MENAKAR ULANG BASIS LEGITIMASI POLITIK ISLAM: MUNDURNYA PATRIMONIALISME DALAM MASYARAKAT SANTRI (Studi Kasus di Pedesaan Jawa Timur)
Tesis
Oleh: Muhammad Faishal Aminuddin NIM: 22793/IV-1/2113/05
PROGRAM PASCASARJANA ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2007
1
TESIS MENAKAR ULANG BASIS LEGITIMASI POLITIK ISLAM: MUNDURNYA PATRIMONIALISME DALAM MASYARAKAT SANTRI (Studi Kasus di Pedesaan Jawa Timur) Yang dipersiapkan dan disusun oleh
MUHAMMAD FAISHAL AMINUDDIN NIM: 22793/IV-1/2113/05
Telah dipertahankan didepan Dewan Penguji Pada tanggal
Susunan Dewan Penguji
Pembimbing
Drs. Pratikno, M.Soc.Sc, Ph.D
Tim Penguji
Drs. I Ketut Putra Erawan, M.A, Ph.D
Drs. Pratikno, M.Soc.Sc, Ph.D
Miftah Adi Ikhsanto, SIP, MiOP
2
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat lain yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diajukan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 19 November 2007
MUHAMMAD FAISHAL AMINUDDIN
3
KATA PENGANTAR
Tesis ini bercerita tentang bagaimana patrimonialisme telah melemah di kalangan masyarakat santri. Gelombang perubahan yang dibawa dari pergseran rezim dari Orde Baru ke masa reformasi telah membawa konsekuensi keterbukaan. Meskipun bersifat relatif, tetapi cukup mampu menjad pemicu dari modalitas yang mendorong mencairnya hubungan elit- massa dalam masyarakat santri. Dalam penelitian dan penulisan tesis ini, banyak pihak yang terlibat memberikan bantuan. Tetapi pertama kali, saya sampaikan puji syukur pada Yang Maha
Segala-Nya
yang
sudi
memberikan
kehidupan
dan
terasa
begitu
membahagiakan. Bersama utusan-Nya, telah menunjukkan bahwa jalan hidup tidaklah rata dan lurus. Penulisan ini merupakan salah satu dari cabang jalan yang kecil dari ribuan kelokan dan gundukan yang harus tetap ditempuhi. Hamdalah, Dia terus membimbing agar bisa membaca peta yang telah diberikan-Nya. Dari kampus pascasarjana Ilmu Politik UGM, saya harus mengucapkan terimakasih banyak pada semua dosen yang pernah memberikan pelajaran selama studi. 1. Terutama dosen pembimbing dan penguji Bapak Drs. Pratikno, M.Soc.Sc, Ph.D dan juga dosen penguji Bapak Drs. I Ketut Putra Erawan, M.A, Ph.D. Beliau-beliau juga telah memberikan kesempatan untuk terlibat dalam proyek penelitian IDS-Sussex University. Dari proyek tersebut, penelitian ini bisa dilakukan. Selain itu kepada Mas Miftah Adi Ikhsanto, S.IP, MPA yang juga menjadi penguji. 2. Tanpa dukungan moril dan materiil dari keluarga: Abah H. Abdul Azis, S.H dan Umi Hj. Emiliyati. Om Drs.H.Hidayat Supriyadi dan H. Kun Sucahyono, S.E, SKM dan semua keluarga yang lain, proses penulisan ini tidaklah banyak berarti. Dorongan dan cibiran mereka merupakan pelecut semangat untuk menunaikan kewajiban ini.
4
3. Bagi teman hidupku Silvia Kurnia Dewi, S.H dan ibu mertua Dra. Hj. Dien Nadhiroh sekeluarga atas kebaikannya selama di Surabaya. Melebihi materi, apa yang mereka semua berikan mampu mengisi segenap kelemahan diri dan menampar keangkuhan hidup ini. 4. Sahabat-sahabat di Jogjakarta, Buat teman RASI Indonesia dan teman pascasarjana Ilmu Politik 2005 plus Mbak Iik atas hubungan yang hangat. Terutama Awang atas kerjasama yang baik selama melakukan penelitian ini. Kru LPM Ekspresi UNY dan café-café tempat dimana dilangsungkan diskusidiskusi lepas. Khusus buat Tono dan Eka atas kerelaannya memberikan bantuan yang tidak terhingga. Juga buat Andi Ardiasto, S.H, M.Si dan semua teman gadis-gadis di rumah Pak Wondo, Ngaglik-Sleman atas masa-masa selama saya tinggal dalam tahun pertama studi. Saudara-saudaraku Pakde Hadi & Budhe, Mas Nanang, Nining, Nunung di Jogja yang banyak memberikan dukungan. 5. Di Surabaya, saya dibantu oleh teman-teman yang baik berupa dorongan, semangat atau keluangan waktu di sela-sela kewajiban saya pada mereka. HISTra (Ikhsan Rosyid, dkk), FS3LP (Mashuri, dkk), JPIP (Dadan Suharmawijaya, dkk), semua kader PMII Unair, PsaTS-Unair (Novri Susan, dkk), INDIGO (Dr. Budi Prasetyo, dkk), Airlangga Pribadi (Lab Politik Unair), CMARS (Yuni, dkk) dan institusi lainnya dimana saya terlibat. Banyak kegiatan penting yang seharusnya membuat saya harus hadir tetapi tidak bisa terpenuhi. 6. Buat sahabat saya Zaki Mubarak, Irsyad Zamjani, Haris Mustofa, Ahmad Syauqi, Wiwik Budi dan semua sahabat lainnya yang membantu secara khusus. 7. Di Pare, untuk Ibu Bambang sekeluarga, semua perangkat desa, BPD dan masyarakat desa Krecek yang hangat. 8. Buat semua pihak yang telah membantu kelancaran pengerjaan penelitian dan penulisan ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
5
Terimakasih sekali lagi buat kedua orang tuaku, dengan ketulusan yang mahaluas telah merelakan anak pertamanya ini melesat untuk menemukan dunia dan menjalani pilihan hidupnya. Jarang menginjakkan kaki di rumah dan tidak diberikan irihati untuk ikut menanggung beban keluarga.
Surabaya-Jogja 2007
M. Faishal Aminuddin, S.S
6
DAFTAR ISI Halaman Judul Halaman Persetujuan Halaman Pengesahan Halaman Pernyataan Halaman Persembahan Motto Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Istilah dan Singkatan Daftar Tabel dan Diagram Abstraksi Lampiran Daftar Pustaka BAB I PENDAHULUAN A.Latarbelakang................................................................................................1 B. Rumusan Masalah........................................................................................11 C. Kerangka Teori.............................................................................................13 1. Santri dan Politik Islam.....................................................................14 2. Peranan Institusi dalam Membangun Kapasitas Aktor.....................20 3. Patrimonialisme dalam Hubungan Elit-Akar rumput.......................25 D. Metodologi...................................................................................................33 1. Pendekatan Morphogenetics.............................................................34 2. Metode Penelitian Studi Kasus.........................................................36 E. Sistematika Penulisan...................................................................................41 BAB II GAMBARAN UMUM DESA KRECEK: KONDISI-KONDISI AWAL A.Lanskap Desa B.Sejarah dan Perubahan-perubahan Penting...................................................51 1.Kepercayaan tentang Asal Mula Desa.......................................................54 2.Santrinisasi Pasca 1965.............................................................................56 3.Negaranisasi Masa Orde Baru...................................................................63 C.Moda Produksi Tradisional..........................................................................66 D.Pembilahan Sosial Politik 1.Eksistensi Ormas dan Parpol...................................................................71 2.Ideologi dan Pandangan Politik ..............................................................73
7
BAB III PENGARUH PERUBAHAN POLITIK PASCA ORDE BARU: PLURALISME HUBUNGAN ELIT-AKAR-RUMPUT DALAM MASYARAKAT KRECEK
A.Jaringan Pesantren pasca Mundurnya Intervensi Negara............................76 B.Kohesi Sosial dalam Organisasi Keagamaan...............................................84 1.Peleburan Politik Aliran..........................................................................85 2.Pengakuan terhadap Perbedaan Afiliasi Politik......................................89 3.Akomodasi NU terhadap Ormas yang Lain............................................91 4.Integrasi Politik melalui Media Kultural...............................................101 C.Inklusi Personal dalam Institusi..................................................................103 1.Keragaman Tipologi Kiai......................................................................104 2.Pengaruh Birokrasi................................................................................112 3.Eksistensi Aktor-aktor Baru..................................................................115 D.Hubungan Elit dengan Aparatus Negara....................................................119 E.Afiliasi dan Resistensi dengan Parpol.........................................................125 1.Kontradiksi Orientasi Politik Elit..........................................................126 2.Klientilisme Terbuka dalam Jaringan Politisi........................................131 F.Resistensi dan Kalkulasinya........................................................................135 BAB IV MUNDURNYA PATRIMONIALISME: REVITALISASI INSTITUSIONAL DAN PENGUATAN POSISI AKAR RUMPUT TERHADAP ELIT A.Perubahan Basis Legitimasi........................................................................141 1.Melemahnya Kontrol Elit.......................................................................142 2.Perdagangan dan Pengaruhnya...............................................................148 3.Fungsionalisasi Ruang Publik................................................................151 B.Revitalisasi Institusi Informal 1.Bentuk-bentuk Institusi Informal............................................................154 2.Sistem Pengolahan Pertanian Kolektif....................................................158 3.Sistem Upah............................................................................................163 4. Munculnya Solidaritas Setelah Krisis....................................................169 C.Otonomisasi Akar-rumput............................................................................172 1.Manajemen Konflik Kepercayaan dan Ekonomi....................................173 2.Pengelolaan Sumber Daya Umum..........................................................177 D.Kemunduran Patrimonialisme......................................................................183 1.Elit sebagai Pemberi Tawaran.................................................................184 2.Kompromisme Elit-Akar rumput............................................................187
8
3.Kapasitas dan Posisi Tawar Akar-rumput...............................................195 a.Terhadap Negara...............................................................................195 b.Terhadap Kekuatan Sosial Politik.....................................................198 c.Terhadap Monopoli Ekonomi…………………………..…………..200 E. Beberapa Catatan dan Implikasi Teoretik……………………..………….205 1. Pergerakan Agen dan Struktur dalam Perubahan………….……..206 2. Statisme Geertz……………………………………………………209 3. Ambivalensi dalam Budaya Politik Informal…….……………….212 BAB V KESIMPULAN ………………216
9
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Ingatkan selalu, penciptaan berawal dari setitik tinta didalam pikiran. Dan kamu (pemuda) yang harus menjadi nakhkoda perjalanan bangsa ini”
(Pramoedya Ananta Toer, 2002, sebagaimana dikatakan kepada saya)
10
Tesis ini kupersembahkan untuk kedua orangtuaku H. ABDUL AZIS, S.H bin Kiai MUHTADIN & Hj. EMILIYATI binti CHAMIM
Mengenang
K.H. ABDUL FATAH & Nyai. NGADIJAH Kiai MUHAMMAD YUNUS & R.Nyai.MAS MUTHOLI’AH
11
Daftar Tabel dan Diagram Tabel 1: Peruntukan Lahan…………………………………….44 Tabel 2: Kepemilikan Tanah…………………………………..46 Tabel 3: Jenis Produksi………………………………………...68 Tabel 4: Tipe Jaringan Pesantren………………………….…..80
Diagram 1: Siklus Morphogenetics...........................................35 Diagram 2: Kerangka Analisis Morphogenetics……………...39 Diagram 3: Dampak Santrinisasi……………………………...57 Diagram 4: Alur Akomodasi Politik NU…..…………………95 Diagram 5: Diferensiasi Peran Kiai…………………..………105 Diagram 6: Posisi Hubungan Elit-Akar Rumput……………..146 Diagram 7: Jenis dan Hubungan dalam Institusi Informal…...155
12
Daftar Istilah dan Singkatan
LSI
: Lembaga Survey Indonesia
NU
: Nahdlatul Ulama
MD
: Muhammadiyah
LDII
: Lembaga Dakwah Islam Indonesia
PPP
: Partai Persatuan Pembangunan
PDIP
: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Partai Golkar : Golongan Karya PD
: Partai Demokrat
PKB
: Partai Kebangkitan Bangsa
PKS
: Partai Keadilan Sejahtera
PBB
: Partai Bulan Bintang
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
DI TII
: Darul Islam / Tentara Islam Indonesia
BPS
: Badan Pusat Statistik
HVA
: Handel
Dam
: Bendungan
BTI
: Barisan Tani Indonesia
PTPN
: Perseroan Terbatas Perkebunan Nasional
Santri
: terpelajar dalam bidang agama
Abangan
: sinkretisme Islam dan Hindu-jawa
Priyayi
:kelas terdidik dan pegawai negeri
Majapahitan : varian abangan yang mempunyai kekuasaan Putihan
:sebutan lain kelompok santri
PKI
: Partai Komunis Indonesia
PPL
: Petugas Penyuluh Lapangan
13
Mungkik
: dukun
Landreform
: Usaha pembagian luas tanah pada petani oleh BTI/PKI
PNI
: Partai Nasionalis Indonesia
Masyumi
: Majlis Syuro Muslimin Indonesia
Modin
: Pemimpin Masjid
LKMD
: Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
Bayan
: Aparat Desa untuk Memberi Khabar
Jogotirto
: Aparat Desa dibidang pengairan
Jogoboyo
: Aparat keamanan desa
Babinsa
: Bintara Pembina Desa
MAN
: Madrasah Aliyah Negeri
PAN
: Partai Amanat Nasional
FKU
: Forum Kerukunan Ulama
Khittah
: jalan utama
Nyadran
: upacara pembersihan
FUI
: Forum Umat Islam
TPA
: Taman Pendidikan Al-Qur’an
Mursyid
: Guru tarekat
Pokmas
: kelompok masyarakat
BPD
: Badan Perwakilan Desa
NA
: Nasyiyatul Aisyiyah
HUT
: Hari Ulang Tahun
RI
: Republik Indonesia
DPRD
: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Musrenbang
: Musyawarah Rencana Pembangunan
ADD
: Alokasi Dana Desa
Tanah bengkok: tanah bagian kepala desa sebagai pengganti gaji Wangan
: jalur petak pengairan sawah
HIPA
: Himpunan Pemakai Air
14
BPR
: Bank Perkreditan Rakyat
Gelengan
: pematang
Selepan
: Penggilingan Padi
Borek
: juragan padi
Kawul
: sampah padi
Siskamling
: Sistem Keamanan Lingkungan
RT
: Rukun Tetangga
Tanah Ganjaran: tanah yang dikelola oleh aparat desa Yasan
: tanah adat
Kamituwo
: perangkat desa di bawah kades
Tumpengan
: nasi yang disusun kerucut
Hadrah
: kesenian dengan alat tabuh
Suroan
: perayaan bulan suro
Mbesoh
: menari
Pesarean
: makam yang dikeramatkan
15
ABSTRACT
This study focussed on decline of patrimonial system in santri’s society in post New Order regime. This work choose the case study as method and gained data with ethnographic way. The background area is in the one village in inner East Java. Morphogenetics approach is the single purposes because it can be involving response aspects against structural change. In this study, a santri Society in Krecek village engange with based on institution like pesantren and clerics. There is four important point. First, santri’s entities not only in their institution and model of elite-grass roots relation. Second, history as the significance factor to explain a model and change pathways in the society. Third, institution had influenced for interaction model changing and their actors. Fourth, a formation of santri’s society response against structural changing from micro level ever push the fragmented in patrimonial system. The objective of this study is the 1) to know how the grass roots ambivalency in front of the changing situation within responsiveness in one side and adaptativeness in the other side. 2) structure and agency didn’t stay as monolithic control under the power of the state ad their informal politics like patrimonialism, 3) many It caused the relation of the is change, from state supporting and their agency make the elite political legitimacy gained from social, economics and religious conditions, toward equally. The impact of this study tend to rejoin Geertz’s view about statism when he separate aliran. Situation was change and dynamization of society can improve from the bottom in the deep side of society. The other impact is the pluralisme in society especially in patronage concept. The grass roots is not only a passive object because empowering their capacity with revitalization of informal institution and that inspiring autonomously in the interaction system which they were build. That implies to improving their bargaining position to became high against elite. The important contribution from this study is to knowing about correlation between study of political islam discourse with model of constituent mobilisation by political power and state intervention. The conclusion is the relation between us made a clientilistic model was closed to became opened and fluid. Keyword: patrimonial, santri, changing
16
INTISARI
Studi ini terfokus untuk melihat mundurnya patrimonialisme dalam masyarakat santri pasca Orde Baru. Obyek studi adalah hubungan elit-akar rumput dalam skala mikro di pedesaan. Studi ini emnggunakan studi kasus dan bersifat kualitatif. Data-data didapatkan dengan model penelitian etnografi. Pendekatannya dengan morphogenetic karena melihat aspek perubahan struktural dan pengaruhnya terhadap agensi. Dalam studi ini ditemukan empat hal yaitu pertama, entitas santri tidak terikat lagi pada model interaksi institusional yang dikendalikan melalu pesantren atau tokoh agama. Kedua, faktor sejarah menjadi signifikan sebagai bagian dari perubahan struktural. Ketiga, institusi menyumbang peranan penting dalam pemerian model perubahan dalam skala mikro, keempat formasi dari masyarakat santri dan responnya terhadap perubahan menyebabkan sistem patrimonial menjadi terfragmetasi dan mengalami kemunduran fungsi. Studi ini memberikan implikasi teoretik pada pemahaman mengenai ambivalensi didalam struktur dan agensi karena dihadapkan pada pola adaptatif atau responsif sebagai manifestasi dari interaksi antara struktur dan agensi. Struktur dan agensi bukanlah bersifat monolitik yang dikendalikan oleh kekuasaan negara dan kekuatan informal seperti patrimonialisme. Studi ini memberikan peryataan baru yang menolak statisme yang ditawarkan oleh Geertz ketika melihat karakter sosial politik Jawa. Dinamisasi dalam masyarakat tradisional bisa terjadi seperti adanya pluralisme dalam relasi patron-klien. Kontribusi penting studi ini terhadap pembacaan politik Islam terletak pada model mobilisasi dan legitimasi yang dilakukan berdasarkan sistem kekerabatan dan tekanan yag diberikan oleh negara. Hubungan elit-akar rumput dalam masyarakt santri tidak lagi didominasi oleh dikotomi patron-klien dalam pengertian yang tertutp melainkan sudah menjadi lebih terbuka.
Kata kunci: patrimonial, santri, perubahan
17
BAB I PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Dalam situasi politik pasca Orde Baru, organisasi kemasyarakatan berbasis keagamaan telah berkembang menjadi kekuatan yang mempunyai posisi tawar terhadap negara. Berkembangnya gagasan mengenai pemberdayaan masyarakat sipil (civil society) telah menempatkan posisi tawar ormas-ormas tersebut dalam satu tingkatan penting dimana semua aktor politik berlomba-lomba untuk memperebutkan legitimasinya. Akibat kecenderungan ormas yang berjalan kearah ranah politik, elitelit mereka banyak yang tertarik untuk mengadu peruntungan dalam proses politik. Merapatnya elit ormas berbasis Islam ke dalam kekuatan politik praktis ternyata tidak bisa bertahan lama. Penyebabnya karena faktor yang jika dilihat dari tingkat nasional, banyak dipengaruhi kekecewaan elit ormas terhadap posisi yang disediakan dalam panggung politik. Posisi tersebut dianggap tidak sebanding dengan jerih payah mobilisasi yang dilakukan di tingkat bawah. Tingkat kepercayaan masyarakat santri sendiri sebagai entitas sosial pemberi dukungan terhadap elit dan parpol Islam mengalami penurunan. Survei yang dilakukan oleh LSI1 tahun 2007
1
www.lsi.or.id, PDI PDI Perjuangan cenderung meningkat dan berada pada posisi pertama (19,7%), menggeser posisi Partai Golkar (15%) dan Partai Demokrat (10%). Pada partai papan tengah, PKS (6,4%) bersaingan ketat dengan PKB (6,2%). Ada peningkatan popularitas pada PAN (4,3%), namun PPP cenderung stagnan (3,5%).
18
menunjukkan popularitas parpol nasionalis sedangkan parpol Islam atau yang memanfaatkan konstituen terbesar Islam cenderung menurun. Hefner (2000) menyarankan bahwa untuk melihat Islam politik, sebagai terminologi bagi gerakan politik kelompok Islam secara luas, tidak mungkin lagi menggunakan perpektif yang tunggal. Demikian juga konsensus diantara ummat Islam yang jelas mengenai peran Islam di panggung politik2 harus lebih dicermati. Keterlibatan elit ormas dalam politik praktis banyak dilihat akan menimbulkan ancaman bagi memudarnya kekuatan dan posisi tawar dari masyarakat sipil terhadap negara sehingga menutup kemungkinan untuk menjadikannya sebagai bagian dari penyeimbang kekuasaan. Tetapi dari sisi kepentingan untuk mempengaruhi kebijakan, keputusan untuk berpolitik dengan mendorong ormas kedalam afiliasi politik baik dalam kaitan taktis, strategis atau oportunis menjanjikan sebuah model kekuasaan baru. Pada dasarnya keterlibatan ini memunculkan sebuah sosok baru yang lahir dari politisasi ormas oleh para elitnya. Sosok tersebut adalah reposisi elit dengan basis material yang berbeda-beda3. Sistem patrimonalisme merupakan kata kunci bagi elit untuk menjalankan strategi penguasaan masyarakat di tingkat akar-rumput. Ditingkat elit, masyarakat 2
Studi demikian bisa dijumpai dalam tulisan R.W Hefner, Islam Pasar Keadilan: Artikulasi Lokal, Kapitalisme dan Demokrasi, Lkis, Yogyakarta, 2000: 39, 3
Perspektif pembauran politik Islam bisa ditelusuri dari kumpulan tulisan dari pemuka kelompok Islam dalam Abu Zahra (ed), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, Pustaka Hidayah, Bandung, 1999. Sementara dalam kajian yang bersifat lebih khusus lagi mengenai aspek pemeliharaan ummat oleh tokoh lokal dapat ditemukan dalam studi antropologi yang ditulis oleh Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, LKiS, Yogyakarta, 1999.
19
santri disederhanakan kedalam beberapa katup ideologi sosial politik seperti penyebutan Islam tradisional dan modernis yang menunjuk pada perbedaan model sosialisasi, kaderisasi dan dukungan sosial politik dari pesantren atau institusi kemasyarakatan berbasis keagamaan lainnya. Bagi parpol, hal tersebut semakin memudahkan mereka untuk memanfaatkan dukungan dalam pemilu karena yang diperlukan adalah mengelola dukungan konstituen yang berafiliasi pada organisasi masyarakat, baik NU, Muhammadiyah ataupun LDII dengan cara mengendalikan elitelit politiknya. Di tingkatan lokal, keberadaan Kiai dianggap sebagai pilar yang memegang peranan patron yang memiliki otoritas dan kekuasaan mutlak dalam mewarnai lembaga pesantren dimana tidak seorangpun melawannya. Kecuali Kiai lain yang lebih mempunyai kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar4. Hubungan patronklien dalam kelompok Islam tradisional misalnya lebih disebabkan karena adanya pertukaran yang tidak seimbang yang mencerminkan perbedaan status, adanya kultus individual dan adanya hubungan yang menyeluruh tanpa batas waktu5. Dhofier (1982) menyebutkan bahwa didalam sistem paternalistik terdapat tidak hanya sisi
4
Studi tentang Kiai lihat Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren, LP3ES, 1999, Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, LP3ES, Jakarta, 1982, 55-60. Sementara studi lanjutan tentang poltiik NU dan hubungannya dengan Negara bisa dilihat dalam banyak karya diantaranya Laode Ida, Anatomi Konflik: NU, Elit Islam dan Negara, Pustaka Sinar Harapan, 1999. Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, LKiS, Yogyakarta, 1994. Andree Feillard, NU vis a Vis Negara, LKiS, Yogyakarta, 1999. Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, LKiS, Yogyakarta, 1998 5
lih. Scott Scott, James C. (1972). “Patron-Client Politik and Political Change in Southeast Asia.” American Political Science Review 66: 1, 91 – 113 (March).
20
positif dimana Kiai menjalankan tugas sebagai penjaga nilai kesatuan dalam sebuah kelompoknya. Tetapi juga mempunyai sisi negatif karena apabila Kiai sudah tidak bisa dipercaya akan membuat kelompok tersebut tercerai berai. Politisasi besar-besaran yang dilakukan oleh elit politik santri terhadap pengikutnya dengan memanfaatkan lembaga pendidikan dan jaringan telah menyebabkan menajamnya kesenjangan antara elit dengan akar-rumput. Sistem paternalistik yang dimanfaatkan oleh elit sebelumnya untuk mendapatkan dukungan politik dari pengikutnya di dalam komunitas santri sendiri tampak mengalami pergeseran terutama dalam kaitannya dengan tingkat kepercayaan politik pada elitnya. Meskipun demikian, Kiai yang memanfaatkan lembaga baik pesantren, ormas atau kelompok seperti Tarekat sebenarnya mempunyai kadar kesetiaan pengikut yang berbeda-beda. Turmudi
(2003)
melihat
kepemimpinan
Kiai
secara
umum
dan
memperlihatkan bahwa hubungan antar Kiai dan masyarakat diatur oleh pemahaman mereka terhadap Islam dan juga perubahan norma yang berlaku di masyarakat. Meskipun demikian, Kiai masih mempunyai kekuatan politik yang mampu menggerakkan pengikutnya dan mempengaruhi pilihan politiknya yang mengacu pada ikatan-ikatan kekerabatan dan lebih bersifat afiliatif pada subkultur atau pembagian kelas berbasis moda produksi. Pergeseran tersebut bisa diukur dari hasil pemilu karena aspek sistem produksi masyarakat dengan model pengelolaan sumber daya manusia seperti kebudayaan, ingatan sejarah dan persamaan dalam kategori tertentu seperti nasib mempunyai pengaruh yang penting (Ward 1974, Gaffar 1992)
21
Pola patrimonial dalam masyarakat santri bisa dijelaskan dari banyak tinjauan diantaranya karena adanya kebutuhan untuk membagi jenis pekerjaan sekaligus sistem pengupahan yang semakin berkembang. Tidak hanya pada polarisasi antara petani pemilik tanah dengan buruh tani melainkan jenis pekerjaan lain yang memunculkan kelas pekerja (Hart 1986, Husken 1979). Setelah pembagian jenis pekerjaan berkembang, interaksi sosial turut berubah menjadikan situasi kehidupan masyarakat pedesaan tersekat dalam berbagai pilihan politik (Jay 1969). Dampaknya juga dirasakan pada persoalan distribusi ekonomi yang tidak seimbang (King & Weldon 1977). Kekuatan politik Islam pada pasca Orde Baru mengalami kemunduran cukup serius dan penyebab utamanya adalah terpolarisasinya dukungan dari ormas dan organisasi yang dibawahinya. Ormas juga gagal untuk memelihara basis dukungan pada pengikut-pengikutnya. Selain itu faktor yang mungkin untuk dipelajari adalah menguatnya posisi tawar dari akar-rumput terhadap elitnya. Pada bagian ini beberapa sarjana melihat masyarakat santri dan politik Islam terbagi dalam dua pemahaman. Pertama, sarjana yang melakukan penelitian mengenai kondisi dan perubahan dalam masyarakat santri. Kedua, mengenai politik Islam sebagai diskursus dalam tingkat nasional. Pada pemahaman pertama, acuan penting yang berbicara lebih spesifik mengenai politik santri adalah Munir Mulkhan (2003:139) yang menjawab persoalan rendahnya partisipasi mayoritas pemeluk Islam terhadap perjuangan yang dilakukan oleh parpol Islam lebih disebabkan karena elitnya yang sulit untuk mengkoreksi
22
dirinya sendiri dan menyusun landasan perjuangannya berdasarkan ide-ide yang hanya dimengerti dan dianggap penting oleh elitnya sendiri. Studi tersebut hanya melihat dari sisi pergerakan kepentingan elit saja sehingga kesimpulan yang diambil kurang mempunyai akurasi dan pembuktian lapangan. Perubahan yang dominan sesuai dengan pendapat Munir Mulkhan adalah sikap politik santri yang mendukung partai sekuler telah menyebabkan hubungan tradisional abangan dan priyayi parpol sekuler mulai mencair. Pergumulan politik santri dengan pemerintah bersumber dalam perbedaan konsep dasar tata kehidupan sosial sementara konfliknya disebabkan karena kemampuan dalam memenuhi kebutuhan sosial yang berbeda (1999:74-83). Umumnya, dukungan dari pemilih diharapkan muncul ketika menjelang pemilu saja sementara gagasan-gagasan yang dijual dalam kampanye merupakan produk dari elit-elit sendiri. Hal ini menyebabkan terjadinya kesenjangan pemahaman akan landasan dan tujuan dari para elit politik dengan basis dukunganya di tingkat pemilih. Bagaimanapun persoalan identitas masih menjadi hal yang kerapkali bisa di politisasi sehingga apa yang disebut oleh Munir Mulkhan bahwa koalisi santriabangan dan islam nasionalis-sekuler menjadi memungkinkan. Syaratnya, ketika keberagaman diletakkan sebagai proses menjadi saleh tanpa akhir yang tidak terbatas pada ritual formal. Pertarungan wacana di tingkatan elit mempunyai variasi juga dimana kebutuhan untuk melakukan koalisi dengan parpol yang berbeda ideologi hanya terbatas pada agenda-agenda kekuasaan jangka pendek saja. Hanya beberapa
23
kader dari ormas pendukung parpol yang mempunyai kemampuan untuk melakukan migrasi dan lebih mewarnai ideologi parpol lain yang ditempati. Jika dibandingkan dengan studi lainnya yang dilakukan oleh Nakamura (1982:83) dalam periode kejayaan Orde Baru menyebutkan bahwa Islamisasi yang sedang berlangsung meluas menyebabkan kelompok umat abangan dan priyayi mulai berusaha menyesuaikan diri dengan prinsip-prinsip ajaran Islam dalam praktek sehari-hari dan terjadi pergeseran ke posisi yang lebih saleh dan santri.
Studi
Nakamura menguatkan pendapat Karl D Jackson (1990:199-219) yang menyatakan bahwa fungsi tokoh masyarakat atau kewibawaaan tradisional seorang tokoh dalam mendominasi aktivitas sosial politik masyarakat dibuktikan dengan adanya kepatuhan dan partisipasi dibidang politik sesuai dengan pilihan politik yang ditentukan oleh kalangan tua atau tokoh-tokoh masyarakatnya. Tetapi seiring berubahnya orientasi tokoh agama dan institusi yang berada dibawahnya seperti pesantren, kewibawaan tradisional kemudian terbatas pada aspek keagamaan saja sementara untuk mengangkat fungsi dan tingkat sosial politiknya, tokoh agama atau elit secara umum membangun dukungan dari kelompok kelas ekonomi lainnya. Dalam studi yang dilakukan oleh Zainuddin Maliki6, kesempatan untuk memahami sejauh mana tekanan negara dalam masyarakat santri bisa dilihat. Studinya menyoroti respon masyarakat petani yang memiliki basis religio politik
6
Zainuddin Maliki, Penaklukan Negara atas Rakyat: Studi Resistensi Petani Berbasis Religio Politik Santri Terhadap Negaranisasi, Gadjah Mada Univerity Press, 1999
24
santri dalam menghadapi proses de-negaranisasi selama Orba dan implikasinya setelah masa reformasi. Studi
tersebut
mengkonstruksi
menjawab
kehidupan
pertanyaan
ekonomi
bagaimana
politiknya
masyarakat
ditengah-tengah
santri
strukturasi
masyarakat yang didominasi oleh intervensi negara. Melalui PPP yang dianggap sebagai jalan untuk wadah ekspresi dan aktualisasi nilai-nilai religius, santri tidak bisa ditumbangkan meskipun intervensi negara masuk melalui persekutuannya dengan aparatus dan elit lokal yang begitu kuat (Maliki 1999:11-12). Dalam kerangka kemunculan kelompok masyarakat klien dukungan negara (state sponsored clients), elit lokal memperoleh keuntungan dari sumber-sumber produksi negara, baik untuk program pembangunan atau kontrol politik administratif di pedesaan (Maliki 1999:24). Studi Maliki membuktikan bahwa masyarakat santri mempunyai kekuatan yang relatif terhadap negara. Tetapi resistensi yang dibangun oleh mereka sebenarnya bukanlah bagian dari kekuatan yang bersifat mutlak karena faktor dukungan PPP sebagai pengganti aparatus negara dalam kehidupan sosial dan ekonomi mereka. Masyarakat klien dukungan negara juga bisa ada didalam kelompok santri sehingga keinginan untuk merubah pilihan politik mereka tetap dikendalikan oleh kelompok elit. Aspek patrimonial masih begitu terlihat dari menjadi faktor penting mengapa agama yang dikawal oleh para elit santri menjadi jaminan kepercayaan dalam mempertahankan pilihan politik pengikutnya.
25
Dalam konteks Orde Baru, sebenarnya model parimonialisme didalam pesantren mulai menunjukkan tanda-tanda kemunduran dari dalam. Penelitian yang dilakukan oleh Sukamto (1999:67-20) memperlihatkan bahwa kekuatan sosial politik yang dibangun Kiai diantaranya dilakukan dengan menjalin hubungan perkawinan dengan sesama Kiai7 yang tidak hanya mempertimbangkan kemampuan menantunya dalam bidang agama saja tetapi juga pengetahuan umum yang akan menggantikan yang tradisional dan pertimbangan ekonomi agar status sosialnya bisa lebih terangkat. Kaum santri berubah seiring pergantian kondisi sosial politik sementara jenis perubahan tersebut selama ini hanya dilihat dari tingkatan elit karena akar-rumput dilihat lebih statis dalam merespon perubahan. Gerakan yang dilakukan oleh kaum santri mulai efektif bekerja ketika watak sistem politik Orba sudah mulai tumpul akibat integrasi birokratik dalam perpolitikan santri. Mulkhan melihat keberhasilan proses penyantrian priyayi yang selama ini dekat dengan kultur abangan. Tetapi kritiknya bahwa selama ini representasi santri hanya ada dikalangan elit politik sementara di kalangan massa akar-rumput tidak mempunyai
kecenderunga
serupa
masih
terlalu
bias.
Meski
dia
melihat
kecenderungan serupa dalam tubuh NU, dalam beberapa hal sebagaimana dikaitkan dengan adanya agenda perubahan dalam tubuh santri sendiri, dikalangan NU misalnya, perubahan setelah khittah 1984 adalah penyemaian wacana keagamaan dan
7
Di Pesantren Darul Ulum, Peterongan-Jombang, antara tahun 1980-1996 telah terjadi perkawinan sebanyak 20 kali dan 90% diantaranya dengan bukan keluarga Kiai atau latarbelakang pesantren.
26
perlawanan di kalangan muda yang bersifat elitis sementara pemberdayaan di kalangan akar-rumput dilakukan dengan penguatan institusi informal. Dari acuan kepustakaan diatas, penelitian ini berada dalam posisi untuk melihat eksistensi sistem patrimonialisme pasca Orde Baru terutama dalam masyarakat santri. Masyarakat santri merupakan kekuatan terbesar sebagai modalitas politik Indonesia. Terlebih lagi di Jawa dimana sistem patrimonialisme didalam negara Orde Baru menemukan relevansinya juga terdapat didalam masyarakat santri. Perubahan politik dari masa Orde Baru kepada transisi demokrasi telah memungkinkan terjadinya revitalisasi kerangka kehidupan politik. Kesimpulan yang dihasilkan oleh studi Turmudi dan Maliki merupakan petunjuk tentang adanya pergeseran dalam sistem patrimonialisme. Kiai bukan lagi sebagai tokoh yang tidak bisa salah dalam memainkan peran sosial politik. Begitu juga masyarakat santri ternyata tidak terlalu resisten terhadap tekanan yang muncul dari negara. Tetapi kedua studi tersebut dilakukan pada saat menjelang akhir kekuasaan Orde Baru. Turmudi menggunakan latarbelakang pesantren dan Kiai sebagai unit analisis sementara Maliki masih menyertakan dominasi negara didalam masyarakat. Sejumlah aspek yang semula tidak menjadi penting bagi studi-studi diatas adalah faktor internal dalam masyarakat santri sendiri dimana dinamikanya bisa dipengaruhi oleh tekanan negara, korporasi atau juga dari pergolakan dalam hubungan antar aktor didalamnya. Penelitian yang dilakukan oleh Soekamto, Turmudi dan Maliki perlu dilanjutkan bentuk-bentuk pembuktiannya bahwa patrimonialisme telah mengalami pergeseran mengikuti perubahan struktural dalam
27
tingkat nasional. Elit santri hanya melakukan pemindahan saluran atas kepentingan politik mereka dengan beberapa modifikasi. Tetapi penelitian ini akan menunjukkan pergeseran penting dari perubahan struktur nasional terhadap masyarakat santri ditingkat paling bawah.
