MERETAS NILAI-NILAI ISLAM UNTUK MENETAPKAN HARGA JUAL 1 Oleh Alimuddin
Mahasiswa S3 Universitas Brawijaya Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin
1. Relevansi Nilai Islam pada Konsep Harga Jual Kegiatan jual-beli di dalam Islam merupakan yang kegiatan yang melibatkan hubungan antara manusia (penjual) dengan manusia yang lain (pembeli) dan bercirikan ketuhanan (Qardhawi, 2000: 57). Sementara dalam pandangan Al-Maududi (2005: 5), perbedaan antara bisnis atau sistem ekonomi Islam dengan paham kapitalis dan sosialis adalah terletak pada norma yang melingkupinya, yaitu kejujuran, keadilan, persaudaraan, dan altruisme. Dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia, maka setidaknya seorang penjual harus berlaku jujur (shiddiq) kepada pembeli sehingga tidak terjadi penipuan di dalam bertransaksi (Afzalurrahman, 2000: 20-8, Qardhawi, 2000: 179, As-Sa‟dy, et al., 2008: 28-34 dan 42-5, Bewes, 2000, Hartropp, 2010, Hendricks dan Ludeman, 2003: 37, Al-Ghazali, 2008, dan HR Muslim). Sementara menurut (Hartropp, 2010, Amuli, 2005: 185, Islahi, 1997: 85-123, Rawls, 1999: 21-2, dan Kolm, 1995), kejujuran tidaklah cukup tanpa disertai keadilan („adl) di dalam memperlakukan setiap pelanggan dan lingkungan dimana perusahaan beroperasi. Keadilan akan mengurangi kesenjangan pemenuhan kebutuhan antar setiap pelanggan (Kolm, 1995 dan Hartropp, 2010).
1
Dipresentasi pada Seminar Hasil Penelitian Disertasi Doktor yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional pada tanggal 22-23 September 2010 di Jakarta.
2
Dilain pihak, masih ada sebagian umat manusia yang karena kondisi ekonominya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus agar mereka bisa eksis menjalani hidup ini. Oleh karena itu, sebagai sesama makhluk, seharusnya seorang penjual memiliki sifat
persaudaraan (ukhuwwah) dengan saling tolong menolong
dilandasi rasa kasih sayang untuk membantu sesamanya yang tidak mampu (Shihab, 1997b: 358, Chapra, 1999: 230-1, Hartropp, 2010, Qardhawi, 2000: 125-8, Masqood, 2003: 166, dan Taylor, et al., 2009: 457). Bahkan menurut AlMaududi, meskipun setiap orang mempunyai hak untuk memiliki kekayaan tetapi kepentingan kehidupan umat manusia pada umumnya adalah yang tertinggi karena mereka mempunyai hak untuk hidup dan hak kepemilikan (2005: 7-8). 1.1.
Konsep Nilai Kejujuran Berbisnis dalam Islam Barang siapa berbisnis dengan kejujuran maka dia akan memenangkan
persaingan. Hasil survei James Mc. Kouzes dan Barry Z. Postner tahun 1997 dan 1993 menunjukkan bahwa karakter kejujuran merupakan peringkat pertama seorang CEO untuk meraih keberhasilan (Agustian, 2004:77). Demikian juga keberhasilan para mistikus korporat menempatkan kejujuran sebagai rahasia pertama meraih sukses (Hendrikcks dan Ludeman, 2003: 2). Hal ini mereka pegang karena pada dasarnya tidak ada seorang pun yang senang
didustai,
apalagi
menghabiskan
waktu
dan
tenaganya
untuk
menganalisis jujur tidaknya perkataan dan perilaku orang. Kejujuran menjadi dambaan setiap pelaku bisnis karena kejujuran mampu memunculkan kemampuan terbaik setiap orang sehingga bukan saja sebagai konsep yang mulia, melainkan juga sebagai alat untuk mencapai sukses pribadi dan sukses perusahaan. Jujur merupakan fitrah manusia dan tidak perlu dipelajari, cukup dilakukan apa adanya. Bob Galvin, mantan Direktur Motorolla, mengatakan “cara termudah dalam melakukan segala hal adalah dengan bersikap jujur” (Hendricks dan Ludeman, 2003: 4). Kisah Yunus bin Ubid (disajikan pada bagian berikut) menunjukkan bahwa meskipun penjualnya (pramuniaga) telah melakukan penetapan harga jual melebihi ketentuan yang telah Yunus tetapkan dan pembeli menyetujui
3
harga tersebut tetapi Yunus tidak menyetujui penjualan tersebut terjadi karena tidak mau melakukan pengingkaran terhadap niatnya (Qardhawi, 2000: 181). 1.2.
Konsep Nilai Keadilan Berbisnis dalam Islam
Dalam pandangan Islam, nilai keadilan terkandung makna menempatkan atau mendistribusikan/mendapatkan sesuatu sesuai dengan konteksnya (Shihab, 2006, vol. 3: 42). Keadilan dalam berorganisasi apabila semua stakeholder merasakan perlakuan yang adil di antara mereka. Adalah tidak adil apabila ada sekelompok anggota stakeholder yang mendapatkan perlakukan khusus dibandingkan
dengan
anggota
kelompok
lainnya.
Misalnya,
pemilik
mendapatkan keuntungan berupa dividen yang jauh lebih besar daripada yang diterima pekerja berupa upah atau gaji. Demikian juga, penjual mendapatkan keuntungan yang lebih besar, sementara pembeli dibebani harga yang tinggi, dan perusahaan mendapatkan kemanfaatan yang besar sementara lingkungan terabaikan (dirusak). Dengan demikian keadilan ekonomi di dalam Islam meliputi keadilan pada diri sendiri, keadilan kepada umat manusia dan keadilan kepada lingkungan. Keadilan ekonomi kepada diri sendiri mengandung makna bahwa setiap orang yang berusaha harus bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Kebutuhan pokok tersebut meliputi kebutuhan dasar di dalam menjalankan segala aktivitas di dunia dan kebutuhan untuk melaksanakan rukun Islam (zakat dan haji). Sementara keadilan ekonomi kepada umat manusia melalui pemberian kesempatan kepada setiap umat manusia untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Dalam kaitannya dengan penetapan harga jual, maka sudah selayaknya setiap pedagang menetapkan harga jual sesuai daya beli masyarakat. Sedangkan keadilan ekonomi kepada lingkungan mengharuskan setiap produsen/pedagang melakukan perlindungan, penjagaan, dan pemeliharaan lingkungan sehingga terjadi pembangunan berkesinambungan dengan generasi yang akan datang. Demikian juga halnya dengan penduduk miskin di sekitar perusahaan yang tidak sempat bekerja pada perusahaan perlu mendapatkan kompensasi berupa santunan agar mereka bisa hidup layak. Hal ini sejalan dengan perintah agama bahwa apabila engkau memasak dan baunya tercium
4
oleh tetanggamu maka seharusnya engkau memberikan sebagian kepadanya. Apabila kamu memasak kuah perbanyaklah airnya, lalu berikan sebagian kepada tetanggamu agar dengan itu kamu memperoleh kebaikan (HR. Muslim). Ini tidak berarti, bahwa ajaran ini mendorong seseorang untuk bermalasmalasan bekerja karena tetap juga mendapatkan bantuan atau kasih sayang. Tindakan ini dilakukan sebagai tanggungjawab kepada sesama yang telah berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang layak tetapi belum mendapatkan penghasilan yang memadai guna memenuhi kebutuhan pokoknya. Demikian juga halnya, seorang pengusaha muslim memiliki tanggungjawab atas kemaslahatan umat secara keseluruhan dengan membayar kewajiban berusaha kepada pemerintah di mana mereka berusaha. Dengan cara memperhatikan keseimbangan seperti ini, maka akan tercipta masyarakat yang rukun, aman, sejahtera, dan berkesinambungan. 1.3.
