Mengatasi Backlog Perumahan Bagi Masyarakat Perkotaan Oleh: Muh. Dimyati *) Peminat Masalah Tata Ruang dan Perkotaan, bekerja di Kemenpera
1. Pendahuluan Melihat judul tulisan ini, maka ada tiga kata kunci yang akan dibahas. Kata kunci pertama adalah Backlog. Memasuki tahun 2008, penduduk Indonesia telah berjumlah sekitar 225 juta jiwa. Dimana dari angka tersebut tercatat 57 juta sebagai kepala keluarga. Apabila satu keluarga memiliki rumah sendiri, maka diperlukan 57 juta unit rumah, namun kenyataannya hanya tercatat 51 juta unit rumah, sehingga masih terdapat kekurangan (backlog) 6 juta unit rumah. Sementara itu, pertumbuhan penduduk Indonesia tercatat rata-rata 1,7% setiap tahun, maka dapat dikatakan setiap tahun terdapat kelahiran bayi hingga 3,8 juta jiwa. Jika setiap rumah diasumsikan dihuni oleh satu keluarga yang terdiri dari 4 orang (Ibu, Bapak, dan dua anak), maka diperlukan sebanyak 950.000 unit rumah baru. Artinya setiap tahun (paling tidak tahun 2008) diperlukan sejumlah 950.000 unit rumah baru. Kalau angka tersebut ditambah dengan backlog di atas, berarti pada tahun 2008 terdapat kekurangan 6,95 juta unit rumah. Saat ini rata-rata pembangunan rumah hanya sekitar 350.000 unit per tahun. Karena itulah maka setiap tahunnya mengalami kekurangan 600.000 unit rumah. (P. Simanungkalit, 2008). Ternyata perhitungan itu sejalan dengan angka backlog dari Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) yang mengacu asumsi ‘menghuni rumah’, yaitu sebesar 7,4 juta unit untuk tahun 2009. Untuk memenuhi kekurangan rumah itu diperlukan waktu sangat lama apabila tidak dilakukan upaya-upaya sistematis. Melalui berbagai pertimbangan, maka dalam waktu lima tahun kedepan Kemenpera merencanakan untuk menangani sekitar 25% backlog di atas, yaitu sekitar 1.842.994 unit. Apabila diasumsikan (asumsi rendah) rata-rata tambahan rumah tangga baru dalam lima tahun ke depan sekitar 710.000 per tahun, maka yang akan ditangani dalam lima tahun ke depan (2010-2014) sekitar 5.392.994 unit. Melihat pengalaman lima tahun lalu, dimana potensi swadaya lebih tinggi dari yang difasilitasi pemerintah, maka asumsi program Kemenpera untuk melakukan fasilitasi melalui Pemerintah sebesar 2.070.000 unit dan yang dikelola oleh swadaya masyarakat sekitar 3.322.994 unit, cukup beralasan (Bahan Sosialisasi Dekonsentrasi Kemenpera, 2010). Kemudian kata kunci kedua adalah Perumahan. Perumahan merupakan kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan (UU No. 4 Tahun 1992). Dari pengertian tersebut jelas sarana dan prasarana lingkungan hanyalah pelengkap kelompok rumah. Namun pendapat lain mengatakan sarana dan prasarana lingkungan bukanlah pelengkap, tetapi bagian satu bagian kelompok rumah agar dapat disebut perumahan. 1
Sehingga pengertian perumahan menjadi kelompok rumah dengan sarana dan prasarana lingkungan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian. Menurut penulis, pengertian kedua mempunyai makna adanya kewajiban membangun sarana dan prasarana lingkungan sebelum dibangun kelompok rumah. Sedangkan pengertian pertama tidaklah demikian. Tulisan ini masih mengacu pengertian yang disebutkan dalam UndangUndang No 4 tahun 1992 tersebut, karena dokumen itu masih dipergunakan dalam sistem penyelenggaraan perumahan, kecuali hasil revisi yang sedang dalam proses di DPR nantinya diputuskan