Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
MENINGKATKAN NILAI NUTRISI HAYLAGE RUMPUT KUME (Sorghum timorense) MELALUI PROSES BIOKONVERSI MENGGUNAKAN Rhizopus oligosporus (Improving the Nutritive Values of Kume Grass Haylage (Sorghum timorense) Through Bioconversion Process Using Rhizopus oligosporus) DEBORA KANA HAU1 dan MARIANA NENOBAIS2 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur Jl. Tim Tim km. 39 Kotak Pos 23 Naibonat, Kupang 85111 2 Universitas Nusa Cendana, Kupang
ABSTRACT One important native grass species that support ruminant livestock production in East Nusa Tenggara (NTT), especially in Timor Island, is kume Grass (Sorghum timorense) which is an annual grass with fairly high forage production, since its fast growth rate. The characteristics, however, brings about quick quality declining, especially soon after the rainy season ends (April or May). Treatments were imposed to improve its nutritive values through haylage making followed by bioconversion (by fermentation) using Rhizopus oligosporus inoculant. Treatments included: inoculants levels (0, 2.5, 5 and 7.5 g) as well as several inocubation periods (0, 4, 8, 12 and 16 days). The results of the experiment indicated that both inoculant level and incubation period gave significant effects on: dry matter, crude protein, crude fiber, fat, NFE and energy content, with significant interactions of the treatments. As the results of the interactions, it was obtained that combination treatment of 5g inoculants and 12 days of incubation period gave good results. In this combination treatment, the content of dry matter, crude protein, crude fiber, fat, NFE and energy of 65.7, 5.0, 26.4, 2.2, 54.5% and 3822 kcal/kg (on untreated hay) were enhanced to 73.3, 24, 2.9, 37.7% and 3818 kcal/kg, respectively. However, the complicated process of treating the hay may hinder the application to the small farmers in the region. Key Words: Kume Grass, Rhizopus oligosporus, Nutrition, Shorgum timorense ABSTRAK Salah satu rumput alam penting yang mendukung usaha ternak sapi di NTT, khususnya di Pulau Timor, adalah rumput Kume (Sorghum timorense) yang bersifat annual dengan produksi hijauan yang cukup tinggi, karena pertumbuhannya yang cepat. Namun karena pertumbuhannya yang cepat dan sifat annual ini, mengakibatkan kualitas rumput ini cepat menurun terutama segera setelah musim hujan berakhir (Bulan April – Mei). Perlakuan untuk meningkatkan nilai nutrisi telah dilakukan dengan membuat menjadi hay dan selanjutnya dilakukan biokonversi (cara fermentasi) menggunakan inokulan Rhizopus oligosporus. Perlakuan dilakukan meliputi haylage tanpa inokulan dan tanpa masa inkubasi, dan level inokulan (0, 2,5, 5, dan 7,5 g) serta beberapa waktu inkubasi (0, 4, 8, 12 dan 16 hari). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan level inokulan dan waktu inkubasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan bahan kering, kandungan protein kasar, kandungan serat kasar, kandungan lemak dan kandungan energi, dengan disertai interaksi yang nyata antara level inokulan dan masa inkubasi. Dari akibat interaksi ini, secara umum diperoleh bahwa kombinasi perlakuan antara waktu inkubasi 12 hari dan level inokulum sebanyak 5 g telah memberikan hasil yang baik. Pada kombinasi perlakuan ini kandungan nutrisi bahan kering, protein kasar, serat kasar, lemak, BETN dan energi masing-masing sebesar 65,7, 5,0, 26,4, 2,2, 54,5% dan 3822 kal/kg pada hay dapat ditingkatkan menjadi 73,3, 24, 2,9, 37,7% dan 3818 kal/kg. Namun kerumitan dalam melakukan pekerjaan hingga mendapatkan hasil hay terfermentasi atau yang telah mengalami biokonversi kemungkinan masih sulit untuk diterapkan oleh petani dalam usahatani ternak yang masih bersifat tradisional. Kata Kunci: Rumput Kume, Rhizopus oligosporus, Nutrisi, Shorgum timorense
683
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
PENDAHULUAN Nusa Tenggara Timur berperan penting dalam memenuhi kebutuhan daging di Indonesia, dengan memasok antara 40.000 s/d 60.000 ekor ternak sapi ke Pulau Jawa setiap tahun. Namun usaha ternak sapi di NTT masih mengalami permasalahan yang cukup serius dalam hal ketersediaan pakan yang cukup sepanjang tahun baik dalam jumlah maupun kualitas, terutama selama musim kemarau. Andalan utama pakan ternak sapi di NTT adalah rumput alam, dan salah satu rumput alam yang keberadaannya cukup banyak adalah rumput Kume (Sorghum timorense). Rumput ini terutama banyak ditemukan di Pulau Timor, sedangkan rumput dari species yang sama juga terdapat di Pulau Sumba adalah dari jenis Sorghum nitidum (dalam bahasa daerahnya: Morukapuka, yang berarti muda pada bagian pucuk) (NULIK dan BAMUALIM, 1998). Rumput Kume bersifat annual, yaitu tumbuh cepat selama musim hujan (November s/d April) dan cepat menua dan berbunga serta berbiji dan mengering sebagai standing hay di lapangan jika tidak sempat dipanen, sedangkan rumput Morukapuka (S. nitidum) bersifat perennial yang masih mampu menghasilkan hijauan (terutama di bagian pucuk) selama musim kemarau. Ketika menjadi standing hay ini nilai nutrisi rumput Kume menjadi sangat rendah. Untuk dapat meningkatkan nilai nutrisinya perlakukan-perlakuan seperti fermentasi dan atau biokonversi perlu dilakukan. