MIXING METODE KUALITATIF DAN KUANTITATIF, ALTERNATIF PENDEKATAN STUDI AGAMA DI PERGURUAN TINGGI Oleh, Nursaeni* Abstrak: Penelitian adalah wahana untuk mengejar kebenaran. Dalam kegiatan penelitian umumnya digunakan berbagai model atau dikenal dengan istilah paradigma penelitian. Tradisi keilmuan pada lembaga di Perguruan tinggi Islam, serta keunikan dan kerumitan studi agama yang membedakannya dengan ilmu yang lain, mengharuskan diperlukannya pendekatan tepat. Dua pendekatan keilmuan yang dominan yakni kualitatatif dan kuantitatif yang berangkat dari paradigma yang berbeda, secara bersama-sama dapat diterapkan dalam penelitian. Hanya saja selama ini disadari penerapan penggabungan metode ini hasilnya masih belum maksimal. Tulisan ini mencoba menawarkan berbagai model penggabungan yang diambil dari berbagai pengalaman dan pendapat dari peneliti sebelumnya, seperti metode gabungan paralel dan gabungan berurutan dari Hesse, metode menggabung model Brymen dan Julia Brannen.
Kata-kata kunci: Mixing metode Kualitatif dan Kuantitatif, Studi Agama A. Pendahuluan Penelitian sebagai wahana untuk mengejar kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran yang dilakukan merupakan tugas penting dalam sebuah lembaga Perguruan Tinggi, baik dalam bentuk penelitian-penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai prasyarat mendapatkan gelar kesarjanaan, maupun penelitian para dosen, yang ada pada lembaga tersebut. Dalam kegiatan penelitian umumnya digunakan berbagai model atau dikenal dengan istilah paradigma. Model penelitian atau paradigma penelitian yang ada pada suatu lembaga, tentu sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan tradisi keilmuan pada lembaga tersebut. Di perguruan tinggi Islam, fenemona ini menjadi menarik untuk diperbincangkan. Alih status perguruan tinggi Islam menjadi universitas, keragaman latar *
Nursaeni, Dosen Tetap STAIN Palopo
118
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
119
belakang pendidikan para dosen pembimbing skripsi, maupun perubahan muatan kurikulum lembaga pendidikan setidaknya menjadi pemicu segera perlunya pendekatan baru dalam melakukan kajian atau penelitian. Dan yang tak kalah penting adalah letak keunikan studi agama yang membedakannya dengan ilmu yang lain. Mempelajari Islam tidak cukup hanya terbatas pada Ulum al-Diin karena ilmu ini dianggap parsial, selektif, provincial, parochial, dan reduktif. Fazlur Rahman dan Saeed, sebagaimana dalam Amin Abdullah (2009:275-277). Kekurangan ini dapat diperoleh dengan kehadiran al-Fiqr Islamiy, serta istilah lain yang muncul belakangan yaitu dirasat Islamiy atau Islamic studies, lahir dan berkembang seiring dengan berkembangnya ilmu-ilmu dan metode-metode penelitian yang ada di dunia akademis pada umumnya. Dirasat Islamiyah, atau Islamic Studies, selain masih merujuk pada klustur ilmu-ilmu keagamaan (Islam) yang paten, standar baku dalam Ulum al-Diin dan al-Fiqr Islami, juga ditopang dan diperkokoh oleh penelitian lapangan (fied lresearch). Dalam pendekatan yang digunakan, Dirasat Islamiyah selalu menggunakan dan menggandeng metode kerja tata pikir ilmu-ilmu sosial untuk membedah realitas keagamaan Islam di alam nyata kehidupan sehari-hari, tidak hanya di alam teks dan tidak pula terbatas pada alam rasio. Beberapa pendapat mengatakan, bahwa studi agama adalah amat unik dan khas, bahkan mungkin juga paling sulit. M.Amin Abdullah (2009:291) menjelaskan bahwa letak kesulitan studi agama terletak pada kenyataan bahwa, pertama jika ilmu-ilmu lain dapat membedakan secara tegas dan lugas antara peran ‘obyek’ dan subyek” dalam telaah dan analisis mereka, tetapi dalam studi agama hal demikian tidak mungkin dilakukan. Keterlibatan peran ‘subyek’ sangat kental dalam studi agama, namun adanya fenomena ‘obyek’ di luar subyektivitas pengamat atau peneliti juga jelas-jelas ada dan tidak dapat dinegasikan begitu saja. Meskipun “objek-objek” di luar “subjek” tadi juga memiliki “subjektivitas” sendiri-sendiri, justru itulah yang sejak awal harus dipertimbangkan secara serius. Dengan demikian, sejak awal berangkat studi agama memang bersipat Obyektif-cum-Subjektif atau Subjektif-cumObjektif. Inilah letak keunikan sekaligus kesulitan studi agama. Dengan demikan studi agama tidak dapat disamakan begitu saja dengan studi ekonomi, politik, sosiologi dan lain sebagainya, apalagi biologi, kimia, fisika, dan matematika. (Amin Abdullah, 2009:291-292).
