vol. 2 no. 1 | 2011
Kelompok pengelola demplot Madu Mulana
wahana wacana dan warta lingkungan hidup
Mengenal ‘Kuta’ demi Keselamatan Lingkungan oleh: Sandrak Manurung/Petra Bersama Setahun perjalanan PNPM LMP, masyarakat sudah dapat mengidentifikasi persoalan dan usulan guna mendukung lingkungan menjadi lebih baik Perlindungan hutan saat ini bukan hanya menjadi masalah nasional tetapi juga dunia. Untuk itu berbagai pihak selalu berupaya untuk memperhatikan dan menjaga lingkungan dengan menciptakan program dari tingkat desa hingga provinsi. Salah satu pencanangan Pelatihan pertanian organik program adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Lingkungan Mandiri Perdesaan (PNPM LMP) di Kabupaten Pakpak Bharat. Kabupaten Pakpak Bharat adalah salah satu lokasi pilot project PNPM LMP di Sumatera Utara. Untuk memperkenalkan dan mengajak masyarakat lebih peduli dengan ‘Green PNPM’, tak henti-hentinya Fasilitator Kecamatan Lingkungan (FKL), Asisten Tenaga Ahli Lingkungan (ASTAL), Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), dan Civil Society Organization (CSO) bersambung ke hal. 5
Newsletter desakuhijau merupakan salah satu alat komunikasi dalam memberikan infomasi kepada masyarakat mengenai kegiatan yang sedang berlangsung di Aceh, Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatra Barat, dan Sulawesi Utara. Cerita dan foto dari berbagai lokasi diharapkan dapat memberikan motivasi agar masyarakat semakin terpacu dalam menumbuhkembangkan pembangunan desa yang berbasis lingkungan.
DAFTAR ISI
■■ Mengenal ‘Kuta’
demi Keselamatan Lingkungan
■■ Sepakat untuk Melanjutkan Kegiatan Hijau ■■ Menara Jaga untuk ‘Po Meurah’ ■■ Profil Tokoh: Nahrul Rahman ■■ Tema Foto: Selamat Datang Api Biru!
Profil Tokoh
Nahrul Rahman
Hidup Baru dengan PNPM LMP Bapak yang memiliki kulit kecoklatan ini, kini merasa memiliki hidup baru dengan mengikuti kegiatan yang ada di desanya
“Nahrul Rahman” atau akrab disapa sebagai Mang Adeng (38 tahun), dulunya adalah seorang petani di dalam hutan. Setelah menjadi petani, ia mencoba mengikuti program transmigrasi lokal, kemudian menjadi pekerja galian, namun di tiga kerjaannya tersebut belum ada peningkatan materi dibandingkan dengan jerih payahnya. Pada tahun 2010, PNPM-LMP masuk ke Desa Talang Ulu, Kec. Lebong Utara, Kab. Lebong , Bengkulu yang terdanai oleh BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) dengan jenis kegiatan berupa pelatihan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam di desa. Penerapan dari pelatihan ini berupa kolam air deras dan melakukan penghijauan desa dan daerah aliran sungai. Mang Adeng sangat tertarik dengan kegiatan ini dan ia terlibat di PNPM-LMP sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD). Ia dipilih oleh masyarakat desa sebagai fasilitator desa, tugasnya untuk mengumpulkan masyarakat saat rapat desa atau kegiatan desa dan memonitoring kegiatan yang dibuat oleh desa. Posisi ini benar-benar dimanfaatkannya untuk dapat memperoleh pengetahuan dan memahami lingkungan terkait tentang menjaga, memperbaiki dan mengelola lingkungan.