B. Rumusan Masalah Penelitian ini berangkat dari fenomena yang terjadi Pasca Orde Baru. Perubahan dalam berbagai aspek telah memberikan pengaruh yang signifikan dalam mendepak peran negara yang berlebihan. Di saat yang sama masyarakat santri bisa lebih banyak menunjukkan wajahnya dalam berbagai bentuk. Sistem patrimonialisme bukan lagi menjadi pilar penting yang membuat masyarakat santri bisa menyandarkan pilihan sosial politiknya pada elit. Sejauhmana Patrimonialisme dalam masyarakat santri mengalami pergeseran? Bagaimana model hubungan antara elit dan akarrumput dalam masyarakat santri kemudian? Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kemunduran politik dalam masyarakat santri dimana simpul utamanya yaitu pemimpin keagamaan tidak lagi memegang hegemoni dan legitimasi atas pengikutnya dalam memutuskan pilihan politiknya. Kemunduran ini membawa konsekuensi pada adanya pergeseran dan bentuk dalam hubungan antara elit-akar-rumput didalam masyarakat santri sendiri. Tujuan lainnya adalah untuk mengklarifikasi pendapat umum dari para sarjana yang melihat bahwa elit politik kaum santri selalu mendominasi dalam percaturan politik Islam dengan sistem patrimonalnya. Penelitian ini akan meninjau kembali legitimasi
28
elit politik santri dalam masyarakat dimana faktor utama pembentuknya adalah penguasaan atas faktor produksi dan menguatnya kesadaran politik dari akar-rumput. Penelitian ini akan menunjukkan bahwa kapasitas akar-rumput mulai menguat sehingga dominasi elit politik lambat laun melemah. Hubungan elit-akar-rumput kemudian mengalami pergeseran dari dominatif-eksploitatif menjadi relasionalsetara. Dalam hal yang lebih spesifik, penelitian ini menolak pandangan bahwa akarrumput berada dibawah kendali elit secara penuh. Mereka juga mempunyai karakter mobilisatif. Komunitas santri dalam skala dan pengertian yang luas relatif mulai mempunyai kemandirian. Penelitian ini akan lebih menekankan untuk melihat fenomena respon di dalam masyarakat santri sendiri dengan aktornya yaitu elit dan akar-rumput. Sementara aktor-aktor lainnya seperti negara juga akan dilihat disamping membuka kemungkinan untuk melihat hadirnya aktor-aktor baru. Manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah untuk melihat terjadinya perubahan bahwa masyarakat santri sudah mengalami demokratisasi dan merevisi pendapat yang menyatakan bahwa elit politik dalam masyarakat santri masih memegang kendali yang kuat dalam komunitas yang dibawahinya. Disamping itu bermanfaat untuk menawarkan perdebatan baru bahwa sampai pada tingkat terbawah dalam kehidupan politik, masyarakat santri sudah mempunyai kemandirian dalam menentukan pilihan politiknya. Hubungan antara elit-akar-rumput dalam kaum santri telah mengalami pergeseran yang cukup penting. Manfaat lainnya adalah untuk melengkapi kajian tentang politik kaum santri dan politik Islam di Indonesia dalam
29
fokus hubungan elit-akar-rumput. Diharapkan bisa mengembangkan perdebatan mengenai melemahnya posisi elit kaum santri dalam masyarakatnya sendiri.
C. Kerangka Teori Dalam melihat obyek penelitian, kerangka teori yang mempunyai relevansi dengan pembahasan adalah perspektif santri sendiri yang harus bergerak kepada pembahsan yang meluas melewati batas-batas pesantren sebagai institusi. Santri merupakan bagian dari kekuatan politik islam yang mempunyai karakter politik yang terdiferensiasi. Oleh karena itu, perlu diperjelas mengenai entitas santri dan hubungannya dengan politik islam sebagai satu bagian yang tidak bisa berdiri sendiri. Disamping itu, keberadaan institusi lainnya dalam pembahasan mengenai masyarakat santri adalah pengaruh yang diberikan oleh institusi dalam membangun kapasitas aktor. Dalam situasi demokratis, aktor menadpatkan kesempatan yang lebih besar untuk muncul dan menegaskan eksistensinya. Dalam meningkatkan pengaruh dan usaha-usaha untuk mempertahankan legistimasinya, aktor yang memanfaatkan institusi dengan lebih baik mampu memposisikan dirinya mempunyai kekuasaan yang lebih kuat. Institusi sebagai pembentuk kapasitas aktor tidak bisa dilepaskan dari perebutan yang terjadi antara aktor-aktor lama dukungan negara dengan aktoraktor baru atau yang mengalihkan basis legistimasi politiknya dengan membangun institusi-institusi baru. Patrimonialisme yang dilekatkan pada hubungan-hubungan kekuasaan didalam negara secara nyata bisa ditemukan juga didalam masyarakat. Hubungan
30
kekuasaan yang diterapkan merupakan pola yang saling mempengaruhi antara satu sama lain sehingga inti dari patrimonialisme adalah hubungan klientilisme antara elit dan akar-rumput. Dalam kerangka teori ini, patrimonialisme yang melibatkan pola pendukung klientilisme didalam masyarakat mempunyai karakteristilk tersendiri yang dalam beberapa hal berbeda dengan pola yang diterapkan pada ruang negara.
1.Santri dan Politik Islam Penelitian ini memahami santri bukan hanya sebatas orang yang belajar di pesantren dan mempunyai Kiai sebagai pengajar atau otoritas yang lebih tinggi. Tetapi juga akar budaya sekelompok pemeluk Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Geertz. Menurut Munir Mulkhan (1999:1-7), semula santri kerap dihubungkan dengan partai atau golongan yang menjadikan Islam sebagai identitasnya tetapi kini sudah memasuki seluruh golongan dan kekuatan politik yang ada. Santri merupakan artikulasi yang bersifat sosiologis dan antropologis sementara karateristik yang tampak dalam politik Islam mengarah pada polarisasi ideologisasi Islam. Fox (2004) menyebutnya sebagai gejala historis dari dikotomi yang saling beroposisi antara modernis dan tradisionalis. Kelompok modernis diwakili oleh Muhammadiyah yang bertujuan untuk memperkuat landasan keilmiahan dan intelektualitas sementara tradisionalis diwakili oleh NU yang melestarikan sistem pendidikan pesantren dan memberikan penekanan pada interperasi hukum Islam yang bersumber dari madzhab Syafi’i. Meskipun dikotomi
31
ini sudah mengalami perkembangan, utamanya pasca Orde Baru dengan munculnya fundamentalisme. Politik Islam pada dekade 50-an seringkali diasosiasikan dengan keberadaan parpol Islam dan ormas-ormas pendukungnya. Ideologi yang dibawanya jelas-jelas pada perjuangan kepentingan Islam yang tampak dari gagasan mengenai berdirinya negara Islam atau minimal penerapan syariat Islam. Pada pemerintahan dari masa Soekarno sampai Soeharto, parpol berbasis legitimasi agama Islam memainkan peran yang ideologis meskipun pada masa Orde Baru mulai mengalami penurunan tensi gerakan baik di parlemen atau di masyarakat. Kegagalan demi kegagalan dituai dengan merosotnya jumlah suara serta soliditas yang tidak terjaga diantara parpol berbasis Islam sendiri. Akibat dari menurunnya dukungan ormas yang ideologis bagi parpol memungkinkan NU dan Muhammadiyah juga relatif lebih terbuka dimana aktor-aktor utamanya bisa berafiliasi kepada kekuatan politik parlementer dengan lebih bebas. Seperti banyaknya kader Muhammadiyah yang berada di jalur birokrasi dan teknokrat memegang posisi penting di bidang pemerintahan dan administrasi lainnya. sementara NU lebih memelihara warganya meski beberapa elitnya berpolitik melalui parpol. Dalam perkembangannya, kekuatan politik Islam mengalami kemerosotan karena faktor ormas pendukungnya yang tidak lagi melakukan mobilisasi maksimal untuk meningkatkan perolehan suara didalam pemilu. Ditingkat nasional, setelah Orde Baru, parpol Islam juga sama-sama gagal untuk meyakinkan dukungan dari
32
pemilih dalam program-programnya. Meski dalam beberapa titik konsentrasi seperti PKS di Jakarta, PKB di Jawa Timur atau PPP bagi pemilih Islam diluar Jawa. Pendapat dari Hefner (2000) semakin mempertajam kerangka pemahaman untuk melihat santri. Dia berpendapat bahwa organisasi berbasis kesukarelaan menjadi modal potensial sebagai agen dari civil society dan demokratisasi karena memperomosikan partisipasi sipil. Pendekatan Hefner dalan melihat hubungan antara Islam dan negara lebih memberikan penekanan pada munculnya potensi kelompok muslim dalam demokratisasi. Beberapa institusi kelompok muslim mempunyai kapasitas untuk melakukan mediasi dimana warganegara mampu membangun lingkungan sosial politiknya untuk mendapatkan kebebasan berbicara, partisipasi dan toleransi. Secara garis besar, Hefner menyepakati pandangan beberapa sarjana barat yang mengkaji Indonesia dan menemukan bahwa budaya elit politik terbentuk dari banyak hal diantaranya budaya Hindu Budha yang domninan kemudian berpengaruh pada keberadaan masyarakat Islamnya. Hal ini terjadi karena dominasi etnis Jawa dan proyek Jawanisasi budaya nasional pada orde baru. Islam hanyalah sebagai salah satu hal sebagai pelindung ideologi negara dalam segala keterbatasannya. Bagaimanapun, keterlibatan moda produksi dan budaya politik dalam melihat politik Indonesia harus mengkaitkan pendukung terbesar bagi kekuatan-kekuatan politik yang ada. Hal ini sangat penting mengingat dengan semakin terpuruknya parpol
berbasis
konstituen
Islam,
tentu
ada
yang
salah
dengan
model
pengorganisasian dan sistem yang sudah melakat dalam kehidupan akar-rumputnya.
33
Dalam ranah yang berbeda, Hefner tidak banyak menyumbang teori dalam tingkatan politik elit nasional. Munculnya fenomena kelompok fundamentalis dan radikalisme Islam misalnya kurang bisa terwakili dari gagasan Hefner. Untuk melihat kecenderungan dan pergerakan politik Islam tingkat nasional, Liddle (2005) justru memperlihatkan bahwa fenomena munculnya gerakan fundamentalis dan juga radikal membuktikan
bahwa
pembagian
Islam
politik,
disamping
mempunyai
keberlangsungan yang historis juga memunculkan pembilahan baru. Dia berpendapat bahwa dikotomi modernis dan tradisionalis sudah mempunyai kelanjutan fase. Islam modernis mempunyai dua cabang lagi yaitu liberalis dan Islamis. Pendapat dari Liddle ini sebenarnya kurang mempunyai hubungan akibat langsung karena kelompok Islam liberal muncul karena gagasan-gagasan yang dibawa oleh intelektual muda baik NU atau Muhammadiyah yang merasa gagasannya kurang diakomodasi oleh ormas induknya. Sekalipun demikian, Islam Liberal belum mampu menjadi rumah yang aman bagi mereka. Catatan penting lainnya adalah kelompok Islamis memang secara politik diwadahi dalam parpol seperti PKS atau juga PBB. Sementara PKB dan PPP masih tetap mempertahankan basis konstituennya pada pengikut NU. Pembacaan elitis yang dikemukakan oleh Liddle sebenarnya mempunyai pertemuan dengan gagasan Hefner yaitu dalam persoalan menajamnya perebutan basis massa dan saling klaim dukungan dari elit-elit ormas. Hal ini membuat dukungan dari ormas pada parpol tidak lagi berjalan dengan efektif karena melemahnya dukungan pemilih memperlihatkan adanya pergeseran penting yaitu:
34
Pertama, politik Islam dimengerti tidak lagi terpaku pada perjuangan politik untuk penegakan syariat Islam atau negara Islam saja. Kedua, basis pemilih dari ormas dan juga elit-elitnya mempunyai keleluasaan dalam memilih kendaraan politiknya. Sulit untuk mengukur efektivitas gerakan mereka didalam parlemen atau di parpol atau minimal mempertemukan kepentingan-kepentingan strategis jangka panjang untuk membawa agenda-agenda lama politik Islam. Santri sebagai basis sosiologis sebenarnya mempunyai karakter politik yang jelas. Geliat politik santri di pedesaan menempatkan NU sebagai rujukan utama dengan alasan terdapat momentum ketika pada tahun 1984, NU menarik diri dari politik praktis dengan mundur dari PPP dan kembali ke khittah nya sebagai organisasi masyarakat berbasis sosial dan keagamaan yang berkonsentrasi pada pendidikan agama dan kesejahteraan sosial. Secara umum, gerakan NU ini mempunyai dampak politis karena dengan demikian kader-kadernya bisa membangun dukungan bagi kepentingan NU melalui parpol lain. Terdapat tiga kaki NU yaitu pertama adalah membangun jaringan dengan semua kekuatan politik yang ada tanpa batasan ideologi sementara di pedesaan sebagai basis massa dilakukan mobilisasi umat diantaranya melalui tarekat. Kedua, pemberdayaan masyarakat melalui LSM yang membawa agenda-agenda sosial ekonomi dan wacana intelektual keagamaan dan sosial yang kritis. Ketiga, pemberdayaan pendidikan keagamaan di pesantren menjadi lebih semarak dengan keberadaan Kiai yang mempunyai fungsi keagamaan dan sosial sekaligus.
35
Karakteristik santri di tingkat bawah ini kemudian menjadi menarik ketika jaringan penghubung yang menggerakkan mereka secara politik mengalami perubahan. Jaringan penghubung yang dimaksud disini adalah keberadaan elit dalam masyarakat pedesaan Jawa yang didominasi oleh santri dan didukung oleh ormas keagamaan yang beragam diantaranya NU, Muhammadiyah dan LDII. Elit tersebut berkolaborasi dengan kekuatan dan aktor politik di dalam parpol atau institusi formal lainnya guna memanfaatkan dukungan dari kelompok akar-rumput. Perubahan ditingkatan paling bawah menjadi faktor penggerak utama untuk menjelaskan mengapa kekuatan elit santri mengalami kemunduran dan berakibat pada terpolarisasinya afiliasi politik dengan kebebasan memilih parpol. Pada saat yang sama juga berhasil memupus ketergantungan akan adanya insentif dari sistem yang paternalistik sehingga membuat akar-rumput bisa mengefektifkan fungsinya sebagai penyeimbang dalam interaksi sosial politik dalam kehidupan sehari-hari. Politik Islam dari skala yang mikro seperti ini menjanjikan terpenuhinya keberadaan pemilih yang bisa menemukan acuan-acuan pribadinya karena merasa mempunyai kapasitas dalam menyelenggarakan kehidupan sosial politiknya. Santri merupakan bagian utama dalam membicarakan politik Islam. Didalam masyarakat santri, patrimonialisme berlaku efektif karena melibatkan ketokohan seorang dengan basis kepemimpinan kharismatik. Selain itu dalam upaya memperluas pengaruh, otoritas kultural memanfaatkan dukungan negara untuk menegaskan basis legitimasinya. Dari hal tersebut otoritas kultural mampu merangkum wilayah lainnya seperti sosial,
politik dan ekonomi dengan
36
memanfaatkan sistem yang berlaku alamiah seperti kekerabatan dan model-model klientilistik.
2. Peranan Institusi dalam Membangun Kapasitas Aktor Santri mempunyai institusi sebagai ruang untuk melakukan sosialisasi, doktrinasi dan penyebarluasan tujuan-tujuannya. Pesantren, sekolah, kelompok pengajian merupakan institusi yang penting sebagai pintu masuk bagi elit santri untuk melakukan mobilisasi sementara institusi lainnya seperti kelompok pertanian, perdagangan dan sektor jasa menjadi alat untuk menanamkan model ketergantungan akan pencukupan kehidupan ekonomi. Semua institusi yang dikelola oleh santri menunjukkan pada corak yang relatif homogen dalam aspek pemeliharaan dukungan akar-rumput terhadap elit. Meskipun dalam hubungan antara santri dengan negara atau korporasi, bentuknya bisa heterogen dan banyak dipengaruhi oleh sejarah dan intensitas penetrasi dari aparatus negara dan agen-agen korporasi. Dalam masyarakat tradisional, segenap sumber daya didominasi oleh elit dan masyarakat tergantung apa yang menjadi kehendak elit. Tetapi sejak angin demokratisasi mulai berhembus dan masyarakat sudah mempunyai sekian banyak pilihan dan kebebasan dalam mengelola kepentingan mereka, posisi elit dengan sendirinya melemah. Dalam posisi ini, menurut Przeworski (2003) pengamatan terhadap institusi mestinya diletakkan pada hasil dari fungsi institusi tersebut dan
37
dianggap berperan apabila cara kerjanya bersifat modus irrealis8. Tekanan institusional terhadap berlakunya aktivitas ekonomi atau politik misalnya, tidak begitu saja mempengaruhi aktivitas produksi. Peranan institusi lanjut Przeworski bisa dinilai berhasil hanya ketika terdapat institusi alternatif yang layak dalam sebuah kondisi yang sama dan institusi tersebut memberi hasil yang berbeda. Santri memanfaatkan institusi sosial politik secara bersamaan dengan institusi ekonomi dan elit mengambil keuntungan dengan berjalannya model patrimonial. Institusi kerap dibedakan dalam institusi informal yang mempunyai pengertian sebagai aturan yang berlandaskan pemahaman yang implisit dan berada sebagai bagian dari interaksi yang tidak dinyatakan dalam dokumen tertulis atau mengandung sanksi dalam posisi formal. Misalnya norma sosial, rutinitas dan proses politik. Dalam kajian yang bersifat sosiologis, untuk memahami sebuah masyarakat perlu diperhatikan aspek aturan main dari mekanisme informal dalam proses pertukaran pengaturan sebuah otoritas. Formalisasi pada masa Orba menyebabkan institusi cenderung dianggap mempunyai bentuknya yang formal dan identik dengan legitimasi yang diberikan oleh negara. Kemudian dilakukan menyederhanaan terhadap segala macam aktivitas dari institusi diluar negeri yang masih bekerja dan menganggapnya sebagai bagian dari konservasi lokal. Akibatnya, banyak institusi yang bersifat informal lambat laun hilang dan banyak diantaranya tidak berbekas. 8
Adam Przeworski, “Institutions Matter?, Meeting on Institutions, Behavior, and Outcomes”, CEBRAP, Sao Paulo, March 12-14, 2003.
38
Hasil dari reklamasi institusi tersebut menjadikan institusi dalam semua kategori menjadi bagian dari tindakan politik sehingga menjadi pembenar untuk dijadikan sebagai saluran-saluran mobilisasi politik oleh negara. Penelitian ini mencoba untuk membuktikan dari pijakan yang ditawarkan oleh Luhman (1983) yaitu pertama, bahwa arena politik informal berlandaskan pada tindakan integrasi sosial dimana sebab akibat dalam hubungan tradisional adalah interaksi politik. Kedua, berpijak pada tindakan integrasi sosial yang mencoba berjarak dari tekanan hukum rasional. Relasinya bersifat posteriori pada politik formal dalam konteks modern. Pijakan ini berguna karena dalam masyarakat santri sendiri sudah tidak menundukkan diri secara membabi buta pada tradisi atau loyalitas pada penguasa perorangan juga emosi serta kharisma dari pemimpinnya tetapi perhatian tetuju pada aturan negara dengan segala macam prosedur hukumnya. Dari isinilah bentuk dari legitimasi mempunyai eksistensi. Luhman
menawarkan
konseptualisasi
tentang
integrasi
sosial
(Vergemeinschaftung) yang diadopsi dari pemikiran Jurgen Habermas dimana dia juga
mengadopsinya
dari
konsepsi
Weber
tentang
integrasi
sistemik
(Vergesellschaftung). Dalam politik yang bersifat informal seperti halnya kehidupan masyarakat ditingkat pedesaan, tindakan sosial melampaui integrasi sistemik. Dalam tatanan yang lebih luas, keberadaan politik informal lebih banyak disebabkan karena upaya untuk melarikan diri dari ranah politik formal yang mempunyai bentuk jelas sementara interaksi sosial yang dibentuknya bisa dibawa untuk berbagai kepentingan.
39
Institusi informal merupakan sebuah tatanan yang lebih lunak dan berada dalam lingkup perseorangan dan komunitasnya yang relatif kurang terpengaruh oleh birokrasi. Informalitas ternyata bisa menjadi lebih instrumental dan rasional dimana proses politik lebih dibentuk oleh tindakan perseorangan dalam suasana sosial. Tetapi penelitian ini juga mempunyai kesempatan untuk menguji kesimpulan Luhman yang melihat bahwa karakteristik politik modern tidak dikreasikan oleh perilakunya yang teratur tetapi oleh perilaku eksepsional dimana setiap pihak mempunyai legitimasinya sendiri-sendiri melalui konflik atau kerawanan lainnya. Beberapa pendapat lain memperlihatkan hubungan antara institusi formal dan informal dalam konteks bermasyarakat dan bernegara diwarnai dengan ketegangan klaim antar aktor didalamnya. Renate Mayntz (1998) misalnya melihat bahwa praktek informal menjadi fungsional ketika terdapat kompleksitas proses politik atau terdapat ketidaknormalan
dalam
prosedur
formal.
Prosedur
formal
diletakkan
dan
dilaksanakan dari pemilik legitimasi institusional seperti negara, prosedur informal yang mempunyai nilai tetap dan tipe non-formal dari “politikverfertigung” (politicking). Dalam skala yang lebih luas lagi, batasan antara informalitas dan formalitas meskipun tetap ada, dalam sebuah konsep dan implementasi governance. Stiglitz (2000) yang berangkat dari pemahaman mengenai kegagalan pasar karena banyak orang terlalu percaya pada politik formal berpendapat bahwa kegagalan tersebut dapat disebabkan karena informasi yang asimetris yang seringkali diasosiasikan dengan persoalan moralitas. Disini, institusi memposisikan dirinya sebagai penghubung dengan pasar dan sebagai konsekuensi munculnya efisiensi
40
ekonomi. Klaim institusi sebagai bagian dari pemilik legitimasi politik, implementasi governance
atau
penghubung
antara
negara,
masyarakat
dengan
pasar
memperlihatkan agregasi institusi mengarah pada sebuah hal penting yaitu posisinya sebagai pembangun kapasitas aktor. Shirley (2003, 2004) menekankan dua macam hal penting dari institusi yang mendukung terjadinya perubahan yakni pertama, institusi tersebut bisa saling bertukar peran dengan biaya transaksi yang murah dan mengandung kepercayaan didalamnya. Kedua, institusi yang dipengaruhi negara untuk melindungi kebaradaan hak milik pribadi lebih dari dan lebih dari itu. Dia berangkat dari pengertian institusi sebagai aturan main dalam sebuah masyarakat dimana organisasi merupakan pemainpemainnya. Secara sederhana pergeseran fungsi institusi bisa juga diartikan sebagai tindakan manusia yang mempunyai kekuatan menekan terhadap struktur politik, ekonomi dan interaksi sosial (North, 1991:97). Bagaimanapun institusi tetap tunduk pada tekanan informal dan aturan formal. Tekanan informal mempunyai bentuk seperti sanksi, mitos, adat, tradisi dan aturan perilaku sedangkan aturan formal berbentuk konstitusi, hukum dan hak milik. Landasan perilaku yang bisa diasosiasikan dalam institusi informal didefinisikan sebagai seperangkat norma sosial, konvensi, nilai moral, kepercayaan agama, tradisi dan norma perilaku lainnya yang terbentuk oleh masa lalu dan mempunyai sebab akibat pada perilaku perseorangan demikian juga pada organisasi mereka (Tridico, 2004:6).
41
Dalam memahami bekerjanya institusi sebagai pembangun kapasitas aktor, konsepsi yang ditawarkan oleh Bordiue mengenai habitus9 memperlihatkan usaha menemukan titik temu antara teori mekanistik dan rasional dengan membangun konsistensi terhadap rentang waktu (durabilitas) dan penunjukan wakil (disposisi) dimana struktur dari struktur dibawahnya berfungsi sebagai pemberi struktur baru (1977:72). Melalui institusi, negara melakukan internalisasi dalam habitus yang disebut sebagai illusio sebagai konvensi antara tanda dan referensi. Hal penting yang bisa ditarik dari Bordiue adalah ketika negara yang semula begitu kuat dan menjadi pemberi legitimasi utama sehingga memundurkan peranperan institusi masyarakat tiba-tiba berubah, terdapat aspek durabilitas dan disposisi yang perlu dilihat. Dalam penelitian ini, durabilitas tersebut adalah waktu yang dibutuhkan dalam proses perubahan situasi sosial politik sementara aspek disposisi menekankan pada keberadaan institusi dukungan negara yang cenderung melemah sedangkan institusi yang semula ditekan oleh negara mulai muncul untuk merevitalisasi dirinya sendiri. Dalam hal ini, institusi yang disebut informal mampu membangun kapasitas aktor dari dirinya sendiri.
3.Patrimonialisme dalam Hubungan Elit-Akar-rumput Model patrimonial terikat dengan adanya nilai-nilai tradisional yakni legitimasi yang jelas atas berbagai pencapaian yang baik pada masa lalu (Gould, 9
Habitus adalah bentuk dasar dari klasifikasi yang berada dibawah kesadaran dan bahasa dan diatas kendali kehendak (Bordieu 1996:446)
42
1987: 168). Gianfranco Poggi (1990:48) menyebut bahwa korporasi elit diperoleh dari pemerian dari hak-hak tradisional yang berada pada diri seseorang dan tubuhnya. Nilai-nilai tradisional cenderung diasosiasikan dalam keberadaan keluarga karena didalam masyarakat tradisional, keluarga memegang peranan penting sebagai institusi mikro dimana identitas atau status yang melekat bisa lebih kelihatan. Kekuatan tradisional umumnya bersumber pada keluarga dan jaringannya dimana kemudian membentuk karakter patrimonial, feodalisme, predatory atau absolutisme. Weber (1968) melihat keluarga sebagai tahapan dasar yang mempunyai hubungan dengan bentuk atau formasi kekuasaan. Kekuatan keluarga dibangun diatas institusi pernikahan dan otoritas paternalistik yang menguasai moda reporduksi ekonomi politik. Rekrutmen politik, pembentukan aliansi sampai pada perluasan legitimasi merupakan dampak dari dominasi keluarga. Brinkerhoff & Goldsmith (2002) berpendapat bahwa teori tentang klientilisme terdiri atas tiga karakteristik yaitu pertama, klientilisme negara yang dibangun dari janji politik dan tergantung dari sejarah pertukaran dan hubungan yang bersifat individual antara pemberi janji dan yang diberi. Kedua, patron-klien mempunyai acuan untuk mempertukarkan modalnya masing-masing yang menguntungkan penerima. Hal yang perlu dipertimbangan adalah hubungan timbal balik yang lebih menguntungkan klien. Ketiga, patron menilai klien dimana posisi klien sebagai pihak yang tidak diuntungkan. Scott (1972, 92) mengakui pentingnya aspek pertukaran dalam hubungan patron-klien. Di Asia Tengara dia menemukan seseorang dengan status ekonomi
43
tinggi menjadi patron dan menggunakan pengaruh dan sumberdayanya untuk meningkatkan perlindungan dan pencarian keuntungan. Bagi seseorang dengan status rendah akan menjadi klien yang cenderung menerima tawaran untuk berbagai bantuan dari patron.
Antlöv (1994:76) mencatat pentingnya sistem klientilisme
dalam organisasi politik di Jawa dimana dalam studinya tentang pemberontakan DI TII di Jawa Barat menemukan bahwa hampir keseluruhan populasi bisa dimobilisasi untuk melindungi desa dari pemberontak dan hal tersebut merupakan implementasi dari modalitas klientilisme. Klientilisme dalam masyarakat santri mempunyai tipikal yang banyak dipengaruhi oleh model patrimonialisme kekuasaan Jawa. Hal ini terjadi karena dalam masyarakat berbasis pertanian, keberadaan pemilik tanah sangat penting. Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan, meningkatnya standar kehidupan, peluasan jaringan dan diversifikasi pekerjaan lambat laun telah menyebabkan pola klientilisme mengalami kemunduran. Sebab-sebab yang secara spesifik terlihat adalah menguatnya posisi tawar akar-rumput dimana keberadaan elit tidak lagi secara signifikan mempengaruhi hubungan sosial politik yang meletakkan sistem perekonomian agraris sebagai pusatnya. Studi yang melihat masyarakat santri dalam masa Orde Baru yang dilakukan oleh Maliki mendukung teori yang menyebut peranan negara dalam rangka penundukkan masyarakat melalui berbagai cara diantaranya mendukung elit lokal, menguasai melalui aparaturnya dan menumbuhkan ketergantungan alamiah pada
44
negara10. Tetapi yang secara umum bisa mendekati persoalan dalam masyarakat pedesaan di masa Orba adalah patron lokal ternyata memiliki ketergantungan pada subsidi dan proteksi negara dalam menghadapi masyarakat yang kurang beruntung dengan melakukan akumulasi keuntungan ekonomi politik dengan cara: mengganti penyewa dan pengarap untuk pemperoleh surplus produksi yang lebih besar, melakukan intensifikasi produksi pertanian dengan varietas unggul, memilih pekerja dari kerabat atau keluarganya sendiri, mengkonsentrasikan pemilikan tanah melalui pemanfaatan organ atau lembaga lokal milik negara dan investasi diluar sektor pertanian (Maliki 1999: 25). Banyak fakta menunjukkan tingkat ketergantungan yang tinggi pada hasil pertanian, utamanya beras pada masyarakat Jawa sehingga model produksi agraris tidak bisa dilepaskan dari aspek pengelolaan saluran irigasi. Intervensi dan keterlibatan negara dalam pengelolaan irigasi sangat mungkin dimaksudkan dalam rangka peningkatan hasil produksi karena luas lahan yang terairi bisa lebih luas. Tetapi intervensi ini dilakukan bukan hanya dalam kapasitas perbantuan di bidang
10
Beberapa teoretisi mempunyai persepsi inti yang sama yaitu kemampuan akar-rumput yag melemah karena pengaruh pendudukan masyarakat oleh Negara dimana karakteristik akar-rumput sendiri adalah jumlah yang besar yang terdiri dari petani berlahan sempit, buruh tani dan tidak mempunyai pekerjaan permanent serta dasar hubungannya bersifat patron-klien. (Maliki 1999:199). Studi tentang ini bisa dilihat dalam RW Hefner, Indonsia’es Elite: Political Culture and Cultural Politik, Ithaca, Cornell Universityu Press, 1976. Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta, Bhrata Karya Aksara, 1983. Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-45, Gramedia, Jakarta, 1993. Jim Schiller, “State Formation dan Rural Transformation: Adapting to the New Order in Jepara” dan Olle Tornquist, “Notes on the State and Rural Change in Java and India”, keduanya dalam Arief Budiman (ed) State and Civil Society in Indonesia, Monash Paper on Southeast Asia, 1992. M Mansyur Amin et al, Kelompok Elit dalam Hubungan Sosial di Pedesaan, Jakarta, Pustaka Grafiti, 1998.
45
pembangunan sarana fisik seperti mengusahakan bendungan, dam atau saluran tersier lainnya melainkan mempengaruhi sampai model pengeloaan saluran irigasi tersebut. Negara melanjutkan politik kebijakan pangan yang sudah dilakukan sebagai bagian fungsi negara sejak masa kerajaan. Persoalan harga beras merupakan landasan kebijaksanaan beras selama lebih dari tiga ratus tahun sampai kemudian pemerintah kolonial Belanda sampai masa depresi besar tahun 1930 an memberikan kebebasan pada pasar dengan menarik diri dari keterlibatan didalamnya. Tetapi kemudian mengontrolnya kembali melalui institusi negara seperti Bulog11. Negara memegang kendali atas tercukupinya produksi beras dalam rangka menjamin kestabilan kebutuhan dasar pertanian. Kelak upaya ini begitu optimal dalam meredam gejolak dari akar-rumput. Teori penaklukan negara berguna untuk menjelaskan posisi masyarakat dalam negara yang mempunyai model despotik atau otoritarian mengingat negara memberikan imbalan politik terhadap elit desa dan mendukungnya dengan memberikan proteksi, prioritas yang lebih dan keistimewaan tertentu yang menempatkan mereka dalam posisi sebagai klien negara (Maliki 1999: 200). Meskipun dalam catatan yang lebih serius tentang teori ini dalam tiga hal penting yaitu dari faktor produksi dimana negara yang menetapkan strategi floating mass dengan maksud menjadikan politik Islam bersifat apolitis tidak berjalan efektif karena akar rumut ternyata dijauhkan dari dampak pembangunan negara karena segala 11
Leon A Mears dan Sidik Moedjono, Kebijaksanaan Pangan, dalam Anne Both dan Peter McCawley, (peny), Ekonomi Orde Baru, LP3ES, Jakarta, 1990, hlm 29-30.
46
pemberian negara berenti pada tingkat elit. Dari faktor politis rekruitmen negara tidak menyentuh nilai-nilai religio politik santri. Sedangkan dari faktor ideologis karena adanya distingsi kultural yang dikontruksi masyarakat berbeda dengan negara (ibid: 223). Dalam situasi politik yang berubah dimana negara yang mempunyai karakteristik penakluk seperti dimasa Orba, teori penaklukan negara perlu dipertimbangkan ulang dimana fenomena penolakan terhadapnya memang masih terlalu prematur untuk dimunculkan karena pengkajian yang lebih mendalam tetap diperlukan dalam rangka melihat pergeseran teori tersebut. Ada beberapa alasan yang dipakai untuk menilai teori ini antara lain: Pertama, perubahan politik Islam ditingkatan elit santri yang membawa agenda-agenda tersendiri dan jauh dari aspek pemberdayaan politik akar-rumput. Dalam bidang yang lebih riil seperti rekruitmen politik, kalangan parpol juga gagal dalam mengadaptasikan tuntutan akar rumpuit karena lebih memilih elit yang dianggap mewakili kepentingan umat untuk duduk didalam lembaga perwakilan. . Kedua, dengan terbukanya akses informasi dan jaringan, akar-rumput bisa memberdayakan dirinya meskipun hal tersebut merupakan hasil dialektika dengan kondisi yang mereka hadapi. Hal ini berdampak tingkat ketergantungan pada negara bis lebih sedikti diminimalisir meski tidak sepenuhnya. Tetapi hal yang paling penting adalah persoalan kemandirian dan otonomisasi ini ditopang oleh struktur ekonomi politk yang mereka kelola sendiri sebagai bagian kekuatan civil society. Dak ketiga, kapasitas negara yang cenderung melemah membuat mereka merasa bebas
47
untuk melakukan penawaran terhadap kekuatan politik yang dominatif seperti korporasi bisnis, kekuatan poltiik parlementer atau dalam lingkup internal mereka sednri yanitu revitalisasi ajaran. Ketiga hal tersebut membuka kesempatan untuk menilai teori penaklukan negara sekaligus bertendensi untuk merevisinya. Dalam masyarakat berbasis pertanian terdapat hirarki dalam hubungan sosial yang kuat. Pemusatan faktor produksi pada beberapa orang menjadikan sistem kerja yang dibangun juga berdasarkan kewenangan pihak yang mempunyai modal dan kuasa. Hal ini membuat hubungan sosial disusun berdasarkan hubungan produksi dimana penguasaan elit atas sumber daya ekonomi sangat menentukan di wilayah politik. Model klientilisme dalam politik menunjuk pada hubungan yang tidak seimbang dimana terdapat patron yang mempunyai kekuasaan untuk mengendalikan dan klien yang menempati posisi sebagai pengikutnya. Patron memberikan pekerjaan, uang atau perlindungan sementara klien memberikan dukungan dalam benrtuk legitimasi atau suara dalam pemilihan. Migdal (1988) menyebut bahwa gejala klientilisme sebenarnya tidak hanya berlaku pada masyarakat pertanian saja karena lingkungan ekonomi dan politik terdapat didaerah pedesaan atau perkotaan dan keduanya mempunyai model “politik of survival” Teorisasi yang dikemukakan oleh Migdal memberikan penekanan pada aspek politik bertahan hidup menemukan keberlangsungannya dalam masyarakat pertanian. Santri dalam amsyarakat tani membawa bentuk-bentuk klientilisme yang lebih kuat daripada di perkotaan. Faktor utamanya adalah perluasan jaringan yang bisa dilakukan di perkotaan sehingga akses untuk bekerjasama dengan kelompok-
48
kelompok lain lebih terbuka. Klientilisme sendiri sebenarnya berhubungan erat dengan bentuk budaya sehingga berbeda-beda di setiap kasus. Tetapi secara garis besar menurut Kaufman (1974:285) karakteritik klientilisme adalah: adanya hubungan antar aktor yang mempunyai status dan kekuasaan yang timpang, hubungan tersebut dilakukan berdasarkan prinsip timbal balik (reciprocity), hubungan tersebut bersifat partikular dan privat. Pola klientilisme dalam hubungannya yang bersifat meluas dan melibatkan satu kelompok masyarakat dengan kekuasaan politik diatasnya menghasilkan model patrimonialisme. Weber (1947) mendefinisikan patrimonialisme sebagai situasi dimana aparat administratif diperintah dan bertangungjawab pada pemimpin utamanya. Tampaknya, perbedaan penting yang bisa dilihat dari pola klientilisme dan patrimonialisme terletak pada keberadaan institusi. Patrimonial erat kaitannya dengan penguasaan politik dimana institusi yang terlibat didalamnya seperti negara, memainkan peran dominan sementara peran tersebut dikendalikan dengan pola-pola ketergantungan. Meskipun tidak bisa begitu saja untuk dinyatakan bahwa patrimonalisme mengakomodasi pola klientilisme dalam tubuh negara. Mengingat batasan institusional kerapkali terlalu kabur ketika aktor dominan juga terlalu mengabaikan fungsi-fungsi aturan main dalam institusi tersebut. Dalam sistem patrimonial, seorang patron sudah mempunyai hak-hak khusus dalam bidang ekonomi dan politik serta kekebalan tertentu sehingga mampu memerintah kelompok-kelompok lain. Akibat kemampuan untuk menguasai ini, maka dia mempunyai kecenderungan untuk mengumpulkan dana dan mengorganisir
49
kekuasaannya dimana elit mendapatkan konsesi ekonomi, keterwakilan politik dan perbaikan status (Weber, 1968). Pada saat yang sama, elit memelihara posisi sosialnya dengan bergantung pada keistimewaan patrimonial dimana penguasaan atas kepemilikan bisa dengan mudah dipolitisasi, mulai dari pemberian sanksi pada subordinasinya sampai penawaran legitimasi kekuasaan.
