MENGEMBALIKAN MARWAH IDEOLOGI BANGSA Abstrak Ideologi adalah kehormatan bagi suatu bangsa. Marwah (kehormatan, jati diri) Bangsa Indonesia ada dalam nilai-nilai Pancasila yang merupakan refleksi dari kepribadian Bangsa Indonesia sendiri. Sayangnya, marwah tersebut setelah sekian lama mengarungi zaman justru mulai ditinggalkan dalam praktek pengelolaan negara dan kehidupan bersama. Pancasila seringkali hanya diperalat untuk memuaskan hasrat politik para penguasa sebagai alat legitimasi. Salah satu penyebab hal tersebut terjadi, karena Pancasila ditinggalkan oleh sumber moralitas tertinggi kepada Tuhan. Pengembalian marwah Pancasila dapat ditempuh dengan kembali merenungi nilai paling hakiki, yang memperkaya, yang menunjukkan identitas asli Bangsa Indonesia sejak dulu, yaitu religiusitas. Maka di saat banyak konflik antarkeyakinan melanda negeri ini, justru dari problem besar keberagaman dan keberagamaan akan kita gali nilai pondasi
bagi
keempat
sila
lainnya
untuk
mewujudkan
Pancasila
sebagai
weltanschauung sekaligus narasi besar Bangsa Indonesia. Kata Kunci : pancasila, marwah, ideologi, bangsa indonesia Pendahuluan Kegagalan suatu bangsa diawali dari kegagalan memahami dasar negaranya. Ulasan tentang situasi Indonesia yang tak hendak bergegas maju disebabkan oleh ideologi hanya dimanfaatkan untuk memuaskan hasrat kekuasaan. Dari anak-anak kita yang masih sekolah bisa diperoleh sumber bahan ajar yang menyebutkan penyelewengan-penyelewengan sejak era orde lama, orde baru, hingga reformasi. Referensi sejarah secara gamblang menggambarkan pergantian rezim justru mewariskan wabah kebencian atas pemberlakuan Pancasila pada rezim sebelumnya. Secara eksplisit pula, konflik antar elit bangsa tak lepas dari mempertentangkan pemahaman siapa yang paling berhak menafsirkan dan paling benar menerapkan Pancasila. Muara dari semua ini
sudah jelas,
Pancasila lebih difungsikan sebagai
alat
penguasa untuk
mempertahankan kekuasaan dan alat pengadu domba. Di sisi lain, tantangan kerap
menajam karena dalam perebutan pengaruh politik juga diisi oleh wacana perubahan dasar negara dengan menggunakan ideologi alternatif untuk membumikan nilai-nilai Pancasila. Pancasila dapat berada di titik nadir untuk diragukan dalam negerinya sendiri, terus diperalat, dan hanya menjadi simbol yang tak lagi menunjukkan kewibawaannya. Berkaca dari sejarah pula, perumusan Pancasila justru tidak lepas dari beragam pandangan yang titik finalnya menyepati satu hal, Pancasila sebagai realitas nilai-nilai kehidupan yang menjiwai Bangsa Indonesia. Dalam penggalian Pancasila, para founding fathers meletakkan keberagaman di Indonesia sebagai titik berangkat (point of departure) untuk membangun konsensus politik yang dapat diterima oleh semua kelompok. Pancasila dalam bahasa Soekarno, bukan hasil pencarian dari proses kompromi melainkan satu hal yang disepakati oleh semua kelompok1. Walau perdebatan seputar penafsiran Pancasila kemudian hadir di setiap periode sejarah bukan berarti kita gagal menyemai refleksi yang tepat. Diskursus-diskursus Pancasila membuktikan dasar negara ini tidak hadir di ruang hampa. Pada konteks zaman apapun, Pancasila akan tetap hangat untuk digali maknanya, ditelisik gagasan perumusnya, dan diempirisasikan dalam praksis pengelolaan negara. Cara tersebut adalah peneladanan kepada para pendiri republik yang menganggap