Merebut Hak yang Terampas Pengalaman Advokasi Membangun Akuntabilitas Pelayanan Pendidikan
Umarul Faruk Ruchul Jannah Hayyik Ali MM Ana Puspitosari
Merebut Hak yang Terampas Pengalaman Advokasi Membangun Akuntabilitas Pelayanan Pendidikan
©2013 Malang Corruption Watch Jumlah halaman: 118, ukuran: 12 x 18 cm Diterbitkan pertama kali oleh Malang Corruption Watch Penulis : Umarul Faruk Ruchul Jannah Hayyik Ali MM Anna Puspitasari Editor : Akmal Adi Cahya Diana Manzila Desain : Wawan Sulton Fauzi Gambar : Farchan Masduq Hidayat ISBN : 978-979-15863-2-0 Diterbitkan oleh : Malang Corruprion Watch Wisma Kalimetro Jl. Joyosuko Metro 42 A Malang, Jawa Timur, Indonesia Telp/fax. : 0341-573650 Email :
[email protected] www.mcw-malang.org Didukung oleh : Yayasan Tifa Jl. Jaya Mandala II No. 14 E Menteng Dalam Jakarta Selatan 12870 Indonesia www.tifafoundation.org
Pengantar ... Jargon “Kota Pendidikan” yang selama ini disandang oleh Kota Malang ternyata sangat bertolak belakang dengan fakta yang terjadi di lapangan. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan pendidikan yang tidak memberikan perlindungan bagi masyarakat, bahkan terkesan mempersulit masyarakat dalam mengakses pendidikan yang murah dan berkualitas. Selain tidak berpihak pada kepentingan rakyat, kebijakan pendidikan di Kota Malang juga sarat dengan praktik pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh pihak sekolah, komite sekolah bahkan oleh dinas pendidikan dan kebudayaan (dindikbud) Kota Malang. Praktik penyimpangan penggunaan anggaran pendidikan, misalnya dana DAK, juga kerap terjadi. Seringkali, dana DAK yang seharusnya langsung mengalir ke sekolah penerima harus terlebih dahulu diatur oleh pihak Dindikbud. Hal tersebut mengakibatkan adanya pemotongan dana dan penurunan jumlah serta kualitas spesifikasi barang yang harus diterima sekolah.
Selain masalah penyimpangan, korupsi dan sejenisnya ternyata hingga saat ini peme-rintah kota Malang belum mempunyai standar pelayanan pendidikan yang mengatur tentang kualitas kegiatan belajar mengajar (KBM) dan mekanisme partisiapai masyarakat/ wali murid dalam hal pembelajaran maupun pembiayaan. Termasuk juga tidak adanya konsistensi dalam menyelenggarakan layanan pendidikan yang berkualitas dan tidak diskriminatif. Pelayanan pendidikan yang ada saat ini masih melanjutkan konsep “kastaisasi” yaitu ada kelas internasional, akselerasi, model, reguler, paket A, B, C dan lainlain. Banyaknya biaya yang dibebankan kepada orangtua, sebenarnya merupakan jenis pungutan liar, karena sesuai dengan peraturan yang ada untuk wajib belajar 12 tahun telah disediakan oleh negara. Sebagai contoh, dari hasil monitoring MCW tahun 2007-2011 ragam pungutan yang dilakukan oleh sekolah paling tidak ada 20 jenis seperti biaya ujian, bangunan sekolah, seragam sekolah, seragam olahraga, buku paket, wisata belajar (study tour), kegiatan ekstrakulikuler, daftar ulang, rapor siswa, OSIS, UKS, perpustakaan, perayaan hari raya besar, dana taktis sekolah, gaji guru honorer, uang foto kopi, uang SPP, uang LKS dan buku paket, uang infak, uang paguyuban, bantuan insidentil hingga vi
biaya perpisahan kepala sekolah atau guru. Padahal, biaya pendidikan sudah disediakan dari pemerintah yang berbentuk BOS, block grant, dana alokasi khusus baik dari pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat. Dengan adanya sumber dana itu seharusnya penyelenggaraan pendidikan dasar di kota Malang dapat digratiskan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya bukan mengratiskan tetapi dana-dana yang ada telah dijadikan bancakan untuk dikorupsi. Berdasarkan hasil riset MCW tahun 2011 tentang studi pemetaan modus, aktor dan potensi kerugian di Kota Malang, di temukan praktik korupsi marak terjadi di sektor pendidikan. Di tahun 2010, korupsi di sektor pendidikan terjadi setidaknya 6 kasus korupsi. Akan tetapi, ditahun 2011 kasus korupsi di sektor pendidikan meningkat menjadi 31 kasus. Dengan akumulasi kerugian per-siswa sebesar 125.785.000 dari 31 kasus. Kondisi ini menunjukkan bahwa tidak adanya tindakan tegas dari pemerintah terhadap lembaga pendidikan yang melakukan tindakantidakan diluar ketentuan yang berlaku (peraturan). Disisi lain, Kondisi parlemen (DPRD) di Kota Malang yang sejatinya mewakili rakyat, dengan fungsi mengawasi tindakan tersebut, tidak bersifat proaktif. Cenderung perilaku vii
mereka bak raja yang menunggu laporan dari masyarakat. Berdasarkan data hasil monitoring yang dilakukan oleh sepanjang tahun 2011 tercatat pihak DPRD kota Malang tidak memberikan respon secara kongrit terhadap masukan (audiensi ataupun hearing) dari pihak masyarakat. Hal tersebut di buktikan bahwa pihak DPRD belum memikirkan untuk menggunakan hak inisiatifnya untuk melakukan revisi atas perda pendidikan no 3 tahun 2009 kota Malang. Di dalam perda tersebut ada beberapa point penting yang memberikan peluang bagi pihak penyelenggara pendidikan untuk memungut biaya pendidikan di tingkat dasar. Ketika program ini dilakukan oleh MCW bak gayung bersambut bahwa DPRD Kota Malang juga telah menggunakan hak inisiatifnya untuk melakukan revisi terhadap perda pendidikan yang ada di Kota Malang. Untuk itu, kedepan diperlukan adanya proteksi kepada masyarakat miskin agar hakhak konstitusionalnya tidak diabaikan begitu saja oleh negara/pemerintah. Karena seperti yang sudah diamanatkan dalam konstitusi bahwa penyelenggaraan pendidikan dasar harus disediakan oleh negara sebagai bentuk pemenuhan kewajiban negara kepada rakyatnya. Oleh karena itu, dengan adanya program ini diharapkan dapat terjadi sebuah proses sharing knowlviii
edge kepada masyarakat terutama yang tergabung dalam institusi-institusi kelompok masyarakat untuk melakukan advokasi atas kepentingan hak konstitusionalnya. Program ini dirancang agar dapat memengaruhi model komunikasi antara masyarakat sebagai konstituen dari anggota DPRD berjalan secara lebih terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Demikianpun juga model komunikasi antara masyarakat sebagai target dari kebijakan yang dibuat dan dijalankan oleh pemerintah Kota Malang dapat berjalan partisipatif dan akuntabel. Model komunikasi atau membangun dan memperbanyak forum-forum publik yang terkoordinir dan konstruktif seperti ini harus dilakukan secara periodic, yaitu dilaksanakan setiap triwulan dan melibatkan seluruh perwakilan stakeholder (model deliberative forum) yang kami namakan dengan Constituen Meeting, dimana menuntut anggota DPRD dapat berkomunikasi langsung dengan masyarakat di daerah pemilihannya (dapil) dengan mempertanyakan secara kritis, beradab tentang kinerjanya dalam mengartikulasikan kepentingan masyarakat di dapil. Sedangkan target dari pelaksanaan constituen meeting ini adalah adanya komunikasi antara masyarakat, orangtua siswa, pihak ix
sekolah, diknas, DPRD, Komite sekolah yang konstruktif untuk melakukan evaluasi dan penentuan sasaran perbaikan pengelolaan anggaran pendidikan. Sepanjang program ini berjalan, kegiatan yang telah dilakukan di ketagorikan menjadi lima kategori. Adapun kategori tersebut adalah; 1. Kelompok Kegiatan Capacity Building: Training Analisi dampak kebijakan, training pengoraganisasian dan teknik audit sosial dan training Kerelawanan dan Teknik Pengelolaan PIP. Dari ketiga kegiatan ini memunculkan satu kelompok PIP yang di masingmasing kecamatan. Design awal pasca dari kegiatan ini mereka bisa menjadi pusat infromsai publik yang berbasis kecamatan. Akan tetapi, pasca kegiatan ini peserta bersepakat untuk menjadi pusat informasi publik berbasis kecamatan, akan tetapi pusat infromas publik itu berada di rumah masingmasing dan basis kerjanya adalah kecamatan. 2. Kelompok Kegiatan Penguatan Jaringan: FGD Pusat Informasi dan Fasilitasi pembentukan PIP. Berdasarkan kesepakatan pada training bahwa PIP itu di perbolehkan berbasis aktor apabila pengelola PIP sudah siap. Berbasis aktor artinya setiap rumah pengelola PIP adalah sebagai pusat infromasi publik. Sex
hingga jaringan pusat infromasi yang ada selama program ini ada melebihi target dari 5. 3. Kelompok Kegiatan Riset: Dengan adanya PIP ini kemudian pengelola program mengadakan kegiatan Riset : Analisis dampak Kebijakan, FGD Hasil, dan Peer Review. Sepanjang ketiga kegiatan ini berlangsung dokomuen yang di hasilkan dari versi masyarakat adalah Raperda Pendidikan dan Analisis PPAS Anggaran Pendidikan Kota Malang. Dokumen ini merupakan hasil audit yang dilakukan oleh pengelola PIP dan di fasilitasi oleh peneliti dan tim ahli. Dalam kegiatan ini pula di sepakati bahwa raperda pendidikan sebagai hasil audit masyatakat untuk segera di usulkan ke DPRD. Karena penyusunan anggaran pendidikan dalam APBD sangat di tentukan dalam salah satu klausul dalam raperda pendidikan ini yaitu; tentang pembiayaan pendidikan. 4. Kelompok Kegiatan Advokasi : Tranparancy Parlianment Dialogue, Accountability Exsekutive Dialouge, Specific Forum dan Pendampingan Kasus. Sepanjang program ini selama 6 bulan (tahap 1) kegiatan ini cukup memberikan ruang bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan, pengaduaan xi
secara langsung kepada pihak terkait (DPRD, DINDIKBUD dan Inspektorat). Artinya bahwa kegiatan ini menjadi model alternatif untuk mendorong akuntabiliias dan transparansi penyelanggaraan pendidikan. Hanya saja kendalanya pada sektor eksekutif (DINDIKBUD) yang kurang terbuka untuk menerima masukan. Sehingga setiap melakukan pertemuan dengan pihak dindikbud cenderung resisten. 5. Kelompok Kampanye Publik: Pengaduan Keliling, Aksi sebar poster, cetak buletin dan dialog interaktif. Dalam kategori kegiatan ini pula memberikan ruang bagi msaysarakat untuk berani mengadukan terkait persoalan pendidikan. Hal ini di buktikan dengan adanya pengaduan dari masyarakat. Disisi lain, kegiatan ini pula sebagai media untuk mengkonsolidasikan setiap jaringan PIP maupun pegadu. Karena hampir sebagian besar dalam melakukan kegiatan pengaduan keliling yang terlibat untuk mengelola adalah pengadu dan pengelola pusat infromasi. Dengan adanya perubahan-perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan ini seperti dengan menggunakan model komunikasi akuntabiltas parlemen (DPRD) dan Pemerintah xii
daerah kota Malang di harapakan ada pengelolaan anggaran pelayanan pendidikan yang lebih transparan dan akuntabel. Terakhir, dalam kesempatan ini kami mewakili Perkumpulan Malang Corruption Watch (MCW), ingin menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa dan terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh jajaran Badan Pekerja MCW baik ketika dibawah kepemimpinan M. Didit Sholeh, yang saat ini sedang menyiapkan diri untuk belajar ke negeri seberang maupun pada kepemimpinan saat ini yaitu Umarul Faruk sebagai koordinator badan pekerja yang telah bekerja dengan keras dan sangat militan untuk menghadirkan mimpimimpi keadilan di Malang raya. Terima kasih pula disampaikan kepada Uni, Akmal, Zainudin, Fifi, Zakarya, Nuril, Hayyik, Ana, Taufik, Fiqih, Tahir, dan kepada semua relawan MCW. Demikianpun juga tak lupa terima kasih kepada dewan pembina MCW, dewan pengawas MCW maupun kepada seluruh dewan pengurus MCW yaitu Hesti, Sabir, Wawan, Irfan Peh, dan Rusdi yang telah bekerja tak mengenal lelah dari siang hingga malam hari, semoga Allah mencatatnya sebagai amal dari sebuah jihad kemanusiaan di bumi manusia, termasuk juga terima kasih kepada seluruh jaringan kerja MCW baik xiii
yang tergabung dalam FMPP (terlalu banyak untuk disebutkan satu-persatu), kepada temanteman akademisi maupun LBH Surabaya Pos Malang. Tentu pula tak akan pernah dilupakan oleh kami keluarga besar MCW terhadap dukungan yang luar biasa yang telah diberikan oleh Yayasan Tifa, Mas Coki, dan staf yang lainnya, semoga dukungan ini dapat menum-buhkan benih-benih perbaikan dalam kehidupan manusia diwaktu yang akan datang. Semoga ini menjadi doa bagi kita semua. Sekali lagi terima kasih. Kalimetro, Malang, medio Agustus 2013.
Luthfi J. Kurniawan Ketua Dewan Pengurus Perkumpulan MCW
xiv
Daftar isi ...
Pengantar __v Daftar Isi __xv Bab I : Jalan Panjang Mendemokratiskan Pendidikan Negara Perlu Melindungi Hak Warga Negara __7 Belajar Bersama untuk Membangun Asa __19
Bab II : Senarai Gerakan Rakyat Memenuhi Hak Konstitusionalnya Menyamakan Frekuensi Sesama Pelaku __29 Ruang Publik yang Tak Luas __37 Kesadaran untuk Saling Berbagi __43
xv
Bab III : Membangun Mimpi Bersama Memperdalam Konstituensi __59 Memulai dari Gerakan Masuk Kampung __69 Dari Ngerumpi Menjadi Pencatat __73 Konsolidasi Berbuah Pengetahuan __77
Bab IV : Membangun Keterampilan Mendapat-kan Hak Monitoring Melalui Audit Sosial __89 Profil MCW __99
xvi
untuk
Bab I Jalan Panjang Mendemokratiskan Pendidikan
Merebut Hak yang Terampas
2
MCW dan Yayasan TIFA
“mbak yu... tempo hari aku dipanggil oleh pihak sekolah untuk segera melunasi kekurangan pembayaran daftar ulang dan uang rapor anakku, tapi saya tidak menghadap karena belum ada uang...”