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Stasiun penelitian Fakultas Peternakan Undana di Desa Oebelo, Kabupaten Kupang, NTT dari bulan Mei s/d bulan Juli 2005. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap faktorial (5 x 4), yaitu dengan 5 level waktu inkubasi (0, 4, 8, 12 dan 16 hari) dan 4 level inokulum Rhizopus oligosporus (0, 2,5, 5,0 dan 7,5 g/kg bahan) dengan 3 ulangan, sehingga terdapat 60 unit percobaan. Tiap unit percobaan menggunakan 5 kg standing hay rumput Kume sebagai bahan dasar. Standing hay sebelum dikenakan perlakuan biokonversi
684
(cara fermentasi) menggunakan R. oligosporus, terlebih dahulu diproses menjadi haylage. Pada tahap pembuatan haylage urutan kerjanya adalah: mencacah standing hay dengan panjang kira-kira 5 cm dan dibasahi dengan air secukupnya, mencampurkan dengan 3% gula lontar dan 30% kotoran ayam secara merata, dimasukkan dan dipadatkan dalam kantong plastik, kantong plastik diikat dan dibiarkan terfermentasi selama 1 bulan, hingga diperoleh haylage. Pada tahap biokonversi, urutan kerjanya adalah sebagai berikut: haylage ditumbuk hingga menjadi seperti abon, dikukus selama kurang lebih 1 jam, didinginkan dan ditaburi dan dicampur merata dengan kapang, diinkubasikan sesuai waktu perlakuan masing-masing. Sampel diambil dari tiap unit percobaan sebanyak 0,5 s/d 1 kg, dijemur kering dan digiling menjadi tepung untuk kepentingan analisis nutrisi pakan. Parameter yang diukur adalah: bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dan energi yang diperoleh melalui analisis proksimat. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA), yang kemudian dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT), menurut petunjuk SASTROSUPADI (2000). HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan bahan kering (BK) Bahan kering (BK) adalah persentase bahan pakan selain air. Bahan kering penting karena semua kebutuhan ternak dibuat berdasarkan kandungan bahan kering (SCHROEDER, 2004). Hasil perlakuan biokonversi atau fermentasi dalam penelitian ini walaupun secara statistik menunjukkan kandungan BK yang lebih tinggi, namun tidak mencolok (Tabel 1.) yaitu sampai 9% pada yang tertinggi, pada perlakuan waktu inkubasi 12 hari dengan level inokulum 7,5 g. Meningkatnya kadar bahan kering berkaitan dengan meningkatnya pembentukan atau pertumbuhan kapang dengan meningkatnya level inokulum, yang telah berkontribusi terhadap bertambahnya kandungan bahan kering.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Tabel 1. Pengaruh perlakuan terhadap kandungan bahan kering (%) Waktu inkubasi (hari)
Dosis inokulum (g) 0 0
4
66,10
de
8
66,36
f
f
66,36
5,0
65,71bc
67,35g
7,5
ef
k
66,31
68,51
63,86
i
2,5
12 a
65,88
cd
71,65m
69,34
70,07
l
16
65,60
b
68,94j
67,98
h
67,44g
73,29n
74,42o
p
73,12n
75,15
Nilai rata-rata interaksi yang diikuti superskrip yang sama tidak berbeda pada P > 0,01
melakukan pengukusan dan penumbukan hingga menjadi seperti abon mungkin akan merupakan kendala dalam praktek sehari-hari oleh petani. Perlu dicarikan prosedur dan media fermentasi atau bio-konversi yang lebih sederhana sehingga akan lebih praktis bagi petani di pedesaan untuk melakukannya, sehingga hay rumput kume atau rumput alam lainnya dapat ditingkatkan nilai nutrisinya sebagai pakan ternak. Meningkatkan nilai nutrisi bahan pakan dengan menggunakan teknik fermentasi juga telah dilakukan pada bahan-bahan pakan berupa hasil ikutan pertanian seperti kulit ubi kayu, yang melalui fermentasi menggunakan Sacharomyces spp dapat meningkatkan kandungan protein dari 8,2% menjadi 21,5% dan bahkan dapat menekan kandungan sianida dari 44,6 mg/kg menjadi 6,2 mg/kg (OBOH, 2006). RAIMBAULT et al. (1985), dalam RAIMBAULT (1998) meningkatkan kandungan protein ubikayu dari 2,5% menjadi 16,5% menggunakan Aspergillus niger dan menjadi 14,9% menggunakan Rhizopus sp. IRIANTO (1993) dengan menggunakan Rhizopus oligosporus pada kulit ubikayu dapat meningkatkan kandungan protein kasar dari 4,8% menjadi 22,09%.
