Metode Induktif Deskriptif dalam Penelitian Bahasa Oleh Dr. Emil Badi’ Ya’cub
Abstract This article is a chapter summary and an Indonesian version of Dr. Emil Badi’ Ya’cub’s Fiqhul al-‘Arabiyah, firstly published by Darusstaqafah al-Islamiyah (Beirut) in 1982. Drs. Hi. Abdul Hamid, M. Ag has translated it from pages 85-107.
A. Pendahuluan: Sejarah Pertumbuhan Metode tradisional dan metode induktif deskriptif (metode modern) merupakan dua metode penelitian bahasa terpenting. Metode tradisional telah mendominasi studi-studi kebahasaan sejak lama, semenjak kemunculan metode tersebut di negeri Yunani pada zaman Aristoteles hingga akhir abad 19. Aristoteles (384-322 SM) adalah seorang pendidik Iskandaria dan filsuf Yunani. Karya-karya Aristoteles telah mewarnai pemikiran bangsa Arab sejak dini, di antaranya organon, metafisika, politik, dan ilmu jiwa (Ferdinand T., 1973:34). Metode induktif deskriptif (metode modern) adalah metode yang banyak dipergunakan dalam penelitian termasuk penelitian kebahasaan. Timbulnya metode induktif deskriptif merupakan jawaban terhadap metode tradisional yang mendominasi studi-studi kebahasan, baik bahasa Arab maupun bahasa Eropa pada kurun ini. Metode deskriptif induktif muncul pada awal abad ini dikalangan bangsa barat, kemudian mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara pesat pada dekade terakhir, terutama banyak dipergunakan dalam penelitian murni dan penelitian terapan. Setelah melalui pengakajian secara seksama metode ini oleh peneliti bangsa arab baru mereka pergunakan dalam penelitian kebahasaan (lihat Ali Abdul Wahid Wafi, Kamal Basyir, 1971 dan Ibrahim Anis, 1976). Di mana teori-teori metode deskriptif itu mereka aplikasikan dalam fakta-fakta kebahasaan, terutama konsep-konsep dasar penelitian kebahasaan (pengertian kata, kalimat, morfologi dan struktur, dll). B. Para Tokoh Metode Deskriptif Tokoh-tokoh penting dalam metode ini adalah Ferdinand de Saussure, Edward Sapir, Leonard Bloomfield, Nekolai S. Troubetskoy linguis Rusia (1890-1938 M) seorang
pengajar di Universitas Moskow 1905. Migrasi ke Vena tahun 1922 dan memberi kuliah pada Universitas Vena dalam bidang linguistik klasik dan sastra Rusia. Nikolai S.Trouberskoy pencetus ilmu fonetik/fonologi. Bukunya berjudul Prinsip-prinsip Fonologi diterbitkan tahun 1939 (Misyal Zakaria, 235-236). Dan Roman Jacobson seorang Linguis Rusia (1896) mendalami gramatika perbandingan dan linguistik klasik. Andilnya cukup besar dalam meletakkan teori-teori sastra modern. Dan beliau juga sebagai tenaga pengajar di berbagai Universitas (New York, Columbia, dan Harvard) (Ibid., 241-242). Sedangkan tokoh lainnya seperti Andre Martienet, Noam Chomsky. Noam Chomsky linguis Amerika (1928) mendalami linguistik, matematika dan filsafat, akan tetapi dia lebih dikenal dalam bidang linguistik dan dianggap peletak teori generatif transformatif. Teori-teorinya tersebar diseluruh dunia (Ibid., 259-260). Dari sejumlah tokoh metode deskriptif induktif di atas, nampaknya penulis hanya membatasi pembicaraan pada tiga tokoh pertama secara garis besar.