Penggalan kalimat dialog diatas bukanlah imajinasi melainkan seringkali didengar tatkala musim kenaikan kelas di sekolah-sekolah seantero Malang Raya. Disebut Malang Raya, karena ada tiga wilayah administrasi pemerintahan yaitu Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu. Meskipun dipisah secara administrasi namun realitas sosial, budaya dan bahkan mobilitas ekonomi warga tak bisa dipisahkan secara administrasi karena memang sejarahnya dulu Malang Raya menjadi satu kesatuan. Memang menjelang penerimaan peserta didik baru atau lebih familiar dengan sebutan PPDB di Malang, banyak sekolah seolah berlomba-lomba untuk memasang tarif biaya masuk, meskipun telah tidak ada sekolah yang berstatus RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, biaya masuk sekolah tetaplah mahal. Jika menilik kepada beberapa aturan yang ada di Indonesia biaya penyelenggaraan pendidikan apalagi pendidikan dasar semuanya disediakan oleh negara 3
Merebut Hak yang Terampas
dalam hal ini adalah pemerintah (pusat) melalui APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan pemerintah daerah melalui APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Artinya, biaya pendidikan tidak perlu dibebankan lagi kepada masyarakat. Namun demikian, kenyataannya tidaklah sebaik yang telah tertulis dalam Undang-undang Dasar Negara 1945 maupun undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003. Hingga saat ini beragam pembiayaan pendidikan terutama pendidikan dasar di Malang tetap dibebankan kepada wali murid dengan beragam modus. Misalnya ada uang pendaftaran, uang infak, uang ujian dan lain sebagainya sebagaimana terlohat dalam tabel dibawah ini. No 1
Jenis Pungutan Uang pe ndaftaran masuk seko lah Uang SPP/komite Uang OSIS
No 11
Jen is Pungu tan Uang in fak
12 13 14
5
Uang ekstraku likuler Uang ujian
Uang foto cop y Uang perpustakaa n Uang ba ngunan
6 7 8 9
Uang da ftar ulang Uang study tour Uang les Buku aja r
16 17 18 19
10
Uang pa guyuba n
20
2 3 4
4
15
Uang LKS dan buku paket Bantuan Inside ntal Uang foto Uang pe rpisahan Pergantian kepala se kola h Uang seragam
MCW dan Yayasan TIFA
Penyelenggaraan pendidikan yang selama ini berlangsung di Malang Raya tak berbeda jauh dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Persoalan penyelenggaraan pendidikan masalah yang seringkali muncul adalah seperti adanya pungutan biaya saat pendaftaran ataupun pada saat naik kelas dengan modus daftar ulang. Selain itu, tak jarang terjadi penahanan ijasah oleh pihak sekolah karena belum melunasi pembayaran iuran atau sumbangan sukarela yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah. Memang sangat ganjil, pihak sekolah menerapkan sumbangan sukarela namun angka minimumnya telah ditentukan oleh pihak sekolah atau oleh pihak komite sekolah yang tentunya sudah merupakan hasil kesepakatan antara pihak sekolah dengan pihak komite sekolah dan nilai sumbangan untuk berapa maksimalnya tidak dibatasi artinya terhingga. Selain, masalahmasalah biaya sumbangan dengan beragam modus siswa atau orang tua juga masih terbebani oleh adanya uang les, uang seragam, uang buku dan sebagainya. Demikian juga dengan praktik korupsi di sektor pendidikan sangat luar biasa. Apalagi saat ini ada sebuah kebijakan politik yang harus dipatuhi oleh pemerintah bahwa anggaran pendidikan harus 20 % dari total dana APBN 5
Merebut Hak yang Terampas
ataupun APBD pemerintah propinsi maupun pemerintah kota dan kabupaten. Kebijakan ini tentu akan melahirkan potensi korupsi jika tidak ada mekanisme pengawasan yang ketat. Seperti yang sudah banyak dilansir di media kasus-kasus korupsi di sektor pendidikan sangatlah besar di republik yang kita cintai ini. Indonesia Corruption Watch (ICW) berdasarkan hasil penelitiannya yang disampaikan oleh Ade Irawan, korupsi pendidikan semakin hari semakin meningkat dan modusnya semakin beragam. Ragam masalah-masalah yang timbul seperti diatas, juga diikuti dengan kurangnya perhatian yang sangat substansial dari para wakil rakyat yang ada di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang. Selama ini DPRD masih terkesan seremonial saja manakala membicarakan secara sungguh-sungguh tentang bagimana konsep dan penyelenggaraan pendidikan di kota Malang.
6
MCW dan Yayasan TIFA
EMPAT LAPISAN K ORUPSI PENDIDIKAN Lapisan Korupsi
Pelaku
Modus
Lapisan Pertama
Departemen Pendidkan Nasional
Suap proyek-proyek yang diperuntukan bagi daerah/dinas. Pengerjaan proyek tanpa tender dan dikerjakan perusahaan pejabat depdiknas
Lapisan Kedua
Dinas pendidikan, depdiknas
T ender suap proyek yang diperuntukkan bagi sekolah/kampus
Lapisan ketiga
Kepala sekolah, sering di bantu pula oleh komite sekolah dan dinas pendidikan. Rektor, dekan, ka lemlit, dll
Penggelapan, anggaran ganda, mengalokasikan dana yang tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan belajar-mengajar
Lapisan Keempat
Guru/dosen
Menggunakan kewenangan untuk menarik dana dari siswa. Contoh kasus membayar untuk ujian ulangan, uang contekan, uang Renang, sumb gedung dan lain-lain
Sumber: diolah dari Ade Irawan, 2004; Aditjondro, 2002. Negara Perlu Melindungi Hak Warganya Mimpi akan penyelenggaraan pendidikan yang baik dan tanpa banyak pungutan yang memberatkan pada walimurid tampaknya belum terbukti terjadi di Kota Malang, hal ini dapat dibuktikan dengan banyak pengaduan tentang hal tersebut. Itulah sekelumit persoalan wajah penyelenggaraan pendidikan oleh 7
Merebut Hak yang Terampas
sekolah-sekolah di Malang Raya, yang seharusnya tidak boleh terjadi mengingat Kota Malang mempunyai jargon sebagai kota pendidikan. Dengan adanya realitas seperti diatas ini maka dialog yang terjadi diawal tulisan ini tentu bukanlah imajinasi namun memang betul terjadi di kota Malang. Realitas diatas seharusnya tidak terjadi jika para pemangku kepentingan terutama di sektor pendidikan tahu betul arti dan pentingnya pendidikan bagi masyarakat. Pendidikan bagi masyarakat bukan hanya menghasilnya orangorang pandai namun lebih dari itu yaitu dapat melahirkan peradaban umat manusia. Itulah esensi pendidikan. Salah satu agenda penting reformasi sejak tahun 1998 adalah perbaikan pelayanan pendidikan. Tantangan menuju pelayanan pendidikan yang lebih adil dan berkualitas tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Perubahan pada tataran peraturan, struktur, paradigma, serta kultur perlu dilakukan dan ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Reformasi pelayanan pendidikan perlu dipahami dalam arti luas, lebih dari sekedar mengubah pandangan dan mental aparat birokrasi di negeri ini yang masih melihat pelayanan pendidikan sebagai “pekerjaan yang dilayani” bukan “pekerjaan untuk melayani”. 8
MCW dan Yayasan TIFA
Bicara pelayanan pendidikan yang adil dan berkualitas adalah bicara mengenai tanggungjawab negara kepada rakyatnya. Negara yang baik adalah negara yang mampu memenuhi dan melindungi hak-hak penduduknya. Parameternya dapat dilihat dari keluaran proses kebijakan yang ada, yaitu pelayanan terbaik kepada masyarakat. Adalah tugas negara (dalam hal ini dijalankan pemerintah) untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Pelayanan pendidikan yang juga merupakan bagian dari pelayanan publik maka Pemerintah sebagai pengelola didorong untuk memperbaiki dirinya guna mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance). Inti dari good governance adalah pemerintah memiliki kewajiban melayani masyarakatnya. Pelayanan publik dalam konteks mewujudkan good governance ini dapat dilihat melalui 3 langkah strategis (Dwiyanto, 2005: 20-27). Pertama, interaksi antara negara (yang diwakili pemerintah) dengan warganya, termasuk berbagai kelompok atau lembaga di luar pemerintah dalam pelayanan pendidikan. Idealnya, interaksi tersebut memaksa pemerintah sebagai penyedia layanan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi warganya. Perubahan kualitas pelayanan, menjadi lebih baik atau lebih buruk, akan berdampak secara langsung kepada 9
Merebut Hak yang Terampas
masyarakat dimana kehidupannya sehari-hari tergantung dari apa yang diberikan oleh pemerintah kepada warganya. Kedua, pelayanan pendidikan adalah ranah dimana prinsip-prinsip good governance dapat diartikulasikan secara lebih baik. Sebagai contoh, aspek kelembagaan kualitas pelayanan pendidikan dari prinsip-prinsip good governance adalah bagaimana interaksi antara pemerintah dengan warga atau dengan pasar, yaitu bagaimana keterlibatan aktor di luar pemerintah dapat memberi masukan, kritik atau respon terhadap bentuk pelayanan yang diberikan. Sementara, nilai-nilai good governance seperti efektifitas, efisiensi, non diskriminatif, berkeadilan, berdaya tanggap tinggi dan akuntabilitas yang tinggi dapat direalisasikan dalam pelayanan pendidikan. Nilai-nilai tersebut menjadi mudah terlihat dan teraplikasikan pada pelayanan pendidikan dalam kerangka good governance. Ketiga, pelayanan pendidikan melibatkan semua kepentingan yang berada di dalam negara. Pemerintah, masyarakat, dan mekanisme pasar memiliki kepentingan terhadap pelayanan pendidikan yang lebih baik. Nasib sebuah pemerintahan, baik di pusat ataupun di daerah, tergantung dari pelayanan pendidikan yang dibangun karena kepercayaan dan legitimasi kekuasaan mereka berasal dari pengguna layanan, 10
MCW dan Yayasan TIFA
yaitu masyarakat. Dalam iklim keterbukaan politik dan sistem pemilihan pemimpin secara langsung saat ini, masyarakat dapat menentukan pilihan dan dukungan kepada rezim yang mampu atau tidak mampu dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Legitimasi kekuasaan saat ini ditentukan pada keberpihakan pemerintah kepada rakyatnya secara langsung. Bentuk pelayanan yang buruk menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat atas sebuah rezim pemerintahan. Sedangkan dari pihak pasar, dukungan terhadap pelayanan yang baik adalah keharusan, manakala para investor menginginkan proses yang murah dan mudah. Bagi pelaku pasar, pelayanan yang terbaik adalah pelayanan yang tidak mengeluarkan biaya tinggi dan cepat didapatkan sehingga akan mempercepat usaha ekonomi mereka. Percepatan dari usaha tersebut akan berdampak pada peningkatan pendapatan daerah atau negara. Artinya, pelayanan pendidikan berkorelasi dengan legitimasi kekuasaan pemimpin, baik di tingkat pusat ataupun daerah. Andrinof Chaniago (2006) mengamati berbagai persoalan seputar pelayanan publik (pendidikan) di Indonesia. Hasil pengamatannya memperlihatkan berbagai persoalan tersebut diantaranya: 1. Hanya sebagian kecil dari keseluruhan instansi yang wajib menyediakan pelayanan yang memiliki prosedur yang jelas.
11
Merebut Hak yang Terampas
2. Banyak instansi penanggungjawab dan pemberi pelayanan yang tidak memiliki prosedur yang jelas dalam menyediakan pelayanan. 3. Tidak banyaknya perubahan dalam wktu sekian tahun juga mengindikasikan tidak ada sistem monitoring, evaluasi, dan perencanaan yang baik yang dilakukan oleh instansiinstansi penanggungjawab dan penyedia pelayanan pendidikan. Kini, mari kita lihat dari perspektif konsep bahwa negara harus melayani rakyatnya bukan sebaliknya. Kenapa? Karena negara adalah rakyat, dan kuasa adalah milik rakyat, oleh karena itu, tujuan mendirikan negara adalah untuk mensejahterakan rakyatnya secara adil, tanpa adanya diskriminasi. Pendirian negara sebagai bentuk dari kesepakatan politik antar rakyat, yang didalamnya mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang mengatur tentang hak dan kewajiban. Dalam konteks inilah, maka negara mempunyai kewajiban untuk memberi-kan pelayanan yang baik terhadap kepentingan rakyat. Karena tugas dan kewajiban negara adalah untuk mengabdi kepada kepentingan masyarakat dan kehendak rakyat. Bukan sebaliknya rakyat mengabdi kepada kepentingan penguasa negara. Dalam konteks teori, pernyataan di atas merupakan sebuah keniscayaan, namun dalam konteks 12
MCW dan Yayasan TIFA
praksis seringkali menjadi sesuatu yang jauh dari konsepsi yang sudah dibangun seperti di atas. Acapkali dalam implementasinya antara konsep dengan praktik selalu tidak sebangun. Pelayanan pendidikan merupakan hak dasar bagi warga negara yang harus dipenuhi oleh negara. Pelayanan pendidikan sebagai salah satu dari bagian pemenuhan kesejahteraan serta menjadi bagian dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) saat ini, telah menjadi isu besar di negeri ini. Hampir setiap orang dalam berbagai kesempatan selalu menyampaikan tentang isu-isu yang berkaitan dengan pelayanan pendidikan sebagai suatu keharusan yang disediakan oleh negara. Disamping itu, dalam kovenan deklarasi umum hak asasi manusia (DUHAM) juga disebutkan bahwa ada jaminan bagi hak-hak warga negara, seperti social security maupun social protection. Hal ini dilakukan karena pelayanan pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan bagi kewajiban negara untuk mensejahterakan rakyatnya. Pelayanan pendidikan bukan sematamata hanya menyiapkan instrumen bagi berjalannya birokrasi untuk menggugurkan kewajiban negara, melainkan lebih dari itu, bahwa pelayanan pendidikan merupakan esensi dasar bagi terwujudnya keadilan sosial. 13
Merebut Hak yang Terampas
Negara yang mepunyai fungsi untuk melindungi, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menciptakan perdamaian adalah untuk segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia tanpa adanya perlakuan yang dibeda-bedakan. Sebagai contoh dari implementasi fungsi negara misalnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa posisinya sangatlah penting. Kalimat ini mempunyai makna filosofis. Artinya, Negara berkewajiban menyelenggarakan dan menyediakan instrumennya agar proses pencerdasan bagi bangsa (seluruh rakyat Indonesia) dapat menikmatinya. Yang dimaksud dengan penyediaan instrumen yaitu negara melalui pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan tanpa diskriminasi dan tanpa memberatkan warga Negara. Namun semua hal ini tidak dapat terjadi karena proses selama ini yang terjadi sangat jauh dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam fungsi Negara. Dalam kenyataannya yang terjadi saat ini yaitu penyelenggaraan pendidikan masih banyak diliputi oleh; rendahnya kualitas layanan, rendahnya kualitas penyelenggaraan layanan, ketiadaan akses bagi kelompok rentan, penyandang cacat dan komunitas adat terpencil, ketiadaan mekanisme komplain dan penyelesaian sengketa. 14
MCW dan Yayasan TIFA
Dalam menentukan produk kebijakan, negara tidak dapat melakukannya berdasarkan atas seleranya sendiri namun harus ada ruang partisipasi agar setiap produk kebijakannya mendapatkan legitimasi sosial selain selain legitimasi yuridis dan politik. Partisipasi masyarakat dalam segala pembuatan kebijakan yang nantinya akan memberi efek langsung maupun tak langsung merupakan tuntutan mendasar dari proses demokratisasi. oleh karenanya kanal partisipasi mau tak mau harus selalu di buka dalam proses pembuatan, implementasi dan juga proses pengawasan serta evaluasi dalam kebijakan pelayanan pendidikan. Pelibatan dalam keseluruhan proses kebijakan pelayanan pendidikan secara filosofis mengembalikan core dari pelayanan pendidikan sebagai sebuah mekanisme yang di sediakan oleh negara untuk memenuhi kebutuhan dan hak dasar masyarakat. Inti pelayanan pendidikan di kembalikan kepada masyarakat dan bukan sebaliknya seperti penyelenggaraan layanan yang selama ini terjadi. Penyelenggaraan layanan kembali di tempatkan sebagai penyedia layanan bagi masyarakat bukan sebaliknya masyarakat sebagai penerima layanan harus memenuhi kewajiban yang di tetapkan oleh penyelenggara layanan seperti yang selama ini terjadi. 15
Merebut Hak yang Terampas
Dalam konteks partisipasi masyarakat esensi dasarnya dapat di bagi ke dalam tiga proses yaitu; Pertama, partisipasi dalam proses perencanaan penyelenggaraan layanan publik. Artinya, partisipasi masyarakat dalam perencanaan akan meliputi penentuan kualitas jenis layanan yang di berikan, penentuan mekanisme pemberian layanan, penentuan biaya layanan, penentuan hak dan kewajiban dari penyelenggaraan maupun pengguna layanan, serta mekanisme koplain dan penyelesaian sengketa. Penetuan hal-hal tersebut di atas tidaklah harus sepihak oleh penyelenggara semata tetapi juga harus meminta persetujuan dari masyarakat. Penyelenggara dalam proses perencanaan haruslah melibatkan masyarakat untuk menentukan hal-hal tersebut di atas. Kedua, partisipasi dalam proses perencanaan layanan publik hubungan dengan pengawasan. Yaitu; penyelenggaraan layanan haruslah terbuka terutama dalam pengawasan penyelenggaraannya. Salah satu cara membuka ruang partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan dengan penyediaan mekanisme penanganan keluhan dan penyelesaian sengketa baik oleh penyelenggara maupun oleh lembaga independen yang memiliki kewenangan atasnya. Kejelasan mekanisme pananganan 16
MCW dan Yayasan TIFA
keluhan dan penyelesaian sengketa dapat mendorong meningkatkan kualitas layanan dan memberikan dorongan kepada masyarakat untuk melakukan pengawasan. Sedangkan di pihak lain memberikan jaminan bagi terpenuhinya hak-hak dan kebutuhan dasar masyarakat melelui palayanan publik. Ketiga, pelibatan masyarakat dalam evaluasi penyelenggaraan layanan. Masyarakat sebagai penerima layanan harus dilibatkan dalam proses penilaian dan evaluasi penyelenggaraan layanan, karena masyarakat adalah tujuan dari penyelenggaraan layanan publik. Pendapat masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan pendidikan merupakan komponen utama dari evaluasi penyelenggaraan pelayanan pendidikan. Mekanismenya dapat melalui survei berkala yang analistis.
