PENGANTAR REDAKSI Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya, Balai Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (BP-PAUD dan Dikmas) Nusa Tenggara Barat dapat menyelesaikan dan menerbitkan Jurnal Aksa Sriti Volume ke-17, sebagaimana direncanakan. Sebagai wujud konsistensi untuk mempertahankan karakter jurnal sebagai jurnal berhaluan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, pengelola telah berusaha maksimal dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar penyusunan jurnal ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan jurnal ini. Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin member saran dan kritik yang konstruktif sehingga kami dapat meningkatkan kualitas jurnal ke depan. Akhirnya, kami mengharapkan semoga dengan terbitnya jurnal ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya serta dapat memberikan inspirasi bagi pembaca dan pada akhirnya diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan kita.
Jurnal Aksa Sriti
Volume 17
DAFTAR ISI MENUMBUHKAN SIKAP DAN BUDI PEKERTI PADA ANAK USIA DINI MELALUI PROGRAM “HARI BERANTAI” (HARI MEMBERSIHKAN PANTAI) Hal. 1 – 16 Baiq Vina Handayani (Pamong Belajar BP-PAUD dan Dikmas NTB) REPOSISI SKB PASCA TERBITYA PERMENDIKBUD NOMOR 4 TAHUN 2016; SEBUAH EKSPEKTASI METAMORFOSIS Hal. 17 - 50 Agus Sadid (Ketua IPABI NTB, Pamong Belajar SKB Kab. Sumbawa) POSISI STRATEGIS KELUARGA DALAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI Hal. 51 – 63 Rizki Rachmadaniar (Pamong Belajar BP-PAUD dan Dikmas NTB) PENDIDIKAN KECAKAPAN WIRAUSAHA BERBASIS OTAK KANAN Hal. 64 - 85 Fauziyah Syahrawati (Pamong Belajar BP-PAUD dan Dikmas NTB) PROGRAM PENDIDIKAN KEAKSARAAN DASAR PADA KOMUNITAS ADAT TERPENCIL (KAT) BAYAN KABUPATEN LOMBOK UTARA ; SUATU STUDI LITERATUR Hal. 86 – 108 Mohamad Hisyam (Pamong Belajar BP-PAUD dan Dikmas NTB)
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
MENUMBUHKAN SIKAP DAN BUDI PEKERTI PADA ANAK USIA DINI MELALUI PROGRAM “HARI BERANTAI” (HARI MEMBERSIHKAN PANTAI) Baiq Vina Handayani Pamong Belajar BP-PAUD dan Dikmas NTB Jl. Gajah Mada No.173 Jempong Baru, Kota Mataram
Abstrak : Permendikbud Nomor 23 tahun 2015 menyatakan bahwa pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah adal ah cerminan dari nilai-nilai Pancasila dan seharusnya menjadi bagian proses belajar dan budaya setiap sekolah dalam bentuk kegiatan umum, harian, mingguan, bulanan, tengah tahunan, dan/atau tahunan dengan pelibatan orang tua karena pendidikan karakter seharusnya menjadi gerakan bersama. Pelaksanaan penumbuhan Budi pekerti bersifat konstekstual, yaitu disesuaikan dengan nilai-nilai muatan lokal daerah pada peserta didik. Kegiatan hari berantai (hari membersihkan pantai) hadir menjadi sebuah strategi dan juga solusi dalam mengatasi penumbuhan sikap dan budi pekerti anak usia dini terutama menumbuhkan kepedulian dan rasa tanggung jawab terhadap kebersihan lingkungan yang dalam hal ini adalah pantai yang menjadi objek wisata terbesar di Provinsi NTB dan juga Bali sebagai wujud kecintaan terhadap tanah air. Kegiatan hari berantai selain melibatkan pendidik dan peserta didik, juga melibatkan peran orang tua dan masyarakat sebagai pelaku pendidikan untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang berkarakter berlandaskan gotong royong. Kata Kunci : budi pekerti, gotong royong, hari berantai, karakter, orang tua, peserta didik, sikap A. PENDAHULUAN Salah satu dari sembilan agenda prioritas Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo yang tertuang dalam nawacita adalah mengamankan kepentingan dan keamanan maritim Indonesia khususnya batas negara, kedaulatan, dan sumber daya alam. Indonesia Secara geografis merupakan sebuah negara kepulauan dengan dua pertiga luas lautan lebih besar daripada daratan. Garis pantai berada hampir di setiap pulau di Indonesia. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Bali merupakan dua dari berbagai provinsi di Indonesia yang memiliki objek wisata pantai yang indah dan menawan. Keindahannya mampu memikat tidak hanya wisatawan domestik bahkan wisatawan dari mancanegara tidak ingin melewatkan keindahannya. Bahkan Pulau Lombok pada 1
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
tahun 2015 memenangkan ajang World Halal Travel Award sebagai destinasi wisata halal terbaik dunia. Hal ini menjadi bukti bahwa NTB memiliki potensi yang diakui oleh dunia. Antusias para wisatawan tersebut tidak berbanding lurus dengan antusias masyarakat setempat terkait kesadaran dalam
menjaga kebersihan pantai. Hal ini
terlihat dari beberapa pantai yang terkenal seperti pantai Senggigi di Lombok Barat, tebaran berbagai macam sampah seolah menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat kita akan kebersihan sangat minim. Seolah menjadi hal biasa dan wajar, sehingga kita menganggap hal itu tidak perlu penanganan. Memenangkan salah satu award kelas dunia seharusnya tidak hanya menjadi kebanggan kita tapi juga menjadi cambuk untuk kita berbenah diri mulai dari hal kecil seperti menjaga dan mencintai lingkungan dengan cara membuang sampah pada tempatnya khususnya di lokasi wisata seperti pantai yang menjadi tempat orang rekreasi menikmati keindahan alam. Hal ini menjadi pekerjaan rumah untuk pemerintah terkait bagaimana menjaga wisata alam di lingkungan sekitar pantai. Memang kesadaran seperti ini sulit ditumbuhkan pada masyarakat luas jika pemerintah tidak melakukan “pembiasaan”. Orang bisa melakukan sesuatu karena terbiasa. Pembiasaan ini akan maksimal jika dilakukan mulai dari usia dini. Pada usia dinilah, seorang anak itu dibentuk seumur hidupnya. Artinya, penanaman hal-hal baik pada usia dini akan bertumbuh hingga ia dewasa nanti sehingga menjadi karakter yang melekat. Pembiasaan buang sampah dan membersihkan lingkungan mungkin sudah bayak diterapkan di satuan PAUD, bahkan oleh orang tua di rumah. Namun, anak-anak perlu diberi pemahaman juga bahwa menjaga dan mencintai lingkungan tidak hanya bisa dilakukan di sekolah atau di rumah tapi juga di lingkungan sekitar, seperti lingkungan wisata pantai. Anak-anak dikenalkan tanggungjawab sejak dini, bahwa lingkungan wisata juga lingkungannya sehingga anak-anak mempunyai rasa memiliki dan tanggungjawab untuk menjaganya. Menjaga dan mencintai lingkungan seperti membiasakan buang sampah pada tempatnya termasuk juga di lingkungan sekitar pantai merupakan salah satu bentuk atau wujud kecintaan kita kepada tanah air. Rasa cinta tanah air ini harus ditumbuhkan kepada anak sejak dini sehingga pada anak terbiasa tumbuh nilai-nilai dasar kebangsaan dan kemanusiaan. Dengan dilakukannya kegiatan Hari Berantai oleh lembaga PAUD menjadi program kegiatan rutin dengan melibatkan peran orang tua, pemerintah, dan 2
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
masyarakat diharapkan dapat menumbuhkan kebiasaan anak dalam menjaga lingkungan dari hal-hal kecil seperti membuang sampah pada tempatnya baik di lingkungan rumah, sekolah dan sekitarnya. Program ini didesain dengan melibatkan peran serta orang tua dan masyarakat sebagai pelaku pendidikan untuk dapat aktif mendukung program sehingga para pelaku pendidikan ini mempunyai visi atau tujuan yang sama dengan pendidik sehingga pembiasaan juga dapat dilakukan di rumah atau di manapun dengan pendampingan dari orang tua. Melalui program ini, diharapkan tumbuhnya semangat gotong royong pada anak-anak sejak dini bahkan juga semagat gotong royong para pelaku pendidikan seperti pendidik, orang tua dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan visi kementerian pendidikan dan kebudayaan tahun 2015-2019 yaitu “Terbentuknya insan dan ekosistem pendidikan yang berkarakter berlandaskan gotong royong” dan juga meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan di sekitar pantai dengan melibatkan peran para orang tua dalam kegiatan anak-anak. Kegiatan ini juga diharapkan para pendidik memberikan pengalaman baru kepada anak-anak dengan melaksankan proses pembelajaran yang dilakukan di sekitar pantai. Anak-anak dapat belajar banyak dari bahan-bahan alami seperti pasir, air laut, pepohonan, pengelompokan sampah sesuai jenisnya, menanam pohon, gotong royong, belajar tentang ikan, mengenal profesi nelayan dan lain sebagainya. Banyak hal yang bisa dipelajari oleh anak-anak melalui lingkungan pantai dan pendidik bisa bereksplorasi terkait dengan proses pembelajaran dengan metode sentra maupun klasikal bisa diterapkan pada model ini. Penanaman sikap pada pendidikan anak usia dini memiliki peran yang sangat penting dalam membangun karakter anak sejak dini melalui pembiasaan dan keteladanan. Penanaman sikap ini menjadi prioritas utama dibandingkan dengan pengembangan pengetahuan dan keterampilan. Dalam kurikulum 2013 PAUD pengembangan kompetensi sikap mencakup seluruh aspek perkembangan, artinya sikap berada di aspek nilai agama dan moral, fisik motorik, kognitif, sosial–emosional, bahasa, dan seni. Di dalam struktur Kurikulum 2013 PAUD pengembangan kompetensi sikap meliputi kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial.
3
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
B. PEMBAHASAN a) Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menurut UU No.20 Tahun 2003 Pasal 1 butir 14 adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan serta perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pada hakekatnya adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan tujuan untuk memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh atau menekankan pada pengembangan seluruh aspek kepribadian anak. Pendidikan
Anak
Usia
Dini
memberi
kesempatan
untuk
mengembangkan kepribadian anak, oleh karena itu lembaga pendidikan untuk anak
usia dini
perlu
menyediakan
berbagai kegiatan
yang
dapat
mengembangkan berbagai aspek perkembangan yang meliputi kognitif, bahasa, sosial, emosi, fisik, dan motorik. Pendidkan Anak Usia Dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakkan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan baik koordinasi motorik (halus dan kasar),
kecerdasan
emosi,
kecerdasan
jamak
(mutiple intelelegensi) dan
kecerdasan spiritual.Sesuai dengan keunikan dan pertumbuhan Anak Usia Dini, maka penyelenggaraan Pendidikan bagi
Anak Usia Dini disesuaikan
dengan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh Anak Usia Dini. Anak usia dini adalah aset dan penerus bangsa yang dilindungi undangundang baik dari segi kesehatan, pendidikan maupun keamanan. Oleh sebab itu mereka berhak mendapatkan pelayanan pendidikan yang layak dan mencakup semua aspek perkembangannya. Usia dini 0-6 tahun adalah masa keemasan (golden age) yang penggunaan otaknya paling maksimal sehingga pemberian rangsangan berupa pendidikan karakter/sikap penting dilakukan mengingat pada usia dini anak akan dibentuk karakternya untuk seumur hidup. b) Pendidikan Budi Pekerti Secara etimologis, istilah budi pekerti, atau dalam bahasa Jawa disebut budi pakerti, dimaknai sebagai budi berarti pikir, dan pakerti berarti 4
perbuatan. Berangkat dari kedua makna kata
budi
dan
pakerti
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
tersebut, pakerti
Ki Sugeng Subagya (Februari sebagai
perbuatan
2010)
mengartikan
istilah
budi
yang dibimbing oleh pikiran; perbuatan yang
merupakan realisasi dari isi pikiran; atau perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran. Menurut Ensiklopedia Pendidikan, budi pekerti diartikan sebagai kesusilaan yang mencakup segi-segi kejiwaan dan perbuatan manusia; sedangkan manusia
susila
adalah
manusia
yang
sikap
lahiriyah
dan
batiniyahnya sesuai dengan norma etik dan moral. Dalam konteks yang lebih luas, Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (1997) mengartikan istilah budi pekerti sebagai sikap dan prilaku sehari-hari,
baik
individu,
keluarga,
masyarakat,maupun
bangsa
yang
mengandung nilai-nilai yang berlaku dan dianut dalam bentuk jati diri, nilai persatuan dan kesatuan,
integritas, dan kesinambungan masa depan
dalam
suatu sistem moral, dan yang menjadi pedoman prilaku manusia Indonesia untuk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan bersumber pada falsafah Pancasila dan diilhami oleh ajaran agama serta budaya Indonesia. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa budipekerti pada dasarnya
merupakan
sikap dan prilaku seseorang, keluarga,
maupun
masyarakat yang berkaitan dengan norma dan etika. Oleh karena itu, berbicara tentang budi pekerti berarti berbicara tentang nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui ukuran norma agama, norma hukum, tata krama dan sopan santun, atau norma budaya/adat istiadat suatu masyarakat atau suatu bangsa. Pada hakekatnya, pendidikan budi pekerti memiliki substansi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Haidar (2004) mengemukakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah usaha sadar yang dilakukan dalam rangka menanamkan
atau menginternalisasikan
nilai-nilai
moral ke dalam sikap dan prilaku peserta didik agar memiliki sikap dan prilaku yang luhur (berakhlakul karimah) dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama manusia maupun dengan
alam/lingkungan. Secara
konsepsional,
Pendidikan
Budi
Pekerti
dapat
dimaknai sebagai usaha sadar melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran dan latihan, serta keteladanan untuk menyiapkan peserta didik menjadi
manusia
seutuhnya yang berbudi pekerti
luhur dalam segenap 5
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
peranannya di masa yang akan datang. Pendidikan merupakan
suatu
upaya
budi
pembentukan,pengembangan,
pekerti
juga
peningkatan,
pemeliharaan dan perbaikan perilaku peserta didik agar mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, seimbang
antara
lahir-batin, jasmani-rohani, material-spiritual, dan individusosial. (Balitbang Puskur, Depdiknas, 2001). Sebaliknya secara
operasional,
pendidikan
budi
pekerti
dapat
dimaknai sebagai suatu upaya untuk membentuk peserta didik sebagai pribadi seutuhnya yang tercermin dalam kata, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, dan hasil karya berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa Indonesia melalui kegiatan bimbingan, pelatihan dan pengajaran. Tujuannya agar mereka memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap sesama makhluk (Balitbang Puskur, Depdiknas, 2001). Tujuan pendidikan Budi Pekerti adalah untuk mengembangkan nilai, sikap dan prilaku siswa yang memancarkan akhlak mulia/budi pekerti luhur (Haidar, 2004). Hal ini mengandung arti bahwa dalam pendidikan Budi Pekerti, nilai-nilai yang ingin dibentuk adalah nilai-nilai akhlak yang mulia, yaitu tertanamnya nilainilai akhlak yang mulia ke dalam diri peserta didik yang
kemudian
terwujud dalam tingkah lakunya. Secara umum,
dapat
dikatakan bahwa hakekat dari tujuan pendidikan budi pekerti adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik. Indikator manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum didasarkan atas nilai-nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat atau bangsa tersebut. Oleh karena itu, hakikat pendidikan budi pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Berkaitan dengan hal tersebut, Pusbangkurandik
(1997)
mengkategorikan pendidikan budi pekerti menjadi tiga komponen yaitu: 1. Keberagamaan, terdiri dari nilai-nilai; (a) kekhusukan hubungan dengan 6
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Tuhan, (b) kepatuhan kepada Agama, (c) niat baik dan keikhlasan, (d) perbuatan baik, dan (e) pembalasan atas perbuatan baik dan buruk. 2. Kemandirian, terdiri dari nilai-nilai (a) harga diri, (b) disiplin, (c) etos kerja (kemauan
untuk
berubah,
hasrat
mengejar
kemajuan,
cinta
ilmu,
teknologi dan seni), (d) rasa tanggung jawab, (e) keberanian dan semangat, (f) keterbukaan, dan (g) pengendalian diri. 3. Kesusilaan, terdiri dari nilai-nilai (a) cinta dan kasih sayang, (b) kebersamaan, (c) kesetiakawanan, (d) tolong-menolong, (e) tenggang rasa, (f) hormat menghormati, (g) kelayakan (kapatutan), (h) rasa malu, (i) kejujuran, dan (j) pernyataan terima kasih, permintaan maaf (rasa tahu diri). Adapun aspek-aspek yang ingin dicapai dalam pendidikan budi pekerti menurut Haidar (2004) dapat dibagi ke dalam tiga ranah, yaitu: Pertama ranah kognitif, mengisi otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada tahap-tahap berikutnya dapat membudayakan akal pikiran, sehingga dia dapat memfungsikan akalnya menjadi kecerdasan intelegensia. Kedua, ranah afektif, yang berkenaan dengan perasaan, emosional, pembentukan sikap di dalam diri pribadi seseorang dengan terbentuknya sikap, simpati, antipati, mencintai, membenci, dan lain sebagainya. Sikap ini semua dapat digolongkan
sebagai kecerdasan
emosional.
Ketiga, psikomotorik adalah
berkenaan dengan tindakan, perbuatan, prilaku, dan seterusnya. Apabila bahwa aspek
disinkronkan pendidikan
ketiga
budi
ranah
pekerti
tersebut
dicapai
dapat
mulai
disimpulkan
dari
memiliki
pengetahuan tentang sesuatu, kemudian memiliki sikap tentang hal tersebut, dan selanjutnya berperilaku sesuai dengan apa yang diketahuinya dan apa yang disikapinya. Pendidikan budi pekerti, adalah meliputi ketiga aspek tersebut. Seseorang mesti Selanjutnya
mengetahui
apa
yang
baik
dan
apa
yang
buruk.
bagaimana seseorang memiliki sikap terhadap baik dan buruk,
dimana seseorang sampai ke tingkat mencintai kebaikan dan membenci keburukan. Pada tingkat berikutnya bertindak, berperilaku sesuai dengan nilai-nilai
kebaikan,
sehingga
muncullah akhlak atau budi pekerti mulia.
Sebagaimamana dinyatakan oleh Ki
Hajar Dewantoro (1977), bahwa
supaya nilai yang ditanamkan dalam pendidikan tidak tinggal sebagai pengetahuan
saja,
tetapi
sungguh
menjadi
tindakan
seseorang,
maka 7
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
produk pendidikan terpadu,
mestinya
yaitu
memperhatikan
tiga
“ngerti-ngerasa-ngelakoni”
unsur
berikut
secara
(mengetahui/memahami,
memiliki/menghayati dan melakukan). Hal diatas mengandung pengertian bahwa agar pendidikan budi pekerti dapat mencapai tujuan yang diinginkan maka hendaknya bentuk pendidikan dan pengajaran budi pekerti mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara terpadu. Hal
senada
disampaikan
oleh
Lickona
(1992), bahwa dalam proses pendidikan moral/budi pekerti, hendaknya guru tidak semata-mata terfokus pada pemberian materi tentang konsep-konsep pendidikan moral/budi pekerti kepada peserta didik, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan atau perilaku Pernyataan
tersebut
semakin
memperkokoh
bahwa
moral.
pendidikan moral
hendaknya tidak hanya terfokus pada aspek kognitif saja, tetapi juga harus menyentuh pada aspek afektif dan psikomotorik. Faktor yang Menentukan Perkembangan Sikap dan Budi Pakerti Anak Usia Dini Menurut Bimo Walgito (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003), pembentukan dan perubahan sikap akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu : Pertama, Faktor internal (individu itu sendiri), yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luar dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak. Kedua, Faktor eksternal, yaitu keadaan yang ada diluar individu yang merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap. Faktor eksternal seperti lingkungan keluarga (kurangnya bimbingan kepada anak karena kurangnya kesadaran orangtua akan pentingnya moral dasar sejak dini, kondisi keluarga yang kurang stabil), sekolah, pergaulan di masyarakat serta pengaruh teknologi (tayangan televisi, internet, dll). Prinsip dalam Menumbuhkan Sikap dan Budi Pekerti Pada Anak Usia Dini Prinsip-prinsip dalam menumbuhkan sikap dan budi pekerti pada anak usia dini antara lain: (1)melalui contoh dan keteladanan; (2)dilakukan secara berkelanjutan (adanya 8
pembiasan);
(3)menyeluruh
pada
semua
aspek
perkembangan;
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
(4)menciptakan rasa kasih sayang; (5)aktif memotivasi anak; (6)melibatkan pendidik, tenaga kependidikan, orang tua dan masyarakat; dan (7)adanya penilaian. Peran Pendidik dalam Menumbuhkan Sikap dan Budi Pekerti Pada Anak Dalam menanamkan sikap kepada anak di sekolah, guru memiliki posisi yang strategis sebagai pelaku utama. Guru merupakan sosok yang dapat ditiru atau menjadi idola bagi anak. Guru dapat menjadi sumber inspirasi dan motivasi anak didiknya. Sikap dan perilaku seorang guru sangat membekas dalam diri anak sehingga ucapan, karakter, dan kepribadian guru menjadi cermin bagi anak. Dengan demikian, guru memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Tugas-tugas manusiawi itu merupakan transformasi, identifi kasi, dan pengertian tentang diri sendiri, yang harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis. Ada beberapa strategi yang dapat memberikan peluang dan kesempatan bagi guru untuk memainkan peranannya secara optimal dalam hal pengembangan pendidikan karakter peserta didik di sekolah, sebagai berikut. 1.
Optimalisasi peran guru dalam proses pembelajaran
2.
Integrasi materi pendidikan karakter ke dalam pembelajaran
3.
Mengoptimalkan kegiatan pembiasaan diri yang berwawasan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia
4.
Penciptaan
lingkungan
sekolah
yang
kondusif
untuk
tumbuh
dan
berkembangnya nilai-nila pada anak 5.
Menjalin kerjasama dengan orangtua peserta didik dalam mengembangkan nilai pada anak
6.
Menjadi figur teladan yang baik
Peran Orang Tua dalam Penumbuhan Sikap dan Budi Pekerti Anak Usia Dini Penanaman nilai sejak dini seyogianya dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertum buhan karakter anak. Dalam upaya membentuk karakter, tabiat, akhlak atau budi pekerti anak, ada beberapa hal yang perlu dilakukan orang tua, antara lain: (1) menegakkan disiplin dengan ajek;
9
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
(2)terlibat penuh dalam membangun karakter anak; (3)menjadi contoh yang baik dan teladan bagi anak; dan (4)menumbuhkan nilai-nilai keutamaan pada anak. Siklus Strategi Penumbuhan Sikap dan Budi Pekerti
Lima langkah yang perlu diperhatikan dalam menumbuhkan sikap dan budi pekerti pada anak adalah sebagai berikut. 1) Anak dikenalkan terlebih dahulu dengan perilaku dan nilai yang baik dan yang seharusnya dilakukan (knowing the good). 2) Anak diajak membahas dan memikirkan mengapa hal ini baik atau tidak baik (thinking the good). 3) Anak diajak merasakan manfaat bila perilaku baik itu diterapkan (feeling the good). 4) Anak diajak melakukan perilaku yang baik (acting the good). 5) Anak dibiasakan untuk menerapkan sikap baik dalam setiap kesempatan (habituating good). c) Penumbuhan Sikap dan Budi Pakerti Pada Anak Usia Dini Melalui Kegiatan Hari Berantai Hari Berantai merupakan kegiatan ekstarkurikuler yang dilaksanakan rutin dengan melibatkan peran orang tua/wali murid. Misalnya, satu kali sebulan 10
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
sesuai dengan kesepakatan antara sekolah dengan pihak wali/orang tua murid. Kegiatan ini sekaligus sebagai kegiatan pembelajaran yang dapat dilaksanakan oleh lembaga PAUD. Kegiatan ini mendukung implementasi Kurikulum 2013 PAUD yang terakit dengan menumbuhkan sikap dan budi pekerti. Tujuan Kegiatan Hari Berantai Tujuan dari program kegiatan hari berantai merujuk kepada pembentukan atau penumbuhan sikap dan buid pekerti anak yang meliputi (a) keberagamaan yakni hubungannya dengan Tuhan dan (b) sosial yakni hubungannya dengan sesama, baik itu sesama peserta didik, hubungan dengan pendidik, dengan orang tua. Adapun tujuan tersebut kemudian dijabarkan seperti berikut ini. 1. Mengarahkan dan membimbing anak usia dini untuk dapat menginternalisasi nilai moral dan spritual melalui kegiatan ”Hari Berantai”. 2. Menuntun anak usia dini untuk dapat menanamkan nilai kebangsaan dan kebhinekaan melalui kegiatan ”Hari berantai”. 3. Mengarahkan dan membimbing anak untuk dapat berinteraksi positif sesama siswa melalui keegiatan “Hari Berantai”. 4. Mengarahkan dan membimbing anak untuk dapat berinteraksi positif dengan orang tua dan guru melalui keegiatan “Hari Berantai”. 5. Mengarahkan dan membimbing anak usia dini untuk dapat memelihara lingkungan wisata melalui kegiatan “Hari Berantai“. 6. Membentuk ekosistem pendidikan dengan melibatkan peran serta orang tua dalam kegiatan “Hari Berantai”. Prinsip Kegiatan Hari Berantai Pelaksanaan kegiatan Hari Berantai tidak keluar dari jalur prinsip pendidikan anak usia dini, antara lain: a) Berorientasi pada kebutuhan anak Kegiatan pembelajaran yang diselipkan melalui kegiatan membersihkan pantai dapat dilaksanakan oleh lembaga PAUD dengan konsep bermain. Pada dasarnya, anak-anak senang rekreasi ke pantai, kesempatan ini dapat dijadikan strategi dalam memasukkan proses pembelajaran. Banyak hal yang dapat dipelajari di pantai, misalnya anak-anak diminta mengelompokkan sampah 11
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
berdasarkan jenisnya. Dengan kegiatan ini, dapat dioptimalkan aspek perkembangan fisik motorik anak, kognitif, sosial emosional dll. b) Belajar melalui bermain Bermain merupakan sarana belajar anak usia dini. Melalui bermain, anak diajak untuk
mengeksplorasi,
menemukan,
memanfaatkan,
dan
mengambil
kesimpulan mengenai benda di sekitarnya. c) Lingkungan yang kondusif Lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sehingga menarik dan menyenangkan dengan memperhatikan keamanan serta kenyamanan yang dapat mendukung kegiatan belajar melalui bermain. Dalam kegiatan hari berantai, dibuat peraturan yang harus dipenuhi oleh peserta didik. Misalnya untuk menjaga keamnan anak, dibuat garis di sekitar pantai untuk membatasi daerah mana saja yang boleh/tidak boleh dilewati anak. Dalam kegiatan ini juga memaksimalkan peran orang tua dalam mengawasi anak. Hal ini juga dapat menjadi tolok ukur dalam membelajrkan anak untuk disiplin pada aturan atau kesepakatan yang telah dibuat bersama. d) Menggunakan pembelajaran terpadu Pembelajaran terpadu dalam hal ini dimaksudkan pada pembelajaran yang tidak terbatas hanya di ruangan atau di sekolah saja. Oleh sebab itu, prinsip ini sangat selaras dengan kegiatan hari berantai yakni menggunakan alam sebagai tempat pembelajaran dan menggunakan bahan-bahan yang ada di alam sebagai sarana pembelajaran. e) Mengembangkan berbagai kecakapan hidup Mengembangkan keterampilan hidup dapat dialakukan melalui berbagai proses pembiasaan. Hal ini dimaksudkan agar anak belajar menolong diri sendiri, mandiri, bertanggung jawab, serta memiliki disiplin diri. Mengembangkan berbagai kecakapan hidup juga akan mengajak anak untuk senantiasa kreatif dalam setiap langkah yang dipilih atau masalah yang menghadang. Prinsip ini sesuai dengan tujuan yang akan dicapai oleh kegiatan hari berantai yakni penumbuhan sikap dan budi pekerti. Diharapkan dengan kegiatan hari berantai tumbuh sikap peduli, tanggung jawab, rasa syukur kepada Tuhan, Disiplin, bersikap baik kepada teman, dan orang lain yang lebih tua dan sikap-sikap lainnya. 12
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
f) Menggunakan berbagai media edukatif dan sumber belajar Media dan sumber pembelajaran dapat berasal dari lingkungan alam sekitar atau bahan-bahan yang sengaja disiapkan oleh pendidik atau guru. Dalam kegiatan hari berantai, sumbel pembelajaran menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar pantai misalnya, air laut, pasir, sampah, pohon kelapa, kerang, dan lain sebagainya yang dapat dieksplor oleh anak misalnya siapa yang menciptakan, bagaimana warna bentuk dan rasanya, apa manfaatnya, bagaiman jika tidak ada laut, kenapa banyak sampah, siapa yang harus membersihkan sampah, apa yang terjadi jika banyak sampah. g) Dilaksanakan secara bertahap dan berulang-ulang Prinsip ini diterapkan pada kegiatan hari berantai, yang mana kegiatan hari berantai dapat dijadikan program rutin yang tertunang dalam Rencana Kerja Tahunan ataupun Program Semester pada Lembaga PAUD. Kegiatan ini dapat dilakukan secara rutin dengan waktu yang telah disepakati oleh pihak sekolah dan komite orang tua/wali murid. Agar menjadi pembiasaan dan diharapkan dapat memberikan dampak maupun perubahan pada sikap dan budi pekerti anak. Teknik Penumbuhan Sikap dan Budi Pekerti melalui Kegiatan Hari Berantai Penumbuhan sikap dan budi pekerti peserta didik dapat dilakukan secara formal maupun nonformal. Secara formal yang dimaksud adalah penumbuhan sikap dan budi pekerti terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran pembuka waktu di pantai. Nonformal maksudnya terintegrasi dengan tema/kegiatan inti dan dapat dilakukan sepanjang kegiatan Hari Berantai. Tabel 1. Teknik Menumbuhkan sikap dan budi pekerti secara formal pada kegiatan “Hari Berantai”
Metode/Strategi Knowing/Feeling
Media Alam, Laut, Pantai
Bentuk Kegiatan Bercerita dan berdiskusi
Mengetahui/Merasakan Acting
Sampah, Kerang, Air laut, Gotong
(melakukan
Pasir, dll
royong
membersihkan sampah
/melaksanakan) 13
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Membiasakan/
Tergantung media yang SOP pada kegiatan hari
Pembudayaan
dibutuhkan
berantai
Contoh pelaksanaan Startegi/Metode dalam pembelajaran di kegiatan “Hari Berantai” Metode Knowing dan Feeling Media : Alam, Air Laut, Pantai Bentuk Kegiatan : Diskusi dan bercerita Sikap dan budi pekerti yang ingin dicapai adalah sebagai berikut. 1. Mempercayai adanya Tuhan melalui ciptaan-Nya. 2. Menghargai diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar sebagai rasa syukur kepada Tuhan. Tahapan Kegiatan: Guru mengajak anak melihat alam sekitar pantai, laut dan sekitarnya Guru menanyakan “apa saja yang dapat dilihat anak-anak disini? Siapa yang menciptakan laut, pantai, dsb? Mendiskusikan tentang semua ciptaan Tuhan yang ada di sekitar laut dan pantai Guru menggali pengetahuan anak, guru menggali pengetahuan (knowing) dan perasaan (feeling) anak ketika berdiskusi, dengan memberikan pertanyaan seperti:
Apa yang ada di dalam laut?