lain. Jadi pengertian backlog perumahan lebih dimaknakan kekurangan rumah, tidak wajib ada prasarana dan sarana lingkungan tetapi dilengkapi prasarana dan sarana lingkungan. Terminologi ‘yang dilengkapi’ dan ‘dengan atau menjadi bagian’ akan mempunyai konsekuensi turunan yang sangat berbeda dalam pelaksanaannya, tidak hanya terkait cost tetapi banyak masalah lainnya. Sehingga apabila saat ini banyak keluh kesah melalui berbgai media tentang tidak optimalnya prasarana dan sarana lingkungan di permukiman dan kurang mendapat respons, sangat bisa dimaklumi. Pasalnya hulu dari amanat perintah di dalam undang-undangnya demikian adanya. Tentu penulis yakin sejatinya bukan hal tersebut alasannya, tetapi karena memang adanya prioritas penanganan oleh pemerintah karena terbatasnya penganggaran, atau pemeliharaan prasarana dan sarana lingkungan yang dimaksud bukan menjadi tanggungjawab pemerintah. Kata kunci ketiga adalah Masyarakat Perkotaan. Masyarakat perkotaan atau urban community diartikan sebagai masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan. Mereka adalah yang sifat dan ciri kehidupannya lebih individualistis, pembagian kerja antar warganya lebih tegas dan nyata, interaksi antar warganya lebih berdasarkan faktor pribadi atau kepentingan, dan interaksi sosial antar warganya kurang. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (Undang-Undang 26/2007). Badan Pusat Statistik memberi makna suatu wilayah disebut kawasan perkotaan apabila kepadatan penduduknya 500 orang/km2 atau lebih, kurang dari 25% penduduknya hidup dari pertanian, dan sekurang-kurangnya mempunyai delapan fasilitas pelayanan umum, seperti: pasar, sekolah, pusat Gambar 1. kesehatan, dan perkantoran. Sebaran Penduduk Indonesia (Sumber: Modifikasi Purnawan, 2010)
2
2. Kondisi Penyediaan Perumahan Saat ini di Perkotaan Sebagai mukiman pasar (Max Weber, 1958) atau sebagai penyebar norma konsumsi global (Potter, 1990), atau sebagai pusat pengembangan dan penyebaran budaya, kota merupakan tempat yang berpenduduk sepuluh ribu orang atau lebih (Dwight Sanderson). Merujuk pada faktor kepadatan dan jumlah penduduk, perkembangan persentase penduduk dunia dari tahun 1950, tahun 2000 sampai 2030 menunjukkan kecenderungan yang sangat luar biasa, yaitu bahwa persentase penduduk kota berkembang dari 29,7% (Tahun 1950) menjadi 47,4% (Tahun 2000) dan menjadi 61,1% (perkiraan Tahun 2030).
Gambar 2. Tren Kebutuhan Rumah di Indonesia (Sumber: Modifikasi Purnawan, 2010)
Sebaran penduduk Indonesia di perkotaan pun mengikuti pola yang tak jauh berbeda dengan sebaran penduduk dunia, sebagaimana terlihat pada Gambar 1 (Purnawan, 2010). Mencermati hal tersebut, penulis berpendapat tidak ada pilihan lain selain untuk mengharuskan pemerintah lebih concern dalam mengurus masyarakat perkotaan, tanpa harus meninggalkan masyarakat perdesaan, karena masalahnya saling berkaitan erat.
Salah satu urusan yang amat penting harus diprioritaskan oleh pemerintah adalah mengurus perumahan di perkotaan, tanpa meninggalkan urusan perumahan di perdesaan (Gambar 2). Trend kebutuhan perumahan perkotaan terlihat lebih besar dibandingkan kebutuhan perumahan perdesaan mulai tahun 2010. Selain itu jumlah rumah tidak layak huni tercatat 12,88 juta rumah tangga (2007) dan luas kawasan permukiman kumuh (Gambar 3) meningkat mencapai sekitar 57.800 ha (2009).