17
Merebut Hak yang Terampas
Fung si negara menurut Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD NKRI) 1945, adalah: Melindungi: yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia bukan hanya ancaman penyerangan dari luar negara maupun gerakan-gerakan perlawanan/kekerasan dari dalam negeri untuk membubarkan NKRI, melainkan juga melindungi dari ancaman yang berbentuk wabah penyakit, kemiskinan dan sejenisnya. Memajukan: yaitu memajukan kesejahteraan umum, salah satunya tentang ketahanan pangan, perbaikan kesehatan warga negara, mengentas kemiskinan, dan sebagainya. Mencerdaskan kehidupan bangsa: yaitu menyelenggarakan pendidikan bagi rakyat yang berkualitas tanpa diskriminasi dan bebas dari ancaman komersialisasi. Mencip takan perdamaian: yaitu menciptakan perdamaian bagi umat manusia diseluruh dunia. Mencip takan keadilan sosial: yaitu mencitakan keadilan ekonomi bagi seluruh warga negara.
18
MCW dan Yayasan TIFA
Belajar Bersama untuk Membangun Asa Pelayanan pendidikan juga tidak bisa lepas dari pilihan gagasan politik tentang negara. Marsillam Simandjuntak mencontohkan, gagasan politik tentang negara demokrasi misalnya, menyatakan bahwa kekuasaan pemerintah ditentukan oleh rakyat sehingga aturan hukum tentang hubungan antara masyarakat dengan penguasa dan antar anggota masyarakat sendiri mencerminkan perwujudan setiap kemungkinan dari pelaksanaan kekuasaan rakyat. Arahnya, bersifat membuka jalan dan memudahkan penyaluran hasrat rakyat dalam pembentukan kebijakan pemerintahan (Simandjuntak, 2003: 1-2). Jadi, kekuasaan paling berdaulat adalah rakyat. Sebaliknya, dalam konsep kedaulatan negara, kekuasaan sepenuhnya ada di tangan negara yang selanjutnya berada di pangkuan pemerintah. Rakyat dikontrol sepenuhnya dan seringkali tidak diberi kesempatan untuk berbeda pandangan dengan pengambil kebijakan. Konsep negara seperti ini yang melahirkan sejumlah negara fasis. Konsep negara secara politik berhubungan langsung dengan tuntutan terhadap negara secara ekonomi. Sistem negara demokrasi hampir pasti menggambarkan negara yang memberi jawaban kesejahteraan ekonomi bagi rakyatnya. 19
Merebut Hak yang Terampas
Karena itu, Amartya Sen menyatakan bahwa kemiskinan terjadi bukan karena hilangnya upaya-upaya serius untuk mengatasinya tetapi karena kekurangan demokrasi. Sehingga negara yang memberi kesejahteraan bagi warganya adalah negara yang sukses berdemokrasi. Proses demokrasi yang terjadi di Malang, kiranya belumlah memadai seperti apa yang dikatakan oleh Amartya Sen, karena masih banyak indikator kesejahteraan bagi warganya yang belum terpenuhinya, misalnya di sektor pendidikan. Demokratisasi pendidikan di Kota Malang masih jauh dari harapan. Diskriminasi di sekolah-sekolah masih kerap terjadi, demikian juga dengan absennya dinas pendidikan kota Malang untuk melakukan kontrol, supervisi ataupun menertibkan terhadap perilaku sekolah yang selalu tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Situasi ini juga diperparah dengan peran parlemen (DPRD) daerah kota Malang, yang seringkali keluar dari konteks persoalan. Sebagai contoh tatkala Koalisi Peduli Pendidikan Malang (KMPP), yang beranggotakan individu masyarakat, kelompok warga, MCW, LBH Pos Malang, Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP), dan individu akademisi mengajukan draft naskah akademik dan draft rancangan peraturan daerah (raperda) pendidikan kota Malang, yang difokuskan misalnya 20
MCW dan Yayasan TIFA
pada mekanisme komplain peserta didik dan wali muris/siswa, dan transparansi pembiayaan agar diatur dengan rinci dalam raperda tersebut, ternyata ketika draft raperda selesai dibuat oleh DPRD karena ini merupakan inisiatif DPRD yang juga merupakan dorongan dari masyarakat sipil di Malang agar DPRD menggunakan haknya untuk mengusulkan raperda ternyata pengaturan tentang mekanisme komplain dan transparansi pendidikan tidak dimunculkan dalam draft raperda.
Kegiatan FGD Hasil Riset Policy Impact penyelenggaraan pendidikan di Kota Malang. Hasil policy impact ini menjadi draf usulan naskah akademik versi masyarakat dalam perubahan raperda pendidikan kota Malang
21
Merebut Hak yang Terampas
Pengalaman mengajukan usul dalam penyusunan draft raperda ini merupakan hal yang baru bagi sebagian besar warga karena selama ini mereka (warga) menganggap membuat draft naskah akademik dan draft raperda penyelenggaran pendidikan dianggap sulit dan hanya bisa dilakukan oleh para akademisi yang berada di kampus-kampus. Setelah mereka banyak terlibat, tidaklah demikian adanya. Persepsi mereka tentang raperda menjadi lebih mengerti bahwa yang perlu diatur dalam raperda adalah hal-hal keseharian yang terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan agar ada kepastian hukumnya. Itulah beberapa kesan yang terjadi pada kelompok-kelompok warga yang terlibat dalam kegiatan melakukan advokasi raperda penyelenggaraan pendidikan di kota Malang. Dalam melakukan advokasi ini tentu diperlukan sebuah persepsi yang sama antar para pelaku. Oleh karena itu, sebelum melakukan advokasi bersama maka diperlukan suatu pertemuan bersama untuk menyamakan persepsi atau pandangan diantara para elemen baik individu maupun lembaga dalam melakukan kerja-kerja advokasi ini. Khusus dalam tim inti warga yang melakukan advokasi, media bersamanya adalah dimulai dengan menyelenggarakan serangkaian pelatihan seperti pelatihan 22
MCW dan Yayasan TIFA
advokasi kebijakan, pelatihan pengorganisasian dan pelatihan pengelolaan jaringan kerja sesama warga dan kelompok warga. Hal ini dilakukan adalah untuk membangun pertama terkonsolidasinya kekuatan kelompok masyarakat untuk melakukan monitoring, penagihan masyarakat kepada penyelenggara pendidikan dalam pelaksanaan anggaran pelayanan pendidikan. Kedua, terwujudnya kesepakatan bersama antara masyarakat dengan para pemangku kepentingan seperti DPRD dan Dinas Pendidikan Kota Malang, dalam hal transparansi anggaran pendidikan.
23
Merebut Hak yang Terampas
24
MCW dan Yayasan TIFA
Bab II Senarai Gerakan Rakyat Memenuhi Hak Konstitusionalnya
25
Merebut Hak yang Terampas
26
MCW dan Yayasan TIFA
...saya selalu merasa sakit hati ketika melihat pihak sekolah seenaknya sendiri membuat keputusan menarik biaya sekolah bagi walimurid. Sehingga sering memunculkan pertanyaan, sebenarnya sekolah ini gratis apa membayar? Kalau gratis kok...masih ditarik iuran oleh komite sekolah? (dituturkan oleh ibu Sayekti, dalam pelatihan advokasi kebijakan di Batu)
Sekelompok orang tua dan muda duduk melingkar di pendopo yang banyak ditumbuhi pepohonan yang hijau berseri. Tempat itu sering mereka sebut sebagai Kalimetro, Rabu, (27/06), memang secara kebetulan berdekatan dengan sungai metro Kota Malang. Sungai Metro juga sebagai identitas Malang selain tentunya adalah Arema dan Aremanianya. Tempat yang langsung menghadap ke barat dan selalu menatap gunung putri tidur, karena gunung ini memang mirip seorang perempuan yang sedang tidur terlentang mulai dari fantasi rambutnya, badannya hingga kakinya. Sebenarnya gunung tersebut adalah jejeran antara gunung kawi, gunung Butak dan gunung Panderman itu memang enak untuk dipakai lesehan sambil mendiskusikan berbagai hal. Tepat pukul 14.25, sekelompok orang tadi duduk bersila sambil menikmati suguhan kopi 27
Merebut Hak yang Terampas
dan polo pendem1, mereka berbincang sambil menunggu beberapa sahabatnya yang lain. Pada tanggal itu memang telah disepakati untuk hadir bersama dalam forum rapat yang sering mereka lakukan secara periodik untuk membahas beberapa masalah tentang pendidikan di Malang Raya. Tak berselang lama pertemuanpun dimulai ditempat yang sejuk itu.
Pertemuan jaringan di Kalimetro membahas berbagai hal tentang pendidikan di Malang Raya
Dalam pertemuan di siang hari itu pertamapertama yang dibahas adalah tentang adanya pungutan liar dalam penerimaan siswa baru di sekolah-sekolah seantero Malang. Dari adanya uang daftar ulang sampai dengan modus uang 1 Polo pendem adalah penganan atau makanan yang berasal dari ubi-ubian seperti ketela rambat yang di rebus.
28
MCW dan Yayasan TIFA
pembelian buku, seragam dan modus yang lainnya dalam pertemuan itu dibahas tuntas tentang apa penyebabnya dan bagaimana melakukan advokasi terhadap ragam persoalan itu. Termasuk bagaimana perilaku para guru di sekolah ketika melayani para siswa baru beserta wali siswanya. Demikian juga bagaimana perilaku pejabat dinas pendidikan nasional kota Malang dalam menyikapi banyak hal yang terkait dengan masalah-masalah dugaan penyimpangan kewenangan yang dimiliki oleh para guru dan kepala sekolah hingga perilaku para anggota DPRD kota Malang, semuanya dibicarakan dalam pertemuan rutin setiap bulan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menamai dirinya FMPP (Forum Masyarakat Peduli Pendidikan) yang dalam melakukan pekerjaan advokasi bersama-sama dengan organisasi non pemerintah yaitu Malang Corruption Watch (MCW). Menyamakan Frekuensi Sesama Pelaku Hari mulai gelap, namun beberapa anak muda duduk di kursi saling berhadapan di teras rumah dan juga ada beberapa orang yang duduk berselonjor berjajar di gazebo bambu yang berada didepan teras rumah sambil menyeduh kopi dan menatap layar laptop dengan jari jemarinya yang terus bekerja diatas keyboardnya dan juga diselingi dengan obrolan tentang 29
Merebut Hak yang Terampas
peraturan perundangan maupun guyonan ringan. Aktifitas ini terus berlanjut hingga hari benar-benar telah gelap yang kemudian diganti oleh penerangan listrik. Mereka, sekumpulan anak muda tadi tetap tidak beranjak dari tempat duduknya, mereka tetap setia mengetik di depan laptopnya untuk membuat beberapa analisis kasus yang terjadi di sektor layanan pendidikan di Malang Raya. Kegiatan menulis yang dilakukan ini berkaitan dengan penyusunan draf tandingan yang diperuntukkan sebagai naskah akademik rancangan peraturan daerah (raperda) tentang penyelenggaraan pendidikan di kota Malang yang diusulkan oleh koalisi masyarakat peduli pendidikan Malang dan juga termasuk draf raperdanya juga disiapkan oleh koalisi masyarakat. Memang, pada saat itu Agustus 2012, sedang ada perdebatan di ruang-ruang publik bahwa DPRD Kota Malang akan membahas tentang perubahan raperda sistem penyelenggaraan pendidikan di Kota Malang. Sebenarnya penyusunan raperda yang merupakan inisiatif dari DPRD ini merupakan kelanjutan dari usulan-usulan warga kota baik yang tergabung di koalisi peduli pendidikan maupun secara kelembagaan masing-masing seperti MCW, FMPP, maupun LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Pos Malang semenjak tahun 2005 agar peraturan 30
MCW dan Yayasan TIFA
daerah (perda) sistem pendidikan kota Malang dilakukan perubahan. Dan semangat pelaksanaan perubahan ini ibarat menemukan momentumnya yaitu pada tahun 2012 telah disepakati oleh DPRD untuk melakukan pembahasan perubahan perda pendidikan. Untuk mendorong beberapa usulan perubahan dalam raperda pendidikan dimaksud maka diperlukan suatu pemahaman yang sama tentang apa yang harus diubah dan yang harus diatur dalam perda nantinya. Dalam konteks ini MCW melalui program Membangun Model Constituen Meeting untuk Mengawasi Transparansi Pengelolaan Anggaran Pendidikan Kota Malang yang didukung oleh Yayasan Tifa, mempunyai kewajiban moral untuk mendukung gagasan-gagasan perubahan pengelolaan anggaran pendidikan yang transparan. Dalam konteks inilah MCW mengajukan usulan kepada beberapa jaringan yang selama ini telah bekerjasama dengan MCW untuk menyusun agenda advokasi bersama mulai dari mendorong gagasan transparansi pengelolaan anggaran pendidikan baik yang dilakukan oleh diknas maupun sekolah-sekolah negeri yang ada di kota Malang melalui model audit sosial terhadap kebijakan pendidikan di kota Malang termasuk dalam penyusunan RAPBS (rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah) dengan mengaktif31
Merebut Hak yang Terampas
kan forum-forum warga di kampung-kampung maupun membuka pos pengaduan di beberapa lokasi. Hal ini dilakukan tidak lain untuk mengetahui serumit apa sebenarnya masalah pendidikan yang dihadapi oleh warga kota Malang dan bagaimana mekanisme penyelesaiannya. Untuk itu, dalam setiap forum warga yang ada dan adanya data pengaduan dari warga maka pembahasannya dilakukan di rumahrumah warga bersama anggota DPRD di dapil masing-masing dan perwakilan dari diknas. Pendekatan inilah yang dimaksud dengan membangun model konstituensi antara warga negara dengan yang mewakilinya yaitu anggota DPRD yang mempunyai otoritas politik untuk melahirkan kebijakan pendidikan yang bervisi kerakyatan.
