ISSN : 2338-0357 Volume II, NOMOR II, Oktober 2014
Syahadah
Jurnal Ilmu Al-Qur’an & Keislaman
Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an Karya Ath-Thabari Amaruddin Kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu ‘Asyur dan Kontribu sinya terhadap Keilmuan Tafsir Kontemporer Abd. Halim Konsep Keadilan dan Indeterminasi Menurut al-Zamakhsyari (Analisis Terhadap Kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Tafsir al-Kasysyaf) Lenni Lestari Tafsir Berwawasan Gender (Study Tafsir Al-Misbah Karya M.Quraish Shihab) Atik Wartini Khazanah Tafsir Melayu (Studi Kitab Tafsir Tarjuman Al- Mustafid karya Abd Rauf Al- Sinkili) Afriadi Putra Penerbit: Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indragiri Tembilahan – Indragiri Hilir – Riau Jln. Baharudin Jusuf No. 10 Tembilahan 29200 Telp : 0768-324918, Fax : 0768-22418. Hp. 0853 56200 444 Email :
[email protected]
ii
SYAHADAH
Jurnal Ilmu Al-Qur’an & Keislaman Penerbit: Program Studi Ilmu al-Qur’an & Tafsir Universitas Islam Indragiri Tembilahan Pembina: Rektor Universitas Islam Indragiri Penanggung Jawab/Pengarah: Dekan Fakultas Ilmu Agama Islam Tim Ahli: Amaruddin, S. Ag, MA H. Muhammad Yusuf, Lc,M.S.I Pimpinan Redaksi: Ridhoul Wahidi, MA Tim Redaksi: Nasrullah, M.S.I Gianti, S.Th.I Mitra Bestari Dr. Mikdar Rusdi (Universitas Tun Husein Onn Malaysa) Dr. H. Abdul Mustaqim, MA (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) Dr. Risman Bustamam (IAIN Imam Bonjol Padang) Dr. Muhammad al-Fatih Suryadilaga (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) Distribusi & Sirkulasi: Ali Murtopo, S. Sos. I Nurhayati. S. E Barry Gunawan Editor/Lay-out Fiddian Khairuddin, S.Th.I., MA Alamat Redaksi: Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indragiri Tembilahan – Indragiri Hilir – Riau Jln. Baharudin Jusuf No. 10 Tembilahan 29200 Telp : 0768-324918, Fax : 0768-22418. Hp. 0853 56200 444 Email :
[email protected]
Jurnal Syahadah merupakan jurnal ilmu al-Qur’an dan keislaman dengan kajian multidisipliner, terbit dua kali dalam satu tahun (April dan oktober), dikelola oleh program studi Manajemen Pendidikan Islam Fak. Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indragiri Tembilahan. Redaksi menerima tulisan yang relevan selama mengikuti petunjuk penulisan yang ditetapkan.
iii
SAJIAN Volume II, No. II, Oktober 2014
ISSN : 2338-0357
SAJIAN (iii) EDITORIAL (iv) Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an Karya Ath-Thabari (Hal. 5) Amaruddin Kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu ‘Asyur dan Kontribusinya terhadap Keilmuan Tafsir Kontemporer (Hal. 16) Abd. Halim Konsep Keadilan dan Indeterminasi Menurut al-Zamakhsyari (Analisis Terhadap Kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Tafsir al-Kasysyaf) (Hal. 31) Lenni Lestari Tafsir Berwawasan Gender (Study Tafsir Al-Misbah Karya M.Quraish Shihab) (Hal. 48) Atik Wartini Khazanah Tafsir Melayu (Studi Kitab Tafsir Tarjuman Al- Mustafid karya Abd Rauf Al- Sinkili) (Hal. 69) Afriadi Putra
iv
EDITORIAL Bismillahi Al-Rahman Al-Rahim Puji dan syukur kepada Allah swt., Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Keislaman Syahadah Volume II Nomor II Oktober 2014 hadir kembali untuk menyapa para pembaca, peminat, dan penikmat ilmu alQur’an dan keislaman. Jurnal di hadapan anda ini terbit dua kali dalam setahun. Penerbitan yang rutin, dalam waktu dekat, diharapkan mampu memenuhi salah satu standar dalam penilaian akreditasi Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indragiri Tembilahan. Lebih jauh, jurnal ini diproyeksikan mampu menjawab segala tantangan dari permasalahanyang ada di masyarakat dan dunia Islam, yaitu dengan berkontribusi dalam penyebaran dan pengembangan karya ilmiah intelektual di bidang ilmu al-Qur’an dan keislaman. Jurnal Syahadah Volume II Nomor II Oktober 2014 ini ditulis oleh beberapa akademika pecinta ilmu al-Qur’an dan keislaman. Mereka adalah: 1. Amaruddin, Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir AlQur’an Karya Ath-Thabari. 2. Abd. Halim, Kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu ‘Asyur dan Kontribusinya terhadap Keilmuan Tafsir Kontemporer. 3. Lenni Lestari, Konsep Keadilan dan Indeterminasi Menurut alZamakhsyari (Analisis Terhadap Kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Tafsir al-Kasysyaf). 4. Atik Wartini, Tafsir Berwawasan Gender (Study Tafsir Al-Misbah Karya M.Quraish Shihab). 5. Afriadi Putra, Khazanah Tafsir Melayu (Studi Kitab Tafsir Tarjuman Al- Mustafid karya Abd Rauf Al- Sinkili). Dewan redaksi sepenuhnya menyadari bahwa terdapat berbagai kelemahan dan kekurangan pada penerbitan edisi kali ini. Maka masukan dan kritikan dari semua pihak akan kami terima dengan terbuka dan rasa terima kasih. Tim Redaksi
Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an Karya Ath-Thabari Amaruddin, MA Ketua Lembaga Pengkajian Studi Keislaman dan Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Indragiri Ibnu Katsir merupakan penulis tafsir monumental Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Tafsir ini ditulis dengan sangat indah, sehingga beberpa tokoh ulama lain memberikan komentar. Imam as-Suyuthi mengatakan, “Kitab Ibnu Jarir adalah kitab tafsir paling agung (yang sampai kepada kita). Di dalamnya beliau mengemukakan berbagai macam pendapat dan mempertimbangkan mana yang lebih kuat, serta membahas i’rob dan istinbat. Karena itulah ia melebihi tafsirtafsir karya para pendahulu.” Syaikh Islam Ibnu Taimiyah telah memuji Imam Thabari, antara lain mengatakan, “Adapun tafsirtafsir yang di tangan manusia, yang paling dahulu adalah tafsir Ibnu Jarir Ath thabari, bahwa beliau (Ibnu jarir) menyebutkan perkataan salaf dengan sanad-sanad yang tetap, dan tidak ada bid’ah sama sekali, dan tidak menukil dari orang yang Muttahim, seperti Muqatil bin Bakir dan Al Kalbi.” Dari komentar tersebut, penulis ingin mengungkap tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an karya Ibnu Katsir secara t untas, sehingga dapat diungkap historitas penulis dan tafsirnya secara utuh.
Key words: Ibnu Katsir, Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an
A. Pendahuluan Al-Qur’an adalah wahyu Allah dengan kebenaran mutlak yang menjadi sumber ajaran Islam. Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Ia berfungsi untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umat manusia, baik secara pribadi maupun secara kelompok.1 Al-Qur’an bagaikan samudra yang tidak pernah kering airnya, gelombangnya tidak pernah reda, kekayaan dan khazanah yang dikandungnya tidak pernah habis, dapat dilayari dan diselami dengan berbagai cara, dan memberikan manfaat dan dampak luar biasa bagi kehidupan manusia. Ia juga menjadi tempat pengaduan dan pencurahan hati bagi yang membacanya. Dalam kedudukannya sebagai 1 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1995), h. 172.
6
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
kitab suci dan mukjizat bagi kaum muslimin, al-Qur’an merupakansumber keamanan, motivasi, dan inspirasi, sumber dari segala sumber hukum yang tidak pernah kering bagi yang mengimaninya. Di dalamnya terdapat dokumen historis yang merekam kondisi sosioekonomis, religius, ideologis, politis dan budaya dari peradaban umat manusia sampai abad ke VII Masehi. Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an melalui penafsiran-penafsiran, memiliki peranan sangat besar bagi maju-mundurnya umat, menjamin istilah kunci untuk membuka gudang simpani yang tertimbun dalam al-Qur’an.2 Sebagai pedoman hidup untuk segala zaman, dan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, al-Qur’an merupakan kitab suci yang terbuka (open ended) untuk dipahami, ditafsirkan dan dita’wilkan dalam perspektif metode tafsir maupun perspektif dimensi-dimensi kehidupan manusia. Dari sini muncullah ilmu-ilmu untuk mengkaji al-Qur’an dari berbagai aspeknya, termasuk di dalamnya ilmu tafsir.
B. Pembahasan a. Biografi Ath-Thabari Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir seorang imam, ulama’ dan mujtahid pada abad ini, kunyahnya adalah Abu Ja’far Ath Thabari. Beliau dari penduduk Amuli, bagian dari daerah Thabristan, karena itulah sesekali ia disebut sebagai Amuli selain dengan sebutan yang masyhur dengan AthThabari. Uniknya Imam Thabari dikenal dengan sebutan kunyah Abu Ja’far, padahal para ahli sejarah telah mencatat bahwa sampai masa akhir hidupnya Imam Thabari tidak pernah menikah.Beliau dilahirkan pada akhir tahun 224 H awal tahun 225 H. Para sejarawan yang menulis biografi Ath-Thabari tidak banyak yang menjelaskan kondisi keluarga ulama besar ini. Hanya saja, dari sumber yang sangat terbatas tersebut dapat disimpulkan bahwa keluarga Ath-Thabari tergolong sederhana, kalau tidak dikatakan miskin, namun ayahnya sangat mementingkan pendidikan putranya tersebut, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti. 2 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 83
Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan ... Amaruddin, MA
7
Jika melihat faktor lingkungan ketika masa hidup Imam Thabari, maka di masa tersebut adalah masa dimana tradisi keilmuan Islam mengakar kuat, terbukti dengan munculnya sejumlah ulama besar dari daerah Amul, seperti Ahmad bin Harun al-Amuli, Abu Ishaq bin Basyar al-Amuli, Abdullah bin Hamad al-Amuli dan ulama besar lainnya. Selain faktor lingkungan, faktor keluarga juga sangat berperan penting dalam menumbuhkan semangat mencari ilmu pada diri Imam Thabari. Beliau pernah bercerita dihadapan murid-muridnya tentang dukungan ayahnya, Jabir bin Yazid kepadanya dalam menuntut ilmu dan pengalamannya di masa kanak-kanak, Ibnu Jarir berkata: “Aku sudah hafal Al Qur’an ketika aku berumur 7 tahun, dan shalat bersama manusia (jadi imam) ketika berumur 8 tahun, dan mulai menulis hadist ketika berumur 9 tahun, dan ayahku bermimpi bahwa aku berada di depan Rasulullah dengan membawa tempat yang penuh dengan batu, lalu aku lemparkan di depan Rasulullah. Lalu penta’bir mimpi berkata kepada ayahku: ‘Sekiranya nanti beranjak dewasa dia akan berguna bagi agamanya dan menyuburkan syari’atnya.’ Dari sinilah ayahku bersemangat dalam mendidikku.” b. Masa Belajar, Guru-guru dan Murid-muridnya Beliau banyak bersafar dan berguru dengan ahli sejarah, beliau juga salah seorang yang memiliki banyakilmu, cerdas, banyak karangannya dan belum ada yang menyamainya. Banyak kota-kota yang ia singgahi sampai ia tidak puas dengan hanya memasukinya sekali, ia masuk ke kota tersebut beberapa kali untuk memuaskan hasrat keilmuannya, di antara kota-kota tersebut adalah Baghdad, di kota ini ia mengambil mazhab Syafi’iyyah dari Hasan Za’farani, kemudian Bashrah, di kota ini ia belajar hadits kepada Abu Abdullah as-Shan’ani, lalu di Kufah, di sana ia belajar ilmu puisi kepada Tsa’lab dan masih banyak lagi kota lainnya seperti Mesir, Beirut dan Damaskus. Pada akhirnya Imam Thabari sempat pulang ke tanah kelahirannya di Thabristan pada tahun 290 H, tapi tak lama kemudian kembali ke Baghdad dan menjadikannya tempat persinggahan terakhir untuk mencurahkan seluruh aktifitas ilmiyahnya hingga beliau wafat.
8
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
Guru beliau 40 orang lebih, diantaranyaMuhammad bin Abdul Malik bin Abi Asy Syawarib, Ismail bin Musa As Suddi, Ishaq bin Abi Israil, Muhammad bin Abi Ma’sar, Muhammad bin Aufat-Tha’i, Musa bin Sahal ar-Ramali, Muhammad bin Abdullah dan yang lainnya. (didalam tafsir beliau didapatkan, bahwa guru beliau berjumlah 62 guru). Imam al-Nawawi menambahkan sejumlah nama guru Ath-Thabari lainnya, terutama mereka yang juga menjadi guru al-Bukhari dan Muslim dalam bidang hadits, seperti Abd alMalik ibn Abu al-Syawarib, Ahmad ibn Mani` al-Baghawi, al-Walid ibn Syuja`, Abu Kuraib Muhammad ibn al-`Ala’, Ya`qub ibn Ibrahim al-Dauraqi, Abu Sa`id al-Asyaj, `Amr ibn Ali, Muhmmad ibn al-Mutsanna dan Muhammad ibn Yasar. Karena kedalaman ilmu Imam Thabari, maka wajar saja bila orang-orang ketika itu berlomba untuk menampung samudera ilmu yang terpancar dari beliau. Di antara sekian banyak ulama yang mengambil ilmu dari beliau adalah Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Nashr, Ahmad bin Qasim bin Ubaidillah bin Mahdi, Sulaiman bin Ahmad bin Ayub al-Lakhmi, Muhammad bin Ahmad bin Hamdan bin Ali. Teman-teman dari Ibnu Jarir Ath-Thabari, di antaranyaAhmad bin Abdullah bin Ahmad al-Farghani,ia juga meriwayatkan karangan dari Ibnu Jarir, di antara karangan alFarghani adalah Sirah al-Aziz Sulthan al-Mishr dan kitab Sirah Kafur al-Ihsyidi.3 Ibnu Yazid Abi Bakar al-Qardhi, yang menjadi hakim di daerah Kufah, di antara karangannya adalah kitab Gharib al-Quran, kitab al-Qiraat, kitab at-Taqrib fi Kasyfi al-Gharib, dan kitab al-Mukhtashar fi al-Fiqh. c. Mobilitas, Aktivitas dan Hasil Karyanya Ath-Thabari dapat dikatakan sebagai ulama multi talenta dan menguasai berbagai disiplin ilmu. Tafsir, qira’at, hadits, ushul al-din, fiqih perbandingan, sejarah, linguistik, sya`ir dan `arudh (kesusateraan) dan debat (jadal) adalah sejumlah disiplin ilmu yang sangat dikuasainya. Namun tidak hanya ilmuilmu agama dan alat, Ath-Thabari pandai ilmu logika (manthiq), berhitung, al-Jabar, bahkan ilmu kedokteran. 3 Yaqut al-Himawi, Mujam al-Adibba, (Beirut: Maktabah Syamilah), juz I, h. 113
Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan ... Amaruddin, MA
9
Beliau adalah seorang laki-laki yang mempunyai ilmu yang sangat luas, maka tidak heran jika karangan beliau tak bisa dihitung hanya dengan waktu 1000 detik.Namun sangat disayangkan, mayoritas kitab beliau hilang dan tidak sampai kepada kaum muslimin kecuali hanya sedikit. Dan hasil karya Imam Thabari antara lain: 1. Kitab Adabul Qadha’ ( Al Hukkam) 2. Kitab Adabul Manasik 3. Kitab Adab an-Nufuus 4. Kitab Syarai’al-Islam 5. Kitab Ikhtilaful Ulama’ atau Ikhtilaful Fuqaha’ atau Ikhtilafu Ulama’il Amshor fi Ahkami Syarai’il Islam. 6. Kitab Al Basith, tentang kitab ini beliau Imam Adz Dzahabi berkata, “Pembahasan pertama adalah tentang thaharah, dan semua kitab itu berjumlah 1500 lembar.” 7. Kitab Tarikhul Umam wal Muluk (Tarikhul Rusul wal Muluk) 8. Kitab Tarikhul Rijal minas Shahabah wat Tabi’in. 9. Kitab at-Tabshir. 10. Kitab Tahdzib Atsar wa Tafsiilust Tsabit ‘Ani Rasulullah Saw Minal Akhbar. 11. Kitab Al Jaami’ fil Qira’at 12. Kitab Haditsul Yaman 13. Kitab Ar Rad ‘Ala Ibni ‘Abdil Hakim 14. Kitab az- Zakat 15. Kitab Al ‘Aqidah 16. Kitabul Fadhail 17. Kitab Fadhail Ali Ibni Thalib 18. Kitab Mukhtashar Al Faraidz 19. Kitab Al Washaya Dan masih banyak lagi kitab-kitab beliau yang tidak kami sebutkan disini. Selain banyaknya bidang keilmuan yang disentuh, bobot karya-karya Ath-Thabari sangat dikagumi para ulama dan peneliti. d. Penilaian Terhadap Imam Ath-Thabari Imam Thabari bukan berasal dari keluarga yang mapan atau kaya, hal ini bisa dibuktikan dengan bekal dari orang tua nya yang ketika dicuri ia tidak dapat menggantinya lagi. Begi-
10
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
tujuga kisah kelaparan yang dia alami selama di Mesir dan kiriman orang tuanya yang dikirim terlambat, sehingga ia terpaksa menjual pakaiannya.Namun dengan keterbatasan ekonomi tersebut tidak lantas melunturkan semangat Imam Thabari dalam menuntut ilmu. Penguasaan Ath-Thabari terhadap berbagai disiplin ilmu ini menjadi catatan sendiri para ulama sepanjang masa, sehingga tidak heran sederet predikat dan sanjungan disematkan kepadanya.Al-Khathib al-Baghdadi (w.463H) salah satunya.Dalam kitab Tarikh Baghdad, ia menyatakan, “Ath-Thabari adalah seorang ulama paling terkemuka yang pernyataannya sangat diperhitungkan dan pendapatnya pantas menjadi rujukan, karena keluasan pengetahuan dan kelebihannya.Ia menguasai berbagai disiplin ilmu yang sulit ditandingi oleh siapa pun di masa itu.” Pengakuan terhadap keilmuan Ath-Thabari tidak hanya datang dari para ulama lintas generasi sesudahnya yang mengkaji dan meneliti karya-karya besarnya, seperti Ibn al-Atsir (w.630H), al-Nawawi (w.676H), Ibn Taimiyah (w.728H), al-Dzahabi (w.748H), Ibn Katsir (w.774H), Ibn Hajar al-`Asqalani (w.852H), al-Suyuthi (w.911H) dan lain-lain. Tapi para ulama yang hidup satu generasinya juga tidak kurang menyatakan kekaguman dan pujiannya, di antara pujian mereka terhadap ImamThabari adalah sebagai berikut: Abu Sa’id berkata, “Muhammad bin Jarir berasal dari daerah Amul, menulis di negri Mesir. Lalu pulang ke Bagdad, dan telah mengarang beberapa kitab yang monumental, dan itu menunjukkan luasnya ilmu beliau.” Al Khatib berkata, “Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib, beliau adalah salah satu Aimmah Ulama’ (sesepuh ulama’), perkataannya bijaksana dan selalu dimintai pendapatnya karena pengetahuannya dan kemuliaannya. Beliau telah mengumpulkan ilmu-ilmu yang tidak penah ada seorangpun yang melakukannya semasa hidupnya. Beliau adalah seorang Hafidz, pandai ilmu Qira’at, ilmu Ma’ani faqih tehadap hukum-hukum al-Qur’an, tahu sunnah dan ilmu ca-
Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan ... Amaruddin, MA
11
bang-cabangnya, serta mampu mengetahui mana yang shahih dan yang cacat, nasikh dan mansukhnya, aqwalus shahabah dan tabi’in, tahu sejarah hidup manusia dan keadaanya. Beliau memiliki kitab yang masyhur tentang “sejarah umat dan biografinya” dan kitab tentang “tafsir” yang belum pernah ada mengarang semisalnya dan kitab yang bernama “Tahdzibul Atsar” yang belum pernah aku (Imam Adz Dzahabi) lihat semacamnya, namun belum sempurna. Beliau juga punya kitab-kitab banyak yang membahas tentang “Ilmu Ushul Fiqih” dan pilihan dari aqwal para Fuqaha’. Imam Adz Dzahabi berkata: “Beliau adalah orang Tsiqah, jujur, khafidz, sesepuh dalam ilmu tafsir, imam (ikutan) dalam ilmu fiqh, ijma’ serta (halhal) yang diperselisihkan, alim tentang sejarah dan harian manusia, tahu tentang ilmu Qira’at dan bahasa, serta yang lainnya.” Al-Hasan ibn Ali al-Ahwazi, ulama Qira’at, menyatakan, “Abu Ja`far Ath-Thabariadalah seorang ulama fiqih, hadits, tafsir, nahwu, bahasa dan `arudh. Dalam semua bidang tersebut dia melahirkan karya bernilai tinggi yang mengungguli karya para pengarang lain.” e. Latar Belakang Penyusunan Tafsir Thabari Beberapa keterangan menyebutkan latar belakang penulisan Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an adalah karena Ath-Thabari sangat prihatin menyaksikan kualitas pemahaman umat Islam terhadap al-Qur’an. Mereka sekadar bisa membaca al-Qur’an tanpa sanggup menangkap makna hakikinya. Karena itulah, Ath-Thabari berinisiatif menunjukkan berbagai kelebihan alQur’an. Ia mengungkap beragam makna al-Qur’an dan kedahsyatan susunan bahasanya seperti nahwu, balaghah,dan lain sebagainya. Bahkan jika ditilik dari judulnya, kitab ini merupakan kumpulan keterangan (Jami’ al-Bayan) yang cukup luas meliputi berbagai disiplin keilmuan seperti Qiraat, Fiqih, dan Aqidah.4 4 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. 2008), h. 69.
12
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
f. Karakteristik Tafsir Ath-Thabari menggunakan metode ilmiah yang memiliki unsur-unsur yang jelas dan sempurna. Ia menggabungkan antara riwayat, dirayat, ashalah (keotentikan). Sisi riwayat ia peroleh dari studinya terhadap sejarah, sirah nabawiyah, bahasa, syair, qiraat, dan ucapan orang-orang terdahulu. Adapun sisi dirayat ia peroleh dari perbandingannya terhadap pendapat-pendapat para fuqaha setelah ia ketahui dalil dari masing-masing me reka, dan cara pentarjihannya. Kemudian dari pengetahuannya terhadap ilmu hadits yang menyangkut studi sanad, kondisi perawi dan kedudukan hadits. Satu hal yang mempertajam sisi dirayat-nya adalah karena ia pandai ilmu jadal (perdebatan), yaitu ilmu yang menjadi sarana untuk mengadu dalil dan argumentasi, dimana Thabari adalah pakarnya. g. Sumber Penafsiran Tafsir Thabari adalah penggabungan antara dua sisi secara seimbang dan sempurna. Di dalamnya terdapat sejumlah riwayat hadits yang melebihi riwayat hadits yang ada dalam kitab-kitab tafsir bil ma’tsur yang ada pada masanya. Kemudian lebih dari itu, di dalamnya terdapat teori ilmiah yang dibangun atas dasar perbandingan dan penyaringan antar pendapat. Dengan cara ini Thabari telah menempuh langkah metodologis yang sangat penting, dimana tafsir bukan hanya sekedar berisi penjelasan tentang riwayat-riwayat dan atsar, melainkan telah bercampur dengan kajian analisa yang tidak keluar dari jalur kebenaran. Itu semua dilakukan dengan mengkaji ‘illah, sebab-sebab dan qarinah (sisi indikasi dalil). h. Metode Penulisan Tafsir Metode yang digunakan dalam kitab ini yaitu metode tahlili, metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam alQur’an mushaf Usmani. Dalam menafsirkan al-Qur’an, mufasir biasanya melakukan langkah sebagai berikut: a. Menerangkan hubungan (munasabah) baik antara satu ayat dengan ayat lain maupun antara satu surah dengan
Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan ... Amaruddin, MA
13
surah lain. b. Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul). c. Menganalisis mufradat (kosakata) dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab. d. Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya. e. Menerangkan unsur-unsur fashahah, bayan, dan i’jaz-nya, bila dianggap perlu. Khususnya, apabila ayat-ayat yang ditafsirkan itu mengandung keindahan balaghah. f. Menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya apabila ayat-ayat yang ditafsirkan adalah ayat-ayat ahkam, yaitu berhubungan dengan persoalan hukum. g. Menerangkan makna dan maksud syara’ yang terkandung dalam ayat bersangkutan. Sebagai sandarannya, Thabari mengambil manfaat dari ayat-ayat lainnya, hadits Nabi Saw, pendapat para sahabat dan tabi’in, di samping ijtihad sendiri.5 i. Sistematika Penulisan Sistematika yang digunakan oleh Thabari dalam setiap bukunnya terdapat langkah penting, diantaranya: a. Biasanya Thabari memulai dengan menetapkan dan membatasi tema yang akan dibahas, baik itu berupa ayat dan penafsirannya atau penjelasan sebuah hadits, kemudian menyimpulkan berbagai pendapat mengenai aqidah, hukum fiqih, qira’at, suatu pendapat, atau permasalan yang diperselisihkan. b. Apabila tema telah ditetapkan, ia mulai mengumpulkan bahan-bahan ilmiah yang berkaitan dengannya dan berusaha semaksimal mungkin agar bahan yang ia kumpulkan lengkap dan menyeluruh demi kesempurnaan tema yang dibahasnya. Semua ini dilakukan sebelum memulai penulisan. c. Jika semua bahan kajian telah terkumpul, ia pun mulai meneliti dan mempelajarinya. Beliau meneliti dengan sangat sabar setiap hadits dan atsar yang menyangkut 5 M. Quraish Shihab, Sejarah dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 172-173.
14
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
penafsiran setiap ayat al-Qur’an. d. Thabari tidak cukup hanya dengan metodologi deduktif, melainkan seringkali membandingkan antara sanad dengan dalil, dan mengindikasikan kelemahan atau pertentangan yang terjadi pada yang lebih kuat dalam pengambilan dalil dan argumentasi. Ketika ia menjelaskan mana dalil yang paling kuat dengan menggunakan ungkapanungkapannya yang terulang pada lembaran-lembaran bukunya, seperti: ash-shawab minal qaul (yang benar dari pendapat ini), ash-shawab minalqaulain (yang benar dari dua pendapat ini), ash-shawab minal aqwal (yang benar dari beberapa pendapat ini), fi dzalika ‘indi (dalam hal itu menurut saya), ‘indana (menurut kami), atau syai’an nahwa dzalika (serupa itu). Dalam buku tafsirnya akan ditemukan banyak contoh yang menunjukkan hal itu. Sehingga bisa dikatakan bahwa itu adalah ciri utamanya.
C. Penutup Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib, Abu Ja’far. Beliau dilahirkan di kota Amul (kota terbesar di Thabristan) pada tahun 225 H. Semenjak dini beliau terarah untuk menuntut ilmu dan mempelajari ilmu-ilmu agama. Beliau sudah hafalal-Qur’an semenjak berumur tujuh tahun. Beliau sudah menulis hadits ketika berumur sembilan tahun. Pendidikan Ath-Thabari dimulai dari kota kelahirannya sendiri. Lalu pada usia 12 tahun ia merantau ke kota Ray, sebelah utara Persia. Disini, ia belajar hadits kepada Muhammad bin Hamid ArRazi, seorang Imam Besar hadits. ia juga berguru kepada Ahmad bin Hammad Ad-Daulaby, seorang ulama yang terkenal sebagai ahli riwayah. Dari kota Ray, Ath-Thabari merantau ke Irak. Awalnya ia hendak menuju Baghdad untuk berguru kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Namun, ketika mendengar kabar bahwa ulama yang dituju wafat, ia beralih menuju Bashrah. Disini ia berguru kepada seorang penghafal hadits jenius, Abu Bakar Muhammad bin Basyar yang terkenal dengan nama Bundar. Banyak didapati pengakuan terhadap Imam Thabari dalam usahanya mengembangkan Tafsir, seperti berikut ini: Imam as-Suyuthi, seorang mufasir menyatakan seperti beri-
Mengungkap Tafsir Jami’ al-Bayan ... Amaruddin, MA
15
kut, “Kitab ibnu Jarir adalah kitab tafsir paling agung (yang sampai kepada kita). Di dalamnya beliau mengemukakan berbagai macam pendapat dan mempertimbangkan mana yang lebih kuat, serta membahas i’rob dan istinbat. Karena itulah ia melebihi tafsir-tafsir karya para pendahulu.” Syaikh Islam Ibnu Taimiyah telah memuji Imam Thabari, antara lain mengatakan, “Adapun tafsir-tafsir yang di tangan manusia, yang paling dahulu adalah tafsir Ibnu Jarir Ath thabari, bahwa beliau (Ibnu jarir) menyebutkan perkataan salaf dengan sanad-sanad yang tetap, dan tidak ada bid’ah sama sekali, dan tidak menukil dari orang yang Muttahim, seperti Muqatil bin Bakir dan Al Kalbi.” 6 As-Suyuthi telah meneliti thabaqah mufasir sejak awal kemunculan ilmu ini, dan ketika sampai pada Abu Jafar, ia menempatkannya pada thabaqah (tingkatan) yang pertama, kemudian ia berkata, “Jika engkau bertanya: Tafsir apa yang engkau sarankan dan dijadikan sebagai bahan rujukan? Maka aku katakan: Tafsir Ibnu Jarir, yang para ulama telah bersepakat bahwa belum ada kitab tafsir yang semisalnya.” Abu Muhamamad Abdullah bin Ahmad bin Jafar al-Farghani mengatakan bahwa ia pernah bermimpi mengikuti Majlis ilmu Abu Jafar dan manusia kala itu sedang membaca kitab Tafsir Ibnu jarir, lantas aku mendengar suara dari antara langit dan bumi yang mengatakan: Barangsiapa ingin mendengarkan al-Quran sebagaimana ia turun, maka dengarkanlah kitab ini.
