Lembaga Studi Sosial dan Agama
LAPORAN TAHUNAN KEBEBASAN BERAGAMA DI JAWA TENGAH TAHUN 2009 Oleh: Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang
“Menyapih Lara di Tengah Jawa” Daftar Isi I. Pendahuluan ......................................................................... 2 II. Demografi Keagamaan ........................................................ 3 III. Legal Review ........................................................................ 4 IV. Temuan-temuan ................................................................... 5 A. Pelanggaran Kebebasan Beragama .................................... 7 B. Situasi Toleransi Beragama .................................................. 7 C. Kemajuan Kebebasan Beragama ........................................13 V. Analisis dan Rekomendasi ...................................................14 Matriks .............................................................................................17 Laporan Tahunan Konflik, Kekerasan dan Kebebasan Beragama-Berekspresi-Berkeyakinan di DIY (November 2008 – November 2009) .....................................31 TIM PENYUSUN Supervisor Rumadi, Alamsyah M. Dja’far Koordinator Tedi Kholiludin Anggota Iman Fadhilah, Nur Ana Mustafidah, Siti Rofiah, M. Najibur Rohman. Lay out Rouf Ahmad Al Ghazali Diterbitkan Oleh: Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Perum Depag/IAIN Jl. Maulana Malik Ibrahim BVI/7 Semarang 50185 081325773057 (Tedi Kh) 08179541390 (Iman F) email:
[email protected]
Yayasan TIFA
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
1
Menyapih Lara di Tengah Jawa
I. Pendahuluan Laporan kehiduan keagamaan di Provinsi Jawa Tengah yang disusun oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang merupakan upaya untuk menggambarkan situasi kehidupan keagamaan di wilayah tengah Jawa ini. Meski harus diakui, gambaran yang diberikan ini jauh dari sempurna, tetapi setidaknya, peristiwaperistiwa yang kami rekam dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan, institusi pendidikan, organisasi keagamaan, teman-teman di NGO dan masyarakat sipil pada umumnya. Yang tergambar dalam laporan ini adalah situasi umum keagamaan di Jawa Tengah yang meliputi pelanggaran kebebasan beragama, intoleransi dan juga perkembangan yang terjadi dalam menginisiasi perdamaian dan kehidupan keagamaan yang lebih baik. Dengan begitu, diharapkan laporan ini akan memberikan informasi yang berimbang, tidak hanya menggambarkan tindak intoleran, tetapi juga niatan luhur yang terkait dengan perbaikan kondisi kehidupan keagamaan di Jawa Tengah. Pemantauan yang dilakukan oleh eLSA masih mengandalkan data yang dieksplorasi oleh media masa, baik cetak maupun elektronik. Pengumpulan data juga dilakukan dengan cara turun langsung ke lapangan menelusuri akar-akar konflik atau perdamaian yang tengah berlangsung. Namun, yang utama dari metode pengumpulan data yang kami lakukan masih dengan mengandalkan data yang diberikan oleh teman-teman di media.
2
Sekedar informasi, sepanjang menjalani kehidupan sebagai organ non-pemerintah, laporan tahunan kebebasan beragama di tingkatan daerah jarang sekali dihadirkan. Sejauh pengetahuan kami, laporan tahunan tentang religious freedom baru ada di wilayah pusat. Mengakhiri bagian pendahuluan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu terealisasinya laporan tahunan ini. Kepada teman-teman di Wahid Institute (Rumadi, Alamsyah Dja’far, Subhi Azhari dll), Yayasan TIFA, Pendiri dan Konsultan eLSA, Dr Abu Hapsin, Dr. Arja Imroni, Dr. Imam Yahya, Sumanto al-Qurtuby, Harjanto K. Halim, Prof. John A. Titaley, Ronny Chandra K, teman-teman Pondok Damai, Centre for Christianity and Islamic Studies (CCIS), LPM Justisia Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, kolega kami di Jogjakarta, Nur Khalik Ridwan, Sugiarto dan kawan-kawan serta semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu. Kami menyadari bahwa laporan ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik serta saran kami tunggu demi perbaikan laporan serupa di masa yang akan datang. Tak lupa, jalinan komunikasi serta jejaring yang selama ini belum terbangun, kami harapkan lebih bisa terjalin pasca diskusi dan launchng laporan ini. Semarang, 20 November 2009
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama
II. Demografi Keagamaan Jawa Tengah sebagai provinsi dibentuk sejak jaman Hindia Belanda. Hingga tahun 1905, Jawa Tengah terdiri atas 5 wilayah (gewesten) yakni Semarang, Rembang, Kedu, Banyumas, dan Pekalongan. Surakarta masih merupakan daerah swapraja kerajaan (vorstenland) yang berdiri sendiri dan terdiri dari dua wilayah, Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, sebagaimana Yogyakarta. Masing-masing gewest terdiri atas kabupatenkabupaten. Waktu itu Rembang Gewest juga meliputi Regentschap Tuban dan Bojonegoro. Setelah diberlakukannya Decentralisatie Besluit tahun 1905, gewesten diberi hak otonomi dan dibentuk Dewan Daerah. Selain itu juga dibentuk gemeente (kotapraja) yang otonom, yaitu Pekalongan, Tegal, Semarang, Salatiga, dan Magelang. Sejak tahun 1930, provinsi ditetapkan sebagai daerah otonom yang juga memiliki Dewan Provinsi (Provinciale Raad). Provinsi terdiri atas beberapa karesidenan (residentie), yang meliputi beberapa kabupaten (regentschap), dan dibagi lagi dalam beberapa kawedanan (district). Provinsi Jawa Tengah terdiri atas 5 karesidenan, yaitu: Pekalongan, Jepara-Rembang, Semarang, Banyumas, dan Kedu. Menyusul kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1946 Pemerintah membentuk daerah swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran; dan dijadikan karesidenan. Pada tahun 1950 melalui Undang-undang ditetapkan pembentukan kabupaten dan kotamadya di Jawa Tengah yang meliputi 29 kabupaten dan 6 kotamadya. Penetapan Undang-undang tersebut hingga kini diperingati sebagai Hari
Jadi Provinsi Jawa Tengah, yakni tanggal 15 Agustus 1950. Secara administratif, Provinsi Jawa Tengah terdiri atas 29 kabupaten dan 6 kota. Administrasi pemerintahan kabupaten dan kota ini terdiri atas 545 kecamatan dan 8.490 desa/kelurahan. Sebelum diberlakukannya Undangundang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, Jawa Tengah juga terdiri atas 4 kota administratif, yaitu Purwokerto, Purbalingga, Cilacap, dan Klaten. Namun sejak diberlakukannya Otonomi Daerah tahun 2001 kota-kota administratif tersebut dihapus dan menjadi bagian dalam wilayah kabupaten. Menyusul otonomi daerah, 3 kabupaten memindahkan pusat pemerintahan ke wilayahnya sendiri, yaitu Kabupaten Magelang (dari Kota Magelang ke Mungkid), Kabupaten Tegal (dari Kota Tegal ke Slawi), serta Kabupaten Pekalongan (dari Kota Pekalongan ke Kajen). Sebagian besar penduduk Jawa Tengah beragama Islam dan mayoritas tetap mempertahankan tradisi Kejawen yang dikenal dengan istilah abangan. Agama lain yang dianut adalah Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, dan puluhan aliran kepercayaan. Sebagai contoh di daerah Muntilan, Kabupaten Magelang banyak dijumpai penganut agama Katolik, dan dulunya daerah ini merupakan salah satu pusat pengembangan agama Katolik di Jawa. Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan terbesar di Jawa Tengah. Selain NU, Muhammadiyyah juga ada di Jawa Tengah. Kelompok Islam yang tidak terlalu besar juga cukup eksis di sini,
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
3
Menyapih Lara di Tengah Jawa
seperti Persis, Al-Irsyad, LDII. Organisasi muslim yang berbasis etnis Tionghoa (Persatuan Islam-Tionghoa Indonesia/PITI) juga ada di Jawa Tengah. Di daerah Batang dan Pekalongan kelompok pengikut KH.Ahmad Rifa’i yang biasa dikenal dengan Jamah Rifa’iyyah cukup berkembang di situ. Sementara Jemaat Ahmadiyyah yang akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam, terkait dengan permintaan pemerintah agar mereka menghentikan aktivitasnya juga masih bisa terbaca eksistensinya. Yang paling menonjol di Jawa Tengah, tentu hadirnya para penganut aliran kepercayaan yang tersebar dalam beberapa kelompok seperti Sapta Dharma, Sumarah, Pangestu, dan lain-lain. Ada juga penganut Aboge di Kabupaten Wonosobo, Banyumas dan sekitarnya. Di daerah Pati, Blora dan Kudus ada penganut Sedulur Sikep. III. Legal Review Secara umum, kebebasan beragama di Indonesia mendapatkan jaminan yang cukup kuat seperti termaktub dalam konstitusi tertinggi kita, Pancasila dan UUD 1945. Di Indonesia, jaminan konstitusional terhadap hak ini muncul antara lain dalam Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen. Pasal itu menyebutkan: 1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. 2. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
4
nuraninya. 3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Secara normatif, ketentuan dari pasal ini menjadi legitimasi yuridis bahwa kebebasan beragama dan tidak beragama mendapat jaminan. Tidak hanya itu, bahwa agama apapun sejatinya mendapat pengakuan dari negara. Ini dikarenakan ekspresi keberagamaan dan berkeyakinan warga negara mendapat jaminan yang setara dari negara. Kalau dilihat korelasinya dengan konstitusi PBB, maka pasal ini sesungguhnya merupakan ekuivalen dengan pasal 18 ICCPR. Hal ini kemudian ditegaskan dalam pasal 29 ayat 2. Jaminan konstitusional berikutnya dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia menjadi Negara Pihak (State Parties) yang terikat dengan isi ICCPR. Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27). Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama
Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan: 1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Sementara itu berdasarkan dari yang tersirat di Pasal 70 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan tersurat dalam UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 ayat (3) Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, maka pemerintah dapat mengatur/membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui Undang-Undang. IV. TEMUAN-TEMUAN Temuan di lapangan akan diklasifikasi menjadi tiga bagian. Pertama adalah soal pelanggaran terhadap kebebasan beragama. Dalam wilayah ini, yang menjadi fokus utama pembahasan adalah bagaimana negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk beragama. Setiap pelang garan baik pelanggaran langsung atau pembiaran terhadap kebebasan beragama masuk dalam kategori ini. Kedua, situasi toleransi beragama. Maksud temuan ini menyangkut temuan
terkait kebebasan beragama, termasuk di dalamnya regulasi-regulasi sosial yang bertentangan dengan semangat toleransi dan kebebasan beragama. Tak haya itu, pada point ini juga kondisi intoleransi, persekusi, serta eksklusi juga dicatat sebagai bagian dari situasi (in)toleransi beragama. Ketiga, kemajuan dalam kebebasan beragama. Selain membahas soal pelanggaran dan situasi intoleransi, laporan ini juga menyajikan kemajuan-kemajuan yang dicapai, terutama menyangkut kebebasan beragama dan jalinan harmoni seperti yang terjadi di lapangan. Upaya-upaya rekonsiliatif merupakan catatan atas kemajuan itu. Secara umum, situasi keagamaan 2009 di Jawa Tengah masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Meski begitu, tetap ada beberapa kejadian krusial yang cukup mewarnai kehidupan keagamaan di provinsi tengah pulau Jawa ini. Bahkan peristiwaperistiwa yang terjadi di tahun 2009 mendapat sorotan lebih. Data yang dikumpulkan oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) terhadap kasus-kasus yang terjadi pada tahun 2009, setidaknya menunjukkan hal tersebut. Data yang diolah dari hasil pantauan media serta rekaman langsung di lapangan itu merekam beberapa kejadian penting tentang kehidupan keagamaan, terutama yang menyangkut tren negatif. Di tahun 2009, ada dua kecenderungan yang muncul dalam kehidupan keagamaan, yakni menguatnya peran-peran milisi swasta serta potensi pelanggaran kebebasan beragama. Sebelum masuk pada temuan di tahun 2009, kami terlebih dahulu hendak memaparkan situasi yang terjadi pada tahun-
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
5
Menyapih Lara di Tengah Jawa
tahun sebelumnya sebagai bahan perbandingan. Tahun 2007, kehidupan keagamaan di Jawa Tengah diwarnai dengan ekspansi aliran al-Qiyadah al-Islamiyyah hingga ke daerah ini. Peta penyebaran aliran yang dianggap menyimpang di Jawa Tengah, saat itu terkonsentrasi di lima wilayah yakni Banyumas, Pati, Pekalongan, Karanganyar dan Sukoharjo. Di Jawa Tengah karena masih dalam bentuk lontaran pemikiran, maka kekerasan keberagamaan relatif lebih kecil untuk tidak dikatakan tidak ada sama sekali. Di tahun 2008, pelanggaran terhadap kebebasan beragama muncul, meski tidak terlalu signifikan jumlahnya. Salah satunya terkait dengan kemunculan SKB 3 Menteri tentang peringatan dan perintah kepada penganut, anggota dan atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyyah Indonesia dan warga masyarakat. Setelah penebitan SKB tersebut respon kemudian bermunculan. Di Semarang, Mereka yang menamakan diri Aliansi Mahasiswa Islam (AMI) menuntut Pembubaran Jemaat Ahmadiyyah, pada 16 Juni 2008. Mereka mengekspresikan tuntutan dengan teatrikal menggambarkan penolakan eksistensi Ahmadiyah dan Mirza Ghulam Ahmad di Tanah Air. Namun demonstran tak bisa mendekati Masjid Ahmadiyah di Jalan Erlangga Raya Semarang karena dihadang polisi. Selain di Semarang, ada aksi serupa di Karanganyar, tetapi juga tidak berujung anarkhis. Kasus lain di tahun 2008 yang berkaitan dengan kebebasan beragama menimpa komunitas Aboge. Karena takut dianggap penganut aliran sesat, komunitas Aboge di Dusun Binangun Kelurahan Mudal Kecamatan Mojotengah, Kabupaten
6
Wonosobo tidak menggelar Shalat Id. Kelompok Aboge merayakan Idul Fitri pada Jumat (3/10/2008) atau dua hari setelah Lebaran umat Islam pada umumnya yakni Rabu (1/10/2008). Penetapan hari raya ini didasarkan atas perhitungan kalender Jawa Aboge (singkatan Alip tanggal 1 Sura dina Rebo Wage) yang berbeda dengan kalender Hijriyyah. Kejadian juga sedikit memprihatinkan adalah soal pengekangan kebebasan berekspresi. Ini tercermin dalam tuntutan sejumlah ormas Islam di Karanganyar yang menuntut pemberhentian syuting film Lastri di Solo pada 16 November. Karena mengambil latar belakang peristiwa G30S, muncul kekhawatiran jika film tersebut kemudian berpotensi menyebarkan paham komunisme. Kasus yang melibatkan milisi swasta banyak terjadi menjelang pelaksanaan ibadah puasa di Bulan Agustus 2009. Ada dua kasus yang melibatkan polisi sipil dengan dalih menjaga kenyamanan melaksanakan ibadah puasa. Itu dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) Purworejo serta Batang dan Pekalongan. Di tiga tempat itu, FPI meminta pengelola tempat hiburan untuk menutup hotel (Purworejo) serta menghancurkan minuman keras (Pekalongan). Selain kasus kebebasan beragama, isu mengenai moralitas juga santer di tahun 2008. Pernikahan kontroversial Syekh Puji dan dugaan pelecehan seksual oleh AKN di Pati adalah dua diantara kasus moralitas yang mengemuka. Tentu cukup mencengangkan, karena pelakunya adalah orang yang memiliki otoritas dalam wilayah keagamaan. Karena itu bisa dikatakan kalau gambaran di 2008
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama
adalah “Toleransi yang Aman dan Moralitas yang Rawan”. A.Pelanggaran Kebebasan Beragama Kasus menyangkut pelang garan kebebasan beragama di Jawa Tengah, diawali dari kasus Penolakan pembangunan Gereja Metodis Indonesia Getasan pada 30 Agustus 2008. Pemerintah Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang melalui Surat bernomor 642.I/383 menolak pembangunan Gereja Metodis Indonesia (GMI). Surat itu dikeluarkan sebagai tindak lanjut rapat kordinasi perihal pengaduan masyarakat Dusun Kerangkeng Desa Batur yang dilaksanakan tanggal 26 Agustus 2008. Pengaduan itu diteruskan dengan rapat yang difasilitasi pihak kecamatan dengan mengumpulkan Kepala Desa Batur, Kadus, Pengurus Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU), Pengurus Forum Umat Islam (FUI) setempat. Muspika, berdasarkan pengaduan itu kemudian meminta kepada GMI agar pembangunan (gereja) dihentikan dengan tujuan agar wilayah kondusif dan menghindari konflik di masyarakat dan menyarankan agar dalam membangun sesuatu di wilayah melakukan kajian terlebih dahulu dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar sebelum mengajukan ijin mendirikan bangunan. Pelanggaran terhadap kebebasan beragama berlanjut di awal tahun 2009, tepatnya pada 2 Januari 2009. Pengajian (Jalsah Salanah) Jemaat Ahmadiyyah Indonesia (JAI) Semarang di Pondok Pesantren Soko Tunggal, Sendangguwo Semarang dibubarkan aparat keamanan yang merupakan
