BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI SINGKAT BAPAK PAUJI GINTING.
2.1 Sejarah Terbentuknya Kecamatan Pancur Batu Sebelum tahun 1945 atau pada zaman Pemerintahan Belanda Kecamatan Pancur Batu disebut dengan Sinuan Bungan dengan Ibu Kota Arhnemia. Pada tahun 1952 Gubernur Kepala Daerah Tk.I Sumatera Utara yakni Abdul Hakim mengadakan perubahan Pamong Sipil Kabupaten Daerah Tk.II Deli Serdang secara Administratif yang dibagi atas 6 (enam) kewedanan yang terdiri dari 30 kecamatan , salah satunya adalah Kecamatan Pancur Batu dengan kewedanaan Deli Hulu. Pada tahun 1974 sejalan dengan perluasan Kotamadya Medan bahwa Desa Lau Cih , Desa Namo Gajah , Desa Simalingkar-B , Desa Kemenangan Tani dan sebahagian Desa Baru telah menjadi Kodya Medan hingga sekarang. Pada masa sebelum tahun 1990 Kecamatan Pancur Batu terdiri atas 59 Desa dan atas ketentuan yang membentuk beberapa Desa digabung menjadi satu , sehingga sampai saat ini Kecamatan Pancur Batu menjadi 25 Desa dengan luas areal 11.147,35 Ha. 2.2 Lokasi penelitian Lokasi penelitian yang penulis teliti berada di Kecamatan Pancur Batu yang merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai bengkel instrumen bapak Pauji Ginting, yang bertempat tinggal di Desa Hulu Jl. Dewantara Kecamatan Pancur Batu. Secara Geografis batas-batas wilayah Kecamatan Pancur Batu adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Tuntungan dan Medan Sunggal - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sibolangit - Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Namo Rambe - Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kutalimbaru Jarak Ibu Kecamatan Pancur Batu dengan : - Ibu Kota Propinsi Sumatera Utara sepanjang 17 Km - Ibu Kota Kabupaten Deli Serdang sepanjang 35 Km Dan keadaan alam Kecamatan Pancur Batu adalah datar, landai dan berbukit (dataran tinggi) dengan ketinggian rata-rata 60m diatas permukaan laut, beriklim sedang serta dipengaruhi musim panas dan musim penghujan. Nama-nama Camat yang pernah menjabat di Kecamatan Pancur Batu adalah : No
Nama Camat
Masa Jabatan
1
Damai Gurusinga
1949 s/d 1950
2
Sampuran Manik
1950 s/d 1952
3
Nangkoh Barus
1952 s/d 1960
4
Masa Sinulingga
1960 s/d 1963
5
Tandil Tarigan
1963 s/d 1968
6
Ngalem Suryadi , BA
1968 s/d 1974
7
Zainal Aris , BA
1974 s/d 1976
8
Djelah Simarmata
1976 s/d 1979
9
Drs. Erson Munthe
1979 s/d 1985
10
Drs. Johan Kuasa Barus
1985 s/d 1991
11
Drs. Kalijunjung Simanjuntak
1991 s/d 1993
12
Drs. Herman Sinar Ginting
1993 s/d 1995
13
Drs. Suhatsyah D. Nasution
1995 s/d 1998
14
Drs. Jupiter K. Purba
1998 s/d 2001
Universitas Sumatera Utara
15
Drs. Neken Ketaren
2001 s/d 2005
16
SP. Tambunan, SE
2005 s/d 2008
17
Drs. Haris Binar Ginting
2008 s/d 2010
18
Suryadi Aritonang, S.Sos, M.Si
2010 s/d sekarang
Sumber : Kantor Camat Pancur Batu Profil Kecamatan Pancur Batu, tahun 2009 2.3. Keadaan penduduk Penduduk Kecamatan Pancur Batu pada saat ini berjumlah 77.267 jiwa, yang terhimpun dalam 18.425 Kepala Keluarga (KK). Adapun penduduk yang mendiami Kecamatan Pancur Batu terdiri dari berbagai suku antara lain : Tabel 1 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku No Suku
Jumlah (KK)
1
Suku Karo
6.588 KK
2
Suku Jawa
5.188 KK
3
Suku Minang
808 KK
4
Suku Cina
127 KK
5
Suku Tapanuli Utara
2.331 KK
6
Suku Tapanuli Selatan
1.225 KK
7
Suku Nias
93 KK
8
Suku Tamil
65 KK
Sumber : Kantor Camat Pancur Batu Profil Kecamatan Pancur Batu, tahun 2009 Dari Tabel 1 diatas dapat disimpulkan bahwa di Kecamatan Pancur Batu mayoritas penduduk nya dihuni oleh masyarakat yang bersuku Karo dengan jumlah 6.588 KK dan yang paling sedikit bersuku Tamil dengan jumlah 65 KK 2.3.1. Pekerjaan Penduduk di Kecamatan Pancur Batu memiliki jenis pekerjaan yang beragam, adapun klasifikasi jenis pekerjaan penduduk di Kecamatan Pancur Batu dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan
Universitas Sumatera Utara
No Jenis Pekerjaan
Presentase
1
Petani
72 %
2
Pedagang
12 %
3
Pegawai Negeri Sipil
8%
4
Karyawan
5%
5
Buruh Harian Lepas
4%
Sumber : Kantor Camat Pancur Batu Profil Kecamatan Pancur Batu, tahun 2009 Dari tabel 2 tersebut dapat disimpulkan bahwa pekerjaan yang paling mendominasi di Kecamatan Pancur Batu tersebut adalah sebagai petani, yang mencapai persentase hingga 72% dari total keseluruhan. kemudian diikuti oleh pedagang , pegawai negeri sipil , karyawan dan buruh/ pegawai swasta. Penduduk di Kecamatan Pancur Batu tersebut tergolong memiliki jenis pekerjaan yang beragam. 2.3.2. Agama Penduduk di Kecamatan Pancur Batu menganut agama yang berbedabeda diantara enam agama yang diakui di Indonesia. Untuk melihat komposisi penduduk di Kecamatan Pancur Batu berdasarkan agama yang dianut dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama No Agama
Jumlah
1
Islam
39.374 orang
2
Kristen
37.441 orang
3
Hindu
151 orang
4
Budha
301 orang
Jumlah
77.267 orang
Sumber : Kantor Camat Pancur Batu Profil Kecamatan Pancur Batu, tahun 2009
Universitas Sumatera Utara
Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa mayoritas penduduk Kecamatan Pancur Batu memeluk agama Islam dengan jumlah 39.374 orang dari total populasi yang ada. Sedangkan pada urutan yang kedua yaitu agama Kristen berjumlah sebanyak 37.441 orang dan sisanya menganut agama Hindu dan Budha. 2.4 Sistem Bahasa Sejak berabad-abad yang lampau suku-suku bangsa yang tinggal di berbagai kepulauan di Nusantara memiliki bahasa masing-masing yang dipergunakan dalam pergaulan dan komunikasi antar sesama suku tersebut. Bahasa itu dinamakan sebagai “bahasa daerah” yang disebutkan sesuai dengan suku bangsa yang memiliki bahasa tersebut. 2.5 Sistem Kesenian Kesenian adalah merupakan ekspresi perasaan manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif (Koentjaraniningrat, 1980:395-397). Rohidi (2000:28) mengatakan bahwa berekspresi estetik merupakan salah satu kebutuhan manusia yang tergolong kedalam kebutuhan integratif. Kebutuhan integratif ini muncul karena adanya dorongan dalam diri manusia yang secara hakiki senantiasa ingin merefleksikan keberadaannya sebagai mahluk yang bermoral, berakal, dan berperasaan. Berekspresi melalui kesenian merupakan salah satu aktivitas manusia yang sangat umum dalam setiap kelompok masyarakat pada umumnya.. Dengan demikian kesenian merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam masyarakat
Universitas Sumatera Utara
untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia yang memiliki perasaan indah, senang, gembira maupun perasaan sedih. Suku Karo sebagai salah satu etnik dari beratus etnik yang dimiliki Nusantara tentu memiliki keunikan kesenian tersendiri. Keunikan Kesenian Karo ini lah yang menjadi kebanggaan suku Karo dalam menjalankan tutur budayanya. Untuk itu dibawah ini penulis memapaparkan kesenian-kesenian yang dimiliki oleh masyarakat Karo dalam budayanya. 2.5.1 Seni Sastra Kesusasteraan Karo memiliki dua bentuk, yakni lisan dan tulisan. Namun, sastra bentuk, lisan lebih dikenal dan lebih sering digunakan dibandingkan tulisan. 2.5.1.1Sastra Lisan Pada umumnya dalam berkomunikasi dengan sesamanya, orang Karo mempergunakan bahasa Karo. Dalam berkomunikasi atau pembicaraan seharihari, penggunaan bahasa Karo ini tidak memerlukan suatu bentuk atau susunan dan aturan yang baku, yang penting apa yang dikehendaki atau yang perlu disampaikan bisa dimengerti oleh lawan bicara/pendengar. Namun untuk keperluan tertentu, seperti ungkapan keluh kesah, pembicaraan adat, bernyanyi, dan lain sebagainya dilakukan pemilihan kosa kata yang dianggap paling sesuai. Kosa kata yang dimaksud adalah apa yang disebut oleh orang Karo sebagai cakap lumat (bahasa halus). Cakap lumat adalah dialog yang diselang-selingi dengan pepatah, perumpamaan, pantun dan gurindam. Pemakaian cakap lumat ini sering dipergunakan dalam upacara adat Universitas Sumatera Utara
seperti Upacara perkawinan, memasuki rumah baru, dan dalam pergaulan muda-mudi (ungkapan percintaan). Berdasarkan dari beberapa sumber,, penulis menyimpulkan bahwa seni sastra Karo dibedakan atas beberapa kategori, diantaranya: 1. Tabas-abas (mantra), yaitu sejenis mantra yang diucapkan atau dilantunkan untuk mengobati orang yang sakit. Mantra ini biasanya diucapkan/digunakan oleh seorang Guru sibaso (dukun). 2. Kuning-kuningen, yaitu sejenis teka-teki yang biasa digunakan oleh anakanak, muda-mudi maupun orang tua di waktu senggang, sebagai permainan untuk mengasah otak. 3. Ndung-dungen, yaitu sejenis pantun Karo yang terdiri dari empat baris. Dua baris terdiri dari sampiran, dan dua baris berikutnya merupakan isi. 4. Bilang-bilang, yaitu dendang duka yang merupakan ratapan seseorang yang sedang berduka. Misalnya kerana teringat dengan ibunya yang telah meninggal dunia; ataupun meratapi kekasih yang telah meninggalkan dirinya kerana sesuatu hal. Dahulu Bilang-bilang ini ditulis dengan aksara Karo di sepotong bambu atau kulit kayu, isinya adalah jeritan hati sipenulisnya. Semenjak dahulu bilang-bilang ini biasanya terfokus pada suasana kepedihan/kesedihan. Oleh karena itu ada juga yang mengatakan bilang-bilang sebagai “Dengang duka”. 5. Turi-turin, adalah cerita yang berbentuk prosa yang isinya tentang asal-usul marga, asal usul kampung, cerita tentang orang sakti, cerita lucu, dan lain sebagainya. Turi-turin biasanya diceritakan orang-orang tua kepada anak atau cucunya pada malam hari sebagai pengantar tidur. Beberapa judul ceritanya antara lain: Beru Patimar, Panglima Cimpa Gaborgabor, Gosing si Aji Bonar, dan sebagainya.(ibid & blog Julianus Limbeng)
Universitas Sumatera Utara
2.5.1.2 Sastra Tulis Aksara Karo merupakan salah satu bentuk kekayaan sastra Karo. Menurut sejarahnya aksara Karo bersumber dari aksara Sumatera Kuno yaitu campuran aksara Rejang, Lebong, Komering dan Pasaman. Kemungkinan aksara ini dibawa dari India Selatan, kemudian ke Myanmar/Siam dan akhirnya sampai ke Tanah Karo. Aksara ini hampir mirip dengan aksara Simalungun dan Pakpak Dairi, yaitu berupa huruf silabis (semua huruf atau silabel dasarnya berbunyi a) yang biasa disebut: haka bapa nawa yang merupakan enam silabel pertama. Pada umumnya tulisan atau aksara Karo tempo dulu digunakan untuk menuliskan ramuan-ramuan obat, mantra atau cerita. Tulisan ini di ukir di kulit kayu atau bambu yang di bentuk sedemikian rupa agar dapat dilipat-lipat, dan biasanya huruf-huruf ini diukir dengan menggunakan ujung pisau dan setelah itu tulisan tersebut diwarnai (dihitamkan) dengan bahan baku tertentu.
