MENCERMATI FENOMENA DI BALIK KERUSUHAN POSO (ANALISIS MENURUT TEORI ANOMI ROBERT K MERTON) Dr. Erni Agustina, SH, Sp.N Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta Abstract The Poso’s conflict has triggered by several factors. Examples ; power competitions among elites. These power competitions occurs of central government at well as local government creates “anomy” situation. This situation in turn is easily derived by interest groups hence a number of victims suffered by both side law enforcement has to be taken to get the proper solution. Key words: Conflict, anomy, interest group. A. PENDAHULUAN Menegakkan hukum tanpa menggumakan hukum, dapat melahirkan tindakan sewenangwenang (abus de droit). Sebaliknya, bila menggunakan hukum tanpa berniat menegakkan hukum dapat menimbulkan ketidakadilan, bahkan dapat membawa keadaan tanpa hukum/ lawless (Tb Ronny Rachman Nitibaskara, 2006: xii). Memang pekerjaan menegakkan hukum bukanlah merupakan tugas yang tanpa resiko. Menegakkan hukum dengan menjungkir balikkan keadilan merupakan tindakan sewenang-wenang, sebaliknya menegakkan keadilan tanpa menggunakan hukum merupakan bentuk anarkhi yang melecehkan hak asasi manusia. Penegakan hukum merupakan tugas menegakkan keadilan sekaligus untuk menciptakan kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Kepastian hukum merupakan prasyarat untuk penegakan hukum yang berkeadilan, sementara kemanfaatan sosial merupakan tujuan akhir penegakan hukum itu sendiri. Kita tidak dapat membayangkan penegakan hukum yang tidak dilandasi patokan-patokan yang pasti. Ketentuan hukum harus menentukan sendiri cara-cara bagaimana untuk mencapai keadilan itu. Walau harus dipahami bahwa rasa keadilan merupakan suatu dinamika yang berubah setiap waktu dalam tiap tempat. Apa yang dirasakan adil saat ini bisa jadi merupakan hal yang sebaliknya pada saat lain atau ditempat lain. Salah satu contoh adalah praktek pengayawan di Kalimantan tempo dulu merupakan sesuatu yang lazim dijalankan. Justru tidak menjalankan praktik itu menciptakan ketidak pastian dan bahkan tidak memberikan manfaat kepada masyarakat ketika itu. Seseorang untuk membuktikan kedewasaannya harus merantau ke persekutuan hukum masyarakat lain dan harus memenggal kepala kelompok lain tersebut sebagai bukti kedewasaannya. Praktek demikian terus menerus berlangsung. Barulah kemudian dengan meningkatnya peradaban dan penghormatan atas keluhuran harkat dan martabat manusia, perbuatan demikian dilarang karena bertentang dengan hukum. Praktek itu memperlihatkan atau mempertontonkan siapa yang kuat dialah yang menang. Sebagaimana dikemukakan di atas atau dalam bahasa Mochtar Kusumaatmadja bahwa “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman (Mochtar Kusumaatmadja, 2001: 6).
Kesewenang-wenangan itu dapat terjadi manakala tujuan untuk menciptakan keadilan dilakukan dengan cara-cara di luar hukum. Pekerjaan memberikan keadilan kepada masyarakat ini dilakukan dengan cara-cara yang terukur dan terkadang rumit melalui mesin birokrasi atau administrasi keadilan. Administrasi keadilan tidak lain mengandung pengertian, bahwa penerapan keadilan dalam masyarakat itu membutuhkan pengelolaan, tidak dapat hanya diserah kepada masyarakat begitu saja. Diserahkan kepada masyarakat artinya dipercayakan kepada masing-masing anggota masyarakat (Satjipto Rahardjo, 1986: 217). Apabila tindakan tersebut diserahkan kepada masyarakat itu lama artinya menyerahkan anarkhi kepada masyarakat untuk melakukan tindakan semena-mena terhadap pihak lain. Tindakan main hakim sendiri merupakan contoh ekstrim terjadinya pengelolaan administrasi keadilan oleh anggota masyarakat. Tindakan main hakim sendiri dalam wadah negara hukum hendaklah dihindarkan oleh siapapun juga, seseorang tidak dibenarkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendakinya dengan caranya sendiri-sendiri. Tindakan main hakim sendiri pada satu pihak, maupun tindakan amuk massa pada pihak lain harus dihentikan karena dapat mengakibatkan punahnya rasa solideritas maupun runtuhnya empati pada pihak lain. Dengan tegas konstititusi kita menetapkan bahwa Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum (Rechtsstaat), dalam wadah negara hukum tidak ada ruang gerak berbagai bentuk anarkhi dan penyalahgunaan wewenang lainnya. Hukum dalam hal ini haruslah diletakkan dalam bingkai yang sesungguhnya. Karena prinsip rule of law selain menghendaki adanya peradilan yang impartially, juga mengharuskan adanya jaminan atau perlindungan hak asasi yang optimal. Tepat sekali pendapat yang menyebutkan bahwa menegakkan hukum berbeda tipis dengan menggunakan hukum. Sebab terkadang untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu digunakan cara-cara hukum yang sesungguhnya menggunakan pendekatan kekuasaan. Pada masyarakat yang organisasinya semata-mata didasarkan pada struktur kekuasaan, orang memang tidak membutuhkan hukum sebagai sarana penyalur kekuasaan. Tetapi pada masyarakat yang diatur oleh hukum, kekuasaan yang ada pada orang-orang itu hanya bisa diberikan melalui hukum. (Satjipto Rahardjo, 1986: 160). Suatu masyarakat yang berkehendak untuk diatur oleh hukum tetapi yang tidak bersedia untuk membiarkan penggunaan kekuasaannya dibatasi dan dikontrol bukanlah merupakan lingkungan yang baik bagi berkembangnya institusi hukum.
