MENINGKATKAN KEDISIPLINAN DAN SIKAP KOOPERATIF MELALUI MODEL PEMBELAJARAN SENTRA BERMAIN PERAN ANAK KELOMPOK A TK PERTIWI TELADAN SURABAYA Asri Prasetyaningsih
[email protected] Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya
Abstract: This research aims to describe (1) an increasei in discipline through learning model centers play a role discipline in A group of kindergarten Pertiwi Teladan of Surabaya. (2) an increase in cooperatrive attitude through learning model centers play a role in A group of kindergarten Pertiwi Teladan of Surabaya. (3) an increase in discipline and attitude cooperatif through learning model centers play a role in A group of Kindergarten Pertiwi Teladan of Surabaya. This research is a classroom action research (PTK) carried out in two cycles. The technique of collecting data using interviews observation and documentation, research instruments consisted of observations of the child's activity sheets and sheets of observations of teacher activity. The collection of data is analyzed and processed to determine the steps necessaryin the next cycle.The results obtained in the comparative of success is discipline and cooperative attitude A group of children in inter-cycle analysis is the calculation of the average number in the first cycle at 5.9 while the second cycle increased to 7,01sedangkan then calculated an overall average of the first cycle reaching 2.95 and 3.50 second cycle. Based on the results of this study concluded that the implementation of an increase in discipline and cooperative attitude A group of kindergarten children Pertiwi Teladan of Surabaya by applying the learning model centers play a role in the second cycle also increased first cycle, this is due to the teachers when setting up the children's play activities aimed at improving discipline and attitude A group of kindergarten children Pertiwi Teladan visible on the second cycle results that exceed the specified targets businesses that teachers pay more attention and emphasize the intonation of the sentence explicitly and serious facial expression with sanctions and rewards to the child, so the child is more disciplined, focused and easy have a cooperative attitude Keywords: centers play a role, discipline, cooperation
SELING: Jurnal Program Studi PGRA Volume 1, Nomor 2, Juli 2015
Asri Prasetyaningsih Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendiskripsikan peningkatan kedisiplinan melalui model pembelajaran sentra bermain anak kelompok A TK Pertiwi Teladan Surabaya. (2) mendiskripsikan peningkatan sikap kooperatif melalui model pelajaran sentra bermain peran anak kelompok A TK Pertiwi Teladan Surabaya. (3) untuk mendiskripsikan peningkatan kedisiplinan dan sikap kooperatif anak kelompok A TK Pertiwi Teladan Surabaya. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) yang dilaksanakan dalam 2 siklus. Tehnik pengumpulan data menggunakan metode wawancara observasi dan dokumentasi, instrumen penelitian terdiri dari lembar pengamatan aktivitas anak dan lembar pengamatan aktivitas guru. Pengumpulan data dianalisis dan diolah untuk menentukan langkah yang perlu ditingkatkan pada siklus berikutnya. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu pada perbandingan keberhasilan kedisiplinan dan sikap kooperatif anak kelompok A padaanalisis antar siklus secara perhitungan jumlah rata-rata di siklus I mencapai 5,9 sementara pada siklus 2 meningkat menjadi 7,01sedangkan dihitung secara keseluruhan maka rata-rata siklus I mencapai 2,95 dan siklus II meningkat menjadi 3,50. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan peningkatan kedisiplinan dan sikap kooperatif anak kelompok A TK Pertiwi Teladan Surabaya dengan menerapkan model pembelajaran sentra bermain peran pada siklus II terlihat meningkat dibandingkan siklus I, hal ini disebabkan guru saat mensetting kegiatan bermain anak yang bertujuan meningkatkan kedisiplinan dan sikap kooperatif anak kelompok A TK Pertiwi Teladan terlihat pada siklus II hasil yang melebihi target yang ditentukan maka usaha guru yaitu lebih memperhatikan intonasi kalimat secara tegas dan ekspresi wajah yang serius dengan memberikan sanksi dan reward kepada anak sehingga anak lebih disiplin, terfokus, dan mudah memiliki sikap kooperatif. Kata Kunci : Sentra Bermain Peran, Kedisiplinan, Sikap Kooperatif
Pendahuluan Masa usia dini adalah momentum awal untuk melakukan upaya pembimbingan secara intensif, sistematik, dan profesional. Usia dini adalah usia yang sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Pada usia ini, dasardasar kemampuan dan kepribadian anak akan terbentuk. Jika pada saat ini anakanak mendapat pendidikan yang benar, maka akan terbentuk dasar-dasar kepribadian dan perilaku yang baik yang akan melekat kuat. Hal ini juga berkaitan dengan periode perkembangan yang tepat dalam mengembangkan dan meningkatkan seluruh kemampuan yang dimiliki anak, bahkan periode ini adalah waktu yang efektif untuk melatih dan membiasakan anak untuk bersikap disiplin dan bersikap kooperatif. Melalui model pembelajaran sentra di TK Pertiwi Teladan anak-anak diharapkan akan mengikuti kegiatan belajar yang bertujuan membangun sikap dan perilaku anak yang baik tentunya suatu pembiasaan yang baik sehingga menjadi 181 SELING: Jurnal Program Studi PGRA
Meningkatkan Kedisiplinan dan Sikap Kooperatif
sebuah kebutuhan anak bukan paksaan atau suatu ancaman bagi anak.. Jika anak sudah terbiasa melakukannya dalam arti anak telah dibiasakan memiliki sikap disiplin dan sikap kooperatif, maka selanjutnya akan memudahkan guru untuk mencapai kegiatan belajar mengajar yang optimal, sehingga hal ini dapat menjadi karakter pembentukan kepribadian anak yang luhur. Pembelajaran sentra bermain peran yang dipilih peneliti dalam mengatasi problem kedisiplinan dan sikap kooperatif ini bertujuan untuk mengeksplor kemampuan anak dan membangun banyak karakter peran yang merupakan salah satu cara anak dapat belajar mengenal diri sendiri dan berusaha memerankan orang lain agar anak terbiasa melakukan sosialisasi dengan teman melalui komunikasi dengan orang lain khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Selain itu di sini kedisiplinan anak juga dituntut agar tidak terjadi perebutan peran yang monoton alat mainan yang hanya disukai anak.
Dengan adanya suatu tujuan luhur yang ingin dicapai oleh TK Pertiwi Teladan ternyata fakta di lapangan menunjukkan bahwa anak yang bermain di sentra bermain peran masih berkutat dengan dunianya sendiri dan lebih asyik dengan perannya sendiri bahkan ada beberapa anak cuek dengan lingkungan sekitarnya. Kurang rasa berbagi dan mempunyai toleransi terhadap teman menunjukkan bahwa kedisiplinan dan sikap kooperatif anak masih banyak yang rendah. Padahal dengan model pembelajaran sentra bermain peran ini diharapkan akan mengubah anak sedikit demi sedikit menjadi anak yang peduli dengan lingkungan sekitar dan orang-orang yang berada di sekitar anak. Anak yang terlihat dengan permasalahan di atas tersebut biasanya muncul secara spontan tanpa skenario sehingga menimbulkan reaksi anak dalam menyelesaikannya atau akan membiarkan masalah tersebut berlalu tanpa ada solusi yang diambil. Padahal guru sudah menerapkan bagaimana anak berbuat baik kepada orang lain dengan berbagi dan kebiasaan berdisiplin dalam mengikuti aturan tata tertib di sekolah sehingga pembiasaan yang berkarakter itu dapat menimbulkan jiwa anak yang mempunyai disiplin yang tinggi dan peduli terhadap sesama.
Kurangnya kedisiplinan dan sikap kooperatif tersebut kondisi kelas kurang terkontrol menyebabkan suasana kelas gaduh dan menjadi kurang kondusif.Hal tersebut disebabkan usia 4-5 tahun anak di kelompok A masalah kedisiplinan dan sikap kooperatif memang dirasa masih rendah mengingat baru pertama kali anak berinteraksi dengan orang lain terutama dengan guru dan teman sebaya.