Konsep Nilai Persaudaraan Berbisnis dalam Islam Prinsip yang lebih sesuai dengan nilai persaudaraan dalam berbisnis
yang dapat diterapkan adalah sinergi. Dengan prinsip sinergi, setiap pengusaha akan berusaha untuk berkembang bersama pengusaha lainnya. Seorang pengusaha muslim tidak boleh bersaing untuk saling mematikan, tetapi mereka harus bersinergi untuk meningkatkan usahanya dan masyarakat di sekitarnya. Cara seperti inilah yang disarankan oleh Kim dan Mauborgne dalam bukunya Blue Ocean Strategy, bahwa persaingan dalam berusaha sekarang sudah tidak relevan dan seharusnya diganti dengan cara menciptakan produk atau pasar yang belum ada pesaingnya (2006: 37-8). Prinsip bersinergi dan hidup berdampingan di dalam berusaha merupakan implementasi dari nilai persaudaraan berusaha. Setiap pengusaha muslim tidak boleh hanya karena alasan memperoleh pendapatan atau keuntungan untuk dirinya sendiri, dia rela merusak hubungan persaudaraannya. Hubungan persaudaraan lebih utama dari keuntungan materi bagaimana pun besarnya, bahkan hubungan persaudaraan lebih penting dari fiqhi Rakhmat (2007: 66-74).
5
Dalam pandangan Islam, membantu atau berbuat baik kepada seseorang yang mengalami kesulitan, di samping menolong 2 orang tersebut keluar dari derita yang melilitnya juga yang tak kalah pentingnya adalah untuk kebaikan si penolong itu sendiri (QS. al-Israa‟ [17]: 7), baik yang bisa dirasakan langsung semasa hidupnya (dividen) maupun di nikmati akhirat kelak (retained earning). Hal ini sejalan dengan pendapat Taylor, et al. (2009: 457), bahwa perilaku menolong orang merupakan konsep altruism (altruisme), dimana seseorang bertindak secara sukarela tanpa pamrih kepada sesamanya. Sifat menolong ini dapat dilihat dari pengalaman berbisnis Miswar bin Makhramah menimbun makanan, lalu dia melihat awan yang menunjukkan akan datangnya musim gugur dan dia pun merasa khawatir. Ketika pagi harinya, dia datang ke pasar seraya berkata, “barang siapa yang datang kepadaku, maka aku akan menjual kepadanya dengan harga beli [harga pokok]”. Ketika berita tersebut sampai kepada Umar bin Khattab RA, maka dia mendatanginya ke pasar, lalu berkata kepadanya, “Apakah kamu gila, wahai Miswar?” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Amirulmukminim. Aku melihat awan yang menunjukkan akan datangnya musim gugur, aku benci menahan apa yang bermanfaat bagi umat manusia, maka aku putuskan untuk tidak mengambil keuntungan di dalamnya. Maka Umar berkata, “semoga Allah membalas kebaikan kepadamu” (Al-Haritsi, 2003: 54 dan 615). Menjual dengan harga yang murah dari pedagang lainnya, dalam jangka pendek akan menguntungkan pembeli tetapi berarti mematikan produksi dalam negeri/wilayah
yang
bisa
menciptakan
pengangguran
dan
terjadinya
ketergantungan pada eksportir luar negeri. Itu berarti negara akan didikte atau dikendalikan ekonominya oleh negara lain. Dan tidak menutup kemungkinan suatu saat harga jual akan dinaikkan yang berarti masyarakat juga yang akan merasakan dampaknya dalam jangka panjang. Dalam Islam, setiap konsumen mengonsumsi barang dan jasa, produsen menghasilkan produk, dan penjual menjual barang dan jasa harus bisa memberikan nilai mashlahah yang optimal. Konsumen akan mengonsumsi 2
Istilah menolong oleh manusia adalah kurang tepat karena sebenarnya yang menolong seseorang atau siapa saja adalah Allah swt, manusia hanyalah sebagai media/sarana tetapi untuk memudahkan pemahaman digunakan istilah orang yang menolong yang sebenarnya berarti pertolongan dari Allah swt melalui media manusia.
6
barang dan jasa yang memberikan manfaat dan mendapatkan berkah yang maksimal untuk diri dan keluarga serta komunitasnya. Produsen akan menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat dan memberi berkah bagi dirinya, pemakai, dan lingkungannya. Sedangkan penjual akan menjual barang dan jasa yang memberikan manfaat dan berkah bagi diri dan pelanggannya. Manfaat suatu produk bagi konsumen apabila produk tersebut dapat memenuhi kebutuhan fisik atau psikis sedangkan bagi produsen dan penjual apabila dapat menghasilkan barang dan jasa bagi kemaslahatan umat. Kemanfaatan produk bagi konsumen tercermin dari fungsi produk yang dirasakan kegunaannya, semakin tinggi kegunaan produk tersebut maka semakin tinggi pula manfaatnya. Sementara kemanfaatan produk bagi produsen dan penjual dapat terlihat dari seberapa besar hasil produksinya dimanfaatkan oleh pemakai yang tercermin dari besarnya volume penjualan dan besarnya laba yang diperoleh. Dalam perspektif lain, kemanfaatan produk, apabila produk tersebut meningkatkan kesejahteraan umat manusia dan menghindari pemborosan. Di pihak lain, berkah suatu produk bagi konsumen apabila produk yang dikonsumsi adalah halal dan thayyiban (baik) menurut syariat Islam. Tetapi produk
yang
halalan
thayyiban
tidaklah
cukup
tanpa
memperhatikan
pengaruhnya terhadap lingkungan dan jumlah yang harus diproduksi. Memproduksi barang halal dengan merusak lingkungan tidak diperkenankan meskipun itu dilakukan secara efisien karena akan berdampak pada kerusakan lingkungan global (Asmal dan Asmal, 2000) yang dapat dirasakan bukan hanya masyarakat disekitarnya dan produsen kayu (berupa bencana tanah longsor, banjir, dan punahnya flora dan fauna) tetapi masyarakat pada umumnya, termasuk produsen yang menghuni bumi ini akan merasakan terjadinya pemanasan global (global warming) (Kamla, et al. 2006). Ini tidak berarti, Islam menentang pengolahan sumber daya alam untuk kemaslahatan umat manusia tetapi Islam melarang pengrusakan lingkungan untuk memperkaya diri sendiri dan komunitasnya guna mengejar kepuasan dengan bermegah-megahan (QS. al-Baqarah [2]: 205; al-Maa‟idah [5]: 64; al-A‟raaf [7]: 56, 74; dan at-Takatsur [102]: 1-8). Islam sangat mendorong pengembangan teknologi yang ramah
7
lingkungan untuk meningkatkan efisiensi sebab dengan cara ini, kelangsungan dan kesinambungan pembangunan (sustainability development) akan terjaga.