B. PERMASALAHAN Uraian singkat dalam latar belakang di atas, jika dikaitkan dengan terus menerus berulangnya kerusuhan di Poso Sulawesi Tengah menemukan relevansinya. Karena kerusuhan itu telah terjadi sejak lama, bahkan jika dirunut sejarah telah terjadi semenjak Republik Indonesia didirikan, akan tetapi peristiwa menonjol terjadi semenjak tahun 1998 hingga saat ini (2006). Meskipun pemerintah telah berupaya misalnya dengan mengadakan mediasi dengan berbagai pihak yang bertikai melalui Deklarasi Malino 2001, rentetan peristiwa kekerasan terus terjadi yang secara sporadis timbul dan mengakibatkan korban jiwa dan menarik perhatian masyarakat.
Dari sudut perkembangan teori, peristiwa itu layak dicermati misalnya dengan menggunakan Teori Anomi yang dikemukakan oleh Robert K Merton yang menjadi rujukan dalam tulisan ini. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba menyoroti peristiwa yang telah menelan korban jiwa dan cukup merepotkan pemerintah dan masyarakat akhir-akhir ini. Penggunaan Teori Anomi di atas merupakan salah satu solusi dalam upaya untuk menemukan akar permasalahan yang juga dapat digunakan sebagai kerangka acuan dalam pengambilan kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah nantinya. Sebagai sebuah fakta sosial, fenomena di atas menarik untuk dikaji dalam berbagai prespektif dan sudut pandang. Penulis dalam hal ini titdak berpretensi bahwa apa yang dikatakannya merupakan sebuah kebenaran, akan tetapi upaya ini merupakan salah satu langkah untuk mengungkap kebenaran di balik peristiwa berdarah tersebut. Fakta-fakta sosial yang dikumpulkan dan diperoleh tersebut disimpulkan relevansinya dengan peristiwa yang lain sehingga dapat dilihat sebagai suatu kebulatan yang utuh. Penulis. menyadari sepenuhnya, karya ini merupakan usaha untuk melihat fenomena dalam perspektif makro sebagaimana teori anomi itu sendiri. Penggagasnya tentu mengetahui keterbatasan teori ini, begitu juga dengan penulis saat ini. C. FENOMENA KEKERASAN DI POSO Apabila dirunut sejarah, sesungguhnya kerusuhan di Poso telah mempunyai akar sejarah yang panjang. Kerusuhan tersebut telah dimulai semenjak berdirinya republik ini. Bibit konflik sudah ada lebih dari empat puluh tahun yang lalu. Pemberontakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar pada tahun 1950-an di Sulawesi Selatan sampai merembet ke perbatasan Sulawesi Tengah membuat warga kristen yang berdiam di sekitar pegunungan terpaksa mengungsi. Selama periode 1956 hingga tahun 1963 warga Kristen di Sulawesi Selatan dalam jumlah yang besar mengungsi ke sekitar Danau Poso. Gelombang pengungsi sampai ke Kecamatan Mori Atas, Morowali. Sebaliknya, ketika menghadapi kelompok pemberontak PRRI/Pennesta di Sulawesi Utara sekitar tahun 1960an, kelompok Islam dan Kristen bersatu dalam Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah. Tapi, setelah berhasil menghalau pemberontak PRRI ini, kelompok tersebut terpecah menjadi dua kelompok. Gerakan Pemuda Kristen Sulawesi Tengah (Kristen) dan Brigade Tanjung Buluh (Islam). Tumbuhnya politik aliran saat demokrasi liberal juga mempengaruhi hubungan antar warga, sentimen keagamaan terlembaga dalam partai-partai politik yang kemudian timbul. Poso merupakan daerah yang berpotensi menjadi ajang konflik bernuansa agama. Peta politik memperlihatkan bahwa pemeluk agama Islam-Kristen (Protestan) paling dekat dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di provinsi itu. Penduduk Poso dan Morowali tahun 2000 sebanyak 341.265 jiwa. Muslim di Poso sebanyak 61,3 persen dan Kristen 35,8 persen. Akan tetapi di daerah lain, persentasi Muslim jauh lebih tinggi. Kotamadya Palu misalnya mayoritas berpenduduk Islam sebanyak 90 persen dan kristen 6,9 persen. Ummat Muslim Poso biasanya berdiam di daerah lembah dan kristen di perbukitan. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir berbagai letupan terjadi dan menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit. Periode 1998 hingga 2000 kerusuhan menelan korban jiwa lebih dari 250 orang, 3.522 rumah hancur dan 13 tempat ibadah rusak. Menurut
