunia diikuti dengan kata ganti -ku yang sama dengan kata aku. “Aku” dalam konteks ini bisa dimaknai dengan aku sebagai perempuan. Jadi, kata “duniaku” dalam judul tersebut merujuk pada makna dunia perempuan. Dengan kata lain, dalam judul dapat ditemukan informasi bahwa puisi tersebut berbicara tentang dunia perempuan. Kedua, kata “alit” dalam judul dapat dihipotesiskan berasal dari bahasa Jawa alit yang bermakna kecil. Dengan demikian, kata “alit” adalah kata sifat yang berfungsi menerangkan kata “duniaku”. Alit yang bermakna kecil tersebut mengindikasikan bahwa berawal dari judul, Nana Ernawati telah mengungkapkan dunia perempuan yang kecil. Kata kecil memiliki afiliasi makna dengan kata tertindas, lemah, memiliki ketergantungan, dan tak berdaya. Jika ada kata kecil, tentu ada kata besar yang memiliki makna berlawanan. Ini berarti bahwa puisi “Duniaku yang Alit” jika ditinjau dari judul sudah mengimplikasikan tentang dunia perempuan yang “kecil” yang tidak berdaya, yang bergantung pada dunia lain yang “besar”. Perempuan Berada dalam Wilayah Domestik Puisi tersebut menggambarkan dunia perempuan yang semuanya berada dalam wilayah domestik. Gambaran tersebut dapat dilihat dalam larik-larik bait pertama berikut : Aku menunggumu disini / Tapi aku
Ketika Perempuan Memandang Perempuan... Titik Wijanarti
tak mau diam/Aku tak mau menyulam /Atau membuat panggang ayam/Aku juga tak kan gilas kemejamu/Itu tak mengubah apapun tentang aku. Larik-larik puisi tersebut menggambarkan kegiatan domestik si aku lirik yaitu menyulam, memasak, dan menyeterika pakaian. Ketiga aktivitas tersebut sangat identik dengan pekerjaan rumah tangga yang biasa dilakukan perempuan. Munculnya kata ganti –mu dalam larik tersebut dapat dilihat sebagai negasi dari aku sehingga –mu dalam puisi tersebut dapat dimaknai sebagai lakilaki. Hipotesis –mu adalah laki-laki juga diperkuat dengan kata kemeja dalam larik tersebut. Bait pertama puisi tersebut dibuka dengan larik aku menunggumu disini. Ini berarti bahwa perempuan dalam puisi tersebut digambarkan sebagai makhluk yang berhubungan dengan laki-laki. Artinya, baik secara kodrati maupun kehidupan sosial, perempuan merupakan mitra laki-laki. Namun, aku dalam puisi tersebut tidak mau diposisikan sebagai pelayan si kamu (lakilaki) yang terekspresikan melalui larik-larik berikutnya. Pekerjaan rumah tangga yang selama ini diidentikkan dengan perempuan bagi aku lirik merupakan gambaran yang sangat jelas bahwa secara sosial, perempuan dikonstruksikan sebagai pelayan kaum lakilaki. Perlawanan Terhadap Ketidakadilan Gender : Masalah yang Belum Selesai Sejak awal, puisi “Duniaku yang Alit” memperlihatkan keberpihakan terhadap kaum perempuan. Keberpihakan tersebut diekspresikan melalui berbagai bentuk
perlawanan. Pada bait pertama ditemukan perlawanan terhadap identitas peran perempuan melalui simbol-simbol pekerjaan rumah tangga. Simbol-simbol tersebut sekaligus menggambarkan penindasan terhadap perempuan. Hal itu semakin jelas dalam dua larik berikutnya yaitu : Yang lama kau tindas / Lama sekali kau tindas. Terhadap simbol-simbol tersebut sangat jelas si aku lirik berusaha melawannya Bait kedua menggambarkan penolakan terhadap penguasaan laki-laki terhadap fisik perempuan. Bait kedua ini menginformasikan bahwa selama ini ada pandangan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, makhluk yang mudah untuk dirayu dan ditaklukkan sehingga mudah dikuasai laki-laki. Bait ketiga menggambarkan kemampuan dan kehebatan perempuan. Gambaran tersebut dapat ditemukan dalam larik-larik : Kakiku panjang / Kukitari ujung langit ke ujung langit. Perempuan adalah makhluk yang hebat, memiliki kaki panjang dan bisa mengitari langit merupakan simbol kehebatan perempuan untuk menguasai dunia. Namun, ada sebuah kenyataan yang ironis, meskipun perempuan adalah makhluk yang hebat tetap saja dia masih terperangkap dalam wilayah domestik rumah tangga. Hal itu terungkap dalam larik-larik berikutnya : Meski sesungguhnya / Kutelusuri pinggiran ranjang sampai ke kolong-kolongnya yang gelap / Tapi spreinya tetap terlipat,terlipat tanpa cela / Dan kau duduk mencangkung di sana / Menyaksikan malam datang / Malam yang tanpa aba-aba. Bait terakhir berisi perlawanan si aku lirik terhadap domestikasi perempuan. Menurut 113
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
si aku lirik, perlawanan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan kerja keras. Hal itu terungkap dalam : Aku perempuan yang meneriaki langit/ Yang memanah awan yang terus congkak / Menggulung hari. Perjuangan tersebut, menurut si aku lirik juga tetap harus berada dalam konstruksi kesadaran kodrati sebagai perempuan seperti yang terungkap dalam lirik : Aku perempuan yang tahu diri. Secara keseluruhan puisi tersebut mengungkapkan persoalan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Bagi perempuan (yang terpresentasikan dalam pandangan aku lirik), laki-laki telah melakukan penindasan terhadap hak-hak perempuan. Hal itu bukan persoalan baru seperti yang tertera dalam larik Yang lama kau tindas / Lama sekali kau tindas. Dua larik puisi tersebut mengimplikasikan bahwa persoalan tersebut adalah persoalan lama yang kemudian telah dianggap biasa oleh masyarakat tanpa disadari bahwa hal tersebut adalah sebuah persoalan sosial. Simbol-simbol pekerjaan rumah tangga yang ditemukan dalam puisi tersebut dapat dimaknai sebagai simbol penindasan perempuan agar perempuan cukup berada dalam wilayah domestik. Apa yang diungkapkan puisi tersebut sebenarnya merupakan refleksi dari perempuan masa kini yang telah menyadari adanya ketidakadilan gender. Kesadaran akan hal tersebut bahkan juga diiringi dengan berbagai upaya perlawanan. Namun rupanya upaya perlawanan tersebut belum cukup membuahkan hasil karena telah begitu kuatnya konstruksi ketidakadilan gender dalam masyarakat. 114
Secara sosiologis, jika dikaitkan dengan teori yang dikemukakan Teeuw (1982) seperti yang telah dipaparkan pada bagian kerangka teori, fakta-fakta sosial yang ditemukan dalam puisi “Duniaku yang Alit” karya Nana Ernawati dapat dilihat sebagai negasi (perlawanan terhadap norma-norma sosial yang ada). Perlawanan yang dimaksudkan adalah perlawanan terhadap norma dan pandangan sosial yang memandang bahwa perempuan adalah pelayan / pembantu kaum laki-laki. 3. Simpulan Berdasarkan analisis sosiologi sastra terhadap puisi “Duniaku yang Alit” karya Nana Ernawati dapat diperoleh simpulan sebagai berikut. 1. Perempuan dalam masyarakat masih diposisikan sebagai manusia nomor dua setelah laki-laki. Hal itu terungkap dalam berbagai ekspresi yang menggambarkan bahwa perempuan selalu berada dalam wilayah domestik untuk melayani kaum laki-laki. 2. Perlawanan terhadap ketidakadilan gender telah dilakukan oleh kaum perempuan namun belum menunjukkan hasil yang berarti. DAFTAR PUSTAKA Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Ernawati,Nana. 2014. ”Duaniaku Yang Alit” dalam Antologi Puisi Perempuan Langit. Yogyakarta : Locus Tiara Wacana.
Ketika Perempuan Memandang Perempuan... Titik Wijanarti
Ratna,Nyoman Kutha.2002. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Sudaryanto.1988. Metode Linguistik Bagian Pertama : Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Teeuw, A. 1982. Khasanah Sastra Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Wellek, Rene and Austin Waren. 1956. Theory of Literature. London : Penguin Books. (Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Melani Budianta. 1991. Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia).
115
Bentuk Metafora dalam Mantra Banjar Metaphor in Banjar Spell Jahdiah Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan Jalan Jenderal A. Yani Km. 32,2 Loktabat Banjarbaru 70712 Kalsel Pos-el :
[email protected]
ABSTRAK Mantra yang berkembang dalam masyarakat memiliki fungsi sebagai pengungkap tata nilai sosial budaya dan sekaligus juga disebut tata kehidupan daerah Banjar. Bahkan lewat matra dapat digali nilai budaya yang lebih mendalam, yaitu kepercayaan atau religi serta kebergunaannya. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang difokuskan pada deskripsi tentang bentuk metafora dalam mantra Banjar. Penelitian ini tergolong jenis penelitian kualitatif. Sumber data penelitian ini berupa data utama dan data penunjang. Data utama penelitian ini diambil dari mantra Banjar yang ada dimasyarakat dan penunjang buka mantra Banjar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam mantra banjar diperoleh metafora yang berhubungan dengan manusia, hewan, tumbuhan, makhluk gaib, warna, dan keadaan alam. Kata kunci: masyarakat Banjar, mantra, metafora
ABSTRACT Spell which is developed in the sociaty has a function as disclosure of cultural social value and it can be said as Banjarese way of life. Through spell we can find deeper cultural value, such as faith or religion and its benefit in Banjar spell. This is a qualitative study. The data are main data and supported data. The main data is taken from Banjar spell book. The study shows that there are metaphors in Banjar spell that have relation with human, animals, plants, magical creature, color, and nature. Keyword: Banjarese, spell, metaphor
1. Pendahuluan Masyarakat Banjar memiliki budaya bertutur lisan. Tuturan ini merupakan bagian dari kesastraaan yang dapat berbentuk prosa maupun puisi lama. Salah satu bentuk puisi lama yang masih ada di masyarakat Banjar adalah mantra. Mantra adalah ucapanucapan yang dianggap memiliki kekuatan 116
gaib. Mantra Banjar adalah mantra yang lahir, tumbuh, dan berkembang di Provinsi Kalimantan Selatan. Sebagai sebuah bentuk sastra lisan yang bersifat magis sudah tentu hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja yang bergelut dengan hal-hal yang bersifat kebatinan, seperti tabib, dukun, dan pawang, akan
.
tetapi orang biasa juga mempunyai mantra yang diturunkan secara turun temurun. Mantra yang berkembang dalam masyarakat memiliki fungsi sebagai pengungkap tata nilai sosial budaya dan sekaligus juga disebut tata kehidupan daerah Banjar. Bahkan, lewat matra dapat digali nilai budaya yang lebih mendalam, yaitu kepercayaan atau religi serta kebergunaannya (Yayuk,2005:6) Mantra Banjar merupakan salah satu bentuk kesusastraan lama sekaligus sebagai warisan kebudayaan lama. Sampai saat ini mantra Banjar masih tetap bertahan di tengah-tengah laju teknologi yang serba canggih. Mantra Banjar masih mampu mempertahankan dan menampakkan diri dalam masyarakat modern. Hal ini disebabkan keyakinan dan kepercayaan masyarakat itu sendiri untuk tetap mempergunakannya. Masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat Banjar masih sangat percaya bahwa dibalik mantra Banjar itu ada sesuatu yang dianggap mendatangkan kekuatan gaib, yaitu pada upacara kelahiran anak. Mantra Banjar dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu pitua, pirunduk, tatamba, dan tutulak. Dilihat dari segi bentuk gaya pengungkapan mantra Banjar kebanyakan menggunakana kata-kata metaforis. Mantra yang merupakan salah satu sastra lisan Banjar yang lebih menonjolkan ciri-ciri puisi atau prosa lama. Penelaah metafora yang terdapat dalam mantra Banjar terkait dengan cara berpikir orang Banjar yang bersifat metaforis. Sifat dan ciri alam dibandingkan ke sifat dan perilaku manusia. Penelitian dan kajian mengenai mantra telah dilakukan oleh beberapa peneliti di
Bentuk Metafora dalam Mantra Banjar Jahdiah
antaranya Fungsi Mantra dalam masyarakat Banjar (1995) oleh Ismail. Penelitian ini membahas fungsi yang terdapat dalam masyarakat Banjar. Penelitian lain, yaitu Mantra Banjar ( 2005) oleh Yayuk. Penelitian hanya membahas mengenai mantra secara umum, yaitu jenis mantra pitua, pirunduk, tatamba, dan tutulak. Mantra Banjar: Pada tahun 2008 Jauhari Ali juga menulis mengenai mantra dengan judul ”Bukti orang Banjar Mahir Bersastra sejak dulu. penelitian ini membahasmengenai jenis-jenis mantra, mantra banjar dulu dan sekarang, fungsi mantra, wujud pelestarian mantra Banjar. Mantra Banjar dan Maknanya (Jahdiah, 2008) Penelitian ini membahas mengenai jenis mantra Banjar, khusus pirunduk dalam penelitian ini diuraikan macam-macam pirunduk yang merupakan salah satu dari jenis mantra Banjar. Yulianto (2008) juga meneliti mengenai mantra dengan judul Mantra Banjar: Suatu Kompromi Budaya. Penelitian ini membahas mengenai jenisjenis mantra Banjar, fungsi mantra Banjar, dan mantra Banjar saat ini. Sepengetahuan penulis belum pernah ada penelitian yang membahas mengenai metafora pada mantra secara khusus. Berdasarkan latar belakang di atas, masalah metafora dalam mantra Banjar dapat dirumuskan, yaitu bagaimana bentuk metafora dalam mantra Banjar, yang dimaksud dengan bentuk dalam penelitian ini, yaitu fokus pada aspek leksikal berupa kata/frasa dalam mantra Banjar. Kerangka Teori Matafora memiliki kedudukan yang agak berbeda dengan acuannya. Dengan 117
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
kata lain metafora memiliki persamaan atau persesuaian hubungan metafora dan acuannya lebih merupakan ikan, atau disebut dengan ikon metafora. Kemiripan dalam ikon metafora bukan tanda dan acuan, akan tetapi antara dua acuan (Sudjiman dan Zoest, 1992). Dalam metafora terjadi proses substitusi. Substitusi merupakan proses pengantian unsur-unsur bahasa lain dalam satuan yang lebih besar, (Haliday dan Hasan, 1994:144118). (Saragih , 2002:142) menyatakan bahwa pada substitusi bentuk linguistik yang hilang atau lesap itu diganti disubstitusikan dengan bentuk lain. Friedrich (1987:22) menyatakan bahwa metafora dalam karya sastra, khususnya mantra yang merupakan bentuk puisi lama berbeda dengan metafora dalam bahasa sehari-hari dan bahasa formal. Metafora dalam karya sastra menjelaskan suatu keadaan, peristiwa atau sesuatu yang tidak tampak melalui suatu persamaan dengan sesuatu yang belum dikenal atau yang baru diciptakan. Manurut Lakoff (2003:7—9) metafora tidak hanya mengungkap bahasa, tetapi juga berhubungan dengan pemikiran. Berdasarkan hal tersebut, metafora dikaitkan dengan kerangka berpikir, tidak dalam tataran bahasa. Berdasarkan konsep competensi dan perfarmanse yang digunakan Chomsky, maka metafora berada pada tataran competence. Metafora juga melingkupi kehidupan manusia termasuk dalam kehidupan sehari-hari yang bercirikan metaforis. Metafora tidak hanya menyangkut bahasa saja, tetapi juga menyangkut budaya dan cara berpikir manusia atau pandangan 118
hidup manusia sebagai pribadi dan anggota satu kelompok masyarakat. Selain itu, metafora juga dipahami sebagai kemampuan dalam menampilkan elemen pesan, tetapi sebaliknya, metafora juga menyembunyikan aspek yang lainnya (Halverson, 2003:5). Pendapat lainya menyatakan bahwa metafora dilihat sebagai alat bahasa yang mudah disesuaikan keperluan manusia (Faridah dan Emma, 2001:1) dan juga dapat dilihat sebagai satu kiasan yang khas digunakan dalam pembujukan. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif kuantitatif, Artinya peneliti hanya mengambarkan sebuah situasi, temuan, masalah atau peristiwa dari variabel yang akan dianalisis (Kumar, 1996:10). Fenomena yang akan yang dideskripsikan dalam penelitian ini adalah khazanah metafora pada mantra Banjar. Yang menjadi data dalam penelitian ini adalah seluruh mantra Banjar yang mengandung metafora. Data yang diambil dari penelitian ini bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer penelitian ini diambil dari mantra Banjar yang ada dimasyarakat dan data sekunder mantra yang sudah dicetak untuk melengkapi data yang ada. Ada beberapa tahapan prosedur yang ditempuh dalam pengumpulan data. Tahap pertama, peneliti menyimak/ mencatat mantra yang di dapat dari informan. Tahap kedua data yang dicatat dikumpulkan ke dalam korpus data untuk selanjutknya dipilah dan diklasifikasikan berdasarkan kategori masalah yang akan dibahas pada tahap ini, ada beberapa subtahapan yang dilalui,
Bentuk Metafora dalam Mantra Banjar Jahdiah
.
seperti penyunting data, yaitu memeriksa kembali data yang dikumpulkan, selanjutnya data yang sudah disunting akan diberi kode berdasarkan kategori data, yaitu kode mentafora berdasarkan jenisnya. Setelah tahapan pengumpulan data selesai, data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis penelitian kuantitatif, yaitu sebuah penelitian yang hanya mendeskripsikan atas apa dan bagaimana mantra Banjar yang digolongkan mengandung makna metafora. 2. Hasil dan Pembahasan Pembahasan mengenai metafora dalam mantra Banjar dibagi menjadi lima bagian, yaitu analisis metafora manusia dalam mantra Banjar, metafora hewan dalam mantra Banjar, metafora tumbuhan dalam mantra Banjar, metafora mahkluk gaib dalam mantra Banjar, dan mefaora warna dalam mantra Banjar. Berikut analisis masing-masing metafora yang ada dalam mantra Banjar. Analisis Metafora Manusia dalam Mantra Banjar Analisis metafora manusia dalam mantra Banjar dibagi menjadi tiga, yaitu bentuk pronomina persona dalam mantra Banjar, bentuk pronomina posesif dalam mantra Banjar, dan substitusi dalam diri dalam mantra Banjar. Berikut analisis masingmasing metafora manusia dalam mantra Banjar. Bentuk Pronomina Persona dalam Mantra Banjar Pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu kepada nomina lain. Jika dilihat dari segi fungsinya dapat dikatakan bahwa
pronomina menduduki posisi yang umumnya diduduki oleh nomina. Seperti subjek, objek. Ciri lain yang dimiliki pronomina ialah bahwa acuannya dapat berpindah-pindah tergantung siapa yang menjadi pembicara atau penulis. Dalam bahasa Indonesia ada tiga macam pronomina, yakni 1) pronomina persona, 2) pronomina penunjuk, dan 3) pronomina penanya. Dalam analisis pronomina ini akan dibatasi pada pronomina persona saja, yakni orang pertama tunggal. Di antara promomina itu ada yang mengacu pada jumlah satu atau lebih dari satu. Ada bentuk yang bersifat eksklusif ada yang inklusif, dan ada yang bersifat netral (Alwi, 1998:249). Berikut ini akan diuraikan analisis pronomina metafora manusia dalam mantra Banjar. Tabel 1 Metafora Pronomina Manusia dalam Mantra Banjar Mantra Banjar
Terjemahan
1.
Ayu ruh barapa tahun ikam madam
Wahai anakku berapa tahun engkau merantau
2.
Airku si landap kaca
‘Airku tanjam seperti kaca’
3.
Aku tahu asal ikam
‘Saya mengetahui asal kamu’
4.
Insyaallah inya ilang haritan
‘Dengan izin Allah dia hilang rasa’
5.
Biar saribu urang bajalan, aku juga nang dipandang urang manis
‘Biar seribu orang berjalan, saya juga yang dipandang urang manis’
6.
Maka inya kada kawa bapisah
‘Maka dia tidak dapat berpisah’
7.
Awak kita, akhirnya ‘Badan kita, akhirnya tikahada pang bahayanya dak ada yang berbahaya’
Pada tabel 1 kutipan 1 terdapat pronomina persona kedua tunggal, yaitu pada kata ikam ‘kamu’ pada larik ayu ruh barapa tahun ikam madam ‘ayo roh berapa tahun kamu merantau’. Pronomina ikam tersebut merupakan metafora yang mengacu pada 119
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
yang dijadikan objek yang dimantrai. Mantra ini biasanya digunakan untuk memanggil anak yang merantau lama tidak pulang ke kampung halaman. Kutipan 2 terdapat pronomina persona pertama tunggal, yaitu ku ‘ku’ pada larik airku landap si kaca ‘airku tajam seperti kaca’. Mantra ini biasa dipakai oleh perempuan. Pronomina ku mengacu pada si pemakai mantra. Kutipan 3 terdapat promonina persona aku ‘saya’ pada larikaku tahu asal ikam ‘saya tahu asal kamu’ mengacu pada yang memakai mantra. Pada kutipan 4 terdapat pronomina persona orang ketiga tunggal, yaitu inya ‘dia’ pada larik insya allah inya hilang aritan ‘dengan izin Allah dia hilang rasa sakit. Pronimina persona inya ‘dia’ mengacu pada orang yang diobati. Mantra ini biasanya dibaca oleh dukun untuk membantu persalinan agar si pasien tidak merasa sakit sewaktu melahirkan. Pada kutipan 5 terdapat pronomina persona pertama tunggal, yaitu aku ‘saya’ yang terdapat pada larikbiar saribu urang bajalan, aku jua nang dilihati manis ‘biar seribu orang berjalan saya juga yang di pandang cantik. Pronomina persona orang pertama tunggal tersebut mengacu pada orang yang memakai mantra. Mantra ini biasa dipakai oleh pria atau wanita untuk memikat lawan jenisnya. Pada kutipan 6 terdapat pronomina persona orang kedua inya ‘dia’ pada larikmaka inya kada kawa bapisah lawan diaku ‘maka dia tidak dapat berpisah dengan saya’ pronomina persona tersebut mengacu pada memakai mantra. Mantra ini dibaca untuk memikat laki-laki agar jatuh cinta. 120
Pada kutipan 7 terdapat pronomina persona pertama jamak, yaitu kita ‘kita’ yang terdapat pada larik‘awak kita akhirnya kadada pang bahayanya ‘badan kita akhirnya tidak ada’ . Pronomina persona pertama jamak ‘kita’ mengacu pada objek yang yang dibacakan mantranya. Mantra ini dibaca oleh dukun ketika mengobati pasien yang kena racun ular. Bentuk Pronomina Posesif dalam Mantra Banjar Pronomina posesif merupakan pronomina yang menunjukkan milik. Dalam mantra Banjar mengacu pada orang kedua dan ketiga tunggal yang bersifat abstrak. Untuk menganalisis metafora mantra Banjar berupa pronomina posesif, digunakan data berikut. Tabel 2 Metafora Pronomina Posesif dalam Mantra Banjar Mantra Banjar
Terjemahan
1.
Hatinya sudah karindangan
‘Hatinya sudah rindu’
2.
Takunci dan tatup samuahawa napsunya
‘Terkunci dan tertutup semua hawa napsunya’
3.
Lanah lunuh buku matanya seperti banyu 49
‘luluh mencair biji matanya seperti air’
Pada tabel 2 kutipan 1 terdapat promomina posesif dalam mantra Banjar, terdapat promomina ketiga tunggal nya ‘inya’ mengacu pada metafora laki-laki yang dituju untuk dimantrai, seperti pada larik Hatinya sudah karindangan ‘Hatinya sudah rindu’. Mantra ini biasa dipakai oleh perempuan ketika memakai bedak yang tujuan memikat laki-laki tujuan agar laki-laki yang memandang kita rindu dan teringat wajah yang memakai mantra.
.
Bentuk Metafora dalam Mantra Banjar Jahdiah
Kutipan 2 terdapat pronomina posisif – nya ‘nya’ yang mengacu pada metafora orang yang dibacakan mantranya. Takunci dan tatup samuahawa napsunya ‘Terkunci dan tertutup semua hawa napsunya’. Mantra ini biasanya ini dibacakan ketika menghadapi musuh, mantra ini biasanya dibaca berulangulang sebanyak tiga kali dan diusahan agar kita selalu menatap mata musuh. Tujuan yang diharapkan agar dapat meredam perbuatan jahat musuh kepada kita. Kutipan 3 juga terdapat pronomina posisif –nya ‘nya’ yang , mengacu pada metafora musuh atau lawan kita. terdapat
Tabel 3 kutipan 1 terdapat metafora Umar Usman Abu bakar Ali yang mengacu pada sahabat-sahabat Rasulllah. Mantra ini digunakan oleh seseorang yang ingin memiliki ilmu. Dengan mantra ini diharapkan dapat memiliki ilmu kekuatan atau menambah kekebalan pada diri masing-masing untuk menjaga keamanan diri. Kutipan 2 terdapat metafora substitusi Yusup dan Daud yang mengacu pada Nabi Yusup dan Nabi Daud, pada larik rupaku yusup, suaraku Daud ‘wajahku Yusup, suaraku Daud’ mantra ini dibacakan pada saat hendak meninggalkan rumah agar kita
pada lariklanah lunuh buku batanta ‘luluh mencair biji matanya seperti air. Mantra ini biasanya dipakai untuk menundukkan musuh, dibaca dengan penuh keyakinan dengan harapan musuh dapat ditundukkan.
selalu dihormati orang. Kutipan 3 terdapat metafora Arjuna pada larik panahku panah Arjuna yang merupakan subtitusi pada Arjuna tokoh pewayangan yang terkenal dengan ketampanan. Mantra ini khusus digunakan oleh laki-laki untuk memikat lawan jenisnya. Dengan membaca mantra ini diharapkan agar perempuan yang dikehendaki jatuh cinta kepada yang memakai mantra. Kutipan 4 terdapat metafora Adam yang merupakan substitusi kepada Nabi Adam, Nabi yang pertama diutus oleh Allah pada larik Hai bajauh ikam, jangan paraki anak Adam ‘Hai menjauh kamu jangan dekati anak Adam’ Mantra ini dibaca oleh orang yang ingin menolong seseorang yang termakan racun. Dengan mantra ini diharapkan orang yang terminum racun tidak berfungsi dalam tubuh.
Substitusi Nama Diri dalam Mantra Banjar Substitusi merupakan proses penggantian unsur-unusr bahasa oleh unsur lain, baik berupa penghilangan maupun pelesapan bentuk linguistik. Berikut data dan analisis penggunaan metafora substitusi nama diri. Tabel 3 Metafora Subtiitusi Nama Diri Mantra Banjar
Terjemahan
1.
Umar Usman Abu bakar Ali
‘Umar Usman Abu Bakar Ali’
2.
Rupaku Yusup, Suaraku Daud
‘Wajahku Yusup’
3.
Panahku panah Arjuna
‘Panahku panah arjuna’
4.
Hai bajauh ikam, jangan parak anak Adam
‘Hai menjauh kamu, jangan dekat dengan anak Adam’
Metafora Hewan dalam Mantra Banjar Berikut data dan analisis metafora hewan dalam mantra Banjar. 121
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
Tabel 4 Metafora Hewan dalam Mantra Banjar 1. 2. 3. 4. 5.
Mantra Banjar Terjemahan Kataku kata sikukang ‘Kata saya si kata kukang’ ‘Bulus, biyuku’ Bidawang biyuku ‘Undang galah Undang galah undang sapit’ undang sapit ‘Asal terjadinya Asal dari terjadi tawon’ wanyi ‘Hai ikan-ikan Hai iwak-iwak datanglah ke sungai datanglah ke sungai ini’ ini
Tabel 4 kutipan 1 terdapat kata kukang ‘kukang’ yang merupakan metafora untuk orang yang tidak dapat dipisahkan pada larik kataku kata si kuakang ‘ katanya kata si kukang ‘. Kukang dalam bahasa Indonesia sejenis monyet kecil yang tidak bisa dipisahkan dengan pasangannya sehingga jika ada sepasang suami istri atau kekasih yang tidap dapat dipisahkan sering disebut seperti kukang saja. Mantra ini biasa dipakai untuk menguna-gunai orang-orang. Kutipan 2 terdapat metefora hewan, yaitu pada larik bidawang biyuku ‘bulus, kurakura’ Binatang dikenal dengan sabarnya dan pelan jalannya. Mantra ini dipakai ketika menyemai tanaman sehingga diharapkan memperoleh hasil yang banyak. Kutipan 3 terdapat metafora hewan, yaitu undang galah undang sapit ‘undang galah undang sapit ‘ Mantra ini dipakai ketika mengadu jangkrik. Metafora tersebut diasumsikan kuat menyepit sehingga lawannya kalah. Kutipan 4 terdapat metafora hewan, yaitu wanyi ‘tawon pada larik asal kejadian wanyi ‘asal terjadi tawon. Matafora ini melambang binatang tawon yang suka mengiggit I oaring 122
yang menganggu sarangnyanya. Mantra ini dibaca oleh orang yang mencari madu. Dengan membaca ini diharapkan tawon tidak menggingit karena berasal dari dari hal yang sama. Kutipan 5 terdapat metafora hewan, yaitu iwak ‘ikan’ pada larik hai iwak-iwak datanglah ke sungai ini ‘Hai ikan-ikan datanglah ke Sungai ini’ Mantra ini dibaca oleh nelayan dengan membaca mantra ini diharapkan mendapat ikan yang banyak. Metafora untuk Tumbuhan Analisis metafora tumbuhan
ini
disesuaikan dengan jenis tumbuhan yang ada di Kalimatan Selatan. Kategori tumbuhan bermacam-macam, yaitu berakar tunggal. Serabut, tanaman air dan rawa tetapi karena kategori tumbuhan dalam metafora banjar terbatas atau sedikit untuk analisis langsung difokuskan pada tumbuhan saja. Berikut data dan analisi metafora tumbuhan dalam mantra Banjar. Tabel 5 Metafora Tumbuhan dalam Mantra Banjar 1. 2.
Mantra Banjar Terjemahan Kaya humbut awakku ‘Seperti umbut badanku mandi’ mandi ‘Layu-layu bilaranku’ Layu-layunya bilaranku
Pada tabel 5 kutipan 1 terdapat metafora tumbuhan, yaitu humbut pada larik kaya humbut awakku mandi ‘seperti humbut badanku mandi’. Humbut merupakan sebutan untuk bagian dari tanaman kelapa atau enau yang masih muda warnanya putih dan mulus. Mantra ini dibaca ketika mandi
Bentuk Metafora dalam Mantra Banjar Jahdiah
.
agar badan bercahaya sehingga orang yang melihat menjadi tertarik atau menyukai, mantra ini dibaca oleh seorang wanita yang mengharapkan disukai orang banyak. Kutipan 2 terdapat metafora tumbuhan, yaitubilaran pada larik layu-layu bilaraku ‘layulah bilaranku’ Bilaran merupakan tumbuhan merambat yang banyak ditemukan di jalan setapak. Mantra ini dibaca oleh seorang penjalan kaki dengan mantra ini diharapkan orang yang berjalan selamat sampai tujuan dan mampu menghadapi rintangan yang ada. Mefatora Makhluk Gaib dalam Mantra Banjar Makhluk gaib atau makhluk halus (super natural being) adalah makhluk yang dianggap hidup di alam gaib, yang berada di luar alam fisik (Koentjacaraningrat dkk, 2003:139). Makhluk yang dimaksud dalam mantra Banjar adalah malaikat, iblis, setan, dan jin. Untuk lebih jelasnya berikut data dan analisis metafora makhluk gaib dalam mantra Bajar.
pambadu manyubarang Picak mata hantu ‘pampadu-pampadu menyeberang’ ‘buta mata hantu’ . Hantu roh jahat yang dianggap terdapat di tempat-tempat tertentu. Mantra ini dibaca untuk menghilangkan kelilipan. Kutipan 2 terdapat metafora makhluk gaib, yaitu jalangkung pada larik Ada salamatan seadanya jalangkung ikam datanglah ‘ada selamatan seadanya, jalangkung datang kamu’. Jalangkung halus ada masuk ke permainan dengan memanggil roh yang sudah meninggal. Mantra ini dipakai untuk permainan jalangkung. Kutipan 3 terdapat mefaora makhluk gaib, yaitu jin pada larik aku tahu asal kajadian ikam jin tarum ‘saya tahu asal mula terjadinya jin tarum. Jin adalah adalah makluk halus yang diciptakan dari api. Jin pada umumnya digambarkan memiliki peran dan kemampuan yang mirip manusia . Mantra ini dibaca untuk mengobati penyakit dengan harapan penyakit cepat sembuh. Metafora Warna dalam Mantra Banjar Tabel 7 Metafora Warna dalam Mantra Banjar
Tabel 6 Metafora Makhluk Gaib dalam Mantra Banjar 1. 2.