Daftar Pustaka Al-Himawi, Yaqut. Mujam al-Adibba. Juz I. Beirut: Maktabah Syamilah Al-Qatthan, Manna’ Khalil. Mabahist fi Ulumil Al qur’an. Surabaya: Maktabah alHidayah At-Tahqiq. Tafsir al-Bayan an aya al-Quran li Ibn Jarir ath-Thabari. Cet. II. Kairo: Dar as-Salam, 2007 Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008 Shihab,M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1995 Shihab, M. Quraish. Sejarah dan Ulum al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999 6 Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz, 2 hal: 192. Dan Husain az-Zahabi, Tafsir wal Mufassirun, Juz: 1, h. 208.
Kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Karya Ibnu ‘Asyur Dan Kontribusinya Terhadap Keilmuan Tafsir Kontemporer Abd. Halim Staff Dosen Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan STIQ An-Nur Bantul Yogyakarta1
A. Pendahuluan Pembacaan terhadap al-Qur’an, baik dari segi pola penafsiran, epistemologi, metodologi, dan lain sebagainya, telah berkembang dari masa ke masa bahkan tidak akan pernah berhenti selama proses penafsiran dilakukan. Perkembangan pembacaan tersebut, mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit, merupakan konsekwensi logis dari usaha manusia untuk mendialogkan teks yang terbatas (al-nusus al-mutanahiyah) dengan konteks yang tidak terbatas (al-waqaillati gairu mutanahiyah). Di samping itu, hal tersebut merupakan implikasi dari pandangan teologis umat Islam bahwa alQur’an salih likulli zaman wa al-makan.2 Perkembangan pembacaan tersebut dapat dilihat dengan jelas misalnya dalam berbagai macam kategorisasi kecenderungan, kronologi waktu, tema yang dibahas baik al-Qur’an itu sendiri maupun tafsirnya. Berbagai macam kategorisasi telah digagas oleh para pengkaji al-Qur’an seperti Ignas Goldziher, J.J.G. Jansen, Muhammad Husein al-Zahabi, Aminah Wadud serta beberapa pemikir kontemporer lainnya.3 Abdul Mustaqim mencoba melihat lebih jauh tentang peta metodologi penafsiran al-Qur’an mulai dari pertama kali ia diwahyukan hingga masa kontemporer. Secara periodik, ia membagi kategori tafsir menjadi tiga periode, yakni periode klasik, pertengahan dan 1 Email :
[email protected] 2 Waryono Abdul Ghafur “Al-Qur’an Dan Tafsirnya Dalam Perspektif Arkoun” dalam Abdul Mustaqim-Sahiron Syamsuddin (ed.), Studi al-Qur’an kontemporer, hlm. xi. 3 Penjelasan tentang kategorisasi tafsir ini dapat dibaca secara lengkap dalam karya Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003).
Kitab Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir ... Abd. Halim
17
kontemporer. Dari penelitiannya, ia menyimpulkan bahwa penafsiran di masing-masing periode tersebut tidak lepas dari perkembangan penalaran manusia. Pada periode klasik penafsiran atas al-Qur’an cenderung bersifat mitis, periode pertengahan cenderung ideologis sedangkan pada periode kontemporer penafsiran al-Qur’an memiliki kecenderungan ilmiah.4 Meskipun pada bagian pembahasan mazhab tafsir periode kontemporer, ia tidak membuat pemetaan yang jelas seperti yang dilakukan J.J.G Jansen. Namun yang menarik dari pernyataan Abdul Mustaqim sebagai sebuah kesimpulan dari kajiannya tersebut adalah ketika ia mengatakan, Para mufassir tradisional kebanyakan cenderung melakukan penafsiran dengan memakai metode tahlili (analitis), sedang dalam masa kontemporer, penafsiran banyak dilakukan dengan menggunakan metode ijmali (global), maudu’i (tematis) atau penafsiran ayat-ayat tertentu tetapi dengan menggunakan pendekatanpendekatan modern seperti pendekatan semantik, analisis jender, semiotik, hermeneutika, dan lain sebagainya.5 Dari kenyataan tersebut, peneliti merasa tertarik untuk mengungkap epistemologi tafsir karya Muhammad Thahir bin ’Asyur (selanjutnya disebut Ibnu ’Asyur) dalam kitab tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir. Kitab ini jika dilihat dari kacamata periodisasi tafsir versi Abdul Mustaqim tergolong tafsir kontemporer karena ditulis pada penghujung abad kedua puluh. Sedangkan metode yang ia pakai dalam tafsir tersebut adalah metode analitis dengan menafsirkan semua ayat al-Qur’an mulai dari surat al-Fatihah hingga surat al-Nas. Sebagaimana disebutkan di awal bahwa penafsiran semacam ini biasa dilakukan oleh para mufassir klasik. Ada beberapa alasan akademis yang membuat tafsir Ibnu Asyur ini perlu dikaji secara mendalam. Ibnu ‘Asyur merupakan tokoh yang memiliki keunikan baik dari sisi kepribadian maupun kitab yang ditulisnya. Di antaranya: Pertama, Ibnu ‘Asyur merupakan tokoh besar dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat di bidang tafsir di Tunisia. Hal ini terbukti ketika ia diangkat sebagai mufti6 di 4 Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, Peta, hlm. 120. 5 Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, Peta, hlm. 97. 6 Mufti adalah ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks
18
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
negaranya. Kedua, Ibnu ’Asyur merupakan salah satu tokoh perintis wacana Maqasid al-Syari’ah sepeninggal al-Syatibi dan secara kondisional menuangkan ide maqasid-nya dalam karya tafsirnya.7 Ketiga, Ibnu ’Asyur dipandang sebagai ulama yang objektif. Meskipun ia bermazhab Maliki, ia tidak segan-segan mengunggulkan mazhab yang lain apabila ia menemukan data yang lebih kuat dan valid. Keempat, kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibnu ’Asyur ini mempunyai pengaruh dan daya tarik tersendiri sehingga ia menjadi perbincangan para pakar tafsir internasional dalam sebuah forum khusus yakni Multaqa Ahl al-Tafsir.8
B. Pembahasan a. Biografi Pengarang Kitab 1. Biodata Ibnu Asyur Ibnu ’Asyur nama lengkapnya adalah Muhammad Tahir Tahir II bin Muhammmad bin Muhammad Tahir Tahir I bin Muhammad bin Muhammad Syazili bin ‘Abd al-Qadir bin Muhammad bin ‘Asyur. Ia lahir dari sebuah keluarga tehormat yang berasal dari Andalusia pada tahun 1296 H atau 1879 M dan wafat pada tahun 1393 H atau 1973 M. Tempat lahir dan wafatnya sama yaitu di Tunisia.9 Ibunya bernama Fatimah, anak perempuan dari Perdana Menteri Muhammad al-Aziz bin Attar. Kakek jauhnya yaitu Muhammad bin ‘Asyur mendatangi Tunisia dan kemudian menetap disana pada tahun 1060 H. Keluarga Ibnu ‘Asyur terkenal sebagai keluarga religius dan memberikan fatwa kepada umat. Fungsi mufti kadang-kadang diambil oleh suatu organisasi ulama seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun oleh Pengadilan Agama. Fatwa MUI hanya merupakan anjuran bagi umat sedangkan keputusan Pengadilan Agama memiliki suatu kekuatan hukum. http:// id.wikipedia.org/wiki/Mufti diakses pada tanggal 21 April 2011. 7 Arwani Syaerozi, “Para Pioner Kajian Maqasid Syari’ah” dalam www.fahmina. or.id/index diakses tanggal 21 April 2011. 8 http://www.tafsir.net/vb/showthread.php?t=3712 diakses pada 21-05-2010. 9 Abdul Qadir Muhammad Shalih, al-Tafsir wa al-Mufassirun fi al-’Asr al-Hadis, ‘Arad wa Dirasah Mufassalah, li Ahammi Kutub al-Tafsir al-Ma’asir (Beirut: dar alMa’rifah, t.t), hlm. 28.
Kitab Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir ... Abd. Halim
19
sekaligus pemikir. Kakek Ibn ‘Asyur, yaitu Muhammad Tahir bin Muhammad bin Muhammad Syazili adalah seorang ahli nahwu, ahli fiqih, dan pada tahun 1851 menjabat sebagai ketua qadi di Tunisia. Bahkan pada tahun 1860 ia dipercaya menjadi Mufti di negaranya.10 Ibn ‘Asyur dibesarkan dalam lingkungan kondusif bagi seorang yang cinta ilmu. Ia belajar al-Qur’an, baik hafalan, tajwid, maupun qira’at-nya di sekitar tempat tinggalnya. Setelah hafal al-Qur’an, ia belajar di lembaga Zaitunah sampai ia ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Zaitunah adalah sebuah masjid yang dalam perjalanan sejarah menjadi pusat kegiatan keagamaan yang berafiliasi kepada mazhab Maliki dan hanya sebagian yang menganut mazhab Hanafi. Masjid ini juga merupakan merupakan lembaga pendidikan yang bonafid setaraf dengan al-Azhar. Ia merupakan masjid dari sekian masjid kuno yang selama berabad-abad berfungsi sebagai pusat pendidikan, informasi dan penyebaran ilmu.11 Selain belajar kepada ayahnya, Syaikh Muhammad bin ‘Asyur, ia juga belajar kepada tokoh-tokoh terkemuka di kampung halamannya seperti Syaikh Ibrahim al-Riyahi, Syaikh muhammad bin al-Khaujah, Syaikh ‘Asyur al-Sahili, dan Syaikh Muhammad al-Khadr.12 2. Latar Belakang Pemikiran dan Karier Intelektualnya Sekitar awal abad 14 H., Ibnu ‘Asyur memulai petualangannya menuntut ilmu pengetahuan Islam dengan bergabung dalam lembaga pendidikan Zaitunah, Tunisia. Zaitunah ini setaraf dengan al-Azhar di Mesir, dari model pendidikannya yang berpusat pada sebuah masjid dan begitu pula usia berdiri atau eksisnya lembaga pendidikan 10 Tim Penyusun, “Ibn ‘Asyur” , The Encyclopedia Of Islam. New Edition (Leiden ,tp, 1971), Vol. III, h. 720. 11 Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, terj. Syahdianor dan Faisal Saleh (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 313. 12 Muzakki, “Tafsir Ibnu ‘Asyur” dalam http://pemudabugis.multiply.com /journal/item/240 diakses tanggal 21 Mei 2010.
20
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
tersebut.13 Ibn ‘Asyur menjadi salah satu ulama besar di Tunisia. Setelah menyelesaikan pelajarannya di Zaitunah, ia mengabdikan diri kepada lembaga tersebut dan menempati berbagai posisi di bidang agama. Karirnya sebagai pengajar bermula pada saat ia menjadi mudarris (pengajar) tingkat kedua untuk mazhab Maliki di Masjid Zaitunah. Menjadi mudarris tingkat pertama pada tahun 1905. Pada tahun 1905 sampai 1913 ia mengajar di Perguruan Sadiqi. Dia terpilih menjadi wakil inspektur pengajaran di Masjid Zaitunah pada tahun 1908. Pada tahun berikutnya ia menjadi anggota dewan pengelola perguruan Sadiqi.14 Ia diangkat menjadi qadi (hakim) mazhab Maliki pada tahun 1913 dan diangkat menjadi pemimpin mufti (Basy Mufti) mazhab Maliki di negara itu pada tahun 1927. ia juga seorang mufassir, ahli bahasa, ahli nahwu dan ahli di bidang sastra. Ia terpilih menjadi anggota Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah di Mesir dan Damsyq pada tahun 195015 dan anggota Majma’ al-Ilmi al-Arabi di Damaskus pada tahun 1955. Ia banyak menulis baik berupa buku maupun artikel di berbagai majalah dan koran di Tunisia. Ibnu ’Asyur memiliki peran yang sangat penting dalam menggerakkan nasionalisme di Tunisia. Beliau hidup sezaman dengan ulama ternama di Mesir, Muhammad alKhadr Husein at-Tunisy yang menempati kedudukan Masyikhatul al-Azhar (Imam Besar al-Azhar). Keduanya adalah teman seperjuangan, ulama yang sangat luar biasa, memiliki tingkat keimanan yang tinggi, sama-sama pernah dijobloskan ke dalam bui lantaran karena mempertahankan pemahaman dan ideologinya serta menanggung penderitaan yang sangat berat demi memperjuangkan negara dan agama. Pada akhirnya Muhammad al-Khidr ditakdirkan oleh Allah 13 Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif, hlm. 313. 14 http://haanadza.blogspot.com/2008/03/biografi-ibn-’Asyur-penulis-tafsir-t. html.# diakses tanggal 12 Januari 2011. 15 Abdul Qadir Muhammad Shalih, al-Tafsir wa al-Mufassirun fi al-’Asr al-Hads, hlm. 228.
Kitab Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir ... Abd. Halim
21
menjadi mufti Mesir, sedangkan Ibnu ‘Asyur sendiri menjadi Syeikh Besar Islam di Tunisia. Sebelum menjadi Syekh Besar, beliau pernah mendapat kepercayaan menjadi Qadhi (hakim) di Tunisia yang kemudian diangkat menjadi seorang penentu fatwa keagamaan (mufti) di negara tersebut.16 Kondisi saat itu, di saat pemerintah dipimpin oleh seorang yang diktator, menggiring Ibnu ‘Asyur berseteru dengan pemerintah. Ia menentang pemerintahan dengan mengumpulkan kekuatan untuk menyampaikan pesan agama. Bahkan akibat dari perbuatannya, ia dikabarkan dicopot dari kedudukannya sebagai Syekh Besar Islam. Akhirnya, Ibnu ‘Asyur memutuskan untuk berdiam diri di rumahnya dan menikmati kembali kegiatan rutinnya membaca dan menulis. Dalam masa-masa itu, ia menulis karya tafsir yang kemudian menjadi salah satu karya master piecenya, yakni kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir. Ibnu ‘Asyur termasuk ulama yang sangat produktif. Terbukti dengan karya-karya yang ia tulis dari berbagai macam disiplin ilmu seperti tafsir, maqasid Syari’ah, fiqh, usul fiqh, dan lain sebagainya. Di antatra karyanya adalah: Alaisa al-Subh bi Qarib, Maqasid al-Syari’ah al-Islamiyyah, Uslul anNizam al-Ijtima ‘i fi al-Islam, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, al-Waqf wa Asaruhu fi al-Islam, Uslu al-Insya’i wa al-Khitabah, Mujiz alBalagah, Hasyiyyah ala al-Qatr, Syarh ’ala Burdah al-Busyiri, al-Gaits al-Ifriqi, Hasyiyyah ’ala al-Mahalli ’ala jam’ al-Jawami’. Hasyiyah ’ala Ibn Sa’id al-Usymuni, Hasyiyyah ’ala Syarh al-Isam li Risalati al-Bayan, Ta’liq ‘ala ma Qara’ahu min Sahihi Muslim, al-Ijtihad al maqasidi, al-Istinsakh fi Dou’i al-Maqasid, al-Maqasid al-Syar’iyyah: Ta’rifuha, Amsilatuha, Hujjiyyatuha, al-Maqasid al-Syar’iyyah: wa Sillatuha bi al adillah al-Syar’iyyah wa alMustalahat al-Usuliyyah, al-Maslahah al Mursalah, al-Istiqra’ wa Dauruhu fi Ma’rifati al-Maqasid), al-Munasabah al-Syar’iyyah, al-Maqasid al-Syar’iyyah fi al-Hajj. Dari karya-karya yang beliau hasilkan, tidak diragukan lagi tentang kapasitas beliau sebagai seorang ilmuan 16 Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, hlm. 314.
22
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
di bidang tafsir dan maqashid al-Syariah. Oleh karenanya, sebagian ulama menyatakan bahwa kitab al-Tahrir wa al-tanwir adalah kitab tafsir al-maqashidi atau tafsir yang bernuansa maqashid syariah. b. Sekilas tentang Kitab Al-Tahrir wa al-Tanwir Kitab tafsir karya Ibnu ‘Asyur ini berjumlah dua belas jilid dan memuat seluruh penafsiran al-Qur’an mulai dari surat yang pertama, al-Fatihah, hingga yang terakhir, an-Nas yang terbagi kedala tiga puluh juz. Satu jilid bisa memuat beberapa juz tergantung ketebalan kitabnya yang variatif. Jumlah halaman kitab ini cukup tebal. Satu jilid bisa memuat seribu halaman lebih. Kitab ini diterbitkan oleh Dar Souhnoun li al-Nasyr wa al-Tauzi’ di Tunisia. Kitab ini diawali dengan beberapa pengantar kitab. Secara tegas, Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa penulisan karya tafsirnya itu merupakan puncak keinginannya untuk menulis sebuah karya tafsir yang mengandung kemaslahatan dalam hal ke duniaan dan agama. Serta mengandung sisi kebenaran yang kuat, yang mencakup ilmu-ilmu secara komprehensif, serta mengungkap sisi ke-balagah-an al-Qur’an untuk menjelaskan percikan ilmu dan istinbat hukum darinya. Dan juga menjelaskan akhlak-akhlak yang mulia darinya.17 Ibnu ‘Asyur dalam menulis karyanya banyak merujuk kitab-kitab tafsir klasik seperti al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari, al-Muharrar al-wajiz karya Ibnu ‘Atiyyah, Mafatih al-Gaib karya Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Baidawi, tafsir al-Alusi, serta komentar at-Tayyi’, al-Qazwini, al-Qutub, dan at-Taftizani terhadap al-Kasysyaf beserta kitab-kitab tafsir lainnya.18 Namun yang paling banyak ia kutip adalah kitab al-Kasysyaf karya alZamakhsyari, meskipun ia tidak sepenuhnya sependapat dengan apa yang dikemukakan Zamakhsyari dalam kitabnya. Oleh karenanya, dalam kitab tafsir ini, banyak dijumpai penjelasan-penjelasan tafsir dari sisi linguistiknya dan merujuk tafsir al-Kasysyaf. Dalam pengantarnya, Ibnu ‘Asyur menyatakan, “Dalam tafsir yang saya tulis ini, saya fokuskan pada penjelas17 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz I (Tunisia, Dar Souhnoun, t.t), hlm. 5. 18 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz I, hlm. 7.
Kitab Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir ... Abd. Halim
23
an tentang berbagai macam kemukjizatan al-Qur’an serta mengungkap kelembutan sisi kebalagahah bahasa Arab dan uslubuslub penggunaaannya. Dan juga saya menjelaskan hubungan ketersambungan antara satu ayat dengan yang lain.”19 Selanjutnya, Ibnu ‘Asyur membagi muqaddimah (pengantarnya)-nya ke dalam sepuluh bagian. Secara keseluruhan pengantarnya berisi tentang landasan teoritis Ibnu ‘Asyur tentang ilmu al-Qur’an. Kesepuluh muqaddimah tersebut antara lain: Muqaddimah pertama membahas Tafsir dan Ta’wil, Muqaddimah kedua pembahasan tentang ilmu bantu tafsir, muqaddimah ketiga mengenai keabsahan sekaligus makna tafsir bi al-ra’y, muqaddimah keempat mengenai tujuan tafsir, muqaddimah kelima tentang azbab al-nuzul, muqaddimah keenam tentang qira’at, muqaddimah ketujuh mengenai kisah-kisah dalam al-Qur’an, muqaddimah kedelapan tentang sesuatu yang berhubungan dengan nama-nama al-Qur’an beserta ayat-ayatnya, muqaddimah kesembilan tentang makna global al-Qur’an, dan muqaddimah kesepuluh tentang i’jaz al-Qur’an.20 c. Metode Penafsiran Tafsir Ibnu ’Asyur ini, menggunakan metode tahlili de ngan kecenderungan tafsir bi al-ra’y. Dikatakan menggunakan metode tahlili karena Ibnu ’Asyur dalam menulis tafsirnya menguraikan ayat demi ayat sesuai dengan urutan yang tertera dalam mushaf. kemudian ia menjelaskan kata per kata dengan sangat detail mengenai makna kata, kedudukan, usامل إن اهلل أنزل جربيل على حممد بالقرآن lub bahasa Arabnya serta aspek-aspek lainnya yang sangat luas, misalnya امليتةketika menjelaskan خلق القرأنlafaz ) احلمد هلل (الذيal-hamdulillahi جعل أنزل dalam surat al-Fatihah, ia menghabiskan empat belas hala man dengan penjelasannya yang sangat rinci dan meluas.21 Selanjutnya, dikatakan memiliki kecenderungan tafsir bi al-ra’y, ُرِبmenjelaskan ق وَالْمَ ْغ ُ ِالْمَشْرuraian وَلِلَّ ِهtafsirnya bankarena Ibnu ’Asyur dalam
فََأيْنَمَا ُتوَُّلوْا 20 Muqaddimah ini cukup panjang hingga menghabiskan 100 halaman lebih. َل ِّ َترْضَاهَا َفوMًةuhammad وَلِّيَنَّكَ قِبَْلTahir ءِ فَلَُنIbnu ‘السَّمَاAsyur, فِيTafsir َ ْجهِكal-Tahrir قَلُّبَ َوwaَ تal-Tanwir, قَدْ َنرَىJuz I, hlm. 10-130. penjelasan Ibnu ‘Asyur mengenai lafaz al-hamdulillahi ini dalam Muham وُجُوهَكُ ْم21 Lihat َلُّواmad مْ َفوTahir ُ كُنْتIbnu ‘ثُ مَاAsyur, ْ َوحَيTafsir ِحرَام َ al-Tahrir ْسْجِدِ الwaَلْمal-Tanwir, كَ شَ ْطرَ ا ََو ْجه Juz 1, hlm. 152-166. ُشَ ْط َره َِم َو ْج ُه اللَّه َّ فَث 19 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz I, hlm. 8.
24
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
yak menggunakan logika yakni logika kebahasaan. Selain itu, secara eksplisit, ia mengatakan bahwa dalam menulis tafsirnya, Ibnu ’Asyur ingin mengungkap sisi kebalagahan al-Qur’an.22 Sedangkan corak penafsiran tafsir ini merupakan tafsir Adabi al-Ijtima’i yakni karya tafsir yang mengungkap ketinggian bahasa al-Qur’an serta mendialogkannya dengan realitas sosial kemasyarakatan. Adapun metode teknis atau langkah-langkah penulisan tafsir yang ditempuh oleh Ibnu ’Asyur ini dapat diuraikan sebagai berikut: a) Menjelaskan nama, jumlah, serta spesifikasi makki-madani sebuah surat. Dalam menjelaskan nama surat, Ibnu ’Asyur biasanya merujuk pada sebuah hadis, perkataan sahabat, tabiin, atau beberapa mufassir klasik seperti al-Qurtubi, al-Suyuti, dan lain sebagainya. Misalnya ketika menjelaskan surat nama surat al-Zumar, Ibnu ’Asyur mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dari ’A’isyah.23 b) Menguraikan tujuan-tujuan (agrad) al-Qur’an yang terdapat dalam sebuah surat. Ibnu ’Asyur di setiap awal penjelasan surat dalam tafsirnya menguraikan tujuan-tujuan yang terkandung dalam sebuah surat tersebut.24 c) Mengemukakan azbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya) ayat. Setelah menjelasakn nama surat dan hal-hal yang berkaitan dengannya, Ibnu ’Asyur mengungkap azbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) untuk ayat-ayat yang memang memiliki azbab al-nuzul. Dalam menjelaskan azbab al-nuzul ini, Ibnu ’Asyur adakalanya mengutip sebuah hadis dari Nabi atau kisah yang disampaikan oleh para sahabat
22 Lihat kembali pengantar Ibnu ‘Asyur dalam Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 1, hlm. 5. 23 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Juz 23, hlm. 311. 24 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir ... hlm. 312-313.
Kitab Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir ... Abd. Halim
25
Nabi.25 d) Menganalisis makna serta kedudukan kata dalam bahasa Arab. Analisis kata per kata dan menjelaskan ketinggian nilai bahasa al-Qur’an adalah metode yang paling sering digunakan oleh Ibnu ’Asyur dalam tafsirnya. Bahkan di setiap menjelaskan suatu ayat, Ibnu ’Asyur tidak lepas dari analisis kata yang merupakan ciri khas dari tafsirnya. e) Menjelaskan tafsir suatu ayat dengan al-Qur’an atau hadis. Dalam menjelaskan tafsirnya, Ibnu ’Asyur juga sering menggunakan ayat al-Qur’an atau hadis. f) Mengungkapkan perbedaan qira’at dan menjelaskan penafsiran dari masing-masing qira’at serta men-tarjih (mengunggulkan) salah satu yang paling kuat. g) Mengutip pendapat para Ulama dan terkadang membandingkannya serta memilih pendapat yang lebih kuat. h) Menjelaskan keterkaitan ayat (tanasub al-ayat) dalam alQur’an. Dalam menjelaskan keterhubungan antar ayat ini, Ibnu ’Asyur mengikuti metode yang digunakan oleh al-Biqa’i dalam kitabnya Nazm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar.26 d. Kontribusi Tafsir Ibnu ‘Asyur dalam pengembangan Tafsir Jika ditilik dari perkembangan tafsir di era kontemporer, karya tafsir Ibnu ’Asyur ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Dengan gayanya yang khas, tafsir ini telah menyumbangkan beberapa pemikiran yang cukup inovatif. Sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Mustaqim dalam karyanya Epistemologi Tafsir Kontemporer, bahwa paradigma tafsir kontemporer meniscayakan kritisisme, objektivitas, dan keterbukaan bahwa produk penafsiran itu tidaklah kebal dari kritik.27 Ada beberapa kontribusi yang disumbangkan Ibnu ’Asyur dalam 25 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir... hlm. 103. 26 Hadi Ma’rifah, al-Tafsir wa al-Mufassirun fi Wajhihi al-Qasyib, Juz 2, hlm. 1025. 27 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 84.