Nama
Nahrul Rahman
Umur
38 tahun
Istri
Rita
Anak
Gite Debagai dan Gayane Patona
Pekerjaan
Petani sawah dan kebun
Aktivitas
Tahun 2000 Hingga Sekarang : Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa di PNPM LMP Kabupaten Lebong, Bengkulu
HAL. 2
Budidaya ikan lele di salah satu lokasi BLM Selain sebagai KPMD, Mang Adeng mencoba melakukan pengembangan dengan membuat kolam lele, membuat pupuk kompos dari kotoran ternak dan membentuk kelompok tani. “ Semoga semua ini akan membuahkan hasil dan menjadi usaha yang menjanjikan kedepan yaa”, ujarnya. Mang Adeng sangat berharap dengan adanya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Lingkungan Mandiri Perdesaan dapat menjadi tonggak awal untuk menemukan jalan hidup yang lebih baik. Melalui program ini diharapkan mendapatkan pengetahuan dan cara pengelolaan lahan yang lebih bermanfaat serta berkelanjutan. ”Kita berharap kegiatan PNPM LMP dapat mensinergiskan antara pengelolaan dan konservasi alam, memadukan peningkatan ekonomi masyarakat dan kelestarian lingkungan”, tutur beliau.
Penulis : Supintri Yohar, S.Hut
Sepakat untuk Melanjutkan Kegiatan Hijau
Diskusi pada pelatihan tim Pemelihara Kegiatan PNPM LMP
“400 batang Pohon Bayur telah ditanam di lahan kampung seluas 1 Ha. Sepuluh tahun lagi, kalau 1 batang di hargai 1,5 juta maka total mencapai 600 juta. Selain bisa mendapat manfaat ekonomi, desa juga semakin hijau dan lingkungan tetap terjaga” oleh: Ian M Hilman
Demikian paparan Bapak Mursal dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) bagian Teknis Pertanian Tanaman Hortikultura Perkebunan dan Kehutanan Kab. Padang Pariaman saat memberikan materi pada pelatihan Tim Pemelihara kegiatan PNPM LMP di Kec. VI Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Tergugah dengan paparan, anggota pelatihan menyadari bahwa aset yang sudah mereka miliki hasil dari kegiatan PNPM LMP tahun 2010 yang berada di kampungnya perlu dijaga dan dirawat. Sebanyak 18 aset kegiatan hijau telah dilakukan di Kecamatan VI Lingkung pada periode tahun pertama kegiatan PNPM LMP. Mulai dari kegiatan penghijauan, pelatihan pemanfaatan sumber daya alam dan pengembangan energi terbarukan. Dengan banyaknya kegiatan tersebut, Civil Society Organization (CSO), Fasilitator Kecamatan PNPM LMP dan Unit Pelaksana Tekhnis Daerah Kab. Padang Pariaman sepakat membuat forum komunikasi dengan nama “Forum Sepakat”. Harapan forum
ini sebagai media saling bertukar pikiran dan informasi di setiap korong (dusun) dalam rangka pengelolaan dan pemeliharaan asset yang hijau yang ada. Pengelolaan forum akan diserahkan kepada masayarakat dalam agenda Musyawarah Desa Serah Terima (MDST). Pada musyawarah tersebut masyarakat diberikan mandat untuk menjamin keberlajutan kegiatannya masingmasing. Weni Widya sebagai Fasilitator Kecamatan Lingkungan, Kec. VI Lingkung Kab. Padang Pariaman mengatakan, ”Forum ini sangat
“Pencapaian keberhasilan suatu program sebenarnya tergantung dari tahapan pelestarian yang sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat” HAL. 3
penting untuk menjamin keberlanjutan program yang telah dilaksanakan di masyarakat melalui PNPM-LMP. Pencapaian keberhasilan suatu program sebenarnya tergantung dari tahapan pelestarian yang sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat. Dan melalui ”Forum Sepakat” diharapkan aset-aset hijau baik fisik maupun non fisik dapat berkembang dan bermanfaat dalam jangka waktu lama”. Dibawah ini adalah Bagan Serial Fasilitasi CSO dalam Pelatihan Pemelihara dan Pengelola Prasarana (TP3) : BLM