Pancasila sebagai kebutuhan yuridis bagi pembentukan rumah besar bernama Indonesia. Rumah yang mengayomi keberagaman suku, bangsa, bahasa, dan budaya dari Sabang sampai Merauke. Rumah bersama yang di dalamnya Pancasila menempati kedudukan untuk mengisi kebutuhan filosofis yang mengisi relung sanubari jiwa Indonesia dalam tata nilai kehidupan. Oleh sebab itu, setiap upaya memberangus dialog perihal Pancasila hanya akan berdampak kontraproduktif. Pancasila justru akan kembali menjadi nilai sakral yang teramat “mistik” untuk diterjemahkan dalam laku kehidupan. Pembahasan Pembahasan seputar Pancasila tidak bisa tidak mesti menautkan suasana kebatinan di saat perumusan dasar negara dalam sidang BPUPKI. Disadur dari Risalah 1
Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 1945, hlm. 71
Sidang BPUPKI-PPKI 1945 terbitan Sekretariat Negara Republik Indonesia tahun 1995 bahwa negara yang hendak dibangun adalah negara kebangsaan. Negara ini, kata Soepomo, berbentuk unitarisme yang merangkul segenap kelompok bangsa. Negara yang didirikan bukan dari meniru atau menyalin dasar negara atau konstitusi dari bangsa lain yang malah menjadikan Indonesia sebagai negara tiruan. Indonesia adalah negara persatuan, suatu national staat, dengan kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju tujuan bersama2. Kemerdekaan yang oleh Soekarno dimaknai sebagai kemampuan mempertahankan kemerdekaan itu sendiri. Kemerdekaan yang bisa diraih dalam semalam
sebagaimana
Ibnu
Saud
mendirikan
Saudi
Arabia
atau
Lenin
memproklamirkan kemerdekaan Rusia dalam sepuluh malam. Kunci kemerdekaan menurut Soekarno hanya membutuhkan keberanian untuk merdeka3. Lantas, di ujung jembatan emas kemerdekaan itulah kita memerlukan suatu “Weltanschauung” untuk memberi komando pembangunan manusia-manusia merdeka. Weltanschauung itulah yang telah tertanam dalam jiwa setiap anak bangsa dalam nilai-nilai yang lima, yaitu Pancasila. Persoalan yang diidap oleh Pancasila, bahwasanya dasar negara tersebut selalu diperebutkan untuk dimaknai dari dua sisi yang ditempatkan secara diametral. Latar belakang permasalahan klasik tersebut telah ada di sidang BPUPKI yang begitu diwarnai perdebatan seputar dasar negara agama atau kebangsaan. Perubahan atas Piagam Jakarta selalu dimanfaatkan untuk membangkitkan sakit hati atas kegagalan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Sidang badan Konstituante di sepanjang 19561959 juga masih berdebat seputar dasar negara yang akan dimasukkan ke dalam konstitusi yang baru. Polemik berkepanjangan tersebut berakhir secara dramatis dengan keluarnya Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959. Dampak perdebatan tersebut tidak pernah berakhir, sehingga sekian banyak kelompok sampai saat ini masih terus mengupayakan kebangkitan kembali gerakan separatis atas dasar fanatisme golongan. Selain dari sisi agama, pretensi hadirnya makar atas ideologi berbangsa dan bernegara turut terasa dari ideologi kiri yang merupakan bahaya laten. Prasangka tiada akhir 2
Ibid. hlm. 28
3
Id. hlm. 65