Perkembangan sosial terhadap kemampuan bekerja sama dengan teman dalam melakukan peran, bergantian dalam menggunakan alat-alat bermain pendukung peran, dan mengembalikan alat-alat bermain pada tempatnya kurang nampak hal tersebut diakibatkan sikap ego yang besar serta kebiasaan di rumah yang hanya bermain sendiri, terkadang hanya ditemani susternya sehingga mereka dengan asyiknya menguasai seluruh mainan yang ada di kelas seperti ketika mereka bermain Volume 1, Nomor 2, Juli 2015
182
Asri Prasetyaningsih
di rumah, sehingga guru harus turun tangan dalam mengubah perilaku yang kurang pada tempatnya. Berdasarkan masalah nyata ini peneliti ingin memecahkan permasalahan yang terjadi didalam kelas dengan tujuan untuk memperbaiki persoalan yang nyata dan praktis.
Kurangnya komunikasi dengan orang tua tentang kebiasaan anak bermain di rumah sendirian dapat dijadikan referensi guru, dan anak yang super aktif selalu mengganggu temannya menyebabkan guru terlalu sibuk mengatur dan memperhatikan setiap detil tingkah anak itu menyebabkan anak-anak yang sudah terbiasa disiplin dan mempunyai sikap kooperatif jadi ikut-ikutan terpengaruh.
Hal seperti ini tidak boleh dibiarkan dan harus segera diatasi, sebab jika permasalahan ini dibiarkan akan berakibat banyak anak-anak yang rajin ikut-ikutan mempunyai perilaku yang tidak baik. Bahkan setelah selesai bermainpun ada beberapa anak yang tidak mau mengambil alat-alat mainan yang ada di bawah meja dan mengembalikan mainan ke tempat semula. Hal tersebut menyebabkan banyak alat-alat mainan berserakan dimana-mana, terinjak-injak oleh guru ataupun anak dan apabila tidak segera diambilmaka akan ikut tersapu oleh pesuruh sekolah yang membersihkan kelas. Ketidakpedulian itu mengakibatkan mainan menjadi sedikit dan tidak lengkap, sehingga kegiatan bermain anak-anak menjadi kurang puas dengan alat mainan yang tidak lengkap kurang sempurna. Sebagai seorang guru sekaligus peneliti menyadari bahwa cara mendidik guru yang seperti ini mengakibatkan mainan banyak yang hilang, pembiasaan perilaku yang buruk menjadi suatu kebiasaan, serta suasana kelas menjadi gaduh dan tidak kondusif, kegiatan belajar mengajar menjadi kacau balau. Perilaku anak yang tidak patuh terhadap aturan main, berbuat sesuka hatinya, mau menang sendiri juga berpengaruh terhadap tujuan pembelajaran yang dibuat oleh guru tidak tercapai dan perilaku anak juga belum berkembang dengan baik dan maksimal. Berdasarkan permasalahan di atas, maka untuk meningkatkan sikap disiplin dan sikap kooperatif anak usia dini, dapat ditempuh melalui pembiasaan yang dilakukan berulang kali. Karena dengan pembiasaan, anak akan terbiasa untuk saling membantu, saling memperhatikan, dan dapat saling memberikan dorongan serta bisa saling mengajak dan memperlihatkan sikap disiplin kepada temannya, sehingga teman yang lain dapat mencontoh dan mengikuti teman untuk bersikap disiplin. Dari uraian di atas, maka peneliti merasa terdorong untuk melakukan penelitian tentang bagaimana carameningkatkan kedisiplinan anak dan sikap kooperatif melalui model pembelajaran sentra bermain peran di kelompok A TK Pertiwi Teladan Surabaya. Menurut Tulus (2004: 97) mengemukakan bahwa disiplin hakikatnya adalah pernyataan sikap mental individu maupun masyarakat yang mencerminkan rasa ketaatan, kepatuhan, yang didukung oleh kesadaran untuk menunaikan tugas dan kewajiban dalam rangka pencapaian tujuan. Selain itu menurut Agus (1987: 122). 183 SELING: Jurnal Program Studi PGRA
Meningkatkan Kedisiplinan dan Sikap Kooperatif
Disiplin belajar adalah prediksi posisi 68 (kecenderungan) suatu sikap mental untuk mematuhi aturan, tata tertib, dan sekaligus mengendalikan diri, menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan yang berasal dari luar sekalipun yang mengekang dan menunjukkan kesadaran akan tanggung jawab terhadap tugas dan kewajiban. Pembiasaan merupakan kegiatan yang dilakukan setiap hari dengan tidak terbebani hal atau kegiatan yang anak lakukan.
Ervina, (2009:16) menyampaikan bahwa pembiasaan pada usia pra sekolah salah satu pendidikan yang penting sekali bagi kecakapan seseorang (anak), sebab pada usia dini , anak belum menyadari apa yang dikatakan dan dilakukannya, baik maupun buruk. Anak juga belum mempunyai kwajiban yang harus dikerjakan seperti orang dewasa pada umumnya, tetapi anak sudah mempunyai hak, seperti hak dipelihara, hak mendapatkan perlindungan dan hak mendapatkan pendidikan.
John Dewey (dalam Widarmi D Wijana, 2009) salah satu tokoh pendidikan menyatakan bahwa pendidikan itu penting karena beberapa alasan sebagai berikut: (1). Pendidikan merupakan kebutuhan hidup. (2). Pendidikan sebagai pertumbuhan. (3). Pendidikan sebagai fungsi sosial. Pendidikan karakter bangsa dan kualitas sumber daya manusia ditentukan oleh bagaimana anak dapat membantu meletakkan dasar kearah perkembangan sikap, pengetahuan, daya cipta dan ketrampilan yang diperlukan anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Selain itu stimulasi yang diberikan pada anak usia dini akan mempengaruhi laju pertumbuhan dan perkembangan anak serta sikap dan perilaku sepanjang rentang kehidupannya. Usia dini sering disebut “Usia Emas” (The Golden Age) yang hanya datang sekali dan tidak dapat diulang lagi sehingga sangat menentukan untuk pengembangan kualitas manusia selanjutnya. Di samping itu Golden Age adalah masa keemasan perkembangan anak usia dini dimana kemampuan otak anak merekam semua informasi yang didapat dari lingkungan sekitar sangat kuat.
