MENGEMBANGKAN PEMIKIRAN, SIKAP, DAN PERILAKU TERHADAP DIALEK BAHASA DAERAH SEBAGAI IDENTITAS LOKAL DALAM TATANAN SOSIAL DENGAN PRINSIP MULTIKULTURALISME Sugeng Adipitoyo Melewati Perdebatan Monografis dan Demografis Bahasa Daerah dan Dialeknya Perdebatan tentang data dan statistik serta perubahan bahasa daerah dan dialeknya sampai kini terus berkembang. Perdebatan semacam itu selalu mengisi ruang diskusi bidang dialektologi dan/atau statistik bahasa sampai kini dan di mana saja. Walaupun tanpa penyelesaian, kerap kali diskusi itu sangat memuaskan dengan segala bentuk pengakhirannya. Data dan statistik yang bersifat monografis yang dibawa oleh peneliti kerap berbantahan terutama dengan penjelasan penutur suatu bahasa daerah atau dialeknya. Data perubahan baik penutur maupun bahasa daerah dan juga dialeknya yang bersifat demografis kerap berbenturan antarpandangan peneliti dan juga dengan pandangan orang setempat, yang dimungkinkan karena implikasi penjelasan yang berisi ancaman bertolak belakang dengan harapan. Biarkanlah ruang diskusi bidang tersebut tetap ramai sesuai harapan Kurath (1972), Ayatrohaedi (1983), Keraf (1984, 1990), Mahsun (1995), Fernandes (1996), dan ahli lainnya selaras dengan kemajuan hasil pemikiran mereka dan penerusnya. Pelewatan ruang itu tidak semata-mata untuk menghindari keramaian perdebatan yang dirasa tidak bermanfaat, tetapi ruang diskusi bidang yang memperdebatkan pengembangan pemikiran, sikap, dan perilaku warga negara terhadap bahasa daerah dan dialeknya di negeri ini telah lama menunggu sejak kemerdekaan belum diraih. Pandangan-pandangan dalam perdebatan di ruang diskusi bidang ini tentu saja tidak hanya memberitakan korosi-korosi sosial (social corrosions) yang berkonsekuensi ke arah deformasi sosial (social deformation) oleh faktor bahasa daerah dan dialeknya, tetapi jauh lebih mendalam memikirkan hakikat kepemilikan bahasa daerah dan dialeknya sebagai anugerah dari kodrat/takdir sosial (social destiny) dan juga warisan sosial (social heritage) yang menjadi martabat (dignity) yang dijunjung tinggi sebagai kebanggaan (pride) dan/atau kehormatan (honor). Membaca Peta Gelap Pemikiran, Sikap, dan Perilaku terhadap Bahasa daerah dan Dialeknya Bukan pertanyaan yang sulit untuk dijawab, jika ada yang menanyakan bagaimanakah pemikiran, sikap, dan perilaku warga negara terhadap bahasa daerah dan dialeknya di negeri ini. Walaupun sudut itu tidak sering menjadi incaran para ahli bahasa, tetapi potret-potret keseharian di berbagai penjuru negeri ini selalu mengemuka tampil tanpa sensor baik di layar televisi maupun di layar sosial (social screen). Stereotipe-stereotipe berbagai etnis yang muncul dari stigma-stigma justeru kerap menjadi tontonan sehari-hari untuk produksi dan konsumsi hiburan. Apakah itu sebuah jalan menuju “aku dan kau berbeda, tersenyumlah”? Tidak ada implikasi ke arah tersebut, yang muncul perendahan (indignity) dan penghinaan/pelecehan (humiliation), terhadap “kau”. Menjadikan bahan tertawaan bahkan mengarah kepada pem-bully-an Orang Jawa (terutama Orang Banyumas) di kawasan Jakarta baik dalam layar sosial maupun layar kaca, ejekan dan olok-olokan Orang Surabaya terhadap Orang Madura di berbagai wilayah Surabaya, dan mungkin juga terjadi pada etnis-etnis yang lain di tempat yang berbeda telah menjadi pemandangan yang dianggap wajar. Hal itu tidak berbeda dengan film-film opera sabun colek Hollywood pada era 1980-an yang mengisahkan kerendahan, kehinaan, dan keterbelakangan/kebodohan serta 1
