BAB IV KESIMPULAN
Harapan akan adanya kerjasama yang menguntungkan dari masing-masing pihak menjadi fondasi terjadinya negosiasi antara kedua belah pihak seperti pembahasan sebelumnya. Ketersediaan minyak yang besar serta kebutuhan atas perluasan wilayah pemasaran produk yang mereka hasilkan dapat memberikan penjelasan faktor pendorong yang mempengaruhi KPI bernegosiasi dengan pihak Pertamina. Dengan produksi Kuwait yang cukup besar dalam hal ini mencapai angka rata-rata 3,5 bpd pada tahun 2013. Hal tersebut berkolerasi dengan pangsa pasar yang besar untuk minyak yang dihasilkan oleh Kuwait. Memperluas keuntungan dari pasar domestik ke luar dapat kita lihat juga sebagai merupakan pendorong terjadinya negosiasi kerjasama dari pihak KPI. Shadow of future yang tergambar kemudian adalah harapan akan adanya akses perluasan produk yang dihasilkan oleh KPI serta tidak boleh dilupakan terkait harapan akan kemudahan pengurusan perijinan. Dari sisi Pertamina, kerjasama ini terutama terkait dengan pemenuhan BBM domestik. Negosiasi yang terjadi antara PT Pertamina (Persero) dan Kuwait Petroleum International Company (KPI) dapat kita lihat sebagai upaya kedua belah pihak untuk mendapatkan kepentingan kedua belah pihak. Tujuan dalam hal memaksimalkan keuntungan dari masing-masing pihak terlihat dalam negosiasi yang berlangsung. Tujuan yang hendak dicapai oleh pihak PT Pertamina (Persero) dengan pembangunan kilang minyak ini adalah dapat terpenuhinya kebutuhan domestik atas bahan bakar minyak (BBM). Dapat kita lihat bahwa jumlah pasokan minyak lebih sedikit daripada jumlah permintaan yang ada di masyarakat (supply-demand). Hal ini yang menjadi landasan dasar utama PT Pertamina (Persero) melakukan kerjasama dengan pihak KPI. Di sisi lain pihak KPI melihat bahwa kerjasama yang dilaksanakan dengan pihak PT Pertamina (Persero) adalah upaya untuk meluaskan pasar bisnis usaha 74
mereka. Seperti telah diketahui misalnya KPI telah melakukan kerjasama sebelumnya dengan pihak Jepang dan Vietnam dalam downstream business di Vietnam pada tahun 2008. Selain itu pihak KPI juga menjalani kerjasama pembangunan proyek minyak, petrokimia, retail di China. Kerjasama di China sendiri melibatkan pihak asing dalam hal ini Total. Dapat kita lihat bahwa pihak-pihak melihat adanya peluang yang menjanjikan dengan adanya kerjasama yang terjadi pasca negosiasi. Dinamika negosiasi antara kedua belah pihak berkutat pada salah satu isu utama yaitu insentif pajak berupa tax holiday. Masing-masing pihak memiliki alasan tersendiri berpihak pada keputusan yang mereka jalankan. Alasan masing-masing pihak terkait kepentingan strategis dalam hal ini pendapatan yang akan diperoleh menjadi salah satu penggerak dalam negosiasi yang berlangsung terkait insentif pajak yang diminta oleh KPI. Hal ini sendiri menunjukkan bahwa analisis two level game berlangsung dalam perundingan yang berlangsung. Dapat kita lihat bahwa pihak Indonesia memiliki patokan tersendiri begitu juga dengan pihak Kuwait. Pihak Indonesia mengacu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 sebagai salah satu alasan kuat untuk tidak mengabulkan permohonan insentif pajak yang diminta oleh pihak KPI. CIT negara kawasan yang berada di sekitar Indonesia juga menjadi pertimbangan pihak Pemerintah Indonesia untuk menetapkan besaran pajak yang dibebankan kepada perusahaan dalam hal ini Corporate Insentive Tax (CIT) sebesar 25%. Di sisi lain pihak KPI menjadikan patokan pembebasan tax holiday dinegaranya selama 10 tahun sebagai landasan untuk meminta lebih kepada pihak Pertamina selaku perwakilan Indonesia. Lebih jauh lagi pembebasan pajak impor (0%) dalam investasi di negara lain misalnya di Vietnam sebagai acuan permohonan insentif pajak yang mereka ajukan kepada saat negosiasi berlangsung. Kedua belah pihak dalam hal ini KPI serta Pertamina sama-sama menggunakan strategi Contending dimana kedua belah pihak bertahan pada posisi mereka masing-masing. Di satu sisi KPi menggunakan taktik positional commitment dengan bertahan pada argumen ataupun aspirasi yang telah mereka usulkan 75
sebelumnya. Disisi lain Pertamina menggunakan taktik positional agreement dengan beragam langkah persuasif agar pihak KPI menurunkan permintaan terutamanya terkait insentif pajak. Langkah KPI dengan belum membalas surat dari Pertamina serta dengan berakhirnya MoU pada Februari 2014 menunjukkan bahwa pihak KPI mengambil langkah inaction. Kedua belah pihak sendiri sekarang berada dalam fase tenang dan belum ada perundingan lanjutan hingga akhir tahun 2013 bahkan sampai MoU keduanya berakhir pada Februari 2014. Lebih jauh lagi hingga akhir tahun 2013 dan berakhirnya MoU kedua belah pihak pada Februari 2014, pihak KPI belum memberikan jawaban atas surat yang telah dikirimkan Pemerintah Indonesia terkait permohonan insentif pajak yang mereka minta. Hal tersebut dapat dikategorikan dalam voluntary defect dimana pihak KPI melakukan pengingkaran dengan tidak memberikan jawaban hingga batas waktu yang disepakati bersama oleh kedua belah pihak. Dalam surat