26
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
karya tafsirnya. Di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, Ibnu ’Asyur membuat gradasi tafsir bi al-ra’yi menjadi lima tingkatan. Yakni 1) penafsiran yang hanya terlintas di benak seseorang dan tidak disandarkan pada dalil-dalil bahasa Arab dan maqasid al-syari’ah serta aplikasinya. Penafsiran semacam ini menurut Ibnu ’Asyur merupakan penafsiran bi al-ra’yi yang dilarang dalam hadis karena menafsirkan al-Qur’an tanpa menggunakan dasar ilmu. Penafsiran seperti ini dianggap salah meskipun ia benar karena tidak berdasarkan ilmu. Misalnya ketika seorang penafsir menafsirkan ( ) املalif lam mim بالقرآن dengan tafsiran:
ل جربيل على حممد جعلعلى أنزل امل حممد بالقرآن امليتةجربيل ذي خلق القرأن إن اهلل أنزل Jibril kepada Muhammad Artinya: Sesungguhnya Allah menurunkan Nabi القرأنخلق الذي احلمد هلل امليتة جعل أنزل dengan membawa al-Qur’an. 2) Penafsiran tidak ُق وَالْمَ ْغرِب ُ yang tidak mendalam karena merenung kan al-Qur’an dengan sesungguhnya (al-la yatadabbar al-Qur’an ا haqqa tadabburih). 3) Tafsir yang cenderung ُلْمَ ْغرِبmemihak ق وَا ُ ِ الْمَشْرpada وَلَِّل ِه maz\hab atau kelompoknya. Dalam tafsir bentuk ini, seorang َل ِّ وفََُّللَُنوْاوَلِّيَنَّكَ قِبَْلةً َترْضَاهَا َفوyang penafsir memalingkan makna al-Qur’an dari makna السَّنَممَاَاءِ ُت ْيseقَلُّبَ َو ْجهِكَ فِي فََأ benarnya. Dalam lain perkataan, orientasi penafsiranَجُوهbahwa َ ْْطرَ الْمَسْجِدِ ال َل ِّ السَّكُم ْمَاءِ فَلَُنوَلِّيَنَّكَ قِبَْلةً َترْضَاهَا َفو ُّوا فوُِي َثُ تَمقَاَلُّبَكُنْتُ َومْ ْجَفهِوَلك حرَامِقَدْ َو َنحَيْرَى 28
nya ditujukan untuk mendukung dan memperkuat mazhab ْمatau ُُو َهكkelompoknya. كُنْتُمْ َفوَلُّوا وُج4)مَاpenafsiran ُمِ َوحَيْثdengan حرَا َ ْجِدِ الakal ْمَسberdasarkan ْْجهَكَ شَ ْطرَ الapaَو yang terkandung dalam kata-kata dalam al-Qur’an. Dalam hal ِلَّه ini, penafsir beranggapan bahwa yang terdapat dalam kata ُشَ ْط َرهdi dalam al-Qur’an adalah satu-satunya makna dan menghindari ِإَِلهِ النَّاس mena’wilkan al-Qur’an yang terlalu jauh. 5) menafsirkan َِم َو ْج ُه اللَّه َّ alفَث Qur’an dengan sangat hati-hati di dalam merenungkan dan ِالنَّاسtafsir ِس إَِله ِ biالنَّاal-ra’yi ِمَلِك mena’wilkan al-Qur’an.29 Dari kelima gradasi yang dibuat oleh Ibnu ‘Asyur ini ini dapat dipahami bahwa عمر الفاروق,حفص الناسkarya رب Ibnu ‘Asyur telah membangun budaya kritisisme dalam ِلَّهtafsir دأيبُو ِن الklasik, سريةْن ِبَارَهُ ْم وَرُهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا م tafsirnya. Di samping ia menghargai karya-karya الفاروق عمر,حفص ia juga sangat kritis, selektif dan hati-hati dalam menjadikan mereka sebagai sumber diungِِن اللَّهrujukan ًا مِ ْن دُوtafsirnya. هْبَاَنهُ ْم أَرْبَابSebagaimana ُُوا َأحْبَارَهُ ْم وَر اتَّخَذ kap di awal bahwa tafsir kontemporer meniscayakan budaya
ِ إَِلهِ النَّا س 28 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir... hlm. 30. )۲۲( ٌللبيانة غاية نَا ِظ َر ) إِلَى رَِّبهَا۲۲( ض َرٌة ِ ذٍ نَا 29 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir... hlm. 31-32. ل ( )۲۲( ٌَى رَِّبهَا نَا ِظ َرة ِ) إ۲۲ َرٌةض َِان ٍذِئَمَْيو ٌهجُو ُو ْمرَأ ْنَعُُتهْلَفَع َام َ وهَاْن َ عبَاَْقرَت ِى
فَتَكُونَا
الظاملني
Kitab Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir ... Abd. Halim
27
kritisisme terhadap karya-karya tafsir yang ada. Kedua, Ibnu ‘Asyur dinilai sebagai ulama yang objektif. Meskipun ia menganut mazhab Maliki, ia tetap menekankan budaya objektivitas dalam karyanya. Sebagaimana diungkap di awal bahwa salah satu ciri penafsiran kontemporer adalah penafsiran non-sektarian atau dengan kata lain seorang penafsir tidak boleh terjebak dalam kungkungan mazhab atau kelompok tertentu. Ibnu ‘Asyur meskipun bermazhab Maliki, ia tetap berusaha objektif dalam karya tafsirnya. Barangkali inilah salah satu kontribusi Ibnu ‘Asyur dalam pengembangan tafsir, bahwa seseorang penafsir sah-sah saja menganut suatu mazhab asalkan mengetahui dalil-dalil dari suatu hukum atau suatu pandangan dari mazhab yang dianutnya serta selalu melakukan crosceck ulang dan memilih pendapat yang paling benar berdasarkan dalil-dalil yang ada. Salah satu sikap objektif yang ditunjukkan oleh Ibnu ‘Asyur dalam karya tafsirnya adalah ketika beliau men-tarjih mazhab yang berse( املmengunggulkan) حممد بالقرآن جربيل على إن اهلل أنزل berangann dengan mazhabnya sendiri. Contohnya adalah kedalamخلق Q.Sالذي al-Baqatika beliau menjelas kata ( ) امليتةal-maitatuالقرأن احلمد هلل جعل أنزل rah (2):173 setelah menjelaskan keharaman memakai bangkai ‘Asyur kepada penjelasan penggunaan binatang,Ibnu masuk kulit binatang. Ibnu ‘Asyur menguraikan pendapat keempat ُرِبMaliki. ق وَالْمَ ْغ ُ Imam ِوَلَِّل ِه الْمَشْر Imam mazhab yakni Hanbali, Syafi’i, Hanafi dan Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa kulit bangkai binatang فََأيْنَمَا ُتوَُّل tidak bisa suci meskipun disamak (dibersihkan denganوْاbahan pekat pohon Imam َل ِّ َفوseperti َترْضَاهَاdaun ًكَ قِبَْلة ََّفلَُنوَلِّيَنara). ِالسَّمَاء فِيSyafi’i َ ْجهِكmengatakan قَدْ َنرَى تَقَلُّبَ َو bahwa kulit binatang bisa suci apabila dibersihkan (disamak) kecuali Sedangkan كُ ْمkulit َوُجُوهbabi وَلُّواdan تُمْ َفanjing. ْثُ مَا كُن ْحرَامِ َوحَي َ Imam ْسْجِدِ الAbu َ الْمHanifah ََو ْجهَكَ شَ ْطر mengatakan bahwa kulit bangkai itu bisa suci asal dibersihkan ْ َش (disamak) kecuali daging babi. Pendapat Imam Abu Hanifahُط َره ini disandarkan kepada sebuah hadis dari al-Zuhri sedangkan َِم َو ْج ُه اللَّه َّ فَث yang lain tidak ada sandaran hadisnya. Di akhir penjelasannya, Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa pendapat yang paling kuat ِس إَِلهِ النَّاس ِ مَلِكِ النَّا dari keempat mazhab tersebut adalah pendapat Imam Abu Hanifah karena disandarkan kepada sebuah riwayat hadis. رب الناس Sedangkan pendapat yang lain tidak ada dalil hadisnya, ter-
عمر الفاروق,سرية أيب حفص ِاتَّخَذُوا َأحْبَارَهُ ْم وَرُهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا مِ ْن دُو ِن اللَّه ِإَِلهِ النَّاس غاية للبيان
28
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
masuk Imam Maliki yang notabene dianut oleh Ibnu ‘Asyur.30 Dari penjelasan ini dapat dikatakan bahwa Ibnu ‘Asyur dengan karya tafsirnya memberikan andil yang cukup signifikan dalam hal objektifitas menafsirkan al-Qur’an. Peneliti menangkap pesan bahwa untuk bersikap objektif, seorang mufassir tidak perlu meninggalkan mazhab yang dianutnya akan tetapi sikap objektif itu bisa dicapai dengan ilmu yang memadai serta tekad yang kuat untuk mengungkap kebenaran al-Qur’an sebagaimana tercermin dari sikap Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya. Ketiga, asumsi dasar Ibn ‘Asyur yang menyatakan bahwa tujuan al-Qur’an diturunkan itu adalah untuk menciptakan kemaslahatan seluruh urusan umat manusia (li salahi amri alnas kaffah). Secara rinci ia melanjutkan bahwa kemaslahatan umat manusia itu akan tercapai dengan tegaknya kemaslahatan personal (al-shalah al-fard), kemaslahatan sosial kemasyarakatan (al-shalah al-jama’i) serta kemaslahatan peradaban (al-salah al-‘umrani).31 Ketiga unsur kemaslahatan ini tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, sebuah karya tafsir haruslah menjadi sesuatu yang solutif bagi berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat manusia. e. Kelebihan dan KekuranganTafsir Karya Ibnu ’Asyur Kitab tafsir karya Ibnu ’Asyur ini memiliki kelebihan beserta kekurangannya. Di antara kelebihannya adalah bahasan dari kata-kata al-Qur’an yang sangat luas dan terperinci. Pembahasan di dalamnya disesuaikan dengan pokok bahasan yang ada dalam al-Qur’an. Apabila ayat tersebut berhubungan dengan ilmu fiqih, maka Ibnu ’Asyur menjelaskan permasalahan fiqihnya beserta perbincangan ulama mengenainya. Ibnu ’Asyur dalam membahas masalah fiqih biasanya menguraikan semua pendapat ulama’ dan kemudian memilih yang paling kuat berdasarkan dalil yang ia ajukan. Selain itu, tafsir ini memiliki kelebihan dalam hal pembahasan tentang keindahan susunan bahasa al-Qur’an. Ibnu ’Asyur juga seringkali mengaitkan bahasannya dengan masalah akhlaq (etika). Hal ini menjadikan tafsir ini sebagai pedoman bagi manusia dalam 30 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir.. hlm. 116. 31 Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir.. Juz 1, hlm. 38.
Kitab Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir ... Abd. Halim
29
berakhlaq baik dengan Tuhan, manusia, serta makhluk hidup di sekitar kita. Sedangkan kekurangan dari karya tafsir ini sama dengan karya tafsir dengan metode tahlili lainnya, yakni terkesan bertele-tele. Penjelasannya terlalu melebar sehingga point yang ingin disampaikan kadang sulit ditangkap. Peneliti berpandangan bahwa kitab ini sangat cocok untuk kalangan advanced, yakni kalangan yang sudah memiliki ilmu pengetahuan yang cukup memadai untuk keperluan akademis. Untuk masyarakat awam, kitab ini akan terasa sulit dipahami dan tidak praktis karena penjelasannya terlalu luas. Oleh karena itu, harus ada penyambung lidah seperti yang dilakukan oleh Quraish Shihab yang banyak mengutip kitab tafsir karya Ibnu ’Asyur ini. Kekurangan lain dari tafsir karya Ibnu ’Asyur adalah kutipankutipan hadis yang tidak disertai dengan penyebutan kualitas hadis sehingga hadis-hadis yang dijadikan rujukan masih perlu dilihat kembali apakah hadis tersebut berkedudukan shahih atau dhaif dan lain sebagainya.
C. Kesimpulan Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tafsir Ibnu ‘Asyur merupakan salah satu mahakarya tafsir yang memiliki banyak kelebihan dan keistimewaan di samping juga ada beberapa kekurangan. Tafir karya Ibnu Asyur memiliki peran yang sangat penting dalam kancah keilmuan tafsir kontemporer. Budaya kritisisme dalam tafsir ini sangat bagus dan merupakan sikap yang perlu dikembangkan. Selain itu, asumsi dasar penafsiran serta pedoman-pedoman penafsiran yang digagas Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya bisa menjadi pijakan ulama-ulama kontemporer dalam menulis karya tafsir.
Daftar Pustaka al-Farmawi, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudu’i, Suatu Pengantar terj. Suryan A. Jamrah, Jakarta: PT. Raja Grivindo Persada, 1994. Ibnu ‘Asyur, Muhammad Tahir, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Jilid 1-12
30
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
(Juz1-30) Tunisia, Dar Souhnoun, t.t. Mahmud, Mani’ Abdul Halim, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode para Ahli Tafsir terj. Syahdianor dan Faisal Saleh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Ma’rifah, Muhammad Hadi, al-Tafsir wa al-Mufassirun fi Saubihi alQasyib, t.t: al-Jami’ah al-Radwiyyah li al-‘Ulum al-Islamiyyah, t.t. Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKIS, 2010 Mustaqim, Abdul – Syamsuddin, Sahiron (ed.), Studi al-Qur’an kontemporer, Yogyakarata: Tiara Wacana, 2002. Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran AlQur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003. Salih, Abdul Qadir Muhammad, al-Tafsir wa al-Mufassirun fi al-’Asr al-hadis, ‘Arad wa Dirasah Mufassalah, li Ahammi Kutub al-Tafsir al-Ma’asir, Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t. Software Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani. Tim Penyusun, The Encyclopedia of Islam, “Ibn ‘Asyur”, The Encyclopedia Of Islam. New Edition, Leiden : tp, 1971. Yusron, Muhammad., dkk, Studi Kitab Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: TH-Press, 2006. al-Zahabi, Muhammad Husein, al-Tafsir wa al-Mufassirun, t.t, Mus’ab Ibnu ‘Amir al-Islamiyyah, 2004.
Konsep Keadilan dan Indeterminasi Menurut al-Zamakhsyari (Analisis Terhadap Kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Tafsir al-Kasysyaf) Lenni Lestari Dosen IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa Abstrak Tafsir al-Kasysyaf dikenal sebagai salah satu karya tafsir ideologis yang memiliki keunikan tersendiri. Selain pesona linguistik yang begitu kental, tafsir ini juga sarat akan penanaman prinsip-prinsip Mu’tazilah. Tulisan ini mengkaji salah satu dari prinsip Mu’tazilah yang diusung al-Zamakhsyari dalam tafsirnya. Fokus masalah terletak pada; 1) Bagaimana prinsip keadilan dan indeterminasi menurut alZamakhsyari?, 2) Bagaimana prinsip ini diterapkan dalam ayat-ayat kisah Nabi Adam dan Hawa? Penulis menyimpulkan; 1) Konsep keadilan menurut al-Zamakhsyari adalah Tuhan harus adil dalam memberikan hukuman bagi orang yang melakukan keburukan dan memberikan pujian bagi orang yang melakukan kebaikan. Tuhan juga harus memberikan kebebasan bagi manusia untuk memilih jalan kebaikan atau keburukan. 2) Prinsip ini menempati posisi yang tepat dalam penafsiran al-Zamakhsyari terhadap kisah Nabi Adam dan Hawa. Mereka dipandang telah melakukan kedzaliman atas diri mereka sendiri dan wajar mendapat hukuman dari Allah swt.
Key Word : Kisah, Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, Keadilan, Indeterminasi
A. Satu Jam Bersama Maha Guru (al-Imam al-Kabir) al-Zamakhsyari Abu al-Qasim Mahmud bin ‘Umar bin Muhammad bin ‘Umar al-Khuwarizmi al-Zamakhsyari yang akrab dipanggil dengan al-Zamakhsyari ini, lahir di kota Zamakhsyari,1 tanggal 27 Rajab 467 H atau 18 Maret 1075 M. Dilihat dari masa tersebut, ia lahir pada masa pemerintahan Sultan Jalal al-Din Abi al-Fath Maliksyah dengan wazirnya Nizam al-Mulk. Wazir ini terkenal sebagai orang yang aktif dengan pengembangan kegiatan keilmuan. Dia mempunyai kelompok diskusi yang terkenal maju dan selalu penuh dihadiri para il1 Yaqut bin ‘Abdillah al-Hamawi Abu ‘Abdillah. Mu’jam al-Buldan. Jilid III. (Beirut: Dar al-Fikr. T.th), hlm. 147.
32
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
muan dari berbagai kalangan.2 Al-Zamakhsyari dikenal sebagai orang yang berambisi memperoleh jabatan di pemerintahan. Namun ia selalu gagal meraih cita-citanya tersebut. Hal ini kemungkinan karena 2 hal, yaitu; 1) Ia bukan saja dari ahli bahasa dan sastra Arab, tetapi dari seorang Mu’tazilah yang sangata demonstratif dalam menyebar-luaskan pemikirannya dan ini membawa dampak yang kurang baik bagi orangorang yang tidak berafiliasi pada Mu’tazilah. 2) Kondisi Jasmani yang kurang mendukung karena –kabarnya- ia kehilangan satu kakinya. Al-Zamakhsyari membujang seumur hidup. Sebagian hidupnya diabdikan untuk ilmu pengetahuan dan menyebarkan faham yang dianutnya. Ia wafat pada malam ‘Arafah tahun 538 H di negeri alJurja>niyah. Sebagai orang yang sangat fanatik membela mazhabnya, ia menerapkan segala aspek kehidupannya dengan nuansa keMu’tazilah-an. Salah satunya –disebutkan- ketika ia bertamu ke rumah seorang sahabatnya, ia berpesan kepada anggota keluarga tersebut dengan pernyataan, “Katakanlah pada sahabatku bahwa Abu al-Qasim al-Zamakhsyari al-Mu’tazili sedang menunggu di depan rumah.”3 Selanjutnya ketika ia menyusun kitab tafsirnya –Al-Kasysyaf-, املia memulainya بالقرآنdengan; إن اهلل أنزل جربيل على حممد pada kata pengantarnya
احلمد هلل الذي خلق القرأن امليتة جعل أنزل “Segala Puji hanya bagi Allah yang telah menciptakan al-Quran.” بالقرآن امل حممد على جربيل أنزل اهلل إن Setelah dikritik oleh pembaca, maka diubah oleh pembaca امل حممد بالقرآن امليتةartinya sama, القرأن الذي خلق ) جعل ( أنزلyang menjadi menciptakan. ُمَهلل ْغرِبNamun ْاحلمدوَال ق ُ ِشْرpada ََِّل ِه الْمceوَل takan terakhir, kata tersebut sudah diubah menjadi ( ) أنزل, جعل menu- امليتة أن وْا َل ُّ و ت ُ فََأيْنَمَا runkan. Menurut al-Zahabi, perubahan tersebut tidak dilakukan oleh al-Zamakhsyari, melainkan orang lain.4 قكَوَالْ فمَ ْغ ُِبَلْمَ َوشْرِْجه قَدْ َنرَى توَلقَِّلَلُِّه ا َل ِّ ِيرِبُالسَّمَاءِ فَلَُنوَلِّيَنَّكَ قِبَْلةً َترْضَاهَا َفو 2 Mustafa al-Sawi al-Juwaini. Manhaj al-Zamakhsyari fi Tafsir al-Quran. (Mesir: Dar وFauzan ْطنَرَمَا الُْتومََُّلNaif, ْكَ فَشََأي جُو َهكُ ْمT.th), َُلُّوا وhlm. مْ َفو25-26. َُا كُنْتSebagaimana مِ َوحَيْثُ مdikutip حرَا َ ْدِ الoleh ِسْاج ََو ْجه al-Ma’rifah. Al-KasyStudi Kitab Tafsir. (Yogyakarta: Teras. َل ِّ َا َفوsyaf ضَاهKarya َْترhlm. ًَلةAl-Zamakhsyari, ْقِب44.ََاءِ فَلَُنوَلِّيَنَّكdalam السَّمbuku كَ فِي ِشَ ْط َرهُ قَدْ َنرَى تَقَلُّبَ َو ْجه 2004), َل ِّشَو ْطJilid كَ َف هَاI.(هََاT.tp: َتالَولَّرْهِْجضMaktabah ًَم قَِوبَْلْجة َفِي السَّمَاءِ فَلَُنوَلِّيَنَّفَثك Husain al-Zahabi. Al-Tafsir waِدal-Mufassirun. هَكُ ْم3 ُوMuhammad ج ُ و ُّوا َل و ف َ م ْ ت ُ ن ْ ُ ك َا م ث ُ ْ ي َ ح و َ م ِ َا ر ح َ ْ ل ا ج ِ ْ س م َ ل ْ ا ر َ ه ُ َّ Mus‘ab bin ‘Umar al-Islamiyah. 2004), hlm. 304. النُوَّاهَسِكُ ْمdalam ُّوا إَِلْطهِوَُرهُج الَفنَّاوَلRekonْحرَامِ َوحَيْثُ مَا مَلِكُنْتُكِم َ ْال َسش 4 Saad Abdul Wahid, Zamakhsyari dan Tafsir “Al-Kasysyaf”, ِbuku َِم َو ْج ُه اللَّه َّ رب الناسفَث ِعمرإَِلهِ النَّاس س ِ نَّا,حفصال ِسرية أيب مَلِك الفاروق
Konsep Keadilan dan Indeterminasi ... Lenni Lestari
33
B. Tafsir al-Kasysyaf a. Sejarah Penulisan Al-Zamakhsyari menulis kitab tafsirnya bermula dari permintaan suatu kelompok yang menamakan dirinya dengan sebutan “al-Fi’ah al-Najiyah al-‘Adliyah” atau kaum Mu’tazilah. Didorong oleh permintaan di atas, al-Zamakhsyari menulis kitab tafsir, dan kepada mereka yang meminta didiktekanlah mengenai fawatih al-suwar dan beberapa pembahasan tentang hakikat-hakikat dari surat al-Baqarah. Penafsiran al-Zamakhsyari tampak mendapat sambutan hangat di berbagai negeri. Berdasarkan desakan pengikut-pengikut Mu’tazilah di Makkah dan atas dorongan al-Hasan ‘Ali ibn Hamzah ibn Wahhas, serta semangat dari dirinya sendiri, al-Zamakhsyari berhasil menyelesaikan penulisan tafsirnya dalam waktu kurang lebih 30 bulan. Dimulai ketika ia berada di Makkah pada tahun 526 H dan selesai pada haris Senin 23 Rabi’ul Akhir 528 H. Tafsir ini terdiri dari 4 jilid dan bercorak i’tizali. b. Sumber Penafsiran Sumber-sumber yang dijadikan rujukan oleh al-Zamakhsyari dalam menulis kitab tafsirnya meliputi berbagai bidang ilmu, antara lain:5 1. Sumber tafsir; Tafsir al-Mujahid, Tafsir al-Zajjaz, Tafsir alRumani, Tafsir dari kelompok Jabbariyah dan Khawarij. 2. Sumber hadis; dalam menafsirkan al-Quran, al-Zamakhsyari mengambil dari berbagai macam hadis, tetapi yang disebutkan secara jelas hanya Sahih Muslim. Ia biasanya menggunakan istilah fi al-Hadis. 3. Sumber qiraat; Mushaf ‘Abdullah ibn Mas’ud, Mushaf Haris ibn Suwaid, Mushaf Ubay bin Ka’ab, dan Mushaf ulama Hijaz dan Syam. 4. Sumber Sastra; al-Hayaran karya al-Jahiz, Hamasah karya Abi Tamam, dan lain-lain. struksi Metodologi Ilmu-ilmu Ke-Islaman. (Yogyakarta: SUKA-Press. 2003), hlm. 266 5 Mustafa al-Sawi al-Juwaini. Manhaj al-Zamakhsyari fi Tafsir al-Quran. (Mesir: Dar al-Ma’arif. T.th), hlm. 80-89.
34
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
c. Metode dan Corak Penafsiran Tafsir al-Kasysyaf disusun dengan tartib al-mushafi. Setiap surat diawali dengan Basmalah, kecuali surat al-Taubah. Dalam menafsirkan al-Quran, terlebih dahulu ia menuliskan ayat akan ditafsirkan, kemudian memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasional, yang didukung dengan dalil-dalil dari riwayat hadis atau ayat al-Quran. Meskipun demikian, ia tidak terikat oleh riwayat dalam penafsirannya. Jika memang suatu riwayat mendukung pemikirannya, maka ia kutip. Bila tidak, ia akan menafsirkan tanpa menggunakan riwayat tersebut.6 Metode yang digunakan adalah metode tahlili dan berorientasi pada akal (rasio). Sehingga tafsir ini dapat dikategorikan ke dalam tafsir bi al-ra’yi, meskipun ada beberapa penafsiran املdalil naql.إن اهلل أنزل جربيل على حممد بالقرآن nya menggunakan Contoh penafsiran bi al-ra’yi dengan menggunakan احلمد هلل الذي خلق القرأن امليتة جعل أنزل metode tahlili, dalam QS. Al-Baqarah: 115,
امل إن اهلل أنزل جربيل على حممد بالقرآن جعل امليتة القرأن على حممد بالقرآنDan جربيل خلقأنزل الذي اهلل احلمد هلل إن kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Makaُبkemanapun ِق وَالْمَ ْغر ُ ِرkamu ْالْمَشmengوَلَِّل ِه hadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat خلق الذي هلل امل القرأن احلمد Nya) lagi Maha mengetahui. امل أنزلوْاجربيل على حممد بالقرآن فََأإنيْنَماهللَا ُتوَُّل • (ُب adalah Timur dan مَ ْغْلوَاق ُ ِ)امليتةوَلَِّل ِه الْمَشْر, maksudnya ِر احلمدَنرهلل َل ِّ أنزلبَْلةً َترْضَاهَا َفو ِجعلَنَّكَ ق القرأنكَ فِي السَّمَاءِ فَلَُنوَلِّي ِخلق َو ْجه َالذيَلُّب َى تَق ْقَد Barat, dan seluruh penjuru bumi, semuanya kepunyaan نَمَاَْأي َ ف ُُووَاَهلْمَكُ ْغْمرِبAllah. ُ ُمَُّواشْرِواولَْلَفَِّل ِهْوَلمُنْتكُاْوَاوَُّلمُت قج ُحرَامِ َوحَيْث َ َْو ْجهَكَ شَ ْطرَ الْمَسْجِدِ ال ك( فِي • السَّمَا ِء فَلَُنوَلِّيَنَّكَ قِبْلَة َ بَمَا َوُتوْجَُّلهِوْا قَدْ َنرَىke arah manapun َ)قفََلَُّأيْن,َ تmaksudnya ُرِ ُق وَالْمَ ْغرِبmanusia ْوَلِشََّل ِهْط اَرلْهُمَش menghadap Allah, hendaknya menghadap kiblat sesuai حرَوَامِْج ِهَوكحَيْ فثُِي مَاالسَّكُمنَْاتُءِمْ فََف َ َب ْالfirman ْرمَسAllah َْجهَكQS. َوAl-Baqarah: 144, فََأيْنَمَا ُتوَُّلوْا َُّىجِتَقدَِل شَ ْطقَرَدْ الَْنdalam َِم َو ْج ُه اللَّه َّ فَث جهََا ف قَمَلِدْ َن ُحرَامِ َوحَيْث َ ْكَوَ ِّلشَ ْطرَ الْمَسْجِ ِد ال ْبَهِ َوالنْجَّاهِسِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَُنوَلِّشَيَنَّ ْطكََرهُ قِبَْلةً َترَْوضَا سلُّ إَِل ََِىنَّا تَق كِر ال َْْمكُنَْوتُم َّ َو ْجهَكَ شَ ْطرَ الْمَسْجِدِ الْ َحرَامِ َوحَيْثُ مفََاث ج ُهَفوَلاللَُّّواهِشَوُْطجَرُوهُهَكُ ْم رب الناس ُشَ ْط َره ِ مَلِكِ النَّا ِسِ اللَّه َم النَوَّا ْج ُه َِّس إِفََلثه عمر الفاروق,سرية أيب حفص ِفَثَ َّم َو ْج ُه اللَّه رب س ِ س ِإَلهِ النَّا ِ الناس مَلِكِ النَّا ه ِ َّ ل ال ن ِ ُو د ن ْ م ِ ًا ب َا ب ْ ر َ أ م ْ ه ُ ن َ َا ب ْ ه ُ ر َ و م ْ ه ُ َ ر َا ب ُْوا َأح اتَّخَذ 6 Nashirudin Baidan. Metodologi Penafsiran al-Quran. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. س ِ َّا ن ال ه ِ ل َ إ ِ س ِ َّا ن ال ِمَلِك الفاروق عمر,رب سرية أيب حفص 1998), hlm. 50.الناس ِإَِلهِ النَّاس رب الناس ِالفاروقاللَّه عمرمِ ْن دُو ِن رْبَابًا,َحفصأ أيبهْبَاَنهُ ْم ُسرية وَر اتَّخَذُوا َأحْبَارَهُ ْم للبيان عمر الفاروق,حفص غاية أيب سرية )اتَّخَذُوا َأحْبَارَهُ ْم وَرُهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا مِ ْن دُون۲۲ِ) إِلَى رَِّبهَا إِنَلَاهِ ِظالَرنةٌَّا (س۲۲( ض َرٌة ٌاتَُّوخَجذُوه ُِوا َأَيوْحْبمََائِرَذٍهُ نْمَاوَ ِرُهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا مِ ْن دُو ِن اللَّه
فََأيْنَمَا ُتوَُّلوْا ك فِي السَّمَاءِ فَلَُنوَلِّيَنَّك َ قَدْ َنرَى تَقَلُّبَ َو ْج ِه Konsep Keadilan dan Indeterminasi ... 35 حرَا ِم َوحَيْثُ مَا ك َ َْو ْجهَكَ شَ ْطرَ الْمَسْجِدِ ال Lenni Lestari ُشَ ْط َره • ( ِج ُه اللَّه ْ َم َو َّ ) فَث, maksudnya di tempat (Masjidil Haram) itu ada Allah, yaitu tempat yang disenangi-Nya dan maِ النَّاسnusia ِس إَِله ِ َّاdiperintahkan مَلِكِ الن untuk menghadap Allah pada tempat tersebut. رب الناسMaksud ayat di atas adalah apabila seorang Muslim akan melakukan shalat dengan menghadap Masjid al-Haram عمر الفاروق,حفص سرية أيبdan Bait al-Maqdis, akan tetapi ia ragu akan arah yang tepat untuk menghadap ke arah tersebut, maka ِهُ ْم وَرُهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا مِ ْن دُو ِن اللَّهAllah ََأحْبَارmemberikan اتَّخَذُوا kemudahan kepadanya untuk menghadap ke arah manapun dalam shalat, dan di tempat manaِس إَِلهِاملالنَّاia tidak 7إن اهلل بالقرآن حممد على جربيل أنزل pun sehingga terikat oleh lokasi tertentu. امل بالقرآن حممد على جربيل أنزل اهلل إن امل إن اهلل أنزل جربيل على حممد بالقرآن Dariللبيان contoh penafsiran atas,القرأن terlihat bahwa al-Zamakhغاية جعل امليتةdi القرأن خلق الذي احلمد هلل أنزل جعل امليتة خلق الذي هلل احلمد أنزل syari di samping menggunakan akalnya, juga menggunakan riاحلمد هلل الذي خلق القرأن امليتة جعل أنزل ۲۲( ٌ) ِإلَى رَِّبهَا نَا ِظ َرة۲۲(wayat ض َر ٌة ِ َان(naql) ٍذ َيsebagai ُوجpenguat. ِئَمْو ٌُوه
Mengenai corak penafsiran, dapat dijelaskan sebagai
ُقمَ ْغوَارِلْمَب ْقشْرِوَال ُ َوَلَِّل ِهوَاللَِّْلمَِه اشْلْرِم ب ُ ر ِ غ ْ ُ ِق وَالْمَ ْغر ُsebagai ِِه الْمَشْرorang وَلَِّلyang ahli dalam bidang Zamakhsyari ُب terkenal yang meliputi sastranya, balaghah-nya, فَتَكُونَا تَ ْقرَبَا عَْنهَاbahasa الظاملنيArab, َالعدل مِن َاَأيْنَُتومَُّلَاوُْتاوَُّلوْاnahwuَفََأيْنَمف ا و ْ َل ُّ و ت ُ َا م ن َ ْ ي أ َ َ ف nya atau gramatikanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan َل ِّ وَاkalau ضَاهَاbidang-bidang ْكَيَنَّ قِب َّءُِنوَلِّيَنkeahliannya َِي السَّمَاءِ فَل فituَكjuga َِلُّ َو ْجهsangat َنرتَقmewarnai قَدْ َنقَردَْى َل ِّ و ف َ السضَامَفَاه ًكََلكَةً قِبَْتفَلرْة بَق ََىَلُّ ت ِء َفلَُنوَلِّيَنَّكَ قِبَْلةً َترْضَاهَاhasil َّ َْترpenafsirannya. ِي ِبَفَلَُن َووَلِّ ْجهAl-Zahabi, ُّدْفِيَنرَىالسَّ تَمقَاَلmisalnya, َبَ َو ْجهِكَق menyatakan bahwa م ْ ك ُ ه َ ُو ج ُ و ُّوا َل و ف َ م ْ ت ُ ن ْ ُ ك َا م ث ُ ْ ي َ ح و َ م ِ َا ر ح َ ْ ل ا د ِ ج ِ ْ س َكَ ْطرَشَ اْطلْرَم َكَهَ ش َ َو ْجهaspenafsiran al-Zamakhsyari lebih banyak berorientasi pada م ْ ك ُ ه َ ُو ج ُ و ُّوا َل و ف َ م ْ ت ُ ن ْ ُ ك َا م ث ُ ْ ي َ ح و َ م ِ َا ر ح َ ْ ل ا د ِ ج ِ ْ س م َ ْ ل ا ج ْ و َ يْثُ مَا كُنْتُمْ َفوَلُّوا وُجُوهpek َ َوحbalaghah, ِحرَام َ ْجِدِ الuntuk ْرَ الْمَسmenyingkap َو ْجهَكَ شَ ْطkeindahan dan rahasia yang terkandung dalam al-Quran. Tafsir al-Kasysyaf uraiannya َش ُ ْط َرشَهُ ْط َرهjelas dan tidak bertele-tele.8 ُشَ ْط َره َّ فَث ِلَّ ُههِ اللَّهmenekankan َمْج ُه َوالْج َّ َم فََوث Contoh penafsiran al-Zamakhsyari dengan َِم َو ْج ُه اللَّه َّ فَث aspek linguistiknya, yaitu QS. Al-Nas: 2-3, (النَّاهِسِالنَّا ِسنَّاإَِله ِكِ ال ) مَلِكِمَلِالنَّا, س ِ ل َ إ ِ س ِ ِس إَِلهِ النَّاس ِ مَلِكِ النَّا al-Zamakhsyari mengatakan bahwa dua pasangan idafah tersebut الناس رب الناس رب sebagai ‘ataf bayan bagi ( ) رب الناس. Hal ini sama halnya sepالفاروق عمر ,حفص سرية أيب عمر , حفص أيب سرية erti seseorang mengatakan ( الفاروق ) atau عمر الفاروق, حفصal-Faruq. سرية أيبMaksudnya adalah setelah sejarah Abu Hafs,ِلَّهUmar ُوابَاَأرَحْهُبَاْمرَوَهُرُْمهْبوََاَنرُهُهْبْمَاَنأَهُرْبْمَابأًَارْبمَِابْنًا دمُِوْن ِندال ْاتَّخَذاتَُّواخَ َأذح ُوْم ِنوَال ditambah lagi dengan دُو ِن اللَّ ِهada ًا ِم ْنpenjelasan رُلَّهْهِبَاَنهُ ْم أَرْبَابRabb ُهal-Nas, َُوا َأحْبَارkemudian اتَّخَذ ِسِنَّاس إَِلهِ الإَِلنَّاهِ ال س ِ َّا ن ال ه ِ ل َ إ ِ 7 Al-Zamakhsyari. Al-Kasysyaf. (T.tp. T.th), hlm. 90. للبيان غاية للبيان غاية 8 Subhi Shalih. Membahas Ilmu-ilmuللبيان al-Quran. Terj. Tim Pustaka Firdaus. (Jakarta: غاية Pustaka Firdaus. 1996),)۲۲ hlm. 390. Sebagaimana dikutip ( ٌ ة ر َ ظ ِ َا ن َا ه َب ِّ ر َى () إِل۲۲ (ض نَرَاٌةoleh ض ٍِوْ نمَئَِاذFauzan ٍهٌجَيُووْهٌمَئَِيذNaif, ُوجُوAl) ۲۲ ( ٌ ة ر َ ظ ِ َا ن َا ه َب ِّ ر َى ل إ ِ ) ۲۲ ة ٌ ر َ ِ و ُ Kasysyaf Karya Al-Zamakhsyari, hlm. 55. )۲۲( ٌ) إِلَى رَِّبهَا نَا ِظ َرة۲۲( ض َر ٌة ِ ُوجُوهٌ َيوْمَئِذٍ نَا
berikut;
ُوتَنَاك تَُونْقَارَبَاتَ ْقرَبَاعَْنهَاعَْنه وَمَا فَعَلُْتهُ َع ْن أَ ْمرِى العدل مِنَ الظاملني فَتَك ِىهَا وَمَا فَعَلُْتهُ َع ْن أَ ْم الظاملنيَا وَفَتَمَاك فَُونعََالُْتهُتَ ْق َعرَبْنَا أَ ْمرعَْن َالعدل مِنَ الظاملني فَالعدل مِن
ُهَرط َْش
شَ ْط َر ُه ُشَ ْط َره ُ ِوَلَِّل ِه الْمَشْر َِم َو ْج ُه اللَّه َّ ُب ق وَالْمَ ْغرِ فَث َِم َو ْج ُه اللَّه َّ فَث َِم َو ْج ُه اللَّه َّ فَث Jurnal Syahadah 36 ْفََأيْنَمَا ُتوَُّلو ِس إَِلهِ النَّاس ِ سا إَِلهِ النَّاسِ مَلِكِ النَّا Vol. س ِ النَّاII,ِهNo. س ِإَل ِ II,النَّاOktober ِ مَلِك2014 ِ مَلِكِ النَّا َل ِّ الناسالسَّمَاءِ فَلَُنوَلِّيَنَّكَ قِبَْلةً َترْضَاهَا َفو رب فِي َقَدْ َنرَى تَقَلُّبَ َو ْجهِك رب الناس رب الناس Ilah al-Nas. Hal ini untuk membedakan Tuhan manusia الفاروقَفوَلُّوا وُجُو َهكُ ْم ْعمرَا كُنْتُم ثُ م,ْحفصي َحأيبرَامِ َوح َ ْسريةل هَكَ شَ ْطرَ الْمَسْجِدِ اyang َو ْج عمر الفاروق , حفص أيب سرية الفاروق lainnya, seperti dalam QS. Al-Taubah: 31, عمر,سرية أيب حفص ُشَ ْط َره خَرْذبَا َُوارَْأبَابحًْابَامِرَهُْن ْمدُووَرُِنهْبالَالََّنهِهُاتَّْم أ ُوابًاَأ مِحْبْنَارَدهُُو ْمِن وَاللَّرُ ِههْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا ِم ْن دُو ِن َخَ ْمذ أ ُاتَّخَذُوا َأحْبَارَهُ ْم وَرُهْبَااتََّنه َِم َو ْج ُه اللَّه َّ فَث ِإَِلهِ النَّاس Adapun ( ِ ) إَِلهِ النَّاسbermakna tidak ada sekutu bagiِسAllah. إَِلهِ النَّا إَِلهِ النَّاpenjelasan س ِ مَلِكِ النَّا Kalimat ini dijadikan sebagai ( سِ) غاية للبيانtujuan للبيان غاية غاية للبيان 9 ayat. رب الناس )۲۲ ۲۲(sebagai (ٌضِظَرَرٌةة ِذٍهَانَانَاtokoh ج۲۲ض َرٌة ( ُو ٌ) إِلَى رَِّبهَا نَا ِظ َرة۲۲ ( ض َر(ٌة ٌِ َرةAl-Zamakhsyari َىهٌ َيرَِّبوْهمََائِذٍنَا نِظَا )ُو)إِجلُو۲۲ )ُوهٌإِلَيَىوْمَئِرَِّبMu’tazilah ِ نَاyang ٍ َيوْمَئِذbenarٌُوجُوه benar menguasai bahasa Arab dan balaghah, sering mengguالفاروق عمرJika ,حفص سرية أيب nakan keahliannya untuk alirannya. membela ia menemu kan suatu lafadz yang ِاللَّهsecara ْن دُو ِنlahiriah ِ(ْم أَرْبَابًا مtampaknya) ُرَهُ ْم وَرُهْبَاَنهtidak ُوا َأحْبَاsesuai اتَّخَذ ِى ر م ْ َ أ ن ْ ع َ ه ُ ت ُ ْ ل ع َ َ ف َا م َ و َا ه ن ْ َ ع َا ب َ ر ق ْ َ ت َا ن ُو ك ت َ َ ف الظاملني ن َ العدل dengan pendapat Mu’tazilah, iaِ مberusaha dengan segenap فََتكُونَا تَ ْقرَبَا عَنْهkemampuannya الظاملنيِى العدلفَعَلُْتمِهُنَ َع ْن أَ ْمر مَاuntuk َْنهَا وmembatalkan َكُونَا تَ ْقرَبَا عmakna َالظاملني فَت ََّاسِمِنmeneالعدل إَِلهِ الن lahir dan tapkan makna lainnya yang terdapat dalam bahasa. Misalnya غاية للبيان ketika ia menafsirkan QS. Al-Qiyamah: 22-23, ِ ُوجُوهٌ َيوْمَئِذٍ نَا )۲۲( ٌ) إِلَى رَِّبهَا نَا ِظ َرة۲۲( ض َرٌة 22. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. 23.