120
Volume 14 Nomor 1, Januari 2012
Dalam dunia penelitian dikenal dua pendekatan yang mendominasi, yang kemudian disebut dengan metode kualitatif dan metode kuantitatif. Kedua metode ini sering dipertentangkan, karena adanya perbedaan paradigma masing-masing. Metede kualitatif berangkat dari paradigma alamiah atau yang lebih dikenal dengan pandangan fenomenalogis, berusaha memamahmi perilaku manusia dari segi kerangka berpikir maupun bertindak orang-orang itu sendiri. Paradigma kualitatitif melihat kenyataan sebagai sesuatu yang ganda, seperti yang dikemukakan oleh Guba dan Lincoln (1981) dalam Moleong (2000:33), bahwa “fenomena tidak dapat berkonvergensi ke dalam suatu bentuk saja, yaitu bentuk ‘kebenaran’ tetapi berdivergensi dalam berbagai bentuk, yaitu ‘kebenaran ganda’setiap bentuk atau lapisan yang ada tidak dapat diuraikan secara terpisah, tetapi terkait secara erat dan membentuk suatu pola ‘kebenaran’. Pola ini yang perlu ditelaah dengan menekankan pada verstehen atau pengertian. Asumsi inilah yang membimbing seorang peneliti alamiah yang akan melakukan penelitian. Metode kuantiatif yang berangkat dari paradigma fositivisme atau yang juga dikenal dengan paradigma ilmiah scientific paradigm, sebaliknya melihat kenyataan sebagai suatu yang tunggal, nyata, yang terbagi-bagi dalam variabel bebas, dan proses yang dapat diteliti secara terpisah dan yang lainnya, inkuiri ini dapat dikonvergensikan sehingga kenyataan pada akhirmya dapat dikontrol dan diramalkan. Para penganut metode ini menyarankan untuk mempertimbangkan ”fakta atau fenomena sosial” sebagai sesuatu yang memberikan pengaruh dari luar atau memaksakan pengaruh tertentu terhadap prilaku manusia. (2000:31-32.) Studi agama yang sulit, tentu saja dapat dipahami melalui kedua pendekatan ini, baik dengan pendekatan alamiah dengan metode kualitatif maupun pendekatan ilmiah dengan metode kuantitatif. Dalam prakteknya kedua pendekatan ini dalam penelitian-penelitian yang dilakukan di Perguruan Tinggi Islam baik yang dilakukan oleh para dosen maupun yang dilakukan oleh mahasiswa sering diterapkan secara bersama-sama, hanya saja bahwa hasil yang diperoleh masih kurang memuaskan dan sulit dipertanggungjawabkan mengenai ketepatan metode unsur-unsur penelitian yang digunakan. Penerapan penggunaan metode kuantitatif dan metode kualitatif secara bersama-sama dalam sebuah penelitian, menuai banyak pendapat. Umum pendapat tersebut mengatakan bahwa penerapan kedua metode ini secara bersama-sama dalam sebuah penelitian adalah sulit, karena masingmasing berangkat dari paradigma yang berbeda. Berangkat dari kesulitan
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
121
tersebut, maka tulisan ini mencoba menawarkan, berbagai bentuk metode gabungan yang telah dikemukakan para ahli, yang dapat digunakan dalam penelitian, sebagaimana dalam Jonathan Sarwono (2002:40-77). Tulisan ini tentunya diharapkan dapat menjadi masukan dalam melakukan penelitian-penelitian agama atau studi agama yang dilakukan di perguruan Tinggi Islam B. Pengertian Metode Gabungan Apa yang dimaksud dengan metode gabungan? Metode gabungan (mixed method), menurut Hanson sebagaimana dikutip oleh Hesse (2010) dan Sarwono ialah mencakup koleksi