2. Keuntungan Dalam Pandangan Islam Penentuan besarnya tingkat keuntungan menjadi perdebatan panjang yang tidak ada hentinya. Ada perusahaan yang menetapkan tingkat keuntungan yang besar tetapi produknya laris terjual, sementara perusahaan lain tidak laku produknya. Demikian juga, perusahaan menetapkan tingkat keuntungan yang relatif rendah tetapi tidak ada pembelinya, sementara yang perusahaan yang lain banyak pembelinya. Tidak ada rumus yang baku untuk menentukan besarnya keuntungan atas setiap produk. Meskipun demikian, al-Ghazali menyarankan kepada setiap penjual agar tidak menetapkan tingkat keuntungan yang terlalu besar, sebaiknya antara 5% sampai 10% dari harga belinya. Barang siapa yang puas dengan keuntungan yang kecil niscaya banyak pembelinya, sehingga akhirnya ia mendapatkan untung yang besar dan mendapat berkah (Qardhawi, 2000: 182). Sementara menurut Ayub, meskipun tidak ada kesepakatan besarnya keuntungan dalam perdagangan namun dapat disimpulkan dari beberapa tulisan bahwa tingkat keuntungan untuk barang dagangan sebesar 5%, 10% untuk binatang, dan 20% untuk properti (2009: 219). Selanjutnya, Ghaban al-Fahisy menyatakan, syariah tidak membolehkan pengambilan keuntungan yang berlebihan dengan memanfaatkan ketidaktahuan pembeli. Jika pembeli kemudian keberatan, maka transaksi tersebut batal dan pembeli berhak mendapatkan kembali uangnya (Ayub, 2009: 219). Berkaitan dengan besarnya keuntungan, Abdurrahman bin Auf memiliki pengalaman tersendiri untuk mendapatkan rezeki. Menurutnya, ada tiga hal yang menyebabkan dia berhasil mendapatkan keuntungan, yaitu dia tidak pernah membatalkan penjualan; jika ada pembeli yang menginginkan binatang yang dia jual, dia segera menjualnya tanpa menunda; dan tidak menjual dengan harga berlipat. Menurut riwayat, ia menjual 1.000 ekor unta, namun ia tidak mendapatkan untung sedikit pun kecuali dari talinya. Ia menjual tali ikatan unta seharga 1 dirham, maka total keuntungannya sebesar 1.000 dirham.
8
Selain itu, ia mendapat untung dari memberi nafkah kepada binatang sebesar 1.000 dirham sehari. Demikian al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin (Qardhawi, 2000: 182). Nabi Muhammad sendiri tidak pernah membatasi besarnya keuntungan yang diperbolehkan kepada setiap penjual. Hal ini dapat dilihat dari dua pengalaman berikut ini. Pertama, Nabi Muhammad saw tidak keberatan keuntungan pedagang mencapai 100%, bahkan beliau memujinya. Dikisahkan Nabi Muhammad saw menyuruh salah satu sahabatnya, yaitu Urwah untuk membelikannya seekor kambing dan memberinya uang satu dinar. Urwah pergi ke pasar dan membeli dua ekor kambing dari uang satu dinar tersebut, kemudian menjual salah satunya di pasar dengan harga satu dinar dan menyerahkan satu ekor kambing lainnya ke Nabi bersama uang satu dinar. Pada waktu menerima kambing dan uang tersebut, Nabi sangat senang dengan kejujuran dan keahlian Urwah sehingga dia berdoa agar perdagangan serta bisnisnya terus meningkat (HR. Abu Daud). Kedua, sebagai kepala pemerintahan, Nabi Muhammad tidak mau mencampuri harga yang terjadi di pasaran sepanjang terjadi secara normal. diriwayatkan, pada masa Rasulullah sebagai kepala pemerintahan, terjadi kenaikan harga yang relatif tinggi sehingga sebagian masyarakat pada masa itu meminta fatwah dari Nabi Muhammad untuk menetapkan harga. Tetapi beliau menolak dan berkata: “Allah mengakui adanya kelebihan dan kekurangan; Ia membuat harga berubah dan menjadi harga sebenarnya. Saya berdoa agar Allah tidak membiarkan ketidakadilan atas seseorang dalam darah atau hak milik” (HR. Abu Dawud dan Tirmizi). Dari berbagai pendapat dan kisah tersebut di atas, memperlihatkan bahwa ada pengusaha yang berjualan dengan keuntungan yang sangat rendah, tetapi ada juga yang menghasilkan keuntungan yang relatif besar. Kedua cara penetapan keuntungan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga dapat disimpulkan bahwa di dalam ajaran Islam tidak memiliki aturan baku tentang besarnya keuntungan. Ini berarti tingkat keuntungan diserahkan kepada penjual.
9
2.1 Metode Harga Jual Berbasis Nilai Kejujuran Sebagaimana dijelaskan pada kejujuran dalam berniat di atas bahwa, seseorang yang telah berniat tidak akan bisa merubahnya kecuali terjadi kesalahan pada waktu mengikrarkannya karena niat merupakan janji, bukan hanya kepada pelanggan tetapi yang lebih penting kepada Sang Pemberi Rezeki. Ini juga menyadarkan kepada yang berniat bahwa segala aktivitasnya berdimensi dua, yaitu mengejar kekayaan dunia (profan) dan juga untuk mencapai kemaslahatan di akhirat nanti. Berkaitan dengan perubahan harga jual dalam perspektif nilai kejujuran dalam Islam mengisyaratkan bahwa, harga jual yang telah ditetapkan oleh penjual tidak boleh direvisi penjual dengan menaikkan harganya. Dalam bisnis konvensional, revisi harga ini bisa terjadi, jika dalam keadaan normal terjadi kelebihan permintaan atas penawaran, penjual sengaja menahan barang agar penawaran berkurang, dan terjadi permintaan yang tiba-tiba meningkat, misalnya terjadi bencana, hari raya keagamaan, dan atau tahun ajaran baru. Sementara dalam pandangan nilai kejujuran Islami, jika terjadi kondisi demikian, meskipun pembeli bersedia (ridha) menerima perubahan harga tetapi penjual tidak diperkenankan untuk menaikkan harga karena penjualan semacam ini telah melanggar niat yang telah dikrarkannya. Hal ini pernah terjadi pada Yunus bin Ubid yang tidak bersedia menjual produknya di atas harga jual yang telah ia tetapkan, meskipun pembeli setuju (ridha) terhadap harga tersebut. Dikisahkan bahwa Yunus bin Ubid menjual berbagai macam pakaian. Ada jenis pakaian yang berharga 400 dirham dan ada juga yang berharga 200 dirham. Ketika akan pergi ke masjid untuk shalat, Yunus meminta anak pamannya untuk menjaga tokonya. Pada saat tokonya dititipkan itu, datang seorang Badui yang ingin membeli pakaian. Oleh anak tersebut, ditunjukkan pakaian yang berharga 200 dirham, yang ternyata diminati oleh pembeli sehingga ia pun membayar dan pergi. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Yunus. Yunus mengetahui persis bahwa pakaian yang dipegang oleh Badui tersebut adalah jenis pakaian yang di jual di tokonya. Ia pun bertanya, berapa kamu belikan? Badui menjawab 400 dirham.