Kepada Tuhannyalah mereka melihat. Dalam ayat di atas, al-Zamakhsyari mengesampingkan ِى ر م ْ َ أ العدل مِنَ الظاملني فَتَكُونَا تَ ْقرَبَا عَْنهَا وَمَا فَعَلُْتهُ َع ْن makna lahir kata nazirah (melihat), sebab menurut Mu’tazilah, Allah swt tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, kata nazirah diartikan dengan al-raja’ (menunggu, mengharapkan). Al-Zamakhsyari juga memperlihatkan keberpihakannya pada Mu’tazilah dan membelanya secara gigih, dengan menarik ayat mutasyabihat pada muhkamat. Oleh karena itu, ketika ia menemukan suatu ayat yang pada lahirnya bertentangan dengan prinsip-prinsip Mu’tazilah, ia akan mencari jalan keluar dengan cara mengumpulkan beberapa ayat, kemudian mengklasifikasinnya pada ayat muhkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat yang sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan ke dalam ayat muhkamat, sedangkan ayat-ayat yang tidak sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan ke dalam ayat mutasyabihat, kemudian dita’wilkan agar sesuai dengan prinsip-prinsip Mu’tazilah. Misalnya ketika ia menafsirkan QS. 9 Al-Zamakhsyari. Al-Kasysyaf. Jilid VII. (T.tp. T.th), hlm. 341.
َل ِّ قَدْ َنرَى تَقَلُّبَ َو ْجهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَُنوَلِّيَنَّكَ قِبَْلةً َترْضَاهَا َفو ُاتَّخَذُوا َأَوحْْجبَاهَرَه حْنرَادمُِو ِنَو الحَلَّيْهِثُ مَا كُنْتُمْ َفوَلُّوا وُجُو َهكُ ْم َ كَ ْم شوَرُْطهْرَبَااَنلْهُمَ ْمسْأَرْجِبَادِبًا الِْم Konsep Keadilan dan Indeterminasi ... إَِلهِ النَّا ُسِشَ ْط َره 37 Lenni Lestari َِم َو ْج ُه اللَّه َّللبيان غاية فَث )۲۲( ٌسِلَى رَِّبهَا نَا ِظ َرة َِّا) إ۲۲ ِ كِ نالَانَّا ٍُوجُوهٌ َي مَوْلِمَئِذ سٌةإَِل(هِ الن ِض َر Al-An’am: 103,
الناس رب
الظاملنيحفص سرية أيب “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan sedang dapat الفاروق عَْنهَا وَمَا فَعَلُْتهُ َع ْن أَ ْمرِى عمرَا تَ ْقرَبَا َتَكُون,فmata, َنDia ِالعدل م melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi ِاتَّخَذُوا َأحْبَارَهُ ْم وَرُهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا مِ ْن دُو ِن اللَّه Maha mengetahui.”
Ayat 103 surat al-An’am dikelompokkannya dalam ayat ِالنَّاسMu’tazilah. ِإَِله muhkamat karena maknanya sesuai dengan paham Sedangkan ayat 22-23 surat al-Qiyamah tadi dikelompokkan غاية للبيان dalam ayat mutasyabihat karena makna ayat tersebut tidak sesuai dengan)۲۲ paham ( ٌِظ َرةMu’tazilah. إِلَى رَِّبهَا نَا10)۲۲( ض َرٌة ِ ُوجُوهٌ َيوْمَئِذٍ نَا
C. Konsep Keadilan dan Indeterminasi dalam Teologi Mu’tazilah
keadilan ْن أَ ْمرِىSalah لُْتهُ َعsatu َمَا فَعprinsip َهَا وteologi َبَا عَْنMu’tazilah فَتَكُونَا تَ ْقرadalah الظاملني َ) العدل ( مِن. Mak-
na konsep ini adalah Allah berlaku adil dengan menyiksa hamba yang jahat dan memberikan pahala bagi yang baik. Keadilan Tuhan akan terwujud manakala hambaNya bebas dalam perbuatannya dan bertanggung jawab atasnya. Karena kebebasan inilah, maka ia berhak mendapat pahala atau siksa. Tuhan itu adil, maka semua perbuatan Tuhan itu baik. Keadilan Tuhan terbagi menjadi 3, yaitu; perbuatan Tuhan,11 kehendak Tuhan,12 dan perbuatan manusia. Sanksi Allah kepada hambaNya yang salah menjadi sebuah kedzaliman, apabila tidak disertai pemberian kebebasan. Hal ini berarti bahwa kebebasan manusia dan keadilan Tuhan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya.13 Kalau Tuhan yang mewujudkan perbuatan buruk, kemudian 10 Saad Abdul Wahid, Zamakhsyari dan Tafsir “Al-Kasysyaf”, hlm. 272-274. 11 Makna keadilan dalam perbuatan Tuhan adalah semua perbuatan Tuhan wajib mendatangkan maslahat bagi manusia. Karena itu, Tuhan wajib memenuhi janjiNya untuk memberikan ganjaran sesuai perbuatan manusia. Dalam hal ini, perbuatan Tuhan diikat oleh kewajiban dan keterbatasan. Lihat Kusmin Busyairi. Konsep Teologi Aliran Mu’tazilah. (Yogyakarta: Rama. 1985), hlm. 41. 12 Maksudnya adalah karena Tuhan itu adil dan perbuatanNya juga harus baik, maka semua itu juga harus dimulai dari kehendak. Kehendak Tuhan juga harus baik. Maka mustahil Tuhan itu menghendaki keburukan. Ibid., hlm. 46. 13 Nasr Hamid Abu Zaid. Al-Ittijah al-‘Aqli fi Tafsir, Dirasah fi Qadiyah al-Majaz fi
38
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
menyiksanya, maka Tuhan dalam hal ini telah Dzalim dan tidak senang dengan perbuatanNya sendiri. Terkait hal ini, maka yang menjadi persoalan adalah apakah perbuatan manusia diwujudkan oleh Tuhan atau oleh manusia sendiri. Perbuatan manusia terbagi menjadi 2 bagian yaitu perbuatan yang terjadi karena disengaja/diusahakan (ikhtiyari) dan perbuatan yang terjadi secara paksa dan di luar kesengajaan (idtirari). Nah, permasalahan di sini adalah perbuatan yang terjadi karena disengaja. Dengan konsep keadilan, Mu’tazilah mengatakan, apabila Tuhan adil, tentu Ia akan memperhitungkan perbuatan manusia tersebut dan memberikannya balasan. Oleh karena itu, manusia harus bebas berbuat sehingga dapat dimintai pertanggungjawabannya.14 Menurut Mu’tazilah, dengan kemampuannya, manusia mewujudkan atau tidak mewujudkan kehendaknya merupakan kebebasan tanpa intervensi dari Tuhan. Sebab kalau tidak demikian, tidak ada artinya beban syara’ (taklif). Kalau manusia tidak memiliki daya untuk berbuat atau tidak, maka manusia tidak berhak menerima pujian atau celaan, bahkan tidak adanya gunanya lagi pengutusan para Rasul.15 Karena pemikirannya mereka yang demikian itu, mereka dikenal sebagai golongan yang cenderung kapada faham Qadariyah (free will/indetermination) atau indeterminasi. Menurut Al-Qadhi ‘Abd alJabbar, -salah satu tokoh Mu’tazilah-, jika penyandaran perbuatan hamba kepada Tuhan, maka akan menyebabkan kehancuran syariat dan agama.16 • Konsep Keadilan Menurut al-Zamakhsyari Keadilan menempati posisi penting bagi al-Zamakhsyari. Menurutnya, keadilan adalah memberikan hukuman bagi orang yang melakukan keburukan dan memberikan pujian bagi orang yang melakukan kebaikan. Hal ini dapat dilihat dari kesimpulannya saat menafsirkan QS. Ali-Imran: 182, al-Quran ‘Inda al-Mu’tazilah. (Beirut: Al-Markaz al-Saqafi al-‘Arabi. 2003), hlm. 215-216. 14 Kusmin Busyairi. Konsep Teologi Aliran Mu’tazilah, hlm. 47. 15 Ahmad Amin. Zhuhru al-Islam. Jilid IV. (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah. 1964), hlm. 77-78. Ibid., hlm. 48. 16 Nasr Hamid Abu Zaid. Al-Ittijah al-‘Aqli fi Tafsir, hlm. 217.
Konsep Keadilan dan Indeterminasi ... Lenni Lestari
39
فلم عطف قوله { َوَأنَّ اهلل لَْيسَ بظالم لّلْعَبِيدِ } { على: فإن قلت ً وكيف جعل كونه غري ظالم للعبيد شريكا، } ما قدّمت أيديكم معىن كونه غري: الجتراحهم السيئات يف استحقاق التعذيب؟ قلت ظالم للعبيد أنه عادل عليهم ومن العدل أن يعاقب املسيء منهم ويثيب احملسن 17
Selain itu, ia juga menganggap bahwa Islam itu sejak dulu suُثidentik ْغَدًا حَيdengan ََا مِْنهَا رkeadilan. جََّنةَ وَكُل18ْالBahkan َوَ َز ْوجُكia meyakini َسْكُنْ أَنْتbahwa َآ َدمُ اilmu لْنَا يَاyang ُوَق dah paling mulia dan paling tinggi di sisi Allah adalah ilmu keadilan dan َج َرةَ فَتَكُونَا مِ َن الظَّالِ ِمني َ َّشِئْتُمَا وَلَا َت ْقرَبَا هَ ِذ ِه الش tauhid.19 Terkait dengan konsep keadilan dan indeterminasi di atas, penulis memotret al-Zamakhsyari }كُونَاakan َاهلل {فَت مبعصيةbagaimana ظلموا أنفسهم من الذينmenerapkan }}مِنَ الظاملنيteologinya ke dalam kisah Nabi Adam dan Hawa yang dikisahkan dalam al-Quran. Mengingat, Nabi Adam pertaالضمري يف .جواب للنهى نصبdan أوHawa }تَ ْق َربَاadalah { علىmanusia جزم عطف ma yang mendapat ganjaran langsung dari Allah karena melakukan .الزلة بسببهاApakah علىprinsip الشيطانkeadilan فحملهماini أي . للشجرةtelah}َاditerap{عَْنه pelanggaran. benar-benar kan atau justru sebaliknya.
{وَمَا فَعَلُْتهُ عَنْ أَ ْمرِى} [الكهف: مثلها يف قوله تعاىل،و(عن) هذه D. Kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Tafsir al-Kasysyaf اجلنةPembahasan فأزهلما عن:dalam بِ وقيلsubْ ُشرjudul ْ وعَنini ٍأَكْلterbagi ْ ْونَ عَنmenjadi يَْن َه:وقولهdua, .]۲۲ : yaitu; 1) Metode pemaparan kisah Nabi Adam dan Hawa dalam Tafsir al.مبعىن أذهبهما عنها وأبعدمها Kasysyaf dan 2) Pemikiran al-Zamakhsyari tentang kisah Nabi Adam dan Hawa. ،]1) Metode والشِّجرةpemaparan [ ،] وهذيkisah [ .Nabi بكسر التاء » «وال تِقربا: وقرىء Adam dan Hawa dalam Tafsir al-Kasysyaf [ والشرية] بكسر الشني والياء.بكسر الشني Kisah tentang Nabi Adam dan Hawa diabadikan alQur’an dalam 3 surat, yaitu Surat Al-Baqarah: 35-38, al-A’raf: والصحيح أنه 19-25, dan Taha: 115-123. Setelah mencermati penafsiran alZamakhsyari tentang وحواء kisah Nabi Hawa, .واحلية : وقيل:وإبليس آلدمAdam خطابdan}اهبطوا { penulis :قيل ألهنما ملا كانا،والصحيح أنه آلدم وحواء واملراد مها وذريتهما 17 Al-Zamakhsyari. Al-Kasysyaf. Jilid I. (T.tp. T.th), hlm. 355. 18 Ibid, Hlm. 260. أصل اإلنس ومتشعبهم جعال كأهنما اإلنس كلهم 19 Ibid, Hlm. 226.
امل إن اهلل أنزل جربيل على حممد بالقرآن امليتةVol. II, القرأن No. II, Oktober احلمد هلل الذي خلق 2014 جعلامل أنزل جربيل على حممد بالقرآن امل إن اهلل أنزل Jurnal Syahadah
40
ل جربيل على حممد بالقرآن merumuskanجعل املامليتة خلق القرأن الذي أنزلهلل احلمد أنزل امليتةإن اهللجعل الذي خلق القرأن بالقرآن حممد yangعلى جربيل أنزل beberapa metode digunakan al-Zamakhقَوَأوَانَّ لْ قولهشْرُِ{ َِّل ِه فلم وَل أنزل syari, ; yaitu } { امليتة ِيدِ بظالملّلْعَب سَ بُ مَْ غ عطف ا على اهللرِلَْي قلت لْمَ : فإن melaluiخلق الذي بالقرآن احلمد جعل a. Menggunakan القرأنanalisis bahasa kaidah-kaidah ilmu هلل امل هلل أنزل جربيل على حممد Analisisاوْلْا أيديكiniم فََأيْ}نَمَ،اوَلُتَِّلوِهَُّل Nahwu, Sharaf, Balaghah.لْمَdan tidak hanya شريكاً بُ أنزلُ وكيفَم الذيرِبُ قهلل وَالْمَ ْغ درِ ُ للعبيد ظالم غري كونهْغرِ جعلوَا ق شْرِ جعل امليتة ما قدّمت خلق القرأن fokus pada satu ayat, tetapi sering juga dikaitkan dengan َل ك قِبَْلةً َترْضَاهَا َفو ِّ َayat-ayatنَّغريَ كونهَلِّي معىن فَلَُنو lainمَاءِ قلت :السَّ membicarakanفِي بَا َو ْجهِكَ َىمَاتَ ُتقَلُّ َ yangنيففَر الجتراحهم sama.قَدْ استحقاق السيئات التعذيب؟ yang hal و ْ َل ُّ و ن َ ْ ي أ َ وْا ب ُ ر ِ غ ْ َ م ْ ل َا و ق ُ ِ ر ْ ش م َ Analisisوَلَِّلِه الْ juga tidak berhenti tekstual saja, tetapi iniلَُنكُ ح العدلَودِ ْج اأنهِلْ َ َلجِ padaوسْ ومنلْقَفَلُّمَ َىرَهَاتَا َtataranاْط كََترَْنرشَ ُّواَلةً وَُترْجُوضهََاهكَُا ْم َفوَل كَفوَلقِبْ منهمونَْلِّتُيَنَّمْ َ املسيءِءمَا َف يعاقبَوحَيْالسَّثُمَا ِي كَرَامِف عادلَلهَوْقَةًادْ بَِّ عليهمض كََوُتقِْجوبَُّلْ للعبيدُنوفََلَِّأييَْنَّ terdalamفَلَ ظالممَاءِ تَقَلُّبَ َو ْجهِكَ فِي السَّ terkadang al-Zamakhsyari juga menggali َmaknaا أنهنَم لْمَشْرِ ُ dari susunan kata atau kalimat dalam ayat-ayat ق وَالْمَ ْغرِبُ tersebut. ه ُ ر َ ط ْ ش َ َل وُجُوهَكُم حر Al-Baqarah:ماَالْءِ َ كَ ْمالْفمَِيسْجِدِ كوُ َوج ْجشَ َى َفتََووقَلَلُّْجُّواهَبَ َ 35,هِهَْطرَكُ ُو احملسنَادْ َنكُنْرتُمْ حرَامِ َو شَ ْطرَ الْمَسْجِدِ الْ َ ُّوا ِّ ثُقِبَْلمةًَا َترْكُنْتُضَامْهَاَفوَلَفو ك QS.فََالَمُِنوَلِّيَوَنَّحَيَْ السَّ ويثيبحَيْثُ مقَ ;Contoh ُتوَُّلوْا َم َوشَ ْج ْطُه َرهُاللَّ ِه فَث َّ ثُ رَمَاغَدًاكُنْتُحَيمْثَُفوَلُّوا وُجُوهَكُ ْم كَشَتَْطقِبْرََلوَةًاَزلْ ْوَتمَرْجُسْضكََاجِهدِاَالْ الْجََفَّنوةَ َلَاوَمِكُلَاَوحَمِيْنهَا كَ أَنْ وَقُلْنَا يَا َآ َدمُ َواجسْهَكُنْ حرِّ ر س ْجِإَلُههِاللَّالنهَِّاسِ َمَّا َوِ َى تَقَلُّبَ َو ْجهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَُنوَلِّمَيلَِنَّكِفَثال َّن للَّ ثُ ْطهَرمهُِذَا ِه الكُنْتُشَّمَْج َرَفةَوَلفَتَُّواكُونوَُاجمُِوَنهَ الكُظْمَّالِ ِمنيَ حتُرمَاَامِ وَلَاَو َتحَْقيْرَبشََا كَهِ شَ ْطرَ الْمَسْجِدِ الْشِئْ َ س إَِلهِ النَّاسِ الناسالنَّا ِ رب المَلَّلِهِكِ س إَِلهِ النَّاسِ ِ َم َومنْج ُه الظاملنيث}َّ فَ هُ مبعصية اهلل {فَتَكُونَا} أنفسهم ظلموا الذين ن َ م ِ } حفص ,عمر الفاروق أيب سرية الناس س سِ ربهِ النَّا س إَِل مَلِكِ النَّا ِ ه ِ َّ ل ال ه ُ ج ْ الضمرياللَّ ِهيف . للنهى جواب نصب أو } َا ب ر َ ق ْ َ ت { على عطف جزم الفاروق ْن دُو ِن عمر أَرْبَابًا مِ حفصهْ,بَاَنهُ ْم سريةحْبَاأيبرَهُ ْم وَرُ اتَّخَذُوا َأ حفص ,عمر الفاروق رب الناس النَّا ِ س إَِلهِ النَّاسِ {عَْنهَا} للشجرةإَِلهِ .النَّاأيسِ فحملهما الشيطان على الزلة بسببها. الفاروقهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا مِ ْن دُو ِن اللَّ ِه عمررَهُ ْم وَرُ حفصُواَ ,أحْبَا سرية أيب اتَّخَذ حْبَارَهُ ْم وَرُهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا مِ ْن دُو ِن اللَّهِ لناس للبيانتعاىل{ :وَمَا فَعَلُْتهُ عَنْ أَ ْمرِى} [الكهف غاية قوله و(عن) هذه ،مثلها يف اتَّخَذُوا َأ إِحَْلبَاهِرَالهُنَّاْمسِوَرُهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا مِ ْن دُو ِن اللَّهِ اجلنة عن وقيل ضنَْرٌة ُش(رْبِ أيب حفص ,عمر ۲۲: فأزهلما ِظ َرةٌ ()۲۲ َى :رَِّبهَا نَا )۲۲إِل للبيانعَ ِ غايةأَمَئِكْذلٍ نوَا الفاروق] .وقوله :يَْن َهُوْوجنَُوهٌعَ َينْوْ سِ ُو ِنالنَّا نوا َأحْبَارَهُ ْم وَرُهْبَاَنهُ ْم أَرْبَابًا مِ ْن إِدَلهِ ه ِ َّ ل ال مبعىن أذهبهما عنها وأبعدمها. )۲۲ ظَرةٌ( ضَرٌة ( )۲۲إِلَىرَِّب هَا نَاِ هٌَ يوْمَئِذٍنَا ِ للبيانُوجُو )۲۲ ئِذٍ نَا ِ ض َرٌة ( )۲۲إِلَى رَِّبهَا نَا ِظ َرةٌ (غاية اسِ ;Artinya وقرىء « :وال تِقربا» بكسر التاء [ .وهذي ] [ ،والشِّجرة ]، kalimat ِى )“(Maksudوَمَا فََعلُْتهُ َعْ ۲۲ه َ)ا ِ dariظرَبَرَاةٌ (عَ ُونهَانتََاْق )(۲۲إِلفَ الظاملني العدل َىتَكرِّ ضَرٌة yaituذٍ)نمَِانَِ مَئِ orang-orangهٌَ يوْ ُ yangو جُو نأَ ْمر ْن َب ( للبيان والياء mendzalimi dirinya sendiri dengan bermaksiat [kepadaوالشرية] بكسر الشني Allah.الشني. بكسر ) merupakan Adapunعَْن هَا وَمَا فَعَلُْتهُ َع ْن أَ ْمرِى العدل َعْ ُ‘athafتهُ فَ)عَلْ (bagiوَمَا أنهه َ۲۲ا)) تَإِلْقرَ ض َرٌةفَتَ(كُون ۲۲ َkataاِ والصحيحَاعَْنَا َىبَارَِّب(ه الظاملنيَا ِ هٌنَ َيوْمَئِذٍ ن ُو نَا(تَْقرَبَا ك فَتَ الظاملني ِى jazamمِأَنَْمر ن ظ َرةٌ
atau nashab jawab bagi nahi (yang sebelumnya). Dhamir dalam yang واحلية.فَ َعلُْتهُ َkataا وقيلهَا ( :وَم ) kembaliعَْن وإبليسَا padaنَا تَ ْقرَب وحواءكُو pohon.فَتَ الظاملني العدل : خطاب قيل: آلدم Artinya, syaitanمِنَ اهبطوا} { mera yu mereka berdua sebagai perantaranya. Penjelasan ini sama
ل مِنَ الظاملني
halnyaكانا ألهنما ملا وذريتهما، آلدم dengan مهارِى ( ayat واملراد ْن أَ ْم وحواءفَعَلُْتهُ َع ), “...danوَمَا bukanlahأنه عَْنهَا والصحيحبَا akuنَا تَ ْقرَ فَتَكُو melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.” Maksud kalimat كأهنما اإلنس كلهم dariجعال ومتشعبهم menاإلنسأصل syaithan yang menggelincirkan mereka surga adalah
َع ْن أَ ْمرِى
أنفسهم ويثيبالظاملني }مِنَ اهلل الْ{فَتَجََّنكةَُونَاوَ}كُلَا مِْنهَا رَغَدًا حَيْثُ مبعصيةجُكَ تَ وَ َز ْو ظلمواكُنْ أَنْ الذينَدمُ اسْ احملسن}وَقُلْنمنَا يَا َآ نصب علىكتُنْمَا{تَأَنْْقوََر الضمريحَ للنهىَانَ.ا رَمِغَ َندًا كه Konsepلَافَتَ مِْن جوابةَكُ Keadilanجََّن danزرَبْوأوَاجُهَكَِذ ِهالْ جزمَا يَاَ ...آ َد وَقُلْن الظيَّْالِيفثُِمنيَ ُو جوََر الشَّةَ َ تََا َت}وَْق Indeterminasiلبَا عطفمُ اسْشِئْ 41 الشيطانِمنيَعلى الزلة بسببها. فحملهما مِ َن الظَّالِ ج َرةَ فَتَكُونَا .Lenniالشَّأي َ للشجرة ِذ ِه Lestariبَا هَ {شِئْعَتُْنمهَاَا وَ}لَا َت ْقرَ }مِنَ الظاملني} من الذين ظلموا أنفسهم مبعصية اهلل {فَتَكُونَا} اهلل}{[ مبعصيةْمرِى أنفسهملُْتهُ عَنْ أَ ظلموا {وَمَا فَعَ الذين تعاىل: الظاملني}مثلهامنيف قوله عن) هذه، و}( الكهف} َا ن ُو ك ت َ َ ف ن َ م ِ جواب للنهى .الضمري يف نصب أو } َا ب ر َ ق ْ َ ت { على عطف جزم jauhkan mereka dari surga. اجلنة فأزهلما عن :ragam وقيل qiraatبِ نصبُشرْ lain,عَنْ baikكْلٍأوو ْituقعََربنَْا أَ ْdariونَ علىَه :aspekيَْن وقوله ]. ۲۲ : يف b. Menampilkan perbeالضمري . للنهى جواب } َ ت { عطف جزم الشيطان على الزلة بسببها. فحملهما للشجرة .dariأي {عَْنهَا daan harakat atau huruf sebuah}kata. . وأبعدمها أذهبهما علىQS.الزلة بسببها فحملهما الشيطان عنها .أي للشجرة مبعىنهَا} {عَْن .Contoh: Al-Baqarah: 35, و(عن) هذه ،مثلها يف قوله تعاىل{ :وَمَا فَعَلُْتهُ عَنْ أَ ْمرِى} [الكهف وهذيعَ ]نْ ،أَ ْم[رِىوال}ش[ِّجرة ]، بكسر هذه،وال ت وقرىء « : الكهف التاء{.وَ[مَا فَعَلُْتهُ تعاىل: مثلهاِقربايف»قوله و(عن) .]۲۲:وقوله :يَْن َه ْونَ عَنْ أَكْلٍ وعَنْ ُشرْبِ وقيل :فأزهلما عن اجلنة بكسر].الشني والياء وقيل :فأزهلما عن اجلنة الشنْني ُشرْبِ بكسر وعَ والشريةعَ]نْ أَكْلٍ وقوله [:.يَْن َه ْونَ ۲۲: . وأبعدمها عنها أذهبهما مبعىن c. Untuk hal-hal yang abstrak, al-Zamakhsyari tetap mencanأنهوالصحيح أذهبهما عنها وأبعدمها. مبعىن tumkan riwayat lain, meski terkadang tanpa sumber yang وهذي ] [ ،والشِّجرة ]، [ Akan :tetapi,التاء. وحواء» iaبكسر terpengaruhتِقربا خطاب «وال {riwayatاهبطوا}وقرىء : وقيل قيل: ،.shahih. واحلية] وال:شِّجرة وإبليس][ ، [tidakوهذي آلدمالتاء. denganتِقربا» بكسر وقرىء « :وال tersebut dan tetap fokus pada analisisnya sendiri. Jika ia والياء وذريتهما ،الشني والشرية] بكسر الشني[. بكسر كانا ملا ألهنما مها واملراد وحواء آلدم أنه والصحيح والياء بكسر الشني والشرية] الشني[. بكسر tidak sepakat dengan pendapat tertentu, ia akan menegas ).والصحيح أنه kan pilihannya dengan kata (... اإلنسأنهومتشعبهم جعال كأهنما اإلنس كلهم أصل والصحيح Contoh, QS. Al-Baqarah: 36, وإبليس :وقيل :واحلية. خطاباهبطوا قيل{ :اهبطوا}قيل{ : وحواءواحلية. آلدم وقيل: خطابوإبليس: آلدم} وحواء وذريتهما ،ألهنما ملا كانا آلدممهاوحواء والصحيح مها ملا كانا واملرادألهنما وذريتهما، وحواءأنهواملراد والصحيح أنه آلدم كلهمكأهنما اإلنس كلهم اإلنسجعال ومتشعبهم ومتشعبهماإلنس أصل اإلنس أصل جعال كأهنما 20