3.
Mantra Banjar Pampadu-pambadu manyubarang, Picak mata hantu Ada salamatan seadanya. Jalangkung ikam datanglah Aku tahu asal kejadian ikam jin tarum
Terjemahan ‘pampadu-pampadu menyeberang, buta mata hantu’ ‘ada selamatan seadanya, jalangkung datang kamu’ ‘Saya tahu asal mula kejadian zin tarum’
Pada tabel 6 kutipan 1 terdapat metafora makhluk gaib, yaitu hantu pada lirik Pampadu-
1.
2.
Mantra Banjar Terjemahan ‘Putih karena kasih, Putih karana kasih, hirang karana sayang hitam karena sayang Kuning karena maras kuning karena kasihan Miyakku yang licin Minyakku salancar berwarna kuning kuning badanku si putih Awakku si putih kuning kuning
Pada tabel 7 kutipan 1 terdapat metafora warna putih ‘putih’ dan hirang ‘hitam’ dan kuning ‘kuning dalam larik Putih karana kasih, hirang karana sayang Kuning karena 123
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
maras ‘Putih karena kasih, hitam karena sayang kuning karena kasihan ’. Warna putih melambangkan kebaikan, warna hitam melambangkan kejahatan, dan warna kuning melambangkan kerabat. Matra ini dipakai untuk mendapat kewibawaan, mantra ini dibaca agar yang membaca mendapat kharisma, kewibawaan, dan keteguhan sehingga tidak dianggap remeh oleh orang lain. Kutipan 2 terdapat metafora warna putih yang melambangkan kebaikan, ketulusan, pada kutipan 2 tersebut juga terdapat metafora putih kuning melambangkan warna yang indah yang memikat. Mantra ini dilaksanakan pada saat seseorang akan bersisir. Pada waktu menyisir rambut di depan cermin mantra ini dibaca berulang-ulang. Tujuan pembacaan mantra adalah membuat wajah selalu cantik apabila dipandang orang, terutama apabila memandang rambut kita. Berdasarkan paparan di atas menunjukkan bahwa terdapat 1) metafora manusia dalam mantra Banjar meliputi pronomina persona, bentuk pronomina posesif, dan substitusi diri. 2) metafora hewan dalam mantra Banjar, 3) metafora tumbuhan dalam mantra Banjar, 4) metafora makhluk gaib dalam mantra Banjar, 5) metafora warna dalam mantra Banjar. Metafora manusia dalam mantra Banjar berdasarkan hasi penelitian diperoleh berupa bentuk pronomina persona, yaitu pronomina persona tunggal, yaitu pada kata ikam ‘kamu’, ku ‘ku’, aku ‘saya’. Pronomina persona orang ketiga tunggal, yaitu inya ‘dia’ dan pronomina persona pertama jamak, yaitu kita ‘kita’. Metafora manusia pronomina persona terdapat dalam mantra untuk memanggil anak 124
yang merantau, mantra guna-guna, dalam manta untuk melahirkan, mantra memikat lawan jenis. Pronomina posesif merupakan pronomina penunjukkan dalam mantra Banjar juga diantaranya –nya ‘-nya’ yang merupakan pronomina ketiga. Pronomina posesif biasa terdapat dalam mantra untuk menghadapi musuh. Metafora substitusi dalam diri dalam mantra Banjar di antaranya umar Usman Abu Bakar Ali yang mengacu pada sahabatsahabat Rasullah. Yusup, Arjuna yang terkenal memiliki wajah yang rupawan. Nabi Adam juga terdapat dalam metafora berupa substitusi kepada nabi pertama yang diutus Allah Swt. Metafora untuk substitusi nama diri dipakai dalam mantra untuk menambah kekebalan, dalam perjalanan agar tidak diganggu orang lain, dipakai untuk gunaguna dan di dalam mantra untuk menolong orang yang dikeracunan. Metafora hewan dalam mantra Banjar di antranya kukang ‘sejenis monyet’ yang metafora kepada sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu salam lain selalu bersama, bidawang biyuku ‘kura-kura yang dikenal dengan kesabaran dengan pelan jalannya. Metafora wanyi ‘lebah’ yang menggambar binatang yang suka menggigit dan bergotong royong. Metafora iwak ‘ikan’ juga terdapat dalam mantra Banjar. Mantra yang menggunakan mefafora binantang dipakai dalam mantra pengasih, guna-guna, menyemai tanaman. Mencari madu, dan mantra untuk memancing ikan. Metafora untuk tumbuhan dalam mantra Banjar meliputi humbut ‘tumbuhan sejenis enau’ yang warna putih dan masih muda
.
Bentuk Metafora dalam Mantra Banjar Jahdiah
digambar sebagai badan gadis yang suka memelihara kecantiknya. Metafora bilaran ‘sejenis tumbuhan merayap’ yang digambar sebagai yang tumbuh subur di seberang tempat. Metafora tumbuhan terdapat dalam mantra untuk mandi-mandi bagi gadis, dan dalam mantra yang dpakai untuk jalan-jalan atau untuk menempuh perjalanan jauh. Metafora makhluk gaib dalam mantra Banjar dalam hasil penelitian ditemukan yaitu hantu merupakan roh jahat yang dianggap terdapat ditempat-tempat yang seram. Jalangkung ‘jalangkung’ dilambangkan untuk memanggil roh yang sudah meninggal.
mahluk gaib di antara setan, jin dan makhluk halus, 5) metafora warna. Setiap analisis metafora tersebut mengacu pada hal yang di sekitar kita.
Matafora Jin juga terdapat dalam mantra Banjar. Jin adalah makluk halus yang terbuat dari api yang suka menggangu manusia yang tidak beriman, mantra biasa dipakai untuk mengusir jin. Metafora warna dalam mantra Banjar, dianatara warna putih yang melambangkan kebaikan, ketulusan. Warna kuning melambang keramat atau dalam budaya Banjar dianggap suci, sedangkan warna hitam melambangkan kejahatan. Mantra yang menggunakan metafora warna terdapat dalam mantra pengasih dan mantra untuk mempercantik diri.
Faridah Ibrahi, dan Emma Mirza Wati Mohamad. 2005. War heroes. Terrorists, Freedom Fighters and fragile economy:from metaphor to. Jurnal Komunikasi, Malaysian Journaal of Comunica on 21:121— 134. Friendrich, H. 1987. Dalam Meekling, I Metaphor. Frankfurt amani: Deisterweg. Halverson, CM. 2003. Lifting the dark threat: The impact of metaphor in the war again terror. UW.-1 Journal of Undergraduate Research, 2 1-39. Hasan, M.A.K dan Hasan R. 1994. Bahasa, Konteks dan Teks. Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. (Terjemahan Asruddin Borori Tou dari judul asli Language. Context, and Text Aspect of Language in a Social Semitoc Perspective). Yogjakarta: Gajah Mada University Press. Jahdiah. 2008. ”Mantra Banjar dan Maknanya” dalam Sabda: Jurnal
3. Simpulan Berdasarkan analisis data metafora dalam mantra banjar disimpulkan bahwa dalam mantra banjar ada empat bentuk metafora dalam bahasa Banjar, yaitu 1) metafora manusia meliputi bentuk pronomina persona, mentafora pronomina posisif, bentuk substitusi. 2) metafora hewan, 3) metafora tumbuhan dalam mantra Banjar 4) metafora
Daftar Pustaka Ali, Mahmud Jauhari. 2008. “Mantra Banjar: Bukti Orang Banjar Mahir Bersastra Sejak dulu” dalam Jurnal Metasastra, Volume 1, Nomor 1 Juni 2008. Bandung:Balai Bahasa Bandung. Alwi, Hasan dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
125
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
Kajian Kebudayaan, Volume 3, Nomor 1 April 2008. Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Kumar, Rajit. 1996. Reseacrch Methodologi: A Step-by-step Guide For Beginners Melbourne:Addison Wesley Loggman Australia Pty Limeted. Lakoff, George and Mark Johnson. 2007. Metaphora We Live.Chieago: Chicago University Press. Saragih, A. 2002. Bahasa dalam Konteks Sosial: Pendekatan Linguistik Fungsional
126
Sistemik
Terhadap
Tata Bahasa dan Wacana. Medan: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan. Sudjiman, P. dan Zoest. A. V. 1992. Serbaserbi Semiotika. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama. Yayuk, Risari. dkk. 2005. Mantra Banjar.Banjarbaru. Balai Bahasa Banjarmasin. Yulianto, Agus. 2011. “Mantra Banjar: Suatu Kompromi Budaya. Dalam Undas, Volume 7, Nomor 1 Juli 2011. Banjarbaru: Balai Bahasa Banjarmasin.
Perwujudan Keberagaman Bahasa dan Budaya pada Interaksi Bahasa Tiga Etnis (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Kota Pekalongan The Configuration of Language and Culture Diversity in The Interaction of Three Ethnics (Javanese, Chinese, Arab) at Sugihwaras, Pekalongan Nur Fateah, S.Pd., M.A. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, Pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini mengungkap keberagaman dalam masyarakat multi etnik yang hidup berdampingan dan dapat menciptakan keharmonisan. Perwujudan manifestasi budaya dan kehidupan masyarakat dapat dilihat dari bahasanya. Hal ini terlihat dalam interaksi bahasa tiga etnik (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Kecamatan Pekalongan Timur, Kota Pekalongan yang memunculkan banyak fenomena kebahasaan. Dengan menggunakan teori sosiolinguistik yang berkaitan dengan pemakaian bahasa pada masyarakat multi etnik ditemukan faktor-faktor yang menentukan pilihan bahasa masyarakat tutur tiga etnis (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Kota Pekalongan, yaitu faktor usia, faktor pendidikan, faktor lawan tutur, topik tuturan dan faktor kedudukan sosial dalam masyarakat. Penelitian ini menunjukkan Bahasa Jawa yang gunakan oleh warga Sugihwaras secara umum adalah bahasa Jawa ragam ngoko. Penggunaan bahasa Indonesia lebih didominasi oleh etnis Arab dan Cina, terutama dalam ranahranah yang resmi dan agak resmi. Kata kunci: keberagaman bahasa, interaksi bahasa, sosiolinguistik
ABSTRACT This research unravels the multi-ethnic diversity in society that can live side by side and create harmony. One of the manifestations of cultural reflection and community life can be seen from the language. By using sociolinguistic study related to language usage in multi-ethnic society, we can find the factors that determine the choice of three ethnic speech community language (Javanese, Chinese, Arabic) in Sugihwaras Pekalongan. These factors are, the age, the education, the interlocutors, the topics and the social status in Javanese society. The study shows that the language used by Sugihwaras people in general is the Javanese, Ngoko variant. Indonesian as the national language is used by all ethnic groups in Sugihwaras. The use of Indonesian is dominated by ethnic Arabs and Chinese, especially in the domains of formal and somewhat formal. Keywords: language diversity, language interaction
127
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
1. Pendahuluan Bahasa merupakan alat komunikasi bagi manusia untuk berinteraksi. Dalam sebuah komunitas, bahasa merupakan media yang mengikat bersama-sama dan mempersatukan ketertarikan-ketertarikan yang beraneka ragam (Hickerson, 1980:2). Bahasa sebagai alat komunikasi, memiliki peran fundamental dalam kehidupan manusia. Bahasa sebagai sarana interaksi antarindividu dan antarkelompok, tidak dapat dilepaskan dari pemakai bahasa itu sendiri. Hal ini disebabkan adanya hubungan yang erat antara perilaku berbahasa dan perilaku sosial pemakainya. Bahasa merupakan salah satu alat mengidentifikasi baik individu maupun kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat di Indonesia merupakan masyarakat yang pluralistik, terdiri atas beragam suku, adat, dan bahasa. Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki beberapa etnik dalam satu lingkungan adalah daerah Pekalongan, khususnya di Kecamatan Pekalongan Timur. Keberagaman etnik dan bahasa bisa hidup berdampingan di daerah tersebut. Sampai saat ini tidak pernah terjadi bentrokan atau keributan antar-etnis. Mereka hidup berdampingan saling menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat. Inilah yang menjadikan kelurahan ini sebagai salah satu percontohan di Pekalongan dan beberapa kali menjadi juara. Dalam kehidupan masyarakat yang pluralistik, seperti di Kelurahan Sugihwaras Kecamatan Pekalongan Timur, terdapat dua kemungkinan kondisi kontak antarkomunitas yang berbeda. Kedua kondisi kontak antarkomunitas tersebut, dalam terminologi 128
ilmu sosial biasa disebut asosiatif dan disosiatif. Asosiatif adalah kondisi yang terjadi apabila kedua atau salah satu dari komunitas yang berlainan (bahasa, budaya, sosial, dan sebagainya) melakukan proses adaptasi terhadap yang lain, termasuk adaptasi bahasa. Berbeda dengan asosiatif , disosiatif terjadi apabila kedua komunitas yang berlainan tersebut saling menjauhkan diri satu dengan yang lainnya. Dalam melakukan proses asosiatif dan disosiatif biasanya selalu terkait dengan identitas atau apa yang menjadi simbol dari eksistensi komunitas masing-masing. Salah satu simbol komunitas adalah bahasa. Bahasa selain berperan sebagai sarana komunikasi atau interaksi sosial, juga berperan sebagai sarana identifikasi keanggotaan kelompok sosial atau sebagai salah satu penanda komunitas (etnis) yang sangat penting, karena bahasa merupakan tempat terwadahinya perubahanperubahan sosial budaya dan gambaran masyarakat pada masa lampau maupun masa kini. Foley (1979) menjelaskan bahwa secara alamiah kontak antardua atau lebih kebudayaan (komunitas) yang berbeda, akan selalu termanifestasikan dalam wujud perubahan bahasa. Gambaran tentang fenomena kebahasaan seperti yang telah diuraikan, dapat dijumpai pada masyarakat tutur yang berada di daerah Kota Pekalongan Kecamatan Pekalongan Timur. Kota Pekalongan terletak di dataran rendah pantai utara pulau Jawa. Kota Pekalongan merupakan kota dagang, industri, dan juga pertanian. Jumlah penduduk pribumi 119.425 laki-laki dan 123.502 perempuan. Ditambah dengan warga negara
Perwujudan Keberagaman Bahasa dan Budaya pada Interaksi Bahasa Tiga Etnis... Nur Fateah, S.Pd., M.A.
asing, yaitu 501 laki-laki dan 523 perempuan, serta WNI keturunan yang berasal dari Cina 14.340 orang, India 4.547 orang, dan dari Arab atau Pakistan. Dari gambaran sekilas tentang keragaman penduduk yang berada di Kota Pekalongan, maka memunculkan kontak sosial, budaya, dan bahasa. Keberagaman tersebut ternyata sampai saat ini dapat terus berdampingan dengan harmonis. Hal ini menarik untuk diteliti bagaimana akibat dari terjadinya kontak budaya yang berbeda termanifestasikan dalam wujud bahasa yang ada. Selain itu bagaimana posisi bahasa Jawa sebagai bahasa daerah di Pekalongan dan
migrasi penduduk dalam suatu masyarakat —yang menyebabkan mereka sebagai kelompok minoritas— sangat berperan dalam menentukan situasi kebahasaan. Kajian terdahulu yang berkaitan dengan penggunaan atau pilihan bahasa dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya oleh Sajiyo (1997), Ubaidillah (2007), Syamsul Anam (2008).
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Secara rinci, rumusan permasalahan penelitian adalah apa saja yang digunakan oleh masyarakat tutur tiga etnis (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Pekalongan? Bagaimana pola pemakaian bahasa oleh masyarakat tutur tiga etnis (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Pekalongan? Faktor apa saja yang menentukan pilihan bahasa oleh masyarakat tutur tiga etnis (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Pekalongan? Bagaimana posisi bahasa Jawa sebagai bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional di lingkungan masyarakat tutur tiga etnis (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Pekalongan? Penelitian ini merupakan kajian di bidang sosiolinguistik. Kajian sosiolinguistik yang berfokus pada pilihan bahasa masyarakat yang multilingual telah dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain Giles (1979), dan Susan Gal (1979), Sumarsono (1993), Markamah (2000), dan Sadhono (2004). Dalam penelitian-penelitian tersebut dijelaskan bahwa faktor perpindahan atau
Indonesia, bahasa asing ataupun bahasa daerah lain. Kenyataan ini tidak menutup kemungkinan bahwa pemakaiannya pun mengalami berbagai ragam dan variasi. Bahkan dapat dikatakan bahasa Jawa tidak dapat dipakai secara murni tanpa adanya pengaruh dari bahasa lain. Hal ini bisa dijumpai pada setiap peristiwa kebahasaan yang dilakukan oleh setiap masyarakat Jawa. Hal yang sangat menonjol bisa terjadi dari adanya kontak bahasa ini adalah terjadinya atau terdapatnya apa yang disebut bilingualisme dan multilingualisme dengan berbagai macam kasusnya, di antaranya adalah penyimpangan ataupun pencampuran dalam penggunaan kaidah kebahasaan disebut dengan interferensi, integrasi, alihkode, dan campurkode. Sebagai contoh kita ambil keadaan linguistik di Indonesia (Chaer, 2003:67). Dengan demikian kontak bahasa meliputi segala peristiwa persentuhan antara dua bahasa atau lebih, yang berakibat adanya perubahan unsur kebahasaan oleh penutur dalam konteks sosialnya.
Kerangka Teori Kontak Bahasa Dalam perkembangan bahasa, bahasa Jawa tidak bisa terlepas dari pengaruh bahasa
129
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Suwito (1983:39) bahwa kontak bahasa dapat terjadi karena adanya penggunaan dua bahasa atau lebih dan adanya peristiwa persentuhan dua bahasa, serta kemungkinan pergantian pemakaian bahasa-bahasa yang dipergunakan oleh penutur dalam konteks sosialnya. Hal ini akan sangat nampak pada dwibahasawan. Secara teoretis seorang dwibahasawan dalam suatu kontak bahasa akan dapat menghindari identifikasi bahasa, yaitu menyamakan hal-hal tertentu antar bahasa pertama dan bahasa kedua yang dikuasainya. Namun pada kenyataannya karena pengaruh kaidah bahasa pertama terhadap bahasa kedua, terkadang dwibahasawan pun juga masih sering melakukan interferensi1. Bilingualisme Pada masyarakat tutur yang dinamis, biasanya akan muncul peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akibat dari kontak bahasa yang terjadi. Salah satu fenomena yang sering terjadi adalah munculnya bilingualisme. Bilingualisme adalah salah satu fenomena yang terjadi akibat dari adanya kontak bahasa. Kontak bahasa ini terjadi sebagai tuntutan dari kebutuhan manusia yang bersifat kompleks terutama kebutuhan untuk berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain. Di Indonesia sendiri, kita jumpai orang-orang yang minimal menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa daerah mereka dan bahasa Indonesia. Bahasa daerah mereka Sebagai contoh identifikasi bahasa, penutur bahasa Hindi yang berbangsa Inggris akan mendengar bunyi /k/ dalam contoh /kam/ ‘bekerja’ sebagai /g/, karena /k/ inisial yang tidak beraspirasi tidak terdapat dalam bahasa Inggris. Dengan dasar aturan fonologi bahasa Inggris ia memilih ciri fonetik yang diasumsikan merupakan ciri fonemik yang tersendiri dalam bahasa Hindi, kemudian menginterpretasikan fonem/k/ dalam bahasa Hindi sebagai /g/ dalam bahasa Inggris. Padahal, /gam/ dalam bahasa Hindi tidak mempunyai arti. (Ibrahim, 1995:194) 1
130
gunakan untuk keperluan yang bersifat kedaerahan atau kepentingan interaksi dan komunikasi setiap hari, sedangkan bahasa Indonesia mereka gunakan untuk kepentingan yang bersifat formal, kenasionalan, ataupun untuk kepentingan komunikasi dengan orang-orang yang tidak memakai bahasa daerah yang sama. Kedwibahasaan sebagai wujud dalam peristiwa kontak bahasa sebenarnya merupakan istilah yang pengertiannya bersifat nisbi atau relative (Suwito 1983:40). Hal ini disebabkan oleh pengertian dwibahasaan itu sendiri yang belum pasti dan cenderung berubah-ubah dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut disebabkan sudut pandang atau pengertian dari bahasa itu sendiri yang juga berubah-ubah. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Bloomfield (1958:50) yang merumuskan kedwibahasaan sebagai “native like control of two language” atau penguasaan yang sama baiknya terhadap dua bahasa. Pendapat tersebut didasarkan pada pengertian bahasa yang diberikannya yaitu sistem kode yang mempunyai ciri-ciri khusus. Mengenal dua bahasa berarti mampu menggunakan dua sistem kode dengan baik. Pendapat Bloomfield ini ternyata kurang mendapat respon positif dari para linguis lain, karena syarat dari “native-like control of two language” berarti setiap bahasa dapat digunakan dalam setiap keadaan dan ketepatan yang sama seperti yang digunakan oleh penutur aslinya. Hal ini rupanya tidak mungkin dan sangat sulit, akhirnya pendapat Blomfield ini dianggap sebagai salah satu jenis saja dari kedwibahasaan. Selanjutnya pengertian kedwibahasaan berkembang dengan munculnya pendapat
Perwujudan Keberagaman Bahasa dan Budaya pada Interaksi Bahasa Tiga Etnis... Nur Fateah, S.Pd., M.A.
Mackey yang memberikan definisi kedwibahasaan sebagai “the alternative use of two or more languages by the same individual” atau pilihan penggunaan dua bahasa atau lebih oleh individu yang sama. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kedwibahasaan bukanlah gejala bahasa melainkan gejala penggunaan bahasa, tidak termasuk ke dalam language akan tetapi masuk dalam wilayah parole, sehingga menurut Mackey kedwibahasaan adalah gejala yang bersifat individual bukan bersifat massal. Akan tetapi pendapat ini ditentang oleh Oscar (dalam Rusyana 1975:34)
bahasa yang digunakan maka disebut daerah atau masyarakat yang berdwibahasa atau bilingual. Orang yang dapat menggunakan dua bahasa disebut dwibahasawan atau orang yang bilingual. Lebih lanjut ia mengatakan, ketika kita melihat seseorang memakai dua bahasa dalam pergaulannya dengan orang lain, maka dia disebut berdwibahasa dalam arti dia melaksanakan kedwibahasaan yang kita sebut dengan bilingualisme. Sedangkan kemampuan seseorang atau kesanggupannya dalam menggunakan kedua bahasanya disebut dengan bilingualitas. Dengan
mengatakan, bahwa kedwibahasaan bukan hanya bisa terjadi pada individu akan tetapi bisa juga terjadi pada suatu kelompok masyarakat. Mackey juga mengakui, bahwa sampai sekarang belum atau tidak ada persetujuan umum tentang kemampuan dua bahasa yang dapat dijadikan ukuran untuk menyebut apakah seseorang itu sudah masuk sebagai dwibahasawan atau belum. Untuk itulah Oscar memberikan definisinya tentang dwibahasawan secara lebih luas yang merupakan sinergi antara definisi yang diberikan oleh Bloomfeld dan Haugen yaitu meliputi segala tingkatan sejak “native like control of two languages” sampai kepada “knowledge of two languages” (Rusyana 1975:32) Terlepas pro dan kontra dari para linguis barat di atas, para linguis Indonesia juga memiliki konsep dan pandangan sendiri dalam merumuskan definisi bilingualisme. Nababan (1993:27) menjelaskan suatu daerah atau masyarakat terdapat dua
demikian bilingualisme adalah kebiasaan seseorang untuk menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain, sedangkan sejauh mana ia mampu menguasai dan menggunakan kedua bahasanya disebut bilingualitas. Problematika dalam Bilingualisme Dalam sebuah masyarakat ataupun daerah yang bilingualisme, praktik penguasaan bahasa kedua ataupun bahasa ketiga biasanya mempunyai sifat-sifat yang khas. Ada kecenderungan bahwa unsur-unsur bahasa yang satu pindah ke bahasa yang lain. Hal ini disebut transfer atau pemindahan, yang merupakan gangguan dan bisa meliputi semua aspek bahasa, yaitu ucapan, pembentukan morfo-sintaksis, semantik, dan juga kultur. Seorang penutur yang bilingual, biasanya penguasaan B1 lebih baik, karena ia adalah bahasa pertama kali yang ia kuasai atau bahasa ibu, dan juga frekuensi penggunaannya jauh lebih intens, karena ia adalah bahasa komunikasi sehari-hari, sedangkan B2 adalah 131
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
bahasa yang baru kemudian dipelajari, yakni setelah menguasai bahasa pertama, serta kesempatan untuk menggunakannya pun jauh lebih terbatas. Dalam kondisi seperti ini, ada kemungkinan B1 si penutur akan mempengaruhi B2-nya. Pengaruh ini dapat berupa persitiwa yang disebut interferensi (akan dibahas secara lebih detail pada pembahasan sesudahnya), baik pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, maupun tataran leksikon. Seberapa jauh pengaruh B1 terhadap B2 adalah sangat bergantung pada tingkat penguasaan terhadap B2.
akan tetapi jika tidak sampai menyebabkan dislokasi struktur disebut sebagai pungutan saja. Interferensi sebenarnya tidak perlu terjadi karena unsur-unsur yang diserap sudah ada padannnya dalam bahasa penyerap, akan tetapi karena faktor lain, hal ini masih sering ditemukan. Secara singkat mungkin interferensi bisa diartikan sebagai peristiwa atau proses terjadinya dua sistem bahasa secara serempak ke dalam suatu unsur bahasa. Hal ini merupakan akibat dari adanya kontak dua bahasa atau lebih. Dengan kata lain interferensi adalah pengalihan bahasa dari
Interferensi Interferensi merupakan salah satu mekanisme yang cukup frekuentif dalam perubahan bahasa. Gejala ini muncul sebagai akibat dari adanya kontak bahasa. Terjadinya kontak bahasa akan berakibat terhadap terjadinya pengaruh–mempengaruhi di antara bahasa-bahasa yang berkontak, termasuk pengaruh-mempengaruhi yang terjadi karenya adanya kontak bahasa antara bahasa Arab dan bahasa Jawa. Tingkat keterpengaruhan ini bisa terjadi secara fluktuatif dari waktu ke waktu tergantung dari kondisi sosial budaya masyarakat pemakainya. Bisa dimungkinkan pada suatu waktu, suatu bentuk kata memiliki bentuk leksikon sedemikian rupa, akan tetapi pada tahapan selanjutnya akan memiliki bentuk yang berbeda. Menurut para ahli bahasa, interferensi dianggap sebagai gejala tutur yang terjadi pada seorang dwibahasawan. Hal tersebut akan dianggap sebagai penyimpangan jika sampai menyebabkan dislokasi struktur,
bahasa ibu ke dalam bahasa asing lain yang bersifat mengganggu. Menurut Kridalaksana, interferensi merupakan penyimpangan dari suatu kaidah bahasa yang dilakukan oleh dwibahasawan sebagai akibat dari kurangnya penguasaan dwibahasawan tersebut terhadap salah satu bahasa yang digunakan (Kridalaksana, 1980:27). Penyimpangan kebahasaan dapat dikatakan sebagai interferensi jika hal tersebut mengakibatkan dislokasi struktur dalam bahasa yang digunakan atau yang sedang dipelajarinya akibat pengaruh bahasa pertama. Peristiwa interferensi dapat terjadi pada semua komponen kebahasaan, baik pada bidang tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat, tata kata, dan tata makna. Interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich (1953) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur baik yang bilingual maupun multilingual. Penutur yang
132
Perwujudan Keberagaman Bahasa dan Budaya pada Interaksi Bahasa Tiga Etnis... Nur Fateah, S.Pd., M.A.
bilingual adalah penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian; dan penutur multilingual, kalau ada, adalah penutur yang dapat menggunakan banyak bahasa seara bergantian. Namun, kemampuan setiap penutur terhadap B1 dan B2 sangat bervariasi, terkadang ditemukan kesalahankesalahan dalam menggunakan bahasabahasa tersebut. Penutur yang penguasaan B1 dan B2-nya seimbang tentu tidak mempunyai kesulitan dalam menggunakan kedua bahasa itu kapan saja dan di mana saja diperlukan, karena ia dapat memisahkan tindak laku kedua bahasa yang ia kuasai secara terpisah
dampak pada kebahasaan mereka, semisal fenomena loanword , adaptasi, perubahan dan lain-lain. Dari tinjauan antropologis, bangsa Indonesia yang tadinya terdiri dari kerajaankerajaan kecil, disatukan zaman Sriwijaya, disempurnakan pada masa Majapahit, bukan merupakan masyarakat yang tertutup. Hal ini memungkinkan terjadinya pencampuran kebudayaan termasuk bahasa dan hal-hal yang terkait dengannya. Buktinya adalah budaya bangsa saat itu berkembang dari berbagai macam unsur budaya (Karim, 2007:135).
dan memfungsikannya secara sendirisendiri. Penutur bilingual yang mempunyai kemampuan seperti ini oleh Ervin dan Osgood disebut penutur yang yang memiliki kemampuan bahasa yang sejajar. Sedangkan penutur yang kemampuan B1` dan B2nya tidak sama atau mungkin penguasaan B2-nya lebih rendah disebut penutur berkemampuan bahasa yang majemuk. Penutur yang mempunyai kemampuan majemuk ini biasanya mempunyai kesulitan dalam menggunakan B2-nya karena akan dipengaruhi oleh kemampuan B1-nya (Chaer, 2004:121)
Sebagai alat komunuikasi sekaligus bagian dari kebudayaan tertentu, sebuah bahasa hendaknya memiliki konsep yang cukup baik secara material ataupun spiritual sehingga dapat dipakai untuk semua kehidupan dalam kebudayaan itu. Bagi BI yang bisa dikatakan masih muda sekali, perubahan yang disebabkan oleh pungutan itu sangat nampak sekali. Perubahan itu biasa disebut pertumbuhan seolah-olah bahasa itu merupakan sesuatu yang hidup. Dalam keinginan untuk menyampaikan sesuatu, pemakai bahasa menggunakan bahasanya sebagai alat komunikasi. Untuk menghindarkan ketidak-jelasan, pemakai bahasa sering secara berlebihan menyatakan isi hatinya itu. Berlebihan (baca: redundancy) ini diungkapkan dengan berbagai cara oleh pemakai bahasa: penggunaan intonasi, pengulangan kata atau ungkapan, pengulangan ‘konsep’ dengan ‘tanda’ yang lain (sinonim), penjelasan waktu, jumlah, kelamin, pemakaian isyarat, dan lain sebagainya, tidak mengherankan kiranya,
Pungutan Selain problematika kebahasaan yang terjadi karena faktor sosiosituasional di atas, pada dasarnya masih ada faktor-faktor lain yang pada akhirnya juga memberikan masalah serius pada penggunaan kebahasaan, yaitu problematika kebahasaan yang disebabkan oleh faktor sosiokultural. Kultur sosial suatu masyarakat tertentu juga bisa memberikan
133
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
jika seorang Jawa pemakai BI mengatakan: “dengan terus terang, blak-blakan, saya katakana, bahwa pemerintah kurang banyak berusaha meringankan beban rakyat kecil”. Bahkan seorang dari suku Jawa seperti itu masih juga menambahkan ungkapan dari bahasanya dengan “tanpa tedeng alingaling”, yang semuanya itu dipakai untuk menjelaskan dengan berlebihan ungkapan terus terang dan berarti sama saja, sehingga kalimat di atas menjadi berlebihan. Pungutan kata blak-blakan yang berarti “terus terang” itu diambilnya secara spontan oleh pemakai BI tersebut dan terjadilah apabila kata itu
religius atau karena ingin memberitahukan bahwa ia berasal dari golongan tertentu, semisal golongan priyayi atau ulama, biasanya ia akan sering menggunakan ungkapan-ungkapan berbahasa Arab di dalam pembicaraannya atau menggunakan sesuatu yan berbau Arabic tersebut dalam sisi kehidupannya yang lain, semisal dalam penggunaan nama diri dan lain-lain.