gabungan dari Polda Jawa Tengah, Polwiltabes Semarang dan Kepolisian Resort Semarang Selatan. Pihak keamanan menengarai, kegiatan yang sedianya berlangsung dari Jum’at hingga Minggu (4/ 1/09) itu belum mendapatkan izin pelaksanaan. Pihak kepolisian hanya menerima surat pemberitahuan dari pimpinan Pesantren Soko Tunggal yang ditandatangani oleh pengasuh pesantren setempat, Dr. KH. Nuril Arifin Husein, MBA. Kegiatan yang meliputi silaturahmi tahunan (Jalsah Salanah), taklimul Qur’an dan donor darah itu akhirnya gagal dilaksanakan. Karena sifatnya hanya surat pemberitahuan (bukan izin, red) maka polisi merasa perlu untuk membubarkan kegiatan tersebut. Ekspresi yang dibatasi juga terjadi saat ada kongres Golput di Solo. Rencana Kongres Golput IV di Solo berlangsung tegang pada 3/10/2009. Pihak kepolisian tetap melarang berlangsungnya kongres. Adu perdebatan Sri Bintang Pamungkas sebagai presiden nasional persaudaraan golongan putih (Golput) dengan polisi pun tak bisa dihindarkan. Polisi mensinyalir, pertemuan tersebut tidak mengantongi izin. Selain itu, pihak Persaudaraan Golput dianggap memperkeruh suasana dengan memasang spanduk yang menolak SBY-Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden B. Situasi Toleransi Beragama Kalau dibandingkan dengan kasus pelanggaran kebebasan beragama, maka yang sebenarnya banyak muncul di Jawa Tengah adalah kasus-kasus yang terkait dengan intoleransi diantara masyarakat sipil. Kasus itu banyak terjadi di lingkup
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
7
Menyapih Lara di Tengah Jawa
masyarakat sipil itu sendiri. Sehingga yang terjadi kemudian adalah penghakiman, penggerebagan, penyegelan dan tindakan lain yang bergejolak di tengah masyarakat sendiri. Tanggal 15 Desember 2008, pengusaha warung internet (warnet) merasa dirugikan karena terjadi penutupan terhadap usahanya tersebut. Hal itu dilakukan terkait maraknya peredaran video mesum di kalangan pelajar dan masyarakat. Sebab, tempat-tempat rawan itu dinilai menjadi salah satu penyebab. Sementara tindakan lain yang menjadi gejolak di tengah masyarakat adalah kasus yang melibatkan AKN seorang kiai yang juga pendiri SMK AKN Marzuqi. AKN diduga melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap siswa-siswa SMK tersebut. Konon, tindakan pelecehan tersebut telah berlangsung lama. Bahkan sang kiai, pernah memaksa seorang siswa dipaksa untuk menyodomi temannya. Pada 22 Desember 2008, kasus ini mulai diungkap ke permukaan. Arus liberalisasi pemikiran keagamaan menjadi sorotan pemerintah, terutama departemen agama. Dirjen Pendis Departemen Agama RI Prof Dr M. Ali mengingatkan agar pemikiran mahasiswa kampus Islam perlu diwaspadai karena cenderung ekstrem. Mereka terjebak sikap mendukung atau menolak secara fanatis, beberapa aliran pemikiran keislaman yang ada.(23 Desember 2008) Sementara kasus mengenai tuntutan penerapan Perda Miras juga semakin marak di Jawa Tengah. Puluhan santri yang mengatasnamakan Masyarakat Antiminuman Keras mendatangi gedung Pengadilan Negeri Purworejo, pada 9 Januari 2009. Mereka meminta kepada pihak pengadilan agar
8
merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 tahun 2006 tentang Larangan Miras dan Minuman Beralkohol dalam setiap sidang kasus miras. Tuntutan serupa juga ada di Kota Surakarta dan Kota Tegal pada saat yang hampir bersamaan, 16 Mei 2009. Di Tegal, menyusul banyaknya warga Kota Tegal yang menjadi korban akibat mengonsumsi minuman keras (miras) oplosan, DPRD Kota Tegal meminta kepada Mendagri dan Gubernur Jateng untuk meninjau ulang pembatalan Perda No 5 Tahun 2007 tentang Larangan Minuman Beralkohol. Selain di Tegal, perda miras juga sedang diidamkan pemerintah Kota Surakarta. Wali Kota Surakarta, Jokowi menegaskan, penyusunan rancangan perda tentang minuman keras, terus diproses Bagian Hukum Pemkot Surakarta dan paling cepat akan diajukan September mendatang. Dia mengaku sudah mengingatkan Bagian Hukum dan HAM, agar raperda itu segera diselesaikan penyusunannya dan diajukan ke DPRD untuk dibahas serta ditetapkan sebagai perda. Bahkan hingga laporan ini ditulis, di Surakarta Raperda Miras sudah dirampungkan. Dukungan untuk menerakan perda miras di Surakarta datang dari Front Pembela Islam (FPI). Mereka menurunkan massanya pada tanggal 22/5, menggelar unjuk rasa menuntut agar perda miras segera direalisasi. Aksi yang digelar di kawasan Gladag, sekitar pukul 14.30 itu, diikuti belasan anggota dari ormas tersebut. Mereka menggelar orasi di tengah jalan kawasan Gladag yang berlalu lintas cukup padat. Front Pembela Islam (FPI), menurunkan massanya, menggelar
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama
unjuk rasa menuntut agar perda miras segera direalisasi. Aksi yang digelar di kawasan Gladag, sekitar pukul 14.30 itu, diikuti belasan anggota dari ormas tersebut. Mereka menggelar orasi di tengah jalan kawasan Gladag yang berlalu lintas cukup padat. Terkait dengan tuntutan pembuatan perda yang mengatur soal “kemahiran beragama” dan moralitas, ada di Kabupaten Kudus. Seperti diberitakan di beberaa media pada 27/2, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kudus, Jawa Tengah segera membahas rancangan peraturan daerah (raperda) tentang pembelajaran kitab suci. Sampai Februari, raperda itu telah selesai disusun dan sudah melewati pertimbangan dari beberapa ahli. Perda pembelajaran kitab suci ini merupakan inisiatif dari legislatif dengan tujuan sebagai salah satu implementasi dari semboyan Kudus Kota Religius. Sementara aturan tentang moralitas dibuat Pemerintah Kabupaten Kudus yang tengah membahas rancangan peraturan daerah (raperda) pemberantasan pelacuran (6/4). Sanksi tegas terhadap pelanggar perda itu sudah disiapkan, yakni hukuman penjara selama tiga bulan dan denda hingga Rp5 juta. Saat memasuki masa kampanye pemilihan legislatif (4/3) muncul kasus yang sempat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Salatiga mengajukan keberatan atas penggunaan simbol-simbol agama Islam oleh beberapa calon anggota legislatif non Muslim di Salatiga. Persoalan ini mencuat ketika ditemukan bukti adanya pemasangan foto dan selebaran caleg tertentu dalam buku Surat Yasin, Tahlil, dan Istigfar. Sementara Sri Utami, salah seorang caleg yang dimaksud, ketika dikonfirmasi mengaku tidak ada niatan
untuk menggunakan buku Yasin untuk berkampanye. Sebetulnya penerbitan 2000 eksemplar buku Yasin itu dimaksudkan untuk memenuhi para konstituen di Kabupaten Kendal, bukan Salatiga. Dengan legawa, Sri meminta maaf jika penerbitan buku itu menyinggung perasaan umat Islam. Pada 7 April mencuat keluhan dari warga etnis Tionghoa Kelurahan Panggung Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal. Kali ini, etnis Tionghoa bukan terkait dengan SBKRI, melainkan makam leluhurnya yang sudah tidak bisa mereka temukan. Hal itu disebabkan oleh begitu menjamurnya rumah warga di atas lahan pekuburan warga Tionghoa. Masih di Kota Tegal, UNIT Reskrim Polsekta Tegal Selatan pada 15 April mengungkap sesuatu yang menarik saat memeriksa dukun Solikhin yang dihajar massa warga RT 04/RW 02, Kelurahan Debong Kulon, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal. Dibalik praktik pengobatan secara gaib, sang dukun yang masih membujang itu terungkap praktik pengajaran aliran yang diduga sesat bernama ”Tegak Mandiri”. Aliran itu diperoleh setelah dirinya mendalami Laku Ngelih atau melakukan puasa total tanpa makan dan minum pada hari-hari tertentu. Terutama tepat pada hari kelahirannya. Aksi intoleran yang muncul di bulan Mei terjadi pada tanggal 30. Radio Majelis Tafsir Al-Qur’an diperingatkan oleh Komisi Penyiaran Independen Daerah Jawa Tengah terkait dengan isi siarannya. Materi dakwah radio tersebut terlalu sensitif bagi kelompok umat Islam tertentu, Ketua MTA Solo, Ahmad Sukino sering menyebutkan tentang
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
9
Menyapih Lara di Tengah Jawa
tidak perlunya peringatan bagi orang yang telah meninggal pada hari ketiga, ketujuh, sampai peringatan 1.000 hari. Padahal, umat Islam dari golongan tertentu telah lazim melakukan peringatan tersebut, jamaah Nahdlatul Ulama (NU). Di ujung kulon provinsi Jawa Tengah, tepatnya di Kecamatan Bumiayu Kabupaten Brebes, ada kasus penutupan majelis dzikir al-Fitroh. Beberapa keterangan yang ada di media cetak menyebutkan, majelis dzikir yang dipimpin oleh Suratno (49) warga Desa Kalinusu, Kecamatan Bumiayu tersebut, aktivitasnya sering mengganggu warga sekitar. ”Mereka dzikir dengan suara keras. Kadang diiringi suara tangisan dan teriakan,” ucap Widani salah seorang warga setempat. Badan Amil Zakat (BAZ) Kota Semarang akan meluncurkan Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ) dalam upaya meningkatkan pengumpulan dan pengelolaan dana umat. Konsep NPWZ mengadopsi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang telah lebih dulu berjalan untuk pembayaran pajak warga negara. Demikian disampaikan Sekretaris BAZ Kota Semarang H Azhar Wibowo, ketika menerima studi banding BAZ Kota Surabaya pada 18 Juni. Intoleransi juga muncul dalam bentuk pernyataan-pernyataan tokoh agama, maupun pejabat publik. Saat menemui Kapolda Jawa Tengah, 27/6, Abu Bakar Ba’asyir mengatakan suatu negara bisa aman jika syariat Islam difungsikan, karena manusia tidak bisa diatur secara baik kecuali dengan ajaran Islam. Abu Bakar Ba’asyir juga mendesak Pemerintah RI, pada 20/8, agar mencabut SK Menperindag No 23/MPP/ 01/2001 tanggal 10 Januari 2001 yang
10
melegalkan hubungan perdagangan antara Indonesia dengan bangsa Israel. Pernyataan agak kontroversial muncul dari Pangdam IV Diponegoro Mayjen Haryadi Soetanto yang meminta masyarakat harus lebih peka terhadap ancaman terorisme. Saat apel kenegaraan pada 17/8 ia mengatakan, “Jika ada orang asing memakai sorban dan jubah serta berjenggot, laporkan saja ke pihak keamanan. Masyarakat harus lebih peka terhadap hal-hal seperti itu,” tegas Pangdam. Pernyataan ini kemudian menuai kontroversi. Sementara, tindakan yang melibatkan milisi sipil, dilakukan oleh FPI Surakarta dan Hizbullah Surakarta. Aksi pertama dilakukan oleh sekelompok aktivis Front Pembela Islam (FPI) menyegel beberapa rumah di Solo yang diduga kuat menjadi penampungan atau tempat praktik prostitusi bagi para pekerja seks komersial (PSK) pada 4/7. Aksi berikutnya dilakukan oleh massa Front Pembela Islam (FPI) Surakarta, pada Selasa (2/6) terlibat ketegangan dengan anggota Polres Klaten saat mendatangi kantor Kecamatan Wonosari untuk menyampaikan dukungan pemberantasan miras. Mereka kesal karena menduga nomor kendaraannya dicatat petugas tanpa izin. Setelah itu, puluhan anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) Surakarta juga terlibat bentrok dengan kelompok warga, di sekitar simpang tiga Karangwuni, Desa Dlimas, Ceper, Klaten, Sabtu (1/8) sekitar pukul 23.00 WIB. Bentrok itu diakibatkan oleh razia yang dilakukan FPI. Kegiatan laskar itu sebenarnya mensikapi peredaran miras menjelang bulan puasa. Selain FPI, Hizbullah juga bergerak gesit
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama
di Kota Surakarta. Gara-gara memutar lagu Genjer-genjer, salah satu radio swasta di Kota Solo, Solo Radio FM mendapat protes dari Laskar Hizbullah pada Senin 14/9. Laskar yang terdiri dari sekitar 20 orang bertopeng tersebut, Senin, menuntut Solo Radio FM untuk meminta maaf kepada masyarakat Indonesia, khususnya Kota Solo, karena telah menyiarkan lagu yang pernah dianggap rezim Orde Baru sebagai pembangkit semangat gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 10/7 muncul kisruh yang dipicu soal materi buku “Pendidikan Perdamaian Berbasis Islam” edisi try-out tahun 2009. MUI menilai materi dalam buku tersebut menyesatkan. Karena itu, pihak MUI merekomendasikan kepada Rektor UMS agar menghentikan peredaran buku tersebut. PSB-PS sendiri siap berdialog dengan MUI soal penilaian terhadap buku itu. Plt Ketua MUI Solo Dr dr Zaenal Arifin Adnan mengungkapkan surat MUI tersebut bermula dari laporan orangtua siswa MTsN 2 Solo kepada MUI.“Setelah menerima laporan, kami segera melakukan kajian khusus. Buku itu dikaji oleh Komisi Fatwa dan Komisi Hukum Syariah MUI Solo,” ujarnya. Salah satunya subjudul Tauhid adalah berpihak kepada kebenaran. MUI memberi catatan bahwa Tauhidlah yang mendorong seseorang melakukan kebenaran. Jika tolong menolong itu suatu kebenaran, MUI mempertanyakan bagaimana dengan tolong menolong dalam kejahatan. Sementara, sejumlah penyusun buku Pendidikan Perdamaian Berbasis Islam meminta adanya forum diskusi dengan MUI Kota Solo menyusul penilaian sesat terhadap buku tersebut. Asyhuri, salah seorang
penyusun buku itu saat dihubungi Espos, mengaku tidak sepakat jika buku itu harus dimusnahkan. Menurut Asyhuri, tidak semua materi yang dibahas dalam buku itu bertentangan dengan ajaran-ajaran norma agama seperti yang dituduhkan MUI Kota Solo. Asyhuri mencontohkan, dalam buku itu pihaknya menyumbangkan satu buah materi tentang Ihsan dan Keadilan yang mengajak manusia untuk senantiasa berbuat adil kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Asyhuri menambahkan, mestinya buku itu tidak untuk dimusnahkan, melainkan perlu adanya revisi terhadap materi yang bermasalah saja. Saat ramai-ramainya gerakan terorisme, pada 18/8, 12 Orang warga Sulawesi pengikut Jamaah Tabligh diciduk polisi di Purbalingga, Banyumas, Jawa Tengah. Ketika diamankan, 12 orang tersebut sedang berada di Masjid Nurul Huda, Desa Sida Kangen, Kecamatan Kalimanah, Purbalingga. Ternyata 12 orang tersebut sama sekali tidak terkait dengan gerakan terorisme. Wakil Bupati Kudus, Budiyono, diadukan Forum Umat Agama Damai Jateng ke polisi. Orang nomor dua di Pemkab Kudus ini diduga telah menyinggung perasaan agama tertentu saat memberikan sambutan pada sebuah upacara. “Isi sambutan wakil bupati ini diduga telah mendeskreditkan pihak tertentu,” ungkap Raja Sufi Y, koordinator Forum Umat Agama Damai, di Mapolda Jateng, Senin (24/8). Menurut dia, ada beberapa orang yang menjadi sasaran dalam pidato yang bersangkutan. Sehingga meresahkan para karyawan di lingkungan Pemkab Kudus.
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
11
Menyapih Lara di Tengah Jawa
Padahal, sebagai seorang pemimpin Budiono hendaknya menghindari sikap yang bisa memicu persoalan di lingkungan kerjanya. Wakil Bupati Kudus, Budiyono yang dikonfirmasi membantah tudingan LSM tersebut. Ia pun bahkan mengaku belum menerima pemberitahuan tentang adanya pengaduan dari LSM ke Polda Jateng. Ia hanya menyampaikan jika pada acara pengajian di PKK yang menjadi tugas Ketua Pokja I.“Mestinya, yang menjabat posisi itu yang memimpin. Bukan Ketua Pokja lain yang memang kebetulan non muslim,” jelasnya. Kejadian yang cukup menyita banyak perhatian muncul kala umat Islam menjalankan ibadah puasa. Gereja Kristen Jawa (GKJ) Manahan di Kota Solo memiliki tradisi yang sangat unik pada setiap bulan puasa. Sebagai wujud toleransi kepada umat Islam, pihak GKJ selalu menyediakan paket berbuka puasa berupa paket buka seharga Rp 500. Kegiatan ini sudah berlangsung selama 13 tahun dan mendapat sambutan dari umat Islam setempat. Wajar, karena paket murah itu sangat bisa dijangkau oleh umat Islam yang berada di sekitar Gereja. Antusiasme itu bisa dilihat dari jumlah warga yang terus bertambah. Tahun ini, tak kurang dari 500 paket habis terjual. Namun, tahun ini ada program tersebut sempat mengalami ganjalan. Baru satu minggu berjalan, Poltabes Surakarta meminta kepada pengurus Gereja Kristen Jawa (GKJ) Manahan di Kota Solo untuk menghentikan program penjualan paket buka tersebut. Alasannya demi menjaga kondusivitas karena ada sejumlah elemen masyarakat yang tidak setuju dengan kegiatan tersebut.