Kata Yunus, „harga
pakaian ini tidak lebih dari 200 dirham. Mari kembali ke toko dan ku kembalikan
10
kelebihan uangmu‟. Badui pun berkomentar „di kampung kami harga pakaian semacam ini 500 dirham dan saya sudah rela dengan harga 400 dirham‟. Yunus berkata, „mari kembali ! kejujuran lebih baik daripada dunia dan segala isinya‟. Lalu mereka kembali ke toko dan Yunus mengembalikan uang sejumlah 200 dirham kepadanya. Adapun anak tersebut dimarahi dan dinasihati oleh Yunus. Ia berkata, „tidakkah kamu malu dan takut kepada Allah? Kamu untung sebanyak harga barang tetapi meninggalkan kejujuran untuk kaum muslimin‟. Anak itu berkata, „demi Allah ! ia rela dengan harga itu‟. Jawab Yunus, „apakah kamu rela atasnya sebagaimana kamu rela atas dirimu‟. (Qardhawi, 2000: 181). Dalam konteks kejujuran dalam Islam, harga yang telah ditetapkan sebelumnya tidak bisa dinaikkan dengan alasan kenaikan permintaan. Begitu harga
sudah
ditetapkan,
walaupun
apa
yang
terjadi
termasuk
akan
meningkatkan keuntungan materi, harga jual tetap dan tidak boleh dinaikkan. Hal ini sejalan dengan kejujuran lahiriah, yaitu satunya niat/perkataan dengan perbuatan. Dengan demikian, hukum permintaan dan penawaran yang mempengaruhi harga tidak sepenuhnya berlaku, khususnya jika jumlah permintaan lebih besar dari jumlah penawaran yang akan berdampak pada kenaikkan harga jual. Demikian juga halnya dengan seorang pedagang muslim yang memiliki persediaan produk tidak diperkenankan untuk menaikkan harga jual produknya dengan alasan terjadi kenaikan permintaan atau kenaikan harga pesaing atau akibat kebijakan pemerintah. Kenaikan harga jual diperkenankan jika produk yang
diproduksi
mengalami
kenaikan
biaya
masukan.
Tidak
boleh
mendapatkan kenaikan keuntungan dari stock barang atau penimbunan barang. Harga jual untuk barang tersebut harus sesuai dengan harga pada waktu ditetapkan sebelumnya (kejujuran lahiriah). Sebagaimana niat dalam beribadah, hanya bisa dirubah selama proses aktivitas berlangsung jika ada kesalahan yang tidak disadari pada saat pengikrarannya. Akibatnya, niat yang sudah diikrarkan tersebut memungkinkan untuk dirubah sebelum selesainya aktivitas (al-hadits). Dengan mengacu pada hadits tersebut, maka perubahan/kenaikan harga jual yang memiliki harga pokok yang sama tidak dibenarkan dengan pertimbangan bahwa, harga tersebut sudah ditetapkan melalui perhitungan yang matang dan kesadaran
11
yang tinggi, sehingga tidak ada alasan untuk merubahnya, meskipun perubahan itu akan meningkatkan keuntungan materi pengusaha. Dengan menyimak makna yang terkandung di dalam kejujuran lahiriah, keharusan mengembang-biakkan harta yang dimiliki, penentuan besarnya keuntungan, dan perubahan harga seperti pada penjelasan tersebut di atas, maka penetapan harga jual kejujuran dapat dilakukan dengan metode:
a. Consistency Cost-Plus Pricing Method Penetapan harga jual dengan metode consistency cost-plus pricing didasari pertimbangan antara lain: pertama, bahwa harta yang dimiliki harus bisa dikembang-biakkan agar tidak habis dikeluarkan untuk zakat. Dikisahkan dari Amir bin Syu‟aib, Nabi saw bersabda “Ingatlah, siapa yang mengurus anak yatim,
sedangkan
anak
itu
mempunyai
harta,
maka
hendaklah
ia
memperdagangkannya, dan jangan dibiarkan dimakan zakat”. (HR Tirmidzi dalam Qardhawi, 2002: 593). Hadits dan pendapat ini mengindikasikan bahwa tidak boleh ada penumpukan harta, tetapi harta tersebut harus bisa berputar (produktif) sehingga dinikmati sebanyak mungkin umat manusia. Harta yang menumpuk akan memperbesar biaya operasionalnya dan bisa menimbulkan kerusakan sehingga terjadi pemborosan. Indikasi lainnya adalah bahwa, dalam jual-beli harus ada keuntungan di atas harga pokoknya agar usaha tersebut bisa bertahan hidup. Kedua, penentuan besarnya keuntungan yang dipersyaratkan tidak diatur secara jelas di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Penentuan besarnya keuntungan diserahkan kepada penjual berdasarkan tingkat subjektivitas penjual dan tidak ada batasan besarnya keuntungan yang harus dipenuhi. Ketiga, Harga jual yang telah ditetapkan (diniatkan) harus diterapkan secara konsisten untuk produk yang memiliki harga pokok yang sama. Tidak boleh menaikkan harga jual dengan alasan kenaikan permintaan atau karena kondisi apa pun selain karena terjadi pengaruh kenaikan biaya masukan. Menurut Bewes (2000), kenaikan harga akibat kenaikan permintaan merupakan praktik ketidakjujuran filosofis karena tidak mengikuti penetapan harga yang telah diniatkan sebelumnya. Sama dengan pemain drama yang merubah naskah
12
drama di atas pentas untuk memuaskan penontonnya guna meningkatkan popularitas sehingga meningkatkan pendapatan. Dengan demikian, penentuan besarnya margin menjadi kewenangan penjual dan tidak ada batasan atas besarnya margin tersebut. Sedangkan penerapan secara konsisten adalah bahwa harga jual produk yang telah ditetapkan harus diterapkan secara konsisten meskipun harga di pasaran mengalami kenaikan. Pengecualian terhadap harga jual yang konsisten ini dibenarkan apabila biaya masukannya mengalami kenaikan, maka harga jual bisa dinaikkan.