Apa ya manfaatnya untuk kita? Bagaimana kalau laut tidak ada?
Kenapa kita harus menjaganya?
Bagaimana ya kalau pantai kita kotor? Bagaimana perasaan kita kalau pantai kita kotor?
Mendiskusikan bagaimana supaya pantai kita tidak kotor dan tidak mencemari laut? Guru mencontohkan ucapan takjub saat melihat indahnya pemandangan laut dan pantai, misalnya, ”...Masya Allah ... bagus sekali pantainya...” atau ” ...Puji Tuhan pemandangannya indah sekali...”, dan sebagainya. Mengajak anak untuk gotong royong membersihkansampah yang ada di pantai (Acting) dengan didampingi oleh orang tua Affirmasi (penegasan) : guru menegaskan konsep sikap rasa Syukur atas ciptaan Tuhan melalui lagu atau yel-yel yang sesuai.
14
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Catatan: pelibatan orang tua dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada orang tua bahwa penumbuhan sikap di sekolah seharusnya dilakukan juga oleh orang tua di rumah sehingga tujuan antara sekolah dengan orang tua di rumah sama. Penumbuhan Sikap dan Budi Pekerti dalam Rencana Pembelajaran Perencanaan pembelajaran yang terkait dengan kompetensi sikap penting untuk disusun agar sikap yang terbangun pada anak sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu, dengan adanya perencanaan pembelajaran menjadi panduan untuk guru dalam melaksanakan aktifitas pembelajaran. Kompetensi sikap harus dimasukkan ke dalam rencana pembelajaran harian karena kegiatan hari berantai merupakan kegiatan pembelajaran. Berikut merupakan contoh pengembangan tema menjadi materi pada kegiatan hari berantai. Langkah awal adalah menentukan kompetensi dasar apa yang ingin dicapai kemudian dikaitkan dengan tema sehingga terbentuklah materi pembelajaran. Misalnya, untuk kegiatan hari berantai, tema yang sesuai adalah lingkunganku. Untuk rencana pembelajaran harian mengikuti format RPPH yang ada di lembaga PAUD. Tabel 2. Contoh Pengembangan Materi Kompetensi Dasar Sikap dalam Kegiatan Hari Berantai TEMA
MATERI
KD 1.1 Mengenal Tuhan melalui ciptaannya
Laut dan Pantai Ciptaan Tuhan
KD 1.2 Menghargai diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar sebagai rasa syukur kepada Tuhan
Hari membersihkan Pantai sebagai bukti syukur atas ciptaan Tuhan Lingkunganku
Kebiasaan Gotong royong membersihkan pantai cerminan hidup Sehat
KD 2.1 Memiliki perilaku yang mencerminkan hidup sehat
Pembiasaan Membuang sampah pada tempatnya
Dst.
Dst.
C. KESIMPULAN Kegiatan hari bernatai merupakan salah satu strategi yang dapat dilkaukan oleh lembaga PAUD terkait dengan program penumbuhan sikap dan budi pekerti melalui 15
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
kegiatan yang dialkukan di luar sekolah sehingga anak dapat memahami bahwa lingkungan sekitar selain rumah dan sekolah juga menjadi bagian dari tanggung jawab kita untuk menjaga kebersihan dan kelestariannya. Dengan pembiasaaan yang dilakukan sejak dini ini juga diharapkan dapat menjadi perilaku yang akan senantiasa tumbuh pada diri anak dalam menjaga kebersihan pantai terlebih Provinsi NTB maupun BALI merupakan dua Provinsi di NTB yang termasuk wisata pantainya terkenal dan banyak dikunjungi wisatawan asing. Dengan keterlibatan orang tua juga diharapkan mampu menularkan pembiasaan buang sampah dalam keseharian anak di rumah. DAFTAR PUSTAKA Dirjen Dikti, Depdikbud. 2003. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Bandung: Citra Umbara Haidar Putra Daulay. 2004. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, Cet. ke-1. Ki Hajar Dewantara. 1977. Pengajaran Budi Pekerti. Yogyakarta: Taman Siswa, Bag.I. Pusat Pengembangan Kurikulum. 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Budi Pekerti untuk kelas I-VI SD. Balitbang Puskur, Depdiknas. Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini. 2015. Pedoman Penanaman Sikap Pendidikan Anak Usia Dini. 2015. Indonesia Heritage Foundation. 2015. Makalah Pelatihan Pendidikan Holistik Berbasis Karakter. http://belajarpsikologi.com/pendidikan-budi-pekerti/ https://eviayuningsih.wordpress.com/2014/11/24/budi-pekerti/ https://id.wikipedia.org/wiki/Sikap
16
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
REPOSISI SKB PASCA TERBITYA PERMENDIKBUD NOMOR 4 TAHUN 2016; SEBUAH EKSPEKTASI METAMORFOSIS Agus Sadid Ketua IPABI NTB, Pamong Belajar SKB Kab. Sumbawa. Jln. Pahlawan No.23 Alas - Sumbawa
Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara kritis bagaimana reposisi SKB setelah menjadi satuan pendidkan dan menganalisis bagaimana tugas dan fungsi, struktur dan kelembagaan SKB dalam memainkan perannya sebagai lembaga percontohan di bidang PAUDNI pasca terbitnya Permendikbd Nomor 4 tahun 2016. Hasil dari tulisan ini diharapkan sebagai masukan dan rujukan pemerintah pusat dan daerah terkait dengan reposisi SKB sebagai satuan pendidikan. Pendekatan dalam tulisan ini adalah kualitatif dengan model analisis kualitatif deskriptif. Temuan dalam tulisan ini adalah (1) SKB masih belum maksimal dalam menjalankan perannya sebagai lembaga percontohan di bidang PAUDNI, (2) berbagai problem internal dan eksternal SKB muncul, diantaranya kualitas PTK SKB, sarana prasarana, model pembinaan, dan dukungan anggaran, (3) reposisi SKB ditinjau dari tugas dan fungsi mencakup fungsi sebagai perencana, pelaksana, dan evaluasi program PAUDNI, pusat data bidang PAUDNI, pembinaan dan peningkatan profesionalitas PTK PAUDNI dan fasilitasi, inisiasi dan koordinasi lintas sektoral dengan satuan/ lembaga/instansi terkait, (4) reposisi SKB dari struktur dan kelembagaan meliputi noneselonisasi SKB, murni sebagai satuan pendidikan yang dikepalai oleh pamong belajar diberikan tugas tambahan sebagai kepala SKB, dan (5) mengembangkan sruktur menambah wakil I, II, dan III dengan urusan bidang akademik, kerjasama dan peserta didik dan sarana. Kata kunci: reposisi, SKB, metamorfosis, Permendikbud Nomor 4 tahun 2016 PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal
13 ayat (1)
tegas menyebutkan bahwa jalur pendidikan di
Indonesia terdiri atas pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal yang dapat saling melengkapi dan menperkaya. Selanjutnya, pasal 26 ayat (1) menyebutkan bahwa pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai 17
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
pengganti, penambah dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Tentunya bahwa regulasi tersebut sumbernya adalah UUD 1945 pasal 31 ayat (3) yaitu pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasinal yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang di atur dengan undang-undang. Kembali kita diingatkan juga dalam preambuleUUD 1945, yang merupakan hasil rumusan pemikiran dan “tetesan keringat-darah dan airmata” para the founding fathers bahwa tujuan negara dalam pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Makna semua itu adalah munculnya konsep mengusahakan dan menyelenggarakan serta mencerdaskan kehidupan bangsa dalam satu sistem pendidikan nasional adalah (1) harus ada sinkronisasi antar undang-undang, antar jalur, antar program dan antar institusi, (2) harus ada goals yaitu bangsa Indonesia yang cerdas, dan (3) satu sistem pendidikan yang adil, bermutu, dan melayani semua rakyat Indonesia. Salah satu implementasi dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah menciptakan sekolah dan sanggar. Hajat pendirian kedua lembaga tersebut tentunya adalah untuk melayani kebutuhan rakyat akan pendidikan, baik formal, nonformal, maupun informal. Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang dilahirkan oleh Dittentis Dirjend PLSPO sebelum masa otonomi daerah. Bermula dari Kursus Pelatihan Pendidikan Masyarakat (KPPM) berubah Pusat Latihan Pendidikan Masyarakat (PLPM) kemudian berubah menjadi Sanggar Kegiatan Belajar. Jumlah awal SKB berdiri tahun 1978 sebanyak 185 lembaga, bertambah menjadi 202 lembaga tahun 1981 dan sekarang menjadi 400 lebih lembaga. Payung hukum SKB yang hingga saat ini belum dihapus adalah Kepmendikbud Nomor 023/0/1997 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Regulasi tersebut barulah menyebutkan bahwa tugas dan fungsi pokok SKB adalah melakukan pembuatan percontohan dan pengendalian mutu program PLSPO berdasarkan kebijakan Ditjend PLSPO. Hampir satu dekade, Permendikbud tersebut belum dicabut, akhirnya Permendikbud Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Perubahan SKB menjadi satuan pendidikan nonformal. Permendikbud itulah yang selanjutnya merubah struktur kedudukan tugas dan fungsi SKB yang baru. Perubahan “drastis” SKB setelah terbitnya Permedikbud
18
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
tersebut, memberikan harapan baru bahwa SKB akan semakin tajam, gesit, dan fokus dengan pengembangan dan pelaksanaan program PAUD dan Dikmas. Tibanya masa otonomi daerah dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan sekarang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 23Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memberikan amanat penyerahan manajemen pendidikan di tingkat kabupaten/kota. Sejak itulah, SKB yang semula menjadi UPT pusat berubah menjadi UPT Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Mulai dari masa inilah semenjak SKB menjadi UPT Dinas Pendidikan kabupaten/kota masa “kejayaan” SKB mulai surut. Sewaktu masih menjadi UPT pusat, program dan distribusi anggaran untuk pengembangan program PLSPO di SKB cukup baik dan memadai. Besarnya anggaran ditentuukan oleh tipe atau jenis SKB, misalnya SKB tipe A anggaran mencapai diatas 100 juta, tipe B 5-1000 juta, tipe C kurang dari 30 juta (nilai itu mungkin sekarang tidak ada artinya, tapi nilai tersebut dahulu sangat besar jumlahnya). Kegiatan-kegiatan dalam rangka koordinasi, sosialisasi, pembinaan dan peningkatan mutu PTK juga sangat “semarak”. Sekarang masa “indah” tersebut telah surut. Pemahaman Pemeritah
Daerah/kota
tentang
PLS
sangat
beragam
dan
yang
sangat
memprihatinkan justru pemahaman para pemimpin daerah tersebut sangat minim dengan PLS. Dampaknya sangat dasyat, kini SKB dibeberapa kabupaten/kota menjadi “hidup segan mati tak mau” tragis dan sangat memilukan. Bayangkan untuk sebuah UPT, di beberapa kabupaten kota SKB hanya mendapatkan anggaran kurang dari 20 juta. SKB juga banyak yang tidak mendapatkan dana untuk pengembangan program PNFI. Kalau sudah seperti ini, apa yang dapat diperbuat oleh SKB dalam melayani kebutuhan belajar masyarakat? Jangankan untuk mengembangkan program dan mewujudkan percontohan, untuk sekedar membayar listrik, telepon, kertas kantor, air PAM banyak SKB yang terancam meteran listrik, telepon, dan PAM di cabut. Itulah mengapa penulis menyebutkan “hidup segan mati tak mau” tragis dan memilukan. Namun demikian, fakta bahwa tidak semua SKB setelah menjadi UPT kabupaten/kota bernasib tragis dan memilukan, dibeberapa kabupaten/kota SKB ternyata sangat eksis. Pemda/Pemkot memberikan “kekuasaan” sepenuhnya kepada SKB dengan mengalokasikan anggaran rata-rata di atas Rp. 1 M, lihat saja 19
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
di SKB Kota Kutai Kartanegara, SKB Tenggarong, SKB Kota Denpasar, SKB Tematik Lombok Barat, SKB Lombok Barat, SKB Jepara, SKB Boyolali, SKB Aceh, SKB Bantul dan lainnya. Dengan alokasi dana APBD II yang besar maka SKB-SKB tersebut semakin luas mengembangkan dan melayani masyarakat dengan
program-program
percontohan
di
bidang
PNFI.
Pemerintah
Kabupaten/kota juga menyediakan anggaran untuk membangun sarana prasarana, pengadaan formasi pamong belajar dan “menyuplai” tenaga tutor, instruktur dan staf TU melalui pengangkatan CPNSD. Jika sudah demikian maka, wajar saja SKB tersebut eksis, “hebat”, dan menjalankan sepenuhnya tugas dan fungsi pokoknya. B.
Rumusan Masalah Pasca terbitnya Permendikbud Nomor 4 Tahun 2016, sudah merubah “tatanan” SKB saat ini. Pelabelan SKB misalnya SKB“kaya” dan SKB “miskin”. Demikian juga Jika dahulu ada SKB tipe A, tipe B dan tipe C, maka hal tersebut tidak berlaku lagi, semua tergantung pada konsep pemahaman, kepedulian dan keberpihakan kepala daerah tentang PNFI. Menyikapi realitas yang ada saat ini, maka munculah kebijakan untuk merubah status UPT tersebut, yang sebenarnya wacana perubahan status tersebut telah bergulir sejak tahun 2014. Pokok masalah inilah yang akan menjadi fokus kajian tulisan ini, dengan tujuan untuk mendeskripsikan reposisi SKB sebagai satuan pendidikan pasca berubahnya status SKB, dengan terbitnya Permendikbud Nomor 4 Tahun 2016.
PEMBAHASAN A.
Memaknai Kembali (Remeaning) Program PAUDNI Dalam pandangan para praktisi PNFI, tentunya memandang PNFI dalam konstelasi tata sistem pendidikan nasional kita merupakan jalur yang penting dan memiliki peran yang sangat strategis dalam ikut mencerdaskan keidupan bangsa. Pandangan ini memang belum sepenuhnya terpahamkan kepada masyarakat awam, sehingga tidak heran, banyak para pejabat-penguasa-kepala daerah yang sudah terbiasa dengan pendidika formal, tetap memandang sebelah mata keberadaan PNFI. Dalam sebuah seminar nasional di IKIP Mataram bulan September 2014, pada saat Prof. Supriyono memaparkan makalahnya yang berjudul
“Pratinjau
Kebijakan Jalur PNFI Pasca Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2015” ada pertanyaan salah seorang peserta dari prodi PLS “Kemana lulusan PLS bekerja, 20
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
dimana lulusan PLS mengajar, jadi apa nanti lulusan PLS”. Bayangkan, para mahasiswa PLS sendiri tidak tahu mau kemana setelah mereka lulus. Apa maknanya? Bahwa mereka selama ini yang akrab dengan PLS saja tidak memahami apa itu PLS, apalagi “orang awam”. Memang pergeseran makna dan terminologi PLS sangat beragam, dan itu semua dimulai dari kebijakan pusat. Perubahan Direktorat dari Diklusepora, PLSPO, berubah menjadi Dit PNFI berubah menjadi Dit PAUDNI dan sekarang berubah lagi menjadi Dit PAUD-DIKMAS. Menunjukan bahwa dinamika konten dan ruang gerak dari PLS itu sendiri. PLS merupakan “dunia” yang maha luas. Sanapiah (2008) sendiri menegaskan bahwa jika diibaratkan dengan hutan, maka PLS adalah hutan belantara yang penuh dengan aneka ragam tanaman, semakin masuk ke dalam maka semakin bermacam tumbuhan yang ada. Sedangkan Supriyono (2014) menyebutkan bahwa sesungguhnya segala bentuk dan praktek belajar yang berlangsung di luar persekolahan baik berupa pembimbingan, pembelajaran maupun pelatihan dapat dikatakan sebagai praktek PLS. Para pemangku praktek, profesi PLS, pengambil kebijakan dan pemangku kajian PLS perlu memahami peta ini agar dapat mengarahkan perhatianya secara menyeluruh dan mendalam. Freire (1972) sendiri menegaskan bahwa dalam posisi ini, setidaknya PLS dapat diamati sebagai tiga hal yang saling interelasi yaitu (1) sebagai lahan garapan (line of practice), (2) sebagai bidang kajian (field of study) dan (3) sebagai bidang pekerjaan (line of work/profession). Bahkan ada yang menyatakan PLS sebagai sebuah pranata yang berisi seperangkat komponen dan norma, aturan dan etika. Luas dan besarnya garapan PLS yang merentang dalam kehidupan manusia nampak pada bagaimana jenis dan bentuk program PLS yang menyasar mulai dari 0 tahun sampai “tua renta” (buktinya WB keaksaraan rata-rata usianya 50 tahun keatas). Nilai-nilai yang terkandung dalam PLS menjadikan PLS sebagai sebuah jalur yang “sempurna”. Nilai-nilai tersebut diantaranya adalah (1) pendidikan adalah berlangsung seumur hidup, belajar bisa kapan saja, dimana saja dan kepada siapa saja dan apa saja, yang terpenting dalam belajar adalah proses, bukan hasil dan bukan pula ijazah atau kredensial, dalam PLS bukan ijazah yang menjadi tujuan tapi kompetensi (skill), (2) pendidikan harus dilaksanakan secara swa-arah 21
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
(self directed learning), membangkitkan kesadaran kritis, dilakukan secara andragogis dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai PLS tersebut telah menjadi sebuah ideologi dan cara pandang dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial kehidupan sebagaimana makna tesis-tesis yang pernah diintrodusir oleh Soedjatmoko (1990) “Pembangunan sebagai Proses Belajar”; Edgar Faure (1972) “Belajar untuk Hidup; Kindervatter (1978) “Nonformal Education as Empowering Process”, dan Freire (1972) “Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan”. Menerjemahkan konsep PLS kedalam bidang garapan diwujudkan dalam bentuk program kegiatan menjadi sangat menarik. SKB sebagai labaroturium PLS mengembangkan program “apa saja” sesuai dengan kebutuhan belajar masyarakat. Program pendidikan keaksaraan, pendidikan kecakapan hidup, kursus ketrampilan, pemberdayaan perempuan, pendidikan anak usia dini, pelatihan ketrampilan fungsional, pengurasatamaan gender, taman bacaan masyarakat, pendidikan kesetaraan, kelompok belajar usaha, semua program tersebut umumnya ada dan dikembangkan oleh SKB. Jelas bahwa PLS telah merambah lebih dahulu di setiap sendi kehidupan masyarakat. Hampir semua ruang program PLS masuk dalam tata sistem sosial masyarakat. Berbeda dengan pendidikan formal, sebagaimana konsep pendapat Evans (1981) yang memaparkan tentang pendidikan nonformal dan informal, bahwa sebenarnya sekolah datang belakangan daripada format pendidikan informal dalam sejarah manusiadan hanya beberapa ratus tahun saja dalam sejarah Eropa yang sudah tentu merupakan upaya sejumlah kecil dalam persentase penduduk dunia. Dinegara berkembang kedatangan sekolah baru sekitar 50 tahun lalu. Belakangan timbul kesadaran baik di negara berkembang maupun negara maju bahwa sekolah memiliki banyak keterbatasan dan semakin banyak tugas-tugas pendidikan yang tidak dapat dikerjakan oleh sekolah sehingga sekolah bukan lagi merupakan kesadaran terbaik untuk mengantarkan menjadi masyarakat terdidik. Mengingat begitu fleksibel dan bebasnya jenis dan bentuk program PLS, maka tidaklah salah jika kini program-program PLS yang dikembangkan oleh SKB telah menyasar pada kelompok sasaran yang lebih spesifik seperti perempuan sek komersil, perempuan KDRT, para mantan TKW/TKI, para penghuni LAPAS, kaum nelayan, komunitas adat terpencil. Hal ini membuktikan kembali bahwa PLS tidak sekedar substitusi bagi mereka yang tidak memperoleh pendidikan formal tetapi 22
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
lebih dari itu yakni sebagai alternatif mengatasi kelemahan pendidikan formal. Banyak kasus siswa SMA/ SMP yang ketahuan hamil, maka mereka langsung dikeluarkan dari sekolah. Jika sudah demikian, siapa yang dapat menyelamatkan pendidikan mereka, kecuali jalur PLS. Hamid Muhammad (2009) mulai mengintrodusir peran PAUDNI yang lebih luas yakni sebagai “pilihan” dalam arti alteratif layanan pendidikan yang diprioritaskan baik oleh subjek belajar maupun oleh perancang program belajar. Program PAUDNI sebagai bagian dari solusi pemecahan hidup masyarakat memberikan harapan besar bagi kebangkitan peradaban bangsa Indonesia. Karakteristik program yang berbasis masyarakat ditandandai dengan proses pelibatan masyarakat dalam setiap penyelenggaraan program. Dalam konteks ini masyarakat merasa berkepentingan dan harus melibatkan diri dalam setiap pengambilan keputusan. Kepentingan masyarakat untuk berpartisipasi dalam program pendidikan seperti PAUDNI meliputi dua hal yaitu (1) pelibatan dalam pembuatan kebijakan dan (2) pelibatan langsung dalam pelaksanaan program belajar. Sementara itu pelibatan masyaraja dalam pembuatan kebijakan program belajar mencakup tiga hal penting yaitu (1) penetuan tujuan, (2) pembuatan perencanaan dan kebijakan dan (3) pengorganisasian partispasi masyarakat. Maka dalam setiap penyelenggaraan program PLS di SKB untuk mengoptimalkan hasilhasil pembelajaran, menarik rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat, SKB harus menerapkan strategi yang menurut Sumption (1999) meliputi participation in planning, participation in policy making, participation in communication, participation
in
problem
solving,
participation
in
developing
program,
participation infinancing and participation in evaluating. Keharusan
membangn
sinergi
dan
melibatkan
masyarakat
dalam
pelaksanaan program PLS sesungguhnya bukan hal yang baru, karena memang sudah fitrahnya pula bahwa PLS adalah layanan program yang bertolak dari prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat. Inlah yang disebut dengan pendidikan berbasis pada masyarakat. Untuk hal ini, penulis lebih senang menyebut sebagai pendidikan berbasis akar rumput (educational based grass root). Pesatnya globalisasi kemajuan IPTEK mendorong meningkatnya kebutuhan belajar. SKB tidak akan mungkin memenuhi semua tuntutan kebutuhan belajar tersebut tanpa melakukan identifkasi 23
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
dan sinergi bermitra yang kuat dengan stakeholders. Fakta bahwa kecenderungan globalsiasi telah memicu kecenderungan pergeseran dalam dunia pendidikan yang lebih terbuka dan komplek. Negara-negara maju yang telah mengembangkan model pendidikan terbuka antara lain Finlandia, Perancis dan Selandia Baru secara intensif mendorong model pendidikan learning without frontier dan correspondence learning. Demikian juga di Australia saat ini juga mengembangkan model belajar flexible learning. Implementasi model belajar tersebut telah diamati oleh experts seperti Bishop (dalam Morse, 1998), Mason R (dalam Sangal, 1998) dan Suntrock (dalam Miarso 1998). Hasil studi mereka menunjukan bahwa pendidikan masa mendatang akan lebih luwes, terbuka dan dapat di akses oleh siapa saja yang memerlukan tanpa pandang faktor jenis kelamin, usia maupun pengalaman pendidikan sebelumnya, dan pendidikan mendatang akan lebih ditentukan oleh jaringan bukan gedung sekolah. B.
Metamorfosis SKB Mencermati perkembangan layanan program PLS yang ada di SKB, ternyata cukup menarik. Sebelum booming PAUD, program SKB berfokus pada pendidikan masyarakat, pembinaan generasi muda dan pembinaan olah raga. Untuk program pada Dikmas misalnya keaksaraan, kesetaraan dan kursus. Kesetaraan sempat menjadi ikon SKB, karena dalam program kesetaraan seperti paket A setara SD, paket B setara SMP dan paket C setara SMA terdapat program ekstra kurikuler seperti kepramukaan dan keolahragaan. Masuknya PADU tahun 2001 berubah menjadi PIADU tahun 2002 dan berubah menjadi PAUD tahun 2003 telah membawa realita menuju PAUD sebagai ikon program PAUDNI mulai dari pusat sampai kabupaten/kota. Semenjak ditariknya program kesetaraan ke Direktorat DIKDAS-DIKMEN, tahun 2010 maka SKB menjadi “sepi” karena pada umumnya tempat belajar paket B setara SMP, paket C setara SMA berada dalam SKB. Pemahaman bahwa sejak ditariknya program kesetaraan ke Direktorat DIKDASDIKMEN, maka SKB tidak lagi menangani kesetaraan, menyebabkan SKB tidak lagi menyelenggarakan program tersebut. Misalnya SKB Lombok Barat, rata-rata memiliki 6 rombel kelas kesetaraan, sejak tahun 2010 maka “hilanglah” rombel tersebut. Untung saja dengan keberadaan PAUD, SKB kembali “hidup”, ada aktivitas belajar dalam kampus SKB. Turun-naiknya program-program yang dikembangkan SKB tentunya berkaitan dengan kebijakan pemerintah pusat dan
24
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
daearah. Pergeseran peran SKB sebenarnya mulai nampak pada fase Otonomi Daerah. Peran SKB sebagai pusat percontohan PAUDNI belum berjalan secara maksimal. Terlebih setelah banyak pos-pos anggaran yang diamputasi oleh pemerintah kabupaten/kota, praktis peran SKB hanya formalitas saja. Harapan agar selama Otoda pengelolaan pendidikan di daerah menjadi lebih baik dan optimal ternyata banyak yang “bertepuk sebelah tangan”. Temuan dari hasil bertepuk sebelah tangan. Terbukti temuan dalam kegiatan Focus Group Discussions (FGD) yang diselenggarakan oleh Dit DIKMAS awal Desember 2014 menunjukan fakta bahwa (1) dalam pembahasan pembangunan pendidikan nasional, kelembagaan SKB dalam posisi lemah karena tidak terdapat peraturan perundangan dalam bentuk undang-undang maupun peraturan pemerintah yang dapat dijadikan acuan Ditjend PAUDNI dalam melakukan pembinaan dan fasilitasi pengembangan kelembagaan serta program-program PAUDNI yang diselenggarakan oleh SKB, (2) tugas pokok dan fungsi SKB yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota banyak mengakomodasi tugas pokok dan fungsi yang ditetapkan melalui Kepmendikbud nomor 0206/0/1997, sehingga tugas SKB masih terkesan menjadi tanggung jawab Ditjend PAUDNI, (3) struktur organisasi SKB berada di bawah kepala Dinas Pendidikan kabupaten/kota sehingga banyak ditafsirkan oleh kepala Bidang PAUDNI atau kepala SKB bahwa pembinaan dan pengembangan kelembagaan dan program PAUDNI di SKB dibawah langsung pembinaan kepala Dinas, (4) struktur kelembagaan SKB sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah tidak menunjukan kejelasan sebagai lembaga administratif atau lembaga penyelenggara program PAUDNI, (5) dalam beberapa peraturan yang diterbitkan oleh pusat dan kabupaten/kota terdapat kesamaan tugas SKB, Bidang/ Kepala Seksi PNFI, BPPAUDNI dan PP PAUDNI terutama di bidang penjaminan mutu pendidikan nonformal dan (6) sebagian besar pejabat di daerah memiliki pandangan bahwa SKB
melaksanakan
tugas-tugas
pemerintah
pusat
sehingga
pemerintah
kabupaten/kota kurang peduli terhadap program yang harus dilaksanakan termasuk didalamnya anggaran biaya, koordinasi antar lembaga dan tanggung jawab pembinaan dan pengembangan kelembagaan serta penyelenggaraan programprogram PAUDNI di SKB.