Usia emas ini sangat penting untuk meletakkan dasar-dasar kepribadian, yang akan memberi warna ketika seorang anak kelak menjadi dewasa. Pada masa ini merupakan awal terbentuknya dasar kemampuanpenginderaan, kemampuan berfikir, ketrampilan serta pertumbuhan moral dan perilaku. Sehingga dapat dikatakan bahwa sikap, kebiasaan, dan perilaku yang dibentuk selama tahun-tahun awal anak sangat menentukan seberapa jauh seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam kehidupan ketika anak dewasa kelak. Pertumbuhan moral dan perilaku anak yang baik ini bisa dipupuk dan dibina sejak usia dini dengan pembiasaan dan dilakukan secara berulang-ulang sehingga apa yang dilakukan anak itu menjadi suatu kebiasaan dan kwajiban yang harus dilakukan dengan memberikan pengertian bahwa kebiasaan yang baik itu akan menjadi modal dasar dalam membina hubungan baik dengan orang lain juga demi masa depan anak apabila kelak anak menjadi seorang pemimpin dan terjun sebagai anggota masyarakat. Volume 1, Nomor 2, Juli 2015
184
Asri Prasetyaningsih
Kedisiplinan termasuk kemampuan dalam aspek afektif yang berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung jawab, moral dan nilai-nilai, kerjasama, disiplin, komitmen, jujur, kesopanan dan sebagainya dalam penekanannya masih kurang diperhatikan implementasinya dalam pengembangan pembiasaan perilaku. Di dalam pembiasaan perilaku, Thorndike (1874-1949) menyampaikan bahwa pengembangan pembiasaan perilaku disiplin ini faktor terpenting bagi anak dalam kehidupan manusia di masa mendatang yaitu mencetak pemimpin-pemimpin yang handal secara intelektual dalam sikap, moral, nilai, emosi, dan perilaku positif yang tertanam kuat dan tercermin dalam gerak dan tindakannya, dalam mengatur roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Sesuai dengan teori yang dikemukakan Lightart (dalam Semiawan, 2008:23), bahwa pendidikan dan pembelajaran ditujukan untuk menghasilkan budi pekerti yang luhur, bukannya hanya cerdas otaknya secara intelektual tetapi juga cerdas dalam moral, bertindak dan berperilaku sehingga pembelajaran dan kegiatan pengembangan pembiasaan perilaku di TK memegang peranan penting dalam membentuk kemampuan dasar anak. Sikap kerja sama atau kooperatif adalah tingkat individu dalam melihat dirinya sendiri sebagai bagian dari anggota masyarakat. Individu yang bersifat kooperatif ditunjukkan dengan saling empati, toleransi, penuh kasih sayang, saling mendukung/supportif serta mempunyai prinsip yang kuat (Videbeck, 2008). Hubungan kerja sama akan terasa bermakna jika satu sama lainnya mempunyai kesadaran yang tinggi bahwa sesuatu yang dikerjakan bersama-sama akan menghasilkan sesuatu yang nilainya sangat berharga. Satu tujuan visi dan misi akan tercapai apabila masing-masing individu berusaha keras untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut tanpa adanya persatuan dan kesatuan mustahil hal itu akan terlaksana dan tercapai dengan baik. Hal inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Meningkatkan Kedisiplinan dan Sikap Kooperatif melalui Model Pembelajaran Sentra Bermain Peran pada anak kelompok A di TK Pertiwi Teladan Surabaya. Landasan Teori
Model Pembelajaran di TK Model pembelajaran adalah suatu desain atau rancangan yang menggambarkan proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan yang memungkinkan anak berinteraksi dalam pembelajaran, sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri anak. Adapun komponen model pembelajaran meliputi; konsep, tujuan pembelajaran, materi/tema, langkah-langkah/prosedur, metode, alat/sumber belajar, dan tehnik evaluasi. 185 SELING: Jurnal Program Studi PGRA
Meningkatkan Kedisiplinan dan Sikap Kooperatif
Pemilihan model pembelajaran di TK didasarkan pada silabus yang dikembangkan menjadi perencanaan semester, Rencana Kegiatan Mingguan (RKM), Rencana Kegiatan Harian (RKH).Dengan demikian model pembelajaran merupakan gambaran konkrit yang dilakukan pendidik dan peserta didik sesuai dengan satuan kegiatan harian. Ada beberapa model pembelajaran yang dilaksanakan di Taman Kanak-kanak. Diantaranya adalah Model Pembelajaran Kelompok dengan Kegiatan Pengaman, Model Pembelajaran Berdasarkan Sudut-sudut Kegiatan, Model Pembelajaran Area, dan Model Pembelajaran Berdasarkan Sentra. Model-model pembelajaran tersebut pada umumnya menggunakan langkah-langkah yang relatif sama dalam sehari, yaitu; kegiatan pendahuluan/awal, kegiatan inti, istirahat/makan, dan kegiatan akhir/penutup.
Kegiatan pendahuluan adalah kegiatan awal dalam pembelajaran yang ditujukan untuk memfokuskan perhatian, membangkitkan motivasi sehingga anak siap untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Kegiatan inti merupakan proses untuk mencapai kompetensi dasar yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan partisipatif. Kegiatan ini dilakukan melalui proses eksplorasi, eksperimen, elaborasi dan konfirmasi. Kegiatan penutup adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran. Bentuk kegiatannya berupa menyimpulkan, umpan balik, dan tindak lanjut. Sentra Bermain Peran
Sentra peran merupakan suatu kegiatan bermain anak dengan menggunakan permainan simbolik/khayalan/main fantasi/main pura-pura. Melalui main peran anak-anak belajar berkonsentrasi, melatih imajinasi, mencoba ide-ide baru, melatih perilaku orang dewasa, dan mengembangkan rasa kendali atau dunianya sendiri. Menurut teori Ericson (1902-1994), perkembangan sosial-emosional masih dalam tahapan otonomi versus rasa malu dan ragu. Kepercayaan pada kemampuannya akan menjadi infrastruktur yang akan mendukung perkembangannya pada ketrampilan-ketrampilan yang lebih tinggi selama masa usia dini. Kemampuan anak-anak usia ini untuk menghadirkan dunianya melalui bahasa dan ekspresi bermain peran atau main simbolik berkembang setiap hari. Kemampuan bermain peran ini akan memudahkan anak menguasai konsep-konsep keaksaraan. Pada masa ini anak akan selalu bergerak sepanjang hari tanpa mengenal lelah, demikian pula densitas atau ragam pengalaman main dan benda/alat main yang menarik tersedia sehingga meningkatkan keingintahuan setiap anak untuk melakukan kegiatan main tersebut. Pengertian bermain peran menurut Mulyasa (2012:173) adalah melalui bermain peran, anak-anak mencoba mengeksplorasi hubungan antar manusia dengan Volume 1, Nomor 2, Juli 2015
186
Asri Prasetyaningsih
cara memperagakan dan mendiskusikan sehingga secara bersama-sama dapat mengeksplorasi perasaan, sikap, nilai, dan berbagai strategi pemecahan masalah
Sementara Sufiyati (dalam Gunarti dkk, 2008:10-11) berpendapat bahwa metode bermain peran adalah permainan yang menirukan tokoh –tokoh atau bendabenda sekitar anak sehingga dapat menguntungkan daya khayal (imagination) dalam penghayatan terhadap bahan kegiatan yang dilaksanakan. Bermain peran juga berarti menjalankan fungsi sebagai orang dimainkannya, misalnya berperan sebagai Polisi, Karyawan Bank, Nenek tua renta dan. Dengan kata lain bermain peran adalah mendramatisasikan cara tingkah laku di dalam hubungan sosial. Adapun langkah-langkah metode bermain peran menurut Waterwoth (dalam Werdani, 2010:25 dan Utami, 2007) adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasikan kegiatan Peneliti menetapkan atau menentukan kegiatan anak sesuai dengan tema dan sub tema pada saat penelitian berlangsung yaitu menggunakan siklus 1 dan siklus 2 2. Memilih fokus perhatian Peneliti membuat rencana bermain/kegiatan sesuai tema dan sub tema yang dibuat berdasarkan kegiatan sehari-hari yang dituangkan dalam Rencana Kegiatan Harian (RKH) 3. Penunjukan pemain/peran Guru memberikan kesempatan kepada anak untuk memerankan tokoh-tokoh yang ada dalam isi cerita pada saat anak bermain, dan guru menawarkan berbagai peran yang akan dimainkan anak 4. Menyiapkan pelaku Guru menyiapkan anak dengan memberikan motivasi dan pujian sebelum dan sesudah melakukan peran-perannya. Drama peran atau bermain peran anak-anak mencerminkan peran-peran sosial dan hubungan. Sebagai contoh anak-anak tahu dari pengalamannya sendiri apa yang terjadi dalam sebuah keluarga, siapa yang menyiapkan makanan/mencuci pakaian dan seterusnya. Main peran terdiri dari 2 jenis yaitu: a. Main Peran Makro disebut juga Main Besar Seorang anak dikatakan sedang main peran makro ia berperan menjadi seseorang dan sesuatu yang lain, misalnya anak berperan menjadi guru, nelayan, pelayan toko, kupu-kupu, atau harimau. Saat anak berperan menjadi seseorang atau sesuatu yang lain, maka konsep tentang tokoh yang akan diperankannya direkam dalam otaknya dan kemudian anak menuangkannya dalam perilaku seperti yang dipikirkannya. Alat-alat main peran makro pada umunya berukuran besar, seperti macam-macam pakaian yang menunjukkan profesi misalnya pakaian dokter atau polisi, dapur dan peralatannya, peralatan makan, atau seperangkat meja 187 SELING: Jurnal Program Studi PGRA
Meningkatkan Kedisiplinan dan Sikap Kooperatif