12
Setelah munculnya instruksi penghentian kegiatan tersebut, sejumlah elemen masyarakat melakukan audiensi dengan pihak kepolisian di Mapoltabes Solo pada Senin 31 Agustus 2009. Kisruh tentang masalah ini berhasil diredam dengan mengembalikan esensi audiensi yang sedang dibicarakan saat ini oleh sejumlah peserta yang hadir. Sejumlah peserta menegaskan bahwa Program Nasi Peduli Kasih dibuka kembali mulai hari Selasa (1/9) dengan perubahan teknis yang akan dibicarakan kemudian oleh sejumlah LSM yang hadir maupun pihak GKJ Manahan. Dan dalam kesempatan ini pihak Kepolisian memberikan ketegasan sekaligus jaminan kepada pihak GKJ untuk membuka kembali Program Nasi Peduli Kasih yang sempat terhenti sejak hari Jum’at (28/8). Merasa didiskreditkan, ratusan warga LDII dari Desa Krakitan, Bayat, menggeruduk Mapolsek setempat, Sabtu (19/9) pagi. Aksi massa tersebut merupakan bentuk protes mereka terhadap tindakan seorang ustadz bernama SR warga Dukuh Jombor, Krakitan, Bayat. ustadz tersebut diduga telah mendiskreditkan warga LDII di dalam beberapa forum. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan SR kemudian dijemput dan diamankan di Mapolsek Bayat. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pihak Polsek meng gelar forum untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Dalam pertemuan yang juga dihadiri Camat Bayat, Kapolsek AKP Widji DM, atas permintaan warga LDII, SR bersedia menandatangani surat pernyataan permintaan maaf. Kasus keagamaan lain yang cukup menggejolak adalah terkait dengan aliran Sabda Kusumo di Kabupaten Kudus. MUI
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama
Kabupaten Kudus menyatakan bahwa Sabdo Kusumo dalah aliran yang sesat. Hal tersebut sebagai tindak lanjut temuan berkas ajaran diduga dari kelompok tersebut, berisi syahadat yang tidak lazim. Dewan Pimpinan MUI Kudus melalui surat pernyataan bernomor K.30/MUI/XI/2009 menyatakan bahwa hal tersebut merupakan aliran sesat. dalam berkas yang dihadirkan pada rapat di Kesbangpolinmas 9 November lalu, ada syahadat tertulis ”Asyhadu Anlaa Ilaaha Illallaah, wa asyhadu anna Sabdo Kusumo Rasulullah”. Sementara, Sabdo Kusumo alias Kusmanto yang juga menyebut dirinya sebagai Eyang Anom membantah telah membuat diktat berisi kalimat syahadat yang diduga diselewengkan. Pada hari Rabu, 25 November 2009, Pengadilan Negeri Klaten Jawa Tengah menggelar sidang kasus penghinaan dan penodaan agama dengan terdakwa Drs FX Marjana, dosen Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Widya Dharma (Unwidha) Klaten. Dosen Kopertis Wilayah VI Jateng itu, diadukan oleh Front Umat Islam (FUI) Klaten atas laporan dari mahasiswa FKIP Unwidha (Setiyadi, Muskus, Anisa dan Anita), dijerat pasal 156 a KUHP dengan kasus penghinaan dan penodaan agama (delik agama). Ucapan Marjana yang dianggap sebagai penistaan ajaran agama Islam antara lain, “Zaman sekarang ini adalah zaman batu. Hindu menyembah Candi Prambanan, Budha menyembah Candi Borobudur, dan Islam menyembah Ka’bah.” Menurut Basuna, Ketua Forum Umat Islam Klaten, dengan perkataanya itu maka Marjana telah menyamakan agama yang satu dengan yang lain dan menyebut ketiga umat beragana
itu sebagai penyembah batu. Di akhir tahun, tepatnya tanggal 6/12, tindakan intoleransi hadir di Temanggung. Sebuah tempat ibadah milik sebuah organisasi keagamaan, LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia), di Desa Tlogowiro, Kecamatan Bansari, Temanggung, Jawa Tengah (Jateng) dirusak dan dibakar massa yang tak jelas identitasnya. Selain melakukan perusakan pada konstruksi bangunan, puluhan orang juga membakar sejumlah properti yang ada di dalam tempat ibadah tersebut. Aksi anarkis berbau SARA ini diduga dipicu kemarahan warga yang tidak menerima aliran agama yang dianut jemaah organiasasi keagamaan itu. C. Kemajuan Kebebasan Beragama di Indonesia Selain membahas situasi keagamaan dan pelanggaran kebebasan beragama, berkeyakinan dan berekspresi, laporan ini juga merekam beberapa perkembangan yang terpantau oleh kami. Meski intoleransi tetap ada diantara masyarakat sipil, tetapi ada beberapa peristiwa yang bisa dikatakan sebagai langkah progresif dalam menginisiasi perdamaian di tingkatan akar rumput. Beberapa diantaranya sudah diinisiasi oleh pemerintahan desa. Seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Desa Genting, Jambu Kabupaten Semarang, melalui Festival Anak Saleh yang diikuti 450 anak dari keluarga Muslim dan Nasrani sedesa ini, pada 23-24 Mei 2009. Mereka diajarkan langsung mengenai hidup bersama dan menyelesaikan masalah dengan nuansa kebersamaan. Hal lain juga dilakukan oleh GKJ di Demak. Berbeda dengan GKJ Solo yang
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
13
Menyapih Lara di Tengah Jawa
sempat bermasalah saat melaksanakan program nasi murah untuk buka puasa, GKJ Demak bekerjasama dengan Pemerintah Desa Bandungrejo Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak mendapatkan antusiasme masyarakat saat menggelar program Sembako Murah. Kegiatan itu mereka laksanakan menjelang Idul Fitri, dimana harga kebutuhan sembako meroket di pasaran. Jalinan persaudaraan juga diupayakan oleh Komunitas Tionghoa dan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah. Ratusan umat Tionghoa Jawa Tengah dan warga Nahdlatul Ulama (NU) Jateng menggelar doa bersama untuk kesembuhan Gus Dur di Replika Kapal Cheng Ho, kawasan Klenteng Tay Kak Sie Gang Lombok Semarang, pada 5 September. Kegiatan itu, merupakan wujud nyata pembauran antar etnis dan agama. Bupati Sukoharjo, H Bambang Riyanto, SH. MH, merestui kehendak jemaat Gereja Kristen Jawa (GKJ) Daleman, Baki Sukoharjo untuk melakukan kebhaktian. Pernyataan Bupati Sukoharjo itu disampaikan saat menerima audiensi pengurus GKJ Daleman, Baki, Rabu, di Ruang Kerja Bupati Sukoharjo, yang didampingi Wakil Bupati Sukoharjo Drs. H. Muhamad Toha, M.Si. Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Sukoharjo, Drs.Ign. Indra Surya, M.Hum dan Kepala Kesbanglinmas Sukoharjo, Rusmanto, MH. Sedangkan dari pihak GKJ Daleman Baki tampak hadir Tri Joko Yuwono, dan Kristanto, Rabu (9/9). FKUB Kota Surakarta memberikan pedoman yang cukup progresif dalam perizinan rumah ibadah. Mereka yang hendak mendirikan bangunan Mushola atau Langgar (Islam), Kapel atau Stasi (Katholik), Cabang
14
atau Pepanthan (Protestan), Sanggar (Hindu) dan Cetya (Budha) tidak perlu mengajukan IMB kepada Walikota atau mendapatkan rekomendasi dari KakanDepag dan FKUB. tempat ibadah yang harus dimintakan izin IMB kepada Walikota dan diberikan dengan rekomendasi Kepala Kantor Departemen Agama dan rekomendasi FKUB Kota Surakarta, diantaranya; Bangunan Masjid (Islam), Gereja (Katholik dan Protestan), Pura (Hindu), Vihara (Budha) dan Kelentheng (Kong Hu Cu). V. Analisis dan Rekomendasi Berdasarkan temuan di lapangan, maka bisa dikatakan bahwa hal yang mencolok dari kehidupan keberagamaan di tahun 2009 adalah maraknya aksi yang dilakukan oleh milisi sipil, terutama di daerah selatan Jawa Tengah (Surakarta dan sekitarnya). Ada dua kemungkinan yang timbul dari “kesigapan” polisi swasta ini. Pertama, hal itu sebagai bentuk partisipasinya masyarakat dalam menjaga ketertiban masyarakat. Kedua, lemahnya penegak hukum sehingga ada distrust dari masyarakat yang kemudian menyebabkan gerakan over-reactive yang diperankan oleh milisi-milisi swasta tersebut. Dalam kasus yang terjadi di Surakarta, alihalih sebagai bentuk partisipasi, yang terjadi adalah justru kerugian yang ditimbulkan karena setiap ada aksi turun jalan mesti dibarengi dengan kekerasan. Bentrokan FPI dengan warga maupun pihak keamanan, adalah bukti bahwa mereka tidaklah sedang berpartisipasi menjaga ketertiban. Ada kemungkinan alasan kedua yang mendorong milisi swasta tersebut bergerak secara bringas. Disini ketegasan pihak aparat perlu
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama
ditekankan, termasuk ketegasan menindak para “polisi swasta” yang bertindak sesuka hati. Hubungan antar umat beragama yang hendak dibangun juga tidak sepenuhnya mulus. Kasus Nasi murah bulan puasa yang diselenggarakan GKJ Manahan Solo, menjadi cermin, betapa sikap saling curiga masih terus terpelihara. Lokus pelaksnaan kegiatan yang mengambil tempat di Gereja, dituding menyimpan rencana untuk kegiatan keagamaan. Sebelum dilaksanakannya penutupan (sementara) ada pentingnya jika hal itu didialogkan terlebih dahulu. Dialog dilakukan justru setelah aparat meminta penutupan kegiatan tersebut. Forum Kerukunan Umat Beragama, sebagai lembaga yang paling berkompeten untuk mengupayakan kehidupan keagamaan yang lebih baik, juga belum berperan banyak. Ini artinya bahwa FKUB perlu diberikan perspektif (HAM, Pluralisme dan Demokrasi) tentang apa yang seharusnya dilaksanakan sebagai sebuah lembaga yang punya peran strategis dalam membangun kerukunan keagamaan. Jika dilihat dari subjek atau pelaku pelanggaran, maka terlihat cukup bervariatif. Tetapi yang paling banyak tindakan intoleran itu ada di level masyarakat sipil, dengan tentunya tanpa mengabaikan kemungkinan peran pemerintah di dalamnya. Dengan begitu, maka transformasi pemahaman keagamaan yang moderat sesungguhnya mesti berjangkar pada kalangan akar rumput. Atas dasar itu maka, kami memberikan rekomendasi kepada beberapa pihak untuk menjadi inisiator dalam upaya membangun perdamaian di Jawa Tengah khususnya. Yang
pertama, pemerintah desa. Di desa-desa dengan komposisi penduduk yang heterogen, gesekan-gesekan yang berakibat negatif sudah pasti menjadi tantangan. Tetapi bukan tidak mungkin, heterogenitas itu menjadi ladang yang baik bagi upaya menyemai benih kerukunan. Pemerintah Desa Genting, Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang telah melakukan upaya itu dengan cukup baik. Hal itu juga diikuti oleh Pemerintah Desa Bandungrejo Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak. Bekerjasama dengan Gereja Kristen Jawa (GKJ) mereka menggelar Pasar Murah di balai desa setempat untuk mengantisipasi meroketnya harga kebutuhan pokok menjelang Idul Fitri. Rekomendasi berikutnya diberikan kepada FKUB. Inisiatif FKUB Surakarta denganm menerbitkan pedoman pembangunan rumah ibadah yang memberi kemudahan dalam membangun rumah “ibadah kecil” patut diacungi jempol. Hanya saja yang paling urgen dalam membantuk FKUB yang lebih profesional adalah memberi perspektif tentang HAM, Pluralisme dan Demokrasi terhadap lembaga ini. Karena optik inilah yang harus menjadi bagian integral dari FKUB, karena mau tidak mau mereka akan berhadapan dengan faktafakta yang terkait dengan masalah ini. Selain itu, kelompok lintas agama, harus menjalin hubungan tidak hanya dengan sesama kelompok lintas agama, tetapi juga dengan lembaga lain yang bergerak di pelbagai isu. Jalinan dengan lembaga non pemerintah yang menggarap isu hukum, perempuan, anak jalanan, juga penting untuk dilakukan. Kasus yang menimpa GKJ Manahan adalah salah satu contoh yang baik
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
15
Menyapih Lara di Tengah Jawa
untuk menggambarkan situasi ini. Program Nasi Murah bisa dibuka kembali karena semua kelompok LSM yang ada di Surakarta
dan sekitarnya bahu membahu membangun persaudaraan atas dasar toleransi dan kerukunan.
SUMBER Antara.co.id Detik.com Harian Seputar Indonesia (Jawa Tengah dan DIY) Harian Solo Pos Harian Suara Merdeka Kompas.com Koran Sore Wawasan Mediakeberagaman.com Okezone.com Radar Kudus Radar Semarang The Wahid Institute, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008: Menapaki Bangsa Yang Kian Retak, Jakarta: The Wahid Institute, 2008 tempointeraktif.com Weinata Sairin, Himpunan Peraturan di Bidang Keagamaan, Jakarta: BPK, 1996
16
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama
MATRIKS MONITORING PELANGGARAN KEBEBASAN BERAGAMA DESEMBER 2008-NOVEMBER 2009 PROVINSI JAWA TENGAH No. 1.
2.
Kasus
Waktu
Lokasi
Ilustrasi Peristiwa
Pelaku
Pemerintah Penolakan 30 Agustus Kabupaten Pemerintah Kecamatan pembangunan 2008 Semarang Getasan Kabupaten Semarang Kecamatan, Gereja Metodis melalui Surat bernomor 642.I/ GKJTU, FUI Indonesia 383 menolak pembangunan Gereja Metodis Indonesia (GMI). Surat itu dikeluarkan sebagai tindak lanjut rapat kordinasi perihal pengaduan masyarakat Dusun Kerangkeng Desa Batur yang dilaksanakan tanggal 26 Agustus 2008. Pengaduan itu diteruskan dengan rapat yang difasilitasi pihak kecamatan dengan mengumpulkan Kepala Desa Batur, Kadus, Pengurus Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU), Pengurus Forum Umat Islam (FUI) setempat. Pembubaran Jalsah Salanah Jateng & DIY
2 Januari 2009
Semarang Pengajian Jemaat Ahmadiyyah Indonesia (JAI) Semarang di Pondok Pesantren Soko Tunggal, Sendangguwo Semarang, Jum’at (2/1/09) dibubarkan aparat keamanan yang merupakan gabungan dari Polda Jawa Tengah, Polwiltabes Semarang dan Kepolisian Resort Semarang Selatan. Pihak keamanan menengarai, kegiatan yang sedianya berlangsung dari Jum’at hingga Minggu (4/1/09) itu belum mendapatkan izin pelaksanaan. Pihak kepolisian hanya menerima surat
Korban Jemaat GMI
Polda Jawa JAI Tengah, Semarang, Polwiltabes Jawa Semarang Tengah dan dan DIY Kepolisian Resort Semarang Selatan
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
17
Menyapih Lara di Tengah Jawa pemberitahuan dari pimpinan Pesantren Soko Tunggal yang ditandantangani oleh pengasuh pesantren setempat, Dr. KH. Nuril Arifin Husein, MBA. 3
Polisi Bubarkan Kongres Golput
3/10
Kota Surakarta
Rencana pertemuan Kongres Golput IV di Solo berlangsung tegang. Pihak kepolisian tetap melarang berlangsungnya kongres. Adu perdebatan Sri Bintang Pamungkas sebagai presiden nasional persaudaraan golongan putih (Golput) dengan polisi pun tak bisa dihindarkan. Polisi mensinyalir, pertemuan tersebut tidak mengantongi izin. Selain itu, pihak Persaudaraan Golput dianggap memperkeruh suasana dengan memasan spanduk yang menolak SBY-Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden
Kepolisian
Persaudaraan Golput
MATRIKS MONITORING SITUASI KEHIDUPAN KEAGAMAAN DESEMBER 2008-NOVEMBER 2009 PROVINSI JAWA TENGAH
No. 1.
Kasus
Waktu
Penertiban 15 Tempat Mesum Desember 2008
18
Lokasi
Ilustrasi Peristiwa
Pelaku
Korban
Brebes
Pemerintah Kabupaten Brebes, berniat untuk menertibkan tempat-tempat yang dinilai rawan tindakan mesum (termasuk warnet). Hal itu dilakukan terkait maraknya peredaran video mesum di kalangan pelajar dan masyarakat-
Pemkab Brebes
Pengusaha Warung Internet
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama Sebab, tempat-tempat rawan itu dinilai menjadi salah satu penyebab. Ahmad Khoirun Nashihin, seorang kiai yang juga pendiri SMK AKN Marzuqi diduga melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap siswa-siswa SMK tersebut. Konon, tindakan pelecehan tersebut telah berlangsung lama. Bahkan sang kiai, pernah memaksa seorang siswa dipaksa untuk menyodomi temannya.
2.
Pelecehan Seksual Kyai terhadap Santrinya
22 Desember 2008
Pati
3.
Pemikiran Mahasiswa Islam Diwaspadai
23 Desember 2008
Semarang
Dirjen Pendis Departemen Dirjen Mahasiswa Agama RI Prof Dr M. Ali Pendis mengingatkan agar pemikiran Departemen mahasiswa kampus Islam perlu Agama RI diwaspadai karena cenderung Prof Dr M. ekstrem. Mereka terjebak sikap Ali. mendukung atau menolak secara fanatis, beberapa aliran pemikiran keislaman yang ada.
4.
Tuntutan Terapkan Perda Miras
9 Januari 2009
Purworejo
Puluhan santri yang Masyarakat Pengusaha mengatasnamakan Masyarakat Antiminuman Minuman Antiminuman Keras Keras mendatangi gedung Pengadilan Negeri Purworejo. Mereka meminta kepada pihak pengadilan agar merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 tahun 2006 tentang Larangan Miras dan Minuman Beralkohol dalam setiap sidang kasus miras.
5.
Kudus Siapkan 27 Februari Perda Pembelajaran Kitab Suci
Kudus
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kudus, Jawa Tengah segera membahas rancangan peraturan daerah (raperda) tentang pembelajaran kitab
Ahmad Khoirun Nasihin
DPRD Kudus
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
27 Santri/ Siswa SMK AKN Telkom Terpadu Pati
Masyarakat
19
Menyapih Lara di Tengah Jawa
6.
MUI Berang, Caleg Non Muslim Kampanye di Buku Surat Yasin
4 Maret 2009
7. Etnis Tionghoa Kesulitan Berziarah
7 April
Kudus Menggodok Perda Pelacuran
6 April
8.
20
Salatiga
suci. Sampai Februari, raperda itu telah selesai disusun dan sudah melewati pertimbangan dari beberapa ahli. Perda pembelajaran kitab suci ini merupakan inisiatif dari legislatif dengan tujuan sebagai salah satu implementasi dari semboyan Kudus Kota Religius. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Salatiga mengajukan keberatan atas penggunaan simbol-simbol agama Islam oleh beberapa calon anggota legislatif non Muslim di Salatiga. Persoalan ini mencuat ketika ditemukan bukti adanya pemasangan foto dan selebaran caleg tertentu dalam buku Surat Yasin, Tahlil, dan Istigfar.
Anggota Caleg
Umat Islam via MUI
Kota Tegal Warga etnis Tionghoa Kelurahan Masyarakat Etnis Panggung Kecamatan Tegal Tionghoa Timur Kota Tegal kembali didera persoalan. Kali ini bukan terkait dengan SBKRI, melainkan makam leluhurnya yang sudah tidak bisa mereka temukan. Hal itu disebabkan oleh begitu menjamurnya rumah warga di atas lahan pekuburan warga Tionghoa. Kudus
Pemerintah Kab. Kudus tengah membahas rancangan peraturan daerah (raperda) pemberantasan pelacuran. Sanksi tegas terhadap pelanggar perda itu sudah disiapkan, yakni hukuman penjara selama tiga bulan dan denda hingga Rp5 juta.
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Pemkab Kudus
Masyarakat
Lembaga Studi Sosial dan Agama
9.
Ajarkan Aliran Tegak Mandiri, Sholihin Dihajar Masa
15 April
Kota Tegal
10.
Pedagang Diajak Tinggalkan Pekerjaan saat Azan
14 Mei
Kota KH Su’udi, penceramah dalam KH Su’udi Masyarakat Pekalongan pengajian yang diadakan oleh Persatuan Pemuda Sampangan (Perpas) Pekalongan Timur menggelar pengajian di Mushala Al Amin, kompleks Pasar Banjarsari mengajak hadirin yang datang dalam pengajian itu untuk meninggalkan pekerjaannya dan langsung menjalankan shalat saat terdengar panggilan adzan.
11.
Ramai-ramai Siapkan Perda Miras
16 Mei
Kota Tegal Minggu-minggu ini dua daerah dan Kota di Jawa Tengah Kota Tegal dan Surakarta Surakarta kembali hangat membincangkan masalah peraturan daerah tentang minuman keras. Di Tegal, menyusul banyaknya warga Kota Tegal yang menjadi korban akibat mengonsumsi
UNIT Reskrim Polsekta Tegal Masyarakat Sholihin (Pendiri Selatan mengungkap sesuatu Ajaran yang menarik saat memeriksa Tegak dukun Solikhin yang dihajar Mandiri) massa warga RT 04/RW 02, Kelurahan Debong Kulon, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal.Karena dibalik praktik pengobatan secara gaib, sang dukun yang masih membujang itu terungkap praktik pengajaran aliran yang diduga sesat bernama ’’Tegak Mandiri’’.Aliran itu diperoleh setelah dirinya mendalami Laku Ngelih atau melakukan puasa total tanpa makan dan minum pada hari-hari tertentu. Terutama tepat pada hari kelahirannya.