Salah satu kegiatan pertemuan koalis masyarakat peduli pendidikan
32
MCW dan Yayasan TIFA
Untuk menjalankan agenda ini tentu tak semudah membalik tangan namun, harus dimulai dengan kerja keras. Untuk mempraksiskan dari ide atau dari kata-kata dalam setiap perdebatan diskusi maka diperlukan sebuah tahapan. Adapun tahapan dimaksud adalah; pertama mengiventarisir siapa saja yang akan dijadikan tim kerja atau kawan dalam melakukan advokasi ini. Kedua, melakukan pertemuan bersama untuk melakukan proses peningkatan kapasitas sosial para pegiat advokasi. Ketiga, merumuskan apa saja yang harus diadvokasi dan kepada siapa saja usulan masyarakat ini disampaikan, apakah kepada panitia khusus di DPRD, apa kepada pimpinan DPRD atau cukup kepada komisi D DPRD yang memang membidangi tentang pendidikan, apa cukup disampaikan kepada fraksi partai politik yang ada di DPRD beserta pimpinan partai politiknya atau memberikan masukan kepada diknas kota Malang ataukah langsung menemui walikota Malang untuk menyampaikan usulan-usulan masyarakat. Inilah yang harus betul-betul dipilih efektifitasnya termasuk potensi bisa diterimanya usulan masyarakat. Keempat, merumuskan strategi kampanye untuk membangun opini publik bahwa hal penting yang perlu dimasukkan dalam raperda ini adalah tentang mekanisme komplain, tata cara partisipasi, akses keadilan 33
Merebut Hak yang Terampas
semua orang kepada layanan pendidikan dan perubahan fungsi teknis komite sekolah dan dewan pendidikan kota Malang. Kelima, metode apa yang mau dipakai untuk melakukan analisis bersama tentang kualitas layanan pendidikan yang tengah berlangsung selama ini. Dan disepakati bahwa kegiatan analisis ini menggunakan metode audit sosial tentang kebijakan pendidikan melalui peraturan yang ada termasuk perlu adanya praktik audit sosial di sebuah sekolah. Keenam, merumuskan bagaimana mengatur teknis pelaksanaan dialog langsung antara anggota DPRD dan pejabat diknas di setiap forum warga, dimana warga diajak untuk melakukan pencatatan atas apa saja yang terjadi dikampungnya lalu disampaikan kepada anggota DPRD untuk dijadikan bahan dalam rapat-rapat di DPRD khsusunya masalahmasalah pendidikan. Ketujuh, membangun jaringan kerja yang berbasis individu disetiap kampung yang terkordinasikan oleh sebuah kelompok kerja.
34
MCW dan Yayasan TIFA
Alur kerja advokasi yang dilakukan secara bersama-sama oleh FMPP, MCW, Kelompok-kelompok wargaKMPP
Membentuk tim kerja yang solid
Melakukan capacity building yang berbentu k pelatihan, diskusi kasus, simulasi peran dalam melakukan advokasi
Menentukan fokus yang akan diadvokasi
Membangun jejaring dalam melakukan advokasi: tokoh masyarakat, akademisi, media, kelompokkelompok rentan
Merumuskan strategi dan taktik advokasi: kampan ye, analisis, memperkuat forumforum warga, dilaog dg institusi pemerintahan
Dalam setiap pertemuan yang terjadi inilah dijadikan momentum untuk melakukan konsolidasi ide dan cara kerjanya untuk melakukan advokasinya. Misalnya, saat diadakannya serangkaian pelatihan, mulai dari pelatihan advokasi, pelatihan audit sosial maupun pelatihan bagaimana mengelola kerja yang berjaringan. Dalam kegiatan ini banyak dihasilkan seperti adanya kesepakatan metode kerja, prinsip-prinsip kerja, nilai-nilai yang harus dipatuhi oleh para individu dalam menjalankan kerja advokasi. Momen pelatihan ini dapat dijadikan sarana untuk menyamakan apa dan bagaimana karakter setiap individu termasuk karakter sosial disetiap kampungnya perlu dipahami bersama tentang adanya perbedaan maupun persamaannya. Pertemuan-pertemuan 35
Merebut Hak yang Terampas
seperti inilah yang seringkali disebut oleh para pegiat itu sendiri sebagai suatu proses untuk menyamakan frekuensi agar dalam melakukan kerja-kerja advokasi tidak terjadi saling menegasikan antar individu karena pengaruh ego maupun eksistensi pribadi termasuk juga dengan kelompok-kelompok yang lain. Semuanya perlu terbuka dan melakukannya secara bersama-sama. Ibarat mendengarkan radio yang dilakukan secara bersama-sama maka wajib frekuensinya harus sama tidak boleh satunya mendengarkan melalui frekuensi AM, FM, MW secara berbeda-beda. Jika demikian tentu hasilnya akan menimbulkan keributan saja. Demikianpun juga meski frekuensinya telah sama di jalur FM misalnya, namun salurannya (chanel) tidak sama tentu yang didengarkan akan berbedabeda. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi setiap orang yang melakukan kerja-kerja advokasi ada sebuah kewajiban untuk selalu mencari persepsi yang sama dan sikap yang sama ketika sudah berhadapan dengan target advokasi.
36
MCW dan Yayasan TIFA
Relasi kerja antara MCW, FMPP dan kelompok warga DPRD/ Eksekutif
Pengawas Lobby Negoisasi
Pengawas Lobby Negoisasi MCW FMPP dan kelompok warga
1. Adv isor 2. Penguat capacity masyarakat 3. pendampingan
1. Negosiator 2. Fasilitator 3.Penghubung 4. Supervisi
Support informan
1. Pendukung 2. Pengaduan 3. Analisis bersama
Masyarakat
Ruang Publik yang Tak Luas Bulan september dan oktober tahun 2012, adalah tahun yang istimewa bagi beberapa orang yang tergabung dalam komunitas peduli pendidikan, baik yang tergabung dalam FMPP, MCW maupun beberapa individu akademisi yang selalu setia menemani mereka dalam melakukan kerja-kerja advokasi. Keistimewaan bulan September ini karena sedang diseleng37
Merebut Hak yang Terampas
garakan pelatihan advokasi kebijakan publik, teknis audit sosial dan pengelolaan jaringan kerja advokasi bagi kelompok masyarakat untuk melakukan advokasi terhadap penyelenggaraan layanan pendidikan yang diadakan oleh MCW yang melibatkan semua elemen pelaku yang mengadvokasi layanan pendidikan dengan dukungan dari Yayasan Tifa. Seperti yang sering dikatakan oleh banyak orang bahwa pelatihan tak akan banyak bermakna jika selepas pelatihan tidak dipraktikan atau diujicobakan hasil-hasil dari pelatihannya. Oleh karena itu, dalam pelatihan ini selain belajar tentang apa dan bagaimana proses kebijakan publik direncanakan, disusun dan diimplementasikan termasuk bagaimana caranya melakukan audit terhadap kebijakan penyelenggaraan pendidikan di kota Malang, berikut bagaimana caranya merawat jaringan kerja baik dalam hal komunikasi terhadap sesama pelaku maupun terhadap sasaransasaran yang akan diadvokasi. Memang banyak diakui oleh para pegiat peduli pendidikan yaitu hal yang paling berat adalah menjaga stamina kerja yang ada pada setiap individu pegiat peduli pendidikan termasuk didalamnya tentang pola merawat jaringan kerja. Karena salah sedikit saja dalam 38
MCW dan Yayasan TIFA
komunikasi dengan sesama pegiat bisa berdampak fatal untuk membangun kekompakan kerja. Hal ini seperti diungkapkan oleh para pegiat sendiri yang juga menjadi peserta serangkaian pelatihan yang diselenggarakan oleh MCW, misalnya, “... yo, pancen kudu atiati ngomong mas, lek ndak, iso-iso konco-konco nangkeppe macem-macem” (...memang mas, harus hati-hati ngomong, kalau salah bisa-bisa teman-teman pikirannya macam-macam) ujar Firman Abdilah, salah satu tokoh pegiat di FMPP yang bertempat tinggal di kecamatan paling ujung timur kota Malang yaitu kecamatan Kedungkandang. Pernyataan ini dibenarkan oleh Heru Wibisono yang juga merupakan sahabat dekatnya Firman Abdillah, sekaligus pentolan dari FMPP dengan karakter kerjanya yang tegas tanpa kompromi dalam melakukan advokasi di sekolah-sekolah termasuk ketika berhadapan dengan para anggota DPRD. Selesainya kegiatan pelatihan mereka melakukan melakukan penyusunan kerja advokasi dengan memulai mengidentifikasi apa saja kebijakan yang ada di kota Malang dalam mengatur penyelenggaraan pendidikan terutamanya pendidikan dasar. Hal ini dimulai dengan mengumpulkan peraturan daerah yang ada, dan peraturan-peraturan lainnya baik yang dikeluarkan oleh walikota, kepala dinas pendidi39
Merebut Hak yang Terampas
kan nasional kota Malang (diknas) maupun para kepala sekolah-kepala sekolah, misalnya seperti pembiayaan yang dibebankan kepada para walimurid. Dari sekian peraturan yang ada kemudian ditemukan beberapa hal yang perlu direvisi maupun diusulkan untuk diatur dalam peraturan atau kebijakan baru nantinya. Nah, dalam kegiatan ini ditemukan dalam peraturan daerah kota Malang tentang Sistem Pendidikan Kota Malang, tidak adanya pengaturan yang rinci tentang bagaimana model partisipasi masyarakat (walimurid) dalam keterlibatan pembiayaan pembelajaran di sekolah, tentang mekanisme komplain jika ada siswa atau walimurid yang dirugikan oleh adanya kebijakan dari diknas kota Malang maupun kepala sekolah yang ada di Kota Malang, termasuk juga tidak adanya pengaturan tentang bagaimana metode dan tata cara melakukan transparansi pengelolaan dana oleh pihak sekolah, mulai dari perencanaan anggaran sekolah hingga model pertanggungjawabannya. Dalam setiap perdebatan hal-hal seperti diatas ruang publik yang tersedia atau disediakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan agar kebijakannya berbasis pada kebutuhan publik seperti oleh instansi dinas pendidikan, DPRD, dan sekolah-sekolah sangatlah kecil dan sempit sekali ruangnya. Kalaupun ada prosesnya sangat 40
MCW dan Yayasan TIFA
formal seperti yang sering dilakukan oleh pihak diknas maupun oleh pihak DPRD ketika saat reses saja. Sedangkan jika dilakukan oleh pihak sekolah yang biasanya dilakukan bersama dengan komite sekolah nasibnya tak beda jauh dengan yang dilakukan oleh diknas maupun DPRD Kota Malang yaitu kaku dan formalistis. Yang paling ironis adalah setiap pertemuan yang diselenggarakan oleh pihak sekolah selalu berujung pada k es ep a ka ta n yang dipaksakan oleh para Seringkali pertemuan yang diselenggarakan oleh para pejabat pengurus pemerintahan selalu formal dan jarang sekali ada dialog antara warga negara komite sekolah dengan pejabatnya yang kemudian dapat untuk memdijadikan pegangan atau pedoman untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berikan sumdihadapi oleh warga-warga di kampung. Inginnya warga begitu bisa berdialog bangan kepada dengan para wakil di DPRD ataupun para pejabat di dinas hasilnya dapat dijadikan pihak sekolah. rujukan untuk memperbaiki kualitas Selain itu, layanan pendidikan di sekolah-sekolah. (kesimpula n hasil Trans parency Parlemen rua ng-ru ang Dialog di Kecamat an Sukun, Malang) publik yang ada selalu tak pernah bebas dari beragam kepentingan yang saling berkontestasi untuk mendapatkan ruang yang lebih bisa dihegemoni untuk kepentingankepentingan pragmatis politis saja. Melihat situasi yang demikian maka tak ada jalan lain bagi kelompok-kelompok masyarakat sipil untuk melakukan sebuah upaya 41
Merebut Hak yang Terampas
memperbanyak dan memperluas resonansi ruang-ruang publik agar perdebatan di ruang publik mempunyai dimensi dampak yang berkualitas demi perbaikan kebijakan penyelenggaraan pendidikan di kota Malang. Adapun beberapa jalan yang ditempuh oleh para pegiat peduli pendidikan di Malang, untuk memperbanyak dan memperluas resonansi ruang-ruang publik maka yang dilakukan adalah serangkaian kegiatan forum-forum warga baik yang bertajuk pertemuan rutin warga, dialog warga, simpul belajar warga maupun diskusi-diskusi publik. Kesemuanya ini esensinya adalah penguatan terhadap posisi tawar warga ketika berhadapan dengan para pengambil keputusan baik yang bersifat politis maupun teknis yang dibuat oleh para unit-unit pelaksana teknis dari satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) melalui kegiatan yang masuk pada agenda pembangunan kesadaran publik atas hak-hak konstitusionalnya dalam mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas, non diskriminatif dan non komersial. Inilah salah satu medium bagi para pegiat peduli pendidikan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Pendidikan (KMPP) Malang yang terdiri dari MCW, FMPP, LBH Pos Malang dan beberapa individu.
42
MCW dan Yayasan TIFA
Kesadaran untuk Saling Berbagi Hari itu sedang turun hujan meskipun tak seberapa derasnya, namun tetap membasahi bumi manusia. Siapapun yang berjalan dan melintasi jalan tentu akan terkena hujan. Artinya, akan basah juga meskipun hujannya masuk kategori gerimis. Pada bulan nopember keadaan cuaca di Malang memang selalu diguyur oleh hujan, entah siang, sore, malam maupun pagi. Namun pada hari kamis, 8 Nopember 2012, adalah hari yang telah disepakati oleh para pegiat peduli pendidikan untuk menghadiri sebuah rapat di sekretariat MCW pada pukul 14.00 wib, meskipun hujan, mereka tetap datang untuk menunaikan kesepakatan pertemuan yang akan membahas tentang skenario kerja advokasi pendidikan di Malang Raya dan pembentukan sebuah koperasi bagi semua pegiat peduli pendidikan yang selama ini selalu bekerjasama untuk saling berbagi dan belajar bersama tentang apa dan bagaimana melakukan advokasi guna memperbaiki kualitas layanan pendidikan di Malang Raya. Kegiatan advokasi tentu tak bisa hanya dilakukan oleh seorang diri tanpa melibatkan banyak pihak yang mendukungnya. Sejatinya kegiatan advokasi terhadap kebijakan publik adalah merupakan kerja kolektif. Advokasi 43
Merebut Hak yang Terampas
adalah kerja bersama untuk melakukan perubahan atas kebijakan publik yang dianggap tidak memberikan rasa adil dan setara terhadap warga negara, termasuk kerja advokasi pendidikan yang sedang dilakukan di Malang Raya oleh beberapa kelompok orang yang tergabung dalam sebuah koalisi.
Namun demikian, dalam melakukan kerja advokasi ini yang dibutuhkan bukan saja materi apa yang akan diubah termasuk siapa saja yang akan melakukannnya. Lebih dari itu yang dibutuhkan adalah tingkat soliditas dari para punggawa atau pelaku yang tergabung dalam koalisi agar tidak mengalami beragam komplikasi “penyakit” para pegiatnya. Yang dimaksud dengan penyakit dalam melakukan advokasi adalah hal-hal remeh temeh, misalnya seperti siapa yang akan melakukan, bagimana teknisnya, caranya melalui apa, siapa yang akan bertang44
MCW dan Yayasan TIFA
gungjawab, bagaimana pembiayaannya, dan sebagainya. Jika hal ini tidak terselesaikan dengan baik, maka sangat dipastikan akan menjadi batu sandungan dalam kegiatan selanjutnya. Bahkan pula dapat menjadi penghambat yang luar biasa bagi soliditas tim kerja, apalagi kegiatan kerja advokasi transparansi anggaran pendidikan di Kota Malang yang dilakukan oleh koalisi ini berbasis pada gerakan kelompok-kelompok warga yang ada di kecamatan-kecamatan di Kota Malang. Salah satu hal yang menggembirakan adalah dari model advokasi melalui sebuah organ koalisi ini adalah terbentuknya kesadaran bersama bahwa persoalan pendidikan yang berkualitas dan non diskriminatif adalah disepakati dengan menggabungkan dua model kerja advokasi politik dan gerakan ekonomi bagi para pegiatnya. Model kerja advokasi politik adalah tetap melakukan kegiatan seperti biasanya yaitu melakukan pertemuan-pertemuan di kelompok warga sebagai bagian dari pembentukan simpul-simpul warga untuk membangun kesadaran atas pemenuhan haknya, melakukan dialog bahkan protes kepada DPRD Kota Malang yang dianggap tidak mampu menangkap aspirasi konstituennya, hal seperti ini sering terjadi dan kondisi inilah yang 45
Merebut Hak yang Terampas
kemudian memicu muncul-nya pemahaman bagi warga bahwa anggota DPRD Kota Malang tak mampu membangun apalagi memperdalam relasi konstituensinya dengan para warga yang diwakilinya. Selain kegiatan diatas, tentu masih banyak bentuk-bentuk kegiatan lainnya misalnya, seperti mempertemukan para pihak diantaranya wali murid, pihak sekolah, anggota DPRD Kota Malang, diknas kota Malang maupun para pemerhati pendidikan untuk memberikan solusi-solusi perbaikan pada aspek kebijakan dan pelayanan pendidikan terutama dalam hal transparansi pengelolaan dana oleh pihak sekolah dan diknas.