Gambar 1 . Aksara Karo
Sumber : http://www.wikipedia.com/karo.html 2.5.2 Seni Suara (Vokal) Dalam berkesenian, orang Karo tidak mengenal istilah seni suara (vokal), namun biasanya orang bernyanyi sering disebut rende, dan penyanyi berarti perende-ende. Jika seorang perende-ende juga pandai menari (Landek) Universitas Sumatera Utara
dan sudah biasa bernyanyi sekaligus menari dalam suatu pesta Gendang guroguro aron, maka sebutan uuntuknya telah berubah menjadi Perkolong-kolong.. Kemampuan ini tidak terbatas hanya pada kemampuan menyanyikan lagu-lagu Karo yang bertemakan percintaan atau muda mudi, namun juga mampu menyanyikan lagu-lagu yang bertemakan pemasu-masun (nasihat-nasihat) yang secara teks atau liriknya sangat bergantung kepada konteks suatu upacara. Artinya melodi lagu pemasu-masun memang telah diketahui atau dihapal, namun lirik dari melodi tersebut harus dibuat (dinyanyikan) sendiri oleh Perkolong-kolong tersebut pada saat bernyanyi sesuai dengan konteks upacara yang sedang berlangsung pada saat itu. Diperkirakan pada zaman dahulu masyarakat Karo belum mengenal seni suara secara nyata. Kemudian dalam perkembangannya muncullah lagu-lagu yang dibawakan seseorang sebagai ‘Perende-rende’ (penyanyi). Lagu-lagunya masih cenderung berteme kesedihan, dan lagu ini biasanya dibawakan untuk pengantar sebuah cerita atau memuja seseorang, juga dibawakan untuk menyampaikan doa seperti lagu didong-didong. Sementara dalam perkembangan selanjutnya budaya Karo mengenal beberapa jenis seni vokal diantaranya: • Katoneng-katoneng (nyanyian yang berisikan pengharapan), • Didong didong (nyanyian yang berisikan nasehat-nasehat), • Mangmang (nyanyian yang berisikan doa-doa), • Tangis-tangis (nyanyian ungkapan keluh kesah), • Turi-turin (nyanyian untuk menceritakan sesebuah cerita), • Ende-enden (nyanyian muda-mudi).
Universitas Sumatera Utara
Penyajian seni vokal Katoneng-katoneng dan Ende-enden dilakukan oleh seorang penyanyi dan penari tradisional Karo (Perkolong-kolong) di dalam acara adat dan hiburan. Sementara nyanyian Mangmang dilakukan oleh seorang Guru sibaso (Dukun) di dalam upacara yang berkaitan dengan kepercayaan tradisional (ritual). Sedangkan, nyanyian Tangis-tangis dilakukan pada upacara kematian, dan didong-dong biasanya dinyanyikan dalam upacara perkawinan. 2.5.3. Seni Tari Secara umum, tari pada masyarakat Karo disebut “Landek”. Dalam budaya Karo, penyajian Landek sangat kontekstual. Dengan kata lain, keberadaan Landek ditentukan dengan konteks penyajiannya. Selain itu setiap gerakan-gerakan dalam Landek dalam masyarakat Karo juga berhubungan dengan perlambangan-perlambangan dan makna-makna tertentu.
Adapun beberapa makna gerakan dalam Landek masyarakat Karo adalah sebagai berikut: 1. Gerak tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah, melambangkan tengah rukur, maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum berbuat. 2. Gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah melambangkan sisampat-sampaten, maknanya adalah saling tolong-menolong dan saling membantu. 3. Gerakan tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan ise pa la banci ndeher adi langa sioraten, artinya siapa pun tak boleh mendekat jika belum tahu hubungan kekerabatan, atau sama seperti istilah tak kenal maka tak sayang,
Universitas Sumatera Utara
4. Gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan perarihen enteguh, yaitu mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat, 5. Gerakan tangan ke atas, melambangkan ise pe la banci ndeher, siapa pun tak bisa mendekat dan berbuat secara sembarangan, 6. Gerak tangan sampai ke kepala dan membentuk posisi seperti burung merak, melambangkan beren rukur, yang maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum memutuskan, pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna, 7. Gerak tangan kanan dan kiri sampai di bahu melambangkan beban simberat ras simenahang ras ibaba, artinya mampu berbuat harus mampu pula menanggung akibatnya, atau berarti juga sebagai rasa sepenanggungan, 8. Gerakan tangan di pinggang melambangkan penuh tanggung jawab, dan 9. Gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise pe reh adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli, maknanya tanpa memandang bulu siapa pun manusianya apabila sudah berkenalan akan diterima dengan segala senang hati. Sejauh ini dari beberapa referensi yang penulis peroleh, bahwa konteks penyajian Landek pada masyarakat. Karo secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : 1. Konteks penyajian dalam adat istiadat 2. Konteks penyajian dalam religi/ritual, dan 3. Konteks penyajian untuk hiburan. Pola-pola dasar Landek pada masyarakat Karo terbentuk atas 3 (tiga) unsur, yakni: endek (gerakan menekuk lutut), odak atau pengodak (gerakan langkah kaki), dan ole atau jemolah jemole (goyangan/ayunan badan). Unsur Universitas Sumatera Utara
lainnya yang juga membentuk keindahan tari Karo adalah lempir tan (gemulai tangan), dan ncemet jari (lentik jari). Endek merupakan salah satu unsur penting dalam tari Karo. Endek dibentuk dengan gerakan menekuk lutut kebawah dan kembali lagi keatas. Gerakan itu mengakibatkan posisi tubuh bergerak keatas dan kebawah secara vertikal. Gerakan endek itu harus disesuaikan dengan buku gendang (bunyi gung dan bunyi penganak dalam permainan musik Karo yang sedang mengiringi). Ketepatan posisi endek dalam kaitannya dengan buku gendang merupakan sebuah keharusan untuk memperlihatkan keindahan dalam tari Karo, di beberapa Landek penyesuaian itu bisa terlihat ketika gung dan penganak berbunyi tubuh penari sudah atau sedang berada di posisi atas. Odak atau pengodak adalah gerakan penari ketika melangkah maju dan mundur, maupun melangkah serong kekiri atau kekanan. Odak harus dimulai dengan gerakan kaki kanan, serta dilakukan pada saat gung (Gong) berbunyi. Dalam gerakan odak atau pengodak, unsur endek seperti yang telah dijelaskan di atas harus tetap terlihat, Maksudnya, ketika penari melakukan odak (melangkah), penari tersebut tetap melakukan endek dalam upaya penyesuaian gerakan odak dengan musik. Sementara itu, Ole atau jemolah jemole merupakan gerakan goyangan atau ayunan badan kedepan dan ke belakang, atau kesamping kiri dan kanan. Gerakan ole juga mengikuti bunyi gung dan penganak. Dari penjelasan diatas, diketahui bahawa bunyi gung dan penganak merupakan patokan dasar bagi seorang penari Karo untuk melakukan endek, odak, maupun ole. Sedangkan, unsur-unsur lempir tan maupun ncemet jari merupakan unsur pendukung untuk memperindah tari. Lempir tan diperlukan
Universitas Sumatera Utara
ketika akan membentuk pola gerak tertentu dari tari Karo, misalnya ketika posisi kedua tangan diatas bahu. Sedangkan ncemet jari diperlukan saat melakukan petik (gerakan tangan mengepal), dan pucuk (jari diletakkan dimuka kening penari) terutama pada tari muda-mudi. Dalam tarian Karo, geseran kaki, goyang pinggang/pinggul, dan main mata tidak diperbolehkan, karena dianggap tidak sopan dan melanggar normanorma adat istiadat masyarakat Karo. Idealnya dalam menarikan tarian Karo, gerakan kaki harus dilakukan dengan melangkah atau odak, gerakan pinggang harus mengikuti ayunan badan atau ole, serta pandangan mata penari hanya boleh mengarah diagonal kebawah, tertuju pada lutut pasangan menarinya. Namun belakangan ini, dalam budaya kontemporer Karo, terutama setelah populernya lagu-lagu Karo versi baru, maka terciptalah beberapa tari baru dengan peraturan tertentu, seperti Piso Surit, Tari Terang Bulan, Tari Mbuah Page, dan lain-lain. Dengan demikian secara otomatis terjadi juga perubahan-perubahan norma dalam budaya tari Karo dalam konteks global. Tari pada masyarakat Karo dalam penggunaannya dibedakan dalam tiga bagian, yaitu: 2.5.3. 1 Tari yang Berkaitan dengan Adat/ Komunal Tari yang berkaitan dengan adat adalah tari yang merupakan bagian dari suatu upacara adat. Upacara yang dimaksud adalah upacara memasuki rumah baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Tarian adat yang bersifat komunal biasanya dilakukan oleh kelompok merga atau kelompok sangkep nggeluh, bersama-sama dengan kelompok sukut (pemilik hajatan/tuan rumah), masing-masing kelompok menari dengan posisi berhadap-hadapan.