Pemkot Tegal dan Surakarta
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Masyarakat
21
Menyapih Lara di Tengah Jawa minuman keras (miras) oplosan, DPRD Kota Tegal meminta kepada Mendagri dan Gubernur Jateng untuk meninjau ulang pembatalan Perda No 5 Tahun 2007 tentang Larangan Minuman Beralkohol.Selain di Tegal, perda miras juga sedang diidamkan pemerintah Kota Surakarta. Wali Kota Surakarta, Jokowi menegaskan, penyusunan rancangan perda tentang minuman keras, terus diproses Bagian Hukum Pemkot Surakarta dan paling cepat akan diajukan September mendatang. Dia mengaku sudah mengingatkan Bagian Hukum dan HAM, agar raperda itu segera diselesaikan penyusunannya dan diajukan ke DPRD untuk dibahas serta ditetapkan sebagai perda.
12.
FPI Tuntut Realisasi Perda Miras
22/5
13.
Radio MTA Menyinggung Warga NU
30/5
22
Kota Surakarta
Front Pembela Islam (FPI), menurunkan massanya, menggelar unjuk rasa menuntut agar perda miras segera direalisasi. Aksi yang digelar di kawasan Gladag, sekitar pukul 14.30 itu, diikuti belasan anggota dari ormas tersebut. Mereka menggelar orasi di tengah jalan kawasan Gladag yang berlalu lintas cukup padat. Kota Radio Majelis Tafsir Al-Qur’an Surakarta diperingatkan oleh Komisi Penyiaran Independen Daerah Jawa Tengah terkait dengan isi siarannya. Materi dakwah radio tersebut terlalu sensitif bagi
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
FPI Surakarta
Radio MTA
Umat Islam, khususnya NU
Lembaga Studi Sosial dan Agama kelompok umat Islam tertentu, Ketua MTA Solo, Ahmad Sukino sering menyebutkan tentang tidak perlunya peringatan bagi orang yang telah meninggal pada hari ketiga, ketujuh, sampai peringatan 1.000 hari. Padahal, umat Islam dari golongan tertentu telah lazim melakukan peringatan tersebut, terutama kaum Nahdlatul Ulama (NU).
14. Warga Hentikan
16/6
Kabupaten Brebes
Warga Desa Majelis Informasi yang diperoleh menyebutkan, majelis dzikir Kaliwadas, Dzikir AlFitroh yang dipimpin oleh Suratno Bumiayu Brebes. (49) warga Desa Kalinusu, Kecamatan Bumiayu tersebut, aktivitasnya sering mengganggu warga sekitar. ’’Mereka dzikir dengan suara keras. Kadang diiringi suara tangisan dan teriakan,’’ ucap Widani salah seorang warga setempat.
15.
BAZ Kota Semarang akan Luncurkan Nomor Pokok Wajib Zakat
18/6
Kota Semarang
Badan Amil Zakat (BAZ) Pemerintah Kota Semarang akan Kota meluncurkan Nomor Pokok Semarang Wajib Zakat (NPWZ) dalam upaya meningkatkan pengumpulan dan pengelolaan dana umat. Konsep NPWZ mengadopsi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang lebih dulu berjalan untuk pembayaran pajak warga negara.
16.
Negara bisa aman jika syariat Islam difungsikan
27/6
Kota Semarang
Saat menemui Kapolda Jawa Abu Bakar Tengah Abu Bakar Ba’asyir Ba’asyir mengatakan suatu negara bisa aman jika syariat Islam
Majelis Dzikir Al Fitroh
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
23
Menyapih Lara di Tengah Jawa difungsikan, karena manusia tidak bisa diatur secara baik kecuali dengan ajaran Islam.
17. Front Pembela
4/7
Kota Surakarta
Sekelompok aktivis Front Pembela Islam (FPI) menyegel beberapa rumah di Solo yang diduga kuat menjadi penampungan atau tempat praktik prostitusi bagi para pekerja seks komersial (PSK)
FPI Surakarta
18.
Dicurigai Teroris12 Pengikut Jamaah Tabligh Diciduk Polisi
18/8
Kabupaten Purbalingga
12 Orang warga Sulawesi pengikut Jamaah Tabligh diciduk polisi di Purbalingga, Banyumas, Jawa Tengah. Ketika diamankan, 12 orang tersebut sedang berada di Masjid Nurul Huda, Desa Sida Kangen, Kecamatan Kalimanah, Purbalingga.
Polres Purbalingga
19.
Pangdam IV DiponegoroLaporkan orang Asing yang Bersorban
17/8
Kota Semarang
20.
Abu Bakar Ba’asyir: PUTUSKAN HUBUNGAN DAGANG DENGAN ISRAEL
20/8
Islam segel rumah penampungan PSK
24
Pangdam IV Diponegoro Pangdam Umat Mayjen Haryadi Soetanto IV Islam meminta masyarakat harus Diponegoro (Bersorban lebih peka terhadap ancaman dan terorisme. “Jika ada orang berjenggot) asing memakai sorban dan jubah serta berjenggot, laporkan saja ke pihak keamanan. Masyarakat harus lebih peka terhadap hal-hal seperti itu,” tegas Pangdam. Pernyataan ini kemudian menuai kontroversi
Kabupaten Penasehat Pondok Pesantren Abu Bakar Sukoharjo Al Mukmin, Ngruki, Ba’asyir Cemani, Sukoharjo, Ustad Abu Bakar Ba’asyir mendesak Pemerintah RI mencabut SK Menperindag No 23/MPP/ 01/2001 tanggal 10 Januari
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama 2001 yang melegalkan hubungan perdagangan antara Indonesia dengan bangsa Israel.
21.
Kisruh Buku Pendidikan Perdamaian Berbasis IslamMUI Solo Minta UMS Tarik Peredaran Buku
10/7
22.
Dituduh Menistakan Agama, Wakil Bupati Kudus Diadukan ke Polisi
10/8
23.
Kisruh Program Buka Puasa di GKJ Solo
28/8
Kota Surakarta
Kisruh dipicu soal materi buku “Pendidikan Perdamaian Berbasis Islam” edisi try-out tahun 2009. MUI menilai materi dalam buku tersebut menyesatkan. Karena itu, pihak MUI merekomendasikan kepada Rektor UMS agar menghentikan peredaran buku tersebut. PSB-PS sendiri siap berdialog dengan MUI soal penilaian terhadap buku itu. Kabupaten Wakil Bupati Kudus, Kudus Budiyono, diadukan Forum Umat Agama Damai Jateng ke polisi. Orang nomor dua di Pemkab Kudus ini diduga telah menyinggung perasaan agama tertentu saat memberikan sambutan pada sebuah upacara, Kota Surakarta
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Manahan di Kota Solo memiliki tradisi yang sangat unik pada setiap bulan puasa. Sebagai wujud toleransi kepada umat Islam, pihak GKJ selalu menyediakan paket berbuka puasa berupa paket buka seharga Rp 500. Kegiatan ini sudah berlangsung selama 13 tahun dan mendapat sambutan dari umat Islam setempat. Namun, tahun ini
MUI Kota Surakarta
Penulis Buku
Wakil Bupati Kudus
Poltabes Surakarta atas desakan “pihak tertentu”
Peserta acara program nasi murah GKJ
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
25
Menyapih Lara di Tengah Jawa
24.
FPI Ribut dengan Polisi, Ancam Sisir Miras
2/6
ada program tersebut terancam tidak bisa lagi dijalankan. Baru satu minggu berjalan, Poltabes Surakarta meminta kepada pengurus Gereja Kristen Jawa (GKJ) Manahan di Kota Solo untuk menghentikan program penjualan paket buka tersebut. Kabupaten Massa Front Pembela Islam Klaten (FPI) Surakarta, Selasa (2/6) terlibat ketegangan dengan anggota Polres Klaten saat mendatangi kantor Kecamatan Wonosari untuk menyampaikan dukungan pemberantasan miras. Mereka kesal karena menduga nomor kendaraannya dicatat petugas tanpa izin.
FPI Surakarta
Polres Klaten
25. Razia Miras, FPI terlibat bentrok dengan warga
1/8
Kabupaten Klaten
Puluhan anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) Surakarta terlibat bentrok dengan kelompok warga, di sekitar simpang tiga Karangwuni, Desa Dlimas, Ceper, Klaten, Sabtu (1/8) sekitar pukul 23.00 WIB. Bentrok itu diakibatkan oleh razia yang dilakukan FPI. Kegiatan laskar itu sebenarnya mensikapi peredaran miras menjelang bulan puasa.
FPI Surakarta
Warga
26. Siarkan Genjergenjer, Solo Radio Didatangi Hizbullah
14/9
Kota Surakarta
Gara-gara memutar lagu Genjer-genjer, salah satu radio swasta di Kota Solo, Solo Radio FM mendapat protes dari Laskar Hizbullah pada Senin 14/9. Laskar yang
Laskar Hizbullah
Solo Radio FM
26
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama terdiri dari sekitar 20 orang bertopeng tersebut, Senin, menuntut Solo Radio FM untuk meminta maaf kepada masyarakat Indonesia, khususnya Kota Solo, karena telah menyiarkan lagu yang pernah dianggap rezim Orde Baru sebagai pembangkit semangat gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
27.
28.
29.
Ustadz SR Diskreditkan LDII
19/9
Kabupaten Merasa didiskreditkan, ratusan warga Klaten LDII dari Desa Krakitan, Bayat, menggeruduk Mapolsek setempat, Sabtu (19/9) pagi. Aksi massa tersebut merupakan bentuk protes mereka terhadap tindakan seorang ustadz bernama SR warga Dukuh jombor, Krakitan, Bayat.
Ustadz SR
LDII
MUI Anggap 12-12/ Kabupaten MUI Kabupaten Kudus menyatakan MUI Sabdo Sabdo Kusumo 11 Kudus bahwa Sabdo Kusumo dalah aliran Kabupaten Kusumo Sesat yang sesat. Hal tersebut sebagai Kudus tindak lanjut temuan berkas ajaran diduga dari kelompok tersebut, berisi syahadat yang tidak lazim. Dewan Pimpinan MUI Kudus melalui surat pernyataan bernomor K.30/MUI/ XI/2009 menyatakan bahwa hal tersebut merupakan aliran sesat. dalam berkas yang dihadirkan pada rapat di Kesbangpolinmas 9 November lalu, ada syahadat tertulis ’’Asyhadu Anlaa Ilaaha Illallaah, wa asyhadu anna Sabdo Kusumo Rasulullah’’. Sementara, Sabdo Kusumo alias Kusmanto yang juga menyebut dirinya sebagai Eyang Anom membantah telah membuat diktat berisi kalimat syahadat yang diduga diselewengkan. Sidang Tuduhan Penodaan
25/11 Kabupaten Klaten
Pengadilan Negeri Klaten Jawa Tengah menggelar sidang kasus penghinaan dan penodaan agama
FUI Klaten
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
FX Marjana
27
Menyapih Lara di Tengah Jawa Agama terhadap Dosen Unwidha Klaten
dengan terdakwa Drs FX Marjana, dosen Fakultas Kepeguruan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Widya Dharma (Unwidha) Klaten, Rabu (25/ 11).Dosen Kopertis Wilayah VI Jateng itu, diadukan oleh Front Umat Islam (FUI) Klaten atas laporan dari mahasiswa FKIP Unwidha (Setiyadi, Muskus, Anisa dan Anita), dijerat pasal 156 a KUHP dengan kasus penghinaan dan penodaan agama (delik agama). ucapan Marjana yang dianggap sebagai penistaan ajaran agama Islam antara lain, “Zaman sekarang ini adalah zaman batu. Hindu menyembah Candi Prambanan, Budha menyembah Candi Borobudur, dan Islam menyembah Kakbah.” Menurut Basuna, Ketua Forum Umat Islam Klaten dengan perkataanya itu maka Marjana telah menyamakan agama yang satu dengan yang lain dan menyebut ketiga umat beragana itu sebagai penyembah batu.
MATRIKS MONITORING KEMAJUAN KEBEBASAN BERAGAMA DESEMBER 2008-NOVEMBER 2009 PROVINSI JAWA TENGAH
No. Kasus 1. Festival Anak Saleh Lintas Agama
28
Waktu
Lokasi
23-24/5 Kabupaten Semarang
Ilustrasi Peristiwa
Pelaku Korban
Pemerintah Desa Genting, Jambu Pemerintah Kabupaten Semarang, menggelar Desa Festival Anak Saleh yang diikuti 450 Genting, anak dari keluarga muslim dan Jambu, nasrani sedesa ini, Sabtu-Minggu Kabupaten (23-24/5). Selama dua hari, peserta Semarang belajar hidup gotong royong, rukun terhadap sesama, dan menjunjung tinggi toleransi antarpemeluk agama. Mereka mendirikan kemahkemah di lapangan Desa Genting.
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama 2.
GKJ Gelar Sembako Murah
12/9
3.
PW Nahdlatul Ulama Jawa Tengah dan Etnis Tionghoa Gelar Doa Bersama Untuk Gus
5/9
4.
Membangun Mushola, Kapel, Pepanthan, Sanggah dan Cetiya Tak Perlu IMB Tempat Ibadah
28/10
Kabupaten Demak
Seperti yang biasa terjadi menjelang GKJ dan pelaksanaan hari Raya Idul Fitri Pemerintah sebelumnya, tahun ini pun hari Desa. raya diwarnai dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok. Tentu saja kenyataan ini kerap membuat rakyat terjepit. Di Desa Bandungrejo Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak, Gereja Kristen Jawa (GKJ) bersama pemerintahan desa setempat, menggelar Pasar Murah dib alai desa setempat Jalinan persaudaraan diupayakan oleh Komunitas Tionghoa dan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah. Ratusan umat Tionghoa Jawa Tengah dan warga Nahdlatul Ulama (NU) Jateng menggelar doa bersama untuk kesembuhan Gus Dur di Replika Kapal Cheng Ho, kawasan Klenteng Tay Kak Sie Gang Lombok Semarang, pada 5 September. Kegiatan itu, merupakan wujud nyata pembauran antar etnis dan agama.
Kota Surakarta
FKUB Kota Surakarta memberikan pedoman yang cukup progresif dalam perizinan rumah ibadah. Mereka yang hendak mendirikan bangunan Mushola atau Langgar (Islam), Kapel atau Stasi (Katholik), Cabang atau Pepanthan (Protestan), Sanggar (Hindu) dan Cetya (Budha) tidak perlu mengajukan IMB kepada Walikota atau mendapatkan rekomendasi dari KakanDepag dan FKUB. tempat ibadah yang harus dimintakan izin IMB kepada
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
29
Menyapih Lara di Tengah Jawa Walikota dan diberikan dengan rekomendasi Kepala Kantor Departemen Agama dan rekomendasi FKUB Kota Suarakarta, diantaranya ; Bangunan Masjid (Islam), Gereja (Katholik dan Protestan), Pura ( Hindu), Vihara (Budha) dan Kelentheng (Kong Hu Cu). 5.
Bupati Restui Jemaat GKJ Baki Lakukan Kebhaktian
8/11
Kabupaten Sukoharjo
Bupati Sukoharjo, H Bambang Riyanto, SH. MH, merestui kehendak jemaat Gereja Kristen Jawa (GKJ) Daleman, Baki Sukoharjo untuk melakukan kebhaktian. Pernyataan Bupati Sukoharjo itu disampaikan saat menerima audiensi pengurus GKJ Daleman, Baki, Rabu, di Ruang Kerja Bupati Sukoharjo, yang didampingi Wakil Bupati Sukoharjo Drs. H. Muhamad Toha, M.Si. Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Sukoharjo, Drs.Ign. Indra Surya, M.Hum dan Kepala Kesbanglinmas Sukoharjo, Rusmanto, MH. Sedangkan dari pihak GKJ Daleman Baki tampak hadir Tri Joko Yuwono, dan Kristanto, Rabu (9/9).
Sumber: Pusat Data dan Dokumentasi Lembaga Studi Sosial dan Agama Semarang (eLSA)
30
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama
LAPORAN TAHUNAN KONFLIK, KEKERASAN, DAN KEBEBASAN BERAGAMA-BEREKSPRESI-BERKEYAKINAN DI DIY (November 2008 – November 2009) Oleh: Rumpun Nusantara Nur Khalik Ridwan (Koordinator), Sugiarto el-Zuhri (anggota), Edi Safitri (anggota), Imam Machali (anggota), dan Zunli Nadia (anggota)
A. Tentang Laporan Tahunan Ini Laporan tahunan ini disusun agar menjadi bahan bagi para pengkaji, penentu kebijakan, gerakan sosial, dan masyarakat di Yogyakarta yang peduli terhadap isu-isu konflik, kekerasan, dan kebebasan beragama, berekspresi, dan berkeyakinan di DIY. Isuisu ini menjadi relevan dalam geososial masyarakat Yogyakarta yang plural dan dikenal sebagaia kota yang penuh toleran; dan saat yang sama bangsa Indonesi telah memasuki fase reformasi yang memberi ruang bagai perlindungan HAM, tetapi saat yang sama masih saja terjadi banyak distorsi dan retakan-retakan. Laporan tahunan ini kami buat pertamatama dengan menjelaskan kasus-kasus dan jumlahnya selama setahun (November 2008November 2009), kemudian kasus-kasus itu kami baca, dan kemudian kami memberi rekomendasi untuk memberikan sumbangsih pemikiran agar kehidupan yang berkaitatan dengan isu-isu itu di DIY menjadi lebih baik. Kami membatasi kasus-kasus yang ada dengan kategori-kategori isu tertentu, tanpa bermaksud menafikan dan meremehkan isuisu lain. Isu-isu yang kami batasi sebagai
berikut: penyesatan terhadap kelompok/ individu, kekerasan dan sweeping berbasis agama/moralitas/etnis/ras/kelas, regulasi bernuansa agama, konflik tempat ibadah, kebebasan berpikir, berekspresi, dan berkeyakinan, hubungan antarumat beragama, dan isu moralitas-pornografi. Perspektif yang kami gunakan dalam laporan ini adalah negara wajib menjamin, memenuhi, dan menghormati HAM warganya, yang dasar-dasarnya sudah ada di UUD 45, UU HAM, ratifikasi hak sipol, UU Otda (kaitan dengan regulasi bernuansa agama), UU Adminduk, dan lain-lain (lihat lampiran 1). HAM dalam konteks sipol dibedakan menjadi dua: pertama, yang tidak bisa dan tidak boleh dikurangi (nonderogable right), dan kedua, yang bisa dan boleh dikurangi (derogable right). Hak yang nonderogable right di antaranya menyangkut: hak untuk hidup; hak bebas dari penyiksaan; hak bebas dari perbudakan; hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan agama; hak menyatakan pendapat dan berekspresi, dan lain-lain. Hak-hak ini tidak bisa ditunda dalam kondisi darurat apa pun. Tentang pembatasan, hanya bisa
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
31
Menyapih Lara di Tengah Jawa
dilakukan terhadap hak-hak yang bisa ditunda. Penjelasan pasal 73 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM soal pembatasan menyebutkan: “Pembatasan yang dimaksud dalam pasal ini tidak berlaku terhadap hak asasi manusia yang tidak dikurangi (nonderogable right) dengan memperhatikan penjelasan pasal 4 dan 9. Yang dimaksud dengan kepentingan bangsa adalah untuk keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa.” Pasal 73 sendiri menyebutkan begini: “Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undangundang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.” Pasal 4 yang dijadikn rujukan di situ berbunyi: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun” (Pasal 4 UU HAM). Hakhak dasar ini tidak bisa ditunda dalam keadaan darurat sekalipun. Sedangkan pembatasan terhadap hak-hak yang bisa ditunda, adalah karena alasan tertentu, yang syaratnya harus kumulatif: ada situasi mendesak dan dinyatakan bahwa negara dalam kondisi darurat; penangguhan dan pembatasan tidak boleh didasarkan pada diskriminasi ras, warna kulit, agama, atau asal usul sosial.