D. Metodologi Penelitian ini mempunyai obyek kajian yang bersifat mikro sehingga memperlukan perangkat metodologi yang relevan. Pendekatan yang dipilih adalah morphogenetics yang memberikan kerangka analisis bahwa antara struktur dan agensi terdapat satu hubungan timbal balik dan menempati ruang interaksi yang rapat dan saling menekan. Dalam kondisi masyarakat pedesaan, terdapat dua pilihan untuk merespon perubahan dari tingkat yang lebih makro yaitiu melakukan resistensi atau mengakomodasinya. Hal ini membuat struktur mikro seringkali harus dikendalikan oleh perubahan yang terjadi di tingkat makro sehingga agensi-agensi yang berada ditingkat mikro merupakan kepanjangan tangan dari agensi di tingkat makro. Dalam pemilihan metode penelitian, faktor ketersediaan sumber tertulis dari tingkat mikro sangat mempengaruhi. Keterbatasan sumber tertulis perlu digantikan dengan melakukan observasi lapangan dengan model etnografi. Metode studi kasus sangat relevan mengingat observasi dilakukan pada satu ruang lingkup geografis desa. Pengumpulan data dilakukan dengan penulisan harian yang dilakukan dalam masa observasi.
50
1. Pendekatan Morphogenetics Penelitian ini menekankan pada persoalan pergeseran dimana perubahan yang terjadi diakibatkan oleh perubahan struktural dari tingkat yang lebih tinggi. Ada dua pilihan yang harus diperdebatkan dalam mengambil pendekatan yaitu pertama teori strukturasi
yang
dikembangkan
oleh
Giddens
dan
morphogenetics
yang
dikembangkan oleh Archer. Structure (s) Rules and resource, or sets of transformation Relations,organized as properties of social systems
System (s) Reproduced relations Between actors or collectivities, organized as regular social practices
Structuration Condition governing the continuity or transmutation Of structures, and therefore the reproduction of social systems
Anthony Giddens, The Constitution of Society, Outline of the Theory of Structuration hlm 25
Dalam pendekatan strukturasi yang dikemukakan oleh Giddens mempunyai pendapat utama bahwa struktur dan agensi bukanlah entitas yang terpisah. Keduanya saling tergantung dan berhubungan. Struktur hanya eksis melalui agensi dan agen sendiri mempunyai aturan (rules) dan sumberdaya (resources) yang akan memfasilitasi setiap terjadinya tindakan. Giddens berpendapat bahwa struktur bisa memberikan tekanan terhadap apa yang dilakukan oleh individu (dalam Marsh & Stoker ed 2002:279). Kritik terhadap konsepsi Giddens yang paling penting datang dari Archer yang mengemukakan bahwa struktur dan agensi bersifat saling menekan satu sama lainnya sampai pada titik dimana keduanya tidak lagi mengalami distingsi. Dia menyebutnya “central conflation” sehingga teori strukturasi nyaris tidak bisa
51
menjelaskasn teknis operasional untuk memberi nilai praktis dari strukturasi (Marsh & Stoker ed 2002: 280) Pendekatan lain yang memposisikan kritiknya terhadap teori strukturasi adalah pendekatan morphogenetics yang dikembangkan oleh Archer (1995). Menurutnya, masyarakat adalah sebuah sistem terbuka yang diberi karakter oleh berbagai macam pengaruh yang menghasilkan structural arrangements dan cultural forms. Dia memberikan model hubungan antara struktur dan agensi yang berlaku sepanjang waktu yang disebutnya siklus morphogenetics: Diagram 1 : siklus morphogenetics
Structural / Cultural Conditioning T1 Social Interaction / Socio Cultural T2 T3 Structural / Cultural Elaboration T4
Simbol T1 merujuk pada konteks dimana tindakan dilakukan sebagai hasil dari tindakan yang sudah dilakukan yang menyebabkan munculnya tindakan akibat. Sedangkan simbol T2-T3 merujuk pada agen yang sangat dipengaruhi oleh kondisi struktural (T1). Agen mempunyai keinginan untuk mencapai kepentingan pribadi dan hasil dari sesuatu yang dilakukannya. Dalam proses ini terjadi negosiasi antar agen. T4 merupakan hasil dari tindakan T2-T3. Gambaran struktural dari masyarakat bersifat fluktuatif tergantung dari keinginan (intrinsic properties) untuk melakukan reproduksi atau menghancurkannya.
52
Bentuk kultural bisa mereproduksi dirinya sendiri atau metransformasikannya. Asosiasi sebab antara structure, culture dan agency adalah lebih probabilistik daripada deterministik. Ketiga macam hal tersebut bisa saja mereproduksi berbagai kombinasinya secara konstan (Archer 1995: 53). Agen tidak sepenuhnya bebas dari determinasi karena pilihan mereka mempunyai hubungan probabilistik dengan tempat sosial dan budayanya. Struktur sosial dan bentuk kultural berhubungan dengan sumberdaya material atau juga kondisi yang memungkinkan bagi aktivitas mereka. Melalui aktivitas tersebut mereka ingin melakukan reproduksi (morphotasis) atau transformasi (morphogenesis) sehingga menghasilkan tindakan dimasa yang akan datang. Archer (1995) membagi prosesi invidual berdasarkan hasil dari morphogenesis menjadi Primary Agents, Corporate Agents, Social Actors. . 2. Metode Penelitian Studi Kasus Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Krecek, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri yang terletak 3 km sebelah utara kota Pare. Alasan utama pemilihan tempat adalah letak Pare sebagai persimpangan dua tradisi pesantren di Jombang dan Kediri. Kedua kota tersebut merupakan akar dari tradisi masyarakat santri yang kuat. Pengaruhnya menyebar sampai seluruh kawasan di Jawa Timur dan sebagian Jawa tengah. Krecek sendiri adalah desa miskin berdasarkan data dari BPS. Komoditas utama adalah pertanian dan perikanan dengan pengairan dari sumber mata air dan aliran irigasi yang disemula dikuasai oleh negara dan didistribusikan oleh elit-elitnya.
53
Di desa ini terdapat ormas Islam yang beragam dan diapit oleh pengaruh pesantrenpesantren besar seperti Tebuireng dan Darul Ulum di Jombang dan Lirboyo di Kediri. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode studi kasus yang merupakan salah satu bentuk penelitian empiris yang melakukan investigasi terhadap fenomena kontemporer dalam konteks kehidupan yang nyata khususnya ketika batasan antara fenomena dan konteks tidak mempunyai pembuktian yang jelas (Yin 1994:13). Adapun penelitiannya melibatkan banyak variabel, bermacam sumber pembuktian dan berguna untuk membangun proposisi teoretik yang ditopang dnegan pengumpulan data dan analisis. Semua hal tersebut dikerjakan dalam rangka mencapai satu hasil. dalam penelitian ini, unit analisisnya adalah entitas politik kaum santri dimana didalamnya terdiri dari aktor, institusi, proses, peristiwa dan wacana yang berlangsung di dalam satu desa tersebut dan hubungannya dengan dunia luar. Penelitian ini dibagi menjadi tiga pekerjaan yaitu. Pertama, peneliti tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat desa selama tiga bulan. Dalam waktu ini, dikumpulkan catatan-catatan lapangan dan pengamatan terhadap wacana yang beredar, sejarah mereka, kondisi psikologis dan orientasi serta secara luas untuk mendalami bagaimana mereka hidup dan berperilaku. Pekerjaan pertama dilakukan dalam bulan November sampai dengan Februari tahun 2007. Kedua, menganalisis dari sumber sejarah tertulis mengenai wacana yang direproduksi diluar kehidupan desa Krecek termasuk oleh media massa, negara dan para sarjana yang pernah menulis mengenai tema-tema tentang santri di tingkatan wilayah yang lebih atas seperti regional dan nasional.
54
Sebagai catatan, pengamatan peneliti bersifat partisipatif (participant observation) yang didefinisikan sebagai proses dimana investigator berdiri pada banyak sisi dan menjaga jarak hubungan dengan aosisasi manusia dan latarbelakang alamiahnya. Tujuannya untuk membangun pemahaman keilmuan tentang asosiasi tersebut
(Loftland dan Loftland 1984 dalam Peter Burnahm dkk, 2004: 222).
Terdapat beberapa macam tipe pengamatan partisipatif yakni complete participant, participant as observer, observer as participant dan complete observer. Penelitian lapangan ini menggunakan tipe complete participant dalam memahami perilaku masyarakat dan memanfaatkan tipe participant as oberver ketika melakukan serangakaian wawancara dengan elit. Penelitian
ini
memanfaatkan
etnografi
sebagaimana
Geertz
(1973)
menyatakan bahwa etnografi menekankan pada teknik yang lebih baik mengenai seleksi informan, transkrip teks dan catatan lapangan. Ini yang sering disebut sebagai “thick description” dimana konstruksi pribadi peneliti sebagai konstruksi orang lain. Bisa juga disebut “melihat sebuah perihal dari titik pandang yang lain”. Model etnografi dipergunakan sebagai bagian dari pengumpulan data yang dipakai sebagai salah satu bahan analisis.
55
Diagram 2: Kerangka Analisis Morphogenetics
Kondisi Struktural
Sistem Patrimonialisme Negara & Masyarakat
Interaksi Sosial
Respons -Melemahnya Intervensi Negara -Munculnya Intervensi Masyarakat
Elaborasi Sosial
-Fragmentasi Patrimonial -revitalisasi Institusi Informal -Otonomisasi Akar Rumput
Dalam kerangka analisis diatas, kondisi strukturalnya adalah sistem patrimonialisme yang ditopang oleh rezim Orde Baru. Runtuhnya Orde Baru merupakan imbas arus demokratisasi yang kemudian melemahkan teori penaklukan negara terhadap masyarakat. Segenap institusi dukungan negara cendeurng melemah karena suplai kekuatan dari pusat sudah tidak ada lagi. Interaksi masyarakat juga mulai berubah yang menghasilkan institusi dukungan masyarakat mulai menguat dengan
berdayanya
lembaga-lembaga
kemasyarakatan,
termasuk
organisasi
keagamaan. Kedua hal tersebut menyumbang terjadinya reposisi ata hubungan elitmassa. Selama ini elit yang mendapatkan dukungan dari negara dalam memperoleh
56
dukungan dari institusi masyarakat mulai berubah. Reposisi hubungan ini
tidak
hanya pada sisi politis saja melainkan secara ekonomi dan sosial budaya. Basis legitimasi elit kemudian mengalami pergeseran yang juga diikuti oleh melemahnya patrimonialisme yang menjadi sistem dukungan negara. Penelitian ini hendak melihat proses terjadinya pergseran yang mengakibatkan melemahnya entitas dukungan negara di satu sisi dan menguatnya entitas dukungan masyarakat di sisi lainnya. Politik Islam sebelumnya menjadi konsumsi elit saja. Wacana ini merupakan salah satu alat untuk menjustifikasi pilihan-pilihan politik elit yang harus diikuti oleh masyarakatnya. Sementara masyarakat santri (ummat) cenderung berkutat pada pergulatan yang bersifat keseharian. Cara bertahan ummat sebagai konsekuensi pilihan-pilihan politik elitnya. Sedangkan negara melakukan penaklukan dengan jalan membentuk agensi atau juga pemanfaatan aparaturnya di tingkat bawah melalui institusi. Pasca Orde Baru mulai terjadi perubahan yang terlihat dari fenomena ketidakpatuhan masyarakat santri untuk menuruti pilihan-pilihan politiknya elitnya. Perubahan ini akan dilihat pada tingkat yang paling lokal yaitu desa sebagai onyek kajiannya. Metode studi kasus dipilih karena mempunyai relevansi untuk menjelaskan perubahan-perubahan tersebut. Dari situ muncul jawaban atas persoalan mengenai perubahan yang terjadi yaitu mundurnya legitimasi elit yang identik dengan melemahnya sistem patrimonialisme yang diakibatkan oleh otonomisasi dikalangan akar-rumput.
57
E. Sistematika Penulisan Penelitian ini akan melihat pergeseran patrimonialisme dalam masyarakat santri yang akan diuraiakan dalam empat bab penulisan. Bab I memuat tentang latarbelakang yang menjadi landasan penelitian ini untuk melihat masyarakat santri pasca Orde Baru termasuk ulasan mengenai konsepsi dan pendekatan yang digunakan. Didalam bab II akan dijelaskan gambaran umum wilayah penelitian yang berisi informasi kondisi geografis dan interaksi masyarakat desa. Disini
bisa
diketahui hubungan antara kondisi-kondisi pada masa peralihan politik dan bentukbentuk yang bisa ditemui pada masa-masa setelah Orde Baru. Pada bab III diuraikan mengenai pengaruh perubahan politik terhadap masyarakat santri. Utamanya adalah pembahasan mengenai entitas pesantren dan elit keagamaan. Bab IV merupakan hasil analisis
mengenai
bentuk-bentuk
baru
hubungan
antara
elit-akar-rumput.
Argumentasi utama yang dibangun adalah kemunculan otonomisasi akar-rumput yang diikuti dengan mundurnya legitimasi politik elit dan pemberdayaan institusi informal sebagai bagian dari posisi tawar akar-rumput. Bab V berisi kesimpulan.
58
BAB II GAMBARAN UMUM DESA: KONDISI-KONDISI AWAL
Dalam bab ini akan dibahas mengenai kondisi awal yang mencakup beberapa aspek seperti sejarah, interaksi masyarakat dan karakter politiknya. Kondisi awal merupakan mecakup kondisi desa sebelum terjadinya perubahan politik dengan runtuhnya Orde Baru. Hal ini dimaksudkan sebagai landasan untuk mengetahui berbagai pergeseran yang terjadi. Pergeseran tersebut bisa diukur dari aspek sistem produksi masyarakat dengan model pengelolaan sumber daya manusia seperti kebudayaan, ingatan sejarah dan persamaan dalam kategori tertentu seperti nasib mempunyai pengaruh yang penting (Ward 1974, Gaffar 1992) Ruang lingkup pembahasan dalam bab ini meliputi hubungan antara faktor kesejarahan dengan faktor sosial politik. Sebagaimana dikemukakan oleh Jay (1969) bahwa setelah pembagian jenis pekerjaan berkembang, interaksi sosial turut berubah menjadikan situasi kehidupan masyarakat pedesaan tersekat dalam berbagai pilihan politik (Jay 1969). Dampaknya juga dirasakan pada persoalan distribusi ekonomi yang tidak seimbang (King & Weldon 1977). Masyarakat santri di desa Krecek mempunyai sejarah yang berkaitan dengan santrinisasi pada tahun 1960 an dan negaranisasi pada masa Orde Baru. Proses tersebut menghasilkan perubahan penting yang menyangkut moda produksi tradisional yang berlangsung statis, pembilahan sosial politik yang lebih cair dan birokratisasi ditingkat desa. Selain itu juga akan dipaparkan data-data yang berkaitan
59
dengan kondisi ekonomi, unsur-unsur demografis dan geografis untuk mengetahui posisi desa dalam konstelasi ekonomi, sosial dan politik sebagai bagian dari masyarakat agraris yang mempunyai karakter kekuasaan patrimonialistik.
A. Lanskap Desa Sebagaimana desa-desa pedalaman lainnya di Jawa, lanskap pegunungan dan hamparan padi yang luas menampilkan citra tersendiri. Terutama sebagai bagian dari masyarakat agraris. Desa Krecek merupakan bagian dari desa agraris dengan tipikal masyarakat yang semi-dinamis karena tidak bisa disebut stagnan. Perubahan selalu menjadi faktor penentu bagi perkembangan sebuah desa dalam menerima atau menindakklanjuti pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Desa ini mempunyai wilayah seluas 7.79 km2 dengan luas lahan persawahan 5.36 km212. Sekilas terlihat bahwa Krecek tidak mempunyai sejarah yang panjang untuk muncul menjadi desa agraris dngan masyarakatnya yang stagnan dan fatalis. Tumpuan kehidupan didapatkan dari hasil pertanian dengan lahan teknis seluas 5.03 km2 dan lahan pertanian sederhana seluas 0,33 km2. Di bagian timur desa berderet gugusan pegunungan Arjuna, Anjasmara dan gunung api Kelud. Tetapi berkah abu Kelud ketika meletus tidak membuat desa ini mendapatkan kesuburan tanah yang memadai. Sungai-sungai relatif besar terletak di sebelah utara desa dimana alirannya sudah dibuka sejak pemerintahan kolonial Belanda.
12
Semua data yang disebut didapatkan dari BPS Kecamatan Pare tahun 2006 dan monograf desa tahun 2004, 2005, 2006 dan catatan yang terdapat didalam arsip kepala desa.
60
Desa ini secara administratif termasuk kedalam Kabupaten Kediri dan menjadi bagian paling utara dari kecamatan Pare berbatasan langsung dengan kecamatan Ngoro di wilayah Kabupaten Jombang. Jarak dari kota Pare sejauh 6,6 km dan 30 km dari kota Kediri. Sementara dari kota Jombang sejauh 25 Km. Dari data yang catat oleh BPS, desa ini tergolong desa tertinggal dibandingkan dengan desadesa lainnya di Pare sehingga setiap bantuan demikian mudah untuk dikucurkan untuk berbagai pembangunan infrastruktur. Dari jarak tersebut, desa ini sebenarnya mempunyai posisi strategis karena terletak pada perbatasan antara wilayah Jombang dan Kediri. Dengan demikian interaksi yang dibangun dengan dunia luar masih relatif terbuka. Masuknya pengaruh dari luar ditunjang dengan sarana transportasi yang memadai. Jaringan listrik dan telekomunikasi juga memberikan kontribusi bagi perkembangan perdagangan hasil pertanian. Desa ini terdiri dari delapan dusun yaitu: Krecek, Nepen, Karangnongko, Bumirejo, Pulorejo, Sumber Agung, Mulyorejo dan Balongmanyar. Ditambah satu daerah semi-otonom yaitu Balongsari dimana wilayah ini adalah tempat satu-satunya pesantren yang masih berdiri dan terletak di dusun Balongmanyar. Tabel 1: Peruntukan Lahan Jenis Pemukiman Umum Sawah Irigasi Sawah Setengah teknis Perkantoran Sekolah Kolam Bentang Lahan dataran
Jumlah 246.404 Ha 181.065 382.200 0,5 Ha 2 Ha 11,5 Ha 809.669
61
Wilayah yang ditempati sebagai areal pemukiman umum menempati jumlah paling luas. Meskipun rata-rata jumlah rumah di masing-masing dusun masih menyisakan pekarangan yang relatif luas yang biasa digunakan sebagai kolam atau untuk ditanami berbagai tanaman produktif. Jenis sawah irigasi lebih sedikit daripada sawah setengah teknis. Umumnya sawah irigasi hanya ditanami padi sementara setengah teknis juga dimanfaatkan untuk penanaman jagung dan tebu. Untuk perkantoran, dari luas yang ada menjadi satu sebagai kompleks kantor desa yang dilengkapi dengan rumah dinas kepala desa dan lapangan olahraga. Sementara kolam yang menjadi faktor produksi usaha perikanan kebanyakan berada di pekarangan dan lahan-lahan kosong di dalam perkampungan. Struktur tanah yang berpasir menjadikan stabilitas debit air dalam satu kolam pembibitan lebih stabil sehingga tidak membutuhkan pergantian air yang lebih sering. Usaha kolam telah berjalan sejak tahun 1950-an yang dibuka pertama kali oleh penduduk di dusun Nepen. Pada kolonial, desa ini merupakan wilayah perkebunan tebu yang diusahakan oleh HVA13. Perusahaan milik Belanda tersebut menjadi bagian dari sejarah perkembangan sosial politik di Pare dan juga Krecek. Mereka membangun perumahan dan sarana transportasi yang menjadikan Pare sebagai kota menengah dan
13
HVA merupakan maskapai dagang Belanda terbesar. Mereka menguasai 12% dari total produksi gula dunia pada decade 1900-1940 an. Pabrik gula terbesar yang mereka bangun bertempat di Lumajang yaitu PG Jatiroto dengan luas 7270 Ha. Pabrik tersebut ditopang dengan jaringan kereta api sepanjang 420 Km. sampai tahun 1930 mempunyai 36 perkebunan, 16 diantaranya adalah PG. pada tahun 1940, menguasai 25% produksi sawit dan sisal di dunia. Berkantor pusat di Amsterdam, medan dan Surabaya. Selengkapnya bisa dibaca dalam P Swantoro, Dari Buku ke Buku: sambung Menyambung Menjadi Satu, KPG-TEMBI, Jakarta, 2002.
62
tempat persinggahan dari perjalanan antara Malang dan Surakarta. Rumah sakit dan rumah-rumah dinas pejabat berkebangsaan Eropa dibangun dengan berbagai fasilitas. Ekspansi perdagangan gula menjadikan Krecek menjadi salah satu dari perkebunan tebu yang dikelola HVA sehingga dari seluruh lahan pertanian yang semula diusahakan warga, ditutup dan dijakan perkebunan. Tabel 2: Kepemilikan Tanah Jenis Kepemilikan Lahan Pemilik tanah sawah
Jumlah 1652 orang
Penyewa / penggarap Penyakap Buruh Tani Pemilik ternak sapi potong Kambing Ayam buras Kerbau Itik Buruh Ternak
46 25 1.908 7 105 482 15 18 26
Jumlah penduduk berdasarkan data dari BPS tahun 2006 mencatat laki-laki berjumlah 4.561 orang dan
perempuan sebanyak 4.555 orang. Sebagian besar
penduduk bermatapencaharian sebagai petani. Daerah pertanian menghasilkan padi, jagung dan sebagian kecil tebu serta kacang-kacangan. Pertanian dan juga perikanan mengantungkan pasokan air dari sumber-sumber alami yang ada dan dibuka kembali setelah perkebunan tebu ditutup. Selain itu, terdapat saluran irigasi yag dibangun pada awal era Orde Baru dan setiap periode dibangun saluran-saluran kecil yang mengalirkan air dari dam yang dibangun oleh pemerintah kolonial dan sedianya dialirkan ke wilayah Jombang.
63
Dari berbagai usaha peningkatan produksi pertaian yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru, tingkat produksi padi semakin meningkat. Usaha-usaha untuk mempertahankan ketahanan pangan dan distribusi pupuk dan sarana produksi lainnya dikendalikan penuh oleh negara sehingga pranata sosial yang semula dimiliki oleh masyarakat berangsur-angsur melemah dan mati suri. Segenap aliran air yang mengaliri lahan pertanian dan kolam ditentukan oleh aparat negara melalu dinas pengairan. Potensi perikanan sendiri mencapai 15 ton setahun dengan komoditas berupa bibit ikan Mas, Mujair dan Lele. Jika dikonversi total dalam rupiah sejumlah 225 juta/tahun. Desa ini terdiri dari delapan dusun yaitu: Krecek, Nepen, Karangnongko, Bumirejo, Pulorejo, Sumber Agung, Mulyorejo dan Balongmanyar. Berkaitan dengan distribusi air, sebelum saluran air dibuat untuk mengalirkan air dari sungai agar bisa mencukupi kebutuhan pertaian dan kolam daripada sumber dari mata air yang ada. Terdapat kesenjangan diantara masing-masing dusun karena sumber air hanya berada pada dusun Nepen, Krecek dan Mulyorejo. Tetapi lahan pertanian yang membutuhkan pasokan air terbesar berada di susun sisanya. Perihal kepemilikan tanah dan pembukaan lahan pertanian mempunyai korelasi positif dengan strategi pembangunan Orde Baru. Setelah kemerdekaan, semua areal perkebunan HVA beralih ke penguasaan PTPN. Desakan penduduk pada saat BTI menguasai dukungan sosial politik warga membuat perkebunan tebu ditutup dan digantikan lahan pertanian. Sumber air dibuka kembali dan pemerintah membangun irigasi lanjutan peninggalan Belanda yang membangun dua cek dam
64
penting yaitu cek dam kali Konto di sebelah utara desa dan cek dam Balungjambe di sebelah selatan. Kedua cek dam penting sebagai sumber pengairan dalam rangka intensifikasi pertanian. Operasionalisasinya kemudian dipegang oleh Dinas Pengairan dengan pemanfaatan aliran yang terbatas dan terjadwal. Sejak tahun 1975, pemerintah membangun saluran irigasi yang mengalirkan air dari sumber-sumber utama yaitu sumber Nepen yang mengaliri dusun Sumber Agung, kali Keling yang mengalirkan air dari waduk Siman yang mengaliri Bumirejo, Krecek, Mulyorejo, Balongmanyar dan Karangnongko sementara sumber Sumurup mencukupi kebutuhan air di Mulyorejo dan Pulorejo. Sumber daya air menempati posisi penting sebagai tulang punggung pertanian dan perikanan. Berbagai sumber aliran sengaja dikendalikan penuh distribusinya oleh negara yang bertujuan untuk mengalihkan potensi konflik. Dalam masa-masa tahun 1980-an konflik sporadis perebutan sumber daya air memang terjadi. Keinginan masyarakat yang besar akan hasil pertanian yang melimpah telah mempengaruhi tindakan dan pranata sosial yang ada sebelumnya. Sebelum Orde Baru melakukan program intensifikasi pertanian, jumlah produksi pertanian hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan domestik sehingga model kapitalisasi pertanian tidaklah tampak. Dalam mengatasi persoalan tersebut, fungsi perangkat desa sangat menentukan. Kepala desa merupakan aktor penting yang bisa memberikan solusi melalui perangkat yang ada dibawahnya seperti jogotirto (penjaga air). Distribusi air
65
dari sumber mata air bisa dilakukan secara merata meskipun tidak memberikan hasil yang maksimal. Sektor perikanan merupakan pintu komunikasi yang membuka interaksi sosial politik dengan dunia luar. Usaha kolam yang berisi ikan tawes, koki dan tombro merupakan pembenihan yang disalurkan kepada jaringan petambak untuk dibesarkan di daerah Lamongan dan Gresik. Jaringan tersebut telah berjalan sejak tahun 1950 an dan memanfaatkan pola perdagangan berbasis kepercayaan yang dipegang secara turun-temurun. Masuknya pengaruh dari luar begitu signifikan utamanya dalam persoalan perilaku ekonomi dan pilihan-pilihan politik seperti kemandirian dalam memutuskan afiliasi. Usaha lainnya di sektor pedagangan dan jasa mulai muncul belakangan ketika masyarakat sudah mampu menghasilkan nilai konsumsi dari hasil produksi mereka. Pada tahun 1970 an, beberapa toko mulai buka dengan barang dagangan kebutuhan pokok. Untuk kebutuhan lainnya, pembeli harus datang ke kota Pare dimana etnis Tionghoa mendominasi perdagangan. Perkembangan pedagangan tidak berlangsung dengan pesat dan hanya terdapat 93 orang yang menggantungkan hidupnya dari pedagangan. Meskipun demikian, mereka menjadi orang-orang yang secara finansial bergerak menjadi kelompok elit ekonomi. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan besar dari tidak adanya sarana ekonomi seperti pasar di desa ini. Sektor industri berskala besar sempat beroperasi dengan dibukanya pabrik karung rosela karena di daerah ini, bahan dasar karung rosela yaitu sisal bisa tumbuh. Sisal juga merupakan salah satu komoditas yang ditanam ketika HVA beroperasi.
66
Lokasi pabrik karung berada di sebelah selatan desa tetapi masuk wilayah kecamatan Kandangan. Pada masa awal berdirinya di tahun 1970, mampu nmenyerap tenaga kerja dari Krecek sebanyak 700 tenaga kerja produktif dan perkebunan sisal menjadi primadona. Tetapi karena persoalan internal, pabrik tutup sehingga banyak dari pekerja yang pergi ke kota besar untuk bekerja di sektor informal. Saat ini, industri rumah tangga sudah mulai bermunculan, utamanya yang menjadikan ikan sebagai komoditas, juga sedikit mebel dan industri skala kecil lainnya. Penduduk yang terserap dalam sektor ini sekitar 172 orang. Dilihat dari tingkat pendidikan jumlah terbanyak adalah SD yang terdiri atas 5343 orang. Kemudian SLTP / sederajat yaitu 1212 orang. Disusul SLTA 1163 orang dan berpendidikan diatas diploma dan sarjana total berjumlah 179 orang. Sedangkan yang tidak menamatkan sekolah sebanyak 181 orang. Sarana sekolah relatif memadai karena terdapat banyak pilihan bagi masyarakat seperti pesantren, pendidikan agama baik swasta atau negeri dari tingkat dasar sampai atas. Kecenderungan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya pada sekolah umum relatif meningkat. Meskipun demikian, banyak diantara mereka masih memanfaatkan sarana pendidikan di pesantren untuk memperdalam ilmu agama. Tingkat partisipasi politik rekatif baik dan usaha pemenangan oleh parpol atau kandidat individu dalam proses politik bisa dengan mudah akan diikuti oleh sebagian besar penduduk. Dalam pemilu legislatif jumlah penduduk yang memliki hak pilih sebanyak 6.804 orang dan menggunakan hak pilihnya sebanyak 5.628. Sementara dalam pilkada bupati jumlah hak pilih 7.078 dan penduduk yang menggunakannya
67
6.011 orang. Selisih 1000 bagi yang punya hak pilih terdiri dari para perantauan atau yang mempunyai status kependudukan ganda dengan desa sekitarnya karena pernikahan dengan penduduk setempat. Bentuk perkampungan merupakan perpaduan antara desa tradisonal Jawa dengan pengaruh kolonial. Bangunan dengan arsitektur kolonial masih tampak, demikian juga yang menggunakan model campuran. Pengaturan desa, penataan kampung menggunakan pola grid yang setiap jalan kecil atau gang saling bertemu dengan gang lainnya. Hampir semua rumah berpagar rendah dengan pintu gerbang bermotif simbol kabupaten Kediri. Disetiap ujung dusun terdapat pos penjagaan permanen yang disebut gardu dengan sebuah kentongan begitu juga diperempatan jalan. Sebagian besar masjid mempunyai arsitektur atap bertingkat seperti masjid Demak dan hanya satu buah yang menggunakan kubah.
B. Sejarah dan Perubahan-Perubahan Penting Menilik sejarahnya, pertentangan antara kelompok santri dan abangan dan peran priyayi tidak bisa dipilahkan dengan tegas karena beberapa hal: pertama: masyarakat cenderung bertindak berdasarkan instruksi seseorang yang ditokohkan dari kelompoknya. Kedua, elit sendiri menguasai berbagai sumber daya seperti ekonomi, sosial dan politik sehingga mobilisasi dukungan kerap hanya memanfaatkan basis sumber daya tersebut. Ketiga, terdapat fenomena keterputusan sejarah karena generasi muda hampir tidak mendapatkan transmisi kesadaran atau ideologi dari generasi tua. Apalagi kebanyak tokoh NU di Krecek merupakan pendatang baru yang
68
mempunyai akar sejarah yang berbeda. Ketiga hal tersebut mempengaruhi perubahan masyarakat secara tidak merata. Dusun-dusun yang ada mempunyai historisitas yang berbeda-beda. Dusun Nepen, Sumberagung dan Krecek mempunyai sejarah panjang mulai dari pemilikan tanah, reorganisasi struktur masyarakat dan dinamika santri yang kuat telah menghasilkan wajah relatif lebih agamis. Disisi lain, dusun-dusun lainnya mempunyai beban sejarah sebagai basis PKI yang masih tidak bisa melepaskan diri dari kepercayaan hindu-isme Jawa dan pola kesadaran politik yang diturunkan dari model yang disebut majapahitan. Misalnya karakter warga desa Bumirejo cenderung untuk mengikuti kehendak tokoh yang ada di dusun itu. Pada saat PKI berjaya, ada tokoh di desa itu yang menjadi pendukung PKI, maka ketika warga disuruh menjadi BTI, sebagian besar warga mau menurutinya. Instruksi tokoh tersebut termasuk memperbolehkan sholat tapi harus tetap mendukung kegiatan PKI. Menurut penuturan Kiai Jaiz yang juga tokoh tarekat di Bumirejo, meskipun dia nyantri di pesantren masih harus menuruti keinginan tokoh dan sempat membawa bendera PKI dan mengikuti rapat yang diadakan PKI. Pusat perkebunan tebu pada masa kolonial terdapat di dusun Bumirejo dan Mulyorejo. Setelah kolonial hengkang, tanahnya dikuasai oleh PTPN yang membuka kembali akses pengairan dan menutup perkebunan tebu diganti dengan lahan pertanian. Di kedua dusun tersebut terdapat saluran air kecil yang hanya penuh terisi ketika musim penghujan tetapi ada juga yang mengalirkan air dari saluran irigasi
69
lainnya dimana setiap musim, debit air mengalir sesuai dengan kebutuhan lahan yang ada. Kantor perkebunan tebu peninggalan kolonial pada tahun 60 an akhir difungsikan sebagai pabrik pengolahan rosela untuk produksi karung yang dibiayai oleh penanaman modal asing dari Jepang yang dikelola oleh seorang pengusaha keturunan Cina. Kantor ini letaknya diwilayah desa Klampisan kecamatan Kandangan, sebelah timur Krecek dan banyak menyerap tenaga kerja dari desa sekitarnya, khususnya para pemuda. Tetapi pada tahun 80-an, perusahaan ini bangkrut dan ditutup dan membuat banyak tenaga kerja beralih profesi menjadi petani dan perantau. Di sektor pertanian, Orba relatif bisa menjamin stabilitas dalam bidang pertanian seperti pengadaan pupuk, penjualan gabah, pemberian pinjaman, fasilitasi sarana dan prasarana. Petani tidak pernah merasakan kesulitan untuk menjual dengan harga yang wajar juga terutama bisa mengakses pupuk yang ada tanpa bataspetani rentan menghadapi persoalan haga komoditas pertaniannya. Tidak ada sebuah institusi yang mampu mengkoordinasi mereka, sehingga petani masih banyak dipermainkan oleh harga yang ditawarkan oleh pembeli produk mereka. Di beberapa lokasi, petani sawah mempunyai kelompok tani, tetapi hanya tinggal nama saja dan tidak bekerja dengan maksimal. Lemahnya koordinasi antar petani juga menyebabkan masa tanam tidak bisa dilakukan secara bergantian. Akibatnya hama tikus akan menyerang seluruh tanaman yang ditamanam karena waktu tanamnya yang tidak bersamaan. Keberadaan Petugas Penyuluh Lapangan
70
(PPL) juga hampir sama. tapi perannya juga tidak maksimal. Petani kolam yang berada di Nepen mempunyai institusi yang mengkoordinasikan semua petani yang menjadi anggotanya.
1. Kepercayaan tentang Asal Mula Desa Dalam sebuah masyarakat agraris dan juga tradisional, akses terhadap informasi, meskipun saat ini lebih terbuka, tidak bisa mempenngaruhi perubahan dengan lebih drastis. Budaya yang membentuk interaksi sosial politik masyarakatnya lebih banyak didasari oleh acuan yang didapat secara turun temurun. Hal ini mengakibatkan tradisi lisan mempunyai tempat tersendiri. Salah satu fungsi dari tradisi lisan tersebut yang paling kelihatan adalah transmisi kesadaran mengenai jatidiri desa. Kepercayaan kepada sejarah lisan termanifestasi dalam berbagai peringantan dan penceritaan yang berlangsung dalam setiap generasi. Masyarakat memanfaatkan ingatan sejarah ini untuk menarik hubungan-hubungan sebab-akibat dimana perubahan-perubahan penting yang tidak bisa dikemukakan dalam tulisan digantikan dengan tradisi lisan. Beberapa versi mengenai awal mula desa tidak dilengkapi dengan klaim siapa yang paling benar. Perbedaan ini mempunyai pesan bahwa keberadaan desa sendiri merupakan buah integrasi yang kurang berhasil. Sebelum kemerdekaan, wilayah desa saat ini merupakan wilayah dari 3 desa yang berbeda yaitu Blaru yang mempunyai akar sejarah Islam yang panjang, kemudian Gerbong yang banyak dihuni oleh penganut kejawen dan majapahitan lalu Ndelik yang hampir mirip dengan Gerbong.
71
Setelah kemerdekaan, secara administratif beberapa bagian dari 3 desa tersebut dilebur menjadi satu desa. Mengenai asal mula desa, versi yang paling banyak diterima adalah peran mbah Srandil yang membawa bekal berupa krecek atau sejenis nasi yang sudah kering (karak) sebagai pembuka wilayah desa. Meskipun demikian, mbah Srandil lambat laun menjadi dongeng karena penetrasi yang dilakukan oleh kelompok Islam yang menjauhkan penduduk dari pengaruh-pengaruh bid’ah. Petilasan Srandil yang semula terletak di dusun Krecek sudah tidak terpelihara karena sudah tidak dianggap sebagai pepunden desa lagi. Tradisi pendidikan pesantren sudah dikenal oleh masyarakat sejak keturunan pendiri desa yang menganut Islam. NU sendiri sudah dikenal di Krecek sejak lama, bahkan beberapa saat setelah NU berdiri pada tahun 192614. Disamping relatif dekat dengan pusat beberapa pesantren pusat NU di Jombang, Krecek sejak semula sudah dihuni oleh penduduk yang sudah menjadi muslim seperti keberadaan pesantren Kecil di Bumirejo sebelum dusun itu dirubah menjadi perkebunan tebu. Mbah Zaid, demikian orang menyebut sisa pesarean atau makamnya yang banyak diziarahi dan diperingati oleh warga merupakan tokoh agama yang sngat disegani. Posisi kepercayaan akan asal usul desa kemudian menjadi klaim bagi birokrasi desa yang dimanfaatkan untuk melegitimasi kedudukannya. Mereka 14
Keterangan yang lebih lengkap tentang NU dan sejarahnya dapat dibaca dalam Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru, LKiS, Yogyakarta, 1994 dan Bukunya yang lain mengenai tradisi dalam pesantren Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisitraidisi Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 1995. juga pembahasan tentang tarekat dalam bukunya Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, Bandung, Mizan, 1991.