21
22
23
d. Al-Zamakhsyari tidak terfokus pada satu fragmen kisah dalam satu surat. Terkadang ia akan mencantumkan potongan kisah dari surat yang lain sebagai penjelas. Contoh, QS. Al-Baqarah: 37,
ب ال َّرحِيمُ فَتَلَقَّى َآدَمُ مِنْ رَِّبهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عََلْي ِه إَِّنهُ ُه َو الَّتوَّا ُ معىن تلقي الكلمات استقباهلا باألخذ والقبول والعمل هبا حني علمها .وقرىء بنصب آدم ورفع الكلمات؛ على أهنا استقبلته بأن بلغته واتصلت به .فإن قلت :ما هنّ؟ قلت :قوله تعاىل { :رَبَّنَا 20 Al-Zamakhsyari. Al-Kasysyaf. Jilid ]I.۲۲ (T.tp. T.th), hlm. سنَا 81. } . . . األعراف : اآليه [ ظَلَمْنَا أَنفُ َ 21 Ibid., hlm. 81. وعن ابن مسعود رضي اهلل عنه « :إن أحب الكالم إىل اهلل ما قاله 22 Al-Zamakhsyari. Al-Kasysyaf. Jilid I. (T.tp. T.th), hlm. 82 dan 177, jilid VII, hlm. 153, dan jilid IV, hlm. أبونا آدم حني اقترف اخلطيئة :سبحانك اللَّهم 238. وتبارك وحبمدك 23 Ibid., hlm. 82. امسك وتعاىل جدّك ،ال إله إال أنت ظلمت نفسي فاغفر يل إنه ال يغفر الذنوب إال أنت» فإن قلت :ما معىن { ثُمَّ اجتباه رَُّبهُ } ؟ قلت :مث قبله بعد التوبة
ب ال َّرحِيمُ ب عََلْي ِه إَِّنهُ ُه َو الَّتوَّا ُ فَتَلَقَّى َآدَمُ مِنْ رَِّبهِ كَلِمَاتٍ فَتَا َ
Jurnal Syahadah
معىن تلقي الكلمات استقباهلا باألخذ والقبول والعمل هبا حني استقبلته بأن بأهناال َّرحِيمُ على ُ الكلمات؛ الَّتوَّا ورفععََلْي ِه إَِّنهُ ُه َو بنصبَاتٍآدمفَتَابَ وقرىءرَِّبهِ كَلِم علمها َآ.دَمُ مِنْ فَتَلَقَّى بلغته واتصلت به .فإن قلت :ما هنّ؟ قلت :قوله تعاىل { :رَبَّنَا معىن تلقي الكلمات استقباهلا باألخذ والقبول والعمل هبا حني ظَلَمْنَا أَنفُ َسنَا } . . .اآليه [ األعراف ]۲۲ : علمها .وقرىء بنصب آدم ورفع الكلمات؛ على أهنا استقبلته بأن e. Mengutip riwayat yang pemikirannya, terإىل اهلل ما قاله lainالكالم أحب «mendukungإن رضي اهلل عنه : وعن ابن مسعود َutamaا { :yangرَبَّن berkaitanتعاىل denganقلت :قوله :prinsip-prinsipما هنّ؟ واتصلت به .فإن قلت بلغته Mu’tazilah. وحبمدك وتبارك سبحانك الل اخلطيئة yangاقترف dikutipحني alأبونا آدمSebagai َّهمcontoh dapat dilihat :dari riwayat ]۲۲menafsirkan [QS.األعراف : Al-Baqarah:اآليه َ37,نفُ َسنَا } . . . ظَلَمْنَا أ Zamakhsyari untuk امسك وتعاىل جدّك ،ال إله إال أنت ظلمت نفسي فاغفر يل إنه ال وعن ابن مسعود رضي اهلل عنه « :إن أحب الكالم إىل اهلل ما قاله يغفر الذنوب إال أنت» وحبمدكمُ وتبارك ب ال َّرحِي َّهم ُ سبحانكَو الاللَّتوَّا اخلطيئةبَ:عََلْي ِه إَِّنهُ ُه اقترفمَاتٍ فَتَا حنيرَِّبهِ كَلِ آدممُ مِنْ أبوناَّى َآدَ فَتَلَق بعد التوبة قبله مث : قلت ؟ } ه ُ ب ُّ َ ر اجتباه م َّ ث ُ { معىن ما : قلت فإن ب ال َّرح نفسيُ ظلمتَو الَّتوَّا أنتِه إَِّنهُ ُه وتعاىلنْ رَجِّبدهِّككَلِ،مَاالتٍإلهفَتَاإالبَ عَلْي امسك َآدَمُ مِ فَتَلَقَّى فاغفرِيمُيل إنه ال تلقي الكلمات استقباهلا باألخذ والقبول والعمل هبا حني معىنّبه إليه. وقر أنت»استقباهلا باألخذ والقبول والعمل هبا حني الكلمات تلقي معىن يغفر الذنوب إال األول؟بأن استقبلته جواب أهنا الكلمات؛ على ورفع Prinsip yang diangkat الشرط قلت }:؟ما فإن آدم. بنصبثًُىمَّ} معىنdiهُ{د ّsiniى وقرىءمّن قلتِتيَنَّ:ك علمها َي..أْ َّprinافإنِإم {فَ بأن على آدم بنصب وقرىء علمها استقبلتهالتوبة بعد Mu’tazilahمثأهناقبله الكلمات؛قلت : ورفعرَُّبهُ اجتباه ُadalahمما sip keadilan atau lebih spesifikasinya pada konsep indeَterminasiاَا قدرتنن فإن {{ ::ررََببََّّ تعاىل قوله Dalamماما ههننّ؟ّ؟ قلت :: فإن الشرطبهبه .. واتصلت بلغته جئتين كقولك: جوابه قلتّبه : تعاىل قلتإنwil)::قوله قلت halمعقلت الثاينفإن واتصلت بلغته (free manusia. ini, jika manusia إليه. وقر berbuat kesalahan,]۲۲ maka ia dikatakan telah berbuat “dzaاألعراف :: اآليهفإما[[ }} .. ..mendapat أحسنتفُفُ ََسسننَاَا ظَظَلَلَممْْننَاَا أأَنَن Makaإليكم برسول أبعثه هدى يأتينكم إليك... مين ]۲۲ia األعراف واملعىن:اآليه lim”. itu, bertobat األول؟ dariالشرط جواب harusما فإن قلت: agarهُدًى}. ِamإمَّا َيأِْتيَنَّكُم مّنّى{فَ punan dari Allah karena telah melanggar. رضي اهلل عنه « :إن أحب الكالم إىل اهلل ما قاله مسعود وعن عليكم. وكتابابنأنزله قدرت f. pemaparanفإنTeknik dialogis (ko :al-Zamakhsyariإن جئتين bersifatمع جوابه كقولك الشرط الثاين قلت : munikatif). seakan :sedang وتبارك Pembacaوحبمدك سبحانك اللَّهم diajakاخلطيئة berbicaraاقترف denآدم حنيأبونا إليكم Halأبعثه برسول مين هدى يأتينكم أحسنت إليك .واملعىن: gannya. ini dapat dilihat pertanyaan-pertanyaanفإماdari yangالالزَنُونَ إنهيَ ْح فاغفروَلَا نفسيعَلَْيهِ ْم ظلمتَخ ْوفٌ أنتَايَ فَلَا إالعَ هُد ّكدً،،ى munculكُمْ امسكأِْتيَنَّ فَإِمَّا َي وتعاىل al-Zamakhsyari, dimunculkanيليلهُمْإنه فاغفر نفسي ظلمت أنت إلهنْ تَبِإال seakanالالفَمَإله ituمِنججِّيددهُّك وتعاىل امسك . عليكم أنزله وكتاب dari pembaca yang berada bersamanya. menafsirkanمع iaجوابه »QS.الشرط الثاين الشرط إال الذنوب يغفر Sebagai contoh ketika 122, أنت» Taha:أنت األول إال الذنوب يغفر فإن قلت :ما معىن { ثُمَّجواب الشرط األول قلت : التوبةْحزَنُونَ بعدهُمْ يَ قبله وَلَا فٌ عَمثمثلَْيهِ ْم اجتباهعَ ررََهُُُّّببدهُهَُايَ}} فَ؟؟لَا َخ ْو ًى ثُ فَمَّمَنْ تَبِ قلتكُ:مْمامِنِّي هُ فإنَّا َيأِْتيَنَّ فَإِم التوبة بعد قبله قلت : اجتباه معىند{ الشرطإليه. وقرّبه الشرط الثاين مع جوابه األول Vol. II, No. II, Oktober 2014
وقرّبه إليه.
Atau dalam QS. Al-Baqarah: 38,
األولجواب الشرط األول؟ الشرط :ما جوابفإن قلت {فَِإمَّا َيأِْتيَنَّكُم مّنّى هُدًى}. {فَِإمَّا َيأِْتيَنَّكُم مّنّى هُدًى} .فإن قلت :ما جواب الشرط األول؟ قلت :الشرط الثاين مع جوابه كقولك :إن جئتين فإن قدرت أبعثه قدرت برسول فإن كقولك:هدىإن جئتين واملعىن:معفإماجوابه الشرط الثاين قلت : إليكم يأتينكم مين أحسنت إليك. واملعىن :فإما يأتينكم مين هدى برسول أبعثه إليكم إليك.عليكم. أحسنت أنزله وكتاب
وكتاب أنزله عليكم.
فَإِمَّا َيأِْتيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا َخ ْوفٌ عَلَْيهِ ْم وَلَا هُمْ يَ ْحزَنُونَ
42
اجتباهرَُّبرَهُُّبهُ}}؟ ؟قلت : معىن{{ثُ ثُمَّمَّاجتباه فإن قلت ::ماما معىن قلت :مث مثقبلهقبلهبعدبعدالتوبةالتوبة وقرّبه إليه إليه.. Konsep Keadilan dan Indeterminasi ...
الشرطاألول؟ جوابالشرط قلت:ما ماجواب Lenniهُهُددًىًى}.}.فإنفإنقلت: 43فَِإمَّا َيأِْتيَيَنَّنَّككُم األول؟ ُLestariم مّنمّنّىّى { جئتينفإنفإنقدرت كقولك:إنإنجئتين جوابهكقولك: الثاين معمع جوابه الشرط الثاين قلت :الشرط قدرت هدىبرسول يأتينكممينمينهدى واملعىن:فإمافإمايأتينكم إليك ..واملعىن: أحسنت إليك أحسنت برسولأبعثهأبعثهإليكمإليكم أنزله عليكم وكتاب أنزله وكتاب عليكم.. Maksudnya adalah,
فَفَإِإِممَّاَّا َيَيأْأِْتِتيَيَنَّنَّكُكُمْمْ مِمِننِّيِّيهُهُددًىًى فَ فَمَمَنْنْتَبِتَعَبِعَهُدهَُادَايَ فَيَلَافَلَاَخ ْو َخ ْوفٌ عَ فٌلَْيعَهِلَْيْمهِوَْملَاوَلهَُامْ يَهُمْْحزَيَنُوْحزَنَنُونَ الثاينمعمعجوابه الشرطالثاين الشرط الشرط األول الشرط جوابه األول الشرطاألول جوابالشرط جواب األول
2) Pemikiran al-Zamakhsyari tentang kisah Nabi Adam dan Hawa Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa ada 20 ayat yang membicarakan Nabi Adam dan Hawa sejak tinggal di surga hingga dikeluarkan ke bumi. Dua puluh ayat tersebut terkadang diulang dalam surat-surat lain. Meskipun demikian, Al-Zamakhsyari tidak mengulang penjelasannya pada ayat yang memiliki kesamaan redaksi, kecuali jika dirasa perlu tambahan. Berdasarkan al-Quran, Nabi Adam dan Hawa adalah sepasang manusia yang pertama diciptakan oleh Allah. Mereka pula manusia pertama yang mendapat aturan sekaligus larangan dari Allah swt. Ada dua aturan dan satu larangan yang ditetapkan Allah kepada Nabi Adam dan Hawa, yaitu: )a) Perintah untuk tinggal di surga (Al-Baqarah:35
ك الْجََّنةَ ت وَ َز ْوجُ َ وَقُلْنَا يَا َآدَمُ اسْكُ ْن أَنْ َ
b) Perintah menggunakan semua fasilitas di surga dan mengتشِ konsumsi semua makanan yang ك الْجََّنةَ tersediaئْوَتَُزمْوَاجُ َ وَوَقُلْكُنلَاَا يمَِاْن َآهَادَمُرَ اغَسْدًاكُ ْنحَيْأَنْثُ َ ) • (al-Baqarah: 35 ك الْجََّنةَ ت وَ َز ْوجُ َ وَقُلْنَا يَا َآدَمُ اسْكُ ْن أَنْ َ
كَْن أَهلَاَّا رَتَغَجدًاُوعَحَيْفِيثُهَاشِئْوَلتَُامَاتَعْرَى (َ )۱۱۲وأَنَّكَ لَا تَظْ َمأُ فِيهَا وَلَا إوَِنَّكُللََا مِ وَكُلَا مِْنهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا ) • (Taha: 118-119 تَضْحَى ()۱۱۱ إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَى (َ )۱۱۲وأَنَّكَ لَا تَظْ َمأُ فِيهَا وَلَا ِإنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَى (َ )۱۱۲وأَنَّكَ لَا تَظْ َمأُ فِيهَا وَلَا ني ج َرةَ فَتَكُونَا مِ َن الظَّالِمِ َ )۱۱۱الشَّ َ َىبَا( هَذِ ِه ضْ تَحْقرَ تَوَلَا تَضْحَى ()۱۱۱ أحب الكالم إىل اهلل ما قاله مسعود ني إنمِ َ اهللُونَاعنهمِ َن :ال«ظَّالِ رضيفَتَك ج َرةَ الشَّ َ ابن هَذِ ِه وعن ْقرَبَا وَلَا تَ ني وَلَا تَ ْقرَبَا هَذِ ِه الشَّ َج َرةَ فَتَكُونَا مِ َن الظَّالِمِ َ أبونا آدم حني اقترف اخلطيئة :سبحانك اللَّهم وحبمدك وتبارك وعن ابن مسعود رضي اهلل عنه « :إن أحب الكالم إىل اهلل ما قاله نفسيما قاله ظلمت إىل اهلل أحب الكالم وعن فاغفر يل إنه ال رضي ،اهللالعنهإله« :إالإنأنت مسعودجدّك امسكابنوتعاىل أبونا آدم حني اقترف اخلطيئة :سبحانك اللَّهم وحبمدك وتبارك
َك الْجََّنة َ ُت وَ َز ْوج َ ْوَقُلْنَا يَا َآدَمُ اسْكُ ْن أَن 44
Jurnal Syahadah
وَكُلَا مِْنهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا
2014 َا وَلَاVol. فِيهII,ُ َمأNo. َْا تَظII, لOktober َ) َوأَنَّك۱۱۲ ( إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَى )۱۱۱( تَضْحَى c) Dilarang memakan buah pohon terlarang (Al-A’raf: 19)
ني َ ِج َرةَ فَتَكُونَا مِ َن الظَّالِم َ َّوَلَا تَ ْقرَبَا هَذِ ِه الش Jika perintah dan larangan di atas dicermati dari teo قالهlogi اهلل ماMu’tazilah –الكالم إىلsebagaimana «إن أحب: dipaparkan رضي اهلل عنهsebelumnya-, ابن مسعودmaka وعن terlihat bahwa konsep keadilan Tuhan dalam hubungannya وتبارك سبحانك اللَّهم وحبمدك: أبونا آدم حني اقترف اخلطيئة dengan perbuatan manusia, sudah memenuhi syarat. Artinya, memang kebebasan seluas-luasnya bagi إنه الAllah فاغفر يل نفسيmemberikan إال أنت ظلمت ال إله، ّك امسك وتعاىل جد mereka untuk menentukan pilihan. َك الْجََّنة َ ت وَ َز ْو ُج َ ْمُ اسْكُ ْن أَنdan َوَقُلْنَا يَا َآد Allah dalam konteks ini sudah. berbuat »إال أنتadil الذنوبtidak يغفر dzalim karena terbukti Nabi Adam yang telah melakukan kesرضيشِئْتُمَا ُعباسحَيْث ابن رَغَدًا ْنهَاultimaِوعن م وَكُلَا memberikan بيدك؟alahan, ختلقينdan أملsebelumnya «يا رب: pun قالAllah عنهماsudah اهلل tum kepada mereka. Jadi, Allah itu adil karena telah memberi: قالkan أمل (تنفخ قال : Nabi روحك؟َا وَلganjaran من َمأُ فِيهَا ْتَظyang الروحَا كَ لsesuai َّ)يفّ َوأَن۱۱۲ ربعْرَى َ تDalam هَاياوَلَا: فِيkonteks َجُوع. َبلى ت لَّاini, َكَ أ َقالل َِّإن “prosedur”. Adam-lah yang dzalim karena tidak menempatkan sesuatu ۱۱۱ ْتَض : قالpada . بلى : غضبك؟ قال رمحتك تسبقdinilai رب أمل : َى (قال .بلىح tempatnya. Selain itu, Tuhan adil)ياkarena Tuhan tidak menciptakan perbuatan mereka. Tidak boleh ada interوأصلحت إن تبتdalam يا ربperbuatan :ني تسكين vensi Tuhan manusia. َ قال ِظَّالِم.بلى ال نَا مِ َن:قالكُو َ فَتKarena, َجنتك؟َرة ذِ ِه الشَّ َجjika َبَا هTuhan َوَلأملَا تَ ْقر menciptakan perbuatan manusia, maka Tuhan itu dzalim. » نعم: قالterlihat أنت إىل اجلنة؟pemberiأراجعي al-Zamakhsyari قالهDari اهلل ماpenafsiran أحب الكالم إىل «إن: رضي اهلل عنهbahwa وعن ابن مسعود an ganjaran bagi Nabi Adam dan Hawa adalah hal yang wajar, karena yang memilih jalanترف yang ini وتباركmereka وحبمدكsendiri سبحانك اللَّهم : اخلطيئة اقsalah. آدم حنيHalأبونا dapat dilihat ketika al-Zamakhsyari mengutip riwayat-riwayat يل إنه الdoaفاغفر ظلمت إله إالtelah ال، mendzalimi وتعاىل جدّكdirinامسك tentang paraنفسي sahabat yangأنت merasa ya sendiri dan meminta ampun karena telah banyak melaku. »الذنوب إال أنت يغفر kan dosa. Adapun riwayat yang dikutip al-Zamakhsyari adalah; «يا رب أمل ختلقين بيدك؟: وعن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال : يا رب أمل تنفخ يفّ الروح من روحك؟ قال: قال. بلى: قال : قال. بلى: يا رب أمل تسبق رمحتك غضبك؟ قال: قال. بلى يا رب إن تبت وأصلحت: قال. بلى: أمل تسكين جنتك؟ قال » نعم: أراجعي أنت إىل اجلنة؟ قال 24
24 ‘Abdul Karim ‘Usman. Syarh al-Usul al-Khamsah li al-Qadi ‘Abdul Jabbar. (T.tp: Maktabah Wahbah. 1996), hlm. 345.
«يا رب أمل ختلقين بيدك؟: وعن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال : يا رب أمل تنفخ يفّ الروح من روحك؟ قال: قال. بلى: قال Konsep Keadilan dan Indeterminasi ... 45 : قال. بلى: رب أمل تسبق رمحتك غضبك؟ قال ياLestari : قال. بلى Lenni يا رب إن تبت وأصلحت: قال. بلى: أمل تسكين جنتك؟ قال » نعم: أراجعي أنت إىل اجلنة؟ قال Letak keadilan Tuhan lainnya adalah saat diterimanya taubat Nabi Adam dan Hawa. Ketika Nabi Adam dan Hawa menyadari kesalahannya, yang ditandai dengan tersingkapnya pakaian mereka, Allah tidak serta-merta menjatuhkan vonis hukuman kepada mereka. Mengapa? karena kisah ini belum berakhir, tetapi baru pada tahap anti-klimaks (denouement/ pemecahan). Keputusan Allah untuk menjatuhkan hukuman diberikan baru setelah mereka bertaubat kepada Allah. Bukan hanya itu, Allah juga memberikan kesempatan kedua bagi mereka untuk bebas memilih jalan hidup. Di sini-lah letak keadilan tuhan yang lain, yaitu memberikan ampunan setelah mereka bertaubat. Konsep keadilan lainnya yang tersirat dari penafsiran alZamakhsyari di sini adalah tentang balasan di akhirat. Menurut al-Zamakhsyari, balasan di akhirat berjalan lurus dengan perbuatan di dunia. Hanya saja, konsep ke-Mu’tazilah-annya baru terasa saat menjelaskan kebebasan menentukan langkah di dunia. Jadi, sebenarnya konsep ini juga sama dengan ulama lainnya. Perbedaannya adalah pada konsep indeterminasi. Untuk lebih jelasnya, berikut penulis cantumkan penafsiran alZamakhsyari tentang hal ini;
،ما كان آدم وحواء عليهما السالم أصلي البشر جعال كأهنما: والسببني اللذين منها نشؤا وتفرعوا { فَإِمَّا: فقيل، فخوطبا خماطبتهم، البشر يف أنفسهما ونظريه إسنادهم الفعل. يَ ْأتِيَنَّكُم } على لفظ اجلماعة } وهو يف احلقيقة للمسبب { هُدًى،إىل السبب .كتاب وشريعة ضمن اهلل ملن اتبع القرآن أن ال يضل: وعن ابن عباس ِ { فَمَن: مث تال قوله، يف الدنيا وال يشقى يف اآلخرة اتبع هُدَاىَ فَالَ يَضِلُّ وَالَ يشقى } واملعىن أن الشقاء يف اآلخرة هو عقاب من ضلّ يف الدنيا عن طريق الدين
46
ونظريه إسنادهم الفعل. يَ ْأتِيَنَّكُم } على لفظ اجلماعة } وهو يف احلقيقة للمسبب { هُدًى،إىل السبب Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014 .كتاب وشريعة ضمن اهلل ملن اتبع القرآن أن ال يضل: وعن ابن عباس ِ { فَ َمن: مث تال قوله، يف الدنيا وال يشقى يف اآلخرة اتبع هُدَاىَ فَالَ يَضِلُّ وَالَ يشقى } واملعىن أن الشقاء يف اآلخرة هو عقاب من ضلّ يف الدنيا عن طريق الدين فمن اتبع كتاب اهلل وامتثل أوامره وانتهى عن نواهيه .جنا من الضالل ومن عقابه Penafsiran al-Zamakhsyari terhadap kisah Nabi Adam dan Hawa ada bayang-bayang Mu’tazilah di baliknya. menyiratkan Meski konsep keadilan tidak dijelaskan secara eksplisit, na tak dapat dipungkiri kesan tersebut tetap ada. Terkait mun dengan konsep keadilan, al-Zamakhsyari sudah cukup banyak ideologinya penafsiran lain se menguatkan melalui ayat-ayat lain kisah Nabi Adam dan Hawa.
E. Penutup
Dari pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa; 1) Konsep keadilan sebagai salah satu dari 5 prinsip Mu’tazilah, menempati posisi penting bagi al-Zamakhsyari. 2) Menurut al-Zamakhsyari, kisah Nabi Adam dan Hawa adalah salah satu bukti bahwa Tuhan itu adil, karena; Tuhan telah memberikan kebebasan berbuat bagi Nabi Adam dan Hawa, memberi hukuman karena telah melanggar, dan menerima taubat ketika mereka sadar akan kesalahannya. 3) Ada informasi lebih yang diberikan al-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya al-Kasysyaf. Hal ini menunjukan bahwa perspektif ideologis mampu memperkaya penafsiran. Demikian pemaparan mengenai kisah Nabi Adam dan Hawa dalam tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari. Kritik dan saran sangat penulis harapkan demi terpenuhinya kepuasan intelektual.
Konsep Keadilan dan Indeterminasi ... Lenni Lestari
47
Daftar Pustaka ‘Abdul Karim ‘Usman. Syarh al-Usul al-Khamsah li al-Qadi ‘Abdul Jabbar. T.tp: Maktabah Wahbah. 1996. Al-Zamakhsyari. Al-Kasysyaf. T.tp. T.th. Fauzan Naif, Al-Kasysyaf Karya Al-Zamakhsyari, dalam buku Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2004. Fuad Ni’mah. Mulakhkhas Qawa’id al-Lughah al-‘Arabiyyah. Beirut: Dar al-Saqafah al-Islamiyah. T.th. Heru Kurniawan. Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009. Kusmin Busyairi. Konsep Teologi Aliran Mu’tazilah. Yogyakarta: Rama. 1985. Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa al-Mufassirun. Jilid I. T.tp: Maktabah Mus‘ab bin ‘Umar al-Islamiyah. 2004. Nasr Hamid Abu Zaid. Al-Ittijah al-‘Aqli fi Tafsir, Dirasah fi Qadiyah alMajaz fi al-Quran ‘Inda al-Mu’tazilah. Beirut: Al-Markaz al-Saqafi al-‘Arabi. 2003. Nashirudin Baidan. Metodologi Penafsiran al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998. Nashr Hamid Abu Zaid. Menalar Firman Tuhan, Wacana Majas dalam Al-Quran Menurut Mu’tazilah. Bandung: Mizan. 2003. Saad Abdul Wahid, Zamakhsyari dan Tafsir “Al-Kasysyaf”, dalam buku Rekonstruksi Metodologi Ilmu-ilmu Ke-Islaman. Yogyakarta: SUKA-Press. 2003.