1. Ferdinand de Saussure. Ferdinand de Saussure (1857-1913) sebagai peletak baru pertama linguistik modern, lahir di Swiss dan mendalami bahasa Sansekerta (India klasik). Memperoleh gelar Doktor dalam bidang bahasa Sansekerta. De Saussure mengajar pada Akademi Paris selama 10 tahun dalam komperatif gramatika. Dan bergabung dalam masyarakat lingustik Prancis dan migrasi ke Jeneva, di sana sebagai seorang pengajar dalam komparatif gramatika dan linguistik umum. Pada tahun 1913 de Saussure wafat dan setelah itu para mahasiswanya menghimpun hasil kuliahnya. Diterbitkan dalam bentuk buku berjudul “Kuliah-kuliah dalam linguistik umum”. Beberapa teori de Saussure terpenting ialah: 1. Bahasa adalah materi pembahasan linguistik. Menurut de Saussure bahwa tujuan utama studi kebahasaan adalah studi tentang bahasa itu sendiri sebagai fenomena yang ada dengan sendirinya, dapat dilihat dari beberapa aspek (fungsi, kondisi timbulnya bahasa, aturan-aturan dan kandungannya).
2. Membeda studi diakronik dan sinkronik. Menurut de Saussure oriented historical yang dipedomani linguistik zaman dahulu tidak ilmiah, sebab menggabungkan dimensi sejarah dan penyusunan bahasa. Lebih jauh dikatakan dari satu sisi bahwa bahasa adalah kenyataan berdiri sendiri di setiap saat dan evolusi sejarah dari sisi lain. Maka pola penelitian bahasa itu harus dibedakan kepada diakronik yakni mempelajari fenomena bahasa dalam perkembangannya lewat masa-masa yang dilampauinya. Dan sinkronik yakni mempelajari fenomena bahasa pada waktu tertentu. Penelitian bentuk kedua ini secara tegas dikatakan studi deskriptif hasil penemuan linguis modern merupakan metode yang cukup baik untuk studi bahasa secara ilmiah.
3. Langguage and Speech. De Saussure membedakan dua istilah “Language” dan “Speech”. Langguage/bahasa adalah aturan terpendam dalam diri manusia manakala mau berbicara menggunakan satu bahasa. Karena bahasa itu terpendam hanya bisa terwujud melalui latihan berbicara oleh individu-individu. Sedangkan speech adalah wujud bahasa yang terdapat pada individu manapun juga dan memiliki kaitan erat dengan bahasa, tetapi bahasa berbeda dengan speech/ujaran bukan kenyataan sosial melainkan kenyataan individual yang timbul melalui kesadaran individu serta memiliki atribut kebebasan memilih. Bahasa walaupun keluar dari perbuatan individu tetap tidak terlepas dari naluri bahasa tersebut. Dengan demikian speech bersifat individual berpijak pada dasar seleksi dan tidak bisa diprediksikan maka tidak dapat dikaji secara ilmiah. Sedangkan langguage merupakan kenyataan sosial yang bersifat universal.
4. Bahasa sebagai tanda. Menurut de Saussure sebagai sistem tanda diindikatori oleh adanya hubungan yang erat antara significant, yakni gambaran tatanan bunyi secara abstrak dalam kesadaran batin pemakainya, dengan signifie, yakni gambaran makna secara abstrak sehubungan dengan adanya kemungkinan hubungan antara abstraksi bunyi dengan dunia luar.
