METODOLOGI PEMAHAMAN MAKNA HADIS MENURUT ULAMA AWAL ISLAM
Zainuddin Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email:
[email protected]
ABSTRACT Early scholars have contributions that mean a lot to the development of understanding the Hadith in the thereafter. In this paper will try show how understanding the Hadith by imam al-Syafi'iy, Ibn Qutaibah and al-Qarafiy. AlShaafa'i moderate who appeared between the people of the people of al-ra'yi and al-hijaz is rated extremely thorough, careful and in-depth understanding of the complete Hadith-Hadith and text, is no exception in the field of non-tasyri '. Meanwhile other Hadith understanding Methodology developed by Ibn Qutaibah. As an encyclopedic scholar, Ibn Qutaibah trying to understand the meaning of the Hadith to classify into three things: first, the sunnah must be understood in the condition as the revelation brought by Gabriel to his Prophet. The Sunnah of this kind must be followed because he is tasyri '. And the position of the Prophet when it has to be understood as bearers of the treatise. Second, the sunnah must be understood in the discourse as being circumcised and it must be followed by a conditional and conditional logic applied. Third, the sunnah must be understood in the dimension of this kind of teaching, also known as the sunnah of Ershad. As for al-Qarafi, argues that understanding the Hadith are classified in different categories, for the deeds of the Prophet in a variety of categories will produce different effects. First, the Hadith of the Prophet that were presented in the capacity as a bearer of the treatise, then each command must be obeyed and the ban should be abandoned, while a permissible punished permissible to the top. Second, if the Prophet's capacity as a leader, then no one can do except permission from the holders. Third, if the Prophet has a capacity as a judge, it is not entitled to other people doing something except by order of a judge. Thus the Hadith should be understood on the basis of what and how the capacity of the Prophet. Kata Kunci: Metodologi, Hadis, Ulama masa awal Pendahuluan Permulaan pemahaman terhadap hadis dilakukan oleh Nabi Muhammad sendiri yang berkapasitas sebagai rasul, pemimpin masyarakat, negara dan umat Islam. Secara faktual, Nabi bertindak sebagai penetap dan penjelas perkaraperkara akhirat dan dunia baik dalam keadaan biasa maupun dalam keadaan konflik yang terjadi dalam masyarakat. Dasar ketetapan dan penjelasan Nabi adalah wahyu, kebijakan Nabi serta kebijakannya dalam bentuk musyawarah bersama sahabat.1 Para sahabat dan muslim komit bahwa kebijaksanaan apapun yang diputuskan Nabi adalah berdasarkan petunjuk Allah melalui wahyu, meskipun _____________ 1
Al-Syafi‘i, al-Risalah, ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. th.), 9 170
Zainuddin: Metodologi Pemahaman Hadits Ulama Awal Islam
tampak sebagai kebijakan dari Nabi. Bahkan keputusan melalui musyawarah sahabat adalah bernilai ke-Ilahi-an meskipun nilainya terletak pada prinsip aplikasi di mana merujuk pada bingkai ke-Ilahi-an dan bukan pada materi keputusan yang dihasilkannya. Oleh karenanya, dalam konteks pengertian ahli hadis dipahami bahwa atsar sahabat dan tabiin2 adalah bagian dari hadis dalam bentuk mawquf dan maqthu’. Selanjutnya tentang hal ini perlu dibedakan dengan perkataam sahabat dan tabiin, dalam konteks pernyataan pribadi yang tidak bermuara pada tasyri‘ ilahiyah.3 Pada masa Nabi, pemahaman terhadap hadis belum dibukukan atau tadwin meskipun proses ke arah itu telah mulai dalam bentuk lisan atau syafawiyah dan tulisan atau kitabah. Wujud pemahaman dalam bentuk tulisan atau al-kitabah dan dalam bentuk tanskrip atau al-sahifah di kemudian hari menunjukkan bahwa adanya fakta pemahaman-pemahaman para sahabat tentang