Salah satu kegiatan peningkatan kapasitas para pegiat peduli pendidikan dengan melakukan pelatihan analisis dan advokasi kebijakan publik
46
MCW dan Yayasan TIFA
Selain kegiatan diatas, yang tak kalah penting adalah kegiatan yang sifatnya internal bagi para pegiat di koalisi yaitu pertama peningkatan kapasitas sosial para pegiatnya dan kedua adalah memikirkan keberlanjutan kerja advokasi yang tak bergantung kepada salah satu pihak saja terutama soal pembiayaan atau dana. Kegiatan peningkatan kapasitas pegiat dilakukan melalui dua model yaitu pertama melalui pelatihan-pelatihan baik formal maupun informal. Model pelatihan ini mempelajari hal-hal yang sifatnya filosofis ideologis tentang negara dan pendidikan. Kedua adalah mempelajari halhal yang teknis seperti bagaimana mendampingi warga yang dirugikan oleh kebijakan diknas atau pihak sekolah termasuk bagaimana caranya menerima warga yang mengadukan baik ke pos pengaduan yang memang khusus dilaksanakan ataupun pengaduan yang disampaikan di rumahrumah para pegiat termasuk juga belajar tentang aspek-aspek pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para pejabat publik dan perlindungan hukum apa yang didapat oleh para pegiat tatkala melakukan kegiatan advokasi ini.
47
Merebut Hak yang Terampas
Strategi kerja advokasi yang dijalankan ole h MCW, FMPP dan kelompok masyarakat Advokasi isu pendidikan
A dvokasi Politik dan Hukum
- Mendatangi dan melaporkan kepada DPRD Kota malang - Melaporkan kasus pungli kepa da lembaga peradilan - Mendampingi korban mendatangi sekolah/diknas
Konsolidasi pelaku advokasi secara sosial dan eko nomi
Mengadakan silaturahmi dan pertemuan rutin yang diikuti dengan kegiatan koperasi
Kegiatan internal yang kedua adalah memikirkan model supporting system bagi para pegiat dalam hal menyediakan dana kegiatankegiatan advokasi. Nah, dalam kerangka inilah telah disepakati untuk membentuk sebuah koperasi simpan pinjam, yang mana hal ini ditujukan untuk pertama, sebagai media atau sarana membangun soliditas dengan melakukan pertemuan rutin bulanan, dimana semua anggota wajib hadir, jika tidak hadir dan 48
MCW dan Yayasan TIFA
kebetulan sedang membutuhkan sokongan dana maka tidak bisa diberikan sokongan dana melalui koperasi. Selain itu, dalam pertemuan bulanan agenda pastinya yang harus dibicarakan adalah menjadi media pembelajaran bersama tentang penanganan masalah-masalah pendidikan yang sedang dilakukan oleh FMPP, kelompokkelompok warga maupun MCW, tak jarang pula dalam pertemuan rutin ini juga mengundang beberapa ahli misalnya akademisi, advokat profesional maupun para pegiat sesama jaringan. Hal ini dilakukan adalah untuk menjadi media akselerasi pemahaman para pegiat untuk melakukan advokasi layanan pendidikan. Jadi, dalam pertemuan koperasi tidak melulu urusan uang. Bahkan urusan uang hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari tigapuluh menit dalam setiap pertemuannya yang biasanya memakan waktu tiga hingga empat jam. Keuntungan dari model koperasi yang di jadikan alat konsolidasi bagi sesama aktivis peduli pendidikan khususnya yang tergabung dalam koalisi yang dimotori oleh FMPP dan MCW adalah tentang tingkat kehadiran dalam rapat bulanan yang dijadikan arena evaluasi kegiatan advokasi selalu mendekati 70-80 % dari total anggota atau para pegiat yang hadir. Selama ini yang tercatat sebagai anggota koperasi yang sekaligus juga wajib menjadi pegiat sosial dalam 49
Merebut Hak yang Terampas
hal advokasi isu-isu pendidikan ada 43 orang. Sebuah jumlah yang tak sedikit yang tetap bertahan hampir lebih dari satu tahun dalam rangka melakukan kerja advokasi yang latar belakang dari para anggota atau pegiat ini m a y or i t a s adalah warga Koperasi ini sangat membantu bagi setiap anggota FMPP, baik masyarakat disadari ataupun tidak. Yang murni. Hal pasti dengan adanya koperasi ini bisa diini tanpa sengaja telah mampu membangun kebersamaan lihat dari sesama pegiat FMPP, MCW latar belamau pun yang lainnya yang kang pekerterga bung dalam koperasi ini (hal ini disampaikan oleh ibu Susiati, jaan mereka salah s eorang pendiri FMPP, dalam yaitu ada pertmuan bulanan) yang wiraswasta, pensiunan, ibu rumah tangga, pedagang, penjahit, guru ngaji, guru TK/PAUD, dosen, maupun aktivis mahasiswa. Manfaat lain dari adanya koperasi ini adalah dapat membantu aktifitas ekonomi keluarga dari sebagian anggota, sehingga dengan adanya dukungan dana dari koperasi paling tidak ketika melakukan kegiatan advokasi tidak terlalu memusingkan kepala bagi para pegiat, karena dengan adanya sokongan dana yang tidak memberatkan apalagi dibebani bunga pinjaman maka akan menimbulkan kesulitan bagi para pegiat untuk tetap aktif dalam koalisi 50
MCW dan Yayasan TIFA
ini. Inilah salah satu tujuan dari pembentukan koperasi yang tidak membebani bunga pinjaman bagi para anggotanya. Koperasi ini murni adalah untuk mendukung kerja-kerja advokasi masyarakat. Bahkan ada beberapa anggota koperasi yang juga sebagai pegiat ini secara khusus meminjam dana kepada koperasi dan dananya dipergunakan untuk biaya transportasi dirinya dalam melakukan kegiatan-kegiatan pendampingan warga yang sedang teraniaya oleh sebuah kebijakan diknas atau sekolah yang merugikan wali murid atau murid/siswa itu sendiri.
51
Merebut Hak yang Terampas
52
MCW dan Yayasan TIFA
Bab III Membangun Mimpi Bersama
53
Merebut Hak yang Terampas
54
MCW dan Yayasan TIFA
Mimpi adalah kunci // Untuk kita menaklukkan dunia // Berlarilah tanpa lelah // Sampai engkau meraihnya... ...Cinta kepada hidup // Memberikan senyuman abadi // Walau hidup kadang tak adil // Tapi cinta lengkapi kita... (cuplikan lagu laskar Pelangi yang dipopulerkan oleh grup band Nidji)
Hampir semua orang punya mimpi. Dan mimpi ini tak akan menjadi sebuah imajinasi belaka tatkala diseriusi untuk diraihnya. Ibaratnya mimpi tak akan pernah menjadi kenyataan jika tak dikejar dengan sungguh-sungguh. Kirakira itulah semangat yang terkandung dalam jiwa para pegiat koalisi peduli pendidikan di Malang Raya, yang para pegiatnya usianya tak lagi muda untuk tidak dikatakan tua. Diantara mereka usianya sudah diatas empat puluh tahunan. Memang ada yang masih berstatus mahasiswa dan usianya masih muda namun mayoritas adalah usianya masuki rentang kategori Dhuhur menuju Ashar1. Sebuah usia 1 Istilah bercanda sesama pegiat ketika mereka sedang berkumpul yaitu umur mereka diasosiasikan kepada waktu sholat. Artinya kalau subuh masih muda, jika sudah masuk waktu dhuhur dan ashar sudah mulai menua yang sudah mendekati usia-usia tidak produktif lagi.
55
Merebut Hak yang Terampas
yang memang tak lagi muda, namun jangan ditanya semangat dan mimpinya. Mereka membangun imajinasi bersama betul-betul setinggi langit yaitu pendidikan di bumi arema harus berkualitas, demokratis, tidak diskriminatif, transparan dan partisipatif. Mungkin jika dibaca sekilas mimpi ini sangatlah utopis, tapi jika ditilik dari usaha-usaha yang dilakukan setahun terakhir ini telah memberikan kemajuan yang signifikan untuk berjalan menuju perubahan-perubahan kebijakan yang seperti diinginkan meskipun mereka menyadari bahwa arah perubahan yang sedang bergerak ini masihlah sangat kecil, namun dari kemenangan kecil inilah akan mereka konsolidasi menjadi tonggak untuk melakukan perubahan yang sesungguhnya.
56
MCW dan Yayasan TIFA
Memang tak mudah menyatukan mimpi setiap orang apalagi dengan latar belakang dan status sosial serta posisi yang berbeda. Misalnya, mimpi yang dibangun oleh kelompok-kelompok masyarakat baik yang tergabung di FMPP, MCW maupun individu yang selalu berinterkasi dalam kegiatan-kegiatan forum warga yang diselenggarakan oleh MCW dan beberapa jaringannya dengan mimpi para pengambil keputusan seperti anggota DPRD ataupun pejabat diknas seringkali mimpinya tak pernah bertemu baik dipangkal maupun diujungnya. Jikapun ada kemiripan mimpi hanyalah sebatas hal-hal yang sangat sederhana. Memang begitulah kehidupan mempunyai misteri tersendiri. Seperti halnya dengan mimpi para pegiat di koalisi sering tidak sebangun dengan para pemangku kepentingan yang mempunyai otoritas politik maupun birokratis. Tak jarang keinginan masyarakat selalu berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh para pejabat publik. Memang sama-sama berjalan namun tak pernah bertemu dalam satu muara. Kondisi ini persis sama dengan pengandaian rel kereta api, sama yang dipikirkan, berjalan beriringan namun tak pernah bertemu. Dengan adanya situasi seperti inilah maka diperlukan sebuah terobosan-terobosan yang betul-betul ekstra. Inilah yang menjadi latar 57
Merebut Hak yang Terampas
belakang dari program ini yakni ingin mendorong para pejabat publik terutama para anggota DPRD kota Malang, untuk mampu meningkatkan kualitas bertemunya dengan masyarakat atau dengan istilah lain yaitu konstituennya. Bagaimana mereka memperjuangkan aspirasi konstituen di dapilnya melalui kebijakan-kebijakan yang diusulkan dalam setiap perumusan kebijakan-kebijakan di sektor penyelenggaraan layanan pendidikan khsusunya pendidikan dasar dan menengah. Demikian juga melalui program ini bagaimana pola relasi dan kualitas relasi antara institusi diknas dan sekolah dengan para siswa dan wali muridnya termasuk peran dan fungsi anggota DPRD kota Malang untuk menyelesaikan problematika pendidikan di Kota Malang, terutama dalam hal transparansi pengelolaan dana pendidikan. Mendorong pejabat publik untuk dapat terbuka dan bisa mempertanggungjawabkan atas kebijakan dan kegiatan pelayanan kepada masyarakat atau warga negara, bukanlah sesuatu yang mudah. Oleh karena itu, gagasan untuk mempetemukan para pemegang otoritas politik yang terinstitusionalisasi di DPRD dan para penyelenggara layanan pendidikan diperlukan
58
MCW dan Yayasan TIFA
Memperdalam Konstituensi Mereka betul-betul tak pernah mengenal lelah. Secara terus menerus kelompok-kelompok warga yang telah diorganisir oleh para aktivis koalisi, FMPP maupun MCW tetap melakukan pertemuan-pertemuan warga baik dalam pertemuan itu dihadiri oleh anggota DPRD ataupun pejabat diknas mereka tak perduli yang jelas mereka tetap melakukan forum-forum warga sebagai media pembelajaran untuk membangun kesadaran kritis para tetangga dari para aktor atau pegiat koalisi. Dalam setiap forum warga yang mereka lakukan sungguh mempesona karena setiap pertemuan selalu dihadiri tak kurang dari 20 orang lebih. Artinya, warga sekitar sangat respek terhadap eksistensi dan kredibiltas para pegiat koalisi yang berada di kampung mereka. Hal ini sebenarnya menjadi modal dalam melakukan konsolidasi warga untuk melakukan kerja-kerja advokasi bersama tentang isu-isu pendidikan. Sebenarnya, dengan kondisi seperti ini seharusnya para wakil rakyat yang berada di institusi DPRD bisa dijadikan media untuk menyampaikan kinerjanya selama ini dalam memperjuangkan kepentingan konstituennya. Namun apa dikata, meskipun kegiatan-kegiatan forum warga yang diselenggarakan secara bersama59
Merebut Hak yang Terampas
sama oleh koalisi dan tentu tak memberatkan dari sisi pendanaan bagi para anggota DPRD, mereka untuk hadir dalam forum tersebut sangatlah tidak mudah. Mereka bersedia hadir (pejabat publik) diperlukan sebuah negosiasi yang tak sederhana. Seluruh pendekatan digunakan semua agar mereka mempunyai keyakinan bahwa forum warga yang diselenggarakan oleh warga sendiri adalah penting untuk membangun dan menjaga kualitas relasi konstituensi antara yang mewakili dengan yang diwakilinya.
