MENANGKAP MOTIVASI PAHLAWAN PENDIDIKAN (Studi pada Guru Tidak Tetap Madrasah Aliyah di Kota Pekalongan)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat Untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1) Pada Program Sarjana Fakultas Ekonomika Dan Bisnis Universitas Diponegoro Disusun oleh :
AKHMAD SOFARUDIN NIM. C2A009136
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2014 i
PERSETUJUAN SKRIPSI
Nama Penyusun
:
Akhmad Sofarudin
Nomor Induk Mahasiswa
:
C2A009136
Fakultas/Jurusan
:
Ekonomika dan Bisnis/Manajemen
Judul Skripsi
:
MENANGKAP MOTIVASI PAHLAWAN PENDIDIKAN (Studi Pada Guru Tidak
Tetap
Madrasah
Aliyah
di
Pekalongan) Dosen pembimbing
:
Dr. Hj Indi Djastuti, MS
Semarang, 11 Juni 2014 Dosen Pembimbing,
(Dr. Hj Indi Djastuti, MS) NIP. 19570218 198403 2001
ii
Kota
PENGESAHAN KELULUSAN UJIAN Nama Penyusun
:
Akhmad Sofarudin
Nomor Induk Mahasiswa
:
C2A009136
Fakultas/Jurusan
:
Ekonomika dan Bisnis/Manajemen
Judul Skripsi
:
MENANGKAP MOTIVASI PAHLAWAN PENDIDIKAN (Studi Pada Guru Tidak
Tetap
Madrasah
Aliyah
di
Kota
Pekalongan)
Telah dinyatakan lulus ujian pada tanggal 25 Juni 2014 Tim Penguji :
1.
Dr. Hj Indi Djastuti, MS
(…………………………….)
2.
Dr. Suharnomo, S.E, M.Si
(…………………………….)
3.
Eisha Lataruva S.E, M.M
(…………………………….)
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Akhmad Sofarudin, menyatakan bahwa skripsi dengan judul : MENANGKAP MOTIVASI PAHLAWAN PENDIDIKAN (Studi Pada Guru Tidak Tetap Madrasah Aliyah di Kota
Pekalongan) adalah hasil tulisan saya sendiri. Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang menunjukkan gagasan atau pendapat atau pemikiran dari penulis lain, yang saya akui seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri, dan/atau tidak terdapat bagian atau keseluruhan tulisan yang saya salin itu, atau yang saya ambil dari tulisan orang lain tanpa memberikan pengakuan penulis aslinya. Apabila saya melakukan tindakan yang bertentangan dengan hal tersebut di atas, secara disengaja, dengan ini saya menyatakan menarik skripsi yang saya ajukan sebagai hasil tulisan saya sendiri ini. Bila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, berarti gelar dan ijazah yang telah diberikan oleh universitas batal saya terima.
Semarang, 11 Juni 2014 Yang membuat pernyataan,
(Akhmad Sofarudin) NIM : C2A009136
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO: “Sesungguhnya setelah ada kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS Alam Nasyrah : 6-8) “Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena dengan begitu kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil.” (Mario Teguh) “Orang bilang halangan, kita bilang tantangan. Orang bilang hutan rimba, kita bilang jalan raya. Orang bilang nekat, kita bilang nikmat. Orang bilang jalan buntu, kita bilang mainan baru.” (Anonim)
PERSEMBAHAN:
Dengan mengucap syukur atas nikmat dan karunia yang diberikan Allah SWT, saya ingin mempersembahkan Tugas Akhir ini kepada Bapak, Ibu dan Adik-adik tercinta yang telah memberikan do‟a dan dukungan penuh kepada saya, serta untuk almamater yang saya banggakan yaitu Universitas Diponegoro.
v
ABSTRAK Guru sebagai salah satu komponen dalam kegiatan belajar mengajar (KBM), memiliki peran yang menentukan keberhasilan pembelajaran. Guru dituntut untuk memiliki keahlian, tanggung jawab dan jiwa rela memberikan layanan sosial di atas kepentingan pribadi. Namun ditengah banyaknya tuntutan terhadap profesi guru, banyak permasalahan yang dialami oleh guru, khususnya Guru Tidak Tetap (GTT), yakni berkisar masalah kesejahteraan dan kejelasan status kepegawaian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motivasi guru dan faktor-faktor khususnya motivasi intrinsik yang mempengaruhi motivasi GTT Madrasah tersebut. Selain itu, tujuan penelitian ini juga untuk mengetahui apakah motivasi prososial terdapat dalam diri GTT tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dimana pengumpulan datanya dilakukan dengan observasi sehingga mampu menggali lebih dalam tentang profesi guru tersebut. Sebagai objek dalam penelitian ini adalah GTT yang memiliki pengalaman kerja sebagai guru lebih dari 3 tahun yang bertugas di Madrasah Aliyah baik Negeri maupun Swasta di Kota Pekalongan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah motivasi GTT dipengaruhi oleh faktor nilainilai kerja, sikap individu terhadap pekerjaan, tujuan dan harapan, serta kemampuan individu. Penelitian ini juga menunjukkan motivasi prososial merupakan motivasi yang dominan ada dalam diri Guru Tidak Tetap (GTT) Kata kunci : Kualitatif, Guru Tidak Tetap, Motivasi Kerja, Motivasi Prososial, Intrinsik, Nilai-nilai Kerja.
vi
ABSTRACT Teacher as one component in teaching and learning activities, has an important role in determining the success of learning. Teachers are required to have expertise, responbility, and voluntary social service above personal interests. However teachers have to complete their duties professionally, they still face much problem, especially non official teachers, such as their wealth and clarity of employment status. This study aims to determine the motivation of teachers, especially intrinsic motivation factors which influence non official teachers. Beside, it will determine whether the teachers has prosocial motivation. This study uses qualitative methodsin which data collections was done by observation so as to dig deeper into teaching profession. This study places temporary teachers who have work experience of more than three years of teaching in Madrasah Aliyah both public and private in pekalongan city. The result obtained from this study is temporary teachers motivation influenced by factorsof work values, individual attitudes towards work, goals and expectations, as well as the ability of an individual. It also shows that prosocial motivation is the dominant motivation of temporary teachers. Keywords : Qualitative, Temporary teachers (non official government teachers), work motivation, prosocial motivation, intrinsic, work values.
vii
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena atas limpahan kasih sayang dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “MENANGKAP MOTIVASI PAHLAWAN PENDIDIKAN (Studi Pada Guru Tidak Tetap Madrasah Aliyah di Kota Pekalongan)”. Penulis menyadari bahwa selama proses hingga terselesaikannya skripsi ini banyak mendapatkan kontribusi dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan, yakni kepada: 1.
Penulis berterima kasih kepada Allah SWT, karena telah banyak menganugrahkan banyak nikmat dalam hidup ini.
2.
Bapak Prof. Drs. H. Mohamad Nasir, M.Si, Akt, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang.
3.
Bapak Dr. Suharnomo, S.E, M.Si selaku Ketua Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang.
4.
Ibu Dr. Hj Indi Djastuti, MS selaku Dosen Pembimbing yang dengan bijaksana memberikan bimbingan dan saran selama penyusunan hingga terselesaikannya skripsi ini.
5.
Ibu Eisha Lataruva, S.E, M.M selaku Dosen Wali yang sabar dan telah banyak membantu penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang.
viii
6.
Segenap
Dosen
Fakultas
Ekonomika
dan
Bisnis
Universitas
Diponegoro Semarang yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan penulis. 7.
Kementrian Agama Kota Pekalongan yang telah memberikan data nama guru.
8.
Para narasumber: Ibu Tri Indah Handayani, Bapak Zulfikar, Bapak Sumo, Bapak Teguh Wijanarko, Bapak Desi Puryanto, Ibu Maslikhah, Bapak Basoka Irawan, Bapak Nur Hadi, Bapak Sofwan Eka, Bapak Abdul Ghani, Bapak Junaidi yang telah membantu penulis untuk melakukan penelitian dan memberikan informasi yang bermanfaat sampai dengan terselesaikannya skripsi ini.
9.
Kedua Orangtua penulis, Bapak Aspuri dan Ibu Wasrianah atas kasih sayang, do‟a, bimbingan serta dukungan yang tak pernah putus demi kesuksesan penulis.
10. Adik-adikku, Khaerul dan Ulum yang telah ikut serta mengembangkan jualan buah saya, semoga usaha ini menjadi berkah bagi banyak orang. 11. Teman-teman kuliah, teman bisnis dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu yang telah banyak memberi banyak motivasi, doa, masukan, dan pembelajaran selama penulis menuntut ilmu. 12. Teman spesial penulis, Dhini Ari Zhona yang juga banyak memberikan motivasi kepada penulis untuk terus semangat dalan menjalani hidup ini. ix
13. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, atas bantuannya baik secara langsung maupun tidak langsung bagi penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, baik dalam bentuk maupun isi. Oleh karena itu, penulis sangat menghargai adanya saran dan kritik dari semua pihak yang bersifat membangun guna menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca. Semarang, 11 Juni 2014 Penulis,
x
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN UJIAN ....................................... iii PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ..................................................... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..................................................................... v ABSTRAK ......................................................................................................... vi ABSTRACT .........................................................................................................vii KATA PENGANTAR .......................................................................................viii DAFTAR ISI ......................................................................................................xi DAFTAR TABEL ..............................................................................................xv DAFTAR GAMBAR .........................................................................................xvi DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................xvii BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 15 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 16 1.4 Kegunaan Penelitian ......................................................................... 17 1.5 Sistematika Penelitian ...................................................................... 17 BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pendidikan ......................................................................... 19 xi
2.1.1 Tujuan Pendidikan ............................................................ 20 2.1.2 Pelaku Pendidikan ............................................................ 22 2.1.2.1 Profesi Guru ......................................................... 22 2.1.2.2 Profesionalisme Guru ...........................................24 2.1.2.3 Beban Tanggung Jawab Guru ..............................30 2.1.2.4 Guru Tetap dan Guru Tidak Tetap .......................32 2.2 Motivasi Kerja .................................................................................34 2.2.1 Definisi Motivasi ..............................................................34 2.2.2 Proses Motivasi ................................................................38 2.2.3 Jenis-jenis Motivasi ..........................................................41 2.2.4 Teori Motivasi ..................................................................43 2.2.4.1 Teori Kepuasan ....................................................43 2.2.4.2 Teori Proses Motivasi ..........................................48 2.2.4.3 Motivasi Prososial .................................................52 2.2.5 Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik ......................................55 2.2.5.1 Nilai ......................................................................59 2.2.5.2 Sikap .....................................................................63 2.2.5.3 Tujuan dan Harapan ..............................................64 2.2.5.4 Kemampuan ..........................................................66 2.3 Penelitian Terdahulu .......................................................................67 2.4 Kerangka Pemikiran .........................................................................71 BAB III : METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penilitian ..................................................................................72 xii
3.2 Lokasi Penelitian ...............................................................................74 3.3 Subjek Penelitian ..............................................................................74 3.4 Objek Penelitian ...............................................................................75 3.5 Metode Pengumpulan Data ..............................................................75 3.5.1 Wawancara ........................................................................75 3.5.2 Observasi ...........................................................................76 3.5.3 Dokumentasi ......................................................................76 3.5.4 Studi Pustaka .....................................................................77 3.6 Metode Analisis Data .......................................................................77 3.6.1 Reduksi Data .....................................................................78 3.6.2 Penyajian Data ...................................................................78 3.6.3 Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi ..............................79 3.7 Validasi Data ....................................................................................79 3.8 Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Penelitian .......................................81 BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Pendidikan di Kota Pekalongan ........................................85 4.2 Profil Sekolah ..................................................................................85 4.3 Profil Narasumber ...........................................................................90 4.4 Hasil Dan Pembahasan ....................................................................91 4.4.1 Karakteristik Narasumber .....................................................91 4.4.1.1 Masa Kerja ..............................................................91 4.4.1.2 Gaji ..........................................................................93 4.4.1.3 Suku/Etnis ...............................................................97 xiii
4.4.1.4 Jenis Kelamin ..........................................................100 4.4.1.5 Tingkat Pendidikan ..................................................100 4.4.1.6 Status Pernikahan ....................................................100 4.4.2 Hasil Penelitian dan Pembahasan .....................................101 4.4.2.1 Dimensi Nilai yang Membentuk Motivasi ............101 4.4.2.2 Dimensi Sikap yang Membentuk Motivasi ...........102 4.4.2.3 Dimensi Tujuan Dan Harapan yang Membentuk Motivasi ............................................................................106 4.4.2.4 Dimensi Kemampuan yang Membentuk Motivasi 109 4.4.2.5 Motivasi Prososial Guru Tidak Tetap ...................112
BAB V : PENUTUP 5.1 Kesimpulan ......................................................................................120 5.2 Saran ................................................................................................122 5.3 Keterbatasan Penelitian ...................................................................123 5.4 Saran Penelitian Mendatang ............................................................123
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Daftar Madrasah Aliyah di Pekalongan ..............................................7 Tabel 2.1 Faktor Internal Dan Eksternal ............................................................55 Tabel 2.2 Jenis Nilai Kerja .................................................................................60 Table 2.3 Penelitian Terdahulu ..........................................................................67 Tabel 3.1 Daftar Madrasah Aliyah di Pekalongan .............................................74 Tabel 4.1 Daftar Nama Narasumber Guru Tidak Tetap ......................................91 Tabel 4.2 Daftar Lama Mengabdi Narasumber Guru Tidak Tetap .....................92 Tabel 4.3 Daftar Honor Narasumber Guru Tidak Tetap .....................................95
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Proses Awal Motivasi …………………… ...................................39 Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran .....................................................................71
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Pertanyaan Panduan Wawancara Lampiran B. Foto Narasumber Lampiran C. Foto Lokasi Penelitian Lampiran D. Data Narasumber Lampiran E. Lembar Membercheck
xvii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mencapai butir-butir tujuan pendidikan tersebut perlu didahului oleh proses pendidikan yang memadai. Agar proses pendidikan dapat berjalan dengan baik, maka semua aspek yang dapat mempengaruhi belajar siswa hendaknya dapat berpengaruh positif bagi diri siswa, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Aspekaspek tersebut antara lain : Kurikulum, fasilitas belajar, sistem belajar yang baik serta yang tak kalah penting adalah kualitas kepengajaran guru. Guru. Digugu lan ditiru. Digugu artinya segala ucapan seorang guru itu dapat dipercaya, sedangkan ditiru memiliki makna bahwa segala tingkah laku seorang guru adalah sebagai contoh/teladan bagi orang lain. Jadi, seorang guru adalah seseorang yang bisa menjadi teladan yang dapat dipercaya baik bagi peserta didik, masyarakat maupun lingkungan. Makna dari peribahasa Jawa yang cukup populer ini menyiratkan guru adalah sosok yang berperan penting bagi pembentukan kepribadian masyarakat. Bagaimana tidak, orang-orang yang sukses dan mampu menjadi pemimpin berkualitas lahir berkat bimbingan dan pendidikan guru. 1
2
Sehingga guru memiliki andil bagi terbentuknya moral generasi bangsa. Bahkan tidak salah jika ada gelar pahlawan pendidikan yang disematkan kepada para guru, karena begitu pentingya peran guru dalam pendidikan. Menurut Mulyana (2006), guru sebagai salah satu komponen dalam kegiatan belajar mengajar (KBM), memiliki peran yang sangat menentukan keberhasilan pembelajaran, karena
fungsi
utama
guru
ialah merancang,
mengelola,
melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran. Kedudukan guru dalam kegiatan belajar mengajar juga sangat strategis dan menentukan. Disebut strategis karena guru yang akan menentukan kedalaman dan keluasan materi pelajaran, sedangkan bersifat menentukan karena guru yang memilah dan memilih bahan pelajaran yang akan disajikan kepada peserta didik. Dengan adanya Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka semakin kuatlah alasan pemerintah dalam melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan lembaga pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Keterlibatan masyarakat dan pemerintah daerah tersebut mencakup beberapa aspek dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan (UU No. 20 Th. 2003, pasal 8), termasuk
berkewajiban
memberikan
dukungan
sumber
daya
dalam
penyelenggaraan pendidikan. Termasuk di antaranya memantau serta menjaga kualitas dan kesejahteraan guru. Pemerintah dalam hal ini sudah mengatur agar guru menjadi semakin professional dan terfokus untuk menjaga kualitas kepengajarannya dengan UU Guru dan Dosen. Bahkan di kota Pekalongan sendiri, ada Peraturan pemerintah
3
yang mengatur jam kerja guru, di mana setiap guru, wakil kepala sekolah dan kepala sekolah memiliki jam kerja yang harus dipenuhi. Sehingga, guru bisa meningkatkan
kualitas
kepengajarannya
dengan
baik.