3
Dalam lima tahun ke depan, Kemenpera menargetkan sasaran pembangunan Gambar 3. Ilustrasi Lingkungan Permukiman Kumuh rusunawa 36.480 unit (380 twin blok), (Berbagai Sumber, 2010) pembangunan rumah khusus 5.000 unit, fasilitasi pembangunan rumah swadaya pembangunan baru 50.000 unit dan peningkatan kualitas 50.000 unit, penataan lingkungan permukiman kumuh 655 Ha, fasilitasi PSU kawasan untuk mendukung 700.000 unit rumah, dan penyaluran bantuan subsidi perumahan 1.350.000 unit. (Renstra Kemenpera Tahun 2010-2014). Seperti dapat diduga bahwa pencapaian sasaran tersebut tidak semulus dalam rencana, tetapi sangat tergantung dinamika perekonomian nasional serta kesiapan pemerintah dan pelaku lainnya. Sebagai contoh rencana penanganan 380 twin blok rumah susun yang mendapat pengesahan untuk mendapatkan alokasi anggaran dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun 2011 sebanyak 100 twin blok. Rencana pembangunan swadaya yang 100.000 unit mendapat alokasi 25.000 unit, dan fasilitasi PSU kawasan yang 700.000 unit mendapat alokasi 117.010 unit (Perpres 29/2010). Realisasi atas rencana kerja pemerintah tersebut masih harus diuji sampai akhir tahun 2011. Angka-angka tersebut memberikan gambaran bahwa guna mewujudkan rencana yang sudah ditetapkan dalam Renstra memerlukan kesungguhan, kejujuran, kerja cerdas dan istiqomah seluruh pemangku kepentingan, utamanya pemerintah dalam memperjuangkan keberlanjutan dan kesinambungan program pada tahun-tahun mendatang. Pencapaian lima tahun lalu (2004-2009) dapat menjadi lesson learned yang baik dalam upaya peningkatan penimbunan backlog perumahan dan pengentasan lingkungan permukiman kumuh. Melalui pasang surut yang ada, lima tahun lalu (Realisasi per 30 September 2009) Kementerian Perumahan Rakyat telah mampu mencapai sasaran 1.145.113 unit (90,5%) rumah baru layak huni atas target sasaran yang 1.265.000 unit, rusunawa 31.510 unit (52,5%) atas target sasaran 60.000 unit, dan perumahan swadaya 3.139.523 unit (87,2%) atas target sasaran 3.600.000 unit, serta penataan kawasan seluas 7.369 Ha (68,8%) atas target sasaran 10.700 Ha (Memori Akhir Jabatan Menpera 2004-2009). Memang lingkungan strategis lima tahun lalu akan sangat berbeda dengan lima tahun ke depan, tetapi keprihatinan para pemangku kepentingan yang menjadi hambatan dan kendala serta semangatnya yang menjadi pendorong dan motivator pencapaian sasaran perlu dipelajari untuk menyusun strategi yang lebih baik. Knowledge tersebut perlu dikelola dan didokumentasikan dengan cermat, agar dapat dijadikan rujukan tertulis, bukan sekedar menjadi personal knowledge yang disimpan dalam ingatan dan kenangan pelakunya sendiri sehingga bermanfaat besar bagi upaya menimbun backlog yang semakin besar tersebut.
3. Bagaimana Peran Pemangku Kepentingan Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2007 menyatakan bahwa perumahan merupakan urusan wajib pemerintahan daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Hal tersebut berarti bahwa pemerintah daerah Kabupaten/Kota menjadi ujung tombak dalam melaksanakan kewajiban menjamin perwujudan akan rumah bagi masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke 4
bawah. Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa kemampuan pemerintah Kabupaten/Kota masih banyak yang terbatas. Hal tersebut tampak antara lain dalam potret kemampuan fiskal daerah yang rata-rata masih tergolong sedang, yaitu dari 25% (Tahun 2007) menjadi 23,2% (Tahun 2008) dan yang tergolong rendah, yaitu dari 46,9% (tahun 2007) menjadi 47,6% (Tahun 2008) dari seluruh jumlah Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia. Untuk itu dalam menjalankan amanat UUD 1945 pasal 28H ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”, seluruh pemangku kepentingan baik Pemerintah (Pusat dan Daerah), Para Pengembang/Swasta dan Masyarakat maupun Badan Nirlaba perlu bersatu padu dalam karsa dan karya. Dalam bersinergi, ketiga pilar utama pembangunan perumahan tersebut dapat berupaya mewujudkan keberpihakannya kepada masyarakat menengah ke bawah melalui penerapan konsep kerjasama kemitraan (Gambar 4). Dari gambaran tersebut jelas bahwa dalam membangun perumahan untuk masyarakat yang dilakukan bukan secara swadaya, Pemerintah Daerah bertugas memastikan ketersediaan lahan, Pemerintah Pusat memfasilitasi terwujudnya prasarana dan sarana yang terkoneksi dengan sistem perkotaan, dan Pengembang bertugas membangun rumah beserta parasarana dan sarana lingkungannya. Sementara Perbankan menjadi institusi Gambar 4. yang mem- back up manajemen Skema Pemikiran Public Private Partnership penyaluran dananya. Hasil kerjasama Bidang Pengembangan Perumahan Berbasis ketiga pilar tersebut akan membentuk Kawasan suatu aset daerah dan aset penduduk yang akan berkontribusi melalui perpajakan. Pajak tersebutlah yang akan menjadi sumber dana pembangunan yang diandalkan. Circle tersebut akan mendorong terwujudnya cadangan lahan (land banking) yang mencukupi dan dapat dikelola oleh pemerintah daerah. Lahan tersebut pada saatnya akan dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat menengah ke bawah.