pendapat bahwa akar kerusuhan di Poso adalah perebutan kekuasaan oleh elit politik lokal untuk memegang tampuk pimpinan daerah, yang menggunakan ummat beragama sebagai sarananya. Berbagai peristiwa kekerasan terjadi dalam beberapa tahun terakhir misalnya : Tahun 1998 tanggal 25 hingga 28 Desember terjadi peristiwa yakni Roy Runtu (kristen) dalam kondisi mabuk membacok Ridwan yang sedang berada di sebuah mesjid. Keduanya mengadu ke kelompok masing-masing. Bentrokanpun tak dapat dihindarkan, Dalam bentrokan itu kurang lebih 100 orang luka-luka, tiga sepeda motor dibakar dan sejumlah rumah penduduk rusak (Majalah Forum Keadilan, 27-12 Nopember 2006: 40). Tahun 2000 tanggal 17 hingga 19 April, di terminal Poso, dua pemuda dalam keadaan mabuk asal Desa Lambodia dan Lawanga (desa Islam dan Kristen) tanpa alasan yang jelas terlibat pertikaian. Warga kedua desa saling menyerang. Aksi bentrok massa meluas ke daerah sekitar Poso. Kerusuhan tersebut menelan korban 3 orang tewas, 4 orang luka dan 267 rumah, 6 mobil terbakar, tiga gereja hancur, lima rumah asrama polisi hancur ruang Bayangkara Polda terbakar, kerugian ditaksir puluhan milyar. Pada 28 Mei, massa Islam dan Kristen di Tokorando bentrok, 70 warga Kristen bersenjata api melawan 400 warga muslim bersenjata parang dan golok yang berakibat warga Muslim mengalami kekalahan dalam konflik itu. Tahun 2001 Tanggal 21 terjadi aksi penyerangan kelompok massa terjadi di desa Kasaguncu Kecamatan Poso Pesisir yang mengakibatkan dua orang warga setempat tewas terkena senjata tajam dan lima orang lainnya dinyatakan hilang. 2 Juli bentrokan massa terjadi di Malei Lage, Kecamatan Lage Poso yang mengakibatkan 85 rumah terbakar dan satu warga tewas dan satu rumah ibadah dibakar. 18 Juli, dua orang tewas dan delapan luka-luka akibat kontak senjata antara kelompok putih dan kelompok merah di sekitar Desa Pendodo dan Uwelene, Kecamatan Pamona selatan daerah perbatasan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Tahun 2002 tanggal 12 Agustus, gerombolan bersenjata menyerang Desa Sepe Silanca dan Batu Gencu di Kecamatan Lage. Akibatnya di Sulaweno, Kania, Omritakada, Salangi dan satu orang lainnya yang belum teridetifikasi tewas dengan sekujur tubuh terbakar, ratusan rumah hangus dan rata dengan tanah. 15 Agustus kerusuhan Poso merambah ke Kabupaten Morowali. Terjadi aksi penyerangan oleh kelompok tak dikenal di desa Mayumba Kecamatan Mori Atas Kabupaten Morowali sekitar 138 kilometer dari Poso. Bentrokan itu mengakibatkan 43 rumah terbakar, 8 kios jualan warga rata dengan tanah, seorang warga mengalami luka tembak. Tahun 2003 tanggal 10 Oktober, terjadi kerusuhan di desa Beteleme ibukota kecamatan Lembo, Kecamatan Poso Pesisir menimbulkan kerugian, puluhan orang tak dikenal menyerang desa dengan mengenakan cadar ala ninja. Tiga orang tewas, 27 unit rumah terbakar begitu juga 3 mobil dan 7 motor hangus. 17 Oktober kelompok penyerang Poso kembali beraksi, Kecamatan Tanah Runtuh Kelurahan Gebang Rejo Kecamatan Poso Kota diserang, mengakibatkan satu rumah terbakar namun tidak menimbulkan korban jiwa. 15 Nopember polisi menyerbu sebuah rumah di mana diperkirakan para tersangka pelaku penyerangan tanggal 12 Oktober yang menewaskan seorang warga. Tahun 2003 tanggal 30 Maret aksi penembakan terjadi terhadap Dekan Fakultas Hukum Universitas Sintuwu Moroso Poso. Tahun 2004 tanggal 13 Nopember terjadi ledakan di depan Pasar Sentral Poso. Polisi menduga bom diletakkan dalam mobil angkutan umum jurusan Poso-Tentana.