Kemudian
ada
Permendiknas nomor 39/2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan, di mana guru wajib memenuhi 24 jam tatap muka per minggunya. Jika para guru tidak bisa memenuhi 24 jam tatap muka tiap minggunya di sekolah tempatnya bertugas, maka sesuai ketentuan dalam SKB 5 Menteri, guru yang kekurangan jam mengajar mengikuti ketentuan minimal 6 jam mengajar di sekolah induk dan selebihnya di sekolah lain. Dalam praktik di lapangan, para guru yang kurang mengajar mesti proaktif mencari sekolah yang bersedia memberi tambahan jam mengajar. Selain adanya ketentutan minimal jam mengajar, guru diwajibkan memenuhi sertifikasi sesuai dengan UU Guru dan Dosen. Setiap guru wajib memiliki ijazah minimal S-1, sehingga kualitas kepengajarannya bisa lebih meningkat. Di samping itu, UU ini menjanjikan perbaikan kesejahteraan bagi para guru yang profesional, yaitu tunjangan sebesar satu kali gaji pokok dan tambahan tunjangan fungsional (Perrnendiknas RI Nomor 18 Tahun 2007). Dengan demikian, pemerintah menegaskan agar guru bersikap professional agar dapat mencapai keberhasilan
mengajar.
Keberhasilan
guru
dalam
melaksanakan
mengajar/mendidik dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: fasilitas, biaya, minat, kemampuan guru itu sendiri serta sikap professional yang senantiasa mengutamakan profesinya di atas yang lain.
4
Melihat begitu pentingnya peran guru dalam proses pendidikan dan sekaligus sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan proses pendidikan atau kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah, dituntut untuk memiliki sikap yang positif terhadap jabatannya. Guru merupakan suatu jabatan yang memerlukan keahlian, tanggung jawab dan jiwa rela memberikan layanan sosial di atas kepentingan pribadi. Sesuai dengan tuntutan jabatan guru tersebut, maka jabatan guru merupakan jabatan "profesi". Oleh karena itu, tujuan program pendidikan akan dapat dicapai oleh guru yang mempunyai sikap profesional yang positif. Dampak kualitas kemampuan profesional kinerja guru bukan hanya akan berkontribusi terhadap kualitas lulusan yang akan dihasilkan (output), melainkan juga akan berlanjut pada kualitas kinerja dan jasa para lulusan tersebut (outcome) dalam pembangunan, yang pada gilirannya kemudian akan nampak pengaruhnya terhadap kualitas peradaban dan martabat hidup masyarakat, bangsa, serta umat manusia pada umumnya. Diyakini dengan adanya UU Guru dan Dosen, martabat guru semakin dihargai, profesi guru dapat disejajarkan dengan profesi-profesi lain, mendorong peningkatan kualitas guru, dan akhirnya bermuara pada peningkatan mutu pendidikan Indonesia. Sikap profesional tidak akan tercapai tanpa didukung oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya, salah satunya adalah lingkungan (baik lingkungan tempat tinggal maupun sekitar sekolah). Faktor lain yang dapat mendukung terbentuknya sikap profesional adalah status kepegawaian (negeri maupun swasta), masa kerja sebagai guru, latar belakang keluarga, serta jenis kelamin.
5
Para guru yang telah diangkat statusnya menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selain kenaikan gaji pokok, pemerintah juga memberikan gaji bulan ke-13 bagi PNS dan pensiunan. Pemerintah juga akan menaikkan uang makan bagi TNI/Polri dan PNS. Untuk TNI/Polri uang makan naik dari Rp 40 ribu per hari menjadi Rp 45 ribu per hari. Sedangkan untuk PNS, uang makan dari Rp 20 ribu menjadi Rp25 ribu. Presiden SBY pun menyatakan, selama lima tahun terakhir (2008-2013), gaji PNS dan TNI/ Polri telah naik dari Rp2,153 juta menjadi Rp 2,983 juta (bisnis.liputan6.com, 18 Agustus 2013). Bahkan PNS yang berstatus guru misalnya, selain mendapatkan kenaikan gaji setiap tahunnya, mereka juga mendapatkan tunjangan perbaikan kesejahteraan bagi mereka yang sudah lolos sertifikasi. Animo masyarakat yang tinggi dalam setiap penerimaan CPNS , baik yang sudah berstatus pegawai tidak tetap sebelumnya ataupun yang baru melamar, mengindikasikan profesi tersebut masih begitu menggiurkan, dengan asumsi menjadi CPNS akan berada dalam titik aman, tidak akan di-PHK, menerima uang pensiun, mendapatkan gaji setiap bulan, dengan segala tunjangan keluarga, kesehatan, transportasi dan hingga adanya gaji ke-13, dan kita akan menelan ludah lagi apabila dihubungkan dengan kebijakan pemerintah yang meningkatkan gaji dan kesejahteraan PNS yang hampir setiap tahunnya. Dalam
penyelenggaraan
pendidikan,
kita
mengenal
adanya
sistem
kepegawaian bagi para penyelenggara tersebut, baik dari tingkat atas seperti dalam kementerian pendidikan nasional hingga tingkat bawah mulai jajaran kepala sekolah hingga para guru. Para guru ini merupakan sdm lapangan yang
6
sangat berperan penting dalam proses pendidikan. Sehingga semestinya eksistensi dan andil para guru harus dihargai, dihormati dan dijunjung. Salah satunya dengan memberikan status kepegawaian tetap. Selama ini, ada dua tingkatan kepegawaian yang ada di birokrasi, yakni pegawai tetap, yang biasa kita kenal dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai tidak tetap. Menurut Wakiran, dkk. (2009), dalam pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 secara tegas dinyatakan, bahwa disamping Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pejabat yang berwenang dapat mengangkat Pegawai Tidak Tetap. Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan Pegawai Tidak Tetap adalah pegawai yang diangkat untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis profesional dan administrasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi dalam kerangka sistem kepegawaian, Pegawai Tidak Tetap tidak berkedudukan sebagai Pegawai Negeri. Dalam pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan selain Pegawai Negeri Sipil terdapat juga beberapa jenis pegawai yang melaksanakan tugas sebagaimana dilaksanakan oleh Pegawai Negeri Sipil, akan tetapi pendekatannya atau sebutan istilahnya di berbagai instansi baik Pusat maupun Daerah berbedabeda. Hal ini disebabkan, karena sampai saat ini belum ada norma, standar, prosedur yang mengatur hal tersebut. Madrasah Aliyah yang berada di bawah Kementrian Agama juga memiliki pegawai tidak tetap, berupa guru-guru tidak tetap yang ikut mengajar saat proses kegiatan belajar mengajar berlangsung di Madrasah Aliyah.
7
Tabel 1.1 Daftar Madrasah Aliyah di Pekalongan No
Nama Madrasah Aliyah
Alamat
Jalan Raya Buaran 1 MA KH. Syafi‟i 2 MA Hidayatul Athfal Jalan Gatot Subroto 3 MA Salafiyah Pekalongan Jalan Purnasari 4 MA Ribatul Muta‟alimin Jalan HOS Cokroaminoto 5 MAN 3 Pekalongan Jalan Trikora Pragak 6 MAN 2 Pekalongan Jalan Urip Sumoharjo Sumber : Kementrian Agama Kota Pekalongan, 2014 Menurut arsip data kepegawaian tahun 2013 yang didapatkan dari Kantor Kementrian Agama Kota Pekalongan tentang Guru yang belum berstatus PNS yang bertugas diberbagai Madrasah Aliyah se-Kota Pekalongan yang berjumlah 64 orang dengan rincian sebagai berikut: 36 GTT MA swasta, dan 28 GTT di MA Negeri. Selama ini guru yang bekerja di Madrasah Aliyah, baik negeri maupun swasta, sering kali masyarakat mengira bahwa para guru tersebut adalah berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Padahal tidak semua guru yang bekerja di Madrasah Aliyah tersebut berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), atau ada pula non PNS yang biasa disebut Guru Swasta, Guru Honorer, Guru Tidak Tetap, Guru Yayasan, atau Guru Kontrak. Guru Tidak Tetap yang bekerja pada beberapa Madrasah Negeri maupun Swasta, sampai saat ini belum memiliki standar gaji yang menitikberatkan pada bobot jam pelajaran, tingkatan jabatan, dan tanggung jawab masa depan siswanya. Apalagi untuk guru yang mengajar di tingkat MA sederajat. Banyak diantara mereka yang beban bekerjanya melebihi dari imbalan yang mereka terima. Dengan kata lain, insentif atau gaji yang mereka terima tidak sebanding dengan
8
pekerjaan yang mereka laksanakan dan tanggung jawab yang mereka terima terhadap masa depan siswanya, berhasil atau tidaknya menyelesaikan program pendidikan di Madrasah untuk melanjutkan ke perguruan tinggi ataupun masuk ke dunia kerja, bergantung pada kapabilitas guru Madrasah ini. Sosiolog Universitas Sumatera Utara, Prof Dr Badaruddin MA menilai gaji guru honorer atau non-pegawai negeri sipil di Indonesia sangat memprihatinkan, karena penghasilannya rendah dan di bawah upah minimum regional (UMR) (Badaruddin, 2012). Sebagai contoh di Kota Pekalongan yang memiliki UMR Rp 1.165.000,- tapi masih banyak guru tidak tetap yang menerima gaji di bawah UMR tersebut. Seperti yang dituturkan oleh Pak Teguh, guru MAN 2 Pekalongan bidang studi Sejarah. Dengan gaji sebesar Rp. 700.000,- per bulan, sementara ia sudah berkeluarga, jelas tidak cukup memenuhi kebutuhannya sehari-hari. “Kalau di bilang cukup ya pasti cukup, penghasilan Rp 100.000,- saja kalau di cukupkan pasti cukup. Tapi, dengan kondisi sudah berkeluarga pasti akan bertambah kebutuhannya, sehingga kalau penghasilannya seperti sekarang, masih kurang.” Di samping itu, guru madrasah sendiri seringkali diberikan gaji yang sangat tidak layak, dibandingkan guru tidak tetap di sekolah negeri. Guru madrasah seakan dimarjinalkan perannya dengan minimnya gaji yang sangat jauh dibawa standar. Minimnya kesejahteraan guru tidak tetap telah menyebabkan konsentrasi guru tersebut terpecah menjadi beberapa sisi. Disatu sisi seorang guru harus menambah kapasitas akademis pembelajaran dengan terus memperbarui dan
9
berinovasi dengan media, metode pembelajaran, dan kapasitas dirinya. Di sisi lain, sebagai efek demonstrasi dari minimnya kesejahteraan, seorang guru dituntut memenuhi kesejahteraannya dengan melakukan usaha atau kegiatan lain seperti katering, bimbingan belajar, dan lain-lain. Akhirnya, seiring dengan perjalanan waktu, sisi-sisi peningkatan kualitas akademis menjadi tersisihkan dan hal ini terus berlangsung sampai sekarang. Minimnya kesejahteraan guru tidak tetap dalam jangka waktu lama telah menggiring budaya/tradisi akademis menjadi terpinggirkan. Terlebih lagi dalam era modern saat ini, guru selalu dituntut menjadi figur yang mampu memberikan kesan positif baik dilingkungan kerjanya (sekolah) maupun ketika berada di masyarakat. Tugas dan tanggung jawab seorang guru semakin berat ketika di satu sisi guru harus menerapkan didikan yang tepat sesuai kodrat alam anak didiknya, di sisi lainnya guru berupaya semaksimal mungkin memilah dan menyelaraskan nilai-nilai hidup yang ada di lingkungan anak didiknya dengan segala perkembangan
arus
modernisasi
melalui
berbagai
media
yang
dapat
mempengaruhi kehidupan anak itu sendiri. Selain itu di beberapa daerah, guru masih dianggap profesi yang mempunyai prestis tersendiri di mata masyarakat sehingga guru menjadi figur yang dianggap mampu dari segi moril maupun materiil. Padahal kondisi sebenarnya tidaklah selalu demikian. Dengan beratnya beban yang ditanggung para guru, seperti ketentuan minimal jam mengajar, sertifikasi, serta peningkatan kualitas mengajar sementara gaji dan tunjangan atau insentif yang diberikan pemerintah kepada para guru tidak tetap sangat minim, membuat konsentrasi guru terpecah. Antara meningkatkan
10
kuliatas didik dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.Selain menerima gaji yang tidak sesuai dengan pemenuhan kebutuhan mereka, Guru Tidak Tetap inipun masih harus berupaya untuk bisa diangkat sebagai PNS. Pemerintah Kota Pekalongan tahun 2013 hanya mendapat alokasi 50 formasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang ditujukan untuk guru, guru produktif dan guru kelas dari Kementerian Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat ada ratusan guru yang harus memperjuangkan formasi CPNS tersebut, tidak hanya dari madrasah pada umumnya, melainkan di sekolah negeri pun juga masih memiliki guru tidak tetap. Dengan kondisi yang serba minim tersebut ada realitas lain bahwa para guru ini mau menekuni profesi guru tidak tetap dalam waktu lebih dari 3 tahun, bahkan ada yang sampai 20 tahun. Sehingga peneliti berasumsi bahwa para guru ini bertahan dalam menekuni profesi guru bukan karena masalah gaji yang rendah tapi ada dorongan internal dari dalam diri mereka untuk tetap menekuni profesi ini. Dalam hal ini perlu untuk mengetahui landasan dan motivasi apa yang melatarbelakangi Guru Tidak Tetap dalam menekuni profesi serta menjalankan tugas dan kewajibannya ditengah masalah kesejahteraan yang belum terpenuhi dan tidak jelasnya status kepegawaian. Yang dimaksud motivasi di sini adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan dan mendukung perilaku manusia, supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal (Prabu, 2005). Menurut Mulyana (2006), seseorang melakukan tindakan lebih karena didasari oleh suatu motivasi, dimana motivasi tersebut
11
diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Teori motivasi yang diungkapkan oleh Mcclelland (dalam Noor, 2012) disebutkan bahwa motivasi merupakan serangkaian sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi individu untuk mencapai hal yang spesifik sesuai dgn tujuan individu. Menurut Priyatama (2009), motivasi kerja instrinsik terbentuk oleh nilai atau gabungan dari kenikmatan atau kesenangan dalam menjalankan suatu tugas untuk tujuan tertentu. Nilai merupakan keyakinan yang ada dalam diri individu menjadi pedoman dalam berperilaku. Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow meletakkan kebutuhan fisiologis di urutan pertama tingkat kebutuhan yang dibutuhkan oleh seseorang dan mengasumsikan bahwa orang akan berusaha memenuhi kebutuhan secara fisiologis terlebih dahulu. Pemenuhan kebutuhan bersifat fisik ini sangat berkaitan erat dengan pemberian kompensasi yang sesuai dan wajar kepada pekerja untuk dapat memenuhi kesejahteraan hidup (Justicia dalam Haryokusumo, 2011). Terpenuhinya kesejahteraan pekerja dengan baik dan kompensasi yang cukup akan memacu prestasi dan kinerja pekerja tersebut. Triatmanto dan Sunardi (dalam Haryokusumo, 2011) mendefinisikan motivasi sebagai keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan. Jadi motivasi yang ada pada seseorang akan mewujudkan suatu perilaku yang diarahkan pada tujuan mencapai sasaran kepuasan. Apabila membicarakan tentang motivasi kerja, hal pokok yang menjadi bagian dari pembicaraan adalah faktor-faktor apakah yang menjadi pendorong orang untuk bekerja (Suhartapa
12
dalam Haryokusumo, 2011). Faktor motivasi ini dibagi sumbernya oleh Luthans (2009) menjadi dua, yaitu motivasi intrinsik yang berasal dari dalam diri individu, dan motivasi ekstrinsik yang berasal dari luar pribadi individu. Motivasi intrinsik menjadi faktor dominan yang mempengaruhi perilaku seseorang (Prianto dalam Haryokusumo, 2011). Motivasi kerja intrinsik secara positif melibatkan pengalaman berharga yang dialami pekerja dari pekerjaannya. Motivasi ini adalah pendorong kerja yang bersumber dari dalam diri pekerja sebagai individu, berupa kesadaran akan pentingnya atau makna dari pekerjaan yang dilakukannya. Sedangkan Prianto menyatakan nilai-nilai yang dianut para pegawai di dalam motivasi intrinsik merupakan variabel utama yang menentukan kinerja. Selanjutnya adalah sikap, menurut Gibson, et al (dalam Haryokusumo, 2011), sikap (attitude) adalah kesiap-siagaan mental, yang dipelajari dan diorganisasi melalui pengalaman, dan mempunyai pengaruh tertentu atas cara tangkap seseorang terhadap orang lain, objek, dan situasi yang berhubungan dengannya. Sikap merupakan bagian hakiki dari kepribadian seseorang. Robbins (2008), mengatakan sikap seseorang terhadap pekerjaannya dapat dilihat dari kepuasan kerja yang dirasakan, keterlibatan kerja, dan komitmen pada pekerjaan yang diteliti. Edwin Locke (dalam Robbins, 2008) mengatakan bahwa maksud-maksud untuk bekerja ke arah suatu tujuan merupakan sumber utama dari motivasi kerja. Artinya, tujuan memberitahu individu apa yang perlu diupayakan dan berapa banyak upaya yang akan dihasilkan. Sedangkan Vroom (dalam Robbins, 2008)
13
mengatakan harapan adalah kecendrungan seseorang untuk bekerja secara benar bergantung pada kekuatan dari pengharapan bahwa kerja akan diikuti dengan adanya imbalan. Setiap individu dalam melakukan sebuah kegiatan-kegiatan akan diidorong oleh sebuah tujuan yang akan dicapai atau didapatkan dari kegiatan tersebut. Seseorang mau bekerja keras bila ada harapan pribadi yang hendak diwujudkan menjadi kenyataan (Saydan dalam Sayuti, 2007). Dalam penelitian ini, peneliti mencoba mengetahui apa yang menjadi tujuan dengan cara menanyakan alasan narasumber memilih menjadi profesi guru. Selanjutnya adalah kemampuan, motivasi kerja individu terkadang menyesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh individu tersebut. Menurut Robbins (2008), kemampuan (ability) adalah suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Seluruh kemampuan individu pada hakekatnya tersusun dari dua perangkat faktor, yakni kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Disisi lain faktor atau kondisi ekonomi serta kesejahteraan Guru Tidak Tetap yang berada di bawah harapan memang sulit untuk dijadikan sebagai motif utama dalam melayani masyarakat. Guru Tidak Tetap harus mempunyai motivasi yang kuat di luar itu agar dapat tetap memberikan dorongan dalam bekerja. Menurut Suhartapa (dalam Haryokusumo, 2011) dalam organisasi dengan kondisi keuangan yang lemah atau menurun, perhatian lebih diberikan kepada psychological income. Psychological income merupakan bagian dari motivasi intrinsik. Motivasi psikologis menunjukkan kebutuhan karyawan yang tidak
14
bersifat material atau finansial, tetapi lebih bersifat non material. Upaya pemenuhan kebutuhan yang bersifat psikologis sangat penting bagi organisasi karena akan dapat meningkatkan kegairahan dan kepuasan kerja yang akhirnya berdampak pada peningkatan kerja dan prestasi karyawan. Hal ini masih menurut Suhartapa, hal-hal positif yang ingin diperoleh karyawan dari interaksi tersebut tidaklah semata-mata hal yang bersifat material atau finansial, tetapi juga hal-hal yang bersifat psikologis. Francois dan Vlassopoulos (dalam Haryokusumo, 2011) menggambarkan bahwa keberhasilan sangat ditentukan oleh motivasi yang datang dari internal pekerjanya. Motivasi internal (intrinsic motivation) ini disimpulkan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seseorang bukan karena fokus pada balas jasa eksternal (external reward) tetapi karena aktivitas atau pekerjaan itu dinilai memiliki arti. Motivasi intrinsik dalam melakukan pelayanan ini disebut dengan motivasi pro-sosial (pro-social motivation). Pekerja dengan motivasi prososial tidak akan terpengaruh oleh kekuatan dari insentif. Motivasi prososial ini digunakan sebagai istilah tingkah laku menolong dalam kajian ilmu psikologi sosial. Tingkah laku menolong diartikan sebagai tindakan individu untuk menolong orang lain tanpa adanya keuntungan langsung bagi si penolong. Wujud dari tingkah laku menolong ini adalah sikap altruisme, yaitu motivasi untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain (Sarwono dan Meinarno, 2001). Sikap altruisme ini menjadi wujud motivasi prososial dalam memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat.