2. Edward Sapir (1848-1939) Edward Sapir adalah salah seorang tokoh aliran deskriptif. Sapir bekerja di Universitas Columbia New York dimana dia mendalami bahasa Jerman. Memperoleh gelar doktor dalam bidang Antropologi tahun 1909. Dia sangat tertarik meneliti bahasa India dan Eropa. Satu karyanya dalam bentuk buku berjudul Langguage (Edward Sapir, 1921) dan banyak makalah, artikel dipublisir dalam majalah dan surat kabar Amerika. Sapir, sebagaimana de Saussure, membedakan studi diakronik dan sinkronik. Memiliki kontribusi paling besar dalam linguistik modern dengan karyanya yang berjudul Forma Linguistic atau Forma Struktur Bahasa, menurut dia metode ilmiah harus memfokuskan pada studi struktur bahasa, yakni studi tentang pola-pola bahasa dalam hal sound, kata dalam kalimat, alasanya karena struktur bahasa merupakan ciri-ciri bahasa paling penting. Bukan hanya mementingkan forma linguistik yang pelaksanaanya telepas dari fungsi bahasa sebagai penjelasan pengertian. Dus dengan demikian harus meliputi dua hal pokok. Pertama, gambaran-gambaran bunyi sebagai dasar dilaksanakannya bahasa dalam proses komunikasi dengan orang lain. Kedua, metode forma memiliki kaitan erat dengan gambaran-gambaran bunyi tersebut, melalui gambaran bunyi itu pengertian dapat dinyatakan (Ibid., 59 dan 35). Sapir memusatkan studi kebahasaan pada forma linguistik/pola-pola fonologi dengan memeperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Kontinuitas pola-pola atau perceptual form dalam perubahan kondisi/keadaan yang terkandung pada sound. 2. Kemungkinan ada dua bahasa atau dialektika yang mirip bahkan sepadan dalam forma linguistiknya, dan berbeda dalam hal sound bahasanya. 3. Kemungkinan ada dua bahasa kandungan bahasanya tidak mengikuti pola-pola fonologi yang berlaku. Metode ilmiah dalam penelitian bahasa menolak penggunaan pola-pola dari bahasa lain, tetapi harus beranjak dari kenyataan bahasa itu sendiri karena setiap bahasa memiliki bagian-bagian dan struktur tertentu (Ibid., 119), maka harus memfokuskan pada studi unsur-unsur pokok yang membentuk forma linguistik. Unsur-unsur tersebut oleh Sapir dibagi tiga bagian yaitu radical-grammatical element, word dan sentence (Edward Sapir, loc.cit., 33-35). 3. Leonadr Bloomfield (1877-1949) Mendalami bahasa Jerman di Universitas Harvard USA, memperoleh gelar doktor dalam bahasa tersebut. Pada tahuan 1914 bukunya berjudul Introduction to study of Language diterbitkan. Pada tahun 1993 dicetak ulang setelah disempurnakan dengan judul Language yang tersebar luas di seluruh dunia bahkan dianggap sebagai acuan pokok untuk studi kebahasaan pada waktu itu (Abduh Al Rajihi, 1979, 38). Bloomfield ikut serta mendirikan masyarakat linguistik Amerika. Teorinya dipengaruhi behaviourisme dalam menerangkan perilaku manusia bersifat dualisme, yakni stimulus-respon. Di dalam karyanya tersebut tertuang batasan studi kebahasaan dan kritiknya terhadap metode historis/sejarah dimana alasan yang dikemukakan bersifat normatif, maka dia mengajak menggunakan metode deskriptif induktif (Ibid., 20). Lebih lanjut menurut Bloomfield bahwa bahasa itu sebagai respon pembicaraan terhadap stimulus di sekitarnya. Dengan demikian bahasa merupakan gambaran tentang perilaku jasmani. Adapun keadaan pembicaraan dapat dikembalikan kepada tiga bagian: a. Peristiwa/kejadian lebih mendahului daripada proses percakapan. b. Terjadinya proses pembicaraan. c. Peristiwa/kejadian itu diikuti oleh proses berbicara. Menurut Bloomfield dalam menginterpretasikan pembicaraan harus dibedakan kepada dua hal. Pertama, mentalistik adalah perilaku seseorang yang dikembalikan pada rohaninya, akal atau keinginannya yakni faktor non-fisik oleh karena itu tidak digolongkan dalam deskripsi ilmiah. Kedua, materialistik/mekanistik yaitu penilaian manusia terhadap stimulus yang ada disekitarnya, teori ini sangat baik digunakan untuk meneliti perilaku manusia/seseorang melalui pengamatan, sebab respon seseorang itu timbul dari dalam dirinya sendiri, oleh karena itu berdasarkan tingkah laku yang diketahui dapat dilakukan prediksi. Dengan demikian tingkah laku kembali kepada hal-hal bersifat fisik, maka dapat
diamati, diprediksi dan ditafsirkan. Dari faktor-faktor ini titik tolak studi Bloomfield terhadap fonem, pola-pola bahasa dan struktur bunyi, forma gramatika dan variasai perubahannya. Dalam studi pembicaraan/kalam oleh Bloomfield dimulai dengan bagian yang menyusun pembicaraan/kalam itu, yakni suatu kalimat dipecah menjadi kata-kata dan setiap kata dibagi kepada morfim-morfim.