kekerasan kulit hitam yang dioposisikontraskan dengan kulit putih di kawasan kota-kota besar di Amerika Serikat. Fakta-fakta di atas masih mengindikasikan adanya ketegangan terselubung, tersembunyi, atau tidak tampak (latent, hidden, or unseen tension). Bentuk-bentuk presentasi pemikiran dan sikap tersebut setingkat lebih tinggi daripada saling diam (silence) atau saling membiarkan (ignorence). Pada tahapan awal tatanan sosial pluralitas kultural presentasi itu merupakan ekspresi saling menyapa, mengenali, dan peduli. Akan tetapi, perlu diingat kondisi semacam itu masih bisa membawa ke arah seperti pembantaian etnis Madura pada dua kawasan di Kalimantan awal 2000 atau seperti pertikaian antardesa di pinggiran Jakarta dan juga di kawasan Nusa Tenggara beberapa bulan yang lalu. Presentasi pemikiran dan sikap pada hal di atas tidak berbeda dengan presentasi pemikiran dan sikap terhadap bahasa daerah dan dialek. Orang Jawa menertawakan Orang Madura ketika bertutur dengan bahasanya, Orang Jakarta menggunjing Orang Jawa saat berbicara dengan bahasa Jawanya, Orang Batak yang menunjukkan kesinisannya kepada Orang Papua saat berbahasa daerahnya, serta Orang Jawa Jogjakarta menertawakan Orang Jawa Banyumas saat berbincang dengan dialeknya, Orang Jawa Surakarta menggunjing Orang Jawa Surabaya saat berseloroh dengan dialeknya, dan kasus-kasus seterusnya yang serupa menjadi potret sosial yang tidak merelakan perbedaan (difference). Pada potret tersebut perbedaan bukan saja dianggap sebagai hambatan dan pertentangan, tetapi lebih jauh ditempatkan pada cacat sosial yang membawa ke arah prasangka sosial (social prejudice). Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika di negeri ini masih diliputi seperti prasangka Orang Aceh terhadap Orang Batak, prasangka Orang Batak terhadap Orang Lampung, prasangka Orang Sunda terhadap Orang Betawi, prasangka Orang Jakarta terhadap orang Jawa, prasangka Orang Jawa terhadap Orang Madura, prasangka Orang Madura terhadap Orang Bali, dan seterusnya. Potret-potret di atas menunjukkan masih berjalannya pemikiran, sikap, dan perilaku yang menghendaki monokulturalitas. Tentu saja dalam hal itu, yang besar dan yang kuatlah yang menguasai. Budaya dominan selalu mendominasi yang subordinasi. Bahasa daerah yang besar mendominasi bahasa daerah yang kecil. Dialek bahasa daerah yang besar menindas dialek yang kecil. Dalam kondisi semacam itu seakan dijalankan prinsip anti-eksistensi baik secara sadar maupun tidak dalam kesadaran. Peta gelap di atas masih ditambah lagi pada belahan yang lain, yakni dalam praktik penyelenggaraan negara yang bermanis di bibir menylogankan antidiskriminasi. Hukum formal antidiskrimasi masih kerap dilawan dengan produk-produk legislasi yang lain dan juga praktik-praktik oleh para eksekutif penyelenggara negara yang justeru diwarnai antidiferensi; kehidupan dialek suatu bahasa daerah masih kerap dipandang oleh penyelenggara negara di bidang pariwisata dan budaya serta pendidikan menyulitkan kebijakan yang disusun. Tampaknya pemerintah tidak mau bersulit-sulit mengurus dialek, walaupun produk-produk industri seni lokal dengan permodalan dialek selalu berkembang. Menertibkan Pemahaman tentang Dialek sebagai Kodrat Sosial dan Identitas Lokal Siapapun tidak bisa menolak untuk dilahirkan Jawa, Sunda, Bali, Madura, Batak, Ambon, dan seterusnya. Sebaliknya siapapun tidak bisa memesan untuk dilahirkan Menado, Cina, Betawi, Banten, Arab, dan sebagainya. Jika anak Orang Jawa dilahirkan di wilayah sosial yang menggunakan bahasa Jawa, maka anak akan berkembang dengan sendirinya mampu berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Jika peranakan Arab 2