dan kursi.Namun banyak juga dijumpai alat-alat main peran makro yang berukuran kecil. b. Main Peran Mikro Main Peran Mikro disebut juga main peran kecil. Seorang anak dikatakan sedang main peran mikro apabila peran yang ada dipikirannya diwakilkan pada benda atau sesuatu yang lain, misalnya anak mewakilkan peran Harimau yang ada dipikirannya pada boneka Harimau, sehingga saat ia main peran mikro maka boneka Harimau tersebut digerak-gerakkan dan anak akan mengeluarkan suara-suara Harimau. Dalam main peran mikro anak bertindak seperti seorang dalang yang mengatur peran boneka tangan. Pada umumnya alat-alat dan bahan main mikro berukuran kecil/mini, misalnya rumah boneka dan peralatannya, benda-benda binatang dan kandangnya, panggung boneka dan segala pernak-perniknya
Penataan Lingkungan untuk 4 Sentra Bermain Sebelum melaksanakan permainan di dalam sentra seyogyanya guru menata lingkungan lebih dahulu ketika anak-anak breaking time atau istirahat. Anak harus mempunyai waktu, alat yang tepat untuk mendukung main mereka dan pijakan dari guru diperlukan. Atau dengan kata lain, pendidik dalam lingkungan anak usia dini harus menyediakan tiga jenis main (sensorimotor, peran dan pembangunan), pengalaman main yang mempunyai banyak waktu (intensity) dan banyak macam kegiatan main (density) Banyak waktu bermain adalah sejumlah waktu yang dibutuhkan anak untuk mendapatkan pengalaman berpindah main melalui tahap perkembangan kognisi, sosial, dan emosi, dalam tiga jenis main sepanjang hari setiap tahun. Contoh anakanak harus memiliki pengalaman harian yang memperbolehkan mereka untuk berinteraksi dengan sifat cair yang menyediakan kesempatan untuk menggambar, melukis, dan ketrampilan sebelum menulis. Bahan-bahan yang perlu disediakan untuk bahan sifat cair ini, misalnya kertas dengan struktur, ukuran, warna yang berbeda, spidol, krayon, papan lukis dengan kertas ukuran besar dan kecil, serta kuas-kuas. Dapat juga disediakan main pembangunan dengan bahan berstruktur, seperti balok, lego dan bongkar pasang. Selain itu anak juga perlu mendapatkan untuk bermain peran dan sensorimotor melalui berbagai media yang lain setiap hari. Banyaknya macam kegiatan bermain adalah kegiatan yang berbeda yang disediakan orang dewasa di lingkungan anak usia dini. Kegiatan-kegiatan ini harus memperkaya kesempatan pengalaman anak melalui tiga jenis main dan dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhan perkembangan anak. Contoh anak dapat menggunakan cat di papan lukis, nampan cat jari, atau mengecat dengan kuas kecil di atas meja untuk melatih ketrampilan bahan sifat cair. Kebutuhan sensorimotor anak akan terpenuhi apabila pendidik menata lingkungan main dangan memperhatikan kriteria sebagai berikut: (1) Anak-anak disediakan kesempatan untuk berinteraksi dengan bermacam-macam bahan dan alat Volume 1, Nomor 2, Juli 2015
188
Asri Prasetyaningsih
permainan baik di dalam maupun di luar ruangan, (2) Anak-anak diberikan kesempatan utuk bergerak secara bebas, di halaman, di lantai, meja, atau di kursi, (3) Lingkungan baik di dalam maupun di luar ruangan menyediakan kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak tekstur dan berbagai jenis bahan bermain yang berbeda yang mendukukung setiap kebutuhan perkembangan anak
Kedisiplinan pada Anak Usia Dini Pendidikan yang baik selalu dimulai sejak usia dini dan berlangsung sepanjang hayat (longlife education). Dalam sebuah hadits Rasulullah yang diriwayatkan Ibn ‘Abdil-Barr, dengan tegas dititahkan“tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat”. Dalam kaitan ini, seorang ahli teori perkembangan Erick Erickson (1902) sependapat bahwa masa usia dini/early childhood (0-6 tahun) merupakan the golden age (usia emas) yang hanya datang sekali dan tidak dapat diulang lagi. Ini berarti, pendidikan anak usia dini sangat esensial bagi perkembangan anak selanjutnya. Menurut Padmonodewo (2003), kualitas masa awal anak(early chilhood), termasuk masa anak usia dini, merupakan cermin kualitas bangsa di masa yang akan datang. Tentunya hal ini membutuhkan bimbingan, arahan dan perhatian khusus dari guru dan orangtua kepada anak agar mereka dapat berkembang secara optimal sejak dini.
Sikap Kooperatif Perkembangan kerja sama merupakan kemampuan mengenal emosi diri antara orang lain, mengelola emosi, memotivasi diri, dan mengenali kemampuan orang lain. Pengembangan kerja sama yang baik bagi anak memudahkan baginya mengatur suasana hati, menghilangkan kecemasan, rasa bersalah, menekan amarah yang mengikuti dengan menggunakan kecerdasan berfikir. Pengembangan kerja sama yang baik bagi anak memungkinkan terciptanya hubungan yang berlangsung efektif antara guru dengan anak , dan dapat mengantar dirinya untuk memiliki aktivitas belajar dan komunikasi antara seseorang dengan orang lain. Bagi anak yang memiliki pengembangan kerja sama yang memadai diyakini akan mampu menyesuaikan lingkungan belajar dalam membangun iklim yang kondusif, sehingga menimbulkan semangat dan motivasi belajar. Untuk itu kerja sama merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh setiap anak guna menjalin hubungan kerjasama yang baik dan harmonis dengan guru dan sesama anak di kelas sehingga tujuan pembelajaran dikelas dapat tercapai. Dalam perkembangan sosial, sikap kooperatif merupakan salah satu aspek yang dikembangkan karena salah satu fitrah manusia sebagai mahluk sosial. Semakin modern seseorang maka ia akan semakin banyak bekerja sama dengan orang lain, bahkan tanpa batas oleh ruang dan waktu yang tentunya mempergunakan alat-alat modern misalnya menggunakan internet dengan segala ragam informasi. Adapun aspek-aspek dalam kerja sama (Pusat Pendidikan AUD Lembaga Penelitian UNY, 189 SELING: Jurnal Program Studi PGRA
Meningkatkan Kedisiplinan dan Sikap Kooperatif
2009:34) adalah: (1) Membiasakan anak bergaul/berteman dengan teman sebaya, (2) Membiasakan anak untuk menghargai pendapat atau kemampuan orang lain, (3) Menyadari bahwa kerja sama atau tolong menolong itu sangat penting dan menyenangkan, (4) Mengembangkan rasa empati pada diri anak Wijaya, (2001:66-67) menyatakan bahwa "Seorang anak yang memiliki kemampuan kerja sama yang dirincikan dengan perilaku yaitu memiliki rasa keterbukaan, penuh hormat, kemantapan hubungan dengan orang lain, terutama antara guru dan sesama anak lain, memiliki kemandirian dan kepercayaan diri, dan mampu berdiskusi dengan orang lain, menghargai perbedaan pendapat, memiliki kepuasan terhadap aktivitas belajar." Sebaliknya anak yang kurang memiliki kerja sama yang baik dalam aktivitas belajar dirincikan antara lain kurang menerima pendapat dari orang lain, sering memotong pembicaraan orang, kurang sanggup mengontrol atau mengendalikan diri dan tempramennya sekehendak hati. Metode Penelitian
Pendekatan yang sesuai dengan penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif salah satu cirinya yaitu semua data yang disajikan merupakan ungkapan gejala secara keseluruhan sesuai dengan pokok permasalahan yang berlatar alami dengan peneliti sebagai pemeran utama serta lebih menonjolkan proses dan makna dari pada hasil. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK dipilih dari proses pembelajaran di kelas sebagai upaya untuk memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelas. PTK berfokus pada kelas atau pada proses belajar yang terjadi di kelas, bukan pada input kelas (silabus, materi, dll) ataupun output (hasil belajar). Tujuan utama PTK adalah untuk memecahkan permasalahan yang nyata yang terjadi didalam kelas sekaligus mencari jawaban ilmiah mengapa hal tersebut dapat dipecahkan dengan tindakan yang dilakukan. Pada intinya PTK bertujuan untuk memperbaiki berbagai persoalan yang nyata dan praktik dalam meningkatkan mutu pembelajaran yang dialami langsung dalam interaksi antara guru dengan anak yang sedang belajar, kata Suharjono (2008) Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas atau lazimnya dikenal dengan Classroom Action Research {CAR).Dari namanya sudah menunjukkan isi yang terkandung didalamnya, yaitu sebuah kegiatan penelitian yang dilakukan di kelas. Metode ini dipilih berdasarkan atas pertimbangan bahwa: (1) analisis masalah tujuan penelitian menuntut sejumlah informasi dan tindak lanjut berdasarkan “daur ulang “, (2) menuntut kajian dan tindakan secara reflektif, kolaboratif, dan partisipatif berdasarkan situasi alamiah yang terjadi dalam pelaksanaan pembelajaran. Dikarenakan ada tiga kata yang membentuk pengertian tersebut, maka ada tiga pengertian menurut Suharsimi, (dalam Suhardjono, 2008) yang menjelaskan PTK Volume 1, Nomor 2, Juli 2015
190
Asri Prasetyaningsih
melalui paparan gabungan definisi yaitu Penelitian, Tindakan, dan dikatagorikan sebagai berikut
Kelas
1. Penelitian adalah menunjukkan pada suatu kegiatan mencermati suatu objek dengan menggunakan cara dan aturan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau informasi yang bermanfaat dalam meningkatkan mutu suatu hal yang menarik minat dan pertimbangan peneliti.