nanti dipungut (dipakai) pula oleh pemakaipemakai yang lain, lebih-lebih yang bukan berasal dari suku Jawa – suatu pungutan, yaitu pemasukan kata itu sebagai bagian dari BI. Selain pungutan yang bersifat sinonim seperti di atas, yang lebih sering terjadi, sebuah pungutan diambil karena disebabkan faktor tidak adanya “konsep dan tanda” di dalam bahasa itu. Sebagai contoh “konsep dan tanda” yang menyatakan “sepuluh tahun”. Karena “konsep dan tanda” ini tidak terdapat dalam BI, maka suatu waktu, ketika seorang penutur BI ingin mengungkapkan pengertian ‘sepuluh tahun” , maka dipakainya kata dasawarsa, biarpun kata itu boleh dikatakan sebagai suatu “terjemahan” dari kata “sepuluh tahun” tersebut. Selain kedua faktor di atas, mungkin masih ada satu faktor lagi yang bisa dimasukkan sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya pungutan, yaitu faktor prestise. Seseorang yang beragama Islam misalnya, karena ingin menonjolkan kesan tertentu seperti kesan
ataupun situasi kebahasaan yang disebabkan oleh adanya pungutan-pungutan yang dipakai oleh masyarakat tutur tertentu karena tujuan dan motif tertentu. Perubahan bahasa menyangkut soal bahasa sebagai kode, di mana sesuai dengan sifatnya yang dinamis, dan sebagai akibat persentuhan dengan kodekode lain, bahasa itu bisa berubah. Pada hakikatnya perubahan bahasa merupakan suatu fenomena yang bersifat semestaan (universal). Perubahan tersebut akan terjadi secara terus-menerus, berkesinambungan, dan teratur. Akan tetapi, meskipun perubahan bahasa adalah sesuatu yang bersifat alami dan berlangsung melalui proses yang terjadi secara terus-menerus, pada kenyataannya banyak orang yang tidak memahami dan menyadari bahwa perubahan tersebut adalah sesuatu yang bertalian dengan sifat universal dan kontinual (Fernandez, 1994:6). Pada bagian lain, menurut Poedjosoedarmo (t.t.: 3), bentuk bahasa secara langsung dipengaruhi oleh perubahan
134
Perubahan Bahasa Perubahan bahasa memiliki kaitan erat dengan masalah kontak bahasa yang terjadi dalam masyarakat bilingual atau multilingual
Perwujudan Keberagaman Bahasa dan Budaya pada Interaksi Bahasa Tiga Etnis... Nur Fateah, S.Pd., M.A.
yang terjadi pada segi penggunaannya. Di samping penggunaan, kalau ada perubahan yang terjadi dalam salah satu segi kebudayaan masyarakatnya, biasanya bentuk bahasa juga berubah. Jika suatu masyarakat berubah dari tradisional menjadi modern, maka bahasanya pun akan berkembang menjadi bahasa yang modern. Pengalaman kebudayaan baru juga akan menyebabkan bahasa yang dipakai oleh orang yang bersangkutan berbeda dengan bahasa yang digunakan sebelumnya. 2. Hasil dan Pembahasan Penggunaan Bahasa oleh Masyarakat
Kondisi seperti ini hampir terjadi di semua wilayah nusantara. Hampir setiap bahasa dan budaya yang melakukan kontak, memberikan pengaruhnya. Khusus dalam hal bahasa, akulturasi yang ada biasanya terjadi setelah adanya proses adaptasi antara sesuatu yang diambil dari bahasa donor tersebut dengan rasa bahasa yang ada pada bahasa penerima. Akan tetapi rasa bahasa ini bukanlah sesuatu yang mutlak dalam proses penyerapan kebudayaan dalam bentuk bahasa ini. Pada kondisi tertentu, seiring dengan perubahan peradaban dan kehidupan sosial masyarakat, proses
Tutur Tiga Etnis (Jawa, Cina, Arab) Masyarakat Sugihwaras Kota Pekalongan sebagai salah satu tempat yang pernah menjadi persinggahan beberapa macam etnis, bahasa dan budaya yang muncul juga mencerminkan keberagaman etnis tersebut. Persentuhan bahasa dan budaya Jawa dengan bahasa dan budaya-budaya lain seperti Arab dan Cina (yang berawal dari kepentingan perdagangan, namun untuk para pedagang Islam, meskipun tujuan utama mereka adalah perdagangan, tetapi tugas menyampaikan agama tidak dapat ditinggalkan. mereka merasa berkewajiban untuk menyampaikan agama Islam), pada akhirnya melahirkan kebudayaan-kebudayaan baru yang merupakan sinergi antara kebudayaan lokal dengan kebudayaan etnis lain yang dibawa oleh para pedagang. Akulturasi budaya ini berkembang semakin subur seiring dengan watak dan sikap bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Sugihwaras Pekalongan sebagai masyarakat pesisir yang terbuka terhadap sesuatu yang berasal dari dunia luar mereka.
penyerapan kebudayaan dalam bidang bahasa ini bisa saja dilakukan dengan memegang teguh unsur purisme atau pemurnian, dengan lebih berusaha menyamakan rasa bahasa penerima dengan rasa bahasa sumber. Pada situasi yang lain, standar yang digunakan bisa berubah lagi, tergantung tujuan, trend, dan motif yang sedang in dalam masyarakat yang bersangkutan. Hal seperti ini akan sangat nampak dan banyak kita jumpai dalam penggunaan bahasa masyarakat Sugihwaras Pekalongan. Berdasarkan data penelitian, penggunaan bahasa oleh masyarakat di Kelurahan Sugihwaras Pekalongan sebagian besar masyarakat etnis Jawa di kelurahan Sugihwaras menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko dalam kehidupan seharihari, namun dalam acara formal dan bertemu dengan orang yang lebih dihormati menggunakan bahasa Jawa ragam krama. Penggunaan bahasa Indonesia juga dipakai ketika berkomunikasi dengan orang yang tidak terlalu memahami bahasa Jawa, dengan 135
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
orang yang baru dikenal, dan dengan etnis lain yang kurang memahami bahasa Jawa. Selain itu, pada pertemuan-pertemuan resmi seperti dalam rapat RT, rapat di kelurahan, juga sering menggunakan bahasa Indonesia. Hal unik yang muncul dalam komunikasi adalah etnis Jawa juga sering menggunakan beberapa kosa kata dari etnis Cina maupun Arab. Hal ini terjadi karena seringnya kontak bahasa antar etnis tersebut. Masyarakat golongan etnis Cina dan Arab di Kelurahan Sugihwaras lebih banyak mengunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari karena mereka menganggap bahwa bahasa Indonesia lebih mudah daripada bahasa Jawa. Penggunaan bahasa Jawa hanya sebatas pada bahasa Jawa ragam Ngoko. Hampir sebagian besar informan yang diambil datanya yang berasal dari etnis Arab dan Cina mengaku tidak terlalu memahami bahasa Jawa raga Krama. Ragam Krama dianggap sulit dipahami, sehingga mereka jarang atau hampir tidak pernah menggunakannya dalam komunikasi seharihari. Selain itu, bahasa ibu yang diperolehnya sejak kecil adalah bahasa Indonesia. Pola Pemakaian Bahasa Masyarakat Tutur Tiga Etnis (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Pekalongan Masyarakat di Sugihwaras Pekalongan tidak dapat dipungkiri merupakan masyarakat dwibahasawan. Penggunaan bahasa oleh masyarakat di Sugihwaras selain menguasai bahasa ibu, juga menguasai bahasa nasional. Bahasa ibu bagi etnis Jawa adalah bahasa Jawa, sedangkan bagi etnis Arab dan Cina ada yang masih memiliki bahasa ibu bahasa Arab atau bahasa Cina, namun ada yang 136
bahasa ibunya adalah bahasa Indonesia. Etnis Arab dan etnis Cina rata-rata bukan lagi merupakan generasi pertama, sehingga bahasa ibu mereka banyak yang sudah tidak dipahami oleh generasi penerusnya. Penggunaan bahasa Arab ataupun bahasa Cina hanya pada istilah-istilah tertentu. Kontak antara bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Arab, dan bahasa Cina memungkinkan munculnya bahasa campuran. Bahasa campuran dalam hal ini adalah bahasa Jawa yang disisipi istilah bahasa Arab atau istilah bahasa Cina atau bahasa Indonesia. Pada ranah pemerintahan (yang dimaksud di sini adalah lingkungan terjadi proses pemerintahan, seperti pada rapat RT, rapat RW, pertemuan PKK, rapat di kelurahan) penggunaan bahasa Indonesia lebih dominan. Dalam penelitian ini, data yang berupa peristiwa tutur di ranah pemerintahan tentang pelaksanaan rapat di kelurahan seperti pada data percakapan berikut. Data [1] merupakan peristiwa tutur yang terjadi dalam ranah pemerintahan, tepatnya pada waktu rapat pertemuan di kelurahan yang melibatkan pengurus RT dan RW setempat. Peristiwa tutur tersebut melibatkan penutur yang berasal dari etnik Jawa, Arab, dan Cina. [1] (1) Etnis Jawa : “segera di mulai wae ra pak” ‘segera mulai saja pak’ (2) Etnis Arab : “toyib...biar ndak kesorean” ‘baik....biar tidak terlalu sore”
Perwujudan Keberagaman Bahasa dan Budaya pada Interaksi Bahasa Tiga Etnis... Nur Fateah, S.Pd., M.A.
(3) Etnis Cina : “ha’ah..setuju” ‘iya ...setuju” (4) Etnis Cina : “aku ya setuju....tar tak smske yang belum datang biar segera datang” ‘aku ya setuju....nanti saya smskan yang belum datang biar segera datang’ Pilihan bahasa yang digunakan penutur (Pt) dan mitra tutur (Mt) dalam data [1] adalah bahasa Indonesia dengan beberapa leksikon bahasa Jawa khas Pekalongan. Ini dilatarbelakangi oleh situasi tutur dan lokasi tutur yaitu pada acara formal dan pada ranah pemerintahan. Selain itu, situasi yang akrab juga menjadi faktor penentu pilihan bahasa tersebut. Keakraban itu muncul karena para penutur sudah sering bertemu dan memahami bahasa Jawa dialek Pekalongan. Dari data [1] tersebut dapat kita lihat hal yang menarik yaitu kata wae ra pak[etnis Jawa] dan ha’ah [etnis Cina]. Kedua kata tersebut merupakan bahasa Jawa dialek Pekalongan. Kata tersebut biasa digunakan oleh penutur dari etnis Arab ataupun Cina. Dalam tuturan tersebut juga muncul kata toyib ‘baik’. Kata tersebut biasa digunakan oleh etnis Arab, tetapi sudah dipahami oleh etnis lain. Peristiwa tutur pada data [1] juga memberikan gambaran informasi tentang kekhasan komunikasi antar-etnis di Sugihwaras Pekalongan. Pada ranah nonformal, seperti dalam perdagangan, ketetanggaan, penggunaan bahasa Jawa ragam ngoko lebih dominan,
meskipun bahasa Indonesia juga tetap digunakan ketika berkomunikasi dengan lawan tutur dari etnis lain. Bahasa Indonesia yang digunakan bukan bahasa Indonesia baku, tetapi bahasa Indonesia yang telah banyak mengalami interferensi dari bahasa daerah, bahasa Arab, atau bahasa Cina. Faktor yang Menentukan Pilihan Bahasa oleh Masyarakat Tutur Tiga Etnis (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Pekalongan Faktor-faktor yang menentukan pilihan bahasa masyarakat tutur tiga etnis (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Kota Pekalongan adalah faktor usia, faktor pendidikan, faktor lawan tutur, Topik tuturan dan faktor kedudukan sosial dalam masyarakat. Berdasarkan faktor usia, masyarakat Sugihwaras yang beretnis Jawa dengan kategori usia tua, menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari, kategori usia muda menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dalam komunikasi seharihari, anak-anak menggunakan bahasa Indonesia dan sedikit bahasa Jawa. Pada Etnis Arab, kategori usia Tua menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Arab, dan sedikit bahasa Jawa ragam ngoko. Kategori usia muda dari etnis Arab menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ragam ngoko, kategori usia anak-anak lebih dominan bahasa Indonesia. Pada etnis Cina, kategori usia tua menggunakan bahasa Indonesia, sedikit bahasa Cina, dan bahasa Jawa ragam ngoko. Kategori usia muda lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dan beberapa bahasa Jawa ragam ngoko. Kategori anakanak didominasi bahasa Indonesia. 137
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
Berdasarkan faktor pendidikan menurut data yang diperoleh, secara umum untuk yang berpendidikan tinggi lebih dominan menggunakan bahasa Indonesia, pendidikan menengah menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia, pendidikan rendah menggunakan bahasa Jawa. Posisi Bahasa Jawa sebagai Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional di Lingkungan Masyarakat Tutur Tiga Etnis (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Pekalongan Posisi Bahasa Jawa sebagai Bahasa Daerah Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah bagi masyarakat di Sugihwaras Kota Pekalongan. Secara umum, masyarakat Pekalongan sebagai bagian dari masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Jawa pesisir utara menggunakan bahasa Jawa dialek pesisir. Bahasa Jawa yang gunakan oleh warga Sugihwaras secara umum adalah bahasa Jawa ragam ngoko. Berdasarkan data penelitian, penggunaan ragam ngoko lebih dominan karena ragam ini lebih dipahami oleh lawan tutur dari beberapa etnis yang ada di lingkungan tersebut. Meskipun demikian, etnis Jawa masih menggunakan bahasa Jawa ragam kromo untuk berkomunikasi dengan keluarga yang lebih tua atau yang dihormati. Posisi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh semua etnis di Sugihwaras. Penggunaan bahasa Indonesia lebih didominasi oleh etnis Arab dan Cina, 138
terutama dalam ranah-ranah yang agak resmi. Penggunaan bahasa Indonesia misalanya pada acara-acara keagamaan, pertemuan RT, petemuan di kelurahan. Penggunaan bahasa Indonesia sering mendapat imbuhan dari bahasa lain, seperti bahasa Arab dan bahasa Cina. Penambahan tersebut lebih banyak berupa kata dan frasa, seperti penggunaan kata bahasa Arab ahlan ‘apa kabar’ dan penggunaan bahasa Cina kamsia ‘terima kasih’. 3. Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa oleh masyarakat tutur tiga etnis di Sugihwaras Pekalongan sebagian besar masyarakat etnis Jawa di Kelurahan Sugihwaras menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko dalam kehidupan sehari-hari, namun dalam acara formal dan bertemu dengan orang yang lebih dihormati menggunakan bahasa Jawa ragam kromo. Penggunaan bahasa Indonesia juga dipakai ketika berkomunikasi dengan orang yang tidak terlalu memahami bahasa Jawa, dengan orang yang baru dikenal, dan dengan etnis lain yang kurang memahami bahasa Jawa. Selain itu, pada pertemuan-pertemuan resmi seperti dalam rapat RT, rapat di kelurahan, juga sering menggunakan bahasa Indonesia. Pola pemakaian bahasa masyarakat tutur tiga etnis (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Pekalongan yang merupakan masyarakat dwibahasawan adalah penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa ragam ngoko lebih dominan, selain itu juga terjadi pungutan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, bahasa Cina ke
Perwujudan Keberagaman Bahasa dan Budaya pada Interaksi Bahasa Tiga Etnis... Nur Fateah, S.Pd., M.A.
dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, dan bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Pada ranah nonformal, seperti dalam perdagangan, ketetanggaan, penggunaan bahasa Jawa ragam ngoko lebih dominan, meskipun bahasa Indonesia juga tetap digunakan ketika berkomunikasi dengan lawan tutur dari etnis lain. Bahasa Indonesia yang digunakan bukan bahasa indonesia baku, tetapi bahasa Indonesia yang telah banyak mengalami interferensi dari bahasa daerah maupun bahasa Arab atau bahasa Cina. Faktor-faktor yang menentukan pilihan bahasa masyarakat tutur tiga etnis (Jawa, Cina, Arab) di Sugihwaras Kota Pekalongan adalah faktor usia, faktor pendidikan, faktor lawan tutur, topik tuturan dan faktor kedudukan sosial dalam masyarakat. Bahasa Jawa yang digunakan oleh warga Sugihwaras secara umum adalah bahasa Jawa ragam ngoko. Berdasarkan data penelitian, penggunaan ragam ngoko lebih dominan karena ragam ini lebih dipahami oleh lawan tutur dari beberapa etnis yang ada di lingkungan tersebut. Meskipun demikian, etnis Jawa masih menggunakan bahasa Jawa ragam kromo untuk berkomunikasi dengan keluarga yang lebih tua atau yang dihormati. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh semua etnis di Sugihwaras. Penggunaan bahasa Indonesia lebih didominasi oleh etnis Arab dan Cina, terutama dalam ranah-ranah yang resmi dan agak resmi. Penggunaan bahasa Indonesia misalanya pada acara-acara keagamaan, pertemuan RT, petemuan di kelurahan. Penggunaan bahasa Indonesia sering mendapat imbuhan dari bahasa lain, seperti
bahasa Arab dan bahasa Cina. Penambahan tersebut lebih banyak berupa kata dan frasa, seperti penggunaan kata bahasa Arab ahlan ‘apa kabar’ dan penggunaan bahasa Cina kamsia ‘terima kasih’ Daftar Pustaka Abdulhayi, 1985. Interferensi Gramatikal Bahasa Indonesia dalam Bahasa Jawa. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Jakarta. Alwasilah, A. Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa (ed. I). Bandung: Angkasa. Bell, Roger t. 1995. Sosiolinguistik: Sajian, Tujuan, Pendekatan dan Problem. Terjemahan Sosiolinguistic: Goals, Approaches, and Problems (t.t.) oleh Abd. Syukur Ibrahim. Surabaya: Usaha Nasional. Bloomfield, Leonard. 1958. Bahasa. Terjemahan Language oleh Sutikno. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Chaer, Abdul. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: P.T. Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2003. linguistik Umum. Jakarta: P.T. Rineka cipta. Dalanggo, Zainuddin. 2005. “Interferensi gramatikal bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris”: studi kasus pada mahasiswa jurusan bahasa Inggris fakultas sastra dan budaya Universitas Negeri Gorontalo”. Tesis S-2 UGM. Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: P.T. Eresco.
139
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
Fernandez,. Inyo. 1994. “Linguistik Historis Komparatif” Handout Perkuliahan Pascasarjana UGM. Gal, Susan. 1979. Language Shift: Social Determinats of Linguistic Change in Bilingual Austria. New York: Academic Press. Giles, Howard. 1979. Language and Social Psychology. Oxford: Basil Blackwell Publisher. Geertz, Clifford. 1960. Sorotan Budaya Jawa dan Yang Lainnya. (dalam Slamet Sutrisno). Yogyakarta: Andi Offset. Karim, Abdul. 2007. Islam Nusantara.
Pengantar. Jakarta: P.T. Gramedia. Nazilah, Rohmatun. 2007. “Pemakaian Bahasa Jawa di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta: Tinjauan Sosiodialektologi”. Tesis S-2 UGM. Pateda, Mansoer. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa. Poedjoesoedarmo, Soepomo. 1977. “Interferensi Gramatikal Bahasa Jawa dalam Pemakaian Bahasa Indonesia Murid SD”. Laporan Penelitian Depdikbud Yogyakarta. Poedjoesoedarmo, Soepomo. 1988. “Penyebaran dan Pembakuan Bahasa
Jogjakarta: Andi Offset. Keraf, Gorys. 1972. Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah. Koendjoroningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Kridalaksana, Harimurti. 1982. Fungsi dan Sikap Bahasa. Ende-Flores: Nusa Indah. Kridalaksana, Harimurti. 1986. Pengembangan Ilmu Bahasa dan Pembinaan Bangsa. Ende-Flores: Nusa Indah. Mahsun, 2006. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya. Jakarta: P.T. Grafindo Persada. Markhamah. 2000. Etnik Cina: Kajian Linguistis Kultural. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta Press. Murni, Dewi. 2007. “Perubahan Bahasa Melayu Riau Penyengat: Kajian Sosiolinguistik”. Tesis S-2 UGM. Nababan, P.W.J. 1988. Sosiolinguistik: Suatu
Melayu”. Makalah Perkuliahan di Universitas Brunei Bandar Seri Begawan. Samsuri. 1982. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga Subroto, Edi. 2007. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press. Sudarmaningtyas, Anastasia Erna Rochyati. 1995. “Interferensi Pemakaian Bahasa Madura dalam Bahasa Indonesia Oleh Masyarakat Suku Madura di Kabupaten Jember”. Tesis S-2 UGM. Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana Press. Sugono, Dendy. 2007. “Bahasa sebagai Aset Bangsa dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Nasional”. Kongres Lingustik Nasional Universitas Sebelas Maret Surakarta. Suwito. 1983. Sosiolinguistik, Teori dan Problema. Surakarta: Kenary Offset.
140
Perwujudan Keberagaman Bahasa dan Budaya pada Interaksi Bahasa Tiga Etnis... Nur Fateah, S.Pd., M.A.
Ubaidillah. 2007. “Interferensi Penggunaan Nama Diri Berbahasa Arab Oleh Penduduk Indonesia”. makalah S-2 UGM.
Weinreich, Uriel. 1970. Language in Contact, Findings and Problems. Monton: The Hague.
141
Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia Mahasiswa BIPA Melalui Teknik Riga Speaking Ability of BIPA Students Through Riga Technique Krishandini Program MKDU Institut Pertanian Bogor pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Pembelajaran bahasa asing pada saat ini lebih difokuskan pada pembelajaran dengan pendekatan komunikatif. Salah satu teknik pembelajaran dengan pendekatan komunikatif di antaranya: teknik role play, teknik interview , dan teknik games. Dalam penelitian ini digunakan metode Classroom Action Research (CAR) model Elliot. Penelitian ini bertujuan agar dapat meningkatkan kemampuan berbicara mahasiswa BIPA di Institut Pertanian Bogor. Berdasarkan hasil prestasi belajar yang dicapai mahasiswa BIPA dengan menerapkan teknik ini, terdapat peningkatan hasil belajar. Nilai rerata perolehan mahasiswa pada tes awal sebelum tindakan rerata nilai 52,34 berhasil naik menjadi 85,32 pada tes akhir siklus ketiga. Peningkatan kemampuan berbicara mahasiswa BIPA menggunakan tindakan dengan cara menggabungkan teknik roleplay, interview, dan games yang disebut teknik Riga. Kata kunci: kemampuan berbicara,mahasiswa BIPA, dan teknik Riga ABSTRACT Learning foreign language focuses on learning communicative approach. This communicative approach has some various techniques, for example, role play, interview and games. The research used classroom action research method by Elliot. Data analysis was done with qualitative and quantitative. Qualitative analysis utilized observation and Interview method. Quantitative analysis was done by describing the improvement of speaking score. It was by comparing pre-test and post-test scores. The avarage score of BIPA student in pre-test was 52,34. The Avarage score of post-test in the third cycle was 85,32. The technique can improve speaking ability of BIPA students at Bogor Agriculture university. Speaking ability of BIPA student can improve because researcher combined three tehniques. The best method to improve the speaking capability of BIPA students is by combinining roleplay, interview, and games which is called Riga Technique Keywords: speaking ability,BIPA students, and Riga technique
142
.
1. Pendahuluan Pengembangan teknik pembelajaran yang benar dan tepat diperlukan untuk menarik minat para penutur asing belajar bahasa Indonesia. Dengan demikian, para penyelenggara BIPA perlu merancang peningkatan pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) yang lebih profesional. Kebutuhan bahasa Indonesia pada tahap awal hanya sebatas pada taraf pemahaman akan bahasa Indonesia untuk kepentingan bersosialisasi praktis dan terbatas. Pembelajar BIPA memerlukan ungkapan praktis dalam bersosialisasi atau melakukan aktivitas sehari-hari mereka di Indonesia. Pembelajaran BIPA di Institut Pertanian Bogor berkaitan dengan adanya tiga faktor permasalahan pembelajaran berbicara kelas BIPA, yaitu mahasiswa BIPA, dosen BIPA, dan proses pembelajaran BIPA. Mahasiswa BIPA juga masih melakukan kesalahan dalam pemilihan kalimat tanya yang tidak tepat, contoh kamu sudah jalan di mana-mana? atau mengucapkan kata nama saya menjadi saya nama. Mereka juga belum memahami konsep penggunaan kata depan di dan ke. Hal ini terlihat pada kalimat yang mereka ucapkan sering menanggalkan kata depan tersebut. Pemahaman mahasiswa masih kurang karena terkadang dialog perlu diulang agar mereka bisa memahaminya. Berkaitan dengan kriteria komunikatif, mahasiswa masih memberikan respon dengan jawaban yang pendek-pendek, contoh: Apakah kamu sudah makan siang? Jawaban yang diberikan adalah belum, lalu dialog terhenti. Dialog tidak berjalan dengan baik karena informasi
Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia Mahasiswa BIPA Melalui Teknik Riga Krishandini
yang diberikan sedikit. Berdasarkan faktor pengajar BIPA; penyelenggaraan BIPA di IPB menggunakan pendekatan pembelajaran yang lebih berpusat pada pengajar, yaitu menggunakan metode ceramah langsung. Walaupun pembelajarannya sudah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, tetap saja pembelajarannya masih belum melibatkan pembelajar asing secara aktif. Para mahasiswa BIPA ini lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan dengan teman mereka di luar kelas bahasa Indonesia. Mahasiswa BIPA seringkali menunjukkan sikap yang kurang antusias, tetapi ada juga yang bersemangat. Untuk itu, diperlukan usaha yang keras agar para pembelajar ini mau berkomunikasi dengan nyaman dalam bahasa Indonesia. Ada permasalahan lain yang juga harus diperhatikan dalam pembelajaran BIPA. Mahasiswa BIPA memperhatikan pembelajaran dengan baik, namun kurang antusias ketika pembelajaran sudah berlangsung satu jam. Sementara itu, durasi pembelajaran BIPA adalah dua jam. Dengan demikian, penulis menganggap bahwa pengelolaan proses pembelajaran yang sesuai perlu diperhatikan oleh dosen BIPA agar nantinya mahasiswa dapat belajar secara aktif. Diharapkan motivasi muncul dalam diri mahasiswa karena mereka merasa tertarik pada kegiatan pembelajaran dan membutuhkannya dalam kehidupan mereka. Ketertarikan mereka pada kegiatan pembelajaran diduga berkaitan dengan dosen yang dapat menumbuhkan motivasi yang tinggi bahwa belajar bahasa itu menyenangkan. Hal tersebut sejalan dengan 143
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
pendapat McKay dan Tom (1999:4) yang mengemukakan tentang motivasi bagi pembelajar dewasa: The teacher can enhance motivation by providing interesting activities and by making clear the value of what is being taught and its relevance to their goals. Hal tersebut menandakan bahwa seorang pembelajar dewasa merasa perlu untuk dapat dilibatkan dalam kelas pembelajaran dan mereka juga perlu mengetahui apa kegiatan pembelajaran berkaitan dengan pekerjaan mereka. Dosen BIPA pun diharapkan terampil dalam menggunakan teknik pembelajaran dan mampu berinovasi menghasilkan bentukbentuk pembelajaran terbaik sehingga menghasilkan output yang tinggi. Pentingnya seorang dosen BIPA memiliki banyak strategi pengajaran dan memadukannya agar pembelajaran lebih bervariasi dan tidak membosankan. Saat ini suasana pembelajaran humanislah yang menyenangkan. Ada kekuatan saling mendukung antara dosen dan mahasiswa BIPA (Tomlinson 2003:162). Mengingat apa yang sudah dikemukakan oleh McKay dan Tom tentang karakteristik pembelajar dewasa, penulis menganggap bahwa teknik role play dan interview dapat dijadikan sebagai teknik pembelajaran BIPA dan mengingat durasi pembelajaran, teknik games kemungkinan dapat juga dimasukkan sebagai alternatif. Apabila ketiga teknik ini digabungkan sebagai suatu teknik pembelajaran, mungkin akan lebih menarik. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis akan menggabungkan tiga teknik, yaitu teknik roleplay, teknik interview dan 144
teknik games, ketiga teknik ini disingkat menjadi teknik Riga. Teknik Riga merupakan penggabungan teknik pembelajaran kemampuan berbicara yang diharapkan memiliki kelebihan untuk diaplikasikan di kelas, yakni proses pembelajaran yang berlangsung secara formal diintegrasikan dengan suasana santai dan menyenangkan melalui kegiatan role play, interview, dan games (Riga). Mahasiswa BIPA bersama dosen akan dapat menciptakan pembelajaran yang lebih aktif, kreatif, dan inovatif dan pada akhirnya diharapkan mahasiswa BIPA akan lebih bersungguh-sungguh, lebih memahami, dan menikmati proses pembelajaran bahasa Indonesia di kelas sebagai kegiatan belajarbermain. Dalam mengaplikasikan teknik Riga nantinya di dalam pembelajaran, mahasiswa BIPA diajak untuk bermain, yaitu role play yang di dalamnya terdapat teknik games dan teknik interview yang memiliki langkah dan aturan main dalam pembelajarannya. Di dalam teknik Riga yang akan digunakan ada pertanyaan dan jawaban. Teknik Riga diharapkan merupakan kegiatan untuk melatih mahasiswa BIPA berbicara. Kegiatan ini diduga dapat dijadikan sebagai cara untuk mengekspresikan diri mahasiswa BIPA untuk menyampaikan ide/gagasan secara langsung. Teknik Riga ini diduga dapat dijadikan salah satu alternatif dalam menyelesaikan permasalahan mengenai kebutuhan untuk belajar dan bermain. Dosen BIPA akan dapat mengintegrasikan sifat kesenangan bermain dengan pembelajaran yang bermakna dalam teknik Riga. Dengan demikian, diperkirakan teknik ini dapat meningkatkan kemampuan berbicara mahasiswa BIPA.
.