Kandungan protein kasar (PK) Protein penting untuk pertumbuhan, produksi, dan fungsi normal pada ternak ruminansia. Protein perlu untuk pembentukan jaringan, menggantikan jaringan-jaringan yang rusak, penambahan masa kerangka, cardiac, memuluskan otot-otot selama pertumbuhan atau pertambahan, produksi enzim yang diperlukan untuk mengkatalisasi hampir semua fungsi fisiologi tubuh, dan pengeluaran substansi ke bagain eksterior dalam bentuk air susu dan rambut (PETERSON, 2004). Kandungan protein kasar termasuk protein sejati dan non-protein nitrogen (NPN). Ternak ruminansia dapat menggunakan kedua macam protein ini (SCHROEDER, 2004). Secara umum, kandungan protein dalam pakan yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia yang mencerna serat adalah sekitar 7%. Konsumsi pakan pada ternak sapi menurun sangat tajam pada pakan dengan kandungan protein di bawah 7% (FUNSTON, 2005). Pada penelitian ini dapat dilihat telah terjadi peningkatan kandungan protein kasar yang boleh dikatakan sangat besar yaitu dari 4,9% menjadi 23,9% (Tabel 2). Namun proses perlakuan yang cukup rumit, yaitu dengan
Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap kandungan protein kasar pakan (%) Dosis inokulum (g) 0 2,5 5,0 7,5
Waktu inkubasi (hari) 0
4
8
12
16
4,15a 4,78c 4,89d 4,86d
4,69b 9,12e 15,77i 14,91h
4,72bc 9,62f 19,77k 18,73j
4,92d 9,81g 23,88o 21,28m
4,87d 9,79g 23,45n 21,19l
Nilai rata-rata interaksi yang diikuti superskrip yang sama tidak berbeda pada P < 0,05
685
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
sebagian berasal dari bahan organik yang terurai dari rumput Kume.
Meningkatnya kandungan protein kasar ini diakibatkan karena pada fase pertumbuhan kapang yang aktif bertumbuh menghasilkan asam amino yang tinggi (GANJAR, 1977). YOUNG dan SCRIMSHAW (1975) mengemukakan bahwa kapang mengandung 5 – 15% N. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya interaksi yang nyata antara waktu inkubasi dengan dosis inokulum, di mana kandungan protein tertinggi (23,88%) dicapai pada perlakukan waktu inkubasi 12 hari dengan dosis inokulum 5 g/kg bahan.
Kandungan serat kasar (SK) Walaupun kandungan serat kasar (SK) atau crude fibre (CF) telah tidak begitu populer untuk diukur, namun pengukurannya dalam analisis nutrisi pakan masih dilakukan karena nilai ini diperlukan untuk menghitung total nutrisi pakan yang dapat dicerna (STANTON dan LAVALLEY, 2006), dan paling tidak, dapat memberikan gambaran tentang kemungkinan daya cerna yang dimiliki oleh pakan yang akan diberikan kepada ternak di mana pada umumnya dengan makin meningkatnya kandungan serat kasar akan makin menurunkan tingkat konsumsi dan daya cerna pakan oleh ternak. Pada penelitian ini, perlakuan kombinasi antata waktu inkubasi 12 hari dan level inokulum 5 g/kg bahan memberikan pakan dengan kandungan serat kasar yang terendah. Ini cukup berarti karena telah terjadi pengurangan kandungan serat kasar sebesar 6,4% dengan dikenakan perlakuan tersebut.