25
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Fakta di atas, semakin menguatkan bahwa SKB yang selama ini “digadanggadang” sebagai garda terdepan dalam pelaksanaan dan pelayanan masyarakat di bidang PAUDNI semakin tidak berdaya. Meminjam istilah Ibu Megawati Soekarno Putri adalah “cita-cita setinggi langit, pencapaian setinggi bukit”. Desentralisasi dan Otonomi pendidikan seyogyanya memunculkan ekspektasi yang kuat terhadap peningkatan kualitas pendidikan di daerah. Bagaimana mampu menghasilkan SDM melalui isntrumen pendidikan jikalau, dukungan kebijakan dan anggaran melalui APBD II tidak berpihak sama sekali. Padahal dalam konsep SDM yang bermutu, Sudarwan Danim (2003) dalam bukunnya “Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan” mengisyaratkan haruslah terdapat tiga indikator kemampuan SDM yaitu (1) kemampuan melahirkan manusia yang dapat memberikan sumbangan terhadap pembangunan nasional, (2) kemampuan untuk menghasilkan manusia yang dapat mengapresiasi menikmati dan memelihara hasil-hasil pembangunan dan (3) kemampuan melahirkan proses pemanusiaan dan kemanusiaan secara terusmenerus menuju bangsa yang adil dan bijak lagi bajik, dalam makna pertumbuhan dan perkembangan, pembangunan mensyaratkan kemampuan SDM untuk membangun, memelihara dan menyikapi secara positif hasil-hasil pembangunan. Instrumen pemberdayaan SDM melalui program PAUDNI masih sangat penting. Ketidakberdayaan dan keterbatasan jalur pendidikan formal merupakan peluang bagi jalur
pendidikan nonformal-informal, dalam mengembangkan dan
menawarkan program –program PAUDNI yang menarik dan dibutuhkan oleh masyarakat. Namun berbagai keterbatasan dalam internal SKB juga sangat besar. Sisi ketenagaan, jika mengacu pada SK MenPAN&RB nomor 15 Tahun 2010 pasal 26 ayat (2) maka jumlah tenaga Pamong Belajar sebagai tenaga fungsional di SKB adalah maksimal 35 orang. Hal inilah yang sampai saat ini (baca: sampai kapanpun) mengisi formasi Pamong Belajar tidak pernah dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Justru yang terjadi adalah mutasi dan alih tugas pamong belajar pada jabatan struktural, tanpa disertai dengan pengadaan atau penggantian baru pamong belajar. Secara nasional jumlah pamong belajar saat ini adalah 3.750 orang, (www.ipabipusat.com). Sedangkan
untuk provinsi NTB
misalnya jumlah pamong belajar saat ini tinggal 49 orang, (Buku Data IPABI NTB, 2015) dan yang lebih menyedihkan banyak SKB yang hanya memiliki 1 orang pamong belajar bahkan tidak memiliki pamong belajar. Selanjutnya dari sisi sarana 26
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
prasarana, SKB idealnya memiliki bangunan kantor, ruang belajar, ruang praktek, laboratorium, bengkel kerja dan ruang belajar yang memadai, justru kembali dari sisi ini, banyak SKB yang hingga saat ini masih “numpang”, sewa rumah, satu atap dengan kantor kelurahan. Mencermati dari kedua sisi tersebut saja kita sudah dapat membayangkan bagaiman hasil-hasil pembelajaran yang ada pada SKB, bagaimana peserta didik mau belajar dengan baik, jika mereka juga dicemaskan swaktu-waktu “di usir” oleh pemilik rumah, gedung karena pihak SKB sendiri belum membayar kontrakan atau sewa bangunan. Peran PAUDNI sebagai jalur alternatif dan pilihan masyarakat sangat penting maka lembaga SKB sebagai instansi teknis menyelenggarakan program PAUDNI yang produktif kepada masyarakat, harus menunjukan nilai manfaat kepada warga belajarnya. Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh SKB sampai saat ini telah memberikan kontribusi terhadap perbaikan peningkatan kualitas hidup. Jika kita sandingkan dengan hasil penelitian terkait dengan manfaat program PAUDNI, maka dua judul penelitian terbatas yang dilakukan oleh dua orang mahasiswa yaitu Pradana (2010) dan Pratesnya (2012) setidaknya memberikan bukti awal bahwa peran pendidikan nonformal cukup berarti. Pradana (2010:54, 59) menemukan bahwa 56% mahasiswa FIP UM menyatakan pernah mengikuti kursus bahasa Inggris ketika duduk di bangku sekolah dimana proposi kesertaan yang paling tinggi adalah ketika duduk di SLTP. Ketika dihubungkan dengan kemampuan berbahasa Inggris yang diwakili dengan indikasi skor kemampuan setara TOEFL ditemukan bahwa pengalaman mengikuti kursus bahasa Inggris memberikan sumbangan efektif yang signifikan sebesar 16.75%. Sedangkan latar belakang sosial ekonomi sebagai variabel dependen yang lain tidak memberikan sumbangan yang signifikan hanya sebesar 14.19%. Sementara penelitian Pratesnya (2012: 60-62) terhadap siswa sebuah SMP swasta di Kota Malang, menunjukan bahwa semua siswa diwajibkan mengikuti jam belajar tambahan dimana 65,2% siswa mengaku mengikuti sungguh-sungguh, 8,3% siswa mengikuti Bimbel, 9,7% mengikuti les privat dan sekitar 9,7% mengikuti kursus terkait dengan mata pelajaran sekolah seperti bahasa Inggris, kumon, mental aritmatika. Hasil penelitian tersebut tentunya linier dengan apa yang terjadi dengan SKB, bagaimana program PAUDNI yang selama ini telah memberikan banyak 27
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
manfaat kepada masyarakat. SKB sebagai lembaga percontohan haruslah memainkan peran yang penting dalam menolong masyarakat dari kesulitan. Selama ini strategi pembelajaran yang dikembangkan oleh SKB menganut model pembelajaran partisipatif. Model tersebut menguatkan kepada sistem pembelajaran dalam PAUDNI yang ada di SKB. Pembelajaran partisipatif memberdayakan warga belajar. Penerapan model pembelajaran partisipatif sebagaimana dikuatkan oleh Marzuki
(dalam Yulianingsih, 2014) yang menyebutkan bahwa pembelajaran
partisipatif diwujudkan dalam model kegiatan pembelajaran yang memerankan warga belajar sebagai subjek, peran guru sebagai fasilitator atau tutor, berpusat pada cara belajar dengan menggunakan pegalaman, menitikberatkan pada evaluasi belajar proses dan penilaian diri dan jadwal beajar disusun secara fleksibel. Konsep pembelajaran ini tentunya akan menjadi “ruh” dalam keterlaksanaan perencanaanproses dan hasil pembelajaran yang dikembangkan di SKB. C.
Reposisi SKB; Tupoksi, Struktur, dan Kelembagaan 1.
Tupoksi Satu satunya payung hukum SKB adalah Kepmendikbud nomor 023/0/1997 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sanggar Kegiatan Belajar. Sampai dengan pemerintahan Jokowi-JK, regulasi tersebut belum di cabut, karena belum ada keputusan aturan yang menganulir atau memperbaharui Kepmendikbud tersebut tentang SKB. Apakah ini kelalaiam dari pemerintah? Dalam konteks ini, penulis menunjukan beberapa temuan yang sangat merugikan status hukum SKB yang dampaknya hingga saat ini SKB sangat lemah dalam tinjauan hukum. Jika dibandingkan dengan sekolah sebagai satuan pendidikan. Kelalaian inilah yang justru memunculkan nasib SKB “berada antara ada dan tiada”.Jika dahulu segala kebutuhan SKB dipenuhi oleh pusat karena memang SKB sebagai UPT pusat, maka diera Otoda SKB menjadi UPT pusat yang minim regulasi. Tidak ada satupun Kepmendikbud, peraturan pemerintah atau peraturan presiden apalagi Undang-Undang yang menyebutkan bahwa SKB merupakan satuan pendidikan sebagaimana sekolah. Seharusnya, mencermati perkembangan yang terjadi, pemerintah harus sigap dengan mengeluarkan Kepmendikbud yang baru, terkait dengan peralihan kelembagaan SKB.
28
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 diperbaharui dengan PP Nomor 37 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan, tidak ada satu kata atau kalimat yang menyebutkan SKB. Inilah dampak yang harus diterima oleh kita semua, ternyata selama ini lemahnya payung hukum terdapat unsur “kesengajaan dan kelalaian” dari pemerintah selaku regulator. Hal ini tentu sangat disayangkan, di tengah gencarnya semangat membangun manusia Indonesia seutuhnya, di tengah pelaksanaan visi misi pemerintah Jokowi-JK sebagaimana tertuang dalam Nawacita dan Tri Sakti, SKB sebagai ujung tombak pembangunan pendidikan di bidang PAUDNI ternyata tidak memilki legal standing yang jelas. Penulis ingin mengingatkan kembali tentang bagaimana konsenya para pejuang pendidikan seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Akhmad Dahlan, Ki Agus Salim. Sekali lagi sejarah telah membuktikan para pemimpin pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia tersebut menyadari betapa pentingnya pendidikan masyarakat sebagai manifestasi dari PNFI. Sehingga berdasarkan pemikiran tersebut Sub Panitia Pendidikan dan Pengajaran dari badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritzu Zyumbi Tyosakai) dalam penyusunan program pendidikan dan pengajaran merumuskan: “Selain sekolah-sekolah, harus dipentingkan juga pendidikan rakyat dengan jalan (1) latihan keprajuritan untuk pemuda pemudi, (2) pendidikan yang ditujukan kepada orang dewasa, (3) pendidikan khusus untukkaum ibu dan (4) memperbanyak bacaan dengan memajukan perpustakaan, penerbitan surat kabar dan majalah (Mestoko, 1986). Fakta sejarah tersebut, penulis sebenarnya mengingatkan kepada para pemimpin agar tertib, cermat dan konsisten dalam penyelenggaraan pendidikan, karena pendidikan non formal termasuk didalamnya dan telah memberikan
kontribusi
besar
kepada
pengembangan
kualitas
SDM
Indonesia.SKB sebagai bagian dari fakta sejarah tersebut haruslah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan kita. Kemudian, SKBsebagaimana dalam Kepmendikbud Nomor 023/0/1997 memiliki tugas pokok yaitu melakukan pembuatan percontohan dan pengendalian mutu pelaksana program PLS, pemuda dan olah raga berdasarkan kebijakan teknis Direktorat PLS, 29
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
pemuda dan olahraga. Sedangkan fungsi SKB adalah (1) pembangkitan dan penumbuhan
kemauan
belajar
masyarakat
dalam
rangka
terciptanya
masyarakat gemar belajar, (2) pemberian motivasi dan pembinaan masyarakat agar mau dan mampu menjadi tenaga pendidik dalam pelaksanaan azas saling membelajarkan, (3) pemberian layanan informasi kegiatan pendidikan luar sekolah, pemuda dan olahraga, (4) pembuatan percontohan berbagai program dan pengendalian mutu pelaksanaan program pendidikan luar sekolah, pemuda dan olahraga, (5) penyusunan dan pengadaan sarana belajar muatan lokal, (6) pengadaan sarana fasilitas belajar, (7) pengintegrasian dan penyinkronisasi kegiatan sektoral dalam bidang pendidikan luar sekolah, pemuda dan olahraga, (8) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga pelaksana pendidikan luar sekolah, pemuda dan olahraga dan (9) pengelolaan urusan tata usaha sanggar. Tugas dan fungsi pokok tersebut menegaskan kembali bahwa SKB sebagai bagian dari fakta sejarah pendidikan nonformal bertujuan untuk mencerdaskan segenap bangsa, sebagaimana yang dicita-citakan oleh para the founding fathers. Mencermati tugas dan fungsi pokok SKB tersebut, jika dikaitkan dengan konteks Otoda, ternyata tidak banyak perubahan setelah SKB menjadi UPT Dinas Pendidikan kabupaten/kota, karena umumnya Perbup/Perwali/ Perda SKB tersebut merujuk kepada Kepmendikbud nomor 023/0/1997 tentang Rincian Rugas dan Fungsi Pokok SKB. Adalah fakta dilapangan bahwa kesamaan tugas dan fungsi tersebut terjadi karena munculnya pemahaman yang kuat bahwa SKB masih menjadi tanggung jawab pusat, pemerintah pusat yang “melahirkan” SKB maka pemerintah pusat pula yang harus “membesarkan” SKB. Persepsi ini juga seakan-akan “diamini” oleh pemerintah pusat, terbukti hingga saat ini belum ada peraturan pengganti atas Kepmendikbud tersebut, jadi Kepmendikbud tersebut secara de jure- de facto masih berlaku. Kondisi seperti inilah yang membuat SKB menjadi “gamang”, mau menginduk kepada siapa? Menginduk ke pusat sudah tidak punya dasar hukum, menginduk ke daerah, justru daerah tidak “mau tahu”. Puncak kegelisahan SKB terjadi pada saat kritikan yang terus menyerang kinerja SKB, banyak pihak yang mempertanyakan eksistensi SKB 30
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
sebagai lembaga percontohan di bidang PAUDNI. Karena hingga saat ini pelaksanaan atas peran tersebut belum maksimal, sehingga belum muncul perbedaan signifikan antara program yang diselenggarakan oleh PKBM dengan program yang diselenggarakan oleh SKB. Apakah selama ini banyak masyarakat yang datang ke SKB untuk “menimba ilmu dan belajar” bagaimana penyelenggaraan program PAUDNI di SKB? Dalam setiap Rakor dengan bidang PAUDNI di tingkat provinsi, salah satunya di provinsi NTB, selalu terjadi perdebatan alot antara bidang PAUDNI kabupaten/kota terkait mana yang disebut dengan lembaga percontohan, apa yang patut dicontohi oleh masyarakat dengan program PAUDNI yang dikembangkan SKB. Alih-alih menjawab dan mencari solusi, justru ajang Rakor tersebut menjadi forum “pengadilan” bagi SKB bahwa SKB tidak optimal dan tidak “becus” dalam melaksanakan program. Puncaknya terjadilah silang sengketa, saling mengejek tentang peran masing-masing. Padahal jika kita cermati, ketidakberdayaan dan ketidakmampuan SKB dalam mewujudkan tugas dan fungsinya adalah belum berfungsinya pembinaan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan kepada SKB. Perkembangan IPTEK, globalisasi dan problem hidup masyarakat secara
langsung
memengaruhi
pola
kebutuhan
belajar
masyarakat.
Trendmeningkatnya peluang dan tantangan bagi SKB agar bisa kembali rebound merebut “hati” masyarakat sehingga SKB menjadi pilihan dan rujukan masyarakat di bidang PAUDNI. Selama ini model pembelajaran yang partisipatif, fleksibel dan berdinamika tinggi (multy entry multy exit due to prior knowledge) sangat memungkinkan SKB mengembangkan kiprahnya. Peran SKB sebagai satuan pendidikan diharapkan membawa ekspektasi yang besar terutama peningkatan kualitas layanan pendidikan dan hasil pembelajaran yang selaras dengan kebutuhan pasar. Dalam kedudukan sebagai satuan pendidikan maka fungsi yang dapat dijalankan oleh SKB adalah (1) peningkatan layanan masyarakat terhadap akses pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan di bidang PAUDNI, (2) pusat perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program percontohan pendidikan anak usia dini, pendidikan nonformal dan informal (3) menyiapkan dan melaksanakan program pembinaan peningkatan mutu para PTK PAUDNI, (4) pusat data pendidikan anak usia, nonformal dan informal, (5) fasilitasi dan koordinasi kerjasama 31
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
lintas sektoral dalam penguatan program pendidikan anak usia dini, nonformal dan informal. SKB
sebagai
satuan
pendidikan
nonformal
berorientasi
pada
pemenuhan tujuan belajar warga belajar. Jadi jika ditinjau ari faktor tersebut maka pendidikan nonformal yang dilaksanakan oleh SKB bertanggung jawab menggapai dan memenuhi tujuan-tujuan yang sangat luas jenis, level mapun cakupannya.Dalam kapasitas inilah muncul ciri pendidikan nonformal yang bersifat muti purposes. Ada tujuan-tujuan pendidikan nonformal yang terfokus pada pemenuhan kebutuhan belajar tingkat dasar (basic education) semacam pendidikan keaksaraan, pengetahuan alam (natural knowledge), ketrampilan vokasional (social economic well-being), pengetahuan gizi dn kesehatan, sikap sosial berkeluarga dan hidup bermasyarakat (positive attitude, household and social relationship), pengetahuan hidup dan kwarganegaraan (functional knowledge and skill for civic participation) seta citra diri dan nilai hidup (self esteem and meaning of life). Memandang tujuan program di SKB dari sisi tersebut maka semua stakeholders, pelaku, praktisi dan pejabat dilingkungan SKB harus menyadari sepenuhnya betapa besar beban yang harus ditanggungnya. Tugas dan fungsi SKB jika dikaji lebih dalam, maka dari sisi faktor agensi atau provider pendidikan nonformal memiliki variabilitas agensi yang besar dan beragam, baik yang berada di bawah koordinasi pemrintah, swasta, LSM atau masyarakat lainnya. Supriyono (2014) justru lebih menegaskan bahwa dalam kapasitas inilah SKB memiliki sifat
multi agencies.
Perkembangan agensi ini telah diikuti pula oleh perkembangan profesi pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal seperti Pamong Belajar, Penilik, tutor, pengelola, fasilitator dan narasumber. Semua jenis profesi tersebut tentunya bervariasi jenjang, tingkat dari amatir sampai dengan profesional, dari sekelas “ecek-ecek” sampai mahir. Namun demikian juga peran SKB dengan program pendidikan nonformalnya bertujuan kepentingan pendidikan kelanjutan (continuing education). Misalnya pendidikan kesetaraan, sekolah minggu, pengajian, model latihan kejiwaan meditasi seperti yang dikembangkan oleh kelas-kelas yoga, bahkan training motivasi pribadi seperti 32
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
yang dilakukan Mario Teguh dalam acara “Mario Teguh The Golden Ways”, program seperti itu tujuannya adalah pencapaian ketenangan jiwa, keteguhan hati sehingga hidup benar-benar lebih bermakna. Inilah yang dalam banyak hal, dapat diperankan, diambil tugas dan fungsinya oleh SKB. SKB mempertajam program dengan mengembangkan sense of need.
Merujuk pada deskripsi reposisi SKB dilihat dari tugas dan fungsi maka dapat penulis formulasikan sebagai berikut; Tabel 1. Formulasi Reposisi SKB dari Sisi Tugas dan Fungsi No.
Aspek dan Sub Aspek
Deskripsi
1.
Sasaran
Kaum marginal, usia 0-44 tahun dan diatas 44 tahun, pengangguran, 3T, berkebutuhan khususu, DO SDSMPSMA, layanan deferinsial
2.
Orientasi Tujuan
Kemandirian, pengentasan dari kemiskinan, penguatan masyarakat, pencerdasan dan penanaman nilai-nilai hidup yang lebih baik
3.
Bentuk Program
Berbasisis pada need of grass root, adaptasi kuat terhadap perubahan jaman, trend of pangsa pasar, penyelenggaraan program terpusat di kampus (back to campus)
4.
Perubahan Peran dan Fungsi Pelayanan menuju program multi purposes, mengembangkan program pendidikan alternatif, menguatkan layanan untuk continuing education for lifelong learning
5.
Inisiasi Tugas dan Fungsi
6.
Pengembangan Organisasi
7.
Peran
Sosial
Internal dan eksternal, top managers sebagai inisiator, menajamkan posisi stakeholders, personel SKB sebagai creator dan dinamisator
Kapasitas Melalui workshop SKB, kegiatan publkasi lebih masif dan intensif Media Optimalisasi trend sosial media untuk 33
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
8.
2.
penunjang Tupoksi
pengenalan produk layanan SKB, membuka jaringan kemitraan dengan free provider IT
Sfat dan karakteristik fungsi
Berkelanjutan, menerapkan 8 standar nasional pendidikan, berbasis pada DAPODIK, peserta didik ber NISN, lembaga memiliki NSPN
Struktur dan Kelembagaan Desentralisasi pendidikan merupakan upaya memindahkan tugas dan tanggung
jawab
penyelenggaraan
pendidikan
yang
semula
terpusat
(sentralistik) menjadi pendidikan yang berbasis kepentingan. Desentralisasi pendidikan sebagai bentuk dari otonomi pendidikan [ada hakekatnya bertujuan memandirikan seseorang atau suatu lembaga atau suatu daerah. Untuk mencapai
tujuan
kemandirian
kemampuan
tersebut
maka
diperlukan
pemberdayaan penyelenggaraan pendidikan (Tilaar, 2000; Djohar, 2003). Mengacu pada konsep tersebut, sejatinya desentralsiasi pendidikan justru harus mensejahterakan “dunia pendidikan”, bukan sebaliknya “menyengsarakan” sebagaimana kesan yang muncul di SKB. Struktur dan kelembagaan SKB, jika diletakan dalam perspektif otonomi pendidikan, tidak menunjukan hubungan yang kuat antara pemangku kepentingan, pejabat pembina dan pemegang otoritas dinas Pendidikan kabupaten/kota. Patut dicermati kesimpulan paparan Prof Supriyono (2014) dalam Seminar “Reorientasi Jalur Pendidikan Nonformal dan Informal dalam Kebijakan
Kabinet
Kerja”
di
IKIP
Mataram
sebagai
berikut
(1)
mengembalikan konsep PAUDNI sesuai dengan makna yang sesungguhnya sehingga dapat mewujudkan amanat UUD 1945 pasal 31 ayat (3) yaitu “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undangundang”. Konsep mengusahakan dan menyelenggarakan bukan hanya bermakna adanya suatu sinkronisasi antar undang-undang tetapi juga antar jalur, antar program dan antar instansi, (2) perlu adanya ketentuan-ketentuan turunan dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang 34
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
berkaitan dengan pendidikan nonformal dan informal yang dapat dijadikan landasan operasional pengemabngan dan pelembagaannya, (3) menyusun struktur kelembagaan pendidikan nonformal dan informal yang lebih lentur, fungsional dan praksis, membangun satuan-satuan pendidikan nonformal di setiap wilayah/ kecamatan untuk mengembangkan potensi lokal dan keungguan lokal namun tetap substansinya adalah di bidang pendidikan nonformal dan informal, dan (4) perlunya peningkatan layanan pendidikan nonformal dan informal yag dapat menciptakan lingkungan mendidik keluarga, isu pendidikan berparadigma learning without teaching harus menjadi acuan program, demikian juga maraknya fenomena public paedagogy kedua isu tersebut sebisa mungkin menjadi dasar penyusunan dan pengembangan program oleh SKB. Mencermati perubahan struktur dan kelembagaan SKB, maka membangun struktur kelembagaan yang bersifat fungsional dan taktis akan sangat bermanfaat bagi organisasi tersebut. Tata sistem birokrasi yang ketta dan rigidjustru akan mematikan kreatifitas SKB itu sendiri sebagai lembaga percontohan. Kedudukan kepala sanggar sangat penting, karena ia merupakan dirigent dalam pelaksanaan program. Struktur organisasi yang “gemuk” misalnya dengan mengadakan jabatan kepala seksi atau kepala bidang atau kepala bagian akan menambah panjang alur penyelarasan dan penyelesaian sebuah program. Hal yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan struktur kelembagaan SKB yang bersifat fungsional adalah (1) harus ada unsur pimpinan sebagai bagian dari tugas struktural organisasi, dalam kelompok struktural ini terdapat unit atau personel yang akan mengerjakan pekerjaan non teknis yaitu personel kepegawaian dan SDM, personel IT (Dapodik, entry data, jaringan IT), dan personel keuangan-financial donations-pungutan pajak (taxes), (2) harus ada unsur teknis yaitu personel yang mengerjakan pekerjaan fungsional
program
disebut
dengan
Pamong
Belajar.
Sesungguhnya
kemunculan SKB apakah mampu memberikan kepuasan kepada customers (baca: masyarakat) bergantung pada bagaimana peran dan kinerja Pamong Belajar di SKB tersebut. Sebagai tenaga fungsional maka Pamong Belajar harus mumpuni secara kuantitas dan kualitas. Reposisi struktur dan kelembagaan SKB tidak akan memberikan dampak besar jika keberadaan tenaga fungsional Pamong Belajar tidak menunjukan harapan performansi 35
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
sebagaimana terjabar dalam PermenPAN&RB Nomor 15 Tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pamong Belajar dan Angka Kreditnya. SKB sebagai sebuah satuan pendidikan harus memiliki struktur organisasi yang kuat. Pada kelompok jabatan fungsional, maka pembagian atau spesifikasi tugas minimal mencakup (1) tugas pengembangan kurikulum, bahan ajar dan media belajar, (2) tugas kerjasama lintas sektoral-publikasi dan pelayanan informasi dan (3) tugas pengelolaan warga belajar-peserta didik dan PTK. Ketiga gugus tugas tersebut harus di pegang oleh kelompok fungsional. Personel Pamong Belajar yang mendapat tugas mengembangkan kurikulumbahan ajar dan media belajar bekerja pada domain bagaimana membuat perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program belajar. Tugas ini juga disebut sebagai tugas fungsi akademik, karena Pamog Belajar yang mendapat tugas ini hanya fokus bagaimana mengembangkan program dengan baik, bagaimana menjalankan semua kurikulum yang sudah ada di SKB, dan melakukan kajian terhadap efektifitas hasil program di SKB. Selanjutnya Pamong Belajar yang bertugas melakukan kerjasama lintas sektoral publikasi dan pelayanan informasi domain pekerjaan ini adalah kegiatan pengembangan dan jalinan kemitraan. Pada era Otonomi Daerah pengembangan program harus bergerak menuju perluasan jaringan. Kemudian, untuk tugas pengelolaan peserta didik dan PTK. Tugas ini bertujuan agar sistem tata kelola pengembangan karir SKB, data base peserta didik meliputi sukses strory, daftar alumni, karakteristik peserta didik, riwayat hidup lengkap peserta didik, capaian prestasi peserta didik dan pengembangan profesionalitas Pamong Belajar belum sepenuhnya berjalan. Struktur otrganisasi dan kelembagaan SKB harus kaya fungsi dan minim struktur. Penulis mengajukan kelembagaan SKB, yaitu sebagai berikut;
36
3 (tiga) model reposisi struktur
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Gambar 1. Model 1 Reposisi Struktur dan Kelembagaan SKB Berikut adalah penjelasan terkait dengan gambar 1 diatas yaitu; 1. Kepala Dinas adalah pembina jabatan dan sekaligus atasan secara administratif ketenagaan SKB. Sebagai pejabat pembina maka peran utama kepala Dinas adalah mengarahkan, membina, mengembangkan personel SKB menjadi personel yang profesional 2. Kepala Bidang PAUDNI adalah pejabat pembina teknis, artinya bahwa hal yang terkait dengan program, peningkatan mutu PTK di SKB, pengembangan dan pengkajian program PAUDNI merupakan domain pekerjaan Kabid PAUDNI 3. Kepala SKB merupakan jabatan fungsional karena yang menjadi kepala SKB adalah pamong belajar yang diberikan tugas tambahan sebagai kepala SKB. Kepala SKB berperan dalam manajemen program, penanggung jawab program dan memastikan bahwa semua program PAUDNI berjalan sesuai dengan prosedur, dan perencanaan 4. Untuk mendukung keterlaksanaan kepala SKB maka dukungan personel tata usaha sangat penting, dan untuk urusan tata usaha meliputi (1) urusan kepegawaian dan sumber daya, (2) urusan data dan (3) urusan keuangan dan donasi 37
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
5. Pada tingkatan operasional teknis dilapangan, maka kepala SKB di bantu oleh 3 orang koordinator kegiatan/ bidang meliputi (1) bidang kurikukumakademik, (2) bidang informasi-pubikasi dan kemitraan, (3) bidang peserta didik dan PTK. Ketiga bidang urusan tersebut dipegang oleh Pamong Belajar 6. Kelompok Pamong Belajar di bagi dalam 3 (tiga) kelompok kerja yaitu (1) Pokja PAUD, (2) Pokja Keaksaraan-Kesetaraan, (3) Pokja Kursus-PKH, PKM, TBM dan (4) Pokja Pendidikan Keluarga Pergeseran posisi (movement positioning) SKB dari UPT menjadi satuan pendidikan tentunya membawa implikasi perubahan yang besar. Pergeseran pada gambar 1 diatas memberikan opsi yang luas kepada SKB dalam meningkatkan kinerja lembaga. Jika dalam model reposisi struktur dan kelembagaan (baca: model 1) nampak jelas pergeseran yang ada yaitu peran kepala Dinas dan kepala Bidang sebagai pembina administratif dan pembina teknis, maka untuk menajamkan reposisi struktur dan kelembagaan SKB, penulis menyajikan bentuk pergeseran posisi tersebut seperti dalam gambar 2 berikut;
Gambar 2. Model 2 Reposisi Struktur dan Kelembagaan SKB Berikut adalah penjelasan gambar 2 diatas sebagai berikut; 1. Pada model 2 ini, status SKB bergeser menjadi Satuan PNF PKBM, perubahan nomen klatur SKB menjadi Satuan PNF PKBM tentunya sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 38
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
pasal 26 ayat (2) dan ayat (4), bahwa yang disebut satuan pendidikan adalah salah satunya PKBM, di penjelasan ayat (2) terkait dengan Satuan Pendidikan lainnya, tidak disebutkan SKB sehingg berubah nomenklatur menjadi Satuan PNF PKBM merupakan keputusan yang bijak. 2. Kepala Dinas Pendidikan merupakan pembina administratif dan teknis Satuan PNF PKBM dalam posisi ini maka koordinasi Satuan PNF PKBM dengan bidang PAUDNI merupakan pekerjaan kemitraan dan membangun sinergi penyelenggaraan program PAUDNI di Satuan PNF PKBM 3. Kepala Satuan PNF PKBM merupakan jabatan fungsional yang hanya dapat dijabat oleh Pamong Belajar. 4. Kelompok tata usaha bertugas mengelola, mengurus dan mendukung pekerjaan non teknis SKB, urusan tata usaha ini meliputi (1) ketenagaan, (2) data dan (3) keuangan 5. Kelompok jabatan fungsional disebut Pamong Belajar yang bertugas melaksanakan KBM ada satuan pendidikan PKBM. Kemudian Pamong Belajar dibagi berdasarkan spesifikasi bidang tugas atau garapan yaitu (1) Pamong PAUD, (2) Pamong DIKMAS, (3) Pamong Kesetaraan dan (4) Pamong Pendidikan
Keluarga.