terhadap isi Piagam Jakarta juga menjangkiti saudara-saudara di kelompok Nasrani. Dalam Tablodi Reformata edisi 110/2009 memuat tulisan yang terkesan terlalu berlebihan dengan beberapa peraturan bersumber ajaran Islam seperti UU Perkawainan, UU Perbankan Syariah, UU Wakaf, dan sebagainya 4. Benih-benih prasangka yang bisa menjadi bom atom di kemudian hari ini perlu diketemukan titik tengahnya. Para tokoh bangsa dan pemerintah perlu membendung dan dan memahamkan bahwa Pancasila sebagai keputusan final. Kesepakatan menjadikan Pancasila menjadi dasar negara adalah capaian penting yang berpijak pada titik yang adil diantara pendulum dasar negara agama dan kebangsaan. Pemahaman penting yang mesti disampaikan adalah dalam negara berdasar Pancasila, suatu umat beragama dijamin pelaksanaan keyakinan dan peribadatannya. Polemik di atas dalam konteks penerapan perundangangan yang berbentuk kompilasi hukum Islam sebenarnya telah dapat diselesaikan. Praduga yang sebenarnya muncul akibat ketidakpahaman atas Piagam Jakarta dan Pancasila itu sendiri. Karena jika ditelusuri lebih dalam, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dalam penjelasannya menyebut Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 sekaligus merupakan satu rangkaian dengan konstitusi tersebut5. Artinya, selama perumusan perundang-undangan secara isi tidak bertentangan dengan dengan Pancasila dan konstitusi maka sah-sah saja atas dasar Pasal 29 ayat (2) sekelompok umat beragama meminta kepada negara untuk mengatur kehidupan mereka sebagai bagian dari melaksanakan peribadatan. Namun demikian, Indonesia bukanlah negara yang berorientasi pada satu agama saja. Indonesia adalah rumah dan tempat tinggal bagi semua keyakinan yang diakui oleh negara sebagai hak dasar. Negara menempatkan dirinya pada pemberian keluasaan untuk beribadah dan mengupayakan kerukunan antarumat beragama bisa terus berlangsung. Kita pun sepenuhnya mesti paham bahwa konflik-konflik berdarah yang pernah terjadi bukan disebabkan perbedaan keyakinan, melainkan nafsu politik, ekonomi, dan kekeliruan beberapa oknum yang gagal disikapi secara bijak dan cepat.
4
Adian Husaini, 2009, hlm. 11
5
Id. hlm. 20
Persinggungan antarumat beragama memang menjadi kondisi paling rawan dalam mempertahankan Pancasila untuk menjaga integrasi nasional. Sebagai contoh, baru-baru ini seputar wacana pluralisme yang kerap digaungkan oleh beberapa pihak langsung bersambu dengan penolakan dan bahkan penerbitan Fatwa sesat oleh MUI6. Alasan pada wacana yang meluas tersebut karena pluralisme justru dipandang sebagai awal pertikaian antarumat beragama. Dalam pandangan MUI, pluralisme ditujukan untuk meng-singkretis-kan agama-agama di Indonesia. Maka fatwa tersebut hanya menolak pada ranah pluralisme agama, sebab MUI sepakat bahwa sudah sunnatullah bahwa Bangsa Indonesia memang multikultur (pluralisme sosial). Hal tersebut hanya satu dari sekian contoh bagaimana bangsa ini sangat sensitif terhadap isu keyakinan. Dan selayaknya Pancasila dikedepankan untuk mendapat pemahaman yang lebih arif dan bijak. Pertama, keberagaman keyakinan bukan berarti satu agama haruslah sama dengan agama lainnya. Setiap pemeluk agama punya keyakinan atas kebenaran berdasar agamanya, namun dalam kehidupan sosial harus menempatan penghargaan (bukan pengakuan imani) kepada pemeluk agama lain. Kedua, etos kasih saying, persaudaraan, dan keadilan sosial perlu diutamakan. Dan ketiga, tokoh-tokoh agama untuk terus mengupayakan
pertemuan-pertemuan
guna
mendukung
terjalinnya
persatuan