dilahirkan di wilayah sosial yang menggunakan bahasa Madura, maka akan berkembang dengan sendirinya mampu berkomunikasi dengan bahasa Madura. Atau seperti Daniel Sahuleka (penyanyi dunia yang menetap di Belanda) yang keturunan Ambon dilahirkan di wilayah sosial yang menggunakan bahasa Jawa, kemudian Belanda, lantas Inggris, maka berkembanglah selaras dengan wilayah sosial penggunaan bahasa itu, yang tidak berbeda dengan Untung Surapati keturunan Ambon yang mencuat menjadi tokoh besar (sekarang pahlawan) di Pasuruan Jawa Timur saat penjajahan Belanda. Seperti Daniel, terdapat sederet nama terkenal misalnya Kristin Laura Kreuk (aktris dan model Kanada), Lulu Antariksa (aktris Nickelodeon), Carmit Bachar (berdarah Minang, aktris Hollywood), Mark Paul Gosselaar (aktris detektif Hollywood), Michelle Branch (gitaris Arizona), dan yang lain ---bila diperlukan informasi dilengkapi. Demikian juga, seperti Untung Surapati terdapat nama-nama misalkan Sunan Ampel, Sunan Gresik (Makhdum Ibrahim), dan sebagainya. Ilustrasi di atas menunjukkan bagaimana ras sebagai warisan genetis (genetic heritage) dan bahasa sebagai warisan sosial (social heritage) bisa saling bertukar. Berikutnya gambaran di atas juga memperlihatkan takdir/kodrat sosial (social destiny) berupa bahasa dan juga dialek lebih banyak mewarnai kehidupan seseorang. Walaupun demikian, bahasa daerah dan/atau dialeknya sebagai kodrat sosial selalu menjadi identitas personal bagi pewaris genetis. Sangat kurang mungkin terjadi sebaliknya, seperti halnya Orang Cina, Orang Arab, atau Orang Madura, Orang Menado, Orang Bali, dan seterusnya yang hidup di tanah Jawa dan mampu berbahasa Jawa, tidak menjadikan bahasa Jawa sebagai identitasnya. Pengelompokan individu pewaris genetis beserta bahasa daerah atau dialeknya sebagai kodrat sosialnya yang menentukan bahasa daerah sebagai identitas regional atau dialek suatu bahasa daerah sebagai identitas lokal. Pada posisi semacam itu baik bahasa daerah maupun dialek menjadi martabat (dignity) yang dijunjung tinggi sebagai kebanggaan (pride) dan/atau kehormatan (honor). Etnis manapun yang memiliki bahasa daerah sebagai identitas akan tersinggung, jika ada kelompok lain baik dari dalam (in group) maupun dari luar (out group) melakukan penghinaan (humiliation) atau perendahan (indignity) terhadap bahasa dan/atau dialeknya. Hal di atas tentu tidak terjadi sebaliknya ketika bahasa daerah dan/atau dialeknya tidak berposisi sebagai identitas seperti bagi yang bukan pewaris genetisnya. Sebut saja George Queen (ahli sastra Jawa dari Autralia National University), Bernard Arp (ahli sastra Jawa dari Leiden University), Kitsie Emerson (pesinden dari Amerika serikat), Hiromi Kano (pesinden dari Jepang), atau peranakan Cina di yogyakarta, peranakan Bali di Surabaya, dan seterusnya yang hanya menjadikan bahasa daerah Jawa atau dialeknya sebagai sarana komunikasi mereka. Mereka itu tidak akan merasa terhina dan terlecehkan ketika ada penghinaan dan pelecehan terhadap bahasa Jawa atau dialeknya. Keniscayaan Pluralitas Kultural: Menggerakkan Pemikiran, Sikap, dan Perilaku terhadap Bahasa daerah dan Dialeknya Bersandar kepada Prinsip Multikulturalisme Siapapun tidak bisa memungkiri atas kehidupan sosial di negeri ini yang dipenuhi keberagaman budaya –bukan saja keragaman, dan bukan keseragaman, karena warisan nenek dan kakek moyang. Jika negeri ini dipahami memiliki kehidupan sosial yang dipenuhi keberagaman budaya, maka keragaman budaya yang ada selalu didapati ragam-ragam di dalamnya. Seperti bahasa Jawa didapati adanya dialek Banyuwangi (Using), Tengger, Tapal Kuda, Surabaya, Tuban, Surakarta, Yogyakarta, Banyumas, Semarang, dan dialek Jawa di luar daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, seperti bahasa Jawa dialek Bawean, Kamal, Banten, 3