Universitas Sumatera Utara
Bagi kelompok sukut tarian itu merupakan tarian penyambutan atau penghormatan atas kehadiran tamu-tamu adat. Sedangkan bagi kelompok tamu adat, tarian ini merupakan aktivitas pembuka sebelum mereka menyampaikan kata-kata adat (berisikan pesan dan nasehat) kepada keluarga yang memiliki hajatan.
2.5.3. 2 Tari yang Berkaitan dengan Religi/Ritual Tari yang berkaitan dengan ritual ini biasanya dibawakan oleh seorang Guru sibaso (dukun) dalam upacara ritual. Tari yang dibawakan oleh Guru, disesuaikan dengan keperluan atau jenis upacara yang dilaksanakan. Beberapa tari Karo yang berkaitan dengan upacara ritual adalah; Tari tungkat (tari untuk mengusir roh-roh jahat), Tari njujung baka (tari yang menggunakan keranjang yang berisi sesaji untuk persembahan), Tari seluk (tarian kesurupan), dan lain sebagainya. Upacara yang berkaitan dengan ritual yang dilakonkan oleh Guru sibaso (dukun), adalah berdasarkan tuntunan ilmu atau roh penuntunnya. Kerana ketika seorang guru (dukun) memimpin upacara, biasanya beliau memanggil jinujungnya (junjungan-nya) untuk ‘masuk’ ke dalam dirinya. sehingga gerakan tarinya tidak lagi memiliki struktur yang baku, berbeda dengan pola gerak tari Karo pada umumnya. Tetapi secara umum gerakan yang khas pada tarian ini adalah gerakan murjah-urjah (melompat dengan mengangkat kaki secara bergantian). 2.5.3. 3 Tari Yang Berkaitan Dengan Hiburan Tari Karo yang sifatnya hiburan biasanya ditarikan oleh dua orang atau lebih muda-mudi dengan cara berpasang-pasangan, diantaranya adalah: Tari
Universitas Sumatera Utara
pecat-pecat seberaya, Tari lima serangke, Tari piso surit, Tari roti manis, dan lain sebagainya. Tari-tarian jenis ini pada umunya sudah memiliki komposisi yang baku, dengan kata lain koreografinya telah tersusun dengan tetap. Tari-tarian hiburan lain yang sangat digemari oleh masyarakat Karo, diantaranya adalah Ndikar (tari pencak silat), Adu Perkolong-kolong (tarian yang dibawakan oleh sepasang Perkolong-kolong dan melakukan aksi atau cerita lucu yang menghibur), serta Gundala-gundala (drama tari topeng Karo). 2.5.4. Seni Pahat (Ukir) Walaupun kehidupan masyarakat Karo pada waktu dulu dalam keadaan serba sederhana, namun beberapa orang “Pande tukang” (sebutan bagi orang yang ahli membuat bangunan Karo) mampu menyumbangkan karya-karyanya. Beberapa dari karya itu umumnya dimulai dengan sederhana dan dengan maksud untuk menolak bala, menangkal roh jahat, dan sebagai media yang kemudian dipercaya memiliki kemampuan pengobatan. Kemudian dalam perkembangannya dari waktu ke waktu, kebiasaan membuat ukiran tersebut tidak lagi dipandang dari segi kekuatan daya penangkalnya (mistis) saja. Tetapi lukisan itu telah dipandang sebagai sesuatu yang memiliki nilai keindahan sehingga kemudian dikembangkan sebagai sebuah karya seni. Secara garis besar ada empat tempat dimana karya seni ini biasa ditempatkan, antara lain: • Pada bangunan tradisional Karo seperti rumah adat, jambur, geriken, dan gereta guro-guro aron, • Pada benda-benda pecah-belah seperti gantang beru-beru, cimba lau, abal-
Universitas Sumatera Utara
abal, busan, petak, tagan, kampil, dan alat kesenian, dan • Pada pakaian adat Karo seperti pada uis kapal, uis nipes, dan baju, serta • Ukiran pada berbagai benda perhiasan seperti gelang, cincin, kalung, pisau, ikat pinggang, dan lain sebagainya. Di bawah ini penulis memaparkan beberapa jenis pola dan gambar ukiran masyarakat Karo dan tempat di mana ukiran itu biasa di terapkan. • Ampik-ampik Alas (Indung Bayu-bayu) Motif : Terdiri dari bermacam-macam motif yang bergabung yaitu: Bunga Gundur, Duri Ikan, Tempune-tempune, Pakau-pakau, Anjakanjak beru Ginting dan Pancung-pancung Cekala. Fungsi : Tolak bala / hiasan Tempat : Pada anyaman ayo-ayo rumah adat. Sumber : http://www.gratis45.com/berita/images/ampik.jpg Gambar 2 : Ampik-ampik Alas •
Gambar 3 : Ukiran pada Piso Tumbuk Lada Sunber : http://www.gratis45.com/berita/TumbukLada1.jpg
Universitas Sumatera Utara
http://www.gratis45.com/berita/TumbukLada2.jpg
• Gambar 4 : Tapak Raja Sulaiman Motif :Geometris Fungsi :Tolak bala Tempat :Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, Buku Pustaka Sumber : http://www.gratis45.com/berita/images/sulaiman.jpg • Gambar 5 :Bindu Matagah