antarpemeluknya. Oleh sebab itu pula, diskursus-diskursus seputar nilai-nilai Pancasila, baik filosofis, histors, maupun praksis justru akan memperkaya pemahaman kita tentang hakikat ideologi kita tersebut. Bukti-bukti Pancasila adalah konsensus Indonesia harus diulang-ulang dalam perebutan wacana atas dominasi pengetahuan (struggle of knowledge). Karena Pancasila sebagai nilai-nilai asli dari bumi Indonesia juga menghadapi banjir informasi di era globalisasi teknologi dan demokratisasi dunia. Dalam proses tersebut, acapkali nilainilai trans-nasionalisme ikut terbawa dan merongrong keyakinan bangsa Indonesia terhadap Pancasila. Dengan membuka dialog peradaban antara Pancasila dengan nilainilai luar justru akan memperlihatkan bahwa Pancasila adalah ideologi yang paling layak dan tepat bagi Bangsa Indonesia. Namun, hal tersebut harus didukung oleh keberdayaan dari pendukung-pendukung ideologi Pancasila untuk berebut dominasi atas 6
Lihat Fatwa MUI Nomor 7/Munas VII/11/2005
kebenaran dan kehebatan Pancasila. Sebagaimana dikatakan oleh Anthony Gidens,”The self has to be reflexively made” atau identitas diri merupakan buah dari dialektika antara diri dan lingkungannya7. Dalam lingkungan global, diskursus antarperadaban dan antarideologi adalah keniscayaan yang harus diikuti untuk menunjukkan jati diri suatu bangsa. Pancasila juga satu narasi besar (grand narative) bangsa Indonesia untuk menunjukkan eksistensinya dalam persaingan dan perkembangan dunia global. Narasi besar sebagai negara yang secara lantang menyatakan bahwa nilai ketuhanan dalam dasar negara di saat negara-negara lain semakin phobia dengan wacana tersebut. Bangsa ber-Pancasila menjunjung tinggi hak kemanusiaan, persatuan, dalam praktek musyawarah (demokrasi) untuk mencapai kesejahteraan sosial bagi rakyatnya. Indonesia berani mengambil posisi yang jelas di saat dunia dipisahkan oleh dua kutub ideologi besar, liberal (Barat/Amerika Serikat) dan Komunias (Timur/Uni Soviet), dengan tidak mendukung salah satunya. Namun, Pancasila juga mendapat tantangan berat dalam konteks persinggungan peradaban modern dengan arus utama globalisasi yang mengerus peran negara dan sekat territorial. Perubahan ini membawa dampak hilangnya wibawa negara dihadapan korporasi-korporasi yang memiliki permodalan senilai anggaran belanja negara. Di saat ideologi-ideologi lain raib terinjak-injak individualis, hedonis, dan kapitalisme global, justru negara belum menunjukkan peran pentingnya untuk menjaga marwah Pancasila. Imbasnya, amandemen UUD 1945 yang pada dasarnya sebagai pengaruh globalisasi yang ditumpangi oleh kapitalime dan neoliberalisme global. Hal ini dibuktikan dengan tidak efektifnya mekanisme kekuasaan dan sistem pemerintahan. Sistem hukum dan politik tidak mampu membendung money politic yang berujung semakin mewabahnya korupsi di berbagai lini pemerintahan8. Penjagaan marwah (maruah/kehormatan)9 Pancasila adalah pemaknaan realitas zaman sesuai sila-sila di dalamnya. Hal tersebut dapat dimulai dari membebaskan Pancasila dari beragam tafsir yang justru menjadikannya semakin sakit disebabkan oleh 7
Dalam Komunikasi Peradaban, 2014, hlm. 67
8
Kaelan, 2013, hlm. 653
9
KBBI online