32
Perspektif yang kami gunakan dengan sendirinya, sesuai dengan pasal 74 UU HAM yang menyebutkan: “Tidak satu ketentuan dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang ini.” Jadi, tidak dbenarkan sekelompok orang atau bahkan aparat negara justru mengurangi, merusak dan menghapuskan hak asasi yang paling dasar warga Indonesia. Secara teknis, laporan tahunan ini berisi: kondisi geosisial politik DIY, jumlah isu-isu yang muncul, pembacaan dan rekomendasi atas isu-isu yang muncul selama 1 tahun. Kami jug menyertakan lampiran yang berisi: dasar-dasar institusi negara dan aparatnya harus menjamin, menegakkan, dan menghormati HAM; tabel kasus-kasus yang muncul selama November 2008- November 2009; dan deskripsi seluruh ksus yang ada selama setahun itu. B. GEOSOSIAL DAN POLITIK DIY DIY adalah pusat kebudayaan Jawa di samping Solo. Kebudayaan Jawa dan khazanah kejawaan sangat kental dalam masyarakat Yogyakarta, mulai dari bahasa, ritual pernikahan, merti bumi, aspek-aspek spritiual, dan lain-lain. Sebagai tempat keraton Yogyakarta, DIY tetap dipandang sebagai kota yang memberikan banyak inspirasi para seniman, penulis, para pendidik, dan para mahasiswa/siswa. Sebagai tempat khazanah
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama
Jawa, DIY memiliki toleransi yang kuat terhadap aspek-aspek keragaman. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi istimewa yang meliputi lima kabupaten/kota: kota yogyakarta, sleman, kulonprogo, bantul, dan gunungkidul. Luas wilayahnya hanya sekitar 3.185,80 km persegi atau 0,17 persen dari seluruh wilayah indonesia. Seluruh penduduk DIY berdasarkan sensus nasional tahun 2005 berjumlah 3.281. 800 jiwa. Data BPS menyebutkan tentang afiliasi agama penduduk DIY sebagai berikut: Islam 91,21 %, Katholik 5,58 %, Kristen 2, 84 %, Hindu 0,19 %, dan Budha 0,17 %. Data BPS DIY soal afiliasi agama ini berbeda dengan data Pikda Depag Pusat, yang mendasarkan pada BPS pusat. Letak perbedaan mencoloknya adalah kategori “lain-lain” selain agama-agama yang telah disebutkan itu. Menurut data dari Pikda Depag Pusat berdasarkan data BPS tahun 2004: mayoritas pemeluk agama adalah Islam 2.863.751, Katholik 165.410, Protestan 79.852, Hindu 5.175, Budha 3927, dan agama-agama lainnya sejumlah 2.023. Tentu saja ini belum meng gambarkan data sebenarnya tahun 2008 pasa UU Adminduk yang baru disyahkan, di mana penghayat kepercayaan diperbolehkan tidak berada di bawah agama-agama besar, dan mengosongkan kolom agama, di samping perkawinan mereka sudah dianggap syah oleh negara. Di samping ada organisasiorganisasi berbasiskan agama, di wilayah DIY, ada juga organisasi-organisasi sosial yang biasanya disebut NGO, komunitas-
komunitas diskusi, termasuk gerakan-gerakan mahasiswa. Di kalangan NGO ini, ada yang bergerak di bidang pluralisme, lingkungan, gender, transparansi anggaran, dan lain-lain. Komunitas diskusi dan gerakan-gerakan mahasiswa juga beragam. NGO-NGO ini banyak yang tergabung dalam Forum LSM DIY yang kiprahnyanya mengalami pasang surut. Di samping forum LSM DIY juga ada aliansi Aji Damai (Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai), yang juga menghimpun berbagai elemen di DIY. Bedanya dengan LSM DIY, Aji Damai anggotanya terdiri dari elemen-elemen yang tidak hanya NGO, karena di dalamnya ada NGO, ormas, gerakan mahasiswa, dan kelompok diskusi.Di samping NGO, ada kelompok-kelompok masyarakat yang mengorganisir untuk tujuan tertentu seperti FAKI (Front Anti Komunis) yang sering tampil ke permukaan. Di samping ada gerakan-gerakan sosial seperti telah disebutkan itu, di DIY juga terdapat kekuatan-kekuatan politik yang mencerminkan pandangan dan keyakinan pemilih terhadap partai tertentu. Meski mayoritas pemeluk Islam ada di DIY, justru partai-partai nasionalis dan sekular lebih mendapatkan tempat. Dalam hal ini, peta kekuatan politik di DIY berdasarkan pemilu 2009 terbagi ke dalam 10 partai politik. Dua parpol di antaranya merupakan parpol baru yaitu Partai Hati Nurani Rakyat dan Partai Gerakan Indonesia Raya. Parpol yang berhasil meraih kursi di DPRD DIY itu lebih banyak dari hasil pemilu 2004, yaitu hanya sembilan parpol. Partai Bulan Bintang yang pada pemilu 2004 meraih
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
33
Menyapih Lara di Tengah Jawa
kursi di DPRD DIY, pada pemilu 2009 gagal meraih kursi. Selanjutnya partai-partai di DIY yang memperoleh kursi bisa dilihat dalam tabel. Tabel 1: Jumlah Parpol dan Kursi Hasil Pemilu 2009 di DIY
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
C. TREND ISU-ISU YANG MUNCUL DI YOGYAKARTA
PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) PD (Partai Demokrat) PAN (Partai Amanat Nasional) Partai Golongan Karya PKS (Partai Keadilan Sejahtera) PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) P Gerindra (Partai Gerakan Indonesia Raya) PPP (Partai Persatuan Pembangunan) PKPB (Partai Karya Peduli Bangsa) P Hanura (Partai Hati Nurani Rakyat)
Sumber: Diolah dari data KPU dan media massa, 2009.
Kesepuluh partai politik itu membentuk 7 fraksi: Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Kebangkitan Bangsa, dna Fraksi Gerakan Pembangunan Peduli Rakyat (gabungan Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Karya Peduli Bangsa, dan Partai Hati Nurani Rakyat). Di tengah kekuatan-kekuatan sosial dan politik yang demikian, ternyata aktor-aktor politik resmi belum bisa mengurangi jumlah kemiskinan di DIY. Garis kemiskinan di Provinsi D.I. Yogyakarta pada Maret 2009 sebesar Rp 211 978,- per kapita per bulan. Jumlah penduduk miskin, yaitu penduduk yang konsumsinya berada di bawah garis kemiskinan, pada Maret 2009 di Provinsi D.I. Yogyakarta terdapat 585,8 ribu orang. Pada Maret 2008 jumlahnya mencapai 616,3 ribu
34
orang. Dilihat dari sisi presentase tingkat kemiskinan seluruh penduduk di Provinsi D.I.Y: pada Maret 2009 sebesar 17,23 persen.
11 10 8 7 7 5 3 2 1 1
Sebagaimana telah disebutkn, kami membuat kategori berdasarkan isu penyesatan terhadap kelompok/individu, kekerasan dan sweeping berbasis agama/ moralitas/etnis/ras/kelas, regulasi bernuansa agama, konflik tempat ibadah, kebebasan berpikir, berekspresi, dan berkyakinan, hubungan antarumat beragama, dan moralitas-pornografi. Meski begitu, sepanjang setahun (November 2008-November 2009), isu-isu yang muncul di DIY kami hanya bisa menemukan kasus-kasus yang bisa dikategorikan dalam isu: kebebasan berpikir dan berekspresi, kekerasan berbasis agama/moralitas, dan regulasi bernuansa agama/moralitas. Secara keseluruhan, 4 kategori kasus-kasus di atas, dijelaskan secara lebih terperinci di dalam tabel dan deskripsi di lampiran (lihat lampiran 2 dan 3). 1. Isu Kebebasan Berpikir, Berekspresi, dan Berkeyakinan Dalam kategori isu ini kami menemukan ada 4 kasus, yaitu: Pembubaran dan penangkapan puluhan peserta kongres golput di Yogyakarta tanggal 8 Mei 2009; terjadi saling dorong dan perlawanan para aktivis golput terhadap Satpol PP dan Panwas Sleman pada awal Juli 2009; dibubarkannya workshop Guru-Guru Sejarah yang diadakan oleh AGSI (Asosiasi Guru Sejarah Indone-
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama
sia) bekerjasama dengan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) oleh FAKI dan polisi pada 17 Juli 2009; dan kasus bentrok PPLP dengan polisi pada 20 Oktober 2009 dalam sebuah demonstrasi di Gunungkidul. 2. Kekerasan dan Sweeping Dalam kategori isu ini kami menemukan 2 kasus: pertama, 1 kasus bentrok massa PPLP dan polisi di Gunungkidul bulan Oktober 2009 ketika menggelar unjuk rasa. Dalam bentrokan itu, puluhan orang mengalami luka akibat lemparan batu maupun tembakan gas yang langsung mengenai tubuh. Bahkan, lima warga pesisir terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wates karena mengalami luka serius. Kedua, dan 1 kasus sekelompok orang berjubah yang beratribut FPI (Front pembela Islam) membuat geger di Kampung Kuliner, Jl. Laksda Adisucipto. Mereka melakukan sweeping dengan alasan memerangi minuman keras dan mabuk-mabukan, menegakkan moralitas. Salah satu korban dari kekerasan dan sweeping ini adalah sesepuh Madura, Cak Kowi, yang kemudian membuat marah Keluarga Madura Yogyakarta. 3. Konflik Tempat Ibadah Dalam kategori isu ini kami menemukan, 1 kasus di di Wates, ketika sekelompok massa tak jelas identitasnya menggeruduk sebuah ruko di Jl. Khodori Wates dan menyegelnya, dengan alasan ruko itu sering dijadikan tempat aktivitas beribadah, pada 28 Desember 2008. 4. Regulasi Bernuansa Agama Dalam kategori isu ini ada 1 regulasi yang muncul di Gunungkidul, yaitu Perda Pengawasan dan Pengendalian Peredaran
Minuman Beralkohol yang disyahkan oleh DPRD dan Bupati Gunungkidul pada Agustus 2009. Gubernur DIY mengkritik perda itu dan diminta untuk direvisi, karena Perda itu salah satunya mencantumkan katakata agama, padahal agama menjadi kewenangan pemerintah pusat; dan perda di pasal 5 dianggap oleh gubernur bertentangan dengan pasal 73 UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. E. PEMBACAAN ATAS DINAMIKA TAHUN 2009
Dari perkembangan dan kasus yang kami catat sepanjang tahun 2009 ini, kami memiliki pembacaan sbb: 1. Retakan UU dalam praktik aparat negara di bawah Aparat negara mestinya menjamin hak setiap warga negara untuk berekspresi dan berkeyakinan, dan berusaha melindungi hakhak warga negara itu sampai dalam taraf yang maksimal. Yang terlihat, justru, seperti kasus pembubaran workshop AGSI dan JSKK dan penangkapan peserta kongres nusantara masyarakat golput, menandakan secara jelas aparat negara justru menjadi pelaku pembubaran acara. Kalau ada kelompok-kelompok sipil yang tidak setuju dengan kelompok sipil lain, adalah hak kelompok sipil itu sendiri. Haknya juga perlu dijamin untuk melakukan protes. Hanya saja, kalau kelompok sipil itu telah melakukan penghentian acara kelompok lain yang masuk dalam kategori kebebasan berkepresi, mestinya aparat negara mencegah kelompok yang ingin menghentikan acara itu. Sebaliknya justru yang terjadi adalah aparat negara menghentikan acara kelompok seperti
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
35
Menyapih Lara di Tengah Jawa
dalam kasus AGSI-JSKK dan kongres golput, berdasarkan desakan kelompok lain. Di sini justru negara, kepolisian tidak menghormati, tidak melindungi dan tidak memenuhi hak-hak dasar yang tidak bisa dikurangi. Selain terjadi retakan antar antara UU tentang HAM dengan praktik aparat di bawah, tindakan sweeping dan kekerasan atas nama agama juga tidak tampak diusut oleh aparat negara, misalnya dalam kasus sweeping FPI yang menimpa sesepuh Madura. Pembiaran ini tampaknya terus berulang dalam berbagi penanganan kasus, misalnya dalam kasus-kasus yang muncul pada 2008 yang lalu. Tugas aparat negara melindungi dan menjamin terlaksananya hak-hak warga negara justru dicederai oleh tindakan aparat negara sendiri (dalam kasus AGSI-JSKK) dan pembiaran yang terus terjadi (tidak menindak para pelaku kekerasan). Ini bertentangn dengan UU HAM dan UUD 45 yang menjamin kebebasan berekspresi dan rasa aman dari gangguan dan tindakan orang lain. 2. FKUB Belum Berperan Kasus konflik tempat ibadah selalu menjadi hal serius yang memengaruhi hubungan antarumat beragama, bila menjalankan ritual ibadah dan pendirian rumah ibadah dianggap perlu diatur oleh negara, dengan basis pengetahuan “mempersulit dijalankannya ritual ibadah oleh warga negara”. Ini akan menjdi lebih sulit kalau negara gagal untuk menjamin kebebasan menjalankn ritual beribadah dari gangguan kelompok lain. Meski begitu kami menyadari bahwa berdirinya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dimaksudkan agar pendirian-pendirian tempat ibadah dan
36
menjalankan ritual ibadah tidak menimbulka konflik dan kekerasan, menjadi institusi yang bagaimanapun telah ada dan semestinya bekerja atas kerangka UU di atasnya, yaitu UU HAM, UUD 45, dan seterusnya. Kasus di Wates (dan bisa jadi kasus-kasus lain), bersumber dari tidak berfungsinya aparat negara, baik kepolisian atau FKUB untuk menjamin dijalankannya ritual ibdah di level-level yang lebih kecil, seperti di ruko; di samping semakin menipisnya rasa toleransi di kalangan masyarakat. Kasus ini bisa muncul, karena institusi yang berkaitan dengan pemberi rekomendasi pendirian rumah ibadah, yaitu FKUB di DIY sampai Oktober 2009 belum terbentuk. FKUB DIY sendiri baru terbentuk bulan Oktober 2009, dan sebelumnya terjadi konflik yang berlarut di antara kelompok yang dimandatkan untuk mendirikan FKUB di DIY. Sebelum adanya jaminan untuk menjalankan ritual ibadah yang lebih jelas dari para aparat negara di level terkecil seperti ruko, rumah, dan sejenisnya yang dijadikan tempat ibadah, intoleransi warga yang berpretensi menjadi polisi agama akan mudah melampiaskan pemberangusan atas nama macam-macam: bisa kristenisasi, islamisasi, pemurtadan, dan seterusnya. Kasus ini juga menunjukkan terjadi pembiaran oleh institusi negara yang cenderung menempatkan penyelesaian kasus dengan mengambangkan masalah. Negara di sini gagal melindungi, menghormati, dan memenuhi hak dasar warga negara dalam soal ritual ibadah, terlepas soal isu ketakutan islamisasi atau kristenisasi.
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama
3. Regulasi Bernunsa Agama dan Retakan Otda Regulasi bernuansa agama, tampaknya bukan hanya menjadi kasus yang terjadi di Yogyakarta, seperti dalam kasus Perda minuman alkohol di Gunungkidul, tetapi menjadi fenomena menyeluruh di Indonesia. Di sini penentu kebijakan lokal, mencoba membuat kreasi berdasarkan kepentingan kelompok tertentu, tanpa mempedulikan aturan dan UU yang lebih atas, misalnya dalam UU Otda. Dalam soal ini, masih adanya sejumlah peraturan yang menggunakan referensi dengan basis agama tertentu, dan melanggar HAM, seperti disebut gubernur DIY dalam kasus perda mihol di Gunungkidul, menunjukkan dengan jelas adanya retakan dalam pelaksanaan UU Otda, yang secara jelas menunjukkan bahwa wilayah agama, tidak merupakan bagian dari masalahmasalah yang diotonomikan. Sebaliknyaa, agama, termasuk moneter, dan pertahanan, adalah tetap menjadi kewenangan pusat. Retakan ini akan memicu konflik serius manakal kebijakan lokal tidak sesuai dengn UU yang lebih di atasnya. 4. Kasus Bentrok PPLP dan Aparat Kasus bentrok PPLP dan aparat hanya salah satu kasus yang menyelimuti masalah besar, karena esensi dari kasus itu sebenrnya lebih pada aspek hak untuk bisa hidup, aman, tenteram dan damai dari warga mayarakat pesisir yang merasa terancam. Upaya dan keinginan pemodal untuk melakukan proyek penambangan pasir besi telah lama ditolak oleh PPLP (Paguyuban Petani Lahan Pasir). Bentrok di Gunungkidul akan menjadi kejadian yang terus terulang apabila masalah
esensinya tidak tertangani dan tidak tersentuh. Kasus ini juga mencerminkan bagaiamana kekuasaan modal yang ingin mengeksploitasi alam pasir di Gunungkidul, terus mendapat perlawanan dari masyarakat lokal yang sumber kehidupan mereka terancam. Kalau pemerintah dan aparat negara tidak berpihak dan berpijak pada kepentingan rakyat dan hanya mengabdi pada kepentingan modal, justru yang akan rugi adalah masyarakat dalam jangka panjang. Rakyat akan mengalami penindasan justru oleh mesin-mesin modal yang bersekutu dengan elit-elit lokal yang akan membunuh generasi Indonesia di masa depan. Dengan sendirinya, masalah mendasarnya adalah masalah membangun dan mengeksploitasi alam, yang masih terlalu besarnya paradigma modal. Nasib kasus ini juga akan bergantung sejauh mana daya tahan rakyat untuk bisa menyuarakan hak-hak mereka; dan para aktivis yang mendampingi masyarakat untuk tidak serta merta mudah berganti baju. Kalaupun terjadi negosiasinegosiasi, maka negosiasi yang tidak menempatkan kepentingan rakyat justru akan menjadi bumerang di kemudian hari mengingat luas wilayah dan dampaknya bagi masyarakat lokal di situ. F. REKOMENDASI
Berdasarkan pembacaan dan deskripsi trend isu-isu yang muncul, tampaknya: terjadi pengualangan terhadap kasu-kasus kekerasan di mana semua dibiarkan mengambang dan pelakunya tidak dijamah sama sekali menjadikan wibawa penegak hukum merosot; dan konflik tempat ibadah dan regulasi bernunsa agama tertentu, menjadi
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
37
Menyapih Lara di Tengah Jawa
potensi yang bisa memunculkan konflik terus menerus. Atas dasar itu kami merekomendasikan: 1. FKUB perlu melakukn terobosan dengan memberikan jaminan kebebasan mendirikan tempat ibadah di level yangt terkecil seperti ruko, dan tidak mempersulitnya. FKUB DIY perlu belajar kepada FKUB di Solo yang berani membuat terobosan, bahwa izin rumah ibadah hanya berkaitan dengan masjid, gereja, vihara, klenteng, dan rumah ibadah yang besar. Sedangkan yang kecil seperti mushala, pepantan, dan lain-lain tidak perlu memakai izin. 2. Menghimbau kepada kelompokkelompok masyarakat agar mencermati regulasi-regulasi yang telah dihasilkan oleh pemerintah dan politisi lokal di DIY, dan menilaianya dalam kerangka UU Otda, UUD 45, dan UU HAM, dan UU yang lebih di atas. Regulasi yang tidak menghargai HAM dan bertentangan dengan UU Otda perlu dibekukan dan dibahas ulang. 3. Penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, perlu menjaga kewibawaaannya,
sebagai bagian dari aparat negara yang harus melindungi dan menjamin hak-hak warga negara, bukan malah menjadi pelaku yang memberangus kebebasan berekspresi. 4. Dalam kasus bentrok PPLP dan aparat, perlu dilakukan terobosan untuk menyelesaikan masalah mendasarnya, yaitu rakyat dan kepentingan masyarakat lokal harus menjadi pertimbangan yang besar dalam mendesain pembangunan lahan pasir di Gunungkidul; dan dengan sendirinya bukan hanya mempertimbangkan aspek keuntungan yang bisa dipetik dari pemodal saja. Rakyat jangan terprovokasi melakukan tindakan kekerasan, tetapi terus saja menggemakan suara dan kepentingn mereka tanpa kenal lelah dengan gerakan sipil yang nirkekerasan. Sekali melakukan kekerasan, maka gerakan itu akan mudah dipukul mundur. Demikian, laporan ini kami buat semoga bisa menjadi bahan-bahan penting untuk membangun Yogyakarta yang lebih baik, berkeadilan, bermartabat dan berkesejahteraan. Yogyakarta, Desember 2009.