72
mendirikan basis dukungan bagi sisa-sisa kepercayaan kejawen dan kelompok abangan dan majapahitan untuk melestarikan puncak-pucak kebudayaan yang bertujuan untuk memberikan penghormatan bagi pendiri desa. Politisasi kepercayaan merupakan langkah yang paling aman untuk tetap memelihara keberlangsungan eksistensi kelompok abangan melalui lembaga desa. Sebagaimana dilakukan oleh kepala dusun Bumirejo, Pardi yang memberikan nama-nama tokoh penting dari daerah tersebut15 2. Santrinisasi Pasca 1965 Hampir tidak ada pelosok desa di Jawa Timur yang tidak mengalami akibat gejolak tahun 1965. proses penting dari peristiwa tersebut adalah apa yang disebut “santrinisasi”. Hampir semua ormas keagamaan memanfaatkan momentum tersebut untuk melegalisasi dukungan dengan memberikan klaim-klaim keberhasilan santrinisasi. Ketika sebuah ormas keagamaan tidak mempunyai lawan tanding yang berfungsi positif dalam memberikan kritik atau wacana tanding lainnya, akan terbawa menjadi lebih ortodoks. Ortodoksi Islam pada masa-massa Orde Baru menjadi penampakan diskursif yang ramai dibicarakan. Tendesi utama dari gerakan Islam ini memberikan dampak pada proses pengkaburan (blurring). Obyeknya adalah santrinisasi kelompok abangan sehingga gejala ini memunculkan fenomena
15
Di dusun Bumirejo terdapat empat ruas gang besar yang diberi nama Dirjo yaitu lurah Gerbong pada masa Belanda, ruas kedua dinamakan Zaid yang membuka desa, ruas ketiga bernama Masjid karena terdapat masjid yang dibangun pertama kali dan ruas keempat dinamakan Pesantren dimana pesantren pertama yang dibangun oleh Mbah Kasan Duljalal.
73
santrinisasi
sendiri
sebagai
proses
yang
melibatkan
“indigenisasi”
dan
kontekstualisasi (Woodward 1989, Pranowo 1994, Ricklefs 1998). Dalam taraf tertentu, bisa jadi kelompok abangan memang benar-benar telah mengalami dan santrinisasi berjalan dengan efektif ketika simbol yang diusung oleh kelompok abangan tidak lagi tampak. Banyak kalangan melihat bahwa perubahan situasi politik yag menandai proses tersebut adalah konflik pada tahun 1965 dimana kekuatan santri dilibatkan dalam sebuah situasi yang tidak terkendali untuk mengeliminasi peran PKI. Kampanye yag dilakukan oleh militer dan pemanfaatan yang kemungkinan besar dilakukan secara sukarela oleh elit santri membuat tragedi pembunuhan terjadi. Tidak hanya institusi politik PKI saja melainkan segenap institusi dan para pendukungnya (Anderson & McVey 1965m Nordholt 1987, Cribb 1990, Robinson 1995). Diagram 3: Dampak Santrinisasi
Islam dukungan negara
Entitas Abangan, Afiliasi PKI / BTI
Entitas Priyayi, Afiliasi PNI
Santrinisasi
Pertambahan Kuantitas Santri
Pelembagaan Gerakan Ormas
Aparatus Negara
Elit Desa, Birokrasi, Sektor Profesional
Posisi Tawar Sosial Politik Ormas
Stabilit as Posisi Sosial Politik
74
Dalam mengukur efektivitas santrinisasi perlu dimasukkan ukuran-ukuran yang lebih spesifik dan bisa menyentuh pada tingkat mikro. Seperti benarkah perubahan politik bisa hanya dilihat dari indikasi menurunnya perolehan suara parpol nasionalis dalam pemilu? atau dominasi kelompok santri didalam posisi elit? Perubahan politik pada tahun 1965 tidak bisa disangkal memang mempunyai pengaruh yang besar bagi kondisi sosial politik. di Krecek, kelompok yang termasuk penganut kepercayaan Jawa cenderung berafiliasi dengan Barisan Tani Indonesia (BTI). Organ PKI ini menjalankan agenda landreform dengan membagi tanah persil bekas perkebunan tebu yang sudah di nasionalisasi pemerintah RI. Pada tahun 19601964, hampir semua tanah dimana BTI menjadi kekuatan politik mayoritas sudah dibagi. Masing-masing kepala keluarga mendapatkan 150 m2 yang dibagikan secara merata. Legitimasi kultural dari anggota BTI berada dalam kekuasaan mungkik atau dukun yang berperan dalam setiap ritual kemasyarakatan mulai dari pertanian sampai pengobatan supranatural. Cara berpikir materialisme yang diajarkan oleh BTI tidak begitu mengena dalam merubah kepercayaan masyarakat. Mereka masih menggelar acara sedekah bumi dan upacara pengusiran makhluk halus dari lahan pertanian. Dominasi BTI berada di wilayah Bumirejo, Mulyorejo dan Pulorejo karena status tanah sebelumnya hanya dikuasai oleh beberapa orang kaya dari daerah luar. Pada masa-masa tersebut, pembilahan santri, abangan dan priyayi tidak dibatasi dengan spesifik karena orang lebih suka menyebutkan afiliasi politiknya saja seperti Masyumi, PNI, NU atau PKI. Basis NU yang utama berada di wilayah Nepen,
75
Krecek dan Sumberagung karena disini telah berdiri pesantren. Sementara kalangan aparat desa dan guru menjadi pendukung PNI. Setelah konstelasi politik nasional berubah dan PKI ditetapkan menjadi organisasi terlarang. Pembersihan besar-besaran kepada PKI dan semua ormas atau simpatisannya segera dilakukan. Situasi ini memberikan keuntungan bagi NU untuk ikut bergerak dengan dibantu oleh beberapa kekuatan diluar mereka. Kiai Mahfudz dari Nepen dan Kiai Ahmad dari Sumberagung menjadi pemimpin NU yang menyisir dan menghancurkan gerakan PKI dan BTI di wilayah lain. Beberapa pembunuhan terjadi dan posisi PKI yang terdesak membuat warga yang semula tergabung dalam BTI panik dan beramai-ramai menyatakan dirinya muslim. Kebanyakan pengikut PKI atau BTI adalah perangkat desa dan orang-orang yang mempunyai pengaruh. Mereka adalah sasaran pembersihan yang utama sementara kelompok akar-rumput lebih banyak yang diselamatkan karena pembuktian keterlibatan mereka yang lemah. Akhirnya, mereka banyak meminta perlindungan pada tokoh agama setempat semisal para Modin. Setelah pengejaran dan pembunuhan mereda, para Kiai membuat strategi terpadu untuk meng-Islam-kan daerah-daerah basis PKI dengan memberdayakan posisi Modin. Dibawah bendera organisasi, NU menggalakkan pembangunan masjid serta madrasah. Proses ini menjadi titik tonggak santrinisasi dengan melibatkan ormas Islam diluar NU seperti Muhamamdiyah, LDII dan jama’ah tarekat. Bagi generasi tua yang pernah menjadi saksi mata NU-isasi besar-besaran setelah tahun 65, NU tidak saja menjadi kekuatan kultural saja melainkan diteguhkan melalui
76
kekuasaan politik. Kiai memainkan peranan penting sebagai pengatur tatanan sosial politik. Tetapi, dalam posisi seperti itu, Kiai tidak serta merta mendapatkan berbagai keuntungan dari kekuasaan negara. Sektor ekonomi lebih banyak tergantung pada usaha yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Demikian juga afiliasi pada parpol setelah NU berfusi dengan PPP. Peristiwa tersebut menyisakan kekosongan posisi elit untuk sementara waktu. Baru pada akhir tahun 1960-an, rotasi atau pergantian posisi elit dilakukan. Para tokoh agama menjadi elit bersama dengan para Haji yang berlatarbelakang tuan tanah karena menguasai tanah mereka kembali setelah landreform. Dalam politik desa, NU baru terlibat dalam pemilihan kepala dusun pada tahun 70 an dan melakukan mobilisasi massa untuk memenangkan kandidatnya. Dampak politik pada masa Orde Baru menyebabkan perubahan yang mengarah pada pembentukan kembali unsurunsur politik lama. Dalam masa ini, negara masuk melalui aparat dan agen-agen yang berada di tingkat bawah untuk menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dukungan elit NU kepada negara memang tidak terlalu kuat. Dengan demikian, negara kembali menegaskan keberpihakannya pada kekuatan-kekuatan birokrasi desa dimana
banyak
diantara
pejabatnya
adalah
kelompok
priyayi
sekaligus
mengakomodasi kekuatan abangan.. Di dalam kelompok akar-rumput, masa Orde Baru menjadi masa yang memberikan kesempatan untuk melakukan identifikasi diri. Utamanya setelah infiltrasi kelompok-kelompok kejawen yang berada dalam lingkaran Golkar. Dari sisi kultural, mereka lebih berani untuk menampilkan kepercayaan lama dan beberapa
77
simpul jaringan yang dibangun dengan birokrasi desa. Organisasi yang dekat dengan kekuasaan seperti LDII justru menampilkan sisi moderatnya. Berbeda dengan prototipe LDII di tempat lain yang sering dilihat sebagai organisasi yang kaku dan fundamentalis. Meskipun kondisi santrinisasi menghasilkan paradoksikal. Klaim yang diberikan oleh NU bahwa pihaknya telah banyak menyelamatkan akar-rumput dan mengajak mereka untuk menjadi pengikut memang terjadi. Pada waktu itu alasannya adalah santrinisasi, tapi lama kelamaan masyarakat desa yang masuk dalam Islam karena takut dibunuh itu bisa diisi keimanannya karena sering kumpul dalam pengajian. Dengan demikian tingkat keimanannya bisa lebih ditingkatkan dan ibadah sholatnya juga menjadi lebih baik. Proses tersebut bertaut dengan kepentingan untuk memelihara dukungan dari akar-rumput dan dilakukan secara bertahap. Model pengajian atau dakwah yang dilakukan berlangsung dalam kerangka yang fleksibel dan menyandarkan sepenuhnya pada tingkat kebutuhan akar-rumput sendiri. Misalnya tidak serta merta langsung menuduh warga melakukan tindakan yang termasuk haram atau tidak tetapi melalui pembelajaran yang secara tidak langsung mampu menyadarkan pikiran warga untuk kembali kejalan yang benar. Para elit NU banyak mengadaptasi pendekatan dari para Wali ketika menyebarkan Islam yaitu dengan mengikutsertakan nilai lokal seperti media wayang kulit. Santrinisasi membutuhkan pelembagaan dan penyebaran dakwah dilakukan dengan cara yang terorganisir baik secara struktural dan kultural. Pesantren generasi
78
kedua setelah terputus sejak Kiai Abu Khoir pada tahun 1940 an merupakan tonggak santrinisasi yang terlembaga dengan baik. Pada masa awal 1970 an tidak ada institusi pendidikan diwilayah Balongmanyar dan sekitarnya yang secara politis mencakup wilayah tiga dusun yang semula menjadi basis BTI. Tetapi persoalan yang diangkat cukup mendasar yaitu karena banyak anak-anak putus sekolah karena jarak dan biaya yang dirasakan terlalu mahal. Sebelumnya mereka harus pergi ke pesantren atau sekolah umum yang letaknya diluar desa. Pertama kali didaerah ini didirikan mushola oleh K.H Zaini Khudori menantu dari pengasuh pesantren di Sumbersari. Oleh mertuanya dia dibelikan tanah dan mulai membangunnya sebagai pesantren pada tahun 1976 dan mulai diaktifikan bulan syawal tahun 1979. Pendidikan yang dibuka untuk meneruskan anak-anak yang putus sekolah dari sekolah diluar desa Krecek tetapi hanya sampai kelas 4 setara SD. Kiprah KH Zaini yang semula berada dalam taraf lokal mulai mendapatkan pengakuan dari sesepuh NU yang sudah lama berkiprah di Nepen dan Sumberagung. Para sesepuh mendelegasikan tugas untuk menyebarluaskan NU yang diakui oleh desa sehingga diangkat sebagai pengurus LKMD untuk penanganan keagamaan. Selama masa kepengurusannya, setiap dusun harus mempunyai masjid atau musala sendiri. Disamping itu juga menumbuhkan kehidupan keagamaan dengan menempatkan Kiai dusun yang diambil dari warga setempat atau mendatangkannya dari luar. Selama kepengurusannya telah membangun lebih dari 27 masjid dan musala.
79
Santrinisasi tidak berjalan dengan mulus karena muncul konflik diantara ormas Islam sendiri. Pada mulanya muncul konflik, utamanya dengan NU karena LDII pernah membakar kitab kuning, merusak bedug masjid dan mencap NU sebagai kafir kitabi. Konflik pernah meledak menjadi kekerasan fisik secara individual dan nyaris memicu kekerasan yang meluas dan kolektif. Eskalasi konflik mulai menurun dengan pendekatan kekeluargaan dan juga membagi jatah shalat jumat di masjid secara bergantian sampai LDII mempunyai masjid sendiri. Kalangan NU juga memberikan penghormatan pada prosesi misalnya jika ada orang yang meninggal, maka keluarganya berhak memakai tatacara sebagaimana yang mereka yakini dengan tidak menggelar selamatan atau perziarahan. Mereka juga mempunyai hak yang sama untuk melakukan kegiatan dakwah yang dari segi pengikut kurang bisa diterima masyarakat luas, terbukti dalam kegiatan keagamaan atau jumlah jamaah di masjid tidak yang tidak kunjung bertambah.
3. Negaranisasi Masa Orde Baru Aspek penting dalam masa Orde Baru yang hampir ditemui adalah penguasaan negara atau negaranisasi masyarakat. Model negaranisasi ini bersumber dari upaya untuk menundukkan elit dalam rangka mendukung program-program pemerintah. Beberapa hal yang dilakukan oleh aparat negara adalah pemberian kompensasi bantuan pembangunan. Sementara dari sisi keppentingan politik, agenagen negara masuk dengan memanfaatkan sentimen kultural. Negaranisasi masyarakat menghasilkan sistem patrimonialisme yang bejalan di tingkat nasional
80
mulai bertransformasi di tingkat lokal. Tidak banyak modifikasi yang dilakukan oleh agen-agen tersebut karena kondisi sosial politik masyarakat sendiri mendukung berjalannya sistem. Negaranisasi di Krecek meliputi tiga bidang yaitu keagamaan, politik dan ekonomi. Ketiga bidang ini menghasilkan basis legitimasi bagi elit lokal. Dibidang keagamaan, struktur yang sudah dibentuk oleh NU kemudian dikelola melalui orangorang yang pro kepada negara. Berbagai bantuan diberikan untuk menggiatkan program dan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti pembangunan tempat ibadah dan sarana pendidikan. Cara ini menghasilkan agen-agen negara yang bisa semakin memantapkan posisinya dan mempunyai pengaruh di masyarakat. Dibidang politik, memang terdapat polarisasi antara Golkar dan PPP selain PDI yang memperoleh suara yang kecil. Melalui Golkar pemerintah memberikan kekuasaan yang besar pada birokrasi dimana banyak orang-orang yang termasuk kelompok abangan memegang kekuasaan karena faktor keturunan. Dalam pemilihan kepala desa atau dusun, faktor keturunan menjadi legitimasi paling utama agar seseorang bisa menjabatnya. Beberapa elit NU kemudian terbelah menjadi pendukung Golkar dan PPP. Tetapi yang mendominasi percaturan sosial politik adalah elit yang mendapatkan dukungan dari pemerintah. Dibidang ekonomi, beberapa bidang usaha mulai dimunculkan seperti Koperasi Desa dan model-model sejenisnya seperti simpan pinjam dan bisnis huller atau penggilingan padi. Aktor-aktor lokal dalam waktu cepat menduduki posisi elit menggantikan para elit lama yang hanya bersandar pada komoditas pertanian tetapi
81
kalah dalam perdagangan padi. Aktor ini memegang standar harga padi dan juga distribusi subsidi bibit dan pupuk sampai penjualan kolektif melalui keanggotaan koperasi. Pemerintah sendiri mengaktifkan pegawai penyuluh pertanian dan dinas pengairan untuk menghantikan fungsi lembaga masyarakat seperti jogotirto. Lambat laun jogotirto hanya menjadi jabatan yang tidak efektif dan cenderung menguntungkan siapa yang menjabatnya karena mendapatkan insentif berupa tanah garapan dari desa tanpa harus bekerja. Persoalan serupa juga didapati dalam alih fungsi penyelenggaraan keamanan desa. Posisi jogoboyo (keamanan) dan bayan (informasi) digantikan dengan kehadiran militer ditingkat desa yang kemudian dikenal dengan Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan Juru Penerangan yang didatangkan dari kecamatan. Birokrasi desa memegang peran yang jauh lebih penting daripada lembaga-lembaga adat yang sudah ada sehingga setiap kebijakan pemerintah harus segera dilaksanakan. Negaranisasi merupakan kendali negara melalui injeksi sistem dimana model patrimonialisme menjadi landasannya. Kepala desa merupakan pihak yang memiliki desa karena didukung oleh kekuatan negara yang secara formal bertindak atas nama aturan hukum. Dengan mudah sebuah sengketa seperti yang terjadi dalam kasus perebutan masjid oleh NU, LDII dan Muhammadiyah di Sumberagung harus menunggu keputusan kepala desa agar bisa selesai. Dalam kasus tersebut, meskipun sudah dibawa dalam proses pengadilan, kepala desa sebagai pihak yang akan memtuskan mengenai status tanah wakaf dimana bangunan masjid tersebut berdiri. Kepentigan kepala desa melampauai hasil kesepakatan yang semula suidah tercapai
82
setelah ketiga ormas yang bersengketa duduk bersama dan membicarkan solusi terbaik.
C. Moda Produksi Tradisional Dalam pendapat Wolf (1982:386) kehidupan sosial dibentuk oleh jalan yang dibangun oleh manusia dan terikat alam melalui produksi. Gagasan tentang masyarakat berpusat pada pengelompokan sosial. Sedangkan gagasan mengenai moda produksi bertujuan untuk mengidentifikasi kekuatan yang menuntun kelompokkelompok tersebut. Manusia akan berhadapan dengan tatanan dunianya yang membutuhkan modifikasi berdasarkan selera dan terfokus pada konsekuensi dinamis dari pertengkarannya dengan dunia. Karakter
masyarakat
tradisional
mempunyai
kecenderungan
untuk
memanfaatkan jaringan keluarga sebagai modalitas yang penting untuk memutar faktor produksinya. Jumlah pemilik tanah sebelum Krecek di buka menjadi perkebunan hanya terdiri dari bebearpa keluarga. Setelah PKI sukses melakukan tuntutan landreform, jumlah kepemilikan tanah reklatif lebih merata. Tetapi pemerataan ini harus tunduk kepada hukum yang lain dimana kebutuhan menjadi faktor pedorong seseorang harus menjual tanah-tanah miliknya. Kebutuhan disini adalah ketidakseimbangan antara hasil produktivitas dengan konsumsi yang berlebihan. Umumnya menyangkut hal-hal menyimpang seperti kesenangan berjudi. Moda produksi tradisional mengacu pada kepentingan pada tercukupinya kebutuhan domestik saja. Dalam pengertian yang lebih rinci bisa disebut bahwa
83
aktifitas produksi banyak dikendalikan oleh pencapaian yang bersifat sementara. Dari hasil pertanian tadah hujan, penduduk Krecek awalnya dihadapkan pada pekerjaan sebagai buruh perkebunan. Sekalipun pekerja buruh juga bersifat musiman tetapi paling tidak, mereka bisa mendapatkan pekerjaan selama musim padi dan musim panen tebu. Hasil dari pekerjaan yang dilakukan selama satu musim cenderung dihabiskan untuk kebutuhan selama satu musim yang lain. Dalam kondisi pertanian setelah mengalirnya air dari sungai yang membuat produktivitas lahan bertambah, muncul ketergantungan baru dari program intensifikasi pertanian pangan yang digulirkan oleh pemerintah. Ketergantungan pada pupuk kimia baik untuk kebutuhan pertanian atau perikanan membuat biaya produksi semakin bertambah pula. Setiap kali panen dan mendapatkan hasil yang lebih banyak dalam kondisi yag normal, masyarakat cenderung membelanjakannya untuk kebutuhan konsumtif. Tanpa melakukan investasi lain yang menguntungkan dan membuat modal tersebut bisa diputar. Mereka juga membeli barang-barang dalam skala besar seperti kendaraan, perhiasan dan perabotan. Jarang diantara mereka yang membelikan hasil ternak atau membangun rumah. Dalam kondisi tersebut, akar ruput dihadapkan pada persoalan mengenai kerbelangsungan kapasitas produktif. Setelah musim tanam atau tabur benih tiba, mereka tidak mempunyai modal yang mencukupi untuk dibelikan benih. Segala macam barang yang pernah beli setelah panen dijual kembali dengan harga yang murah dan hanya cukup untuk digunakan sebagai modal penanaman kembali.
84
Dari perhitungan keuntungan usaha, cara yang mereka tempuh akan selamanya membuat rugi. Apalagi ketika persoalan penyimpangan sudah merasuki, maka keseimbangan kehidupan ekonomi akan sangat tergangu. Dalam posisi ini segala aset yang dipunyai akan djual sementara merka akan menjadi buruh tani. Aset mereka yang lepas akan dibeli oleh elit atau oleh sesama mereka yang mempuyai uang dari hasil bekerja di luar negeri.
Tabel 3: Jenis Produksi Jenis Tanaman Kacang Tanah Kacang Panjang Jagung Padi Kerbau Sapi Potong Kambing Ayam Buras Ayam Ras Itik
Luas 1 Ha 2 Ha 20 Ha 563 Ha 32 ekor 61 396 4.070 31.000 9.270
Hasil 6 ton 15 ton 140 ton 2.815 ton
Secara umum, bentuk moda produksi tradisional baik dalam bidang pertanian atu perikanan mirip dengan subsistensi tetapi variasinya terletak pada latarbelakang kultural masyarakat yang dibesarkan dari situasi yang serba tanggung. Mereka adalah perambah dan juga buruh perkebunan. Kemudian atas usaha negara mereka menjadi petani. Pada masa-masa awal Orde Baru, hampir semua penduduk adalah petani pemilik tanah tetapi pada akhir Orde Baru, jumlah buruh tani meningkat melebihi dari jumlah pemilik tanah. Posisi petani penyewa sebagian besar memafaatkan tanah kas
85
desa yang disewa dalam beberapa tahun. Hasil dari penyewaan tersebut masuk sebagain bagian dari pendapatan desa. Petani penyewa merupakan orang-orang kaya desa yang mempunyai banyak pekerja dan buruh tani. Sedangkan penyakap memanfaatkan sedikit modal yag dimiliki untuk mengerjakan sebuah lahan dan kemudian dibagi dengan proporsi yang telah
disepakati
sebelumnya.
Petani
pemilik
menjadikan
sawah
menjadi
matapencaharian terpentig dan jarang diantara mereka akan menyewakannya kecuali jika dihadapkan pada urusan yang sangat mendesak seperti untuk biaya sekolah anakanaknya. Desa ini mempunyai lembaga adat yang merupakan bagian dari institusi informal dalam mengelola air seperti kebanyakan desa di Jawa lainnya yaitu Jogotirto dan berada dibawah kendali kepala desa. Lembaga ini pada awalnya dikuasai oleh dua orang tetapi lambat laun tinggal seorang dan nyaris tidak berfungsi apa-apa. Pengelolaan air kemudian menjadi tanggungjawab bersama oleh para pemilik tanah dimana mereka kemudian membentuk sub teknis kecil yang membawahi beberapa petak sawah serta berkoordinasi antara satu dengan lainnya. Pembagian areal untuk kebutuhan pertanian padi dengan perikanan membutuhkan model pengaturan yang seimbang. Masyarakat melalui institusi pengelola air kemudian menerapkan proporsi yang seimbang antara kebutuhan persawahan dengan perikanan kolam. Pemilik lahan kolam membutuhkan air lebih banyak daripada petani sehingga pola pengisian lahan dibagi dalam dua waktu, siang untuk mengairi sawah dan malam hari untuk kolam. Semua hal tersebut diatur
86
berdasarkan kesepakatan antar pemilik lahan yang beberapa diantaranya menerapkan sistem transaksi. Pemilik lahan yang lebih luas dan jatah yang diberikan dalam siang hari belum bisa memenuhi kebutuhannya, maka dia bisa membeli atau mengganti kelebihan pemilik lahan lain yang mempunyai sisa jatah untuk dikonversi dengan sejumlah uang. Persoalan yang sensitif bagi petani adalah soal ketersediaan pupuk. Di masa lalu intervensi negara dalam mengamankan pengadaan dan distribusi pupuk tidak menimbukan banyak persoalan. Tetapi setelah Orde Baru tumbang, mereka merasakan kelangkaan pupuk. Meskipun pemerintahan baru mengendalikan pupuk bersubsidi, kalangkaan tetap terjadi. Dalam beberapa hal banyak orang yang menginginkan pupuk tetap berada dibawah tanggungjawab penuh negara tetapi sebagian lainnya memperayai bahwa dengan kontrol negara atas pupuk, maka kelangkaan menjadi salah satu bentuk permainan. Persolan pupuk merupakan salah satu bentuk pergeseran pemahaman masyarakat mengenai fungsi dan peran negara yang ideal. Para petani biasa dan kelompok akar-rumput menginginkan adanya stabilitas harga lebih ditentukan oleh pasar daraipada harus dikendalikan oleh negara. Dugaan bahwa telah terjadi manipulasi harga dan permainan distribusi pupuk juga dirasakan dan mereka dalam hal ini meyakini jika negara melepaskan kontrolnya atas pengadaan dan distribusi pupuk serta diserahkan sepenuhnya pada pasar, keadaannya tentu berbeda.
87
D. Pembilahan Sosial Politik Didalam masyarakat santri Krecek, pembilahan sosial politik tergantung pada jenis afiliasi elit terhadap kekuatan politik tertentu. Dalam pengertian yang lebih khusus, masyarakat santri cenderung menginginkan elit untuk terlibat secara langsung dalam proses politik tingkat desa. Didalam pemilihan kepala desa, pengangkatan Kiai baru atau pemilihan perangkat desa yang lain. Keterlibatan terssebut bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa elit benar-benar membawa kepentingan masyarakat yang lebih luas dari sekadar proses yang melibatkan partisipasi individual saja. Konfigurasi elit dan dukungan yang diberikannya terhadap kekuatan politik tertentu mempengaruhi eksistensi dan dinamika ormas dan parpol. Selain itu faktor yang pelru diperhatikan adalah ideologi dan pandangan politik masyarakat secara luas. Ideologi dalam tingkat mikro, dipahami sebagai bagian dari proses politik dimana fungsinya tidak lagi sebagai alat negara melainkan sebagai bagian yang sudah melalui serangkaian proses penerjemahan oleh otoritas tertentu. Hal ini membuat faktor ideologi dan pandangan politik tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Faktor ini menyumbang peran penting dalam penentuan pilihan politik terhadap ormas dalam bentuk partisipasi aktif sebagai anggota dan terhadap parpol sebagai anggota yang militan.
1. Eksistensi Ormas dan Parpol Pada masa-masa awal diberlakukannya sistem politik dimana parpol dan pemilu serta ormas mulai memainkan peran, antusiasme masyarakat sudah mulai
88
terlihat. Sejak pemilu tahun 1955, penerimaaan masyarakat meskipun beragam tetapi masih memperlihatkan pandangan yang optimistis. Masyarakat lebih mengenali kampanye dan mobilisasi politik yang dilakukan secara terstruktur dan terbungkus dalam berbagai hal yang bersentuhan langsung dengan kepentingan mereka. NU pada dasarnya lebih dikenal sebagai sekelompok Kiai yang berbicara mengenai perubahan sosial politik dan pesantren yang mengajarkan pendidikan keagamaan. Pada saat NU menjadi parpol, mobilisasi dalam perolehan suara sekalipun diikuti oleh anggotanya, hanya menjadi pertujukan ketika pemilu saja. Dalam kodnisi kehidupan sehari-hari, NU tetap dikenal sebagai ormas. Kondisi serupa terjadi ketika PKI sebagai parpol kurang begitu dikenal dibandingkan denga BTI. Sosialisasi dan kampanye landreform lebih berhasil dengan bendera BTI dan medapatkan simpati dari sebagian besar buruh tani. Masyarakat lebih memberikan perhatian besar kepada organisasi atau lembaga yang mempunyai pengaruh pada kehidupan sosial politik mereka dengan program kerja yang bisa dilihat dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama. NU merupakan ormas yang dikenal hampir bersamaan dengan Muhammadiyah dan pada tahun 1950an mulai dikenal LDII. Lembaga lain seperti tarekat sudah mulai beroperasi dan mengefektifkan gerakannya pada sasaran masyarakat akar-rumput. Masyarakat sangat terbuka pada kehadiran parpol manapun. Pada tahun 1950 an, ormas yang sudah eksis adalah NU, LDII dan MD sedangkan parpol yang mendapatkan dukungan besar adalah Masyumi, NU, PKI dan PNI. Pada dekade 1970 an atau selama Orde Baru berkuasa, PPP menjadi parpol terkuat kemudian Golkar
89
dan PDI. Tetapi pada beberapa pemilu yang diselenggarakan selama Orde Baru, persaingan antara Golklar dan PPP lebih mencerminkan persaingan antara LDII dan MD dengan NU.
2.Ideologi dan Pandangan Politik Masyarakat Krecek tidak terlalu dinamis jika dilihat dari sturktur kepercayaannya. Tidak banyak perubahan meskipun modernisasi telah merasuk melalui perangkat kehidupan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Disini dikenal kelompok putihan untuk menunjukkan kualitas keberagamaan seseorang yang bersifat personal dan bukan institusional. Juga abangan untuk seorang yang kurang taat beribadah dan masih terpengaruh teosofi Jawa dengan segenap simbolisasinya. Dari semua dusun yang ada, tidak semua mempunyai masyarakat yang heterogen dan mempercayai adanya pluralisme sebagai landasan interaksinya. Afiliasi dengan ormas dan parpol di Sumberagung lebih baik daripada dusun lainnya. tetapi dari sisi kestabilan dan kedewasaan politik, dusun Nepen yang lebih baik. Ideologi dan pandangan politik hanya menjadi konsumsi dan permainan elit. Pertarungan ideologi dicerminkan dengan penerimaan asas tunggal Pancasila oleh NU meskipun beberapa elit tua masih mempercayai Islam dan politik adalah persoalan yang sama. Doktrinasi negara yang menetapkan Pancasila sebagai ideologi negara tidak mendapatkan sambutan yang setidaknya membekas sampai hari ini. Elit lama lebih mengenal nasionalisme dan Islam sebagai dua hal yang menjadi
90
representasi kekuatan kelompok abangan dan majapahitan16 dengan santri, putihan atau ijo. Simbolisasi atas ideologi mempunyai media-media sosialisasi informal karena ranah formal dikendalikan penuh oleh negara. Melalui birokrasi, militer dan agensiagensinya, negara bisa mereduksi pertentangan horisontal mengenai ideologi. Meskipun demikian, ideologi tidak pernah muncul menjadi isu penting yang menarik perhatian orang banyak. Ideologi juga tidak kunjung menjadi semangat dimana aparatur negara yang menjaganya bisa dengan mudah menempelkan stigma terhadap kekuatan oposisi. Hal yang terlihat menonjol adalah kekhawatiran di masyarakat untuk disebut sebagai komunis. Stigma ini dimanfaatkan oleh negara dengan melakukan infilitrasi dan penyaringan pada birokrasi desa. Dalam persoalan ini, ideologi yang muncul kemudian bukan lagi mengerucut pada nasionalis dan Islam melainkan pada adanya jaminan dan kepercayaan untuk mendukung setiap usaha yang dilakukan oleh pemerintah. Pandangan politik pada akhirnya menjadi manifestasi yang lebih mengemuka untuk menegaskan sebuah posisi politik daripada ideologisasi.
16
istilah majapahitan menunjuk pada orang atau kelompok yang masih berperilaku hidup dengan landasan kejawen. Ritual yang mereka jalankan lebih kental daripada kelompok abangan dan terpenting, kelompok ini banyak didominasi oleh orang-orang berpengaruh didalam pemerintahan desa. Pembedaan sederhana dari abangan terletak pada hasrat kekuasaan yang lebih besar. istilah ini mengemuka dari wawancara yang dilakukan terhadap beberapa kepala dusun yang ada di Krecek. yang dikuatkan oleh keterangan dari para beberapa kiai dusun.
91
BAB III PENGARUH PERUBAHAN POLITIK PASCA ORDE BARU: PLURALISME HUBUNGAN ELIT-AKAR-RUMPUT DALAM MASYARAKAT KRECEK
Perubahan yang terjadi setelah runtuhnya Orde Baru membuat masyarakat Krecek dihadapkan pada berbagai pilihan. Meskipun kadarnya tidak bersifat menyeluruh, tetapi yang paling terasa adalah adanya keterbukaan akses informasi dan kontrol negara yang demikian menyusut. Meskipun kontrol negara dalam pengertian pemerintahan pusat terus melemah tetapi peran tersebut sedikit mulai diperkuat oleh pemerintahan lokal tingkat kabupaten. Masyarakat melakukan respon atas perubahan yang terjadi dengan menghasilkan model pluralisme dalam hubungan elit-akar rumput. Dalam kaitannya dengan institusi pesantren dan ormas Islam yang ada, mulai tampak adanya pluralisme gerakan dan mengarah pada moderasi dalam rangka menciptakan dialog dengan institusi lainnya seperti pemerintahan. Bab ini akan membahas tentang pengaruh perubahan politik terhadap masyarakat santri. Argumentasi utama yang dibangun adalah bagaimana pergerakan institusi santri yang semula mendapatkan dukungan dari negara mulai mengambil strategis gerakan baru yang berorientasi pada masyarakat sebagai penyangganya. Pesantren yang tidak lagi mendapatkan dukungan penuh kemudian harus memanfaatkan
berbagai
tingkat
pengorganisasian
sebagai
strategi
untuk
mempertahankan status sosial dan posisi tawar politiknya baik di masyarakat atau dengan institusi lainnya.
92
Pesantren harus meletakkan diri sebagai bagian dari perubahan yang dibawa dari tingkat makro dengan menjalin pola hubungan baru dengan masyarakat dan institusi lainnya. Berbagai jalan yang ditempuh disamping moderasi sikap politik dan pluralisme gerakan, juga memanfaatkan dampak perubahan politik dalam ranah yang lain seperti didalam birokrasi. Elit keagamaan juga dihadapkan pada benturan dengan aktor-aktor lama dan kemunculan aktor-aktor baru yang bisa mengeliminaisi staus sosial politik mereka. Strategi yang dijalankan oleh elit dan institusinya meliputi penumbuhan sifat inklusif dalam ruang organisasi dan munculnya kohesi sosial dalam pengorganisasian yang menyebabkan terbukanya ruang negosiasi dengan akar-rumput sehingga memunculkan bentuk-bentuk baru dalam relasi tersebut. Beberapa bentuk yang bisa diketahui adalah cara yang ditempuh dalam berhubungan dengan aparatus negara. Demikian juga afiliasi dan resistensi terhadap kekuatan politik. Dalam hal tersebut, terdapat model klientilisme terbuka dimana akar-rumput tetap menjadi klien dari elit tetapi dalam ruang komunikasi dan negosiasi yang lebih terbuka.
A. Jaringan Pesantren pasca Mundurnya Intervensi Negara Masyarakat di Krecek memahami entitas santri sebagai anggota pesantren tradisional dan moderat. Secara ekonomi mereka pada awalnya termasuk kelas tersendiri yang berada dipinggiran. Mereka terkonsentrasi di pedesaan atau didalam kota dengan lokasi, tetap dipinggiran. Kiai disebut sebagai pemimpinnya yang hidup dari pengelolaan pertanian karena memiliki tanah yang diwariskan secara turun
93
temurun sementara pengikutnya atau yang kerap disebut santri mengerjakannya dengan hasil yang akan dibagikan pada mereka secukupnya sebagai imbalan kerja berserta tambahan menuntut ilmu gratis. Selama Orde Baru, negara memberikan dukungan berupa insentif kepada pesantren yang berupa bantuan pendidikan. Dukungan bagi pembangunan Madrasah, Mesjid yang berfungsi sebagai tempat pengajian. Sekalipun banyak Kiai di Krecek mempunyai afiliasi politik terhadap PPP, mereka tetap bisa membangun hubungan dengan negara dengan baik. Tipikal pesantren hampir sama seperti yang ditulis oleh Dhofier (1985) yaitu terdapat pemondokan, masjid, pengajaran kitab kuning, santri dan Kiai. Semua mendapatkan posisi dan perlakuan yang sama dan harus mengikuti aturan yang dibuat oleh Kiai. Meskipun ada beberapa hal yang menjadi perkecualian seperti santri yang datang dari keluarga terpandang dan masih keturunan Kiai. Pesantren di Krecek tidak mempunyai santri yang datang dari darerah yang berada di luar daerah sekitar Krecek. Pelajaran yang diberikan disamping pelajaran agama juga pelajaran ilmu-ilmu umum. Kelak usaha untuk memasukkan pelajaran umum sebagai bagian dari pembelajaran di pesantren merupakan hasil dari negosiasi pesantren agar tetap mendapatkan dukungan dari negara berupa pengakuan yang diikuti oleh pemberian bantuan. Proyeksi pesantren di Krecek masih sebatas pemberian asupan ilmu sampai tingkat SLTP atau Madrasah Tsanawiyah. Dari sini akan direkmendasikan oleh Kiainya untuk belajar lanjutan di pesantren-pesantren lainnya atau masuk di Madrasah Aliyah yang sudah berdiri di Krecek.