C. Metodologi Para tokoh linguistik modern atau studi deskriptif dalam proses penelitian mereka untuk membentuk hipotesa beranjak dari pengamatan-pengamatan sebagai berikut : 1. Mengamati peristiwa-peristiwa dan fakta-fakta bahasa. 2. Merumuskan beberapa indikasi buat peristiwa-peristiwa yang hampir mirip/serupa. 3. Merumuskan hipotesa menginterpretasikan peristiwa itu berdasarkan indikasiindikasi di atas. 4. Pengukuhan sinkronisasi hipotesa dengan fakta bahasa. 5. Membangun teori yang mendukung hipotesa. 6. Berdasarkan teori di atas dalam menerangkan dan menginterpretasikan masalahmasalah bahasa (Misyal Zakaria, 141). Ciri-ciri terpenting metode deskriptif ialah: 1. Berpatokan pada satu ukuran dalam menganalisa susunan bahasa. 2. Aturan-aturan yang dijadikan patokan itu jelas dan sederhana dalam menerangkan unsur-unsur bahasa, deskripsi dan interpretasinya. 3. Meliputi semua tingkatan kebahasaan (fonetik, morfologi, struktur dan semantik) dan masalah-masalah kebahasaan lainnya untuk diteliti. 4. Berdasarkan pada obyektivitas dalam membuktikan hipotesa kebahasaan. Karena metode deskriptif tidak membanguan suatu hipotesa kecuali setelah perolehan pengalaman/data dan pengkajian mendalam. 5. Bahasa termasuk salah satu obyek metode deskriptif. Seperti seorang analis anatomi tubuh manusia, dia tidak akan berkata bahwa tulang si A harus terletak di sini, timbangan dan bentuknya harus begini, akan tetapi dia hanya menerangkan secara obyektif apa yang dilihatnya. Demikian juga dengan peneliti bahasa harus menerangkan/menyebutkan karakteristik bahasa tanpa ada anggapan bahwa pembicaraan seperti itu tidak boleh dan ini boleh, sebab perhatian utamanya mengungkapkan/menggambarkan fakta-fakta bukan menerapkan aturan-aturan (Hasan Tamam, 16).