sikap apatis di satu sisi dan phobia di sisi yang lain. Kaelan menyebut Pancasila bagi Bangsa Indonesia memiliki kedudukan yang primer sebagai suatu weltanscahuung (pandangan hidup)10. Pancasila sebagai pandangan hidup bukanlah seperti pemaknaan kita terhadap agama yang kita yakini. Karena Pancasila bukanlah agama dan tidak mungkin untuk meng-agama-kan Pancasila. Buah pikir para pendiri republik bahwa Indonesia tidak dibangun sebagai negara berdasar satu agama tertentu, tetapi negara yang dihidupi oleh keyakinan kepada Tuhan dengan melindungi kebebasan beragama bagi warganya. Jika hal ini dihayati dengan sepenuhnya maka akan diperoleh keinsyafan bahwa Pancasila akan dapat menjadi solusi persoalan-persoalan individu maupun kenegaraan. Dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar hukum bagi semua peraturan perundang-undangan, yang jika dilaksanakan secara konsekuen akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang adil, sejahtera, dan makmur. Oleh karena Pancasila bukan ajaran agama tertentu bahkan bukan pula satu agama, maka tepat jika Pancasila dianggap sebuah konsensus politik antarumat beragama. Dalam negara berPancasila, agama-agama mendapatkan kehormatan tertinggi untuk diterapkan nilai-nilai sucinya bagi kemajuan bangsa dan negara. Bahkan Pancasila akan sangat lemah manakala dipisahkan dari pemahaman nilai-nilai religius para pemeluknya. Penjagaan marwah Pancasila menjadi dilematis karena selalu berhadapan dengan kepentingan politis untuk kembali digunakan sebagai pemukul lawan. Paul Ricoeur menjelaskan bahwa suatu ideologi memang kerapkali dimanfaatkan untuk legitimasi politik11. Tindakan melegitimasi kekuasaan atas nama bangsa dan negara yang menjadi rangkaian untuk mencapai kesimbangan antara kepentingan masyarakat di satu pohak dengan kekeuasaan negara di pihak lain12. Penguasa memanfaatkan kekuatan politiknya untuk menekan rakyat patuh terhadap nilai-nilai ideologi sesuait penafsirannya. Pada kondisi ini, Pancasila rawan untuk diperalat penguasa yang berkeinginan menjembatani kesenjangan antara klaim yang dibuat penguasa dengan kepatuhan warga. Padahal ideologi sejatinya memiliki fungsi untuk menyatukan 10
Kaelan, 2013
11
Dalam Pancasila Kekuatan Pembebas, 2012, hlm. 32
12
Parakitri T. Simbolon dalam Menjadi Indonesia, 2006, hlm. 3
kelompok-kelompok sosial. Perbedaan-perbedaan diantara kelompok sosial yang seringkali menajam memerlukan ideologi sebagai pandangan bersama skaligus dasar berprinsip untuk mendapatkan satu titik kesamaan. Dari fungsi tersebut, Pancasila bisa memainkan peranannya untuk mengintegrasikan pelbagai macam kelompok, agama, ras, suku, budaya, dan bahasa di Indonesia. Realita di masa sekarang Pancasila seperti hanya utopia bagi Bangsa Indonesia sendiri. Semenjak diikrarkan oleh Soekarno di tahun 1945 sebagai nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang, yang diambil dari bumi pertiwi sebagai asas moral dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila kehilangan makna dalam prakteknya. Di era reformasi, tak banyak perubahan berarti. Justru semakin bertambah parahnya degradasi moral seperti konflik politik, korupsi, pembunuhan, pengangguran, pencurian sumber daya alam, hukum yang berat sebelah, pengrusakan lingkungan, pelanggaran HAM, narkoba, seks bebas di kalangan remaja, tawuran pelajar, gerakan separatis, kacau balaunya sistem pendidikan adalah gambaran kondisi Indonesia saat ini. Pancasila tidak lagi membutuhkan konsep-konsep yang panjang dan berbelit di ruang wacana namun hanya berada di menara gading. Tak tersentuh dalam kehidupan nyata. Pancasila kita saat ini membutuhkan orang-orang yang mau menghidupkan kembali nilai-nilainya.