38
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama
Lampiran 1: Dasar-Dasar Aparat Negara Harus Menjamin, Menghormati, dan Memenuhi HAM Warga Indonesia Beberapa UU dan rujukan yang bisa dijadikan sumber untuk menjamin, menghormati, dan memenuhi HAM Warga Indonesia, di antaranya sbb.: 1. UUD 45 pasal 28E menyebutkan: Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali; setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya; dan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (pasal 28E ayat 1-3). 2. UU HAM No. 23 tahun 1999 menyebutkan sbb: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun (Pasal 4). Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat, untuk maksudmaksud damai (pasal 24 ayat 1). Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk
berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakkan dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 24 ayat 2). Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Pasal 69 ayat 1). Setiap hak asasi manusia yang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan menegakkan dan memajukkannya (Pasal 69 ayat 1). 3. UU No 12 tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan politik sbb: Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran (pasal 18 ayat 1 dari 4 ayat). Segala propaganda untuk perang harus dlarang oleh hukum (pasal 20 ayat 1). Segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum (pasal 20 ayat 2) 4. UU No. 29 tahun 1999 tentang pengesahan konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
39
Menyapih Lara di Tengah Jawa
1965 sbb: Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa dalam sidangnya pada tanggal 21 Desember 1965 telah menerima secara baik International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial) dengan Resolusi 2106A (XX). Konvensi tersebut mengatur penghapusan segala bentuk pembedaan, pengucilan, pembatasan atau preferensi yang didasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, asal-usul kebangsaan atau etnis yang mempunyai tujuan atau akibat meniadakan atau menghalangi pengakuan, perolehan atau pelaksanaan pada suatu dasar yang sama tentang hak asasi manusia dan kebebasan mendasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, atau bidang kehidupan umum lainnya. 5. UU RI No. 23 tahun 2006 tentang Adminduk menyebutkan sbb: KTP mencantumkan lambang garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memuat keterangan tentang Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pasfoto, masa berlaku, tempat dan tang gal dikeluarkannya KTP, tandatangan pemegang KTP, serta memuat nama dan Nomor Induk Pegawai (NIP) pejabat yang menandatanganinya (pasal 64 ayat 1). Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bagi penduduk yang
40
agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan peraturan perundang-undangan atau bagi Penghayat Kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan (Pasal 64 ayat 2). 6. PP RI No. 37 Tahun 2007 tentang penjelasan UU Adminduk menyebutkan sbb: Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan di hadapan pemuka Penghayat Kepercayaan; Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi Penghayat Kepercayaan, untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan Penghayat Kepercayaan; dan Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (pasal 81 ayat 1-3). 7. UU RI No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan: Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan. Kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, militer, fiskal, moneter, agama, serta kewenangan di bidang lain. Kewenangan di bidang lain sebagaimana dimksud pada ayat (1), meliputi kebijakan makro, dan perimbangan keuangan, sistem administrasi negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumberdaya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservsi, dan standarisasi nasional (pasal 7 ayat 1 dan 2).
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama Lampiran I: Tabel konflik, kekerasan, dan kebebasan beragama, berekspresi dan berkeyakinan di DIY sepanjang Desember 2008 November 2009 NO. KATEGORI
1
Konflik tempat ibadah
DESKRIPSI
Sekelompok massa tak jelas identitasnya menggeruduk sebuah ruko di Jl. Khodori Wates dan menyegelnya, dengan alalsan ruko itu sering dijadikan tempat aktivitas ibadah dan belum memperoleh izin
WAKTU DAN LOKASI
PELAKU
KORBAN
Jam 19.00, 28/ 12/2008.Lokasi di Jl. Khodori Wates Gunungkidul
Sekelompok massa tak dikenal
Pemakai/pemilik ruko dan orangorang yang selama ini melakukan a k t i v i t a s beribadah di ruko
2 Kebebasan Pembubaran dan penangkapan 15.30-16-00 WIB, K e p o l i s i a n Peserta kongres Berpikir dan puluhan peserta kongres golput hari Kamis, 8 Mei Polda DIY Golput berekspresi di Yogyakarta. 2009.Lokasi di Hotel Satya Nugraha dan sepanjang depan RS Hidayatullah 3
Panitia Pengawas P e m i l u (Panwaslu) Kabupaten Sleman, DIY bersama petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Sekjen Dewan Presidium N a s i o n a l Persaudaraan Golput Dadang Iskandar dan beberapa aktivis golput
J u m ’ a t , 1 7 / 7 / Front Anti 2009Lokasi di Komunis IndoHotel Perwitasari nesia (FAKI) di tengah kota Yogyakarta
Panitia workshop dari AGSI dan JSKK, para peserta workshop
Awal Juli Kebebasan Terjadi saling dorong dan Berpikir dan perlawanan para aktivis golput 2009.Lokasi di berekspresi terhadap Satpol PP dan Panwas kawasan Jombor, Sleman. Para aktivis Golput Mlati Sleman memasang spanduk di berbagai titik sebagai bentuk aspirasi mereka sebagai warga negara.
4 Kebebasan Workshop Guru-Guru Sejarah Berpikir dan yang diadakan oleh AGSI berekspresi (Asosiasi Guru Sejarah Indonesia) bekerjasama dengan perkumpulan bernama Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), dibubarkan oleh sejumlah pulhan orang yang mengatasnamakan FAKI dan Poltabes Yogyakarta
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
41
Menyapih Lara di Tengah Jawa 5
Kekerasan Berbasis Agama/ moralitas
6
Kebebasan berekspresi dan berkeyakinan
7
Regulasi bernuansa agama
Sekelompok orang berjubah yang Pukul 01.30 WIB Sekelompok beratribut FPI (Front pembela tanggal 25/8/ orang berjubah Islam) membuata geger di 2009).Lokasi di dari FPI Kampung Kuliner, Jl. Laksda Kampung Adisucipto. Mereka melakukan Kuliner, Jl. sweeping dengan alasan Laksda memerangi minuman keras dan Adisucipto mabuk-mabukan, menegakkan moralitas 01.00 WIB Ratusan warga menggunakan 21 truk mendatangi Gedungkaca tanggal 20/10/ kompleks Pemkab Kulonprogo, 2009.Lokasi di Kompleks tempat berlangsungnya konsulPemkab tasi publik rencana kegiatan penambangan dan pemrosesan Kulonprogo. pasir besi. Massa datang membawa bendera Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP). Massa langsung berhadaphadapan dengan 500 polisi yang menerapkan penjagaan dua lapis. Kejadian berlangsung bentrok. Perda Pengawasan dan Agustus 2009 Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol disyahkan oleh DPRD dan Bupati Gunungkidul.
Aparat Puluhan orang kepolisian dan mengalami luka massa akibat, dan lima warga pesisir terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wates karena mengalami luka serius.
Bupati Gunungkidul dan DPRD Gunungkidul
Sumber: Rumpun Nusantara, 2009.
42
Yang terkena sweeping salah satunya sesepuh Madura di Yogyakarta, Cak Kowi.
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama Lampiran 3: Deskripsi kasus-kasus konflik, kekerasan, dan kebebasan berekspresi dan berkeyakinan di DIY sepanjang November 2008 - November 2009.
Di bawah ini adalah deskripsi kasus yang sempat kami catat dan kumpukan sepanjang November 2008 - Desember 2009, yaitu: 1. November 2008 : Kosong 2. Desemeber 2008: Kosong 3. Januari 2009: Massa Menyegel Ruko yang Diduga Dijadikan Tempat Ibadah di Wates Ketika banyak anak-anak muda sedang akan malam mingguan pada 27 Desember 2008, dan ketika maghrib baru usai, lalu datanglah adzan shalat isya, masyarakat Wates di sekitar ruko di Jl. Chodori dibuat gaduh. Seorang warga yang sedang dalam posisi 50 meter dari lokasi merasa terkejut. Ternyata sumbernya adalah serombongan massa tak dikenal dengan menggunakan sepeda motor sedang menggeruduk ruko di Jl. Khodori Wates itu. Jumlah massa sekitar puluhan orang. Tepat pukul 19.00 waktu setempat massa tiba-tiba menduduki depan ruko yang tampaknya sudah diincar, dan ruko dalam kondisi terkunci rapat, tertutup. Untunglah sang pemilik ruko sedang tidak tampak, ketika sebagian massa menduduki depan ruko itu. Sang pemilik sedang dicari-cari sebagian massa. Di tunggu beberapa jam tampak tidak juga hadir. Massa tampak geram, satu sama lain saling cakap: ada yang mengusulkan ruko ini harus disegel, ada yang mengusulkan sang pemilik ruko harus datang, dan beberapa yang lain. Anak-anak muda ini yang jumlahnya puluhan akhirnya memeutuskan untuk
menyedel ruko tersebut. Di depan ruko ditulisi kata-kata tidak sedap bagi sang pemili8k ruko: “Tempat ini disegel.” Apa sebenarnya yang salah, sehingga ruko di Jl. Khodori Wates itu harus disegel, dan tidak boleh dijadikan beraktivitas? Orang yang melihat kata-kata “tempat ini disegel” juga masih bingung, kenapa harus disegel, siapa yang menyegel, dan atas hak apa mereka yang menyegel itu. Salah seorang penyegel, bernama Budiman yang diwawancarai Harian Jogja (22/12/2008) mengtatakan: “penyegelan itu harus dilakukan mengingat tempat ini selama ini acap kali digunakan untuk aktivitas tempat.” Budiman menilai, tempat itu belum memperoleh izin untuk dijadikan tempat ibadah. “Kami harus menyegelnya karena izin untuk akitivitas itu juga tidak jelas,” kata Budiman. Orang-orang di sekitar ruko tersebut memang sering melihat ada aktivitas sepekan dua kali ruko dikunjungi serombongan orang untuk melakukan aktivitas keagamaan. Tetapi aktivivitas keagamaan apa belum banyak yang tahu. Pemimpin aktivitas keagamaan juga belum banyak yang tahu. Beberapa pedagang di deretan ruko itu juga tidak tahu, karena selama ini terus berdagang tidak begitu memperhatikan ruko yang dipermasalahkan itu. Kepala desa Wonosidi Kidul, Waldjono membenarkan adanya peribadatan di lokasi tersebut. Tempat tersebut telah digunakan untuk kegiatan kerokhanian dalam sebulan terakhir. Dan sampai sekarang ini, pihaknya
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
43
Menyapih Lara di Tengah Jawa
belum memperoleh per mintaan izin. “Mereka datang berombongan, kami telah melaporkan permasalahan ituke tingkat desa, dan selama ini terus melakukan pemantauan,” kata Waldjono. [Sumber: Harjo, 29/12/2008]. 4. Februari 2009 : Kosong 5. Maret 2009 : Kosong 6. April 2009 : Kosong 7. Mei 2009 : Kesaksian yang Lolos dari Penangkapan Kongres Golput di Satyanugraha Saat itu kami datang jam 15.30 WIB, hari Kamis, 8 Mei 2009 di wisma Satyanugraha, tempat kongres nasional golput. Dua hari sebelum Kamis, 8 Mei 2009, kami dikrimi SMS seorang kawan, yang mengundang datang di acara kongres golput. Kami tertarik karena menganggap ini diskusi terbuka, juga untuk mengetahui peta golput dan perkembangan pasca pemilu 2009. Kami berkumpul di rumah seorang kawan, dan kami bersepakat bahwa tas kami tinggal semua. Kami sudah berpikir jika terjadi halhal yang tidak diinginkan, tas dan laptop kami aman. Ketika kami datang bertiga di hotel Satyanugraha, saat itu sudah turun hujan dan gerimis, kami melihat ratusan polisi dan berpikir ini pasti akan terjadi sesuatu. Di depan wisma itu ada RSI Hidayatullah. Kami memarkir motor di RSI Hidayatullah, bukan di wisma hotel Satyanugraha, sehingga mendapat kartu parkir RSI Hidayatullah, karena kami sudah berpikir dengan ratusan polisi itu pasti akan terjadi sesuatu.. Setelah memarkir motor, kami melihat di depan wisma ada tulisan “45 % Golput, Pilpres Batal: Kembali ke Jiwa dan Semangat CitaCita Proklamasi 45'.” Melihat itu kami tertarik,
44
kemudian kami memutuskan untuk masuk hotel. Di sekeliling wisma sudah ada ratusan polisi, tetapi masih banyak yang di luar dan puluhan yang ada di dalam. Kami masuk ke wisma, karena banyak juga orang yang berpakaian sipil lalu lalang masuk ke wisma, yang menurut kami sebagian intel dan sebagian peserta, sehingga kami penasaran. Acara kongres baru dimulai dan diadakan di lantai atas, dan kami menuju lantai atas. Di situ sudah ada beberapa polisi. Panitia yang berpakaian dan berkaos golput, menyodorkan map absensi dan jadwal acara. Tetapi kami ragu, sebenarnya apakah dia panitia apakah tidak meskipun memakai kaos golput, karena memaksa sekali untuk menulis absensi. Di jadwal tertera acara akan berlangsung selama 2 hari, dan di antara yang berbicara adalah Sri Bintang Pamungkas, Ryamizard, dan Tyasno Sudarto. Kami masuk ruangan, setelah menulis nama: kami bertiga ada yang menulis nama depan, tidak menyebutkan alamat, dan menulis No. HP, lalu tandatangan, karena petugas absensi memaksa sekali, dan menanya-nanya terus sehingga kami absen dengan data minimalis. Kami berani masuk, karena berpikir ini rezim bukan Orde Baru lagi, yang tidak mungkin melakukan tindakan represif terhadap sebuah kegiatan pertemuan semacam seminar. Kami bertiga merasakan pahit getirnya reformasi tahun 1998, karena saat itu kami bagian dari gerakan mahasiswa di kampus masing-masung, tahu betul keganasan dan kebringasan aparat Orde Baru. Saat ini kami berpikir tidak mungkin hal itu terulang lagi, karena zaman sudah
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama
berubah dan bertitel reformasi. Itu yang membuat kami berani duduk, di tengah ratusan polisi berjaga-jaga di luar, puluhan yang sudah masuk ke atas, seratusan lagi masuk hotel. Kami di atas mendengarkan Sri Bintang sedang berbicara, tidak sampai 10 menit. Kami tidak lagi berpikir di bawah, ternyata memang polisi sudah merangsak masuk ke hotel dan membentuk barisan lapis polisi dengan jumlah hampir seratusan, dan selainnya berada di luar. Kami di dalam melihat banyak orang berpakian sipil, dan puluhan orang sedang mendengarkan Sri Bintang Pamungkas berbicara. Saat itu kami bertemu dengan kawan yang sudah dulu datang, lalu kami jadi berempat, di tengah puluhan orang yang berpakaian sipil, tidak jelas apakah itu peserta apakah intel. Di dalam ruangan sudah ada beberapa polisi berpakain resmi, dan di luar ruangan atas di sampingsamping bangunan sudah banyak polisi berseragam dan orang berpakain sipil. Kami masuk dan duduk di kursi. Kami mendengarkan pembicaraan. Pembicaraan biasa-biasa saja, tentang perlunya anak-anak muda yang memikirkan nasib rakyatnya. Keprihatinan terhadap tingginya golput yang menunjukkan ketidakberesan di dalam menyeleng garakan pemilu. Perlunya mengakkan keadilan soial berdasarkan Pancasila yang dirumuskan oleh para funding father’s dan mother’s bangsa ini,” dan sedikit hal-hal lain. Forum di dalam, bangkunya banyak yang kosong, dan salah satu di antara kami bertanya ke kawan yang lebih dulu dating, dan jawabnya: “Gelombang pertama sudah ditangkapi dalam jumlah yang banyak.”