D. Metode Deskriptif dan Gramatika Arab Bila kita pusatkan pandangan kita pada sejarah studi bahasa Arab berdasarkan studi deskriptif yang sudah dijelaskan di muka, yakni tentang sejarah timbulnya metode deskriptif dan karakteristiknya, maka kita dapati studi oleh ahli gramatika Arab sejak dahulu kala telah melakukan usaha serius untuk mengembangkan metode deskriptif dalam penelitian bahasa (Ibid., 20). Dan metode deskriptif yang dilakukan oleh para ahli peneliti Arab periode pertama sebagai berikut: 1. Ciri studi dilakukan pertama kali menggunakan metode deskriptif dengan cara menghimpun bahasa itu, baru kemudian meneliti kaedah dari bahasa tersebut. 2. Mereka membatasi daerah yang baik mengambil bahasa yaitu daerah padang pasir/badiyah, menurut mereka bahwa bahasa orang perkotaan/lughah al-hawadir tidak lagi mencerminkan bahasa Arab yang baik/fushah sebab telah terpengaruh oleh orang asing (Ibnu Jini, 5). 3. Penelitian mereka adalah bahasa yang diucapkan bukan bahasa tertulis (Ibid., 241242). 4. Ciri yang menonjol dalam karya mereka pada waktu itu bersifat determinisi, yakni arti sebuah kata harus dilihat dari hubungannya dalam kalimat. Seperti tampak dalam beberapa karya mereka tempo dulu, terutama dalam buku Sibawaih dan Al Kasai memuat inti metode deskriptif. 5. Penelitian mereka meliputi semua tingkatan bahasa, yaitu fonetik, morfologi, gramatika, dan semantik. Bila dilihat buku-buku para ahli gramatika Arab terutama keluarran terakhir (seperti buku Ibnu Hisyam, Ibnu Anbari dan Al Hariri) secara jelas metode bahasa yang ditempuh oleh ahli gramatika Arab masih menggunakan metode tradisional/standar measure dalam beberapa hal berikut ini: 1. Dalam proses penelitian oleh para ahli gramatika Arab mempergunakan metode induktif (mengumpulkan untuk kasus atau kasus-kasus khusus, juga benar untuk semua kasus yang serupa) kemudian baru dikeluarkan kaedah-kaedah gramatikanya yang selanjutnya diaplikasikan kedalam bahasa. Di mana kaedah-kaedah itu harus mengikuti/tunduk kepada bahasa, baru dapat dikatakan benar dan salah satu kumpulan gramatika setelah diterapkan ke dalam bahasa. Setiap contoh dikemukakan biasanya disertai dengan keterangan atau penjelasan bahwa pada kata-kata ini terjadi deviasi/sudzudz atau jarang dipergunakan/nadira atau pemilik bahasa telah berbuat kesalahan. Seperti itulah cara mereka dalam menentukan gramatika. Dan bila terdapat contoh kata keluar dari kaedah itu, dijelaskan secara panjang lebar agar sejalan dengan kaedah-kaedah gramatika mereka, manakala tidak menemukan cara penjelasan yang memadai maka mereka katakan reduksi/qillah atau deviasi/sudzudz, dan suatu kesalahan.
Dalam penelitian deskriptif suatu hipotesa atau kaedah tidak dibangun terlebih dahulu, melainkan bila sudah melalui eksperimen pengkajian mendalam, sebab seorang peneliti perhatian utamanya menjelaskan apa yang dilihatnya secara obyektif, dan tidak boleh ada anggapan bahwa berkata seperti begini tidak boleh dan seperti itu boleh karena tujuannya yang utama menerangkan bahasa bukan menerapkan kaedah. Bagi kita berkata boleh, salah dan benar suatu hal yang penting dalam pengajaran, tanpa kita menghiraukan itu niscaya bahasa mengalami kerusakan. Akan tetapi harus melalui penelitian bahasa secara induktif terlebih dahulu, kemudian mematuhi aturan/kaedah gramatika. 2. Walaupun studi oleh ahli gramatika Arab meliputi semua tingkatan bahasa (fonetik, morfologi, gramatika, dan semantik), tetapi telah bercampur baur sedemikian rupa. Sebagaimana kita lihat dalam buku-buku gramatika tempo dulu dan terakhir masih dalam terminasi yang sama. Sedangkan metode deskriptif mengkaji semua tingkatan itu secara jelas. 3. Gramatika Arab dan metode deskriptif berpedoman pada standarisasi yang berbeda dalam menganalisa aturan bahasa. Umpamanya saja dalam membagi kata-kata Arab, sebagian mereka menganggap mabni atau syaklu sebagai dasar pembagian (Ibnu Aqil, 1964, 16-23). Kelompok lainnya membagi kata Arab itu berdasarkan pengertian atau fungsi (Ibnu Hisyam, 18). Fi’il/verb kepada al madi untuk kata kerja yang menunjukkan suatu peristiwa atau kejadian pada masa lalu, dan al mudari untuk kata kerja yang berharakah/vowel dan sukun/konsonan mirip kata benda.