Lampung, serta dialek di luar negeri, seperti Malaysia, Kaledonia Baru, dan Suriname. Apa yang terdapat dalam bahasa Jawa, tidak berbeda dengan yang ada pada bahasa Madura, Sunda, Betawi, Batak, Bali, dan bahasa daerah yang lainnya. Pemikiran, sikap, dan perilaku seperti apakah yang patut dikembangkan dalam kehidupan sosial yang dipenuhi keragaman dan keberagaman budaya seperti di negeri ini? Memang siapa saja tidak bisa secara serta-merta meniru keberhasilan perjalanan politik etnis seperti di negeri Inggris, Amerika, atau Australia, tetapi setidak-tidaknya catatan perjalanan tersebut menyisakan sebuah formulasi yang bisa dijadikan pedoman untuk melangkah. Negara-negara di atas telah mengalami sejarah panjang dalam menangani keragaman budaya. Catatan perjalanan mereka pun bermacam-macam, ada yang harus melalui singularisme kultural seperti sejarah panjang Inggris, ada yang melalui monokulturalisme dan pluralisme kultural sebagaimana perjalanan Amerika. Tentu saja tidak perlu dicatat, tetapi tetap menjadi ingatan dan peringatan adalah sejarah perjalanan Uni Soviet dan Yugoslavia. Secara ringkas perjalanan sejarah penanganan pluralitas kultural dapat digambarkan kurang lebih di bawah ini. GERAKAN IDEOLOGIS Singularisme Kultural Monokulturalisme Pluralisme Kultural
PRINSIP Non-eksistensi Anti-eksistensi Ko-eksistensi
Multikulturalisme
Pro-eksistensi
TINDAKAN Mengistimewakan Saling menghina bahkan mematikan Saling memahami, tetapi mengutamakan yang dominan Saling mendukung, bahkan membantu kelangsungan hidupnya
Formulasi yang muncul dari pengalaman negara-negara yang telah mengalami sejarah panjang dalam menangani keragaman budaya adalah gerakan multikulturalisme. Multikulturalisme di negeri-negeri itu merupakan imperativa sosial terhadap kehidupan pluralitas kultural. Jika di negeri ini dipandang tidak ada imperativa sosial yang mengarahkan kepada gerakan multikulturalisme, bukan berarti tidak halal dilaksanakan prinsip tersebut. Tentu saja siapapun tidak akan menunggu adanya peristiwa sebagaimana terjadi pada masa lalu seperti pembantaian seratus ribu etnis Cina di Banten dan dua puluhsatu ribu etnis Cina di Sala sebelum masa kemerdekaan, pembasmian seribu seratus delapanpuluh sembilan etnis Madura di Sambas 1999 oleh etnis Melayu, seribu etnis Madura di Sampit 2000 oleh Etnis Dayak, dan pertikaian antaragama di Ambon 1999 dengan korban 688 nyawa dan 1500 orang hilang, atau seperti digambarkan Varshney (2002) yang terjadi di belahan dunia yang lain seperti pembantaian kaum muslim Bosnia Herzegovina, dan juga permusuhan yang sudah lama seperti Hindu-Muslim di India, Kroasia-Serbia, Arab-Yahudi, Kulit Putih-Kulit Hitam di Amerika, Katolik-Protestan di lrlandia, dan Hutu-Tutsi. Memang tidak sebanding lurus penanganan konflik ras, etnis, dan agama dengan penanganan konflik bahasa daerah dan juga dialek-dialek bahasa daerah. Akan tetapi, kerap kali menunjukkan konflik ras, etnis, bahkan juga agama berindikasi bermula, berisi, dan berakhir masalah penanganan bahasa. Oleh sebab itu, gerakan ideologis multikulturalisme dengan prinsip pro-eksistensi juga menjadi keniscayaan untuk menangani keragaman dan keberagaman bahasa daerah di negeri ini. Gerakan ideologis multikulturalisme akan meniadakan berbagai hal yang sejak lama menghantui negeri ini sejak kemerdekaan, seperti chauvinisme atau etnosentrisme/primordialisme sempit/sukuisme. Tentu saja ideologi ini akan juga memudarkan partikularisme, eksklusivisme, ekstremisme, dan elitisme. Lebih utama 4