BLM
BLM
BLM
TP3
TP3
TP3
TP3
CSO
FORUM TP3
UPTD LOKAL
KEBERLANJUTAN KEGIATAN
SERI FASILITASI KELOMPOK
***
Dari Redaksi Hari Lingkungan Hidup yang jatuh pada tanggal 5 Juni kemarin, mengingatkan kita, apa yang sudah kita lakukan kepada bumi ini. Tidak perlu kegiatan yang besar. Kegiatan kecil namun bisa menyumbangkan hal yang besar untuk lingkungan. Newsletter kedua kali ini, banyak mengupas tentang lingkungan. Tengoklah “Kuta” di Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara yang berhasil membuat program hijau bersama-sama dengan masyarakat. Tak mau kalah, Sumatera Barat, tepatnya di Kab Padang Pariaman sudah 18 kegiatan hijau dilakukan dari tahun 2010 hingga mereka membuat suatu forum yang bernama Forum Sepakat. Dan dari Aceh, demi menyelamatkan gajah dan manusia, masyarakat bersama-sama membuat menara jaga untuk menghindari konflik gajah dan manusia. Mang Adeng, profil kali ini menceritakan tentang pengalaman ia menjadi kader pemberdayaan masyarakat desa. Ia tidak segan mengajak masyarakat untuk belajar bersama-sama menjaga, memperbaiki dan mengelola lingkungan. Dan sebagai penutup. Foto-foto mengenai keberhasilan biogas di Sulawesi Utara sedikit “menyentil” sampai manakah biogas yang ada dikampung kita? Apakah bisa sesukses di Sulawesi Utara?
Selamat membaca….
Penanggung Jawab Akbar A. Digdo
Grafis & Tata Letak Age Hadi
Redaktur Fransisca Noni
Kredit foto Pendi Siregar/ PETRA Bersama Ian M Hilman Supintri Yohar Diki Priatna WCS-IP
Editor Akbar A. Digdo Agustinus Wijayanto Fransisca Noni
HAL. 4
Kontributor Sandrak Manurung, Rudianto Surbakti, Ade Sumantri, Ian M. Hilman, Edison Maneasa, dan Supintri Yohar
Alamat Redaksi Jl. Burangrang No. 18 Bogor 16151 0251 8306029
[email protected] www.desakuhijau.org
sambungan dari hal. 1
Mengenal ‘Kuta’ demi Keselamatan Lingkungan turun ke lapangan, dari ‘kuta’ ke ‘kuta’. ‘Kuta’ dalam bahasa lokal berarti kampung. Di dalam pelaksanaan program, telah dilakukan berbagai pertemuan seperti musyawarah untuk penggalian gagasan desa. Dari hasil pertemuan tersebut, masyarakat pada umumnya melihat PNPM LMP hanya sebatas kegiatan penanaman pohon. Inilah yang membuat program kurang menarik perhatian masyarakat karena kondisi hutan atau pohon di wilayah ini masih relatif baik. Setahun perjalanan PNPM LMP di Kab. Pakpak Bharat, masyarakat telah mengidentifikasi persoalan dan usulan dan muncullah ‘Empat Green Menu PNPM LMP’ yang sedang atau telah dilaksanakan oleh masyarakat desa. Bersama CSO sebagai mitra, PNPM LMP juga melakukan upaya penyelamatan lingkungan dengan mengajak masyarakat terlibat aktif dalam pelaksanaan program demonstration plot (demplot) CSO di tiga lokasi kecamatan pilot project. Program ini antara lain budidaya lebah madu, pertanian organik dan pembibitan, serta tanaman agroforestry. Budidaya lebah madu dilakukan di Desa Kuta Tinggi Kecamatan Salak, pertanian organik dan pembibitan pohon mahoni dan sengon di Desa Pardomuan Kecamatan Kerajaan, dan tanaman agroforestry di Desa Prolihen Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe. Kegiatan tersebut didampingi oleh masyarakat lokal yang telah direkrut dan dilatih oleh CSO sebagai kader lokal.