94
Pesantren pada akhirnya bukan hanya menjadi institusi pendidikan keagamaan tradisional saja, melainkan juga mampu ditampilkan sebagai bagian dari kekuatan yang mempunyai posisi tawar bagus. Kiai sebagai pemilik pesantren, sekalipun dalam beberapa pesantren mengenal bentuk konfederasi, umumnya mempunyai pengaruh pada beberapa kelompok santrinya. Pola pengaruh Kiai mengikuti model pengelolaan pesantren. Kiai yang mendapatkan dukungan negara cenderung menjadikan institusinya sebagai kelompok pendukung kebijakan negara. Jaringan yang dibangun tidak lagi sebatas hubungan keagamaan saja melainkan melabar sampai ke wilayah pemberian dukungan politik. Di Krecek, para Kiai dan institusi pesantren mempunyai tipe jaringan tersendiri. Jaringan tersebut dibuat dalam rangka menjaga otoritas sosial politik pesantren dan Kiai disamping keagamaan. Sejarah pesantren di Krecek tidak bisa dilepaskan dari keberadaan para Kiai seperti Kiai Dullah, Kiai Mustain dan Kiai Usman tetapi diantara mereka tidak membangun tempat pemondokan. Pesantren awal di Krecek didirikan dan diasuh oleh Kiai Abu Khoir. Dia mempunyai dua keturunan yaitu Sholeh yang sempat meneruskan pesantren Kiai Abu Khoir dan Joyo Ulomo yang pandai menulis kitab dengan kaligrafi yang bagus. Pesantren kemudian diteruskan dan sempat besar oleh menantunya yaitu Kiai Mubari yang juga kerabatnya K.H Jawahir. Kemudian penerusnya yang lain dan masih eksis mendirikan pesantren yang berada di daerah Kwagean yaitu Kiai Khanan. Pada tahun 1950-an, kiprah pesantren di Krecek mulai terlihat ketika Kiai Mahfudz di Sumber agung mendirikan pesantren sebagai pusat aktivitas sosial
95
politik. Sedangkan di dusun Nepen, pesantren Kiai Sholeh dihidupkan lagi oleh Kiai Mahfud. Persoalan regenerasi bagi pesantren kecil berbeda dengan pesantren besar yang mempunyai nama dan citra personal yang melekat pada kemasyhuran KiaiKiainya dari masa ke masa. Di pesantren kecil, regenerasi elitnya ditentukan oleh kepentingan yang lebih besar yaitu keengganan Kiai untuk melakukan penyebaran keturunan. Kiai di pesantren kecil jarang melakukan praktik poligami untuk alasanalasan tertentu seperti keberlangsungan pesantren. Disamping itu alasan lainnya adalah soal konsepsi pesantren yang dikelola berdasarkan kepentingan yang sangat domestik. Kiai cenderung memegang kepercayaan bahwa santri bisa datang dan pergi sehingga pesantren harus setiap saat siap untuk kehilangan santri sama sekali. Sistem kaderisasi elit di pesantren kecil yang kurang maksimal membuat pesantren seringkali lenyap dalam satu generasi saja. Gambaran itu terlihat ketika penerus Kiai Mubari memilih keluar dari desa. Pesantren meskipun tidak bisa dikatakan semua aktivitasnya hilang, tetapi beberapa diantaranya berubah menjadi surau kecil tempat kegiatan keagamaan yang bersifat sementara dilangsungkan. Dalam perkembangannya, karakteristik pesantren di Krecek mengikuti kebiasaan pesantren kecil yang relatif tidak bisa bertahan lama oleh perubahan internal khususnya dalam persoalan-persoalan keluarga. Dalam kondisi ini, negara akan merekrut elitnya saja karena dianggap sebagai bagian dari pihak yang potensial karena mempunyai pengaruh personal meskipun secara institusional tidak termasuk sebagai pengelola pesantren yang sukses. Posisi yang digunakan sebagai kendaraan
96
bagi elit dari pesantren kecil adalah jabatan-jabatan struktural di NU dan juga di parpol.
Melemahnya
dukungan
negara
menyebabkan
pesantren
melakukan
pemeliharaan pada basis jaringan relasional dan resiprokal sementara jaringan paradoksikal akan dikembangkan kembali sesuai dengan kondisi dan situasi politik tertentu.
Tabel 4 : Tipe Jaringan Pesantren Tipe Jaringan
Basis
Pendukung Jaringan
Relasional
Kepatuhan, Ketaatan Santri
Keluarga Santri
Resiprokal
Pengaruh, Kekuasaan Kiai
Masyarakat
Paradoksikal
Kepentingan Strategis
Negara, Korporasi
Melemahnya dukungan negara pada tahun 2000 menyebabkan pesantren membangun beberapa tipe jaringan. Dari tabel 7, dalam rangka memelihara dukungan, elit pesantren memanfaatkan politik jaringan yang terdiri dari tiga hal yaitu pertama, jaringan relasional berbasis ketaatan dimana pengaruh Kiai hanya berlaku pada santri dan keluarganya saja. Kepentingan untuk memelihara hubunganhubungan kepatuhan disebabkan adanya perintah dan ketaatan yang bersifat langsung. Pesantren yang tergolong dalam jaringan ini adalah pesantren-pesantren tua yang tidak begitu besar. Hampir mirip dengan kelompok pengajian di langgar (surau) yang diikuti oleh peduduk setempat. Pesantren milik keluarga Kiai Jawahir mempunyai 30 santri yang sudah berumur rata-rata diatas 30 tahun. Mereka mengkaji
97
kitab kuning dalam tingkat lanjut. Santri Kiai Jawahir mempunyai tingkat ketaatan yang tinggi karena intensitas pertemuan yang rapat. Patronase yang dikembangkan dalam pesantren ini juga mengakar sampai lingkaran keluarga santri. Jaringan kedua adalah jaringan resiprokal berbasis pengaruh dimana pengaruh Kiai berdampak pada mobilisasi di lingkungan masyarakat sekitar pesantren. Selain perbedaan-perbedaan dalam ukuran politik, kecenderungan lemahnya transformasi kultural seperti efektivitas dakwah keagamaan juga terlihat. Di Krecek, pesantren tipe ini mengacu pada pesantren besar seperti Lirboyo. Pesantren Kiai Zaini Khudori memanfaatkan pengaruh personal Kiai yang berkiprah di masyarakat. Pengaruh yang ditimbulkan efektif untuk melakukan mobilisasi massa, bukan hanya dari kalangan keluarga santri saja melainkan meluas pada institusi lainnya. Kiai bisa masuk dan mengendalikan institusi publik seperti lembaga desa dan forum-forum lainnya diluar keagamaan. Ketiga merupakan perpaduan antara kedua jenis jaringan diatas yaitu jaringan paradoksikal yang berbasis kepentingan strategis. Jaringan ini menghubungkan antara pesantren dengan kekuatan-kekuatan politik yang dekat dekat simpul negara. Barangkali yang belum luntur adalah pola jaringan antar Kiai yang semakin rapat dan kompleks, jaringan Kiai juga menjadi jaringan pesantren. Sesama pesantren NU misalnya, tidak banyak terjadi rivalitas kalau tidak terpengaruh oleh tarikan politik praktis seperti dukung-mendukung pada partai tertentu. Jaringan Kiai dan pesantren ini bergerak atas basis genealogis, keturunan atau kekerabatan dalam ikatan keluarga besar.
98
Dalam jaringan ini, hampir semua pesantren di Krecek pada masa lalu memanfaatkannya. Kebanyakan Kiai yang lulus dari sebuah pesantren atau termasuk kerabata dari pesantren di luar daerah maish membangun sinergisitas dalam pengelolaan pesantren dan juga pembagian informasi dan strategi dalam berhubungan dengan institusi lainnya. Kondisi yang terbentuk dari bekerjanya jaringan menyebabkan melunturnya kapasitas pesantren sebagai pusat kendali elit kultural. Pada tahun-tahun 1970 an sampai 1990 dimana negara memberikan dukungan kepada pesantren yang termasuk dalam jaringan Golkar atau melalui pintu gerakan tarekat yang beberapa Kiai pemilik pesantren merupakan anggotanya. Pesantren dianggap mempunyai kemampuan dan kekuasaan dalam reproduksi wacana keagamaan yang selalu menjadi rujukan utama dalam pemberian tafsir bagi kehidupan sehari-hari. Pesantren dan elitnya merupakan pusat dari usaha untuk melakukan reproduksi wacana-wacana keagamaan. Elit pesantren yang terdiri dari Kiai dan juga anak-anaknya atau yang lebih familiar disebut
Gus
mengintrodusirnya
dalam
rangka
mengamankan
kepentingan-
kepentingan penjagaan atas kemurnian tafsir atas pesoalan-persoalan yang ada. Sampai tahun 1980 an, negara masih memelihara dukungan terhadap pesantren dengan pertimbangan untuk mencegah dominasi PPP yang memanfaatkan NU sebagai pintu masuknya, tetapi ketika NU memutuskan untuk kembali ke khittah tahun 1984, para Kiai yang ada di Krecek mulai memberikan dukungannya ke PPP. Dalam kondisi ini negara dan aparatusnya memang tidak bisa secara langsung untuk mempengaruhi pesantren dalam hubungan antar institusi. Negara memanfaatkan
99
agensi-agensinya di lingkungan birokrasi dan lembaga pendidikan untuk memelihara komunikasi dengan Kiai secara personal. Selain itu keberadaan lembaga-lembaga publik seperti koperasi dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa serta kelompokkelompok tani yang dibuat negara. Setelah kekuasaan Orde Baru runtuh, ada pesantren Kiai Zaini Khudori cenderung berafiliasi ke PKB sementara yang lain seperti Kiai Jawahir tetap mendukung PPP. Kiai-Kiai kecil lainnya ada yang mendukung Golkar. Dukungan negara terhadap pesantren mulai menurun yang berakibat pada strategi pesantren untuk tetap mempertahakan legitimasinya. Momentum lemahnya dukungan negara membuat parpol menjadi institusi yang sedikit demi sedikit mengambil fungsi pemberian dukungan politik. PKB merupakan parpol yang mampu menjamin adanya dukungan dari pemerintah daerah setempat karena lobi yang dilakukan oleh politisinya. Akibat dari pemberian dukungan tersebut, parpol secara institusional diuntungkan dari sisi mobilisasi dukungan karena Kiai yang didukung bisa memanfaatkan pengaruhnya di pesantren dan NU serta lembaga-lembaga desa yang lain. Tetapi keuntungan yang paling besar dinikmati oleh politisi yang menganggap dukungan tersebut merupakan investasi politik jangka panjang. Ada satu hal yang penting berkaitan dengan keberadaan politisi. Di Krecek politisi yang populer adalah Masykur Lukman dan saat ini tergabung dengan PKB dan menjadi legislator di kabupaten. Sosok ini menjadi penting untuk dilihat karena latarbelakang sejarahnya. Dia merupakan bagian dari warga desa Krecek yang
100
mempunyai nasab (keturunan) yang terhormat dan dari keluarga santri turun temurun. Pada masa Orde Baru, masykur Lukman adalah tergabung dan menjadi legislator dari PPP, kemudian pindah ke Golkar dan saat ini ke PKB. Melihat dari hal tersebut, perilaku politik dan pilihan Masykur Lukman merupakan bagian dari politik praktis untuk mengamankan kepentingan warga NU dan masyarakat santri terhadap perubahan politik. Hal ini yang selalu ditekankan bagi oleh dirinya pribadi atau elit-elit santri pendukungnya. Jasanya memang besar bagi pembangunan infrastruktur desa dan utamanya yang menyangkut kepentingan NU. Sosok ini bisa dilihat sebagai bagian dari patronase elit santri yang menempati posisi penghubung dengan kekuasaan.
B. Kohesi Sosial dalam Organisasi Keagamaan Masyarakat santri sebenarnya mempunyai institusi yang bersifat fleksibel. Baik itu NU, Muhammadiyah atau LDII sama-sama mempunyai modalitas yang sama untuk keluar dari sektarianisme dan membangun sinergisitas satu sama lain sebagai kekuatan masyarakat sipil. Kohesi sosial merupakan sebuah hasil yang masih terlalu dini untuk dinilai telah menghasilkan bentuk baru dari harmonisasi dari ormas-ormas tersebut. Tetapi secara historis, masyarakat Krecek telah menemukan momentum baru berkaitan dengan keinginan untuk mengakhiri pertentangan diantara Ormasormas yang ada. Justru bibit-bibit kesadaran tersebut disemaikan oleh akar-rumput yang menuntut agar elit bisa menjadi katalisator dan memerankan fungsi sosial politik dengan lebih baik.
101
Ormas menjadi tempat bertemunya segenap perbedaan kepentingan dan memunculkan usaha-usaha untuk menetapkan agenda-agenda sosial politik bersamasama. NU menjadi ormas yang paling penting untuk dilihat karena mempunyai infrastruktur kemasyarakatan yang lebih banyak dan juga jaringan sosial politik yang lebih baik dengan kekuatan politik dan institusi publik lainnya. Dalam pembahasan ini, kohesi sosial menjadi jembatan kearah usaha untuk memperkuat bentuk-bentuk pergeseran didalam hubungan antara elit-akar-rumput dalam masyarakat santri sendiri dimana peranan institusi menjadi sangat penting sebagai tempat untuk membangun komunikasi, akomodasi dan menjadi milik bersama-sama.
1. Peleburan Politik Aliran Peranan elit dalam mengembalikan model penguasaan negara atas masyarakat sekalipun sudah mengalami perubahan, tetapi masih membawa bentuk-bentuk lama. Utamanya dalam persoalan pemeliharaan simbol-simbol perbedaan kelompok. Kekuatan sosial politik di Krecek adalah NU sementara kekuatan ekonominya banyak digerakkan oleh Muhammadiyah dan LDII. Dalam rangka untuk menetapkan sebuah sistem sosial politik yang terlambaga dan terkontrol dengan baik, mulai muncul ketegangan antara generasi tua dan muda. Ketegangan ini disebabkan karena masingmasing mempunyai alasan yang sama untuk memaksakan pandangannya. Disamping itu faktor penghambat yaitu negara juga sudah hampir tidak mempunyai pengaruh. Pada masa lalu, negara berkepentingan menjaga dinamisasi interaksi dan stabilitas keamanan.
102
Bagi kalangan generasi muda petani, berbagai jenis dan simbol memang tidak banyak memberikan kontribusi sebagai pendukung dinamika dan landasan berinteraksi. Kelompok ini telah mengalami serangkaian fase pematangan setelah merantau ke kota. Meskipun dalam stratifikasi pekerjaan yang mereka lakukan selama di kota adalah pekerjaan di sektor informal, mereka bisa mencerap perkembangan masyarakat kota yang lebih dinamis. Sementara itu generasi tua mempunyai persepsi sebaliknya dan berusaha untuk melestarikan simbol dan landasan lama. Kebanyakan dari mereka menganggap, apa yang terjadi terhadap kelompok pemuda merupakan sebuah penyimpangan. Segala jenis dan bentuk-bentuk ekspresi yang mengarah pada hak-hal yang diangap negatif akhirnya dieliminasi. Cara yang ditempuh lebih mencerminkan tidnakan frontal yang sporadis daripada terstruktur dan mempunyai agenda jangka panjang yang jelas. Elit santri kemudian melihat penyimpangan tersebut dari perspektif yang tegas dan diikuti dengan alasan-alasan yang mengarah pada pengelompokan pada satu entitas tertentu. Akibatnya, dinamisasi memang belum terlihat merata dan pertentangan normatif yang membawa isu-isu kepercayaan dan stratifikasi sosial kerap muncul ke permukaan. Perangkat birokrasi masih dipengaruhi oleh mentalitas lama dimana pejabat desa mempunyai keleluasaan untuk masuk kedalam berbagai kelompok yang ada. Pada kelompok yang disebut sebagai putihan menunjuk pada kualitas keberagamaan seseorang atau bersifat personal dan bukan institusional. Meskipun dia pemuka ormas keagamaan tetapi tidak menunjukkan taraf kealiman
103
dalam derajat tertentu, mereka bukan termasuk putihan. Istilah putihan yang diperkenalkan oleh Poensen dan Hurgronje sebelumntya. Tampaknya, munculnya klasifikasi ini telah berjalan sejak lama, seiring dengan sebutan abangan untuk seseorang yang kurang taat beribadah dan masih terpengaruh pada teosofi Jawa dengan segala macam simbolisasinya. Pertentangan model lama yang terjadi dari pemilu 1955 dimana penjelasan megenai afiliasi politik diberikan pada empat partai besar yakni PKI mewakili abangan, NU mewakili santri tradisional, Masyumi mewakili santri modernis dan PNI priyayi17. Dalam memberikan labelisasi pada elit yang berpolitik, elit santri di Krecek seperti Suyono yang menjadi kepala sekolah MAN Krecek menyebut terdapat istilah ijo, yang merujuk pada klasifikasi warna parpol seperti PKB dan PPP. Istilah ini merupakan perkembangan dari konsep ijo royo-royo PPP yang berkepentingan untuk memelihara dukungan politik dari NU di masa Orde Baru. Pejabat desa memang masih sering disebut-sebut sebagai bagian dari kelompok priyayi. Kepala desa Krisbanu yang menjabat sejak awal tahun 1999 merupakan salah satu diantara sedikit keluarga priyayi yang tersisa. Kelompok ini cenderung berideologi nasionalis dan berdiri ditengah-tengah ketika terjadi konflik horizontal diantara ormas keagamaan. Sekalipun saat ini karakteristiknya sudah sangat berbeda. Kapasitas priyayi pada masa lalu dilekatkan pada orang yang bekerja
17
Dalam pendapat lebih lanjut Suhadi meragukan kesimpulan Robert Cribb bahwa konflik horisontal pada tahun 1956-66 lebih berdimensi ekonomi. Dia mengungkap dari cerita lisan yang beredar di Jawa yang menyebutkan bahwa polarisasai aliran ternyata tumbuh subur, Suhadi, Transformasi Politik Aliran, kompas, 11 agustus 2004.
104
untuk negara. Mereka mempunyai sikap yang tidak terlalu suka melakukan pergaulan di masyarakat. Eksklusivitas yang dibangun sebagai pembatas interaksi sosial dengan masyarkat pada lahirnya membuat adanya penghormatan yang berlebihan terhadap mereka. Tetapi sekarang kelompok priyayi atau sikap-sikap yang diwariskannya relatif sudah mulai menghilang. Sebab utama menghilangnya sikap priyayi adalah kegiatan pengajian yang didesain oleh para Kiai pada masa lalu sebagai alat untuk mengeliminasi peran PKI di masyarakat. Cara tersebut juga efektif dipakai menjadi salah satu media mengurangi eksklusifitas dalam pergaulan masyarakat. Semakin sering berkumpul dengan warga biasa maka dengan sendirinya yang disebut priyayi itu akan banyak “srawung’ dengan banyak warga, oleh sebab itu rasa priyayi itu akan melebur dengan sendirinya. Pertentangan normatif itu menghasilkan usaha-usaha untuk mempertegas identitas personal dan kelompok. Banyak pihak kemudian muncul dan mengklaim sebagai bagian dari kelompok santri ketika mempunyai keinginan untuk terlibat dalam kegiatan sosial politik. Didalam ranah pengambil kebijakan desa, pertentangan ini mempengaruhi keterlibatan kelompok-kelompok abangan dan majapahitan untuk lebih bersuara. Proses-proses seperti musyawarah desa atau juga pertemuan informal lainnya menjadi media perebutan kepentingan diantara masing-masing kelompok.
105
2.Pengakuan terhadap Perbedaan Afiliasi Politik Masyarakat Krecek merupakan tipologi masyarakat tradisional yang heterogen. Mereka mengenal berbagai ormas keagamaan. Demikian juga dengan hubungan antara ormas dengan parpol. Sejak parpol ramai-ramai berdiri, parpol yang relatif mendapatkan dukungan adalah PPP, PKB, PDIP, Golkar dan PAN. Semua parpol mendapatkan suara meskipun yang terbesar adalah PKB, PDIP dan Golkar. Mobilisasi dukungan yang dilakukan oleh kader parpol mendapatkan ruang yang terbuka. Tetapi, semakin riuh mobilisasi yang dilakukan justru tidak mampu menghasilkan dukungan yang signifikan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Geertz bahwa kecenderungan santri untuk memilih parpol Islam dan abangan yang bergabung dengan Kristen dan Hindu yang mendukung parpol nasionalis (Geertz 1960) tidak begitu saja bisa diabaikan. Hal tersebut juga diperkuat oleh King (2003: 51) bahwa dalam pemilu Pasca Orde Baru terdapat replikasi pembilahan agama dan kemasyarakatan seperti tahun 19055. Ini bisa dilihat dari keberadaan parpol-parpol utama yang bisa mendapatkan dukungan lintas daerah dan menjadi perbedan yang signifikan. Afiliasi politik yang beragam dalam masyarakat Krecek dan adanya pengakuan terhadap masing-maisng pilihan disebabkan oleh rasa trauma yang masih membekas dari pertentang antar ormas pada masa lalu yang diulas dalam bab sebelumnya. Sebagian besar warga masyarakat menginginkan terpenuhinya proses politik yang dewasa dan bebas dari konflik diantara mereka sendiri. Faktor yang mempengaruhi disamping berasal dari masyarakat sendiri juga dari interaksi yang
106
dibangun dengan daerah luar. Pengaruh tersebut dibawa oleh generasi muda yang telah merantau keluar dan merasa mempunyai hak politik yang sama. Dalam hal yang lebih khusus lagi perbedaan bukan menjadi penghalang untuk tetap berinteraksi dan beraktivitas keagamaan. Bentuk pengakuan tersebut tampak pada proses kampanye parpol dimana masing-masing dusun yang ada merupakan tempat basis parpol yang berbeda-beda. Di dusun yang kelompok abangannya tinggi, PDIP mempunyai suara yang mayoritas. Sebaliknya di dusun yang tradisi santrinya sangat kental, PKB dan PPP mempunyai suara terbanyak. Sedangkan Golkar mempunyai suara yang hampir merata dusun. Parpol baru seperti partai Demokrat juga mendapatkan suara yang lumayan banyak. Dalam soal kepengurusan parpol, perolehan suara tidak lagi didasarkan pada siapa elit yang berpengaruh di dusun tersebut. Pimpinan PKB kebanyakan tinggal di Krecek dan Sumberagung. Sedangkan PAN banyak tinggal di Nepen yang mayoritas warga NU. Demikian juga di Nepen sebagian besar pemimpin PDIP tinggal. Alasan yang bisa menjelaskan mengapa PKB dan PDIP mendapatkan dukungan luas adalah faktor romantisme. PKB dianggap merepresentasikan kekuatan politik santri karena banyak elit NU yang menjadi figur didalamnya. Sementara PDIP dianggap mewakili kepentingan rakyat kecil. Pengakuan akan kesamaan hak untuk berpartisipasi dalam proses politik baik dengan menjadi simpatisan atau elit parpol dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat bahwa politik adalah agenda lima tahunan. Di Nepen, pengakuan tersebut diwujudkan dengan sikap saling mengejek antara kader parpol satu dengan lainnya tetapi hal ini bukanlah persoalan besar. Seperti yang
107
ditutukan oleh salah satu elit Muhammadiyah yang menjadi pengusaha kolam bahwa isu politik yang dibawa parpol bukanlah isu yang perlu ditanggapi karena sarat dengan nuansa eforia sesaat.
3.Akomodasi NU terhadap Ormas yang lain NU merupakan ormas yang paling kuat dan menempati mayoritas dalam afiliasi ormas. Proses santrinisasi yang dilakuman pada awal-awal pemerintahan Orde baru semakin menambah kekuatan sosial politik NU. Sekalipun demikian warna abangan didalam NU juga maish tampak diantaranya ketika dihadapkan pada alasanalasan untuk memilih parpol. Proses pengkaburan batas dalam politik aliran yang diletakkan Geertz, disebut menghasilkan “santrinisasi abangan” dan santrinisasi priyayi (Machasin 1993). Suhadi (2004) melihat potensi NU sebagai ormas besar memiliki modal kultural yang efektif untuk melakukan santrinisasi abangan atau priyayi sehingga ketegangan antara santri dan abangan dapat dijembatani oleh institusi yang ada.
Melalui forum-forum yang digerakkan oleh NU, kelompok
abangan merasa berada dalam komunitas santri tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai abangan. Cara yang digunakan NU untuk mempertahankan kesadaran sosial politik warganya adalah menempuh jalan tengah yakni sikap akomodatif terhadap perbedaan-perbedaan pilihan politik yang ada. Sebelum membahas tentang politik akomodasi, terlebih dulu harus dijelaskan mengenai modal dan jaringan NU Krecek dengan daerah sekitarnya. Dalam tradisi NU dikenal kegiatan Bahtsul Masa’il yang
108
diikuti oleh baik elit maupun akar-rumput santri. Disekitar Krecek, acara tersebut dijalankan secara bergilir dari satu kepengurusan ranting NU ke lainnya. Tujuan digelarnya acara tersebut bukan untuk mencari siapa yang paling benar dan masingmasing elit pesantren pengikutnya membawa pulang satu klaim kebenaran tafsir. Tujuan utamanya adalah untuk mendiskusikan pendapat yang bisa dipertahankan sesuai dengan posisi dan landasannya masing-masing.Bahtsul Masa’il mengeluarkan rekomendasi berupa fatwa terbuka atas hukum-hukum yang akan dipakai sebagai rujukan bagi ummat. Tetapi dalam kondisi tertentu, Kiai bisa meberikan jawaban langsung terkait dengan hal-hal yang bersifat insidentil. Persoalan pertangungjawaban bukan lagi menjadi hal yang utama karena mengacu pada kamandirian dan otoritas penafsir dari Kiai merupakan hasil dari pengausannya yang mendalam terhadap agama. Dalam kegiatan tersebut, terdapat pengaruh-pengaruh yang muncul dari wacana yang dibawa oleh para sarjana keagamaan yang berusia muda diantaranya konsepsi mengenai syari’ah demokratik atau juga tatakelola pesantren yang lebih banyak memasukkan ilmu-ilmu umum. Perubahan yang dibawa memang tidak terlalu besar karena sebagian besar dari elit santri yang ada masih memegang tradisi konservatif dalam menentukan produksi wacana seperti fatwa. Pengaruh kelompok muda terdidik menyumbang gagasan yang besar melalui saluran-saluran pendidikan dan utamanya gerakan sosial alternatif seperti LSM. Di Krecek, beberapa pemuda merupakan pengurus LSM yang ada di kota Pare atau Kediri.
109
Wajah moderat NU menjadi lebih tampak dan strategi akomodasi juga telah menempatkan NU sebagai ormas yang bisa menjadi pijakan bagi semua kekuatan sosial politik. Dalam pembahas mengenai peranan NU dan pesantren, terlebih dulu perlu dikenali bahwa NU merupakan ormas dan pesantren merupakan anggota didalamnya. Latarbelakang sejarah NU yang dominan membuatnya mendapatkan porsi penting dalam kehidupan sosial politik. Didalam NU sendiri diakui adanya institusi tarekat yang berjumlah 44 buah. Di Krecek, terdapat MD dan LDII yang jumlahnya cukup signifikan. Sementara aliran lain yang juga masuk kultur NU adalah tarekat Qadariyah wal Naqsabandiyah dan Naqsabandiyah. NU merupakan entitas yang pada kenyataannya bisa dibagi menjadi kekuatan struktural dan kultural (diagram 5). NU strukural dikendalikan berdasarkan garis hirarki sampai tingkat pusat (Pengurus Besar). Kiai Zaini Khudori merupakan tokoh NU struktural karena bertahun-tahun menjabat dalam kepengurusan baik sebagai Tanfidziyah (eksekutif) dan Syuriah (penasehat). Sedangkan NU kultural merupakan bagian dari aktualisasi akar-rumput NU atau juga elit yang tidak termasuk dalam NU struktural tetapi memainkan peran dalam dakwah dan interaksi di tingkat jam’iyah (anggota). Beberapa diantara kekuatan kultural NU adalah pengajian di langgar yang dikelola oleh banyak Kiai dusun dan juga para tuan tanah dan beberapa pejabat desa. NU berkepentingan untuk menjaga hubungan baik dengan ormas lainnya. Sebagai mayoritas bentuk hubungan tersebut dituangkan dalam politik akomodasi dimana elit-elit NU membuat ruang komunikasidengan elit ormas lainnya. Tujuantujuan untuk menjaga stabilitas sosial dan hubungan keagamaan yang rukun
110
merupakan hal yang menonjol. Meskipun demikian bisa ditemukan juga aspek politisnya karena elit MD dan LDII kebanyakan adalah pemilik tanah yang mempekerjakan banyak buruh tani anggota NU. Selain itu, dukungan lain yang diharapkan datang dari politik akomodasi ini adalah dukungan personal dimana elit NU yang mengelola sekolah atau duduk sebagai wakil dalam institusi publik bisa mendapatkan bantuan yang memadai. Politik akomodasi berguna untuk menjembatani perbedaan-perbedaan dalam cara dakwah seperti dari Tarekat yang mempunyai agenda rutin pengajian setiap minggu. Perebutan pengaruh dan anggota di masa lalu antar ormas keagamaan telah membawa perubahan yang begitu penting. Menyangkut hubungan antar ormas, NU bisa menampilkan dirinya sebagai ormas yang paling mempunyai banyak mengikut dan pemeliharaan anggota yang dilakukannya terbukti efektif. Faktor yang membuat NU bisa berkembang adalah kedekatan yang diikuti dengan pembelaan pada kebudayaan lokal. Politik akomodasi menjadi agenda yang dijalankan selama bertahun-tahun dan meskipun beberapa kali mengalami modifikasi, tetapi hampir semua pendekatan yang dilakukan bisa lebih diterima oleh sebagian besar masyarakat. Perhatian besar harus diberikan pada pembagian informal antara NU struktural dengan NU kultural. Dari segi organisatoris, NU mempunyai hirarki kepengurusan yang aktif. Ditambah dengan dukungan organisasi sayap seperti muslimat, fatayat dan juga institusi pendidikan Ma’arif, organisasi NU bisa menampung segenap aktivitas yang diperlukan oleh masyarakat. Kiai desa menajdi
111
figur yang penting dan mewakili kepentingan elit. Tetapi tidak semua Kiai desa menjadi pengurus teras NU. Muslimat mempunyai jaringan pengajian yang dikelola oleh kaum perempuan. Dalam pengajian yang diadakan, pemberi ceramah adalah para Kiai. Pada acara pertama, muslimat NU terlihat mempunyai basis dukungan dari kelangan perempuan yang kuat karena mempunyai pengikut militan yang banyak. Meskipun sebenarnya acara ini diperuntukkan bagi ibu-ibu, yang memberikan ceramah adalah Kiai dan tema yang diusung dalam ceramah ini adalah hubungan antara ibu dan anak-anaknya. Diagram 4: Alur Akomodasi Politik NU Error! NU Kultural
Tarekat QadiriyahNaqsabandi yah
NU Struktural
Fatayat, Muslimat, Ansor, Maarif
Pengajian, takmir masjid
Pesantren
Forum Desa
Muhammadiya h
Institusi Publik Lainnya
LDII
112
Keterangan: Garis koordinasi langsung Garis afiliasi langsung
Politik akomodasi ini dilakukan oleh elit melalui serangkaian agenda pertemuan informal yang digelar secara bergiliran di masing-masing tempat Kiai. Di pihak akar-rumput, pandangan hidup yang dipegang dan sebagai indentitas adalah sikap yang fleksibel dan terbuka terhadap perbedaan kepentingan yang secara keagamaan bukanlah hal yang substansial. Pola akomodasi yang dilakukan oleh NU terhadap ormas lainnya menghasilkan produk berupa stabilitas sosial politik. NU sendiri tidak bermain dalam pemberdayaan ekonomi dengan membuka hubunganhubungan resmi dengan institusi-institusi pemberi modal untuk bekerja. Dibidang keagamaan, NU menggelar pengajian rutin yang dilakikan secara bergiliran dirumahrumah anggota. Setiap dua bulan sekali menggelar acara Yasin kubro yakni pembacaan surat yasin dan istigitsah bersama-sama yang dilanjutkan dengan ceramah agama dengan mendatangkan Kiai besar dari daerah Jombang atau Kediri Politik akomodasi berlangsung di arena eksternal karena NU tetap berkepentingan mengamankan dukungan anggotanya dari intervensi ormas lainnya. Karakteristik umum yang bisa dilihat dari usaha-usaha tersebut adalah soliditas ketika berhadapan dengan kelompok lain diluar NU semisal Muhammadiyah dan LDII. NU sendiri tidak terlihat melakukan resistensi dengan membatasi dakwah ormas lainnya melainkan lebih melakukan politik kompetisi dalam rangka mencari pengaruh dan memelihara ummatnya masing-masing. Sebelum dibentuknya FKU, memang terdapat
113
langkah-langkah untuk mengamankan warga NU dari pengaruh ormas lain, utamanya LDII. Kiai dalam setiap ceramah bergilirnya memberikan pengertian yang lebih khusus yang termuat dalam materi pengajian yang diberikan dimana kerap menyindir ormas lain secara eksplisit. Cara ini berlangsung dengan halus sehingga tidak tampak adanya indikasi penyemaian bibit-bibit sentimen terhadap ormas lain. Cara ini berbeda dengan pasa awal dakwah LDII yang begitu anti terhadap NU dan melakukan penghinaan secara terang-terangan dengan merusak bedug. Akibatnya, di dusun Sumberagung, jamaah LDII tidak begitu berkembang karena sikap yang keras dan cara dakwah yang kaku. Mereka juga cenderung eksklusif yang menjadi sasaran empuk bagi NU untuk melakukan penyempitan gerakan mereka. Anggota NU sekilas terlihat begitu cair dan karenanya manifestasi keanggotaan terlihat dalam acara-cara yang digelar oleh NU. Berbeda dengan LDII yang terikat dalam sistem komando dalam perintah politik dan agama, setidaknya ini begitu kelihatan di Sumberagung. NU mengambil jalan tengah dalam melaksanakan dakwahnya, dengan melihat situasi dan kondisi yang ada. Misalnya seorang yang mempunyai pekerjaan sebagai pencari katak dan mengkonsumsinya, tetapi dalam dakwah didepan itu metode yang digunakan oleh NU tidak langsung disinggung mengenai pekerjaannya yang haram, dengan demikian warga tersebut tidak tersinggung dan mau untuk tetap mengikuti dakwah yang dilakukan. Cara kedua yang dilakukan oleh NU untuk mengambil hati warga dan mempermudah proses
114
santrinisasi adalah dengan menjadikan mereka pengurus meski berada pada tingkatan yang paling bawah. Proses ini digunakan untuk mengambil hati warga sehingga mereka merasa dihargai. Ketika ada warga yang belum mau untuk mengikuti pengajian, maka ia diberi undangan samapai beberapa kali. Dengan kata lain butuh proses untuk mengambil hati warga, sehingga rasa sungkan yang ada dalam diri warga ketika berhadapan dengan orang-orang yang mempunyai tingakat keimanan yang tinggi bisa diminimalisir. Tingkat akomodasi yang tinggi ini kemudian membuat kelompok-kelompok abangan berani untuk bergabung dan melibatkan diri dalam segala aktivitas NU. Dimensi politik NU terkait erat dengan khittah, ketika NU berpolitik praktis sebagai parpol, maka yang terlihat adalah pola organisasi politik dalam rangka mendapatkan kekuasaan baik dalam pemerintahan atau institusi formal lainnya termasuk juga didalamnya sumber daya ekonomi. Tatkala NU berfusi kedalam PPP, NU tidak berpolitik secara praktis melainkan hanya beberapa orang saja sementara corak dakwahnya mulai ditata kembali. Baru pada tahun 1984 ketika NU memutuskan keluar dari PPP dan kembali untuk tidak berpolitik praktis dan hanya berperan sebagai ormas keagamaan, NU menjaga jarak dengan parpol sambil melanjutkan proyek besar NU-isasi yang pernah terhenti karena kekurangan energi untuk merawat warganya. Kembali ke khittah disini dimaknai sebagai kembali pada bentuk jam’iyah, Sedangkan politik hanyalah merupakan siasat bagi NU yang tidak berarti
115
meninggalkan secara keseluruhan karena NU tetap berpolitik dalam pengertian yang lain yaitu menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar makruf nahi mungkar). Metode yang dipakai dalam pengajian, tema yang diberikan tidak secara langsung disebutkan, sehingga orang yang belum 100% menerima ajaran NU bisa tetap mengikuti dan tidak langsung menjauhi NU karena merasa tidak cocok. Dalam pengajian yang tetap diajarkan adalah masalah akidah, fiqih dan tasawuf. NU sendiri dalam rujukannya dari kitab fiqih tidak langsung dari hadist, hal ini berlainan dengan Muhammadiyah18 yang merujuk hadist terlebih dahulu. NU beranggapan bahwa otak manusia terbatas, oleh karena itu tidak dirujuk hadist terlebih dahulu sehingga tidak mempersulit manusia itu sendiri. Dalam melakukan dakwah atau pengajian, NU juga sangat fleksibel pelaksanaannya disesuaikan dengan latar belakang jamaah yang mengikuti pengajian. Jika latar belakang jamaahnya sebagian besar adalah pedagang maka pengajian tidak dilakukan disiang hari karena tidak mungkin akan datang banyak jamaah, mereka disiang hari melakukan kegiatan ekonomi dipasar. Kalau latar belakangnya sebagian besar pegawai negeri, maka pengajian dilakukan pada hari libur, misalnya minggu sore. Begitulah NU mengembangkan metodenya sehingga bisa berkembang dan proses santrinisasi bisa berjalan. Garis yang membedakan NU dengan ormas lainnya adalah pemaknaan atas konsep kebangsaan yang mengacu bahwa dalam Islam masalah akidah tidak bisa 18
Keterangan lebih lanjut tentang Muhammadiyah bisa ditelusuri dalam Alfian, Muhammadiyah: The Political Behaviour of a Muslim Modernist Organization under Dutch Colonialism, Yogyakarta, GMU Press, 1989.