Tafsir Berwawasan Gender (Studi Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab) Atik Wartini Mahasisiwa dan Aktivis KMIP Universitas Negeri Yogyakarta Dan Mahasiswa Studi Pasca Sarjana PGRA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta1 Abtraks Dalam alur sejarah perkembangan penafsiran, dan pemahaman pergesekan dan perubahan paradigma serta epistemology pemahaman adalah suatu keniscayaan yang wajar, berbagai faktor melatar belakanginya, baik itu sosial, politik, dan kebudayaan. Al-Misbah sebgai produk Tafsir adalah sebuah berangkat dari dialektika antara teks, dan konteks yang di gagas oleh M. Quraish Shihab. dengan demikian indikasi adanya perubahan dalam penafsiran selalu ada, salah satu penafsiran yang berkaiatan dengan Perempuan. Tidak bisa di sangkal bahwa dokrin agama sering kali dijadikan untuk membenarkan tindakan tidak adil, sesuatu yang baku dan tidak bisa di tafsirkan, sehingga posisi marginal perempuan dalam sebuah agama di anggap takdir yang tidak dapat di ubah. Selain agama budaya juga , mempengaruhi terbentuknya stuktur dan sosial politik yang timpang di masyrakat. Yang kemudian berdampak perempuan sebgai seorang yang incapable dalam berbagai hal. Disinlah posisi al-Misbah sebgai tafsir modern, dan menjadi pionir tafsir pembebasan perempuan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif analitis, dengan mendiskiripsikan dan menganalisis pembacaan M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah terhadap ayat-ayat Isu gender. Seeprti penciptaan perempuan, kepemimpinan keluarga, saksi, warisan, dan nusyuz, dengan pendekatan historis dengan menelusuri sejarah pertumbuhan dan pola pemikiran serta konteks sosial-budaya yang mempengaruhinya. Serta di pengaruhi dengan penyebaran ide-ide, adapun jenis penelitian ini adalah penelitian perpustakaan, (library research) dan lebih menekankan pada tafsir al-misbah karya M. Quraish Shihab. Dalam penelitian ini menghasilkan adannya perkembangan terhadap penafsiran yang terkait dengan isu-isu jender, dalam tafsir al-Misbah. Dalam konteks waris, nusyusz, kesaksian perempuan, pemimpin keluarga, hingga maslah poligami, serta penciptaan perempuan, dalam hal ini M. Quraish shihab walaupun masih memengang penafsiran lama, tetapi tidak menolak adanya penafsiran baru. Terhadap isu-isu jender. Upaya M. Quraish Shihab adalah membangun jembatan dan alur mata rantai agar penafsiran berwa1
[email protected]
Tafsir Berwawasan Gender Atik Wartini
49
wasan jender dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penafsiran yang akan datang. Pembaharuan ini berjalan dengan pelan dan pasti, hal ini dapat di buktikan dengan tidak adanya penolakan yang berrti dalam setiap kajian penafsiran M. Quraish Shihad dalam menafsrikan makna perempuan dan isu-isu jender.
Kata Kunci: Penafsiran, Al-Misbah. Jender .
A. Pendahuluan Al-Qur’an tersusun dengan kosakata bahasa Arab (QS. Yusuf (12):2) kecuali bebrapa kata asing yang masuk di dalamnya karena akulturasi.2 Banyak faktor dipilihnya bahasa Arab sebagai bahasa alQur’an, diantaranya adalah keunikannya yang tercemin pada susunan kata dan akar kata. Kosa kata bahasa Arab mempunyai dasar tiga huruf mati dan dapat dibentuk dengan berbagai bentuk.3 Al-Qur’an bila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, India, Indonesia atau yang lain, bukan lagi al-Qur’an, hal tersebut di karenakan sudah ada perbedaan antara maksud yang dinginkan dan maksud yang sebenarnya ada dalam ruh ayat tersebut. Perbedaan laki-laki dan perempuan terkadang masih menyimpan berbagai macam permasalahan, terutama tentang peran dan subtansi kejadiannya dalam sosial masyarakat. Meskipun perbedaaan dari segi atomi boilogis laki-laki dan perempuan ini adalah sesuatu yang bersifat jelas, namun perbedaan ini terkadang masih melahirkan ketidakadilan pada salah satu pihak. Karena perbedaan secara biologis ini, menghasilkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi dari budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan konsep jender. Ketika terjadi ketimpangan dalam menentukan peran dalam sosial masyarakat akibat interpretasi budaya terhadap jenis kelamin inilah yang menghasilkan ketidakadilan jender. 2 Di antara kosa kata al-Qur’an yang Muarrab adalah Yaqutt, yasin, yasuddun….. lihat Jalaludin asy-Syuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: tt, th) Juz I, halamn 136-141. Lihat juga Muhammad Rawwas qalahji, Lughat Arab, Luhgat al-Arabi al-Mukhtarah, (Dar al-Nafais, tt) halaman 21 30. 3 Misalnya dari ketiga huruf adalaha lafaz qala, yakni qaf, wawu dan lam, dapat melahirkan enam bentuk kata dan kesemua kata tersebut mempunyai beragam makna lihat M Quraish Shihab Esklikopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata. (Jakarta: Lentera Hati, 2007) halamn vii.
50
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
Salah satu topik yang menarik menjadi isu global, dan menjadi perbincangan yang tak pernah henti adalah gerakan pembelaan terhadap kaum perempuan, yang menuntut keadilan dan kesetaraan jender. Serta juga melakukan pembebebasan perempuan dari segala bentuk subordinasi laki-laki terhadap perempuan. Hal ini akibat dari pemahaman jender yang bias priarkhi. Gerakan ini lebih dikenal dengan feminism. Yaitu gerakan yang memperjuangkan untuk menuntut kesamaan hak dan sederajat antara laki-laki dan perempuan dalam segala bidang. Dan menetang segala bentuk penindasan terhadap kaum perempuan.4 Para feminis Muslami cukup menyadari, bahwa kondisi yang dialami oleh para perempuan, khususnya di Negara-negara Islam, bukanlah tanpa sebab. Oleh karena itu, mereka mencoba mengkaji dan mengarahkan perhatian kepada sumber yang menyebabkan terjadinya ketimpangan terhadap kaum perempuan. Karena umat Islam sangat memegang teguh ajaran Islam sebagai landasan filosofisnya, maka rujukan sumber ajaran utama dalam Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Para feminis menyadari, bahwa penting untuk melakukan pendekatan studi dan kajian-kajian, juga reinterpretasi terhadap sumber utama tersebut, karena dengan mempengaruhi cara berpikir dan tindakan seorang muslim dalam kehidupannya, dan merekapun sadar dengan apa yang sedang dihadapi oleh kaum perempuan tersebut. Tidak lepas dari penafsiran al-Qur’an dan Hadis yang terkadang lebih memihak laki-laki dan menindas perempuan. Adapun hal-hal yang memicu antara lain adalah faktor Parthiarkhi5 dalam duania Islam, salah satu yang mencolok adalah dominasi laki-laki dalam pendidikan dan keilmuan. Bahkan sebagai penafsir al-Qur’an muncul dari kaum laki-laki, yang sangat jarang sekali memperhatikan aspek sisi-sisi feminis atau memperjuangkan kepentingan kaum perempuan. Hal tersebut terjadi dalam kurun 4 Julia Cleves Moses, Gender dan Pembangunan, Terjemahan Hartini Silawati (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1988) halaman 3-4. 5 Parthiarkhi adalah stuktur kekuasaan atau hegemoni kekuatan dunia laki-laki dimana setiap hubungan dipahami dalam kerangka superoritas dan inferiorritas, baca Mansur Fakih “ Diskurusus Gender Prespektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996) halaman 215.
Tafsir Berwawasan Gender Atik Wartini
51
yang sangat lama dan mungkin sudah mengendap dan menjadi sebuah keyakinan selama berabad-abad lamanya.6 Keterkaitan antara penafsir al-Qur’an dengan cara pandang muslim tersebut menghasilkan produk penafsiran yang bias laki-laki sehingga terjadi pengekangan norma-norma keadilan dan sifat egaliter yang menjadi hak perempuan, yang di atas namakan segai sebuah dogma agama atau dari ajaran al-Qur’an.7 Berangkat dari asusumi di atas dapat disimpulkan bahwa diskriminasi perempuan salah satu faktornya adalah disebabkan oleh penafsiran-penafsiran yang bias partihiarkhi dan tidak memberikan porsi keadilan dan hak-hak perempuan dalam kesetaraan, maka dari itu dalam hal ini mencoba memberikan wawasan penafsiran jender ala ulama Kontemporer yang ada di dunia khususnya di Indonesia. Salah satu pakar tafsir yang sudah diakui oleh masyarakat luas dan sekarang masih hidup dan menjadi rujukan di belahan wilayah Indonesia adalah M.Quraish Shihab dengan tafsir Adabu Ijtima’I dengan mengungkapkan kesan dan pesan dalam al-Qur’an beliau mencoba meramu penafsiran yang tidak bias terhadap laki-laki dan mencoba menafsirkan ulang ayat-ayat jender untuk mengangkat derajat perempuan dalam tradisi Islam di Negara-negara muslim.
B. Biografi Singkat M. Quraish Shihab. M. Quraish Shihab dilahirkan pada 16 Februari di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan sekitar 190 Km dari kota Ujung Pandang.8 Ia berasal dari keturunan Arab yang terpelajar. Shihab merupakan nama keluarganya (ayahnya) seperti lazimnya yang digunakan di wilayah Timur (anak Benua India termasuk Indonesia). M. Quraish Shihab dibesarkan dalam lingkungan keluarga 6 Fatimah Mernisi-Riffat Hasan, Setara Di Hadapan Allah, Relasi Antara Laki-laki dan Perempuan Dalam Tradisi Islam Pasca Parthiarkhi, Terjemahan Team LSPPA (Yogyakarta : LSPPA Yayasan Prakas, 1995) h. 70. 7 Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Terjemahan, Farid Wajid dan Cici Farkha Asseghaf ( Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994) h. 1-2. 8 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Maysarakat (Bandung; Mizan, 2004) halaman 6, Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008) halamn 236.
52
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
Muslim yang taat, pada usia sembilan tahun, ia sudah terbiasa mengikuti ayahnya ketika mengajar. Ayahnya, Abdurrahman Shihab (1905-1986) merupakan sosok yang banyak membentuk kepribadian bahkan keilmuan kelak, menamatkan pendidikannya di Jammiyah al-Khair Jakarta, yaitu sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Ayahnya seorang Guru besar di bidang Tafsir dan pernah menjabat sebagai rektor IAIN Alaudin Ujung Pandang dan juga sebagai pendiri Universitas Muslaim Indonesia (UMI) Ujung Pandang.9 Menurut M. Quraish Shihab sejak 6-7 Tahun, ia sudah diharuskan untuk mendengar ayahnya mengajar al-Qur’an. Dalam kondisi seperti itu, kecintaan seorang ayah terhadap ilmu yang merupakan sumber motivasi bagi dirinya terhadap studi al-Qur’an.10 Disamping ayahnya peran seorang ibu juga tidak kalah pentingnya dalam memberikan dorongan kepada anak-anaknya untuk giat belajar terutama masalah agama. Dorongan sang ibu inilah yang menjadi motivasi ketekunan dalam menuntut Ilmu agama sampai membentuk kepribadiaanya yang kuat terhadap basic keislaman. Dengan melihat latar belakang keluarga yang sangat kuat dan disiplin, maka sangat wajar jika kepribadian keagamaan, dan kecintaan serta minat terhadap ilmu-ilmu agama dan studi al-Qur’an yang digeluti oleh M. Quraish Shihab sejak kecil hingga kemudian didukung latar belakang pendidikan yang dilaluinya mengantarkan menjadi seorang muffasir. M. Quraish Shihab memulai pendidikan di Kampung halamannya di Ujung Pandang, dan melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang tepatnya di Pondok Pesantren Dar al-Hadist alFiqhiyyah.11 Kemudian pada tahun 1958, dia berangkat ke Kairo Mesir untuk meneruskan pendidikannya di al-Azhar dan diterima di kelas II Tsanawiyyah. Selanjutnya pada Tahun 1967 dia meraih gelar Lc (S1) pada Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir Hadist Universitas Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikanya di Fakultas yang sama, sehingga tahun 1969 ia meraih gelar MA untuk spesialis Tafsir 9 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Terbuka Dalam Beragama, (Bandung: Mizan,1999) Halaman. V. 10 Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an, halaman 237. 11 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an….. halaman 14.
Tafsir Berwawasan Gender Atik Wartini
53
Al-Qur’an dengan judul Al-I’jaz al-Tasri’ Li Al-Qur’an Al-Karim.12 Pada tahun 1980 M. Quraish Shihab kembali melanjutkan pendidikanya di Universitas al-Azhar, dan menulis disertasi yang berjudul Nazm Al-Durar Li Al-Baqa’iy Tahqiq wa Dirasah sehingga pada tahun 1982 berhasi meraih gelar doktor dalam studi ilmu-ilmu al-Qur’an dengan yudisium Summa Cumlaude, yang disertai dengan penghargaan tingkat 1 (Mumtaz Ma’a Martabat al-syaraf al-Ula). Dengan demikian ia tercatat sebagai orang pertama dari Asia Tenggara yang meraih gelar tersebut.13 Setelah kembali ke Indonesia, pada tahun 1984, M Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tahun 1995, ia dipercaya menjabat Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jabatan tersebut memberikan peluang untuk merealisasikan gagasan-gagasanya, salah satu diantaranya melakukan penafsiran dengan menggunakan pendekatan multidisipliner, yaitu pendektan yang melibatkan sejumlah ilmuwan dari berbagi bidang spesialisasi. Menurutnya, hal ini akan lebih berhasil untuk mengungkapkan petunjuk-petunjuk dari al-Qur’an secara maksimal.14 Jabatan lain di luar Kampus yang pernah diembanya, antara lain, Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat sejak 1984: anggota Lajnah Pentashih al-Qur’an Departemen Agama sejak 1989, selain itu ia banyak berkecimpung dalam berbagai organisasi profesional, seperti pengurus perhimpunan ilmu-ilmu al-Qur’an Syari’ah, Pengurus Konsursium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).15 Serta direktur pendidikan Kader Ulama (PKU) yang merupakan usaha MUI untuk membina kader-kader ulama di tanah air.16 12 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an….. halaman 6. 13 Quraish Shihab, Memmbumikan Al-Qur’an …… halaman 5. 14 Kasmantoni, Lafadz Kalam Dalam Tafsir al-Misbah Quraish Shihab Studi Analisa Semantik (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Tesis 2008) halaman 31. 15 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, ….. halaman 6. 16 Quraish Shihab, “Menyatukan Kembali al-Qur’an dan Umat” dalam jurnal Ulumul Qur’an, Vol. V, No, 3, 1993, halaman 13.
54
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
Pada tahun 1998, tepatnya di akhir pemerintahan Orde Baru, ia pernah dipercaya sebagai Menteri Agama oleh Presiden Suharto, kemudian pada 17 Pembruari 1999, dia mendapat amanah sebagai Duta Besar Indonesia di Mesir, Walaupun berbagai kesibukan sebagai Konsekwensi jabatan yang diembanya, M Quraish Shihab tetap aktif dalam kegiatan Tulis menulis di berbagai media massa dalam rangka menjawab permasalahan yang berkaitan dengan persoalan agama.17 Di harian pelita, ia mengasuh rubrik “Tafsir Amanah” dan juga menjadi anggota dewan Redaksi majalah Ulum al-Qur’an dan Mimbar Ulama di Jakarta. Dan kini, aktifitasnya adalah Guru Besar Pasca Sarjana UIN Syarif Hidatatullah Jakarta dan Direktur Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) Jakarta.18 Sebagai mufassir kontemporer dan penulis yang produktif, M Quraish Shihab telah menghasilkan berbagai karya yang telah banyak diterbitkan dan dipublikasikan.19 Di antara karya-karyanya adalah : 1. Tafsir Al-Manar: Keistimewan dan Kelemahannya, Tahun 1984 diterbitkan di IAIN Alauddin Ujung Pandang. 2. Filsafat Hukum Islam, tahun 1987 diterbitkan di Jakarta (Departemen Agama RI). 3. Mahkota Tuntunan Illahi: Tafsir Surat Al-Fatihah, tahun 1988 diterbitkan di Jakarta (untagama). 4. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Maysarakat, tahun 1994 di terbitkan di bandung (mizan) 5. Studi Kritik Tafsir al-Mannar, 1994 diterbitkan di Bandung (Pustaka Hidayah). 6. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, tahun 1994 diterbitkan di bandung (Mizan). 7. Untaian Permata buat Anakku: Pesan al-Qur’an untuk Mempelai, tahun 1995 diterbitkan di bandung (Mizan). 8. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas berbagai persoalan Umat tahun 1996 diterbitkan di bandung (mizan). 9. Hidangan Ayat-Ayat Tahlil, tahun 1997 diterbitkan di Jakarta (len17 Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufassir……. Halaman 238. 18 M. Quraish Shihab, Mu’zizat al-Qur’an Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiyyah dan Pemberitaan Gahaib (Jakarta, Mizan,2007) halaman 297. 19 Kasmantoni, Lafaz Kalam….. halaman 32-37.
Tafsir Berwawasan Gender Atik Wartini
55
tera Hati). 10. Tafsir al-Qur’an Al-Karim: Tafsir Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunya Wahyu, tahun 1997 diterbitkan di Bandung (Pustaka Hidayah). 11. Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau dari Berbagai Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, tahun 1997 di terbitkan di Bandung (Mizan). 12. Sahur Bersama M. Quraish Shihab, di RCTI, tahun 1997 diterbitkan di Bandung (Mizan). 13. Menyingkap Ta’bir Illahi: al-Asma’ al-Husna dalam Prespektif alQur’an, tahun 1998 diterbitkan di Bandung (Mizan). 14. Haji Bersama Quraish Shihab: Panduan Prakstis Untuk Menuju Haji Mabrur, tahun 1998 di terbitkan di Bandung (Mizan). 15. Fatwa-Fatwa seputar Ibadah Mahdhah, tahun 1998 diterbitkan di Bandung (Mizan). 16. Yang Tersembunyi Jin Syetan dan Mayarakat: dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah serta Wacan Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini, tahun 1999 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 17. Fatwa-Fatwa Seputar Al-Qur’an dan Hadist, Tahun 1999 diterbitkan di Bandung (Mizan). 18. Panduan Puasa bersama Quraish Shihab, tahun 2000 diterbitkan di Jakarta (Reblublika). 19. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume II, tahun 2001 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 20. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume III, tahun 2001 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 21. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume IV, tahun 2002 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 22. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume V, tahun 2002 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 23. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume VI, tahun 2002 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 24. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume VII, tahun 2002 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 25. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume VIII, tahun 2002 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 26. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume
56
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
VIX, tahun 2002 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 27. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume X, tahun 2002 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 28. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume XI, tahun 2003 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 29. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume XII, tahun 2003 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 30. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume XIII, tahun 2003 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 31. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume XIV, tahun 2003 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 32. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-QUR’AN, Volume XV, tahun 2003 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 33. Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga dan Ayat-Ayat Tahlil, tahun 2001 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 34. Panduan Sholat Bersama Quraish Shihab, tahun 2004 diterbitkan Jakarta (Replubika). 35. Kumpulan Tanya Jawab Bersama Quraish Shihab, tahun 2004 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 36. Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam, tahun 2005 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 37. Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer Pakaian Perempuan Muslimah, tahun 2006 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 38. Dia Dimana-mana “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena, tahun 2006 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati , Pusat Studi AlQur’an). 39. Perempuan, Dari Cinta sampai Sexs, Dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah, dari Biasa Lama sampai Biasa Baru, tahun 2006 diterbitkan di Jakarta (lentera Hati). 40. Menjemput Maut Bekal Perjalanan Menuju Allah, tahun 2006 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 41. Pengantin Al-Qura’an Kalung Permata Buta Anakku, tahun 2007 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati). 42. Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama Al-Qur’an, tahun 2007 diterbitkan di Bandung (Mizan). 43. Ensiklopedia Al-Qur’an Kajian Kosa Kata, jilid I, II, II tahun 2007
Tafsir Berwawasan Gender Atik Wartini
57
diterbitkan di Jakarta (PSQ dan Lentera Hati dan Yayasan Paguyuban Iklas). 44. Al-Lubab: Makna dan Tujuan dan Pelajarn dari Al-Fatihah dan Juz Amma, tahun 2008 diterbitkan di Jakarta (Lentera Hati) Berbagai karya M. Quraish Shihab yang telah disebutkan di atas, menandakan bahwa perananya dalam perkembangan keilmuan di Indonesia khususnya dalam bidang Al-Qur’an. Dan sekian banyak karyanya, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an merupakan Mahakaryanya. Melalui tafsir inilah namnya membumbung sebagai salah satu muffasir Indonesia, yang mampu menulis tafsir al-Qur’an 30 Juz dari Volume 1 sampai 15. Dalam tulisan ini penulis mencoba melakukan kajian ulang pemikiran dan mencoba menelusuri landasan hukum dan metodologi hukum yang di gunakan oleh M Quraish Shihab dalam tafsir berwawasan jender dalam berbagai karya M. Quraish Shihab.
C. Corak Pemikiran dan Tafsir M. Quraish Shihab Sebelum kita membahas tafsir perdamaian dalam pandangan M.Quraish Shihab perlu kita kaji karakteristik pemikiran M.Quraish Shihab dalam peta pemikiran Tafsir. Sebagai studi awal pendapat M. Syafi’i Anwar perlu dicermati dengan mengklasifikasi tipologi Cendekiawan Muslim. Pertama, yaitu tipologi Formalistik, dalam tipologi ini sosok cendekiawan Muslim lebih menonjolkan format-format keagamaan yang formal-normatif dalam menerapkan ajaran Islam dalam ruang publik. Orientasi yang di bangun misalnya adalah membuat partai Islam. Sistem Politik Islam, dan yang paling menonjol adalah formalisasi dan politisasi Islam dan simbolsimbol keagamaan secara formal. Kedua, adalah tipologi Subtantivistik, tipologi ini menggambarkan tentang subtansi ibadah dengan peribadatan, dan tidak terjebak pada simbolisasi agama Islam. Islam dipahami dengan nilai-nilai ajaran agama Islam dalam berbagai bidang. Ketiga, Tipologi Tranformatik. Dalam tipologi ini lebih menitikberatkan pandangan ajaran Islam yang paling utama berkaitan dengan kemanusian. Dalam hal ini ajaran Islam berupaya menjadi gerakan yang memperdayakan umat, sehingga mengarahkan kepada pembebasan manusia dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, ketidakadilan. Keempat, tipologi totalistik adalah tipologi yang
58
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
di bangun dengan mendambakan Islam yang kaffah, tidak ada ruang partikularistik dan pluralitas. Yang ada dalam benak mereka adalah membangun idealistik ke arah pemahaman yang Fundamental, walaupun mereka terbuka terhadap diskursus intelektual dan pendekatan Ilmiah. Kelima, tipologi Idealistik, tipologi ini berpandangan bahwa pandangan dunia harus menjadikan seorang Muslim yang di bentuk oleh wahyu, namun pandangan dunia belum dirumuskan secara tuntas dan sistematis, sehingga perlu dipahami secara cerdas dan kontekstual sesuai dengan dinamika dan perubahan zaman. Keenam, tipologi realistik, tipologi ini berpandangan bahwa Islam harus hadir dan mengaktualisasikan dirinya secara realistik dalam berbagai keragaman yang ada. Dengan demikian ajaran Islam di padukan dengan budaya lokal.20 Dengan melihat tipologi yang telah dijelaskan di atas, M Quraish Shihab termasuk dalam kategori tipologi Subtantif, Tranformatif, dan Idealistik. Tiga analisir yang menjadi bahan renungan penulis adalah pertama, M.Quraish Shihab adalah sorang figur yang moderat, sikap moderatnya terbukti dengan model gagasan-gagasannya yang dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Dengan mengunakan bahasa sederhana lugas dan rasional menjelaskan tentang ajaran-ajaran Islam. Kedua, M. Quraish Shihab seorang penafsir yang kontektualis. Dalam hal ini ia menekankan untuk memahami wahyu Ilahi dengan cara kontektual dan tidak terjebak pada makna tektual. Walaupun masih harus berpodaman pada kaidah-kaidah tafsir yang masih baku. Serta menekankan perlunya hati-hati dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga tidak terjatuh pada kekeliruan penafsiran yang mengakibatkan suatu pendapat atas nama al-Qur’an.21 Jika dilihat dari pemikiran aliran tafsir dalam khazanah tafsir, ada dua corak aliran, pertama adalah berperspektif klasik-tektualis, pemikiran yang digolongkan dalam aliran ini adalah pendangan ulama yang bersifat konvensional (mapan) dan sangat terikat pada tektualitas nash, yang terkesan kaku dan diskriminatif terhadap perem20 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina,1995) halaman 182. 21 Dewan Redaksi Eklopedia Islam, Suplemen Eklopedia Islam 2, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994) halaman 112.
اتبع هُدَاىَ فَالَ يَضِلُّ وَالَ يشقى } واملعىن أن الشقاء يف ضلّ يف الدنيا عن طريق الدينTafsir منBerwawasan هو عقابGender اآلخرة 59 Atik Wartini فمن اتبع كتاب اهلل وامتثل أوامره وانتهى عن نواهيه .جنا من الضالل ومن عقابه contoh aplikasi penafsiran mereka adalah sebagai berikut,
puan, pertama penafsiran At-Tabari (w. 310) dalam surat an-Nisa (4) :34:
Artinya : Kaum Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, oleh karena itu Allah Telah melebihkan sebgaian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebgai harta mereka, sebba itu maka perempuan yang saleh, yang taat kepda Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatillha mereka dan pisahkanlah merak dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka, dan jika mereka mentatatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya, sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi maha Besar. ( Q.S alNisa (4) : 34)
Sedangkan dalam surat lainya al-Baqarah (2), 228, Allah berfirman:
Artinya :
Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ tidak boleh merek menyembunyikan apa yang di ciptakan Allah dalam Rahimnya jika mereak beriman kepada Allah dan hari Akhir. Mereka para suami menghendaki (Islah) dan para perempuan mempunyai hal seimbang dalam kewajibanya menurut cara yang lebih ma’ruf, akan tetapi para suami,
60
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
mempunyai suatu tingkatan kelebihan dari pada pada istrinya, dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.” (Q.S al-Baqarah (2) : 228)
At-Tabari (w. 310) menyatakan dalam ke dua ayat ini adalah legitimasi superoritas laki-laki terhadap perempuan, secara lahiriyyah dikatakan bahwa ayat tersebut laki-laki adalah al-Qawam atau pemimpin, dan pada al-Baqarah disebutkan bahwa derajat laki-laki setingkat dari pada perempuan. Meskipun pada surat al-Baqarah (2) :228, terdapat potongan kalimat yang menyatakan wa Lahunna Mislu al-Lazina bi al-Ma’ruf, bahwa perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban menurut cara yang baik”, menurut atTabari kesamaan hak itu baru muncul dengan sendirinya ketika keduanya sudah melakukan kewajiban masing-masing, yaitu perempuan melaksanakan sebagai istri yang patuh kepada suami. Ketika membahas kata bi Ma Faddla Allahu, menyatakan bahwa kelebihan yang dimiliki oleh perempuan adalah sebagai akibat kewajiban suami memberi mahar nafkah atau perlindungan.22 Kedua, dalam pembahasan surat al-Baqarah (2) :228, al-Jassah (w. 370 ) menyatakan penafsiran ayat tersebut pada bab “hak suami dan istri” dengan mengutip pendapat Abu Bakar bahwa Allah SWT mengkonfirmasikan bahwa antara suami dan istri mempunyai hak, tetapi suami memiliki hak khusus yang hanya di peruntukkan kepadanya. Selanjutnya al-Jassas menjelaskan hak-hak suami yang menjadi kewajiban Istri, seperti menjaga nama baik suami dan keluarga, menjaga harta benda, dan patuh pada suami. Selain suami mempunyai kelebihan boleh berpoligami dan kelebihan bagian warisan, serta seorang suami berhak memukul istrinya ketika nusyuz, pemahaman ini menurut al-Jassas, sesuai dengan apa yang ada di surat an-Nisa’ (4) : 34. Ketiga, Farrur Razi (W. 606), berkaitan dengan tafsiran di atas menyatakan ayat ini disatu sisi memberikan superioritas terhadap kaum laki-laki yang hampir-hampir mutlak, disisi lain menimbulkan tanggung jawab, dan kewajiban cukup besar bagi kaum laki-laki, seperioritas laki-laki ini, meliputi kelebihan kaum laki-laki di bidang akal, bagian warisan, hal talak dan rujuk, dan bagian harta rampasan perang (gharimah). Dari tinjauan di atas bahwa seorang perempuan di posisikan inferior atas laki-laki dan menunjukkan kaum perempuan itu diciptakan sebagai hamba yang lemah. Kemudian ar-Razi mengutip sebuah hadis 22 Khoirudin Nasution, Fazlur Rahman Tentang Perempuan, halaman 53-54.
Tafsir Berwawasan Gender Atik Wartini
61
Nabi yang artinya: “Dan takutlah kepada Allah kepada kedua kelompok yang lemah yakni anak yatim dan kaum perempuan.” Penyebutan hadis ini masih bertujuan untuk menunjukkan legitimasi lemahnya perempuan. Ar-Razi menyatakan dan berargumen ayat di atas sebagai dasar atas kelebihan laki-laki terhadap perempuan yang dilegitimasikan oleh al-Qur’an, dan menimbulkan tanggung jawab melebihi perempuan. Berupa keharusan memberi nafkah, menciptakan keluarga yang baik dan mencegah kerusakan.23 Adapun yang keempat, al-Qurtuby (W. 671) menafsirkan ayat yang sama seperti penafsir sebelumnya, yaitu keseimbangan hak dan kewajiban, namun disamping hal tersebut, Qurtuby mempunyai pendapat sama dengan yang lain, bahwa laki-laki mempunyai derajat yang lebih tinggi dari perempuan.24 Sedangkan apabila dilihat dari model penafsiran yang kedua, yaitu penafsiran perspektif modern-kontektualis adalah kalangan ulama yang menggunakan model pemikiran sebelumnya, yang bernuansa bertolak belakang terhadap paradigma diskriminatif terhadap perempuan. Pemikiran modern-kontektualis ini adalah penafsiran yang menawarkan paradigma baru dalam memahami jender, yang mengusung tema kesetaraan jender dan pembebebasan perempuan. Perpektif penafsiran model ini, lebih menekankan aspek kontektulitas teks dari pada tektualitas teks dalam memahami nash al-Qur’an dan Hadist. Sehingga pemikiran model ini selalu adaktif dan fleksibel. Adaktif berarti bisa mengakomodir perubahan keadan dengan lebih baik, sedangkan fleksibel dapat merubah sesuai dengan konteks penafsiran dan problem aktual kekinian. Beberapa contoh dapat dilihat sebagai berikut : Pertama, penafsiran Musthafa al-Maraghi terhadap ayat-ayat surat al-baqarah (2) 228, bahwa ayat itu mengandung pengertian bahwa suami mempunyai hak dan kewajiban yang harus ditunaikan kepada istrinya, bersamaan dengan hal itu, istri juga mempunyai hak dan kewajiban yang juga seimbang terhadap suami. Dengan kata lain hubungan suami istri bersifat memberi dan menerima (take and give), penafsiran al-Maraghi semakin tepat dengan ungkapan saling menerima dan memberi ketika dihubungkan 23 Ibid halaman 56-57. 24 Ibid halaman 57-58.