Kandungan lemak kasar (LK) Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan lemak haylage yang difermentasikan dengan Rhizopus oligosporus nyata lebih tinggi pada kombinasi perlakuan antara waktu inkubasi 12 hari dengan level inokulum 7,5 g/kg rumput Kume. Meningkatnya kandungan lemak kasar pada penelitian ini kemungkinan akibat tambahan kandungan lemak yang berasal dari tubuh kapang (DWIDJOSEPUTRO, 1987) serta mungkin
Tabel 3. Pengaruh perlakuan terhadap kandungan lemak kasar pakan (%) Waktu inkubasi (hari)
Dosis inokulum (g) 0 0 2,5
4 a
2,13 2,15
8
2,15
b
b
2,17
12
2,18
c
d
2,25
l
g
5,0
f
m
2,23
2,45
2,60
7,5
2,21e
2,39j
2,42k
16
2,15
b
2,29h
2,68
n
2,35i
2,90
p
2,87o
3,14r
2,95q
Nilai rata-rata interaksi yang diikuti dengan superskrip yang sama tidak berbeda pada P < 0,05 Tabel 4. Pengaruh perlakuan terhadap kandungan serat kasar pakan (%) Waktu inkubasi (hari)
Dosis inokulum (g) 0
4
8
12
16
0
31,67o
30,08n
27,69l
26,49ij
26,52j
2,5
29,48m
27,00k
24,15f
22,78c
23,08d
5,0
26,41
ij
g
l
a
20,01
21,23b
7,5
26,40ij
20,48a
21,25b
25,29
23,37
25,48h
23,16d
Nilai rata-rata interaksi yang diikuti dengan superskrip yang sama tidak berbeda pada P < 0,05
686
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Menurunnya kandungan serat kasar pada kombinasi perlakuan waktu inkubasi dan level inokulum diduga akibat adanya produksi ensim yang dihasilkan oleh Rhizopus oligosporus yang mampu merombak serat kasar yang ada. Kandungan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) BETN diharapkan merupakan manifestasi daripada kandungan karbohidarat yang dapat larut, sebaliknya serat kasar adalah menggambarkan tentang karbohidrat yang tidak dapat larut. Dengan meningkatnya level inokulan terlihat makin menurunnya kandungan BETN, ini kemungkinan karena penggunaan karbohidrat oleh kapang dalam pertumbuhannya, yang ternyata telah mampu meningkatkan kandungan protein kasar.
Kandungan energi Kandungan energi suatu bahan pakan diukur dari jumlah panas yang dihasilkan oleh suatu bahan pakan yang teroksidasi seluruhnya dalam bomb calorimeter. Nilai ini sebenarnya tidak begitu penting, karena jumlah energi atau panas yang dapat dihasilkan oleh sesuatu bahan belumlah mencerminkan nilai nutrisi dari bahan tersebut. Misalnya nilai energi yang terdapat dalam biji gandum sama dengan nilai energi yang terdapat dalam jeraminya (ALBERTA AG-INFO, 2006). Namun nilai ini tentunya akan penting jika telah disertai dengan nilai nutrisi lainnya, seperti protein kasar. Menurunnya kandungan energi dengan meningkatnya waktu inkubasi pada penelitian ini secara logik dapat dikatakan akibat pemanfaatan energi oleh kapang untuk pertumbuhannya, yang telah mampu meningkatkan secara signifikan kandungan protein kasar.