Sehingga ketika Sri Bintang Pamungkas berbicara, hanya dihadiri puluhan orang saja. Situasi ini sangat mungkin karena jalan masuk sudah diblokade polisi, dan jalan ke hotel sudah dipenuh ratusan polisi. Lima menit kemudian puluhan polisi masuk merangsak dan berbicara di ruangan di mana kami dan Sri Bintang Pamungkas sedang berbicara. Serombongan polisi merangsak ke depan, dan salah satu perwakilannya sambil berdiri mengatakan dengan keras, yang dialognya intinya begini: Wakil polisi yang dikawal: “Pak, saya mohon izin.” Sri Bintang menjawab: “Tunggu, saya selesai bicara dulu, Anda duduk.” Wakil polisi yang dikawal: “Kita menanyakan izin forum ini.” Kata Sri Bintang: “Tunggu dulu, saya biar selesai bicara, Anda duduk baik-baik seperti peserta lainnya. Anda masuk tidak izin.” Wakil polisi yang dikawal: “Ini saya mau izin.” Sri Bintang mengemukakan: “Ini tidak saya izinkan. Anda masuk tidak sopan.” Melihat adegan itu, sontak para fotografer, entah itu wartawan atau intel yang membawa kamera, yang kami tidak banyak kenal, segera mengambil adegan-adegan dialog. Kemudian Sri Bintang dan Polisi berdialog dengan jarak dekat. Ketika puluhan polisi mengepung Sri Bintang Pamungkas dan beberapa orang di depan, kemudian terjadi adu mulut. Polisi segera mengepung ruangan dan membuat barikade. Ada upaya polisi untuk menyuruh peserta agar keluar untuk mengisolasi Sri Bintang dan beberapa orang
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
45
Menyapih Lara di Tengah Jawa
di jajaran depan, tetapi peserta atau orangorang yang di dalam yang memakai pakaian sipil, entah itu intel atau peserta beneran, tidak mau keluar. Setelah itu polisi menyisir supaya orang-orang keluar ruangan atas. Kami kemudian menyingkir ke luar ruangan. Di luar ruangan, tetapi masih di lantai atas, dengan beberapa puluh orang berpakain sipil, kami berbincang sedikit, bahwa pada gelombang pertama tadi sudah ada ratusan yang ditangkap, dan kami adalah gelombang kedua. Kami tidak berpikir lagi kalau di bawah ratusan polisi sudah siap di hotel dan menutup semua pintu. Kami yang di atas, tahu bahwa kondisi ini akan berujung pada penangkapan. Kami pun turun, dan ternyata di lantai bawah, polisi memang jumlahnya ratusan sudah bersiap di mulut wisma, di jalan lantai atas samping, dan di semua pintu masuk sudah ditutup barikade polisi, tetapi belum ada penangkapanpenangkapan di lantai bawah, meskipun di atas Sri Bintang sudah ditangkap. Pikir kami Sri Bintang sudah ditangkap polisi, maka tidak ada sweeping dan pengejaran. Dengan santai dan tenang kami keluar di hadapan ratusan polisi yang memblokade jalan. Di tengah blokade ratusan polisi di lantai bawah hotel, dan belum terjadi penangkapan, masih ada satu lorong kafe kecil hotel yang dipadati polisi, tetapi jalannya belum ditutup. Polisi lain yang jumlahnya ratusan ada di jalanjalan. Kemudian kami keluar dan berjalan ke arah timur lorong pintu kafe ini, kea rah 10 meter menuju warung nasi. Lagi-lagi, pikir kami, Sri Bintang sudah ditangkap, pasti tidak akan ada lagi sweeping dan sudah selesai. Kami masih menyangka, ini bukan Orde Baru, kalau tokoh sudah ditangkap, tidak akan
46
ada penangkapan dan sweeping, apalagi ini kegiatan terbuka. Ternyata itu salah. Di luar dugaan, ketika kami makan di warung nasi, pasca lima menit kami makan, polisi sudah berhamburan dan melakukan sweeping terhadap orang-orang yang keluar dari wisma dan menangkapinya secara acak. Kami berpikir ini sudah berlebihan, dan kami teringat tahun 1998 dimana para aparat bertindak beringas membela rezim otoriter Soeharto. Kami berempat segera didatangi polisi. Digeledah, an dipegang kerah baju kami, ditarik-tarik keluar dari ruang makan. Di tengah itu, satu orang dari kami berdiri, terus berbicara kepada satu orang di antara puluhan polisi dengan jarak dekat: “Saya sedang makan ini pak. Saya sedang menjenguk seorang paman yang sedang sakit di RSI Hidayatullah. Ini apa-apaan ini. Yang diperiksa apanya.” Polisi mengatakan: “Kaos-kaos,” polisi mencari atribut golput dan atribut peserta konferensi golput. Di dalam pikiran kami: “Wah bakal diangkut ke mobil ini.” Polisi saat itu masih ragu-ragu untuk menangkap kami berempat, di tengah seluruh ruas jalan semua dipenuhi ratusan polisi dan sebagian orang yang berpakain sipil tidak ditangkap polisi (kemungkinan intel), sambil mencari orang secara acak untuk ditangkap. Semua jalan sudah dipenuhi oleh ratusan polisi kecuali di warung makan kami dan di luar area hotel. Ketika polisi tidak mendapatkan bukti, padahal di saku kami sudah ada jadwal pertemuan golput, tetapi tidak terendus oleh polisi, salah satu di antara kami yang berbicara dengan polisi tadi, punya kartu parkis RSI Hidayatullah, lalau mengatakan: “Saya sedang
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama
menjenguk paman di Rumah Saki di depan itu. Ini kartu parkirnya.” Polisi tidak punya alasan lagi. Satu kawan ini kemudian pergi ke RSI setelah berdialog dengan polisi. Nah, setelah itu kami kemudian tercerai berai. Yang satu diseret ke pojok, yang satu digeledah tasnya, dan yang satu memakai jaket, yang kebetulan mirip punya polisi di bawa ke pojok yang lain. Saat itu tidak ada orang sipil selain kita yang ditangkap kecuali para sipil yang justru menangkapi orang yang dicurigai ikut golput. Salah satu dari kami yang menunjukkan kartu parkir tadi segera berjalan menuju RSI Hidayatullah, di tengah-tengah para polisi sedang menyisir secara acak. Saat itu gerimis dan menjelang maghrib, sangat mencekam. Satu kawan yang sudah pasti lolos kemudian mengontak beberapa jaringan untuk meminta bantuan agar teman-teman yang ditangkap bisa diantu. Lima menit kemudian, jaringan yang dikontak sudah memberitahu bahwa dia sudah kontak LBH, dan lain-lain. Sepuluh menit kemudian, teman kami yang diluar dan diinterogasi memberi sinyal SMS, yang isinya ternyata tidak jadi ditangkap. Pikir kawan satu yang ada di RSI ini, ketika sampai di mulut RSI, ketiga teman lainnya pasti sudah ditangkap. Begitu juga sebaliknya, ketiga teman yang ada di warung makan ini, mengira satu orang yang ke RSI, sudah ditangkap dan dimasukkan mobil, karena saat itu dilihat secara faktual tidak mungkin lolos. Saling dugaan ini kami cocokkan satu jam setelah kami bertiga ketemu di RSI, dan ternyata selamat. Kami bertiga yang berada di warung makan, setelah selamat dari sweeping tidak berani keluar karena kondisi di sekitar tidak
memungkinkan. Pikiran kami, jika kami keluar dari warung makan, maka akan tetap digaruk karena dari pengamatan kami terhadap situasi, lolos tidak mungkis. Sebaliknya berlama-lama di warung juga tidak kalah mencekamnya. Sebab ratusan aparat dan para sipil yang kami curigai intel terus mengamat amati kami dan mencari cari yang lain. Kami berpikir hanya menunggu waktu saja untuk ditangkap jika kami terus bertahan di warung. Ditengah kondisi yang serba rumit maju kena, mundur kena. Kami bertiga mensetting rencana untuk keluar dari warung. Akhirnya diputuskan dua orang dari kami menuju RSI Hidayatullah dan satu teman berjalan ke arah utara dan itu dilakukan di tengah lalu lalang ratusan aparat kepolisian, dan tidak ikut masuk karena akan dijemput menggunakan motor. Kawan yang satu ini, rencananya memang akan dijemput menggunakan motor setelah teman yang berdua bisa lolos masuk rumah sakit tersebut. Alhamdulillah, kami berdua bertemu dengan kawan yang terlebih dahulu sampai rumah sakit yang sebelumnya kami duga sudah tertangkap. Setting tetap berlanjut. Kawan mengambil motor dan keluar untuk menjemput kawan kami yag tadi beranjak ke arah utara. Dari jarak sekitar 10 meter dari atas motor, kawan yang tadi ke utara dan menunggu jemputan, ternyata akhirnya diseret polisi. Akhirnya kawan satu tadi yang menjemput, urung menjemput, dan melanjutkan perjalanan keluar seolah-olah tidak kenal. Kawan yang tadi menjemput akhirnya mencari tempat aman dan kemudian mengirim pesan singkat agar kawan yang berada di rumah sakit untuk berpikir cara
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
47
Menyapih Lara di Tengah Jawa
keluar. Dan kami berbekal kartu parkir rumah sakit, dengan berlagak sebagai pembesuk, bisa lolos keluar melalui pintu gerbang yang saat itu masih dijaga puluhan aparat. Setelah kami bertemu tidak tahu lagi kawan yang satu yang sudah ditangkap dibawa mobil polisi. (Disusun oleh tiga orang yang lolos dari penangkapan di Kongres Nasional Golput, yang tidak mau disebutkan namanya). [Sumber:Wawancara dengan tiga orang anggota yang lolos penangkapan kongres Golput]. 8. Juni 2009 : Kosong 9. Juli 2009 : Kosong 10. Agustus 2009: FAKI dan Poltabes Yogyakarta Membubarkan Workshop AGSI-JSKK Kembali Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) membuat kaget guru-guru sejarah yang berkumpul di Yogyakarta. Workshop Guru-Guru Sejarah yang diadakan oleh AGSI (Asosiasi Guru Sejarah Indonesia) bekerjasama dengan perkumpulan bernama Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) itu diadakan pada Jum’at (17/7/ 2009). Acara bertempat di sebuah Hotel Perwitasari di tengah kota Yogyakarta, di sekitar Mergangsan. Workshop guru-guru sejarah itu menghadirkan tiga orang pembicara, yaitu Dr. Asvi Warman Adam, sejarahwan senior yang bekerja di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia); Ratna Hapsari, Ketua Umum Asosiasi Guru Sejarah Indonesia; dan Wahono, pengajar Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Saat itu, acara dimulai pukul 10.00-11.45 WIB dengan sambutan pembukaan oleh
48
perwakilan JSKK dan AGSI, dilanjutkan perkenalan masing-masing peserta yang hadir. Saat itu hari Jum’at, sebagian peserta kemudian menjalankan ibadah shalat Jum’at. Setelah Jum’atan, acara dimulai dengan menghadirnkan tiga narasumber. Tepat pukul 14.00, panitia acara diadatangi oleh seseorang dari Kapolsek Megangsan. Menurut kronologi yang dibuat Kontras disebutkan bahwa orang ini bernama Hendro yang bermaksud untuk meminta materi lokakarya yang sedang berlangsung. Pihak panitia yang diwakili sdr Daud memberikan jadwal acara workhsop. Bapak Hendro, bahkan oleh panitia diperkenankan untuk ikut dalam acara lokakarya, dan ia mengikuti proses lokakarya kurang lebih 15 menit, dan bahkan ia hadir dengan membawa camera digital dan melakukan foto acara lokakarya beberapa kali. Tiba-tiba pukul 14.30 WIB, sekitar 25 orang berpakaian hitam dengan tulisan Front Anti Komunis Indonesia( FAKI) di depan Hotel Perwitasari. Orang-orang ini menurut kronologi yang dibuat Kontras dipimpin oleh salah satu tokoh FAKI bernama Burhan. Orang-orang FAKI ini menolak Asvi Warman Adam dianggap sebagai pembela komunis dan menjadi narasumber, serta meminta agar acara itu dibubarkan. Ketika ditemui oleh paniti yang diwakili sdr Daud, orang FAKI ini meminta acara dibubarkan dengan alasan ketidaksetujuannya terhadap narasumber itu. Ia juga mengatakan: “ ... Kalau mau tahu sejarah komunis, belajar sama saya! Asvi Warman Adam dan acara ini antek Komunis! Hentikan sekarang juga!” Beberapa saat kemudian, beberapa anggota kepolisian dari kesatuan Kapolsek
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama
Mergangsan dan Kesatuan Poltabes Yogyakarta sebanyak 6 orang, berpakaian seragam kepolisian, bersama kira-kira 10 orang berpakaian preman. Hadir juga Kapolsek Mergangsan, Budoyo, dan Wakasat serta Kasat Intelkam Poltabes, Supriyadi. Pihak Kepolisian yang diwakili oleh Hendro meminta agar panitia membuat surat pemberitahuan yang ditujukan langsung kepada Kapoltabes dengan tembusan ke Kapolsek Mergangsan. Akhirnya panitia menyetujui, dan untuk itu Ibu Sumarsih membuat surat pemberitahuan ke sebuah wartel diboncengkan sepeda motor oleh Hendro, karena di Hotel Perwitasari tidak tersedia printer. Pada pukul 16.00 dilakukan negosiasi antara Ibu Sumarsih dan sdr Daud (panitia) dengan pihak Kepolisian yang diwakili oleh Kasat Intelkam. Ibu Sumarsih minta agar acara lokakarya tetap berjalan sesuai jadwal. Tapi Kasat intelkam mengatakan bahwa perintah dari Kapoltabes, acara ini harus dihentikan, dengan alasan bahwa ada ormas setempat yang memberikan laporan kepada Kepolisian tentang adanya acara ini. Karena Kepolisian khawatir akan terjadi tindakan anarkis, maka acara jangan dilanjutkan. Dalam kronologi yang dibuat Kontras disebutkan bahwa dalam posisi terdesak, Ibu Sumarsih meminta sdr Daud (mewakili panitia) mengambil daftar nama-nama peserta. Ketika Sdr Daud masuk ke ruang acara lokakarya untuk mengambil daftar nama peserta, di sana sudah ada beberapa orang intel kepolisian (kurang lebih 5 orang), menguasai meja registrasi melakukan fotofoto dan merekam dengan menggunakan handycam, dan sudah ada orang yang
mengambil absensi kehadiran peserta. Ia memaksa untuk memfoto copy absensi dan materi yang diberikan oleh narasumber serta film yang akan diputar pada malam hari. Panitia akhirnya memberikan semua permintaan dari Kepolisian, termasuk permintaan dari Kasat Intelkam berupa foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) Ibu Sumarsih. Ketika Ibu Sumarsih dan sdr Daud berupaya untuk bernegosiasi tetapi pihak Kepolisian tetap tidak menghiraukan. Ia mengatakan, kepolisian bertindak karena mendapat laporan dari Ormas dan panitia tidak memberikan surat pemberitahuan terlebih dahulu 3x24 jam sebelum acara dilaksanakan. Pukul 16.30 tokoh FAKI, yakni Bapak Burhan akhirnya mau bernegosiasi dengan Panitia yang diwakili oleh Ibu Sumarsih dan Sdr Daud, ia lebih banyak bercerita bahwa dirinya adalah keluarga korban pembunuhan oleh PKI, ia tidak senang terhadap Asvi arman Adam yang adalah menjadi salah satu narasumber. Ibu Sumarsih mengatakan, kalau dirinya juga sama-sama korban dari kekerasan, seharusnya sama-sama mengerti dan menghindari cara-cara kekerasan dalam setiap penyelesaian masalah.Ibu Sumarsih juga meminta agar acara ini tetap dilanjutkan karena semua peserta adalah guru-guru sejarah, dan acara lokakarya dilindungi oleh undang-undang, karena lokakarya ini adalah forum ilmiah. Bapak Burhan mengatakan, soal diberhentikan atau tidak acara itu bukan wewenangnya dan menyerahkan sepenuhnya kepada Kepolisian mengenai diberhentikan atau tidak acara workhsop itu. Pukul 17.00 pihak Kepolisian tetap tidak
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
49
Menyapih Lara di Tengah Jawa
mau acara workhsop ini dilanjutkan. Padahal yang menjadi alasan semula adalah karena adanya laporan dari FAKI. Tapi setelah FAKI menyerahkan kepada Kepolisian, kemudian alasan yang berkali-kali diucapkan adalah tiadanya surat pemberitahuan oleh Panitia mengenai acara tersebut. Pukul 17.30 anggota dari FAKI kira-kira 10 orang dengan berpakaian hitam bertuliskan FAKI masih bertahan di depan hotel Perwita Sari tempat acara workhsop dilakukan. Ibu Sumarsih diminta datang ke Kantor Kapoltabes untuk dimintai keterangan. Kemudian bertiga - bersama Bapak Arief (JSKK) dan Suparman (AGSI) – berangkat, dan sesampai di Kapoltabes didampingi oleh Sdr Ilyas beserta 2 rekannya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Di Kantor Poltabes, ternyata yang menemui adalah Kasat Intelkam Supriyadi juga, dan ia mengatakan kurang lebih sebagai berikut: Saya bisa memahami bahwa acara itu adalah forum ilmiah, tujuannya baik; Tetapi ternyata ada ormas di sini yang tidak setuju dengan acara itu dan minta untuk dihentikan. Dan saya tidak tahu kalau akan ada acara itu, saya baru diberitahu oleh ormas itu. Panitia tidak memberi surat pemberitahuan kepada kepolisian, pada hal mestinya pemberitahuan itu harus sudah diberikan tiga kali dua puluh empat jam sebelumnya. Karena itu saya minta acara tersebut diberhentikan sekarang juga. Akhirnya dicapai kesepakatan acara akan dihentikan. Bapak Arief dalam kesempatan itu meminta agar para anggota FAKI yang masih bertahan di depan hotel Perwita Sari segera diminta pergi meninggalkan hotel, dan
50
para peserta yang masih menginap (kurang lebih 16 orang) diberikan perlindungan oleh pihak Kepolisian untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Pukul 20.30 Ibu Sumarsih, Bapak Arief (JSKK), Suparman (AGSI) kembali lagi ke hotel. Dilanjutkan dengan sosialisasi kepada guru-guru sejarah mengenai pembubaran dan penghentian acara ini oleh pihak Kepolisian. Anggota FAKI meninggalkan hotel Perwitasari. Pihak Kepolisian sekitar 5 orang berpakaian seragam berjaga di depan hotel. Pukul 21.00 Kapolsek Mergangsan mendatangi kembali hotel untuk menemui panitia. Ia meminta daftar nama-nama peserta dan panitia yang masih menginap di hotel. Panitia telah memberikan daftar nama, setelah itu Kapolsek meninggalkan hotel. Pukul 24.00 pihak Kepolisian meninggalkan hotel dengan alasan akan melakukan patroli keliling. Tanggal 18 Juli 2009 Pukul 09.00 semua peserta meninggalkan Hotel Perwitasari. Agus Sukamso, Kapoltabes Yogyakarta menceritakan bahwa “pihaknya mengambil tindakan mengehntikan acara itu demi menegakkan aturan dan menegakkan Kamtbmas” (KR, 18/7/2009). Sementara Direktur LBH Yogyakarta, Irsyad Thamrin menyebutkan: “Seharusnya aparat kepolisian melindungi merek yng mengikuti worshop. Itu forum ilmiah untuk mengkaji sejarah. Aparat seharisnya melindungi keebasan berpendpt d berpikir (KR, 18/7/2009). Berkaitan dengn acara ini, pada tanggal 23 Juli 2009, Kontras kemudian mengirimkan surat kepada Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri,
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama
mempertanyakan kasus tersebut. Surat itu juga ditembuskan kepada Ketua Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia (Kompolnas-RI), Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Kepolisian Republik Indonesia, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Republik Indonesia, dan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Republik Indonesia, dan Kapoltabes Yogyakarta. Surat atas nama Usman Hamid, koordinator Kontras itu menyampaikan apresiasi atas disahkannya “Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, 22 Juni 2009. Perkapham adalah pedoman Kepolisian di seluruh wilayah Indonesia agar menerapkan prinsip dan standar HAM dalam setiap tugasnya. Berkaitan dengan pedoman tersebut, Kontras mempertanyakan tindakan Kepolisian Kota Besar Yogyakarta (Poltabes) pada hari Jum’at, tanggal 17 Juli 2009 yang menghentikan sebuah kegiatan lokakarya para guru sekolah bertema “Membangun Kesadaran Sejarah untuk Kebenaran dan Keadilan.” Kontras menilai tindakan kepolisian menghentikan lokakarya pada peristiwa ini lebih disebabkan atas desakan Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) ketimbang pada kelengkapan surat pemberitahuan acara lokakarya kepada kepolisian. Lebih jauh, Kontras menyebutkn bahwa pembubaran acara yang disebabkan karena kecurigaan
pada seorang narasumber (Asvi Warman Adam) justru bertentangan dengan salah satu standar dan prinsip HAM, yaitu penghormatan atas kebebasan berpikir, berpendapat yang seyogyanya dilihat sebagai kegiatan ilmiah. Kepolisian bisa bertindak dengan tegas jika ada sekelompok orang yang mengganggu dengan paksaan, ancaman dan ingin membubarkan kegiatan orang lain dalam dimensi kegiatan ilmiah tersebut. Sampai narasi ini dibuat, belum ada kejelasan tentang bagaimana tanggapan terhadap surat yang dilayangkan Kontras tersebut. [Diolah dari berbagai sumber]. 11. September 2009: Revisi Perda Minuman Beralkohol di Gunungkidul a. Revisi Perda Minuman Beralkohol di Gunungkidul
Gubernur DIY memutuskan revisi atas perda Pengawasan dan Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol (Mihol) yang telah ditetapkan bersama antara DPRD Gunungkidul dengan Bupati Gunungkidul. Karena ini, ketua koordinator forum masyarakat anti mihol Gunungkdiul, Harun Al-Rasyid kepada wartawan menyesalkan keputusan perlunya revisi ini dengan mengakatakan: “Terus terang kami sangat menyesalkan adanya revisi itu” (Bernas Jogja, 10/8/2009). Menurutnya revisi tersebut mengarah pada substansi pelarangan dan peredaran minuman beralkohol. Harun mengkhawatirkan dengan adanya revisi itu nantinya akan merubah substansi pelarangan minuman keras di Gunungkidul. Larangan peredaran minuman keras, menurut Harun, adalah mutlak untuk dilakukan. “Tidak ada manfaatnya menggunakan
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
51
Menyapih Lara di Tengah Jawa
miras,” tambah Harun yang juga pengasuh pondok pesantren Al-Hikmah Karangmojo itu. Sedang ketua pansus perda miras Ir Imam Taufik menambahkan bahwa pembahasan perda akan dilanjutkan oleh anggota DPRD periode 2009-2014. Ini menimbulkan kesulitan tersendiri bagi Pansus. Karena dari 10 orang anggota Pansus perda miras hanya Imam Taufik dan Arif Setiadi yang akan kembali duduk sebagai DPRD periode mendatang. Dia memperkirakan pembahasan revisi itu baru akan dimulai pada Oktober 2009 mendatang. Sebelum Perda Mihol itu disetujui DPRD Gunungkidul dan Bupati Gunungkidul, munculnya Perda Mihol ini, menurut Badingah, wakil bupati Gunungkidul sekaligus mewakili BNK (Badan Narkotika Kabupaten), dianggap penting, karena upaya pemberantasan penyakit masyarakat (pekat), salah satunya pemberantasan peredaran minuman keras beralkohol di masyarakat, kerap terbentur belum adanya peraturan daerah (perda). Belum adanya perda pemberantasan penyakit masyarakat, menurutnya menjadi hambatan aparat dan Badan Narkotika Kabupaten (BNK) Gunungkidul dalam menjalankan fungsinya. Badingah menyampaikan itu ketika menggelar rapat koordinasi dengan Satuan Narkoba Polres Gunungkidul yang dipimpin AKP Sumarno di Bangsal Sewokoprojo Pemkab Gunungkidul sebelum perda Mihol ditetapkan. Saat itu, Badan Narkotika Kabupaten (BNK) Gunungkidul diwakili Hj Badingah SSos mendesak agar Pemkab memiliki
52
Peraturan Daerah (Perda) Tentang Minuman Beralkohol (Mihol). Draf perencanaan Perda tentang larangan penjualan mihol secara bebas itu salah satunya akan dikenakan sanksi pidana kurungan 3 bulan dengan denda sebesar Rp 50 juta bagi penjual yang tidak memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB) Gunungkidul. Rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang Pengawasan dan Peng gunaan Minuman Beralkohol (Mihol) yang disusun ternyata pernah disetujui untuk diubah. Bupati Gunungkidul, Suharto sepakat mengubah nama menjadi Raperda Perlarangan Produksi Pengedaran dan Penggunaan Mihol. Suharto menyampaikan perubahan nama itu saat Rapat Paripurna DPR dalam agenda jawaban eksekutif terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi DPRD pada bulan April 2009. Dalam rapat ini, hadir juga ratusan pendukung organisasi masyarakat (ormas) Islam. Meski sepakat dengan perubahan nama raperda, Bupati menolak usulan larangan penjualan minuman keras (miras) di Gunungkidul sebagaimana diusulkan Fraksi Kesatuan Umat (FKU) yang meminta menghapus pasal dan ayat dalam raperda yang mengatur perizinan penjualan. Pasalnya Bupati menilai dalam peraturan perundangan yang lebih tinggi sudah jelas memperbolehkan miras dapat dijualbelikan, sepanjang memenuhi persyaratan sehingga untuk melarang produk mihol diperdagangkan tidak punya alasan kuat. Bupati kurang sependapat jika dalam pasal-pasal didalam raperda menggunakan kata-kata larangan melainkan cukup dengan
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama
pengawasan dan pengendalian, untuk tujuan kebutuhan kesehatan dan keagamaan. Suharto saat itu menyatakan: ”Kami tidak sepakat apabila pasal ancaman pidana berat bagi perusahaan dan penjual yang melanggar dibedakan dengan pengguna. Soal ancaman pidana pidana sudah jelas diatur dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).” Menyikapi jawaban Bupati, Ratno Pintoyo mewakili Fraksi PDIP saat itu memberikan apresiasi kepada orang nomor satu di Gunungkidul itu. PDIP memandang Bupati Gunungkidul tahu aturan hukum normatif. Hal ini senada dengan yang pernah disampaikan PDIP menolak Perda yang menyatakan miras sebagai barang terlarang untuk diedarkan. ”Sejak awal kami menegaskan peredaran produk minuman mengandung alkohol cukup diatur secara ketat,” kata Ratno yang juga wakil Ketua DPRD. Ketik raperda dibahas, ratusan siswa dari sejumlah Pondok Pesantren di Kabupaten Gunungkidul menggelar aksi unjuk rasa di kantor DPRD Gunungkidul, sabtu (18/4/ 2009). Mereka menggelar aksi menyatakan diri menolak pengesahan Raperda Pengawasan dan Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol. Mereka beralasan, Perda itu tidak secara tegas mengatur penghentian peredaran minuman keras di Gunungkidul. Pemberian izin dengan embelembel pengawasan bagi golongan miras seperti yang tertuang dalam usulan raperda, dinilai bertentangan dengan prinsip keyakinan masyarakat Kabupaten Gunungkidul yang mayoritas muslim. Untuk itu, mereka mendesak penggantian judul Raperda pengawasan menjadi
Pelarangan Peredaran Minuman Beralkohol di kabupaten Gunungkidul. “Kami baru menyetujui jika judul Peraturan daerah itu diganti menjadi pelarangan peredaran minuman keras,” kata juru bicara aksi saat itu, Harun Alrasyid, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah Piyaman Wonosari. Para santri tersebut adalah siswa dari PP Alhikmah dan PP Al Hadid hadir pula perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kecamatan Karangmojo, dan Dewan Pengurus Cabang Al-Irsyad Gunungkidul. Meski mendapt protes, setelah raperda dibahas, akhirnya disetujui oleh DPRD dan bupati Gunungkidul. Dalam perkembangannya perda itu sendiri ternyata mendapat tanggapan dari gubernur DIY dan menyatakan bahwa perda itu perlu diadakan revisi. Beberapa revisi yang diperlukan terhadap perda itu menurut gubernur pada bulan Agustus 2009, di antaranya: Pertama, sebagian besar pasal dalam Perda tentang larangan pengawasan dan pengendalian peredaran minuman beralkohol itu mendapat revisi dari Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X. Dalam revisi yang dituangkan di surat keputusan nomor 118/KEP/2009 tanggal 15 juli 2009 itu, Gubernur menyoroti antara lain penggunaan kalimat untuk tujuan kesehatan di pasal 3. Kalimat itu bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 246/Menkes/Per/V/1990 huruf c. Kedua, pasal 5 juga dinilai bertentangan dengan pasal 73 UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Gubernur juga meminta agar Pasal 4, 5, 7, 9 10, 11, 13, 14, dan 17 untuk disesuaikan dengan Peraturan Menteri Perdagangan nomor 15/M-DAG/
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
53
Menyapih Lara di Tengah Jawa
Per/3/2006 dan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 246/Menkes/Per/U/ 1990. Ketiga, Gubernur juga meminta agar kata agama dihapus, dengan alasan agama merupakan kewenangan pusat, bukan kewenangan daerah. [Diolah dari berbagai sumber]. b. September 2009: FPI Didesak untuk Dibubarkan di Yogyakarta
Saat itu pukul 01.30 WIB (25/8/2009), segerombolan orang berjubah yang beratribut FPI (Front pembela Islam) membuata geger di Kampung Kuliner, Jl. Laksda Adisucipto. Segerombolan orang ini melakukan sweeping, dan salah satu orang yang terkena sweeping itu adalah salah stu sesepuh Madura di Yogyakarta, Cak Kowi. Siaran pers Keluarga Madura Yogyakarta (KMY) menyebutkan bahwa: “Front Pembela Islam (FPI) kembali melakukan tindakan melawan hukum. Segerombolan “preman berjubah” ini nyata-nyata telah melakukan tindakan sweeping di Kampung Kuliner Jl. Laksda Adi Sucipto, pada Pukul 01.30 WIB dini hari (25/08/09), yang mengancam stabilitas keamanaan, ketenangan, serta kenyamanan masyarakat Yogyakarta. Terlebih, H Abd Kowi MA (Cak Kowi), sesepuh Keluarga Madura Yogyakarta (KMY), yang kebetulan melintas dan menghampiri sahabat-sahabatnya, dituduh sedang mabuk, dan dilansir oleh sejumlah media nasional baik cetak maupun elektronik.” Tuduhan dan pemberian stempel oleh segerombolan orang preman berjubah bahwa Cak Kowi sedang mabuk ini sangat
54
merugikan keluarga Madura di Yogayakarta. Cak Kowi, seperti dituturkan VHRmedia menyebutkan bahwa ia didatangi sekelompok anggota FPI ketika sedang minum kopi di Kampung Kuliner di depan Ambarukmo Plasa. “Saya yakin itu massa FPI, dilihat dari badge, atribut, dan kendaraan yang digunakan. Saya saat itu dituduh mabuk, padahal sedang minum kopi. Kopiah saya mau dilepas paksa. Itu tidak sopan dan melecehkan,” ujar Cak Kowi. Setelah kejadian ini orang-orang Madura di Yogyakarta membuat release untuk mengecam dan mengutuk tindakan FPI itu. Mereka terdiri dari Keluarga Madura Yogyakarta dengan ketua umum Drs. KH Fadli Zaini; Forum Silaturrahmi Keluarga Mahasiswa Madura Yogyakarta (FSKMMY) dengan ketua umum Irwan Hayat; Forum Silaturrahmi Keluarga Niagawan Madura Yogyakarta (FS-KNMY) dengan ketua umum H. Huddin Hasbullah. Dalam release yang ditandatangani ketiga orang di atas disebutkan bahwa atas kejadian itu orang Madura di Yogyakarta: kami marah, sebab rasa aman terancam; kami marah, sebab marwah atau kehormatan H Abd Kowi MA (Cak Kowi) dan Keluarga Madura Yogyakarta (KMY) dilecehkan; kami marah, sebab peran Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) sebagai penegak hukum telah diambil-alih oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan “polisi Tuhan” dengan cara-cara biadab-barbarian; kami marah, sebab hukum dicederai; dan kami marah, sebab budaya berkeadaban Yogyakarta dicoreng oleh FPI. Keluarga Madura Yogyakarta kemudian menyatakan: mengutuk sekeras-kerasnya
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
Lembaga Studi Sosial dan Agama
tindakan premanisme-biadab-mungkar Front Pembela Islam (FPI); mengecam tindakan main hakim sendiri atas nama apa pun; mendesak Front Pembela Islam (FPI) Yogyakarta sekaligus Bambang Td selaku Ketua meminta maaf secara terbuka kepada H Abd Kowi MA dan Kelurga Madura Yogyakarta (KMY) dalam tempo paling lambat 2X24 Jam. Jika himbauan ini tidak dipenuhi, maka kami tidak bertanggungjawab atas tindakan-tindakan di luar koordinasi kami; dan mendesak pihak Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan Pemerintah segera membubarkan Front Pembela Islam (FPI) hingga ke akar-akarnya, demi stabilitas keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam berbangsa dan tegaknya Islam yang rahmatan li al-‘Âlamîn (Berislam tanpa kekerasan). Tidak hanya membuat release, kelurga Madura juga melakukan unjuk rasa ke Polda DIY pada Rabu (26/8/2009), yang salah satunya dipimpin Ketua Forum Silaturahim Keluarga Mahasiswa Madura, Irwan Hidayat. Seperti dikuti VHRmedia, Irwan Hidayat menyebutkan: “Kami mengutuk tindakan FPI dan meminta polisi membubarkan organisasi ini.” Irfan Hidayat juga menyebutkan bahwa Keluarga Madura Yogyakarta meminta Ketua FPI Bambang TD meminta maaf. “Apabila tidak dilaksanakan, KMY tidak bertanggung jawab atas tindakan anggota yang tidak terkoordinasi.” Beberapa hari setelah itu, sesepuh masyarakat Madura di Yogyakarta, KH. Malik Madani MA., diwawancarai media massa terkait dengan tindakan FPI. Dalam wawancara itu, yang dikutip Kedulatn Rakyat
(28/9/2009) KH. Malik Madani menyebutkan agar FPI introspeksi dan orang-orang Madura tidak melakukan tindakan sendiri-sendiri. KH. Malik juga menyebutkan bahwa untuk menghadapi FPI ini perlu menggunakan kaidah: “menghilangkan najis tidak perlu dengan menggunakan air kencing” (izâlatu an-najîs laisa bi al-baul). [Diolah dari berbagai sumber]. 12. Oktober 2009: Bentrok Aparat dengan PPLP Sejak pukul 09.00 WIB tanggal 20/10/ 2009, ratusan warga menggunakan 21 truk mendatangi Gedungkaca kompleks Pemkab Kulonprogo, tempat berlangsungnya konsultasi publik rencana kegiatan penambangan dan pemrosesan pasir besi. Massa datang membawa bendera Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP). Massa langsung berhadap-hadapan dengan 500 polisi yang menerapkan penjagaan dua lapis. Situasi mulai panas ketika sejumlah anggota PPLP yang mendapat undangan konsultasi publik tidak diperbolehkan masuk dengan alasan terdaftar. Setelah terjadi negosiasi alot, hanya Ketua PPLP Supriyadi dan sejumlah anggotanya diizinkan masuk. Sekitar pukul 11.00 WIB, warga yang mulai emosi berusaha menembus blokade polisi dan melampiaskan kekesalan dengan menendang perisai petugas. Polisi terpancing membalas aksi massa PPLP. Untuk membubarkan massa yang semakin beringas, petugas menembakkan gas air mata dan menyemprotkan water cannon ke arah kerumunan demonstran. Dalam bentrokan itu, puluhan orang
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009
55
Menyapih Lara di Tengah Jawa
mengalami luka akibat lemparan batu maupun tembakan gas yang langsung mengenai tubuh. Bahkan, lima warga pesisir terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wates karena mengalami luka serius. “Tindakan polisi sudah melebihi batas, tidak seharusnya aparat kepolisian justru tidak melindungi masyarakat,” protes Syamsudin Nurseha dari Divisi Bidang Ekonomi Sosial Budaya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja, yang ikut mendampingi PPLP. Ia mengancam akan memperkarakan masalah ini ke Komnas HAM. Atas kejaidan di atas, wakil rakyat di DPRD DI Yogyakarta menyesalkan terjadinya bentrokan fisik antara petani Paguyuban Petani Lahan Pasir Kulon Progo dengan aparat kepolisian, Selasa (20/10). Semua pihak diharapkan saling menahan diri. DPRD DIY berkomitmen akan membantu para petani dalam memperjuangkan hakhaknya. Ketua sementara DPRD DIY Nuryadi, Rabu (21/10), saat menerima pengaduan beberapa warga perwakilan PPLP KP di DPRD DIY mengatakan, DPRD DIY akan memanggil pihak-pihak terkait proyek penambangan pasir besi untuk mencari solusi. Bila diperlukan, DPRD DIY juga siap memberikan bantuan perlindungan hukum kepada para petani. Nuryadi meminta PPLP segera membuat surat pengaduan tertulis disertai data-data rinci kepada DPRD DIY. Surat itu akan menjadi dasar bagi DPRD DIY mengambil langkah berikutnya, yaitu mengundang pihak terkait,
56
termasuk bila diperlukan akan mengundang Gubernur DIY. Ketua PPLP Supriyadi menegaskan, PPLP tetap menolak proyek tambang pasir besi karena merugikan petani. Pihaknya meminta DPRD DIY membantu memperjuangkan nasib para petani yang terancam tergusur proyek tersebut. Hari berikutnya, unjuk rasa menolak proyek tambang pasir besi di pesisir pantai selatan Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, terus berlanjut. Jumat (24/10/ 2009), ratusan warga pesisir pantai Kulonprogo kembali mendatangi Kantor DPRD setempat untuk menolak proyek tambang pasir besi di pesisir pantai selatan. Para petani mendesak DPRD untuk membatalkan rencana kontrak karya proyek tambang pasir besi antara Pemerintah Kabupaten Kulonprogo dan sejumlah investor. Warga khawatir, proyek tambang pasir besi sepanjang 22 kilometer itu akan menggusur rumah warga dan lahan pertanian mereka. Ribuan petani yang berunjuk rasa bentrok dengan polisi yang menghadang mereka di pintu masuk Gedung DPRD. Para petani marah karena niat bertemu anggota Dewan dihalangi polisi. Para petani mendesak DPRD untuk membatalkan rencana kontrak karya proyek tambang pasir besi antara Pemerintah Kabupaten Kulonprogo dan sejumlah investor. Warga khawatir, proyek tambang pasir besi sepanjang 22 kilometer itu akan menggusur rumah warga dan lahan pertanian mereka.[Diolah dari berbagai sumber].
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jawa Tengah Tahun 2009