dari semua itu, target multikulturalisme adalah mengikis habis diskrimasi, dominasi/subordinasi, dan denominasi. Multikulturalisme bukan hanya menghargai perbedaan, tetapi mendukung atau membantu mengukuhkan perbedaan. Apakah pengkajian dan pendidikan bahasa daerah dan dialeknya telah sampai kepada pemikiran semacam itu? Apakah kurikulum bahasa daerah sudah memilikirkan yang demikian? Apakah penanganan budaya daerah di berbagai provinsi juga sudah sampai pada pemikiran tersebut? Catatan Akhir: Percepatan Target Gerakan Multikultaralisme untuk Mengikis Denominasi dan Dominasi/Subordinasi Dialek Bahasa Daerah Gerakan ideologis multikulturalisme dengan prinsip pro-eksistensi untuk kehidupan dialek bahasa daerah perlu segera dikembangkan dalam bentuk tindakan, yakni saling mendukung kelangsungan hidup berbagai dialek bahasa daerah. Pekerjaan itu menuntut kerja keras dari para intelektual. Intelektual (dan juga calon intelektual) yang berkecimpung pada bahasa daerah dan dialeknya bukan saja harus memahami pemikiran, sikap, dan perilaku terhadap bahasa daerah dan dialeknya dengan sandaran prinsip multikulturalisme, tetapi mengambil posisi selaku garda depan gerakan pro-eksistensi terhadap bahasa daerah dan dialeknya. Ramaikan dunia pengkajian dan pendidikan bahasa daerah dengan gerakan ideologis ini! Lakukan dokumentasi, performansi, dan penyebaran informasi dialek-dialek bahasa daerah dengan sukacita! Lakukan dengan melebihdulukan dialek yang tidak diperhitungkan (denominasi) atau yang terpinggirkan (dominasi/subordinasi)! Yang terakhir, jangan habis mengharapkan mimpi untuk memperoleh penghakiman dan penghukuman atas kasus diskriminasi dialek bahasa daerah seperti diskriminasi rasis sebagaimana terjadi pada dunia olahraga sepakbola di kawasan Eropa, seperti (1) Yaya Toure dari klub Manchester City yang diteriaki monyet oleh suporter klub CSKA Moscow, yang terjadi pada tanggal 30 Oktober 2013, setelah kejadian tersebut UEFA memberikan hukuman atau sanksi terhadap suporter klub CSKA Moscow yang berupa pertandingan tanpa penonton untuk pertandingan selanjutnya di liga Champions hingga waktu yang belum ditentukan. (2) Daniel Alves dari klub Barcelona yang dilempar pisang oleh salah seorang suporter klub Villareal, yang terjadi di stadion El Madrigal pada tanggal 27 April 2014. Dari kejadian tersebut pihak komite sepakbola Spanyol menyelidiki dan mengusut penonton yang melakukan aksi rasis tersebut, sehingga menetapkan beberapa penonton dihukum tidak boleh menonton pertandingan sepakbola di stadion selamanya. (3) Samuel Eto’o diteriaki monyet oleh suporter klub Real Madrid saat masih membela klub Barcelona di stadion Santiago Bernabeu. (4) Frederic Kanoute juga diteriaki monyet dan anti Islam oleh suporter di Spanyol saat masih membela Sevilla. (5) Luis Suarez melakukan tindakan rasis terhadap bek Manchester United, Patrice Evra dalam laga Liverpool vs Mancheter United di stadion Anfield, pada tanggal 15 Oktober 2011. Setelah FA melakukan penyelidikan dan Luis Suarez terbukti melakukan tindakan rasis, maka pihak FA memberikan sanksi terhadap Luis Suarez yang berupa skorsing 5 pertandingan.