4. Apakah Rumah Susun Mampu Menjawab Persoalan Yang Ada Telah diketahui bersama bahwa perkotaan semakin padat, sementara ketersediaan lahan untuk perumahan semakin terbatas. Dengan demikian perumahan di perkotaan akan sangat sulit dibangun, kecuali dengan pembangunan secara vertikal. Seperti dijelaskan dalam pencapaian lima tahun lalu, pembangunan rumah susun sederhana (rusunawa dan rusunami dengan peran 5
swasta) dicapai 40,1% atau 34.143 unit atas target sasaran 85.000 unit (Realisasi akhir September 2009). Membangun rumah susun di Indonesia, utamanya bagi masyarakat menengah ke bawah memang menghadapi multi kendala. Tidak hanya kendala teknis pembangunan yang relatif lebih dapat dikalkulasi secara matematis, tetapi juga kendala sosial, ekonomi, dan budaya calon penghuninya yang terkadang tidak mudah dikalkulasi dan memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk mensosialisasikannya. Menghuni rumah susun, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah, memerlukan perjuangan ”melawan kultur” yang perlu waktu untuk menyesuaikannya. Untuk itu, pembangunan rumah susun selain memang harus matang dalam perencanaan bangunannya, harus pula disiapkan secara baik aspek kepenghuniannya. Beberapa kasus tidak dihuninya rumah susun sederhana secara optimal menjadi pembelajaran tersendiri bagi pemerintah dan kita semua. Memang beberapa ungkapan tersebut bukan alasan untuk menghindar dari tanggungjawab, tetapi lebih kepada awarness yang perlu disikapi dalam membangun rumah susun bagi masyarakat menengah ke bawah. Sebagai bangsa yang besar, kita harus yakin bahwa untuk jangka panjang, hunian vertikal dapat menjadi solusi pilihan yang mendapat dukungan publik secara luas. Dari uraian singkat tersebut jelas bahwa hunian vertikal bukan satu-satunya alternatif yang dapat menjawab masalah perumahan di perkotaan. Selain hunian vertikal, upaya menghadirkan angkutan massal yang menghubungkan kawasan padat penduduk di pinggiran kota, yang kebanyakan masih landed house, ke tempat mereka bekerja, untuk sementara waktu menjadi alternatif yang masih elok untuk dipertimbangkan. 5. Bagaimana Strategi Agar Perumahan Yang Dibangun Dapat Tepat Sasaran Kalau tepat sasaran diberi makna rumah yang dibangun dihuni oleh yang berhak dan mampu menghuni, maka perlu didata sebenarnya seberapa besar segmen pasar riil kebutuhan rumah, baik yang menengah ke bawah maupun yang menengah ke atas. Namun mencari data seperti itu tidaklah mudah, karena sistem pendataan oleh BPS belum benar-benar match dengan yang diperlukan oleh Kemenpera. Mencari data berapa orang yang berhak dan berapa orang yang mampu menghuni (memiliki) sementara ini masih dilakukan dengan berbagai pendekatan atau bahkan estimasi. Itu pun validitasnya masih perlu diuji. Misalnya jumlah warga masyarakat yang berhak menghuni rumah masih didekati dengan menghitung pertumbuhan penduduk dan rata-rata hunian setiap rumahnya. Dari pendekatan yang dilakukan atau diestimasi tersebut misalnya ketemu angka misalnya 7,4 juta kepala keluarga yang kemudian dimaknakan sebagai 7,4 juta rumah (Estimasi untuk Tahun 2009). Jumlah yang mampu memiliki didekati dengan berbagai pendekatan atau estimasi daya beli, misalnya melalui variabel gaji pegawai, dan tentu ketemu angka yang lebih kecil jumlahnya. Tanpa mengetahui data tersebut rasanya tidak mudah untuk membangun rumah yang tepat sasaran, baik tepat dalam jumlah maupun tepat penghuninya. Belum lagi adanya sikap dan kebiasaan sebagian warga masyarakat yang senang ”menyiasati” peraturan, bukan mentaati