2. Tindakan adalah menunjukkan pada sesuatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu.Dalam penelitian berbentuk rangkaian siklus kegiatan untuk anak. 3. Kelas adalah dalam hal ini tidak terikat pada pengertian ruang kelas, tetapi dalam pengertian yang lebih spesifik. Seperti yang sudah lama dikenal dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang dimaksud dengan istilah kelas adalah sekelompok anak yang dalam waktu yang sama, menerima pelajaran yang sama dari guru yang sama pula
Bagan I Siklus Penelitian Tindakan Kelas Kemmis dan Mc Taggart (dalam Arikunto, 2010:137) Dalam penelitian ini, peneliti juga menggunakan pendekatan kuantitatif, metode kuantitatif ini adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa angka- angka atau nilai dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian tindakan kelas adalah salah satu penyelidikan atau kajian secara sistematis dan terencana untuk memperbaiki pembelajaran dengan jalan mengadakan perbaikan atau perubahan dan mempelajari akibat yang ditimbulkannya. Guru dapat melakukan penelitian terhadap anak dilihat dari aspek interaksinya dalam proses pembelajaran. Tujuan utama penelitian tindakan kelas adalah memperbaiki dan meningkatkan layanan profesional guru dalam menangani proses belajar mengajar dan tujuan ini 191 SELING: Jurnal Program Studi PGRA
Meningkatkan Kedisiplinan dan Sikap Kooperatif
dapat tercapai dengan melakukan tindakan alternatif dalam memecahkan berbagai persoalan pembelajaran di kelas menurut pendapat Sudikin (2002:45). Alat pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini antara lain catatan guru, anak, wawancara dan berbagai dokumen yang terkait dengan anak. Data penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi. 1. Observasi
Sutrisno Hadi (dalam Sugiyono, 2008:145) mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan.Tehnik ini menuntut adanya pengamatan yang baik secara langsung terhadap sampel penelitian.Selain itu dilakukan observasi partisipan dan non partisipan berdasar tolak ukur yang sudah dibuat.
2. Wawancara
Arikunto (2002:155) berpendapat wawancara yang sering juga disebut dengan wawancara atau kuesioner lisan adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Wawancara digunakan oleh peneliti untuk menilai keadaan seseorang, misalnya untuk mencari data tentang variabel latar belakang murid, pendidikan, dan sikap terhadap sesuatu.
3. Dokumentasi
Sugiyono (2012:240) berpendapat dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu, bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen digunakan sebagai pendukung hasil penelitan dari observasi. Instrumen yang digunakan adalah: a. Rencana kegiatan mingguan (RKM), Rencana kegiatan harian(RKH) dan langkah-langkah pembelajaran untuk memperoleh datakeberhasilan siklus penelitian yang dilakukan. b. Foto aktifitas anak pada Sentra Bermain Peran dalam prosespembelajaran utuk mendapatkan data tentang pembelajaran dalamproses penelitian.
Instrumen Penelitian yang digunakan menurut Arikunto (2007: 160) bahwa instrumen adalah alat/ fasilitas yang digunakan peneliti dalam pengumpulan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga mudah dianalisis. Variasi instrumen penelitian adalah angket, checklist atau daftar centang pedoman wawancara, dan pedoman pengamatan observasi. Menurut Yatim Riyanto (2001: 96) Observasi langsung mengadakan pengamatan secara langsung (tanpa alat) terhadap subyek subyek yang diselidiki, Volume 1, Nomor 2, Juli 2015
192
Asri Prasetyaningsih
baik pengamatan itu dilakukan dalam situasi sebenarnya maupun dilakukan dalam situasi buatan yang khusus diadakan. Peneliti menggunakan instrumen penelitian berupa pedoman observasi. Pedoman observasi digunakan pada saat observasi awal dan akhir untuk mengetahui tingkat kedisplinan dan sikap kooperatif pada kelompok A. Pada pedoman observasi tersebut terdapat Rating scale 1 sampai dengan 4 untuk menilai kemampuan setiap anak. Rating scale merupakan skala yang digunakan untuk mengumpulkan data mentah berupa angka yang kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif. (Sugiyono, 2012:97) Skala 1-4 pada pedoman observasi tersebut ditulis dengan tanda bintang 1(*), bintang 2(**), bintang 3(***), dan bintang 4(****). Dalam pendidikan anak usia dini, penggunaan tanda bintang merupakan simbol untuk menunjukkan tingkat pencapaian perkembangan anak sebagai catatan guru (Depdiknas, 2010:11). Penggunaan pedoman observasi tersebut mengacu pada rubrik penilaian yang telah ditetapkan. Instrumen pertama yang digunakan adalah alat observasi yang digunakan untuk mengukur variabel kedisiplinan dan sikap kooperatif anak dengan tingkat capaian perkembangan yang sesuai dengan Peraturan Menteri No 58 tahun 2009, yang disajikan dalam bentuk lembar observasi. Adapun lembar Instrumen penelitian sebagai berikut: a.
b. c.
Lembar pengamatan kemampuan guru dalam mengawasi dan menilai kedisiplinan anak dalam mentaati aturan main. Lembar pengamatan tersebut berisi hal-hal yang menyangkut kedisiplinan dan sikap kooperatif pada tahap pijakan sebelum main, pada saat main dan pijakan setelah main.tidyup yang harus dilakukan guru selama 20 menit pembelajaran berlangsung. Tahap Pengamatan.
Pengamat (teman sejawat) melakukan pengamatan terhadap aktivitas anak dan pelaksanaan pengelolaan pembelajaran oleh guru selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Tahap refleksi
Pada tahap ini peneliti melihat dan mempertimbangkan mengenai hasil observasi dan hasil percakapan yang diperoleh dari hasil tindakan yang telah dilakukan. Kegiatan pembelajaran dianalisis berdasarkan lembar observasi yang diisi pengamat (teman sejawat) selama proses kegiatan belajar mengajar dan hasil percakapan .