b. Metode Mekaninisme Pasar Bersyarat Penetapan harga jual dengan metode mekanisme pasar bersyarat didasari pertimbangan antara lain: pertama, bahwa harta yang dimiliki harus bisa dikembang-biakkan agar tidak habis untuk memenuhi kewajiban zakat (HR Tirmidzi dan Qardhawi, 2002: 593). Dengan berdasar pada hadits dan pendapat
ini,
maka
setiap
harta
yang
dimiliki
harus
dioptimalkan
pemanfaatannya agar tercipta produktivitas. Harta yang menganggur atau tidak berputar akan menyebabkan ketimpangan karena di satu sisi ada orang kelebihan harta dan tidak memanfaatkan untuk kemaslahatan umat, tetapi di lain pihak ada umat manusia yang membutuhkannya. Keadaan ini akan merusak
perekonomian
secara
keseluruhan
dan
akan
menimbulkan
kesenjangan sosial. Dengan pemanfaatan harta tersebut secara optimal akan tercipta value added, baik untuk pemiliknya maupun yang memanfaatkannya. Dalam kaitannya dengan penetapan harga, maka harga jual dari produk yang diperdagangkan harus lebih besar dari harga pokoknya, sehingga tercipta keuntungan. Untuk mengetahui suatu produk akan menghasilkan keuntungan maka harga jual didasarkan pada harga pokok atau total biaya di tambah keuntungan yang diharapkan. Akan tetapi konsep ini tidak praktis dalam implementasinya, karena sulit menentukan harga jual untuk setiap jenis produk, khususnya, jika produk yang dijual relatif banyak itemnya dan frekuensi perubahan biaya masukan yang tinggi. Kesulitan lainnya adalah setiap selesai menghasilkan
13
produk sudah harus diketahui harga pokoknya padahal tidak semua jenis biaya sudah bisa diketahui pada saat itu. Permasalahan
berikutnya
adalah
harga
yang
sudah
ditetapkan
berdasarkan formula tersebut belum tentu kompetitif di pasaran. Dengan demikian, diperlukan lagi penyesuaian harga antara harga jual menurut hasil perhitungan dengan harga yang terjadi di pasar, sehingga penetapan harga ini menjadi rumit dalam penerapannya. Oleh karena itu penetapan harga yang digunakan adalah mengikuti mekanisme pasar. Kedua, dengan penetapan harga jual yang mengikuti mekanisme pasar, maka pengusaha diharapkan sudah mendapatkan keuntungan. Apabila dia mampu efisien dalam bekerja dan atau meningkatkan volume penjualan, maka dia akan mendapatkan keuntungan yang besar. Dalam kondisi seperti ini, harga sudah dianggap given, sehingga
perusahaan diharapkan bisa menerapkan
target costing dan cost management strategy untuk bisa meningkatkan keuntungan yang berkesinambungan (Chandrarin, 2006). Ketiga, Penetapan harga jual awal yang didasarkan pada mekanisme pasar (diniatkan) harus diterapkan secara berkelanjutan terhadap suatu produk yang memiliki harga pokok yang sama. Tidak boleh menaikkan harga jual dengan alasan kenaikan permintaan atau karena kondisi apapun selain karena terjadi pengaruh kenaikan biaya masukan. Dampak positif dari penerapan konsep ini, akan menghindari terjadinya penumpukan harta/stock yang berlebih oleh pengusaha. Ini juga berarti bahwa konsep produksi dan perdagangan dalam Islam telah lama mengenal just in time inventory systems yang dikembangkan dalam manajemen produksi sekarang ini. Tidak adanya perubahan harga jual atas produk tersebut merupakan implementasi dari kejujuran lahiriah seperti dijelaskan sebelumnya dan kejujuran filosofi (Bewes, 2000).
c. Metode Mekanisme Pasar Keseimbangan Penetapan harga jual dengan metode mekanisme pasar keseimbangan didasari pertimbangan bahwa sebuah usaha harus bisa menciptakan keuntungan dengan tidak menzalimi orang atau usaha lain. Proses untuk menetapkan dan mendapatkan hasil penjualan yang halal dan baik jauh lebih
14
penting daripada menetapkan harga jual dengan mendapatkan keuntungan yang besar tetapi dari penjualan produk yang mengancam kemaslahatan umat manusia. Penetapan harga jual harus memanfaatkan kata hati dan di dalam bingkai kemaslahatan bersama, antara penjual dan pembeli. Penerapan konsep ini merupakan penjabaran dari konsep kejujuran batiniah. Terciptanya harga melalui mekanisme pasar yang dirancang sendiri oleh para penjual secara bersama-sama untuk menaikkan harga jual merupakan perbuatan tercela dan tidak perlu diikuti. Tetapi penetapan harga jual melalui mekanisme pasar yang fair menjadi dasar untuk menetapkan harga jual yang menguntungkan semua pihak. Demikian juga halnya penetapan harga jual dengan memanfaatkan ketidakberdayaan pelanggan adalah perbuatan tidak jujur meskipun mereka sepakat. Sama dengan kedua analisis sebelumnya bahwa, perubahan harga jual hanya diperkenankan pada produk baru yang mengalami kenaikan harga pokok. Sepanjang tidak mengalami kenaikan harga pokok, maka harga jual tidak bisa dinaikkan meskipun harga jual di pasaran telah mengalami kenaikan.
2.2 Metode Harga Jual Berbasis Nilai Keadilan Pemilihan kebutuhan sebagai dasar penentuan besarnya keuntungan didasarkan
pada
pemahaman
bahwa
kebutuhan
adalah
sebuah
liabilitas/tanggungan bagi manusia, yang sifatnya simetris dengan aset manusia yang terbentuk dari kapasitas yang dimiliki manusia, terutama kapasitas produktif. Kebutuhan dari seorang manusia juga adalah sesuatu yang ia terima apa adanya (given) dan bukan ia pilih sendiri. Karenanya, pertimbanganpertimbangan tentang pemenuhan kebutuhan individu yang menyatakan bahwa pemerataan harus terwujud akan berujung pada ide bahwa beban manusia harus ditanggung secara bersama. Akibatnya, “tiap orang memberikan sesuai kemampuannya, dan tiap orang menerima sesuai kebutuhannya” (Blanqui dalam Hartropp, 2010). Dari berbagai jenis kebutuhan yang ada, kebutuhan dasar adalah yang paling penting karena diperlukan bagi eksistensi keberadaan manusia dalam konteks sosialnya dan hubungannya dengan Pencipta-nya.