6
peraturan. Misalnya persyaratan untuk mendapatkan bantuan perumahan harus mempunyai bukti penghasilan kurang dari 2,5 juta rupiah per bulan. Persyaratan tersebut bukannya ditaati tetapi justru dicari siasat bagaimana agar bisa mendapatkan dukungan ”aspal” tetapi legal untuk memenuhi syarat tersebut sehingga bisa memiliki rumah dengan cara subsidi, walau sebenarnya mereka itu tergolong warga masyarakat yang tidak patut untuk disubsidi. Ini sudah masalah moral kebangsaan. Banyak lagi contoh penyiasatan dalam berbagai bentuk. Praktek-praktek tersebut semakin menjadikan perencanaan pembangunan rumah agar tepat sasaran semakin jauh dari harapan. Untuk itu pengawasan secara tegas dan penerapan sanksi yang adil, seperti misalnya pembuktian terbalik bagi penghuni rumah bersubsidi atau pencabutan hak bagi yang ternyata di kemudian hari terbukti menyiasati persyaratan yang ditentukan. Apabila penegakan hukum dilakukan dengan tegas, jujur dan adil di bidang perumahan akan dimungkinkan moral hazard seperti tersebut di atas akan berkurang dan bahkan menghilang. Upaya terapi kejut (shock terapi) seperti itu perlu dilakukan, disamping juga pembenahan berbagai peraturan yang masih lemah dan multi tafsir. Di dalam keterbatasan yang ada, tentu perlu dirumuskan strategi pembangunan perumahan yang jitu, termasuk mempertimbangkan ketepatan sasaran penghunian. Strategi dimaksud antara lain dapat berupa: penyusunan kebijakan (NSPK) yang mendorong kondusifitas pembangunan perumahan bagi seluruh pemangku kepentingan, meningkatkan koordinasi dan kerjasama kemitraan dengan seluruh pemangku kepentingan, mendorong perwujudan kelembagaan tingkat daerah dalam menangani perumahan, memanfaatkan sumberdaya perumahan dan iptek serta kearifan lokal bidang perumahan, serta terus mengupayakan perbaikan dan dukungan sistem pembiayaan perumahan, dan juga pendataan dan penegakan hukum di bidang perumahan. Strategi saja belum cukup, tentu harus diikuti berbagai program aksi untuk mewujudkannya. Dalam beberapa hal Kemenpera terlihat terus berbenah. Beberapa kebijakan yang menonjol akhir-akhir ini adalah peluncuran Skim Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang prinsipnya memberi dorongan keringanan dalam kepemilikan rumah dengan kepastian bunga rendah dengan masa tenor yang lebih panjang. Selain itu peluncuran program Dana Alokasi Khusus dalam bidang perumahan yang akan dimulai pada tahun 2011 serta pelaksanaan program Dekonsentrasi yang dimulai tahun 2010 juga ikut mewarnai upaya reformasi program perumahan ke depan. 6. Penutup Mengatasi kekurangan perumahan bagi masyarakat perkotaan bukanlah kerja sesaat, melainkan satu pekerjaan besar yang harus sistematis dan berkelanjutan oleh seluruh pemangku kepentingan. Langkah-langkah untuk mendorong terwujudnya berbagai milestone yang memberikan multiplier effect terhadap penambahan terbangunnya unit rumah perlu terus digali dan dilaksanakan secara sinergis. Karena hanya dengan cara tersebut, kerja keras dan kerja cerdas yang selama ini dilakukan akan membawa hasil.
7