Dari hasil refleksi dapat diketahui mengenai kekurangan dalam proses belajar mengajar maka dilakukan revisi (perbaikan). Selanjutnya dilakukan perbaikan untuk siklus selanjutnya 193 SELING: Jurnal Program Studi PGRA
Meningkatkan Kedisiplinan dan Sikap Kooperatif
Tabel 1
Rumus untuk Menghitung Aktivitas Guru
S = R-W
Keterangan :
S = Score (Nilai yang diperoleh )
R = Right (banyaknya chek list yang tercapai )
W = Wrong ( banyaknya chek list yang tidak tercapai)
Sumber : Arikunto (2012:262)
Skor yang diperoleh guru sebanyak jumlah chek list yang tercapai dikurangi dengan jumlah chek list yang tidak tercapai.Peneliti juga perlu mencermati analisis hasil yang diberikan oleh teman sejawat.Hal tersebut dilakukan untuk menentukanlangkah-langkah dalam siklus berikutnya. Menganalisis hasil observasi anak selama melakukan kegiatan dengan cara melihat dan menghitung berapa anak yang memperoleh hasil pada masing-masing aspek yang dinilai dengan tanda chek list pada kemampuan disiplin dan sikap kooperatif. Banyaknya chek list yang nampak pada setiap rubrik kemampuan tersebut di atas pada saat proses pembelajaran dianalisis dengan mencari nilai rata-rata, hal ini menunjukkan perlu atau tidaknya ditingkatkan pada siklus berikutnya. Rumus yang digunakan untuk menghitung rata-rata (mean) sebagai berikut : Tabel 2
Rumus Rata-rata
X
= Nilai rata-rata
N
= Banyaknya anak didik yang memiliki skor
∑ X = Menjumlah semua skor dalam satu aspek.
Sumber : Arikunto (2012:299)
Jadi untuk mencari nilai rata-rata dengan cara menjumlahkan semua skor, kemudian dibagi dengan banyaknya anak yang memiliki skor. Analisis hasil belajar
Analisis data perlu dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar dan dilakukan setelah selesai kegiatan proses belajar mengajar, tingkatan keberhasilan tersebut sebagai sebagai berikut. Keterangan : 1. Istimewa
2. Baik sekali
= ≥ 99%
= 76% s.d 99% Volume 1, Nomor 2, Juli 2015
194
Asri Prasetyaningsih
3. Baik
4. Kurang
= 60% s.d 75% = < 60%
(Djamarah Syaiful Bahri dan Zain Aswan 2010:107)
Hasil dan Pembahasan
Meningkatkan Kedisiplinan dan Sikap Kooperatif Anak kelompok A Taman Kanak-Kanak Pertiwi Teladan Surabaya Penerapan model pembelajaran sentra bermain peran yang dipilih guru sudah tepat untuk meningkatkan kedisplinan anak dalam melaksanakan aturan main dan memiliki sikap kooperatif dalam kegiatan bermain dengan teman, hal ini nampak mulai siklus I anak tertarik dan antusias untuk melakukan kegiatan di sentra bermain peran yang telah di setting guru dengan baik. Adapun langkah-langkah yang dilaksanakan guru dalam meningkatkan kedisiplinan dan sikap kooperatif anak kelompok A mulai pertama sampai terakhir baik pada siklus I maupun siklus II sama tetapi intonasi suara, ekspresi guru, ketegasan dan sanksi serta reward yang diberikan kepada anak lebih baik dari siklus I sehingga di siklus II mengalami peningkatan yang signifikan tanpa terjadi perselisihan dan kerapian dalam mengembalikan mainan menjadi lebih baik. Kesadaran anak dalam berdisipin dan kerjasama dengan teman mengalami peningkatan. Berkenaan dengan tujuan disiplin mengikuti aturan main di dalam kelas, Maman Rachman (1999) mengemukakan bahwa tujuan disiplin adalah: 1. Memberi dukungan bagi terciptanya perilaku yang tidak menyimpang. 2. Mendorong anak melakukan yang baik dan benar.
3. Membantu anak memahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya dan menjauhi melakukan hal-hal yang dilarang oleh sekolah.
4. Anak belajar hidup dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan bermanfaat baginya serta lingkungannya.
Keith Devis (2002) mengatakan, “Discipline is management action to enforceorganization standarts” dan oleh karena itu perlu dikembangkan disiplin preventif dan korektif.Disiplin preventif, yakni upaya menggerakkan anak mengikuti dan mematuhi peraturan yang berlaku.Dengan hal itu pula, anak memperbaiki dirinya sehingga memelihara dan mengikuti aturan yang ada, berdisiplin juga dapat memelihara dirinya terhadap peraturan yang ada.Disiplin korektif, yakni upaya mengarahkan anak untuk tetap mematuhi peraturan. Bagi yang melanggar diberi sanksi untuk memberi pelajaran dan untuk memperbaiki dirinya sehingga anak mengetahui cara memelihara dan mengikuti aturan main yang ada. 195 SELING: Jurnal Program Studi PGRA
Meningkatkan Kedisiplinan dan Sikap Kooperatif
Dengan disiplin anak bersedia untuk tunduk dan mengikuti peraturan tertentu dan menjauhi larangan tertentu. Kesediaan semacam ini harus dipelajari dan harus secara sabar diterima dalam rangka memelihara kepentingan bersama atau memelihara kelancaran tugas-tugas sekolah. Satu keuntungan lain dari adanya disiplin adalah anak belajar hidup dengan pembiasaan yang baik, positif, dan bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Yahya (1992) bahwa, tujuan kedisiplinan adalah perkembangan dari pengembangan diri sendiri dan pengarahan diri sendiri tanpa pengaruh atau kendali dari luar. Kedisiplinan adalah suatu latihan batin yang tercermin dalam tingkah laku yang bertujuan agar orang selalu patuh pada peraturan. Dengan adanya kedisiplinan diharapkan anak mendisiplinkan diri dalam mentaati peraturan sekolah sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan lancar dan memudahkan pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, anak perlu dibimbing atau ditunjukkan mana perbuatan yang melanggar sturan main dan mana perbuatan yang menunjang terlaksananya proses belajar mengajar dengan baik menurut Gordon (1996). Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan kedisiplinan adalah memberi kenyamanan pada anak dan guru dalam menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar serta perkembangan dari pengembangan diri sendiri dan pengarahan diri sendiri tanpa pengaruh atau kendali dari luar.
Di sentra bermain peran memang kedisiplinan anak sangat jelas terlihat dalam kegiatan bermain, karena disini mereka berinteraksi memerankan beberapa tokoh ataupun peran sehingga dibutuhkan suatu kedisiplinan yang maksimal agar terhindar dari segala perselisihan atau perebutan alat mainan. Komunikasi yang baik sangat dibutuhkan agar menunjang kelancaran kegiatan bermain, tetapi apabila hal itu dilanggar akan timbul banyak hal yang tidak diinginkan terlepas dari perilaku anak yang mempunyai sikap egois dan mau menang sendiri yang merupakan sifat dasar anak usia dini.
Oleh sebab itu peran guru dalam mengendalikan dan mengatur kegiatan bermain di sentra bermain peran ini sangat menunjang kelancaran anak dalam bermain dan dapat memberikan rasa aman, nyaman, tertib dan terkendali. Sikap adil dan tegas dalammengambil keputusan tanpa pilih kasih akan membuat anak dengan sendirinya mengikuti aturan main yang telah disepakati. Sanksi dan reward yang diberikan sesuai kadar kesalahan anak dan kemajuan anak. Di samping itu intonasi suara dan ekspresi guru dalam bertindak akan memudahkan anak mengerti apa yang dimaksud oleh guru sehingga sebelum terjadi hal-hal yang tidak disepakati akan menyebabkan anak mengurungkan niatnya untuk berbuat yang memicu perselisihan. Kesadaran yang timbul dalam diri anak inilah yang nantinya akan berguna sepanjang masa disetiap kesempatan yang ada, bukan suatu paksaan atau ancaman dan Volume 1, Nomor 2, Juli 2015
196
Asri Prasetyaningsih
penindasan yang diberlakukan guru tetapi kesadaran dalam diri anaklah yang terpenting.