Peristiwa terakhir terjadi 16 Oktober 2006 Pendeta Irianto Kongkoli, Ketua Majelis Gereja Kristen Sulawesi, tewas setelah ditembak orang tak dikenal saat berbelanja di sebuh toko bahan bangunan di Palu. Pada 23 Oktober bentrok antar aparat kepolisian dengan warga di Tanah Runtuh Poso mengakibatkan satu orang tewas dan beberapa luka-luka. D. PERKEMBANGAN TEORI ANOMI Teori Anomi ini sesungguhnya merupakan terori makro (macro theories), yang mendiskripsikan korelasi antara hukum dengan struktur masyarakat. Teori ini dikelompokkan dengan teori fungsional, teori konflik, teori interaksionisme simbolik. Teori ini dikemukakan oleh Robert K. Merton yang sesungguhnya pengembangan lebih lanjut dari teori yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Merton melihat bahwa di Amerika Serikat lebih banyak kejahatan dilakukan daripada di Eropa. Menurut Merton, sesungguhnya manusia itu egoistis, bahkan cenderung untuk berbuat hal yang menguntungkan dirinya. Di samping itu hukuman untuk kejahatan tersebut terlalu ringan. Lebih lanjut Merton mengemukakan bahwa keadaan di Amerika Serikat berbeda dengan di Eropa, karena untuk mencapai keberhasilan orang harus belajar sungguh-sungguh, bekerja keras dan menabung. Akan tetapi pada sisi lain, hal itu dapat pula menjuruskan orang untuk menjadi pelanggar hukum. Tesis Merton yakni : 1. Anormi menyebabkan angka pengakhiran kehidupan sendiri lebih tinggi. Pengakhiran kehidupan sendiri oleh masyarakat merupakan pelanggaran terhadap norma pergaulan hidup. 2. Di dalam banyak pergaulan hidup telah diatur dengan undang-undang bahwa orang yang menggunakan atau mencuri hak orang lain dihukum. Menurut Merton, dalam pergaulan hidup bisa berlangsung anomi, maka tindak kriminalitas meningkat. Problema pengakhiran kehidupan dan permasalahan kriminalitas dipandang sebagai persoalan pelanggaran norma. Pelanggaran norma seperti bunuh diri, pembunuhan, pencurian mengungkapkan “kohesi sosial” yang lemah di dalam sebuah masyarakat. Kesenjangan antara tujuan dan alat tidak dapat diterangkan dari sudut psikologi atau biologi, tetapi adalah akibat dari kultur dan struktur pergaulan hidup. Menurut Merton, setiap orang dapat mencapai cita-cita melalui kerja keras, memiliki ambisi, menabung dan mencari ilmu dengan tekun. Antara tujuan dan sarana-sarana yang dibutuhkan terdapat jurang pemisah yang ditetapkan oleh kebudayaan (mencapai sukses), di sisi lain, sarana untuk mencapai hal itu (puncak). Bagi sebagian orang, tidak mungkin mencapai puncak. Mereka yang tinggal di daerah kumuh atau yang dibesarkan di dalam gubug serta tidak memperoleh pendidikan yang baik, karena tidak mempunyai pekerjaan yang layak, bahkan tidak mampu menabung untuk membuka usaha sendiri. Orang seperti ini tidak punya sarana untuk mewujudkan tujuannya itu. Kesenjangan inilah yang menyebabkan terjadinya Anomi. Dalam kenyataannya, orang-orang yang berada di jenjang paling bawah juga ingin mercapai puncak meskipun tanpa memiliki dana dan sarana untuk itu, karena itu mereka hanya dapat melakukannya melalui satu cara yakni dengan jalan kriminalitas. Yang penting ialah bahwa internalisasi nilai-nilai positif pada orang-orang yang berada di jenjang paling bawah meresap lebih kuat daripada pemberitahuan bahwa beberapa tindakan tertentu yang dilarang oleh undang-undang.