tersebut Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa Indonesia tidak dapat mengabulkan permintaaan KPI atas insentif pajak yang diminta KPI. Pembangunan kilang di Vietnam serta China dapat kita lihat menjadi prioritas yang lebih diutamakan oleh KPI dikarenakan kedua proyek tersebut telah masuk dapat Corporate Sustainability Report (CSR) 2012 KPI dalam hal pembangunan kilang. Kita dapat melihat hal tersebut sebagai pertimbangan pihak KPI saat memberikan sikap terkait negosiasi dengan pihak Pertamina. Dapat kita lihat bahwa negosiasi dalam kasus ini antara Pertamina dan KPI berada dalam sistem yang kompleks. Hal ini dikarenakan kedua perusahaan juga merupakan National Oil Company dari masing masing-masing negara yaitu Indonesia dan Kuwait. Sebagai perwakilan dari negara, pihak Pertamina serta pihak KPI harus mempertimbangkan dan menjadikan acuan keputusan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah di masing-masing negara. Power dalam hal ini pemerintah memberikan pengaruh strategis baik secara langsung atau tidak yang akan berpengaruh dalam proses pengambilan kebijakan selama negosiasi berlangsung. Hal yang tidak boleh kita lupakan bahwa aspek internasional juga berpengaruh dalam 76
proses negosiasi. Kerjasama yang telah dijalankan oleh KPI dengan pihak luar juga menjadi pertimbangan bagi pihak KPI dalam negosiasi dengan pihak Pertamina. Interlocking system dapat kita lihat memberikan pengaruh yang signifikan dalam berlangsungnya nesogiasi yang dilaksanakan kedua belah pihak. Aspek internasional juga memberikan pengaruh dalam proses negosiasi dan tawar-menawar yang dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Dari sini dapat lihat bahwa negosiasi kerjasama bisnis yang terjadi dapat dikatakan melibatkan kepentingan yang lebih besar dalam hal ini pemerintah di negara yang bersangkutan dari sisi domestik serta dari sisi internasional. Sebagai pihak pengamat dari luar, penulis melihat bahwa Pertamina sebelum berunding dengan pihak KPI seharusnya telah mempersiapkan BATNA. BATNA yang dapat menjadi pilihan Pertamina adalah membuka kemungkinan untuk mencari investor lain dalam masa perundingan dengan KPI. Pemaparan sebelumnya telah menyebutkan bahwa terdapat banyak negara yang dapat menjadi pilihan Pertamina dalam hal penyediaan minyak. Selain itu Pertamina juga dapat tetap memilih bekerjasama dengan NOC lain dikarenakan masih terbuka kemungkinan untuk bekerjasama. Menanggapi perundingan yang belum menemukan titik temu, penulis melihat bahwa Pertamina selaku NOC Indonesia perlu untuk menggandeng mitra lain di luar KPI. Hal ini dikarenakan masih banyak investor lain yang dapat membantu dalam pembangunan kilang baru. Hal tersebut juga seharusnya menjadi pertimbangan dari pihak Pemerintah Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan agar kedepannya perundingan tidak semata hanya menjadi zero sum game (menang-kalah). Seperti kita ketahui de jure (berdasarkan peraturan perundangan yang ada) kita melihat bahwa PT Pertamina (Persero) memainkan peranan sebagai operator downstream business dan dalam hal pemasaran. Kenyataannya secara de facto (berdasarkan kondisi di lapangan) PT Pertamina (Persero) harus bersaing dengan perusahaan asing yang ada di Indonesia. Dapat kita lihat bahwa banyak perusahaan asing yang bergerak dalam sektor migas di Indonesia. Dengan pangsa pasar penduduk 77
yang
cukup
besar,
diperlukan
pembangunan
kilang
untuk
meningkatkan
competitiveness perusahaan. Indonesia dapat mencontoh negara tetangga seperti Singapura dimana negara tersebut memiliki kilang minyak dengan produksi yang cukup besar bahkan lebih besar dari kebutuhan domestiknya sehingga memungkinkan terjadinya ekspor. Negara tetangga Indonesia ini menjadi contoh negara yang memiliki produksi kilang lebih besar dari kebutuhan domestiknya serta Singapura memiliki fasilitas tangki timbun. Tangki timbun ini berfungsi tidak hanya untuk penyimpanan minyak yang dihasilkan namun juga untuk pencampuran produk minyak. Telah disebutkan bahwa diperlukan pembangunan kilang baru di Indonesia yang dimiliki oleh Pertamina. Hal ini diperlukan tidak hanya semata untuk pemenuhan kebutuhan domestik BBM di Indonesia namun juga untuk meningkatkan daya saing perusahaan. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa Pertamina sekarang bertindak sebagai operator. Sebagai operator pihak Pertamina sendiri diharuskan mengikuti tender jika hendak mengelola potensi ladang minyak. Terjadi kompetisi bebas dalam sektor hilir. Dari sini dapat kita lihat bahwa pihak Pemerintah Indonesia sebaiknya memberikan perhatian kepada Pertamina agar sebagai NOC Indonesia dapat menjadi penyokong perekonomian Indonesia. Mengutip pernyataan Rhenald Khasali bahwa Pertamina seharusnya dapat menjadi powerhouse dalam artian industri yang memegang peranan penting sebagai penyokong perekonomian. Untuk mewujudkan hal tersebut salah satu hal yang dapat dilakukan adalah mendukung upaya Pertamina untuk membangun kilang minyak untuk meningkatkan daya saing Pertamina di tengah kompetisi global.
78