Motif :Geometris Pelambang :Tolak bala Tempat :Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, Buku Pustaka Sumber http://www.gratis45.com/berita/images/bindumatagah.jpg Gambar 6 : Pahai Motif : Geometris Pelambang : Tolak bala, Ngenen gerek-gereken Tempat : Kalung anak-anak, Buku Pustaka, dl Sumber : http://www.gratis45.com/berita/images/pahai.jpg
Universitas Sumatera Utara
Gambar 7 : Bindu Matoguh
Motif : Geometris Pelambang : Tolak bala Tempat : Melmelen, Ukat, Gantang beru-beru, dll
Sumber http://www.gratis45.com/berita/images/bindumatoguh.jpg Gambar 8 : Lukisan Suki Motif : Geometris Pelambang : Hiasan Tempat : Ujung kiri dan kanan Melmelen Sumber http://www.gratis45.com/berita/images/lukisansuki.jpg Bila dilihat dari bentuk dan nama ukiran Karo tersebut , beberapa di antaranya tercipta atas dorongan dan pengaruh lingkungan alam, manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Selain ornmen-ornamen di atas masih terdapat beberapa ornamen lain di antaranya adalah: Tupak salah silima-lima, Tupak salah sipitu-pitu, Desa siwaluh, Panai, Bindu metagah, Bindu matoguh, Tapak raja Sulaiman, Pantil manggus, Indung-indung simata, Tulak paku petundal, Lipan nangkih tongkeh, Kite-kite perkis, Tutup dadu/cimba lau, Cenkili kambing, Ipen-ipen, Lukisan suki, Pucuk merbung bunga bincole, Surat buta, Pengretret, Bendi-bendi (pengalo-ngalo), Embun sikawiten, Pucuk tenggiang, Litab-litab Lembu, Lukisan tonggal, Keret-keret ketadu, Taruk-taruk, Kidukidu, Lukisan pendamaiken, Bulang binara, Tanduk kerbau payung, Bunga
Universitas Sumatera Utara
gundur, Raja Sulaiman, Bunga lawang, Tudung teger, Lukisan umang, Lukisan para-para (gundur mangalata), Embun sikawiten II, Tulak paku, Lukisan kurung tendi, Osar-osar, Ukiren sisik kaperas, Galumbang sitepuken, Ukiren kaba-kaba, Likisen tagan, dan masih banyak lagi jenis ornamen yang lain. 2.5.5 Seni Tenun (Mbayu) Pakaian tradisional Karo tentunya merupakan salah satu hasil dari kebudayaan Karo, oleh karena itu, seiring berkembangnya kebudayaan, masyarakat Karo telah memiliki banyak ragam pakaian dengan fungsi-fungsi yang berbeda. Secara tradisional pakaian ini di tenun oleh para wanita Karo dengan menggunakan kembaya (semacam kapas) yang dijadikan benang dan dicelup dengan alat pewarna yang dibuat dari bahan kapur, abu dapur, kunyit, dan telep (sejenis tumbuhan). Secara umum pakaian tradisional Karo dapat dibagi atas tiga kelompok, yaitu: pakaian sehari hari, pakaian untuk pesta, dan pakaian kebesaran. Pakaian yang biasa digunakan pria adalah pakaian dengan model batu gunting cina lengan panjang, tutup kepala yang disebut tengkuluk atau bulang dan sarung, sedangkan untuk wanita terdiri dari baju kebaya leher bulat, sarung (abit), tutup kepala (tudung), dan kain adat bernama Uis Gara yang diselempangkan. Pakaian pesta hampir sama dengan pakaian sehari-hari. Hanya saja, pakaian pesta lebih bersih atau baru dan dikenakan dengan baik, sehingga terlihat lebih sopan, dan pakaian kebesaran terdiri dari pakaian dengan aksesoris-aksesoris yang lengkap serta digunakan pada saat pesta saja, seperti pesta perkawinan, memasuki rumah baru, upacara kematian, dan pesta kesenian. Di bawah ini akan dijabarkan beberapa ragam/jenis Uis yang ada pada
Universitas Sumatera Utara
masyarakat Karo, yaitu antara lain; • Uis Arinteneng Uis Arinteneng terbuat dari kapas atau kembayat yang ditenun. Warnanya hitam pekat hasil pencelupan yang disebut ipelabuhken. Pakaian ini digunakan untuk alas pinggan pasu tempat emas kawin dan tempat makanan bagi pengantin sewaktu acara mukul (acara makan bersama) pada malam hari setelah selesai pesta adat, uis ini juga digunakan sebagai pembalut tiang pada peresmian atau acara adat memasuki rumah baru, dan membayar hutang adat kepada kalimbubu dalam upacara adat kematian. • Uis Julu Bahannya sama dengan bahan Uis Arinteneng. Warnanya hitam dengan corak garis-garis putih berbentuk liris-liris. Keteng-keteng-nya berwarna merah dan hitam dan disebut Keteng-ketang Bujur. Ada juga yang disebut ketengketeng sirat denan diberi ragam corak ukiran serta di sisi ujungnnya terdapat rambut (jumbai). Pakaian ini diguanakan sebagai Gonje (sarung lakilaki), membayar hutang adat (maneh-maneh), nambari (mengganti) pakaian orang tua laki-laki, dan digunakan juga sebagai selimut (cabin).