15
Rangkaian motivasi intrinsik dapat melekat pada individu tergantung penilaian akan tugas yang dilakukan oleh masing-masing individu. Penilaian individu ini berdasarkan idealisme dan standard mereka masing-masing. Hasil penilaian tadi akan tercermin dari perilaku yang nampak. Dari perilaku tersebut akhirnya dapat dibuat kesimpulan bagaimana motivasi kerja intrinsik seseorang (Ratnawati dalam Haryokusumo, 2011). Pendapat tersebut didukung oleh Thomas dan Velthouse (dalam Haryokusumo, 2011) yang menyatakan bahwa, “Essentially, intrinsic task motivation involves positively valued experienced that individuals derive directly from the task.”. Melihat kondisi ini, menarik kiranya untuk mengkaji lebih dalam mengenai motivasi Guru Tidak Tetap dalam bekerja dan hal-hal apa saja yang melatarbelakangi motivasi tersebut, mengingat kondisi Guru Tidak Tetap yang profesinya masih mengandung berbagai masalah seputar kesejahteraan dan status kepegawaian, sedangkan tuntutan melaksanakan kewajiban harus terus dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah Dengan UMR Kota Pekalongan yang bernilai Rp 1.165.000,- masih ada saja guru tidak tetap yang hidup dengan honor di bawah UMR. Dengan kondisi tersebut para guru masih konsisten menekuni profesi guru hingga lebih dari tiga tahun bahkan ada yang sampai 20 tahun. Berarti dalam menekuni profesinya ada motivasi intrinsik pada guru tersebut yang berpengaruh. Motivasi intrinsik tersebut mendorong untuk tetap menekuni profesi guru. Oleh karena itu, peneliti akan meneliti motivasi intrinsik yang tersusun dari nilai, sikap, tujuan dan
16
harapan, serta kemampuan, maka munccullah pertanyaan penelitian yang di angkat dalam penelitian ini adalah: 1. Nilai-nilai apa yang mempengaruhi motivasi Guru Tidak Tetap Madrasah Aliyah dalam menjalankan pekerjaannya? 2. Bagaimana sikap kerja Guru Tidak Tetap Madrasah Aliyah? 3. Apa tujuan dan harapan Guru Tidak Tetap Madrasah Aliyah? 4. Bagaimana kondisi kemampuan Guru Tidak Tetap Madrasah Aliyah? 5. Apakah motivasi prososial terdapat dalam diri Guru Tidak Tetap Madrasah Aliyah?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan diadakan penelitian ini adalah 1.
Untuk mengetahui nilai-nilai yang mempengaruhi motivasi para Guru Tidak Tetap Madrasah Aliyah yang mengajar di Kota Pekalongan.
2.
Untuk mengetahui sikap kerja yang mempengaruhi motivasi para Guru Tidak Tetap Madrasah Aliyah yang mengajar di Kota Pekalongan.
3.
Untuk mengetahui tujuan dan harapan yang mempengaruhi motivasi para Guru Tidak Tetap Madrasah Aliyah yang mengajar di Kota Pekalongan.
4.
Untuk mengetahui nilai-nilai yang mempengaruhi motivasi para Guru Tidak Tetap Madrasah Aliyah yang mengajar di Kota Pekalongan.
17
5.
Untuk mengetahui apakah motivasi prososial terdapat dalam diri Guru Tidak Tetap Madrasah Aliyah yang mengajar di Kota Pekalongan.
1.4 Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: 1.
Memberi
sumbangan
referensi
bagi
pengembangan
ilmu
Manajemen khususnya dalam hal Manajemen Sumber Daya Manusia 2.
Memberi masukan bagi kegiatan penelitian yang lain mengenai
motivasi kerja, khususnya mengenai Guru Tidak Tetap Madrasah Aliyah. 3.
Memberikan sumbangsih pemikiran bagi Dinas Agama dan
Stakeholder yang terkait dengan lembaga Madrasah sebagai bahan masukan untuk perbaikan pengelolaan dan penataan Lembaga Madrasah ke depan.
1.5 Sistematika Penulisan Penelitian ini dibagi menjadi 5 bagian dengan sistematika penulisan sebagai berikut: • BAB I Pendahuluan merupakan bagian yang menjelaskan latar belakang masalah, perumusan masalah yang diambil, tujuan dan kegunaan penelitian serta sistematika penulisan.
18
• BAB II Tinjauan Pustaka merupakan bagian yang menjelaskan landasan teori yang berhubungan dengan penelitian serta hasil penelitian terdahulu tentang teori motivasi dan hal-hal yang mungkin menjadi faktor pendorongnya. • BAB III Metode Penelitian merupakan bagian yang menjelaskan bagaimana metode yang digunakan, sampel sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. • BAB IV Hasil dan Pembahasan merupakan bagian yang menjelaskan deskripsi obyek penelitian, analisis data, dan pembahasan. • BAB V Penutup merupakan bagian terakhir dalam penulisan skripsi.Bagian ini memuat
kesimpulan
dan
saran.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pendidikan Purwanto (dalam Firdausz, 2013), mengatakan bahwa ilmu pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Selain itu, Purwanto juga menerangkan pendidikan sebagai segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan. Menurut Gunawan (dalam Haryokusumo, 2011) pengertian pendidikan adalah merupakan proses memanusiakan manusia secara manusiawi yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi dan perkembangan zaman, selain itu dengan mengacu pada “pendidikan sepanjang hayat” maka pendidikan dapat terjadi kapanpun, dimanapun oleh siapapun dan kepada siapapun. Gunawan juga menerangkan dengan pendidikan terbentuklah kepribadian seseorang dan perkembangan masyarakat dipengaruhi oleh sikap pribadi-pribadi yang ada di dalamnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa antara pendidikan dengan masyarakat saling memiliki hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Dalam Undang-Undang No. 20/2003 Pasal 1 tentang “Sistem Pendidikan Nasional”disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
19
20
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. 2.1.1 Tujuan Pendidikan Langeveld (dalam Firdausz, 2012) mengutarakan lima tujuan dari pendidikan: a) Tujuan umum, disebut juga tujuan akhir atau tujuan bulat. Tujuan umum adalah tujuan di dalam pendidikan yang seharusnya menjadi tujuan orang tua atau pendidik lain, yang telah ditetapkan oleh pendidik dan selalu dihubungkan dengan keadaan pada anak didik dan dihubungkan dengan syarat dan alat untuk mencapai tujuan umum tersebut. b) Tujuan-tujuan tak sempurna, yang dimaksud dari tujuan ini adalah mengenai segi-segi kepribadian manusia yang tertentu yang hendak dicapai dengan pendidikan itu, yaitu segi-segi yang berhubungan dengan nilai-nilai
hidup
tertentu,
seperti
keindahan,
kesusilaan,
dan
kemasyarakatan. Tujuan tak sempurna ini bergantung terhadap tujuan umum anak didik, karena pendidikan hendaklah harmonis. c) Tujuan-tujuan sementara, yang dimaksud dari tujuan ini adalah tempat pemberhentian sementara pada jalan yang menuju tujuan utama seperti belajar bicara, belajar berbelanja dan belajar untuk menjaga kebersihan. Tujuan sementara merupakan tingkatan untuk menuju kepada tujuan umum d) Tujuan-tujuan perantara, sangat bergantung kepada tujuan sementara. Jika yang menjadi contoh dalam tujuan sementara adalah harus belajar baca dan
21
tulis, maka tujuan perantaranya adalah metode mengajar dan metode membaca. e) Tujuan insidental, tujuan ini hanya sebagai kejadian yang merupakan saat yang terlepas pada jalan yang menuju pada tujuan umum. Purwanto (dalam Firdausz, 2013) menerangkan beberapa pendapat tentang tujuan pendidikan sesuai titik berat yang hendak dituju: a) Ada ahli yang menitikberatkan tujuan pendidikan kepada ketuhanan atau agama. Anak didik diharuskan untuk selalu menuruti dan selalu berbakti kepada agamanya untuk mempersiapkan hidup di akhirat nanti. b) JJ Rousseau lebih mementingkan pendidikan individu daripada pendidikan kemasyarakatan. sehingga tujuan dari pendidikan bagi Rousseau adalah untuk mengembangkan anak sesuai ketertarikan dan bakat yang dimiliki anak didik. Sedangkan menurut Dewey tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia agar menjadi warga negara yang baik, pendeknya, pendidikan mempersiapkan anak untuk hidup didalam masyarakat. c) Tujuan pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara dapat dilihat dari tujuan pendidikan taman siswa yang mengemukakan dua dasar: 1) Kemerdekaan
sebagai
syarat
untuk
menghidupkan
dan
menggerakkan kekuatan lahir dan batin sehingga dapat hidup merdeka. 2) Kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya.
22
2.1.2 Pelaku Pendidikan 2.1.2.1 Profesi Guru Definisi guru tercantum dalam UU Guru dan Dosen no 14 Tahun 2005 Pasal 1 ayat 1 : “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.” Yang kemudian ditegaskan lagi dalam pasal 2 ayat 1 : “Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundangundangan.” Salah satu permasalahan esensial pendidikan yang sampai saat ini masih dihadapi bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenis, jenjang, jalur, dan satuan pendidikan. Bahkan kalau kita amati lebih cermat kondisi pendidikan di negeri ini dari hari ke hari semakin menurun kualitasnya. Apabila mengacu pada Human Development Index (HDI), Indonesia menjadi negara dengan kualias SDM yang memprihatinkan. Berdasarkan HDI tahun 2013, Indonesia berada diperingkat 121 dunia dari 186 negara yang diteliti. Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia berada diperingkat 64, Thailand diperingkat 103, apalagi dengan Singapura yang berada di peringkat 18 kita jauh tertinggal. Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam dan Timor Leste yang berada diposisi 127 dan 134. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya daya
23
saing SDM Indonesia untuk memperoleh posisi kerja yang baik di tengah-tengah persaingan global yang kompetitif. HDI merupakan potret tahunan untuk melihat perkembangan manusia di suatu negara. HDI adalah kumpulan penilaian dari 3 kategori, yakni kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Menjadi jelas bahwa sudah saatnya Indonesia menjadikan sektor pendidikan sebagai prioritas utama dalam program pembangunan. Apabila hal ini tidak dibenahi, bukan hal mustahil daya saing dan kualitas manusia Indonesia akan lebih rendah dari negara yang baru saja merdeka seperti Vietnam atau Timor Leste. Berbagai usaha dan inovasi telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain melalui penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, pelatihan dan peningkatan kompetensi guru, manajemen mutu sekolah, sistem SKS, dan menyiapkan sekolah unggul. Guru di negara maju pada umumnya memiliki paradigma jika mutu, komitmen, dan tanggung jawab terhadap profesi sebagai guru tinggi, pasti penghargaan oleh masyarakat dan perhatian pemerintah terhadap profesi guru dari aspek kesejahteraan tinggi. Hal ini memang terbukti. Pemerintah pada sejumlah negara maju, misalnya Jepang dan Amerika Serikat memberi gaji yang tinggi terhadap profesi guru. Perubahan yang inovatif, baik dalam bentuk ide dan karya nyata berwujud benda sebagiannya merupakan hasil pemikiran cemerlang guru. Di negara maju cukup banyak ide guru diadopsi, diadaptasi menjadi inspirasi kemajuan perusahaan dan industri besar.