data, analisis dan integrasi data kuantitatif dan kualitatif dalam kajian tunggal atau bertahap’ sedangkan menurut Julia Branen adalah “mengadopsi strategi riset yang mengunakan lebih dari satu tipe metode riset. Terdapat perbedaan antara metode gabungan (mixed methods) dengan menggunakan banyak metode (multi methods). Yang dimaksud dalam tulisan ini adalah penggunaan metode lebih dari satu dalam suatu kegiatan riset. Pemahaman tentang hal ini tentunya akan menjadi jelas setelah mengemukakan dan membahas lebih jauh tentang hal tersebut. C. Paradigma penggabungan Mengapa metode penggabungan dapat digunakan? berikut ini dikemukakan beberapa alasan, baik alasan secara epistemologis maupun alasan secara praktis. Alasan-alasan secara epistemologi dalam menggabung metode sebagaimana dalam Sarwono (2002:27-29) dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Semua metode tunggal, seperti survey dalam riset kuantitatif di antaranya dan wawancara mendalam dalam riset kualitatif serta semua tipe data, seperti angka, suara, gambar, teks dan kombinasinya dapat diklasifikasi dalam satu atau dua paradigma yang singkat, yaitu kuantitatif dan kualitatif. 2. Semua elemen dari masing-masing dua paradigma tersebut dapat bekerja sama dalam satu kajian tunggal. 3. Kategori ketiga (di luar riset ) yang menggunakan pendekaan kuantitatif dan riset yang menggunakan pendekatan kualitatif
122
Volume 14 Nomor 1, Januari 2012
diperlukan untuk kajian-kajian yang menggunakan elemen-elemen kedua paradigm tersebut. 4. Filsafat pragmatisme mendasari kategori ketiga ini, yaitu riset yang menggunakan pendekatan gabungan. 5. Kategori ketiga ini harus dimasukkan ke dalam paradigma yang terpisah yang menghubungkan antara filsafat dan praktik. 6. Hubungan antara filsafat dan praktik yang membuat kaitan normatif dan langsung ini hadir antara paradigma–paradigma metodologi-metodologi dan semua jenis data. Adapun alasan-alasan empirik penggabungan metode ini adalah; 1. Harus ada fokus dan “tempat” khusus untuk menggabungkan elemen-elemen yang berasal dari paradigma kuantitatif dan kualitatif dalam satu kajian tunggal. Hal ini disebabkan karena mereka memang berbeda secara inheren dalam bentuk. 2. Triangulasi epistemologi, metodologi ataupun metode akan menghasilkan kualitas data yang lebih baik dibandingkan dengan pendekatan tunggal. 3. Dengan demikian metode gabungan akan menjadi suatu metode riset yang efektif. D. Beberapa Model Menggabungan Metode Riset Kuantitatif dan Kualitatif. Berikut ini dikemukakan beberapa macam model penggabungan metode kualitatif dan kuantitatif model Hesse Bryman, Brannen sebagaimana dalam Jonathan Sarwono (2002:40-77). Masing-masing model tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Model gabungan menurut Hesse (2010). Hesse membagi desain metode gabungan, yaitu metode gabungan paralel dan metode gabungan berurutan. Desain metode gabungan paralel dilakukan menggunakan metode secara bersama, yakni pendekatan kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan dalam kajian yang terpisah tetapi dalam proyek riset yang sama dengan komponen kualitatif diberikan peranan yang lebih dominan. Berikut ini gambaran metode gabungan paralel oleh Hesse, (2002: 42).