• Uis Teba Hampir sama dengan Uis Julu. Perbedaannya ialah garis-garis Uis Teba lebih jarang sedangkan Uis Julu lebih rapat. Warnanya hitam, di sisi ujungnya juga memiliki rambut (jumbai). Sama seperti uis Julu ,Uis ini juga digunakan untuk maneh-maneh atau membayar hutang adat bagi perempuan yang Universitas Sumatera Utara
meninggal, tudung bagi perempuan, mengganti pakaian orang tua (bagi ibu), dan alas pinggan pasu tempat emas kawin sewaktu melaksanakan pembayaran kepada pihak mempelai perempuan dalam upacara adat Perkawinan. • Uis Gatip Uis Gatip ini berwarna hitam dan berbintik-bintik putih di tengah, tepian kain warnanya hitam pekat dan ujungnya terjalin dan berumbai. Jenis kainnya lebih tebal sehingga sering disebut dengan Uis kapal (kain tebal). Uis ini dipakai sebagai ose (pakaian) laki-laki pada upacara-upacara adat perkawinan, memasuki rumah baru, guro-guro aron (pesta muda-mudi) dsb. • Uis Jongkit Warna dan bahan Uis ini sama dengan Uis Gatip, hanya saja Uis Jongkit memakai benang emas dengan motif melintang pada bagian tengah kain tersebut, hingga warna dan bentuknya lebih cerah. Penggunaan Uis ini juga sama seperti Uis Gatip, tapi kain inisekarang lebih disenangi dan banyak dipakai pada upacara-upacara adat. • Uis Beka Buluh Warna dasar kain Uis Beka Buluh ini merah cerah, bagian tengah bergaris Kuning, Ungu, Putih dan pada tepian dan ujung kain terdapat motifmotif ukiran Karo yang dibuat dengan benang emas. Kain ini dipakai sebagai Bulang (penutup kepala/topi) pada laki-laki, dan juga dipakai sebagai cekokcekok (penghias bahu) yang diletakan sedemikian rupa pada bahu lakilaki, selain itu kain ini juga biasa diletakkan di atas tudung wanita. • Uis Kelam-Kelam Warnanya hitam pekat, bahan kainnya lebih tipis dari Uis yang lain dan polos tanpa motif, sepintas seperti kain hitam biasa, hanya saja kain ini lebih Universitas Sumatera Utara
keras dibanding Uis yang lain. Uis ini biasa dipakai oleh wanita sebagai tudung pada upacara-upacara adat, tudung yang bahannya dari uis kelam-kelam ini disebut Tudung Teger Limpek dengan bentuknya yang khas dan unik. Memang proses pembuatan tudung ini sangat sulit dan unik, hingga saat ini tidak semua orang dapat membuat tudung ini. • Uis Jujung-jujungen Warnanya merah bersulamkan emas dan kedua ujungnya juga berumbai benang emas, kain ini tidak selebar kain yang lainnya, bentuknya hampir sama dengan selendang. Uis ini biasanya dipakai oleh wanita dan biasanya letaknya diatas tudung dengan rumbainya terletak disebelah depan. Pada saat sekarang uis ini jarang digunakan, dan kebanyakan telah digantikan dengan uis beka buluh. • Uis Nipes Kain ini jenisnya lebih tipis dari kain-kain lainnya dan memiliki bermacam-macam motif dan warna (merah, coklat, hijau, ungu dan sebagainya), uis ini biasa digunakan sebagaiselendang bagi wanita. Gambar 8 . Ragam Uis
Universitas Sumatera Utara
Keterangan gambar : 1. Uis Gatip
4. Uis Kelam-kelam
2. Uis Nipes
5. Uis Teba
3. Uis Jujung-jujungen
6. Uis Jongkit
Selain beberapa jenis Uis yang telah dijelaskan secara singkat di atas, masih terdapat beberapa jenis Uis yang lain, diantaranya :Uis Batu Jala, Uis Gobar Dibata, Uis Pengalkal, dan lain-lain. 2.5.6 Seni Drama Dari beberapa referensi yang penulis peroleh, seni drama tergolong langka pada masyarakat Karo. Kalaupun ada biasanya berhubungan dengan tarian seperti Tari Mondong-Ondong yang berhubungan dengan drama Perlanja Sira (Pemikul Garam), Tari Tungkat dan Tari Guru serta Gundala-gundala (drama tari topeng Karo).
2.5.7 Seni Musik Berekspresi melalui kesenian merupakan salah satu aktivitas manusia yang sangat umum dalam kehidupan bermasyarakat, dengan demikian kesenian merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam sebuah masyarakat untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia yang memiliki perasaan indah, senang, gembira maupun sedih. Salah satu media pengekspresian kesenian tersebut
adalah melalui musik. Musik tersebut dapat berupa musik
instrumentalia, musik vocal, atau gabungan antara keduanya.
Universitas Sumatera Utara
Orang Karo menyebut musik dengan istilah Gendang. Dan dalam masyarakat Karo gendang itu sendiri mempunyai beberapa pengertian, diantaranya; 1. Gendang, sebagai pengertian untuk menunjukkan jenis musik tertentu (Gendang Karo, Gendang Melayu), 2.
Gendang,
sebagai
nama
sebuah
instrumen
musik
(Gendang
singindungi,Gendang singanaki), 3. Gendang, untuk menunjukkan jenis lagu atau komposisi tertentu (Gendang simalungun rayat, Gendang peselukken), 4. Gendang, untuk menunjukkan ensembel musik tertentu (Gendang Lima Sendalanen, Gendang telu sendalanen), 5. Gendang untuk mengartikan sebuah upacara tertentu (Gendang cawir metua, Gendang guro-guro aron).3 Selain itu masyarakat Karo juga memiliki beberapa jenis musik yang biasanya digunakan dalam kesenian tradisionalnya. Ada alat musik yang dimainkan secara bersama-sama (ensambel), ada pula yang dimainkan tunggal (solo). Selain alat musik, terdapat pula beberapa genre musik vocal (nyanyian), baik yang dinyanyikan secara solo, maupun diiringi alat musik. 2.6 Sistem Kekerabatan System kekerabatan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari yang terwujud pada sikap dan perilaku, fungsi dan tanggungjawab suatu keluarga dengan keluarga lainnyasecara menyeluruh sehingga seluruh keluarga terintegrasi di dalam system kekerabatan masyarakat tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Kekerabatan terbentuk karena terjadinya perkawinan antar keluarga. Sehingga terbentuk keluarga baru disamping keluarga yang lama. Dengan demikian terjadilah pertukaran kedudukan dan fungsi. Dalam masyarakat Karo, terdapat suatu sistem kekerabatan atau biasa disebut sebagai Sangkep Nggeluh yang di dalamnya terdiri dari 4 unsur yakni: Sembuyak, Anak Beru,Kalimbubu, Senina. 2.6.1 Sembuyak Sembuyak adalah mereka yang satu subclan, atau orang-orang yang seketurunan (dilahirkan dari satu rahim), tetapi tidak terbatas pada lingkungan keluarga batih, melainkan mencakup saudara seketurunan di dalam batas sejarah yang masih jelas diketahui. Saudara perempuan tidak termasuk sembuyak walaupun dilahirkan dari satu rahim, hal ini karena perempuan mengikuti suaminya. Peranan sembuyak adalah bertanggungjawab kepada setiap upacara adat sembuyak-sembuyaknya, baik ke dalam maupun keluar. Bila perlu mengadopsi anak yatim piatu yang ditinggalkan oleh saudara yang satu clan. Mekanisme ini sesuai dengan konsep sembuyak, sama dengan seperut, sama dengan saudara kandung. Satu subclan sama dengan saudara kandung. Sembuyak dapat dibagi dua bagian 1.
Sembuyak berdasarkan tutur. Mereka bersaudara karena sesubklen (merga).
2.