24
Namun, hal ini sangat bertolak belakang dengan keberadaan profesi guru di negara kita. Di negeri ini sudah menjadi realitas umum guru bukan menjadi profesi yang berkelas, baik secara sosial maupun ekonomi. Hal yang biasa, apabila menjadi Teller di sebuah Bank, lebih terlihat high class dibandingkan guru. Paradigma tentang guru yang berkembang di tengah masyarakat, bahkan oleh sebagian guru itu sendiri, bahwa yang lebih dahulu harus ditinggkatkan adalah gaji guru. Jika gaji guru tinggi dipahami bahwa secara otomatis mutu, komitmen dan tanggung jawab guru juga akan tinggi. Tuntutan yang sudah lama menggaung ini sulit dipenuhi oleh pemerintah dengan alasan klasik bahwa keuangan negara sangat terbatas. Konsep berpikir seperti ini telah melemahkan posisi bargaining guru. Akibatnya, guru selalu setia menjadi korban dari political will pemerintah yang tidak berpihak pada nasib guru. Akan tetapi, kesadaran guru menjadi korban kadangkala terlambat muncul bahkan tidak disadari oleh guru, karena sebagian “rasa korban” itu adalah kenikmatan. 2.1.2.2 Profesionalisme Guru Profesional (dari bahasa Inggris) berarti ahli, pakar, mumpuni dalam bidang yang digeluti. Dalam manajemen sumber daya manusia, menjadi profesional adalah tuntutan jabatan, pekerjaan ataupun profesi. Ada satu hal penting yang menjadi aspek bagi sebuah profesi, yaitu sikap profesional dan kualitas kerja (Reminsa, 2008). Dalam pandangan masyarakat modern, guru belum merupakan profesi yang profesional jika hanya mampu membuat murid membaca, menulis dan berhitung, atau mendapat nilai tinggi, naik kelas dan lulus ujian. Masyarakat
25
modern menganggap kompetensi guru belum lengkap jika hanya dilihat dari keahlian dan ketrampilan yang dimiliki melainkan juga dari orientasi guru terhadap perubahan dan inovasi. Menurut Reminsa (2008), menjadi guru mungkin semua orang bisa. Tetapi menjadi guru yang memiliki keahlian dalam mendidik atau mengajar perlu pendidikan, pelatihan dan jam terbang yang memadai. Dalam kontek diatas, untuk menjadi guru profesional seperti yang dimaksud standar minimal yang harus dimiliki adalah: •
Memiliki kemampuan intelektual yang memadai
•
Kemampuan memahami visi dan misi pendidikan
•
Keahlian
mentrasfer
ilmu
pengetahuan
atau
metodelogi
pembelajaran •
Memahami konsep perkembangan anak/psikologi perkembangan
•
Kemampuan mengorganisir dan problem solving
•
Kreatif dan memiliki seni dalam mendidik
Menjadi profesional, berarti menjadi ahli dalam bidangnya. Seorang ahli, tentunya berkualitas dalam melaksanakan pekerjaannya. Akan tetapi tidak semua Ahli dapat menjadi berkualitas. Karena menjadi berkualitas bukan hanya persoalan ahli, tetapi juga menyangkut persoalan integritas dan personaliti. Dalam perspektif pengembangan sumber daya manusia, menjadi profesional adalah satu kesatuan antara konsep personaliti dan integritas yang dipadupadankan dengan skil atau keahliannya.
26
Menjadi profesional adalah tuntutan setiap profesi, seperti dokter, insinyur, pilot, ataupun profesi yang telah familiar di tengah masyarakat. Menjadi profesional adalah meramu kualitas dengan intergiritas, menjadi guru pforesional adalah keniscayaan. Namun demikian, profesi guru juga sangat lekat dengan peran yang psikologis, humanis bahkan identik dengan citra kemanusiaan. Karena ibarat sebuah laboratorium, seorang guru seperti ilmuwan yang sedang bereksperimen terhadap nasib anak manusia dan juga suatu bangsa. Kalau merujuk pada definisi guru dalam UU No. 14 Tahun 2005, guru sudah dianggap tenaga professional, di mana secara profesi sudah diakui dan memiliki hak dan kewajiban yang wajib dipenuhi. Berbeda dengan tenaga pengabdian yang hanya melakukan pekerjaan demi baktinya semata. Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat: pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu. Tenaga professional berarti dia berhak mendapatkan gaji atau pembayaran sesuai dengan hasil kerja dan kompetensinya di lapangan. Gaji ini dibayarkan oleh penyelenggara pendidikan dalam hal ini sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2005 tersebut adalah Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal. Dengan demikian sebagai tenaga professional, ada hak dan kewajiban guru yang termaktub dalam pasal 14 dan pasal 20 : (1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:
27
a) Memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; b) Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; c) Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; d) Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi; e) Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan. f) Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/ atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundangundangan; g) Memperoleh rasa aman dan jaminan keselarnatan dalam melaksanakan tugas; h) Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi; i) Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan; j) Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan / atau k) Memperoleh pelatihan dan pengembangan. profesi dalam bidangnya. Pasal 20 Dalam rnelaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban :
28
a) Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; b) Meningkatkan
dan
mengembangkan
kualifikasi
akadernik
dan
kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; c) Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; d) Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan e) Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Namun tidak sembarangan guru yang bisa mendapatkan fasilitas tersebut bahkan ketika sudah memenuhi tugas pokok dan fungsinya sebagai tenaga professional. Guru harus memiliki jenjang pendidikan sesuai yang disyaratkan oleh UU seperti memiliki sertifikasi. Di samping itu, dalam profesi guru inipun masih terbagi lagi menjadi dua, guru tetap maupun guru tidak tetap. Istilah profesional pada umumnya adalah orang yang mendapat upah atau gaji dari apa yang dikerjakan, baik dikerjakan secara sempurna maupun tidak (Martinis Yamin dalam Gunawan, 2010). Dalam konteks ini bahwa salah satu yang dimaksud dengan profesional adalah guru. Pekerjaan profesional ditunjang oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin diperoleh dari lembaga-lembaga pendidikan yang sesuai sehingga kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
29
(Wina Sanjaya dalam Gunawan, 2010). Dengan demikian seorang guru perlu memiliki kemampuan khusus, kemampuan yang tidak mungkin dimiliki oleh orang yang bukan guru, seperti yang diutarakan oleh Cooper (dalam Gunawan, 2010): ”a teacher is person sharged with the responbility of helping orthers to learn and to behave in new different ways” Profesionalisme guru adalah kemampuan guru untuk melakukan tugas pokoknya sebagai pendidik dan pengajar meliputi kemampuan merencanakan, melakukan, dan melaksanakan evaluasi pembelajaran. Guru yang profesional tidak hanya menguasai bidang ilmu, bahan ajar, menguasai metode yang tepat, mampu memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan. Guru yang profesional juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakekat manusia, dan masyarakat. Hakikat-hakikat ini akan melandasi pola pikir dan pola kerja guru dan loyalitasnya kepada profesi pendidikan. Juga dalam implementasi proses belajar mengajar guru harus mampu mengembangkan budaya organisasi kelas, dan iklim organisasi pengajaran yang bermakna, kreatif dan dinamis bergairah, dialogis sehingga menyenangkan bagi peserta didik sesuai dengan tuntutan UU Sisdiknas (UU No 20 / 2003 Pasal 40 ayat 2a). Ada beberapa kriteria untuk menjadi guru profesional. Dalam kaitan ini, menurut Supriadi (2013) untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: yang pertama, Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Dua, guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran
30
yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa. Tiga, guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi. Empat, guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya. Lima, guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya. Profesi guru sangat identik dengan peran mendidik seperti membimbing, membina, mengasuh ataupun mengajar. Ibarat sebuah contoh lukisan yang akan ditiru oleh anak didiknya. Baik buruk hasil lukisan tersebut tergantung dari contohnya. Menurut Trimo (2008), Guru dalam bahasa jawa diartikan digugu dan ditiru, otomatis menjadi teladan. Melihat peran tersebut, sudah menjadi kemutlakan bahwa guru harus memiliki integritas dan personaliti yang baik dan benar. Hal ini sangat mendasar, karena tugas guru bukan hanya mengajar (transfer knowledge) tetapi juga menanamkan nilai - nilai dasar dari bangun karakter atau akhlak anak. 2.1.2.3 Beban Tanggung Jawab Guru Dunia pendidikan nasional kita memang sedang menghadapi masalah yang demikian kompleks. Begitu kompleksnya masalah itu tidak jarang guru merupakan pihak yang paling sering dituding sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan. Asumsi demikian tentunya tidak semuanya benar, mengingat teramat banyak komponen mikrosistem pendidikan yang ikut menentukan kualitas pendidikan. Namun begitu guru memang merupakan salah satu komponen mikrosistem pendidikan yang sangat strategis dan banyak mengambil peran di
31
dalam proses pendidikan secara luas, khususnya dalam pendidikan persekolahan. Guru memang merupakan komponen determinan dalam penyelenggaraan pengembangan SDM dan menempati posisi kunci dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Guru sebagai salah satu komponen dalam kegiatan belajar mengajar (KBM), memiliki
peran yang sangat menentukan keberhasilan pembelajaran,
karena fungsi utama guru
ialah
merancang, mengelola, melaksanakan, dan
mengevaluasi pembelajaran (Mulyana, 2006). Disamping itu, kedudukan guru dalam kegiatan belajar mengajar juga sangat strategis dan menentukan. Strategis karena guru yang akan menentukan kedalaman dan keluasan materi pelajaran, sedangkan bersifat menentukan karena guru yang memilah dan memilih bahan pelajaran yang akan disajikan kepada peserta didik. Semua itu tidak akan dapat dicapai apabila guru itu sendiri tidak memiliki keprofesionalitasan dalam dirinya. Guru pada masa kini, tampaknya telah ditindih banyak beban. Pertama, tugas berat yang diembannya tidak diimbangi dengan tingkat kesejahteraan yang memadai. Gaji guru yang kecil pun masih diperas dengan potongan macammacam dengan dalih untuk keperluan dana sosial, asuransi, urusan korps, atau pungutan lainnya. Anehnya, guru pun tak bisa berkutik. Sikap penuh nilai pengabdian, loyalitas, dan tanpa pamrih agaknya telah membuat guru tak mau bersinggungan dengan konflik. Mereka lebih suka memilih diam daripada menyuarakan kenyataan pahit yang dirasakannya. Kedua, guru sering dijadikan “kendaraan” untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Guru tidak punya banyak pilihan. Kebebasan dan kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat telah dibatasi
32
oleh simbol-simbol tertentu. Guru harus menjadi sosok yang narima, pasrah, dan tidak banyak menuntut. Ketiga, harapan masyarat yang terlalu “perfeksionis” dan berlebihan. Dalam kondisi yang tidak menentu, masyarakat tetap menuntut agar guru tetap memiliki idealisme sebagai figur pengajar dan pendidik yang bersih dari cacat hukum dan moral. Gerak-gerik guru selalu menjadi sorotan. Melakukan penyimpangan moral sedikit saja, masyarakat beramai-ramai menghujatnya. Ironisnya, harapan yang berlebihan itu tidak dibarengi dengan apresiasi masyarakat yang proporsional. Profesi guru di mata masyarakat masa kini telah kehilangan pamor, tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan yang luhur dan mulia. Melihat begitu pentingnya peran guru dalam proses pendidikan dan sekaligus sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan proses pendidikan atau kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah, dituntut untuk memiliki sikap yang positif terhadap jabatannya. Guru merupakan suatu jabatan yang memerlukan keahlian, tanggung jawab dan jiwa rela memberikan layanan sosial di atas kepentingan pribadi. 2.1.2.4 Guru Tetap dan Guru Tidak Tetap Dalam struktur birokrasi pendidikan, Guru dibagi menjadi dua kategori. Guru Tetap dan Guru Tidak Tetap. Guru Tetap seperti yang dinyatakan dalam penjelasan UU No. 14 tahun 2005 pasal 15 adalah guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah, sehingga gajinya dibayarkan sesuai dengan peraturan perundangan. Dengan demikian Guru Tetap, mendapatkan status Pegawai Negeri Sipil. Sementara Guru tidak tetap ialah guru yang diangkat oleh satuan pendidikan
33
yang diselenggarakan oleh masyarakat dan diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama. Secara fasilitas Guru Tetap atau PNS, mendapatkan fasilitas yang diatur dalam perundang-undangan, di antaranya penghasilan berupa gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi (UU No. 14 Tahun 2005 pasal 15 ayat 1). Sementara
Guru
Tidak
Tetap
digaji
oleh
satuan
pendidikan
yang
diselenggarakan masyarakat, di mana sesuai besaran sesuai dengan kebutuhan minimum atau kebutuhan hidup layak. Sayangnya realitasnya, Guru Tidak Tetap atau guru yang tidak diangkat oleh pemerintah daerah maupun Pusat mendapatkan gaji yang sangat rendah karena terkendala oleh keuangan instansi atau yayasan penyelenggara. Bayangkan secara beban kerja yang tertuang dalam UU pasal 35 ayat 2 adalah guru wajib memenuhi 24 jam tatap muka dan maksimal 40 jam tatap muka dalam satu minggu. Jika kita bayangkan seorang guru mata pelajaran olahraga di suatu sekolah yang hanya mempunyai 10 kelas. Mata pelajaran olahraga tidak lebih dari 2 jam tatap muka dalam satu minggu. Jika guru tersebut mengajar seluruh kelas, maka tidak lebih dari 20 jam tatap muka per minggu. Maka darimana kekurangan itu bisa terpenuhi? Selain itu, harapan pendidikan yang semestinya adalah untuk meningkatkan kualitas SDM bangsa, bisakah terpenuhi jika guru tertuntut
34
untuk mengejar minimal jam kerja dengan banyak mengajar? Padahal dalam mengajar, guru juga diwajibkan merencanakan, mencari bahan ajar dan memperhatikan mutu atau kualitas kepengajaran. Dan pekerjaannya di sekolah masih harus ditambah sebagai wali kelas, Pembina ekstrakurikuler, dsb. Yang ini tidak termasuk dalam beban kerja guru sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tanggal 30 Juli tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan. Wajib mengajar paling sedikit 24 jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu dapat dipenuhi dengan mengajar di sekolah/madrasah lain baik negeri maupun swasta sesuai dengan mata pelajaran yang diampu pada kabupaten/kota tempat sekolah/madrasah tersebut berada atau kabupaten/kota lain. Sebagai contoh, (1) guru Bahasa Inggris di suatu SMK dapat mengajar Bahasa Inggris di SMP/MTs, SMA/MA atau
SMK/MAK
lain,
(2)
Guru
Produktif
SMK
dapat
mengajar
keterampilan/ekstrakurikuler yang relevan dengan bidangnya di SMP/MTs atau SMA/MA. Tentu hal ini sangat menyita banyak waktu guru untuk mengajar demi memenuhi target jam kerja. Apalagi jika dihadapkan dengan kondisi GTT yang memperoleh gaji di bawah standar UMK. Itu berarti dia masih harus dibebankan mencari tambahan penghasilan diluar jam kerja sebagai guru.
35
2.2 Motivasi Kerja 2.2.1
Definisi Motivasi Saat ini banyak definisi motivasi yang kita temukan, para praktisi dan
akademisi atau sarjana punya definisi motivasi tersendiri. Motivasi berasal dari kata latin yaitu movere yang berarti “bergerak”. Robbins (2008) mendefinisikan motivasi sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Motivasi adalah proses yang dimulai dengan defisiensi fisiologis atau psikologis yang menggerakkan perilaku atau dorongan yang ditujukan untuk tujuan atau insentif (Luthans, 2006). Menurut Handoko (2001) motivasi diartikan sebagai keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatankegiatan tertentu guna mencapai tujuan. Motivasi yang ada pada seseorang merupakan kekuatan pendorong yang akan mewujudkan suatu perilaku guna mencapai tujuan kepuasan dirinya. Motivasi merupakan hasrat dalam seseorang yang menyebabkan orang tersebut melakukan tindakan untuk mencapai tujuan (Mathis 2001). Menurut Masrukhin dan Waridin (dalam Pramandhika, 2011) motivasi merupakan faktor psikologis yang menunjukan minat individu terhadap pekerjaan, rasa puas dan ikut bertanggungjawab terhadap aktivitas atau pekerjaan yang dilakukan. Sedangkan Yohanas (dalam Pramandhika, 2011) menyatakan motivasi adalah faktor yang kehadiranya dapat menimbulkan kepuasan kerja dan
36
meningkatkan produktivitas atau hasil kerja dan menimbulkan berbagai perilaku manusia. Menurut Mangkunegara (2004) motivasi terbentuk dari sikap (attitude), karyawan dalam menghadapi situasi kerja di perusahaan. Motivasi merupakan kondisi atau energi yang menggerakkan diri karyawan yang terarah atau tertuju untuk mencapai tujuan organisasi perusahaan. Sikap mental karyawan yang pro dan positif terhadap situasi kerja itulah yang memperkuat motivasi kerjanya untuk mencapai kinerja maksimal. Menurut Gitosudarmo dan Mulyono (dalam Gunawan, 2010) motivasi adalah suatu faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan atau kegiatan tertentu, oleh karena itu motivasi sering kali diartikan pula sebagai faktor pendorong perilaku seseorang. Setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang manusia pasti memiliki sesuatu faktor yang mendorong perbuatan tersebut. Selain itu Martoyo (dalam Prasetyo, 2004) mengatakan motive atau dorongan adalah suatu dorongan yang menjadi pangkal seseorang melakukan sesuatu atau bekerja. Seseorang yang sangat termotivasi, yaitu orang yang melaksanakan upaya substansial, guna menunjang tujuan-tujuan produksi kesatuan kerjanya, dan organisasi dimana ia bekerja. Seseorang yang tidak termotivasi, hanya memberikan upaya minimum dalam hal bekerja. Konsep motivasi, merupakan sebuah konsep penting studi tentang kinerja individual. Dengan demikian motivasi atau motivation berarti pemberian motiv, penimbulan motif atau hal yang menimbulkan dorongan atau keadaan yang menimbulkan dorongan.