5
Bacaan: Adipitoyo, Sugeng, 2005. “Bahasa (Madura Dialek) Bawean Mencari Pengakuan di Tengah Pertarungan Kekuasaan: Refleksi Perjuangan Minoritas Warga Bawean Menentukan Identitas” Makalah dalam Seminar Bahasa Madura, Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, 22-23 November -----------------, 2006. “Modhel Pamulangan Multikultural Basa Jawi: Pandhangan saking Siswa ingkang Nyinau Basa Jawi ing Jawa Timur” Makalah Kongres Bahasa Jawa IV. Hotel Patra Convention, Semarang, 10-14 September -----------------, 2008. “Orang Jawa Sub-Etnis Surabaya” dalam Sutarto (Ed), Ayu dan Sudikan, Setya Yuwana. 2008. Pemetaan Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur: Sebuah Upaya Pencarian Nilai-Nilai Positif. Jember: Biro Mental Spiritual Pemerintah Provinsi Jawa Timur Bekerja Sama dengan Kompyawisda Jatim. Hal 111-115 Alcoff, Linda Martin and Eduardo Mendieta. 2003. Identities: Race, Class, Gender, and Nationality. UK: Blackwell Publishing Barth, Frederik. 1969. Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Culture Differences. Boston: Little Brouwn Bennet, ed., John W., 1975. The New Etnicity: Perspectives from Ethnology (1973 Proceedings of the American Ethnologycal Sosiety). USA: West Publishing Co. Castells, Manuel, 2004. The Power of Identity (new edition). Victoria: Blackwell Publishing Fernandes, Inyo Yos. 1996. Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores: Kajian Linguistik Historis Komparatif terhadap Sembilan Bahasa di Flores. Ende: Nusa Indah Fishman, Joshua A. and Garcia, Ofelia, 2010. Handbook of language and Ethnic Identity: Disciplinary and Regional Perspectives. Oxford: Oxford University Press, Inc. Fought, Carmen. 2006. Language and Ethnicity. Cambridge: Cambridge University Press Hardiman, F. Budi, 2003. ”Belajar dari Multikulturalisme” pengantar dalam Kewargaan Multikultural: Teori Liberal mengenai Hak-Hak Minoritas (Will Kymlicka, terjemahan Edlina Hafmini Eddin). Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia Keraf, Gorys. 1984. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama ------------------, 1990. Linguistik Bandingan Tipologis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Kurath, Hans. 1972. Studies in Area Linguistics. London: Indiana University Press Liliweri, Alo, 1994. ”Prasangka Sosial dan Komunikasi Antaretnik” Nomor 12. Jakarta: LP3ES, 3-22. 6
dalam Prisma
Martono dkk. 2005. Hidup Berbangsa: Etika Multikultural. Surabaya: Forum Rektor Simpul Jawa Timur Universitas Surabaya Marx, Gary T. 1971. Racial Conflict: Tension and Change in American Society. Boston: Little, Brown and Company Maunati, Yekti. 2000. “Contesting Dayak Identity: Commodification and the Cultural Politics of Identity in East Kalimantan” (Dissertation). La Trobe University, Melbourne, Australia Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Parekh, Bhiku. 2000. Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. New York: Palgrave Sparringa, Daniel T., 2005. “Multikulturalisme dalam Multiperspektif di Indonesia” dalam Hidup Berbangsa Etika Multikultural hal 15—21 . Surabaya: Forum Rektor Simpul Jawa Timur Universitas Surabaya ---------------------------, 2008. “Multikulturalisme, dari Pembiaran dan Ko-eksistensi Menuju Pro-eksistensi” dalam Diskriminasi di Sekeliling Kita: Negara, Politik Diskriminasi dan Multikulturalisme (Cholil, Suhadi [Ed]) hal 3—14. Yogyakarta: Institut Dian van Dijk, Teun A., 2009. Society and Discourse: How Social Contexts Influence Text and Talk. Cambridge: Cambridge University Press Varshney, Ashutosh. 2002. Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslim in India. New Haven: Yale University Wood, Andrew F. and Smith, Matthew J. 2005. Online Communication: Linking Technology, Identiy, and Culture. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
7