4. Peneliti oleh ahli gramatika Arab terfokus pada masa kejayaan dalam sejarah bahasa Arab selama tiga abad (sekitar 150 tahun sebelum Islam berakhir hingga masa kemegahan/ihtijaj) pada waktu/kesempatan seperti ini tidak mungkin membuat fiksasi bahasa baik dari aspek struktur maupun speech/ujaran (Tamam Hasan, 25). Kita telah mengetahui bahwa metode deskriptif membuat diferensiasi studi, kepada sinkronik dan diakronik.
5. Studi oleh ahli gramatika Arab dengan cara mempelajari berbagai dialek suku-suku yang ada di Jazirah Arab seperti qais, tamim, asad, huzaif dan sebagian kinanah serta thaiyin (Sayuthi, 211). Semua dialek tersebut dikombinasikan sehingga terwujud sebuah gramatika umum berlaku untuk semua suku itu. Sedangkan metode deskriptif mempelajari semua dialek itu secara terbatas sekali hanya meninjaunya dari aspek sound, morfologi, gramatika dan semantik.
6. Para pemikir Arab banyak dipengaruhi oleh logika Aristoteles dalam menerangkan karakteristik kebudayaan dan ilmu pengetahuan mereke terutama dalam hal gramatika (Lihat Ali Abu Al Makarim, 107-142), sehingga pembahasan masalah gramatika lebih mendekati filsafat dibandingkan gramatika itu sendiri (Lihat :
Muhammad Al Qasar, 1978, 11). Untuk dapat melihat secara jelas pengaruh filsafat dalam gramatika Arab akan dibahas pada tiga point berikut ini :
a. Illat/Reason Perhatian metode deskriptif yang utama adalah menetapkan fakta-fakta kebahasaan diperoleh
melalui observasi
dan usaha interpretasi
tidak
menggunakan konsep-konsep non-kebiasaan. Sedangkan metode normatif atau gramatika konvensional perhatian utamanya mengetahui ‘illatnya sebagai contoh : Ja’a ar Rajulu, kedua metode itu sepakat bahwa kata Ja’a adalah fi’il madi mabni atas fatha, dan kata ar rajulu, fa’il /subyek dari ja’a berbaris rafa’/damma. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam menjawab dua pertanyaan berikut ini, mengapa fi’il itu dimabnikan? Dan mengapa fail itu di rafa’kan? Sementara metode deskriptif tidak memberikan alasan tentang dimabnikannya fi’il dan dirafa’kan fa’il itu hanya ucapan orang Arab (Nutq al Arab). Menurut pendapat aliran normatif/gramatika konvensional, alasan dimabnikan fa’il itu ism/noun yang paling banyak terdapat dalam bahasa, dan berbaris rafa’ lantaran dapat dii’rabkan. Adapun fi’il/verb bersumber pada perbuatan peristiwa itu sendiri, maka menduduki peringkat kedua sesudah ism/noun dari segi dominasi/kekuatan pengguanaan dan berbaris rafa’nya, dengan alasan itu harus dimabnikan. Dan lebih jauh dikatakan tentang dirafa’kan fa’il untuk dapat membedakan dengan ma’ful bih (obyek) berbaris fatha. Bila ada seorang bertanya mengapa tidak terjadi sebaliknya, yaitu dinashabkan/difathakan fa’il dan dirafa’kan maf’ul bih (obyek)?.