Kelompok
jabatan
fungsional
ini
bertanggung jawab kepada kepala satuan PNF PKBM dengan atasan pembina adalah kepala Dinas Pendidikan Model dua reposisi struktur dan kelembagaan SKB menjadi satuan PNF PKBM tentunya menyelasarkan dengan keputusan pemerintah pusat terkait dengan keberadaan SKB. Reposisi ini bermakna bahwa nomenklatur SKB berubah menjadi PKBM Negeri. Karena nantinya setelah menjadi PKBM Negeri maka runag ingkup dan cakupan wilayah kerja SKB menjadi lebih sempit. Dari model dua maka pemeritah daerah tentunya akan membuka dan membangun PKBM Negeri di setiap kecamatan. Pergeseran kedudukan SKB menjadi PKBM Negeri tentunya akan berdampak pada cakupan dan jangkauan daerah yang harus dibina oleh SKB. Fakta di lapangan memang menunjukan bahwa selama menjadi UPT dengan cakupan wilayah yang besar justru semakin “memperburuk” kinerja SKB dalam memberikan layanan dan kebutuhan belajar PAUDNI kepada masyarakat. Perubahan menjadi PKBM Negeri dengan cakupan hanya satu atau dua wilayah maka akan memfokuskan 39
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
pekerjaan. Selama ini pula, tugas SKB sebagai “pembant” Bidang PAUDNI di kabupaten/kota juga tidak maksimal hasilnya. Fakta yang muncul justru “konflik-permusuhan” yang semakin frontal antara kepala Bidang PAUDNI dengan kepala SKB. Pada posisi Belajar, specify pekerjaan sangat penting, sehingga nantinya seorang Pamong Belajar bisa memilih sesuai dengan bidang minat dan disiplin ilmunya apakah PAUD, Kesetaraan, Keaksaraan, kursus, atau pendidikan keluarga. Reposisi struktur dan kelembagaan pada model tiga ini menunjukan fungsi linieritas antara pejabat pembina administratif dan teknis dengan kepala SKB dan Pamong Belajar. Pada model tiga ini status SKB adalah satuan pendidikan tetapi tetap eselon IV. Artinya bahwa kepala SKB merupakan jabatan struktural eselon IV. Dalam pelaksanaan tugasnya maka kepala SKB di bantu oleh tiga orang wakil kepala dengan bidang urusan adalah (1) wakil kepala I membidangi kurikulum, pembelajaran dan akademik, (2) wakil kepala II membidangi peserta didik, sarana belajar dan SDM dan (3) wakil kepala III membidangi kemitraan, informasi dan publikasi. Jabatan wakil kepala merupakan jabatan fungsional yang di duduki oleh Pamong Belajar. Sedangkan untuk urusan ketatausahaan, tugas tersebut dilaksakan oleh sub bagian tata usaha (kasubag TU). Terdapat tiga jenis urusan atau pekerjaan di bagian tata usaha yaitu (1) urusan kepegaawaian-ketenagaan-persuratan, (2) urusan data, dan (3) urusan keuangan. Reposisi SKB dalam model dua diatas pastinya akan menimbulkan resistensi yang hebat dikalangan SKB. Karena (1) perubahan nomenklatur menjadi PKBM Negeri, (2) perubahan jenis Pamong Belajar, dan (3) miskonsepsi yang salah selama ini terkait dengan lokus pekerjaan Pamong Belajar. Pamong Belajar dalam PermenPAN&RB Nomor 15 Tahun 2010 adalah pejabat fungsional yang diberikan kewenangan oleh pemerintah untuk melakukan KBM, pengembangan dan pengkajian program PAUDNI, dan pengembangan profesi selain kegiatan pendukung. SKB dalam melakukan KBM adalah pada satuan pendidikan, tidak secara eksplisit ditegaskan di SKB, BPKB, BPPAUDNI atau PPAUDNI. Inilah yang penulis maksudkan dengan misonsepsi sehingga sejatinya menempatkan pamong belajar pada satuan PAUDNI tidak bertentanngan dengan perundangan.
40
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Pada model tiga reposisi struktur dan kelembagaan ini uga menampakan sebuah
pergeseran.Pergeseran
yang jelas nampak
pada
kedudukan kepala Dinas sebagai pejabat pembina teknis dan administratif. SKB sebagai satuan pendidikan tetapi merupakan eselon IV dalam jabatan struktural. Pamong belajar dan kepala SKB bertanggung jawab kepada kepala Dinas Pendidikan. Pengisan jabatan kepala SKB dapat diisi oleh non pamong belajar. Karakteristik alur birokrasi juga nampak sederhana, pamong belajar dapat langsung berkonsultasi dan berkoordinasi dengan kepala SKB dan atau kepala Dinas Pendidikan. Sedangkan pada kelompok fungsional terbagi kedalam jenis dan layanan program di SKB yang meliputi (1) Pamong Belajar PAUD, (2) Pamong Belajar DIKMAS, (3) Pamong Belajar Kesetaraan dan (4) Pamong Belajar Kursus dan Pelatihan. Berdasarkan deskripsi di atas maka, penulis sajikan dalam gambar tiga di bawah ini;
Gambar 3. Model 3 Reposisi Struktur dan Kelembagaan SKB 3.
Dari Sisi Pamong Belajar Mencermati dan menghayati makna yang terkandung dalam Permen PAN&RB Nomor 15 tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pamong Belajar dan Angka Kreditnya, memberikan makna bahwa sebagai seorang PB memiliki tugas dan pekerjaan yang luarbiasa banyaknya. Tidak ada istilah PB kurang 41
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
pekerjaan, PB bingung melakukan apa.
Tiga jenis jabatan PB yaitu PB
Pertama, PB Muda dan PB Madya, memiliki bobot dan kualifikasi pekerjaan yang berbeda. Perbedaan tersebut menunjukan bahwa terdapat kualifikasi dan kompetensi yang harus meningkatdan rumit untuk jabatan PB yang lebih tinggi. Bidang pekerjaan PB seperti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), saja sejatinya telah membuat PB “kalang kabut” karena pada satu tugas pokok ini (dari 5 jenis tugas pokok yang ada). Persiapan apa saja yang harus dilakukan oleh seorang PB dalam KBM? Tentunya tugas ini sama dengan tugas guru di pendidikan formal. Pekerjaan KBM diantaranya menyusun (1) perangkat pembelajaran meliputi RPP, kuriukulum, silabus, evaluasi belajar, rencana tindak lanjut belajar, (2) pelaksanaan KBM meliputi pengelolaan kelas, pembelajaran, pengembangan bahan ajar dan (3) pelaksanaan evaluasi pembelajaran. Melihat jenis program PAUDNI yang beragam, maka pada bagian penyusunan RPP, seorang PB harus menyiapkan RPP yang berbeda. Terlebih, di program PAUDNI umumnya banyak program yang belum memiliki SKL, SK dan KD, maka pekerjaan ini menjadi semakin bertambah. Berbeda jauh dengan pelaksanaan KBM di jalur sekolah, semuanya sudah fix dan ready. Mengingat begitu kompleksnya pekerjaan PB, maka banyak kasus PB yang “berat” naik pangkat, lambat dan tersendat proses pengembangan karirnya. Urusan pembuatan administrasi kenaikan pangkat berbentuk DUPAK, banyak yang terbengkalai. Karena selama ini PB lebih banyak fokus pada bagaimana mengawasi, mengontrol, mengendalikan, menyiapkan kelacaran kegiatan, dan mencari kelompok sasaran program PAUDNI. Banyak PB yang “lupa” bahwa ternyata pekerjaan yang telah dilakukan masih jauh dari target pekerjaan utama yaitu KBM, pengkajian, pengembangan dan pengembangan profesi. Kondisi ini akan menjadi “parah” jika PB justru lebih banyak terlibat sebagai verifikator, asesor, visitor, pada kegiatan yang dilaksanakan oleh pusat, (www.http.blogspot.fauziep.com) Sayangnya, jenis pekerjaan tambahan yang tidak ada kaitanya dengan Tupoksi PB inilah yang sekarang diminati dan dicari-cari oleh PB. Tentunya motif dari sikap dan tindakan tersebut adalah motif uang/ materi.
42
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Membaca anomali sikap dan tindakan PB yang lebih mengutamakan pekerjaan “sampingan” daripada pekerjaan utama maka tentunya para pemimpin lembaga (baca: SKB, BPKB, BPAUDNI dan PP PAUDNIN) harus segera bersikap, dengan “mengandangkan” PB ke lembaganya. PB harus fokus kepada tugas pokoknya sebagai PB dan PB harus mendahulukan melayani kebutuhan belajar masyarakat melalui program PAUDNI yang berkualitas, bukan melayani kebutuhan pemerintah (baca: Direktorat, Dirjend, Forum). Eksistensi PB, dalam pandangan penulis, hanya dapat ditampilkan melalui seberapa sering PB menampilkan jurnal-junal ilmiahnya, seberapa banyak karya ilmiah yang terpublikasikan. Eksistensi PB juga tercermin dalam konsistensi dan integritas PB dalam melaksanakan program-program PAUDNI dilapangan. Sekali lagi pada poin tugas ini, sayang sekali, hanya segelintir PB yang masih memiliki konsistensi, integritas dan idealisme dalam melaksanakan program PAUDNI. Indikasi dari menurunya kinerja SKB sebenarnya dapat dicermati dari temuan penelitian yan dilakukan PB seperti Melati Indri Hapsari (2009), Rasid (2006) dan Erman Syamsuddin (2009). Hasil temuan mereka menunjukan bahwa kinerja PB masih rendah 65% sisanya berkategori sedang dan tinggi. Faktor yang mempengaruhi kinerja PB diantaranya sikap atas profesi (30%), lingkungan kerja (35%) dan ketrampilan teknis (35%). Terkait dengan faktor yang mempengaruhi kinerja PB, menarik juga temuan dari Erman Syamsuddin (2009) yang menunjukan bahwa rata-rata PB kurang paham dengan tugas dan fungsinya, kekuranpahaman ini menyebabkan PB memiliki kemampuan teknis yang rendah. Linier dengan temuan diatas, kembali Melati Indri Hapsari (2012) dalam penelitiannya ternyata bahwa program pelatihan fungsional PB belum memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan kemampuan dan ketrampilan teknis PB tersebut. Temuan tersebut diatas tentunya semakin menguatkan bahwa kinerja PB masih rendah dan ini semua menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagi pemerintah (baca: pusat dan daerah) untuk mendorong dan meningkatkan kinerjanya. Pergeseran status SKB menjadi satuan pendidikan mengandung makna (1) PB harus back to nature, yaitu mengerjakan tugas dan fungsinya sebagai PB sebagaimana dalam PermenPAN&RB nomor 15 Tahun 2010, (2) konsistensi, integritas dan idealisme PB dalam menjalankan pekerjaannya, memegang 43
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
teguh prinsip profesionalitas dan (3) secara proaktif melakukan kegiatan peningkatan kompetensi diri menuju self-directed learning,selama ini yang diajarkan untuk melakukan belajar mandiri adalah warga belajar tetapi lupa bahwa dirinya juga harus memberikan teladan bagaimana belajar swa arah (self-directed learning). PermenPAN&RB Nomor 15 Tahun 2010 memang tidak mengirim pesan adanya reposisi atau pergeseran tugas dan fungsi PB, tetapi memang secara subtansi bahwa penambahan tugas pokok PB yang muncul. Pada tugas pokok PB mengacu pada KepMenkowasBang&PAN Nomor 25 Tahun 1999 PB tugas utamanya adalah Pendidikan, KBM, Penilaian, Pengembangan Model, dan Pengembangan Profesi, maka untuk tugas pokok yang baru yaitu pendidikan, KBM, pengkajian, pengembangan model dan pengembangan profesi. Fungsi penilaian melekat dalam KBM, dan penambahan tugas pengkajian menjadikan pekerjaan PB semakin “berat”. Profesi PB adalah profesi yang sangat menarik dan menantang. PB bukan saja bekerja pada domain KBM, tetapi juga pada pengembangan dan pengkajian. Meskipun keterlaksanaan tugas PB pada poin pengembangan model dan pengkajian hampir-hampir tidak terlaksana oleh PB SKB, karena berbagai kendala salah satunya adalah tidak ada dukungan anggaran untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Akan tetapi peraturan menyebutkan bahwa semua PB memiliki tugas pokok yang sama yaitu merujuk pada PermenPAN&RB Nomor 15 Tahun 2010. PB sebagai agen pembelajar harus menguasai kompetensinya secara utuh, salah satunya adalah kompetensi andragogi. Kompetensi ini wajib dimiliki oleh PB karena hampir 90% WB binaan PB adalah usia dewasa. Ketrampilan PB dalam memberikan bantuan kepada orang dewasa, mengetahui strategi menolong orang dewasa sekaligus mengembangkan kemampuan WB dalam menyelesaikan persoalan hidupnya merupakan pengetahuan dasar dalam pengembangan pendidikan nonformal. Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Darkenwald & Merriam (1982:50); Kindervatter, (1979:107-108) bahwa sebagai agen pembelajar pada jalur pendidikan nonformal maka penguasaan kompetensi pembelajaran orang dewasa, pengetahuan dasar ke-PNF-an akan membantu keberhasilan seorang agen pembelajar (baca: PB) dalam 44
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
melaksanakan program PNF. Jika kita maknai secara tegas, maka sebagai PB kita semua sadar sebagai PB yang profesional harus selalu menjunjung profesionalitas, konsisten dan fokus terhadap pencapaian tujuan. PB dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya mengacu pada peraturan perundangan, sehingga apapun yang dilakukan PB adalah bertujuan untuk melayani kepentingan masyarakat. Penggambaran yang lebih tajam tentang Tupoksi PB dalam PermenPAN& RB Nomor 15 tahun 2010, memang sangat nyata dalam peraturan tersebut, diantaranya beda tugas atau pekerjaan antara PB Pertama, PB Muda dan PB Madya. Penjabaran yang lebih rigid tersebut bermakna bahwa PB harus menunjukan profesionalitasnya, makin tinggi jabatan PB maka makin berkualitas-profesional PB tersebut. Disinilah arti pentingnya kebutuhan akan kompetensi (need for competence), yaitu kebutuhan untuk percaya bahwa mereka dapat berhubungan secara efektif dengan lingkungan mereka, sehingga untuk mencapai perasaan kompetensi maka totalitas terhadap pekerjaan dan eksplorasi dengan bebas apa yang menjadi potensi dan kebutuhannya (Boggiano & Pittman, 1992; Connel &Welborn, 1991; Reeve, Deci & Ryan, 2004; R White, 1959). Tuntutan meningkatnya kebutuhan belajar masyarakat mengharuskan PB memiliki kebutuhan akan kompetensi yang terus bertumbuh. Sayangnya, memang tidak semua PB memiliki kebutuha dan perasaan terhadap kompetensi tersebut. Jadi penilaian dan persetujuan orang lain berperan penting dalam pengembangan perasaan kompetensi dan kepantasan dirinya (self worth). Menyikapi perubahan status SKB maka sejatinya secara substansi memang tidak terdapat perubahan signifikan terhadap tugas dan fungsi pokok PB, yang berfokus pada kegiatan PBM, pengembangan model, pengkajian, pengembangan profesi dan penunjang kegiatan. Namun demikian, terkait dengan perubahan status SKB menjadi satuan pendidikan, maka sarana, target dan tujuan program-program percontohan yang dilaksanakan oleh PB harus lebih berdaya guna dan berhasil guna. Apa yang dilakukan oleh SKB harus memberikan dampak
signifikan terhadap peningkatan kualitas hidup
masyarakat. Jika selama menjadi UPT PB dapat membentuk dan melaksanakan program di luar kampus SKB maka dengan menjadi satuan pendidikan ruang 45
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
lingkup, daya jangkau dan persebaran wilayah binaan SKB menjadi lebih sempit, namun semakin fokus dan tajam dalam pengembangan program PAUDNI. Pada konteks ini maka PB menjadi lebih dinamis dan tertantang untuk berlomba menunjukan kemampuannya mencapai prestasi di setiap program PAUDNI yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Hal ini nampaknya sejalan dengan pandangan experts terkait dengan tantangan, hanya PB yang mampu menguasai permasalahan, tantangan akan mengalami kesenangan, kepuasan dan kebanggaan besar terhadap prestasi Nakamura, Shernoff, Knouth & Markis, Thompson dan Tunner (dalam Ormrod, 2002). Menyimpulkan paparan reposisi SKB dilihat dari sisi PB, maka reposisi yang terjadi adalah (1) mengembalikan PB kepada tugas dan fungsi pokoknya yang selama ini cenderung “dilupakan”, bahwa era PB menjadi bendahara, pengelola program, ketua program, pembantu bendahara, tim verifikator dan asesor sudah surut, PB harus back to nature, lebih fokus mengembangkan program percontohan PAUDNI berpusat dalam kampus SKB, (2) spesifikasi tugas dan fungsi PB, menjadi beragam bidang dan keahlian seperti PB PAUD, PB Dikmas, PB Kesetaraan, PB Kursus dan Pelatihan, spesifikasi tugas tersebut tentunya untuk menguatkan profesionalitas PB sekaligus mendorong tumbuhnya kebutuhan akan kompetensi dan kepatutan diri (self worth towards self actualization),
dan (3) perubahan dan pergeseran peran PB agar
berorientasi pada pelayanan (serve-oriented), mengutamakan customers mengembangkan progam berbasis pada kebutuhan dengan mengedepankan keunggulan lokal.
PENUTUP A.
Kesimpulan (conclusions) Berdasarkan deskripsi di atas maka beberapa simpulan yang dapat ditegaskan kembali adalah sebagai berikut; 1.
Perubahan status SKB menjadi satuan pendidikan bertujuan agar SKB lebih berdaya dan memiliki ruang pengelolaan anggaran yang lebih luas, karena pasca Otoda justru trend kebijakan yang merugikan SKB banyak terjadi, sehingga kondisi ini signifikan berpengaruh pada kinerja SKB secara utuh.
46
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
2.
Reposisi SKB memberikan peluang dan tantangan kepada Pemerintah (baca: pusat dan daerah) agar SKB menjadi lembaga percontohan yang lebih eksis dan memiliki peran besar dalam peningkatan kualitas hidup manusia melalui instrumen program PAUDNI yang berkualitas.
3.
Ada tiga jenis reposisi yang diharapkan dari SKB yaitu: (1) reposisi SKB dari sisi tugas dan fungsi memberikan signal bahwa SKB menjadi lebih fokus pada kegiatan di dalam kampus, SKB juga selain mengembangkan program perluasan akses juga mengembangkan program percontohan, (2) reposisi SKB dari sisi struktur dan kelembagaan SKB menunjukan bahwa terdapat 3 (tiga) pergeseran struktur yaitu SKB berubah menjadi satuan pendidikan dan kepala SKB dijabat oleh pamong belajar, kemudian SKB berubah menjadi satuan pendidikan PNF PKBM Negeri, jadi SKB menyesuaikan dengan perundangan yang ada yaitu UU Nomor 20 Tahun 2003 dan SKB berubah menjadi satuan pendidikan tetapi tetap jabatan kepala SKB adalah jabatan struktural eselon IV. Pada perubahan struktur dan kelembagaan ini, untuk keterlaksanaan tugas kepala SKB dibantu oleh 3 orang wakil kepala dengan urusan atau bidang kurkulum-kemitraan dan peserta didik/PTK. (3) Sedangkan reposisi dari sisi pamong belajar, SKB melaksanakan tugas dengan fokus utama pada KBM, pengembangan,
pengkajian
dan
pengembangan
profesi.
Reposisi
ini
mengharuskan PB harus back to nature, untuk memenuhi 24 jam beban kerja perminggu maka PB harus fokus pada KBM, pengembangan dan pengkajian, dengan kata lain totalitas dalam pekerjaan. B.
Saran-Rekomendasi (strong recomendations) 1.
Kepada Pemerintah Pusat (baca: Kemendikbud RI, Ditjend PAUD Dikmas dan Ditjend Guru dan PTK) 1) Segera melakukan kajian kembali, peninjauan, usul perubahan terhadap beberapa pasal dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatur tentang Satuan Pendidikan PNF dan atau Satuan Pendidikan Lainnya, karena baik dalam pasal maupun penjelasan pasal 26 ayat (4), ayat (2) belum mengatur tentang klausul SKB 2) Segera membuat Permendikbud yang mengatur tentang Tugas dan Fungsi Pokok
SKB
sekaligus
peraturan
yang
baru
tersebut
mencabut 47
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Permendikbud Nomor 023/0/1997 tentang Rincian Tugas dan Fungsi Pokok SKB 3) Segera melakukan FGD tentang model percepatan perubahan status SKB yang disertai dengan naskah akademik, standar pelayanan minimal SKB 2.
Kepada Bupati Kabupaten/Kota 1) Perlunya menelaah kembali urgensi perubahan status SKB menjadi satuan, telaah tersebut untuk mengeliminir ekses negatif dan “kegaduhan” yang timbul atas perubahan status SKB 2) Harus mengajak SKB duduk bersama, menyepakati format dan perubahan yang diinginkan dari SKB
3.
Kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota 1) Menguatkan
dan
memberikan
pembinaan
kepada
SKB,
meyakini
sepenuhnya bahwa SKB penting dan perlu segera di revitalisasi 2) Mendorong perubahan struktur dan kelembagaan SKB yang kaya fungsi miskin fungsi, menjadikan SKB sebagai murni satuan pendidikan dan mengangkat pamong belajar yang diberikan tugas tambahan sebagai kepala SKB
DAFTAR PUSTAKA Buku Data IPABI. (2015). Pamong Belajar NTB dalam Angka. Sumbawa: IPABI NTB. Danim, S. (2003). Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Darkenwald, G.G & Merriam, S.B. (1982). Adult Education: Foundation of Practice. New York: Harper&Row Publishers Djohar. (2003). Pendidikan Stratejik untuk Pendidikan Masa depan. Yogyakarta: LESFI. Elliot, G. (1999). Lifelong Learning. London: Jessica Kingsley Publishers. Erman, S. (2009). Pengaruh Sikap-Atas-Profesi, Lingkungan Kerja dan Keterampilan Teknis terhadap Kinerja Pamong Belajar di SKB Jawa Barat. Jurnal Visi PTKPNF. Vol 4 No.1 Tahun 2009. Evans, D.R. (1981). The Planning of Nonformal Education. Paris: Unesco.
48
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Faure, E. Et al. (1972). Learning to Be: the World of Education Today and Tomorrow. Paris: Unesco. Freire, P. (1984). Education of The Oppresed. Center for International Education University of Massachusetts. Kindervatter, S. (1979). Nonformal Education as An Empowerig Process with Caese Studies from Indonesia and Thailand. USA: Massachusetts. Kemendikbud. (2014). KepmenPAN&RB Nomor 15 Tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pamong Belajar dan Angka Kreditnya, Jakarta: Kemendikbud RI. Melati, I.H. (2012). Evaluasi Dampak Pendidikan dan Pelatihan Fungsional Pamong Belajar. Jurnal Visi P2TK PNF Vol. 7 Edisi 2 Desember 2012. Melati. I.H. (2008). Pengembangan dan Peningkatan Kinerja Pamong Belajar Sanggar Kegiatan Belajar. Jurnal Visi PTK-PNF. Vol 3 No.2 Tahun 2008. Mestoko, dkk. (1986). Pendidikan Nasional dari Jaman ke Jaman. Jakarta: Balai Pustaka. Miarso, Y.H. (1998). Teknologi untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan. Jakarta: Depdikbud. Morse, A.G.D. (1998). Cascade Method for the Transfer of Expertice in a Computer Assistedtelecommunication Network Planning Project. Makalah pada The Fourth Symposium on Distance Educations and Open Learning. Bandung, 12-13 Mei 1998. Okamoto. K. (1994). Lifelong Learning Movement in Japan: Strategy, Practices and Challenges. Ministery of Education, Science and Culture. Japan: Oficial Goverment. Ormrod, J.E. (2002). Psikologi Pendidikan; Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. Jilid 2. Alih Bahasa Prof Dr Amitya Kumara. Jakarta: Penerbit Erlangga. Pidarta, M. (2001). Desentralisasi Pendidikan di Tingkat Kabupaten. Jurnal Ilmu Pendidikan, 8 (1): 15-27 Tahun 2001. Malang: Universitas Negeri Malang. Pradana, C.D.E.(2010).”Pengaruh Latar Belakang Sosial Ekonomi dan Pengalaman Mengikuti Program Kursus terhadap Kemampuan Berbahasa Inggris Mahasiswa FIP Universitas Negeri Malang”. Skripsi. Malang: FIP UM. Pratesnya. L.D. (2012). “Kesertaan Siswa dalam Program Pendidikan Nonformal sebagai Suplemen Pendidikan Formal di SMP laboratorium Universitas Negeri Malang”. Skripsi. Malang: FIP UM. Rasid. (2009). Peningkatan Kompetensi Pamong Belajar sebagai agen Pemberdayaan Masyarakat melalui Jalur Pendidikan Nonformal. Jurnal Visi PTK-PNF. Vol 4. No.1 Tahun 2009
49
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Sanapiah, F (2008). “Karakteristik Program PLS dan Keanekaragamanya”. Makalah pada Seminar PLS dalam rangka Dies Natalis Universitas Negeri Gorontalo pada tanggal 20 November 2008 di Universitas Negeri Gorontalo. Sangal, S.S. (1998). Open and Flexible Acces to Learning Experiences of India in Open Schooling. Makalah pada The Fourth Symposium Distance Educations and Open Learning. Bandung, 12-13 Mei 1998. Sumption, M.R& Ivonne, E. (1999). School-Community Relations a New Approach. New York: McGraw-Hill Book Company. Supriyono, (2014). “Pratinjau Kebijakan Jalur PNFI Pasca terbitnya Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2015”. Makalah pada Seminar Nasional Jurusan PLS FIP IKIP Mataram, Tanggal 23 April 2014 di IKIP Mataram. Soedjatmoko, (1985). “Pembangunan sebagai Proses Belajar”. Basis Edisi XXXIV-9 Yogyakarta: Yayasan BP Basis. Yulianingsih. W. (2014). Pembinaan Anak Jalanan di luar Sistem Persekolahan (Studi kasus Antusiasme Anak Jalanan Mengikuti Pembinaan di Sanggar Alang Surabaya). JPNF Edisi 10 Tahun 2014. BPPAUDNI Reg.II Surabaya. www.ipabipusat.com. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan Format Pamong Belajar. Diakses Tgl. 7 September 2015 jam 09.30 wita. www.http.blogspot.fauziep.com. Pencerahan Pendidikan Nonformal. Diakses Tgl 20 September 2015 jam 10.15 wita. Zainuddin, M. (2008). Reformasi Pendidikan di Era Otonomi Daerah: Kajian Makna atas Kebijakan Biaya Pendidikan. Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 15 (2): 93-104.
50
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
POSISI STRATEGIS KELUARGA DALAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Rizki Rachmadaniar Pamong Belajar BP-PAUD dan Dikmas NTB Jl. Gajah Mada No.173 Jempong Baru, Kota Mataram Abstrak: Tantangan paling besar saat ini dalam proses pembentukan kepribadian anak adalah lingkungan kedua, yaitu teman sepergaulan dan segala bentuk permainan modern. Apabila didefenisi ulang dan mengfungsiperankan kembali keluarga merupakan hal yang sangat krusial, yaitu keluarga memiliki fungsi dan peran yang sangat besar terhadap perkembangan dan juga pertumbuhan anak usia dini. Keluarga juga diharapkan dapat mencetak anak agar mempunyai kepribadian yang nantinya dapat dikembangkan dalam lembaga-lembaga berikutnya, sehingga wewenang lembaga-lembaga tersebut tidak diperkenankan mengubah apa yang telah dimilikinya, tetapi cukup dengan mengkombinasikan antara pendidikan keluarga dengan pendidikan lembaga tersebut, sehingga sekolah merupakan tempat peralihan dari pendidikan keluarga. Adapun Tujuan pendidikan keluarga adalah memelihara, dan melindungi anak sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Keluarga merupakan kesatuan hidup bersama yang utama dikenal oleh anak sehingga disebut lingkungan pendidikan utama. Sebagai lingkungan pendidikan utama keluarga memiliki beberapa fungsi didalamnya, diantaranya fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi ekonomi, dan juga fungsi pembinaan lingkungan. Kata Kunci : Peran Keluarga, Pendidikan, Masyarakat, Anak Usia Dini.