Selain itu, penyampaian teknik bermain yang mengasyikkan tersebut akan membuat mahasiswa BIPA menjadi lebih termotivasi dan nyaman menggunakan bahasa Indonesia. Latar belakang yang telah diuraikan tersebut adalah dasar-dasar pemikiran peneliti untuk memilih dan melakukan penelitian: Peningkatkan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia melalui Pendekatan Komunikatif dengan Teknik Roleplay, Interview, dan Games (Riga) Action Research pada Mahasiswa BIPA IPB. Berdasarkan latar belakang, masalah yang dapat penulis rumuskan sebagai berikut 1. Bagaimanakah meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Indonesia mahasiswa BIPA dengan teknik Riga (roleplay, interview, dan games)? 2. Apakah penggunaan teknik Riga (roleplay, interview, dan games) dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa BIPA dalam berbicara bahasa Indonesia? Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara praktis maupun teoretis. Secara teoretis hasil penelitian ini dapat digunakan oleh lembaga khusus penyelenggara BIPA sehingga memiliki satu cara pendekatan dan khasanah teknik pembelajaran yang tepat dalam pembelajaran BIPA, khususnya pembelajaran berbicara. Secara praktis penelitian ini diharapkan memberi manfaat: 1. Bagi peneliti, penelitian ini adalah sarana untuk mengasah profesionalitas sebagai seorang ilmuwan muda karena meneliti merupakan salah satu dari tridarma (tugas pokok) dosen. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan stimulus kepada pengajar
Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia Mahasiswa BIPA Melalui Teknik Riga Krishandini
BIPA untuk bersama-sama berusaha menemukan dan mengembangkan teknik yang tepat untuk meningkatkan mutu kemampuan berbahasa Indonesia bagi mahasiswa BIPA. 3. Bagi mahasiswa, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan minat mahasiswa BIPA dalam kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia. Mahasiswa BIPA juga diharapkan semakin percaya diri untuk dapat berkomunikasi secara lisan dalam bersosialisasi di Indonesia. Kerangka Teori Kemampuan Berbicara Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam berinteraksi ini, ada komunikasi yang terjalin. Komunikasi diperlukan untuk memperoleh informasi dan memberi informasi antarindividu dalam kelompok masyarakat. Hal tersebut senada dengan pendapat Gorys Keraf yang mengatakan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi antaranggota masyarakat yang berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Menurut Keraf (1991:1), bahasa mencakup dua bidang, yakni: bunyi vokal dan arti atau makna. Bahasa sebagai bunyi vokal berarti sesuatu yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang merupakan bunyi yang berupa getaran yang merangsang alat pendengar, sedangkan bahasa yang merujuk pada arti atau makna berarti isi yang terkandung pada arus bunyi menyebabkan reaksi atau tanggapan orang lain. Dalam proses komunikasi itu kita melihat adanya empat kegiatan berbahasa yang berbeda, yaitu: menyimak, berbicara, 145
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
membaca, dan menulis. Keempat kegiatan ini dinamakan empat aspek kemampuan berbahasa. Berdasarkan empat kemampuan di atas, yang utama harus dikuasai oleh penutur asing adalah berbicara karena berbicara menduduki posisi penting dalam kehidupan sosial. Berbicara menuntut kemampuan penggunaan bahasa untuk mengungkapkan ide, gagasan, dan perasaan dalam konteks sosial. Hal tersebut diungkapkan oleh McDonough dan Shaw (2003:134): As a skill that enables us to produce utterances, when genuinely communicative, speaking is desire—and purpose—driven,in other words we genuinely want to cummunicate something to achieve a particular end. This may Involve expressing ideas and opinions;expressing a wish or a desire to do something;negotiating and/or solving particular problem; or establishing and maintaining social relationships dan friendships. Pernyataan senada disampaikan oleh Hall yang dikutip oleh Richards dalam 30 years of TEFL/TESL:A Personal Reflection. Hall menyatakan bahwa dalam berbicara seseorang tidak mengkreasikan secara langsung ujaran yang diucapkannya itu sendirian tanpa berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Dalam hal ini, adanya si pembicara dan yang diajak bicara. Berikut kutipannya: Talk is comprised of interactive practices, structured moments of face to face interaction−differently enacted and differently valued− whereby individuals come together to create, articulate, and manage their collctive histories via the use of sociohistorically defined and valued resources. 146
Lebih lanjut Djiwandono (2008:68) mengungkapkan, berbicara merupakan bagian dari kemampuan berbahasa yang aktif produktif. Berdasarkan teori-teori yang telah dipaparkan di atas, kemampuan berbicara yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kegiatan yang bertujuan untuk berkomunikasi dengan kawan bicara secara logis dan wajar dengan menggunakan pelafalan yang tepat, bertata bahasa yang benar, penggunaan kosakata yang tepat, kefasihan pengucapan yang baik, dan terdapat pemahaman antarkawan bicara, serta penggunaan bahasa yang komunikatif (Haris 1969:84). Berikut ini kisi-kisi dan kriteria penilaian kemampuan berbicara dan juga berdasarkan bobot penilaian. Kriteria penilaian berbicara untuk pembelajar BIPA ini diadaptasi dari Haris (1969) dan dan Hazell (2000).
Tabel 1 Penilaian Kemampuan Berbicara Aspek Penilaian Pelafalan (pronounciation)
Skor
Kriteria
5
- Aksen tidak terdengar seperti penutur asing - Ujarannya jelas terdengar sehingga kata yang diucapkan dapat dipahami dan hanya sesekali terdengar seperti penutur asing - Kesulitan dalam melafalkan sehingga memerlukan konsentrasi dalam mendengarkannya - Sulit sekali memahami ucapannya karena masalah pelafalan. - Masalah pelafalan membuat setiap kata yang diujarkan sama sekali tidak dapat dipahami
4
3
2 1
.
Aspek Skor Penilaian Tata bahasa 5 (Grammer) 4
3
2
1
Kosa Kata (Vocabulary)
5 4
3
2
1
Kefasihan (Fluency)
5 4
3
Kriteria - Tidak ada kesalahan tata bahasa dan susunan kata dalam ujarannya - Terkadang melakukan kesalahan dalam merangkaikan kalimat yang diujarkan, namun masih dapat dipahami maksudnya - Hampir sering melakukan kesalahan dalam merangkaikan kalimat yang diujarkan sehingga terkadang tidak diketahui maksudnya - Tata bahasa dan susunan katanya sulit dipahami sehingga kalimat yang diujarkannya hanya terdiri atas kata dasar saja, tanpa imbuhan - Banyak melakukan kesalahan tata bahasa dan urutan sehingga sulit sekali memahami ucapannya - Pemilihan kosa kata dan idiom tepat dalam setiap kalimat yang diujarkan - Kadang-kadang menggunakan kosa kata yang tidak tepat dan atau mengulang kata yang sama karena keterbatasan kosa kata - Sering menggunakan kata yang salah, percakapan menjadi terbatas karena keterbatasan kosa kat - Salah dalam pemilihan kata dan keterbatasan kosa kata membuat sedikit kesulitan dalam memahaminya - Kosa kata yang dimilikinya sangat terbatas sehingga tidak mungkin melakukan percakapan - Berbicara dengan lancar tentang berbagai topik - Kecepatan berbicara sedikit dipengaruhi oleh kesulitan mencari kata yang tepat - Kecepatan dan kelancaran berbicara sangat dipengaruhi oleh kesulitan dalam menemukan kata yang akan diujarkan selanjutnya
Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia Mahasiswa BIPA Melalui Teknik Riga Krishandini
Aspek Penilaian
Skor
Kriteria
2
- Adanya keragu-raguan sehingga kalimat tidak terselesaikan - Berbicara terhenti dan lebih banyak diam sehingga tidak terjadi percakapan - Dapat memahami semua tanpa menemukan kesulitan dan dapat memberikan pemahaman yang jelas - Paham hampir semua percakapan dalam kecepatan normal, dapat memberikan pemahaman yang jelas meskipun terkadang memerlukan pengulangan - Paham sebagian besar yang dibicarakan pada batas kecepatan di bawah normal dengan pengulangan dan sering membutuhkan penjelasan yang sejelas-jelasnya - Sulit mengikuti apa yang dibicarakan - Sangat sulit memahami meskipun dalam percakapan yang sederhana. - Sangat percaya diri dan melakukan komunikasi yang sangat efektif dalam berbagai situasi - Percaya diri dan melakukan komunikasi yang cukup efektif dengan berbagai situasi - Secara umum komunikasi yang dilakukan efektif - Hanya berkomunikasi efektif ketika berbicara topik yang dipahami - Kesulitan berkomunikasi ditandai dengan adanya sedikit respon (jawaban yang diberikan pendekpendek)
1
Pemahaman (Comprehension)
5
4
3
2 1
Komunikatif*
5
4
3 2 1
Penggunaan Teknik Riga Dalam Role Play pembelajar asing dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas, dengan menggunakan 147
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
bahasa Indonesia. Selain itu, Menurut Ur (2006:131) role play sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas pembelajar membayangkan dirinya seolaholah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain saat menggunakan bahasa. Pernyataan yang hampir sama dikemukakan oleh Jo McDonough dan Christopher Shaw (2003:188). Menurut mereka, teknik pembelajaran bermain peran adalah proses pembelajaran bagi mahasiswa yang memerankan satu peran kehidupan sosial, peran tersebut dapat saja dialaminya atau diperankannya nanti di dunia nyata. It is generally the case that role-play activities involve the learners in ‘role assumption’; in the other word, the learners takes on a different role (and perhaps identity) from his or her normal one by ‘playing the part’ of a different person. Pembelajar diperlakukan sebagai subjek pembelajaran dalam Role Play secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab dalam bahasa Indonesia) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Interview dapat dikatakan merupakan kegiatan untuk melatih mahasiswa berbicara. Kegiatan ini sebagai cara untuk mengekspresikan diri mahasiswa untuk menyampaikan ide/gagasan secara langsung. Menurut Underhill (1993:54). Interview is a direct, face-to face exchange between learner and interviewer. It follows a pre-determined structure, but still allow both people a degree of freedom to say what genuinely think.
148
Karakteristik permainan adalah menciptakan suasana belajar yang menyenangkan (fun) serta serius, tetapi santai (sersan). Permainan digunakan untuk penciptaan suasana belajar dari pasif ke aktif, dari kaku menjadi gerak (akrab), dan dari jenuh menjadi riang (segar). Teknik ini diarahkan agar tujuan belajar dapat dicapai secara efisien dan efektif dalam suasana gembira. Permainan dapat dipraktikkan dalam setiap kemampuan berbahasa dan dalam setiap langkah pengajaran.Sebaiknya permainan digunakan sebagai bagian dari proses belajar, bukan hanya untuk mengisi waktu kosong atau sekedar permainan. Hal tersebut diungkapkan oleh Buckly and Wright Betteidge (1983:8), Games can be found to give practice in all the skills (reading, listening, speaking, and writing), in all stage of the teaching learning sequences (presentation,repetition, recombination,and composition) and for many situational and type of combination. Dengan demikian, penggabungan ketiga teknik pembelajaran tersebut dapat dilakukan oleh seluruh kelas, individual, atau sekelompok kecil mahasiswa. Dosen di dalam memulai pembelajaran dapat membuka dengan memotivasi pembelajar melalui permainan ice breaking. Selanjutnya pembelajar dapat memainkan peranan mereka melalui role play dengan skenario sederhana yang telah disiapkan sebelumnya. Bentuk bermain peran ini dapat dilakukan oleh dua orang pembelajar dengan cara interview. Di dalam kegiatan ini yang bermain peran tidak hanya dua pembelajar tersebut, tetapi rekanrekan mereka yang lain ikut dilibatkan juga
.
dengan memberikan games agar mereka terlibat. Dengan melibatkan seluruh kelas dalam proses pembelajaran, membuat pembelajar yang belum mendapat giliran tampil tidak bosan. Hal tersebut juga melatih pembelajar yang pasif untuk tetap dapat berkonsentrasi. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode Classroom Action Research (CAR). Penelitian ini dilaksanakan di Institut Pertanian Bogor, subjek penelitiannya adalah mahasiswa BIPA yang belajar Bahasa Indonesia pada tahun 2011. Mahasiswa BIPA yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah lima orang, berasal dari Kamboja dan Vietnam. Penelitian ini berpedoman pada model Elliot dan sebelum melaksanakan action research ini, peneliti perlu mempersiapkan hal-hal yang dapat memperlancar jalannya penelitian ini, yakni (1) pengidentifikasian masalah awal yang mendorong dilaksanakannya penelitian tindakan;(2)Membahas rencana pelaksanaan pembelajaran;(3) mengimplementasikan tindakan tersebut sekaligus pelaksanaan pembelajaran; (4 melakukan monitoring terhadap pelaksanaan tindakan; (5) melakukan refleksi untuk mengidentifikasi dan menjelaskan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dan untuk melihat hasil akhir secara keseluruhan proses. Instrumen penelitian adalah lembar pengamatan, tes hasil belajar, dan angket tentang lembar balikan mahasiswa terhadap proses pembelajaran. Hasil tes kemampuan berbicara mahasiswa BIPA dinilai oleh
Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia Mahasiswa BIPA Melalui Teknik Riga Krishandini
peneliti dan kolaborator. Nilai peneliti dan kolaborator digabungkan lalu dirata-ratakan. Berdasarkan instrumen penelitian yang telah ditetapkan, data dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif , yakni data tentang indikator aktivitas belajar setiap mahasiswa BIPA untuk setiap siklus dilakukan dengan menggunakan penyekoran dan persentase dan data tentang hasil belajar mahasiswa dianalisis dengan menghitung rata-rata hasil belajar mahasiswa BIPA pada setiap siklus. 2. Hasil dan Pembahasan Penelitian Tindakan Penelitian ini terdiri atas tiga siklus berdasarkan karakteristik action research model Elliot. Tiap-tiap siklus penelitian membahas empat kegiatan pokok, yaitu: planning (perencanaan) yang dimulai dengan identifikasi awal, praobservasi untuk memaparkan fakta yang terjadi sebelum memulai penelitian hingga penetapan tindakan yang akan dilakukan, acting (pelaksanaan tindakan), observasi atau monitoring efek dari tindakan yang dilakukan (observing), dan refleksi yang di dalamnya tercakup kegiatan perenungan/evaluasi hasil tindakan untuk melihat kelebihan serta kekurangan dari tindakan yang dilakukan (evaluating) Kegiatan berlanjut pada siklus berikutnya yang diawali dengan revisi tindakan. Jika pada siklus pertama perencanaan ditentukan berdasarkan pada fakta yang terjadi sebelum tindakan dilakukan, pada siklus kedua, perencanaan ditentukan oleh hasil tindakan pada siklus pertama. Demikian juga pada siklus ketiga. 149
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
Berikut ini merupakan tabel proses penggunaan teknik Riga dalam upaya meningkatkan kemampuan berbicara mahasiswa BIPA. Tabel 2 Proses Penggunaan Teknik Riga Pengamatan
Masalah
Tindakan yang dilakukan dengan teknik Riga Melatih agar pelafalan mahasiswa akurat/tepat Melatih agar pola kalimat/susunan kata yang dibuat mahasiswa tidak salah Melatih agar mahasiswa tidak salah dalam pemilihan kosa kata
Pelafalan
Pelafalan kurang jelas
Tata bahasa
Kesalahan penggunaan kata depan
Kosa kata
Penggunaan pilihan kata dan kata tanya yang kurang tepat Tersendat- Melatih agar sendat mahasiswa BIPA lancar dalam pengucapan sehingga tidak perlu melakukan pengulangan KetidakMelatih agar pahaman mahasiswa dapat akan merespon/tanggap pertanyaan terhadap jalannya yang percakapan diajukan Adanya Melatih agar keraguan mahasiswa percaya diri dan komunikatif dalam berbagai situasi percakapan
Kefasihan
Pemahaman
Komunikatif
Tahapan Implementasi Tindakan Menggunakan Teknik Riga Tahapan tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan berbicara mahasiswa BIPA dengan menggunakan teknik Riga sebagai berikut: Siklus 1 1. Pengajar menjelaskan tujuan pembelajaran dan teknik yang akan 150
2. 3. 4.
5.
6.
7.
digunakan. Pengajar memotivasi mahasiswa dengan ice breaking. Pengajar menentukan konteks situasional yang akan diajarkan. Pengajar membagikan kartu untuk menentukan pelaku situasi, peran pelaku, tujuan komunikatif, dan lokasi situasi. Pengajar menjelaskan materi dialog melalui tayangan atau tulisan (di papan tulis atau dibagikan). Pembelajar berlatih dalam kelompok kecil atau berpasangan untuk selanjutnya mempresentasikan dialog mereka di depan kelas. Mahasiswa membuat kesimpulan tentang pelajaran yang baru saja dipelajari.
Siklus 2 1. Pengajar memotivasi mahasiswa dengan ice breaking. 2. Pengajar menjelaskan tujuan pembelajaran dan teknik yang akan digunakan. 3. Pengajar meminta mahasiswa secara berpasangan untuk mengamati keadaan fisik, pakaian, dan aksesoris yang dipakai oleh temannya. 4. Mahasiswa mendeskripsikan temannya tersebut secara lisan. 5. Mahasiswa membuat kesimpulan tentang pelajaran yang baru saja dipelajari. Siklus 3 1. Pengajar memotivasi mahasiswa dengan ice breaking. 2. Pengajar menjelaskan tujuan pembelajaran dan teknik yang akan digunakan.
Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia Mahasiswa BIPA Melalui Teknik Riga Krishandini
.
3. Pengajar membagikan kartu-kartu percakapan kepada mahasiswamahasiswa yang dikelompokkan menjadi beberapa kelompok. 4. Mahasiswa wajib membuat dialog/ skenario sederhana sesuai dengan yang dideskripsikan dalam kartu. 5. Mahasiswa dalam setiap kelompok memainkan peran dan situasi sesuai skenario yang telah dibuat. 6. Setiap kelompok memainkan peran mereka di depan kelas. 7. Mahasiswa membuat kesimpulan tentang pelajaran yang baru saja dipelajari.
Pengaruh Penggunaan Teknik Riga terhadap Peningkatan Kemampuan Berbicara Mahasiswa BIPA Pengaruh penggunaan teknik Riga terhadap peningkatan kemampuan berbicara mahasiswa BIPA dapat dilihat pada rerata enam aspek kemampuan berbicara. Nilai ratarata enam aspek kemampuan berbicara pada siklus 3 menunjukkan bahwa mahasiswa BIPA IPB mempunyai kemampuan berbicara yang memadai untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan sosial tempat mereka tinggal. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3 Tingkat Kemampuan Berbicara Mahasiswa BI Keterangan Rerata Siklus 3 Deskripsi
Pelafalan
Tata bahasa
Kosa kata
Kefasihan
Pemahaman
Komunikatif
4,1
3,8
4,1
4,4
4,6
4,6
Ujarannya jelas,ucapan dapat dipahami dan hanya sesekali seperti penutur asing
kesalahan merangkaikan kalimat yang diujarkan sehingga tidak diketahui maksudnya
Kesalahan penggunaan kosa kata ja-rang dilakukan
Uraian mengenai tingkat kemampuan berbicara yang menyangkut enam aspek tersebut di atas sebelum dan sesudah tindakan dilakukan, dapat peneliti tampilkan dalam identifikasi tema-tema di bawah ini: a) Pelafalan (pronounciation) Hasil pengamatan selama proses pembelajaran dan hasil tes menunujukkan bahwa kesulitan mahasiswa BIPA dalam berbicara adalah pada aspek pelafalan huruf [h] dan huruf [g] yang dilafalkan seperti huruf sengau [k].Berikut contoh transkrip tuturan mahasiswa BIPA:
Agak tersendatsendat
Paham dalam kecepatan normal
Cukup percaya diri
1. Binatang yang saya li[h]at punya bentuk dan ciri-ciri. 2. Gajah ada berbadan besar, warnanya hitam dan punya [k] gading warna puti[h]........ b) Penggunaan Tata Bahasa (Grammer) Hasil pengamatan selama proses pembelajaran dan hasil tes menunjukkan bahwa dalam berbicara bahasa Indonesia, mahasiswa BIPA masih mengalami kesulitan dalam penggunaan tata bahasa yang baku. Kesulitan mahasiswa BIPA terutama 151
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
pada penggunaan kata depan yang sering mereka tidak tuturkan, seperti transkrip di bawah ini: 1. Saya belajar [di] fakultas Kehutanan 2. Kamu belajar [di] fakultas apa? 3. .....Kira-kira satu jam kita sampai [di] tempat jualan. 4. Contoh kesalahan tata bahasa dapat pula diamati pada transkrip dialog berikut: ..................................................... A : karena saya sibuk belajar, belum belajar bahasa Indonesia B : kalau begitu, kamu acara apa selama liburan Idul Fitri A : saya masih belum tahu, kalau kamu ada acara apa? B : saya.. mungkin saya mau jalan-jalan ke Pulau seratus (teman yang lain tertawa mendengarnya)—maksudnya Pulau Seribu-- kamu mau ikut tidak? c) Penggunaan Kosa Kata (Vocabulary) Rendahnya kemampuan berbicara mahasiswa, seperti yang tampak pada hasil tes awal, salah satu penyebabnya adalah minimnya kosa kata yang dimiliki mahasiswa BIPA. Akibatnya, untuk menuturkan dialog sesuai dengan peranan, mahasiswa BIPA masih menggunakan kosa kata yang sederhana dan kata nonbaku dalam bahasa Indonesia. Penggunaan pilihan kata dan kata tanya yang kurang tepat sering 152
dituturkan oleh mahasiswa BIPA ini. Berikut transkrip hasil pengamatan peneliti: 1. Kamu sudah hidup di sini berapa bulan? 2. Kamu sudah jalan di manamana? 3. saya tinggal di asrama putra TPB tingkat dua. 4. ya udah... 5. Alhamdulillah baik saja, selama liburan kamu pulang ke Bali gak? 6. enak bang[a]t sih...aku tidak bisa pulang lebaran ini. 7. Mulutnya tebal, kulitnya kuning. Dia memakai baju puti[h] dan j[c]elana jeans. Untuk meningkatkan kemampuan penggunaan kosa kata ini, peneliti mendata kesalahan kosa kata yang mereka tuturkan. Mahasiswa diajak untuk membuka kamus terjemahan. d) Kefasihan (Fluency) Pada bagian aspek kefasihan, mahasiswa belum dengan lancar menuturkan tuturan dengan baik. Hal tersebut terjadi, baik pada saat dilakukan tindakan maupun ketika tes berbicara dilakukan. Ketidaklancaran tersebut akibat beberapa faktor, yaitu kurangnya pemahaman mahasiswa dengan pertanyaan yang diajukan temannya, kosa kata yang kurang memadai, kesulitan dalam melafalkan, ketridakpahaman akan tata bahasa yang tepat. Di bawah ini contoh transkrip dialog yang dituturkan mahasiswa.
.
C : ya,......saya...kamu belajar fakultas apa? A : oh..... saya belajar di fakultas ecology manusia dan jurusan gizi B : saya belajar fakultas kehutanan dan jurusan saya adalah manajemen hutan, kalau kamu A? C : saya fakultas il..komputer.... matematika.......(dialog ini terhenti karena mereka bingung) B : berapa lama kamu tinggal di sini? C : e..saya tinggal di sini empat tahun [x], kamu? e) Pemahaman (Comprehension) Hal lain yang perlu ditingkatkan dalam kemampuan berbicara mahasiswa BIPA adalah pemahaman terhadap isi pembicaraan. Terkadang mahasiswa tidak memahami pertanyaan yang diajukan oleh teman tuturnya atau sebaliknya mahasiswa bingung dalam mengajukan pertanyaan kepada teman tuturnya, di bawah ini contoh berdasarkan pengamatan peneliti. A : Alhamdulillah baik.terima kasih. kamu mau kemana? B : saya mau pergi pulang ke asrama A : e..Kamu sudah makan siang? B : Belum......ee.....kalau kamu sudah makan A : .......e...saya belum juga, saya ingin ke warung untuk makan siang, kamu mau ikut? B : warung di mana?jauh dari sini? A : tidak, di Bara aja B : dimana...ehm....makan.... kamu makan apa?
Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia Mahasiswa BIPA Melalui Teknik Riga Krishandini
f) Komunikatif Mahasiswa pada awalnya tampak masih ragu dalam menuturkan dialog di depan kelas. Hal tersebut disebabkan karena kosa kata mereka yang masih terbatas sehingga seringkali dalam berinteraksi ada jeda atau kevakuman sebelum dilanjutkan dengan tuturan berikutnya. Pada awal siklus pertama mahasiswa masih tampak khawatir dan ragu mengikuti kegiatan ice breaking yang peneliti lakukan, seperti menjawab salam dengan jawaban “bulan Ramadan penuh semangat” mahasiswa BIPA masih tampak malu-malu, namun pada akhirnya rasa malu itu pecah dan berganti dengan semangat mengikuti kegiatan pembelajaran. Mereka terlihat antusias ketika diberi games tebak kata dengan cara menyusun huruf demi huruf yang pada akhirnya membentuk kata wawancara dan juga kata potret. Perubahan ini menurut peneliti sangat menggembirakan karena minat mereka terlihat meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan berbicaranya. Peningkatan Kemampuan Berbicara Tes Awal, Siklus 1,2,dan 3 Pada siklus pertama mahasiswa BIPA mendapat rata-rata 69,66 sedangkan pada siklus kedua mahasiswa BIPA mendapat rata-rata 78. Dengan demikian mengalami peningkatan rata-rata 8 poin. Rata-rata perolehan mahasiswa BIPA pada siklus ketiga sebesar 85,32. Hal itu berarti 153
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
mengalami peningkatan sebesar 7 poin. Peningkatan tersebut sangat berarti apabila dibandingkan dengan nilai rata-rata yang diperoleh mahasiswa BIPA pada tes awal yang hanya mencapai 52,3. Peningkatan ratarata mahasiswa BIPA sebelum dan sesudah mendapat perlakuan di akhir siklus mencapai 33 poin. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
teknik role play, interview, dan games (RIGA) dapat meningkatkan kemampuan berbicara mahasiswa BIPA. Peningkatan kemampuan berbicara mahasiswa BIPA ini dilihat secara keseluruhan dari hasil tes awal sampai dengan siklus ketiga disajikan melalui grafik di bawah ini.
Grafik 1 Peningkatan Hasil Belajar Mahasiswa BIPA
Grafik 1 menunjukkan bahwa setiap akhir siklus mahasiswa BIPA mengalami peningkatan kemampuan berbicara bahasa Indonesia. Siklus pertama menunjukkan bahwa kemampuan berbicara mahasiswa lebih rendah dibandingkan dengan siklus kedua dan ketiga. Demikian pula pada siklus kedua kemampuan berbicara mahasiswa BIPA terlihat lebih rendah daripada siklus ketiga. Hal ini dapat disimpulkan bahwa teknik Riga efektif untuk meningkatkan kemampuan berbicara mahasiswa BIPA. Pembahasan Berdasarkan hasil pengamatan saat sebelum dan selama penelitian terhadapat peningkatan kemampuan berbicara maha154
siswa BIPA melalui teknik Riga hasil temuan yang dapat peneliti paparkan sebagai berikut: 1. Pada mulanya mahasiswa BIPA masih mengalami kesulitan berbicara dalam bahasa Indonesia karena belum dilatih berbicara dengan teknik Riga. Setelah diperkenalkan dan dilatih berbicara dengan teknik tersebut, kemampuan berbicara mahasiswa BIPA secara keseluruhan, yaitu dalam aspek kefasihan, kosa kata, pelafalan,tata bahasa, pemahaman, dan komunikatif meningkat. 2. Sebelum dilatih berbicara dengan teknik Riga, mahasiswa kerap melakukan kesalahan tata bahasa, penggunaan kata nonbaku dalam bahasa Indonesia, terutama bahasa sehari-hari ke dalam
.
3.
4.
5.
6.
7.
bahasa Indonesia. Namun, setelah dilatih struktur kalimat yang dituturkan mahasiswa BIPA mulai berpola baku. Teknik Riga dapat digunakan untuk meningkatkan minat mahasiswa BIPA dalam pembelajaran bahasa Indonesia sehingga suasana pembelajaran menjadi menyenangkan. Memperkenalkan mahasiswa BIPA pada pembelajaran sesuai konteks situasi sebenarnya membuat mahasiswa BIPA ingin mengenal lebih jauh mengenai budaya Indonesia. Ada hal yang menarik yang peneliti temui dalam kegiatan ini, yaitu mahasiswa mulai paham dengan budaya Indonesia yang masuk ke dalam percakapan mereka. Berikut contoh transkrip percakapan: A : iyalah...itu saja...asalamualaikum B : waalaikum salam C : selamat liburan. Hati-hati di jalan ya A : Makasih, selamat liburan. Pada awalnya mahasiswa terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok laki-laki dan wanita. Akan tetapi setelah peneliti acak pembagian kelompoknya, mahasiswa dapat berkerja sama dengan teman yang berbeda jenis kelamin. Dengan teknik Riga pembelajaran menjadi menyenangkan. Mahasiswa juga cepat menemukan kosa kata baru yang ‘’trend” di kalangan mahasiswa IPB, seperti kata Bara –nama tempat nongkrong mahasiswa.
3. Simpulan dan Saran Memerhatikan data dan interpretasi data pada bagian sebelumnya, peneliti dapat menarik simpulan sebagai berikut:
Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia Mahasiswa BIPA Melalui Teknik Riga Krishandini
1. Kegiatan pembelajaran menggunakan teknik Riga ini memberikan dampak positif bagi mahasiswa, mereka dapat belajar sekaligus bermain. Ice breaking yang diberikan di awal pembelajaran dapat menjadi motivasi bagi pembelajar. 2. Proses pembelajaran dengan menggunakan teknik Riga meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Indonesia mahasiswa BIPA IPB, Bogor. Hal ini dapat dilihat dari nilai rerata perolehan mahasiswa pada tes awal sebelum tindakan rerata nilai 52,34 berhasil naik menjadi 85,32 pada tes akhir siklus ketiga. 3. Teknik Riga mampu meningkatkan aktivitas mahasiswa BIPA di dalam kelas dan secara tidak langsung memberikan kontribusi pada tingkat pemahaman mereka akan kemampuan berbicara. Mereka dapat menciptakan kosa kata yang yang lazim dalam percakapan di masyarakat Indonesia, misal kata makasih. Kata ini merupakan kependekan dari kata terima kasih. Saran 1. Perlu pembagian kelompok yang beragam dalam satu kelas, misalnya mencampurkan jenis kelamin yang berbeda dalam satu kelompok atau menggabungkan yang aktif dan yang pendiam dalam kelompok yang sama agar penggunaan teknik Riga menjadi efektif. 2. Penggunaan teknik Riga juga dapat dilakukan untuk meningkatkan tiga kemampuan bahasa yang lain, yaitu membaca, menyimak, dan menulis. 155
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
Daftar Pustaka Djiwandono, M. Sunardi.2008. Tes Bahasa dalam Pengajaran. Bandung: ITB. Haris, David P. 1969.Testing English as a Second Language. Bombay:Tata McGraw-Hill Publishing Company LTD. Keraf, Gorys.1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo. McKay, Heather, Abigail Tom.1999. Teaching Adult second Language Learner. UK: Cambridge University Press. M, Buckly and Wright Betteidge. 1983. Games For Language Learning. Cambridge University Press.
156
McDonough and Christopher Shaw.2003. Materials and Methods in ELT: A Teacher’s Guide. UK:Blackwell Publishing. Richards, Jack.30 years of TEFL/TESL:A Personal Reflection. Tomlinson, Brian (ed.). 2003. Developing Material for Language Teaching. London:Continuum. Underhill, Nic.1993.Testing Spoken language. New York:Cambridge University Press. Ur, Penny.2006. A Course In Language Teaching:Practice and Theory. Cambridge University Press.