apa yang dijelaskan Nabi. Di samping dipahami dalam bentuk ingatan atau hifz fi al-shudur, juga dicatat dalam naskah-naskah yang berbentuk sahifah dan kitab. Metodologi Imam Al-Syafi’i Al-Syafi’i yang tampil moderat antara ahlu al-ra’yi dan ahlu al-hijaz dinilai sangat teliti, hati-hati dan mendalam dalam menyelesaikan pemahaman hadis-hadis dan teksnya, tidak terkecuali dalam bidang non-tasyri‘. Demikian juga pada bidang mu’amalah telah memberi perumusan sistimatik dan tegas, bahwa setiap sunnah harus dipegang dan diamalkan apabila sunnah tersebut berasal langsung dari Nabi, dengan bukti hadis, meskipun hadis tersebut diriwayatkan dengan jalur ahad. Pada penjelasan teori tentang khabar ‘ammah dan khabar khassah, alSyafi’i berkata, bahwa hadis ahad ialah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang dari satu orang dan demikian seterusnya sampai ke sumbernya yakni Nabi atau sahabat. Hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah kecuali jika periwayatnya terpercaya dalam agama, jujur dalam periwayatan, memahami apa yang diriwayatkan, menyadari suatu kemungkinan yang dapat mengubah arti hadis, cakap atau dhabit meriwayatkan hadis kata demi kata sebagaimana yang didengar dan bukan hanya meriwayatkan maksudnya. Sebab bila diriwayatkan maksudnya tanpa menyadari yang dapat mengubah artinya mungkin dia telah merubah halal kepada yang haram atau sebaliknya. Namun bila meriwayatkan kata-kata demi kata, tiada alasan untuk khawatir akan terjadinya perubahan maksud hadis, hendaknya menghafal dengan cermat bila diriwayatkan atas dasar hafalan atau mencatat dengan cermat bila meriwayatkan dengan catatan, sehingga dalam riwayat tidak terjadi tadlis. _____________ 2
Sa‘id bin Musayyab (w. 94 H.), Sa‘id bin Zubair (w. 95 H.), Muhammad bin Sirrin (w. 110 H.), Nafi‘ mawla Ibnu ‘Umar (w. 117 H.), Juwayriyah mawla Ibnu ‘Umar (w. 117 H.), Ubaidillah bin ‘Umar (w. 117 H.), Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar (w. 120 H.), Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 124 H.), Syu‘ib bin Abi Hamzah (w. 124 H.), Laits bin Sa‘ad (w. 128 H.), Zubair bin ‘Adi (w. 135 H.), Suhail bin Abi Shalih (w. 138 H.), al-‘Amasyi (w. 148 H.), Abu Hanifah (w. 150 H.), Ibnu Juraij (w. 150 H.), Ibnu Ishak (w. 151 H.), Ma‘mar bin al-Yamin (w. 153 H.), alAuza‘i (w. 156.), Sa‘ad bin Abi ‘Urbah (w. 157 H.), al-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H.), Syu‘bah bin al-Hajjaj (w. 160 H.), Sufyan al-Tsauri (w. 161 H.) 3 Al-Tarmasi, Manhaj Zawi al-Nadzar, cet. IV (Mesir: al-Babi al-Halabi, 1985), 8-10 Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
171
Menurut penulis, konsekuensi dari teori pengklasifikasian al-Syafi’i di atas telah melahirkan disiplin ilmu lain, yaitu ilmu al-Naqd al-Hadis atau ilmu Jarh wa al-Ta’dil al-Hadis dan ilmu Mushthalah al-Hadis yang dikenal dengan ilmu Dirayah al-Hadis. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa di samping menjaga keutuhan teks, bunyi teksnyapun harus dipertahankan baik dalam persoalan syari‘at maupun dalam persoalan mu’amalah. Sebab jika bunyi hukum dalam nuansa teks, maka teksnya adalah ta‘abbudi dan tidak boleh dirubah, demikian maksud syari‘at untuk kemaslahatan yang harus difahami secara terpadu dengan bunyi teksnya kecuali ada petunjuk pengalihan arti lahiriah dari teks tersebut. Oleh karenanya, kajian pemahaman illat hadis dalam pandangan al-Syafi’i adalah urgen dibicarakan. Prinsip lain yang ditegaskan oleh al-Syafi’i dalam memahami hadis ialah jangan sekali-kali mempertentangkan antara hadis-hadis Nabi, selama mungkin ditemukan pengkompromiannya, agar hadis-hadis tersebut sama-sama dapat diamalkan. Jangan terlantarkan hadis yang satu lantaran hadis yang lain, karena umat punya kewajiban yang sama untuk mengamalkan masing-masing hadis tersebut. Oleh