Sebaliknya menurut Durkheim, semakin anggota-anggota masyarakat lebih kokoh terintegrasi dalam masyarakat, semakin kuat mereka mematuhi nilai-nilai dan norma-norma masyarakat yang bersangkutan. Akan tetapi menurut Merton bahwa apabila dalam suatu pergaulan hidup, norma-norma dan nilai-nilai tentang tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh para anggotanya tidak bisa diseimbangkan dengan dana dan sarana yang perlu disediakan untuk mencapai tujuan, maka peluang orang-orang untuk melakukan tindakan kriminal lebih besar. Definisi yang dikemukakan oleh Merton, bahwa Anomi adalah ketidaksesuaian atau timbulnya diskrepansi/perbedaan antara cultural goals dan institutional means, akibat cara masyarakat diatur (struktur masyarakat) dengan pembagian kelas. Pada mulanya teori ini mendiskipsikan korelasi antara perilaku pelanggar hukum dan tahapan tertentu pada struktur sosial akan menimbulkan, melahirkan, dan menumbuhkan suatu kondisi terhadap pelanggaran norma masyarakat yang merupakan reaksi normal. Unsur kultur melahirkan goals dan unsur struktural melahirkan means. Goals diartikan sebagai tujuan dan kepentingan membudaya, meliputi kerangka aspirasi dasar manusia. Sedangkan means diartikan aturan dan cara kontrol yang melembaga dan diterima sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu. Merton membagi norma sosial berupa tujuan sosial (societies goals) dan sarana-sarana yang tersedia (acceptable means) untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam pengertian selanjutnya, Anomi mengalami perubahan dengan adanya pembagian tujuan dan saran dalam masyarakat yang terstruktur. Dalam pencapaian tujuan, ternyata tidak setiap orang menggunakan sarana yang tersedia, tetapi ada juga yang menggunakan cara tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan. Struktur sosial berbentuk kelas-kelas sehingga menyebabkan adanya perbedaanperbedaan kesempatan dalam mencapai tujuan. Misalnya mereka yang berasal dari kelas rendah (lower class) mempunyai kesempatan lebih kecil dalam mencapai tujuan bila dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelas tinggi (upper class). Merton mengemukakan lima cara untuk mengatasi Anomi dalam setiap anggota kelompok masyarakat dengan tujuan membudaya (goals) dan cara melembaga (means) yakni : 1. Conformity (menyetujui) adalah suatu keadaan dimana warga masyarakat tetap menerima tujuan dan sarana-sarana sah (legitimate means) yang terdapat di dalam masyarakat karena adanya tekanan moral. Meskipun mereka memiliki sarana yang terbatas tetapi tidak melakukan penyimpangan, mereka melanjutkan pencapaian tujuan budaya dan percaya atas legitimasi sarana-saran konvensional dengan mana kesuksesan akan dicapai. 2. Innovation (pembaharuan) adalah keadaan di mana tujuan dalam masyarakat diakui dan dipelihara, akan tetapi mengubah sarana sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Mereka tetap meyakini sukses yang dianggap berharga, namum beralih menggunakan sarana jika ditemui halangan terhadap sarana yang digunakan untuk mencapai kesuksesan. 3. Ritualism (tata cara keagamaan) yaitu keadaan di mana warga masyarakat menolak tujuan yang telah ditetapkan namun sarana-sarana yang telah ditentukan tetap dipilih. Dengan demikian mereka meredakan ketegangan dengan menurunkan skala aspirasi sampai pada batas yang bisa mereka capai daripada mengejar tujuan budaya kesuksesan. 4. Retreatism (penarikan diri) yaitu keadaan di mana warga masyarakat melepaskan tujuan budaya sukses dan sarana-sarana sah yang telah disediakan masyarakat. Mereka melarikan diri dari svarat-syarat masyarakat dengan cara menyimpang, misalnya mabok-mabokan, pecandu narkoba hingga puncaknya bunuh diri.
5. Rebellion (pemberontakan) yaitu keadaan di mana tujuan dan sarana yang ada di dalam masyarakat ditolak, dan berusaha untuk mengganti atau mengubah seluruhnya Mereka juga menginginkan untuk mengubah sistem melalui social disobedience (pembangkangan sosial). Inovasi, ritualism, penarikan diri dan rebellion merupakan bentuk penyesuaian diri yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Oleh karena itu pengadaptasian yang gagal pada struktur sosial merupakan fokus dari teori Merton ini. Anomi menurut Bianchi merupakan ciri khas dalam kehidupan masyarakat. Anomi menyangkut problematik manusia setiap hari (Sahetapy, J.E, 1992: 79). E. ANALISIS Konflik di Poso Sulawesi Tengah telah berjalan sekurang-kurangnya satu dasawarsa terutama semenjak kerusuhan di sana pada tahun 1999. Kerusuhan terus menerus berlangsung seakan tidak dapat dihentikan dan tidak satu kekuatanpun yang mampu menghalanginya. Pemerintah dalam hal ini telah turun tangan terutama semenjak ditandatanganinya Dekiarasi Malino pada tahun 2000 lalu. Pada tingkat akar rumput, letupanletupan terus menerus terjadi, dan bahkan sudah meningkat