Yudi
Latif
menggambarkan
masih
adanya
sosok-sosok
yang
mencerminkan nilai-nilai Pancasila dalam bukunya Air Mata Keteladanan. Yudi mengungkapkan kerisauannya bahwa pelajaran moral Pancasila diajarkan lewat butir-butir hafalan yang menjemukan, kehilangan impresi
yang bisa
menumbuhkan nurani. Pancasila semestinya menemukan suri teladan yang dapat dikisahkan. Maka dalam buku ini Yudi Latif menceritakan model manusia Indonesia seperti Buya Hamka, Agus Salim, Romo Mangun, sampai B. R. Agus Indra Udayanan yang merefleksikan semangat ketuhanan. Kemudian dihadirkan pula tokoh-tokoh semisal R. M. Serjopranoto, Tan Malaka, Hoegeng, sampai Baharuddin Lopa yang menunjukkan perjuangan HAM dan keadilan di Indonesia. Juga keteladanan dari Soetomo, Soedirman hingga Mak Eroh yang giat mempererat jiwa gotong-royong untuk menjada kesatuan dan persatuan. Adapula Ki Hajar Dewantara, Habibie, Ki Bagoes Hadikusumo, Muh. Hatta yang getol memperjuangkan asas permusyawaratan,
keterbukaan, dan keadilan sosial. Yudi Latif menampilkan tokoh-tokoh di atas sebagai keteladanan dalam implementasi Pancasila. Bahwa Pancasila bukan pedoman berperilaku yang hanya dapat digunakan oleh barisan malaikat, tetapi Pancasila sebenarnya telah menemukan sosok panutan sebagaimana Muhammad dan Isa AlMasih pada agama Islam dan Kristen. Berpijak pada religiusitas bangsa Indonesia adalah cara pertama nan ampuh untuk mewujudkan penjagaan marwah ideologi. Marwah Pancasila akan semakin kokoh manakala nilai-nilai Pancasila diintroduksikan ke dalam kehidupan baik secara formal maupun non formal melalui contoh-contoh keteladanan. Hal ini sesuai dengan ungkapan “Moral is not thought but caught.” Implementasi Pancasila melalui keteladanan ini harus merujuk bahwa Pancasila dengan kelima sila-nya memiliki esensi atau core value. Dan core value dari kelima sila dalam Pancasila ialah nilai Ketuhanan. Hal ini diutarakan oleh Notonagoro bahwa Pancasila sebagai sistem nilai yang berbentuk piramida dengan sila pertama sebagai dasar keempat sila lainnya 13. Dalam penjelasannya, sila kedua dijiwai sila pertama dan menjiwai sila ketiga, keempat, dan kelima; sila ketiga dijiwai sila pertama dan sila kedua serta menjiwai sila keempat dan kelima; sila keempat dijiwai sila pertama, sila kedua, dan sila ketida serta menjiwai sila kelima. Sedangkan sila kelima dalam sistem piramida tersebut berada di puncak atau sebagai tujuan akhir untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penutup Bangsa Indonesia adalah pewaris kebesaran peradaban di masa lalu yang dikaruniai nilai-nilai kehidupan untuk menjaga kekayaan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Pancasila sebagai konsensus atas nilai-nilai yang diyakini sebagai kebenaran bersama oleh semua kelompok bangsa perlu dijaga kehormatannya, marwah kesaktiannya melalui serangkaian tindakan yang bersumber dari hakikat dari segala nilai tersebut, yakni keinsyafan makhluk ber-Tuhan. Karena hanya dengan keinsyafaan tersebut, basis nilai moralitas utama untuk mengurai persoalan berbangsa dan bernegara yang bersumber dari laku buruk para elit penguasa yang hanya menjadikan Pancasila 13
Notonagoro, 1975, hlm. 44
sebagai legitimasi politik akan dapat diselesaikan. Pancasila akan kembali gagah menantang setiap hambatan yang dihadapi Bangsa Indonesia untuk kembali menyusun puing-puing kejayaan nenek moyang sebagai bangsa yang disegani oleh bangsa-bangsa lain. Referensi Husaini, Adian. 2009. Pancasila bukan untuk menindas hak konstitusiaonal umat islam. Jakarta: Gema Insani. Kaelan. 2013. Negara Kebangsaan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma. Latif, Yudi. 2014. Air Mata Keteladanan : Pancasila dalam Perbuatan. Jakarta: Mizan. Notonagoro. 1975. Pancasila : Secara Ilmiah Populer. Djakarta: Pantjuran Tudjuh. Pusat Studi Pancasila Universitas Katolik Parahyangan. 2012. Pancasila Kekuatan Pembebas. Jakarta: PT Kanisius. Sekretariat Negara Repubik Indonesia. 1995. Risalah Sidang BPUPKI-PPKI. Jakarta: Sekretariat Negara Repubik Indonesia. Simbolon, T. Parakitri. 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Syam, Nina Winangsih. 2014. Komunikasi Peradaban. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.