Kesalahan Penggunaan Kaidah Bahasa Indonesia dalam Penulisan Soal Ulangan Umum Bersama Semester Genap SMA di Kabupaten Muaro Jambi The Errors of Indonesian Uses in Wriing the Questions for Semester Tests of High School in The Regency of Muarojambi Sarwono Kantor Bahasa Provinsi Jambi Pos-el :
[email protected]
ABSTRAK Banyak guru yang menganggap bahwa bahasa Indonesia tidak perlu dipelajari karena sudah biasa menggunakannya setiap hari. Hal ini menyebabkan terjadinya kesalahan penggunaan kaidah bahasa Indonesia terutama pada pembuatan soal ulangan umum di sekolah-sekolah. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk-bentuk kesalahan penggunaan kaidah bahasa Indonesia pada penulisan soal-soal ulangan umum bersama semester genap SMA di Kabupaten Muarojambi dan untuk menganalisis bentukbentuk kesalahan penggunaan kaidah bahasa Indonesia pada penulisan soal-soal ulangan umum bersama semester genap SMA di Kabupaten Muarojambi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik observasi dan teknik catat atau rekam. Penganalisisan data penelitian ini menggunakan teknik kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penulisan soalsoal ulangan umum bersama semester genap SMA di Kabupaten Muarojambi masih banyak kesalahan. Kesalahan tersebut berupa kesalahan ejaan, pemilihan kata, dan struktur kalimat. Kata kunci : kesalahan, kaidah bahasa, ulangan umum ABSTRACT Many teachers consider that Indonesian is not something important to learn because they already use it every day. This fact has made the teachers make errors in the use of Indonesian especially in the making of examination questions in schools. This study aims to describe and to find the forms of Indonesian errors in writing the questions for the tests of the second semester in high schools in the District of Muarojambi. This study used a descriptive method. This study uses data collection and observation record techniques. Data in this study used qualitative techniques. The results showed that many errors were found in the writing of the questions of general tests for the second semester of high school in the District of Muarojambi. The Errors are in the form of spelling, word choice, and sentence structure. Keywords: the error, language rules, general tests
157
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
1. Pendahuluan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional merupakan bahasa pengantar yang digunakan dalam proses pembelajaran di sekolah. Bahkan, bahasa Indonesia telah menjadi mata pelajaran dasar dan pokok dalam pendidikan formal di Indonesia, mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Dengan demikian, mata pelajaran bahasa Indonesia terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran, yang oleh Isman (dalam Taha, 2008: 62) diartikan sebagai sumbu semua mata pelajaran yang lain. Alasannya, yaitu bahwa hampir semua mata pelajaran
selalu sejalan dengan kenyataan. Dalam berinteraksi di kelas, banyak guru yang tidak memperhatikan kaidah bahasa Indonesia, misalnya ketika harus menulis di papan tulis. Mereka berprinsip, yang penting dapat dipahami, padahal siswa belajar menulis, antara lain, dengan meniru perilaku gurunya dalam menulis. Hal tersebut juga terlihat pada naskah soal ulangan umum bersama semester genap yang berasal dari para guru SMA di Kabupaten Muarojambi. Di samping itu, banyak guru yang masih menganggap bahwa pencapaian hasil pembelajaran bahasa Indonesia merupakan tugas guru
di sekolah dikomunikasikan dalam bahasa Indonesia. Pentingnya kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia tersebut mengisyaratkan adanya kompetensi guru di samping variabel-varibel lainnya. Dengan berbahasa Indonesia yang memadai, peserta didik diharapkan memiliki penalaran yang memadai pula dalam menyerap mata pelajaran yang lain. Karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa semua mata pelajaran yang diterima siswa adalah pelajaran bahasa dan semua guru pada hakikatnya adalah guru bahasa (Darmodihardjo, dalam Taha, 2008: 59). Artinya, setiap guru harus dapat mengajarkan bahasa Indonesia untuk mata pelajarannya masing-masing. Dalam upaya penguasaan ilmu dan teknologi, setiap guru harus ikut secara sadar membantu agar siswa dapat berbahasa Indonesia secara benar (menurut tolok ukur tata bahasa) dan baik (menurut tuntutan situasi penggunaan bahasa). Akan tetapi, apa yang diidealkan itu tidak
bahasa Indonesia semata. Apabila ada siswa yang melakukan kesalahan berbahasa maka yang “dipersalahkan” adalah guru Bahasa Indonesia, padahal itu seharusnya menjadi tanggung jawab semua guru. Pada dasarnya tugas guru mendidik, mengajar, melatih serta mengevaluasi siswa, agar peserta didik dapat menjadi manusia yang dapat melaksanakan kehidupan selaras dengan kodratnya sebagai manusia. Berkaitan dengan tugas guru dalam mengevaluasi siswa, guru hendaknya memiliki keterampilan membuat soal ulangan semester yang merupakan bagian dari tes. Kegunaan soal ulangan semester adalah untuk mengukur kemampuan siswa setelah mendapat proses pembelajaran. Dengan demikian guru memiliki kewajiban untuk membuat soal ulanggan semester. Hanya guru bersangkutan yang tahu tentang kemajuan akademik siswa melalui hasil ulangan semester. Selain itu, dalam pembuatan soal ulangan semester, guru juga harus memerhatikan bahasa yang digunakan dalam soal. Slameto
158
.
Kesalahan Penggunaan Kaidah Bahasa Indonesia dalam Penulisan Soal Ulangan Umum... Sarwono
(2001:82) menyatakan bahwa pada dasarnya, penulisan soal berpegang pada kaidahkaidah bahasa Indonesia yang benar. Untuk mendapatkan soal-soal yang baik dengan keahlian yang memadai, para guru harus memerhatikan beberapa hal. Pertama, masalah materi pelajaran meliputi Tujuan Instruksional Khusus (TIK) dan kisi-kisinya. Kedua, kontruksi soal. Ketiga, penggunaan bahasa. Masalah bahasa dalam soal, yang terpenting adalah pembahasan ide soal dan bahasa tulisan soal. Soal yang baik berdasarkan pembahasan ide soal adalah soal
mereka harus menjadi anutan dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar dalam rangka pengembangan daya nalar peserta didik. Dengan demikian, masalah kesalahan penggunaan kaidah bahasa Indonesia oleh guru SMA di Kabupaten Muarojambi layak dan mendesak untuk dikaji. Adapun masalah dalam peneitian ini adalah (1) bagaimanakah bentuk kesalahan penggunaan kaidah bahasa Indonesia pada penulisan soal-soal ulangan umum bersama semester genap SMA di Kabupaten Muarojambi ? (2) bagaimana hasil analisis terhadap bentuk-bentuk kesalahan
yang dapat mengukur yang hendak diukur, yaitu dengan menggunakan bahasa yang jelas, hubungan antara stem dan pilihan jelas dan logis, tidak berbelit-belit, dapat dipahami oleh siswa sesuai dengan tingkat sekolahnya. Mengenai bahasa tulisan dalam menulis soal, pada prinsipnya berpedoman pada kaidahkaidah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Guna keseragaman penulisan soal maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para guru. Fenomena ini merupakan isu yang berkenaan dengan persoalan kemampuan berbahasa Indonesia yang taat asas di kalangan guru SMA di Kabupaten Muarojambi sehingga penyampaian materi oleh guru dapat diterima dengan mudah oleh siswa. Guru adalah orang yang mentransfer ilmu. Jika kemampuan berbahasa Indonesia rendah, hal itu akan berpengaruh pada ilmu yang ditransfer kepada peserta didik. Banyak guru yang menganggap bahwa bahasa Indonesia tidak perlu dipelajari karena sudah biasa menggunakannya setiap hari, padahal
penggunaan kaidah bahasa Indonesia pada penulisan soal-soal ulangan umum bersama semester genap SMA di Kabupaten Muarojambi? Penelitian ini bertujuan (1) untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk kesalahan penggunaan kaidah bahasa Indonesia pada penulisan soal-soal ulangan umum bersama semester genap SMA di Kabupaten Muarojambi, (2) untuk menganalisis bentukbentuk kesalahan penggunaan kaidah bahasa Indonesia pada penulisan soal-soal ulangan umum bersama semester genap SMA di Kabupaten Muarojambi. Ruang lingkup penelitian ini adalah kesalahan penggunaan kaidah bahasa Indonesia pada penulisan soal-soal ulangan umum bersama semester genap SMA di Kabupaten Muarojambi dillihat dari pemakaian kaidah bahasa yang meliputi ejaan, bentuk dan pilihan kata, struktur kalimat di dalam pembuatan soal ujian semester oleh guru.
159
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
Landasan Teori Pengertian Kesalahan Berbahasa Bahasa sebagai perangkat kebiasaan dipakai setiap orang sebagai media komunikasi yang sangat kompleks. Pada umumnya pemakai bahasa dalam berbahasa cenderung menggunakan jalan pikirannya tanpa mempertimbangkan aturan-aturan yang ada dalam bahasa. Di samping itu ada juga pembelajar bahasa yang memperhatikan kaidah-kaidah atau aturan bahasa yang berlaku sehingga menghasilkan konsep sesuai dengan struktur bahasa yang dipelajari. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa pengkajian terhadap segala aspek kesalahan itu disebut analisis kesalahan. Agar dapat menganalisis kesalahan berbahasa secara baik diperlukan langkah-langkah. Langkah-langkah yang dimaksud adalah: (1) pengumpulan data, (2) pengidentifikasian kesalahan, (3) penjelasan kesalahan, (4) pengklasifikasian kesalahan, dan (5) pengevaluasian kesalahan. Atas dasar langkah-langkah di atas dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan analisis kesalahan berbahasa adalah suatu proses kerja yang digunakan oleh para peneliti bahasa dengan langkah-langkah pengumpulan data, pengidentifikasian kesalahan yang terdapat di dalam data, penjelasan kesalahan tersebut, pengklasifikasian kesalahan itu berdasarkan penyebabnya, serta pengevaluasian taraf keseriusan kesalahan itu (Tarigan, 2011:68). Corder (dalam Pateda, 1989:32) membedakan pengertian antara kesalahan (error) dengan kekeliruan (mistakes). Kesalahan mengacu pada pemahaman (kompetensi), sedangkan kekeliruan mengacu pada penampilan (performansi). 160
Jadi jika si pembelajar bahasa melafalkan intruksi yang seharusnya instruksi atau bisah yang seharusnya bisa, kejadian semacam ini tergolong kekeliruan. Tetapi jika mengatakan, “Yesterday I go to the market”, atau “Ini hari saya tidak masuk sekolah”, hal ini termasuk bidang pemahaman, karena itu tergolong kesalahan. Jadi kekeliruan adalah penyimpangan yang tidak sistematis, misalnya karena kesalahan, emosi, atau salah ucap, sedangkan kesalahan adalah penyimpangan-penyimpangan yang sifatnya sistematis, taat asas, dan menggambarkan kemampuan si perabelajar bahasa pada tahap tertentu (Baradja, 1981:12). Ejaan Arifin (2008:164) menyatakan bahwa ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi ujaran dan bagaimana antarhubungan antara lambang-lambang itu (pemisahan dan penggabungannya dalam suatu bahasa). Secara teknis, yang dimaksud dengan ejaan adalah penulisan huruf, penulisan kata, dan pemakaian tanda baca. Finoza (2009:20--21) menyatakan bahwa ruang lingkup Ejaan yang Disempurnakan (EYD) mencakup lima aspek, yaitu (1) pemakaian huruf, (2) penulisan huruf, (3) penulisan kata, (4) penulisan unsur serapan, dan (5) pemakaian tanda baca. 1) Pemakain huruf membicarakan bagian-bagian dasar dari suatu bahasa, yaitu abjad, vokal, konsonan, pemenggalan, dan nama diri. 2) Pemakaian huruf membicarakan beberapa perubahan huruf dari ejaan yang sebelumnya, meliputi huruf
.
Kesalahan Penggunaan Kaidah Bahasa Indonesia dalam Penulisan Soal Ulangan Umum... Sarwono
kapital dan huruf miring. 3) Penulisan kata membicarakan bidang morfologi dengan segala bentuk dan jenisnya, yaitu kata dasar, kata turunan, kata ulang, gabungan kata, kata ganti kau, ku, mu,dan nya, kata depan di, ke, dan dari, kata sandang si dan sang, pertikel, singkatan dan akronim, angka dan lambang bilangan. 4) Penulisan unsur serapan membicarakan kaidah cara penulisan unsur serapan, terutama kosakata yang berasal dari bahasa asing. 5) Pemakaian tanda baca membicarakan teknik penerapan kelima belas tanda baca dalam penulisan dengan kaidahnya masing-masing. Kalimat Pengertian Kalimat Kalimat adalah sebagai bagian terkecil ujaran atau teks yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahasaan. Dalam wujud lisan, kalimat diiringi oleh alunan titinada, disela oleh jeda, diakhiri oleh intonasi selesai, dan diikuti oleh suatu kesenyapan yang memustahilkan adanya perpaduan atau asimilasi bunyi. Dalam wujud tulisan berhuruf latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru, dan sementara itu ditentukan pula di dalamnya berbagai tanda baca. (Alwi, 2010:317) Unsur Kalimat dan Pola Kalimat Bahasa Indonesia Dilihat dari segi bentuk pola kalimat bahasa Indonesia dapat dirumuskan sebagai kontruksi sintaksis terbesar yang terdiri atas
dua kata atau lebih. Hubungan struktural antara kata dan kata atau kelompok berbedabeda. Antara kalimat dan kata terdapat satuan sintaksis, yaitu “klausa” dan “frasa”. Klausa merupakan kelompok kata yang sekurangkurangnya terdiri atas predikat dan objek. Sedangkan frasa adalah sintaksis yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak mengandung unsur prediksi. Dilihat dari segi struktur internalnya, kalimat dan klausa terdiri atas unsur predikat atau subjek, baik menyertakan objek, pelengkap, keterangan, maupun tidak, misalnya: Saya guru. S P Adik sedang minum susu. S P O Dalam pola kalimat bahasa indonesia, hal yang terpenting adalah unsur kalimat karena merupakan kerangka dari sebuah kalimat. Adapun unsur-unsur dalam kalimat adalah: (1). Subjek/pokok kalimat adalah unsur utama dalam sebuah kalimat. Subjek menentukan kejelasan makna kalimat. (2). Predikat dapat berupa benda, kata kerja, ataupun kata sifat akan tetapi prediket dapat diingkarkan dengan kata tidak atau bukan. (3). Objek biasanya berupa nomina atau frasa nomina. Objek berfungsi membentuk kalimat dasar dan menperjelas makna kalimat. (4). Pelengkap adalah unsur kalimat yang berfungsi melengkapi informasi dalam sebuah kalimat, mengkhususkan objek, dan melengkapi struktur 161
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
kalimat. (5). Keterangan berfungsi melengkapi dan menjelaskan informasi pesan-pesan kalimat. Keterangan mempunyai fungsi sintaksis yang paling beragam dan paling mudah berpindah letaknya. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Penggunaan metode tersebut untuk memperoleh deskripsi secara faktual mengenai hal-hal yang akan di teliti yang sedang berlangsung pada masa sekarang. Penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang ada sehingga yang dihasilkan atau dicatat berupa perincian seperti potret paparan sebagaimana adanya (Sudaryanto 1988:62). Sumber data dalam penelitian ini adalah dokumen yang dipilih secara purposif sesuai dengan tujuan penelitian. Dokumen berupa naskah soal ulangan umum bersama semester genap SMA tahun pelajaran 2012/2013 di Kabupaten Muarojambi. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik observasi dan teknik catat atau rekam (Mahsun 2011: 90). Teknik ini dilakukan untuk memperoleh data secara langsung dari objek penelitian. Pengamatan dilakukan pada naskah soal ulangan umum bersama semester genap SMA di Kabupaten Muarojambi. Data kesalahan penulisan soal ulangan umum semester genap SMA di Kabupaten Muarojambi yang teramati dicatat atau direkam sebagai korpus data. Data yang sudah terkumpul atau data teridentifikasi dicatat dalam korpus data. Selanjutnya, data tersebut diklasifikasikan 162
dan dianalisis berdasarkan aspek dan tipe kesalahan. Sesuai dengan karakteristik data yang ingin diperoleh, penganalisisan data penelitian ini menggunakan teknik kualitatif. Hal ini sesuai dengan karakteristik data yang akan dideskripsikan (Mahsun, 2011). Berkaitan dengan ini, Ellis (dalam Tarigan, 2011: 68) mengemukakan bahwa langkah kerja analisis kesalahan berbahasa adalah mengumpulkan data, mengidentifikasikan data, menjelaskan kessalahan, dan mengevaluasikan. 2. Hasil dan Pembahasan Soal ulangan bersama semester genap SMA yang ada di Kabupaten Muarojambi merupakan hasil dari kumpulan beberapa soal dari guru-guru SMA di Kabupaten Muarojambi. Jadi, soal yang dianalisis merupakan soal ulangan umum bersama semester genap SMA di Kabupaten Muarojambi. Kesalahan Penulisan Kata Depan (preposisi) Kesalahan penulisan pada soal-soal ujian semester SMA di Kabupaten Muarojambi berupa pemakaian kata depan. Kesalahan pemakaian kata depan tersebut dapat dilihat pada data berikut ini. 1. Sebagai seorang siswa harus mengembangkan sikap positif terhadap pelaksanaan UUD 1945 terutama dilingkungan sekolah berupa(PKn/X/31/2013) 2. Azas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat atau Negara dimana dia dilahirkan(PKn/X/35/2013) 3. Segala warga Negara bersamaan kedudukannya didepan hukum dan
.
Kesalahan Penggunaan Kaidah Bahasa Indonesia dalam Penulisan Soal Ulangan Umum... Sarwono
pemerintahan, pernyataan tersebut terdapat dalam UUD 1945 terutama pada(PKn/X/43/2013) 4. Titik pusat terjadinya gempa yang terletak dilapisan bumi bagian dalam disebut(Geo/X/9/2013) 5. Suhu udara daerah tanjung priok pada keadaan normal 27°C, berapakah suhu udara dipuncak bogor, jika ketinggian 1.500 m diatas permukaan laut(Geo/X/27/2013) 6. Danau singkarak yang terdapat disumatera barat termasuk dalam jenis danau(Geo/X/432013) 7. Perhatikan contoh laut dibawah ini(Geo/X/46/2013) Data 1—8 terjadi kesalahan pada pemakaian kata depan (proposisi). Kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya. Data 1 terjadi kesalahan pada penulisan ‘dilingkungan’ seharusnya penulisan ‘di’ ditulis terpisah karena ‘di’ tersebut adalah kata depan. Penulisannya seharusnya menjadi ‘di lingkungan’. Data 2 terjadi kesalahan pada pemakaian kata ‘dimana’ seharusnya penulisan ‘di’ ditulis terpisah karena ‘di’ tersebut adalah kata depan. Penulisannya seharusnya menjadi ‘di mana’. Data 3 terjadi kesalahan pada pemakaian kata ‘didepan’ seharusnya penulisan ‘di’ ditulis terpisah karena ‘di’ tersebut adalah kata depan. Penulisannya seharusnya menjadi ‘di depan’. Data 4 terjadi kesalahan pada pemakaian kata ‘disuatu’ seharusnya penulisan ‘di’ ditulis terpisah karena ‘di’ tersebut adalah kata depan. Penulisannya seharusnya menjadi ‘di suatu’. Data 5 terjadi kesalahan pada pemakaian kata ‘dilapisan’ seharusnya penulisan ‘di’ ditulis terpisah karena ‘di’ tersebut adalah kata depan. Penulisannya seharusnya menjadi ‘di lapisan’. Data 6 terjadi kesalahan
pada pemakaian kata ‘dipuncak’ dan ‘diatas’ seharusnya penulisan ‘di’ ditulis terpisah karena ‘di’ tersebut adalah kata depan. Penulisannya seharusnya menjadi ‘di puncak’ dan ‘di atas’. Data 7 terjadi kesalahan pada pemakaian ‘disumatera’ seharusnya penulisan ‘di’ ditulis terpisah karena ‘di’ tersebut adalah kata depan. Penulisannya seharusnya menjadi ‘di sumatera’. Data 8 terjadi keslahan pada penulisan kata ‘dibawah’ seharusnya penulisannya ‘di’ ditulis terpisah karena ‘di’ tersebut adalah kata depan. Penulisannya seharusnya ‘di bawah’. Kesalahan-kesalahan pada data di atas dapat diperbaiki menjadi bentuk-bentuk berikut ini. 1b. Sebagai seorang siswa harus mengembangkan sikap positif terhadap pelaksanaan UUD 1945 terutama di lingkungan sekolah berupa 2b. Azas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat atau Negara di mana dia dilahirkan 3b. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan, pernyataan tersebut terdapat dalam UUD 1945 terutama pada 4b. Jumlah seluruh jasa atau pergerakan faktor-faktor produksi yang diterima oeh rumah tangga keluarga di suatu negara adalah pengertian dari 5b. Titik pusat terjadinya gempa yang terletak di lapisan bumi bagian dalam disebut 6b. Suhu udara daerah Tanjung Priok pada keadaan normal 27°C, berapakah suhu udara di puncak Bogor, jika ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut 7b. Danau Singkarak yang terdapat di Sumatera Barat termasuk dalam jenis danau 8b. Perhatikan contoh laut di bawah ini 163
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
Kesalahan Penulisan Huruf Kapital Kesalahan penulisan pada soal-soal ujian semester SMA di Kabupaten Muarojambi berupa pemakaian huruf kapital. Kesalahan pemakaian huruf kapital tersebut dapat dilihat pada data berikut ini. 9. Gempa tektonik yang terjadi di nanggroe aceh menimbulkan gelombang tsunami yang disebabkan oleh(Geo/X/10/2013) 10. Iklim di Indonesia berakibat gagal panen yang disebabkan oleh melemahnya angin pasat tenggara dan peredaran arus hangat di samudra pasifik disebut gejala(Geo/X/39/2013) 11. Danau singkarak yang terdapat disumatera barat termasuk dalam jenis danau(Geo/X/43/2013) 12. Daerah tundra di amerika utara dan padang pasir di texas, amerika barat menunjukkan adanya keanekaragaman(Bio/X/4/2013) 13. Kondisi berikut ini yang tidak mendukung terdapatnya keanekaragaman hayati yang tinggi di indonesia adalah(Bio/X/5/2013) 14. Daerah-daerah di Asia tanggara yang memiliki bukti paling awal dalam pembuatan benda-benda perunggu adalah(Sej/X/42/2013) Data 9 terjadi kesalahan pada penulisan kata ‘nangro aceh’ seharusnya penulisan ‘Nangro Aceh’ ditulis dengan huruf kapital karena ‘Nangro Aceh”’ tersebut adalah nama geografi. Data 10 terjadi kesalahan pada pemakaian kata ‘samudra pasifik’ seharusnya penulisan ‘samudra pasifik’ ditulis dengan huruf awal kapital karena ‘samudra pasifik’ tersebut adalah nama geografi. Penulisannya seharusnya menjadi ‘Samudra Pasifik’. Data 11 terjadi kesalahan pada pemakaian kata ‘singkarak’ seharusnya penulisan ‘singkarak’ ditulis dengan huruf awal kapital karena ‘singkarak’ tersebut 164
adalah nama sebuah danau. Penulisannya seharusnya menjadi ‘Danau Singkarak’. Data 12 terjadi kesalahan pada pemakaian kata ‘tundra, amerika utara, texas, dan amerka barat’ seharusnya penulisan ditulis dengan huruf awal kapital karena ‘tundra, amerika utara, texas, dan amerika barat’ tersebut adalah nama geografi. Penulisannya seharusnya menjadi ‘Tundra, Amerika Utara, Texas, dan Amerika Barat’. Data 13 terjadi kesalahan pada penulisan kata ‘indonesia’ seharusnya penulisan ‘indonesia’ ditulis dengan huruf awal capital karena ‘indonesia’ tersebut adalah nama geografi. Penulisannya seharusnya menjadi ‘Indonesia’. Data 14 terjadi kesalahan pada penulisan kata ‘tenggara’ seharusnya penulisan ‘tenggara’ ditulis dengan huruf awal kapital karena ‘tenggara’ tersebut adalah nama geografi. Penulisannya seharusnya menjadi ‘Asia Tenggara’. Kesalahan-kesalahan pada data di atas dapat diperbaiki menjadi bentuk-bentuk berikut ini. 9b. Gempa tektonik yang terjadi di Nanggroe Aceh menimbulkan gelombang tsunami yang disebabkan oleh 10b. Iklim di Indonesia berakibat gagal panen yang disebabkan oleh melemahnya angin pasat tenggara dan peredaran arus hangat di Samudra Pasifik disebut gejala 11b. Danau Singkarak yang terdapat di Sumatera Barat termasuk dalam jenis danau 12b. Daerah tundra di Amerika Utara dan padang pasir di Texas, Amerika Barat menunjukkan adanya keanekaragaman 13b. Kondisi berikut ini yang tidak mendukung terdapatnya keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia adalah
.
Kesalahan Penggunaan Kaidah Bahasa Indonesia dalam Penulisan Soal Ulangan Umum... Sarwono
14b. Daerah-daerah di Asia Tenggara yang memiliki bukti paling awal dalam pembuatan benda-benda perunggu adalah Kesalahan Penulisan Kata Kesalahan penulisan pada soal-soal ujian SMA di Kabupaten Muarojambi berupa penulisan kata. Kesalahan penulisan kata tersebut dapat dilihat pada data berikut ini. 15. Rumusan Pancasila yang syah dan benar adalah yang terdapat dalam(PKn/X/2/2013) 16. Aktifitas manusia yang dapat menyebabkan terjadinya lahan kritis adalah(Geo/X/21/2013) 17. Azas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat(PKn/X/35/2013) 18. Rubahlah(Arab/XI/4/2013) 19. Vertebrata andalan propinsi Jambi yang berpotensi sebagai ekspor non migas adalah(Bio/X/30/2013) 20. Bagaimana fungsi pers pada masyarakat demokrasi dan masyarakat non demokrasi(otoriter). (PKN/XII/2/2013) 21. Jumlah seluruh jasa atau pergerakan factor-faktor produksi yang diterima oeh rumah tangga keluarga disuatu Negara adalah pengertian dari(Ek/X/7/2013) Data 15—18 terjadi kesalahan penulisan kata tidak baku. Data 15 terjadi kesalahan penulisan kata ‘syah’, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baku adalah ‘sah’ tanpa huruf ’y’. Data 16 terjadi kesalahan dalam penulisan kata ‘aktifitas’, seharusnya ‘aktivitas’. Data 17 terjadi kesalahan penulisan kata ‘azas’, seharusnya ‘asas’. Data 18 terjadi kesalahan penulisan kata ‘rubahlah’, seharusnya ‘ubahlah’. Data 19—20 terjadi kesalahan penulisan bentuk terikat. Bentuk terikat penulisannya harus diserangkai dengan kata yang mengikutinya.
Data 19—20 bentuk terikat ‘non’ seharusnya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, yaitu ‘nonmigas’ dan nondemokrasi’. Data 21 terjadi kesalahan penulisan bentuk ‘di’ dalam kata ‘disuatu’ seharusnya ditulis terpisah karena ‘di’ berupa kata depan. Kesalahan data di atas dapat diperbaiki sebagai berikut. 15b. Rumusan Pancasila yang sah dan benar adalah yang terdapat dalam 16b. Aktivitas manusia yang dapat menyebabkan terjadinya lahan kritis adalah 17b. Asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat 18b. Ubahlah 19b. Vertebrata andalan Provinsi Jambi yang berpotensi sebagai ekspor nonmigas adalah 20b. Bagaimana fungsi pers pada masyarakat demokrasi dan masyarakat nondemokrasi(otoriter). 21b. Jumlah seluruh jasa atau pergerakan factor-faktor produksi yang diterima oeh rumah tangga keluarga di suatu negara adalah pengertian dari Penulisan Huruf Miring Kesalahan penulisan pada soal-soal ujian semester SMA di Kabupaten Muarojambi berupa penulisan huruf miring. Kesalahan penulisan huruf miring tersebut dapat dilihat pada data berikut ini. 22. Semua aturan yang dituangkan dalam sebuah naskah Documentary Contitution dan telah dikodifikasikan merupakan pengertian(PKn/X/10/2013) 23. Kelompok bermain dikenal dengan istilah(Sos/X/7/2013) a. disscussioon group b. peer group c. party group
165
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
24. Kebijakan pemerintah dengan menjual atau membeli suart-surat berharga dalam kebijakan moneter disebut kebijakan(Eko/X/40/2013) a. Reserve Requirement Policy b. Rediscount Rate Policy c. Kredit Selektif d. Open Mouth Policy e. Open market operation 25. Pernyataan berikut bukan merupakan cirri kingdom plantae!(Bio/X/11/2013) 26. Cacing berikut ini yang tergolong Nemathelmintes adalah(Bio/X/24/2013) 27. Fosil jenis manusia purba Meganthropus paleojavanicus ditemukan oleh(Sej/X/3/2013) Data 22—24 terjadi kesalahan penulisan ungkapan asing. Dalam Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan disebutkan bahwa huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan ungkapan asing. Data 24—26 terjadi kesalahan dalam penulisan nama ilmiah. Nama ilmiah harus ditulis dengan huruf miring sesuai dengan kaidah ejaan. Kesalahan data di atas dapat diperbaiki sebagai berikut. 22b. Semua aturan yang dituangkan dalam sebuah naskah Documentary Contitution dan telah dikodifikasikan merupakan pengertian 23b. Kelompok bermain dikenal dengan istilah(Sos/X/7/2013) a. disscussioon group b. peer group c. party group 24b. Kebijakan pemerintah dengan menjual atau membeli suart-surat berharga dalam kebijakan moneter disebut kebijakan(Eko/X/40/2013) a. Reserve Requirement Policy b. Rediscount Rate Policy c. Kredit Selektif d. Open Mouth Policy e. Open market operation
166
25b. Pernyataan berikut bukan merupakan cirri kingdom plantae! 26b. Cacing berikut ini yang tergolong Nemathelmintes adalah 27b. Fosil jenis manusia purba Meganthropus paleojavanicus ditemukan oleh Penggunaan Tanda Baca Kesalahan penulisan pada soalsoal ujian semester SMA 3 Muarojambi berupa penggunaan tanda baca. Kesalahan penggunaan tanda baca tersebut dapat dilihat pada data berikut ini. 28. Tulislah rumus persamaan akuntansi yang pernah anda pelajari.(Eko/ XI/2013) 29. Jelaskan apa pengertian perusahaan jasa dan beri contoh minimal 3 buah. (Eko/XI/2013) 30. Sebutkan dimensi dari massa, panjang, waktu, luas dan volume?(Fis/X/1/2013) 31. Pada periode 27 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950 terjadi perubahan mendasar terhadap bentuk Negara Indonesia dari Negara kesatuuan menjadi(PKn/X/25/2013) 32. Jika diketahui pendapatan suatu keluarga naik dari Rp.5.000.000 menjadi Rp.5.500.000 dan konsumsi juga naik dari Rp.4.000.000 menjadi Rp.4.400.000, maka besarnya MPC adalah(Eko/X/28/2013) Data 28 dan 29 terjadi kesalahan pada penggunaan tanda titik (.). Tanda titik seharusnya digunakan dalam kalimat berita sedangkan kalimat dalam data 28 dan 29 merupakan kalimat perintah sehingga tanda baca yang harus digunakan adalah tanda seru (!). Data 30 terjadi kesalahan pada penggunaan tanda tanya (?) pada akhir kalimat seharusnya tanda baca yang digunakan adalah tanda seru karena berupa kalimat perintah. Data 31 terjadi kesalahan pada penggunaan tanda
.