37
Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau keterampilan, tenaga dan waktunnya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang ditentukan (Siagian 2003). Definisi lain tentang motivasi menurut Winardi (2004), motivasi adalah keinginan yang terdapat pada seseorang individu yang merangsangnya untuk melakukan tindakan-tindakan. Saat ini, setiap orang baik praktisi maupun akademisi mempunyai definisi motivasi tersendiri. Definisi motivasi mengemukakan bahwa motivasi berhubungan dengan: (1) arah perilaku; (2) kekuatan respons; (3) ketahanan perilaku, atau berapa lama orang itu terus-menerus berperilaku menurut cara tertentu. Pandangan lain menyarankan bahwa analisis tentang motivasi harus memusatkan perhatian kepada faktor-faktor yang mendorong dan mengarahkan kegiatan seseorang, atau dari segi terarahnya motivasi pada tujuan tertentu (goal directedness aspect of motivation). Tetapi ahli lain menyatakan bahwa motivasi berhubungan erat dengan bagaimana perilaku itu dimulai, dikuatkan, disokong, diarahkan, dihentikan, dan reaksi subyektif macam apakah yang timbul dalam organisme ketika semua itu berlangsung (Gibson, dalam Haryokusumo, 2011). Masih menurut Gibson, et al (dalam Haryokusumo, 2011) walaupun motivasi memiliki berbagai definisi yang berbeda-beda dari para ahli, tetapi dengan pemeriksaan yang seksama mengenai tiap-tiap pandangan ini
38
menimbulkan sejumlah kesimpulan tentang motivasi, diantaranya adalah sebagai berikut: a.
Para ahli teori menyajikan penafsiran yang sedikit berbeda dan
menekankan pada faktor yang berbeda-beda. b.
Motivasi berhubungan erat dengan perilaku dan prestasi kerja.
c.
Perbedaan fisiologis, psikologis, dan lingkungan merupakan
faktor-faktor yang penting untuk diperhatikan. Terdapat tiga elemen kunci di dalam definisi motivasi yaitu: usaha (effort); tujuan organisasi (organizational goals); dan kebutuhan (needs). Unsur usaha merupakan alat pengukur intensitas. Biar seseorang memperoleh dorongan atau berusaha dengan keras, tidak akan mungkin menghasilkan performance seperti yang diinginkan, kecuali bila usaha tersebut disalurkan pada arah yang memberikan manfaat bagi organisasi. Oleh karena itu, kualitas maupun kuantitas pekerjaan harus diperhatikan, dan segala usaha untuk meraih tujuan harus konsisten. Akhirnya, kita akan memandang motivasi sebagai suatu proses pemenuhan kebutuhan (Sofyandi dan Garniwa dalam Harokusumo, 2011). 2.2.2 Proses Motivasi Proses motivasi dapat dijelaskan sebagai proses psikologi dasar yang mencakup motif primer, umum, dan sekunder; dorongan seperti motif kekuasaan, afiliasi dan pencapaian; dan motivator ekstrinsik dan intrinsik. Untuk memahami perilaku pribadi maupun organisasi, motif dasar motivasi
39
harus dikenal dan dipelajari dan berfungsi sebagai latar belakang dan dasar untuk pendekatan motivasi kerja yang lebih relevan (Luthans, 2009). Lebih lanjut Luthans menyimpulkan bahwa kunci untuk memahami proses motivasi bergantung pada pengertian dan hubungan antara kebutuhan, dorongan, dan insentif. Menurut Tampubolon (dalam Haryokusumo, 2011) Kebutuhan berhubungan dengan kekurangan yang dialami oleh seseorang pada waktu tertentu, kekurangan ini mungkin bersifat fisiologis, seperti kebutuhan makanan atau kebutuhan psikologis, yang berhubungan dengan kebutuhan terhadap penghargaan diri atau kebutuhan sosiologi, seperti kebutuhan akan interaksi sosial. Suatu kebutuhan yang tidak mendatangkan kepuasan akan menciptakan ketegangan (tension) yang akan meningkatkan pergesekan di antara individu. Gesekan ini akan membangkitkan perilaku pencarian untuk mencapai tujuan tertentu, yang bilamana berhasil akan bisa memuaskan kebutuhan tersebut dan akhirnya akan mengurangi ketegangan yang ada. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa seseorang yang memiliki motivasi itu sesungguhnya berada dalam keadaan tegang (in a state tension). Untuk membebaskan ketegangan itu, diperlukan usaha. Semakin besar ketegangan yang ada, semakin besar usaha yang dikeluarkan. Gambar 2.1 Proses Awal Motivasi
40
Sumber: Gibson, et al (dalam Haryokusumo, 2011)
Luthans (2009), kebutuhan membentuk dorongan yang bertujuan pada insentif; begitulah proses dasar motivasi. Dalam konteks sistem, motivasi mencakup tiga elemen yang berinteraksi dan saling bergantung: 1. Kebutuhan. Kebutuhan tercipta saat tidak adanya keseimbangan fisiologis atau psikologis. Tetapi meskipun kebutuhan psikologi mungkin berdasarkan defisiensi, tetapi kadang juga tidak. Misalnya, individu dengan kebutuhan kuat untuk maju mungkin mempunyai sejarah pencapaian yang konsisten. 2. Dorongan. Dorongan atau motif (dua istilah yang sering digunakan secara bergantian), terbentuk untuk mengurangi kebutuhan. Dorongan fisiologis dan psikologis adalah tindakan yang berorientasi dan menghasilkan daya dorong dalam meraih insentif. Hal tersebut merupakan proses motivasi. 3. Insentif. Pada akhir proses siklus motivasi adalah insentif, didefinisikan sebagai semua yang akan mengurangi sebuah kebutuhan dan dorongan. Dengan demikian, memperoleh insentif akan
cenderung
memulihkan
keseimbangan
fisiologis
dan
psikologis dan akan mengurangi dorongan. Dimensi dari proses motivasi dasar tersebut akan menjadi titik awal teori mengenai isi dan proses motivasi.
41
Kebutuhan dianggap sebagai pembangkit, penguat atau penggerak perilaku. Artinya, apabila terdapat kekurangan kebutuhan, maka orang lebih peka terhadap usaha motivasi. Proses motivasi seperti diintepretasikan oleh sebagian besar ahli, diarahkan untuk mencapai tujuan (goal directed). Tercapainya tujuan yang diinginkan sekaligus dapat mengurangi kebutuhan yang belum terpenuhi. Motivasi berhubungan dengan kekuatan yang dicatat di setiap level organisasi, kemudian diarahkan dan secara tekun diusahakan untuk meningkatkan
produktivitas
dalam
pekerjaan
(Tampubolon
dalam
Haryokusumo, 2011). 2.2.3
Jenis-jenis Motivasi Terdapat tiga kategori motivasi atau dorongan menurut Luthans (2009),
yaitu: 1. Motif Primer Dua kriteria harus dipenuhi agar motif dapat dimasukkan dalam klasifikasi primer. Kriteria tersebut adalah: motif harus tidak dipelajari; dan motif harus didasarkan secara fisiologis. Dengan definisi tersebut, motif primer yang paling dikenal secara umum adalah lapar, haus, tidur, sehat, dan lain-lain. Persyaratan fisiologis sangat dasar disamakan dengan kebutuhan primer. 2. Motif Umum Motif umum muncul karena adanya sejumlah motif dalam area antara klasifikasi primer dan sekunder. Agar termasuk dalam kategori umum, sebuah motif haruslah tidak dipelajari, tetapi tidak
42
didasarkan pada fisiologis. Sementara kebutuhan primer mengurangi ketegangan atau stimulasi, kebutuhan umum justru diperlukan untuk mempengaruhi seseorang untuk meningkatkan sejumlah stimulasi. Beberapa motif yang termasuk dalam motif ini adalah motif keingintahuan, manipulasi, aktivitas, dan afeksi. 3. Motif Sekunder Motif sekunder berhubungan erat dengan konsep pembelajaran. Sebuah motif harus dipelajari agar dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi sekunder. Dorongan umum tampaknya relatif lebih penting daripada dorongan primer, namun dorongan sekunder adalah yang paling penting pada masyarakat saat ini yang berkembang semakin kompleks. Dorongan primer dan dorongan umum yang kurang penting membuka jalan bagi dorongan sekunder yang dipelajari untuk memotivasi perilaku. Dengan beberapa pengecualian mencolok yang telah dihapus, motif lapar dan haus tidak dominan bagi manusia yang hidup dalam dunia yang berkembang secara ekonomi saat ini. Beberapa motif sekunder itu adalah kekuasaan, pencapaian atau prestasi, dan afiliasi. Selain berbagai kebutuhan, Luthans juga membagi motivasi berdasarkan sumbernya menjadi dua jenis. Motif Intrinsik, bersifat internal untuk individu, dan mendorong diri sendiri untuk belajar dan berprestasi. Sedangkan motif ekstrinsik, merupakan konsekuensi eksternal yang dapat dilihat pada individu, biasanya dilakukan oleh orang lain sebagai satu kesatuan untuk memotivasi individu.
43
Hasibuan (2003) membedakan motivasi menjadi dua jenis. Pertama, motivasi positif (incentive positive), adalah suatu dorongan yang bersifat positif, jika pegawai dapat menghasilkan prestasi di atas prestasi standar, maka pegawai diberikan insentif berupa hadiah. Kedua, motivasi negatif (incentive negative), yaitu mendorong pegawai dengan ancaman hukuman, jika prestasinya kurang dari prestasi standar akan dikenakan hukuman. Sedangkan jika prestasi diatas standar tidak diberikan hadiah. 2.2.4
Teori Motivasi
2.2.4.1 Teori Kepuasan Teori Kepuasan memusatkan pada faktor-faktor dalam diri orang yang menguatkan, mengarahkan, mendukung, dan menghentikan perilaku. Teori kepuasan terdiri dari Teori Hierarki Kebutuhan. a.
Teori Hierarki Kebutuhan (Abraham Maslow) Inti dari teori Maslow adalah bahwa kebutuhan itu tersusun
dalam bentuk hierarki. Tingkat kebutuan yang paling rendah adalah kebutuhan fisiologis dan tingkat tertinggi adalah kebutuhan realisasi diri. ( self actualitation needs ). 1) Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan akan makan, minum, dan mendapat tempat tinggal. 2) Kebutuhan keselamatan dan keamanan merupakan kebutuhan akan kebebasan dari ancaman, seperti aman dari ancaman lingkungan (penjahat dan gangguan lingkungan lainnya).
44
3) Kebutuhan rasa memiliki cinta, yaitu kebutuhan akan teman, afiliasi, interkasi, mencintai dan dicintai. 4) Kebutuhan akan penghargaan, yaitu kebutuhan akan penghargaan diri dan penghargaan dari orang lain. 5) Kebutuhan akan realisasi diri, yaitu kebutuhan untuk memenuhi diri sendiri dengan penggunaan kemampuan maksimum, melalui keterampilan dan potensi yang ada. Teori Maslow mengasumsikan bahwa orang berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih cocok (fisiologis) sebelum memenuhi kebutuhan tertinggi (realisasi diri). Kebutuhan yang lebih rendah harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan yang lebih tinggi mulai mengendalikan seseorang. Hal yang penting dalam pemikiran Maslow adalah bahwa kebutuhan yang telah terpenuhi akan menghentikan daya motivasinya. Apabila orang memutuskan bahwa upah yang diterima dari organisasi cukup tinggi, maka uang tidak lagi mempunyai daya motivasi baginya. Teori Maslow didasarkan atas anggapan bahwa orang mempunyai kebutuhan untuk berkembang dan maju. Asumsi ini mungkin benar bagi beberapa karyawan, tetapi tidak bagi karyawan lain. Kebenaran dari teori ini masih dipersoalkan karena teori ini tidak diuji secara ilmiah oleh penemunya. Maslow hanya menerangkan bahwa orang dewasa telah memenuhi delapan puluh lima persen dari kebutuhan fisiologisnya, tujuh puluh persen dari keselamatan dan
45
keamanan, dan lima puluh persen dari kebutuhan rasa memiliki sosial dan cinta, empat puluh persen dari kebutuhan penghargaan, dan sepuluh persen dari kebutuhan realisasi diri. b.
Teori ERG Clayton Alderfer dari Universitas Yale telah mengkaji ulang
teori kebutuhan Maslow melalui riset empiris, dengan mengungkapkan teori kebutuhan yang disebut Teori ERG. Alderfer mengungkapkan ada tiga kelompok kebutuhan
yaitu: keberadaan
(existance);
keterikatan (relatedness); dan pertumbuhan (growth) Kelompok kebutuhan akan eksistensi berkaitan dengan tuntutan untuk tersedianya materi kebutuhan pokok, mencakup hal-hal yang oleh Maslow dianggap sebagai kebutuhan fisik dan kebutuhan akan rasa aman. Kelompok kebutuhan kedua adalah keterkaitan, yaitu hasrat untuk senantiasa memiliki hubungan yang baik dengan orang lain (interpersonal relationship). Hasrat untuk bermasyarakat serta keinginan untuk memiliki status sosial ini menuntut adanya interaksi dengan orang lain, dan itu semua sejalan dengan tuntutan sosial menurut
Maslow
(external
component
esteem
classification).
Kebutuhan akan pertumbuhan (growth need), yaitu hasrat intrinsik seseorang untuk bisa berkembang. Ini mencakup unsur-unsur intrinsik dari kategori penghargaan menurut Maslow, serta karakteristik yang tampak pada aktualisasi diri ( self actualization). Hal lain yang membedakan teori kebutuhan Maslow dengan Teori ERG terlihat dari daftar urutan motivasi. Teori ERG justru
46
menunjukkan bahwa (1) pada suatu saat yang sama bisa terdapat lebih dari satu jenis kebutuhan, dan (2) bila kebutuhan yang ururtannya lebih tinggi terhambat pemenuhannya, maka kebutuhan yang lebih rendah harus ditingkatkan pemenuhannya. Selain itu, Teori ERG memuat dimensi penurunan frustasi (a frutation regression dimension). Teori kebutuhan Maslow menjelaskan bahwa seseorang akan tetap berada pada tingkat kebutuhan tertentu sampai kebutuhan tersebut terpenuhi. Sedangkan menurut Teori ERG, bila pemenuhan yang lebih tinggi tingkatknya mengecewakan, maka akan timbul keinginan untuk meningkatkan pemenuhan atas kebutuhan yang lebih rendah. c. Teori Dua Faktor (Hezberg) Hezberg mengambangkan Teori Dua Faktor tentang motivasi, di mana faktor yang membuat orang merasa puas dan yang membuat tidak puas (ekstrinsik dan intrinsik), yang juga dikenal sebagai teori higieni motivasi ( Motivation Hygiene Theory). Hezberg menggunakan wawancara yang menjawab seperti: “Dapatkah Anda menguraikan secara terperinci apabila Anda merasa sangat baik melakukan pekerjaan Anda? Penelitian Hezberg melahirkan dua kesimpulan mengenai teori tersebut: Pertama, ada serangkaian kondisi ekstrinsik, di mana keadaan pekerjaan dan hygienic yang menyebabkan rasa tidak puas di antara para karyawan apabila kondisi ini tidak ada maka hal ini tidak perlu memotivasi karyawan. Sebaliknya, apabila keadaan pekerjaan
47
dan hygenic cukup baik, keadaan ini dapat membentuk kepuasan bagi karyawan. Faktor-faktor ini meliputi: 1) Upah 2) Keamanan kerja 3) Kondisi kerja dan hygenic 4) Status 5) Prosedur perusahaan 6) Mutu dari supervisi tekhnis 7) Mutu dari hubungan interpersonal di antara teman sejawat, dengan atasan dan dengan bawahan. Kedua, serangkaian kondisi intrinsik. Kepuasan pekerjaan yang apabila terdapat dalam pekerjaan maka akan menggerakkan tingkat motivasi yang kuat, yang dapat menghasilkan prestasi pekerjaan yang baik. Jika kondisi ini tidak ada, maka tidak menimbulkan rasa ketidakpuasaan yang berlebihan, yang dinamakan pemuas atau motivator yang meliputi, antara lain: 1) Prestasi (achievement) 2) Pengakuan ( recognation ) 3) Tanggung jawab ( responsibility ) 4) Kemajuan ( advancement ) 5) Pekerjaan itu sendiri ( the work it self) 6) Kemungkinan berkembang ( the posibility of growth )
48
2.2.4.2 Teori Proses Motivasi Teori Proses menguraikan dan menganalisis bagaimana perilaku itu dikuatkan, diarahkan, dan dihentikan. Teori Proses Motivasi terdiri dari Teori X dan Y, Teori Pencapaian Sasaran. a. Teori X dan Y (McGregor) 1)
Teori X Douglas McGregor menyatakan bahwa ada dua sifat yang utama dari
manusia, yang disebut negatif adalah Teori X dan yang moderat adalah Teori Y. Teori X ini mempunyai empat asumsi, yang perlu diperhatikan para manajer. a)
Karyawan pada dasarnya tidak suka bekerja dan harus dipaksa.