Adalah Sri Edy Bancin salah satu kader lokal mengusulkan kepada CSO untuk melakukan program budidaya lebah madu di desanya. Hal ini didasarkan oleh adanya potensi lebah yang dapat dikelola oleh warga desa. Selain itu, menurutnya, dengan budidaya lebah madu warga dapat diajak untuk menjaga hutan yang berada tepat di belakang rumah mereka. Kegiatan ini pun disetujui warga karena selain menguntungkan secara ekonomi, program ini pun tidak menggunakan pestisida kimia sehingga dapat menjaga kelestarian hutan.
”Kegiatan ini pun disetujui warga karena selain menguntungkan secara ekonomi, program ini pun tidak menggunakan pestisida kimia sehingga dapat menjaga kelestarian hutan. ” Begitu pula dengan kader lokal untuk Kecamatan Kerajaan dan Sitellu Tali Urang Jehe (STTU Jehe), Japari Padang dan Kifli Kesugihen. Mereka mengusulkan kegiatan terkait lingkungan dan berdampak positif pada peningkatan ekonomi keluarga di desa mereka masing-masing. Japari Padang melihat pentingnya demplot pertanian organik dan pembibitan pohon karena kebanyakan warga desanya telah menggunakan pupuk/pestisida kimia secara berlebihan. Selain itu pembukaan hutan untuk perladangan dapat mengganggu ketersediaan sumber air. Sementara Kifli Kesugihen mengusulkan pengembangan agroforestry sebagai usaha kehutanan dengan pembangunan pedesaan. Hal ini untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dengan pelestarian hutan serta mengatisipasi pembukaan hutan untuk perluasan perladangan. Dengan adanya program ini, warga desa dapat menata ladang dan menghasilkan panen secara berkala. Pemilihan jenis dan lokasi demplot tersebut didasarkan pada potensi dan persoalan yang ada di desa. Ketiga kader lokal CSO di atas berasal dari lokasi demplot sehingga memberikan motivasi bagi mereka untuk lebih serius dalam melaksanakan program. Usaha ketiga kader ini dapat menimbulkan pemahaman terhadap ‘kuta’nya sendiri agar selalu menjaga lingkungan. Maka melalui pengembangan demplot, warga atau desa lain diharapkan dapat ikut terpacu untuk menjaga lingkungan dan memanfaatkan alam secara bijaksana untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi. *** HAL. 5
Kader lokal Pakpak Bharat (Edy, Kifli dan Padang) sedang berdiskusi mendesain program demplot di Sekretariat CSO Pakpak Bharat
Rudianto Surbakti dan Ade Sumantri
Bagi masyarakat Aceh, gajah bukanlah binatang biasa-biasa saja.
Ia diberi penghargaan dengan menyebutnya ‘Tengku Rayeuk’. Gelar ‘Tengku Rayeuk’ yang diberikan oleh para ‘endatu’ atau nenek moyang mengacu pada bentuk fisik gajah yang ‘besar’ dan ‘raya’. Pada zaman peperangan dahulu, gajah bermanfaat untuk berkendara para pejuang. Hal inilah yang kemudian menciptakan hubungan persahabatan dengan manusia. Selain nama ‘Tengku Rayeuk’, dalam kehidupan sehari-hari gajah juga biasa disapa ‘Po Meurah’. Sayangnya, saat ini keberadaan binatang berbelalai panjang dan bertelinga lebar ini semakin menurun jumlahnya karena konflik antara manusia dengan satwa. Pada tahun 1996 jumlah gajah di hutan Aceh berkisar antara 600700 ekor, kemudian dalam kurun waktu 1996 sampai 2006 berjumlah sekitar 420 ekor. Jumlah ini semakin menurun pada tahun 2008 yang berjumlah sekitar 378 ekor (The Global Journal, HAL. 6