Salah satu kegiatan Transparency Parlianment Dialoge yang berbasis forum warga di kecamatan Sukun yang dihadiri oleh dua orang anggota DPRD Kota Malang (duduk dibawah back drop) sambil mendengarkan uraian dari ketua RT tentang beban biaya pendidikan yang semakin mahal
Kegiatan forum warga yang dilakukan secara terjadwal mula-mula dilakukan atas inisiasi dari para aktor yang tergabung dalam 60
MCW dan Yayasan TIFA
koalisi atau FMPP yang difasilitasi oleh MCW. Kemudian lambat laun kegiatan forum warga tak lagi didominasi oleh para aktor yang tergabung dalam FMPP atau koalisi namun juga telah diinisiasi oleh warga kampung yang pernah terlibat dalam kegiatan forum warga sebelumnya. Hal ini terjadi karena memang diantara para pegiat di FMPP mempunyai komitmen untuk melakukan transformasi kepada tetangga sekitar agar dapat mengembangkan inisiatif-inisiatif baru melalui kegiatan forum warga dengan metode yang dapat disesuaikan atas kebutuhan warga sendiri. Adapun kegiatan forum warga yang diselenggarakan oleh warga sendiri ada yang inisiatif individu yang kemudian di trafnsformasikan melalui institusi sosial masyarakat yang ada misalnya melalui lembaga rukun tetangga atau rukun warga (RT/RW), forum-forum arisan warga maupun kelompokkelompok pengajian yang memang ada dan aktif dalam kehidupan sosial warga di kampungkampung. Model-model kegiatan seperti inilah sebenarnya yang harus banyak dikembangkan dalam era memperkuat demokrasi di tingkat lokal. Tidak lagi model mobilisasi yang dilakukan oleh para politisi atau para pejabat publik dalam merekam keinginan masyarakat atau konstituennya. Dan kegiatan seperti 61
Merebut Hak yang Terampas
terbukti tidak banyak menghabiskan biaya, tenaga maupun waktu yang terbuang, karena dalam model kegiatan ini tentu akan lebih efektif karena waktu tatap muka dan kedekatan secara fisik akan lebih memberikan pengaruh tersendiri terhadap anggota DPRD maupun bagi masyarakat sendiri. Model kegiatan yang langsung bertemu dan melakukan dialog langsung dalam suasana yang cair penuh keakraban dan terbuka, jelas memberikan ruang dialektika yang lebih berkualitas dibandingkan dengan cara-cara yang konvensional yaitu mendatangkan masyarakat dalam suatu tempat dengan jumlah yang banyak dan hanya berpola komunikasi yang satu arah dengan rentang waktu yang sangat pendek dan formal seperti yang sering dilakukan dalam kegiatan-kegiatan reses anggota DPRD. Gagasan kegiatan yang mempertemukan anggota DPRD maupun pejabat diknas langsung di “kediaman” warga akan memberikan suasana psikologis maupun sosilogis yang lebih dekat dan terbuka akan mampu menjadi jalan pembuka untuk meningkatkan kualitas relasi masyarakat dengan para pejabat publik. Hal-hal seperti inilah yang sangat efektif untuk memberikan masukan-masukan atas beberapa kejadian atau kasus-kasus yang terjadi dalam dunia pendidikan khususnya praktik penye62
MCW dan Yayasan TIFA
lenggaraan layanan pendidikan di sekolahsekolah. Sebagai sebuah contoh misalnya, dalam beberapa diskusi yang diselenggarakan baik yang bertajuk transparency parlemen dialoge, executive accountability dialoge, maupun kegiatan specific forum dan peer review tak hanya mendiskusikan hal-hal yang sifatnya teknis, namun juga terjadi diskusi yang sangat konseptual misalnya tentang kecenderungan adanya praktik komersialisasi pendidikan dengan istilah swastanisasi pendidikan. Komersialisasi pendidikan adalah terdapatnya kepentingan terselinap para pemodal di balik penyelenggaraan pendidikan, hal tersebut terjadi karena pemerintah tidak berperan sebagaimana mestinya, sesuai konstitusi, undang-undang dan janji pemerintah sendiri. Kini, hampir semua sekolah di Malang setidaknya dipengaruhi oleh banyak faktor, yang merupakan rangkaian sistem besar, baik ideologi, politik, ekonomi, maupun budaya yang melilit masyarakat. Pemaknaan terhadap komersialisasi seperti yang banyak diperdebatkan dalam beberapa kegiatan seperti yang telah disebutkan diatas, juga pernah dikemukakan pula dalam sebuah diskusi dalam peer review ketika membahas tentang draf usulan masyarakat yang berbentuk 63
Merebut Hak yang Terampas
paper analisis kebijakan pendidikan di kota Malang yang pernah disampaikan oleh ahli pendidikan yaitu Darmaningtyas, adalah sebagai berikut: Pertama, secara ideologi makin kuatnya cengkeraman ideologi kapitalisme yang melanda Indonesia. Hal itu sebagai hasil dari masuknya investasi asing yang secara resmi dibuka sejak tahun 1967. Dampak dari masuknya investasi asing itu adalah munculnya industriindustri manufaktur maupun jasa yang memerlukan pasar baru. Pasar secara konvensional belum tumbuh secara baik, dan bisnis sekolah adalah pangsa pasar yang cukup menjanjikan. Sekolah dengan jumlah murid yang di atas 25 juta dibidik sebagai pangsa pasar baru yang potensial dan progresif karena setiap tahun akan tumbuh pangsa pasar baru jutaan orang di sekolah-sekolah seluruh Indonesia. Berdasarkan analisis pasar semacam itu, maka sekolah kemudian dijadikan pangsa pasar yang paling potensial. Kuatnya daya serbu kaum industrialis itu lama-lama memperlemah integritas profesi guru sehingga mudah tergoda oleh iming-iming rupiah menjadi perantara produk-produk industri mereka. Kedua, secara politis penguasa orde baru bermaksud ingin menghapus kesan bahwa sekolah itu mahal, tapi secara ekonomis tidak 64
MCW dan Yayasan TIFA
memberikan topangan dana yang cukup, sehingga sekolah dapat berkembang secara leluasa tanpa mengalami hambatan dana. Akibatnya sekolah kemudian mengambil inisiatif menggali dana sendiri dengan berbagai cara, termasuk melalui daftar ulang bagi murid lama. Itu sebabnya segala bentuk komersialisasi yang terjadi di sekolah dibiarkan, karena pemerintah sebetulnya bersikap ambivalen terhadap praktek-praktek penyelewengan pendidikan itu. Sikap pemerintah yang ambivalen mendapatkan imbangan pada kemampuan kepala sekolah dan guru yang hanya terbatas pada kemampuan didaktik-metodik semata dan kurang memiliki kemampuan manajerial. Akibatnya ketika pemerintah melepaskan tanggung jawab pembiayaan pendidikan pada masyarakat, respons yang diberikan oleh kepala sekolah dan guru adalah memberikan beban pembiayaan itu langsung kepada murid, melalui berbagai macam pungutan. Ketiga, secara budaya bersamaan dengan makin kuatnya cengkeraman ideologi kapitalis, di masyarakat mulai muncul nilai-nilai baru tentang keberhasilan, budaya materialis mulai menguasai masyarakat, sehingga ukuran keberhasilan seseorang pun dilihat secara materialistik.2 2 Hasil penelitian Humidatun Nisa dengan judul Komersialisasi Pendidikan dalam Era Otonomi Daerah, 2010.
65
Merebut Hak yang Terampas
Nah, munculnya gagasan atau perdebatan yang demikian itu, menunjukkan bahwa komunitas-komunitas warga sangatlah paham dan mengerti jika praktek komersialisasi pendidikan telah terjadi juga di Malang. Oleh karena itu, sudah sepatutnya para pengambil keputusan seperti pejabat di lingkungan pemerintah daerah maupun para anggota DPRD perlu mengembangkan wawasannya terutama dalam menyusun filosofi-filosofi kebijakan publik yang akan dibuatnya. Janganlah masyarakat hanya dijadikan obyek saja, namun masyarakat perlu dijadikan subyek dalam perumusan-perumusan kebijakan publik.
66
MCW dan Yayasan TIFA
Pelajaran Penting Advokasi Pendidikan di Malang 1. Pentingnya untuk selalu membangun koalisi antar jaringan NGO, kampus dan komunitas masyarakat guna mewujudkan pelembagaan gerakan sosial dengan menggunakan basis data sebagai media untuk melakukan desiminasi kepada warga dan sebagai alat untuk bernegosiasi dengan para pengambil keputusan. Dengan adanya data memberikan rasa kepercayaan dan keyakinan bagi warga untuk melakukan monitoring ataupun adv okasi masalah-masalah yang timbul dalam layanan pendidikan. 2. Pendekatan advokasi dengan berbasis lingkungan warga sekitar akan memberikan pola gerakan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat. Dan dalam pos isi ini NGO/Ornop seperti MCW hanya bertindak sebagai fasilitator. Dengan model begini, kelompok-kelompok masyarakat dapat dengan mudah mengetahui posisinya dalam berelasi dengan pengambil keputusan (Dindikbud dan DPRD) terutama dalam melakukan evaluasi atas kebijakan yang sedang dijalankan. 3. Penting pula di jadikan pelajaran dalam perjalanan program ini bahwa audit sosial bisa di jadikan salah satu instrumen untuk mewujudkan pelembagaan gerakan sosial yang dilakukan oleh secara bersama-sama oleh para pegiat sosial di dalam masyarakat. 4. Pembentukan Pusat Informasi Publik dan kegiatan Pos Pengaduan Keliling dijadikan media alternatif untuk menyampaikan informasi dan mendekatkan pelayanan bagi sesama masyarakat. Sehingga masyarakat merasa tidak kesulitan untuk mengadukan setiap persoalan. Dengan cara begini akan membangun rasa solidaritas bagi sesama pengadu/ masyarakat yang menjadi korban layanan pendidikan. Dengan adanya solidaritas akan memberikan kemudahan bagi para pegiat advokasi perbaikan layanan pendidikan yang berkualitas, demokratis dan non diskriminatif untuk mempercepat konsolidasi kelompokkelompok masyarakat.
Untuk memperdalam konstituensi diantara yang mewakilkan dengan yang diwakili, maka diperlukan sebuah mekanisme yang terlembaga dengan baik. Pelembagaan mekanisme ini 67
Merebut Hak yang Terampas
penting untuk menjaga kualitasnya. Kualitas konstituensi yang terjadi akan terlihat dari konsistensi pertemuan dan bagaimana peran masing-masing gara tetap saling dapat mengontrol. Sejatinya, relasi diantara keduanya adalah egaliter, setara tidak saling merasa paling berperan dan berpengaruh. Berikut gagasan untuk memperkuat pola relasi antara masyarakat dengan para pejabat publik baik yang mempunyai otoritas politik maupun birokrasi dan administratif. Gagasan Pola Relasi Antara Masyarakat dengan Pengambil Keputusan DPRD/ Eksekutif
Pengawas Lobby Negoisasi Forum Ma sy, ke lompok war ga ,
Pengawas Lobby Negoisasi
OMS
Ruang publik 1 . ne gosias i 2 . fas ilita si 3 . pe ndampinga n
1. Adv is or 2. fasilita si 3. pe nghubung
1. N egos ia tor 2. Fas ilitator 3.Penghubung
Publikas i k asus
Masy arakat pengadu
68
1. Pendukung 2. Ana lis is be rs ama 3. Super visi 4. advisor
MCW dan Yayasan TIFA
Memulai dari Gerakan Masuk Kampung Memang tak mudah meyakinkan warga kampung dalam suasana yang terjadi seperti saat ini. Banyak warga mengatakan; ... alah mas apa yang terjadi di sekolah-sekolah dengan adanya pungutan-pungutan sudah dianggap biasa. Coba bandingkan dengan korupsi yang terang-terangan dan dalam jumlah yang besar, yang dilakukan oleh para pejabat di negeri ini. Inilah realitasnya. Ndak perlu terlalu ketat, biasa saja mas... Pernyataan-pernyataan seperti disampaikan diatas bukan hanya sekali dua kali dan dibeberapa tempat saja. Namun pernyataan seperti diatas sudah terlalu sering didengarkan oleh para pegiat yang tergabung dalam koalisi, FMPP, maupun MCW. Bahkan ada yang bernada sinis yaitu; apa bisa menghilangkan kebiasaan kolusi dan korupsi di sekolah-sekolah.
Persentase Pengaduan 3%
6%
pendidikan mahal 12 % 15%
13% 13% 7% 2%
15%
2%
akse s diskriminatif 12% pungli data fiktif
69
Merebut Hak yang Terampas
Padahal koruspi di Indonesia seolah telah menjadi kebiasaan hidup bagi para pejabatnya. Inilah persepsi yang terbentuk didalam masyarakat, di kampung-kampung. Pada awalnya, kegiatan-kegiatan pertemuan warga dengan isu-isu yang spesifik seperti isu pendidikan responnya biasa saja. Masyarakat yang berdiam di kampung-kampung menganggap masalah pendidikan tidak perlu dirisaukan, karena mereka menganggap masalah pendidikan yang timbul setiap tahunnya tetap saja dan tak pernah ada solusinya. Oleh karena itu, banyak warga beranggapan masalah pendidikan yang timbul seperti adanya pungutan kepada walimurid melalui forum-forum komite sekolah atau paguyuban-paguyuban kelas dengan berbagai modus seperti biaya tambahan sarana sekolah, penyediaan bukubuku, hingga perbaikan pagar dan kamar mandi sekolah bahkan tak jarang kegiatankegiatan peringatan ulang tahun kota, perpindahan dan penyambutan guru barupun dibebankan kepada walimurid. Adanya pungutan-pungutan yang dilakukan oleh otoritas lokal atau sekolah dan institusi-institusi lain merupakan ancaman bagi pemenuhan hakhak ini, sekaligus dapat menjadi bentuk pelanggaran terhadap realisasi dari hak dasar yang sudah dijamin dalam kovenan Ekosob yang sudah 70
MCW dan Yayasan TIFA
diratifikasi Indonesia. Padahal sudah sangat jelas bahwa dengan pendidikan sebuah bangsa akan dapat membebaskan diri dari kebodohan, kemiskinan pengetahuan, kemiskinan ekonomi bahkan dapat dijadikan tonggak untuk membangun peradaban sebuah bangsa. Alur kerja menyampaikan masalah pendidikan dan mencari dukungan publik
Melakukan pertemuan dengan beberapa kontak person
Mengi dentifi kasi siapa saja yang dapat diajak untuk terlibat dalam kegiatan advokasi pendidikan tanpa memandang status sosialnya amupun kapasitas pengetahuannya
Mendatangi kerumahrumah atau bertamu/silatu rrahmi ke rumah-rumah calon yang dapat diajak menjadi pegiat
Menyelenggara kan kegiatankegiatan yang melibatkan warga kampung
Tak mudah untuk meyakinkan dan meruntuhkan persepsi warga seperti yang telah terjadi diatas tersebut. Namun dengan upayaupaya yang gigih, yang dilakukan oleh para pegiat peduli pendidikan saat ini telah menghasilkan secercah harapan, meskipun tak banyak. Harapan yang dimaksud adalah adanya kesanggupan beberapa warga untuk melakukan kegiatan-kegiatan penyadaran tentang hak-hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan hak layanan pendidikan secara baik. Kegiatan-kegiatan ini dilakukan dengan mulai 71
Merebut Hak yang Terampas
melakukan pengidentifikasian calon-calon aktor yang akan diajak untuk melakukan gerakan kampanye penyadaran ini dengan mengedepankan pendekatan berbasis korban kebijakan, meskipun juga ada orang yang bersedia menjadi pegiat meski tidak merasa menjadi korban kebijakan. Selain kegiatan mengidentifikasi caloncalon pegiat, juga dilakukan kegiatan capacity building yang berbentuk melakukan kunjungan ke rumah-rumah tokoh, para keluarga korban kebijakan pendidikan seperti ada keluarga yang tidak mampu membayar uang daftar ulang disekolah, uang ijazah, uang raport ataupun uang iuran bertamasya. Kegiatan ini dilakukan secara rutin dan berkala baik melalui beberapa kegiatan seperti diskusi bersama, membuka pos pengaduan ataupun hanya sebatas bertamu dan mengobrol saja dengan si empunya rumah, mulai dari soal pendidikan hingga hal-hal lain seperti susahnya mendapatkan akte lahir, surat nikah yang mahal maupun biaya ke kesehatan yang semakin tak terjangkau oleh masyarakat yang tak berpenghasilan banyak. Dari kegiatan-kegiatan seperti yang langsung masuk ke lokasi kampung-kampung warga dengan menggunakan instrumen pertemuan yang diselenggarakan sendiri oleh warga 72
MCW dan Yayasan TIFA
seperti kegiatan arisan, pengajian di mushollamusholla maupun di rumah warga cukuplah efektif untuk mempengaruhi persepsi warga bahwa masalah-masalah pendidikan terutama tentang hal transparansi penyelenggaraan layanan pendidikan di sekolah. Dalam kegiatankegiatan ini juga disertai dengan penyebaran brosur dan buletin yang dibuat oleh MCW. Adapaun sasaran penyebaran brosur dan buletin selain diacara kegiatan warga di kampung juga disebarkan di tempat-tempat keramaian dan di masjid-masjid se-kota Malang. Tujuan dari penyebaran ini adalah untuk memberikan informasi kepada publik yang lebih luas tentang masalah-masalah pendidikan yang terjadi di Malang raya, termasuk mencari dukungan dari publik agar dapat bersama-sama dengan para pegiat peduli pendidikan di Malang untuk melakukan monitoring penyelenggaraan layanan pendidikan di Koa Malang. Dari Ngerumpi menjadi Pencatat Tak pernah terbayang oleh Suefendi, seorang kakek yang bertempat tinggal di daerah kecamatan Sukun, untuk melakukan kegiatan advokasi dengan mendatangi ke kantor-kantor pemerintahan seperti kantor DPRD Kota Malang, diknas kota Malang, maupun sekolah dasar, dan menengah dengan membawa 73
Merebut Hak yang Terampas
setumpuk dokumen milik para warga yang sedang dirundung masalah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan. Keadaan ini juga banyak dialami oleh para pegiat peduli pendidikan Malang Raya yang merupakan kolega dari Suefendi. Mereka pada awalnya ketika mendapati tetangganya yang sedang berkeluh kesah bahwa tidak mampu membayar beragam iuran (baca: pungutan liar)3 yang bisa dilakukan hanya sebatas diobrolkan oleh sesama tetangga atau hanya sebatas menjadi rasan-rasan dalam setiap pertemuan-pertemuan yang dihelat dikampungnya. Tak ada yang bisa diperbuat selain hanya pasrah. Seiring berjalannya waktu, keadaan terus berubah. Sekelompok orang yang kemudian berinteraksi dengan beberapa organisasi masyarakat sipil seperti MCW yang kemudian mendorong terbentuknya sebuah forum bagi masyarakat untuk mengamati penyelenggaraan pendidikan. Forum ini awalnya bernama aliansi masyarakat peduli pendidikan dan kemudian kini telah berubah dan sudah menjadi keputusan bersama yaitu menjadi Forum Masayarakat Peduli Pendidikan (FMPP).