PENDAHULUAN Menurut UU No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Keberhasilan suatu pendidikan memerlukan dukungan dari semua pihak, baik orangtua atau keluarga, lingkungan sekitar, dan juga pemerintah. Dukungan orangtua atau keluarga menempati urutan pertama, karena orangtua atau keluarga adalah yang terdekat
51
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
dengan anak. Pengasuhan dalam keluarga memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap keberhasilan suatu pendidikan terlebih terhadap perkembangan anak. Anak yang mendapatkan pengasuhan yang baik dari orangtua maupun keluarganya akan tumbuh menjadi individu yang beretika, percaya diri, sehat, dan cerdas. Sebaliknya anak anak yang mendapatkan pengasuhan yang buruk dapat berakibat buruk pula terhadap perkembangannya, misalnya menjadi seorang yang pemurung, kurang semangat, menutup diri, dan kurang semangat dalam menjalani kehidupan dan justru menarik diri dari lingkungannya. Pendidikan dalam keluarga sangatlah penting dan merupakan pilar pokok pembangunan karakter seorang anak. Pendidikan dasar wajib dimiliki tidak hanya oleh masyarakat kota, tetapi juga masyarakat pedesaan. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung lebih dihormati karena dianggap berada strata sosial yang tinggi. Kualitas seseorang dilihat dari bagaimana dia dapat menempatkan dirinya dalam berbagai situasi. Mengingat begitu pentingnya peran keluarga terhadap perkembangan anak, maka sudah seharusnya orangtua dilibatkan dalam penyelenggaraan pendidian anak usia dini. Sehingga pola pengasuhan orangtua bisa sejalan dengan pola pengasuhan dan pendidikan yang ada di lembaga PAUD. Orangtua dan juga keluarga merupakan bagian terpenting yang tidak dapat dipisahkan. Pengasuhan erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga atau rumah tangga dan komunitas dalam hal memberikan perhatian, waktu dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan serta bagi anggota keluarga lainnya (ICN 1992 dalam Engel, et al. 1997). Hoghugni (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan mencangkup beragam aktifitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Prinsip pengasuhan menurut Hoghugni tidak menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada aktivitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Oleh karenanya, pengasuhan meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi dan pengasuhan sosial. Pengasuhan fisik mencangkup semua aktifitas yang bertujuan agar anak dapat bertahan hidup dengan baik dengan menyediakan kebutuhan dasarnya seperti makan, 52
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
kehangatan, kebersihan, ketenangan waktu tidur, dan kepuasan ketika membuang sisa metabolisme dalam tubuhnya. Pengasuhan emosi mencangkup pendampingan ketika anak mengalami kejadiankejadian yang tidak menyenangan seperti merasa terasing dari teman-temannya, takut, atau mengalami trauma. Pengasuhan emosi ini mencangkup pengasuhan agar anak merasa dihargai sebagai individu, mengetahui rasa dicintai, serta memperoleh kesempatan untuk menentuan pilihan dan untuk mengetahui resikonya. Pengasuhan emosi ini bertujuan agar anak mempunyai kemampuan yang stabil dan konsisten dalam berinteraksi dengan lingkungannya, menciptakan rasa aman, serta menciptakan rasa optimistik hal-hal baru yang akan ditemui anak. Sementara itu, pengasuhan sosial bertujuan agar anak tidak merasa terasing dari lingkungan sosialnya yang akan berpengaruh terhadap perkembangan anak pada masamasa selanjutnya. Pengasuhan sosial ini menjadi sangat penting karena hubungan sosial yang dibangun dalam pengasuhan akan membentuk sudut pandang terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. Pengasuhan sosial yang baik berfokus pada memberikan bantuan kepada anak untuk dapat terintegrasi dengan baik dilingkungan rumah maupun sekolahnya dan membantu mengajarkan anak akan tanggung jawab sosial yang harus diembannya (Hughoghi, 2004). Dari penjelasan di atas terlihat bahwa perkembangan seorang anak dimulai dari keluarga karena Peran keluarga sebagai pilar pertama dalam pendidikan seorang individu. Keluarga merupakan tempat pertama seorang anak tumbuh dan berkembang. Keluarga sebagai lembaga sosial terkecil memiliki peran penting dalam hal pembentukan karakter individu. Keluarga menjadi begitu penting karena melalui keluarga inilah kehidupan seseorang terbentuk. Sebagai lembaga sosial terkecil, keluarga merupakan miniatur masyarakat yang kompleks, karena dimulai dari keluarga seorang anak mengalami proses sosialisasi. Dalam keluarga, seorang anak belajar bersosialisasi, memahami, menghayati, dan merasakan segala aspek kehidupan yang tercermin dalam kebudayaan. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai kerangka acuan di setiap tindakannya dalam menjalani kehidupan. Bagi hampir semua masyarakat, keluarga adalah pusat yang paling penting dalam kehidupan seorang individu. Dari keluargalah seseorang itu dapat melangkah keluar dan 53
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
kepada keluarga pula seorang itu akan kembali (Roucek dan Warren, 1994 : 126). Di dalam keluargalah seseorang dapat hidup bersama dengan sekelompok orang secara akrab. Keluarga merupakan community primer yang paling penting, yang mencerminkan sifat komunikasi tatap muka, keakrabab dan kekekalan (Mansyur, 1992 :19). Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan moral dalam keluarga mulai luntur. Arus globalisasi menyerang di segala aspek kehidupan bermasyarakat, tidak hanya masyarakat kota tetapi juga masyarakat pedesaan. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa peran kelurga sangat besar sebagai penentu terbentuknya moral manusia-manusia yang dilahirkan. Untuk itu, peran keluarga dalam pendidikan utama seorang individu perlu dioptimalkan. Karena keluarga merupakan inti dari masyarakat. PEMBAHASAN Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak yang memberikan sumbangan bagi perkembangan dan pertumbuhan mental maupun fisik anak dalam kehidupannya. Keluarga secara etimologi adalah suatu kesatuan (unit) dimana anggota-anggotanya mengabdikan diri kepada kepentingan dan tujuan tersebut (Uyoh Sadulloh, 2006: 182). Sebaliknya, keluarga, menurut istilah adalah dua orang atau lebih yang tinggal bersama dan terikat karena darah perkawinan dan adopsi. B. Boston yang dikutip oleh Ishak Sholeh (1983:11) mengatakan, keluarga adalah suatu kelompok pertalian nasab keluarga yang dapat dijadikan tempat untuk membina/membimbing anak-anak dan untuk pemenuhan hidup
lainnya.
Sehingga
sangat
jelaslah
bahwa
pendidikan
keluarga
adalah
bantuan/pertolongan yang diberikan orang tua kepada anaknya, agar anak itu dapat menjadi dewasa dan senantiasa terarah dalam kehidupannya. Pendidikan keluarga merupakan bagian jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan (UU Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989). Istilah keluarga dan pendidikan adalah dua istilah yang tidak bisa dipisahkan. Sebab, di mana ada keluarga di situ ada pendidikan. Di mana ada orang tua di situ ada anak yang merupakan suatu kemestian dalam keluarga. Ketika ada orang tua yang ingin mendidik anaknya, maka pada waktu yang sama ada anak yang menghajatkan pendidikan dari orang tua. Dari sini munculah istilah “pendidikan keluarga”. Artinya, pendidikan yang
54
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
berlangsung dalam keluarga yang dilaksanakan oleh orang tua sebagai tugas dan tanggung jawabnya dalam mendidik anak dalam keluarga. Dengan demikian, pendidikan keluarga adalah usaha sadar yang dilakukan orang tua, karena mereka pada umumnya merasa terpanggil (secara naluriah) untuk membimbing dan mengarahkan, pengendali dan pembimbing (direction control and guidance, konservatif (mewariskan dan mempertahankan cita-citanya), dan progressive (membekali dan mengembangkan pengetahuan nilai dan ketrampilan bagi putra-putri mereka sehingga mampu menghadapi tantangan hidup di masa datang. Selain itu, keluarga juga diharapkan dapat mencetak anak agar mempunyai kepribadian yang nantinya dapat dikembangkan dalam lembaga-lembaga berikutnya, sehingga wewenang lembaga-lembaga tersebut tidak diperkenankan mengubah apa yang telah dimilikinya, tetapi cukup dengan mengkombinasikan antara pendidikan keluarga dengan pendidikan lembaga tersebut, sehingga sekolah, masjid dan pondok pesantren merupakan tempat peralihan dari pendidikan keluarga. Karena keluarga merupakan inti dari masyarakat maka orang tua perlu bekerja sama dengan pusat pendidikan tempat mengamanatkan pendidikan anaknya, seperti belajar di sekolah, madrasah ataupun pesantren. Tujuannya adalah orangtua maupun keluarga tetap wajib memantau perkembangan pendidikan anak dan tidak melepaskan tanggungjawab. Hal itu merupakan bentuk tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anaknya apabila ia sendiri merasa tidak mampu untuk memberikan pendidikan yang dibutuhkan anaknya. Pada posisi ini fungsi dan peran lembaga pendidikan hanya membantu kelanjutan pendidikan yang telah dimulai dalam keluarga. Artinya, bahwa tanggung jawab pendidikan anak pada akhirnya kembali kepada orang tua juga. Hal itu dikarenakan orang tua adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Bagi anak, orang tua adalah model yang harus ditiru dan diteladani. Sebagai model, orang tua seharusnya memberikan contoh yang terbaik bagi anak dalam keluarga. Sikap dan perilaku orang tua harus mencerminkan akhlak yang mulia. Oleh karena itu, Islam mengajarkan kepada orang tua agar selalu mengajarkan sesuatu yang baik-baik saja kepada anak mereka.
55
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Peran Orang Tua terhadap Pendidikan Anak Menurut Hisbullah 2003, paling tidak ada dua peran orang tua terhadap pendidikan anak, Pertama, Menurunkan sifat biologis dan susunan anatomi, seperti bentuk tubuh, warna kulit, dan warna mata. Menurut susunan urat syaraf, kapasitas intelegensi, motor, dan sensory equipment. Kedua, Memberikan dasar-dasar pendidikan sikap dan keterampilan dasar seperti, sopan santun, etika, kasih sayang, rasa aman dasar-dasar untuk
mengetahui
peraturan-peraturan,
menanamkan
kebiasaan-kebiasaan
hendaknyadiberikan oleh keluarga atau orang tua dengan perbuatan bukan hanya dengan nasehat, sebab sikap dasar anak adalah suka meniru. Apabila orang tua atau keluarga telah berperan sebaik-baiknya terhadap pendidikan anak, maka dasar-dasar pendidikan akan lebih mudah diterima oleh anak, karena sifat dasar dari anak adalah suka meniru. Tujuan Pendidikan Keluarga Tujuan pendidikan keluarga adalah memelihara, melindungi anak sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Keluarga merupakan kesatuan hidup bersama yang utama dikenal oleh anak sehingga disebut lingkungan pendidikan utama. Proses pendidikan awal di mulai sejak dalam kandungan. Latar belakang sosial ekonomi dan budaya keluarga, keharmonisan hubungan antar anggota keluarga, intensitas hubungan anak dengan orang tua akan sangat mempengaruhi sikap dan perilaku anak. Keberhasilan anak di sekolah secara empirik sangat dipengaruhi oleh besarnya dukungan orang tua dan keluarga dalam membimbing anak. Fungsi Keluarga dalam Pendidikan Keluarga yang telah terbentuk mempunyai fungsi-fungsi yang sangat erat sekali dengan keluarga kehidupan itu sendiri dimana yang dimaksud fungsi adalah tugas-tugas yang harus dijalankan sesuai dengan peranan masing-masing. Maka hal tersebut yang merupakan kunci keberhasilan suatu keluarga. Adapun fungsi-fungsi keluarga tersebut menurut BKKBN, 1994:14 yakni: a. Fungsi keagamaan Pada hakekatnya pendidikan agama merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan kepribadian manusia. Dalam keluarga sangat perlu menanamkan nilainilai agama sedini mungkin pada anggota keluarga khususnya anak-anak, karena hal
56
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan budi pekerti dan kepribadian anak. b. Fungsi sosial budaya Keluarga merupakan tempat membina dan mempersemaikan nilai luhur budaya bangsa, karena keluarga merupakan tempat yang sangat strategis untuk membina sikap dan perilaku anak-anak. Dengan demikian anak-anak dapat menilai baik buruknya budaya asing yang datang dariluar. c. Fungsi cinta kasih Kasih sayang pertama diperoleh anak adalah di dalam keluarga. Sebab keluarga merupakan tempat membina rasa cinta dan kasih sayang antara anggota keluarga. Untuk itu kewajiban orang tua tidak terlepas pada pemenuhan materi saja tetapi juga perhatian dan kasih sayang. d. Fungsi perlindungan Keluarga harus memberikan rasa aman, nyaman, adil dan sejahtera bagi anggota keluarga. Untuk itu, membina rasa kebersamaan dan berbagi suka dan duka adalah di dalam keluarga. e. Fungsi reproduksi Salah satu tujuan membangun keluarga adalah untuk menyalurkan kebutuhan seksual yang sehat dan baik, sehingga diharapkan akan memperoleh keturunan yang baik dan sehat pula. Fungsi ini merupakan dasar kelangsungan hidup masyarakat, untuk itu keluarga perlu menjaga pelaksanaan reproduksi yang baik dan sehat f. Fungsi sosialisasi Fungsi sosialisasi ini menunjukkan kepada peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak, sikap, tanggapan emosionil serta cita-cita dalam rangka mencari identitas diri atau jati diri karena itu keluarga disebut sebagai wahana pendidikan pertama dan utama bagi anak. Dalam hal ini melalui interaksi dalam keluarga, anakanak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap dan keyakinan dan nilai-nilai dalam masyarakat. g. Fungsi ekonomi Setiap keluarga memerlukan pemenuhan kebutuhan hidup fisik material yang layak untuk memenuhi kesejahteraan keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga dalam hal sandang, pangan, dan papan.
57
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
h. Fungsi pembinaan lingkungan Dari keluarga dapat dibiasakan hidup sadar baik sosial maupun alam. Sebagai makhluk sosial manusia selalu hidup bermasyarakat atau berkelompok yang selanjutnya berkembang menjadi negara. Dengan demikian, keluarga merupakan wahana penanaman kebiasaan hidup bermasyarakat agar dapat menyesuaikan dengan kehidupan lingkungan. Apabila keluarga telah menjalani fungsinya dengan baik maka keluarga tersebut telah berhasil memberikan pendidikan dasar yang ditanamkan terhadap anak-anaknya. Adapun fungsi keluarga, menurut MI Soelaeman (1978) adalah a. Fungsi edukatif adalah yang mengarahkan keluarga sebagai wahana pendidikan pertama dan utama bagi anak-anaknya agar dapat menjadi manusia yang sehat, tangguh, maju dan mandiri sesuai dengan tuntutan kebutuhan pembangunan yang semakin tinggi. b. Fungsi sosialisasi anak adalah keluarga memiliki tugas untuk mengantarkan dan membimbing anak agar dapat beradaptasi dengan kehidupan sosial (masyarakat), sehingga kehadirannya akan diterima oleh masyarakat luas. c. Fungsi proteksi (perlindungan) adalah keluarga berfungsi sebagai wahana atau tempat memperoleh rasa nyaman, damai dan tentram seluruh anggota keluarganya. d. Fungsi afeksi (perasaan) keluarga sebagai wahana untuk menumbuhkan dan membina rasa cinta dan kasih sayang antara sesama anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya. e. Fungsi religius keluarga sebagai wahana pembangunan insan-insan beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bermoral, berahlak dan berbudi pekerti luhur sesuai dengan ajaran agamanya. f. Fungsi ekonomi adalah keluarga sebagai wahana pemenuhan kebutuhan ekonomi fisik dan materil yang sekaligus mendidik keluarga untuk hidup efisien, ekonomis dan rasional. g. Fungsi rekreasi, keluarga harus menjadi lingkungan yang nyaman, menyenangkan, cerah, ceria, hangat dan penuh semangat. h. Fungsi biologis, keluarga sebagai wahana menyalurkan kebutuhan reproduksi sehat bagi semua anggota keluarganya.
58
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Ruang Lingkup Pendidikan Keluarga Untuk mengetahui ruang lingkup pendidikan keluarga dapat diketahui dari jawaban pertanyaan “Sampai berapa jumlah tanggung jawab keluarga dalam mendidik anak?” tampaknya ruang lingkup tidak terbatas. Sejak anak dalam kandungan, orang tua sudah bertanggung jawab penuh atas keselamatan dan perkembangan anak. Tanggung jawab orang tua terhadap perkembangan dan pendidikan anaknya tampaknya lebih berpangkal pada tanggung jawab instingtif dan moral. Dan akan bertambah ringan, apabila anak sudah mampu berdiri sendiri karena pada akhirnya orang tua harus “melepaskan“ anaknya, supaya mampu berdiri dan tidak lagi tergantung kepada orang tuanya. Pentingnya Pendidikan dalam Keluarga Urgensi
dan
strateginya
penguatan
institusi
keluarga
sebagai
wahana
pengembangan sumber daya manusia. Brean Frenbrenner (Syakrani, 2001) mengemukakan bahwa sejak dulu keluarga menjadi wahana pembentukan karakter dan keterampilan dasar manusia. Bahkan Brenner dan Couts menjabarkan lebih luas bahwa keluarga yang tangguh bersama lembaga keagamaan dan politik akan menjadi pilar penyangga terbentuknya civil society. Betapa pentingnya pendidikan keluarga bagi anak-anak yang sedang berkembang. Pentingnya pembentukan sumber daya manusia berbasis keluarga juga bisa dilihat dari konsep investment in children memahami perlunya penguatan keluarga sebagai wahana pengembangan sumber daya manusia dari sudut pandang orientasi nilai dan perkembangan daya nalar anak Strategi Pendidikan Keluarga Pendekatan pendidikan keluarga adalah secara terpadu, seimbang antara pendekatan endogenous (menimbulkan dari dalam) dan conditioning (pembisaan, mempengaruhi dari luar), serta enforcement (pemaksaan). Anak-anak dalam keluarga sangat kuat proses identifikasinya kepada orang tua dalam berbagai tingkah laku, cara berfikir dan cara menyikapi tentang suatu keadaan. Di samping faktor keteladanan, faktor pembiasaan yang didasarkan atas cinta kasih merupakan sarana/alat pendidikan yang besar pengaruhnya bagi pembentukan budi pekerti dan moral.
59
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Di dalam keluarga yang religius terjadi interaksi interpersonal yang bernilai sosial edukatif dan religius. Pendidikan agama itu perlu disesuaikan dengan taraf kematangan anak, tingkat penalaran, emosi, bakat, pengetahuan dan pengalamannya. Orang tua yang efektif dalam proses pendidikan ditentukan oleh kemampuannya dalam membimbing dan mengarahkan serta memecahkan persoalan-persoalan secara demokratis. Strategi lain dalam mengembangkan pendidikan dalam keluarga adalah dengan konsep tumbuh kembang anak yang pertumbuhan fisik dan otak serta perkembangan motorik, mental, sosio-emosional dan perkembangan moral spiritual. Ada tiga konsep penting yang mencakup aktivitas yakni pola suh, pola asah dan pola asih. Strategi yang dapat digunakan oleh orang untuk mengembangkan moral dan keterampilannya, yaitu : a. Bantulah anak untuk menemukan sendiri tujuan hidupnya. b. Bantulah anak mengembangkan perilaku yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan hidupnya. c. Jadilah figur ideal bagi anak dalam berperilaku. d. Beri semangat dan gugah hati anak untuk berperilaku terpuji. Menurut Popov dkk. (1997), orang tua dapat berperan sebagai : a. Educator yaitu bisa menciptakan dan menyadari adanya teach able moment dalam keluarga. b. Autority yaitu bisa mengembangkan batas-batas normatif. c. Guide yaitu bisa share your skills kepada anak-anak. d. Conselor yaitu mampu memberi dukungan pada anak ketika mengalami dilema moral. Prinsip-prinsip Pendidikan Keluarga Menurut Michael W. Galbraith, pendidikan berbasis keluarga memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut a. Self determination (menentukan sendiri). Semua anggota keluarga memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan
kebutuhan
keluarga
dan
mengidentifikasi sumber-sumber Keluarga yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut.
60
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
b. Self help (menolong diri sendiri). Anggota Keluarga dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan dikembangkaii. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri. c. Leadership development (pengembangan kepemimpinan). Para pemimpin lokal harus dilatih
dalam
berbagai
ketrampilan
untuk
memecahkan masalah,
membuat
keputusan, dan proses kelompok sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terus-menerus dan sebagai upaya mengembangkan keluarga. d. Localization (lokalisasi). Potensi terbesar untuk tingkat partisipasi Keluarga tinggi terjadi ketika keluarga diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibat dekat dengan kehidupan tempat Keluarga hidup. e. Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan). Adanya hubungan antaragensi di antara keluarga dan agen-agen yang menjalankan pelayanan publik dalam memenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik. f. Reduce duplication of service. Pelayanan keluarga seharusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumber daya manusia dalam lokalitas mereka dan mengoordinir usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan g. Accept diversity (menerima perbedaan). Menghindari pemisahan keluarga berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan Keluarga secara menyeluruh Ini berarti pelibatan warga Keluarga perlu untuk
aktif
dilakukan
seluas
dalam pengembangan,
mungkin
dan
perencanaan
mereka dan
dosorong/dituntut
pelaksanaan
program
h. Institutional responsiveness (tanggung jawab kelembagaan). Pelayanan
terhadap
pelayanan dan aktifitas-aktifitas kekeluargaan. kebutuhan keluarga yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani keluarga. Lembaga harus dapat dengan cepat merespon berbagai perubahan yang terjadi dalam Keluarga agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan. i. Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup). Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota keluarga untuk semua umur dalam berbagai jenis
latar belakang keluarga. Pendidikan
berbasis
keluarga
(Family-based
education) merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang 61
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Kemunculan paradigma pendidikan berbasis keluarga dipicu oleh arus besar modernisasi yang menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus dikelola
secara
desentralisasi
dengan
memberikan
tempat
seluas-luasnya bagi partisipasi keluarga. Sebagai implikasinya, pendidikan menjadi usaha kolaboratif yang melibatkan partisipasi keluarga di dalamnya. Partisipasi pada konteks ini berupa kerja sama antara warga dengan pemerintah dalam merencanakan,
melaksanakan,
menjaga
dan
mengembangkan
aktivitas
pendidikaan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masyarakat diasumsi mempunyai aspirasi yang harus diakomodasi dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu program pendidikan
KESIMPULAN Perkembangan seorang anak dimulai dari keluarga karena peran keluarga sebagai pilar pertama dalam pendidikan seorang individu. Keluarga merupakan tempat pertama seorang anak tumbuh dan berkembang. Keluarga sebagai lembaga sosial terkecil memiliki peran penting dalam hal pembentukan karakter individu. Keluarga menjadi begitu penting karena melalui keluarga inilah kehidupan seseorang terbentuk. Oleh sebab itu, keluarga merupakan inti dari masyarakat. Dalam pendidikan keluarga perlu adanya strategi dalam mengembangkan pola pengasuhan yang baik, strategi yang dapat dilaksanakan dengan konsep tumbuh kembang anak yang fokus pada pertumbuhan fisik dan otak serta perkembangan motorik, mental, sosio-emosional, dan perkembangan moral spiritual. Ada tiga konsep penting diperhatikan oleh orangtua yang mencakup aktivitas yakni pola suh, pola asah dan pola asih. Untuk itu, keluarga sebagai inti dari masyarakat sebagai tangan utama dalam pendidikan anak. Lembaga pendidikan sebagai tangan kedua perpanjangan dari keluarga. Untuk itu, antara keluarga dan juga lembaga pendidikan perlu bermitra dengan baik agar perkembangan dan pertumbuhan anak dapat terstimulasi dengan baik sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tahapan perkembangannya.
62
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
DAFTAR PUSTAKA Arifin, M. Dam Aminudin. 1992. Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta. Effendi, Suratman, Ali Thaib, Wijaya, Dan B. Chasrul Hadi. 1995. “Fungsi Keluarga dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia”. Jambi: Departemen Pendidikan dan Kebudayan. Hawadi, Reni Akbar. 2001. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: PT. Grasindo. Nanik Husnadianti & Fakhruddin, 2012. “Bahan Ajar Parenting Education Model Pembelajaran Anak Usia Dini melalui Bermain Kreatif Berbasis Budaya Lokal”. Mataram: BPPAUDNI Regional V Mataram Gunarsa, Singgih D, 2001. Menyikapi Periode Kritis pada Anak dan Dampaknya Pada Profil Kepribadian Tahun 2001 dalam Psikologi Perkembangan Pribadi dari bayi sampai lanjut usia. Editor: S. C. Utami Munandar. Jakarta: UI Press. Mudjijono, Hermawan, Hisbaron, Noor Sulistyo, dan Sudarmo Ali. 1996. Fungsi Keluarga dalam Meningkatkan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nurteti, Lilis. 2010. Pedagogik, Pengantar Teori dan Analisis. IAID Ciamis Jawa Barat http://imeymaemunah.blogspot.co.id/2010/12/makalah-pendidikan-keluarga.html http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195701311986031 NIA_SUTISNA/PEND.kELUARGA/Pendidikan_anak_dalam_Keluargax.pdf
63
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
PENDIDIKAN KECAKAPAN WIRAUSAHA BERBASIS OTAK KANAN Fauziyah Syahrawati Pamong Belajar BP-PAUD dan Dikmas NTB Jl. Gajah Mada No.173 Jempong Baru, Kota Mataram
Abstrak: Tujuan dari penyelenggaraan pendidikan kecakapan wirausaha berbasis otak kanan adalah terbentuknya wirausahawan baru yang memiliki keyakinan, pola pikir, spiritual, kreatif kompetitif yang positif sehingga dapat menjadi wirausaha yang kreatif produktif. Penyelenggaraan pendidikan kecakapan wirausaha menggunakan konsep/teori keyakinan, pola pikir, dan Law of Attractions sebagai teori penunjang untuk memaksimalkan potensi otak kanan. Konsep penyelenggaraan pendidikan ini melibatkan psikolog dan proses hypnotherapy, juga disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi wilayah. Diharapkan dengan penggunaan konsep model pendidikan kecakapan wirausaha berbasis otak kanan ini akan memberikan loncatan quantum bagi tercapainya kesuksesan berwirausaha. Peran otak kanan dalam penentuannya begitu besar yaitu sejumlah 80%, sedangkan peran otak kiri hanya 20%. Kata Kunci: Pendidikan Kecakapan Wirausaha, Otak Kanan, Keyakinan, Pola Pikir, Law of Attractions A.
PENDAHULUAN Untuk menjadi negara maju, sebuah bangsa memerlukan minimal 2% penduduk yang berwirausaha dari total jumlah penduduknya. Artinya, Indonesia membutuhkan 4,7 juta wirausahawan dari total 237 juta jiwa jumlah penduduknya. Menteri Koperasi dan UKM, AAGN Puspayoga mengatakan bahwa jumlah pengusaha di Indonesia hanya sekitar 1,65% dari jumlah penduduk saat ini. Jumlah ini, jauh tertinggal dibanding negara tetangga, misalnya dengan Singapura yang mencapai 7%, Malaysia 5% dan Thailand 4%. Padahal, jika jumlah pengusaha bertambah, maka ekonomi negara juga akan terdongkrak, di samping juga akan menambah lapangan pekerjaan dan akhirnya meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat (Detik Finance, 2015). Deputi V Menko Perekonomian Edy Putra Irawadi mengatakan bahwa wirausaha adalah perwujudan orang yang mengalami revolusi mental dari penguasa menjadi penyedia jasa publik, dari yang diatur menjadi manager, dan dari penerima
64
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
menjadi pemberi. Pengembangan wirausaha nasional diperlukan untuk mendorong ketahanan dalam merepon persaingan pasar dunia terutama menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). (Berita Satu: 2015). Dekan Fisipol UGM, Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si, mengatakan bahwa pemuda berpotensi menjadi salah satu roda penggerak ekonomi nasional dalam menghadapi MEA 2015. Pemuda dapat mendukung kesuksesan MEA melalui kreatifitas dan inovasi yang mampu melahirkan sebuah wirausaha yang dapat memberikan manfaat bagi lingkungan sosial. Pengembangan potensi pemuda sebagai wirausaha penting untuk dilakukan karena bisa menjadi solusi permasalahan bangsa. Namun demikian, jiwa wirausaha tidak serta merta lahir secara alami dalam diri setiap orang, sehingga tetap diperlukan dukungan dalam berbagai program seperti pelatihan, pendampingan, serta pembinaan dalam upaya menumbuhkembangkan potensi kewirausahaan pemuda. Dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) dinyatakan bahwa ada tiga tantangan besar dalam bidang pendidikan di Indonesia, yaitu (1) mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai, (2) mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dan mampu bersaing dalam pasar kerja global, (3) sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah sistem pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman, memperhatikan kebutuhan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Jenderal PAUD dan Dikmas, telah merumuskan bahwa salah satu sasaran rencana strategisnya adalah bertambahnya jumlah angkatan kerja muda memiliki pengetahuan dan sikap kecakapan kerja dan kecakapan berwirausaha yang sebelumnya berjumlah 602,111 orang pada tahun 2015 menjadi 670,111 orang pada tahun 2016. Hal ini dicanangkan guna menghadapi tantangan dan permasalahan berupa masih tingginya jumlah pengangguran terselubung (disguised unemployment): 7,244 Juta Jiwa; rendahnya jumlah wirausahawan baru (rasio 1,6% atau 3,9 Juta dari 240 juta); adanya ketidaksesuaian antara kompetensi lulusan dengan kebutuhan pasar kerja; dan perlu 65
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
kesiapan tenaga kerja terampil menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA); serta masih adanya masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang kurang kompeten di luar negeri. Pendidikan Kecakapan Wirausaha (PKW) merupakan salah satu program yang dicanangkan Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan guna membentuk kompetensi kewirausahan (hard skill dan soft skill) sehingga tercipta wirausaha baru sesuai dengan peluang yang ada. Lebih jauh lagi, program ini akan mendukung “Terbentuknya Insan serta Ekosistem Kursus dan Pelatihan yang Berkarakter dengan Berlandaskan Gotong Royong” yang pada akhirnya akan membantu mewujudkan visi Kemdikbud yaitu “Terbentuknya Insan serta Ekosistem Pendidikan dan Kebudayaan yang Berkarakter dengan Berlandaskan Gotong-royong. Program PKW mengisyaratkan bahwa proses pembelajaran kursus diarahkan pada perubahan pola pikir, pembentukan sikap, dan perilaku wirausahawan, pendidikan keterampilan, berbasis kebutuhan masyarakat dan pasar, diselenggarakan dari, oleh/dan untuk masyarakat, fleksibel, serta dapat menjadi solusi permasalahan pengangguran dan masalah sosial. Pendidikan Kecakapan Wirausaha merupakan cara cerdas dalam rangka mencetak wirausahawan baru yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan dengan harapan
mengurangi tingkat
pengangguran di Indonesia yang lebih efektif dalam mencapai kesejahteraan hidup keluarga dan masyarakat. Dapat dilihat bahwa PKW berorientasi pada perubahan mindset sebelum kemudian memberikan pengetahuan berwirausaha. Sampai saat ini, telah banyak pendekatan, strategi maupun metode yang diterapkan guna mencapai tujuan penyelenggaraan PKW. Berbagai inovasi telah dilakukan. Namun, berbagai masalah serta kekurangan di sana sini masih ditemukan. Berdasarkan hasil identifikasi, umumnya masalah yang ditemukan pada pendidikan kewirausahaan masyarakat pada lembaga kursus dan pelatihan adalah berupa kelemahan peserta yang kurang kreatif serta motivasinya tidak stabil. Peserta tidak mampu berkomunikasi dengan baik juga kurang tekun dalam berwirausaha. Selain itu, peserta tidak disiplin dalam mengikuti proses pembelajaran dan kurang sabar dalam merancang usaha yang dibangun. Hal seperti ini, juga ditemukan dalam penyelenggaraan PKW yang dilaksanakan BP PAUD Dikmas NTB dalam dua tahun 66
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
terakhir. Peserta PKW tidak memiliki motivasi yang stabil dan pola pikir kreatif dalam mengikuti pelatihan, yang akhirnya berdampak pada sikap peserta dalam mengikuti pelatihan yang terkesan setengah hati. Selain itu, pelatihan akhirnya hanya sekedar pelatihan, tanpa memberikan dampak yang cukup signifikan bagi perubahan sikap mental dan perilaku peserta dalam berwirausaha. Selain itu, input peserta yang rendah karena menyasar pemuda putus sekolah dan pengangguran pada usia produktif, menjadi tantangan besar bagi pengembang dalam rangka menyajikan pola kursus dan pelatihan yang sesuai dan mengena tepat sesuai dengan kondisi yang dialami peserta kursus dan pelatihan saat itu. Oleh karenanya diperlukan sebuah model pengembangan yang tidak hanya memberi pengetahuan tentang bisnis dan wirausaha, tetapi juga mampu membentuk mindset dan spiritual bisnis guna nantinya membentuk wirausaha yang kreatif dan berdaya saing. Permasalahan dan tantangan inilah yang coba dijawab dengan menyusun Model Pengembangan Pendidikan Kecakapan Wirausaha (PKW) Berbasis Otak Kanan. Pendekatan ini dipilih karena pembentukan mindset, spiritual bisnis dan kreativitas merupakan ranah otak kanan, yang saat ini banyak dikembangkan melalui otak kiri. Juga, sampai saat ini belum ada model yang mensinergikan antara otak kiri dan otak kanan dalam pembentukan mental kreatif wirausaha. Padahal, dalam rangka membentuk wirausaha, tidak cukup hanya dengan memberikan pengetahuan tentang berwirausaha saja yang merupakan ranah otak kiri, tetapi juga dengan memprioritaskan pembentukan mindset dan spriritual bisnis yang menjadi bagian garapan otak kanan. Kualitas profil jiwa wirausaha dapat ditingkatkan dengan mensinergikan potensi otak kanan dan otak kiri. Karenanya, pendidikan wirausaha seyogyanya harus didahului oleh pendidikan mindset dan spiritual bisnis, baru kemudian diikuti pengetahuan bisnis. Sejak 1810 Joseph Gall telah menemukan bahwa pusat pikiran dan perasaan itu berada di otak, bukan di hati, bukan pula di jantung. Temuan ini telah diaminkan seluruh pakar di sepanjang zaman. Sejak 1930-an, para pakar meyakini bahwa otak kiri adalah otak rasional, yang terkait dengan IQ, sementara otak kanan adalah otak emosional, yang terkait dengan EQ. Dimensi IQ banyak kaitannya dengan otak kiri, yaitu kognitif, realistis, matematis, eksplisit, dan self centric. Sementara dimensi EQ itu banyak berkaitan dengan otak kanan, yang sipatnya afektif, empati, luwes, 67
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
implisit, other centric. Mereka yang dominan otak kanan akan menjadi lebih visioner, lebih kreatif, lebih intuitif, lebih impulsif, berfikir holistik, empati ke semua pihak dan memahami yang tersirat. Riset di sentero jagat pun dengan sahih menyimpulkan kesuksesan itu memerlukan peranan EQ sekitar 80%, sedangkan IQ sekitar 20% (Santosa: 2010). Jadi, guna membentuk wirausahawan yang sukses, ranah otak kanan harus diprioritaskan, bukan lagi diabaikan.