karena itu, jangan jadikan pemahaman terhadap hadis sebagai pertentangan kecuali apabila tidak mungkin dapat diamalkan, selain harus meninggalkan salah satunya.4 Metodologi pemahaman makna hadis menurut al-Syafi’i, terlihat dalam kutipan al-Suyuthi ketika mengutip pendapat Imam al-Baihaqi dalam salah satu bab tentang penjelasan dimensi al-sunnah, bahwa ia pernah mengutip pandangan Imam al-Syafi’i tentang kedudukan sunnah Nabi dalam tiga perspektif. Pertama, yang diturunkan Allah dalam al-Qur’an sebagai suatu nas, maka Nabi melaksanakannya sebagaimana isi nas tersebut. Kedua, yang diturunkan Allah di dalam al-Qur’an secara keseluruhan, maka Nabi menjelaskan maksud sebenarnya yang terkandung dalam firman Allah tersebut, sehingga mendapatkan kejelasan bahwa yang diwajibkan Allah adalah umum atau khusus, serta bagaimana cara umat manusia melaksanakannya. Ketiga, sesuatu yang dilakukan sendiri oleh Nabi tentang hal-hal yang tidak terdapat nasnya dalam al-Qur’an. Dalam hal ini, menurut Imam al-Syafi’i, sebahagian ulama mengemukakan pendapat bahwa Allah sengaja mewajibkan Nabi taat kepadaNya, dimana Allah dalam hal ini telah mengetahuinya dan memberikan taufik kepadanya, sehingga meridhai segala sunnahnya berkaitan dengan tidak adanya nas al-Qur’an. Sementara sebahagian ulama lain mengatakan bahwa mustahil Nabi melakukan sesuatu perbuatan yang lepas dengan tidak berdasar pada alQur’an, sehingga perbuatan ini menjadi sunnah beliau. Seperti jumlah raka’at shalat, dan bagaimana cara melaksanakan kewajiban shalat tersebut. Sebab dalam al-Qur’an hal kewajiban shalat hanya dimuat secara global. Demikian halnya dengan sunnah Nabi tentang ketentuan hukum jual beli serta hukum syara’ yang lain. Oleh sebab itu, apa yang dihalalkan Nabi atau yang diharamkannya, sesungguhnya beliau sekedar menjelaskan tentang tuntutan yang diterimanya dari Allah sebagaimana penjelasan beliau tentang shalat. 5 _____________ 4
Al-Syafi‘i, al-Risalah, 369-372; al-Syafi‘i, al-‘Umm, 644. Serta Muhammad Abu Zahrah, al-Syaf‘i Hayatuhu wa ‘Ashruhu wa Fiqhuh (t. tp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t. th), 247 5
Al-Suyuthi, Argumentasi al-Sunnah: Kontra atas Penyimpangan Sumber Hukum Orisinil, terj. Saifullah (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), 23 172
Zainuddin: Metodologi Pemahaman Hadits Ulama Awal Islam
Metodologi Imam Ibnu Qutaibah Metodologi pemahaman hadis lainnya dikembangkan oleh Ibnu Qutaibah. Sebagai ulama Ensiklopedis, Ibnu Qutaibah mencoba memahami makna hadis dengan mengklasifikasikan kepada tiga hal: Pertama, sunnah harus dipahami dalam kondisi sebagai wahyu yang dibawa oleh Jibril kepada Nabi-Nya. Sunnah semacam ini mesti diikuti karena ia bersifat tasyri‘. Dan posisi Nabi saat itu harus dipahami sebagai pembawa risalah. Kedua, sunnah harus dipahami dalam wacana sebagai yang disunatkan dan ia mesti diikuti secara kondisional dan diterapkan logika kondisional. Ketiga, sunnah harus dipahami dalam dimensi pengajaran, sunnah semacam ini dikenal dengan irsyad. 6 Muhammad bin Qutaibah (w. 276 H) adalah penulis pertama dari kalangan ulama klasik yang menyinggung masalah metodologi versifikasi sunnah. Ia menjelaskan tema pembagian sunnah dalam kitabnya Ta’wīl Mukhtalaf al-Hadis,7 secara rinci dapat kita lihat bahwa: Pertama, sunnah yang disampaikan oleh Jibril dari Allah. Misalnya, sabda Nabi:
ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺑﻮ ﻣﻌﻦ اﻟﺮﻗﺎﺷﻰ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺧﺎﻟﺪ ﺑﻦ اﳊﺎرث ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻫﺸﺎم ﻋﻦ ﳛﲕ اﻧﻪ ﻛﺘﺐ اﻟﻴﻪ ﻋﻦ ﰊ ﺳﻠﻤﺔ ﻋﻦ اﰊ ﻫﺮﻳﺮة 8 ﻻ ﺗﻨﻜﺢ ا ﳌﺮءة ﻋﻠﻰ ﻋﻤﺘﻬﺎ وﻻ ﻋﻠﻰ ﺧﺎﻟﺘﻬﺎ: ﻗﺎل ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ﷺ “...Seorang wanita tidak boleh dinikahi oleh paman dari bapaknya dan paman dari ibunya”.