62
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
dengan sebab turunya ayat, yang menurut suatu riwayat dikatakan, Ibnu Abbas berkata, “Aku berhias diri untuk istriku, sebagaimana ia berhias dari untukku”. Adapun penafsiran yang menujukkan kaum laki-laki lebih tinggi dari pada kaum perempuan menurut al-Maraghi berhubungan dengan kepemimpinan dan tugas tanggung jawab untuk mengurus kemaslahatan rumah tangga. Bukan dalam konteks merendahkan derajat perempuan dan meninggikan derajat laki-laki, dalam hubungan sebagai individu manusia. Kedua, penafsiran dari Sayyid Qutub, (W. 1966) dalam menafsirkan ayat di atas, Sayyid Qutub berpendapat, bahwa antara surta al-Baqarah (2) :228 dan surat an-Nisa (4) 34, tidak ada hubungan dalam menguatkan superioritas laki-laki terhadap perempuan, menurutnya ayat tersebut berbicara dalam konteks talak, bukan dalam maksud legitimasi derajat laki-laki. Tetapi dalam hak suami merujuk istrinya dalam masa iddah. Hak rujuk itu menjadi milik suami. Sebabnya dialah yang menalak istrinya. Sementara ayat kedua yang ada pada surat an-Nisa (4): 34, membahas tentang peranan laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri. Dalam konteks perkawinan rumah tangga. Dimana laki-laki memegang tugas kepemimpinan, disebabkan kelebihan yang dimilikinya sebagai kepala rumah tangga. Dengan demikian hubungan suami istri ini seharusnya memeliki dasar kemitraan dan saling melengkapi.25 Sedangkan pendapat ketiga, adalah pendapat Muhammad Abdduh dalam memahami maksud kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan dalam surat al-Nisa (4) : 34, adalah anugrah kekhususan yang diberikan oleh Allah kepada kaum laki-laki (suami) untuk memikul tugas dan tanggung jawab melindungi, menjaga dan menafkahi kebutuhan perempuan, (istri). Sedangkan pemahaman Muhammad abduh terhadap kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan dalam konteks ayat di atas adalah kepemimpinan yang bersifat demoktaris, kepemimpinan yang memberikan kebebasan kehendak sendiri, bukan kepemimpinan yang bersifat otoriter dan mengekang kebebasan, relasi antara laki-laki dan perempuan yang
25 Lihat kata pengantar M. Quraish Shihab “Kesetaraan Jender dalam Islam” dalam Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Prespektif al-Qur’an. (halaman XXXViii-XXXX)
Tafsir Berwawasan Gender Atik Wartini
63
saling melengkapi dalam satu jalinan kesatuan yang utuh,26 begitu dengan Muhammad Rasyid Rida juga mengutarakan bahwa kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan tersebut adalah kepemimpinan yang berasal dari amanat pernikahan, yang mengemban tugas dalam keluarga, adapun kelebihan yang ada pada laki-laki sebagai nabi, imam, khatib, shalat jum’at bukanlah termasuk dari maksud ayat kepemimpinan laki-laki ini.27 Apabila dilihat dari kaca mata aliran penafsiran hermenutika, dalam aliran ini dapat dibagi tiga aliran utama. Pertama, aliran obyektifis, aliran yang lebih menekankan pada pencarian makna asal dari obyek penafsiran (teks tertulis, teks diucapkan, perilaku, serta simbol-simbol kehidupan, jadi penafsiran adalah upaya merekontruksi apa yang dimaksud oleh pencipta teks. Kedua, aliran subyektifis adalah aliran yang menekankan peran pembaca/penafsir dalam pemaknaan terhadap teks. Ketiga, aliran obyektivis-cum-subyektivis aliran ini berada di tengah-tengah antara dua aliran di atas, yang bisa dimasukkan dalam katagori pemikiran gracia, aliran ini mencari keseimbangan antara pencarian makna teks dan peran pembaca dalam penafsiran,28 sedangkan M. Quraish Shihab, bila dilihat dari tiga pandangan terakhir, ia masih menempati kelompok yang pertama, karena masih terpaku pada obyek tertulis. Dalam menulis karya tafsir ini, M. Quraish Shihab menguna kan metode penafsiran Tahlili yakni analitis, yaitu metode tafsir yang mengkaji ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf Usmani.29 Metode ini terlihat jelas dalam tafsir al-Misbah dimana beliau memulai manafsirkan ayat dari Surat al-Fatihah sampai dengan surat an-nas. Sedangkan jika dilihat dari corak penafsiran maka corak penafsiran tafsir al-Misbah termasuk dalam katagori Tafsir adaby ijtima’i, yakni corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Quran berdasar26 Mundhir, Perpesktif Feminisme dalam Tafsir al-Qur’an, Studi Kitab Tafsir al-Manar halaman 95-98. 27 Ibid halaman 99. 28 Dr. Phil. Sahiron Samsudin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Jogjakarta: Nawesea Press, 2009) halaman 26. 29 Said Agil Husin al-Munawwar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2004) halaman 73.
64
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
kan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas dan menekankan tujuan pokok di turunkan al-Qur’an, lalu mengaplikasikannya dalam tatanan sosial seperti pemecahan masalah ummat dan bangsa pada umumnya yang sejalan dengan perkembangan masyarakat.30
D. Kesetaraan Jender Menurut Muhammad Qurais Shihab
M. Quraish Shihab menyatakan bahwa perbedaan antara laki laki dan perempuan adalah suatu yang menjadi kepastian. Karena perbedaan sudah menjadi kodrat yang sudah termaktub dalam al Qur’an. Paling tidak perbedaan tersebut dari segi biologis antara laki-laki dan perempuan.31 Menurut M. Quraish Shihab dalam pan oleh Allah dengan kodrat, dalam al-Qur’an dangan Islam diciptakan disebutkan :
Artinya: “Sesungguhnya dengan sesuatu kami ciptakan qadar. (Q.S al-Qamar (54) :49) Oleh para pakar, qadar disini diartikan sebagai ukuran-ukuran. Sifat-sifat yang ditetapkan oleh Allah bagi segala sesuatu. Dalam hal yang juga dimaksudkan dalam istilah qodrat. Dengan demiki itulah an, laki-laki maupun perempuan, sebagai makhluk individu dan jen masing-masing. Quraish Shihab juga is kelaminmemiliki kodratnya menegaskan, bahwa Allah selain menciptakan adanya perbedaan laki-laki dan perempuan namun juga memberikan anugrah keistime pada al-Qur’an memberikan isyarat : waan keduanya, “Janganlah kamu iri hati terhadap keistimewaan yang dianu Allah terhadap sebagaimana kamu atas sebagaian yang lain, grahkan laki-laki mempunyai hak atas apa yang diusahakannya dan perem hak atas apa yang diusahakannya ( Q.S an puan juga mempunyai Nisa (4) :32) Dari ayat tersebut dapat dipahami, bahwa perbedaan yang suAllah laki-laki dan perempuan, dah diciptakan oleh terhadap menye
30 M. Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, halaman 184.
31 Lihat kata pengantar M. Quraish Shihab “Kesetaran jender dalam Islam” dalam Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Perpektif al-Qur’an halaman xxvi.
Tafsir Berwawasan Gender Atik Wartini
65
babkan adanya fungsi utama yang harus mereka emban masing-masing.32 Oleh Karen itu, laki-laki dan perempuan berbeda atas dasar fungsi dan berbeda-beda dalam tugas yang diemban. Laki-laki dan perempuan juga memperoleh kesamaan hak, atas apa yang diusahakannya atau sesuai dengan apa yang menjadi kewajibanya. Quraish Shihab juga menyatakan, bahwa perbedaan biologis Tidak perbedaan terhadap yang diberi manusia. menjadi potensi kan Allah kepada manusia, manusia dalam segala jenisnya, laki-laki perempuan. Memiliki tingkat kecerdasan dan kemampuan maupun berfikir yang sama. Yang dianugrahkan Allah SWT. Di dalam al memuji Albab, yaitu yang berzikir dan me Qur’an, Allah Swt Ulil mikirkan kejadian dan bumi. Zikir dan pikir yang menghantarkan manusia untuk menyingkap alam rahasia-rahasia semesta. Ulul al-bab disini juga tidak terbatas dalam laki-laki tetapi juga untuk perempuan, karena setelah al-Qur’an menguraikan ayat-ayat yang Al-Qur’an men mebahas sifat-sifat ulul al-bab pada ayat sebelumnya. egaskan ayat selanjutnya: Artinya: Maka mereka firman Tuhan mengabulkan permintaan mereka dengan sesung guhnya aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal diantra kamu, baik lelaki maupun perempuan.” (Q.S Ali Imran (3) : 195).
Bisa ditarik kesimpulan bahwa kaum perempuan setara dengan dan sejajar dengan kaum laki-laki dalam potensi intelektualnya. Sebagaimana laki-laki, mempunyai kaum perempuan, kemampuan berpikir, mempelajari dan mengamalkan apa yang mereka hayati dari bertafakur dari dan berzikir kepada Allah dan juga yang mereka 33 pikirkan dari alam semesta ini. Laki-laki sama dansetara dan perempuan juga dihadapan Allah SWT. Memang dalam al-Qur’an terdapat ayat yang berbicara tentang lakai-laki sebagai pemimpin para perempuan (Q.S An-Nisa (4) 34,) akan tetapi, kepemimpinan tersebut tidak boleh mengantarkan 32 Lihat kata pengantar M. Quraish Shihab “Kesetaran jender dalam Islam” dalam Nasarudin Umar, Argumen Jender, Perpektif al-Qur’an halaman xxvi Kesetaraan 33 Ibid halaman xxxvii
66
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
kepada kesewang-wenangan. Karena al-Qur’an di satu sisi memer intahkan untuk tolong-menolong antara laki-laki dan perempuan, pada yang berdiskusi sisi lain al-Qur’an juga memerintahkan untuk dan musyawarah dalam persoalan mereka. Tugas kepemimpinan itu selintas adalah dan sebagai sebuah keistimewaan “derajat yang tinggi” dari perempuan. Namun derajat itu adalah kebesaran hati suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban-kewajibanya.34 Menurut Quraish Shihab, persamaan antar laki-laki dan perempuan baik laki-laki maupun perempuan, maupun antar bangsa, suku, adalah pokok ajaran dan prinsip dalam dan keturunan, utama ajaran Islam, dalam al-Qur’an Allah berfirman :
Artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia diankamu di orang yang paling taqwa kamu. Sesung tara sisiAllah adalah diantra guhnua Allah maha mengetahui dan lagi maham mengenal.” ( Q.S al-Hujarat (49) : 13) .
Perkara yang digaris bawahi dari perbedaan tersebut, bahwa yang meninggikan dan merendahkan derajat seseorang adalah niketakwaan kepada SWT. karena lai pengabdian dan Allah Oleh itu, dalam ajaran Islam, laki-laki dan perempuan tidak memiliki perbedaan yang mendasar dan subtansial dalam beberapa hal utama, an tara lain : asala kejadian, hak-haknya dalam berbagai bidang, dan kedudukan serta perannya, tugas dan tanggung jawabnya.35 Dalam al-Misbah, Quraish Shihab penafsiran ayat menyatakan ayat penciptaan perempuan (Hawa) yang berasal dari tulang rusuk la mempengaruhi ki-laki (Adam) sesungguhnya adalah sebuah ideyang dari sumber penafsirannya. Seperti yang pernah diutarakan oleh 34 Ibid, halaman xxvii-xxviii 35 Muhammad Quraish Shihab, “Konsep Perempuan menurut Al-Qur’an, Hadis, dan Sumber-sumber Ajaran Agama Islam, halaman 3-4.
Tafsir Berwawasan Gender Atik Wartini
67
Rasyid Ridha. Bahwa ide tentang kisah Adam dan Hawa seperti itu adalah berasal dari kitab perjanjian lama. sesungguhnya al-Qur’an tidak pernah memuat ide tersebut secar ekplisit di dalam redaksi ayatayatnya. Justru al-Qur’an diturunkan dalam rangka mengkikis segala perbedaan yang membedakan laki-laki dan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan.36 Sedangkan hak-hak perempuan baik hak di luar rumah, hak memperoleh pendidikan, hak politik dan sebagainya. Setara dan sederajat dengan hak yang dimilki oleh para kaum laki-laki, demikian juga dengan kewajiban dan peran perempuan, al-Qur’an tidak mendiskriminasi perempuan, dan membicarakan hal itu semua dalam konteks keadilan dan kesetaraan.37
E. Kesimpulan Tulisan ini secara ringkas, menjelaskan bagaimana konsep kesetaran dalam pandangan M. Quraish Shihab, pertama, bahwa M. Quraish Shihab adalah ulama atau pakar tafsir yang mempunyai pandangan modern-kontekstual, dimana dalam menafsirkan ayatayat yang bersifat jender melakukan pendekatan multidisipliner, kedua, Quraish Shihab mencoba menempatkan perempuan dalam bingkai kesetaraan dan persamaan hak-haknya dengan laki-laki, dan ketiga, Quraish Shihab mencoba memberikan pandangan tentang pentinganya mengangkat harkat dan martabat kaum wanita karena itu adalah amanah al-Qur’an dan hadis yang sampai sekarang masih di pahami dengan semena-mena dan salah sangka oleh para kaum laki-laki.
Daftar Pustaka Kasmantoni, Lafadz Kalam dalam Tafsir al-Misbah Quraish Shihab Studi Analisa Semantik , Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Tesis 2008. M Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata. (Jakarta: Lentera Hati, 2007) . ______________, Mukjizat al-Qur’an, ditinjau dari Aspek Kebahasaan, 36 Ibid halaman 6-7. 37 Ibid halaman 7-16.
68
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
Isyarat Ilmiyyah Dan Pemberitaan Ghaib, ( Jakarta: Mizan,2007). ______________, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Maysarakat (Bandung; Mizan, 2004). ______________, Mu’zizat al-Qur’an di tinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiyyah dan Pemberitaan Gahaib (Jakarta, Mizan,2007). ______________, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian AlQur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002). _______________, Perempuan Perempuan : Dari Cinta sampai Seks dan Nikah Mut’ah dari Bias Lama sampai Bias Baru. (Jakarta : Lentera Hati,2005). Ulfa, Maria, Fikih Aborsi Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, Jakarta : Kompas, 2006. Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008. Shihab,Alwi, Islam Inklusif: Menuju Terbuka dalam beragama, Ban dung: Mizan,1999.
Khazanah Tafsir Melayu (Studi Kitab Tafsir Tarjuman Al- Mustafid Karya Abd Rauf Al- Sinkili) Afriadi Putra Peneliti & Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Abstrak Kitab tafsir Tarjuman Al- Mustafid merupakan kitab tafsir pertama yang ditulis lengkap tiga puluh juz berbahasa Melayu sehingga ia juga disebut dengan Tafsir Melayu. Ditulis oleh ulama yang sangat berpengaruh di Kesultanan Aceh dan memiliki ilmu yang sangat luas di bidang agama. Di dunia Melayu, tafsir ini menjadi rujukan penting dalam upaya memahami ajaran Islam lansung dari sumber utama yaitu, al-Qur’an. Melalui tulisan ini penulis ingin membuktikan bahwa tafsir Tarjuman Al- Mustafid menjadi pelopor kajian tafsir al-Qur’an di Nusantara. Di lihat dari segi metodolgis, penggunaan qira’at sebagai analisis penafsiran membuat tafsir ini menjadi unik. Sekaligus memperkenalkan ilmu qira’at yang belum populer di kalangan pengkaji al-Qur’an ketika itu.
Kata Kunci: Tafsir Melayu, Tarjuman Al- Mustafid, Qira’at.
A. Pendahuluan Masuknya Islam ke Indonesia secara terorganisir pada abad ke 12 M menjadi tonggak mulainya kajian al-Qur’an. Islam masuk ke Indonesia berawal dari Sumatra, selanjutnya menyebar di pulau Jawa dan sekitarnya. Di Jawa, peran kerajaan Demak ketika itu yang beragama Islam sangat besar dalam pembelajaran al-Qur’an. Al-Quran dipelajari dan diajarkan oleh para wali seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Ampel dan lain-lain. Selain dari wali-wali itu ada juga nama-nama lain seperti Hasanuddin, Syekh Abdulmuhji dan banyak lagi yang lainnya.1 Al-Qur’an dikaji oleh umat Islam dengan berbagai cara. Pertama dari segi aturan tentang tata cara membacanya dan yang kedua dari segi akademis yaitu dalam bentuk karya tulis. Terkait dengan hal di atas, muncullah beberapa karya yang menandakan dimulainya 1 Aboebakar Atjeh, Sedjarah Al-Qur’an, (Jakarta: Sinar Pudjangga, 1952) hlm. 279 – 282.
70
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
kajian al-Qur’an terutama tafsir di Indonesia.2 Dinamika tafsir al-Qur’an di Indonesia sangat menarik untuk diteliti. Tercatat banyak tafsir yang muncul semenjak masuknya Islam ke Nusantara. Karya tafsir awal ditemukan di Nusantara yaitu, tafsir surat Al-Kahfi [18]: 9 yang tidak diketahui siapa penulisnya. Selanjutnya mucullah Tafsir Tarjuman Al- Mustafid yang ditulis oleh Abd Rauf Al-Sinkili. Tafsir Tarjuman Al- Mustafid merupakan tafsir pertama berbahasa Melayu yang ditulis lengkap tigapuluh juz. Hal ini mengindikasikan bahwa Melayu sangat identik dengan Islam karena memang persentuhan Melayu dengan Islam sudah terjadi sejak awal lahirnya Melayu di tanah Malaya. Kerajaan Islam pertama di Indonesia yang terletak di Aceh juga menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan, sehingga semua literatur ditulis dengan bahasa Melayu dan juga bahasa Arab. Keunikan tafsir ini dapat dilihat pada dua hal; pertama, dari sisi konten, yaitu; penggunaan analisis bahasa dalam penafsirannya, dalam hal ini Al-Sinkili memakai ilmu qira’at. Penggunaan ilmu qira’at ini mengindikasikan bahwa Al-Sinkili adalah ulama yang sangat dalam keilmuannya. Kedua, dari sisi historis, yaitu; kitab ini ditulis oleh ulama yang di-support oleh istana. Ketika itu, Al- Sinkili hidup di masa kepemimpinan empat orang Sultanah,3 yaitu; Shafiyyah al-Din (1641 - 1675), Nur al-Alam Naqiyyah al-Din (1675 - 1678), Zakiyyah al-Din (1678 - 1688), dan Kamalat al-Din (1688 - 1699). Dilihat dari periodesasi tafsir, tafsir Tarjuman Al- Mustafid termasuk kategori tafsir era modern-kontemporer. Asumsi ini berdaarkan 2 Ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia pada VII/VIII M dan menjadi tanda dimulainya periodesasi tafsir al-Qur’an di Indonesia. Lihat, Indal Abror, Potret Kronologis Tafsir Indonesia, dalam Jurnal Esensia, Vol. 3, No. 2 Juli 2002, hlm. 191. 3 Sultan Sultanah adalah gelar bagi seseorang yang memiliki kekuasaan yang tinggi dalam sebuah negara (pemerintahan) Islam. Gelar ini untuk pertama kalinya dipakai dalam Islam pada zaman pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258 M). Di Indonesia, gelar sultan pertama kali dipakai oleh “Malikush Saleh”, raja pertama dan pendiri Kerajaan Samudera Pasai. Setelah itu, raja-raja di Kerajaan Islam Indonesia pada umumnya memakai gelar Sultan. Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1993), hlm. 291.
Khazanah Tafsir Melayu Afriadi Putra
71
pemetaan dinamika sejarah tafsir al-Qur’an oleh Abdul M ustaqim.4 Meskipun di dalam karyanya tersebut, ia tidak menyebutkan tafsir yang ada di Nusantara. Namun pemetaan tersebut menjadi acuan untuk melihat pergeseran epistemologi tafsir mulai dari masa klasik hingga modern-kontemporer. Tafsir Tarjuman Al- Mustafid menjadi wakil dari tafsir era modern-kontemporer yang sangat menarik untuk dikaji. Tulisan ini akan menjelaskan sisi metodolgis dari kitab ini dan komentar mengenai statusnya.
B. Setting Historis Dan Biografis Abd Rauf Al- Sinkili 1. Ulama Istana dan Pembaharu yang Produktif Nama lengkap pengarang kitab ini adalah ‘Abd al-Rauf bin ‘Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili, sebagaimana terlihat dari namanya, ia adalah seorang Melayu dari Fansur, Sinkil (sekarang Singkel, Nangroe Aceh Darussalam). Dalam karya lain ada juga yang menyebut dia dengan al-Fansuri (berbeda dengan Hamzah al-Fansuri namun sama-sama berasal dari wilayah Fansur), tetapi dalam tulisan ini penulis akan menggunakan nama al-Sinkili. Tidak ada sumber yang secara jelas menyebutkan tanggal kelahirannya, namun menurut D. A. Rinkes5 sebagaimana yang dikutip oleh Azra, Al-Sinkili dilahirkan sekitar tahun 1024 H/1615 M.6 Al-Sinkili meninggal dunia pada tahun 1105 H/1693 M, dengan usia 78 tahun dan dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, sekitar 15 Km dari Banda Aceh. Sebab itulah, ia juga dikenal dengan sebutan Teungku Syiah Kuala (Syekh Ulama di Kuala). 4 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 147. 5 Nama lengkap tokoh ini, yaitu Douwe Adolf Rinkes, Ph.D. Lahir di Joure, provinsi Friesland (Belanda), pada tanggal 8 November 1878. Ia merupakan ilmuan lulusan Universitas Leiden, banyak menulis karya tentang Indonesia salah satunya almanak empat bahasa; Jawa, Melayu, Sunda dan Madura. Lihat http://www.rinkes.nl/genealogie/douwe-adolf-rinkes/, diakses tanggal 1 Januari 2015 pukul 4:46 PM. 6 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII; Akar Pembaruan Islam di Indonesia, edisi perenial, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 239.
72
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
Semasa kecil ia telah mendapatkan pendidikan dari ayahnya yang merupakan seorang alim dan mendirikan Madrasah kemudian menarik murid-murid dari berbagai tempat di Kesultanan Aceh. Menurut Hasjmi, al-Sinkili di kemudian hari mengadakan perjalanan ke Banda Aceh, Ibu Kota Kesultanan Aceh untuk menimba ilmu.7 Tidak hanya sampai disitu, Al-Sinkili melanjutkan rihlah al-‘ilm ke Jazirah Arab mulai tahun 1642 M atau di usianya ke- 27 tahun. Perjalanannya menyusuri rute-rute yang biasa ditempuh dalam ibadah haji, mulai dari Dhuha (Doha, Qatar), Yaman, Jeddah, dan akhirnya Mekkah dan Madinah. Di Dhuha ia belajar kepada ‘Abd al-Qadir al-Mawrir meskipun hanya dalam waktu yang cukup singkat. Setelah itu ia menuju Yaman, terutama di Bayt al-Faqih dan Zabid yang menjadi pusat pengetahuan Islam di wilayah itu. Di Bayt alFaqih ia belajar kepada keluarga Ja’man, terutama Ibrahim bin ‘Abd Allah bin Ja’man dengan menekuni bidang hadis dan fikih. Sedangkan di Zabid ia menjadi murid ‘Abd al-Rahim bin al-Shiddiq al-Khash, ‘Abd Allah bin Muhammad al-‘Adani yang disebut Al-Sinkili sebagai pembaca (qari’) al-Qur’an terbaik di wilayah itu. Al- Sinkili kemudian meneruskan perjalanannya ke Jeddah untuk berguru kepada muftinya, ‘Abd alQadir al-Barkhali. Selang beberapa waktu Al-Sinkili berpindah ke Mekkah, di sana ia berguru kepada ‘Ali bin ‘Abd al-Qadir al-Thabari, disamping itu ia juga melakukan kontak dengan ulama lain, seperti Isa al-Maghribi, ‘Abd al-Aziz al-Zamzami, Taj al-Din bin Ya’kub dan lain sebagainya. Tahap terakhir perjalanan panjang Al-Sinkili adalah Madinah. Di Kota Nabi inilah dia merasa puas, karena dia akhirnya dapat menyelesaikan pelajarannya. Disini ia belajar kepada Ahmad al-Qusyasyi dalam bidang ‘ilm al-bathin (ilmu- ilmu “dalam”), yaitu tasawuf dan ilmu-ilmu lainnya yang terkait sampai di kemudian hari ia ditunjuk oleh al-Qusyasyi sebagai khalifah Tarekat Syatariyah dan Qadiriyahnya. Selain 7 A. Hasjmi, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, Ulama Negarawan yang Bijaksana. Dalam Universitas Syiah Kuala Menjelang 20 Tahun. (Medan: Waspada, 1980), hlm. 370371.
Khazanah Tafsir Melayu Afriadi Putra
73
itu, ia juga berguru kepada Ibrahim al-Kurani bidang ilmu pengetahuan yang menimbulkan pemahaman intelektual tentang Islam. Hubungan al-Sinkili dengan al-Kurani sangatlah dekat, sehingga al-Kurani menulis sebuah karya besarnya, ‘Ithaf alDzaki, atas permintaan Al-Sinkili untuk merespons cara AlRaniri melancarkan pembaharuannya di Aceh ketika itu. Al-Sinkili telah menghabiskan waktu selama 19 tahun di Arabia untuk menuntut ilmu. Pendidikannya sangat lengkap, mulai dari syari’at, fikih, Hadis dan disiplin-disiplin eksoteris lainnya hingga kalam, dan tasawuf. Berbekal ilmu yang komplit, Al-Sinkili memutuskan untuk kembali tanah airnya. Sekembalinya ke tanah air ia dikunjungi oleh pejabat istana, Katib Seri raja bin Hamzah al-Asyi atas perintah dari Sultanah Shafiyyah al-Din untuk menyelidiki sekaligus menguji pemikiran keagamaannya. Jelaslah Al-Sinkili lulus dari ujian tersebut dan berhasil merebut hati kalangan istana. Ia selanjutnya ditunjuk sebagai Qadhi Malik al-‘Adil atau Mufti yang bertanggungjawab atas administrasi masalah-masalah keagamaan. Dengan demikian, sepanjang kariernya di Aceh ia mendapat perlindungan dari Sultanah.8 2. Karya-karya Keluasan ilmu yang dimiliki oleh Al-Sinkili dapat dilihat dari karya-karyanya yang banyak. Tercatat ada 22 karyanya di berbagai disiplin ilmu, seperti fikih, tafsir, kalam dan tasawuf. Penulis tidak akan menyebutkan satu persatu karyanya, hanya karya terkenal dan berkaitan dengan pembahasan ini. Adapun karya-karyanya sebagai berikut; a. Bidang Tafsir Kitab tafsir Tarjuman Al- Mustafid, tafsir ini merupakan tafsir pertama di Nusantara yang ditulis lengkap 30 juz berbahasa Melayu. Tercatat selama tiga abad menjadi kitab yang sangat masyhur dan terbaik ketika itu. b. Bidang Hadis Hadis ‘Arba’in (empat puluh hadis karya al-Nawawi) ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyat al-Din. Kitab al-Mawa’izh al-Badi’ah, sebuah koleksi hadis Qudsi. 8 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama,,, hlm. 241 – 254.
74
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
c. Bidang Fikih Mi’rat al-Thullab fi Tasyil Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyyah li alMalik al-Wahhab (Cermin para penuntut ilmu untuk mengetahui hukum-hukum Syara’ Tuhan) berbahasa Melayu. Karya ini ditulis atas permintaan Sultanah Shafiyyah al-Din, diselesaikan pada tahun 1663 M. Mi’rat al-Thullab membahas tentang fikih muamalat, kehidupan politik, sosial, ekonomi dan keagamaan kaum Muslim. d. Bidang Tasawuf Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwahidin al-Qa’ilin bi Wahdat al-Wujud (Bekal bagi orang yang membutuhkan pelepas dahaga ahli tauhid penganut Wahdah al-Wujud) ditulis berbahasa Melayu.9
C. Tafsir Tarjuman Al- Mustafid Kitab tafsir Tarjuman Al- Mustafid ditulis dengan bahasa MelayuJawi lengkap tiga puluh juz. Tidak ada sumber yang menyebutkan secara pasti tentang tahun penulisan tafsir ini karena Al-Sinkili tidak menuliskan tahun penulisan di dalam tafsirnya. Namun, dalam penelitiannya Riddell seperti yang dikutip Azra menegaskan bahwa salinan paling awal yang kini masih ada dari Tarjuman Al- Mustafid berasal dari akhir abad ke 17 M dan awal abad ke 18 M. Edisi-edisi cetaknya diterbitkan tidak hanya di Singapura, Penang, Jakarta, dan Bombay, tetapi juga di Timur Tengah. Di Istanbul, diterbitkan oleh Mathba’ah al-‘Ustmaniyyah pada tahun 1302/1884 (dan juga pada 1324/1904); dan dikemudian hari juga di Kairo (oleh Sulaiman al-Maraghi), dan di Mekkah (oleh al-‘Amiriyyah). Edisi terakhirnya diterbitkan di Jakarta pada tahun 1981, edisi inilah yang menjadi objek material tulisan ini. 1. Latarbelakang Penyusunan, Sistematika Kitab, dan Metode Penafsiran a. Latar Belakang Penyusunan Al- Sinkili menulis magnum opus-nya tafsir Tarjuman AlMustafid ketika ia menjalani perannya sebagai Qadhi Malik al-‘Adil atau Mufti di Kesultanan Aceh. Perannya tersebut memberinya wewenang yang cukup luas dan tanggungjawab 9 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama,,, hlm. 262.