116
dicampur dengan yang lain. Sedangkan dalam urusan ekonomi umat muslim bebas berhubungan dengan siapa saja termasuk orang kafir. NU mempercayai adanya orang-orang yang khusus menangani hal ini karena perbedaan tingkat (maqam) seseorang. Upaya NU-isasi seperti mengurangi kepercayaan adat lama memang bisa dilihat hasilnya dengan menyurutnya animo masyarakat untuk menontonnya. Para Kiai menggantinya dnegan istighotsa yang mampu menyerap banyak orang. Meskipun di 3 dusun yakni Bumirejo, Mulyorejo dan Pulorejo masih diadakan, tetapi desa tidak memberikan dukungan pendanaan atau yang lain. Aparat desa memang tidak berhak untuk melarang acara-cara tersebut karena sudah masuk wilayah kepercayaan dan istiadat lama karena beberapa pelakunya percaya kalau acara tersebut tidak digelar, maka akan ada bencana yang datang. NU tidak ikut serta dalam pengolahan air dan perekonomian, memang NU mempunyai leembaga perekonomian sendiri tetapi tidak sampai mendominasi pengolahan air dan ekonomi di desa Krecek. NU hanya menganjurkan dan memberi peringatan kepada anggotanya yang mengikuti atau turut serta dalam kegiatan perekonomian dan pengolahan air untuk tetap berpegangan dengan agama, jangan sampai keluar dari akidah. Dalam mengatur hubungan antar manusia (hablum minannas), NU sudah memberikan landasan berinteraksi seperti cara berkomunikasi yang baik, mengelola pergaulan yang sehat dan tidak menganggu orang lain. Pengolahan air, pembenihan ikan, pertanian atau aspek sosial ekonomi lainnya diserahkan sepenuhnya pada pelaku yang bersangkutan. Rata-rata warga NU suka
117
berhubungan satu dengan lainnya tidak hanya ketika pengajian saja tetapi sehabis shalat atau kumpul di warung untuk membicarakan persoalan sehari-hari mereka. Pengajian adalah media transformasi ilmu keagamaan sementara warung lebih pada media komunikasi
diantara masyarakat
untuk
membicarakan
urusa sosial
kemasyarakatan.
4.Integrasi Politik melalui Media Kultural Politik seringkali dipahami sebagai sebuah cara memilih yang paling rasional. Sebaliknya, apabila terdapat hubungan-hubungan penundukan dalam rangka mempengaruhi pilihan politik, maka hal tersebut termasuk dalam pola patron-klien. Integrasi politik merupakan langkah konsolidasi tertutup dimana peran elit sangat menentukan. Kelompok akar-rumput kemudian menyetujui apa saja pilihan dan jalan politik elit. Bentuk-bentuk integrasi politik biasanya mengacu pada pemberian insentif tertentu atau persamaan kepentingan dimana elit dan akar-rumput bisa bersama-sama menyatukan tujuan dan strateginya. Masyarakat Krecek mempunyai kepercayaan pada tradisi leluhur seperti sedekah bumi dan segala perhitungan Jawa untuk menetapkan hari-hari baik. NU merupakan ormas yang berkepntingan besar untuk memperluas keanggotaan dan militansinya tanpa mengorbankan aspek tradisi. Hal-hal yang menjurus sirik misalnya, coba dikikis melalui pengajian sehingga masyarakat bisa sadar dan tradisi ini mulai luntur dengan sendirinya dari dalam. Seperti dalam acara nyadran yang bisa dipakai untuk menunjuk tingkat
118
keimanan seseorang. Apabila orang itu melakukan nyadran hanya sebagai perantara karena masih percaya yang memberi keselamatan desa adalah Tuhan, maka tradisi ini tidak apa-apa. Tetapi sebaliknya, apabila hal ini dilakukan karena masih percaya bahwa nyadran sebagai media untuk berhubungan dengan makluk halus yang menjaga keamanan desa, maka tindakan ini perlu untuk dikikis. NU yang menawarkan cara lain untuk mengganti tradisi sedakah bumi ini dengan mengadakan istiqosah, sama-sama berbentuk selamatan tetapi maknanya sangat berbeda, dan istiqosah tidak membutuhkan banyak biaya yang harus dikeluarkan. Tokoh-tokoh yang menjadi sponsor atau tokoh utama pelaksanaan sedekah bumi adalah orang-orang tua yang secara formal muslim tapi masih memegang kepercayaan yang sudah ada sejak dahulu. Orang-orang yang demikian disebut sebagai majapahitan atau juga kejawen. Tokoh-tokoh utama dalam tradisi ini biasanya mempunyai ilmu atau sering disebut paranormal, sehingga masih saja orang awam yang tidk mempunyai ilmu agama yang baik masih mengikuti tradisi ini. Para Kiai tidak bisa melakukan tindakan frontal terhadap para orang tua ini dan menyiasatinya dengan strategi lain yaitu melaksanakan pengajian secara bergilir dari rumah ke rumah, sehingga ketika tiba giliran di dekat rumah orang yang masih percaya sedekah bumi, orang itu paling tidak akan ikut membantu pelaksanaan pengajian dan pada akhirnya bisa mengikuti pengajian itu. Cara lain yang digunakan adalah dengan mengabungkan pengajian dan arisan, dengan cara ini orang awam yang tidak tertarik pengajian akan tetap mengikuti
119
kegiatan ini karena tertarik arisannya. Seiring waktu, diharapkan orang tersebut akan mengikuti pengajian juga setelah terbiasa berkumpul dengan orang yang biasa mengikuti pengajian. Integrasi berbasis kepercayaan ini merupakan petunjuk bahwa santrinisasi abangan tidaklah dilakukan dengan menanggalkan segala atribut kelompok abangan sendiri. Media kultural seperti merubah makna dari selametan menjadi istigotsah merupakan langkah yang efektif dalam memberikan dukungan dari klaim adanya santrinisasi abangan dan priyayi. Dalam taraf yang lebih lanjut, selain jumlah santri semakin banyak juga diikuti dengan posisi tawar yang tinggi terhadap negara dan kekuatan politik yang lain.
B.Inklusi Personal dalam Institusi Keberadaan seseorang didalam institusi bisa menambah kekuatan sosial politik yang bersangkutan. Elit santri terdiri dari para Kiai dalam berbagai tingkatan. Saat ini tipologi Kiai sebagai representasi elit keagamaan santri telah mengalami perubahan dan menjadi terfragmentasi kedalam beberapa tingkatan. Hal ini menyebabkan elit santri harus memikirkan mengenai posisi dan peran sosial politiknya yang baru. Inklusi personal didalam institusi telah menghasilkan perubahan penting dalam perbaikan kapasitas institusi disatu sisi dan pengembangan atau perluasan suara-suara akar-rumput yang bisa tersampaikan dalam suasana egaliter.
120
Masyarakat Krecek sebagaimana pembahasan tentang kohesi sosial diatas, Ormas sebagai institusi struktural dari elit santri telah menyebabkan terjadinya inklusivitas atas peran mereka dalam lingkup organisasional atau kemasyarakatan. Selain itu dengan beragamnya peran dan fungsi Kiai di masyarakat, terdapat usaha untuk membatasi peran birokrasi dan birokratisasi didalam ruang organisasional mereka. Hal ini bukan berarti membuat ormas juga mempunyai tipikal yang birokratis karena otoritas Kiai kemudian terbagi berdasarkan wilayah kekuasaan atau pengaruh yang hampir sama dengan pembagian administratif pemerintahan desa. Dengan inklusi personal dalam institusi terdapat keuntungan lainnya yaitu munculnya aktor-aktor baru sebagai bagian dari perluasan jaringan dari kekuatan santri sendiri. Aktor-aktor tersebut bukanlah hasil reproduksi sejarah elit tetapi terbentuk dari perubahan politik dalam tingkat makro. Keberadaan mereka bisa menjadi bagian pemberdayaan akar-rumput dari luar ormas.
1.Keragaman Tipologi Kiai Di Krecek, tidak semua Kiai mempunyai pesantren. Meskipun tidak bersifat formal, tipologi Kiai kian menjadi lebih beragam. Terdapat pembagian kerja berdasarkan tingkat pengaruhnya di desa. Juga posisi strategisnya sebagai penghubung atau mediator dengan birokrasi dan politisi. Pembagiannya ada empat yaitu, Kiai desa yang beranggota tiga orang yaitu Kiai Ahmad Jawahir yang memimpin tarekat Qadariyah wan-Naqsyabandiyah aliran Cukir. Dia juga aktivis PPP dan mengelola sebuah surau keluarga yang mempunyai pengikut orang-orang tua.
121
Kemudian ada Kiai Yunus Mubari, guru agama dan pedagang minyak tanah. Dia juga mempunyai sekolah agama yang berlokasi di luar desa. Selain itu dia merupakan pimpinan tarekat Qadriyah wan-Naqsyabandiyah an-Nahdliyah aliran Kencong. Lalu Kiai Zaini Khudori,pemilik satu-satunya pesantren dan sekolah keagamaan yang ada di Krecek. Dia adalah menantu pemilik pesantren besar Sumbersari Kiai desa menepati posisi penting sebagai pihak yang dituakan dan memimpin do’a dalam setiap acara baik yang bersifat keagamaan atau yang diselenggarakan oleh desa secara bergiliran. Dalam acara-cara tingkat desa, ketiga Kiai ini menentukan keputusan-keputusan menyangkut kehidupan bermasyarakat seperti pelaksanaan Forum Umat Islam (FUI). Diagram 5 : Diferensiasi Peran Kiai
Kiai Desa
Error!
-Diangkat secara informal oleh masyarakat desa -mempunyai Pengaruh di tingkat desa -memimpin Acara keagamaan tingkat desa
Kiai Dusun
-Mengkoordinasikan semua masjid di tingkat dusun -Memimpin Acara tingkat dusun
Kiai Mushala
-Memimpin takmir masjid -Mengelola agenda masjid
Dibawah Kiai desa terdapat Kiai dusun yang bertugas memelihara keberlangsungan kehidupan beragama di tingkat dusun (diagram 6). Mereka mengelola surau atau langgar juga masjid yang berada di masing-masing dusun.
122
Dalam acara-acara keagamaan dan pemerintahan, mereka bertugas untuk duduk sebagai salah satu pihak yang melegitimasi keputusan-keputusan dusun. Didalam satu dusun berdiri rata-rata 2-3 pusat atau tempat ibadah yang dikoordinasikan oleh mereka. Dibawah Kiai dusun ada Kiai masjid, surau dan langgar yang mengelola takmir masjid. Mereka bertugas menjadi imam dan menentukan segala aktivitas masjid. Kebanyakan Kiai masjid adalah lulusan pesantren kecil dan relatif tidak mapan dalam urusan ekonomi. Banyak diantara mereka yang tidak menyandang gelar Haji. Banyak Kiai di krecek yang tidak menyelesaikan pendidikan secara penuh dipondok, sehingga tingkatan ilmu agamanya tidak terlalu tinggi, inilah yang membedakan dengan Kiai yang secara penuh mengikuti pendidikan di pondok. Kiai yang secara penuh belajar dipondok diajari untuk langsung mempraktekkan ilmunya ke masyarakat sehingga mereka tidak merasa canggung ketika di dalam masyarakat. Dalam pandangan beberapa Kiai senior seperti Kiai Yunus yang beranggapan bahwa pengajian adalah media dakwah dan bukan politik. Instruksi dari guru dipondokan asal Kiai belajar akan ditaati sepanjang berkaitan dengan persoalan keagamaan saja. Mereka hanya menuruti instruksi yang berhubungan dengan ilmu, karena ilmu itu tentang kebenaran asal tidak bertentangan dengan agama. Sementara dalam bidang politik, para Kiai lokal menganggap belum tentu mengandung kebenaran, maka banyak instruksi yang tidak harus dijalankan apabila berhubungan dengan politik. Kiai Yunus Mubari melihat bahwa keterlibatan Kiai dalam politik praktis harus disertai dengan landasan yang jelas, mengingat politik itu penting dan juga
123
dibutuhkan, tapi hal itu hanya siasat. Boleh berpolitik asal tidak bertentangan dengan agama, tidak berpolitik kotor dan tetap menggunakan dasar agama, tasawuf dan fiqih. Kalau hanya politik yang diutamakan, maka hanya dunia saja yang diutamakan Ketika karir politiknya jatuh, maka ia akan hancur didepan masyarakat dan juga didepan Tuhan karena tidak mengutamakan ajaran agama. Bagi Kiai Yunus, berpolitik dalam kacamata NU saat ini bisa dimanifestasikan dengan memberi saran pada pembuat kebijakan agar sesuai dengan kebutuhan dan kebaikan umat. Sebagai ormas, NU juga menolak model kampanye politik yang melupakan ibadah dan contoh yang tidak baik lainnya oleh elit politik. Kiai yang berpengaruh di Krecek adalah lulusan pesantren besar di Lirboyo, Kencong atau Tambakberas. Kiai yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pesantren Sumbersari seperti Kiai Zaini adalah menantu dari pemangku pesantren tersebut lebih banyak mendapatkan sokongan yang bersifat kontinyu. Berbeda dengan Kiai Jaiz yang juga alumni pesantren Sumbersari yang akhirnya memanfaatkan jaringan tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah versi Peterongan. Kiai Jawahir sendiri adalah alumni pesantren Jombangan dan Kiai Yunus alumni Lirboyo. Sebagian besar Kiai tersebut adalah pengelola aliran tarekat Qadiriyah wan-Naqsabandiyah yang terafiliasi kepada dua pesantren besar yaitu Kencong di Kediri dan Rejoso di Jombang. Tarekat yang berada di Kencong sebenarnya merupakan bagian dari Rejoso tetapi karena mursyid-nya berpihak ke Golkar, mereka mendirikan aliran sendiri. Penyebaran Kiai membuat santrinisasi yang dilakukan didusun yang dulu pernah menjadi basis PKI seperti di Bumirejo dan Pulorejo berjalan efektif. Seperti
124
kehadiran Kiai Bisri dari Krecek yang mendirikan surau dan sekarang menjadi masjid besar lengkap dengan pengajian empat kali dalam seminggu. Istighotsah dan yasin Kubro merupakan media jaringan Kiai untuk memberikan pendapat dan juga menenamkan perspsi politik terhadap masyrakat yang mengikutinya. Dalam acara ini, setiap pemuka agama mendapatkan kesempatan untuk memberikan sambutan, pemimpin doa dan memberi ceramah pengantar sebelum pengajian yang menghadirkan beberapa Kiai besar dari Jombang dan Kediri secara bergiliran. NU menjadi ormas dan media tempat dimana kehendak politik personal juga mendapatkan tempat yang memadai. Dalam acara yasin kubro, pihak-pihak lain yang mendapatkan kesempatan untuk memberikan sambutan juga mempunyai hak untuk menyampaikan kampanye terselubung seperti takmir masjid yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala dusun atau kepala desa. Tetapi peserta yang hadir bisa memberikan respon secara langsung yang berisi penolakan pada model kampanye yang memanfaatkan media pengajian. Terdapat petunjuk jelas bahwa acara tersebut juga diperuntukkan sebagai bagian untuk membangun harmonisasi diantara warga yang berlainan kepercayaan. Pengertian harmonisasi sendiri merujuk pada tempat bertemunya segala macam kepentingan diluar pengajian sendiri, utamanya pembagian posisi diantara Kiai sendiri seperti K.H Zaini Khudori sebagai pemilik pesantren kecil di dusun Balongmanyar dengan seolah madrasah yang dikelolanya. Dia juga menjadi tokoh mubaligh yang kerap memberikan ceramah-ceramah agama dan juga sindiran serta kritik pada pemerintah. Ada K.H Ahmad Jawahir yang ahli dalam memimpin do’a.
125
Juga Kiai Jaiz yang menjaga gerbang NU di dusun Bumirejo. Tidak ada perebutan pengaruh diantara Kiai sendiri meskipun sering berbeda pendapat. Para Kiai tersebut tidak kaya secara materi. Terlihat dari model rumah dan perabotan serta dandanannya yang sederhana. Beberapa diantaranya lebiih suka memberikan tanah yang dia punyai untuk diwakafkan atau mengelola tanah wakaf dari warga lainnya untuk bangunan pendidikan keagamaan. Seluruh sekolah keagamaan di Krecek, mulai TPA sampai Madarasah Aliyah merupakan hasil wakaf warganya yang dikelola oleh para Kiai dan beberapa santrinya. Di seluruh Krecek, di masa lalu, jumlah Kiai hanya pada kisaran 3 orang dan mereka aktif dalam agenda-agenda NU di tingkat paling bawah. Sementara pada saat ini, ditingkat desa, yang dianggap Kiai ada 3 yang diukur berdasarkan senioritas dalam organisasi dan kemampuan keagamaan dari sisi perangkat desa sendiri yaitu Kiai Haji Zaini Khudori, tinggal di Balungmanyar, pendatang, pengasuh ponpes yang berlatarbelakang petani kecil, dia juga seorang mubaligh keliling dan menempati posisi sebagai rois Syuriah di NU. Lalu ada Kiai Haji Ahmad Jawahir, tinggal di Krecek, pemilik surau kecil yang punyai jama’ah orang-orang tua, petani kolam dan mantan aktivis PPP. Kemudian Kiai Haji Yunus Mubari atau akrab dipanggil Mbah Yunus, tinggal di Nepen, pendatang, pedagang minyak, aktivis tarekat dan mempunyai yayasan pendidikan diluar desa Krecek. mereka semua bertugas untuk melakukan koordinasi kegiatan keagamaan di tingkat desa. Ditingkat dusun, masing-masing juga terdapat Kiai dan rata-rata bukanlah Kiai haji atau lulusan terbaik dari pesantren. Beberapa diantaranya memang pernah
126
belajar di Pesantren. Lalu ada juga Kiai lain yang mengelola musola di dusun atau menjadi imam dan khotib shalat jumat atau harian. Ada fenomena menarik di di dusun Mulyorejo dan Bumirejo, Kiai ditingkat dusun ternyata bisa juga untuk dilengserkan ketika masyarakat menganggap bahwa Kiai tersebut tidak mempunyai kemapuan yang memadai, hal ini bisa terjadi karena masyarakat sekarang lebih kritis lagi setelah menerima banyak pengajian dari berbagai Kiai, sehingga ketika menemui Kiai dusun yang tidak mempunyai pengetahuan agma yang baik bisa diputuskan untuk diberhentikan. Fenomena ini terjadi pada Kiai Jaiz di Bumirejo, juga terjadi di Mulyorejo dengan rencana memberhentikan Kiai Nono. Belakangan diketahui bahwa rencana pelengseran Kiai Jaiz karena adanya fasilitas tanah bengkok yang diperoleh oleh Kiai tersebut. Para Kiai dusun ketika pengajian, jarang memberikan ceramah agama karena biasanya hanya bertugas untuk memimpin do’a saja. Mereka juga melakukan koordinas rutin dengan Kiai tingkat desa. Sementara ketiga Kiai desa mempunyai afiliasi pesantren yang berbeda. KH Zaini merupakan kerabat dari pesantren Sumbersari yang dipimpin oleh Kiai Fatih Ashari yang diteruskan oleh Kiai Zainuri. Lalu KH Ahmad Jawahir dekat dengan Kiai Syaikoni dan penerusnya Kiai Syamsudin dari Jombangan. Sedangkan KH Yunus dekat dengan KH Idris Marzuki penerus KH Marzuki pemangku pesantren Lirboyo-Kediri. Dia juga dekat dan sering berhubungan dalam bidang tarekat dengan pesantren Raudlatul Ulum di Kencong yang dipimpin oleh Kiai Jauhar dan diteruskan anaknya Kiai Zamroni.
127
Di tingkat Desa Krecek, Zaini Khudori merupakan Kiai yang paling signifikan dalam melakukan aktifitas politik. Dia menjadi Kiai yang mendapatkan mandat langsung dari sesepuh Kiai NU di Sumberagung yakni Kiai Mahfudz yang sejak pemilu pertama sudah menggawangi NU. Mandat untuk duduk digarda depan pejuangan NU-isasi di Krecek didapatkan KH Zaini setelah para Kiai sepuh mulai mengundurkan diri dari percaturan duniawi. Dia mempunyai kapasitas dalam membangun jaringan dengan politisi yang berangkat dari NU di Kecamatan Pare. Jaringan yang dikelola oleh elit santri telah menempatkan Kiai sebagai pihak yang mempunyai rotasi kekuasaan yang stabil. Gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh anak-anak muda lulusan perguruan tinggi agama masih belum sepenuhnya berhasil. Kiai masih melekat pada pemuka agama lulusan pesantren sementara fenomena yang marak khususnya di Sumberagung dan Krecek sendiri banyak sarjana agama yang bukan lulusan pesantren. Peran mereka terbatas sebagai takmir masjid atau membantu pengajaran di sekolah agama dan kadangkala ikut sebagai administrator organisasi. Warga NU sebagai otoritas tertinggi untuk mengangkat seorang Kiai masih belum bisa untuk menerima kedudukan para sarjana agama ini untuk setara dengan Kiai lulusan pesantren. Tipologi Kiai yang bertingkat merupakan respon terhadap perubahan sosial politik sebagai bagian dari strategi elit untuk meluaskan pengaruhnya sambil membuka ruang negosiasi dari akar-rumput sampai ke tingkat pertemuan masjid. Dengan demikian, para Kiai
betul-betul menyadari konsekuensi ketika bermain
dalam politik atau tidak menghabiskan energinya untuk urusan selain keagamaan dan
128
memelihara ummat akan menerima dampak terburuk. Hal tersebut terjadi ketika suara masyarakat menghendaki hal atau pilihan yang berbeda dengan Kiainya dalam politik akan menjadi bumerang. Apalagi pilihan warga terbukti menang atau lebih baik, maka akan terjadi deligitimasi kharisma Kiai itu sendiri.
2. Pengaruh Birokrasi Desa Kepala Desa sebagai pucuk pimpinan birokrasi desa merupakan posisi yang menjadi incaran banyak elit, utamanya yang mempunyai garis keturunan yang baik dan modalitas sumber daya ekonomi yang melimpah. Dalam pemilihan kepala desa, seringkali rivalitas antar elit berkembang menjadi ketegangan yang melibatkan massa. Elit sendiri terpecah kedalam beberapa kepentingan yang bertarung sementara massa berada di barisan pendukung yang siap melakukan apa saja sesuai dengan tawar-menawar yang dilakukan antar elit. Pada masa Orde baru, seorang kepala desa harus melewati ujian loyalitas dan harus diperiksa apakah yang bersangkutan tidak pernah atau mempunyai ikatan keluarga dengan simpatisan PKI atau organisasi terlarang lainnya. Selain itu restu dari pejabat negara juga wajib dimiliki. Seiring dengan perubahan pada mekanisme pilkades, yang diserahkan kepada masing-masing pemerintah lokal, jabatan kepala desa masih menyimpan prestise yang tinggi. Sepanjang sejarah Krecek, baru terjadi pergantian kepala desa sebanyak tiga kali terhitung sejak tahun 1950 an. Kepala desa pertama adalah bapak dari kepala desa Krisbanu yang diteruskan oleh saudara dari Masykur Lukman. Perubahan yang terjadi pada pilkades adalah latarbelakang calon.
129
Dari hubungan kekerabatan ditingkat elit menjadi lebih beragam. Beberapa elit ekonomi dan tuan tanah juga mulai berani mencalonkan diri. Pada perangkat desa yang lain, seperti kepala dusun dan kepala urusanurusan, setelah dukungan negara melemah, birokrasi desa desa tersebut harus mengalihkan bentuk dukungan dengan memanfaatkan elit keagamaan. Kiai merupakan mitra yang harus diambil sebagai bagian dari mobilisasi dukungan dari massanya. Media-media seperti ceramah agama menjadi ajang kampanye terselubung. Dalam ceramah tersebut juga disinggung mengenai peran institusi pendidikan informal seperti keluarga dan penekanan ini yang akan terlihat begitu penting untuk menjelaskan bahwa mobilisasi pengajian oleh ormas cenderung membicarakan berbagai persoalan bukan dalam lingkup formal atau segala yang berhubungan dengan pemerintahan. Dalam pengajian, tidak hanya Kiai yang berbicara tetapi juga Kepala desa atau perangkatnya, tergantung situasi dan jenis acaranya. Kades banyak berbicara tentang pelayanan KTP dan pembangunan desa dan para Kiai juga memberikan catatan mengenai kondisi hubungan-hubungan sosial masyarakat dengan peran pemerintah. Dalam acara ini tampak bahwa institusi informal digerakkan melalui transfer wacana dari tokoh dan elit setempat yang melakukan mobilisasi melalui institusi keagamaan yang berimbas pada pergerakan dan eksistensi institusi formal seperti institusi pemerintahan. Mendekatnya birokrasi desa desa kepada elit keagamaan membuktikan keterbatasan pengaruh birokrasi. Dukungan dari elit keagamaan harus diminta dan
130
bukan meminta. Ada unsur penawaran dari pihak elit keagamaan terhadap birokrasi desa. Bahkan media pengajian yang paling besar dan berada melingkupi wilayah desa dengan peserta dari seluruh penjuru desa dimana warga berbondong-bondong menghadirinya. Acara besar tersebut selalu dipusatkan di Masjid Jami’ yang dikelola NU di Sumberagung. Masjid NU tersebut bersebelahan dengan mesjid LDII tempat didmana dulu konflik terjadi. Komposisi peserta antara laki, perempuan, pemuda dan anak-anak hampir merata. Seluruh pemuka NU dan perangkat desa hadir dimana kita bisa mengidentifikasi siapa saja mereka. Dari acara ini didapatkan sebuah fakta betapa kelompok islam tradisional menjadi denyut nadi kehidupan desa ini. Semua elit dari latarbelakang NU, menghadiri acara ini dan masing-masing membawa kepentingan yang berbeda. Birokrasi desa memanfaatkan momentum ini untuk menjajaki dukungan dan membangun adalah waktu yang sama. Dalam kontestasi acara keagamaan yang digelar di masjid jami’ (masjid agung desa) setiap tahun sekali, mulai tampak polarisasi dan hubungan antara elit keagamaan dengan birokrasi desa. Hal penting yang bisa dilihat adalah pola kepemimpinan lokal seperti yang diterapkan oleh kepala desa lebih banyak melakukan langkah-langkah jalan tengah atau harmonisasi. Langkah ini secara politik menguntungkan pejabat desa untuk memelihara dukungan dari berbagai macam kekuatan sosial. Selain itu, acara lain yang disponsori oleh pemerintahan desa adalah pengumpulan berbagai ormas untuk menggelar pengajian bersama dalam waktu setahun sekali. Ritual inti yang dilakukan adalah istighotsah sebagai bentuk
131
pengakuan terjadap keberadaan NU sebagai ormas terbesar. Meskipun demikian, semua ormas menghadiri dan elit-elit mereka secara bergiliran mendapatkan peran untuk memberikan sambutan. Pimpinan Muhammadiyah mendapatkan bagian untuk memimpin do’a dan pimpinan LDII yang menutup acara. Acara yang dipusatkan di Balai Desa tersebut kemudian dilestarikan sebagai simbol harmonisasi dimana elit desa mendapatkan legitimasi atas pemerintahannya. Pengaruh birokrasi untuk mendikte ormas telah mengalami penurunan. Posisi tawar ormas yang sedemikian besa membuat birokrasi desa harus mengatur hubungan yang lebih saling menguntungkan satu sama lain. Di dusun Bumirejo, kepala dusun harus membina hubungan yang baik dengan pimpinan LDII setempat karena mayoritas warga LDII Krecek berada didusun ini. Selain itu, bentuk-bentuk akomodasi lainnya adalah penerimaan acara Istigotsah sebagai acara utama desa yang dibiayai oleh kas desa. Keterbasan pengaruh institusi birokrasi membuat aktornya yaitu kepala desa dan elit-elitnya menempuh cara adaptasi yang mengikuti pola moderat. Mereka harus menjadi negosiator dan lebih peka terhadap gejolak yang ada baik di kalangan elit ekonomi, politik dan keagamaan, dengan demikian, dukungan akan lebih mudah didapatkan dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas kepemerintahan yang mereka emban.
3. Eksistensi Aktor-Aktor Baru Kemunculan aktor-aktor baru dalam menggerakkan kehidupan sosial politik lebih banyak disebabkan oleh jaringan yang dibangun oleh beberapa elit dengan
132
kelompok-kelompok diluar desa. Jaringan yang sudah ada sebelumnya melibatkan jaringan pesantren, tarekat, kekerabatan antar elit dan negara. Sejak konsep pengaturan pemerintahan berubah, mulai muncul bantuan-bantuan yang sifatnya padat karya yang diberikan oleh negara. Bantuan dari berbagai proyek sejak tahun 2000 diantaranya program pengentasan kemiskinan, pembangunan infrastruktur dan bantuan pendidikan. Sebagian besar program tersebut dikelola oleh kelompokkelompok masyarakat (pokmas) atau juga BPD. Kelompok baru ini berada sebagai perantara antara negara, politisi dengan masyarakat. Jaringan dari aktor-aktor baru terbentang di dunia aktivisme politik. mereka terdiri dari makelar-makelar proyek dan aktivis politik yang bernaung dibawah LSM yang berada di kota Pare atau Kediri. Mereka mempunyai kontakkontak di kota dan secara rutin saling bertukar informasi mengenai kondisi dan situasi politik terbaru. Aktor-aktor baru ini bergerak dalam ruang menengah antara negara dengan masyarakat sipil tetapi bukan anggota parpol. Posisi mereka mirip sebagai makelar politik dengan memanfaatkan jaringan di tingkat kewilayahan diatas desa. Mereka berasal dari desa setempat dan bisa datang dari berbagai latarbelakang afiliasi politik dan ekonomi serta profesi. Kerja-kerja riil mereka adalah sebagai penghubung untuk setiap kebutuhan sosial politik elit dan juga massa di desa. Selain itu ada juga yang datang dari luar desa dimana kebanyakan dari mereka adalah aktivis politik yang ingin mendapatkan keuntungan dari pekerjaan sebagai makelar. Masyarakat ternyata
133
banyak membutuhkan jasa yang mereka tawarkan sehingga tidak jarang posisi mereka dimasyarakat begitu penting. Aktor kolektif yang mulai tampak lebih menonjol di Krecek adalah kaum perempuan yang sebelumnya berposisi sebagai sub-ordinat. Mereka mulai berpolitik meskipun dengan cara-cara yang halus. Ruang aktualisasi bagi mereka yang bisa berhubungan langsung dengan kepentingan ormas adalah melalui organisasi sayap NU yaitu Muslimat dan Fatayat. Demikian juga Aisyiyah dan NA yang berada dibawah Muhammadiyah. Elit ormas perempuan tersebut mulai memberikan kontribusi dalam proses sosial politik. Dalam pemilu atau pilpres 2004, mereka menjadi bagian penting yang sudah dihitung oleh parpol dan politisi yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Kegiatan yang dilakukan oleh Ormas perempuan tersebut meliputi pengajian rutin dan pertemuan lainnya dalam rangka sosialisasi program-program peningkatan usaha ekonomi rumah tangga dari pemerintah. Tetapi posisi tawar yang membaik tersebut masih membuat elit perempuan seperti istri kepala desa, ketua ormas perempuan yang berpendidikan relatif tinggi dan berprofesi sebagai guru dan istri orang kaya melakukan aktivitas politik yang bertujuan untuk mendukung kepentingan kelompok laki-laki dan bukan untuk perempuan sendiri. Konflik kepentingan didalam langkah politik yang dilakukan oleh elit perempuan mulai terlihat dalam agenda pra-pilkades. Dalam memberikan dukungan politik, elit perempuan terlihat sangat konfrontatif. Organisasi yang dimanfaatkan sebagai kendaraan untuk mendapatkan dukungan dari anggotanya seringkali
134
berbenturan dengan pilihan politik anggotanya. Umumnya pihak-pihak yang kritis terhadap kampanye terselubung pengurus ormas adalah keluarga dekat dari elit santri atau birokrasi yang berseberangan kepentingan. Dalam sebuah kesempatan, kepala desa yang mempunyai keponakan perempuan yang menjadi anggota jamaah pengajian muslimat NU. Salah seorang pengurus Muslimat berkomentar didepannya kalau sebaiknya kepala desa sekarang yang juga pamannya tidak usah mencalonkan diri untuk kedua kalinya karena tidak punya harta benda. Keponakan kepala desa langsung memberikan respon dan balik mendebat si pengurus muslimat seraya membela pamannya. Istri kades juga diberitahu tentang hal ini dan tentu saja mengadukan pada suami dan warga desa lainnya yang kebetulan sedang berurusan dengan kades dalam soal administratif. Isu yang merebak kemudian adalah si pengurus muslimat telah menyalahgunakan
posisinya
untuk
menilai
seseorang
secara
sepihak
dan
mengkampanyekannya dalam arena pengajian rutin. Posisi tawar sosial politik perempuan juga ditunjang dengan perbaikan dari sisi ekonomi. Mereka bisa menjadi pendorong berkembangnya sektor ekonomi informal. Mereka lebih banyak ditemui sedang berjualan makanan kecil didepan sekolahan atau mempunyai dagangan kecil dirumah sementara sebagian besar lainnya berada di ladang sampai siang hari melakukan pekerjaan sebagaimana laki-laki. Model jaringan aktor baru ini berpotensi untuk menyiapkan kendaraan bagi seseorang untuk mempertahankan posisinya didalam pergaulan masyarakat karena semakin banyak koneksitas yang terbangun, seseorang semakin disegani. Jaringan ini
135
kemudian berguna sebagai bagian mobilisasi dukungan politik dalam pilkades. Salah seorang elit desa yaitu Haji Herian adalah pebisnis yang mengelola selep. Dia memanfaatkan aktor-aktor baru tersebut dalam rangka memperluas politik pencitraannya di masyarakat. Sosok Haji Herian merupakan representasi aktor baru yang menggunakan basis ekonomi untuk melangkah kedalam dunia politik desa. Dari sumber lainnya, konon, dia menjadi kaya setelah mengelola modal KUD dan kelompok tani setempat yang dananya diputar untuk membuat usaha-usaha yang menguntungkan dirinya. Dulu, dia sangat dekat dengan kepala desa dan pernah mentraktir konsumsi untuk semua undangan dalam rapat desa. Dia lalu meminta pada kades agar diberikan posisi dalam masyarakat sebagai ketua kelompok masyarakat yang kemudian dia dapatkan. Dengan posisi ini, dia semakin mudah untuk mendatangi simpul-simpul dukungan sosial politik dari semua dusun yang ada. Dirasa dukungan sudah memadai yang ditopang dengan kampanye yang menunjukkan betapa kuatnya modal yang dia punyai, maka dia mengajukan diri untuk mencalonkan diri dalam Pilkades mendatang.