ke tahap yang mengkhawatirkan terutama pasca eksekusi hukuman mati terhadap Fabianus Tibo dan kawan-kawan pada pertengahan Agustus lalu. Akumulasi berbagai konflik telah menimbulkan suasana disharmoni di sana kemungkinan eskalasi konflik akan terus menenis terjadi. Dapat dikatakan bahwa akar konflik sudah teramat kompleks, sehingga sukar untuk diidentifikasi lagi. Ironisnya, pertentangan itu tidak hanya terjadi pada tingkat akar rumpuh akan tetapi terus menerus bergeser. Dengan dikirimnya pasukan Detasmen Khusus 88 Anti Teror suasana mencekam terus menerus terjadi, jatuhnya korban dari pihak warga dan aparat keamanan telah menciptakan polarisasi konflik antara warga dengan aparat hukum. Pergeseran konflik akan terus menerus berlangsung sepanjang tidak diselesaikan secara baik. Kerusuhan dan berbagai konflik tidak dapat dikendalikan dan terkesan aparat hanya menggunakan pendekatan keamanan dibandingkan dengan pendekatan kesejahteraan. Dikirimnya 200 personil TNI untuk membantu aparat kepolisian akan semakin meruncingkan eskalasi konflik yang tidak terkendalikan. Tidak jarang konflik baru yang muncul akan memunculkan dampak ikutan yang semakin komplek dan rumit, sehingga tidak dapat diidentifikasi sebagai konflik antar agama atau pertarungan elit daerah atau pusat untuk memperebutkan kekuasaan dan Poso menjadi arena pertarungan kepentingan itu. Dari fenomena yang terlihat, dapat dikemukakan bahwa : Pemerintah telah gagal untuk menyelesaikan secara baik berdasarkan manajemen konflik yang rasional. Kedua, pemerintah terkesan lamban dan tidak sungguh-sungguh menyelesaikan akar persoalan yang sesungguhnya sehingga korban terus menerus berjatuhan. Ketiga, Poso sudah menjadi arena pertarungan kepentingan elit politik daerah atau pusat untuk bersaing memenangkan dan mempertahankan hegemoninya. Berkepanjangannya konflik di Poso yang bersifat multi dimensional dan tidak hanya menjadi persoalan domestik akan tetapi telah menarik perhatian dunia paling tidak dikondisikan oleh faktor-faktor sebagai berikut : Pertama, kebencian-kebencian yang bersumber pada primordialisme tidak kunjung surut dan bahkan semakin mengkristal dan sulit untuk dicegah. Kedua, pelaku kekerasan adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang semakin handal seiring dengan berlanjutnya konflik itu. Keadaan ini semakin didukung dengan semakin
meluasnya simpatisan yang berhasil direkrut oleh kelompok itu. Ketiga ditengarai adanya kelompok kepentingan yang berusaha melanggengkan konflik itu untuk kepentingan politik. Poso telah dijadikan arena pertumpahan darah penduduk ash untuk kepentingan kekuasaan elit politik di tingkat daerah atau pusat. Keadaan ini dapat menyebabkan Poso menjadi daerah konflik kedua setelah Aceh. Ke empat, Poso menjadi ajang distribusi dan penyimpanan bahanbahan peledak dan senjata api illegal yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk memperkeruh konflik yang menimbulkan korban jiwa. Penyelesaian konflik di Poso lebih menekankan pendekatan keamanan dari pada pendekatan yang berorientasi kepada kesejahteraan, hal ini terbukti ketika aparat keamanan hendak menangkap orang-orang yang masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) yang berakhir dengan baku tembak yang menyebabkan belasan jiwa melayang termasuk dari aparat kepolisian. Kondisi itu seakan menjadi alasan pembenar untuk melanggengkan dominasi aparat militer dari pada aparat hukum. Poso dapat menjadi medan Daerah Operasi Militer (DOM) sebagaimana pernah terjadi di tanah rencong lalu. Pemerintah dalam hal ini sesungguhnya mempunyai kemampuan dan sarana yang memadai jika ingin menyelesaikan konflik dengan menggunakan instrumen hukum. Akan tetapi tekat pemerintah itu menjadi sirna manakala berbagai kepentingan ikut menunggangi dan bahkan mendominasi upaya-upaya penyelesaian secara damai dan beradab. Pemerintah dihadapkan pada situasi yang gamang bahkan dilematis. Akan tetapi sikap tegas pemerintah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Penyelesaian secara hukum mereka yang terlibat baik sebagai actor intelektualis maupun massa merupakan suatu keniscayaan jika semua pihak hendak mengakhiri konflik secara tuntas. Pengiriman aparat militer lebih mengesankan pada penyelesaian konflik dalam tataran elit akan tetapi tidak dalam skala akar rumput. Sehingga upaya tersebut akan memakan waktu yang lama untuk menyelesaikannya. Hendaknya difahami bahwa, suatu konflik yang dipicu kebencian primordial misalnya hendaklah diselesaikan secara arif dengan menjunjung supremasi hukum. Hal ini disebabkan karena aparat-aparat hukum juga terkait dalam atribut-atribut primordial itu. Misalnya asal usul daerah, agama dan keturunan. Ikatan-ikatan primordial itu juga akan mempengaruhi kecepatan dap ketepatan penyelesaian konflik di Poso dengan baik. Semua pihak