Khazanah Tafsir Melayu Afriadi Putra
75
yang besar di bidang keagamaan. Memang tidak ada sumber tertulis maupun penelitian yang menyebutkan alasan AlSinkili menulis tafsir ini. Namun, menilik kondisi masyarakat Aceh ketika itu sangat menginginkan adanya sumber atau rujukan agama khususnya berbahasa Melayu. Di sisi lain, masyarakat juga dihadapkan pada problem-problem yang muncul akibat adanya penafsiran-penafsiran sufistik yang dikembangkan oleh golongan Wahdat al-Wujud.10 Paham Wahdat al-Wujud di Aceh dibawa oleh dua ulama besar yang sangat masyhur, yaitu Hamzah al-Fansuri dan Syams al-Din al-Samatrani. Dua ulama ini memainkan peranan yang sangat penting dalam membentuk pemikiran dan praktik keagamaan Muslim Melayu Nusantara pada paruh pertama abad ke-17. Secara historis, tidak banyak data yang menjelaskan kehidupan kedua tokoh ini, namun mereka adalah penulis yang produktif, banyak menghasilkan karyakaryanya dan gagasan-gagasan sarat dengan nuansa mistis. Mereka juga dianggap sebagai salah seorang tokoh sufi paling awal dan juga seorang perintis terkemuka tradisi kesusasteraan Melayu. Tidak hanya itu, munculnya pemikiran dan sikap agresif Al-Raniri11 di tengah-tengah masyarakat memunculkan kekisruhan yang mengarah kepada pertumpahan darah. Menurut Al-Raniri, Islam di Aceh telah dikacaukan oleh kesalahpahaman atas doktrin sufi (baca: Wahdat al-Wujud). 10 Wahdat al-Wujud berarti kesatuan Wujud, unity of existence. Paham ini dibawa oleh ulama terkenal dari Andalusia, yaitu Muhi al-Din ibnu al-Arabi, lahir di Murcia, Spanyol 1165 M. Menurut paham ini, tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek. Aspek luar, yang merupakan ‘ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan; dan aspek dalam yang merupakah jauhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat kemakhlukan atau khalq. Lihat Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, cet. xii (Jakarta: Bulan Bintang, 2008), hlm. 75. 11 Nama lengkapnya adalah Nur al-din Muhammad bin ‘Ali bin Hasanji al-Hamid al-Syafi’i al-‘Aydarusyi al-Raniri. Dilahirkan di Ranir (sekarang Randir, Gujarat) pada akhir abad ke 16 dari ibu seorang Melayu dan ayah keluarga imigran Hadhrami. Ia datang ke Aceh tahun 1637 dan ditunjuk sebagai Syekh al-Islam oleh Kesultanan Aceh. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama,,, hlm. 210.
76
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
Sehingga ia mencurahkan tenaganya untuk menentang doktrin Wujudiyah, bahkan mengeluarkan fatwa yang mengarah pada perburuan orang-orang sesat; membunuh orangorang yang menolak meninggalkan pelbagai praktik sesat dan membakar buku-buku mereka. Kondisi di atas menggugah hati Al-Sinkili untuk menulis tafsir berbahasa Melayu untuk membantu masyarakat memahami ajaran Islam. Karena selama ini, jika seseorang ingin memahami al-Qur’an harus terlebih dahulu belajar bahasa Arab dan merujuk kepada pendapat ulama. Namun dengan adanya tafsir ini, memudahkan masyarakat mendalami ajaran Islam yang bersumber lansung dari al-Qur’an.12 b. Tartib (Sistematika) Dalam penulisan kitab tafsir dikenal ada tiga macam sistematika; pertama, sistematika mushafi, yaitu penyusunan kitab tafsir yang berpedoman pada susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dimulai dari surat Al-Fatihah, Al-Baqarah, Ali ‘Imran, dan seterusnya hingga surat Al-Nas. Kedua, sistematika Nuzuli, yaitu menafsirkan al-Qur’an berdasarkan urutan kronologis turunnya surat-surat al-Qur’an, contoh mufassir yang memakai sistematika ini adalah M. Abed Al-Jabiri dalam bukunya Fahm al- Qur’an al-Hakim: al-Tafsir al-Wadih Hasba Tartib al-Nuzul.13 Ketiga, sistematika maudhu’i, yaitu menafsirkan al-Qur’an berdasarkan topiktopik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tertentu kemudian ditafsirkan. Adapun sistematika tafsir Tarjuman Al-Mustafid mengikuti tartib mushafi. Dalam sistematika ini, Al-Sinkili menguraikan penafsirannya berdasarkan urutan ayat dan surat di dalam mushaf. Ayat-ayat al-Quran dituliskan terlebih dahulu kemudian diberi terjemahan sekaligus tafsir. Jika ada perbedaan qira’at, Al-Sinkili menerangkan dengan 12 Zulkifli Mohd Yusuf dan Wan Nasyrudin Wan Abdullah, Tarjuman al-Mustafid; Suatu Analisa terhadap Karya Terjemahan, Jurnal Pengajian Melayu, jilid 16, tahun. 2005. hlm. 157 – 158. 13 M. Abed Al-Jabiri, Fahm al- Qur’an al-Hakim: al-Tafsir al-Wadih Hasba Tartib alNuzul, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-’Arabiyyah, 2009).
Khazanah Tafsir Melayu Afriadi Putra
77
membuat faidah. Faidah ini menjelaskan tentang bacaan imam-imam qira’at terhadap ayat-ayat tersebut.14 c. Manhaj (Metode Penafsiran) Secara umum, ada empat metode yang biasa digunakan oleh para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an. Metodemetode tersebut adalah sebagai berikut: Metode Tahlily/ Analisis, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan cara menjelaskan kandungan al-Qur’an dari berbagai segi, sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan mufassir-nya. Metode Ijmaly/Global, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan memaparkan makna umum dan pengertian-pengertian garis besarnya saja.15 Metode Muqarin, yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan apa yang pernah ditulis oleh mufassir sebelumnya dengan cara membandingkannya. Metode Maudhu’i, yaitu suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada tema tertentu, lalu menghimpun ayat-ayat tersebut untuk kemudian di analisis dan dan ditafsirkan.16 Tafsir Tarjuman Al-Mustafid termasuk kepada kategori Tafsir bi al-Ra’yi (menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan nalar)17 tanpa mengenyampingkan pendapat atau riwayat dari sahabat atau tabi’in. Metode yang digunakan oleh Al-Sinkili dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu metode Tahlily/Analisis. Dengan metode ini Al-Sinkili menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an disertai dengan Sabab al-Nuzul (jika ada), Munasabah, uraian tentang aneka Qira’at, makna global ayat, dan hukum yang dapat ditarik dari kandungan ayat. Sebelum menafsirkan ayat-ayat, Al-Sinkili terlebih dahulu memberi keterangan terhadap surat yang meliputi makiyyah/madaniyah dan fadhilah al-surat. Misalnya sebagai berikut: Surat Fatiha kitab Makiyyah, yaitu tujuh ayat. Surat al-Fatiha 14 Abd Rauf Al-Sinkili, Tarjuman al-Mustafid, Jakarta: Dar Fikr, 1981. 15 ‘Abd al-Hayy al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu’i. (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1976), hlm. 34. 16 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 385. 17 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,,, 362.
78
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
ini terdiri dari tujuh ayat yang dibangsakan kepada Mekkah, maka tersebut di dalam Al-Baidawi bahwa al-Fatiha itu penawar bagi tiap-tiap penyakit dan tersebut di dalam Manafi al-Qur’an, barangsiapa yang membacanya baginya pahala yang tiada dapat menggadai dia kitab dan memberi manfaat akan sebaik-baik orang dan perkasih. Wallahu a’lam.18 Setelah memaparkan pembukaan seperti contoh di atas, barulah Al-Sinkili mulai menafsirkan ayat-ayat alQur’an. 2. Contoh Aplikasi Penafsiran Al-Sinkili merupakan seorang ulama besar yang tidak di lagi keilmuannya. Iamenguasai berbagai disiplin ilmu ragukan antara lain; tafsir, fikih, tasawuf dan lain sebagainya. Meskipun Al-Sinkili tidak memperlihatkan kecenderungan tafsirnya corak tertentu, namun menurut hemat penulis tafsir kepada Tarjuman Al-Mustafid cenderung kepada corak ijtima’i atau ke Ini dapat dilihat dari penafsirannya pada QS. masyarakatan. Al-Baqarah [2]: 184 sebagai berikut:
Puasakan oleh kamu segala hari yang sedikit, maka barangsiapa diantara kamu yang melihat bulan Ramadhan itu, iadalam keadaan sakit atau ia sedang ”berlayar” lalu ia berbuka, maka diwajibkan atasnya mempuasakan sebilang hari yang telah ia bukakan itu sebagai ganti di hari yang lain. Dan wajib atas orang yang tidak kuasa untuk membayar pidyah pada tiap-tiap hari itu sekira-kira yang dimakan oleh orang miskin sehari-hari, maka barangsiapa yang berbuat kebaktian dengan melebihkan dari yang itu maka itu baik baginya. puasa kamu itu lebih baik demikian lebih Dan bagi kamu daripada berbuka dan membayar pidyah, jika kamu tahu bahwa puasa kamu itu lebih baik maka puasakan oleh kamu semua hari itu. 19 18 Al-Sinkili, Abd Rauf, Tarjuman al-Mustafid, (Jakarta: Dar Fikr, 1981), hlm. 1. 19 Al-Sinkili, Abd Rauf, Tarjuman al-Mustafid,,, hlm. 28.
Khazanah Tafsir Melayu 79 Afriadi Putra
Pada ayat di atas dapat dilihat bagaimana Al-Sinkili merespons keadaan ketika itu. Penafsiran kata safar dengan makna “berlayar” menunjukkan bahwa kondisi masyarakat lebih ban yak melakukan perjalanan dengan berlayar, bukan dengan per darat. Hal ini sesuai dengan letak geografis Kesultanan jalanan Aceh yang dekat dengan Samudera Hindia. Melalui penafsiran ayat ini jelas sekali Al-Sinkili memberikan sumbangsih pemiki ran sesuai dengan zamannya, meskipun penjelasan tersebut sangat ringkas. Disamping itu, Al-Sinkili dalam menafsirkan ayat terkadang menambahkan dengan kisah yang diambil dari Al20contoh penafsirannya QS. Al-Baqarah [2]: 1–2 seb Khazin, agai berikut: Allah Ta’ala jua yang lebih tahu akan yang dikehendakinya dengan yang demikian itu. Inilah al-Qur’an yang dibaca oleh Nabi Muhammad saw yang tiada syak di dalamnya bahwa ia dari Allah Ta’ala.21 [Kisah] Di dalam Al-Khazin disebutkan bahwasanya Allah Ta’ala menjanjikan kaum Bani Israil atas lidah Nabi Allah Musa bahwa ia akan menurunkan lagi seorang Rasul dari anak cucu Nabi Allah padahal Ismail, maka tatkala Rasulullah saw pindah keMadinah di dalamnya ada beberapa makhluk yang amat banyak maka diturunkan Allah Ta’ala surat ini untuk menyempurnakan janji, wallahu a’lam.
3. Qira’at dalam Tafsir Tarjuman Al- Mustafid Tradisi menggabungkan uraian perbedaan qira’at di dalam karya tafsir bukanlah suatu hal yang baru. Jauh sebelumnya tradisi ini telah ada dalam karya-karya tafsir klasik
20 Nama lengkap mufassir ini adalah ‘Ala al-Din Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Umar ibn Khalil al-Syaihi al-Baghdadi al-Syafi’i al-Sufi al-Khazin. Ia lahir di Baghdad tahun 678 H dan wafat tahun 741 H di kota Halb. Kitab tafsir karangannya cukup masyhur yaitu; Tafsir Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil. Lihat Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, juz I, (Kairo: Dar alHadis, 2005), hlm. 265. 21 Al-Sinkili, Abd Rauf, Tarjuman al-Mustafid,,, hlm. 2.
80
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
seperti tafsir al-Thabari,22 al-Zamakhsyari,23 dan al-Baidawi.24 Hal ini karena keterkaitan antara ilmu tafsir dan ilmu qira’at,25 di samping itu perbedaan qiraat juga membantu dalam penafsiran ayat. Namun, menurut hemat penulis pembahasan qira’at di dalam tafsir Tarjuman al-Mustafid merupakan keunikan dari tafsir ini. Mengingat ketika itu ilmu belum populer bahkan masih sedikit kalangan yang tahu tentang ilmu qira’at. Selain itu, analisis qira’at ini juga membuktikan keluasan ilmu Al-Sinkili yang ia peroleh ketika menuntut ilmu di Jazirah Arab. Adapun qira’at yang disebutkan oleh Al-Sinkili dalam tafsirnya yaitu; 1) Qira’at Imam Abu ‘Amr riwayat Al- Dauriy Nama lengkapnya adalah Abu Amr ibn al-‘Ala ‘Ammar al-Bashriy. Ia adalah seorang ahli tentang qira’at, juga dikenal karena kejujuran dan keterpercayaan dalam agamanya. 22 Beliau adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib al-Thabari. Karya tafsirnya sangat populer yaitu, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Lihat Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun,,, hlm. 180. 23 Ia adalah penulis kitab tafsir Al-Kasyaf fi Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil. Nama lengkapnya yaitu, Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar ibn Muhammad ibn Umar al-Khawarizmi. Lihat Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun,,, hlm. 362. 24 Dia adalah Nasr al-Din Abu al-Khair Abd Allah ibn umar ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Baidawi al-Syafi’i. Kitab tafsir karya beliau adalah Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil. Lihat Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun,,, hlm. 254. 25 Secara etimolgis, qira’at merupakan bentuk jamak dari qira’atun yang akar ka tanya adalah qara’a-waqriu-qira’atan. Lafazh tersebut merupakan bentuk masdar yang mempunyai arti bacaan. Sedangkan secara terminologi, terdapat banyak redaksi yang dikemukakan oleh para ulama sehubungan dengan pengertian qira’at ini. Namun, menurut hemat penulis, definisi yang mudah dipahami adalah seperti yang dikemukakan oleh Abdul Fatah al-Qadli dalam Al-Budur alZahirah, dikutip oleh Ahmad Fathoni. Ilmu qira’at yaitu:
ِت القرأنيةِ وطريقِ ادائِها اِتفاقا واختالفا مع َعزْو ِ علم يعرف به كيفي ُة الُن ْطقِ بالكلما كلِّ وجهٍ لناقله “Ilmu yang membahas tentang tata cara pengucapan kata-kata al-Qur’an berikut cara penyampaiannya, baik yang disepakati maupun yang diikhtilafkan dengan cara menyandarkan setiap bacaannya kepada salah seorang imam qira’at.” Lihat Ahmad Fathoni, Kaidah Qira’at Tujuh, jilid I, (Jakarta: PTIQ, 2009), hlm. 13.
Khazanah Tafsir Melayu Afriadi Putra
81
Periwayatannya dari Mujahid ibn Jabr, Sa’id ibn Jubair dari Ibn Abbas dari Ubay ibn Ka’ab dari Rasulullah saw. Diantara rawi yang masyhur meriwayatkan darinya yaitu al-Dauriy dan as-Susi. Al-Dauriy adalah julukan dari Abu Umar Hafs ibn Umar al-Muqriy al-Dharir, laqab al-Dauriy merupakan nisbat kepada al-Daur, suatu tempat di sebelah Timur Baghdad. 2) Qira’at Imam Nafi’ riwayat Qalun Dia adalah Abu Ruwaim Nafi’ ibn Abdirrahman ibn Abu Nu’aim al-Madaniy. Guru-gurunya yaitu Abdul Ja’far al-Qariy dan sekitar tujuh puluh tab’in. Adapun rawi yang masyhur meriwayatkan darinya yaitu, Qalun dan Warasy. Qalun, nama lengkapnya Abu Musa Isa ibn Mina an-Nahwiy, diberi laqab Qalun karena keindahan qira’ahnya, dan kata Qalun itu sendiri pada mulanya berarti yang indah atau yang baik. Warasy adalah Utsman ibn Sa’id al-Mishriy, diberi nama kunyah Abu sa’id dan laqab Warasy karena ketangkasannya. Ia mengembara ke Madinah untuk belajar Qira’ah kepada Nafi’ dan mengkhatamkan beberapa kali, pada tahun 155 H. kemudian ia kembali ke Mesir dan menjadi ahli qira’at di tempatnya karena suaranya yang sangat merdu. 3) Qira’at Imam ‘Ashim riwayat Hafs Imam qira’at ini bernama Abu Bakar ‘Ashim ibn Abu an-Najud al-Asadiy. Dia adalah seorang qari yang handal, memiliki kecermatan, kehandalan, kefasihan dan suara yang merdu. Guru-gurunya yaitu, Zirr ibn Hubaisy, Abdullah ibn Mas’ud sampai ke Rasulullah saw. Diantara rawi yang masyhur meriwayatkan darinya yaitu, Syu’bah dan Hafs. Nama yang terakhir ini adalah Abu Umar Hafs ibn Sulaiman ibn al-Mughirah al-Bazzaz, anak tiri ‘Ashim. Ia tumbuh di pangkuan ‘Ashim dan belajar kepadanya, sehingga tidak diragukan lagi keilmuannya.26 Al-Sinkili tidak memberikan alasan mengapa ia menggunakan qira’at ketiga imam di atas di dalam tafsirnya. Meng26 Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani, Manahil al-‘Urfan fi ‘Ulum alQur’an, terj. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 463 – 468.
82
Jurnal Syahadah
Vol. II, No. II, Oktober 2014
ingat ketika itu ilmu qira’at belum dikenal oleh umat Islam diNusantara. 27 Menurut hemat penulis, pembahasan qira’at dalam tafsir Tarjuman Al- Mustafid ini dipengaruhi oleh Tafsir Al-Baidawiyang dalam menjadi salah satu acuan Al-Sinkili menafsirkan al-Qur’an. Perbedaannya, Tafsir Al-Baidawi mengggunakan analisis tujuh imam qira’at bahkan lebih. qira’at dalam penafsiran al Contohaplikasi analisis Sinkili pada QS. Al-Baqarah [2]: 9 – 10;
Terjemah dan Tafsirnya; Bahasa Melayu: “Diperdayakan mereka itu akan Allah Ta’ala dan segala yang percaya akan dia dan tiada diperdayakan mereka itu melainkan akan diri mereka itu jiwa, padahal tiada mereka itu tahu akan bahwa daya mereka itu bagi diri mereka itu jiwa”.“Di dalam segala hati mereka itu syak yang membawa kepada lembut hati, maka ditambahi oleh Allah Ta’ala akan mereka itu syak, dan adalah bagi mereka itu siksa yang amat pedih dengan sebab mendustakan mereka itu Nabi Allah.” Terjemah Depag: “Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta.”28 Faedah : Perbedaan (ikhtilaf) qira’at terjadi ketika membaca
دَ ُع ْوNafi’ ْوَمَايَخmem وَمَايَخْدَ ُع ْو َنpada ayat ke sembilan. Abu ‘Amrَنdan ْ وَمَاُيخَادِ ُع, se baca dengan memakai alif sehingga menjadi َون َوَمَاُيخَادِ ُع ْون 27 Wawan Djunaedi, Sejarah Qira’at al-Qur’an di Nusantara, َ( ْونJakarta: مَا يَخْدَ ُعPustaka َو َ ُع ْون2008), ََا يَخْدhlm. وَم135. StaiNU, يُكَذُِّب ْوSinar 28 Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, َن (Jakarta: َكَذُِّب ْون2007). ُي Baru Algesindo, َيَكْذُِب ْون َيَكْذُِب ْون
Khazanah Tafsir Melayu
83
َنَْونPutra وَوَممَاَايَيَخْخْدَدَُع ْوُع وَمَايَخْدَ ُع ْو َنAfriadi َاُيخَا وَوَممَاُي َخدَِا ُعدِ ْوُعنَْون َوَمَاُيخَادِ ُع ْون dangkan Hafs membaca tanpaَنmemakai وَمَا يَخْدَ ُع ْوalif, َ وَوَممَاَا يَيَخْخْدَ ُعدَ ْوُعنَْون. Pada ayat kesepuluh, Abu ‘Amir dan Nafi’ membaca َيُكَذُِّب ْون َُب ْونHafs ِّ يُكَذbacaan takhfif َ(كَذُِّب ْونtiُي dengan memakai tasydid, sedangkan ن َ و ْ ب ُ ِ ذ ك ْ َي dak ber-tasydid), sehingga menjadi َ يَكْذُِب ْون. Maka dengan َكْذُِب ْونbaَي
caan takhfif itu menunjukkan makna kesesatan sebab karena mereka percaya.29 Dalam qira’at, pembahasan di atas dikenal dengan istilah Farsy al-Huruf (bacaan pada perkataan tertentu).30
D. KOMENTAR TERHADAP TARJUMAN AL- MUSTAFID Para peneliti berbeda pendapat tentang status Tarjuman alMustafid, hal ini berkaitan dengan sumber penafsiran kitab tersebut. Adapun kedua pendapat tersebut adalah: Pertama, Tarjuman alMustafid adalah terjemahan daripada Tafsir al-Badawi. Pendapat ini dikemukakan oleh Snouck Hurgronje, yang kemudian dikutip oleh Rinkes dan Vorhoeve. Menurut hemat penulis, pendapat ini muncul tidak berdasarkan penelitian yang mendalam, mereka terjebak dengan judul yang tertulis di cover yang menuliskan: Tarjuman alMustafid wa huwa al-Tarjamatu al-Jawiyah li at-Tafsir al-yusamma Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil lil Imam al-Qadi Nasr al-Din Abi Sa’id ‘Abd Allah ibn Umar ibn Muhammad al-Syairazi al-Baidawi (Tafsir Tarjuman alMustafid adalah terjemah bahasa Jawa dari tafsir yang disebut Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Imam al-Baidawi). Tidak diketahui alasan mengapa di cover tafsirnya Al-Sinkili menamakan tafsirnya ini terjemah bahasa Jawa (Melayu) dari tafsir al-Baidawi. Kedua, Tarjuman al-Mustafid adalah terjemahan dari Tafsir al-Jalalayn. Pendapat ini dikemukakan oleh Peter G. Riddel dan Salman Harun. Mereka menyatakan bahwa tafsir ini terjemahan daripada Tafsir al-Jalalayn. Alasannya berdasarkan penelitian terhadap metode dan gaya penafsiran yang sama persis dengan Tafsir al-Jalalayn, namun Al-Sinkili melihatkan kreatifitasnya dengan menambah dan mengurangi bagian-bagian tertentu dari Tafsir al-Jalalayn. Misalnya menambahkan penjelasan tentang perbedaan qira’at dan pembahasan 29 Abd Rauf al-Sinkili, Tarjuman al-Mustafid,,, hlm. 3. 30 Lihat Ahmad Fathoni, Kaidah Qira’at Tujuh, jilid II, (Jakarta: PTIQ & IIQ, 2010), hlm. 167 – 168.
84
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
kisah-kisah dan sebab turunnya ayat. Adapun hal yang dikurangi tidak memasukkan penjelasan tentang i’rab dan analisis semantik.31 Pendapat kedua ini juga dikuatkan oleh Azra, ia mengatakan bahwa pemilihan Tafsir al-Jalalayn sebagai sumber penafsiran karena Al-Sinkili mempunyai isnad-isnad yang menghubungkannya dengan Jalal al-Din al-Suyuthi, baik melalui al-Qusyasyi maupun al-Kurani.32 Contoh yang penulis paparkan pada aplikasi penafsiran juga membuktikan bahwa penafsiran Al-Sinkili terhadap QS. Al-Baqarah [2]: 1–2 sama persis dengan Tafsir al-Jalalayn.
E. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah penulis jelaskan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut; 1. Tafsir Tarjuman al-Mustafid adalah kitab tafsir pertama di Nusantara yang ditulis lengkap 30 juz berbahasa Melayu-Jawi. Ditulis oleh ulama sekaligus Qadi Malik Adil di Kesultanan Aceh yaitu Abd Rauf Al-Sinkili. Posisinya sebagai seorang Qadi membuatnya bertanggungjawab atas masalah keagamaan. Berbekal dengan keilmuan yang luas ia memikul tanggungjawab berat untuk menulis satu karya sebagai rujukan persoalan keagamaan. 2. Dalam penulisan tafsirnya, Al-Sinkili menggunakan sistematika mushafi, metode penafsirannya menggunakan metode tahlily/ analisis. Tafsir ini termasuk kategori tafsir bi al-Ra’yi dengan corak ijtima’i (sosial kemasyarakatan). Mengenai status, penulis lebih condong bahwa tafsir Tarjuman al-Mustafid merupakan terjemah dari Tafsir al-Jalalayn, meskipun Al-Sinkili juga mengutip tafsir alBaidawi dan manafi’-al-Qur’an. 3. Sebagai kitab tafsir paling awal di Nusantara, tafsir ini adalah tafsir yang sangat baik dan berpengaruh selama lebih kurang tiga abad. Terlebih ia ditulis oleh ulama yang sangat luas ilmunya dan berpengaruh ketika itu. 31 Peter G. Riddell, “Tafsir Klasik di Indonesia: Study Tafsir Tarjuman al-Mustafid karya Abdur Rauf Singkel”, Study Islamika. XVII. No. 2, 2000. hlm. 5 – 6. 32 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama,,, hlm. 259.
Khazanah Tafsir Melayu Afriadi Putra
85
Daftar Pustaka Abror, Indal, Potret Kronologis Tafsir Indonesia, dalam Jurnal Esensia, Vol. 3, No. 2 juli 2002 A. Hasjmi, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, Ulama Negarawan yang Bijaksana. Dalam Universitas Syiah Kuala Menjelang 20 Tahun, Medan: Waspada, 1980 Adz-Dzahabi, Muhammad Husain, Tafsir wa al-Mufassirun, juz I, Kairo: Dar al-Hadis, 2005 Al-Farmawy, ‘Abd al-Hayy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu’i, Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1976 Al-Jabiri, M. Abed, Fahm al- Qur’an al-Hakim: al-Tafsir al-Wadih Hasba Tartib al-Nuzul, Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-’Arabiyyah, 2009 Al-Sinkili, Abd Rauf, Tarjuman al-Mustafid, Jakarta: Dar Fikr, 1981 Al-Zarqani, Syeikh Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-‘Urfan fi ‘Ulum al-Qur’an, terj. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001 Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII; Akar Pembaruan Islam di Indonesia, edisi perenial, Jakarta: Kencana, 2013 Djunaedi, Wawan, Sejarah Qira’at al-Qur’an di Nusantara, Jakarta: Pustaka StaiNU, 2008 Fathoni, Ahmad, Kaidah Qira’at Tujuh, jilid I, Jakarta: PTIQ, 2009 Fathoni, Ahmad, Kaidah Qira’at Tujuh, jilid II, Jakarta: PTIQ, 2009 Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Sinar Baru Algesindo, 2007 Mustaqim, Abdul, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2012 Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, cet. xii, Jakarta: Bulan Bintang, 2008 Riddell, Peter G. “Tafsir Klasik di Indonesia: Study Tafsir Tarjuman al-Mustafid karya Abdur Rauf Singkel”, Study Islamika. XVII. No. 2, 2000 Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2013 Suryadi, Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil karya Al-Khazin, dalam Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004
86
Jurnal Syahadah Vol. II, No. II, Oktober 2014
Wan Abdullah, Wan Nasyrudin, dan Zulkifli Mohd Yusuf, Tarjuman al-Mustafid; Suatu Analisa terhadap Karya Terjemahan, Jurnal Pengajian Melayu, jilid 16, tahun. 2005
Pedoman Penulisan Jurnal Syahadah
87
PEDOMAN PENULISAN 1. Naskah ditulis dalam bentuk essay, berisi gagasan atau analisis konseptual yang orisinil, hasil penelitian, atau book review, dalam bidang ilmu-ilmu keislaman, yang mencakup: Ilmu Pendidikan Islam, serta pemikiran ke-Islaman. 2. Panjang naskah adalah antara 10-20 halaman kertas kwarto/A.4, diketik dengan 1,5 spasi atau yang setara, dengan margin: kiri dan atas 4 cm, margin kanan dan bawah 3 cm. 3. Naskah diketik dengan menggunakan huruf/font Times New Roman untuk Latin, ukuran 12, dan Tradisional Arabic ukuran l8 untuk tulisan berbahasa Arab, atau ukuran 16 untuk teks Arab kutipan, seperti kutipan pendapat, dan kutipan ayat dan hadis, sedangkan dalam catatan kaki huruf Latin dengan font 10 dan Bahasa Arab dengan font 15. 4. Komponen naskah yang harus ditulis secara jelas secara berurutan adalah a) Judul tulisan, b) Nama penulis, tanpa gelar, dan di sebelah kanan atas nama penulis diberi footnote dengan tanda (*), di dalamnya dijelaskan tentang pendidikan terakhir penulis, tempat tugas, dan bidang studi yang digeluti penulis, serta informasi yang relevan lainnya, c) Abstrak berbahasa asing (ArabInggris) atau berbahasa Indonesia (maksimal 100 kata), d) Kata kunci atau key words dari tulisan, e) pendahuluan atau prolog, f) isi (deskripsi dan analisis), dapat dibagi kepada beberapa sub bahasan, g) Kesimpulan, dan h) Daftar rujukan. Jika tulisan yang dikirim adalah hasil penelitian (riset), maka harus ditambah dengan memuat; latar belakang, tinjauan pustaka, tujuan, metode penelitian, dan hasil penelitian. 5. Kutipan harus dijelaskan sumbernya dalam bentuk foot note, yang memuat; nama pengarang (sesuai dengan nama di daftar rujukan), (misalnya; Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir wa AlMufassirun. Jilid IV. (T. Tp: T.th), hlm. 301. 6. Tulisan harus dilengkapi dengan Daftar Rujukan, yaitu sumber tertulis yang benar-benar digunakan dalam penulisan naskah. Cara penulisan daftar rujukan adalah; nama penulis secara lengkap, bagian akhir dari nama penulis ditulis paling awal, dan an-
88
Pedoman Penulisan Vol. II, No. II, Oktober 2014
tara nama akhir dengan nama selanjutnya diberi batas dengan koma (,); lalu judul buku ditulis italic/miring, kota tempat terbit, nama penerbit, tahun terbit, cetakan ke. Baris kedua dari buku sumber harus dimasukkan ke kanan, sejauh 7 spasi. Misalnya: Al-Zarkasyi, Badru al-Din Muhammad, Al-Burhan fi ’Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), Jilid. I Hitti, Philip K, History of The Arab, Terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010) 7. Tulisan yang akan mendapat prioritas untuk dimuat adalah yang lulus seleksi oleh tim redaksi menyangkut; a) kebagusan bahasa dan ketikan, b) kesesuaian bidang ilmu dan topik, orisinalitas, kedalaman teori, ketepatan metodologi, ketajaman analisis, inovasi, dan nilai aktual dan/atau kegunaannya, dan c) selama masih tersedia ruang/halaman. Jika ada tulisan yang lulus seleksi dari sisi poin a-b, maka tulisan itu akan dimasukkan untuk edisi berikutnya. 8. Naskah harus disampaikan kepada tim redaksi dalam bentuk softcopy dan dilengkapi dengan memberikan hardcopy dalam bentuk CD, atau dengan mengirim ke e-mail;
[email protected]