Bila memungkinkan, ia akan menghindari pekerjaan. b)
Karena karyawan tidak suka bekerja dan harus dipaksa,
dikendalikan, serta diberi sanksi yang keras untuk dapat menyelesaikan tugas. c)
Karyawan akan menghindar dari tanggung jawab dan hanya akan
menerima perintah secara langsung (dipaksa). d)
Karyawan mengharapkan keamanan penuh dari organisasi di dalam
melaksanakan pekerjaan dan memiliki sedikit ambisi. Berdasarkan teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai karyawan dapat dipersepsikan sebagai makhluk yang tidak suka bekerja (malas), yang harus dipaksa, dijaga, serta dituntun agar dapat melakukan pekerjaan secara baik. Apabila cara ini tidak dapat dilakukan, maka manusia
49
tidak akan mau bekerja, akan menghindar, dan selalu mencari aman. Jika dilihat karyawan dalam melaksanakan pekerjaan, menururt teori ini adalah tipe karyawan yang bekerja dengan aman, yaitu dengan pencapaian target yang paling minimal, mendapat gaji dan fasilitas yang wajar, tidak ambisisus untuk peningkatan jabatan dan gaji, dan apabila memungkinkan menghindar dari tanggung jawab atas tugasnya. Pada umumnya, tipe manusia seperti ini adalah tenaga kerja dengan tingkat pendidikan rendah dan memiliki sifat pemalas, tidak memiliki pengharapan yang berlebihan menghadapai masa depannya. Pertumbuhan dari ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu perilaku selama lima puluh tahun yang lampau telah memungkinkan dirumuskannya kembali beberapa anggapan tentang sifat-sifat dan perilaku manusia di dalam suatu organisasi, dengan menentukan pemecahan keadaan yang tidak serasi (inconsistencies) yang diuraikan pada Teori X. Perumusan kembali oleh Dougles McGregor, dengan sendirinya menjadi landasan untuk memperbaiki suatu perkiraan dan pengendalian perilaku manusia, dan kemudia melahirkan Teori Y. 2)
Teori Y Teori Y lebih moderat, yang didasari atas pendapat bagaimana orang-
orang itu harus bekerja di dalam lingkungan pekerjaannya, tidak atas dasar bagaimana para manajer berpikir apa yang dia inginkan atau seharusnya dia lakukan. Teori Y disebut keterpaduan tujuan individu dan organisasi, yang berdasarkan anggapan-anggapan sebagai berikut.
50
a)
Kegiatan usaha fisik dan mental dalam pekerjaan adalah bersifat
alamiah, baik dalam waktu bekerja maupun dalam waktu istirahat. Pada umumnya, manusia sebenarnya tidak termasuk orang yang tidak suka bekerja (orang suka bekerja). Hal demikian tergantung pada situasi pengendaliannya sebab kemungkinan bekerja adalah sumber pemuasan, yang akan dilaksanakan dengan sukarela atau mungkin sebagai sumber hukuman ataupun sanksi, yang mungkin akan berusaha untuk menghindarinya. b)
Pengendalian dari luar dengan ancaman hukuman atau sanksi
bukanlah satu-satunya untuk mendorong usaha mencapai tujuan organisasi. Manusia dapat membina dan mengendalikan dirinya sendiri dalam memberikan pelayanan terhadap tujuan organisasi dimana dia sendiri telah sepakat memenuhinya. c)
Kesanggupan terhadap tujuan adalah fungsi penghargaan yang
terpadu dengan segala upaya untuk mencapainya. Pengertiannya, penghargaan merupakan hal yang sangat penting, misalnya kepuasan dari diri (ego), kebanggaan yang dapat diarahkan terhadap hasil usahanya, dan diarahkan terhadap tujuan organisasi. d) untuk
Pada umumnya, manusia di dalam lingkungan nyata tidak hanya menerima,
tetapi
juga
mengambil
tanggung
jawab.
Menghindarkan tanggung jawab, kurang termotivasi (tidak ambisi), dan selalu mencari keamanan diri sendiri adalah akibat daripada pengalamannya, tidak termasuk di dalam ciri-ciri manusia.
51
e)
Kemampuan untuk melakukan secara relatif imajinasi sesuai
dengan tingkatannya, sampai tingkat yang paling tinggi, seperti kecakapan
dan
kreativitas
dalam
pemecahan
masalah-masalah
organisasi secara luas serta tidak berpikiran secara sempit. f)
Dalam suatu lingkungan bisnis modern, potensi intelektual
manusia pada umumnya dipergunakan sebagian saja, umpamanya terbatas
hanya
tingkat
kecerdasan
intelektual
saja,
tidak
mempergunakan tingkatan kecerdasan lainnya. Perbedaan Teori Y dengan X sangat kontras. Teori Y, bersifat lebih dinamis dalam menunjukkan kemungkinan pertumbuhan dan perkembangan mausia.
Teori
Y
menekankan
perlunya
penyesuaian
secara
selektif
dibandingkan dengan bentuk pengendaliannya yang absolut. Teori Y tidak menggambarkan bahwa dominasi berada pada tangan pemilik modal, tetapi dalam pengertian manusia sebagai sumber potensi yang hakiki ( substansial ). b. Teori Harapan (Expectancy Theory) Vroom Teori pengharapan merupakan tendensi kekuatan untuk melakukan sesuatu dengan kebebasan menjadi suatu penciptaan kekuatan pengharapan untuk mendapatkan hasil yang menarik bagi penghasilan individu. Teori ini terfokus pada tiga efek hubungan, yaitu: 1.
Usaha (effort), hubungannya dengan performa ( performance ).
2.
Performa
(performance),
(expectancy).
hubungannya
dengan
pengharapan
52
3.
Pengharapan (expectancy), berhubungan dengan sasaran seseorang (goals).
Pengharapan individu sangat berhubungan dengan target atau sasaran individu tersebut. Semakin tinggi pengharapan individu maka akan semakin tinggi kemungkinan tercapainya target atau sasaran individu itu. Sebaliknya, jika individu tidak memiliki pengharapan (baik secara materi atau moral), dapat dikatakan bahwa individu tersebut tidak memiliki target atau sasaran. 2.2.4.3 Motivasi Prososial Grant (2008) mendefinisikan motivasi prososial sebagai hasrat atau keinginan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Perilaku prososial, atau "perilaku sukarela” dimaksudkan untuk memberi manfaat orang lain, yang terdiri dari tindakan-tindakan yang menguntungkan orang lain atau masyarakat secara keseluruhan (en.wikipedia.org). Prososial juga diartikan sebagai sosial positif. Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya. Perilaku prososial dibatasi secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis. Perilaku prososial juga terkadang didefinisikan dengan Altruisme, yakni hasrat untuk menolong orang lain tanpa mementingkan diri sendiri (Baron, dalam Noor 2012). Altruisme seringkali didefinisikan dengan sebuah perilaku yang ditujukan untuk menolong orang lain. Batson (dalam Noor 2012)
berpendapat bahwa
53
altruisme adalah respon yang menimbulkan positif felling, seperti empati. Seseorang yang altruis memiliki motivasi altruistik, keinginan untuk menolong orang lain. Suatu tindakan altruistik tidak berhenti pada perbuatan itu sendiri, tetapi keberlanjutan tindakan itu sebagai produknya dan bukan sebagai kebergantungan. Hal tersebut menunjukan bahwa seseorang yang altruist dituntut untuk memiliki tanggung jawab dan pengorbanan yang tinggi (Borrong dalam Ginitasasi, 2010). Menurut Myers (dalam Noor, 2012) altruisme adalah tindakan prososial dengan alasan kesejahteraan orang lain tanpa ada kesadaran timbal-balik (imbalan). Myers menyimpulkan bahwa ada 3 hal yang mempermudah terjadinya altruisme yaitu: 1. Socil responsibility. Seseorang merasa memiliki tanggung jawab sosial dengan apa yang terjadi di sekitarnya. 2. Distress-Inner Reward. Kepuasan pribadi tanpa ada faktor eksternal. 3. Kin Selection. Atau ada salah satu kemiripan dengan korban. Selanjutnya Myers menjelaskan karakteristik dari tingkah laku altruism, antara lain adalah sebagai berikut : 1. Emphaty. Altruisme akan terjadi dengan adanya empati dalam diri seseorang. Seseorang yang altruis merasa diri mereka bertanggung jawab, bersifat sosial, selalu menyesuaikan diri, toleran, dapat mengontrol diri, dan termotivasi membuat kesan yang baik. 2. Belief on a just world. Orang yang altruis percaya bahwa dunia tempat yang baik dan dapat diramalkan bahwa orang yang baik selalu
54
mendapatkan “hadiah” dan yang buruk akan mendapatkan “hukuman”. Dengan kepercayaan tersebut, seseorang dapat dengan mudah menunjukan tingkah laku menolong (yang dikategorikan sebagai “yang baik”). 3. Social Responsibility. Setiap orang merasa memiliki tanggung jawab terhadap apapun yang dilakukan orang lain, sehingga ketika ada orang yang membutuhkan pertolongan, orang tersebut harus menolongnya. 4. Internal locus of control. Orang yang altruis mampu mengontrol dirinya secara internal. Berbagai hal yang dilakukannya dimotivasi oleh kontrol internal. 5. Low egocentrism. Seseorang yang altruis memiliki keegoisan yang rendah. Dia mementingkan kepentingan orang lain terlebih dahulu dibandingkan dengan kepentingan dirinya. Ginitasasi (2010) menyimpulkan bahwa terdapat beberapa indikator tingkah laku seseorang yang altruis diantaranya: 1. Empati. Seseorang yang altruis merasakan perasaan yang sama dengan situasi yang terjadi. 2. Interpretasi. Seseorang yang altruis dapat menginterpretasikan dan sadar bahwa suatu situasi membutuhkan pertolongan. 3. Tanggung jawab sosial. Seseorang yang altruis merasa bertanggung jawab terhadap situasi yang ada disekitarnya. 4. Rela berkorban. Ada hal yang rela dikorbankan dari seseorang yang altruis untuk melakukan tindakan menolong.
55
Tabel. 2.1. Faktor Internal dan Eksternal Faktor Internal Faktor Eksternal 1) Kematangan Pribadi 2) Tingkat Pendidikan 3) Keinginan dan Harapan Pribadi 4) Kebutuhan 5) Kelelahan dan Kebosanan 6) Kepuasan Kerja Sumber: Sayuti (2006)
2.2.5
1) 2) 3) 4) 5) 6)
Kondisi Lingkungan Kerja Kompensasi yang Memadai Supervisi yang baik Ada Jaminan karir Status dan tanggung jawab Peraturan yang Fleksibel
Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik Motivasi seringkali didefinisikan sebagai sesuatu yang ada dalam diri
individu. Menurut Handoko (2001) motivasi diartikan sebagai keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatankegiatan tertentu guna mencapai tujuan. Istilah motivasi intrinsik muncul untuk menggambarkan motivasi yang didorong oleh apa yang ada di dalam diri individu. Menurut Luthans motif intrinsik bersifat internal untuk individu, dan mendorong diri sendiri untuk belajar dan berprestasi. Sedangkan Gomes (dalam Noor, 2012) mengidentifikasi bahwa faktor-faktor motivasi yang berasal dari dalam individu adalah kebutuhan-kebutuhan (needs), tujuan-tujuan (goals), sikap (attitude) dan kemampuan-kemampuan (abilities). Siagian (2004) mendefinisikan motivasi intrinsik merupakan motivasi yang berasal dari dalam diri seseorang dalam bekerja dan pandangannya terhadap pekerjaan itu sendiri. Motivasi yang dimiliki seseorang berkaitan dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan, maka kuatnya motivasi dari seseorang bergantung pada pandangannya tentang betapa kuat keyakinan yang terdapat dalam dirinya bahwa ia akan dapat mencapai kebutuhan dengan tercapainya kebutuhan
56
organisasi.
Sedangkan
Priyatama
(2009)
mengatakan
motivasi
intrinsik
merupakan nilai atau gabungan dari kenikmatan atau kesenangan dalam menjalankan suatu tugas untuk tujuan tertentu. Dapat dikatakan bahwa motivasi intrinsik yang berfungsi sebagai imbalan adalah tingkah laku individu dalam melaksanakan aktivitas tersebut, bukan imbalan yang bersifat dari luar. Motivasi intrinsik merupakan faktor dominan yang mempengaruhi perilaku karena segala sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri memberi motivasi dan kepuasan, baik karena mampu memenuhi kebutuhan, menyenangkan, memungkinkan mencapai tujuan maupun karena memberikan harapan tertentu yang positif dimasa depan. Motivasi kerja intrinsik secara positif melibatkan pengalaman berharga yang dalami oleh pekerja dari pekerjaannya (Ratnawati, dalam Haryokusumo, 2011). Menurut Winardi (2004), beberapa faktor-faktor yang menyebabkan motivasi kerja secara umum yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor yang berasal dari dalam diri (intrinsik) yaitu : a.
Keinginan
Terlepas dari kebutuhan atau perasaan takut yang dirasakan, dibelakang setiap tindakan individu yang dilaksanakan dengan tujuan tertentu, senantiasa terdapat keinginan tertentu baik yang disadari maupun yang tidak disadari dan menyebabkan individu bertindak dan melakukan suatu tindakan. b.
Kemampuan
57
Kapasitas-kapasitas biologikal yang diwarisi oleh-Nya, baik secara mental mapun fisikal. Kesediaan untuk melaksanakan upaya tinggi untuk mencapai tujuan-tujuan, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya, untuk memenuhi kebutuhan individual tertentu. c.
Sumber-sumber daya
Individu
mengeluarkan
energinya
untuk
memenuhi
kebutuhan-
kebutuhannya karena manusia mendambakan kekuasaan, maka individu mengorbankan upayanya, waktunya dan sumber-sumber daya lainnya untuk memenuhi keinginannya. Saydan
(dalam
Sayuti,
2007)
membagi
faktor
intrinsik
yang
mempengaruhi motivasi kerja menjadi enam, yaitu: 1. Kematangan pribadi Orang yang bersifat egois kemanja-manjaan biasanya akan kurang peka dalam menerima motivasi yang diberikan sehingga agak sulit untuk dapat bekerja sama dalam membuat motivasi. Oleh karena itu, kebiasaan sejak kecil, nilai yang dianut dan sikap bawaan seseorang sangat mempengaruhi motivasinya. 2. Tingkat pendidikan Seorang pegawai yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi biasanya akan lebih termotivasi karena sudah mempunyai wawasan yang lebih luas dibandingkan dengan karyawan yang lebih rendah tingkat pendidikannya. 3. Keinginan dan Harapan Pribadi
58
Seseorang mau bekerja keras bila ada harapan pribadi yang hendak diwujudkan menjadi kenyataan. 4. Kebutuhan Kebutuhan biasanya berbanding sejajar dengan motivasi, semakin besar kebutuhan seseorang untuk dipenuhi, maka semakin besar pula motivasi yang karyawan untuk bekerja keras. 5. Kelelahan dan Kebosanan Faktor kelelahan dan kebosanan mempengaruhi gairah dan semangat kerja yang pada gilirannya juga akan mempengaruhi motivasi kerjanya. 6. Kepuasan Kerja Kepuasan kerja mempunyai korelasi yang sangat kuat kepada tinggi rendahnya motivasi kerja seseorang. Karyawan yang puas terhadap pekerjaannya akan mempunyai motivasi yang tinggi dan commited terhadap pekerjaannya. Motivasi didorong oleh keinginan untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan, oleh karena itu motivasi dalam diri individu akan menentukan tingkattingkat kepuasan yang ada dalam dirinya (Subyantoro, 2009). Lebih lanjut Subyantoro menjelaskan kondisi internal tersebut sebagai karakteristik yang ada dalam individu. Karakteristik individu tersebut
meliputi: Kemampuan, Nilai,
Sikap, dan Minat. 2.2.5.1 Nilai Faktor internal yang dianggap mempengaruhi kinerja pegawai adalah tentang nilai-nilai yang dianut oleh para pekerja itu sendiri (Prianto dalam Haryokusumo, 2011). Dari penelitian yang dilakukan Prianto, terdapat
59
pengaruh langsung antara nilai-nilai yang dianut para pegawai dengan motivasi kerja mereka. Nilai-nilai yang dianut para pegawai merupakan variabel utama yang menentukan kinerja. Robbins (2008) memberikan pengertian nilai sebagai keyakinan dasar bahwa suatu modus perilaku atau keadaan akhir eksistensi yang khas lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan modus perilaku atau keadaan akhir eksistensi kebaikan atau lawannya. Robbins melanjutkan nilai merupakan dasar untuk memahami sikap dan motivasi. Secara umum nilai akan mempengaruhi sikap dan perilaku. Pengelompokkan nilai yang dikutip Robbins (2008) adalah perangkat nilai yang diciptakan oleh Milton Rokeach terdiri dari dua perangkat nilai. Pertama, nilai terminal, merujuk pada keadaan-keadaan akhir eksistensi yang diinginkan. Inilah tujuan yang ingin dicapai seseorang selama hayatnya. Kedua, disebut nilai instrumental, merujuk ke modus perilaku yang lebih disukai, atau cara untuk mencapai nilai-nilai terminal. Dalam dunia kerja, terdapat empat orientasi nilai yang melandasi aktivitas bertindak seorang individu, yaitu nilai ekonomis, nilai personal, nilai sosial, serta nilai moral-spiritual (Harefa dalam Haryo kusumo, 2011). Tabel 2.2 Jenis Nilai Kerja No. Jenis Nilai Kerja 1. Nilai Ekonomis
Penjelasan Nilai ekonomis berorientasi pada materi atau keinginan yang didasarkan pada kebendaan. Nilai ekonomi lebih dikedepankan dari kerja. Seseorang bekerja untuk mendapatkan penghasilan berupa uang, dan uang tersebut bisa digunakan untuk memenuhi segala sesuatu yang diinginkan.