3 Disebut adanya pungutan liar (pungli) karena penarikan biaya yang dibebankan kepada walimurid tidak ada dasar hukumnya.
74
MCW dan Yayasan TIFA
Salah satu kegiata n pos pengaduan yang diadakan oleh FMPP d an MCW
Kini, melalui sebuah forum ini beberapa orang yang tergabung didalamnya telah mengalami perubahan perilaku, dimana dulunya hanya sebatas bisa ngomong saja ketika ada masalah, saat ini telah mampu menyusun sebuah kronologis kasus yang muncul akibat dari adanya praktik penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang pembiayaannya terlalu banyak memberatkan walimurid. Lebih dari itu forum yang berbasis pada kegiatan individu di setiap kecamatan ini bahkan telah mampu melakukan diskusi mendalam tentang penyusunan draf raperda penyelenggaraan pendidikan di forumforum yang diselenggarakan oleh DPRD Kota Malang. Bahkan tak jarang diundang untuk menjadi nara sumber di beberapa fora-fora ilmiah di kampus maupun di radio-radio yang 75
Merebut Hak yang Terampas
ada di Malang Raya. Lebih dari itu, mereka bersama MCW telah mampu mengkritisi naskah akademik raperda dan disaat program ini berjalan juga terlibat dalam penyiapan kegiatan audit sosial yang akan diselenggarakan di sebuah sekolah menengah pertama di Malang. Adapun beberapa kegiatan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok warga ini adalah menerima pengaduan dari setiap warga yang mengalami masalah pendidikan yang disampaikan kepada setiap anggota atau jaringan FMPP dirumah masing-masing dan dalam waktu kapanpun. Dari adanya pengaduan ini kemudian direkam, dicatat, disusun kronologisnya, dan kemudian dibuat rencana kerja advokasinya yang tentunya juga melibatkan pengadu. Memang disadari juga oleh mereka bahwa semenjak adanya pendampingan khusus yang dilakukan oleh MCW terhadap kelompokkelompok warga yang aktif menjadi pegiat terutama dalam hal pengetahuan mereka tentang pengaturan penyelenggaraan pendidikan seperti konsep belajar mengajar, penyusunan RAPBS, mekanisme transparansi pengelolaan anggaran, dan tata cara melakukan advokasi baik yang sifatnya advokasi hukum maupun advokasi yang non hukum semakin meningkat keterampilannya. 76
MCW dan Yayasan TIFA
Hingga saat ini para anggota FMPP secara mayoritas telah mempunyai keberanian dan keterampilan dalam mendampingi kasus yang dialami warga untuk langsung berhadapan dengan para kepala sekolah, para guru di sekolah-sekolah maupun para pejabat di diknas jika terjadi pungli, kekerasan, maupun hal-hal lainnya. Saat ini pekerjaan yang perlu dilanjutkan adalah jika anggota FMPP telah mempunyai keahlian maka kini diperlukan untuk melakukan transformasi kepada para walimurid yang lain agar juga dapat melakukan advokasi jika terdapat penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pihak penyelenggara sekolah. Konsolidasi berbuah Pengetahuan Tak banyak yang dilakukan para walimurid yang sedang berkumpul di aula sekolah ketika ada sebuah pertemuan antara pengurus komite sekolah dengan para walimurid dan pihak sekolah yaitu kepala sekolah dan para guru tatkala menentukan besaranya sumbangan walimurid kepada sekolah dengan modus kesepakatan bersama. Realitas seperti inilah yang dimaksud dengan adanya praktik hegemoni sosial dengan menggunakan instrumen kekuasaan struktural. Tentu walimurid tidak mempunyai keberanian untuk melakukan kegiatan protes ketika ada beberapa kesepakatan yang memang tidak berkenan dihatinya.
77
Merebut Hak yang Terampas
Kenapa? Inilah pertanyaan yang perlu dijawab dengan serius, yaitu pertama, ada perasaan tidak nyaman bagi walimurid jika menolak secara terbuka karena para walimurid telah merasa “menitipkan” anaknya untuk dididik di sekolah tersebut. Kedua, para walimurid khawatir jika orangtuanya terlalu kritis akan berdampak negatif kepada anaknya. Misalnya mendapat perlakuan diskriminatif karena orang tuanya menolak iuran atau sumbangan kepada sekolah. Ketiga, ada pemahaman (konstruksi sosial) diwalimurid atau orang tua bahwa sekolah memang membutuhkan biaya besar dan memang diperbolehkan bahwa sekolah menarik iuran kepada walimurid sebagai bentuk kompensasi maupun tanggungjawab walimurid menyekolahkan anaknya.
78
MCW dan Yayasan TIFA
Apabila kita cermati antara tugas negara yang tercantum dalam berbagai peraturan perundangundangan jelas tergambar bahwa negara ini lahir untuk memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Persoalan pelayanan pendidikan di Indonesia secara singkat dapat dikelompokkan ke dalam tiga hal, yaitu (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2006): 1. Paradigma pelayanan pendidikan dan mentalitas aparat. Aturan dan regulasi yang ada sebenarnya sudah meneguhkan tanggung jawab negara dalam memberi pelayanan, namun ironisnya banyak ditemukan kasus yang menggambarkan buruknya pelayanan pendidikan di Indonesia. Selain itu, belum berubahnya sikap dan paradgima dari aparat pemerintah dalam pemberian pelayanan yang masih rules-driven atau berdasar perintah dan petunjuk atasan, namun bukan kepuasan masyarakat. Setiap aparat harusnya memahami esensi dari pelaksanaan tugasnya kepada masyarakat. 2. Kualitas pelayanan tidak memadai dan masih diskriminatif. Jaminan terhadap pemenuhan hak-hak dasar masyarakat yang tanpa diskriminasi belum diberikan dengan kualitas yang memadai. Selain itu, pelayanan pendidikan yang disediakan umumnya terbatas, misalnya jumlah, kualitas tenaga, fas ilitas dan sarana tidak memadai dan tidak merata. Umumnya ini disebabkan keterbatasan SDM serta alokasi anggaran yang kurang memadai dalam APBD. Di sejumlah daerah, APBD lebih banyak dihabiskan untuk kegiatan rutin dibandingkan kegiatan pembangunan. 3. Belum ada regulasi yang memadai. Regulasi yang ada belum mampu meyakinkan bahwa kewajiban negara semestinya diiringi dengan kemampuan memberi layanan yang terbaik kepada warganya. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam proses pemberian layanan belum optimal, meski terdapat perangkat yang dapat mendukung upaya itu.
79
Merebut Hak yang Terampas
Inilah ilustrasi dari realitas relasi antara orangtua atau walimurid dengan pihak sekolah. Padahal jelas bahwa penyelenggaraan pendidikan merupakan kewajiban dari negara/pemerintah yang paling mendasar, sebab pendidikan adalah satu-satunya media untuk mengentaskan kemiskinan dan kebodohan yang sekaligus untuk memerdekakan individu dalam kehidupan sosialnya. Dengan begitu pentingnya pendidikan, sehingga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memuat kewajiban negara dengan jelas, yaitu bahwa; Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, pasal 28C ayat (1) Amandemen Kedua UUD 1945), yang diperjelas lagi dalam Pasal 31 UUD 1945 bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Begitupula halnya dengan muatan pasal 28E ayat (1) Amandemen Kedua UUD 1945, yakni setiap orang bebas … memilih pendidikan dan pengajaran… Dengan demikian ketidakmampuan walimurid manakala berhadapan dengan pihakpihak sekolah baik kepala sekolah maupun para guru seharusnya sudah tidak ada lagi yang 80
MCW dan Yayasan TIFA
ditakutkan jika merujuk kepada ketentuan yang telah tertuang dalam konstitusi negara. Namun demikian, memang perlu disadari bahwa tidak semua walimurid mempunyai keberanian untuk melakukan “perlawanan sosial” atas tindak kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan di sekolah. Inilah pekerjaan yang sebenarnya bagi para pegiat yang tergabung di FMPP, MCW maupun koalisi masyarakat peduli pendidikan Malang Raya untuk melakukan kerja-kerja penyadaran atas hak-hak konstitusionalnya.
Ini salah satu kegiatan aksi yang dilakukan oleh MCW
Dalam konteks inilah maka beberapa kegiatan yang dilakukan oleh para pegiat yang tergabung dalam MCW dan FMPP ini adalah seperti melakukan kampanye publik melalui penyebaran brosur maupun poster-poster yang 81
Merebut Hak yang Terampas
bertemakan tentang hak-hak dasar pendidikan, pendidikan bukan barang dagangan, dan banyaknya pungli di pendidikan. Selain kegiatan kampanye ini juga dilakukan kegiatan media breifing maupun konferensi pers untuk membentuk opini publik melalui media massa. Kegiatan penyadaran ini tak hanya melalui kampanye publik namun juga melakukan pembentukan simpul-simpul masyarakat dibeberapa kelurahan. Adapun kegiatan di simpul-simpul yang dilakukan adalah belajar bersama tentang pentingnya berkumpul atau berorganisasi. Karena dengan berkumpul nantinya akan tercipta persepsi yang sama, munculnya rasa solidaritas bersama yang nantinya akan berdampak terhadap soliditas gerakan dan tentu proses konsolidasi bagi setiap warga yang tergabung dalam kelompok masyarakat akan lebih mudah dalam melakukan aktifitas-aktifitas pembelaan bagi sesama warga negara. Inilah buah dari konsolidasi yang kemudian menghasilkan pengetahuan dan dengan adanya pengetahuan yang sama maka akan melahirkan sikap yang sama dalam merespon masalah-masalah pendidikan yang timbul. Dan jika sikapnya sama maka kerjakerja advokasi akan lebih efektif.
82
MCW dan Yayasan TIFA
MCW Demo Soal Biaya Pendidikan Senin, 13 Agustus 2012 11:13 WIB
surya/lailatul mauludiyahMCW Demo soal biaya sekolah di Malang TRIBUNJATIM.COM,MALANG- Komite sekolah yang selama ini menjadi penghubung antara wali murid dan pihak sekolah dinilai Malang Corruption Watch (MCW) sudah tidak bisa lagi dipercaya. Karena selama ini, komite sekolah sudah lebih cenderung membela sekolah. Untuk mngingatkan kepada para wali murid, supaya berani meyampaikan pendapat dalam rapat komite, MCW melakukan aksi menyebarkan 1.000 brosur yang bertuliskan "Ikuti dan awasi rapat komite sekolah" di Alun-alun Kota Malang, Senin (13/8/2012). Sebelum, melakukan membagikan brosur, 20 anggota MCW melakukan sholat jenazah, yang menunjukkan matinya perhatian Dindik kepada sekolah. Rusdiyanto, Koordinator aksi yang dinamakan brantas korupsi di bulan suci ini mengatakan, selama ini, komite sekolah hanya dijandikan perpanjangan tangan dari pihak sekolah untuk memungut, karena dari pihak sekolah sesuai dengan peraturan yang berlaku tidak boleh memungut kepada siswa. "Komite Sekolah hanya dijadikan alat untuk sekolah supaya bisa memungut kepada siswa," ujarnya. Seharusnya, lanjutnya komite sekolah bisa mendorong orang tua untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan dalam bentuk ide, tidak murni uang seperti yang terjadi saat ini. Untuk itu, dalam dua bulan kedepan, MCW akan melakukan pengawasan kepada sekolah-sekolah, utamanya pada komite sekolahnya. Sebab, setelah lebaran, pihak sekolah akan melakukan rapat komite untuk menentukan besaran Sumbangan Biaya Pengembangan Pendidikan (SBPP). Setelah melakukan aksi di Alun-alun Kota Malang, MCW melanjutkan aksi ke Balikota Malang. Sumber : Surya Reporter : Lailatul Mauludiyah Editor : yoni Salah satu kegiatan aksi MCW yang dimuat ole media massa
83
Merebut Hak yang Terampas
84
MCW dan Yayasan TIFA
Bab IV Membangun Keterampilan Untuk Mendapatkan Hak
85
Merebut Hak yang Terampas
86
MCW dan Yayasan TIFA
Kelelahan tak akan pernah hilang, jika perasaan kita tak mampu melepaskan diri dari kelelahan itu sendiri. Mungkin inilah pernyataan yang tepat bagi para pegiat advokasi isu pendidikan di Malang Raya.
Sejatinya pelayanan pendidikan tidak bisa lepas dari pilihan gagasan politik tentang negara dari suatu negara yang akan didirikan. Sebagaimana dinyatakan oleh Hans Kelsen bahwa gagasan politik tentang negara demokrasi menyatakan bahwa kekuasaan pemerintah ditentukan oleh rakyat sehingga aturan hukum tentang hubungan antara masyarakat dengan penguasa dan antar anggota masyarakat mencerminkan perwujudan setiap kemungkinan dari pelaksanaan kekuasaan rakyat. Arahnya bersifat membuka jalan dan memudahkan penyaluran hasrat rakyat dalam pembentukan kebijakan pemerintahan. Jadi, dari pendapat ini dapat dikatakan bahwa kekuasaan paling berdaulat adalah rakyat, disinilah esensi dari negara demokrasi seperti yang pernah disampaikan juga oleh peraih nobel Armatya Sen bahwa kesejahteraan dapat dihadirkan untuk rakyat tatkala ada mekanisme demokrasi. Dengan mekanisme demokrasi, negara dalam menjalankan fungsinya lebih dapat dipastikan akan 87
Merebut Hak yang Terampas
keterlibatan masyarakat, termasuk dalam menjalankan kewajibannya yaitu mencerdaskan bangsa. Kewajiban negara untuk mencerdaskan bangsa yang dilakukan oleh pemerintah salah satunya adalah menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas, adil dan non diskriminatif terutama untuk pendidikan dasar dan menengah.