D. Hubungan Elit dengan Aparatus Negara Pada masa Orde Baru, dibawah Kiai Zaini Khudori, NU mengambil jarak yang relatif aman dengan menitikberatkan pada isu-isu keagamaan saja. Secara formal strategi jalan tengah diwujudkan dengan penerimaan berbagai program pemerintah. Keadaan serupa dijumpai didalam ormas lain seperti Muhammadiyah
136
dan LDII. Secara tegas, sebenarnya dua ormas terkhir masih menjaga netralitas dalam pengertian yang luas karena Muhammadiyah didukung oleh banyak elit ekonomi yang berhubungan dengan negara melalui institusi-institusi pemberi kredit. Sedangkan LDII lebih tegas dalam mendukung pemerintah atas dasar instruksi dari pengurus yang lebih tinggi. Dalam pergantian rezim, LDII mengikuti siapa kekuatan politik terbesar yang tengah berkuasa. Cara ini membuat mereka bisa bertahan dan menikmati banyak keuntungan. Sebagai ormas yang paling dominan, NU mempunyai strategi dengan masuk kedalam negara yang bisa dilihat dari dua sisi. Pertama secara organisatoris dimana struktur NU yang mencakup beberapa organisasi bawahannya melakukan aktivitas dalam rangka membantu tugas-tugas pemerintahan. Seperti keberadaan Ansor dalam memberikan bantuan bagi keamanan lingkungan atau even-even penting lainnya. Lalu Muslimat yang ikut serta dalam mensukseskan sosialisasi Keluarga Berencana atau program pemerintah lainnya. Bentuk dukungan kepada pemerintah bersifat imperatif karena kepentingan NU sendiri pada program tersebut juga signifikan. Bentuk dukungan ini masih tetap dipertahankan sementara dukungan yang berbentuk politis praktis sudah mulai berkurang. Kedua, secara personal yang identik dengan keberadaan para Kiai dan pesantrennya. Mereka memberikan dukungan baik secara terbuka atau tertutup dengan memanfaatkan media pesantrennya atau pengaruhnya di NU. Seperti Kiai Zaini yang sering menggunakan kemampuannya berceramah untuk mendekat atau didekati oleh aparat negara ditingkat kecamatan. Juga menggalang lobi ditingkat
137
legislatif sehingga mampu memberikan imbalan yang memadai dari kerja-kerja informal Kiai sendiri. Alasan yang digunakan oleh beberapa elit NU untuk tetap menjalin hubungan baik dengan aparatus negara lebih menekankan pada usaha untuk mempermudah penyelesaian persoalan-persoalan yang menyangkut NU dan warganya. Beberapa Kiai yang ada di Krecek sendiri menganggap hubungan dengan aparatus negara tetap harus dipertahankan dalam rangka silaturahmi. Aparatus negara yang bergerak di tingkat desa hanya dinas pengairan karena masih menempati posisi yang penting dalam mengatur distribusi air. Warga Krecek merasakan perubahan dari dan sesudah pemerintah turut campur dalam pengaturan irigasi. Sebelum masuknya dinas pengairan yang membagun instalasi dam, aliran air dari sumber mata air bisa mengairi dengan melimpah. Dinas pengairan terlibat secara intensif dalam pemanfaatan komoditas air sehingga keberadaannya begitu penting. Dinas pengairan mempunyai wewenang dalam pembangunan cek dam dan mengalirkan air dari suplai Kali Keling dari waduk Siman yang untuk mendapatkan pasokan air, beberapa warga harus membuat perkumpulan terbatas untuk membeli air pada dinas pengairan. Tetapi, hubungan yang dilakukan dengan pihak dinas pengairan lebih banyak dipelihara oleh lembaga informal akar-rumput. Elit keagamaan kurang begitu memberikan perhatian karena ruang yang dianggap berbeda. Hampir semua Kiai di Krecek mempunyai sawah atau tambak dan suplai airnya harus mengikuti aturan main yang sudah disepakati bersama dengan warga lainnya.
138
Wilayah pertanian yang mendominasi tidak membuat keberadaan aparatus negara lainnya seperti Dinas Pertanian berperan penting. Sejak persoalan merebaknya hama tikus pada tahun 2000, segala macam usaha yang disarankan pemerintah tidak membawa hasil yang berarti dimana dampak buruknya adalah kegagalan panen dan petani yang merugi dari musim kemusim. Setelah beberapa daerah diluar Krecek memakai metode penyetruman dan berhasil, warga Krecek mengadopsinya. Pemerintah melarang keras dengan alasan akan membahayakan orang lain tetapi warga bersikeras dan mengantisipasinya dengan memberikan plakat tanda bahaya diareal yang dipasaing aliran setrum. Dengan cara ini, hama tikus hilang. Hubungan yang intensif dilakukan dengan birokrasi desa yang kebanyakan terdiri dari kelompok priyayi yang disini diidentifikasikan sebagai guru sekolah atau pegawai atau siapapun yang bekerja untuk pemerintahan. Di masa Orde Baru, kelompok ini menjaga jarak dalam pergaulan sehari-hari dan selalu merasa khawatir ketika diajak untuk berbaur. Sifat menyendiri dan eksklusif ini bisa dipahami sebagai bagia ketakutan mereka untuk terlibat kegiatan yang merugikan kepentingan dan posisinya. Dalam perihal gaya hidup, cara berbahasa atau berpakaian tidak jauh berbeda karena secara ekonomi mereka hidup dalam kategori yang hampir sama. Saat ini, mereka sudah berubah dan bisa berbaur sebagaimana warga biasa. Dampak dari keterbukaan politik membuat hubungan dengan birokrasi desa mengalami reorientasi. Dalam agenda kegiatan desa dalam penyambutan HUT RI atau dalam rangka perayaan-perayaan lain seperti pagelaran pertunjukan dan pengajian yang dikoordinasi oleh pemerintah desa, persepsi masyarakat mulai
139
berubah. Pihak desa atau dusun yang menggelar acara dan membutuhkan partisipasi warga dalam bentuk pendanaan sudah mulai kesulitan melakukan penggalangan dana. Pada masa Orde Baru, warga harus menyepakati aturan main yang telah ditentukan oleh pemerintah desa berkaitan dengan iuran desa. Kebanyakan iuran diberikan dalam bentuk uang dengan alasan lebih praktis. Kelebihan dana iuran akan ditampung didalam kas desa. Tetapi saat ini, penarikan iuran dalam bentuk uang sangat susah sehingga diganti dalam bentuk barang atau makanan jadi untuk keperluan konsumsi yang bila dikonversi nilainya sama dengan ketika memberikan uang. Tingkat kepercayaan pada aparat pengelola keuangan telah menurun. Usaha-usaha aparatus negara untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat memang tampak tetapi tidak cukup meyakinkan. Persoalan utama yang membuat usaha membangun kepercayaan tersebut adalah kelangkaan pupuk untuk pertanian. Dinas Pertanian dan juga Kepolisian tidak bisa menjamin kelancaran distribusi pupuk. Akibatnya, masyarakat merasakan kemunduran dari sisi ekonomi. Petani merasa sulit mendapatkan pupuk dipasaran yang membuat hasil panen masih merugi. Ini disebabkan oleh biaya produksi yang terlampau tinggi dibandingkan dengan hasil penjualan. Negara dinggap terlalu mengatur urusan petani tetapi tidak tahu bagaimana campurtangan itu ternyata merugikan. Di semua dusun di Krecek, pada tahun 2005 pemerintah mengharuskan syarat untuk mendapatkan pupuk dipenuhi. Petani pada masing-masing dusun yang dikoordinasi oleh beberapa orang atas nama kolektif membuat proposal pada pemerintah. Tetapi pupuk kemudian disalurkan oleh pemerintah melalui kios-kios yang menjualnya dengan harga tinggi. Petani harus
140
membelinya berdasarkan jatah dari kios-kios yang sudah ditunjuk sebagai distributor oleh pemerintah tersebut. Dalam kondisi tersebut, petani selalu kekurangan pupuk dan faktor yang paling memberatkan adalah tingkat ketergantungan pada pupuk buatan pabrik yang tinggi. Diantara alternatif yang diambil adalah penggunaan pupuk Bokashi yang sudah dipakai sejak 3 tahun lalu. Meskipun demikian tingkat percaya diri petani bahwa pemakain pupuk tersebut bisa menguntungkan mereka juga tidak kunjung terbentuk. Petani yang sudah mempercayai bahwa siapapun yang bisa menunjukkan hasil panen yang baik akan cenderung ditiru. Persepsi tersebut pada gilirannya harus membuat petani menanggung beban yang tidak ringan. Khusunya jika dalam masa ujicoba pertanian menunjukkan kegagalan. Lemahnya rasa percaya diri ini membuat petani terombang-ambing pada model percobaan yang ditawarkan oleh berbagai pihak. Misalnya pemakaian pupuk Bokashi, baru pada tahun ini terbukti membawa hasil setelah dicoba selama 3 tahun terakhir. Fenomena ini kemudian diikuti oleh semua petani untuk mencoba pupuk Bokashi. Hal serupa terjadi pada pembenihan ikan dengan mencampur Thiodan yang semula menjadi zat kimia yang bersifat toxic untuk memperbesar ukuran ikan dengan capat. Padahal pemakain zat ini secara berlebihan mampu membunuh ikan-ikan yang ada dan juga berbahaya jika dikonsumsi oleh manusia. Di sektor perikanan, ketergantungan pada negara hampir tidak dijumpai karena petani sudah mampu mengakses modal dari pihak yang lain. Faktor yang membuat menurunnya kepercayaan pada pemerintah adalah modus-modus korupsi
141
bantuan dengan pemotongan nilai bantuan. Pemerintah melalui Dinas Perikanan Provinsi pernah sekali memberikan bantuan senilai 50 juta yang dibagikan pada semua petani pembenihan ikan. Tetapi nilai bantuan tersebut harus dipotong beberapa puluh persen tanpa alasan yang jelas. Bantuan ini memang tidak terlalu pantas disebut bantuan karena keuntungan yang didapatkan petambak dari kolam seluas 6x10 saja bisa mencapai 5 juta perbulan. Penjualan benih ikan diusahakan secara mandiri dengan sistem jaringan yang hanya berbasiskan pada kepercayaan. Petani kolam di Nepen atau dusun lain di Krecek sudah membuat jaringan secara turun temurun puluhan tahun lalu dengan tengkulak yang datang dari wilayah lain seperti Tuban, Lamongan dan Gresik. Setelah reformasi terlihat usaha ini mengalami penurunan tanpa sebab yang tidak diketahui pasti baik oleh petani sendiri atau tengkulaknya. Dalam bidang keamanan, peran militer (Babinsa) dan polisi telah jauh berkurang. Minimnya peran tersebut sempat berdampak pada munculnya kejahatan meskipun hanya berskala kecil. Juga perubahan sikap remaja yang kian bebas yang menimbulkan kasus-kasus kenakalan remaja. Warga masyarakat dalam kondisi demikian memang tidak serta merta menghidupkan kembali atau mengaktifkan Siskamling kecuali bisa diorganisir secara kondisional dan tergantung sebarapa bahayanya situasi.
E. Afiliasi dan Resistensi terhadap Parpol Dalam bab terdahulu sudah disinggung mengenai adanya pengakuan terhadap kebebasan menentukan pilihan-pilihan politik dari warga masyarakat. Sikap terhadap
142
parpol sangat tergantung dari politisinya yang dijadikan figur parpol bersangkutan. Secara umum, apa yang dilihat oleh masyarakat terhadap parpol bukan terletak pada program-program publik yang hendak diperjuangkan. Hanya parpol-parpol besar saja yang mempunyai akses untuk melakukan komunikasi dengan konstituennya dibawah. Selebihnya, parpol hanya bekerja menjelang pemilu. Eksistensi parpol mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari proses politik lima tahunan. Banyak sikap yang berbeda dalam melihat fungsi parpol di masyarakat. Parpol dengan model patrimonialisme masih mempercayai bahwa apa yang dilakukannya bisa efektif menarik dukungan massa seperti PKB dan PDIP. Politisi PKB seperti Masykur Lukman memang bisa membuktikan bahwa dengan mendekati elit keagamaan, dukungan dari warga bisa diperoleh. Pada masa Orde Baru, parpol yang menganut model patrimonial ini selalu menggunakan kekuatan atau daya tarik personal untuk melakukan mobilisasi dukungan dalam basis afiliasi komunal dimana faktor kharisma personal dari pemimpin komunal atau otoritas moral kepala desa berlangsung bersamaan dengan kapabilitas koersif dari militer atau polisi (Hara 2001:319, Zazie 1999: 253). Tetapi setelah keikutsertaan militer dan polisi serta kepala desa, praktis hanya elit keagamaan saja yang memainkan peran sebagai penghubung atau penyampai pesan dari politisi untuk berkomunikasi dengan warga.
1.Kontradiksi Orientasi Politik Elit Sikap utama yang berasal dari elit menjadikan parpol sebagai pengganti mengalirnya dukungan dari negara sehingga elit keagamaan sering menggunakan
143
pengaruhnya untuk mempengaruhi pilihan politik anggotanya. Sementara akarrumput tidak terlalu berkepentingan secara langsung kecuali hubungannya dengan politisi parpol tersebut dimana mereka bisa melakukan penawaran-penawaran politik secara langsung dan kolektif. Kiai Zaini Khudori merupakan Kiai yang dekat dengan PKB sedangkan Kiai Jawahir condong kepada PPP. Tetapi bagi Kiai senior lain seperti
Kiai
Yunus,
sikap
politik
praktis
Kiai
harus
benar-benar
bisa
dipertanggungjawabkan. Pengaruh Kiai Zaini dan Kiai Jawahir sampai tingkatan dusun memang signifikan. Kiai Jaiz di Bumirejo, pada setiap pemilu selalu menjadi sponsor kampanye bagi parpol yang diikutinya. Pada saat tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah versi Peterongan mendukung Golkar, Kiai Jaiz berdiri sebagai Kiai di Krecek yang menggalang dukungan bagi Golkar. Begitu juga ketika mendukung PKB setelah runtuhnya Orde Baru pada pemilu 1999 dan 2004. Sikap terhadap parpol dari elit ataupun akar-rumput tidak selalu berlaku sama dengan pilihan terhadap kandidat yang diusungnya. Bisa disebut juga munculnya resistensi ketika pemilihan presiden berlangung. Sebagaimana disebut oleh Azra (2004), naiknya pasangan Mega-Hasyim ternyata tidak diikuti oleh oleh dukungan politik yang setimpal dari masyarakat santri. Hal ini mengindikasikan pemilih Indonesia lebih independen dan rasional dalam perilaku politiknya sehingga tidak bisa didikte oleh pemimpin parpol, tokoh agama (Kiai) dan lainnya. Pendapat Azra terlalu menyederhanakan situasi karena faktor-faktor penolakan dari masyarakat santri tidak disertakan sebagai bagian penting dari
144
penolakan terhadap figur Hasyim Muzadi.
Di Krecek, tidak terlihat adanya
penolakan terhadap Hasyim Muzadi ketika maju menjadi wapres pada pilpres 2004. Kelompok elit santri masih melihat Hasyim sebagai figur yang bagus tetapi seharusnya tidak menjadi wakil dari presiden yang kebetulan perempuan. Di Krecek, penolakan tersebut menyebabkan adanya kontradiksi dari orientasi elit politik yang masing-masing memandang tidak pantas laki-laki berada dibawah perempuan sehingga pandangan tersebut menyebabkan pilihan politik warga NU banyak yang diberikan kepada SBY. Potensi konflik di Krecek yang diakibatkan oleh perbedaan afiliasi politik didalam parpol tidak begitu kelihatan. Munculnya kontradiksi orientasi politik dari elit lebih banyak dipengaruhi oleh situasi dari luar melalui jaringan organisasi. Sebagaimana terjadi di dalam pesantren besar di Jombang dan Kediri, imbas dari kontradiksi yang paling terlihat adalah afiliasi terhadap parpol. Orientasi politik elit sendiri tidaklah bisa dibaca dengan jelas karena faktor kaburnya hubungan antara personifikasi individual di dalam ormas dan pesantren dengan posisinya di dalam parpol. Bagi elit keagamaan, pilihan politik dalam pemilu lebih banyak ditentukan oleh jaringan pesantren yang mereka ikuti sehingga orientasinya lebih pragmatis. Mereka memanfaatkan kaburnya batas posisi antara pelaksanaan fungsi keagamaan dan fungsi politik. Ditambah lagi minimnya kontrol organisasional dan sanksi bagi pemanfaatan nama organisasi untuk kepentingan politik pribadi. Meskipun sebenarnya NU mempunyai aturan main yang tegas mengenai pengurus yang terlibat
145
politik praktis tetapi bagi sebagian elit, dukungan yang diberikan kepada parpol atau politisi meskipun dilakukan secara sembunyi-sembunyi dilakukan dalam rangka mendapatkan jaringan politik. Mereka akan memberikan penawaran kepada politisi atau parpol yang didukungnya demi mendapatkan pembiayaan dalam rangka operasionalisasi kegiatan-kegiatannya. Tekanan dari faktor keberlangsungan kegiatan keagamaan menjadikan elit keagamaan harus melakukan politisasi atau juga klaim dari media-media sosialisasi yang bersentuhan dengan publik dimana mereka berperan sebagai aktor yang mendominasi. Dengan hanya mengandalkan pengelolaan pendidikan saja, dana yang dikumpulkan sangat terbatas demikian halnya dengan posisi ekonomi mereka yang cenderung stagnan karena tidak mempunyai latarbelakang usaha yang mencukupi. Dalam pembangunan Pesantren Darul Falah milik Kiai Zaini Khudori, pola penerimaan bantuan untuk peningkatan pesantren diberikan melalui jaringan politik. Sebagaian besar siswa dan santri di pesantren dan sekolah yang dikelola berasal dari kelompok ekonomi lemah sehingga kemampuan untuk penggalangan dana dari walimurid sangat minim. Dalam melacak alur afiliasi sebagian besar masyarakat terhadap parpol perlu dilihat fenomena penerimaan atas variasi aliran ormas yang terdapat di dusun Sumberagung dimana LDII, Muhammadiyah dan NU mempunyai basis atau jamaah. NU dan muhammadiyah merupakan ormas lama yang sudah ada sejak awal didesa Krecek, baru tahun 1963-an LDII masuk dan menyebarkan ajarannya yang dinilai kaku. Dulu semasa Orde baru, LDII dekat dengan Golkar tetapi ketika Megawati
146
Presiden, berafiliasi pada PDIP, memang sudah banyak yang menyebut karakter budaya jamaah LDII yang taat pada ustadnya cenderung mendekati siapapun yang memegang kekuasaan dengan harapan posisi organisasi bisa stabil dan tidak ditekan. Di Krecek, parpol yang mendapatkan suara besar adalah PKB dan PPP lalu Golkar dan PDIP. Utamanya bagi parpol pemenang yaitu PKB, dinamika diantara Kiai sendiri harus dicermati karena terjadi perbedaan pandangan yang cukup signifikan dalam melihat politik. Apalagi menyangkut interpretasi terhadap khittah 1984 yang luas. Seperti KH Jawahir yang sudah menolak keterlibatan NU dan oknum pengurusnya untuk terlibat dalam dukung-mendukung karena bisa memacah belah ummat. Sementara KH Zaini melihat memang secara institusional NU tidak lagi berpolitik tetapi beberapa oknumnya masih ada dan setidaknya keterlibatan ini dipandang tidak menjadi masalah karena bersifat personal. Lain lagi dengan KH Yunus yang melihat politik NU sekarang bukan pada tingkatan praktis dan pragmatis melainkan secara konsisten memperjuangkan keyakinannya dalam mempengaruhi pengambil kebijakan agar warga menadapatkan manfaat dan kebaikan. Sebagian elit yang lain menganggap dukungan terhadap parpol atau politisi bisa dilakukan secara personal dan tidak mencampuradukkan dengan kepentingan organisasi. Kiai Yunus Mubari merupakan elit yang tekun dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan. Dia adalah seorang pengusaha yang mempunyai sekolah yang didirikannya sejak 20 tahun silam tetapi berada diluar Krecek. Elit yang memilih
jalan
ini
cenderung
bisa
bersikap
lebih
tegas
dan
bisa
mempertanggungjawabkan segala aktivitas organisasi pada anggotanya. Kedua
147
macam pilihan bagi elit keagamaan dalam proses politik menjadikan akar-rumput semakin mempunyai acuan yang lebih banyak sehingga tidak mudah untuk menerima ajakan salah satu elit. Kontradiksi dalam orientasi elit disatu sisi ingin memajukan sektor pendidikan dan keberlangsungan aktivitas keagamaan. Di sisi lainnya mereka terbentur oleh pilihan-pilihan ekonomi personal dan lemahnya kapasitas untuk mengembangkan institusinya dengan sumber daya yang dimiliki. Tetapi sebagian elit memberikan jalan tengah untuk mendukung kader politisi yang seorganisasi atau minimal datang dari santri
2.Klientilisme Terbuka dalam Jaringan Politisi Kontradiksi yang menyangkut pilihan-pilihan politik elit menghasilkan sebuah konsensus informal yaitu antara elit dan anggota institusi yang dibawahinya. Konsensus ini merupakan salah satu bagian model klientilisme tetapi lebih terbuka karena elit sebagai patron tidak mempunyai kekuatan pengikat yang mutlak terhadap klien sehingga klien bisa memutuskan dalam kondisi-kondisi tertentu untuk merubah patronnya. Kasus-kasus yang sering menjadi pemicu adalah pemberian bantuanbantuan pemerintah. Seperti dalam kasus pembangunan gedung Madrasah Darus Sa’adah di kompleks pesantren Darul Falah milik Kiai Zaini yang mendapatkan bantuan dari politisi Maskur Lukman, anggota DPRD dari PKB. Masykur merupakan bagian dari elit santri dan telah malang melintang dalam dunia politik sejak bergabung dengan PPP, Golkar dan sekarang PKB.
148
Mobilitas politik yang memanfaatkan jaringan keluarga masih terlihat. Seperti dalam kasus pengangkatan S sebagai kepada sekolah MAN Krecek karena dia didukung oleh politisi M dari Krecek yang berdomisili di Jombangan. Faktor lain yang mendukung juga karena tanah tempat MAN berdiri adalah wakaf dari mertuanya yang bertetangga dengan mantan Kades N dan termasuk kerabatnya juga. Posisi M juga dimanfaatkan oleh elit desa lainnya untuk mendapatkan keuntungan. Maskur mempunyai jaringan yang baik dengan elit keagamaan di Krecek utamanya dari NU dengan memanfaatkan keluarganya yang memang bagian dari elit lama. Beberapa keluarganya yang menduduki jabatan strategis di lembaga pendidikan ataupun birokrasi desa. Dia merupakan patron bagi lingkaran keluarganya dan sejak mobilisasi yang dilakukan oleh pendukungnya di kalangan elit santri membuatnya memenangkan posisi legislator. Dia kemudian memberikan bantuan keuangan untuk dua sekolah madrasah di dusun Krecek dan di Bumiredjo dengan proporsi yang sama besar. Madrasah Krecek dikelola oleh bagian keluarga besarnya dan menjadi pendukungnya selama ini. Bantuan tersebut harus dipotong untuk dana lain-lain sebesar 40 persen dari jumlah bantuan tetapi pihak pengelola madrasah diwajibkan menandatangani sesuai dengan nominal bantuan yang sedianya diberikan sebelum dipotong. Pihak madrasah Krecek menolaknya dan bantuan tersebut dialihkan di dusun lainnya. Klientilisme terbuka dipengaruhi oleh sistem interaksi sosial keagamaan. Dikalangan Kiai sendiri, mempunyai pesantren merupakan prestise karena tidak semua Kiai mampu membangun dan membesarkan pesantren. Beberapa diantaranya
149
kemudian menjadi pengasuh langgar kecil dan mempunyai jamaah yang secara teratur mengikuti pengajian-pengajian yang diadakan. Berbeda dengan pesantren dimana ikatan emosional menggunakan media pendidikan dan segala macam contoh berperilaku dari Kiainya masing-masing. Meskipun demikian, ini bukanlah sebuah rivalitas diantara Kiai sendiri melainkan harus dilihat dari perspektif yang lebih dalam lagi bahwa setiap Kiai mempunyai pendalaman yang berbeda dalam memainkan peran dan fungsinya masing-masing. Dalam kondisi masyarakat santri dimana pesantren merupakan faktor yang tidak terlalu dominan karena adanya pusat-pusat keagamaan yang tersebar dalam skala yang lebih kecil, klientilisme yang berlaku bersifat moderat dan terbuka. Imbas dari klientilisme terbuka ini adalah dalam even-even politik, semua keputusan diserahkan pada pemilih. Para calon yang mempunyai tim sukses tidak bisa memaksa warga untuk memilih salah satu calon, para tokoh yang terlibat dalam tim sukses hanya bisa menganjurkan. Warga juga tidak mau mencoblos karena memilih bekerja disawah jika tidak digantikan dengan uang lelah sesuai jumlah pendapatan ketika sehari tidak bekerja. Tapi untuk memastikan pilihan, mereka tidak mau. Jamaah baik NU dan LDII tidak mau mengikuti instruksi dalam hal politik tetapi jika dalam hal agama mereka patuh. Persoalan kelangkaan pupuk merupakan salah satu hal yang bisa ditarik sebagai bagian dari masalah yang berat bagi petani. Dalam peristiwa politik seperti pemilu, pilpres dan pilkada, pengurus NU diwajibkan bisa membedakan antara urusan pribadi sebagai simpatisan parpol tertentu dengan urusan organisasi dimana orang tersebut menjabat sebagai pengurus NU.
150
Pemisahan ini memang tidak mempunyai efek yang cukup signifikan untuk menghindarkan keterlibatan pengurus NU yang bersimpati terhadap parpol untuk menggunakan pengaruhnya di NU. Meskipun secara organisatoris, NU menolak keterlibatan institusinya sebagai corong dan pendukung parpol atau kandidat dalam pemilu. Institusi tidak bisa menjadi faktor pendorong menguatnya klientilisme. Mengingat rentannya posisi pengurus NU dan keterlibatan mereka dalam mendukung parpol atau kandidat, terdapat beberapa konsekuensi diantaranya: NU teridentifikasi terlibat sebagai kekuatan politik praktis. Kemudian NU juga mendapatkan banyak insentif yang masuk menjadi keuntungan personal elit NU sendiri. Beberapa persoalan yang timbul adalah ketika salah seorang kandidat anggota DPRD kabupaten yang berasal dari Krecek menggalang dukungan elit. Dia memberikan insentif berupa batnuan-bantuan yang didatangkan dari pemerintah kabupaten melalui APBD. Politisi ini berposisi sebagai makelar dalam proyek-proyek yang disalurkan kepada sekolah dan pesantren. Pada masa-masa kampanye, politisi tersebut didukung oleh hampir sebagian elit NU. Elit sendiri berposisi sebagai penghubung komunikasi antara politisi dengan akar-rumput. Dari berbagai janji kampanye dan kalkulasi politik apabila kader dari NU dan desa Krecek jadi anggota DPRD, nantinya desa akan semakin makmur karena ada kader yang bisa meberikan perhatian. Setelah pemilu digelar, politisi tersebut mendapatkan suara mutlak dan menjadi anggota DPRD. Selanjutnya, bantuan untuk pembangunan pesantren dan sekolah benar-benar mengalir.
151
Dalam pemilihan internal, terjadi perubahan sikap elit seperti yang terlihat dalam kasus pemilihan kepala dusun Balongmanyar, elit NU terpecah karena banyaknya kandidat. Semuanya meminta restu dan dukungan dari Kiai-Kiai yang ada. Ada seorang Kiai desa yang terindikasi menerima sejumlah uang untuk mendukung salah satu kandidat. Bentuk dukungan pun terlihat dalam pengajian dan ceramahceramah agama yang diberikannya dalam berbagai kesempatan. Tetapi secara keseluruhan, inti dari materi ceramah dan juga kampanye terselubung tersebut memperlihatkan bahwa Kiai tersebut memberikan dukungan pada semua kandidat dan masyarakat berhak untuk menentukan pilihannya secara mandiri. Diantara kandidat yang kalah dalam pemilihan kepala dusun, mereka melakukan mosi ketidakpercayaan dengan menggalang dukungan dari pengikutnya. Kemarahan tersebut disebabkan karena Kiai mengingkari komitmen politik untuk mendukung kandidat setelah sejumlah uang diterima. Beberapa bangunan pesantren Kiai tersebut dirusak oleh massa pendukung kandidat yang kalah. Dari kasus tersebut, terjadi perpecahan di jalangan elit sendiri antara yang ingin tetap melihat Kiai penting untuk dimanfaatkan pengaruhnya dengan yang apatis terhadap pelibatan Kiai dalam politik karena sudah tidak bisa dijual lagi pengaruhnya.
E. Resistensi Akar-Rumput dan Kalkulasinya Kalkulasi politik yang dilakukan oleh elit berbeda dengan akar-rumput. Elit mempunyai sumber daya berupa kemampuan untuk mempengaruhi bahkan mengarahkan opini publik. Mereka juga didukung oleh sumber daya berupa logistik,
152
informasi dan akses jaringan yang kuat. Sementara massa hanya mempunyai pandangan politik dengan acuan yang sederhana. Masyarakat juga menggunakan posisi tawarnya dengan lebih baik kepada pemerintah. Ada resistensi tetapi tidak bisa disebut sebagai resistensi total mengingat sifatnya adalah klarifikatif. Dari sisi politik, runtuhnya kekuasaan Orde Baru memberikan kebebasan untuk berpendapat. Para tokoh masyarakat dari kelompok masyarakat, BPD atau pengurus lembaga lainnya seperti distribusi air ketika diundang untuk sebuah pembicaraan dengan pemerintah kabupaten sudah mulai berani berterus terang. Salah seorang tokoh BPD yaitu Suwandi menyatakan bukan hanya berani berdialog tetapi juga berbeda pendapat dengan membawa kepentingan warga masyarakat sendiri. Tumbuhnya keberanian memberikan keuntungan secara langsung diantaranya dalam pembuatan
keputusan
dalam
musyawarah
rencana
pembangunan
desa
(Musrenbangdes). Perhitungan anggaran pembangunan dan pengawasannya bisa dikerjakan mulai dari perencanaan sampai tahap akhir oleh kelompok masyarakat yang telah ditentukan dalam musyawarah desa. Warga juga bisa mengontrol alokasi pembiayaan dengan lebih berani dan memberikan pendapatnya sendiri-sendiri. Efek positif juga bisa dilihat ketika pemilu, baik legislatif, presiden atau pilkada dimana pemilih memilih dengan bebas tanpa takut tekanan dari siapapun. Sebagian besar warga berafiliasi pada NU sebagai ormas keagamaan tetapi warga NU yang ada bisa menyatakan diri menjadi pemilih PKB, PPP atau PDI dan juga Golkar. Pada saat pilpres, kemenangan mutlak diraih oleh SBY-Kalla, bukan Mega-Hasyim karena pasangan terakhir yang meskipun ketua PBNU dianggap kurang strategis
153
karena posisinya sebagai wapres dimana terdapat kepercayaan bahwa pemimpin yang baik adalah laki-laki seperti yang dilekatkan dari kodrat Tuhan. Secara sederhana, kebebasan politik yang dianggap lebih maju didasarkan pada kepercayaan: tidak perlu terlalu fanatik pada parpol tertentu tetapi harus fanatik pada agama namun realistis. Resistensi akar-rumput terhadap indikasi permainan elit dalam pelaksanaan proyek-proyek publik yang didanai negara juga mulai muncul. Permainan yang dilakukan para elit desa untuk mendapat bagian uang dalam beberapa proyek mulai dapat diketahui dan diambil sanksi moral berupa mosi tidak percaya terhadap tersangka. Dalam kasus pembangunan jalan makadam yang menghubungkan desa Bumirejo-Mulyorejo dan Krecek-Nepen menghabiskan dana ratusan juta. Dana yang digunakan masih sisa kemudian dibagi-bagi diantara semua pihak yang terlibat mulai dari politisi, aparat desa, Kiai, kimpraswil, kades dan dusundusun. Proyek lainnya juga menjadi ajang cari nafkah, seperti proyek pengentasan kemiskinan yang didanai pemerintah provinsi yang menghabiskan dana ratusan juta ataupun didanai dari program nasional yang anggarannya bisa berlipat-lipat. Elit desa berlomba-lomba untuk terlibat dalam berbagai macam proyek tersebut dengan melakukan pendekatan informal pada keluarga yang mempunyai tingkat penawaran politik yang tinggi diantaranya anggota DPRD atau pejabat pemerintah. Tidak selamanya resistensi terhadap parpol dan kekuatan politik lainnya dilakukan tanpa dasar yang jelas. Warga masyarakat dan akar-rumput khususnya mempunyai kalkulasi sendiri. Kalkulasi dari elit bisa didasarkan pada seberapa banyak koleganya sesama elit yang berbeda pendapat. Hal tersebut dihitung
154
berdasarkan tingkat pengaruh dan wilayah pengaruh dari elit yang berbeda pendapat. Dalam sebuah acara Yasin Kubro, tampak bahwa diantara elit keagamaan terdapat relasi yang saling mengkritisi satu sama lain. Seorang tokoh yang menjadi panutan Kiai di desa Krecek, meskipun dia bukan orang Krecek adalah Kiai Makinuddin sering mengkritik keberadaan Kiai yang memanfaatkan legitimasi kultural dan keagamaan yang terlibat dalam politik praktis. Landasan kritiknya juga tepat sasaran bahwa para Kiai di tingkat bawah atau yang juga sorang mubaligh memang secara ekonomi tidak kaya, mereka juga bukan pemilik tanah dan hidup dari sedekah pengajian yang diikutinya. Tetapi tidak boleh jadi pembenar untuk menuntut para Kiai untuk memanfaatkan basis legitimasi kultural dan keagamaannya dalam melakukan mobilisasi politik. Dalam setiap kesempatan, apa saja yang pernah disuarakannya untuk memposisikan Kiai dalam kapasitas keagamaan yang bersih dan terhormat di masyarakat selalu diulas kembali bahkan oleh para Kiai yang berbeda pandangan dengannya. Kritik Kiai Makinuddin terbukti efektivitasnya karena perubahan justru terjadi pada tingkat akar-rumput yang berubah menjadi lebih kritis terhadap elit. . Afiliasi politik baik yang dilakukan oleh elit atau akar-rumput tidak dilakukan dengan membabi buta. Proses pendewasaan politik sudah dimulai sejak lama dengan memperhatikan faktor-faktor keragaman dan penghormatan atas perbedaan serta menganggap politik lebih rendah derajatnya daripada pencapaian ekonomi. Seperti di dusun Nepen yang turun temurun sudah mengikuti NU dan saat ini 95 persen penduduknya terafiliasi ke NU, tetapi untuk urusan parpol bisa sangat beragam. Kiai
155
atau ustadz mempunyai dasar interaksi yang menunjuk pada kedewasaan karena ketika mereka berada di warung semuanya mempunyai posisi yang sama. Pada pemilu 1999 dan 2004, di semua dusun tidak ditemukan adanya ketegangan politik. Semuanya berbaur dalam setiap even agama dan politik tanpa ada sekat-sekat diantara mereka karena jika ada tim sukses parpol atau kandidat berlaku demikian, mereka tidak akan mendapatkan tempat. Di dusun Nepen, pembagian kaos parpol atau kandidat hampir semua orang dapat begitu juga tempelan posternya. Di warung-warung kopi masing-masing pendukung parpol saling mengejek satu sama lain dengan suasana yang jauh dari tegang. Nepen menjadi satu-satunya dusun dimana pengajian digelar setiap hari yang diselenggarakan oleh muslimat, tarekat sampai tahlilan rutin warga yang berlatarbelakang NU sekalipun elit ekonominya didominasi Muhammadiyah.
156
BAB IV MUNDURNYA PATRIMONIALISME: REVITALISASI INSTITUSIONAL DAN PENGUATAN POSISI AKAR RUMPUT TERHADAP ELIT
Keberadaan elit dan institusi yang dibahas dibab tiga telah membuktikan adanya pergeseran mengenai hubungan antara negara-pesantren-masyarakat. Akibatakibat lain yang perlu dieksplorasi akan dijelaskan dalam bab ini yaitu berupa analisis mengenai pergeseran patrimonialisme dan hendak menjawab persoalan penelitian yang paling utama. Sejauhamana pergeseran tersebut terjadi?. Uraian yang akan dikemukakan adalah perubahan yang terjadi berhubungan dengan basis legitimasi politik dari elit. Peralihan dari pemanfaatan struktur ormas sebagai bagian dari posisi tawar politik terhadap parpol dan negara kemudian berubah menjadi. Strategi moderat dan politik jalan tengah yang diambil NU kemudian diikuti oleh ormas-ormas lainnya. Demikian juga jarak dengan kekuasaan, masing-masing ormas tidak bisa melakukan klaim sepihak untuk merapatkan dirinya sendiri. Faktor masyarakat menjadi penting karena mereka mempunyai kekuatan untuk melakukan revitalisasi terhadap institusi informal. Akar-rumput juga mempunyai ruang yang relatif otonom untuk mengambil keputusan dan membuka negosiasi dengan pihak lainnya. Tidak hanya pada persoalan politik saja melainkan pada faktor ekonomi dan sosial, meskipun faktor keagamaan mengharuskan mereka tunduk pada hirarki yang lama.
157
Bab ini akan menguraikan persoalan-persoalan penting yang mempengaruhi terjadinya perubahan ditingkat mikro. Perubahan-perubahan tersebut memang tidak sepenuhnya membentuk model interikasi baru sebagaimana terjadi ditingkat makro karena adanya respon yang berbeda-beda. Respon dari tingkat mikro mempunyai kecenderungan untuk mengembalikan fungsi ormas dan elit keagamaan sebagaimana perannya hanya dalam bidang keagamaan saja. Sementara itu, kekuatan politik yang berkepentingan terhadap eksistensi akar-rumput perlu bisa langsung menjalin komunikasi tanpa harus memanfaatkan elit sebagai makelar.
A.Perubahan Basis Legitimasi Perubahan sosial politik di tingkat makro diikuti dengan perubahan-perubahan ditingkat mikro. Dalam pembahasan bab III diketahui bahwa ormas memegang peranan penting dalam memberikan respon terhadap perubahan tersebut. Bagian yang paling mendasar dari kontardiksi yang terjadi dikalangan elit adalah munculnya revitalisasi pranata ekonomi, sosial dan politik. Elit santri tidak lagi bisa memanfaatkan basis legitimasi keagamaan untuk menopang otoritasnya pada bidang kemasyarakatan lainnya. Perubahan basis legitimasi elit santri memiliki beberapa dampak yang saling terikat antara satu dengan lainnya. Pertama adalah melemahnya kontrol elit terhadap institusi publik di tingkat desa. Dengan demikian, akar-rumput bisa memanfaatkan saluran-saluran yang semula terkontrol untuk dimasuki dan dipakai sebagai ajang aktualisasi demi kepentingan-kepentingan strategisnya. Interaksi dengan dunia luar
158
yang sedemikian terbuka membuat mereka mampu membuat jaringan-jaringan baru yang memungkinkan terjadinya interaksi ekonomi, sosial dan terutama politik. Sehingga tingkat ketergantungan pada elit lokal bisa diminimalisir. Terbukanya ruang publik merupakan hal yang penting karena akselerasi pemberdayaan akar-rumput bisa menemukan relevansinya. Dalam pembahasan ini, ruang publik disebut sebagai manifestasi modalitas lokal yang berkembang karena pengaruh demokratisasi dari luar.