Sembuyak berdasarkan kekerabatan, ini dapat dibagi atas: 1. Sembuyak Kakek adalah kakek yang bersaudara kandung. 2. Sembuyak Bapa adalah bapak yang bersaudara kandung. 3. Sembuyak Nande adalah ibu yang bersaudara kandung. Universitas Sumatera Utara
2.6.2 Anak Beru Anak beru adalah status suatu keluarga lain bila pihak keluarga laki-laki keluarga yang bersangkutan kawin atau mengambil anak perempuan keluarga tersebut. Golongan anak beru memiliki jenjang atau tingkatan derajatyang dibedakan berdasarkan keturunan atas perkawinan, untuk dapat membedakan satu dengan yang lainnya antara lain. : a. Anak Beru taneh : golongan anak beru yang ikut mendirikan suatu kampong, atau pihak pertama sekali memerima pihak perempuan ketika suatu kampong baru saja selesai didirikan. Anak beru demikian disebut juga anak beru singian rudang, karena begitu lama hubungan kekerabatannya. b. Anak beru tua : anak beru langsung dari turunan, yang secara terus menerus selam tiga generasi menjadi anak beru yang kemudian dinyatakan sebagi anak beru nenek. c. Anak beru sincekuh baka tutp : anka beru langsung dari keluarga ayah, yaitu anak laki-laki dari saudara perempuan kandung ayah, golongan ini biasa juga disingkat anak beru cekuh baka, yang artinya tidak sungkansungkan lagi melakukan apapun di rumah kalimbubunya, biasanya anak beru demikian minimal telah dua kali mengambil dara dari kalimbubunya tersebut. d. Anak beru iangkip atau anak beru iperdemui : anak beru langsung karena terjadi perkawinan. e. Anak beru menteri : Anak berunya anak beru f. Anak beru singukuri : \Anak berunya Anak beru menteri 2.6.3.Kalimbubu
Universitas Sumatera Utara
Kalimbubu adalah pihak keluarga dari perempuan yang dikawini oleh seorang pria yang kemudian menempatkan nenek, ayah, dan anak-anak serta semua keluarga pihak perempuan menjadi golongan kalimbubu. Kedudukan Klaimbubu sangat dihormati sehingga disebut sebagai “Dibata ni idah” yang artinya Tuhan dapat dilihat. Status kalimbubu dapat dibedakan menurut asal dan tingkatnya adalah a. Kalimbubu
taneh/kalimbubu
simajek
lulang/kalimbubu
bena-
bena/kalimbubu tua : kalimbubu yang sudah memiliki hubungan sejak tingkat nenek atau minimal tiga generasi, dalam hal ini termasuk saudara, anak dan cucunya. b. Kalimbubu simada dareh/simupus :ayah atau saudar laki-laki dari ibu seseorang. c.
Kalimbubu iperdemui : kalimbubu langsung karena mengawini seorang perempuan dalam hal ini termasuk bapak, saudara dan anak dari keluarga pihak perempuan yang dijadikan istri tersebut.
2.6.4 Senina Senina adalah golongan yang unsure-unsurnya diambil dari golongan ayah atau bias juga juga dari hubungan lain, namun memiliki hubungan analog denga keluarga ibu dari isteri dan anak. Terdapat empat nama senina yang penyebab keberadaannya hampir sama dengan cirri yang telah disebutkan diatas antara lain a. Senina sepemeren : senina yang disebabkan berdasarkan karena ibu bersaudara. b. Senina siparibanen : disebabkan karena isteri bersaudara
Universitas Sumatera Utara
c. Senina Sepengalon (Sendalanen) persaudaraan karena pemberi wanita yang berbeda merga dan berada dalam kaitan wanita yang sama. Atau mereka yang bersaudara karena satu subclan (beru) istri mereka sama. Tetapi dibedakan berdasarkan jauh dekatnya hubungan mereka dengan clan istri. Dalam musyawarah adat, mereka tidak akan memberikan tanggapan atau pendapat apabila tidak diminta. d. Senina sicimbangen : di sebabkan karena suami bersaudara. 2.7 Sistem Kepercayaan Pada awalnya masyarakat Karo memeluk kepercayaan animism dan dinamisme. Menurut kepercayaan ini yang disembah adalah para begu yang terdapat pada tempat- tempat keramat, seperti gunung, batu besar, sungai dan pohon besar, atau tempat-tempat yang tidak lazim lainnya. Dengan memberikan persembahan da sessajian seperti jeruk purut, jeruk manis, kemenyan, daundaun serta rempah-rempah lainnya yang ditaruh dia atas akan memberikan berkatnya pada manusia. Kemudian timbul keyakinan atas Dibata (Dewata1), yang menurut kepercayaan mereka adalah sama dengan para dewa, yang memiliki teritorial masing-masing baik secara imajiner maupun realita. Masyarakat Karo membedakan Dibata kedalam dua jenis, yaitu: Dibata yang kelihatan dan kasat mata (Dibata Idah) dan Dibata yang tidak dapat dilihat (Dibata La Idah). Selanjutnya Dibata La Idah, terbaga atas: Dibata Atas (Dibata Idatas) yang bernama Batara Guru2 y7ang berkuasa disunia atas atau langit yang dapat diidentikkan dengan surge, Dibata Tengah (Dibata Itengah) atau Tuhan Paduka Ni Aji yang berkuasa didunia tengah atau bumi sebagai dunia manusia, dan
Universitas Sumatera Utara
Dibata Bawah (Dibata Iteruh) atau sering juga dinamakan Banua Koling3 yang berkuasa didunia bawah yang dapat diidentikkan dengan neraka. Pembahasan akan dilakukan secara menyeluruh mengenal Debata Si Telu beserta unsure kekuatan yang menyertainya agar gambaran tentang mereka menjadi lebih jelas. Jauh sebelum dunia ini tercipta, ketiga anggota para dewa, Dibata Si Telu yaitu Batara Guru, Tuhan Padukah Ni Aji dan Tuhan Banua Koling serta Sinarmataniari sudah ada. Dibata la Idah dari Dunia atas menurunkan Tuhan Banua Koling ke dunia bawah untuk memrintah dan berkuasa di sana. Tuhan Padukah Ni Aji diutus ke dunia tengah dan mengizinkannya
untuk
menciptakan
dunia
serta
menguasai
serta