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
123
1). Desain Metode Gabungan Paralel Pertanyaan riset Desain Metode Gabungan
Riset Kuantitatif
Riset Kualitatif
Koleksi Data Kuantitatif Analisis Data
Koleksi Data Kualitatif Analisis Data
Temuan Riset
Dalam pendekatan metode gabungan berurutan sebagaimana disebutkan terakhir, terbagi atas dua macam, yakni dari segi metode mana yang dominan. Artinya jika pendekatan kualitatif yang digunakan lebih dominan, maka metode kuantitatif yang menjadi sub-ordinat. demikian pula yang kedua, yaitu jika pendekatan kuantitatif yang dominan maka yang menjadi sub-ordinat adalah pendekatan kualitatif. Komponen yang menjadi sub-ordinat digunakan sebagai sarana pembantu untuk menguji gagasan-gagasan, menafsirkan temuan-temuan yang dihasilkan oleh komponen utama. Pada model yang pertama komponen kuantitatif membantu menafsirkan temuan-temuan kualitatif untuk; (1) menguji aspek-aspek teori yang muncul secara mendadak ketika riset dijalankan; (2) membuat generalisasi temuan-temuan kualitatif ke dalam sampel yang berbeda; dan (3) melakukan validasi seperangkat butir-butir survei tertentu. Model tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: 2). Desain Metode Gabungan Berurutan dengan Metode Kualitatif Dominan Pertanyaan riset Desain Metode Gabungan Riset Kualitatif
Diikuti oleh
Riset Kuantitatif
Analisis Data
Volume 14 Nomor 1, Januari 2012
124
Selanjutnya pada model yang kedua, yaitu yang menggunakan pendekatan kuantitatif yang dominan dan kualitatif sebagai sub-ordinat. Model ini disebut sebagai desain eksplanatori berurutan, yaitu melakukan riset kuantitatif terlebih dahulu kemudian diikuti dengan riset kualitatif. Hasil riset dari masing-masing kajian kemudian dibandingkan dan dikontraskan dengan tujuan: 1) melakukan generalisasi temuan-temuan kualitatatif ke sampel yang berbeda; dan 2) melakukan validasi dan/ atau membandingkan temuan-temuan dari pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan dalam riset kuantitatif. Model ini dapat digambarkan sebagai berikut: 3). Desain Metode Gabungan berurutan dengan Metode Kuantitatif Dominan Pertanyaan riset Desain Metode Gabungan Diikuti oleh Riset Kuantitatif Koleksi dan Analisis Data
Riset Kualitatif Koleksi dan Analisis Data
Temuan temuan
2. Model Gabungan Menurut Bryman
Temuan Temuan Temuan
Dalam model Bryman sebagaimana dikutif oleh Brannan (1992) mengajukan model penggabungan dua metode yang berbeda sebagai berikut: a.
b. c.
Penelitian kualitatif digunakan untuk memfasilitasi penelitian kuantitatif Yaitu, periset melakukan riset kualitatif yang hasilnya digunakan untuk melakukan riset berikutnya, yaitu riset kuantitatif. Penelitian kuantitatif digunakan untuk memfasilitasi penelitian kualitatif Kedua pendekatan diberikan bobot yang sama
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
125
d.
Triangulasi Triangulasi mempunyai maksud menggunakan lebih dari satu metode riset sebagai sarana untuk menghasilkan data empiris yang lebih dapat dipercaya jika dibandingkan hanya dengan satu metode. Tujuannya tidak lain adalah untuk melakukan cek silang. Peneliti akan lebih peraya jika beberapa yang berbeda akan menghasilkan hasil yang sama. Dalam konteks seperti ini, maka satu metode digunakan untuk melakukan cek silang hasil riset dengan menggunakan metode berbeda. 3. Model gabungan menurut Julia Brannen Julia dalam memandang persoalan metode gabungan lebih dilatarbelakangi oleh aliran kualitatif karena yang bersangkutan merupakan ahli riset kualitatif. Menurutnya bahwa orang melakukan riset karena didorong oleh logika penyelidikan (logic of enquir). Logika ini mirip yang disampaikan oleh Hesse yang sudah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, yang mengatakan bahwa riset didorong oleh metode jika dipandang dari sisi mendekatan metode. Dari sisi logika penyelidikan memunculkan pertanyaan: apakah riset dilakukan secara deduktif dalam mencari temuan-temuannya atau sebaliknya dengan induktif dalam mencari temuan-temuannya. Meski dalam melakukan riset dengan menggunakan logika pemikiran deduktif dan induktif secara bersamaan. Apabila logika penyelidikan memang memerlukan adanya metode gabungan, maka metode tersebut perlu dilakukan pengurutan, misalnya dilakukan secara bersamaan atau berurutan. Dalam membuat urut-urutan penggunaan metode diperlukan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut; - Apakah metode tertentu akan ditempatkan sebagai awal penyelidikan, misalnya untuk membantu menghasilkan sampel yang representatif yang akan digunakan untuk kajian lanjutan dengan menggunakan metode lain. - Apakah metode tertentu akan digunakan sebagai pendahulu saja sebagaimana peneliti melakukan wawancara kualitatif yang digunakan untuk mengawali munculnya masalah yang akan digunakan dalam survei. - Apakah metode yang berbeda, dalam hal ini kuantitatif dan kualitatif akan digunakan secara bersamaan untuk mengkaji fenomena yang sama atau yang berbeda.
126
Volume 14 Nomor 1, Januari 2012
- Apakah jika peneliti menggunakan metode kualitatif akan menggunakan logika penyelidikan yang mengunakan statistik. - Pertimbangan berikutnya ialah bagaimana seorang peneliti memperlakukan data, yaitu apakah satu perangkat data tertentu akan diperlakukan sebagai data sekunder atau pelengkap didasarkan pada keterbatasan waktu atau sumber data dalam kaitannya dengan pengumpulannya atau pada tahap analisisnya. Brannen membuat usulan dalam mengabung metode yaitu dengan menggunakan istilah ‘berurutan’ (sequencing) atau dominasi salah satu metode (kualitatif) terhadap metode yang lain (kuantitatif) . Berikut model-model metode yang dimaksud: a.