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺴﻠﻢ ﺑﻦ اﺑﺮاﻫﻴﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳘﺎم ﺣﺪ ﻗﺘﺎدة ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ زﻳﺪ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس رﺿﻲ ﷲ ﻋﻌﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎل ﻗﺎل اﻟﻨﱯ 9 ( ﳛﺮم ﻣﻦ اﻟﺮﺿﺎع ﻣﺎﳛﺮم ﻣﻦ اﻟﻨﺴﺐ ﻫﻲ ﺑﻨﺖ اﺧﻲ ﻣﻦ اﻟﺮﺿﻀﺎﻋﺔ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري: ﷺ “...Haramnya saudara sepersusuan sama haramnya seperti saudara satu nasab yaitu saudara perempuan sepersusuan”.
ﺣﺪﺛﻨﺎ زﻫﲑ ﺑﻦ ﺣﺮب ﺣﺪﺛﻨﺎ اﲰﺎﻋﻴﻞ ﺑﻦ اﺑﺮاﻫﻴﻢ وﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻮﻳﺪ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻌﻌﺘﻤﺮ ﺑﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎن ﻛﻼﳘﺎ ﻋﻦ 10 ﻻ ﲢﺮم اﳌﺼﺔ وﻻ اﳌﻤﺼﺘﺎن: اﻳﻮب ﻋﻦ اﰊ ﻣﻠﻴﻜﺔ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ زﺑﲑ ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ﷺ “...Satu atau dua sedotan (susu seorang wanita) tidak menyebabkan terjadinya mahram (bagi usia bayi menyusui)”.
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺜﻤﺎن ﺑﻦ اﰊ ﺷﻴﺒﺔ ﺛﻨﺎ ﻳﻮﻧﺲ ﺑﻦ ﷴ ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ اﻟﻮاﺣﺪ ﺑﻦ ز ر ﺛﻨﺎ ﳎﺎﻟﺪ ﻗﺎل ﺛﻨﺎ ﻟﺸﻌﱯ ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﷲ ان اﻣﺮاﺗﲔ ﻣﻦ ﻫﺰﻳﻞ ﻗﺘﻠﺖ اﺣﺪاﳘﺎ اﻻﺧﺮى وﻟﻜﻞ واﺣﺪ ﻣﻨﻬﻤﺎ زوج ووﻟﺪ ﻓﺠﻌﻞ رﺳﻮل ﷲ ﷺ دﻳﺔ اﳌﻘﺘﻮﻟﺔ ﻋﻠﻰ 11 ﻋﺎﻗﻠﺔ اﳌﻘﺘﻮﻟﺔ “...Denda karena melukai atau membunuh yang tidak sengaja itu wajib dibayar oleh ahli waris ashabah dari ayah”. Kedua, sunnah dimana Nabi diizinkan oleh Allah untuk menetapkannya sendiri dengan menggunakan pendapatnya, sehingga Nabi dapat memberikan _____________ 6
Ibnu Qutaibah, Ta’wil…, 190-199 Ibnu Qutaibah, Ta’wil…, 183-184 8 Muslim, Sahih Muslim, juz. I (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah), 645 9 Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz. II (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah), 149 10 Muslim, Sahih Muslim, 672 11 Abu Daud, Sunan Abu Daud, jil, IV (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah), 192 7
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
173
keringanan hukum kepada siapa saja yang ia kehendaki sesuai dengan alasan hukum dan uzurnya. Misalnya Nabi mengharamkan orang laki-laki memakai sutera, tetapi beliau mengizinkannya untuk Abd al-Rahman bin ‘Auf karena alasan tertentu. Contoh lain, sabda beliau ketika berada di Makkah adalah : 12
ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺑﻮ ﻧﻌﻴﻢ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺷﻴﺒﺎن ﻋﻦ ﳛﲕ ﻋﻦ اﰊ ﺳﻠﻤﺔ ﻋﻦ اﰊ ﻫﺮﻳﺮة … ﻻ ﳜﺘﻠﻰ ﺧﻼﻫﺎ وﻻ ﻳﻌﻀﺪ ﺷﺠﺮﻫﺎ
“...Janganlah dicabut dan ditebang pohonnya”. Kemudian Abbas bin Abdul Muthalib berkata: “Wahai Rasulullah, kecuali pohon idkhir atau lemon grass. Karena pohon itu digunakan untuk membuat rumah. Akhirnya Nabi bersabda: اﻻ اﻻذﺧﺮArtinya: “Kecuali pohon idkhir”. Seandainya Allah mengharamkan memotong seluruh pohon yang ada di Makkah, tentunya ‘Abbas tidak akan memberikan komentar mengenai apa yang sebenarnya dimaksudkan Nabi yakni mengecualikan pohon idkhir. Tetapi karena Allah membolehkan Nabi untuk mengecualikan sesuatu yang dianggap baik, maka beliau mengecualikan pohon idkhir untuk kepentingan para sahabatnya. Ketiga, sunnah yang Nabi tetapkan sebagai pelajaran etika bagi umat. Ketika menyikapi polemik lebih tegas pada periode kekacauan dan konflik mengenai status relatifitas sumber-sumber hukum Islam otoritatif antara tiga ekstrem: pragmatis hukum