15
Oleh karena itu kebutuhan dasar ini sebagian besar adalah kebutuhan untuk menjaga martabat. Kebutuhan dasar tersebut seharusnya meliputi kebutuhan dunia agar bisa eksis mempertahankan kehidupannya dan kebutuhan akhirat agar bisa menikmati indahnya kehidupan yang kekal. Sedangkan untuk menjamin kehidupan umat manusia di dunia ini, sebagai makhluk sosial, maka mereka membutuhkan hubungan dengan lingkungannya, baik dengan sesamanya maupun dengan lingkungan alam dimana mereka berada. Berdasrakan penjelasan tersebut di atas, maka penentuan besarnya harga jual berkeadilan dapat menggunakan metode:
a. Cost-Plus Basic Needs Propane Method Penerapan metode ini didasarkan pada hakikat pengembang-biakan harta (HR Tirmidzi dan Qardhawi, 2002: 593) dan sejalan dengan prinsip umum berusaha yang senantiasa mengharapkan keuntungan. Sedangkan keuntungan yang adil adalah keuntungan yang tidak merugikan umat manusia. Meraup keuntungan yang besar atau sangat kecil bahkan tidak ada merupakan perbuatan zalim. Keuntungan yang besar, berarti menzalimi sesama, sedangkan keuntungan yang sangat kecil bahkan tidak ada merupakan perbuatan zalim pada diri sendiri. Keuntungan yang adil adalah keuntungan yang mempertimbangkan kemampuan calon pembeli secara umum dengan keuntungan yang diharapkan pemilik usaha. Keuntungan yang diharapkan meliputi kebutuhan hidup pemilik dan keluarganya (profan). Dalam pandangan peneliti, kebutuhan hidup tersebut setidak-tidaknya meliputi: kebutuhan makan, air, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi dan komunikasi, keamanan, dan berumahtangga. Kebutuhan makan didasarkan pada hadits Nabi yang mengatakan “sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas kamu”. Oleh karena itu kebutuhan makanan harus bisa memenuhi standar empat sehat lima sempurna. Kebutuhan air guna memenuhi keperluan minum dan membersihkan badan pada umumnya serta berwudhu sebagai syarat untuk melaksanakan shalat. Kebutuhan sandang dimaksudkan untuk menutupi aurat (QS. al-A‟raaf [7]: 26) dan pakaian untuk
16
menghadiri peristiwa tertentu, seperti pakaian untuk shalat Jumat dan Ied. Sedangkan kebutuhan perumahan harus memenuhi ciri kediaman yang asri, seperti layak huni, luas dan lapang sehingga terpisah kamar antara orang tua dengan anak-anaknya dan antara anak perempuan dengan anak laki-laki ditambah kamar tidur untuk tamu yang sewaktu-waktu terpaksa menginap (HR Muslim dan Jabir), penghuni rumah tidak kelihatan oleh orang yang lalu lalang di depannya, dan memiliki prabot yang layak. Demikian juga halnya dengan kebutuhan pendidikan bagi seluruh keluarga. Pendidikan tersebut harus bisa meningkatkan kemampuan kepala keluarga agar tidak ketinggalan perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan untuk pengelolaan rumah tangga bagi isteri, dan pendidikan untuk anak-anak yang bisa mengangkat harkatnya dikemudian hari. Sementara kebutuhan kesehatan harus bisa menjamin jika salah seorang anggota keluarga menderita sakit atau akan melakukan pemeriksaan berkala mendapat perawatan/ pelayanan yang layak. Sedangkan kebutuhan transportasi dan komunikasi menjadi kebutuhan akibat perkembangan zaman. Kebutuhan transportasi untuk mengangkut anggota keluarga dengan aman dan tidak memperlihatkan aurat, sementara kebutuhan komunikasi berupa fix phone dan phone cell agar anggota keluarga dapat berhubungan dengan baik tanpa hambatan. Adapun kebutuhan keamanan dimaksudkan agar anggota keluarga dapat menjalankan aktivitasnya dengan aman, misalnya pengamanan rumah tangga,
pengamanan
di
dalam
perjalanan.
Sementara
kebutuhan
berumatangga diperuntukkan bagi pribadi bujang ( HR Muslim, Ahmad, dan Nasa‟i). Mereka harus mempersiapkan diri untuk berumahtangga melalui menabung untuk biaya pernikahan dan pesta pernikahan secara layak.
b. Cost-Plus Basic Needs Method Metode harga jual ini didasarkan pada jumlah biaya ditambah keuntungan yang adil. Keuntungan yang adil adalah keuntungan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok pemilik usaha dan keluarganya, yaitu kebutuhan dunia (seperti pada metode cost-plus basic needs propane) ditambah kebutuhan untuk bekal ke akhirat. Jenis kebutuhan akhirat meliputi
17
kebutuhan untuk melaksanakan rukun Islam, yaitu haji, zakat dan sunnah, yaitu, umrah, dan qurban.
c. Cost-plus Basic Needs and Social Method Penetapan harga jual berbasis keadilan adalah penetapan harga yang menyeimbangkan antara kebutuhan dunia (profan) dengan kebutuhan akhirat, antara kebutuhan diri sendiri dan kemampuan pembeli, antara kebutuhan diri sendiri dengan masyarakt sekitarnya, dan antara kebutuhan diri sendiri dengan lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, penetapan harga keadilan diharapkan tidak akan menzalimi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan di mana perusahaan beroperasi. Penambahan unsur lingkungan dalam salah satu komponen keuntungan dimaksudkan untuk menciptakan pelestarian lingkungan alam yang telah dirusak dan untuk mencegah kerusakan lingkungan (prefentif) dan menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sekitarnya dan generasi yang akan datang. Kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya adalah bagian integral dari visi dan praktek di dalam menjaga lingkungan alam sesuai dengan ajaran Islam, karena manusia sendiri adalah bagian dari lingkungan. Ini juga merupakan sikap egalitarian dan hakikat hidup berkomunitas (Umma) yang menentang sikap egois dan individualis karena melanggar martabat manusia dan moralitas (Hartropp, 2010 dan Kolm, 1995). Saling berbagi adalah lebih diutamakan daripada perilaku individu yang berfoya-foya (Nash, 2000) yang dipandang sebagai kerusakan moral. Dalam hal ini, Islam melarang perilaku yang menimbulkan pemborosan dan keserakahan (Kamla et al. 2006) dengan hanya mementingkan diri sendiri. Pencipta Bumi ini sangat menganjurkan hidup saling menolong kepada siapa saja, sebagaimana firmannya: “dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat seperti kamu juga” (QS. al-An‟aam [6]: 38) dan Rasulullah bersabda, barang siapa meringankan kesulitan seorang di dunia, niscaya Allah akan meringankan kesulitannya di dunia dan di akhirat (HR. Abu Hurairah).
18
Mengambil keuntungan yang hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar dan pemeliharaan lingkungan merupakan perbuatan yang egalitarian, yang tidak hanya mementingkan diri sendiri. Dengan demikian, penetapan harga jual meliputi seluruh biaya ditambah kebutuhan dunia dan akhirat serta kebutuhan untuk menjaga kelestarian alam dan menjaga hubungan harmonis dengan masyarakat di sekitar tempat usaha. Kebutuhan untuk menjaga pelestarian alam dan menjalin hubungan yang harmonis dengan generasi yang akan datang adalah untuk mengembalikan fungsi alam seperti sebelum terjadi pengrusakan akibat pengolahan yang dilakukan. Sementara kebutuhan untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitar perusahaan melalui infak, sedekah, wakaf, dan bantuan lainnya yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat disekitar dimana perusahaan beroperasi.