Desain metode gabungan digunakan secara bersamaan (simulataneous) Dalam metode ini, kemungkinan penerapannya adalah: 1) Kualitatif dan kantitatif dilakukan secara bersama-sama (metode kualitatif lebih dominan) 2) Kualitatif dan kantitatif dilakukan secara bersama-sama (metode kualitatif dan kuantitatif memiliki bobot yang sama) b. Desain metode gabungan digunakan secara Berurutan ((sequential) 1) Metode kualitatif lebih dominan dan dilakukan sebagai metode awal kemudian diikuti oleh metode kuantitatif 2) Metode kualitatif kurang dominan dan dilakukan sebagai motode awal kemudian diikuti oleh metode kuantitatif yang lebih dominan) 3) Metode kuantitatif lebih dominan dan dilakukan sebagai metode awal kemudian diikuti oleh metode kualitatif 4) Metode kuantitatif kurang dominan dan dilakukan sebagai metode awal kemudian diikuti oleh metode kualitatif yang lebih dominan 5) Metode kualitatif diberi bobot yang sama dengan kuantitatif dan dilakukan sebagai metode awal kemudian diikuti oleh metode kuantitatif 6) Metode kuantitatif diberi bobot yang sama dengan kuantitatif dan dilakukan sebagai metode awal kemudian diikuti oleh oleh metode kualitatif Selain ketiga model tersebut, model penggabungan juga dikemukakan oleh Sujarwo (Ibid.) Cara pertama, menggabungkan analisis data yang dihasilkan dalam penelitian kualitatif berupa data primer
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
127
dengan data sekunder kuantitatif; kedua, menggabungkan analisis data kualitatif sekunder dengan data kualitatif sekunder. D. P e n u t u p Studi Agama yang dilakukan para peneliti pada sebuah perguruan Tinggi dianggap unik dan rumit. Dalam memahaminya diperlukan pendekatan interdisiplin. Dalam dunia keilmuan dua metode pendekatan yang mendominasi, yakni pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam hal ini kedua metode ini dapat diterapkan. Pendekatan lain yang lebih menarik adalah dengan penggabungan kedua pendekatan atau metode tersebut dalam penelitian, yang lebih dikenal dengan istilah Mixed methods. Metode gabungan dapat dilakukan, dengan berbagai model, seperti metode gabungan paralel dan gabungan berurutan dari Hesse, metode menggabung model Brymen dan Julia Brannen. Daftar Rujukan Abdullah, M.Amin. 2009. Mempertautkan ulum al-diin, al-fiqkr alIslamiy dan Dirasat Islamiyyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global, dalam Marwan Sarijo (ed.), Mereka Bicara Pendidikan Islam Cet.I; Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. XII; Jakarta: Rineka Cipta. Ary, Donald.., at all., t. th. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. .Diterjemahkan oleh Arief Furchan. Surabaya: Usaha Nasional Indonesia, judul Asli: Introduction to Research in Education. Faisal, Sanapiah. 2003. Format-Format Penelitian Sosial, Cet. VI; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Honer, Stanley, M. dan Thomas C. Hunt. 1989. “Metode dalam Mencari Pengetahuan: Rasionalisme, Empirisme dan Metode Keilmuan’. “Ilmu Dalam Perspektif” ed. Jujun S. Suriasumantri, Jakarta: Gramedia. Kerlinger, Fred N. Asas-Asas Penelitian Behavioral, Diterjemahkan oleh Landung R. Simatupang, Yogyakarta: Tiara Wacana, Judul Asli: Foundation of Behavioral Research. Nawawi, Hadari dan Martini, Mimi. 1994. Penelitian Terapan, Cet.I; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nazir, Mohammad. 1998. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.
128
Volume 14 Nomor 1, Januari 2012
Sarono, Jonathan. 2011. Mixed Methods, Cara menggabung Riset kuantitatif dan Kualitatif secara Benar, Cet. I; Jakarta: Elex Media Komputindo.. Suriasumantri, Jujun S. t.th. Filsafat ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cet. IX; Jakarta: tp..
Volume 14, Nomor 1, Januari 2012
129
130
Volume 14 Nomor 1, Januari 2012