B.
PEMBAHASAN 1.
Mengenal Perbedaaan Fungsi Belahan Otak Otak manusia terbagi menjadi dua bagian, yaitu otak kanan dan otak kiri. Struktur kedua bagian tersebut sangat kompleks, dan memiliki peran untuk berbagai macam jenis pemikiran. Awalnya, sangat sulit untuk membedakan dan memisahkan struktur otak ini, namun penelitian telah menunjukkan bahwa satu sisi bagian otak memiliki jenis pemikiran tertentu yang lebih banyak dari pemikiran sisi bagian otak yang lain. Hal ini juga menunjukkan bahwa masingmasing dari manusia lebih menyukai satu mode pemikiran dari pada yang lain. Menurut teori dominasi otak kiri atau otak kanan, masing-masing sisi otak mengontrol berbagai jenis pemikiran yang berbeda. Sebagai tambahan, teori tersebut mengemukakan bahwa seseorang akan lebih dominan menggunakan satu bagian otak dibandingkan bagian yang lain. Misalnya, seseorang yang berotak kiri sering dikatakan lebih logis, analitis dan obyektif, sementara orang yang berotak kanana dikatakan lebih intuitif, bijaksana dan subyektif. Perbedaan teori fungsi otak kanan dan otak kiri telah populer sejak tahun 1960. lmuwan pemenang hadiah nobel, Sperry dan Ornstein, pada tahun tersebut menemukan bahwa sisi wilayah kiri dan wilayah kanan dari otak memiliki fungsi yang berbeda. Kedua wilayah tersebut secara biologis strukturnya identik dan bekerjasama secara harmonis. (Iwan Hadibroto dan Syamsir Alam Vitahealth dalam Moerdiyanto dkk, 2014).
68
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Gambar 1. Fungsi Belahan Otak Kanan dan Otak Kiri (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Hemisfer)
Perbedaan fungsi otak dijabarkan sebagai berikut. -
Otak kanan berfungsi dalam hal persamaan, khayalan, kreativitas, bentuk atau ruang, emosi, musik dan warna. Otak kanan adalah otak emosional yang terkait dengan EQ. Daya ingat otak kanan bersifat panjang (long term memory). Bila terjadi kerusakan otak kanan misalnya pada penyakit stroke atau tumor otak, maka fungsi otak yang terganggu adalah kemampuan visual dan emosi menjadi semakin lemah.
-
Otak kiri berfungsi dalam hal perbedaan, angka, urutan, tulisan, bahasa, hitungan dan logika. Otak kiri adalah otak rasional yang terkait dengan IQ. Daya ingat otak kiri bersifat jangka pendek (short term memory). Bila terjadi kerusakan pada otak kiri maka akan terjadi gangguan dalam hal fungsi berbicara, berbahasa dan matematika. Pada saat otak kanan sedang bekerja maka otak kiri cenderung lebih tenang, demikian pula sebaliknya.
Walaupun keduanya mempunyai fungsi yang berbeda, kedua-duanya bekerja beriringan dan saling mendukung. Jika ada pertanyaan, manakah yang lebih utama, otak kiri atau otak kanan, maka jelas saja jawabannya kedua-duanya berguna. Jika diibaratkan dengan mouse komputer, baik klik kiri maupun klik kanan, sama-sama bermanfaat, disesuaikan dengan kebutuhan pengguna (Santosa, 2008). Hanya saja, selama ini otak kanan telah dilalaikan dan diabaikan, tidak terkecuali dalam dunia pendidikan. Pendidikan konvesional mulai dari sekolah dasar hinggga perguruan tinggi selalu dan terlalu banyak 69
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
mencerdaskan otak kiri. Hanya proses pembelajaran di playgroup dan TK yang masih menaruh perhatian pada otak kanan. Jamaknya, semakin dewasa seseorang, semakin kiri orientasinya.
2.
Memahami Otak Kanan Setiap individu mempunyai kecenderungan untuk mengunakan salah satu belahan yang dominan dalam menyelesaikan masalah hidup dan pekerjaan. Kecenderungan penggunaan satu belahan otak ini kemudian membagi individu dalam dua golongan, yaitu golongan kiri yang memiliki kecenderungan menggunakan otak kiri dan golongan kanan yang memiliki kecenderungan beraktivitas dengan dominasi otak kanan. Dari hasil penelitian yang telah banyak dilakukan, diperoleh data bahwa sekitar 80-85% penduduk bumi adalah mereka yang mayoritas cenderung menggunakan otak kiri dalam beraktivitas (golongan kiri), dan hanya 15-20% yang memiliki kecenderungan menggunakan otak kanan dalam beraktivitas (golongan kanan). (Santosa, 2010). Fakta ini menarik mengingat bahwa mayoritas penduduk bumi adalah mereka yang dominan menggunakan otak kiri dibanding dengan memberdayakan otak kanan. Padahal keberadaan dan eksistensi otak kanan tidak dapat diabaikan. Otak kanan adalah belahan otak yang terkait dengang EQ, dengan karakteristik yang interpersonal, other centric, afektif, intuitif, artistik, kualitatif, imajinatif, spasial, visual, lambang, implisit, holistik, difus, paralel, lateral, tak terencana, impulsif, mencari persamaan dan tak tergantung waktu. Pemilik otak kanan kebanyakan adalah pemilik EQ tinggi, wanita, orang muda, anak kecil, murid, atasan, pemimpin, pemaaf, sanguinis, ekstrovert, politisi, seniman, dreamer, pekerja gambar, pemacu efektivitas, idea generator, pemasar, bagian personalia, pekerja unoutsourceable dan generalist. (Santosa, 2008). Untuk lebih memahami karakteristik otak kanan, maka berikut akan dipaparkan delapan karakteristik otak kanan menurut Ippho santosa dalam bukunya Marketing is Bullshit (Santosa, 2009) yaitu sebagai berikut. 1) Otak kanan, otak minoritas
70
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Dari hasil penelitian yang telah banyak dilakukan, diperoleh data bahwa sekitar 80-85% penduduk bumi adalah mereka yang mayoritas cenderung menggunakan otak kiri dalam beraktivitas (golongan kiri), dan hanya 1520% yang memiliki kecenderungan menggunakan otak kanan dalam beraktivitas (golongan kanan). Kelompok orang yang kuat otak kanannya merupakan golongan minoritas. Pemikiran mereka yang sangat spasial, intutif, difus (menyebar), dan lateral (tidak runtut) sangat bersebrangan dengan alur pemikiran golongan mayoritas. Sehingga golongan minoritas ini sering mendapatkan sebutan “aneh” bahkan “gila”. Hal ini sudah merupakan sunnatullah, karena dalam aspek apapun, apabila seseorang tidak sependapat dengan kelompok mayoritas, tentulah orang itu akan dianggap tidak waras. 2) Otak kanan, otak kesuksesan Karakteristik otak kanan membuat hidup menjadi lebih hidup dengan karakternya yang supel, hidup dan spontan; berbanding terbalik dengan karakteristik otak kiri yang kering, kaku dan serba lurus. Karena karakteristik otak kanan tersebut, maka akan tercipta gurauan, permainan, cerita, keramahtamahan, syukur, dan pemaknaan hidup. Untuk itu, 80% kesuksesan ditentukan oleh otak kanan, dikarenakan tidak terpisahkannya antara otak kanan dengan EQ dan SQ. Sebabnya 20% lainnya ditentukan oleh otak kiri yang erat kaitannya dengan IQ. Karena itu pula, pemilik otak kanan umumnya dalah pemimpin, pengusaha, dan penjual, Konfusius mengatakan bahwa ”sebuah gambar setara dengan seribu kata”. Gambar itu kanan, sementara kata itu kiri. Hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa satu kali kanan setara dengan seribu kiri. 3) Otak kanan, otak kebaikan Otak kanan identik dengan kebaikan. Kultur Indonesia, China, Islam, dan Nasrani akrab dengan istilah serba kanan yang seluruhnya identik dengan kebaikan. Contohnya, ”mulailah dengan yang kanan’, ’tangan kanan’, ’langkah kanan’, ’golongan kanan’, dan ’sebelah kanan’. Bahkan burung garuda dalam pancasila pun menoleh ke kanan, bukan ke depan atau ke kiri. Dalam bahasa Inggris, kata kanan dan benar sama-sama diterjemahkan menjadi
right,
sementara
kata
kiri
dan
ketinggalan
sama-sama
diterjemahkan menjadi left. 71
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
4) Otak kanan, otak perasaan Otak kanan adalah otak yang merasa dan erat kaitannya dengan EQ. Bukan organ tubuh bernama hati atau jantung yang merasakan senang, antusias, lega, pasrah, sedih, marah, sakit hati, jatuh hati, cemburu, waswas dan perasaan lainnya, melainkan otak, yaitu otak kanan. Karena bilamana seseorang merasakan perasaan tertentu misalnya waswas maka otaklah yang memerintahkan jantung untuk bekerja lebih kencang. Menariknya pula, untuk setiap jenis perasaan, otak memancarkan frekuensi sendiri dan dapat diukur. Dalam agama dan budaya, sering menyebut tentang ’hati’. Sebutan tersebut adalah kiasan, bukan organ bernama hati atau jantung yang sesungguhnya, melainkan yang dimaksud adalah otak kanan. Begitupun secara ilmiah terbukti God-Spot yang identik dengan nurani dan suara hati berada di otak, bukan di hati ataupun jantung. 5) Otak kanan, otak kekayaan Penghuni kuadran kanan adalah pengusaha dan investor, sementara penghuni kuadran kiri adalah karyawan dan profesional yang cemerlang otak kirinya. Dalam istilah manajemen dikenal istilah ’the right man on the right place’. Lepas dari makna aslinya, ternyata orang kanan (right man) memang berada di kuadran kanan (right place). 6) Otak kanan, otak perusahaan Secara mendasar, arah segala aktivitas perusahaan, dibedakan menjadi dua, yaitu efektivitas dan efisiensi. Bagian administrasi, keuangan, produksi, dan purchasing dikategorikan sebagai fungsi yang sangat mengutamakan efisiensi dan berbasis otak kiri. Sedangkan inovasi, pemasaran, permerekan, dan business development dikategorikan sebagai fungsi yang mengutamakan efektivitas dan berbasis otak kanan. Pekerjaan yang berbasis otak kanan selain dibayar lebih mahal, juga amat sukar direduplikasi, diotomatisasi, dan di-outsourcing. Sepenuh hati pakar-pakar manajemen pun percaya bahwa hanya inovasi dan pemasaran yang penting bagi perusahaan. Fungsi-fungsi lainnya adalah biaya. Dengan kata lain, hanya fungsi-fungsi kanan yang penting, fungsi-fungsi kiri adalah biaya.
72
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
7) Otak kanan, otak pemasaran Dalam ranah pengembangan produk yang erat kaitannya dengan wirausaha pun, dari enam tahapan pengembangan, ternyata tahap awal pengembangan produk sangat bertumpu pada otak kanan, yaitu penghasilan ide. Tahaptahap selanjutnya barulah bertumpu pada otak kiri. Begitupun produkproduknya harus dibungkus dengan kanan supaya lebih mahal, lebih laku, dan lebih berkelanjutan. Ketika membahas tentang konten dan konteks produk, maka dalam dunia pemasaran sekarang ini yang sibuk diutak atik adalah konteks, bukan lagi konten. Kalau dipetakan konten itu bersipat kiri, sementara konteks itu bersipat kanan. 8) Otak kanan, otak penjualan Penjualan dan akunting berada pada dua kutub yang bertolak belakang. Seorang penjual cenderung berpikir kanan, yakni lateral atu loncat-loncat, sementara akuntan condong berpikir kiri, yaitu linier atau serba lurus. Penjual biasa bergulat dengan ketidakpastian dan dikondisikan bercokol di front office, ekstrovert, dan mengejar, sementara akuntan menyukai semua yang prosedural dan bertengger di back office, introvert, dan menunggu. Itulah kemudian alasan kuat mereka yang berkepribadian sanguinis cocok ditugaskan sebagai penjual, sementara melankolis sebagai akuntan 3.
Mengenal Konsep Keyakinan, Pola Pikir, Spiritual dan Loa (Law of Attraction) Dalam Memaksimalkan Potensi Otak Kanan Guna melejitkan potensi otak kanan, maka tiga konsep/teori penunjang di bawah ini sangat penting untuk dipahami. Ketiganya adalah sebagai berikut. 1) Keyakinan dan Pola Pikir (mindset) Keyakinan adalah salah satu prinsip penting untuk mengaktifkan hukum tarik menarik. Keyakinan adalah sesuatu yang diyakni benar atau penerimaan oleh pikiran bahwa sesuatu itu adalah benar/baik (Gunawan, 2008). Sebabnya Pola pikir (mindset) adalah kepercayaan atau sekumpulan kepercayaan atau cara berpikir yang mempengaruhi perilaku, pandangan, dan sikap seseorang yang menentukan level keberhasilan dan masa depan seseorang. Konsep mata rantai perubahan nasib yang dikemukakan oleh 73
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Wuryanano (2009), adalah pola pikir mempengaruhi sikap, sikap mempengaruhi tindakan, tindakan membentuk kebiasaan, kebiasaan membentuk karakter, dan karakter menentukan level nasib, selanjutnya level nasib mempengaruhi pola pikir, dan seterusnya. 2) Spiritual Spritual berarti metode dan cara mendapatkan kinerja pengendalian yang tertinggi bagi pemanfaatan setiap unsur dari religius dalam pencapaian tujuan, atau dengan kata lain. peningkatan kinerja berbasis religius dan atau kepercayaannya. (Budi Wahyono, 2006 dalam Moerdiyanto, 2014). Tujuh jenjang spiritual, menurut Abdul Qodir Jaelani adalah tobat, iklhas, tawakal, syukur, yakin, dan jujur (Syaiful, 2006). 3) LOA (Law of Attraction) Hukum Law of Attraction (Hukum Tarik Menarik) berbunyi: “Sesuatu hal akan menarik sesuatu yang sama atau serupa dengannya.” Pikiran, ucapan, dan perasaan mempunyai vibrasi. Apapun yang seseorang pikirkan, ucapkan, dan rasakan akan dikirim ke semesta alam dalam bentuk sinyal yang akan menarik segala sesuatu yang sejalan dengan vibrasi pikiran, ucapan, dan perasaan seseorang, baik itu negatif maupun positif. Keterkaitannya dengan keyakinan, adalah salah satu prinsip penting untuk mengaktifkan hukum tarik menarik (Syafi”I, 2010). Dalam bukunya ”7 Keajaiban Rejeki”, Ippho Santosa (2010) mengungkapkan beberapa hal tentang sederet hukum LOA yang tersembunyi selama ini. 1) Doa erat kaitannya dengan LOA. Keduanya saling menguatkan satu sama lain. 2) Pada hakikatnya, doa, impian dan harapan itu kurang lebih sama, yaitu sesuatu yang ingin anda wujudkan. 3) Terdapat satu ikatan yang menghubungkan anda dengan orang-orang di sekitar anda, sehingga mau tidak mau ikatan ini mempengaruhi terwujud tidaknnya impian anda
74
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
4) Ketika impian orang-orang di sekitar anda selaras dengan impian anda, maka itu berarti impian anda menjadi lebih ’bersayap’, dimana impian anda akan lebih cepat terwujud. 5) Pikiran yang kosong itu gampang kesambet. Maksudnya adalah pikiran yang kosong mudah dikalahkan oleh pikiran yang berisi. Pikiran yang lemah mudah dikalahkan oleh pikiran yang kuat. Pikiran yang ragu-ragu mudah dikalahkan oleh pikiran yang yakin. 6) Sebagian kita kadang menggerutu, mengapa Yang Maha Kuasa tidak mau mengabulkan doa dan mewujudkan impian kita? Padahal bukan begitu. Justru, kitalah yang tidak mau mematuhi hukum-hukum LOA. Ingatlah doa itu terkait erat dengan LOA. Terbukti, orang atheis sekalipun dapat mewujudkan impiannya semata-mata karena ia mematuhi hukum-hukum LOA. 7) Gabungan antara adab, doa, dan hukum LOA membuat impian anda terwujud dalam waktu yang jauh lebih cepat.jadi, gabungkan keduanya, bukan salah satunya. Lebih lanjut, Ippho Santosa (2010) mengemukakan bahwa jika anda ingin mempercepat terwujudnya LOA, terkabulnya doa, terwujudnya impian, dan mempercepat berubahnya nasib menjadi wirausaha yang sukses, maka berikut inilah hal-hal yang perlu diperhatikan. 1) Sampaikan impian Anda kepada orang-orang terdekat Anda, terutama kepada orang tua dan pasangan Anda. 2) Bagi pemula, cukup memiliki satu impian besar. Jangan miliki dua impian besar dalam waktu bersamaan. 3) Bayangkan impian itu, kemudian pura-puralah seolah-olah itu sedang terjadi. Teruslah berpura-pura sampai itu benar-benar terjadi. 4) Tetapkan kapan impian itu akan terwujud dan perjelas semuanya 5) Lakukan ini berulang-ulang, lebih banyak lagi bagi pemula. 6) Positifkan kata-kata itu lalu batinkan kata-kata itu. 7) Terapkan 7Y, yaitu yakin, yakin, yakin, yakin, yakin, yakin dan yakin. 8) Pantaskan diri.
75
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
4.
Hakekat Pendidikan Kecakapan Wirausaha Pendidikan Kecakapan Wirausaha adalah program pelayanan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan dan keterampilan berwirausaha sesuai dengan kebutuhan dan peluang usaha yang ada di masyarakat. Pendidikan Kecakapan Wirausaha diselenggarakan menggunakan pendekatan “4 in 1” sebagai berikut.
a.
Identifikasi Peluang Usaha 1) mengidentifikasi peluang usaha baik pada skala lokal, nasional, dan internasional, khususnya dalam konteks menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). 2) mengidentifikasi potensi sumberdaya lokal (produk barang atau jasa) yang dapat dikembangkan menjadi usaha baru sesuai peluang pasar pada skala lokal, nasional, atau internasional yang ada.
b.
Pembelajaran kewirausahaan berbasis pengembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan berwirausaha Pembelajaran program PKW memerlukan kurikulum dan bahan ajar yang mencakup: a) membangun pola pikir dan mental wirausaha; b) membangun dan meningkatkanasikap dan perilaku usaha; c) pedoman manajemen usaha; d) legalitas usaha; dan keterampilan produksi barang atau jasa yang akan menjadi rintisan usaha lulusan program.
c.
Evaluasi Hasil Pembelajaran Untuk mengukur pencapaian hasil pembelajaran bahwa peserta didik telah menguasai keterampilan dan memiliki kemampuan berwirausaha, maka setiap lembaga harus melaksanakan evaluasi hasil pembelajaran kepada setiap peserta didik.
76
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
d.
Pendampingan dan Perintisan Usaha Peserta didik program PKW wajib diberikan pendampingan oleh lembaga untuk merintis usaha sesuai dengan keterampilan yang dikuasai. Pendampingan yang dilakukan lembaga adalah memfasilitasi dalam mengakses dana kepada lembaga keuangan, menjalin kemitraan dengan mitra usaha untuk memasarkan hasil produksinya. (Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan: 2016) Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan (2016) merumuskan Tujuan
penyelenggaraan Program Pendidikan Kecakapan Wirausaha (PKW) sebagai berikut. a. Mendorong dan menciptakan wirausahawan baru melalui kursus dan pelatihan yang didukung oleh dunia usaha dan dunia industri, mitra usaha dan dinas/instansi terkait, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja/merintis usaha baru. b. Menanamkan pola pikir (mindset) dan sikap mental wirausaha kepada peserta didik. Memberikan bekal pengetahuan kewirausahaan kepada peserta didik. c. Memberikan bekal keterampilan di bidang produksi barang/jasa kepada peserta didik. d. Melatih keterampilan berwirausaha kepada peserta didik melalui praktik berwirausaha. e. Peserta didik mampu secara mandiri berwirausaha. 5.
Pentingnya Pendidikan Kecakapan Wirausaha Berbasis Otak Kanan Selama ini, istilah entrepreneur dan entrepreneurship telah dipadankan dengan wirausaha dan kewirausahaan. “Wirausaha” diartikan sebagai “berani berusaha, atau berani menjalankan sesuatu usaha secara mandiri sehingga mendatangkan keberhasilan atau keuntungan. Dalam pengertian di atas, dapatlah dikatakan bahwa “Kewirausahaan adalah upaya mengembangkan pengaruh dengan mengelola suatu bisnis atau usaha sebegitu rupa secara mandiri, sehingga mendatangkan keuntungan.” Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa kewirausahaan dalam kaitan ini berarti proses yang ditandai oleh keberanian
77
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
memulai, mengelola dan menjalankan suatu usaha khusus secara mandiri yang berorientasi kepada keberhasilan atau keuntungan (Tomatala: 2011). Pada konteks dunia bisnis, wirausahawan adalah seseorang yang menemukan produk (barang dan/atau jasa) baru, membuka pasar yang tadinya belum ada, memberikan nilai tambah terhadap produk yang diproduksi selama ini, yang menghubungkan modal dan pekerja, agar modal itu semakin berkembang, digunakan semakin baik, sehingga hasilnya semakin optimal (Direktorat Kursus dan Pelatihan: 2016). Selanjutnya, menurut Thomas W Zimmerer, Kewirausahaan adalah hasil dari suatu disiplin, proses sistematis penerapan kreativitas dan keinovasian dalam memenuhi kebutuhan dan peluang di pasar (Mariati: 2003). Menjadi seorang wirausaha memerlukan keberanian juga kalkulasi yang menyeluruh, bukan hanya sekedar ditopang pendidikan yang sipatnya formal. Charles Schrciber dalam penelitiannya yang dikutip oleh Mariati (2003) mengungkapkan bahwa keberhasilan seseorang ditentukan pendidikan formal hanya 15%, 85% ditentukan oleh sikap mental, kepribadian. Pendidikan yang kurang memperhatikan aspek pembinaan mental membawa generasinya menjadi ke pengangguran dan pembinaan aspek mental yaitu penegakkan disiplin, jujur, menyelesaikan tugas, bertanggung jawab, berani karena benar. Sehingga dalam tiga sikap Pokok Penting Kewiraswataan, yang menduduki urutan pertama dan kedua adalah sikap mental wiraswasta dan kewaspadaan mental wiraswasta, selanjutnya baru kemudian diikuti keahlian dan ketrampilan Wiraswasta. Dunia usaha percaya bahwa sumber daya manusia yang unggul adalah mereka yang tidak hanya memiliki kemahiran hard skill saja, berupa keahlian dan keterampilan, tetapi juga piawai dalam aspek soft skillnya berupa sikap mental. Dunia pendidikan pun mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill (Gugun, 2015). Hard skill berkaitan dengan IQ dan erat kaitannya dengan keterampilan dan keahlian yang dimiliki. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan hard skill 78
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
merupakan faktor penting dalam bekerja, namun keberhasilan seseorang dalam bekerja biasanya lebih ditentukan oleh soft skillnya yang baik. Hard skill bila tidak diimbangi dengan soft skill maka akan timpang. Soft skills di sini adalah istilah sosiologis yang berkaitan dengan seseorang “EQ” (Emotional Intelligence Quotient), kumpulan karakter kepribadian, rahmat sosial, komunikasi, bahasa, kebiasaan pribadi, keramahan, dan optimisme yang menjadi ciri hubungan dengan orang lain. Soft melengkapi keterampilan keterampilan keras (bagian dari seseorang IQ), yang merupakan persyaratan pekerjaan-pekerjaan dan banyak kegiatan lainnya. Soft skill adalah suatu kemampuan, bakat, atau keterampilan yang ada di dalam diri setiap manusia. Soft skill adalah kemampuan yang dilakukan dengan cara nonteknis, artinya tidak berbentuk atau tidak kelihatan wujudnya. Namun, soft skill ini dapat dikatakan sebagai keterampilan personal dan inter personal. Kompetensi hard skill dapat langsung dilihat pada daftar riwayat hidup, pengalaman kerja, indeks prestasi dan ketrampilan yang dikuasai. Sebaliknya untuk soft skill biasanya dievaluasi oleh psikolog melalui psikotes dan wawancara mendalam karena keberadaannya yang tidak dapat terlihat langsung secara kasat mata. Karenanya pekerjaan yang berbasis soft skill dibayar lebih mahal, mengingat amat sukar pekerjaan tersebut untuk direduplikasi, diotomatisasi, dan di-outsourcing, Karakteristik hard skill dan soft skill begitu sinkron dengan karakteristik otak kiri dan otak kanan yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya. Hard skill erat kaitannya dengan otak kiri yang berkaitan langsung dengan IQ, keterampilan dan keahlian, sementara soft skill merupakan ranah garapan otak kanan yang erat kaitannya dengan EQ, SQ, dan sikap mental. Dengan berbagai hasil penelitian di atas, maka sudah tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan otak kanan dalam ranah penyelenggaraan pendidikan wirausaha sangat penting. Keberadaan otak kanan dalam pendidikan berwirausaha tidak hanya sekedar sebagai pelengkap, tetapi merupakan faktor penentu kesuksesan. 6.
Konsep Pendidikan Kecakapan Wirausaha Berbasis Otak Kanan Pentingnya penyelenggaraan pendidikan kecakapan wirausaha dengan menggunakan otak kanan sebagai basisnya menjadi landasan bagi dibuatnya 79
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
pola penyelenggaraan pendidikan kecakapan wirausaha berbasis otak kanan. Pendidikan Kecakapan Wirausaha berbasis otak kanan adalah program pelayanan
pendidikan
dan
pelatihan
kewirausahaan
dan
keterampilan
berwirausaha sesuai dengan kebutuhan dan peluang usaha yang ada di masyarakat
yang
berbasis
pada
pemberdayaan
otak
kanan
dalam
pembelajarannya sehingga terbentuk mindset dan spiritual bisnis, disamping pemahaman terhadap pengetahuan usaha. Tujuan dari penyelenggaraan pendidikan kecakapan wirausaha berbasis otak kanan adalah terbentuknya wirausahawan baru yang memiliki keyakinan, pola pikir, spiritual, dan kreatif kompetitif yang positif sehingga dapat wirausaha yang kreatif produktif. Pendidikan kecakapan wirausaha berbasis otak kanan memiliki karakteristik antara lain: 1)
Berbasis pada pembedayaan otak kanan, dengan mengutamakan pemberian materi soft skill kepada peserta didik dibandingkan materi hard skill guna menunjang terbentuknya mindset dan spritual bisnis. Perbandingan antara soft skill dan hard skill adalah 80:20, dimana 80% materi pembelajaran merupakan materi yang sifatnya soft skill, dan sisanya yaitu 20% yaitu materi hard skill yang disesuaikan dengan hasil analisis potensi wilayah penyelenggaraan program.
2)
Mensinergikan pemberdayaan otak kanan dengan otak kiri. Keberadaan dan pentingnya otak kiri dalam berwirausaha tidak dapat dikesampingkan. Baik otak kiri dan otak kanan akan diberdayakan dalam penyelenggaraan pelatihan namun dengan porsi pemberdayaan otak kanan yang lebih banyak, mengingat bahwa sebagian besar individu mayoritas merupakan mereka yang dominan dalam meggunakan otak kiri. Ke depan, diharapkan pelatihan ini akan memberikan insight terhadap pemberdayaan otak kanan dan otak kiri yang berimbang.