2.3. Metode Harga Jual Berbasis Nilai Persaudaraan Keuntungan dalam perspektif persaudaraan meliputi keuntungan karena terjalinnya silaturrahim, bertambahnya teman, semakin banyak orang yang merasakan kemanfaatan dari produk yang dihasilkan. Keuntungan materi atau finansial akan dengan sendirinya dapat dicapai. Dalam pandangan pemasaran, jika produk yang dihasilkan bermanfaat bagi kebutuhan umat manusia dan didukung dengan banyaknya sahabat maka dapat diyakini pendapatan dan keuntungan finansial akan mengalir. Menghasilkan produk untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, maka pada hakikatnya dia memenuhi kebutuhannya pula (Losier, 2006: 15-8), demikian juga dengan orang menolong sesamanya (HR. Bukhari dan Muslim). Sementara
dalam
pandangan
kapitalisme,
persaingan
untuk
mendapatkan pelanggan tak dapat dielakkan lagi agar bisa bertahan dan berkembang dalam dunia bisnis. Untuk itu, setiap perusahaan harus bisa mengembangkan strategi bersaing yang diharapkan dapat memenangkan persaingan. Pada dasarnya, strategi bersaing perusahaan ditentukan oleh tujuan penetapan harga. Perusahaan yang memiliki tujuan penetapan harga untuk menghasilkan laba akan berbeda strateginya dengan perusahaan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan volume penjualan, meningkatkan citra,
19
atau untuk stabilitas harga (Tjiptono, 2008: 152–3). Dan tujuan penetapan harga akan mempengaruhi metode penetapan harga. Di pihak lain, Islam memandang bahwa untuk mendapatkan penghasilan dibutuhkan kolaborasi atau sinergi di antara setiap pelaku bisnis bukan melalui persaingan. Karena prinsip persaingan adalah harus ada yang kalah dan ada yang menang atau harus ada yang mati dan ada yang exist (bertahan hidup). Prinsip ini bertentangan dengan nilai kemanunggalan dalam Islam yang menjunjung tinggi hubungann yang harmonis di antara sesama umat manusia. Mereka yang kurang mampu harus bisa dibantu agar bisa berkembang, minimal bisa bertahan hidup. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penetapan harga jual yang dilakukan tidak dimaksudkan untuk menghadapi persaingan tetapi untuk saling membantu di antara sesama umat. Harga yang sudah ditetapkan bisa saja berkurang dengan mempertimbangkan kondisi pelanggan. Bagi pelanggan yang mampu selayaknya membayar sesuai harga yang berlaku atau melebihinya dan kepada mereka yang kurang atau tidak mampu sudah sepantasnyalah mendapatkan harga yang sesuai dengan kemampuannya agar mereka bisa exist. Hal ini dilakukan karena apabila sang pembeli tidak mendapatkan kebutuhan ini akan bisa terancam kehidupannya. Inilah hakikat dari kemanunggalan, di antara pembeli dan penjual terjalin hubungan yang manunggal/ menyatu yang sulit dipisahkan. Hal ini sejalan dengan teori atribusi dalam psikologi (Taylor, at al., 2009: 458 dan 470-1) yang menyatakan bahwa kesediaan seseorang untuk membantu tergantung pada manfaat dari kasusnya, dan khususnya, apakah seseorang pantas untuk ditolong atau tidak. Seseorang yang tidak memiliki uang untuk membeli kebutuhan pokoknya karena ketiadaan lapangan kerja, lebih pantas mendapatkan pertolongan daripada mereka yang tidak bekerja karena malas. Keuntungan yang diperoleh merupakan keuntungan yang secara langsung dinikmati di dunia dan mungkin masih banyak lagi keuntungan lainnya yang akan dirasakan di dunia ini, misalnya rasa bahagia menolong orang dan mendapatkan
banyak
teman.
Tidak
tertutup
juga
kemungkinan
akan
mendapatkan keuntungan di akhirat kelak sebagai balasan atas sifat tolong
20
menolong yang dia lakukan (HR. Bukhari dan Muslim). Berbisnis seperti ini bukan lagi dianggap sebagi berbisnis dengan sesama manusia tetapi lebih dari itu, yaitu berbisnis dengan Allah swt. Dalam pandangan ini, Dialah yang memberikan keuntungan yang berlipat ganda. Manusia atau institusi pembeli hanyalah media untuk mendapatkan keuntungan dan keberkahan. Pendapat ini akan sangat berbeda dengan paham kapitalisme yang menganggap bahwa keuntungan itu diperoleh dari pembeli. Konsekuensinya adalah pembeli harus dijaga dan dipelihara seperti raja yang harus dilayani sesuai kebutuhan dan kesenangannya. Konsep ini kemudian berkembang menjadi customer satisfaction (pelanggan harus dipuaskan). Dalam konsep ini, tidak
dipermasalahkan
bagaimana
cara
yang
harus
dilakukan
untuk
mendapatkan pelanggan tetapi yang penting mereka loyal kepada penjual atau produk yang dihasilkan. Akibatnya, menghalalkan segala cara untuk melayani pelanggan tanpa mengenal, apakah produk tersebut halal atau tidak mengganggu kemaslahatan umat secara umum atas produk yang diperjualbelikan; tidak mengenal waktu untuk melayaninya, seakan-akan hidup ini hanyalah untuk melayani pembeli, tidak adalagi waktu untuk berhubungan dengan Sang Pencipta, tetangga, keluarga dan lain sebagainya. Hubungan hanya didasarkan pada kepentingan bisnis, begitu tidak ada sangkut-pautnya dengan bisnis maka hubungan persaudaraan akan putus juga. Terdapat perbedaan yang mendasar antara paham kapitalisme dengan ajaran Islam berkaitan dengan perbedaan harga jual kepada pelanggan yang berbeda. Pada paham kapitalisme, penurunan harga hanya diperkenankan jika secara keseluruhan dapat meningkatkan laba atau menaikkan kas masuk. Itulah sebabnya, pemberian potongan harga hanya diberikan apabila penjualan dilakukan dalam jumlah besar (quantity discount) atau kepada mereka yang berduit melalui potongan tunai (cash discount) sehingga yang memiliki kemampuan dana untuk membeli lebih banyak akan mendapatkan harga yang murah. Akibatnya, kesenjangan akan semakin lebar, bukan hanya dalam memperoleh penghasilan tetapi juga di dalam memenuhi kebutuhan. Lain halnya dalam ajaran Islam, pemberian potongan harga diberikan kepada mereka yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya.
21
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka metode penetapan harga jual meliputi: a. Adjusted Cost-Plus Pricing Method Penetapan harga jual yang didasarkan kepada biaya ditambah laba yang diharapkan (cost-plus pricing) merupakan paham penetapan harga jual tekstual. Hal ini sejalan dengan pemahaman teks dari salah satu sabda Rasullulah saw “Ingatlah, siapa yang mengurus anak yatim, sedangkan anak itu mempunyai harta, maka hendaklah ia memperdagangkannya, dan jangan dibiarkan dimakan zakat”3. Artinya harta tersebut harus berkembang-biak agar tidak habis dikeluarkan untuk membayar zakat (Qardhawi, 2002: 593). Dalam kaitan dengan harga jual, maka penetapan harga harus melebihi harga pokoknya, seperti harga jual keadilan agar harta yang diperdagangkan tersebut dapat berkembang dan pemiliknya bisa bertahan hidup. Penetapan harga jual ini merupakan penetapan harga jual tertinggi. Adanya hubungan persaudaraan yang menyatu menyebabkan harga ini bisa berkurang sesuai kemampuan ekonomi pelanggan. Dengan demikian harga ini disebut adjusted cost-plus pricing method. b. Adjusted Market Mechanism Method Penetapan harga jual dengan metode adjusted market mechanism beranggapan bahwa harga yang terjadi berdasarkan mekanisme pasar pada saat produk pertama kali dijual yang disesuaikan dengan kemampuan daya beli dan kondisi pelanggan pada saat terjadinya transaksi. Sebagaimana konsep kejujuran dalam berniat, produk yang sudah ditetapkan harga jualnya, dalam hal ini mengikuti harga pasar yang berlaku pada awal produk dijual tidak akan berubah meskipun terjadi kenaikan harga di pasaran, harga jual tidak boleh dinaikkan karena bertentangan dengan niat. Akan tetapi apabila ada pelanggan yang tidak mampu membeli sesuai dengan harga yang berlaku umum, maka kewajiban pedagang memenuhi kebutuhan saudaranya sesuai kemampuannya.