Tabel 5. Pengaruh perlakuan terhadap kandungan BETN pakan (%) Waktu inkubasi (hari)
Dosis inokulum (g) 0 0 2,5
4
Rata-rata
8
12
16
50,29h
51,50j
53,27l
54,03m
53,98m
52,62
jk
g
k
i
51,34i
51,13
b
a
42,52
51,65
n
49,73
e
51,73
c
51,20
5,0
54,50
40,73
37,69
7,5
54,55n
43,84f
42,13d
39,45b
39,43b
43,88
Rata-rata
52,75
47,08
46,97
45,59
45,29
47,54
43,26
36,40
Nilai rata-rata interaksi yang diikuti dengan superskrip yang sama tidak berbeda pada P<0,05
Tabel 6. Pengaruh perlakuan terhadap kandungan energi pakan (kkal/kg) Waktu inkubasi (hari)
Dosis inokulum (g) 0 0
4
8
Rata-rata 12
16
3820g
3782d
3784d
3849i
3834h
3814
ef
e
a
e
3706a
3761
2,5
3806
3799
3700
5,0
3822gh
3736b
3802e
3818fg
3741b
3784
7,5
e
3805
c
3765
de
a
3782
d
3776
Rata-rata
3814
3771
3792
3766
3782
3792
3770
3795 3705
Nilai rata-rata interaksi yang diikuti dengan superskrip yang sama tidak berbeda pada P < 0,05
687
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlakuan biokonversi (cara fermentasi) dengan menggunakan Rhizopus oligosporus terhadap haylage rumput Kume (Sorghum timorense) dapat meningkatkan nilai protein kasar kurang lebih sebesar 5 kali lipat dari nilai protein kasar ketika dalam bentuk haylage, yaitu pada kombinasi perlakuan inokulan 5 – 7,5 g dengan masa inkubasi selama 12 – 16 hari (ada interaksi yang sangat nyata, P = 0,01). 2. Memperhatikan waktu inkubasi dan level inokulum yang digunakan, maka dapat dikatakan atau disarankan bahwa menggunakan waktu inkubasi 12 hari dengan level inokulum 5 g sudah memadai untuk meningkatkan nilai nutrisi haylage rumput Kume (Sorghum timorense). Namun prosedur kerja yang rumit (pengukusan, penghancuran menjadi seperti abon) untuk mendapatkan haylage rumput Kume dengan biokonversi menggunakan Rhizopus oligosporus ini akan menyulitkan untuk adopsi di tingkat petani, tetepi ada harapan bahwa penggunaan inokulan untuk meningkatkan nilai nutrisi standing hay rumput Kume dapat dilakukan. DAFTAR PUSTAKA ALBERTA AG INF. 2006. Know your feed terms. Agri-Facts, Practical Information for Altberta’s Agriculture Industry. Agdex 400/60-2. DWIDJOSEPUTRO, D. 1987. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan, Surabaya. FUNSTON, R. 2005. Nutrition and reproduction interactions. Proc. Applied Reproductive Strategies in Beef Cattle, October 27 – 28, 2005, Reno, Nevada. GANJAR, I. 1977. Fermentasi biji Mucana bruriens dc. Pengaruhnya terhadap Kualitas Protein. Disertasi. Jurusan Biologi; Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Pengetahuan Alam. ITB, Bandung.
688
IRIANTO, D. 1993. Pengaruh Tingkat Hasil Fermentasi Campuran Kulit Ubi Singkong, Urea dan Mineral dalam Ransum terhadap Efisiensi Penggunaan Protein pada Broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. NULIK, J. dan A. BAMUALIM. 1998. Pakan Ternak Ruminansia Besar di Nusa Tenggara Timur. Kerjasama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Naibonat dan Eastern Island Veterinary Project. OBOH, G. 2006. Nutrient enrichment of cassava peels using a mixed culture of Saccharomyces cerevisae and Lactobacillus spp solid media fermentation techniques. Electronic J. Biotechnol. 9(1) January 2006. Pontificia Universidad Católica de Valparaíso – Chile. PETERSON, E. 2004. Strategie for Improving Nitrogen Utiliztion in Tropical Ruminants: A Comparison of Tropical Parameters and Limitations with Data from Developed Countries in an Attempt to Improve Nitrogen Utilization Using the Cornell Net Carbohydrate and Protein System. ANSC 400. RAIMBAULT, M. 1998. General and microbial aspects of solid substrate fermentation. EJB Electronic J. Biotechnol. 1(3) Issue of August 15, 1998 (http://www.ejb.org). SASTROSUPADI, A. 2000. Rancangan Percobaan Praktis dalam Bidang Pertanian. Kanisius, Yogyakarta. SCHROEDER, J.W. 2004. Forage nutrition for ruminants. Quality Forage AS-1250. North Dakota State University Extension Service, Fargo, North Dakota 58105. STANTON, T.L. and S.B. LEVALEY. 2006. Feed composition for cattle and sheep. Colorado State University Cooperative Extension, No. 1.615. SUPRIYADI. 1995. Pengaruh tingkat penggunaan hasil ubikayu oleh jamur Aspergillus niger dalam ransum terhadap performans ayam pedaging periode starter. Skripsi, Fakultas Peternakan Uiversitas Padjadjaran, Sumedang. YOUNG, V.R. and N.S. SCRIMSHAW. 1975. Clinical Studies on Natural Value of Single Cell Protein. In: Single Cell Protein II. TANNEBAUM, S.R. and D.I.C. WANG. 1975. MIT Press Cambridge Massachusetts, London.