Kegiatan dialog antara masyarakat dengan inspektorat dan diknas
Penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah agar berjalan dengan baik maka diperlukan seperangkat instrumen, salah satunya adalah menejemen pengambilan keputusan dalam menentukan kebijakan di setiap unit satuan kerja yang ada di pemerintah maupun yang berada dalam kewenangan sekolah. Ketersediaan instrumen akan bermakna jika 88
MCW dan Yayasan TIFA
yang menjalankannya mengikuti prosedur dan prinsip-prinsip dasar pelayanan dalam kepemerintahan yang baik, yaitu memenuhi unsurunsur partisipasi, transparan, dapat dipertanggungjawabkan dan azas manfaatnya jelas. Seperti kita ketahui, program pemerintah yang berwujud Biaya Operasional Sekolah (BOS), sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk memenuhi kewajibannya kepada masyarakat dalam implementasinya masih banyak mengalami beragam penyimpangan terutama dalam mempergunakan dana BOS. Tidak sedikit yang kemudian bersitegang antara masyarakat (walimurid), komite sekolah, kepala sekolah bahkan dengan pihak dinas pendidikan. Monitoring Melalui Audit Sosial Keterbukaan informasi bagi penyelenggara layanan publik saat ini telah menjadi salah satu kewajiban. Termasuk juga dalam hal penyelenggaraan pendidikan, yakni untuk menjamin akuntabilitas, transparansi dan partisipasi penyelenggaraan pendidikan kepada para stakeholders mekanisme sederhana yang dapat dilakukan adalah mempublikasikan dokumen anggaran satuan kerja (DASK), rencana anggaran pendapatan belanja sekolah (RAPBS), perencanaan perbaikan fisik maupun perencanaan proses belajar mengajar melalui mekanisme 89
Merebut Hak yang Terampas
surat secara periodik kepada walimurid, mengefektifkan dan meningkatkan kualitas pertemuan komite sekolah dengan pihak wali murid dengan kepala sekolah dan dewan guru, sehingga pertemuan ini dapat dijadikan momentum untuk saling memberikan saran dan evaluasi. Selain itu juga dapat menggunakan papan pengumuman yang memang sengaja disediakan untuk memajang informasi tentang menejemen keuangan sekolah. Demikian juga dengan metode partisipasi yang dapat diselenggarakan oleh pihak penyelenggara pendidikan adalah mekanisme pertemuan dengan walimurid dilakukan secara terbuka dan periodik serta dalam pertemuan tersebut memang didesain untuk mengambil keputusan dengan demikian para walimurid merasa terlibat dan dilibatkan dalam setiap proses penyelenggaraan pendidikan baik yang bersifat non pengajaran maupun yang masuk dalam kategori pengajaran untuk memberikan informasi tentang proses belajar mengajar. Dengan dikelolanya sekolah secara partisipatif, transparan, dan akuntabel selain menumbuhkan rasa kepercayaan dan adanya rasa kepemilikan bagi masayarakat serta juga mendorong para pengelola sekolah seperti guru dan kepala sekolah untuk serius menjalankan tugasnya sebagai pendidik yang dapat mengajarkan 90
MCW dan Yayasan TIFA
proses pertanggungjawaban kepada masyarakat baik proses belajar mengajar maupun pengelolaan keuangan.
Mekanisme diatas penting dilakukan karena asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak-hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi. Sedangkan asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara layanan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Transparansi dalam pemberian layanan menjadi sangat penting, karena transparansi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari prinsip pemerintahan yang terbuka 91
Merebut Hak yang Terampas
(open government). Keterbukaan pemerintah dalam memberikan penyediaan pelayanan pendidikan adalah modal sosial untuk membangun kepercayaan bahwa pemerintah memang bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Selain itu, hak-hak masyarakat juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dimana transparansi pengelolaan pendidikan dijamin oleh UU, sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada dibawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik. Dalam Undang Undang ini juga diatur adanya sangsi pidana bagi Pejabat Publik yang tidak mau memberikan informasi yang diminta oleh pengguna informasi publik sebagaimana diatur dalam pasal 52. Demikian pula dalam Peraturan Pemerintah No.48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan juga diatur tentang prinsip pengelolaan pendidikan yang meliputi (a) prinsip keadilan; (b) prinsip efisiensi; (c) prinsip transparansi dan (d) prinsip akuntabilitas publik. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi penyelenggara pendidikan untuk tidak transparan, partisipatif dan akuntabel kepada masyarakat, karena peraturan 92
MCW dan Yayasan TIFA
perundang-undangan telah dengan jelas mengaturnya. Minimnya keterbukaan informasi ini bisa dilihat dari hasil survei yang pernah dilakukan oleh Malang Corruption Watch (MCW) pada tahun 2012 yaitu memberikan informasi bahwa pengetahuan dan cara mengakses informasi pendidikan di Kota Malang masih dianggap minim. Hal ini bisa dilihat dari beberapa grafik dibawah ini; Gambaran Pengetahuan Responden tentang Peraturan Pendidikan Dasar Di Kota Malang 600 500 400 300 200 100 0
254 46 24 22
Tahu
126 128
Total Perempuan Laki-laki
Tidak Tahu
Grafik diatas menunjukkan kenyataan yang cukup ironis, yakni 254 (128 laki-laki dan 126 perempuan) dari 300 warga Kota Pendidikan (julukan bagi Kota Malang), mengaku 93
Merebut Hak yang Terampas
tidak mengetahui peraturan tentang penyelenggaraan pendidikan dasar (SD-SMP-SMA) di Kota Malang Sebagai pihak pertama yang menerima manfaat dari adanya layanan pendidikan, Masyarakat justru tidak banyak mengetahui peraturan-peraturan pendidikan dasar yang berlaku di Kota Malang. Sikap Responden Terhadap Keterbukaan Pelayanan Pendidikan di Kota Malang Sangat Baik
Baik
Cukup 95
17
Penyusunan Kebijakan
Snagat Tidak Baik 114
104
13
Tidak Baik
Standar Pelayanan
83
8 Laporan Keuangan
15 Kemudahan memeroleh informasi layanan
Grafik diatas memberikan gambaran bahwa dari sikap masyarakat Kota Malang mengenai tingkat keterbukaan pemerintah dalam menyelenggarakan layanan pendidikan. Dari grafik tersebut dapat dilihat secara jelas bahwa mayoritas warga menjawab bahwa tahapan penyelenggaraan layanan pendidikan, mulai dari penyusunan kebijakan, penyusunan standar pelayanan, hingga laporan keuangan dan penyampaian informasi berlangsung secara 94
MCW dan Yayasan TIFA
tidak baik. Sikap masyarakat tersebut utamanya disebabkan karena tidak adanya komitmen pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam tiap-tiap tahapan penyelenggaraan pelayanan publik. Sikap Responden Terhadap Akuntabilitas Pelayanan Pendidikan di Kota Malang Sangat Baik
95 91 18 Integritas (Kejujuran dan Kebenaran)
93 88 17 Ketiadaan Suap
Baik
99
Cukup
85
17 Ketiadaan Pungutan Liar
Tidak Baik
102
Sangat Tidak Baik
102 76
66 10
18
Penyampaian Ruang Bertanya Laporan Kepada masyarakat MasyarakatRuang Bertanya Masyarakat
84 90 14 Tanggapan Terhadap Pertanyan dan Pengaduan
Selain masalah keterbukaan atau transparansi, dalam hal akuntabilitas pun masih banyak masyarakat yang mengatakan bahwa prinsip akuntabilitas dalam beberapa bidang dipelayanan publik khususnya di sektor pendidikan masih belum baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei yang dilakukan MCW seperti dalam grafik diatas. Dalam grafik tersebut menyebutkan bahwa ada 102 masyarakat merasa bahwa akuntabilitas penyelenggara terhadap publik masih ada dalam tataran “tidak baik”. Dalam penelitian lain, diketahui bahwa pendapat masyarakat tersebut dilatari dari tidak 95
Merebut Hak yang Terampas
adanya mekanisme pertanggunggjawaban penyelenggara terhadap masyarakat. Yang terlihat saat ini model pertanggungjawaban oleh penyelenggara hanya sebatas disampaikan pada atasan masing-masing, tidak kepada masyarakat. Melihat kenyataan ini, perlu ada sebuah ihtiar bahwa untuk mendorong proses keterbukaan dan akuntabilitas penyelenggara layanan pendidikan diperlukan sebuah instrumen untuk melakukannya. Salah satu instrumen tersebut adalah menggagas model audit sosial yang dilakukan oleh masyarakat dalam hal ini adalah walimurid dilingkungan sekolah masingmasing. Gagasan ini menarik untuk dicermati dan dilakukan secara masif, mengingat bahwa metode ini adalah untuk mengukur tentang transparansi dan akuntabilitas layanan sekolah. Dalam kegiatan ini pertama-tama yang disiapkan adalah melakukan studi atau pengecekan dokumen-dokumen yang telah dikeluarkan oleh pihak sekolah dan dokumen ini telah menjadi sebuah kebijakan institusi. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat seperti yang dilakukan oleh walimurid, Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP) dan MCW di SMP negeri 19 kota Malang. Dengan kegiatan ini sangat membantu untuk membangun model transparansi dan akuntabilitas pihak sekolah 96
MCW dan Yayasan TIFA
dalam hal ini kepala sekolah beserta para guru kepada walimurid dan siswa. Selain menggunakan dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pihak sekolah tentunya pihak tim yang melakukan audit sosial terhadap kebijakan sekolah juga harus mencari informasi lain disekitar sekolah baik yang berkembang dilingkungan masyarakat sekitar maupun menanyakan langsung kepada beberapa walimurid maupun siswa sekolah. Adapun dalam mencari informasi lain dari pihak yang berada di sekitar sekolah secara informal agar para walimurid tidak mengalami ketakutan adalah dengan cara membuka pos-pos pengaduan di sekitar sekolah berada. Kegiatan pos pengaduan ini sangat membantu untuk memberikan informasi seputar kebijakan sekolah sebagai bagian dari second opinion.
Kegiatan pos pengaduan: salah satu alat dalam melakukan audit sosial kebijakan pendidikan di Kota Malang
97
Merebut Hak yang Terampas
ANAK - ANAK KITA HARAPAN MASA DEPAN BANGSA ... MARI BERIKAN MEREKA PENDIDIKAN YANG BERMUTU ... KARENA KELAK MEREKALAH PEMBANGUN PERADABAN BANGSA INI
98
MCW dan Yayasan TIFA
PROFIL MALANG CORRUPTION WATCH KORUPSI adalah sebuah kata yang sering diucapkan oleh hampir seluruh rakyat Indonesia, baik yang berpendidikan tinggi ataupun rakyat yang tidak sekolah. Baik rakyat yang kaya dan berkehidupan hidonis maupun rakyat miskin yang papa. Atau bahkan orang kota yang penuh gemerlap dugem (dunia gemerlap) sampai orang desa yang tidak ada fasilitas dugem. Bahkan juga para pejabat dengan kata-kata indahnya yang penuh busa dimulutnya hingga rakyat jelata, ataupun para profeso, doktor, kyai dan tokoh masyarakat lainnya semua nyaris sepakat bahwa korupsi adalah pekerjaan haram dan patut dihukum para pelakunya. Tapi, kenyataannya adalah berbalik 180º. Korupsi bukan pekerjaan haram dan pelakunya tidak dihukum. Bahkan korupsi adalah pekerjaan sampingan orang elit (pejabat, penguasa dan orang kaya). Ketika pemerintahan pasca ordebaru ini tidak menempatkan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum sebagai agenda utama, maka sudah bisa dilihat tingkat komitmennya bahwa mereka (pemerintah baru) memandang praktek korupsi dan penegakan hukum hanyalah dijadikan isu politik belaka untuk meraih kekuasaan bukan dijadikan pekerjaan pengabdian untuk membangun sebuah perangkat nilai dan norma sosial yang adil, beradab dan berdaulat. Untuk itulah, maka gagasan mendirikan Malang Corruption Watch (MCW), yang berawal dari komunitas diskusi para aktivis yaitu, ada aktivis mahasiswa, mantan aktivis mahasiswa dan beberapa dosen yang mempunyai concern pada pemantauan kebijakan publik di Malang Raya (Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang). Komunitas diskusi ini sudah berjalan sejak sebelum reformasi 1998 berlangsung. Kemudian pada akhir tahun 1999, komunitas diskusi ini lebih fokus pada agendaagenda pemantauan dan pemberantasan korupsi.
99
Merebut Hak yang Terampas
Munculnya agenda ini diinspirasi oleh keberadaan Indonesian Corruption Watch (ICW). Yang kemudian secara formal MCW dideklarasikan pada tanggal 31 Mei 2000, setelah mengalami proses diskusi internal maupun eksternal hampir selama 7 bulan sejak November 1999. MCW lahir didasari oleh suatu kenyataan terjadinya praktek-praktek KKN di Malang raya, seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Praktek KKN hampir terjadi disemua sektor penyelenggara negara di daerah seperti pemerintah daerah, parlemen (DPRD) maupun lembaga judisial, yang dibarengi dengan tidak adanya kemauan politik (political will) untuk memberantas KKN secara menyeluruh, yang pada akhirnya proses pembangunan ekonomi dan sosial politik tidak dapat dinikmati oleh rakyat secara adil. Kondisi inilah yang kemudian mengakibatkan tersumbatnya proses mewujudkan demokratisasi dan keadilan sosial bagi kehidupan rakyat. Sedangkan agenda-agenda yang dilakukan oleh MCW adalah kegiatan monitoring korupsi di Malang raya diarahkan menjadi gerakan moral dan gerakan sosial, bahkan dikemudian hari gerakan-gerakan ini harus dilembagakan sebagai bagian dari proses demokratisasi sistem politik dan sistem ekonomi, sehingga nantinya diharapkan lembaga MCW bisa mendorong terbentuknya sebuah perangkat nilai dan norma sosial yang adil, beradab dan berdaulat. MCW yang digagas sebagai lembaga publik, maka siapapun boleh menjadi aktivis MCW selama mempunyai kesamaan visi dan misi dalam agenda pemberantasan korupsi. Selain itu, MCW adalah lembaga sosial yang independen non partisan dan terbuka yang memfokuskan pada pemantauan/pengawasan korupsi, advokasi dan pemberdayaan serta melakukan pendidikan publik. Dalam menjalankan agendanya support dana MCW didapat dari donatur tetap internal (dewan pengurus, pembina, pengawas, badan pekerja) kini juga didapat dari penciptaan fund raising MCW yang berbentuk penerbitan
100
MCW dan Yayasan TIFA
buku, souvenir dan penjualan kaos serta didapat juga dari kerjasama dengan lembaga-lembaga pemberi dana dan penggalangan dana dari publik. VISI MCW Terciptanya masyarakat madani yang humanis, beradab, bermartabat dan berdaulat dengan mengupayakan terciptanya tatanan birokrasi, politik, ekonomi dan hukum yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. MISI MCW Melakukan monitoring dan investigasi kasus korupsi serta melakukan pendidikan publik untuk membangun gerakan sosial anti korupsi melalui pembentukan zona-zona anti korupsi NILAI KERJA MCW 1.
Menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan.
2.
Tidak boleh menerima sumbangan berbentuk apapun dan kerjasama program dengan obyek pantau.
3.
Dalam melakukan tugas pemantauan harus minimal berdua.
4.
Menganut prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipatif, independen dan non partisan.
PROGRAM STRATEGIS MCW 1.
Melakukan monitoring, investigasi dan Advokasi kasus-kasus korupsi dibidang pelayanan publik dasar, parlemen daerah dan monitoring kinerja kejaksaan
2.
Melakukan penguatan jaringan untuk membentuk zona-zona anti-korupsi dan pos pengaduan
3.
Melakukan pendidikan publik untuk membangun kesadaran kritis rakyat guna melawan koruptor
4.
Melakukan public fund raising untuk membangun kemandirian lembaga
101
Merebut Hak yang Terampas
FOKUS PROGRAM YANG DIKERJAKAN 1.
2.
3.
4.
102
Kampanye dan Pendidikan Publik -
Pendidikan kesadaran hak warga negara
-
Kampanye publik
-
Membangun forum-forum dialog
-
Training dan rekruitmen relawan pemantau korupsi
-
Mendorong adanya kelompok-kelompok penagih janji
-
Mendorong terbentuk zona - zona antikorupsi di masyarakat
Advokasi -
Pendirian pos-pos pengaduan korupsi
-
Melakukan investigasi, monitoring dan laporan kasus korupsi
-
Pengembangan Jaringan kerja di kelompok masyarakat
-
Pendampingan masyarakat korban kebijakan
Informasi, Dokumentasi dan Publikasi -
Pengkajian dan perumusan kerangka gerakan anti-korupsi
-
Melakukan riset Pemetaan wilayah dan cakupan pemantauan serta titik rawan KKN
-
Pengkajian terhadap korupsi dan upaya mencari solusinya
-
Publikasi hasil-hasil kerja MCW
Fund Raising -
Penggalangan dana internal dan usaha-usaha mandiri
-
Penggalangan dana dari publik
-
Kerjasama dengan lembaga-lembaga yang mempunyai visi mis yang sama