3
HR Tirmidzi
22
c. Flexible Pricing Method Pada dasarnya penetapan harga jual adalah harga jual yang berlaku pada saat terjadi transaksi. Penetapan harga ini sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi pada saat terjadi penjualan sehingga penetapan harga jual ini dinamakan penetapan harga jual fleksibel (flexible pricing). Kemampuan ekonomi pelanggan menjadi penentu besarnya harga jual. Seorang pelanggan yang memiliki kemampuan ekonomi yang relatif cukup akan berbeda harganya dengan mereka yang daya belinya rendah. Bagi mereka yang mampu akan membeli sesuai harga yang terjadi di pasar atau bahkan melebihinya, sementara bagi yang tidak mampu akan disesuaikan dengan kemampuannya. Seorang yang secara ekonomi hanya mampu membeli dengan harga, misalnya 75% dari harga pasar (Rp10.000,-), maka harga yang terjadi pada saat itu adalah sebesar Rp7.500,-. 3. Kesimpulan Di dalam metode penetapan harga jual kejujuran, kekonsistenan harga jual
menjadi
perhatian
utama
sedangkan
besarnya
keuntungan
tidak
dipermasalahkan sepanjang tidak ada unsur menzalimi pembeli karena ketidakberdayaannya. Hal ini tidak berarti bahwa harga jual tidak dapat dinaikkan. Harga jual dapat dinaikkan apabila biaya masukan produk mengalami kenaikan. Sementara metode harga jual berbasis nilai keadilan akan menciptakan keseimbangan antara kebutuhan diri sendiri dengan kemampuan pembeli, antara kebutuhan dunia dengan akhirat, antara kebutuhan diri sendiri dengan lingkungan sekitarnya. Melalui konsep keseimbangan ini akan tercipta pemerataan pembangunan untuk seluruh umat. Penyusunan
metode
penetapan
harga
jual
berdasakan
nilai
persaudaraan tergantung pada ketersediaan produk dipasaran. Apabila produk sudah ada di pasaran maka penetapan harga mengikuti harga yang berlaku di pasar saat itu. Hal ini dilakukan untuk menjalin hubungan persaudaraan dengan pedagang yang sudah ada. Apabila produk yang dihasilkan belum ada di pasaran maka sebaiknya harga yang ditetapkan oleh penjual berdasarkan
23
harga jual keadilan dengan tetap menyesuaikan nilai persaudaraan dalam penetapan harga jual. Harga jual tersebut merupakan harga jual normal atau berlaku umum tetapi apabila ada calon pembeli yang tidak mampu secara ekonomi dan produk yang diperdagangkan merupakan produk kebutuhan pokok umat manusia, maka kewajiban penjual untuk memenuhi permintaan saudaranya. Tetapi apabila produk untuk memenuhi kesenangan atau pelengkap maka tidak ada kewajiban penjual untuk memenuhinya. Penetapan harga jual kemanunggalan ini tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi harga jual normal.
DAFTAR PUSTAKA -----------------------.2001. Al Q’uran dan Terjemahannya. Percetakan Al Qur‟anul Karim Kepunyaan Raja Fadh. Madina Al-Munawwarah. Afzalurrahman. 1982. Muhammad sebagai Seorang Pedagang. Terjemahan Dewi Nurjulianti, dkk. 2000. Yayasan Swarna Bhumy. Jakarta. Agustian, Ary Ginanjar. 2004. Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power: Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan. Arga. Jakarta. Al-Ghazali. 2008. Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin: Ringkasan yang Ditulis Sendiri oleh Sang Hujjatul Islam. Mizan. Bandung. Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad. 2003. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Khalifa. Jakarta. Al-Maududi, Abul A‟la. 2005. Asas Ekonomi Islam Al-Maududi. Diterjemahkan Imam Munawwir. PT Bina Ilmu Surabaya. Surabaya. Amuli, Sayyid Haidar. 2005. Dari Syariat Menuju Hakikat; Buku I Pokok-pokok Iman. Mizan. Bandung. Asmal, Abdul Cader dan Mohammad Asmal. 2000. Perspektif Islam tentang Lingkungan dan Kependudukan. Dalam Chapman, Audrey R., Rodney L. Petersen, dan Barbara Simith Moran. Consumption, Population, and Sustainability: Perspective from Science and Religion. Diterjemahkan Basuki Dian dan Admiranto Gunawan. 2007. Bumi yang Terdesak: Perspektif Ilmu dan Agama Mengenai Konsumsi, Populasi, dan Keberlanjutan. PT. Mizan Pustaka. Bandung. Halaman 209-221.
24
As-Sa‟dy, Syaikh Abdurrahman, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Shalih alUtsaimin, dan Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan. 2008. Tanya-Jawab Lengkap Permasalahan Jual-Beli. Pustaka As-Sunnah. Jakarta. Ayub, Muhammad. 2009. Understanding Islamic Finance. Terjemahan Aditya Wisnu Pribadi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Bewes, Timothy. 2000. What is Philosophical Honesty in Postmodern Literature?. New Literary History. Vol. 31. Halaman 421-34. Chandrarin, Grahita. 2006. Akuntansi Manajemen Kontemporer. Jurnal Aplikasi Manajemen. Universitas Brawijaya. Malang. Vol.4. No. 1. April. Chapra, M. Umer. 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi; Islamisasi Ekonomi Kontemporer. Risalah Gusti. Surabaya. Hartropp, Anrew. 2010. Do We Know what Economic Justice is? Nuancing Our Understanding by Engaging Biblical Perspectives. Transformation: An International Journal of Holistic Mission Studies. halaman 75 -82. Hendricks, Gay, dan Kate Ludeman. 2003. The Corporate Mystic: Sukses Berbisnis dengan Hati. Terjemahan Fahmy Yamani. Kaifa, PT Mizan Pustaka. Bandung. Islahi, A.A. 1997. Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah. Bina Ilmu. Surabaya. Kamla, Rania, Sonja Gallhofer, dan Jim Haslam. 2006. Islam, Nature and Accounting: Islamic Principles and the Notion of Accounting for the Environment. Accounting Forum. Vol. 30. Halaman 245–265. Kim, W. Chan dan Mouborgne, Renee. 2006. Blue Ocean strategy. PT Serambi Ilmu Semesta. Jakarta. Kolm, Serge-Christophe. 1995. Economic Justice: The Central Question. European Economic Review. 39. halaman 661-73. Losier, J. Michael. 2006. Law of Attraction. Arif Subiyanto (Penerjemah). Law of Attraction; Mengungkap Rahasia Kehidupan. Ufuk Press. Jakarta. Masqood, Ruqaiyah Waris. 2002. Harta dalam Islam: Panduan al-Qur’an dan Hadits dalam Mencari dan Membelanjakan Harta dan Kekayaan. LIntas Pustaka. Jakarta. Qardhawi, Yusuf. 2002. Sunnah Rasul: Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Gema Insani Press. Jakarta. Qardhawi, Yusuf. 2000. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Gema Insani Press. Jakarta.
25
Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih. PT Mizan Pustaka. Bandung. Rawls, John. 1999. A Theory of Justice. Harvard University Press. Massachusetts. Shihab, M. Quraish. 2006. Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian alQur’an. Volume 1 – 15. Lentera Hati. Jakarta. Taylor, Shelley E., Letitia Anne Peplau, dan David O. Sears. 2009. Psikologi Sosial. Prenada Media Group. Jakarta. Tjiptono, Fandy. 2008. Strategi Pemasaran. Penerbit Andi. Yogyakarta.