atau ahl al-ra’yi, teolog spekulatif atau ahl alkalam dan pendukung kuat hadis atau ashab al-hadis, Ibnu Qutaibah berkomentar bahwa ketiga ekstrem tersebut tidak menolak atau tidak menganggap keteladanan Nabi Muhammad tidak otoritatif. Kesimpulan Ibnu Qutaibah ini juga didukung oleh al-Syafi’i bahwa ahl al-kalam concern terhadap hadis dan tidak menentang kewenangan Nabi, dan tidak pula mempertanyakan kewajiban umat Islam untuk mentaatinya. Yang menjadi pertanyaan bagi kaum muslimin pada waktu itu adalah tentang hadis.13 Kenyataan di atas menunjukkan bahwa komitmen umat Islam terhadap sunnah bukan pada tataran pro atau kontra terhadap sunnah, tetapi justru pada sistematisasi sunnah menjadi hadis. Meskipun sunnah itu dibedah menjadi berbagai dimensi, tetapi bukanlah bertujuan untuk memilah dan memilih bahagian sunnah yang harus dilestarikan dan atau yang harus ditinggalkan. Lantas, jika perbincangan itu tidak mengarah kepada pro dan kontra maka apakah permasalahannya menjadi final dalam bentuk aktualisasi sunnah dalam konteks modernitas seperti adanya yang terjadi pada era muslim klasik dulunya. Nampaknya, masalahnya tidak sesederhana itu, sebab Ibnu Qutaibah hanya memberikan informasi yang berkembang pada masa tersebut dan menjadi pertimbangan akademis bagi ilmuan muslim saat ini yang kondisi dan permasalahannya jelas berbeda dengan kondisi ril pada waktu itu.
Metodologi Imam Al-Qarafi _____________ 12
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari…, jil. IV, 2749
13
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti (Bandung: Mizan, 1996), 27-29 174
Zainuddin: Metodologi Pemahaman Hadits Ulama Awal Islam
Metodologi pemahaman hadis lainnya dikembangkan oleh al-Qarafi, dimana menurutnya hadis harus dipahami dalam kategori yang berbeda-beda, sebab perbuatan Nabi dalam berbagai kategori akan menghasilkan pengaruh yang berbeda-beda pula. Pertama, hadis yang disampaikan dalam kapasitas Nabi sebagai pembawa risalah, maka setiap perintah harus dituruti dan larangan harus ditinggalkan, sedangkan yang mubah dihukumkan ke atas yang mubah. Kedua, jika kapasitas Nabi sebagai pemimpin, maka tidak ada orang dapat melakukan kecuali seizin pemimpinnya. Ketiga, jika Nabi berkapasitas sebagai hakim, maka tak berhak orang lain melakukan sesuatu kecuali atas perintah hakim. Demikian hadis harus dipahami berdasarkan apa dan bagaimana kapasitas Nabi.14 Imam Syihab al-Din al-Qarafi adalah seorang ulama besar mazhab Maliki berasal dari Mesir. Ia menguraikan dengan baik mengenai sunnah Nabi dan mengenai perbedaan konteksnya; yaitu, pertama, sunnah dimana Nabi berkedudukan sebagai Rasul; kedua, bertindak sebagai seorang mufti; ketiga, bertindak sebagai qadhi; keempat, bertindak sebagai kepala negara dan pemimpin masyarakat atau imam; dan kelima Nabi bertindak sebagai pribadi.15 Implikasi pembagian konteks sunnah tersebut terhadap keumuman dan kekhususan hukum, pemutlakan dan pembatasan hukum. Masalah ini diuraikan dalam kitabnya al-Furuq dan al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa min al-Ahkam wa Tasharrufat al-Qadhi wa al-Imam.16 Mengenai metodologi Ibnu Qayyim, ia juga mengembangkan metodologi pemahaman hadis sejalan dengan metodologi pemahaman al-Qarafi. 