60
2.
Nilai Personal
3.
Nilai Sosial
4.
Nilai Moral-Spiritual
Nilai personal didapat dari aktivitas yang dikerjakan dan yang direncanakan manusia yang memungkinkan manusia mengalami pertumbuhannya ke arah kedewasaan dan kemandirian. Dengan bekerja, individu dapat mengembangkan talenta dan bakat-bakat yang dititipkan Tuhan kepada manusia untuk dikembangkan. Nilai sosial dari kerja diartikan bahwa dengan bekerja manusia memberikan makna atas kehadirannya dalam suatu komunitas tertentu. Individu mengembangkan jati diri kemanusiaan sebagai social-emotional being. Manusia adalah makhluk sosial yang hanya mungkin mengembangkan potensi kemanusiaannya jika melihat dirinya dalam suatu hubungan saling ketergantungan pada orang lain. Nilai moral-spiritual dari kerja adalah bahwa dengan bekerja kita dimungkinkan untuk mengakui Tuhan sebagai Tuhan, memanusiawikan manusia (diri sendiri dan sesama), dan alam diberikan Tuhan untuk dikelola guna kemaslahatan manusia sebenar-benarnya. Hal ini dipahami sebagai dimensi “teologi” dari kerja, dimana kerja dipahami sebagai bagian ibadah, sebab manusia merupakan moral-spiritual being.
Sumber: Harefa, 2007 Menurut Rizkian (dalam Haryokusumo, 2011) beberapa nilai dasar yang tentunya dapat memberikan pengaruh terhadap motivasi kerja karyawan antara lain adalah kultur kerja keras, kultur harga diri/ prestasi, kultur disiplin, dan optimisme. Lebih lanjut Rizkian menjelaskan bahwa apa yang menjadi setiap nilai yang ada di masyarakat dapat mempengaruhi individu, atau dengan kata lain setiap sikap dan apa-apa yang menjadi tindakan individu pasti karena pengaruh dari sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat sekitarnya. Budaya regional suatu daerah tidak jarang menjadi pembentuk budaya nasional suatu bangsa. Kebudayaan regional jawa memberikan pengaruh yang
61
besar terhadap budaya nasional Indonesia. Budaya merupakan subjek penelitian antropologis sosial dimana peneliti berusaha untuk memahami arti-arti dan nilai-nilai bersama yang dianut oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat yang memberi arti khusus pada tindakan mereka (Gunawan dalam Haryokusumo, 2011). Budaya Jawa sebagai nilai budaya dan kearifan lokal kaya akan nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai pedoman etika, pandangan hidup, serta falsafah hidup (Sartini dalam Haryokusumo, 2011). Beberapa nilai-nilai dalam kebudayaan Jawa tersebut diantara lain adalah: a. Hamangku, hamengku, hamengkoni. Hamengku diartikan harus berani bertanggung jawab terhadap kewajiban, hamengku diartikan harus berani nggrengkuh (mengaku sebagai kewajibannya), dan hamengkoni berarti berani melindungi dalam berbagai situasi. b. Sepi ing pamrih, rame ing gawe. Mempunyai arti dalam bekerja harus bersungguh-sungguh dan ikhlas, tanpa memikirkan imbalan. c. Weweh tanpa kelangan, sugih tanpa banda. Mempunyai arti memberi tanpa harus kehilangan sesuatu, dan kaya tanpa harta. d. Mulat sarira hangrasa wani. Selalu menginstropeksi diri atau mawas diri. Kebudayaan merupakan sistem nilai. Karena kebudayaan tidak lain adalah kumpulan nilai yang tersusun menurut struktur tertentu. Stranger (dalam Noor, 2012) membagi nilai-nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai individu menjadi empat golongan. Nilai-nilai tersebut adalah:
62
1. Nilai Teoritis, adalah nilai yang mengutamakan pengetahuan. Pada manusia ini yang dominan adalah sikapnya terhadap nilai ilmu pengetahuan. Mereka selalu mencari keterangan–keterangan yang logis, selalu mencari kebenaran, konsekuen dan tidak senang kepada kekaburan. 2. Nilai Ekonomi, adalah nilai hidup yang mementingkan kegunaan suatu benda. Bagi manusia ekonomi prinsip utility atau kegunaan merupakan dasar yang mendominasi tindakan, kegunaan merupakan selalu tujuan perbuatan dalam memuaskan kebutuhan. 3. Nilai Estetik, adalah nilai hidup yang mengutamakan keindahan. Manusia yang bersikap estetik menghayati kehidupan bukan sebagai pemain tetapi sebagai penonton. Manusia jenis ini juga mempunyai kecenderungan ke arah individualisme dan kesenian serta keindahan memiliki tempat utama dalam hidupnya. 4. Nilai Religius, adalah nilai yang mementingkan hakikat hidup yang didasarkan kepada religiusitas. Manusia religius memandang dirinya sebagai bagian dari suatu totalitas, segala apa yang ada didunia ini di nilai dari segi artinya kehidupan rohanian yang ingin mencapai keselarasan antara pengalaman batin dengan arti hidup, mencari arti pencipta yang tertinggi atau kekuasaan absolut, yaitu Tuhan. 2.2.5.2 Sikap Menurut Gibson, et al (dalam Haryokusumo, 2011), sikap (attitude) adalah kesiap-siagaan mental, yang dipelajari dan diorganisasi melalui
63
pengalaman, dan mempunyai pengaruh tertentu atas cara tanggap seseorang terhadap orang lain, obyek, dan situasi yang berhubungan dengannya. Sikap merupakan bagian hakiki dari kepribadian seseorang. Moorman dan Blakelt (dalam Haryokusumo, 2011) mengemukakan kemauan saling membantu terhadap sesama, kemauan untuk mengambil inisiatif, dan kecenderungan untuk bersikap loyal dipengaruhi oleh nilai-nilai pada budaya yang dianut. Sikap hidup yang ditulis oleh Sartini (dalam Haryokusumo, 2011) merupakan cara seseorang memberi makna terhadap kehidupannya. Sikap hidup ini diperlihatkan untuk diri sendiri, atau untuk orang lain yang berstatus sosial lebih tinggi seperti pimpinan, atasan, atau orang tua. Sikap
hidup
yang
terdapat
dalam
masyarakat
Jawa
sangat
memperhatikan sikap-sikap hidup yang sederhana, penuh tanggung jawab, sangat menghargai perasaan orang lain, berbudi bawa leksana serta selalu rendah hati ( Sartini dalam Haryokusumo, 2011). Tipe sikap yang dikutip oleh Robbins (2008) mengkonsentrasikan pada tiga sikap, yaitu kepuasan kerja, keterlibatan kerja, dan komitmen pada organisasi. a.
Kepuasan kerja
Kepuasan kerja merujuk pada sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap kerja itu, sedangkan seseorang yang tak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap yang negatif.
64
b.
Keterlibatan kerja
Sampai tingkat mana seseorang memihak pada pekerjaannya, berpartisipasi aktif didalamnya, dan menganggap kinerjanya penting bagi harga diri. Karyawan dengan tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dengan kuat akan memihak pada jenis kerja yang dilakukan dan benarbenar peduli dengan jenis pekerjaan itu. c.
Komitmen pada organisasi
Aspek ini didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuantujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi itu. 2.2.5.3 Tujuan dan Harapan Edwin Locke (dalam Robbins, 2008) mengemukakan sebuah teori yang dinamakan teori penetapan tujuan. Menurut Locke bahwa maksudmaksud untuk bekerja ke arah suatu tujuan merupakan sumber utama dari motivasi kerja. Artinya, tujuan memberitahu karyawan apa yang perlu dikerjakan dan betapa banyak upaya akan dihabiskan. Teori ini juga mengutarakan bahwa tujuan-tujuan yang khusus dan sulit lebih menghasilkan kinerja yang lebih tinggi daripada tujuan-tujuan yang mudah. Penetapan tujuan dapat ditemukan juga dalam teori motivasi harapan. Individu menetapkan sasaran pribadi yang ingin dicapai (Munandar, dalam Noor 2012). Harapan (expectation) merupakan kemungkinan bahwa dengan perbuatan seseorang akan mencapai tujuan. Menurut Vroom (dalam
65
Robbins, 2001), harapan adalah kecenderungan seseorang untuk bekerja secara benar tergantung pada kekuatan dari pengharapan bahwa kerja akan diikuti dengan adanya imbalan, fasilitas yang menarik. Harapan dinyatakan dengan
adanya kemungkinan (probabilitas) bila keyakinan
yang diharapkan cukup besar untuk memperoleh kepuasannya, maka seseorang akan bekerja keras. Tingkah laku seseorang sampai tingkat tertentu akan tergantung, pada tipe hasil yang diharapkan. Beberapa hasil yang berfungsi sebagai imbalan intrinsik, imbalan yang dirasakan langsung oleh orang yang bersangkutan (Stoner et, al, 1996). Selanjutnya Wexley dan Yuki (dalam Noor, 2012) mengemukakan lebih rinci hasil-hasil yang dikaitkan dengan kebutuhan atau pengharapan yaitu: 1. Peningkatan upah 2. Kenaikan pangkat 3. Pemberhentian sementara 4. Penghargaan/pengakuan 5. Keputusan intrinsik 6. Penerimaan teman kerja. 2.2.5.4 Kemampuan Menurut Robbins (2008), kemampuan adalah kapasitas seorang individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Perihal kemampuan biasanya sangat berkaitan sekali dengan perbedaan karakteristik individu, atau yang disebut skill dan ability. Kedua istilah tersebut dalam
66
bahasa Indonesia diartikan sama, yakni kemampuan (Tampubolon dalam Haryokusumo, 2011). Lebih lanjut, Tampubolon memberikan pengertian untuk skill sebagai keterampilan seseorang yang berkaitan dengan menyelesaikan tugas secara cepat dan tepat. Sedangkan ability adalah kemampuan yang berkaitan dengan kinerja seseorang. Robbins (2008) membagi kemampuan-kemampuan keseluruhan dari seorang individu tersusun dari dua perangkat faktor, yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. a.
Kemampuan Intelektual
Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan mental. Tujuh dimensi yang paling sering dikutip yang menyusun kemampuan intelektual adalah kemahiran berhitung, pemahaman (comprehension) verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang, dan ingatan. b.
Kemampuan Fisik
Kemampuan fisik adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas
yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan
keterampilan serupa. 2.3 Penelitian Terdahulu
67
Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu No
Peneliti
Judul Penelitian
Subjek Penelitian Pengurus KUD Kabupaten Sleman.
Hasil Penelitian
1.
Arif Subyantoro (2009)
”Karakteristik Individu, Karakteristik Pekerjaan, Karakteristik Organisasi dan Kepuasan Kerja Pengurus yang Dimediasi oleh Motivasi Kerja ( Studi Pengurus KUD di Kabupaten Sleman)”
2.
Pradaningtias (2007)
“Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Kerja dan Kepuasan Kerja Pada Pekerja Berketerampilan Rendah Atau Terbatas”
Pekerja dengan kemampuan rendah didaerah Yogyakarta, yang termasuk didalamnya adalah pramusaji rumah makan dan pegawai swalayan atau toko.
Pekerja dengan keterampilan rendah atau terbatas lebih memiliki sumber motivasi dan kepuasan kerja dari dalam dirinya. Mereka membutuhkan kekuatan dan kesadaran dari dalam diri sendiri untuk dapat menyenangi pekerjaannya karena kemampuan yang terbatas.
3.
Ikhsan Gunawan (2010)
“Motivasi Guru Tidak Tetap di Kota Semarang”
Guru di berbagai SMA di Kota Semarang yang berstatus honorer atau Guru Tidak Tetap (GTT).
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa motivasi kerja seorang GTT dipengaruhi oleh faktor persepsi yang terbentuk dari nilainilai kerja, karakteristik biografi, serta karakteristik pribadi
Terdapat korelasi atau hubungan yang positif antara karakteristik pribadi yang terdiri dari nilai, sikap, kemampuan, dan minat terhadap motivasi dan kepuasan kerja.
68
para responden.
4.
Budi Cahyono
“Analisis Perbandingan Motivasi Dosen”
Dosen yang bekerja di Universitas Negeri Sultan Agung (Unissula) Semarang.
faktor gaji merupakan faktor yang dominan mempengaruhi motivasi dalam bekerja. Kesempatan untuk mengembangkan diri dalam organisasi, tingkat gaji yang relevan, bekerja sebagai satu team, dan kesempatan mempelajari sesuatu yang baru merupakan faktorfaktor yang mempengaruhi motivasi pra dosen, baik dosen yayasan maupun dosen PNS.
69
Siti Rohmah (2009)
“Meretas Mimpi di Negeri Seberang”
Penduduk Kabupaten Pati yang hendak bekerja ke luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
Boge Triatmanto dan Sunardi (2001)
“Analisis VariabelVariabel Yang Mempengaruhi Motivasi Kerja Karyawan Pada Hotel Berbintang di Kabupaten dan Kodya Malang”
Karyawan hotel berbintang di Kabupaten dan Kodya Malang, tanpa membedakan status dan jabatan karyawan.
7.
Diaz “Mengejar Asa Haryokusumo Sang Pamong (2011) Desa” (Studi Kasus Motivasi Kerja Perangkat Desa di Kabupaten Boyolali).”
8.
Junaidi Sembiring (2008)
Perangkat desa yang berstatus non-Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di berbagai daerah di Kabupaten Boyolali. Tenaga kerja organisasi profit dan organisasi nonprofit di Kecamatan Medan Baru,
5.
6.
“Perbedaan Motif Sosial Pada Tenaga Kerja Organisasi Profit dan Tenaga Kerja Nonprofit.”
Kepergian penduduk Kabupaten Pati ke luar negeri adalah dalam rangka bekerja, dalam hal ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan bekerja di luar negeri adalah lebih karena faktor ekonomi. Variabel pembentuk motivasi yang berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja karyawan yaitu kebutuhan meningkatkan kemampuan dan kebutuhan berprestasi. Hasil dari penelitian ini adalah motivasi seorang perangkat desa dipengaruhi oleh factor nilainilai kerja, sikap indivisu terhadap pekerjaan, serta kemampuan individu. Hasil Penelitian ini menunjukkan motif berafiliasi dan berprestasi pada tenaga kerja organisasi nonprofit lebih
70
Kota Medan.
9.
Muhammad Iqbal Noor (2012)
“Motivasi Islam dan Motivasi Prososial Pada Lembaga Amil Zakat.”