memerintahnya. Sesampainya didunia tengah, maka Tuhan Padukah Ni Aji pun menciptakan angin topan untuk meniup dan merusak bumi. Sinarmataniari melihat kemarahan, kejengkelan hati dan pikiran Tuhan Banua Koling atas Bumi yang diciptakan Tuhan Padukah Ni Aji itu. Lalu dia memanasi bumi yang masih muda lagi lembekitu sehingga menjadi berkembang dan terjadilah gunung-gunung, bukit dan lembah-lembah yang berisi air, terjadilah pemisahan darat dan laut. Demikianlah cara terbentuknya bumi. (Tarigan 1990 :82:84). Konsepsi kosmologi tersebut analog dengan susunan masyarakat dan kekerabatan. Meskipun masyarakat Karo tidak member nama khusus kepada kepercayaannya, tetapi misionaris Kristen menamainya Perbegu (orang yang percaya kepada begu). Masyarakat Karo membedakan antara begu dengan tendi. Begu adalah arwah dari orang yang telah meninggal dunia, sebaliknya tendi adalah jiwa (arwah) orang yang masih hidup. Sebagai reaksi atas penamaan perbegu, maka setelah kemerdekaan Indonesia ketua-ketua adat Karo menamakan kepercayaan tersebut sebagai agama asal (Pemena). Sampai
Universitas Sumatera Utara
sekarang kepercayaan ini masih dianut sebagian masyarakat, mereka disebut perbegu, perodak-odak, dan perijinujang. Selain dari Dewa-dewa diatas terdapat beberapa sembahan lain yang disebut biak, seperti dewa penjaga tanah (sibiak taneh), sibiak kerangen, dewa penjaga rumah (sibiak jabu), sibiak kesain, sibiak juma dll. Ada kalanya orang yang meninggal dikatakan sebagai “ Dibata “ yaitu seseorang yang disebut jenujung (yang dijunjung). Akan tetapi mereka ini tidak sama kekuasaanya dengan Dibata utama. Masyarakat Karo melalui kepercayaannya juga mengenal sejenis surge dan neraka. Surga digambarkan sebagai kehidupan dibawah pohon beringin (Jabi-jabi juma ajar) yang menjadi tempat bersandar, akar gantung tempat ayunan, daunnya menjadi pelindung terhadap hujan dan matahari. Sebaliknya neraka digambarkan sebagai kehidupan dibawah pohon jeruk yang patah pucuknya. Berbagai upacara agama sangat besar dalam masyarakar Karo seperti erpanger kulau, ndilo wari dan lain sebagainya. Pimpinan upacara dikenal dengan sebutan Guru atau Sibaso. Kitab suci mereka adalah Pustaka, salah satu diantaranya adalah pustaka yang asli (Pustaka Na jati). 2.8 Biografi Singkat Bapak Pauji Ginting Pada Sub Bab ini, penulis akan membahas tentang riwayat hidup bapak Pauji Ginting, terutama yang berkaitan dengan peranan beliau sebagai pemusik dan pembuat alat musik tradisioanal Karo. Biografi yang akan dibahas disini hanya berupa biogarfi ringkas, artinya hanya memuat hal-hal umum mengenai kehidupan bapak Martuah Saragih dimulai dari masa kecil hingga masa kehidupannya sekarang ini, temasuk pula pengalaman beliau sebagai pemusik tradisional Karo, sebagai pembuat instrumen musik tradisional Simalungun, dan pengalaman berkesenian lainnya. Biografi yang di bahas di sini sebagain besar
Universitas Sumatera Utara
adalah hasil wawancara dengan bapak Pauji Ginting, dan juga wawancara dengan saudara-saudara beliau, sahabat-sahabat beliau dan keluarga beliau, dan juga beberapa musisi tradisional dan seniman musik. Hal ini dianggap perlu untuk melengkapi dan menguji keabsahan biografi beliau. Pauji Ginting lahir di Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, pada tanggal, anak dari ayah bapak J. Ginting dan ibu S. br Karo. Pauji lahir dari keluarga pengerajin dan tukang bangunan rumah adat Karo,dimana ibu beliau adalah seorang pembuat alat-alat kerajinan karo seperti ukat, tagan beru-beru, abal-bal dll, sedangkan ayah beliau dahulunya adalah seorang tukang bangunan rumah adat Karo sehingga keterampilan-keterampilan tersebut kini diturunkan kepada beliau. Bapak Pauji ginting mempunyai 5 saudara yang terdiri dari 4 pria dan 2 perempuan, dari semua saudara beliau hanya Bapak Pauji Ginting yang mempunyai keahlian dalam membuat kerajinan karo dan alat music tradisional Karo terlebih-lebih Kulcapi. Sebelum membuat Kulcapi beberapa profesi sudah didalami beliau bahkan beberapa diantaranya tidaklah berhubungan dengan profesi yang dijalankan beliau sekarang ini, seperti tukang bangunan, Namun seiring dengan berjalannya waktu Bapak Pauji Ginting kemudian mulai mendalami cara pembuatan alat kerajinan karo, seperti miniature rumah adat karo, gumbar, kalender Karo. Maka dari profesi diatas kemudian muncul benak beliau untuk membuat alat music tradisional karo yang awalnya dengan meliahat bentuk kulcapi buatan Bapak Njayam Sinulingga seorang pembuat kulcapi dari desa Lingga.
Universitas Sumatera Utara
Awalnya Kulcapi buatan Bapak Pauji Ginting belumlah memnuhi standar kulcapi pada umumnya mulai dari bentuk hingga suara yang dihasilkan, namun berkat petunjuk dari seorang pemain Kulcapi senior yaitu Jasa tarigan, maka secara lambat laun Bapak Pauji Ginting mulai menyempurnakan Kulcapi buatannya baik dari segi bentuk maupun suara yang dihasilkan, bahkan salah satu Kulcapi yang dipakai Jasa Tarigan sekarang ini adalah Kulcapi buatan Bapak Pauji Ginting. Kini Kulcapi buatan Bapak pauji Ginting sudah mulai merambat ke berbagai penjuru baik daerah maupun ke tingkat nasional seperti ke TMII (Taman Mini Indonesia Indah), Jakarta, Museum GBKP di Taman Jubelium Suka Makmur, Deli Serdang,
Gedung Kesenian Karo program Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Karo, bahkan sampai ke luar negeri yaitu negara Belanda, sedangkan untuk memasarkan hasil produksi barang-barang produksi dan alat music tradisional karo buatan Bapak Pauji Ginting, beliau dan beberapa teman-teman dekat beserta beberapa mahasiswa beliau mendirikan sebuah Galleri yang diberi nama “Galleri Mejuah-juah”. Hingga kini Galleri mejuah-juah sudah memasarkan produkproduk Kerajinan Karo dan alat music tradisional Karo ke berbagai daerah maupun kelompok-kelompok pecinta kerajinan kebudayaan Karo.
Sambil membuat Kulcapi dan alat music tradisional Karo lainnya, Bapak Pauji Ginting juga mempelajari cara memainkan Kulcapi hingga kini selain membuat Kulcapi beliau juga berprofesi sebagai pemain Kulcapi yang sudah siap mengiringi permainan kulcapi yang dikolaborasikan dengan music keyboard maupun ansambel gendang kulcapi
Universitas Sumatera Utara