Kesalahan Penggunaan Kaidah Bahasa Indonesia dalam Penulisan Soal Ulangan Umum... Sarwono
garis miring pada ‘s/d’ seharusnya ‘s.d.’ karena singkatan umum yang terdiri dari dua huruf penulisannya diikuti tanda titik. Data 32 terjadi kesalahan pada penulisan mata uang rupiah yang diikuti tanda titik. Dalam buku Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan disebutkan bahwa lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti tanda titik. Kesalahankesalahan pada data di atas dapat diperbaiki menjadi bentuk-bentuk berikut ini. 28b. Tulislah rumus persamaan akuntansi yang pernah anda pelajari! 29b. Jelaskan apa pengertian perusahaan jasa dan beri contoh minimal 3 buah! 30b. Sebutkan dimensi dari massa, panjang, waktu, luas dan volume! 31b. Pada periode 27 Desember 1949 s.d. 17 Agustus 1950 terjadi perubahan mendasar terhadap bentuk Negara Indonesia dari Negara kesatuuan menjadi 32b. Jika diketahui pendapatan suatu keluarga naik dari Rp5.000.000,00 menjadi Rp5.500.000,00 dan konsumsi juga naik dari Rp4.000.000,00 menjadi Rp4.400.000,00, maka besarnya MPC adalah Struktur Kalimat Masalah struktur kalimat bahasa Indonesia yang ditemukan meliputi kerancuan kalimat, ketidaklengkapan unsur kalimat, penggalan kalimat, pemakaian dua kata yang bersinonim, dan pemakaian konjungsi dan pada kalimat yang berbeda, dan sebagainya. 33. Wilayah laut yang terletak antara garis air surut dengan air pasang adalah zona Seharusnya: Wilayah laut yang terletak antara garis air surut dan air pasang adalah zona
34. Jika diketahui fungsi konsumsi suatu keluarga C 400.000 + 0,85 Y, maka besarnya fungsi tabungan keluarga tersebut adalah Seharusnya: Jika diketahui fungsi konsumsi suatu keluarga C= 400.000 + 0,85 Y, besarnya fungsi tabungan keluarga tersebut adalah 35. Yang bukan merupakan tujuan diadakannya perubahan suatu UUD adalah Seharusnya: Pernyataan yang bukan merupakan tujuan iadakannya perubahan suatu UUD adalah Pemakaian dua kata yang yang maknanya sama bersama-sama itu tidak efisien. Pemakaian dua kata bersinonim itu akan menimbulkan penalaran yang tidak benar atau merusak jalan pikiran. Yang benar adalah memakai hanya salah satu dari dua kata itu seperti tampak pada contoh dan solusi berikut. 36. Jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan masyarakat (berbagai unit produksi) suatu negara dalam waktu tertentu, biasanya satu tahun adalah merupakan pendapatan nasional yang dihitung dengan pendekatan Seharusnya: Jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan masyarakat (berbagai unit produksi) suatu negara dalam waktu tertentu, biasanya satu tahun adalah pendapatan nasional yang dihitung dengan pendekatan (Jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan masyarakat (berbagai unit produksi) suatu negara dalam waktu tertentu, biasanya satu tahun merupakan pendapatan nasional yang dihitung dengan pendekatan)
167
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian di atas, diketahui bahwa kesalahan ejaan adalah kesalahan yang paling banyak ditemukan dalam penulisan soal ulangan umum bersama semester genap SMA di Kabupaten Muarojambi oleh guru daripada kesalahan diksi dan kalimat. Hal ini terjadi hampir di semua soal mata pelajaran SMA di Kabupaten Muarojambi. Kesalahan ejaan adalah kesalahan berbahasa yang paling dominan terjadi dalam wacana tulis jika dibandingkan kesalahan berbahasa yang lain. Adanya kesalahan ejaan dari temuan di
bahasa Indonesia yang telah ditentukan dalam praktik penulisan soal.
atas tidak sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan. Meskipun dalam buku tersebut sudah ada petunjuk bagaimana menggunakan ejaan yang tepat mulai dari kaidah penulisan huruf, penulisan kata, dan penggunaan tanda baca, guru masih sering salah dalam menerapkannya. Padahal, adanya kesalahan ejaan juga dapat menjadikan kualitas soal itu kurang baik. Ini sejalan dengan pendapat Jauhari (2007) yang mengemukakan bahwa ejaan merupakan komponen bahasa ragam tulis yang sangat menentukan benar salahnya sebuah tulisan. Untuk itu, tidak berlebihan jika penulis membuat pernyataan bahwa pada dasarnya kebanyakan guru masih belum bisa menerapkan kaidah bahasa Indonesia yang benar dalam menulis soal. Ada berbagai kondisi yang berpotensi memicu problematika kesalahan penulisan soal . Kondisi-kondisi itu antara lain, (1) Guru tidak begitu mempersoalkan hal-hal teknis terkait dengan masalah bahasa. (2) Banyak guru yang kurang perduli dengan kaidah-kaidah
terjadi karena beberapa faktor, seperti, perilaku pragmatis, ketidakcermatan dalam berbahasa tulis, dan terbatasnya pengetahuan. 2. Tingkat kesalahan yang ada bisa terlihat dari masih adanya kesalahan-kesalahan penerapan kaidah bahasa Indonesia dalam penulisan soal ulangan umum bersama semester genap. Secara teknis, kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan meliputi: (a) kesalahan ejaan, (b) kesalahan diksi, (c) kesalahan struktur kalimat. Pemakaian bahasa pada bidang resmi jika sampai menyangkut ketiga hal tersebut, berarti sudah bisa dijadikan sebagai ukuran bahwa yang bersangkutan belum bisa menerapkan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Lebih-lebih lagi jika ketiga bentuk kesalahan tersebut dilakukan dalam ukuran kuantitas dan kualitas yang cukup memprihatinkan.
168
3. Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Penggunaan kaidah bahasa Indonesia dalam pembuatan soal ulangan umum bersama semester genap SMA di Muarojambi masih banyak kesalahan dalam penerapan kaidah bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia yang taat asas masih sangat rendah
.
Kesalahan Penggunaan Kaidah Bahasa Indonesia dalam Penulisan Soal Ulangan Umum... Sarwono
Saran 1. Penerapan kaidah bahasa Indonesia dalam penulisan soal ulangan umum semester genap SMA di Kabupaten Muarojambi merupakan suatu masalah yang berkenaan dengan mutu sumber daya manusia (SDM), yaitu guru mata pelajaran yang harus menjadi anutan bagi peserta didik dalam berbahasa Indonesia. 2. Penguasaan kaidah bahasa Indonesia oleh guru mata pelajaran perlu ditingkatkan. 3. Dinas Pendidikan Kabupaten Muarojambi dapat memberi kesempatan kepada para guru untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia melalui penataran atau penyuluhan bahasa. 4. Penggunaan bahasa Indonesia sesuai kaidah dapat ditingkatkan melalui kegiatan penelitian tindakan kelas (PTK). Melalui PTK, seorang guru mata pelajaran dapat melatih penggunaan bahasa Indonesia yang taat asas. Daftar Pustaka Alwi, Hasan, dkk. 2010. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta:Balai Pustaka. Alwi, Hasan dkk.. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta: Balai Pustaka. Arifin, E Zaenal dan S. Amran Tasai. 2008. Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi:Sebagai Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian. Jakarta:Akapress. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Yogyakarta: Rineka Cipta.
Azwar, Saifuddin. 2011. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta. David H., Voelker, MA, Peter Z. Orton, Ed M, dan Scott V. Adams 2004. CliffsQuickReviewTM Statistics. 2004: Bandung: Pakar Raya. Finoza, Lamuddin. 2009. Komposisi Bahasa Indonesia Untuk Mahasiswa Nonjurusan Bahasa. Jakarta: Diksi Insan Mulia Hadi, Soetrisno. 1984. Statistik 2 .Cetakan IV. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Jauhari, H. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung : CV. Pustaka Setia. Karsana, Deni. 2009. “Kesetiaan Berbahasa Sunda di Daerah Istimewa Yogyakarta”. Tesis. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Mahsun, 2011. Metode Penelitian Bahasa, Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Mulyasa. 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosadakarya. Pateda, Mansoer.1989. Analisis Kesalahan. Flores: Nusa Indah. Purwo, Bambang Kaswanti (Ed.). 2000. Kajian Serba Linguistik untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Rahayu, Yayuk Eny dan Ari Listyorini. 2009. “Sikap Bahasa Wanita Karir dan 169
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
Implikasinya pada Pemertahanan Bahasa Jawa di Wilayah Yogyakarta”. Laporan Penelitian Kajian Wanita. Fakultas Bahasa dan Seni Uiversitas Negeri Yogyakarta. Slameto. 2001.Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik: Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sugiono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,dan R&D. Bangdung:
Sumarsono dan Paina Martana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda. Taha, Zainuddin. 2008. Gapura Bahasa Kumpulan Makalah Pilihan tentang Bahasa dan Pengajaran Bahasa. Seri Monografi Bahasa, Sastra, dan Pengajaran Bahasa. Makassar: Badan Penerbit UNM. Tarigan, H.G. 2011. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Wiranta, Sukarna, 2008. Modul Diklat Fungsional Peneliti Tingkat Pertama (bidang IPS), cetakan pertama,
Alfabeta. Suhardi, Basuki. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjanadan Mahasiswa di Jakarta. Jakarta: FSUI.
Januaria 2007. Bogor: Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI).
170
Proses Pembelajaran Kemampuan Menulis dan Dasar Argumen Keyakinan Guru di Sekolah Menengah Pertama Nusa The Process of Learning of Writing Skill and Teachers’ Confidence Argument Base In Nusa Junior High School Herman Budiyono Universitas Jambi Pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Proses pembelajaran menulis harus ditangani secara seksama sehingga pelaksanaannya dapat efektif dan efisien. Guru yang berkualitas akan menciptakan proses pembelajaran yang berkualitas. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan proses pembelajaran kemampuan menulis di SMP Nusa dan dasar argumen keyakinan guru tentang penerapan proses pembelajaran tersebut. Penelitian ini menggunakan penelitian kelas berpendekatan kualitatif. Proses pembelajaran kemampuan menulis dan dasar argumen keyakinan guru tersebut dideskripsikan sesuai dengan rinciannya masing-masing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pembelajaran kemampuan menulis di SMP Nusa dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan tahapan-tahapan proses menulis, yaitu prapenulisan, penulisan draf, revisi (isi, retorika,dan kalimat), dan revisi (ejaan dan tanda baca). Pada tiap-tiap tahapan itu digunakan beberapa strategi dan prosedur tertentu yang didasari oleh dasar argumen keyakinan guru. Menurut guru, strategi dan prosedur yang diterapkan dalam pembelajaran dapat melatih siswa berpikir kreatif, selektif, asosiatif, skematis, dan analitis Kata Kunci: proses pembelajaran, kemampuan menulis, dasar argumen guru ABSTRACT The learning process of writing must be conducted carefully so that it can be effective and efficient. Qualified teachers will be able to create a qualified learning process. The purpose of this research is to describe the process of learning of writing skill in Nusa Junior High School and teachers’ confidence argument base and to apply it in the learning process. This research applies classroom research with qualitative approach. The process of learning of writing skill and teachers’ confidence argument base is describe according to each detail. Result of research indicates that learning process of writing skill in Nusa Junior High School is executed step by step according to the process writing, that is prewriting, draft writing, revision (content, rhetorics, and sentence) and revision (spelling and punctuation mark). Every step is applied by some certain strategies and procedure constituted by teachers’ confidence argument base, that is the strategy and the procedure can train students to think creatively, selectively, associatively, scematically, and analytically. Keywords: learning process, writing skills, argument base of teacher
171
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
1. Pendahuluan Teori pembelajaran bahasa, termasuk menulis, tidak bisa diandalkan tanpa melibatkan data proses pembelajaran di kelas. Proses pembelajaran merupakan hal penting dalam pendidikan (Baradja, 1998:6). Hasil penelitian berorientasi kelas dapat dipakai sebagai dasar atau bahan pertimbangan dalam perencanaan pendidikan, misalnya untuk pengembangan kurikulum, penyiapan materi, pelatihan guru, dan pemanfaatan teknik pembelajaran (Chaudron, 1990:1). Oleh karena itu, agar perencanaan pendidikan dapat efektif dan efisien perlu adanya kajian atau penelitian langsung di dalam kelas ketika terjadi proses pembelajaran, yang hasilnya dipakai untuk bahan pertimbangan pengambilan kebijakan pendidikan. Proses pembelajaran yang berkualitas akan bermuara pada hasil belajar yang berkualitas pula. Guru berkualitas akan menciptakan proses pembelajaran yang berkualitas. Sesuai dengan pernyataan tersebut, Dunkin dan Biddle (1974:15) menyatakan bahwa pembelajaran mempunyai hubungan langsung dengan proses pembelajaran yang bersangkutan. Oleh karena itu, agar kemampuan menulis dapat ditingkatkan kualitasnya, proses pembelajaran menulis harus ditangani secara saksama sehingga pelaksanaannya dapat efektif dan efisien. Namun, sebelum itu semua perlu adanya kajian yang mendalam lebih dahulu mengenai bagaimana proses pembelajaran menulis yang benar-benar terjadi di dalam kelas. Mengingat pentingnya penelitian kelas seperti yang telah diuraikan di atas, peneliti mengadakan penelitian berfokus pada proses 172
pembelajaran menulis. Menurut peneliti, proses pembelajaran kemampuan menulis perlu dikaji, sebab apa yang dilaksanakan oleh guru tentu telah diyakininya sebagai strategi-strategi yang terbaik dalam usahanya mencapai tujuan pembelajaran kemampuan menulis. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Peck (1988:4), bahwa guru diyakini akan melakukan sesuatu (proses pembelajaran) dengan cara yang paling baik. Hal tersebut merupakan teori guru (dasar argumen keyakinan guru). Proses pembelajaran yang berkualitas perlu dideskripsikan, termasuk pembelajaran menulis. Deskripsi proses pembelajaran berkualitas dapat dimanfaatkan oleh pihak lain dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajarannya. Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti mengkaji proses pembelajaran menulis yang diterapkan oleh guru berkualitas baik di SMP Nusa (selanjutnya disebut SMP-Ns). Penelitian ini mengkaji proses pembelajaran kemampuan menulis (PP-KM) yang dilaksanakan oleh seorang guru SMP-Ns yang berkualitas baik. Ia adalah seorang guru yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: berpengalaman mengajar dalam bidang dan kewenangannya lebih dari lima belas tahun, melaksanakan pembelajaran menulis secara efektif, menerapkan pendekatan komunikatif dan integratif, dan melaksanakan pembelajaran menulis berdasarkan “dasar argumen keyakinan guru (DAKG)” yang telah diyakininya dapat membina kemampuan siswa. Berdasarkan uraian tersebut, masalah penelitian ini adalah bagaimanakah PPKM di dalam kelas SMP-Ns dan DAKG tentang penerapan PP-KM tersebut? Tujuan
Proses Pembelajaran Kemampuan Menulis dan Dasar Argumen Keyakinan Guru... Herman Budiyono
penelitian adalah mendeskripsikan PP-KM di dalam kelas SMP-Ns dan DAKG tentang penerapan PP-KM tersebut. KerangkaTeori Baradja (1994:3) menyatakan bahwa proses pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dalam pendidikan. Dalam perkembangan teori pemerolehan bahasa (termasuk menulis), Long (1983:4) mengakui bahwa apa yang berlangsung di dalam kelas merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam menentukan bagaimana pembelajar memperoleh bahasa (menulis). Kelas dipandang bukan lagi sebagai kotak hitam yang tidak dapat dimasuki, tetapi dipandang sebagai latar untuk bidang penelitian yang vital. Digambarkan oleh Baradja (1992), proses pembelajaran, dari hakikatnya, terjadi dalam interaksi sosial. Interaksi tersebut terjadi dalam kelas yang ditandai oleh adanya kontak timbal-balik antara pengajar dengan pembelajar, dan antara pembelajar dengan pembelajar. Mengkaji kontak dan perilaku yang terjadi di dalam interaksi kelas seperti itu disebut penelitian interaksi dalam kelas. Penelitian tersebut oleh van Lier (1988:xii) disebut classroom process research. Akan tetapi, dalam tulisan ini, istilah yang digunakan adalah penelitian kelas. Menurut Dunkin dan Biddle (1974:3438), ada sejumlah isu penting yang berkenaan dengan penelitian kelas. Isu penting itu adalah bahwa variabel-variabel proses (process variables) yang hadir di dalam kelas dipengaruhi oleh unsur-unsur masukan (input), yang antara lain mencakup unsur (1) guru, (2) siswa, dan (3) lingkungan.
Masing-masing memiliki sejumlah variabel penentu (presage variables) yang dapat mempengaruhi pembelajaran di dalam kelas. Latar belakang guru, seperti pengalaman, pendidikan, tempat tinggal, dan sosial ekonomi yang mereka miliki dapat mempengaruhi kualitas pembelajaran di dalam kelas. Latar belakang siswa, seperti faktor keluarga, sosial-ekonomi, tempat tinggal yang melingkupinya, dan IQ juga dapat mempengaruhi kualitas pembelajaran di dalam kelas. Faktor lingkungan, seperti bahan pembelajaran, lingkungan sekolah, dan jumlah siswa, juga dapat mempengaruhi kualitas pembelajaran di dalam kelas. Metode Penelitian Rancangan penelitian ini adalah penelitian kelas berpendekatan etnografi (Chaudron, 1990:28-49). Teknik yang digunakan adalah studi diary. Penelitian itu bersandar pada pendekatan kualitatif. PPKM di SMP-Ns dan DAKG dikaji, kemudian dideskripsikan. Data penelitiannya berupa (1) data PP-KM dan (2) data DAKG. Data pertama dan kedua (a) dikumpulkan melalui pengamatan, perekaman, dan wawancara; (b) disusun dalam bentuk catatan lapangan; dan (c) dianalisis (Miles dan Huberman, 1984). Pengecekan keabsahan data PP-KM dan DAKG tersebut dilakukan dengan cara triangulasi sumber data dan metode. 2. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil Penelitian PP-KM di SMP-Ns dilaksanakan secara bertahap, yaitu (1) tahap PRP, (2) tahap PND, (3) tahap RVS-IRK, dan (4) tahap RVS-ETB. Pada tiap-tiap tahapan tersebut digunakan 173
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
strategi dan prosedur tertentu yang didasarkan pada DAKG .
prosedur itu tercermin dari rentetan aktivitas guru siswa (AGS) dalam pembelajaran yang bersangkutan.
A. Tahap PRP (1) Strategi dan Prosedur pada Tahap PRP Butir-butir materi pembelajaran yang dibahas pada tahap PRP dalam PP-KM di SMP-Ns adalah: penentuan topik sesuai tema, pengorganisasian gagasan sehubungan topik terpilih, penentuan atau pembahasan judul, dan penyusunan kerangka. Ketika itu digunakan strategi curah pendapat (SCP), strategi seleksi pilihan (SSP), dan strategi pengelompokan gagasan (SPG).
(2) Dasar Argumen Keyakinan Guru (DAKG) DAKG mengenai dipakainya SCP-PSCP, SSP-PSSP, dan SPG-PSPG karena masingmasing dapat memperlancar pencapaian salah satu tujuan pembelajaran yang dirumuskan pada PSP; SCP-PSCP dapat melatih siswa berpikir kreatif; SSP-PSSP dapat menciptakan situasi belajar baru dan memberikan batasan topik yang dipelajari (berpikir selektif); dan SPG-PSPG dapat
Implementasi SCP terlihat dari prosedur strategi curah pendapat (PSCP), SSP terlihat dari prosedur strategi seleksi pilihan (PSSP), dan SPG terlihat dari prosedur strategi pengelompokan gagasan (PSPG). Ketiga
melatih siswa berpikir asosiatif. Secara ringkas, materi bahasan, strategiprosedur yang digunakan, dan DAKG pada Tahap PRP dapat dilihat pada Tebel I berikut ini.
Tabel 1. Materi Bahasan, Strategi-Prosedur yang Digunakan, dan DAKG pada Tahap PRP Butir-butir Materi Bahasan a. Penentuan topik sesuai tema. b. Pengorganisasian gagasan shubungan topik terpilih. c. Penentuan atau pembahasan judul. d. Penyusunan kerangka.
Strategi dan Prosedur yang Digunakan Strategi
Prosedur *
SCP
PSCP
Strategi Curah Pendapatan
Prosedur Strategi Curah Pendapat
SSP
PSSP
Strategi Seleksi Pilihan
Prosedur Strategi Seleksi Pilihan
SPG
PSPG
Strategi Pengelompokan Gagasan
Prosedur Strategi Pengelompokan Gagasan
Keterangan: *: tercermin dalam rentetan aktivitas guru siswa
174
Dasar Argumen Keyakinan Guru (DAKG ) Dapat melatih siswa berpikir kreatif.
Dapat melatih siswa berpikir selektif.
Dapat melatih siswa berpikir asosiatif.
Proses Pembelajaran Kemampuan Menulis dan Dasar Argumen Keyakinan Guru... Herman Budiyono
B. Tahap PND (1) Strategi dan Prosedur pada Tahap PND Butir-butir materi pembelajaran yang dibahas dalam PP-KM di SMP-Ns pada tahap PND adalah penuangan gagasan (informasi) ke dalam draf, yakni proses penciptaan draf dan pengembangan paragraf-paragraf dalam draf. Ketika itu digunakan strategi pemanfaatan bagan tulisan (SPBT) dan strategi pemanfaatan bagan paragraf (SPBP). Implementasi SPBT terlihat dari prosedur strategi pemanfaatan bagan tulisan (PSPBT) dan SPBP terlihat dari prosedur strategi pemanfaatan bagan paragraf (PSPBP).
Prosedur itu tercermin dari rentetan AGS dalam PBM yang bersangkutan. (2) Dasar Argumen Keyakinan Guru (DAKG) DAKG mengenai dipakainya SPBTPSPBT dan SPBP-PSPBP karena masingmasing dapat memperlancar pencapaian salah satu tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan pada PSP dan dapat melatih siswa berpikir skematis. Secara ringkas, materi bahasan, strategiprosedur yang digunakan, dan DAKG pada Tahap PND dapat dilihat pada Tebel II berikut ini.
Tabel 2. Materi Bahasan, Strategi-Prosedur yang Digunakan, dan DAKG pada Tahap PND Butir-butir Materi Bahasan Penuangan Gagasan ke dalam Draf: a. Proses Penciptaan Draf. b. Pengembang-an paragraf-paragraf dalam Draf.
Strategi dan Prosedur yang Digunakan Strategi Prosedur *
Dasar Argumen Keyakinan Guru (DAKG )
SPBT
PSPBT
Strategi Pemanfaatan Bagan Tulisan
Prosedur Strategi Pemanfaatan Bagan Tulisan
SPBP
PSBP
Strategi Pemanfaatan Bagan Paragraf
Prosedur Strategi Pemanfaatan Bagan Paragraf
Dapat melatih siswa berpikir skematis.
Dapat melatih siswa berpikir skematis.
Keterangan: *: tercermin dalam rentetan aktivitas guru siswa
C. Tahap RSV-IRK (1) Strategi dan Prosedur pada Tahap RVSIRK Butir-butir materi pembelajaran yang dibahas pada tahap ini adalah perevisian draf mengenai: isi tulisan, retorika, dan kalimat. Perevisian isi berhubungan dengan pernyataan gagasan sentral pada paragraf pendahuluan,
pengembangan gagasan bawahan dalam paragraf penjelas, dan kesesuaian isi dengan topik. Perevisian retorika berhubungan dengan penerapan paragraf berdasarkan fungsinya dan pengembangan paragraf sesuai dengan persyaratannya. Perevisian kalimat berhubungan dengan ketunggalan makna, kelogisan, dan penggunaan penekanan 175
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
tertentu pada suatu kalimat. Ketika itu digunakan strategi revisi milik kelompok sendiri (SRMKS) dan strategi revisi milik siswa sendiri (SRMSS). Implementasi SRMKS terlihat dari prosedur strategi revisi milik kelompok sendiri (PSRMKS) dan SRMSS terlihat dari prosedur strategi revisi milik siswa sendiri (PSRMSS). Prosedur itu tercermin dari rentetan AGS dalam PBM yang bersangkutan.
(2) Dasar Argumen Keyakinan Guru (DAKG) DAKG mengenai dipakainya SRMKSPSRMKS dan SRMSS-PSRMSS karena masing-masing dapat memperlancar pencapaian salah satu tujuan pembelajaran yang dirumuskan pada PSP dan dapat melatih siswa berpikir analitis. Secara ringkas, materi bahasan, strategiprosedur yang digunakan, dan DAKG pada Tahap RVS-IRK dapat dilihat pada Tebel III berikut ini.
Tabel 3. Materi Bahasan, Strategi-Prosedur yang Digunakan, dan DAKG pada Tahap RVS-IRK Butir-butir Materi Bahasan Perevisian draf mengenai isi tulisan, retorika, dan kalimat.
Strategi dan Prosedur yang Digunakan Strategi
Prosedur *
SRMKS
PSRMKS
Strategi revisi milik kelompok sendiri.
Prosedur Strategi Revisi Milik Kelompok Sendiri
SRMSS
PSRMSS
Strategi revisi miliksiswa sendiri.
Prosedur Strategi Revisi Milik Siswa Sendiri
Dasar Argumen Keyakinan Guru (DAKG ) Dapat melatih siswa berpikir analitis.
Dapat melatih siswa berpikir Analitis .
Keterangan: *: tercermin dalam rentetan aktivitas guru siswa
D. Tahap RVS-ETB
sendiri (SRMKS), strategi revisi milik
(1) Strategi dan Prosedur pada Tahap RVSETB Butir-butir materi pembelajaran yang dibahas pada tahap ini adalah perevisian draf mengenai ejaan dan tanda baca. Pembahasan difokuskan pada ejaan dan tanda baca, antara lain: pemakaian huruf, penulisan kata, penulisan unsur serapan, dan pemakaian tanda baca. Ketika itu digunakan strategi revisi milik kelompok
kelompok lain (SRMKL), dan strategi revisi milik siswa sendiri (SRMSS). Implementasi SRMKS terlihat dari prosedur strategi revisi milik kelompok sendiri (PSRMKS), SRMKL terlihat dari prosedur strategi revisi milik kelompok lain (PSRMKL), dan SRMSS terlihat dari prosedur strategi revisi milik siswa sendiri (PSRMSS). Prosedur-prosedur itu tercermin dari rentetan AGS dalam PBM yang bersangkutan.
176
Proses Pembelajaran Kemampuan Menulis dan Dasar Argumen Keyakinan Guru... Herman Budiyono
(2) Dasar Argumen Keyakinan Guru (DAKG) DAKG mengenai dipakainya SRMKSPSRMKS, SRMKL-PSRMKL, dan SRMSSPSRMSS karena masing-masing dapat memperlancar pencapaian salah satu tujuan
pembelajaran yang dirumuskan pada PSP dan dapat melatih berpikir analitis. Secara ringkas, materi bahasan, strategiprosedur yang digunakan, dan DAKG pada Tahap RVS-IRK dapat dilihat pada Tebel IV berikut ini.
Tabel 4. Materi Bahasan, Strategi-Prosedur yang Digunakan, dan DAKG pada Tahap RVS-IRK Butir-butir Materi Bahasan Perevisian draf mengenai ejaan dan tanda baca: Pemakaian huruf. Penulisan kata. Penulisan unsur serapan. Pemakaian tanda baca
Strategi dan Prosedur yang Digunakan Strategi
Prosedur *
SRMKS
PSRMKS
Strategi Revisi Milik Kelompok Sendiri
Prosedur Strategi Revisi Milik Kelompok Sendiri
SRMKL
PAEMKL
Strategi Revisi Milik Kelompok Lain
Prosedur Strategi Revisi Milik Kelompok Lain
SRMSS
PSRMSS
Strategi Revisi Milik Siswa Sendiri.
Prosedur Strategi Revisi Milik Sendiri
Dasar Argumen Keyakinan Guru (DAKG ) Dapat melatih siswa berpikir Analitis.
Dapat melatih siswa berpikir analitis.
Dapat melatih siswa berpikir analitis.
Keterangan: *: tercermin dalam rentetan aktivitas guru siswa
Pembahasan Pembahasan ini mencakup dua hal, yaitu PP-KM dan kaitan antara hasil penelitian dan ilmu-ilmu lain. Proses Pembelajaran Kemampuan Menulis (PP-KM) Yang dimaksud PP-KM adalah proses aktivitas guru siswa (AGS) di dalam kelas yang tujuannya adalah siswa mampu menulis. Karena itu, semua AGS dalam PPKM tersebut berorientasi kepada pencapaian tujuan siswa memiliki kemampuan menulis.
Dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran KM, guru SMP-Ns melaksanakan PP-KM secara bertahap sesuai dengan tahapantahapan dalam proses menulis. Sebagai indikator pembeda antara tahapan sebelumnya dan tahapan berikutnya adalah satuan-satuan bahasan butir-butir materi pembelajaran dalam rangka pencapaian satuan-satuan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan pada Program Pembelajaran Menulis (PPM), kesesuaiannya dengan kegiatan-kegiatan pada proses menulis.