17 Metodologi pemahaman makna hadis oleh generasi tabiin dan seterusnya dalam literatur-literatur hadis, secara garis besar menggunakan dua metode yaitu metode tahlili18 dan metode mawdhu’i.19 Di mana kedua metode tersebut bercorak antara bi al-ma’tsur atau bi al-riwayah dan bi alra’yi. Di samping itu terdapat metode-metode lain seperti metode ijmali, matuli dan muqarran. Sedangkan corak pemahaman lainnya seperti pemahaman falsafi, shufi, fiqhi, hadhari, dan ‘ilmi. Cara penyelesaian hadis melalui metode tahlili ialah para ahli hadis mensyarah kandungan hadis dari berbagai segi secara beruntun sebagaimana tercantum dalam naskah, mushaf dan kitab hadis maupun penjelasan terhadap suatu hadis. Metode ini dikenal dengan metode tajzi’i. Langkah ini diawai dengan penjelasan kosakata, asbab al-wurud dan munasabah al-hadis. Metode ini dinilai sangat luas, namun tidak mampu menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan kelanjutannya pada hadis yang lain sehingga tidak menjadi satu kesatuan tema. Kesimpulan _____________ 14
Syihab al-Din al-Qarafi, al-Furuq…, 105-208; dan al-Ihkam …, 86-109 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1996), 96 16 Yusuf al-Qaradhawi, Kayfa Nata‘ammal ma‘a al-Sunnah al-Nabawīyah (USA: Ma‘had al-‘Alam li al-Fikr al-Islami, 1939), 24 17 Ibnu al-Qayyim, Zad al-Ma’ad, ji. III, 489 18 Baqir al-Sadr, al-Tafsir al-Mawdhu‘i wa al-Tafsir al-Tajzi‘i fi al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar al-Ta‘aruf li al-Mathbu’ah, 1990), 10 19 Abd al-Hay al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i (Kairo: al-Hadharah al‘Arabiyah, 1977), 23 15
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
175
Meskipun demikian, metode ini masih selalu digunakan sebagai pelestarian khazanah di samping belum ada metode lain yang telah baku dalam tataran aplikatif, kecuali hanya dalam tataran teori dan beberapa contoh terapannya saja. Oleh karenanya untuk menyelesaikan satu permasalahan pokok perlu diterapkan metode mawdhu‘i, yaitu para muhadditsīn berupaya menghimpun hadis-hadis dalam berbagai naskah, mushaf dan kitab-kitab hadis yang berkaitan dengan tema yang sama, selanjutnya memberi analisa pemahaman maknanya sehingga menjadi kesatuan tema yang utuh.
176
Zainuddin: Metodologi Pemahaman Hadits Ulama Awal Islam
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud. Sunan Abu Daud, jil, IV. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah Abu Zahrah, Muhammad. al-Syaf‘i Hayatuhu wa ‘Ashruhu wa Fiqhuh. t. tp: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t. th Al-Bukhari. Sahih al-Bukhari, juz. II. Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah Daniel W. Brown. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti. Bandung: Mizan, 1996 Al-Farmawi, Abd al-Hay. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i. Kairo: alHadharah al-‘Arabiyah, 1977 Muslim. Sahih Muslim, juz. I. Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah Al-Qaradhawi, Yusuf. Kayfa Nata‘ammal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyah. USA: Ma‘had al-‘Alam li al-Fikr al-Islami, 1939 Al-Sadr, Baqir. al-Tafsir al-Mawdhu‘i wa al-Tafsir al-Tajzi‘i fi al-Qur’an alKarim. Beirut: Dar al-Ta‘aruf li al-Mathbu’ah, 1990 Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1996 Al-Suyuthi. Argumentasi al-Sunnah: Kontra atas Penyimpangan Sumber Hukum Orisinil, terj. Saifullah. Surabaya: Risalah Gusti, 1997 Al-Syafi‘i. al-Risalah, ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir. Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyah, t. th. Al-Tarmasi. Manhaj Zawi al-Nadzar, cet. IV. Mesir: al-Babi al-Halabi, 1985
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
177