Para pegawai Post Keadilan Peduli Umat (PKPU) Cabang Semarang.
10.
Ananto Pramandhika (2011)
“Motivasi Kerja Dalam Islam.”
Guru TPQ di Kecamatan Semarang Selatan.
Sumber : Data yang diolah, 2014.
tinggi dari pada organisasi profit, sedangkan motif berkuasa pada tenaga kerja organisasi profit lebih tinggi dari pada organisasi nonprofit. Hasil penelitian ini menunjukkan motivasi pegawai PKPU dipengaruhi oleh factor nilai-nilai kerja, sikap individu terhadap pekerjaan, tujuan dan harapan, kelelahan dan kebosanan, serta kemampuan individu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alasan mereka mengajar TPQ adalah karena panggilan hati dan sematamata ingin mengamalkan ilmu yang dimiliki dengan mengesampingkan nilai materi yang akan didapat.
71
2.4. Kerangka Pemikiran Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran NILAI
SIKAP MOTIVASI INTRINSIK TUJUAN& HARAPAN KEMAMPUAN
Sumber : Data dikembang untuk penelitian ini, 2014.
MOTIVASI PROSOSIAL
BAB III METODfE PENELITIAN 3.1.
Jenis Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh data atau
informasi yang sangat berguna untuk mengetahui dan memecahkan masalah, atau untuk mengembangkan suatu bidang ilmu pengetahuan. Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti akan melalui beberapa proses seperti proses mengumpulkan, menganalisis, dan menafsirkan fakta-fakta atau fenomena yang terjadi sebagai data untuk membuat keputusan (Iskandar dalam Pramandhika, 2011). Ada dua jenis penelitian yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu ciri tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus mengetahui apa yang menjadi ciri sesuatu itu. Untuk itu pengamat mulai mencatat atau menghitung dari satu, dua, tiga dan seterusnya. Berdasarkan pertimbangan dangkal tersebut, kemudian para peneliti menyatakan bahwa penelitian kuantitatif mencakup setiap jenis penelitian yang didasarkan atas perhitungan persentase, rata-rata, kuadrat, dan perhitungan statistik lainnya. Dengan kata lain, penelitian kuantitatif melibatkan diri pada perhitungan atau angka atau kuantitas (Moelong, 2010). Berbeda dengan penelitian kuantitatif, penelitian kualitatif menunjuk pada segi alamiah yang dipertentangkan dengan jumlah tersebut. Atas dasar pertimbangan itulah maka penelitian kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan (Moleong, 2010) 72
73
Pada penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Badgan dan Taylor dalam Lexy J. Moleong, 2010). Menurut Sekaran (2004), Penelitian kualitatif adalah penelitian yang melibatkan analisis data atau informasi yang bersifat deskriptif dan belum dapat dikuantifikasi. Pendapat lain dari Lexy J. Moleong (2010), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Sedangkan tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah untuk memahami fenomena sosial melalui gambaran holistik dan memperbanyak pemahaman yang mendalam (Lexy J. Moleong, 2010). Penelitian kualitatif lebih menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Penelitian kualitatif ini juga lebih mementingkan pada proses dibandingkan dengan hasil akhir. Oleh karena itu, urutan-urutan kegiatan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi dan banyaknya gejala-gejala yang ditemukan (Iskandar dalam Pramandhika, 2011). Selain itu, dalam penelitian ini peneliti adalah sebagai instrument kunci. Sehingga peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas agar peneliti dapat bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi objek yang diteliti dengan lebih jelas.
74
3.2.
Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah. Kota
Pekalongan dipilih sebagai area penelitian lebih karena di wilayah ini sebagian besar wilayahnya masih terbilang religiusnya tinggi sehingga banyak Madrasah Aliyah Negeri maupun Swasta yang bisa diteliti Tabel 3.1 Daftar Madrasah Aliyah di Pekalongan No
Nama Madrasah Aliyah
Alamat
Jalan Raya Buaran 1 MA KH. Syafi‟i 2 MA Hidayatul Athfal Jalan Gatot Subroto 3 MA Salafiyah Pekalongan Jalan Purnasari 4 MA Ribatul Muta‟alimin Jalan HOS Cokroaminoto 5 MAN 3 Pekalongan Jalan Trikora Pragak 6 MAN 2 Pekalongan Jalan Urip Sumoharjo Sumber : Kementrian Agama Kota Pekalongan, 2014 3.3.
Subjek Penelitian Banyak yang berpendapat bahwa subjek penelitian adalah orang yang
melakukan penelitian atau peneliti, sedangkan objek penelitian adalah orang yang akan diteliti. Subjek menurut Sekaran (2004) adalah satu anggota dari sampel. Sedangkan menurut Amirin (dalam Pramandhika, 2011), subjek penelitian adalah seseorang atau sesuatu yang mengenainya ingin diperoleh keterangan. Dalam sebuah penelitian, subjek penelitian memiliki peran yang sangat strategis karena dari subjek penelitian itulah variable penelitian akan diamati. Subjek dalam penelitian ini adalah para Guru Madrasah Aliyah Negeri maupun Swata yang berstatus pegawai non PNS. Subjek yang terpilih berjumlah 11 orang yang bertugas di Madrasah Aliyah Negeri maupun Swata di Kota
75
Pekalongan. Sehingga setiap Madrasah Aliyah memiliki satu atau dua guru perwakilan. Kriteria subjek penelitian yakni Guru Madrasah Aliyah Negeri maupun Swata yang mempunyai masa kerja minimal tiga tahun dan berstatus non Pegawai Negeri Sipil (PNS). Angka minimal dua tahun masa kerja dipilih dengan alasan agar homogenitas latarbelakang narasumber lebih terfokus. Dan juga tiga tahun ini mencerminkan bahwa guru tersebut konsisten menjalani profesi sebagai guru. 3.4.
Objek Penelitian Dalam penelitian ini objek penelitiannya adalah yang berkaitan dengan
masalah yang akan diteliti, yaitu apa yang menjadi motivasi Guru Tidak Tetap Madrasah Aliyah baik Negeri maupun Swasta di Kota Pekalongan dalam mengajar, terutamana mendalami faktor-faktor dari motivasi intrinsiknya. 3.5.
Metode Pengumpulan Data Sumber data dan jenis data terdiri atas kata-kata dan tindakan, sumber data
tertulis, foto, dan statistik (Moleong, 2009). Atas dasar tersebut, dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. 3.5.1
Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan ini
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) sebagai pemberi pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) sebagai pemberi jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2007). Wawancara digunakan untuk dapat mengetahui hal-hal yang lebih mendalam dari partisipan dalam menginterpretasikan situasi
76
dan fenomena yang terjadi. Dalam penelitian ini, tujuan dilakukannya wawancara adalah untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai motivasi responden bekerja sebagai Guru. 3.5.2
Observasi Purwanto (dalam Firdausz, 2013), menyatakan bahwa observasi ialah
metode atau cara-cara menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompokan secara langsung. Metode ini digunakan untuk melihat dan mengamati secara langsung keadaan di lapangan agar peneliti memperoleh gambaran yang lebih luas tentang permasalahan yang diteliti. 3.5.3
Dokumentasi Dokumen merupakan suatu catatan peristiwa yang telah berlalu. Dokumen
dapat berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Hasil penelitian dari observasi atau wawancara, akan lebih kredibel (dapat dipercaya) kalau didukung oleh dokumen yang telah ada (Sugiyono, 2008). Dokumentasi merupakan suatu cara pengumpulan data yang menghasilkan catatan-catatan penting yang berhubungan dengan masalah yang diteliti (Basrowi dan Suwandi, dalam Firdausz 2012). Letak urgensi dan kekuatan dari dokumentasi adalah sebagai alat validasi dan penguat data, khususnya yang tidak bisa ditampilkan dengan deskriptif atau uraian kata-kata. Dalam penelitian ini dokumentasi yang akan disajikan berupa pengambilan gambar (foto) dari narasumber.
77
3.5.4. Studi Pustaka Dalam penelitian kualitatif, kajian pustaka perlu dilakukan untuk menguasai teori – teori yang relevan dengan masalah penelitian. Kajian pustaka digunakan sebagai landasan teori untuk menjustifikasi atas masalah penelitian dan tidak mengarahkan pertanyaan. Selain itu, penelitian tidak mungkin dilakukan dengan baik tanpa orientasi pendahuluan yang bersumberkan pada literatur yang berhubungan dengan masalah penelitian (Iskandar, dalam Pramandhika 2011). Sumber pustaka yang dipakai dalam penelitian ini adalah buku, jurnal, artikel, majalah, sumber lainnya. 3.6.
Metode Analisis Data Dalam metode kualitatif, analisis data kualitatif dilakukan bersamaan
dengan proses pengumpulan data. Metode analisis kualitatif merupakan kajian yang menggunakan data-data teks, persepsi, dan bahan-bahan tertulis lain untuk mengetahui hal-hal yang tidak terukur dengan pasti (intengible). Analisis data kualitatif bersifat hasil temuan secara mendalam melalui pendekatan bukan angka ( Istijanto, 2008). Bogdan dan Tylor dalam Moleong (2007), mendefinisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis kerja (ide) yang di sarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis kerja itu. Jika dikaji, pada dasarnya definisi pertama lebih menitik beratkan pada pengorganisasian data sedangkan yang kedua lebih menekankan maksud dan tujuan analisis data.
78
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya. Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah, langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan. Satuan-satuan itu dikategorisasikan pada langkah berikutnya. Tahap akhir dari analisis data ini adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Setelah selesai tahap ini, mulailah kini tahap penafsiran data dalam mengolah hasil sementara menjadi teori substansive dengan menggunakan metode tertentu (Moleong, 2007). Langkah-langkah analisis data adalah sebagai berikut: 3.6.1
Reduksi Data Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian,
pengabstraksian dan pentrasformasian data kasar dari lapangan. Proses ini berlangsung selama penelitian dilakukan, dari awal sampai akhir penelitian. Fungsinya untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi sehingga interpretasi bisa ditarik. 3.6.2
Penyajian Data Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk
uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya. Yang
79
paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. 3.6.3. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan adalah merupakan temuan yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori (Sugiyono, 2008). Ketiga aktivitas dalam analisis data tersebut memperkuat penelitian kualitatif yang dilakukan oleh peneliti karena sifat data dikumpulkan dalam bentuk laporan, uraian dan proses untuk mencari makna sehingga mudah dipahami keadaannya baik oleh peneliti sendiri maupun orang lain. 3.7. Validasi Data Dalam suatu penelitian, baik yang menggunakan metode kuantitatif maupun kualitatif, kriteria yang harus diperhatikan terhadap hasil penelitian adalah validitas, reliabilitas dan objektifitas. Uji keabsahan data dalam suatu penelitian, sering hanya ditekankan pada uji validitas dan reliabilitas. Susan Stainback (dalam Sugiyono, 2008) menyatakan bahwa penelitian kuantitatif lebih menekankan pada aspek reliabilitas, sedangkan penelitian kualitatif lebih menekankan pada aspek validitas. Validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada obyek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti (Sugiyono, 2008). Dengan demikian data yang valid adalah data yang tidak berbeda antara data yang
80
dilaporkan oleh peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek penelitian. Sedangkan reliabilitas berkenaan dengan derajat konsistensi dan stabilitas data atau temuan. Karena reliabilitas berkaitan dengan derajat konsistensi, maka bila ada peneliti lain mengulangi atau mereplikasi dalam penelitian pada objek yang sama dengan metode yang sama, maka akan menghasilkan data yang sama. Tetapi perlu diketahui bahwa kebenaran realitas data menurut penelitian kualitatif tidak bersifat tunggal, tetapi jamak dan tergantung pada konstruksi manusia, dibentuk dalam diri seorang sebagai hasil proses mental individu dengan berbagai latar belakangnya. Oleh karena itu, pengertian reliabilitas dalam penelitian kualitatif berbeda
dengan penelitian kuantitatif karena sifat
majemuk/ganda/dinamis selalu berubah sehingga tidak ada yang konsisten dan berulang seperti semula. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan dua macam validasi, yakni validasi internal dan eksternal. 1.
Validasi Internal Validasi internal data penelitian dilakukan melalui teknik membercheck oleh responden setelah peneliti melakukan tabulasi data hasil penelitian. Peneliti membuat tabulasi data yang berisi hasil wawancara apa adanya yang kemudian
dipisahkan
kedalam
beberapa
kategori
dan
selanjutnya
diintrepretasikan oleh peneliti menurut pemahaman peneliti terhadap hasil wawancara dengan responden tersebut. Selanjutnya hasil tabulasi data tersebut ditunjukkan kembali kepada narasumber sehingga narasumber tahu
81
hasil intrepretasi peneliti. Apabila ada hasil intrepretasi peneliti yang tidak sesuai dengan maksud yang disampaikan oleh narasumber pada saat wawancara, maka narasumber berhak untuk tidak memberikan membercheck dan meminta peneliti untuk memperbaiki. Namun apabila narasumber menyetujui hasil intrepretasi peneliti, maka narasumber dapat memberikan membercheck pada hasil tabulasi data dan kemudian menandatanganinya sebagai bukti keabsahan data. 2.
Validasi Eksternal Kemudian peneliti juga melakukan pengujian validitas eksternal dengan menggunakan sarana tabulasi data yang digunakan juga untuk membercheck pada saat yang sama. Pengujian validasi eksternal ini digunakan untuk mengukur tingkat transferability, dimana pengujian ini berfungsi untuk menunjukkan derajat ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian ke populasi dimana sampel itu diambil. Transferabilitas yang baik dapat terlihat dari kejelasan gambaran dan pemahaman pembaca tentang konteks penelitian yang dilakukan oleh peneliti.
3.8 Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Penelitian 1. Pra Persiapan Penelitian Dalam tahapan Pra Persiapan Penelitian ini, peneliti melakukan beberapa langkah berikut: (Arikunto, 2010) a. Menyusun jadwal rencana Penelitian b. Memilih Problematika dan Judul Penelitian
82
2. Persiapan Penelitian Dalam tahapan Persiapan Penelitian ini, peneliti melakukan beberapa langkah berikut: a. Menyusun proposal penelitian b. Merumuskan Hipotesis Penelitian c. Menyusun Landasan Penelitian dan Kajian Pustaka d. Menentukan Subjek Penelitian e. Menentukan Instrumen Pengumpulan Data Penelitian f. Pemilahan Informasi Penelitian. g. Menyusun Instrumen Pengumpulan Data h. Mengajukan Proposal Penelitian ke dosen Pembimbing i. Pengurusan izin penelitian di kampus dan di lokasi penelitian. 3. Pelaksanaan Penelitian Lapangan Dalam tahap penelitian Lapangan, peneliti melakukan langkah-langkah berikut ini : a. Memulai penelitian lapangan dengan benar dengan membekali diri terlebih dahulu dari berbagai literature maupun persiapan psikologis. b. Berkunjung ke Madrasah Aliyah dan ke rumah narasumber. c. Menjaga sikap sopan santun ketika di lokasi/tempat penelitian. d. Melakukan wawancara lapangan. e. Observasi dan pengumpulan data (mengembangkan sikap melihat dan mendengar, serta mencatat hal penting)
83
f. Melakukan kajian pustaka baik di perpustaakan maupun dengan jurnal online 4. Pengolahan Data Setelah pencarian data dirasa cukup dan sudah memenuhi untuk diolah, maka langkah mengolah data, akan dilakukan peneliti, dengan urutan langkah berikut ini: a. Melakukan analisis awal apakah data yang terkumpul telah memadai. b. Melakukan analisis data temuan. c. Mengadakan pendalaman data. d. Melakukan interpretasi data berdasar teori yang ada. e. Menguji
keabsahan
data
dengan
meminta
narasumber
mengisi
membercheck atas hasil wawancara. f. Merumuskan kesimpulan akhir. g. Menyiapkan penyusunan laporan penelitian. 5. Penyusunan Laporan Penelitian Setelah Proses analisis data selesai dilakukan, dan diperoleh data yang valid dan reliable (Kredibel), maka peneliti akan melakukan proses akhir dari penelitian, yaitu menyusun laporan penelitian. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam menyusun laporan penelitian adalah sebagai berikut : a.
Membuat kerangka laporan penelitian
b.
Melengkapi kerangka laporan dengan isi dan hasil penelitian, serta membuat pengantar dan kesimpulan.
84
c.
Mengevaluasi laporan dengan memperbaiki koherensi, memperbaiki atas salah tulis, mengecek kutipan, mengkaji kembali hasil tulisan.
d.
Mencetak Laporan Penelitian.