3)
Menggunakan Konsep/Teori keyakinan, pola pikir, spiritual dan loa (Law of Attraction) sebagai teori penunjang dalam pelaksanaan pelatihan. Pendidikan kecakapan wirausaha, dalam memaksimalkan pemberdayaan otak kanan perlu didukung dengan mengaplikasikan tiga konsep/ teori sebagai penunjangnya. Peserta didik dalam pelatihan akan diajarkan
80
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
bagaimana mengaktifkan ketiga teori tersebut dalam kehidupan sehari-hari sehingga mempercepat terwujudnya kesuksesan dalam pembentukan mindset dan spiritual bisnis melalui otak kanan. 4)
Melibatkan psikolog dan proses hypnotherapy pada setiap tahap awal, tengah dan akhir proses pembelajaran guna mendapatkan gambaran awal kondisi aktivasi otak kanan tiap peserta didik dan mengukur tingkat perkembangan peserta didik selama dalam proses pembelajaran.
5)
Disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan potensi wilayah. Pemberian keterampilan dan keahlian kepada peserta didik difokuskan pada kebutuhan masyarakat peserta pelatihan, juga disinkronkan dengan potensi wilayah tempat pelatihan diselenggarakan. Tahapan penyelenggaraan pendidikan kecakaan wirausaha berbasis otak
kananadalah sebagai berikut.
81
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Alur pelaksanaan proses pembelajaran pada pendidikan kecakapan wirausaha berbasis otak kanan adalah sebagai berikut.
Penjelasan alur: 1) Tahap awal proses pembelajaran dimulai dengan penjelasan tujuan pendidikan wirausaha kepada peserta didik, sekaligus pengarahan mengenai arah pelaksanaan program. Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan peserta didik secara fisik dan psikis untuk mengikuti pelatihan. Selanjutnya, untuk mengetahui pengetahuan awal peserta didik terkait kewirausahaan dan karakteristiknya yang berkaitan dengan aktivasi otak kanan, peserta didik diberikan pre test berupa angket yang harus diisi sesuai dengan kondisi riil peserta. 2) Tahapan selanjutnya adalah konsultasi dan hypnotherapy tahap I dengan psikolog untuk mendapatkan gambaran awal kondisi aktivasi otak kanan. Dengan proses ini diharapkan, peserta didik terkondisikan dan terpetakan dengan jelas. 3) Setelah melalui proses konsultasi dan hypnotherapy, barulah proses pembelajaran soft skill diberikan. Proses pembelajaran soft skill dilakukan 82
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
dengan ditunjang penguatan pada aspek keyakinan, pola pikir, spiritual dan LOA. 4) Hypnotherapy tahap II untuk mengetahui tingkat aktivasi otak kanan 5) Setelah proses hypnotherapy tahap II, barulah peserta didik diberikan pembelajaran hard skill dengan melibatkan praktisi. Proses pembelajaran hard skill dilakukan dengan ditunjang penguatan pada aspek keyakinan, pola pikir, spiritual dan LOA. 6) Hypnotherapy tahap III untuk mengetahui aktivasi otak kanan pasca pelatihan 7) Setelah proses hypnotherapy tahap III dilakukan, selanjutnya barulah peserta diminta untuk mengisi post test berupa angket untuk mengatahui tingkat pemahaman dan perubahan sikap peserta didik pasca pelatihan. 8) Pasca pelatihan, peserta didik diberikan Pendampingan berupa Kunjungan, SMS, Telpon untuk mengetahui Permasalahan yang dialami peserta didik, memberikan solusi, serta meninjau kemajuan peserta didik dalam berwirausaha. 9) Setelah proses pendampingan dilakukan, selanjutnya evaluasi wirausaha dilakukan untuk mengetahui apakah peserta didik sudah benar-benar terinstalisasi dengan nilai-nilai dan karakter otak kanan sehingga terbentuk wirausahawan kreatif dan kompetitif. C.
KESIMPULAN Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari pembahasan terdahulu adalah 1.
Peran otak kanan dalam mencapai kesuksesan berwirausaha begitu besar yaitu sejumlah 80%, sedangkan peran otak kiri hanya 20%;
2.
Tujuan dari penyelenggaraan pendidikan kecakapan wirausaha berbasis otak kanan adalah terbentuknya wirausahawan baru yang memiliki keyakinan, pola pikir, spiritual, kreatif kompetitif yang positif sehingga dapat menjadi wirausaha yang kreatif produktif.
3.
Penyelenggaraan pendidikan kecakapan wirausaha menggunakan konsep/ teori keyakinan, pola pikir, dan Law of Attractions sebagai teori penunjang untuk memaksimalkan potensi otak kanan.
83
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
4.
Penyelenggaraan pendidikan kecakapan wirausaha berbasis otak kanan melibatkan psikolog dan proses hypnotherapy guna memetakan potensi dan kondisi aktivasi otak kanan peserta.
5.
Penyelenggaraan pendidikan kecakapan wirausaha berbasis otak kanan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan potensi wilayah. Pemberian keterampilan dan keahlian kepada peserta didik difokuskan pada kebutuhan masyarakat peserta pelatihan, juga disinkronkan dengan potensi wilayah tempat pelatihan diselenggarakan.
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan. 2016. Petunjuk Teknis Program Pendidikan Kecakapan Wirausaha. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Gunawan, Adi .W. 2010. The Secret of Mindset. Jakarta: PT. Gramedia Moerdiyanto, dkk. 2014. Laporan penelitian Strategis nasional (Tahap II): Model pendidikan wirausaha berbasis potensi otak Kanan dan alam bawah sadar untuk menghasilkan Wirausaha kreatif dengan produk kompetetif. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Mariati, Sri. 2003. Kewirausahaan. Makalah. Jakarta: Universitas Bina Nusantara. Santosa, Ippho. 2008. 13 Wasiat Terlarang! Menjadi Dahsyat dengan Otak Kanan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. ___________. 2009. Marketing is Bullshit. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. ___________. 2010. 7 Keajaiban Rejeki: Rejeki Bertambah, Nasib Berubah dalam 99 Hari dengan Otak Kanan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Syafi’ie. M. 2010. Kekuatan Berpikir Positip. Jakarta: PT. Wahyu Mediav Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Wuryanano. 2009. Mengapa Doa Saya Selalu Dikabulkan. Jakarta: Gramedia Arie.
84
2011. Perbedaan Fungsi Otak Kanan dan Otak Kiri http://arie5758.blogspot.co.id/2011/10/perbedaan-fungsi-otak-kanan-danotak.html#axzz4AXiGusZX (Diakses tanggal 4 Juni 2016, pukul 20.00 WITA)
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Berita
Satu. 2015. Wirausaha Dinilai Sudah Alami Revolusi Mental. http://www.beritasatu.com/ekonomi/262500-wirausaha-dinilai-sudah-alamirevolusi-mental.html (Diakses tanggal 4 Juni 2016, pukul 20.00 WITA)
Detik Finance. 2015. Di ASEAN, Persentase Jumlah Pengusaha di RI Kalah dari Malaysia dan Thailand http://us.finance.detik.com/read/2015/03/10/102625/2854139/4/diasean-persentase-jumlah-pengusaha-di-ri-kalah-dari-malaysia-dan-thailand (Diakses tanggal 4 Juni 2016, pukul 20.00 WITA) Gugun. 2015. Pentingnya Soft Skill di Dunia Kerja. https://gugunsblog.wordpress.com/2015/11/25/pentingnya-soft-skill-di-dunia-kerja (Diakses tanggal 8 Juni 2016, pukul 08.30 WITA) Tomatala, Yakob. 2011. Entrepreneur Sejati http://yakobtomatala.com/2011/04/08/entrepreneur-sejati/ (Diakses tanggal 8 Juni 2016, pukul 08.40 WITA)
85
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
PROGRAM PENDIDIKAN KEAKSARAAN DASAR (KD) PADA KOMUNITAS ADAT TERPENCIL (KAT) BAYAN KABUPATEN LOMBOK UTARA ; SEBUAH STUDI LITERATUR Mohamad Hisyam Pamong Belajar BP-PAUD dan Dikmas NTB Jl. Gajah Mada No.173 Jempong Baru, Kota Mataram Abstrak : Tujuan Penelitian adalah mendeskripsikan pengelolaan program Pendidikan Keaskaraan Dasar pada Komunitas Adat Terpencil (KAT) Suku Sasak Bayan Kabupaten Lombok Utara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur dengan mencari referensi teori yang relefan dengan kasus atau permasalahan yang ditemukan. Referensi teori yang diperoleh dengan jalan penelitian studi literatur dijadikan sebagai pondasi dasar dan alat utama bagi praktek penelitian ditengah lapangan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dokumentasi, studi literatur dan observasi. Teknik analisis data menggunakan metode analisis deskriptif yakni dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Hasil penelitian studi literatur menunjukkan bahwa pelaksanaan program pendidkan keaksaraan pada komunitas adat terpencil (KAT) memprlihatkan hasil yang bervariasi, beberapa diantaranya berhasil dan tidak sedikit yang tidak berhasil. Walaupun demikian, upaya-upaya yang telah dilaksanakan tersebut tidak dapat dianggap sebagai upaya yang sia-sia. Beberapa hal yang menjadi faktor keberhasilan dalam pemberdayaan masyarakat pada penyelenggaraan pendidikan keaksaraan dasar komunitas adat terpenci (KAT) ini adalah (1) fasilitas langsung para tutor dalam pembelajaran kepada peserta; 2) masyarakat adat terpencil yang belum terbuka bagi budaya lain menjalani proses sosialisasi dan interaksi secara positif dengan masyarakat lainnya, dan (3) pemberian keterampilan yang menunjang langsung kepada kesejahteraan peserta/masyarakat pada Komunitas Adat Terpencil (KAT). Sedangkan ketidak berhasilan program keaksaraan dasar pada KAT ini antara lain disebabkan oleh: (a) sistem target (target oriented) dalam pencapaian hasil sedangkan kualitas kegiatan masih kurang diperhatikan; (b) waktu penyelenggaraan program belum cukup untuk merubah pola pikir masyarakat ke arah hidup mandiri; (c) kurangnya dukungan dari sektor lain misalnya sektor di luar bidang pendidikan; (d) adanya perubahan paradigma baru dalam penanganan masyarakat adat atau Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang lebih menuntut pengakuan hak dan hukum adat dari pemerintah, dan bukan sekedar pembinaan, pemberdayaan dan pemberian bantuan. Kata Kunci: Pendidikan Keaksaraan Dasar, Komunitas Adat Terpencil (KAT), Budaya Religi dan Adat, Tatanan sosial adat
86
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
A. PENDAHULUAN Penduduk Indonesia penyandang buta aksara pada tahun 2014 usia 15-59 tahun sebanyak 5.984.075 orang atau 3,70% (PDSP Kemdikbud, 2015). Dari sejumlah penduduk yang belum melek aksara itu, tergolong pada usia produktif antara 15-59 tahun, yang semestinya menjadi sumber daya yang bermutu. Untuk meningkatkan sumber daya manusia tersebut tentunya perlu dilakukan bukan hanya pendidikan keaksaraan yang sekadar mendidik masyarakat mampu membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga pendidikan keaksaraan untuk pengembangan kemampuan individu agar mampu mengatasi persoalan kehidupan melalui keaksaraan. Hal itu, sejalan dengan kesepahaman masyarakat dunia tentang pengentasan buta aksara, yang dicurahkan dalam Deklarasi Persepolis yang melahirkan Hari Keaksaraan Internasional (International Literacy Day). Di dalam deklarasi tersebut, dikandung makna untuk mendorong setiap negara selalu menaruh perhatian terhadap pemberantasan buta aksara dan rumusan konsep buta aksara sebagai sebuah jalan bagi meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Menyimak deklarasi
tersebut
menunjukkan, bahwa
membebaskan
masyarakat dari kebutaaksaraan menjadi salah satu tujuan berdirinya suatu negara, dan kehidupan
bernegara
sebagaimana diisyaratkan
pada Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni menyerdaskan kehidupan
bangsa. Dengan demikian, pendidikan keaksaraan selalu berhubungan
dengan arah, kebijakan dan strategi pembangunan
negara yang tentunya dalam
penyelenggaraannya, tidak bisa dilepaskan dari tuntutan kebutuhan dan latar budaya peserta didik itu sendiri. Dalam konteks itu, penyelenggaraan pendidikan keaksaraan bagi Indonesia yang penduduknya beragam suku-bangsa, beraneka warna budaya dan capaian kualitas kehidupan berbeda-beda, cenderung menimbulkan kesenjangan kemajuan baik sosial, ekonomi maupun pendidikan sehingga dapat membelenggu penuntasan melek aksara. Hal itu, tampak pada masyarakat di pelosok pedalaman atau pun pesisir pantai dan laut dengan kehidupan kesehariannya yang sangat bergantung pada alam tempatnya berpijak. Atau, bisa juga mereka yang terikat kuat kepada adat-istiadat
87
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
sehingga kerap mengasingkan
diri dari situasi luaran semata-mata
hanya untuk
mempertahankan kebiasaan peninggalan leluhurnya. Situasi kehidupan masyarakat seperti
itu, dijumpai
tersebar di seluruh
pelosok Indonesia, seringkali mereka yang ada di dalamnya dikenal dengan istilah komunitas adat terpencil/khusus. Mereka boleh dikatakan masih belum terjangkau oleh pendidikan keaksaraan. Berdasarkan data yang tersedia, masih tersisa 3,76 persen dari total jumlah penduduk Indonesia buta aksara, yang sebagian dari jumlah itu dijumpai pada komunitas adat terpencil/khusus.
Oleh karena itu, untuk
menuntaskan mereka dari buta aksara, perlu disusun program pendidikan keaksaraan yang memerhatikan aspek-aspek pemenuhan kebutuhan dasar, realitas sosial dan latar budaya mereka, serta keterpaduan proses pengentasan buta aksara antara peserta didik, masyarakat dan pemangku kepentingan pendidikan keaksaraan. Keterpaduan penyelenggaraan
pendidikan
penyelenggaraan dan
keaksaraan bukan saja dapat mengatasi masalah
pengembangan
keaksaraan, tetapi juga menumbuhkan
kesadaran akan arti pentingnya keaksaraan untuk menghadapi tantangan kehidupan yang mengglobal,
serta dapat merangsang inspirasi bagi terjadinya transformasi
sosial. Masyarakat adat, termasuk di dalamnya KAT, adalah penduduk asli yang telah tinggal di Indonesia sebelum negara Republik Indonesia didirikan. Berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat adat (terpencil) maupun oleh masyarakat adatnya sendiri dalam mempertahankan jatidiri dan hak ulayatnya, sampai saat ini masih belum berhasil secara optimal dan memuaskan masing-masing pihak. Sementara itu, program pengembangan wilayah tertinggal yang ada selama ini lebih menekankan kepada aspek kemiskinan, keterpencilan dan keterisolasian wilayah. kegiatan pengembangan wilayah dipilih
Masyarakat lokal sebagai target group berdasarkan kemampuan kelompok
masyarakat tersebut dalam melaksanakan berbagai kegiatan usaha sehingga dapat “menyukseskan” proyek tersebut. Bahkan lebih buruk lagi, beberapa kasus dalam pelaksanaan kegiatan pengembangan wilayah yang menggunakan dana pinjaman luar negeri, pemilihan masyarakat penerima bantuan (target group) didasarkan pada faktor kekerabatan dari aparat desa. Di lain pihak banyak penduduk yang masuk dalam katagori komunitas adat yang tertinggal dan lokasinya cukup terisolir dan terpencil, 88
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
tidak masuk dalam kelompok masyarakat penerima bantuan. Isu pokok dan permasalahan yang menonjol dalam pemberdayaan pada KAT adalah 1) program pengembangan wilayah belum memperhatikan KAT, 2) lemahnya data dan informasi tentang KAT, 3) Hak adat dan ulayat belum dapat diimplementasikan sebagau rujukan hukum, 4) pemberdayaan KAT masih terbatas pada pemenuhan kebutuhan dasar, dan 5) lemahnya komitmen pelaku pembangunan. Dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah pada tulisan ini adalah 1) Apa sajakah jenis-jenis budaya pada Komunitas Adat Terpencil (KAT) Bayan Kabupaten Lombok Utara?”; 2) Bagaimanakah masyarakat adat Bayan mengimplementasikan semua proses adat tersebut?” dan 3) Bagaimanakah impelementasi program Pendidikan Keaskaraan Dasar pada Komunitas Adat Terpencil (KAT) Bayan Kabupaten Lombok Utara?” B. TELAAH KONSEP DAN TEORI Pengertian masyarakat pedalaman atau masyarakat asli didefinisikan United Nations dalam Aritonang (2001), adalah satuan komunitas yang turun temurun yang mendiami suatu wilayah; mempunyai ikatan budaya yang kuat atas tanah yang didiaminya. Mereka umumnya tinggal dan hidup di balik gunung atau di lembah, di tengah rawa, di pinggir pantai dan di hutan-hutan lebat. Banyak di antara mereka yang belum pernah menjalin kontak dengan dunia luar. Untuk mempertahankan hidupnya, mereka menciptakan sistem dan pola hidup yang harmonis dengan kondisi dan ketersediaan sumber daya alam di sekitar daerah yang ditinggalinya. Pengalaman interaksi yang erat dengan alam tersebut memberikan pengetahuan mendalam bagi mereka untuk mengelola sumber daya lokalnya. Definisi komunitas adat menurut Japhama dalam Siregar (2002), yaitu “…kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur secara turun temurun di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri”. Definisi komunitas adat dalam Siregar (2002) yaitu, “komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur, di atas wilayah adat, yang memilki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya”.
89
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Pengertian masyarakat pribumi menurut Smith (2000) adalah orang yang terkungkung pada dan oleh tempat yang menjadi milik mereka, kelompok-kelompok yang tidak bisa melakukan kontak dengan dunia yang lebih besar. Ruang geografis masyarakat pribumi yang sama sekali ”berbeda” yang
terkungkung berdasarkan
agama, budaya dan esensi ras. Masyarakat pribumi mewarisi hak dan tanggung jawab atas bidang tanah tertentu. Hak atas tanah ini tidak bisa dibeli, dijual atau diciptakan kembali. Hal ini sudah terbentuk di masa pendahulu masyarakat pribumi di seluruh dunia dan kembali ditegaskan di masa sekarang ini melalui konseptualisasi. Dengan demikian, tanah bersifat sentral bagi definisi diri sendiri, yang terungkapkan dengan berbagai medium, dan mutlak penting bagi kelangsungan hidup identitas pribumi. Menurut Departemen Sosial KAT adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik. Karakteristik KAT antara lain: 1. Bentuk komunitas relatif kecil, tertutup, dan homogen; 2. Organisasi sosial/pranata sosialnya bertumpu pada hubungan kekerabatan (bersifat informal dan kental dengan norma adat). 3. Pada umumnya terpencil secara geografis dan secara sosial-budaya denganmasyarakat yang lebih luas; 4. Pada umumnya masih hidup dengan ekonomi subsistem (berburu dan meramu, peladang berpindah, nelayan subsisten, dan kombinasi diantaranya); 5. Peralatan dan teknologinya sederhana; 6. Ketergantungan kepada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat relatif tinggi; 7. Terbatasnya akses pelayanan sosial dasar, ekonomi dan politik. C. METODE 1.
Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian studi literatur dengan mencari referensi teori yang relevan dengan kasus atau permasalahan yang ditemukan. Referensi teori yang diperoleh dengan jalan penelitian studi literatur dijadikan sebagai fondasi dasar dan alat utama bagi praktek penelitian ditengah lapangan. Sebuah studi literatur merupakan survei dan pembahasan literatur pada bidang tertentu dari suatu penelitian. Studi ini merupakan gambaran singkat dari apa yang telah dipelajari, argumentasi, dan ditetapkan tentang suatu topik, dan biasanya diorganisasikan secara kronologis atau tematis. Studi literatur ditulis dalam format esai dan bukan merupakan bibliografi beranotasi, karena studi ini mengelompokkan hasil-hasil pekerjaan secara
90
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
bersama dan membahas arah perkembangannya, daripada berfokus hanya pada satu hal pada suatu waktu. Pekerjaan ini bukan meringkas, melainkan mengevaluasi penelitian sebelumnya dan saat ini dengan memperhatikan relevansi serta manfaatnya dengan penelitian yang Anda lakukan. 2.
Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah data primer dengan melakukan obervasi dan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari jurnal, buku dokumentasi, dan internet. a. Dokumentasi Dokumentasi merupakan metode untuk mencari dokumen atau data-data yang dianggap penting melalui artikel koran/majalah, jurnal, pustaka, brosur, buku dokumentasi serta melalui media elektronik yaitu internet, yang ada kaitannya dengan diterapkannya penelitian ini. b. Studi Literatur Studi literatur adalah cara yang dipakai untuk menghimpun data-data atau sumber-sumber yang berhubungan dengan topik yang diangkat dalam suatu penelitian. Studi literatur bisa didapat dari berbagai sumber, jurnal, buku dokumentasi, internet dan pustaka. c. Observasi Pengumpulan data dengan observasi langsung atau dengan pengamatan langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut.
3.
Metode Analisis Data Data-data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis dengan metode analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya.
D. PEMBAHASAN DAN ANALISIS Sejarah Bayan Bayan merupakan
masyarakat adat yang berada di wilayah Nusa
Tenggara Barat (NTB) bagian utara. Secara administratif masyarakat adat Bayan tersebar di berbagai wilayah kecamatan dan desa. Semenjak Lombok Utara 91
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
memisahkan diri pada tahun 2008 yang lalu, Bayan termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Lombok Utara (KLU) yang ibu kotanya adalah Tanjung. Seiring dengan
pemekaran
merupakan
wilayah kabupaten,
satu kesatuan
secara historis
masyarakat adat.
Masyarakat
berbagai komunitas, di antaranya komunitas petani, atau perladangan,
komunitas
peternakan,
adat Bayan Bayan
komunitas
dulunya
terdiri
atas
perkebunan
dan komunitas perikanan. Anggota
tiap-tiap komunitas tersebut masih didominasi oleh masyarakat
lokal
atau
masyarakat asli Bayan. Hal ini berarti bahwa masih sedikit jumlah komunitas yang berasal dari luar Bayan yang hidup dan berkembang di Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Berdasarkan anggota komunitasnya, Bayan yang selanjutnya lebih dikenal dengan istilah adat Bayan berkembang dan dikenal menjadi sebuah masyarakat adat yang cukup fanatik. Namun, Bayan masih bersifat terbuka terhadap kedatangan orang luar Bayan untuk menjadi bagian komunitas adat Bayan. Bayan mau dan bersedia menerima kedatangan orang luar walaupun dalam jumlah relatif kecil. Hal ini menyebabkan masyarakat Bayan dihuni oleh berbagai kelompok masyarakat yang berdatangan dari seluruh Indonesia. Mereka berasal dari Lombok Timur, Lombok Tengah, dan luar pulau Lombok. Walaupun mereka bukan merupakan penduduk atau komunitas asli adat Bayan, mereka harus tunduk dengan peraturan adat Bayan. Kalau tidak, mereka kena sanksi adat. Misalnya, dalam pernikahan, mereka harus memenuhi kirangan yang berupa pesta di samping mereka juga kena mas kawin. Masyarakat adat Bayan secara administratif mendiami atau menghuni beberapa desa. Sebenarnya, komunitas adat Bayan mendiami dan mencakupi Lombok bagian utara yang dulunya di bawah kedatuan Bayan. Sampai saat ini, komunitas yang masih aktif melaksanakan adat di Kecamatan Bayan adalah komunitas petani adat Bayan yang mencakupi satu kecamatan yang dinamakan Kecamatan Bayan yang terdiri atas Desa Sambik Elen, Desa Loloan, Desa Bayan, Desa Senaru, Desa Karang Bajo, Desa Anyar, Desa Sukadana, Desa Akar-akar, dan Desa Mumbulsari. Secara etimologis, kata “Bayan” mempunyai banyak arti. Pertama, Bayan berarti “petunjuk”, “penerang” dan “penjelasan”. Akan tetapi, ada juga yang mengatakan bahwa Bayan berarti “induk” (Prayitno, 2001: 6). Hal ini terbukti dengan kepemimpinan Ratu Selam Bayan yang dijuluki kedatuan Datu Selam Bayan. Datu
92
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
merupakan induk tokoh yang selalu ditiru karena beliau sangat tertib dan disiplin dalam melakukan adat yang berada di wilayah kekuasaannya. Budaya Religi Adat Bayan Menurut
Alqur' an pemahaman
para ulama yang membawa
Islam
ke
Lombok menemukan bahwa desa ini merupakan sesuatu yang terang. Oleh karena itu, agama di Bayan adalah mayoritas Islam. Mereka juga menganut paham atau kepercayaan waktu Bayan
telu" Pengertian
waktu
telu menurut masyarakat
Adat
adalah kepercayaan atau keyakinan atau paham yang terwujud dalam
berbagai pelaksanaan adat. Berbagai persepsi tentang kepercayaan waktu telu ini pun akhimya
mengemuka dan terkuak. Persepsi pertama, yaitu persepsi yang
mengatakan bahwa waktu telu selanjutnya diubah sebutannya
dengan wetu telu
(Prayitno, 2001; Budiwanti, 2000). Fakta tentang paham ini terlihat secara universal dalam kehidupan makhluk hidup, yaitu dalam perjalanan hidupnya, manusia harus tunduk dengan 3 (tiga) hukum yaitu (1) hukum agama, (2) hukum adat, dan (3) hukum pemerintahan. Hukum agama identik dengan pelaksanaan syariat yang pelaksanaanya diserahkan sepenuhnya dan merupakan tanggung jawab kiyai. Pelaksanaan aturan atau hukum adat sepenunya diserahkan dan menjadi tanggung jawab pemangku/mangku (lokaq dan perumbaq), sedangkan pelaksanaan aturan atau hukum pemerintahan diserahkan sepenuhnya dan menjadi tanggung jawab pemekel/mekel atau pemusungan. Budaya religi merupakan budaya adat yang bersendikan agama yang disebut adat agama. Artinya, setiap kali komunitas melaksanakan sebuah kegiatan, baik kegiatan kemanusiaan maupun kegiatan yang berhubungan dengan Tuhan, prosesi ini selalu diakhiri dengan acara keagamaan. Hal ini merupakan implementasi salah satu kekerabatan
yang
tumbuh
dan
berkembang pada
komunitas
adat
Bayan.
Kekerabatan adat Bayan merupakan hubungan yang harmonis yang terjadi antara (1) manusia dan manusia lainnya, (2) hubungan antara manusia dan dasida luih 'Tuhan',
dan (3) hubungan antara manusia dan alam. Hubungan kekerabatan
ini terefleksi dalam slogan "bagus tagawe bagus tadait, lenge tagawe lenge tadait". Artinya,
apabila
baik tutur
kata seseorang,
mereka
akan memperoleh dan
diberkahi keselamatan. Sebaliknya, apabila tidak baik tingkah laku seseorang, tidak baik pula hasil yang diperoleh. Hal ini dilakukan, baik sesama manusia, alam, dan Tuhan. 93
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Dalam hubungannya dengan Tuhan, upacara adat yang dilaksukan oleh masyarakat adat Bayan diantaranya: 1) merowah wulan Sampet jumat: Upacara adat ini dilaksanakan untuk menyambut tibanya bulan puasa. Rowah wulan dilaksanakan pada hari pertama bulan Sya’ban. Sedangkan Sampet Jumat dilaksanakan pada hari Jum’at terakhir di bulan Sya’ban. Upacara adat ini dilaksanakan oleh para tokoh adat di tiap-tiap kampu; 2) Selametan Qunut, Selametan Likuran, dan Sedekah Maleman: Upacara
adat
ini
dilaksanakan
untuk
merayakan
keberhasilan
dalam
menjalankan ibadah puasa selama separuh bulan puasa. Upacara adat selametan qunut dilaksanakan pada malam pelaksanaan Nuzulul Qur’an. Upacara adat Selametan Likuran dilaksanakan pada malam-malam ganjil di pertengahan akhir bulan puasa. Upacara adat sedekah maleman dilaksanakan pada malam genap di pertengahan akhir bulan puasa. Upacara adat ini hanya dilaksanakan oleh para kiyai di Mesjid Adat Kuno Bayan; 3) Maleman pitrah dan lebaran tinggi: Upacara adat meleman pitrah dilaksanakan sehari sebelum perayaan lebaran tinggi. Upacara adat lebaran tinggi dilaksanakan untuk memperingati Hari Raya Idul Fitri. Pelaksanaan upacara adat maleman pitrah berupa pengumpulan zakat fitrah oleh masyarakat Bayan. Masyarakat mengumpulkan zakat fitrah di masing-masing kampu yang berdekatan dengan tempat tinggal mereka. Setelah semua zakat fitrah terkumpul, masing-masing kampu akan mengirim utusannya untuk membawa semua zakat fitrah tersebut ke masjid kuno Bayan. Pada keesokan hari setelah pengumpulan zakat fitrah, dilaksanakan upacara adat lebaran tinggi; 4) Lebaran pendek Upacara adat ini dilaksanakan untuk merayakan hari raya Idul Adha. Lebaran pendek diadakan berdasarkan penanggalan adat Bayan yang ditetapkan dalam begundem oleh para pemuka adat; 5) Selametan Bubur Petaq dan Selametan Bubur Abang Upacara adat ini dilaksanakan untuk memperingati munculnya umat manusia dan beranak pinak melalui ikatan perkawinan. Upacara adat ini dilaksanakan pada tanggal 10 muharram dan 8 Sapar dalam penanggalan adat Bayan. Upacara 94
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
adat ini dilaksanakan oleh masyarakat Bayan di masing-masing rumah, sedangkan para tokoh adat melaksanakan di tiap-tiap kampu; dan 6) Maulud adat Upacara adat mulud dilaksanakan untuk memperingati perkawinan antara Adam dan Hawa. Upacara adat ini dirayakan pada Hari Raya Maulid Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan penanggalan adat Bayan yang ditetapkan dalam begundem oleh para pemuka adat di kampu Bayan Timur. Tradisi Maulid Nabi ala adat Bayan ini berjalan selama dua hari. Hari pertama adalah persiapan bahan makanan dan piranti upacara lainnya
yang disebut
“kayu aiq”, sementara hari kedua adalah do’a dan makan bersama yang dipusatkan di masjid kuno Bayan. Para pelaksana prosesi ‘Mulud Adat Bayan” terdiri dari warga Desa Loloan, Desa Anyar,Desa Sukadana,Desa Senaru,Desa Karang Bajo dan Desa Bayan,yang semua Desa tersebut merupakan kesatuan wilayah Adat yang disebut Komunitas Masyarakat Adat Bayan. Perhitungan berdasarkan ‘Sereat’ (Syari’at) Adat Gama di Bayan “Mulud Adat Bayan” dilaksanakan pada dua hari setelah ketepan Kalender Islam Maulid Nabi tgl.12 Rabi’ul Awal tepatnya dimulai pada tanggal 14-15 Rabi’ul Awal yang tahun 2011 ini jatuh pada tanggal 18-19 Februari, Komunitas Masyarakat Adat Sasak Karang Bajo, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, sejumlah masyarakat adat bersiap-siap melakukan rangkaian acara perayaan Maulid Nabi yang digelar secara adat,masyarakat adat setempat biasa menyebutnya
dengan “Mulud
Adat”. Pada pelaksanaan upacara adat yang terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhan menggunakan ruang lingkup desa, yaitu di tiap-tiap kampu dan Masjid Kuno Bayan. Kampu digunakan sebagai tempat untuk melakukan persiapan segala kebutuhan upacara adat sedangkan Masjid Kuno Bayan menjadi pusat upacara adat tersebut. Di samping hubungan manusia dengan Tuhan, upacara adat juga dilaksanakan terkait hubungan manusia dengan manusia lainnya/sesama. Upacara adat yang terkait dengan hubungan manusia dengan manusia disebut juga dengan upacara adat daur hidup manusia, yaitu:
95
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
1. Buang Au Upacara adat Buang Au dilaksanakan untuk membuang abu hasil pembakaran arang yang diletakkan di bawah tempat tidur si bayi. Upacara adat Buang Au dilaksanakan sebagai simbol pengislaman pada seorang bayi yang baru lahir. Selain itu, upacara adat ini juga bertujuan untuk mengumumkan nama si bayi. 2. Ngurisang atau Molang-Malik Upacara adat Ngurisang merupakan upacara potong rambut yang dilaksanakan setelah acara adat Buang Au. Upacara adat ini diadakan pada anak yang sudah berusia 1-7 tahun. Setelah upacara adat ngurisang, biasanya dilanjutkan dengan upacara adat Molang-Malik atau upacara adat pemotongan umbaq kombong. Upacara adat Ngurisang dilaksanakan sebagai simbol pengislaman pada seorang anak. 3. Ngitangan Upacara adat ngitangan merupakan upacara adat khitanan yang diadakan untuk anak laki-laki berusia 3 – 10 tahun. Upacara ngitangan dilaksanakan sebagai simbol pengislaman kepada seorang anak laki-laki. 4. Merosok Upacara adat merosok merupakan upacara adat meratakan gigi/potong gigi, untuk menandai peralihan dari masa kanak-kanak menjadi dewasa. Upacara ini dilaksanakan pada anak-anak yang mulai memasuki usia remaja. 5. Merari’, Mentikah, dan Sorong Serah Sajikrama Merariq: merupakan tradisi yang mengawali upacara adat mentikah. Merariq atau kawin lari dilakukan sebagai ganti acara lamaran yang dilakukan oleh calon pengantin laki-laki. Kawin lari melibatkan pertemuan rahasia antara si laki-laki dengan si perempuan. Kedua pasangan ini kemudian akan bersembunyi di tempat persembunyian (penyembuan). Biasanya tempat persembunyian ini merupakan salah satu rumah keluarga dari pihak calon pengantin laki-laki. Mentikah: upacara adat mentikah dilaksanakan tiga hari setelah merariq di rumah kerabat calon pengantin laki-laki yang merupakan tempat persembunyian kedua calon pengantin. Mentikah dilaksanakan oleh kedua pengantin, kerabat tempat persembunyian, dan Kiai. Tujuannya adalah untuk memberkati dan mengesahkan kedua pengantin sebagai pasangan suami istri.