Meningkatkan Sikap Kooperatif Melalui Model Pembelajaran Sentra Bermain Peran Anak Kelompok A TK Pertiwi Teladan Surabaya Pada hasil observasi untuk sikap kooperatif anak dalam kegiatan bermain di sentra bermain peran mengalami peningkatan dari siklus I sampai siklus II. Hal ini sesuai dengan keberhasilan hasil penelitian bahwa kemampuan bekerja sama dengan teman pada siklus I anak yang mendapatkan bintang 3 dan di atasnya sebanyak 9 anak dari 20 anak dan meningkat pada siklus II sebanyak 14 anak dari 20 anak. Hal ini menunjukkan bahwa peran aktif dari kedua belah pihak antara guru dan anak memang sangat dibutuhkan sehingga akan terjadi keselarasan dan kenyamanan anak didalam bermain. Sikap kooperatif merupakan perkembangan sosial anak usia dini yang secara terus menerus dibutuhkan baik didalam kegiatan bermain atau menyelesaikan kegiatan secara berkelompok. Komunikasi yang baik antar kedua pihak atau berkelompok akan menghasilkan sikap yang mampu bekerja sama dengan teman dalam menyelesaikan tugas yang diberikan guru atau dapat mengontrol emosi pribadi yang akan timbul. Pengembangan kemampuan tersebut dilakukan dengan melatih anak untuk bersikap tenggang rasa, sopan, mengkritik ide bukan pribadi, tidak mendominasi pembicaraan, menghargai pendapat orang lain, dsb. Di samping itu guru juga memberikan keleluasaan kepada anak dalam bermain agar anak dapat memahami keinginan temannya, mengoptimalkan kemampuan berkomunikasi antar teman serta mempunyai motivasi yang tinggi dalam berpartisipasi memecahkan masalah serta menemukan solusi pemecahannya. Sependapat dengan Loree (1970:86) bahwa “Sosialisasi merupakan suatu proses dimana individu (anak) melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan serta belajar bergaul dengan bertingkah laku seperti orang lain didalam lingkungan sosialnya. Pada saat kegiatan berlangsung ada beberapa anak yang agak susah untuk menyesuaikan diri masuk dalam kelompok yang disatukan sebagai keluarga, tetapi ketika salah satu dari temannya ada yang lebih dewasa dan toleransi dengan sendirinya
Begitu pula pendapat Goleman (1995:411) bahwa “emosi seseorang itu merujuk pada suatu perasaan atau pikiran-pikiran khas,suatu keadaan biologis dan psikologis serta rangkaian kecenderungan untuk bertindak”. Memang benar pendapat dari Syamsuddin (1990:69) bahwa “emosi merupakan suatu suasana yang kompleks dan getaran jiwa yang meyertai atau muncul sebelum atau sesudah terjadinya suatu perilaku.” Disini dapat disimpulkan bahwa sikap kooperatif dari masing-masing anak tergantung pada keterbatasan pengetahuan dan informasi yang dimiliki orang tua dan 197 SELING: Jurnal Program Studi PGRA
Meningkatkan Kedisiplinan dan Sikap Kooperatif
guru, dalam mengembangkan potensi yang dimiliki anak agar dapat berkembang dengan sempurna. Meningkatkan Kedisiplinan dan Sikap Kooperatif Melalui Model Pembelajaran Sentra Bermain Peran Anak Kelompok A TK Pertiwi Teladan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakasanakan pada siklus I dan siklus II untuk meningkatkan kedisiplinan dan sikap kooperatif anak kelompok A TK Pertiwi Teladan sangat tepat menggunakan model pembelajaran sentra bermain perankarena tampak terlihat jelas adanya kedua karakter tersebut karena setiap kegiatan bermain selalu berhubungan dengan disiplin dan kerja sama. Itu dibutuhkan pada saat ketika bersosialisasi dengan teman baik dalam komunikasi maupun terhadap sikap disiplin yang harus dipatuhi agar tidak terjadi salah paham atau memenangkan ego pribadi atau sekelompok anak dalam kegiatan bermain, karena peran-peran yang dimainkan selalu berhubungan dan saling menunjang agar tercipta suatu kegiatan yang memiliki makna atau kegiatan yang disetting sesuai dengan tema dan sub tema pada Rencana Kegiatan Harian (RKH). Kedisiplinan dan sikap kooperatif itu juga merupakan nilai karakter yang harus dimiliki seseorang agar kelak dimasa yang akan datang seorang anak sudah terbiasa bertingkah laku yang positif bahkan bisa disebut menjadi karakter dari seorang pemimpin. Sistem pendidikan usia dini yang ada sekarang ini terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan.Aspek Nilai Moral Agama yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”). Padahal, pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan acting”.Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat. Pendidikan karakter ini hendaknya dilakukan sejak usia dini, karena usia dini merupakan masa emas perkembangan (golden age) yang keberhasilannya sangat menentukan kualitas anak di masa dewasanya. Montessori (1907) menyebutnya dengan periode kepekaan (sensitive period). Penggunaan istilah ini bukan tanpa alasan, mengingat pada masa ini, seluruh aspek perkembangan pada anak usia dini, memang memasuki tahap atau periode yang sangat peka. Artinya, jika tahap ini mampu dioptimalkan dengan memberikan berbagai stimulasi yang produktif, maka perkembangan anak di masa dewasa, juga akan berlangsung secara produktif. Volume 1, Nomor 2, Juli 2015
198
Asri Prasetyaningsih
Menurut Freud (1923) kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak menurut Erikson (1968). Sebelum anak masuk pada saat pijakan sebelum main guru selalu memberikan penjelasan yang berkaitan dengan peran-peran apa saja yang nanti akan dimainkan anak tentunya tidak terlepas dengan segala aturan main yang harus dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bahkan terkadang anak sangat menghafal aturan main tersebut tetapi manakala bertemu dengan kegiatan bermain yang disukai cenderung tidak mau berganti peran karena asyiknya dia bermain tanpa menghiraukan temannya yang ingin mencoba pula kegiatan itu. Contoh yang biasa dilakukan Zidane dan Vano yang keseharian selalu bersaing dalam mengambil bagian yang penting dari suatu kegiatan. Hal ini disebabkan kedua anak itu suka dengan kegiatan yang menantang memacu adrenalin atau yang dirasa menarik dalam kegiatan bermain itu.