177
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
Ada dua alasan pokok yang mendasari dilaksanakannya PP-KM secara bertahap oleh guru SMP-Ns. Alasan pertama berhubungan dengan langkah-langkah sebelumnya yang telah mendahului atau mengawali pelaksanaan pembelajaran tersebut. Alasan kedua berhubungan dengan pengalaman mengajar yang dimiliki oleh guru tersebut, yang kemudian disebut dengan isstilah “dasar argumen keyakinan guru” (DAKG). Pertama, pelaksanaan PP-KM erat hubungannya dengan langkah-langkah yang mendahului atau mengawali pelaksanaan pembelajaran tersebut, sebab pada dasarnya
kerangka menjadi sebuah draf; dan merevisi atau menyunting draf yang telah ditulis menjadi sebuah tulisan. Dalam rangka mencapai tujuantujuan pembelajaran khusus yang telah dirumuskan dalam PPM, guru SMP-Ns mengimplementasikan kegiatan-kegiatan pada tahapan-tahapan proses menulis ke dalam PP-KM yang ia laksanakan. Alasannya, proses menulis pada dasarnya adalah tahapan-tahapan kegiatan dalam rangka menghasilkan suatu tulisan. Tahapan-tahapan itu meliputi PRP, PND, dan RVS (RVS-IRT dan RVS-ETB). Kegiatan dalam tahap PRP
pelaksanaan PP-KM merupakan tindak lanjut dari langkah-langkah kegiatan yang telah mendahului atau mengawalinya. Sehubungan dengan hal itu, dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran agar siswa mampu menulis, guru menempuh dua langkah pokok kegiatan, yaitu (1) PPM-KM dan mengimplementasikan PPM tersebut yang berupa pelaksanaan PP-KM. Dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan PP-KM, guru SMP-Ns memprogramkannya ke dalam tiga PPM. Tiap-tiap PPM-nya diprogramkan untuk dua kali pertemuan pembelajaran, dan setiap pertemuannya selama dua jam pelajaran (2 x 45 menit). Ketiga PPM yang disusun pada dasarnya terdiri atas lima tujuan pembelajaran khusus, yang merupakan jabaran dari tujuan pembelajaran umum “siswa mampu menulis”. Tujuan-tujuan pembelajaran khusus itu adalah siswa dapat menentukan atau memilih topik untuk dijadikan tulisan; menentukan judul tulisan; mengembangkan topik terpilih menjadi kerangka; mengembangkan
mencakup: penentuan topik, pembatasan topik, penentuan tujuan, penentuan bahan, dan penyusunan kerangka tulisan; PND mencakup: penyusunan paragraf berdasarkan fungsinya, pengembangan paragraf, penyusunan kalimat, dan penerapan ejaan dan tanda baca; RVS meliputi: revisi isi, retorika, dan kalimat (RVS-IRK) dan RVS ejaan dan tanda baca (RVS-ETB). Karena itu, nama tahapan dan kegiatan-kegiatan dalam PPKM yang dilaksanakan di SMP-Ns namanya sama dengan tahapan proses menulis. Kedua, pelaksanaan PP-KM di SMPNs erat hubungannya dengan pengalaman guru mengajar di sekolah. Berdasarkan pengalaman dia, pelaksanaan pembelajaran kemampuan menulis yang dilaksanakan secara bertahap memiliki beberapa keuntungan, yaitu PP-KM dapat terlaksana secara efektif, maksudnya aktivitas gurusiswa dalam pembelajaran mengarah pada pencapaian tujuan yang telah dirumuskan dalam PPM; siswa aktif terlibat selama pembelajaran berlangsung; dan siswa akan
178
Proses Pembelajaran Kemampuan Menulis dan Dasar Argumen Keyakinan Guru... Herman Budiyono
mendapatkan pengalaman menulis sesuai dengan proses menulis yang benar. Karena itulah, ia melaksanakan pembelajaran PPKM secara bertahap . Pelaksanaan pembelajaran PP-KM di SMP-Ns sesuai dengan tahapan-tahapan dalam proses menulis. Pembelajaran PPKM itu dilaksanakan secara bertahap, yaitu tahap PRP, PND, dan RVS (RVS-IRK dan RVS-ETB). Pada tiap tahapan itu digunakan strategi dan prosedur yang sesuai. Tahap PRP menggunakan SCP-PSCP; SSPPSSP; dan SPG-PSPG. PP-KM di SMP-Ns menggunakan PSCP lebih banyak dalam
IRK menggunakan SRMKS-PSRMKS serta SRMSS-PS RMSS. SRMKS-PSRMKS digunakan dalam diskusi kelompok, SRMSSPSRMSS dalam kerja mandiri. Tahap RVSETB menggunakan SRMKS-PSRMKS; SRMKL-PSRMKL; dan SRMSS-PSRMSS. SRMKS-PSRMKS dan SRMKL-PSRMKL digunakan dalam diskusi kelompok. SRMSSPSRMSS dalam kerja mandiri. Berdasarkan argumen keyakinan guru, pembelajaran menggunakan beberapa strategi agar pembelajaran lancar dan siswa dapat berpikir analitis.
penciptaan topik dan judul. Guru SMPNs menggunakan strategi dan prosedur itu agar pembelajaran lancar dan siswa dapat berpikir kreatif. SSP-PSSP digunakan dalam pembelajaran di SMP-Ns. Guru SMP-Ns menggunakan SSP-PSSP sebagai selingan dari penggunaan SCP-PSCP dalam PBM. SPG digunakan di SMP-Ns dalam pengorganisasian gagasan dan penyusunan kerangka. Dasar argumennya, supaya pembelajaran PP-KM lancar dan siswa belajar berpikir asosiatif. Tahap PND menggunakan SPBTPSPBT serta SPBP-PSPBP. Di SMP-Ns, SPBT-PSPBT digunakan dalam penuangan informasi dalam draf, sedangkan SPBPPSPBP digunakan dalam pengembangan paragraf. Berdasarkan argumen keyakinan guru, pembelajaran dapat lancar dan siswa dapat belajar berpikir skematis. Pada tahap RVS ada dua teknik pelaksanaan. Di SMP-Ns ada RVS-IRK dan RVS-ETB. Guru SMP-Ns bermaksud pembelajaran dapat efektif. Tahap RVS-
Kaitan Hasil penelitian dengan Ilmu Lain PP-KM yang telah dilaksanakan di SMPNs dapat mengembangkan daya pikir siswa. Pengembangan daya pikir merupakan bagian dari proses berpikir. Dalam proses berpikir tersebut di antaranya terdapat cara-cara pengambilan simpulan. Cara-cara seperti itu, oleh Suriasumantri (1988:46-47) disebut logika. Suasana kondusif pada PP-KM sangat menguntungkan siswa. Hal itu sesuai dengan hipotesis saringan afektif yang dinyatakan oleh Dulay & Burt dalam Baradja (1990:54), yaitu apabila siswa belajar menulis dalam suasana kondusif (tidak tegang), siswa akan mudah memperoleh kemampuan menulis. Pembahasan materi pembelajaran secara bertahap pada PP-KM yang dilaksanakan dimaksudkan agar siswa memperoleh kemampuan menulis secara bertahap (bagian demi sebagian), memperoleh kemampuan menulis dari hal yang sederhana menuju ke hal yang lebih rumit (kompleks), dan memperoleh kemampuan menulis dari hal yang mudah ke hal yang lebih sulit (sesuai 179
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
dengan prinsip-prinsip pedagogi). Hasil penelitian ini antara lain menunjukkan bahwa dalam PP-KM halhal yang dibahas teknik-teknik penulisan (retorika), khususnya tentang penyusunan tulisan. Hal-hal tersebut dapat dipakai sebagai kontribusi dalam pengembangan retorika penulisan. Pembelajaran kemampuan menulis yang dilaksanakan telah dapat mengemban hakikat pembelajaran itu sendiri, yaitu menjadikan siswa mampu menulis. Berarti, pembelajaran tersebut sesuai dengan filsafat pendidikan.
yang menggunakan metode diskusi. Ketika itu siswa bebas menyatakan apa saja dalam rangka penentuan topik, gagasan bawahan, atau judul tulisan tertentu, tanpa kontrol yang ketat mengenai kebenaran yang dinyatakannya dan guru mendaftar apa saja yang dikemukakan atau dinyatakan oleh siswa. SSP adalah strategi untuk menentukan topik dengan cara menyeleksi beberapa topik yang ada. Salah satu hasil penyeleksiannya dijadikan topik yang dibahas dalam PP-KM. SSP digunakan dalam pembelajaran yang topik-topiknya sudah tersedia. SPG ialah strategi mengelompok-
3. Simpulan dan Saran PP-KM adalah proses AGS di dalam kelas yang tujuannya adalah siswa mampu menulis. Dalam rangka mencapai tujuan itu, guru SMP-Ns melaksanakan PP-KM secara bertahap, yaitu tahap PRP, PND, Rvs-IRK, dan Rvs-ETB. Pada tiap-tiap tahapan itu digunakan strategi-strategi dan prosedurprosedur tertentu. Dalam PP-KM pada tahap PRP diadakan pembahasan topik sesuai tema, organisasi gagasan sehubungan topik terpilih, judul tulisan, dan kerangka. Strategi yang digunakan pada tahap PRP adalah SCP, SSP, dan SPG. Implementasi SCP terlihat dalam PSCP, SSP terlihat dalam PSSP, dan SPG terlihat dalam PSPG. Prosedur-prosedur itu tercermin dari rentetan AGS dalam PBM di kelas. SCP adalah strategi mengeksplorasi gagasan, pengetahuan, atau pengalaman siswa sebanyak mungkin. Hal-hal itu dihubungkan dengan penentuan topik tulisan, gagasan bawahan, atau judul. SCP hanya dapat dilaksanakan dalam pembelajaran
ngelompokkan gagasan yang sejenis sesuai maksud dan tujuannya, yakni menjadikan gagasan-gagasan itu terorganisasi, dan tujuannya memanfaatkan gagasan-gagasan yang terorganisasi itu untuk penyusunan kerangka. SPG digunakan dalam PP-KM yang gagasan-gagasannya sudah tersedia, yang meliputi topik dan gagasan bawahan. Dalam PP-KM pada tahap PND diadakan pembahasan penuangan gagasan (informasi) ke dalam draf dan pengembangan paragraf-paragraf draf tersebut. Untuk itu, materi pembelajarannya mencakup penyusunan paragraf berdasarkan fungsinya; pengembangan paragraf berdasarkan persyaratannya; dan hal-hal yang perlu dinyatakan atau diuraikan dalam paragraf pendahuluan, penjelas, dan kesimpulan. Strategi yang digunakan dalam PP-KM di SMP-Ns pada tahap PND adalah SPBT dan SPBP. Implementasi SPBT terlihat dalam PSPBT dan SPBP terlihat dalam PSPBP. Kedua prosedur itu tercermin dari rentetan AGS dalam PP-KM tersebut.
180
Proses Pembelajaran Kemampuan Menulis dan Dasar Argumen Keyakinan Guru... Herman Budiyono
• SPBT adalah strategi menulis menggunakan bagan tulisan. Dalam rangka menulis digunakan Bagan Tulisan (BT). Menggunakan BT, draf tulisan yang dihasilkan dapat proporsional (mencakup: pendahuluan, isi, dan penutup). • SPBP adalah strategi menulis (mengembangkan paragraf) menggunakan BJP. Menggunakan BJP, paragraf-paragraf yang dihasilkan dapat sesuai dengan fungsi, persyaratan, dan jenis paragrafnya. Dalam PP-KM di SMP-Ns pada tahap RVS-IRK diadakan pembahasan penghalusan
Dalam PP-KM di SMP-Ns pada tahap RVS-ETB diadakan pembahasan perevisian draf mengenai ejaan dan tanda bacanya. Strategi yang digunakan pada tahap RVSETB itu ialah SRMKS, SRMKL, dan SRMSS. Implementasi SRMKS terlihat dalam PSRMKS, SRMKL terlihat dalam PSRMKL, dan SRMSS terlihat dalam PSRMSS. Prosedur-prosedur itu tercermin dari rentetan AGS dalam pembelajaran tersebut. • SRMKS adalah strategi perevisian draf milik kelompok siswa sendiri. Strategi itu digunakan dalam PP-KM di SMP-Ns
atau perevisian draf mengenai isi tulisan, retorika, dan kalimat dalam tulisan. Untuk itu, materi pembelajarannya mencakup isi tulisan (pernyataan tesis, pengembangan pernyataan tesis, dan relevansi isi dengan topik); retorika (penyusunan paragraf berdasarkan fungsinya dan pengembangan paragraf berdasarkan persyaratannya); dan kalimatkalimat (ketunggalan makna, kelogisan, dan penggunaan penekanan tertentu). Strategi yang digunakan pada tahap RVS-IRK adalah SRMKS dan SRMSS. Implementasi SRMKS terlihat dalam PSRMKS dan SRMSS terlihat dalam PSRMSS. Kedua prosedur itu tercermin dari rentetan AGS dalam PP-KM tersebut. • SRMKS adalah strategi perevisian draf milik kelompok sendiri. Pada tahap RVSIRK dalam PP-KM, strategi itu digunakan dalam diskusi kelompok. • SRMSS adalah strategi perevisian draf milik siswa sendiri. SRMSS itu digunakan dalam PP-KM SMP-Ns pada tahap RVS-IRK.
pada tahap RVS-ETB ketika pembelajaran menggunakan metode diskusi kelompok. • SRMKL adalah strategi perevisian draf milik kelompok siswa lain. Strategi itu digunakan dalam PP-KM di SMP-Ns pada tahap RVS-ETB ketika pembelajaran menggunakan metode diskusi kelompok, dan tiap-tiap kelompok siswa melaksanakan perevisian draf kelompok lain. • SRMSS adalah strategi perevisian draf tulisan siswa sendiri. SRMSS itu digunakan dalam PP-KM di SMP-Ns pada tahap RVS-ETB. Hasil penelitian ini mempunyai kaitan dengan logika, psikolinguistik, prinsip pedagogi, retorika, dan filsafat. Kaitanya dengan logika terlihat pada dilaksanakannya pengembangan proses berpikir (cara-cara pengambilan kesimpulan) dalam PP-KM. Kaitanya dengan psikolinguistik terlihat pada dilaksanakannya teori behavioristik, khususnya dalam pemerolehan bahasa (menulis) pada pembelajaran. Kaitannya 181
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
dengan prinsip pedagogi terlihat pada dilaksanakannya pembelajaran secara bertahap (bagian demi bagian), pembahasan materi dari hal yang sederhana menuju ke hal yang lebih rumit (kompleks), dan dari hal yang mudah ke hal yang lebih sulit. Kaitanya dengan retorika terlihat pada dilaksanakannya pembahasan teknik-teknik penulisan, yaitu cara menulis paragraf pendahuluan, paragraf penjelas, dan paragraf simpulan; cara menulis paragraf yang memenuhi syarat; dan cara menyusun tulisan. Kaitannya dengan filsafat terlihat pada adanya kesesuaian antara pembelajaran menulis yang telah
Daftar Pustaka Baradja, M. F. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa. Malang: Penerbit IKIP Malang. Baradja, M. F. 1994. Sambutan Promotor pada Promosi Rofi’uddin untuk Meraih Gelar Doktor dalam Bidang Pendidikan Bahasa. Malang: PPS IKIP Malang. Baradja, M.F. 1992. Sedikit Mengenai Penelitian Interaksi dalam Kelas. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional: Bulan Bahasa di IKIP Ujung Pandang.
dilaksanakan dengan hakikat pembelajaran itu sendiri. Maksudnya, pembelajaran itu benar-benar dapat mengemban hakikat pembelajaran, yaitu menjadikan siswa mampu menulis.
Baradja, M. F. 1998. Sambutan Promotor pada Ujian Akhir Berlin Sibarani untuk Meraih Gelar Doktor pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris. Malang: PPS IKIP Malang. Chaudron, C. 1990. Second Language Classrooms: Research on Teaching and Learning. Cambridge: Cambridge Universty Press. Dunkin, M. J. & Biddle, B. J. 1974. The Study of Teaching. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Long, M. H. 1983. Inside the “Black Box”: Metodological Issues in Classroom Research on Language Learning. Dalam Seliger, H. W. dan Long, M. H. (Eds.), Classroom Oriented Research in Second Language Acquisition (hlm. 3--38). New York: Newbury House Publishers, Inc. Miles, M.B. dan Huberman, A.M. 1984. Qualitative Data Analysisi: A Sourcebook of New Methods. New Delhi: Sage Publications Ltd.
Saran Berdasarkan temuan penelitian, dalam melaksanakan PP-KM, guru bahasa Indonesia (BI) disarankan melaksanakan pembelajarannya secara bertahap, yaitu tahap PRP, PND, RVS-IRK, dan RVSETB. Pada tiap tahapan, perlu digunakan strategi dan prosedur yang tepat dan bervariasi. Pihak penyusun kurikulum BI SMP dapat memanfaatkan hasil penelitian ini untuk bahan penyusunan petunjuk pelaksanaan pembelajaran kemampuan menulis bagi guru. Pihak berwenang dapat memanfaatkan hasil penenelitian ini sebagai salah satu bahan pelatihan guru. Pihak yang akan melaksanakan penelitian tindakan kelas dalam pembelajaran menulis dapat memanfaatkan hasil penelitian ini. 182
Proses Pembelajaran Kemampuan Menulis dan Dasar Argumen Keyakinan Guru... Herman Budiyono
Peck, A. 1988. Language Teacher at Work: A Description of Methods. New York: Prentice Hall. Suriasumantri, J. S. 1988. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan. van Lier, L. 1988. The Classroom and the Language Leaner: Ethnography and Second-Language Classroom Research. London: Longman.
183
Pelatihan dengan Penggunaan Alat Peraga Matematika dalam Upaya Peningkatan Kompetensi Menulis Eksposisi pada Guru SMA Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Training Using Mathematic Demonstrative Tools to Improve Teachers’ Competence in Writing Expository Text for The High School Indonesian Teachers Hendry Akbar Pengawas SMA Kabupaten Muaro Jambi
[email protected]
ABSTRAK Pembelajaran menulis merupakan muara dari seluruh aspek keterampilan berbahasa. Sebagai seorang guru harus lebih meningkatkan kompetensi dirinya dalam menulis melalui pembelajaran maupun pelatihan agar merek bisa memotivasi siswa untuk meningkatkan kemampuan mereka. Penelitian ini bertujuan ingin membuktikan apakah dengan pelatihan menggunakan alat peraga matematika dapat meningkatkan kompetensi guru bahasa Indonesia dalam menulis eksposisi. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan sekolah dengan subjek penelitian dua puluh guru anggota MGMP Bahasa Indonesia SMA Kabupaten Muarojambi. Hasil penelitian tindakan menunjukkan bahwa pelatihan dengan penggunaan alat peraga matematika dapat meningkatkan kompetensi guru menulis eksposisi. Kata kunci: pelatihan, alat peraga matematika, menulis eksposisi ABSTRACT Writing study is the end of all aspects of language skills. Teachers are supposed to improve their competence in writing through learning and training so that they can motivate the students to improve theirs. This research is aimed to prove if the training using mathematics demonstrating tools can improve Indonesian teachers’ competence in writing expository texts. This is a school action research with twenty teachers as the subject. They are the members of MGMP Senior High School Indonesian Teachers of Muarojambi Regency. The result shows that the training using mathematical demonstrative tools can improve teachers’ competence in writing expository texts. Keywords: training, mathematics demonstrating tools, writing expository texts.
184
.
Pelatihan dengan Penggunaan Alat Peraga Matematika dalam Upaya Peningkatan... Hendry Akbar
1. Pendahuluan Menulis merupakan suatu kegiatan komunikasi berupa penyampaian pesan (informasi) secara tertulis kepada pihak lain dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya (Dalman, 2014:3). Kegiatan menulis melibatkan beberapa unsur, yaitu: peneliti sebagai penyampai pesan, isi tulisan, saluran atau media dan pembaca. Dengan kegiatan menulis ini orang dapat menyampaikan ide, gagasan dari dirinya kepada orang dalam bentuk tulis. Menulis merupakan sebuah keterampilan. Keterampilan menulis harus mutlak
keterampilan menulis eksposisi nantinya dapat membuat siswa maupun guru untuk menyumbangkan ide dalam bentuk tulisan di media cetak karena sebagian besar teks disusun dalam bentuk eksposisi. Untuk itu, guru dan siswa wajib memiliki kompetensi tinggi terhadap tulisan eksposisi. Berdasarkan pengamatan peneliti sebagai pengawas sekolah menengah atas di lingkungan pendidikan Kabupaten Muarojambi, sebagian besar siswa kurang terampil menulis. Penyebab kurang terampilnya siswa dalam menulis adalah: 1) menulis itu sulit, 2) motivasi siswa untuk
dikuasai oleh siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Ini disebabkan oleh menulis merupakan pengetahuan dan keterampilan yang merupakan dasar dari seluruh kegiatan dalam pendidikan. Dengan kata lain, pembelajaran menulis merupakan muara dari seluruh aspek keterampilan berbahasa. Salah satu bentuk kegiatan menulis adalah menulis eksposisi atau menulis eksposisi. Menurut Semi (2007:61), eksposisi merupakan tulisan yang jumlahnya banyak sekali. Hampir semua tulisan selain tulisan narasi digolongkan ke dalam eksposisi. Contoh karya tulis eksposisi adalah buku pelajaran sekolah, petunjuk menjalankan mesin, petunjuk cara bertani, petunjuk merawat wajah, semua label makan atau minuman, kamus, surat menyurat, berita di surat kabar, skripsi, dan tesis. Jadi, dengan banyaknya bentuk wacana yang berasal dari tulisan terutama eksposisi, tentu kegiatan menulis sangat penting bagi siswa maupun guru. Adanya penguasaan
menulis kurang, 3) pembelajaran menulis monoton, 4) guru jarang memberi tugas menulis kepada siswa, 5) guru jarang menilai hasil tulisan siswa, dan 6) guru kurang menguasai materi menulis (Akbar dkk, 2004:7). Di samping itu, kekurangmampuan siswa menulis disebabkan oleh guru hanya memberikan contoh yang ada di buku. Sebagian besar guru hanya memberikan tugas mengarang sesuai dengan yang ada di buku, bukan hasil pengamatannya. Hal yang sama sebenarnya sudah lama diberitakan Harian Kompas (2000) yang menyatakan bahwa guru harus lebih meningkatkan kompetensi dirinya dalam menulis melalui pembelajaran maupun pelatihan agar siswa memiliki kompetensi yang tinggi dalam menulis. Permasalahan yang mendasar dalam penelitian ini adalah rendahnya kemampuan guru dalam menulis eksposisi. Oleh sebab itu, diperlukan langkah perbaikan yang harus dilakukan pengawas sekolah. Karena guru juga seorang pembelajar, tentu diperlukan 185
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
cara pembelajaran yang tepat agar guru dengan mudah memahami materi pelajaran dan mampu meningkatkan kompetensi pembelajaran. Sesuai dengan tugas peneliti sebagai seorang supervisor akademik, yang perlu dibenahi adalah bagaimana guru menguasai materi menulis. Pengalaman peneliti selama menjadi guru di SMP Negeri 6 Jambi, SMA Negeri 3 Jambi, dan SMA Titian Teras Jambi menyatakan bahwa membelajarkan menulis eksposisi itu tidak sukar. Ada satu cara pembelajaran menulis yang dapat meningkatkan kompetensi siswa dalam
pernah diteliti oleh peneliti lainnya. Dengan demikian, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah dengan pelatihan menggunakan alat peraga matematika dapat meningkatkan kompetensi guru bahasa Indonesia menulis eksposisi? Tujuan penelitian ini adalah ingin membuktikan apakah dengan pelatihan menggunakan alat peraga matematika dapat meningkatkan kompetensi guru bahasa Indonesia menulis eksposisi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengawas sekolah yakni sebagai masukan dan rujukan dalam upaya
menulis eksposisi. Cara itu adalah menggunakan alat peraga matematika dalam pembelajaran menulis. Tujuannya adalah meningkatkan kompetensi siswa dalam menulis baik dari segi panjang tulisan maupun isi tulisan tersebut. Cara ini mengantarkan peneliti menjadi salah satu finalis Lomba Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran tahun 2001 di Jakarta. Untuk itu, peneliti mencoba memberikan pelatihan guru menulis eksposisi dengan menggunakan alat peraga matematika. Alasan peneliti menggunakan alat peraga matematika adalah sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian menggunakan alat peraga matematika hanya digunakan pada mata pelajaran matematika dan kelihatan berhasil meningkatkan kompetensi siswa. Peneliti berkeyakinan bahwa penelitian yang menggunakan alat peraga matematika dapat meningkatkan kompetensi guru menulis eksposisi. Juga, penggunaan alat peraga matematika dalam upaya peningkatan kompetensi guru menulis eksposisi belum
meningkatkan kompetensi guru dalam pembelajaran menulis eksposisi. Di samping itu, juga bermanfaat bagi guru bahasa Indonesia lainnya yakni penggunaan alat peraga matematika dalam membelajarkan menulis eksposisi kepada siswa.
186
Kerangka Teori Pelatihan berasal dari kata latih. Latih berarti ajar. Pelatihan berarti proses, cara, perbuatan melatih; kegiatan atau pekerjaan melatih (Pusat Bahasa, 2008:794). Melatih berarti mengajar seseorang dan sebagainya agar terbiasa (mampu) melakukan sesuatu; membiasakan diri (belajar). Agar pelatihan dapat mencapai sasaran dibutuhkan teknik dan alat bantu. Alat yang dimaksudkan alat membantu memudahkan orang yang dilatih untuk memahami materi pelatihan. Dalam dunia pendidikan dinamakan alat peraga karena berfungsi untuk membantu dan meragakan sesuatu dalam proses pembelajaran. Jadi untuk lebih mudahnya setiap sumber belajar
.
Pelatihan dengan Penggunaan Alat Peraga Matematika dalam Upaya Peningkatan... Hendry Akbar
yang dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam pembelajaran dinamakan alat peraga (Widyantini dan Sigit Tri Guntoro, 2010:6). Sudjana (2002 :59) mendefinisikan bahwa alat peraga adalah suatu alat yang dapat diserap oleh mata dan telinga dengan tujuan membantu guru agar proses belajar mengajar siswa lebih efektif dan efisien. Sukayati dan Agus Suharjana (2009:6-7) memaknai alat peraga sebagai media pembelajaran yang mengandung atau membawakan ciri-ciri konsep yang dipelajari. Contoh: papan tulis, buku tulis, dan daun pintu yang berbentuk persegi panjang yang dapat berfungsi sebagai
bahan pelajaran yang hendak diajarkan; 2) menetapkan atau memperhitungkan subjek dengan tepat, artinya perlu diperhitungkan tingkat kemampuan/kematangan anak didik; 3) menyajikan alat peraga dengan tepat, dan ; 4) menempatkan dan memperlihatkan alat peraga pada waktu, tempat, dan situasi yang tepat. Sesuai dengan prinsip-prinsip penggunaan alat peraga tersebut, alat peraga tentu dapat digunakan pada berbagai mata pelajaran, di antaranya menulis. Menulis dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan dengan menggunakan tulisan sebagai mediumnya.
alat peraga pada saat menerangkan bangun geometri dalam persegi panjang. Fungsi utama alat peraga adalah untuk menurunkan keabstrakan dari konsep, agar anak mampu menangkap arti sebenarnya dari konsep yang dipelajari. Dengan melihat, meraba, dan memanipulasi alat peraga maka anak mempunyai pengalaman nyata dalam kehidupan tentang arti konsep. Jadi, dengan menggunakan peraga tersebut diharapkan dapat memperlancar pembelajaran. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa alat peraga adalah alat berupa benda yang digunakan untuk memeragakan fakta, ciri-ciri konsep, atau prinsip tertentu dengan tujuan untuk memudahkan siswa mempelajari sesuatu. Ada yang perlu diperhatikan dalam menggunakan alat peraga. Sudjana (2002: 104-105) mengatakan dengan sebutan prinsip-prinsip penggunaan alat peraga, yakni: 1) menentukan jenis alat peraga dengan tepat, artinya sebaiknya guru memilih terlebih dahulu alat peraga manakah yang sesuai dengan tujuan dan
Pesan adalah isi atau muatan yang terkandung dalam suatu tulisan. Adapun tulisan merupakan sebuah sistem komunikasi antar manusia yang menggunakan simbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat dan disepakati pemakainya (Akadhiah dkk.1997:1.3). Selain itu, menulis merupakan proses bernalar (Akhadiah, Sabarti,dkk. 1992:42). Proses bernalar atau singkatnya penalaran merupakan proses berpikir yang sistematik untuk memperoleh kesimpulan berupa pengetahuan. Dengan demikian, bila kita menulis suatu topik kita harus berpikir, menghubungkan berbagai-bagai fakta, membandingkan dan sebagainya. Menurut tujuannya, ada lima jenis menulis di antaranya adalah eksposisi. Pada tulisan eksposisi, informasi yang dikemukakan penulis dimaksudkan sebagai penjelasan gagasan peneliti tentang sesuatu atau objek. Tulisan eksposisi bertujuan agar pembaca memperoleh informasi atau keterangan yang sejelas-jelasnya tentang 187
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
objek tersebut meskipun pembaca belum pernah melihat atau mengamati sendiri melalui data yang faktual. Ciri-ciri tulisan eksposisi adalah: 1) tulisan itu bertujuan memberikan informasi, pengertian, dan pengetahuan; 2) tulisan itu bersifat menjawab pertanyaan apa, mengapa, kapan, dan bagaimana; 3) disampaikan dengan gaya yang lugas dan menggunakan bahasa baku; 4) umumnya disajikan dengan menggunakan susunan logis, dan; 5) disajikan dengan nada netral tidak memancing emosi, tidak memihak dan memaksakan sikap peneliti kepada pembaca (Semi, 2007:61).
Dari pendapat para pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa eksposisi merupakan sebuah tulisan yang bertujuan memaparkan sesuatu untuk menambah pengetahuan pembaca. Keterampilan menulis eksposisi sangat perlu diajarkan di sekolah dan guru harus terampil membelajarkan menulis siswa. Guru perlu dilatih menulis eksposisi. Untuk melihat kompetensi seseorang dalam menulis, tentu hasil tulisannya harus melalui penilaian. Penilaian secara tertulis dilakukan dengan tes. Salah satu bentuk tes tertulis adalah tes berupa soal uraian. Soal uraian adalah suatu soal yang jawabannya
Langkah-langkah menulis eksposisi adalah: 1) menentukan topik yang akan disajikan, 2) menentukan tujuan eksposisi, 3) membuat kerangka yang lengkap dan sistematis, 4) mengembangkan kerangka tulisan menjadi sebuah tulisan dan harus sesuai dengan tujuan penelitian, dan 5) membutuhkan contoh, gambar atau iliustrasi, dan lainnya agar tulisan eksposisi mudah diterima oleh pembaca. Dalam membelajarkan keterampilan menulis eksposisi kepada siswa, guru butuh penguasaan materi. Selama ini guru kurang banyak pelatihan dalam menulis eksposisi, sehingga siswa kurang mampu menulis eksposisi. Untuk itu, dibutuhkan sebuah pelatihan menulis eksposisi bagi guru. Pelatihan menulis eksposisi ini menggunakan alat peraga sebagai cara mengembangkan nalar guru dalam menulis dan diharapkan dapat dibelajarkan kepada siswa. Alat peraga yang digunakan dalam pelatihan ini adalah alat peraga matematika.
menuntut siwa untuk mengingat dan mengorganisasikan gagasan-gagasan atau hal-hal yang yang telah dipelajarinya dengan cara mengemukakan atau mengkespresikan gagasan tersebut dalam bentuk uraian tertulis (Umar dkk,2000:38). Soal bentuk uraian dibagi dua, yakni soal bentuk uraian objektif dan bentuk uraian nonobjektif. Soal bentuk uraian nonobjektif adalah suatu soal yang menuntut jawaban dengan pengertian/konsep menurut pendapat masing-masing siswa, sehingga penskorannya mengandung unsur subjektivitas/sukar dilakukan secara objektif (Umar dkk, 2000:39). Pada soal bentuk uraian nonobjektif skornya dinyatakan dalam bentuk “rentangan” karena hal-hal atau komponen yang diskor hanya diuraikan secara garis besar dan berupa kriteria tertentu. Safari (1995:97) menilai tulisan dari delapan aspek tulisan. Kedelapan aspek itu adalah: 1) kesesuaian isi dengan judul; 2) penggunaan dan penelitian ejaan; 3) pilihan kata/diksi; 4) struktur kalimat, 5)
188
Pelatihan dengan Penggunaan Alat Peraga Matematika dalam Upaya Peningkatan... Hendry Akbar
.
kepaduan antarkalimat (dari segi ide); 6) kepaduan antarpargraf (dari segi ide); 7) ide keseluruhan, dan; 8) kerapian. Sementara itu, Yunizar (1996:365) merinci ada enam aspek yang dinilai, yakni: 1) aktualisasi gagasan/ ide tulisan; 2) kesesuaian isi dengan tema tulisan ; 3) pengorganisasian tulisan yang terdiri atas pendahuluan, isi, penutup, dan keruntutan ; 4) kebahasaan yang meliputi koherensi antar kalimat dalam paragraf, koherensi antarparagraf, penggunaan kalimat efektif, dan ejaan; 5) kesesuaian jenis tulisan dengan isi tulisan , dan; 6) keterbacaan tulisan.