berharap agar konflik itu bisa diakhir segera. Optimisme itu muncul ketika dalang kerusuhan Poso dihukmn berat, akan tetapi optimisme itu segera berlalu manakala muncul konflik-konflik lain yang tidak dapat diramalkan sebelumnya. Konflik Poso laksana episode dalam sejarah peijalanan Republik yang cukup menyita energi untuk menyelesaikannya. Hal ini disebabkan karena akar konflik begitu kompleks sehingga penyelesaiannya harus melibatkan berbagai unsur yang ditengarai memiliki kepentingan dalam konflik tersebut, di samping tokoh-tokoh agama yang independen perlu urun rebug guna menyelesaikannya secara proporsional. Penegakan hukum merupakan langkah yang perlu diambil guna menegakkan ketertiban dan ketenteraman. Disadari bahwa berkepanjangannya konflik di Poso paling tidak disebabkan oleh faktorfaltor (Arianto Sangaji, Kompas, 3 Nopember 2006): Pertama, ketidak mampuan atau ketidak mauan aparat keamanan menyelesaikan berbagai tindakan teror yang melanda Poso dan Palu beberapa waktu yang lalu. Publik menganggap aparat keamanan gagal mengungkap aktor dan motif di blik tindak kekerasan yang telah memakan korban jiwa dan luka-luka.
Kedua, dalam mengungkap kasus-kasus teror dan kekerasan, aparat kerap salah dalam bertindak dan berlebihan. Beberapa orang disiksa dan ditembak dengan tuduhan terlibat kekerasan tertentu. Hal ini menyebabkan ketidak puasan warga terhadap aparat keamanan. Munculnya bentrokan antara aparat keamanan, dan jatuhnya korban jiwa dari kedua pihak menyebabkan penyelesaian konflik justru menjadi berlarut-larut. Dengan demikian akar persoalan konflik semakin kabur dan penyelesaiannya semakin kompleks. Hingga saat ini dapat disimpulkan bahwa mereka yang terlibat dalam kasus kekerasan di Poso adalah berasal dari kelompok poweless hal ini terlibat dari mereka yang telah dieksekusi maupun 16 orang yang diduga menjadi tokoh kunci kekerasan adalah orang-orang yang sesungguhnya tuna kuasa ? benarkah orang-orang yang poweless tersebut bisa menyebabkan kerusuhan yang menggelisahkan hingga kini ? atau ada aktor intelektualis yang menarik keuntungan dari kerusuhan di poso tersebut. Menurut Merton dalam setiap masyarakat terdapat tujuan-tujuau tertentu yang ditanamkan kepada seluruh warganya. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat sarana-sarana yang dapat dipergunakan.tetapi dalam kenyataan tidak setiap orang dapat menggunakan saranasarana yang tersebia. Hal ini menyebabkan penggunaan cara yang tidak sah dalam mencapai tujuan. Dengan demikian akan timbul penyimpanganpenyimpangan dalam mencapai tujuan. Tesis Merton ini menjadi relevan ketika diketahui bahwa mereka yang menjadi sasaran operasi aparat keamanan adalah mereka yang secara ekonomis dan politis sesungguhnya tidak berdaya. Mereka yang telah diesksekusi maupun yang masuk daftar pencarian orang adalah berasal dari kalangan petani kecil yang tidak mungkin mampu menggerak massa untuk menimbulkan kerusuhan besar. Kalau memang demikian berarti kelompok itu berusaha untuk mencapai tujuannya dengan sarana-sarana yang ada. Jika sarana itu tidak ada, mereka akan melakukannya dengan cara melanggar hukum. Bahkan dengan cara-cara yang ekstrim tanpa mengindahkan ketersediaan sarana untuk mencapai tujuan itu. Selanjutnya menurut Merton, dalam setiap masyarakat selalu terdapat struktur sosial, yang berbentuk kelas kelas, menyebabkan adanya perbedaan perbedaan kesempatan dalam mencapai tujuan. Misalnya mereka yang mempunyai kelas yang rendah (lower class) mempunyai kesempatan yang lebih kecil dalam mencapai tujuan bila dibandingkan dengan mereka yang mempunyai kelas yang tinggi (upper class). Tibo dan kawan-kawan merupakan orang-orang kecil berasal dari petani yang tidak menggarap sendiri ladangnya akan tetapi berpindah-pindah untuk mencari penghidupan. Ketidakmerataan kesempatan dan sarana yang ada akan menimbulkan frustasi di kalangan para warga yang tidak memilikinya dalam mencapai tujuan. Dengan demikian ketidak puasan, frustasi, konflik dan penyimpangan muncul karena tidak adanya kesempatan bagi mereka dalam mencapai tujuan. Situasi ini akan menimbulkan keadaan di mana para warga tidak lagi mempunyai ikatan yang kuat terhadap tujuan serta sarana/sarana/kesempatan-kesempatan yang terdapat dalam masyarakat. Keadaan demikian dilukiskan oleh Emile Durkheim pelopor teori Anomi, bahwa keadaan yang kacau atau lazim disebut dengan deregulation dalam masyarakat. Keadaan deregulasi ini diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat dalam masyarakat dan orang tidak tahu apa yang diharapkan dari orang lain. Keadaan deregulasi atau normlessness inilah yang menimbulkan perilaku deviasi atau penyimpangan. Teori Merton ini menjelaskan adanya tekanan-tekanan pada masyarakat yang mendorong terjadinya deviance, maka teori ini dikenal juga sebagai strain theory.