2010). Akibat penurunan jumlah tersebut, gajah menjadi salah satu binatang yang dilindungi. Namun, seiring dengan perkembangan zaman keberadaaan Po Meurah kini menjadi ancaman bagi warga yang tinggal di sekitar hutan. Pasalnya, kelompok gajah bisa saja menyerang manusia dan memporakporandakan permukiman. Konflik antara gajah dan manusia sudah kerap terjadi di Aceh dan menimbulkan korban jiwa. Tidak hanya dari si manusia, sang ‘Teuku Rayeuk’ pun juga tak sedikit yang harus mati. Keterbatasan pemerintah daerah dalam pendanaan terhadap penanganan konflik, jumlah personil yang tersedia, dan sulitnya mencapai lokasi konflik menjadi alasan belum optimalnya penyelesaian masalah ini. Namun, mau tak mau kondisi ini secara berkesinambungan
Pembangunan menara jaga oleh masyarakat
Menara Jaga untuk ‘Po Meurah’
Gotong royong warga dalam membangun menara jaga
harus diperbaiki, karena gajah sangat penting keberadaannya untuk menjaga keanekaragaman dan ekosistem hutan. Meski demikian, tak juga melupakan manusia yang butuh kenyamanan dalam hidupnya. Maka, PNPM LMP (Lingkungan Mandiri Perdesaan) bersama dengan CSO bekerjasama dengan Pemerintahan Desa (Keuchik atau Kepada Desa) dan Tokoh Masyarakat dari empat desa di Kecamatan Kluet Tengah Menggamat, Kabupaten Aceh Selatan yaitu Desa Kampung Sawah, Desa Koto, Desa Lawi Melang, dan Desa Kampung Padang bersama dengan masyarakat membangun
Menara Jaga (MEJA) secara swadaya dan bergotong-royong di jalur aktif gajah. MEJA dibangun untuk memantau serta mengantisipasi pergerakan mamalia besar ini agar tidak sampai masuk ke arah pemukiman. Oleh sebab itu, dalam perjalanan program ini terus dibutuhkan peningkatan kapasitas masyarakat dalam teknik penggiringan gajah untuk mengantisipasi terjadinya konflik. Dengan adanya kerjasama dari warga lokal, diharapkan konflik antara manusia dan gajah sedikit demi sedikit mereda. Kebijaksanaan kita sebagai warga untuk tetap menjaga kelestarian hutan juga dituntut sehingga Po Meurah pun tetap nyaman di habitatnya. ***
Diskusi disela waktu istirahat HAL. 7
Tema Foto
Selamat Datang
Api Biru ! Penulis : Edies Maneasa
Papan Proyek Pembuatan Biogas Usulan masyarakat dalam pelaksanaan PNPM LMP siklus 2010 di Desa Tondegesan Dua, Kecamatan Kawangkoan-Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara berupa pembangunan instalasi Biogas. Setelah melalui proses Musyawarah Antar Desa (MAD) 2 dan 3, maka usulan tersebut didanai oleh Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) untuk pengembangan tiga unit Biogas. Dengan dukungan CSO (WCS dan Yapeka), pada akhir November 2010 dimulailah proses pelatihan dan pembangunan instalasi Biogas oleh masyarakat Desa Tondegesan Dua. Proses pembuatan satu unit Biogas hingga siap digunakan oleh Rumah Tangga Miskin (RTM) selama ±2 minggu. Selanjutnya untuk pembuatan dua unit sisanya dilaksanakan secara mandiri oleh masyarakat yang telah terlatih dan konsultasi teknis dengan CSO.
Suasana Pelatihan Interaktif
Hasil dari biogas berupa api biru
Pemberian materi mengenai pembuatan biogas
Setelah menggunakan biogas, RTM penerima manfaat tidak repot lagi untuk mengumpulkan kayu bakar hingga 2 gerobak/bulan yang diselingi dengan penggunaan minyak tanah 1 liter/hari seperti biasanya. Setiap keluarga hanya cukup menyediakan 1 ember yang setara dengan 10 kg kotoran sapi dari kandang yang terletak di belakang rumahnya. Satu ember kotoran sapi cukup untuk memasak selama 6 jam, 4 jam di pagi hari dan 2 jam di sore hari. Si Api biru ini adalah bahan bakar yang bebas polusi, tidak menghitamkan alat masak, dan ekonomis.
Pembuatan reaktor biogas bersama-sama
Bahan dasar biogas dari kotoran sapi