Penskoran merupakan proses pengubahan jawaban soal tes menjadi angkaangka. Dengan kata lain, pemberian skor itu merupakan tindakan kuantifikasi terhadap jawaban-jawaban yang diberikan oleh orang yang diuji dalam suatu tes hasil belajar. Dari uraian tersebut peneliti sependapat dengan Yunizar bahwa ada aspek penskoran yang mendekati menilai keseluruhan dari sebuah hasil tulisan. Untuk penskoran tulisan eksposisi, peneliti menggunakan format penskoran yang dapat dilihat pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Pedoman Penskoran Menulis Eksposisi NO ASPEK YANG DINILAI 1 AKTUALISASI GAGASAN/IDE TULISAN
ISI
DENGAN
SKOR 5 4 3 2 1 TEMA 5 4 3 2 1
2
KESESUAIAN TULISAN
3
PENGORGANISASIAN TULISAN a. endahuluan (mengarahkan pembaca pada isi tulisan) b. Isi (mengemukakan fakta untuk menguatkan dan meyakinkan pembaca) c. Penutup (kesimpulan isi tulisan)
d. Keruntutan/kelogisan
4
KEBAHASAAN a. Koherensi antarkalimat dalam paragraf.
b. Koherensi antarparagraf
KRITERIA -sangat menarik -menarik -cukup menarik -kurang menarik -tidak menarik -sangat sesuai -sesuai -cukup sesuai -kurang sesuai -tidak sesuai
4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1
-sangat mengarah -cukup mengarah -kurang mengarah -tidak mengarah -sangat meyakinkan -cukup meyakinkan -kurang meyakinkan -tidak meyakinkan -sangat tepat -cukup tepat -kurang tepat -tidak tepat -sangat runtut/sangat logis -cukup runtut/cukup logis -kurang runtut/kurang logis -tidak runtut/tidak logis
5 4 3 2 1 5 4 3 2 1
-semua bertautan -ada 1-3 tidak bertautan -ada 4-6 tidak bertautan -ada 7-9 tidak bertautan -ada >9 tidak bertautan -semua bertautan -ada 1-2 tidak bertautan -ada 3-4 tidak bertautan -ada 5-6 tidak bertautan ->6 tidak bertautan
189
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
NO
5
6
ASPEK YANG DINILAI c. Penggunaan kalimat efektif
d. Ejaan yang Disempurnakan 1) pemenggalan kata 2) huruf kapital 3) kata depan 4) kata penghubung 5) tanda baca KESESUAIAN JENIS TULISAN DENGAN ISI TULISAN KETERBACAAN TULISAN
SKOR 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 4 3 2 1 3 2 1
KRITERIA -semua kalimat efektif -ada 1-4 kalimat tidak efektif -ada 5-8 kalimat tidak efektif -ada 9-12 kalimat tidak efektif -ada>12 kalimat tidak efektif -tidak ada kesalahan -ada 1-4 kesalahan -ada 5-8 kesalahan -ada 9-12 kesalahan -ada>12 kesalahan -sangat sesuai -cukup sesuai -kurang sesuai -tidak sesuai -terbaca, rapi, dan bersih -terbaca, tetapi tidak rapi/tidak bersih -semuanya tidak memenuhi kriteria
Penghitungan nilai tulisan eksposisi guru dengan cara menjumlahkan semua skor guru
bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang telah lama dialami oleh peneliti. Penelitian
dibagi dengan jumlah skor maksimal x 100, seperti pada rumus berikut:
tindakan selalu berupaya mengambil cara baru yang berbeda daripada yang lama, dengan harapan jika cara yang dilakukan baik, hasilnya baik. Sudjana (2009:13) menyebut penelitian tindakan ini dengan Penelitian Tindakan Kepengawasan (PTKp), sedangkan Mulyasa (2009:9) menyebutnya dengan istilah Peneltian Tindakan Sekolah (PTS). Meskipun ketiga pakar tersebut memberikan istilah yang berbeda namun pengertiannya tetap sama, yakni suatu cara untuk memperbaiki kualitas sekolah maupun kualitas guru dalam kegiatan pembelajaran. Penelitian tindakan dilakukan dalam siklus yang berulang. Setiap siklus memiliki empat kegiatan utama yakni: 1) perencanaan, 2) tindakan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. Pelaksanaan Penelitian Tindakan Sekolah, dimulai dengan siklus yang pertama yang terdiri dari empat kegiatan. Apabila sudah diketahui letak keberhasilan dan hambatan dari tindakan yang dilaksanakan pada siklus pertama tersebut, peneliti menentukan
Jumlah perolehan skor guru N= ------------------------------------- x 100 Jumlah Skor Maksimal Untuk melihat kompetensi guru dalam menulis eksposisi dibutuhkan cara menghitung panjang karangan. Panjang karangan merupakan kemampuan seseorang mengeluarkan ide atau gagasannya dalam bentuk tulis. Keraf (1989:269) mengungkapkan bahwa untuk menghitung jumlah tulisan asli (berupa kata) adalah jumlah halaman x jumlah baris per halaman x jumlah kata per baris. Contoh jumlah halaman 250, jumlah baris 35 dan jumlah kata per baris adalah 9, maka panjang tulisan = 250x35x9= 78.750 kata. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan. Arikunto (2010:33) mengungkapkan bahwa penelitian tindakan 190
.
Pelatihan dengan Penggunaan Alat Peraga Matematika dalam Upaya Peningkatan... Hendry Akbar
rancangan untuk siklus kedua. Penelitian ini dilaksanakan terhadap guru bahasa Indonesia pada SMA di Kabupaten Muaro Jambi. Subjek penelitian berjumlah 20 orang yang merupakan anggota MGMP Bahasa Indonesia. Penelitian dilaksanakan pada semester genap tahun pelajaran 2013/2014. Siklus I dilaksanakan pada 28 Januari 2014 hingga 18 Februari 2014 sedangkan siklus II dilaksanakan pada 25 Februari hingga 15 Maret 2014. Tempat pelaksanaan di ruang pertemuan MGMP bahasa Indonesia, SMA Negeri 1 Muarojambi, Pijoan. Berdasarkan uraian tersebut peneliti mengajukan hipotesis: “Pelatihan dengan menggunakan alat peraga matematika dapat meningkatkan kompetensi guru bahasa Indonesia menulis eksposisi.” Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan dua siklus. Siklus pertama terdiri atas empat tahap seperti uraian berikut ini. 1) Perencanaan Dalam tahap perencanaan dipersiapkan hal-hal sebagai berikut: a) rencana kepengawasan akademik (RKA) untuk guru yang berisi rancangan kegiatan pembelajaran guru materi menulis eksposisi; 2) alat peraga matematika berupa benda-benda bangun ruang; 3) jadwal kegiatan pembelajaran, dan ; 4) bahan dan alat yang dibutuhkan. 2) Pelaksanaan Tindakan Dalam tahap pelaksanaan tindakan dilakukan hal-hal yang sesuai dengan rencana kepengawasan akademik seperti berikut: mempersiapkan diri untuk
memulai latihan/bimbingan; 2) apresiasi tentang materi menulis secara umum; 3) memberitahukan materi yang akan dilatih/dibimbing; 4) meletakkan alat peraga pada meja yang agak tinggi dari biasanya sehingga mudah dilihat guru; 5) melaksanakan tanya jawab tentang apa yang diletakkan di meja; 6) menuliskan kalimat utama yang disebutkan guru di papan tulis; 7) mendiskusikan pengembangan setiap kalimat utama menjadi paragraf; 7) mendiskusikan tentang judul yang tepat; 8) bertanya jawab tentang kegiatan tersebut; 9) menugaskan guru melakukan hal yang sama dari langkah nomor empat hingga nomor delapan dengan mengubah alat peraga yang ditampilkan dan ditambah buku pada meja, dan; 10) memberikan pekerjaan rumah dengan materi menulis eksposisi. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan pada pertemuan pertama. Pada pertemuan kedua perencanaanya adalah : 1) diskusi tentang hasil pekerjaan rumah dengan cara memeriksa tulisan guru tersebut dengan cara periksa silang. Pedoman penskoran peneliti tayangkan, dan; 2) tes menulis eksposisi dengan topik benda yang ada disekitar mereka. 3) Pengamatan Selama kegiatan pada tahap kedua (pelaksanaan tindakan) dilakukan pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan catatan tentang keaktifan guru dan kejadian yang ada. Dalam pengamatan ini, peneliti dibantu oleh Ibu Dra. Nirma Erika yang bertugas sebagai pengamat dan pencatat kejadian.
191
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
4) Refleksi Pada akhir tiap siklus diadakan refleksi berdasarkan data observasi. Tujuannya adalah agar peneliti melihat apakah tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini dapat meningkatkan kompetensi guru, kendala apa yang menghambat, faktor apa saja yang menjadi pendorong, dan apa solusinya. Sumber data dalam penelitian ini adalah guru. Data dibagi menjadi dua yakni data kuantitatif berupa hasil tes menulis eksposisi dan kualitatif berupa hasil pengamatan terhadap kegiatan guru.
Indikator Keberhasilan Ketuntasan suatu pembelajaran ditandai dengan sebuah kriteria. Anonim (2008:5) mengungkapkan bahwa pada pembelajaran tuntas, kriteria pencapaian kompetensi yang ditetapkan adalah minimal 75% oleh karena itu setiap kegiatan belajar mengajar diakhiri dengan penilaian pencapaian kompetensi siswa dan diikuti rencana tindak lanjutnya. Selanjutnya untuk melanjutkan kegiatan belajar mengejar berikutnya siswa yang mempoeroleh nilai batas tuntas minimal 85%. Bertitik tolak dari pendapat tersebut
Pada siklus II kegiatan tindakan berdasarkan temuan-temuan hasil dari siklus I. Langkah-langkah pada siklus II sama dengan langkah-langkah yang dilakukan pada siklus I.
peneliti menggunakan indikator keberhasilan pembelajaran adalah minimal 75% dan indikator keberhasilan secara klasikal adalah minimal 85% dari jumlah siswa telah memperoleh nilai 75 ke atas.
Teknik Analisis Data Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mengolah data yang berasal dari hasil pengamatan dan wawancara, sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk mengolah data dari hasil tes tulisan eksposisi guru.
2. Hasil dan Pembahasan Hasil Refleksi Awal tentang Kompetensi Menulis Eksposisi Guru Kegiatan pengambilan tes awal dilakukan pada guru mata pelajaran bahasa Indonesia, angggota MGMP Bahasa Indonesia Muaro Jambi sebelum dilakukan tindakan siklus I. Hasilnya tergambar pada tabel 2 berikut.
Tabel 2. Hasil Tes Awal Menulis Eksposisi Guru Bahasa Indonesia NO 1 2 3
192
ASPEK TULISAN EKSPOSISI YANG DINILAI Aktualisasi gagasan atau ide tulisan Kesesuaian isi dengan tema/topik Sistematika/Pengorganisasian tulisan: a. Pendahuluan b. Isi c. Penutup d. Keruntutan
RATA-RATA SKOR GURU
SKOR MAKSIMAL
3,70 3,25
5,00 5,00
RATA-RATA KETERCAPAIAN KOMPETENSI (%) 74,00 65,00
2,95 2,80 2,75 2,65
4,00 4,00 4,00 4,00
73,75 70,00 68,75 66,25
.
NO 4
5 6
ASPEK TULISAN EKSPOSISI YANG DINILAI
Pelatihan dengan Penggunaan Alat Peraga Matematika dalam Upaya Peningkatan... Hendry Akbar
RATA-RATA SKOR GURU
SKOR MAKSIMAL
RATA-RATA KETERCAPAIAN KOMPETENSI (%)
3,05
5,00
61,00
3,30 3,00 2,70 2,85
5,00 5,00 5,00 4,00
66,00 60,00 54,00 71,25
2,60 35,60 -
3,00 53,00 -
86,67 67,17 287
Kebahasaan: a. Koherensi antarkalimat dalam paragraf b. Koherensi antarparagraf c. Penggunaan kalimat efektif d. EYD/Pungtuasi Kesesuaian jenis karangan dengan isi karangan Keterbacaan karangan Jumlah Panjang karangan
Tabel 2 tersebut menunjukkan bahwa kompetensi guru dalam menulis eksposisi masih rendah dari kompetensi minimal yang diharapkan. Rata-rata guru dalam menulis hanya 67,32 sedangkan kriteria ketuntasan minimal adalah 75,00. Dari data terlampir, hanya 6 guru (30%) dari 20 orang guru yang memperoleh nilai di atas 75,00, yakni guru yang memiliki urutan alfabet: nomor 3 (77,36); nomor 10 (81,13); nomor 11 (75,47); nomor 13 (83,02); nomor 17 (77,36); dan nomor 19 (84,91). Guru yang memperoleh nilai terendah terdapat pada guru yang memiliki urutan alfabet: nomor 4 (58,49); nomor 6 (56,60); nomor 8 (54,72); nomor 12 (54,72), dan; nomor 56,60. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa hanya satu aspek tulisan eksposisi yang memenuhi kriteria ketuntasan, yakni keterbacaan karangan atau kerapian karangan (86,67%). Pada aspek aktualisasi gagasan rata-rata kompetensi guru hanya 74%, kesesuaian isi dengan topik hanya 65%. Hal ini menunjukkan bahwa guru belum menguasai mengungkapkan ide sesuai dengan tema atau topik yang diberikan.
Pada aspek sistematika/pengorganisasian tulisan, terlihat guru juga belum memenuhi kriteria ketuntasan. Tidak satu pun dari bagian dari aspek pengorganisasian karangan yang memperoleh angka 75%. Ini terlihat dari kompetensi: a) pendahuluan (73,75), isi (70,00), penutup (68,75), dan keruntut (66,25). Kurangnya kompetensi guru juga terlihat pada aspek kebahasaan yang terlihat dari data tentang : a) koherensi antarkalimat dalam paragraf (61,00), koherensi antarparagraf (66), c) penggunaan kalimat efektif (60,00), dan Ejaan yang Disempurnakan (EYD) (54,00). Data pada tabel juga mengungkapkan bahwa kompetensi guru dalam menulis eksposisi pada aspek kesesuaian jenis tulisan (karangan) dengan isi karangan masih di bawah kriteria (71,25%). Panjang tulisan eksposisi guru secara rata-rata hanya berjumlah 287 kata. Bila kita menggunakan rumus panjang karangan dalam satu halaman (35x9= 315 kata), maka ratarata guru belum mampu menulis eksposisi sejumlah satu halaman ketikan. Dengan 193
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
kata lain, guru belum memaksimalkan daya nalarnya dalam menulis eksposisi. Dengan demikian, data hasil tes awal ini dapat dijadikan dasar peneliti dalam melakukan tindakan pada siklus I. Hasil Tindakan Siklus I Sesuai dengan rencana kegiatan pada siklus I, tindakan yang dilakukan adalah pelatihan guru menulis eksposisi dengan menggunakan alat peraga matematika pada kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kabupaten Muaro Jambi. Kegiatan pelatihan yang dilakukan
alat peraga matematika sebagai alat untuk memudahkan guru mengembangkan alur pikir. Manfaat alat peraga matematika ini juga memudahkan guru mengembangkan nalar (aktivitas berpikir secara logis). Kegiatan tindakan pada siklus I ini, juga membahas tentang kebahasaan; kesesuaian jenis tulisan (eksposisi) dengan isi tulisan, dan; keterbacaan tulisan. Media pembelajaran yang digunakan adalah papan tulis. Penggunaan media pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi masih sebatas peneliti menjelaskan tentang tulisan eksposisi, yakni
yaitu melatih guru mengeluarkan ide atau gagasan yang menarik berdasarkan topik yang diberikan; menuangkan gagasan sesuai dengan topik; merancang karangan atau tulisan yang memuat pendahuluan, isi, dan penutup. Dalam hal ini peneliti memberikan tekanan cara membuat kerangka tulisan dalam menulis eksposisi dengan cara menggunakan
penggunaan perangkat lunak Microsoft Power Point yang ditayangkan melalui LCD projector. Teknik yang digunakan dalam pelatihan ini adalah tanya jawab, ceramah, diksusi, dan pemberian tugas. Hasil tes kemampuan guru menulis eksposisi setelah dilakukan tindakan pada siklus I tergambar pada tabel 3 berikut.
Tabel 3. Hasil Tes Menulis Eksposisi Guru Bahasa Indonesia setelah Tindakan I
NO
ASPEK TULISAN EKSPOSISI YANG DINILAI
RATA-RATA SKOR GURU
SKOR MAKSIMAL
RATA-RATA KETERCAPAIAN KOMPETENSI (%)
1
Aktualisasi gagasan atau ide tulisan
4,35
5,00
87,00
2
Kesesuaian isi dengan tema/topik
4,10
5,00
82,00
3
Sistematika Karangan/Tulisan: a. Pendahuluan
3,55
4,00
83,75
b. Isi
3,40
4,00
85,00
c. Penutup
3,30
4,00
82,50
d. Keruntutan
3,40
4,00
85,00
a. Koherensi antarkalimat dalam paragraf
3,55
5,00
71,00
b. Koherensi antarparagraf
3,70
5,00
74,00
c. Penggunaan kalimat efektif
3,50
5,00
70,00
4
194
Kebahasaan:
.
Pelatihan dengan Penggunaan Alat Peraga Matematika dalam Upaya Peningkatan... Hendry Akbar
RATA-RATA SKOR GURU
SKOR MAKSIMAL
RATA-RATA KETERCAPAIAN KOMPETENSI (%)
d. EYD/Pungtuasi
2,95
5,00
59,00
5
Kesesuaian jenis karangan dengan isi karangan
3,60
4,00
90,00
6
Keterbacaan karangan
NO
ASPEK TULISAN EKSPOSISI YANG DINILAI
2,85
3,00
95,00
Jumlah Nilai
41,38
53,00
79.72
Panjang karangan
-
-
386,60
Data dari tabel 3 menunjukkan bahwa terdapat peningkatan nilai rata-rata menulis eksposisi guru dari 67,17 menjadi 79,72 atau terdapat peningkatan kompetensi guru menulis eksposisi sejumlah 18,68%. Panjang karangan guru juga meningkat dari rata-rata hanya 287 kata menjadi 386,60 kata. Peningkatan kompetensi dalam mengembangkan nalarnya adalah 34,70%. Dilihat dari ketuntasan belajar, rata-rata guru tentu sudah tuntas. Hanya saja, ada empat guru dari 20 guru yang memiliki nilai di bawah ketuntasan minimal. Dua orang memiliki nilai 66,04, satu orang memiliki nilai 67,92, dan satu lagi memiliki nilai 73,58. Data tersebut memaparkan secara klasikal bahwa yang tuntas belajar (nilai 75 ke atas) adalah 16 orang (80%). Berdasarkan kriteria ketuntasan dalam penelitian, (minimal 85% guru memperoleh nilai minimal 75) maka pembelajaran secara klasikal belum tuntas. Tabel 3 menggambarkan tentang aspek yang meningkat dan juga melampaui ketuntasan minimal, yakni : 1) aktualisasi gagasan atau ide tulisan (87,00) ; 2) kesesuaian isi dengan teman (82,00); 3) sistematika karangan yang terdiri atas: a) pendahuluan (83,75); b) isi (85,00); penututup (82,50),
dan keruntutan (85,00); 4) kesesuaian jenis karangan (90,00), dan keterbacaan (95,00). Tabel 4 menyajikan juga bahwa kompetensi guru pada aspek kebahasaan meningkat, namun belum mencapai kriteria ketuntasan minimal. Kompetensi yang dicapai guru pada aspek kebahasaan tersebut adalah: 1) koherensi antarkalimat dalam paragraf (71,00); 2) koherensi antarparagraf (74,00); 3) penggunaan kalimat efektif (70,00), dan 4) ejaan yang disempurnakan (59,00). Dilihat dari ketidaktuntasan menulis eksposisi dari empat guru, ternyata mereka tidak tuntas pada aspek kebahasaan. Dengan demikian, kelemahan pada aspek kebahasaan ini dilihat. Berdasarkan hasil pengamatan dari observer, ternyata guru kurang menguasai kebahasaan dan jarang menulis karangan. Berdasarkan wawancara penulis dengan guru yang diteliti, selama ini mereka terfokus pada hasil karangan saja dan kurang memperhatikan aspek kebahasaan. Kelemahan lain adalah mereka jarang memeriksa hasil pekerjaan menulis siswa secara terfokus. Alasannya karena siswa dalam satu kelas berjumlah di atas 30 orang dan mengajar minimal lima kelas. 195
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
Hasil Tindakan pada Siklus II Hasil refleksi tindakan pada siklus I ditindaklanjuti pada siklus II. Pelatihan menulis eksposisi dengan menggunakan alat peraga matematika dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal yang masih dirasakan kurang oleh guru. Kompetensi guru pada aspek kebahasaan ditingkatkan melalui penjelasan dan latihan tentang koherensi antarkalimat, koherensi antarparagraf, kalimat efektif, dan ejaan yang disempurnakan. Untuk memudahkan mereka dalam penulisan kebahasaan, peneliti menggunakan pembahasan khusus satu-satu
tabung (silinder). Penggunaan papan tulis dimaksimalkan karena ingin melihat kesalahan guru dalam menulis. Dengan kesalahan tersebut, guru lainnya maju untuk memperbaiki kesalahan tersebut sehingga menjadi kalimat yang tepat dan juga menjadi paragraf yang padu. Akhir kegiatan, guru diberi tugas membuat tulisan eksposisi dengan tetap mengacu kepada enam aspek yang dinilai dalam tulisan yakni aktualisasi gagasan, sistematika tulisan, kebahasaan, kesesuaian isi dengan jenis tulisan, dan keterbacaan. Pada akhir pertemuan kedua siklus II
paragraf yang lengkap. Untuk membuat paragraf, penulis tetap menggunakan alat peraga matematika lainnya seperti
diadakan tes akhir tentang tulisan eksposisi untuk guru. Hasil tes tersebut tergambar pada tabel 4 berikut.
Tabel 4. Hasil Tes Menulis Eksposisi Guru Bahasa Indonesia setelah Tindakan II NO
ASPEK TULISAN EKSPOSISI YANG DINILAI
RATA-RATA SKOR GURU
SKOR MAKSIMAL
RATA-RATA KETERCAPAIAN KOMPETENSI (%)
1
Aktualisasi gagasan atau ide tulisan
4,50
5,00
90,00
2
Kesesuaian isi dengan tema/topik
4,50
5,00
90,00
3
Sistematika Karangan: a. Pendahuluan
3,85
4,00
96,25
b. Isi
3,95
4,00
98,75
c. Penutup
3,75
4,00
93,75
d. Keruntutan
3,70
4,00
92,50
a. Koherensi antarkalimat dalam paragraf
4,10
5,00
82,00
b. Koherensi antarparagraf
4,40
5,00
88,00
c. Penggunaan kalimat efektif
3,85
5,00
77,00
d. EYD/Pungtuasi
3,75
5,00
75,00
5
Kesesuaian jenis karangan dengan isi karangan
3,60
4,00
90,00
6
Keterbacaan karangan
4
196
Kebahasaan:
3,00
3,00
100,00
Jumlah
45,60
53,00
88,58
Panjang karangan
-
-
482,80
.
Pelatihan dengan Penggunaan Alat Peraga Matematika dalam Upaya Peningkatan... Hendry Akbar
Data pada tabel 4 menggambarkan bahwa terdapat peningkatan nilai rata-rata kompetensi guru menulis eksposisi pada hasil tes siklus II. Ini dapat dilihat pada nilai ratarata enam aspek penilaian menulis eksposisi, seperti berikut: 1) aktualisasi gagasan adalah 90,00; 2) kesesuaian isi dengan topik 90,00; 3) sistematika karangan: a) pendahuluan adalah 96,25; b) isi adalah 98,75; dan c) penutup adalah 93,75, dan keruntutan 92,50. Nilai rata-rata kebahasaan juga meningkat. Ini terlihat dari nilai rata-rata kebahasaan sebagai berikut: 1) koherensi antarkalimat dalam paragraf memperoleh nilai 82,00; 2) koherensi antarparagraf 88,00; 3) penggunaan kalimat efektif dengan nilai 77,00, dan; 4) ejaan yang disempurnakan memperoleh nilai 75,00. Nilai kesesuaian jenis karangan dengan isi karangan juga meningkat yakni 90,00 dan kerapian atau keterbacaan karangan menjadi 100. Secara keseluruhan nilai rata-rata kompetensi guru menulis eksposisi pada akhir siklus II ini adalah 88,58 sedangkan nilai rata-rata pada akhir siklus I adalah 79,72. Panjang karangan guru juga meningkat dari 386,6 kata pada siklus I menjadi 482,8 kata pada akhir siklus II. Nilai tertinggi pada hasil tes siklus II adalah 98,11 dan nilai terendah 81,13. Dengan demikian, seluruh guru telah memenuhi nilai kompetensi menulis eksposisi telah memenuhi kriteria ketuntasan minimal (75%). Berdasarkan hasil tersebut kegiatan pelatihan cukup pada siklus II. Untuk melihat peningkatan hasil pelatihan guru bahasa Indonesia menulis eksposisi dengan menggunakan alat peraga matematika perhatikan tabel 5 berikut.
Tabel 5. Hasil Tes Menulis Eksposisi Guru Bahasa Indonesia dari Tes Awal hingga Tes Siklus II Aspek yang Dinilai
Awal
Siklus I
Siklus II
1
Nilai Tes Kompetensi Guru Menulis Ekposisi
67,17
79,17
88,58
2
Panjang Karangan/ Panjang Tulisan Eksposisi
291,60 kata
386,60 kata
482,80 kata
No
Dari tabel 5 terlihat bahwa setelah guru diberi pelatihan menulis eksposisi dengan menggunakan alat peraga matematika pada setiap siklus terdapat peningkatan. Nilai rata-rata guru meningkat dari 67,17 pada awal menjadi 88,58 pada akhir siklus II dan terdapat peningkatan 31,87%. Panjang karangan meningkat dari 291,60 kata pada awal menjadi 482,80 kata ada akhir siklus II dan terdapat peningkatan 65,57%. Penelitian tindakan sekolah memang hal yang masih baru karena berkaitan dengan guru atau kepala sekolah sehingga hasil penelitian ini sukar untuk dibandingkan dengan penelitian lainnya yang terkait. Faktor-faktor penyebab meningkatnya kompetensi guru dalam menulis eksposisi setelah diberi pelatihan dengan menggunakan alat peraga adalah: 1) guru telah mengenal tulisan eksposisi sehingga dengan pemberian stimulus-stimulus, guru dengan cepat meningkatkan kompetensinya menulis eksposisi; 2) penggunaan alat peraga matematika memudahkan guru mengembangkan daya nalarnya, karena objeknya nyata; 3) penggunaan alat peraga matematika memudahkan guru mengembangkan paragraf demi paragraf tulisan eksposisi, dan; 4) penggunaan alat 197
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
peraga matematika merupakan materi lintas mata pelajaran yang juga terkait mata pelajaran lainnya dalam menulis eksposisi. Meningkatnya kompetensi guru pada penggunaan kalimat efektif disebabkan oleh pada pelatihan ini guru dibiasakan menulis di papan tulis dan tulisan itu dikoreksi oleh seluruh peserta. Hal yang sama juga pada peningkatan penggunaan ejaan yang tepat. Dengan pelatihan guru menulis menggunakan tulisan tangan (bukan diketik), membuat guru harus lebih jeli menulis eksposisi sesuai dengan kaidah ejaan yang disempurnakan. 3. Simpulan dan Saran Dari hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa pelatihan dengan penggunaan alat peraga matematika dapat meningkatkan kompetensi guru menulis eksposisi. Peningkatan ini terjadi pada: 1) kompetensi menulis ekpsosisi guru, dari nilai rata-rata 67,17 pada tes awal menjadi 88,58 pada tes akhir siklus II (meningkat 31,87%) , dan; 2) panjang tulisan eksposisi guru dari 291,60 kata menjadi 482,80 kata (meningkat 65,57%). Saran Berdasarkan simpulan penelitian ini disarankan agar: 1) pengawas sekolah mata pelajaran bahasa Indonesia menggunakan pelatihan dengan penggunaan alat peraga matematika dalam meningkatkan kompetensi guru pada jenis menulis eksposisi atau argumentasi, narasi, deskripsi, dan persuasi, dan 2) guru menggunakan alat peraga matematika dalam mengembangkan nalar siswa menulis eksposisi. 198
Daftar Pustaka Akbar, Hendry, dkk. 2004. Upaya Peningkatan Kemampuan Menulis Bagi Murid. Jambi: Bagian Proyek Bahasa dan Sastra Dinas Pendidikan Provinsi Jambi. Akhadiah, S., Maidar G.A., dan Sakura H.R. 1992. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Akhadiah, Sabarti. dkk. 1997. Menulis 1, Buku Materi Pokok EPNA 2203/2SKS/Modul 1-6. Jakarta: Universitas Terbuka. Alwasilah, Chaedar dan Senny Suzanna Alwasilah. 2005. Pokoknya Menulis. Bandung:PT Kiblat Buku Utama. Anonim. 2008. Kriteria dan Indikator Keberhasilan Pembelajaran.Jakarta: Ditjen PMPTK Depdiknas. Arikunto, Suharsimi. 2010. Penelitian Tindakan untuk Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas. Yogyakarta:Aditya Media. Keraf, Gorys. 1989. Komposisi, Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Ende: Nusa Indah. Kompas. 2000. Soal Pengajaran Menulis, Guru Butuh Waktu dan Bekal Keterampilan Menulis. Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Safari. 1995. Pengujian dan Penilaian Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta:Kartanegara. Semi, M.Atar. 2007. Dasar-Dasar Keterampilan Menulis. Bandung: Angkasa.
.
Pelatihan dengan Penggunaan Alat Peraga Matematika dalam Upaya Peningkatan... Hendry Akbar
Sudjana,Nana. 2002. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Sukayati dan Agus Suharjana. 2009. Pemanfaatan Alat Peraga Matematika dalam Pembelajaran di SD. Yogyakarta: PPPTK Matematika Kementerian Pendidikan Nasional. Suparno. 2011. Eksposisi, Argumentasi, dan Persuasi in Suparno dan Muhammad Yunus (ed), Keterampilan Dasar Menulis (pp.5.1-5.63) Jakarta:Universitas Terbuka.
Umar, Jahja dkk. 2000. Penilaian dan Pengujian untuk Guru SLTP. Jakarta: Ditjen Dikdas-men Depdiknas. Widyantini dan Sigit Tri Guntoro. 2010. Penggunaan Alat Peraga dalam pembelajaran Yunizar, Sandra. 1996. Pengaruh Pelatihan Keterampilan Proses Terhadap Kemampuan Menulis Siswa SMA. Berkala Pendidikan Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. (pp.355374). Edisi Agustus 1996.
199
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan Volume 7, Nomor 2, Desember 2014
200
SISTEMATIKA PENULISAN JURNAL MLANGUN
Redaksi menerima tulisan ilmiah di bidang bahasa, sastra, dan pengajaran dengan ketentuan sebagai berikut. 1. Naskah yang dikirim belum pernah dipublikasikan di media cetak lain. 2. Artikel berupa hasil penelitian (lapangan dan kepustakaan) 3. Naskah diketik 1,5 spasi di atas kertas ukuran A4, dengan huruf Times New Roman ukuran 12. Batas atas dan bawah 3 cm, tepi kiri dan kanan 3,17 cm, jumlah halaman 10—20 lembar, menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. 4. Sistematika penulisan artikel disusun dengan urutan sebagai berikut: a) Judul, tidak lebih dari lima belas kata; (dicetak tebal dengan ukuran 14, ditulis dalam dua bahasa, Indonesia dan bahasa Inggris ); b) Alamat Penulis, diikuti nama, alamat instansi, dan alamat pos-el; c) Abstrak, satu paragraf 50-100 kata, memuat permasalahan, tujuan, metode penelitian, dan hasil. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, bahasa Indonesia dan Inggris , dan ditulis miring dalam satu alinea; d) Kata Kunci (keyword) 3-5 kata/frasa dalam dua bahasa, Indonesia dan bahasa Inggris, ditulis miring; e) Pendahuluan (tanpa judul subbab), memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan, tinjauan pustaka; f) Kerangka Teori dan Metode Penelitian; g) Hasil dan Pembahasan (memuat hasil penelitian, analisis dan pembahasan, menyajikan dan membahas secara jelas pokok bahasan dengan mengacu kepada tujuan penelitian); h) Gambar, Tabel, dan Rumus (diberi judul, no, dan keterangan lengkap); i) Kesimpulan (menjawab rumusan masalah/tujuan penelitian) dan Saran Penelitian; j) Daftar Pustaka (disusun secara alfabetis dan kronologis); Contoh: Imron, M.B. (2005). Pola Komunikasi Kepemimpinan Taufik Abdullah. In M.Hisyam (Ed.), Sejarah dan Dialog Peradaban (pp.81-92). Jakarta: LIPI Press. Setiobudi, D., & Fagi, A.M. (2008). Pengelolaan Air Padi Sawah Irigasi: Antisipasi Kelangkaan Air. In Suyamto, I.N. Widiarta, & Satoto (Eds.), Padi, Inovasi Teknologi, dan Ketahanan Pangan (pp.250-279). Sukamandi: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 5. 6. 7. 8.
Naskah dapat dikirim melalui pos-el (email) ke
[email protected]. Kepastian pemuatan dan penolakan naskah akan diberitahukan kepada penulis melalui pos-el (email). Penulis bersedia melakukan revisi naskah jika diperlukan Penulis yang naskahnya dimuat akan menerima 2 eksemplar.