Kembali kepada kekerasan di Poso, jika pemicu tersebut didasarkan kepada sentimen keagamaan tertentu, jelas tidak ada satu agamapun yang mentolerir terjadinya kekerasan apalagi menimbulkan korban jiwa. Mereka yang ditengarai telah mendapat pendidikan khusus jelas adalah kelompok minoritas Yang mencoba memaksakan kehendaknya kepada kelompok mayoritas. Begitu juga apabila aktor intelektualisnya adalah orang-orang yang mempunyai power baik di pusat maupun di daerah merupakan kelompok minoritas yang tersisih dan tetap memiliki ambisi untuk meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Tesis Merton membenarkan keadaan ini. Bahwa penyimpangan (deviance) disebabkan tidak tersedianya sarana-sarana untuk mencapai tujuan tertentu. Keterbatasan sarana itu dicoba untuk diterobos oleh kelompok itu dengan menghalalkan segala cara tanpa mengindahkan norma-norma yang ada. Meskipun kita tidak mengenal pengelompokan-pengelompokan masyarakat dalam kelaskelas tertentu, akan tetapi sekat-sekat itu ada dan terasakan misalnya jurang yang kaya dengan yang miskin, mereka yang mempunyai kuasa politik dengan tuna kuasa (powerless). Powerlessness itulah yang menggoda segelintir oknum untuk memprovokasi potensi masyarakat Poso yang homogen guna dibenturkan antar kelompok sehingga terjadi ledakan yang keras seperti kerusuhan yang terus menerus berlangsung hingga saat ini. Patut dikemukakan pendapat CJM Schujt ketika mengatakan bahwa keadaan anomi itu disebabkan oleh kekacauan atau anarkhi. Anarki itu sendiri sesungguhnya bukan tidak ada norma sama sekali akan tetapi karena ketiadaan centraal gezag di daerah itu (J.E. Sahetapy, 1992: 79). Aparat di pusat maupun di daerah seakan berebut hegemoni untuk menjelaskan kausalatas kekerasan tersebut. Akan tetapi penjelasan itu sesungguhnya semakin mengaburkan inti persoalan yang sesungguhnya. Perlahan-lahan akan tetapi pasti, penyelesaian kekerasan di Peso akan memakan waktu lama dan korban akan tetap berjatuhan. Haruskan kita mengorbankan kelompok masyarakat yang tidak berdosa untuk memenuhi ambisi politik yang sesungguhnya korup. F. PENUTUP Dapatlah disimpulkan bahwa fenomena kekerasan di Poso disebabkan oleh multifaktor, baik berdasarkan faham keagamaan sempit maupun kepentingan-kepentingan politik sesaat. Mereka yang menjadi aktor intelektual adalah kelompok minoritas yang menggunakan Poso sebagai medan perjuangannya. Menurut Robert K Merton, Anomi dapat terjadi apabila sarana-sarana yang tersedia tidak cukup memadai untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki; oleh karena itu mereka menggunakan berbagai cara untuk mencapai tujuannya itu. Poso menjadi arena pertarungan berdarah, bagi kepentingan-kepentingan sepihak yang telah menelan korban jiwa dan harta benda. Berbagai faktor itulah yang harus diselesaikan dengan cepat, langkah persuasif diiringi dengan langkah penegakan hukum merupakan alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan konflik secara damai. Poso merupakan wilayah negara kesatuan, oleh karena itu semua pihak hendaknya memberi perhatian yang sungguhsungguh untuk menyelesaikannya terutama aparat pemerintah lokal dan aparatur penegak hukum. DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Nitibaskara, Tb Ronny Rachman, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Kompas, Jakarta, 2006. Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Alumni, Bandung, 2002. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1984. Sahetapy, J.E. Teori Kriminologi, Suatu Pengantar, Citra Aditya Bandung, 1992. Sangaji, Arianto, “Karut Marut Kekerasan Poso”, Kompas, 3 Nopember 2006. B. Jurnal Hukum Majalah Forum Keadilan, No. 27 Tanggal 27 - 12 Nopember 2006.