96
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Sorong Serah: upacara adat sorong serah sajikrama dilaksanakan ketika pihak keluarga pengantin laki-laki sudah siap membayar sajikrama yang diminta oleh keluarga pengantin perempuan. Upacara adat ini bertujuan untuk menyerahkan sajikrama dari pihak keluarga pengantin perempuan, dan pemberkatan pasangan pengantin. 6. Rowah Bale Upacara adat Rowah Bale bertujuan agar rumah/bale yang baru dibangun dan keluarga yang menempati bisa hidup dengan tentram dan sejahtera. Upacara adat ini dilaksanakan pada bangunan rumah/bale yang baru dibangun. 7. Gawe Pati Upacara Gawe Pati merupakan rangkaian prosesi untuk jika salah satu anggota keluarga ada yang meninggal. Pada pelaksanaan upacara adat terkait dengan hubungan manusia dengan manusia atau daur hidup manusia, biasanya menggunakan ruang dalam lingkup lingkungan tempat tinggal. Masyarakat yang mengadakan upacara adat biasanya akan mengundang seorang kiyai adat dan para tetangga. Upacara adat ini biasanya berpusat di berugaq dan halaman pekarangan. Untuk penyiapan kebutuhan upacara adat biasanya menggunakan rumah sendiri dan rumah kerabat atau tetangga di sekitar tempat tinggal. Selain hubungan manusia dengan tuhan, dan manusia dengan sesamanya (manusia lain), upacara dat juga dilaksanakan terkait hubungan manusia dengan alam atau siklus tanam padi yaitu: 1. Ngaji makam turun bibit, ngaji makam tunas setamba, dan ngaji makam ngaturang ulak kaya Upacara adat ini dilaksanakan agar hasil panen akan bagus dan melimpah ruah. Rangkaian upacara adat ini dilaksanakan di tiap-tiap kampu. Para tokoh adat akan datang ke masing-masing kampu untuk melakukan doa bersama yang dipimpin oleh penghulu. 2. Nyelametang pare, ngaji ngerangkep, dan rowah sambi/geleng Upacara adat ini dilaksanakan berupa doa dan makan bersama dengan anggota keluarga. Upacara adat Nyelametang pare, ngaji ngerangkep dilaksanakan dengan tujuan agar hasil panen akan baik, dan melimpah ruah, sedangkan upacara rowah sambil/geleng bertujuan agar padi-padi yang disimpan di dalam 97
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
lumbung akan memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari bagi seluruh anggota keluarga maupun untuk mengadakan upacara adat lainnya. Nyelametang pare dilaksanakan pada masa persemaian benih, ngaji ngerangkep dilaksanakan pada saat musim panen tiba, dan rowah sambi/geleng dilaksanakan pada saat padi siap untuk disimpan di dalam lumbung. Pemerintahan Adat Bayan Di samping sebagai sebuah kecamatan dan desa secara dinas, Bayan secara adat juga merupakan sebuah pemerintahan adat (Universitas Udayana, 105). Sebagai sebuah pemerintahan adat, Bayan dipimpin oleh seorang mekel. Pada prinsipnya mekel mengoordinasikan dan menjalankan tugas yang berkaitan dengan pemerintahan adat. Sebagai pemerintahan adat, seorang mekel sudah barang tentu memiliki sejumlah program yang harus dilakukan sebagai upaya untuk mengikat masyarakat adat atau komunitas adat. Segala program yang menyangkut adat yang dijalankan harus berdasarakan keputusan tetua adat yang tergabung menjadi satu wadah yang disebut dengan toaq lokaq. Jadi, toaq lokaq ini hanya bertugas dan berfungsi sebagai dewan pertimbangan adat. Mereka harus memahami nilai-nilai budaya dan adat istiadat atau tradisi yang dianut dan dipatuhi di suatu gubuk atau desa. Sebagai tetua adat, jabatan toaq lokaq dapat dijabat secara turun temurun, baik berdasarkan garis laki maupun garis perempuan. Mekel bersama toaq lokaq menentukan norma-norma sosial masyarakat yang berkaitan dengan adat istiadat. Norma-norma adat ini biasanya dihasilkan dan disepakati dari sebuah pertemuan adat yang disebut dengan gundeman. Norma-norma sosial dan adat yang diatur seorang mekel bersama-sama dengan dewan adat biasanya berkenaan dengan hak dan kewajiban masyarakat dan komunitas adat serta sanksisanksi sosial dan lainnya apabila masyarakat dan komunitas adat tidak mematuhi dan mentaati aturan-aturan adat yang telah disepakati bersama secara kolektif. Beberapa hal sebagai contoh yang menjadi wilayah kerja seorang mekel bersama-sama dewan adat, seperti menentukan besarnya denda kawin lari, kewajiban bergotong - royong, kewajiban berkenaan dengan pemanfaatan tanah adat (ulayat), masalah persengketaan warisan, dan lain-lain (Universitas Udayana, 106).
98
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Struktur kepemilikan tanah Unsur-unsur budaya lokal, seperti tanah diwariskan secara turun-temurun dan tanah hasil perjuangan atau jerih payah petani sendiri. Tanah warisan disebut dengan tanah keturunan yangd diambil dari garis laki. Tanah jenis ini tidak bisa dijual. Tanah keturunan juga disebut dengan tanah urip gubuk yang dipakai untuk membiayai atau sangu dalam urusan adat yang disebut plemer atau tawa’an. Besar plemer atau tawa’an sudah diatur dalam aturan adat, yaitu berupa satu ikat padi atau satu ikat ketan. Tanah pecatu yang diberikan kepada para pimpinan adat sudah diatur dalam aturan adat, seperti pemangku adat, mekel adat, Kiai Lebe, Kia Penghulu, Kiai Ketip, Kia Mudim. Tanah Hak Miliki (THM) adalah tanah yang dimiliki oleh pribadi yang dihasilkan dari hasil perjuangan mereka. Tanah jenis ini boleh diperjualbelikan. Selebihnya, apapun yang dihasilkan yang berupa ternak, dan padi boleh diberikan ke gubuk (beramal). Misalnya, ada orang yang berhasil karena bekerja di luar negeri, sebagian hasil pekerjaanya tersebut bisa disumbangkan ke gubuk. Pengelolaannya diserahkan sepenunya dan menjadi tanggung jawab pemangku untuk kebutuhan acara ritual adat. Tanah penyakap adalah tanah yang hasilnya dibagi dua. Tanah penandu adalahtanah yang disewa karena hutang piutang dikerjakan dan dikelola oleh yang memiliki hutang hasilnya dibagi dua. Tatanan sosial adat Bayan Tatanan sosial masyarakat adat Bayan sudah diatur sedemikian rupa berdasarkan paham atau keyakinan wetu telu. Komunitas adat Bayan terdiri atas masyarakat adat yang dipimpin oleh para pemangku dan pranata adat. Masyarakat adat harus tunduk dan taat kepada aturan-aturan adat yang dijalankan oleh para pemangku dan pranata adat lainnya. Selain pemangku adat, komunitas adat Bayan, juga memiliki pranata adat lainnya yang mempunyai tugas dan fungsi tersendiri, seperti kiai yang bertugas memimpin hal-hal yang menyangkut keagamaan, mekel yang bertugas dan berfungsi memimpin pemerintahan adat Bayan. Tatanan sosial tersebut dapat dijelaskan selengkapnya berikut ini. 1. Kepemangkuan Dalam adat Bayan, pemangku menjalankan tugas yang berkenaan dengan adat Bayan secara umum. Dalam tatanan sosial adat Bayan terdapat banyak 99
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
pemangku adat. Yang dimaksud dengan pemangku adat adalah pengemong adat gubuk. Pemangku adat ini tinggal di dalam kampu dan bertindak sebagai pemimpin masyarakat lingkungan gubuk. Pemangku adat bertugas di bidang pengayoman masyarakat adat. Pemangku adat ini menjalankan tugas khusus atau fungsional dalam berbagai peristiwa seremonial adat (begawe adat). Kepemangkuan terdiri atas melokaq walin gumi, melokaq pande, dan melokaq perumbaq. 2. Kekiaian Berdasarkan kearifan budaya lokal masyarakat Sasak Bayan, kiai bertugas di bidang keagamaan. Ada berbagai macam kiai adat. Mereka dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu kiai kagungan dan kiai santri. Kiai kagungan terdiri atas empat kiai adat, yaitu kiai penghulu, kiai ketip, kiai lebe,
dan
kiai
modim.
Keempatnya
disebut
kiai
kagungan
karena
pengangkatannya melalui proses pemilihan yang demokratis melalui ritual yang disebut begundem ‘rapat akbar’ di sebuah rumah adat. Sebelum dilaksanakan begundem tersebut, terlebih dahulu mereka yang diangkat menjadi kiai kagungan tersebut dipelonco dan diuji melalui persemedian selama empat hari empat malam yang bertugas di bidang pelaksanaan agama. Seorang kiai bertanggung jawab atas pelaksanaan hukum atau aturan agama. 3. Kepemekelan Ada empat kepemekelan ‘wilayah pemerintahan adat’, yaitu (1) kepemekelan Karang Bajo, (2) kepemekelan Loloan, (3) kepemekelan Bayan Barat, dan (4) kepemekelan Bayan Timur. Kepemekelan atau ekel bertugas di bidang kepemerintahan adat. Keempat pemekel ini merupakan pemekel induk. Tiap-tiap kepemekelan
mempunyai
aguman
‘wilayah
kerja
komunitas’,
secara
administratif, kepemekelan adat tersebut adat tersebut berada pada wilayah administrasi desa dinas tertentu. Seperti kepemekelan Karang Bajo berada di wilayah administrasi Desa Karang Bajo; kepemekelan Loloan ada di wilayah adminstrasi Desa Loloan; kepemekelan Bayan Barat ada di wilayah administrasi Desa Senaru; dan kepemekelan Bayan Timur ada di wilayah desa Bayan Beleq.
100
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Pola pemukiman adat Bayan a. Pola pemukiman berdasarkan perumahan Pola pemukiman tradisional masyarakat Sasak di Desa adat Bayan didasari atas warisan turun temurun dari nenek moyang mereka. Kebiasaan ini tercantum juga di dalam awig-awig Desa Adat Bayan yang dipegang oleh para tetua adat Bayan. Demikian pula dengan masyarakat Bayan yang terus mengikuti adat istiadat yang diwariskan dalam pembentukan permukiman sebagai lingkungan tempat bermukim. Berikut elemen-elemen pembentuk pola perumahan yang diterapkan oleh masyarakat di Desa Adat Bayan yaitu: 1) Bale: merupakan tempat tinggal atau tempat untuk berlindung. Bale sangat identik dengan sosok ibu (inaq) sehingga segala sesuatu berkaitan dengan rumah diidentikkan dengan ibu. Berdasarkan filosofi tersebut, masyarakat Sasak Bayan mengembangkan konsep tata ruang yang memberikan penghormatan kepada perempuan, sehingga ruang tertutup disediakan bagi ibu dan anak perempuan. 2) Berugaq: merupakan suatu bangunan berupa gazebo. Segala bentuk kegiatan yang berkaitan dengan orang luar dari anggota keluarga inti dilakukan di berugaq seperti menerima tamu dan semua kegiatan adat lainnya. 3) Dapur: di desa adat Bayan, kegiatan memasak dilakukan di luar rumah. Biasanya tempat memasak dibangun menempel pada salah satu sisi berugaq. Adanya pengaruh dari perkembangan zaman, dapur ada yang dibangun menyatu dengan rumah. 4) Lumbung: lumbung berfungsi untuk menyimpan hasil penen. Bangunan lumbung biasanya terpisah dari bale dan terletak di belakang atau disamping bale. 5) Kandang: kandang biasanya terletak di bagian belakang atau samping bale dan berdekatan dengan lumbung. b. Pola pemukiman berdasarkan sistem kekerabatan Permukiman di desa adat Bayan terbentuk karena danya keterikatan secara keturunan. Sama seperti di wilayah lainya di Pulau Lombok, masyarakatnya hidup secara mengelompok. Masyarakat di desa Adat Bayan tinggal bersama atau berkelompok mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal). Keturunan laki101
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
laki yang baru menikah biasanya akan membangun rumah baru di lahan yang sama dengan orang tuanya. Kepercayaan masyarakat terhadap susunan letak rumah dalam satu rumpun keluarga berdasarkan senioritas terus diturunkan kepada anak cucu mereka. Hal ini didukung dengan keyakinan masyarakat Bayan akan adanya sanksi jika tidak mengikuti aturan adat ini. Sanksi yang dipercaya adalah keluarga yang melanggar akan terkena musibah penyakit. Selain itu juga, aturan ini bertujuan untuk memudahkan dalam melihat silsilah keturunan dalam kelompok keluarga tersebut. Sebagai contoh adanya pengaruh sistem kekerabatan dan senioritas dalam pola permukiman di Desa Adat Bayan adalah sistem kekerabatan pada keluarga Raden Arya Wali. Pendidikan Keaksaraan Dasar pada Komunitas Adat Terpencil (KAT) Pendidikan Keaksaraan Dasar pada Komunitas Adat Terpencil (KAT) merupakan layanan pendidikan bagi warga masyarakat buta aksara usia 15-59 tahun di komunitas adat terpencil/khusus,
agar memiliki
sikap,
pengetahuan, keterampilan dalam
menggunakan Bahasa Indonesia,
membaca, menulis, dan berhitung,
mendukung
dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Pendidikan
aktivitas sehari-hari keaksaraan
dasar serupa itu, adalah merupakan
untuk
upaya peningkatan
kemampuan keberaksaraan penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas agar memiliki kemampuan membaca, menulis, berhitung, mendengarkan, dan berbicara untuk mengkomunikasikan teks lisan dan tulis menggunakan aksara dan angka dalam bahasa Indonesia. Standar Kompetensi Lulusan dan Kompetensi Dasar Pembelajaran pendidikan keaksaraan dasar dilakukan selama minimal 114 jam @60 menit dengan mengacu pada standar kompetensi lulusan, kompetensi inti, dan kompetensi dasar pendidikan keaksaraan dasar, yaitu: DIMENSI Sikap
102
SKL Memiliki perilaku dan etika yang mencerminkan sikap orang beriman dan bertanggung jawab dalam berinteraksi dengan lingkungan keluarga,
KOMPETENSI INTI KOMPETENSI DASAR (KD) (KI ) 1. Menjalankan 1.1 Mampu melakukan ibadah ibadah sesuai sesuai dengan agama dan dengan agama kepercayaan masingdan kepercayaan masing; masing-masing 1.2 Mampu menunjukan sikap sehingga dapat santun dalam berperilaku dan berkomunikasi dan taat memiliki etika pada aturan yang sebagai warga disepakati; masyarakat yang 1.3 Mampu menunjukan sikap
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
DIMENSI
Pengetahuan
SKL
KOMPETENSI INTI (KI ) baik
masyarakat dan alam dalam kehidupan sehari-hari Menguasai 2. Menguasai pengetahuan pengetahuan faktual tentang car faktual tentang a cara mendengar, berkom unikasi membaca, melalui Bahasa menulis, dan Indonesia dan berbicara dalam berhitung untuk Bahasa Indonesia, melakukan aktivitas serta berhitung sehari- hari dalam untuk kehidupan keluarga menyelesaikan dan bermasyarakat masalah seharihari
Keterampilan Mampu 3. Mampu membaca, menggunakan menulis, berbicara Bahasa Indonesia dan berhitung dan keterampilan untuk mendukung berhitung untuk aktivitas di melakukan aktivitas lingkungan sehari- hari dalam keluarga dan kehidupan keluarga masyarakat dalam
KOMPETENSI DASAR (KD) jujur dalam berkomunikasi dan berhitung pada kehidupan sehari-hari 2.1 Menguasai teknik membaca; 2.2 Mengenal teks personal ten tang identitas diri; 2.3 Mengenal teks deskripsi minimal 3 (tiga) kalimat sederhana yang berkaitan dengan kehidupan sehari- hari; 2.4 Mengenal teks informasi sederhana dalam bentuk poster yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari; 2.5 Mengenal teks narasi pendek minimal 3 (tiga) kalimat sederhana yang berkaitan dengan kehidupan seharihari; 2.6 Mengenal teks petunjuk/ arahan minimal 3 (tiga) kalimat yang berkaitan dengan kehidupan sehari- hari; 2.7 Mengenal bilangan (1-1000), uang,dan operasinya dalam kehidupan seharihari; 2.8 Mengenal dan membaca satuan panjang, berat, isi, dan waktu yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. 3.1 Membaca suku kata dan kata yang terdiri atas huruf vokal dan konsonan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari; 3.2 Membaca lancar teks minimal 3 (tiga) kalimat sederhana dan memahami 103
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
DIMENSI
SKL dan bermasyarakat
104
KOMPETENSI INTI (KI ) kehidupan seharihari
KOMPETENSI DASAR (KD) isinya; 3.3 Menulis kata dan kalimat sederhana yang berkaitan dengan kehidupan seharihari; 3.4 Menulis teks personal tentang identitas diri; 3.5 Menulrs teks deskripsi tentang penggam baran sebuah objek (benda, hewan, tumbuhan, atau orang) dalam Bahasa Indonesia minimal 3 (tiga) kalimat sederhana berkaitan dengan kehidupan seharihari; 3.6 Menulis teks informasi dalam bentuk poster menggunakan Bahasa Indonesia; 3.7 Menulis teks narasi minimal 3 (tiga) kalimat yang di dalamnya terdapat kalimat majemuk berdasarkan gambar tunggal atau gambar seri; 3.8 Menulis teks petunjuk/ araha n tentang kehidupan sehari-hari minimal 3 (tiga) kalimat dengan atau tanpa bantuan gambar; 3.9 Melakukan dan menggunakan operasi penjumlahan, pengu rangan, perkalian, dan pembagian bilangan sampai dua angka dalam kehidupan sehari-hari; 3.10 Memperkirakan atau membulatka n hasil perhitungan dalam kehidupan sehari-hari; 3.11 Mengukur dan menggunakan satuan ukuran panjang, jarak, berat, dan waktu yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari serta menafsirkan hasil pengukuran.
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Menentukan Tema-tama Pembelajaran Keaksaraan Dasar pada KAT a. Cara menentukan tema Dalam menentukan tema dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara pertama, mempelajari standar kompetensi dan kompetensi dasar yang terdapat dalam masing-masing mata pelajaran, dilanjutkan dengan menentukann tema yang sesuai; dan cara kedua, menetapkan terlebih dahulu tema-tema pengikat keterpaduan, untuk menentukan tema tersebut, guru dapat bekerja sama dengan peserta didik sehingga sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik. b. Prinsip penentuan tema Dalam menetapkan tema perlu memperhatikan beberapa prinsip yaitu 1) memperhatikan lingkungan; 2) dari yang termudah menuju yang sulit; 3) dari yang sederhana menuju yang kompleks; 4) dari yang konkret menuju ke yang abstrak; dan 5) ruang lingkup tema disesuaikan dengan kondisi sosial budaya yang ada. Tema-tema dalam bahan ajar Pendidikan Keaksaraan Dasar Pada komunitas adat terpencil (KAT) No. 1.
Topik Keberadaan Lembaga Adat
Sub Topik a. Pemangku adat b. Kepengurusan adat
2.
Simbol Adat
a. Rumah adat b. Barang pusaka c. Naskah-naskah
3.
Jenis Kegiatan Adat
a. Musyawarah adat b. Sanksi adat c. Upacara adat perkewainan d. Upacara adat kematian e. Upacara adat kelahiran f. Upacara adat dalam bercocok tanam g. Upacara adat bidang perikanan/laut h. Upacara adat bidang kehutanan i. Upacara adat dalam pengelolahan sumber 105
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
daya alam j. Upacara adat dalam pembangunan rumah k. Upacara adat dalam penyelesaian masalah/konflik Sumber: Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2007 Tanggal 16 Februari 2007 E. PENUTUP Pengembangan program Pendidikan Keaksaraan Dasar Komunitas Adat Terpencil (KAT) merupakan suatu solusi dalam rangka penuntasan tuna aksara dan pemerataan pendidikan di Indonesia. Masyarakat pada Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang secara geografis sulit terjangkau oleh layanan pendidikan formal, perlu memperoleh satu bentuk layanan pendidikan melalui jalur pendidikan nonformal atau pendidikan masyarakat. Masyarakat pada Komunitas Adat Terpencil (KAT) Suku Sasak Bayan merupakan suku asli yang mendiami wilayah kecamatan Bayan meliputi 9 Desa yaitu Desa Sambik Elen, Desa Loloan, Desa Bayan, Desa Senaru, Desa Karang Bajo, Desa Anyar, Desa Sukadana, Desa Akar-akar, dan Desa Mumbulsari. Beberapa wilayah di Suku Sasak Bayan relatif sulit dijangkau dengan kendaraan roda empat sehingga mengharuskan menggunakan kendaraan roda dua ketika masuk ke pedalaman wilayah KAT Suku Sasak Bayan tersebut. Hal ini disebabkan karena kondisi geografis yang tidak memungkinkan dapat ditempuh dengan kendaraan dan bahkan mengharuskan untuk berjalan kaki. Dengan kondisi masyarakat yang demikian maka perlu suatu model atau program pendidikan yang dapat menjangkau memnuhi kebutuhan komunitas ini. Untuk itu disusun suatu bentuk model pendidikan keaksaraan dasar tentang pentingnya penuntasan tunas aksara dan akses pendidikan kepada semua elemen masyarakat dan pembelajaran tematik yang menekankan pada kemampuan baca, tulis, dan hitung. Hasil penelitian studi literatur menunjukkan bahwa pelaksanaan program pendidkan keaksaraan pada komunitas adat terpencil (KAT) memprlihatkan hasil yang bervariasi, beberapa diantaranya berhasil dan tidak sedikit yang tidak berhasil. Walaupun demikian, upaya-upaya yang telah dilaksanakan tersebut tidak dapat 106
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
dianggap sebagai upaya yang sia-sia. Beberapa hal yang menjadi faktor keberhasilan dalam pemberdayaan masyarakat pada penyelenggaraan pendidikan keaksaraan dasar komunitas adat terpenci (KAT) ini adalah (1) fasilitas langsung para tutor dalam pembelajaran kepada peserta; 2) masyarakat adat terpencil yang belum terbuka bagi budaya lain menjalani proses sosialisasi dan interaksi secara positif dengan masyarakat lainnya, dan (3) pemberian keterampilan yang menunjang langsung kepada kesejahteraan peserta/masyarakat pada Komunitas Adat Terpencil (KAT). Sedangkan ketidak berhasilan program keaksaraan dasar pada KAT ini antara lain disebabkan oleh: (a) sistem target (target oriented) dalam pencapaian hasil sedangkan kualitas kegiatan masih kurang diperhatikan; (b) waktu penyelenggaraan program belum cukup untuk merubah pola pikir masyarakat ke arah hidup mandiri; (c) kurangnya dukungan dari sektor lain misalnya sektor di luar bidang pendidikan; (d) adanya perubahan paradigma baru dalam penanganan masyarakat adat atau Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang lebih menuntut pengakuan hak dan hukum adat dari pemerintah, dan bukan sekedar pembinaan, pemberdayaan dan pemberian bantuan.
DAFTAR PUSTAKA Adhiya Harisanti Fitriya, Antariksa, dan Nindya Sari. Juli 2010. Pelestarian Pola Pemukiman Desa Adat Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Malang: Jurnal Tata Kota dan Daerah Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Bappenas. (2004). Kajian Perbandingan Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil dan Program Pengembangan Wilayah Terpadu. Jakarta: Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Bappenas Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan Ditjen PAUD dan Dikmas Kemdikbud. (2016). Petunjuk Teknis Program Pendidikan Keaksaraan Dasar Komunitas Adat Terpencil/Khusus dan Prosedur Pengajuan Bantuan Tahun 2016. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan Ditjen PAUD dan Dikmas Kemdikbud. Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial komunitas Adat Terpencil. Model kurikulum pendidikan layanan khusus Untuk masyarakat adat terpencil Suku Talang Mamak
107
Jurnal Aksa Sriti Volume 17
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 09 Tahun 2012 tentang Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 86 tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Pendidikan Keaksaraan Dasar. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2007 Tanggal 16 Februari 2007 Universitas Udayana. Sistem sosial Kemasyarakatan Komunitas Adat Bayan Kabupaten Lombok Utara. Bali: Universitas Udayana.
108
Jurnal Aksa Sriti menerima tulisan dalam bentuk artikel dan laporan penelitian dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Tulisan tersebut belum pernah diterbitkan atau dipublikasikan dalam satu jurnal berkala atau buku. 2. Topik tulisan berkisar pada kajian-kajian yang berkaitan dengan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat. 3. Judul tulisan maksimal 14 kata. 4. Semua tulisan harus menyertakan abstrak (100 – 150 kata) dan kata kunci (3 – 7 kata). 5. Jumlah halaman antara 15 – 35 nomor halaman dengan ukuran kwarto sapasi 1,5 dengan menggunakan jenis huruf Times New Roman dan besar huruf 12 pt. 6. Penulis menyerahkan file beserta print out naskah. 7. Semua tulisan menggunakan referensi model bodynote dengan teknik penulisan sebagai berikut : Nama Penulis, Tahun, Nomor Halaman. Sebagai contoh : (Mukti, 2016:23) 8. Selain mencantumkan bodynote, penulis juga harus mencantumkan DAFTAR PUSTAKA dengan aturan penulisan diurutkan secara alfabetis. Nama penulis diketik dengan mendahulukan nama marga atau nama akhir jika nama penulis terdiri dari 2 kata atau lebih. Judul buku atau nama jurnal maupun nama media massa ditulis miring (Kota Penerbit : Lembaga Penerbit, Tahun terbit) tanpa diakhiri tanda titik. Contoh : Buku : Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta:LP&ES, 1982 Jurnal : Ismail, Faisal, “On Developin Liberation Theology in Islam”, dalam jurnal Gazwatul Fikri, Vol 9 No.2, Yogyakarta: Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Desember 1999. Media Massa : Aladin, Andi, “Global Warning”, dalam Koran Lombok Post, Edisi 15 Desember 2009, 15 Makalah : Sai, Muhammad, “Tantangan dan Peluang Alumni Fakultas Dakwah”, dalam Makalah Seminar Prospek Alumni Fakultas Dakwah, Mataram, 5 Desember 2008