Terkadang sikap kooperatif juga selalu ditunjukkan berdua secara damai karena memang kegiatan bermain itu disediakan guru berdampingan sehingga anak tidak perlu berebut dalam memainkannya dan tahu akan porsinya masing-masing. Ketika anak-anak memainkan peran kasir dan pramuniaga yang memasukkan barang dagangan yang sudah dibeli dan dihitung di mesin penghitung untuk dimasukkan kedalam tas kresek, atau kegiatan seorang sopir dan kernet yang bergantian dalam menyetir mobil untuk mengantarkan pembeli pulang ke rumah. Memang terkadang masih diingatkan oleh guru sebelum terjadi perebutan anak sudah konsekuen untuk berganti peran yang memang tempatnya dekat dan saling berdampingan. Guru juga harus sudah siap dengan permainan yang dijadikan alternative menarik untuk dicoba (main bola, main ular tangga, main boneka yang cantik dsb) sehingga perselisihan dapat dihindari. Begitu juga guru juga sudah menyiapkan lebih dari 2 mainan yang dapat dijadikan mainan yang dilakukan berpasangan. Sikap cinta tegas dan cinta lembut bagi anak yang memang tidak perlu dirayu tapi anak sudah dewasa dan menyadari bahwa disini semua kegiatan bermain selalu berbagi dan dilakukan secara bekerja sama agar tercipta suasana yang tenang dan damai tanpa ada perselisihan. Tapi bagi yang anak yang membutuhkan cinta tegas maka ketegasan itu adalah intonasi suara yang tinggi dan ekspresi wajah serius dengan sanksi dan reward diberikan anak maka dengan sendirinya anak akan mengikuti aturan main dan kerja sama yang baik dengan temannya, demikian itu dilakukan dengan kesadaran tinggi yang muncul dalam diri anak. Ini dapat dilihat pada hasil perbandingan kedisiplinan dan sikap kooperatif dari siklus 1 dan siklus 2 sebagai berikut:
199 SELING: Jurnal Program Studi PGRA
Meningkatkan Kedisiplinan dan Sikap Kooperatif
Diagram 1 Hasil Perbandingan Kedisiplinan dan Sikap Kooperatif dari Siklus 1 dan Siklus 2 Penutup Simpulan Berdasarkan permasalahan, temuan-temuan, pembahasan, hasil penelitian dan analisis Meningkatkan Kedisiplinan dan Sikap Kooperatif melalui Model Pembelajaran Sentra Bermain Peran anak kelompok A TK Pertiwi Teladan Surabaya seperti pada bab sebelumnya maka peneliti dapat memberikan kesimpulan dan saran sebagai berikut:
1. Pelaksanaan peningkatan kedisiplinan dansikapkooperatif anak kelompok A dengan menerapkan model pembelajaran sentra bermain peran pada siklus II terlihat meningkat dibandingkan siklus I, hal ini disebabkan guru saat memberikan aturan main dalam meningkatkan kedisiplinan dan sikap kooperatif kepada anak kelompok A pada siklus II lebih memperhatikan dan menekankan intonasi kalimat secara tegas dan ekspresi wajah yang serius dengan memberikan sanksi dan reward kepada anak , sehingga anak lebih disiplin , terfokus dan mudah memiliki sikap kooperatif Karena sesungguhnya disiplin diri atau dorongan dari dalam anak mengatur dan melatih diri sendiri dan meniadakan keharusan disiplin dari luar, dengan membuat anak bertanggung jawab dan memiliki tantangan, guru membantu anak belajar sesuatu dan mempersiapkan konsentrasi anak. 2. Sikap kooperatif yang dibina baik dengan teman juga membuat anak tidak lagi bermain sendiri, karena semakin memahami bahwa anak dapat belajar dengan baik jika mereka dapat bekerja sama dengan teman. 3. Materi yang telah dipersiapkan dengan baik ikut andil memupuk disiplin dan sikap kooperatif anak. Kontrol diri terhadap kesalahan membuat anak mau memeriksa kesalahan tanpa campur tangan guru, sehingga dapat memupuk kedisiplinan dan sikap kooperatif anak dengan baik sesuai kemauan sendiri dan belajar bagaimana cara mengerjakan sesuatu dengan benar. Volume 1, Nomor 2, Juli 2015
200
Asri Prasetyaningsih
4. Penerapan model pembelajaran sentra bermain peran mampu meningkatkan kedisiplinan kelompok A mengalami peningkatan yang dapat dilihat pada siklus I mendapatkan nilai rata-rata 2,56 dan pada siklus II menjadi 3,60 sedangkan pada sikap kooeratif terhadap teman mengalami peningkatan yang semula pada siklus I mendapatkan nilai rata-rata 2,43 dan pada siklus II menjadi 3,33. Masing-masing aspek kedisiplinan dan sikap kooperatif sudah mencapai indikatorkeberhasilan di atas nilai 3. Penerapan model pembelajaran sentra bermain peran untuk meningkatkan kedisiplinan dan sikap kooperatif anak kelompok A benar-benar memperoleh hasil yang maksimal seperti yang diharapkan. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari uraian sebelumnya agar proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran sentra bermain peran memperoleh hasil yang optimal bagi anak terutama dalam meningkatkan kedisiplinan dan sikap kooperatif, disampaikan saran sebagai berikut: 1. Penerapan model pembelajaran sentra bermain peran merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan kedisiplinan dan sikap kooperatif anak harus disetting secantik mungkin ruangannya anak tertarik dan antusias dalam memainkan peran sesuai dengan tema/subtema pada saat kegiatan bermain
2. Pengelolaan kelas yang baik harus benar-benar diperhatikan agar dalam pelaksanaannya dapat maksimal dan berjalan dengan lancar. 3. Setiap anak memiliki kelebihan dan kelemahan yang berbeda hendaknya guru memberikan teladan dan contoh yang baik dalam menanamkan pembiasaan yang berkarakter sebagai bekal anak di masa yang akan datang
4. Sekolah lebih meningkatkan dan menambah sarana dan prasarana Taman Kanakkanaknya dengan melengkapi media pembelajaran berupa berbagai alat permainan di sentra bermain peran baik yang mikro maupun yang makro yang bervariatif dan inovatif agar dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang diprogramkan. 5. Penelitian untuk selanjutnya lebih mencermati aspek-aspek pengembangan kemampuan yang lain sehingga muncul keragaman penelitian yang lebih bervariatif demi perbaikan mutu pendidikan yang ada di Indonesia. Daftar Rujukan
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, edisi Revisi IV. Jakarta: Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta. 201 SELING: Jurnal Program Studi PGRA
Meningkatkan Kedisiplinan dan Sikap Kooperatif
Arthur, L, Beecher, B, Death, E, Dockeet, S &Farmer, S. 2012. Programming and Planning in Early Childhood Settings. Victoria: Cengage Learning Australia Pty Ltd.
Asmawati, Luluk dkk. 2000. Pengelolaan Kegiatan Pengembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka. Bredekamp, Sue (ed), 1992. Developmentally Appropriate Practice in Early Childhood Programs Serving Children from Birth Through Age 8.Washington NAEYC. Carol and Nita Barbour,1993. Early Childhood Education, New York: Macmillan.
Cavell, T.A, Meehan, B.T., & Fiala, S.E. 2003. “Assessing Social Competence in Children and Adolescen C. Handbook of Psikological and Educational of Children. New York: The Guildford Press.
Creswel, 2013 Educatinal Research Planning, Conducting, and Evaluating, Quantitative and Qualitative Research. Pearson Merril Prentice Hall. Elliot, J. 1982. Developing Hypothesis about Classrooms from Teachers.
Practical Constructs: an Account of the Work of the Ford Teaching Project. Dalam The Action Research Reader. Geelong, Victoria: Deakin University. Depdiknas , 2007. Pedoman Penerapan Pendekatan Beyond Centres and Circle Time (BCCT). (Pendekatan Sentra dan Saat Lingkaran) dalam Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Depdiknas. Emzir, Prof. Dr. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Gunarti, Winda. 2008. Metode Pengembangan Perilaku dan Kemampuan Dasar Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka.
Hopkins, David (1993) A Teacher's Guide to Classroom Research. Philadelphia. Open University Press. Hurlock, Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak. Jilid 1, Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
Kementrian Pendidikan Nasional. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. 2010. Kumpulan Pedoman Pembelajaran Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2012. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Taman Kanak-kanak. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini.
Morrison, George S. 2012. Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Jakarta: Indeks. Musfiqon. 2012. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Volume 1, Nomor 2, Juli 2015
202
Asri Prasetyaningsih
Ridwan. 2010. Dasar - Dasar Statistika. Bandung: Alfabeta.
Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak. Edisi Kesebelas. Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Sudjana, 2005. Nana dan Ahmad Rivai. Media Pengajaran. Bandung: CV Sinar baru Algesindo.
Sugiono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Bandung. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sujiono, Yuliani N. 2013. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: PT Indeks.
Sujiono, Yuliani N. 2010. Bermain Kreatif Berbasis Kecerdasan Jamak. Jakarta: PT Indeks. Supriadi, Dedi, 2003. Pendidikan www.pikiranrakyat.com/cetak.
Anak
Usia
Dini
dalam
UU
Sisdiknas
Susanto, 2010. Konsep Penelitian Tindakan Kelas dan Penerapannya. FBS UNESA.
Susanto, Ahmad. 2012. Perkembnagan Anak Usia Dini: Pengantar dalam Berbagai Aspeknya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Suyanto, Slamet. 2005. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi.
203 SELING: Jurnal Program Studi PGRA