Tokoh aliran ini berpendapat bahwa fa’il di dalam kalam/pembicaraan lebih minim terjadi dibandingkan maf’ul bih (obyek), haraka damma dirasakan berat dalam ucapan, maka fa’il diberi harakah berat itu/damma. Dan haraka fatha dirasakan agak ringan diucapkan, oleh karenanya maf’ulbih diberi haraka fatha. Secara kuantitas harakah fatha banyak terpakai dalam pembicaraan dibandingkan haraka damma (Lihat: Anis Fariha, 134, 146-147).
b. ‘Amil/word governing another syntactical regime,
yaitu kata yang
mempengaruhi aturan sintaksis. Pada dasarnya masalah ‘amil adalah implikasi filsafat dan logika dalam penelitian bahasa, secara umum diakui bahwa bahasa Arab itu bersifat mu’rab (desinentially inflektive) dan mayoritas bagian terakhir suatu kata mengalami perubahan karena letaknya dalam struktur atau fungsional aturan gramatika (a.l. kata-kata mu’rab yaitu fi’il mudari’ yang belum dirangkaikan dengan nun taukid dan nun niswah, dan semua ism (kata benda) kecuali sebagian kecil saja, seperti kata yang berakhiran waih (Sibawaih) dan
katabenda
di
bawah
timbangan/wazan
fa’al
dan
sebagian
ism
al
isara/demonstrative pronoun, dan istifham/interrogative.
c. Substansi kategoris (maqulatul jauhar), yang salah satu kategoris Aristoteles yang sepuluh (substance, quantite, qualite, relation, place, position, passession, action, dan passion) (Ibid, 131). Bangsa Arab telah menerapkan substansi kategoris dalam gramatika mereka, terutama ketika menerangkan akar kata yakni asal fi’il dan isim serta memilih timbangan/wazan fa’ala dijadikan sebagai timbangannya, menurut mereka asal kata qama adalah qawama dan asal kata madda adalah madada serta asal kata qadin ialah qadi’, dan lain sebagainya. Dengan demikian untuk kata tunggal memiliki substansi sebagaimana juga suatu kalimat tentu mempunyai substansi. Contohnya: Fil madrasati mu’allim, ahli gramatika Arab menganggap secara substantif kalimat ini ada kekurangan, maka mereka taqdirkan (istilah nahu) dengan khabar makhzub (maujud atau mustaqir kainun).
Adapun aliran deskriptif berpendapat bahwa fi’il dalam bahasa Arab memiliki bermacam-macam timbangan/wazan (contohnya: darasa, ba’a, qaala, madda, d’a, baka, zalzala, akrama, dan istaghfara) tidak hanya satu timbangan/wazan. Dan i’rab dan mabni keduanya terbatas pada kata-kata tunggal belum masuk ke dalam struktur, bila sudah masuk dalam suatu struktur maka tidak ada lagi mu’rab dan mabni. Pada dasarnya pola-pola kalimat harus dipelajari sebagai suatu bentuk yang berdiri sendiri. Pada bagian penutup pembahasan ini, metode deskriptif sebagai salah satu alternatif untuk melengkapi kekurangan metode gramatika konvensional yang mana pada saat ini masih mendominasi berbagai jenjang pengajaran, karena metode deskriptif belum dapat mempersembahkan gramatika yang sempurna seperti apa yang dilakukan oleh gramatika konvensional (Abduh Al Rajihi, 48). Penulis mengajak untuk mengkaji ulang/melihat kembali gramatika tradisional yang kita ajarkan kepada siswa-siswa kita sekarang, yaitu belajar dengan cara baru berdasarkan metode induktif deskriptif lewat penyederhanaan kaedah-kaedah bahasa. Dengan penyederhanaan kaedah-kaedah bahasa itu akan mempunyai pengaruh terhadap kecintaan bahasa Arab, khususnya bagi generasi muda bangsa Arab maupun bangsa Asing non Arab yang belajar bahasa Arab.
(Alih bahasa: Abdul Hamid).