1.Melemahnya Kontrol Elit Dalam sistem patrimonialisme didalam masyarakat santri, elit yang berperan sebegai penyokongnya terbagi dalam tiga basis yaitu elit ekonomi, elit agama dan elit politik. Di Krecek, elit ekonomi masih didominasi para warga yang menyandang status
Haji
dari
berbagai
ormas.
Mereka
tidak
lagi
ingin
benar-benar
menginvestasikan kekayaannya untuk tujuan-tujuan profetik keagamaan. Melainkan sekadar hanya mengangkat status sosial. Cara yang dipakai juga berbeda, dari bekerja keras, mencukupi kebutuhan keluarganya dan mempersiapkan warisan bagi yang berhak menjadi menjual tanah warisan atau mendapatkan uang dengan cara cepat dan tidak jelas. Menyimak perubahan-perubahan ini sudah barang tentu mempunyai pengaruh yang besar pada perubahan sosial yang berhubungan dengan penguasan modal dan faktor produksi. Elit ekonomi mulai didominasi oleh petani yang sukses dan sudah pergi haji dan membangun jaringan dengan para Kiai dengan mewakafkan tanah-tanah mereka
159
untuk kegiatan keagamaan. Jaringan antara haji dan para Kiai yang kadang diantaranya juga haji membuahkan hasil, bukan hanya pada proses santrinisasi atau NU-isasi melainkan juga legitimasi sosial yang saling berhubungan. Kiai diuntungkan karena dukungan modal pada haji untuk membiayai perawatan masjid, pengadaan peralatan dan pengorganisasian logistik pengajian-pengajian. Sementara para haji juga menikmati citra yang baik dimata masyarakat. Dengan demikian para haji bisa menjalin komunikasi dengan warga kebanyakan yang diantaranya juga sebagai pegawainya, juga dengan Kiai dimana dia juga berlaku sebagai bagian dari ummat. Jumlah haji semakin bertambah tetapi hanya beberapa saja yang mampu memainkan peranan sosial politik. Di Desa Krecek, banyak dari para haji adalah tuan tanah yang memiliki tanah sampai puluhan hektar. Hal ini baru diketahui sekarang karena menurut informasi awal dari aparat desa bahwa tidak ada tuan tanah, hal ini mungkin digunakan untuk menutupi adanya kesenjangan yang ada di desa ini. Setelah ada eksplorasi ternyata ada beberapa tuan tanah yang ada di beberapa dusun. Masing-masing dusun menpunyai satu atau dua haji yang berpengaruh. Misalnya didusun Krecek ada Haji D, di Dusun Sumberagung ada Haji M, di Balongmanyar ada Pak S, didusun Nepen ada Pak K. Haji D merupakan anak dari Pak S, artinya disini ada keturunan ataupun warisan, yang membuktikan ada keluarga yang cukup mempunyai banyak kapital berupa tanah didesa krecek. Sebagaian besar diseluruh desa Krecek, tuan tanah tersebut adalah pendukung NU.
160
Elit keagamaan sebagaimana disebutkan dalam bab III didominasi oleh para Kiai NU dan beberapa diantaranya Ustadz dari Muhammadiyah dan LDII. Mereka menguasai institusi-institusi keagamaan. Sedangkan elit politik adalah para politisi dari berbagai macam parpol yang ada. Melemahnya kontrol elit terhadap akar-rumput disebabkan oleh keterbukaan ruang politik yang lebih luas sehingga membuat berbagai kepentingan saling bertemu dan menegaskan dirinya masing-masing. Baik elit politik, agama dan ekonomi sama-sama tergerus oleh perubahan sosial politik dari tingkat makro yang memungkinkan munculnya respon dari akar-rumput untuk memperbaiki kapasitas dirinya. Dalam diagram 8, akar-rumput merupakan obyek yang dipengaruhi oleh ketiga basis elit. Respon yang diberikan akar-rumput terhadap elit politik berupa berkembangnya kapasitas penawaran politik, kebebasan memilih afiliasi dengan preferensi personal dan relatif berani mandiri dalam menentukan pilihan politik. Di dusun Sumberagung terdapat sekelompok petani yang menetapkan pilihannya pada PDIP karena mereka percaya bahwa parpol yang bersangkutan merupakan representasi petani kecil. Meskipun mereka adalah anggota pengajian dan mengaku pengikut NU tetapi tidak mau mengikuti ajakan sebagian besar elitnya untuk memilih PKB atau PPP. Sekelompok petani dari dusun Mulyorejo ketika mengikuti Musrenbang sudah berani dan lancar menanyakan tentang aliran Alokasi Dana Desa (ADD). Mereka juga berani mendebat pendapat elit-elit desa yang sepertinya berkepentingan agar bisa mengelola dana-dana tersebut. Secara formal, kemampuan akar rumput dalam
161
menaikkan posisi tawarnya kepada elit politik berhubungan dengan posisi ekonomi mereka ketika berhadapan dengan elit ekonomi. Dari pengaruh elit ekonomi, akar rumput bisa memilih pekerjaan diluar, ikut menentukan upah dan berbagai keuntungan dalam pekerjaan. Diferensiasi pekerjaan telah terjadi dan sejak tahun 2001 sampai 2005 reorientasi dari pemuda yang bekerja diluar daerah dan luar negeri dalam berbagai profesi. Selain itu dilingkungan desa sendiri, mereka bisa mengakses kredit lunak baik yang diberikan oleh pemeirntah atau lembaga swasta lainnya untuk membuka usaha perdagangan kecil. Sekalipun bekerja di bidang pertanian, mereka bisa melakukan negosiasi berkaitan dengan sistem pengupahan yang akan dibahas dalam sub bab selanjutnya. Dalam pola kemitraan, petani kecil bisa melakukan bagi hasil keuntungan dengan petani besar khususnya ketika masing-masing pihak sama-sama terikat oleh satu kebutuhan tertentu. Pengaruh elit agama dalam kegiatan sosial politik sebagaimana dibahas dalam bab II semakin melemah. Akar rumput mempunyai kemampuan untuk melakukan kritikan terbuka dan membatasi peran sosial politik elit keagamaan. Dalam pengajian Yasin Kubro, warga masyarakat yang menjadi peserta bisa langsung mengkritik elit yang tengah bicara didepan. Sekalipun tidak terjadi dialog, simbol yang bisa diketahui adalah kritisisme yang sudah dilakukan perlu diberikan ruang yang memadai. Di dusun Nepen, ruang publik seperti warung kopi dan pertemuanpertemuan dusun telah menjadi ruang berpendapat tanpa dibatasi oleh rasa tertekan. Pembatasan yang dilakukan terhadap elit kegamaan berupa ketidakpatuhan kolektif
162
terhadap seruan atau ajakan dalam bidang diluar otoritas mereka seperti politik praktis. Kemenangan PKB bukan hanya murni dari hasil mobilisasi elit keagamaan dan elit politik saja melainkan bukti penerimaan akar rumput terhadap kesepakatan semula. Selebihnya, dalam hal keagamaan, ketaatan masih tetap dipelihara.
Diagram 6: posisi elit dan akar-rumput -Ketaatan hanya pada soal agama -Mampu Melakukan Kritik Terbuka -Membatasi peran
Elit Politik
-Mempunyai Kapasitas Penawaran Politik -Bebas Memilih Afiliasi dengan Preferensi Personal -Relatif Mandiri
Akarrumput
Elit Agama
Elit Ekonomi
-Memilih pekerjaan diluar -Ikut menentukan skema upah -Berbagai keuntungan
163
Di Krecek tidak begitu dijumpai jejak pengorganisasian yang dilakukan oleh lembaga keagamaan yang dikendalikan oleh kekuatan politik lainnya. Penyebab utamanya adalah respon yang pasif atas penyebaran gagasan melalui wacana agama yang kurang begitu aplikatif. Masyarakat lebih menyukai langkah-langkah kongkret yang bisa memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan jangka pendek yang mereka hadapi. Keadaan pasca Orde Baru membuat kontrol elit menempati ruang terbuka sehingga mobilitas dan perubahan struktur elit sendiri berjalan dengan sangat lamban. Melemahnya kontrol elit menyebabkan jaringan yang rapi dan melibatkan berbagai macam dukungan ekonomi dan politik terutama yang didapatkan dari negara mulai terberai dan bisa dimanfaatkan oleh siapapun yang berkepentingan. Ruang lingkup kontrol mereka tidak lagi melingkupi semua aspek tetapi terbatas pada basis mereka masing-masing. Dengan
banyaknya
perubahan
struktur
ekonomi
yang
menjadikan
bermunculannya aktor-aktor ekonomi baru, jaringan elit lama yang tidak lagi mendapatkan dukungan negara, tidak mampu mempertahankan posisi strategisnya. Kendali utama terhadap interaksi sosial harus mengalami pelemahan terlebih dahulu karena masyarakat telah diuntungkan oleh perubahan struktur yang lebih tinggi sehingga mereka bisa membuat institusi-institusi lain dan mengembangkan dengan cara mereka sendiri tanpa harus mendapatkan legitimasi elit. Disusul kemudian kendali elit atas pengelolaan sumber daya umum kian melemah karena gagalnya elit melakukan kampanye yang meyakinkan bahwa masyarakat masih membutuhkan kehadiran mereka. Begitu juga diranah manajemen konflik dan juga sektor politik.
164
Akar-rumput lebih menekankan partisipasi dan kebebasan untuk berpendapat dan ikut menentukan pembangunan di desa.
2.Perdagangan dan Pengaruhnya Perubahan struktural telah membawa konsekuensi positif terhadap intensitas interaksi masyarakat yang tidak terbatas pada aktivitas ekonomi, keagamaan dan kekerabatan saja. Meskipun demikian, perlu disebutkan beberapa faktor penting dari berbagai aktivitas diatas dalam masa perubahan. Dalam aktivitas ekonomi, pedagang dari Krecek berhubungan dengan daerah yang terbatas pada hubungan perdagangan kebutuhan sehari-hari dengan wilayah kota Pare. Sementara hubungan perdagangan yang lebih luas didapatkan dari daerah Lamongan dan Gresik untuk perdagangan bibit ikan. Intensitasnya sangat padat ketika musim penghujan tiba. Kontak dagang yang intensif dengan kota Pare disebabkan karena tidak adanya sarana perdagangan berupa pasar di Krecek. Pedagang dalam skala kecil kebutuhan rumah tangga bisa juga datang ke Pasar Blaru di Desa Blaru-Badas. Selain sarana perdagangan yang minim, sarana kesehatan juga sama kondisinya. Di Krecek hanya berdiri klinik kesehatan kecil yang mirip dengan Puskesmas pembantu. Staf kesehatan juga tidak bisa diharapkan bisa memberikan pelayanan yang memuaskan karena keterbatasan peralatan medis dan obat-obatan. Berbagai aktivitas dengan daerah luar menyebabkan akses informasi yang berupa masuknya berbagai perubahan-perubahan dalam tingkat mikro didaerah lain bisa lebih mewarnai perubahan di Krecek. Didalam pemerintahan, birokrasi desa
165
berhubungan dengan koleganya yang meliputi wilayah yang termasuk didalam Bagian Koordinator Kecamatan (setingkat kawedanan) Pare. Elit birokrasi memanfaatkan jaringan komunikasi dengan sesama birokrasi desa untuk saling bertukar pengalaman dan informasi terbaru yang terjadi didalam pemerintahan. Kepala Desa dan perangkatnya hampir setiap hari pergi ke kota Pare dan bertemu dengan jajaran birokrasi desa lainnya dalam rangka koordinasi pemerintahan. Dilingkup kegiatan keagamaan, elit keagamaan memelihara hubungan dan komunikasi dengan pesantren dimana mereka mendapatkan pendidikan dan terikat sebagai bagian dari alumni yang harus selalu berkomunikasi dengan Kiainya. Jaringan komunikasi antar pesantren yang paling intens dilakukan dengan pesantren Lirboyo, Sumbersari, Jampes dan Kencong di wilayah Kediri. Sedangkan di Jombang terpusat di pesantren Denanyar, Darul Ulum dan Tambak Beras. Jaringan institusional NU menggunakan sistem hirarkis yang dilakukan melalui tingkatan kepengurusan dari desa sampai kabupaten. Dalam hal kolektivitas, jaringan yang paling intens melakukan serangkaian perjalanan dalam waktu yang rutin dilakukan oleh jaringan tarekat yang terpusat di aliran Kencong, Darul Ulum dan Cukir. Meskipun semua interaksi dengan dunia luar sudah berlangsung sejak lama. Tetapi perubahan yang penting untuk dicatat terjadi antara tahun 2001-2004 ketika kesadaran untuk membangun jaringan dengan dunia luar mulai tersosialisasi dengan baik kepada hampir sebagain besar masyarakat. Berbeda dengan pada masa lalu, dimana interaksi dilakukan hanya oleh orang-orang yang berkepentingan keluar untuk sebuah urusan tertentu saja. Rentang tahun tersebut selain teknologi komunikasi
166
selular sudah mulai marak digunakan, kedatangan beberapa pemuda yang menimba ilmu di perguruan tinggi mulai membawa sifat mobilitas yang tinggi bagi pemuda lainnya. Berbagai agenda kegiatan mulai dilakukan dengan mengundang keterlibatan institusi lain seperti universitas untuk melakukan kerja-kerja pemberdayaan masyarakat. Hubungan-hubungan dengan desa-desa sekitar Krecek tidak lagi didominasi oleh kepentingan belajar di pesantren Darul Falah atau lainnya. Hubungan kekerabatan menjadi pemicu terjadinya rotasi elit dimana pendatang bisa menjadi elit dalam waktu yang tidak terlalu lama. Terjadinya perkawinan antar desa memberikan pengaruh pada perubahan kedudukan elit. Seperti yang dialami oleh Suyatno yang menjadi penduduk setelah menikah dengan anak salah satu elit ekonomi. Dia terlibat aktif sebagai pengurus NU dan selama seminggu sekali pada malam jum’at mengikuti pengajian keliling dari rumah anggota jama’ah satu ke lainnya. Profesinya adalah guru MAN setelah meraih sarjana keagamaan dari sebuah universitas. Menurut sumber terpercaya, dia mampu menduduki lingkaran elit keagamaan karena mampu menyediakan tanah milik keluarga untuk dijadikan bangunan sekolah dan mampu melobi pemerintah untuk mendirikan MAN di daerah ini. Banyak orang serupa dengan Suyatno yang bisa sukses menjadi elit desa karena kedudukan formal dalam bidang pekerjaan dan kemampuan bersosialisasi yang ditunjang pemahaman dan pengetahuan yang lebih luas. Mereka juga aktif dalam menyampaikan gagasan dan berani mengambil posisi sama dengan elit desa yang dilahirkan dan mempunyai leluhur berpengaruh di Krecek.
167
Kontak dengan dunia luar mempunyai signifikansi sebagai faktor pendorong pembuatan jaringan yang melibatkan berbagai latarbelakang. Mobilitas kelas sosial baru merupakan dampak yang sudah terlihat disamping mempengaruhi kadar perubahan sosial politik di desa. Kontak yang terpelihara secara rutin dan terkendali adalah jaringan tarekat terutama yang beraliran Qadiriyah wan-Naqsabandiyah. Hasil dari interaksi organisasional yang dilakukan oleh kelompok tarekat tidak hanya pada soal keagamaan saja melainkan sampai pada persoalan sosial dan politik. Reproduksi wacana dilakukan oleh elit mereka yang berada di pusat atau markas besar yang disosialisasikan dalam setiap kesempatan pengajian yang digelar.
3.Fungsionalisasi Ruang Publik Gagasan mengenai ruang publik sudah dimiliki oleh masyarakat desa seiring munculnya kebutuhan untuk saling berbagi tanggungjawab sebagai warga desa. Mereka menunjuk pada sebuah ruang dimana segala pembicaraan boleh menyinggung materi apapun. Media-media yang berfungsi sebagai ruang publik adalah Warung, Gardu Siskamling dan Balai Desa. Di masa Orde Baru tempat-tempat tersebut digunakan sebagaimana fungsinya, warung merupakan tempat orang membicarakan persoalan sehari-hari minus perkembangan sosial politik dan terutama menyangkut kedudukan kekuasaan negara. Banyak anggota militer dan polisi yang setiap saat ikut bertanggungjawab menjaga arah pembicaraan. Gardu siskamling hanya menjadi tempat berjaga dan balai desa untuk mengumpulkan masyarakat mendengarkan sosialisasi program-program pemerintah.
168
Di seluruh Krecek terdapat lebih dari 15 warung, rata-rata masing-masing dusun mempunyai sebuah warung utama. Selain dijadikan tempat berkumpul bagi warga di setiap dusun, warung yang berada dipinggir jalan besar dan buka sampai malam hari menjadi tempat berkumpulnya orang-orang dari luar desa. Warung kemudian berkembang tidak hanya menjadi pusat penjualan makanan dan minum kopi tetapi telah menjadi pusat transaksi ekonomi yang paling penting. Di dusun Nepen, warung milik warga desa Tunglur yang dibuka diseberang dermaga pengentasan bibit ikan milik Pak Tris merupakan tempat bertemunya pembeli dari luar Krecek. Berbagai perkembangan sosial politik yang paling mutakhir dari daerah-daerah di Bojonegoro, Lamongan dan Gresik dibicarakan. Ditempat ini semua berhak untuk berbicara tanpa memandang status dan latarbelakang sosial. Kritik juga bisa langsung disampaikan tanpa ada tendensi yang berlebihan. Perubahan mendasar dari ruang publik bukan terletak pada perubahan fungsi saja melainkan perubahan material. Pada tingkat elit, perubahan ini membuat kehadiran mereka di ruang-ruang publik tersebut begitu terbatas. Mereka harus berhadapan dengan warga yang semakin kritis dan bebas menyampaikan pendapatnya. Rendahnya tingkat kehadiran elit membuat ruang publik lebih banyak dimanfaatkan sebagai sarana diskusi bagi akar-rumput. Meskipun demikian tidak tertutup bagi elit untuk datang dan menawarkan berbagai pandangan dan gagasannya. Sebagian besar, warung-warung yang berdiri di Krecek bukanlah milik warga asli melainkan dikelola oleh orang luar desa dengan sistem sewa tempat. Di sebagian tempat lagi sudah bisa dibeli sendiri dan menjadi hak milik penjual. Hal ini membuat
169
pemilik warung berada dalam posisi netral dan setidaknya lebih cari daripada kepentingan pihak-pihak yang mungkin berbeda pendapat. Didalam warung, siapapun bisa mengutarakan pendapatnya secara terbuka. Tarkait dengan persoalan dagang sampai pada isu-isu terkahir di desa. Kualitas pembicaraan bisa dikatakan serius meskipun dibalut dalam suasana yang santai. Selain warung, balai desa yang berada satu kompleks dengan rumah dinas kepala desa merupakan ruang yang terbuka untuk publik. Tetapi karena sifatnya yang formal, tidak banyak yang mengaksesnya. Faktor kedekatan dengan kepala desa menjadi stigma yang lazim dilekatkan pada warga yang sering bertandang ke balai desa diluar agenda kegiatan resmi desa. Tempat lainnya adalah gardu siskamling yang terbatas dengan peserta dari satu dusun saja.
B.Revitalisasi Institusi Informal Bagian dari respon terhadap perubahan situasi politik menyebabkan legitimasi elit dan mobilisasi terhadap sumber daya ekonomi menghasilkan revitalisasi institusi informal. Hal ini terjadi karena tingkat kepercayaan pada afektivitas fungsi institusi formal mulai sedikit berkurang terutama dalam penanganan persoalan yang melibatkan lemahnya posisi tawar akar-rumput. Institusi informal merupakan modalitas yang berbentuk pranata dan norma sosial dan beberapa diantaranya sudah terlembaga dengan baik tetapi karena kuatnya intervensi negara, institusi tersebut kehilangan fungsi dan relevansinya.
170
Revitalisasinya dipengaruhi oleh kendali yang tidak optimal dari negara dan rendahnya kepercayaan terhadap dominasi elit. Meskipun demikian, institusi informal ini masih dihubungkan dengan institusi lainnya yang dikelola oleh struktur organisasi keagamaan, birokrasi desa dan negara melalui dinas pengairan. Pada bagian ini, revitalisasi institusi informal telah mulai dilakukan di Krecek sejak awal 1990-an tetapi tidak berjalan efektif. Mulai tahun 2000 an, institusi informal bisa berjalan dengan maksimal dan mempunyai peran penting dalam perubahan sosial politik pada masyarakatnya. Institusi informal di Krecek terdiri atas tiga jenis yaitu pengelolaan air, aktivitas keagamaan dan kegiatan sosial warga. Ketiganya mampu menampilkan sisi lain dari aktivitas masyarakat krecek yang bisa mengurai tingkat ketergantungan sosial politik pada elit. Selain itu dalam pengolahan pertanian, sistem upah dan munculnya solidaritas merupakan penjelasan afirmatif yang menjawab persoalan bagaimana implementasi revitalisasi tersebut dalam ruang yang lebih luas?.
1.Bentuk-bentuk Institusi Informal Di Krecek terdapat tiga macam tekanan sosial politik informal dengan Institusi pendukungnya yang berbeda-beda (diagram 4). Warga Krecek mengenal kerjasama seperti gotongroyong yang disebut soyo dalam bidang pemberian bantuan pembangunan rumah warga yang sedang membangun atau tidak mampu. Kegiatan ini biasanya dikoordinasikan oleh Kepala Dusun atas inisiatif masyarakat sendiri. Tidak ada mekanisme organisasional dan tertulis dalam proses pemberian bantuan karena
171
jenis bantuan ditentukan sendiri oleh masing-masing orang. Koordinator hanya bertugas untuk menerima informasi dari pihak yang berkepentingan dan meneruskan informasi tersebut kepada warga yang lain. Pemberlakukan soyo bisa meminimalisir kesenjangan utamanya pada bentuk tempat tinggal antara warga yang mampu dan miskin. Dalam pelaksanaan kegiatan soyo, terdapat seseorang yang berfungsi sebagai fasilitator. Disamping kepala dusun juga orang-orang yang tergolong kaya bisa menjadi pelopor dalam menyediakan kebutuhan bahan bangunan terlebih dulu. Dalam satu dusun terdapat sekitar 50 kepala keluarga atau lebih terutama untuk dusun yang besar seperti Bumirejo dan Mulyorejo. Masing-masing kepala keluarga mengirimkan wakil atau memberikan bahan-bahan yang diperlukan sepanjang yang dia mampu. Dalam pengerjaannya, apabila makan waktu selama 3 hari, maka jumlah prang yang mempunyai kewajiban bisa dibagi selama hari yang dibutuhkan tersebut. Pelaksanaan kegiatan tersebut tidak secara rutin dan berkala dilakukan karena permintaan untuk perbaikan rumah memang tidak selalu ada Diagram 7 : Jenis dan Hubungan Institusi Informal
Error!
Institusi Pendukung
Takmir Masjid
Orang Kaya, kepala Dusun
Himpunan Pemakai Air
Bentuk Tekanan Informal
Ro’an (Keagamaan)
Soyo (Sosial Masyarakat) Wangan (Distribusi Air)
172
Institusi informal lainnya adalah ro’an yakni kegiatan yang diselenggarakan di dalam masjid. Kegiatan ini relatif steril dari kepentingan ormas dan menjadikannya sebagai bagian mobilisasi organisasional terhadap akar-rumput. Kegiatan ini dikelola oleh takmir masjid yang memanfaatkan dukungan jama’ah masjid untuk menyelenggarakan acara-acara keagamaan. Motifnya bersifat sukarela dan bisa dilakukan di masjid milik NU, Muhammadiyah atau LDII. Jenis bantuan bisa bermacam-macam tetapi umumnya dalam bentuk makanan, minuman atau perlengkapan lainnya. Dalam tradisi ro’an, partisipasi warga menjadi penentu keberhasilan sebuah acara keagamaan. Hal ini juga bisa dijadikan sebagai ajang pembuktian afiliasi seseorang terhadap salah satu ormas tertentu. Mengingat masingmasing ormas beribadah dan menggelar acara di masjid yang mereka bangun sendirisendiri.
Identifikasi pengikut sebuah ormas dan jama’ah masjid tertentu begitu
mudah karena kecil kemungkinannya seorang Muhammadiyah mau berpartisipasi untuk menyelenggarakan acara-acara NU dan sebaliknya. Sekalipun ada para Haji yang dermawan dari Muhammadiyah dan menyumbangkan hartanya untuk kepentingan NU lebih bersifat kondisional saja. Ditingkat massa, hal seperti itu tidak banyak berlaku. Institusi informal yang dulu dikelola sebagai bagian dari birokrasi desa dan relatif tidak berfungsi adalah Jogoboyo yaitu perangkat desa yang bertanggungjawab terhadap sistem keamanan desa. Jabatan ini dipegang oleh satu orang dimana insentif yang diberikan berupa tanah bengkok yang lebih sempit dari bagiannya kepala desa dan setara dengan Kebayan (juru pemberi kabar berita) dan Modin (penghulu desa).
173
Pada tahun 1970-an peran Jogoboyo digantikan dengan Jogotirto karena fungsinya sudah tidak ada dan hampir seluruh sistem keamanan dipegang oleh aparat keamanan baik polisi dan tentara. Pada awalnya jabatan ini disangang oleh dua orang dimana insentifnya diturunkan dari Jogoboyo yang dibagi dua. Dibidang distribusi dan pengelolaan aliran air, tugas dari Jogotirto adalah untuk mengatur sistem irigasi desa dan mengalirkan air dari dam-dam atau sumber terdekat pada petani yang membutuhkan secara merata. Tetapi hampir tidak dirasakan hasil yang signifikan dari kerja Jogotirto karena pada dasarnya sejak tahun 1980-an debit aliran air di Krecek relatif stabil dan hanya pada musim kemarau saja yang membutuhkan pengaturan. Saat ini, Jogotirto tinggal seorang yang nyaris tidak mempunyai fungsi apapun sehingga pada awal 1990-an, warga membentuk himpunan pemakai air (HIPA) sebuah lembaga informal yang dikelola secara kolektif dan tidak berhubungan dengan rantai birokrasi dan perangkat desa. Meskipun pada prakteknya, di masa Orde Baru, pemerintah sangat mempengaruhi keberadaannya. Setelah negara melepaskan pengaruhnya, HIPA sepenuhnya terserak menjadi bagian operasional yang berbeda-beda disetiap daerah. Di Krecek, sejak tahun 2002, struktur HIPA ditetapkan terdiri dari petani pemakai dalam satu kawasan yang disebut kelompok. Diatas kelompok ini terdapat “sub” yang mewadahi beberapa kelompok dan akan berkoordinasi langsung kepada dinas pengairan yang memegang kendali atas pintu-pintu air yang ada. Di Krecek, HIPA mempunyai jenis yang informal dan menjadi cirikhas yaitu dalam wilayah kelompok terdiri atas beberapa
174
“wangan” yaitu ruas-ruas saluran irigasi diantara petak-petak sawah. Biasanya dalam satu wangan terdapat 5-10 sawah yang dikoordinasi oleh satu orang. Koordinasi antar wangan dilakukan hampir setiap hari bertempat disela-sela istirahat siang didalam gubuk atau dibawah pohon ditengah sawah. Petani yang membutuhkan debit airnya ditambah tinggal menghubungi koordinator wangan yang akan mengaturnya bersama sub dan mereka pergi pada dinas pengairan yang mengendalikan dam untuk meminta tambahan debit air dengan memberikan beberapa rupiah sebagai uang lelah. Sebelum dibentuknya HIPA ini (bahkan ada beberapa orang yang tidak menamainya) pernah terjadi perselisihan antar warga yang masih termasuk saudara. Ini disebabkan karena letak sawah yang berdekatan merupakan hasil warisan dari orang tuanya. Tercatat dua kali perkelahian antar saudara di dusun Karangnongko dan Bumirejo yang memperebutkan aliran air dari saluran irigasi yang ada dalam wilayah satu wangan. Masing-masing kegiatan tersebut dikelola oleh warga yang lebih didasari oleh semangat kebersamaan karena tidak ada aturan khusus yang memuat tata caranya, hanya ada catatan tentang daftar nama-nama yang akan dikenakan beban.
2. Sistem Pengolahan Pertanian Kolektif Warga Krecek secara teknis ditingkat desa menganggap pekerjaan Dinas Pengairan dalam mendistribusikan air dianggap tidak optimal. Terutama pembagian air sampai di petak-petak sawah. Pertanian daperikanan yang menjadi tulang punggung masyarakat memiliki karakteristik yang harus dipahami terlebih dulu agar
175
distribusi berlangsung dengan adil. Dari sini, mereka menganggap segala sesuatu yang berhubungan dengan pembagian langsung ke petak-petak sawah ditangani masyarakat sendiri. Di Krecek, daerah lahan pertanian mempunyai proporsi kebutuhan air yang sama dengan lahan kolam untuk pembenihan ikan. Pemilik lahan kolam yang membutuhkan air yang lebih banyak dari pertanian padi sehingga diatur pola pengisiannya. Siang hari untuk mengairi kolam dan malam hari untuk lahan petanian. Pengaturan tersebut didasarkan kesepakatan antar pemilik lahan yang beberapa diantaranya menerapkan sistem transaksi. Beberapa petani kaya seperti Haji Herian di Sumberagung bisa membeli jatah petani Sugeng yang merasa lahannya sudah cukup air sementara dia masih mempunyai jatah air. Meskipun demikian, jika musim kemarau ada juga beberapa orang yang berebut untuk mendapatkan air tetapi intensitasnya bisa dikatakan sangat jarang. Kalaupun ada, sengketa tersebut akan diselesaikan dengan mekanisme yang telah dibuat. Di masing-masing dusun terdapat kelompok-kelompok tani yang terdiri antara 30-50 anggota. Dalam perkumpulan tani yang ada, dominasi kelompok abangan cukup kuat. Perkumpulan petani yang dikoordinasi oleh Haryono di dusun Pulorejo mengusahakan terpenuhinya suplai pupuk pada petani setelah mendapat modal 6 juta dari Dinas Pertanian pada tahun 2000. Kelompok ini mempunyai anggota 43 orang dan mengadakan pertemuan sekali sehabis panen untuk membicarakan persoalan seputar masa tanam, penyakit, penyediaan bibit sampai pada penjualan. Tetapi akhir-
176
akhir ini usaha mereka mengalami goncangan karena langkanya pupuk yang sampai hari ini tidak diketahui penyebab pastinya. Pola perkumpulan tani yang ada di masing-masing dusun hanya bergerak dalam bidang pertanian padi dan tidak bisa diterapkan di kalangan patani kolam. Pengorganisasian petani kolam pernah dicoba di dusun Nepen pada tahun 1986, dengan didirikan organisasi yang diberi nama Balai Pembenihan Ikan (BPI), akan tetapi organisasi ini tidak bisa berjalan karena faktor perdagangan bibit ikan yang menganut sistem pasar bebas. Hal tersebut menyebabkan tidak ada petani yang mau menjadi koordinator dan penanggung jawab dalam pendistribusiannya karena takut akan resiko yang begitu besar kalau mengalami kegagalan dalam penjualannya. Ketidaksamaan dalam memulai pembibitan yang dilakukan masing-masing petani juga menjadi salah satu penyebab tidak efektifnya organisasi. Dengan demikian sekarang sistem yang digunakan untuk pembibitan dan penjaulannya dilakukan secara individu, ketika dalam pembibitan dilakukan dikolam pembibitan dan ketika siap dijual ditaruh di kolam penampungan. Sistem pasar bebas menyebabkan bibit ikan yang dikembangbiakkan disesuaikan dengan kebutuhan dan pemesanan yang dilakukan oleh pembeli, artinya petani ikan tidak menyediakan berbagai macam bibit dengan variasi yang banyak, hanya disesuaikan dengan keinginan pembeli saja. Untuk masalah yang dialami oleh petani kolam yang juga salah seorang tokoh Muhammadiyah dari Nepen menyebut bahwa dengan pasar bebas, tingkat tanggungjawab individu petani kolam sangat berperan. Misalnya masalah waktu penaruhan induk, kadang petani selau menunda
177
penaruhan induk di kolam sehingga yang terjadi adalah ketika waktu pembibitan tiba dan harus dilakukan terjadi kerepotan karena belum siap. Masalah bagi petani kolam adalah permodalan, terutama bagi yang baru merintis usaha. Dalam beberapa tahun terakhir, mereka bisa melakukan peminjaman kepada BPR dan bukan BRI sebagaimana pada masa sebelum reformasi.Pihak BPR menerapkan pola peminjaman yang terkait dengan luas lahan yang dikelola. Untuk luas kolam yang dimiliki oleh para petani, hanya sekitar 2 hektar saja kolam terbesar yang dimiliki oleh beberapa orang. Sedangkan yang lainnya merupakan petani yang biasa saja, bahkan petani kecil hanya mempunyai kolam dengan memanfaatkan sisa lahan yang dimilikinya. Petani meminjam uang sebagai modal pembibitan dan pembelian pupuk dari BPR pada saat musim tanam. Hubungan antara petani padi dan kolam dilakukan dalam rangka distribusi air. Mereka berkoordinasi melalui HIPA yang sudah ada dengan seorang koordinator air dimana di masing-masing dusun terdapat beberapa perbedaan dalam sistem distribusinya, tarif, cara kerja koordinator dan peruntukannya. Misalnya di dusun Bumirejo, distribusi dilakukan secara bergiliran per blok (gilir blok), pada malam untuk kolam dan siang untuk pertanian. Setiap malam selasa mengairi blok utara dusun dan hari lainnya diurutkan dari selatan, barat, utara lalu timur. Secara umum untuk sektor ikan ini dibedakan menjadi 2 kolam yakni kolam pembibitan yang terletak disawah dan kolam penampungan untuk menampung bibit yang siap jual serta siap diambil pembeli yang teletak di tempat yang strategis di dusun Nepen dan dipinggir jalan utama dusun. Walaupun terdapat 2 tempat kolam
178
dan sebenarnya butuh pengorganisasian agar bisa lebih efektif, akan tetapi menurut T adanya organisasi malah membuat pengelolaan perdagangan semakin susah. Menurut dia dengan adanya organisasi pasti ada standar mutu yang ditetapkan untuk bibit yang akan dijual, ada sistem bagi hasil dengan pengurus organisasi, ada standar harga. Hal inilah yang menurut petani ikan justru merepotkan. Mereka berpendapat bahwa kualitas bibit seadanya dan yang ada saja yang digunakan, artinya kalau bibitnya jelek tentu harganya juga rendah, kalau baik harganya juga tinggi. Sehingga untuk masalah harga terjadi kesepakatan diantara penjual dan pembeli. Tidak perlu ada standar yang harus dipenuhi. Dalam menghadapi kasus kelangkaan pupuk karena distribusi pupuk tidak bisa berjalan dengan baik. Penyalur pupuk di desa perlu persetujuan dari aparat desa, oleh sebab itu aparat desa secara langsung harusnya ikut bertanggungjawab terhadap kesediaan pupuk. Koordinasi perangkat desa yang menyangkut kedisplinan juga lemah sehingga terkesan ketika ada persoalan besar saja, mereka bisa berkumpul di Balai Desa. Tugas administratif dan bersifat pelayanan lainnya dianggap lebih banyak yang terbengkalai. Seluruh pembangunan desa pada gilirannya hanya mengandalkan dana drop-dropan dari negara tanpa ada kreativitas dari pemimpinnya. Persoalan dalam pengolahan pertanian mempunyai potensi yang besar untuk memicu persoalan yang lebih luas. Sektor pertanian merupakan matapencaharian terpenting yang menghidupi warga desa. Dalam sistem pengolahan pertanian mulai dari penyediaan alat produksi, permodalan sampai penanganan atas persoalan yang ada lebih banyak melibatkan aktor-aktor yang semakin beragam. Tidak hanya
179
pemerintah yang memberikan bantuan permodalan karena warga lebih suka untuk meminjam di bank umum dengan alasan yang cepat. Pemain-pemain lainnya mulai bermunculan sehingga warga semakin mempunyai banyak pilihan yang berakibat pada dinamisasi sektor pertanian sendiri sebagia mata pencaharian yang paling menguntungkan.
3.Sistem Upah Pengolahan pertanian telah sedemikian menempati posisi penting sebagai bagian penghidupan masyarakat. Di Krecek, sebagaimana dalam masyarakat agraris lainnya, sistem upah mempengaruhi kecenderungan fluktuasi kepatuhan dalam hubungan klientilisme. Sistem upah ditentukan oleh tingkat kepatuhan dan kesediaan klien dalam melayani kepentingan patron. Sistem upah sudah terbentuk sejak lama tetapi mengalami destraksi pada masa Orde baru dimana pemberian upah didasarkan pada hubungan yang senjang antara majikan-buruh. Pada saat itu, sistem upah tergantung pada struktur kepemilikan tanah dan pengaturan pertanian serta produksi hasilnya. Tidak semua dusun yang ada mempunyai jumlah dan komposisi yang sama dalam hak kepemilikan lahan pertanian. Tetapi rata-rata dapat dikategorisasikan lebih banyak petani penggarap atau penyewa daripada yang petani pemilik. Pada tahun 2001 terjadi perubahan penting menyangkut tingkat kebutuhan hidup masyarakat. Terutama setelah masa-masa krisis ekonomi pada penghujung tahun 1990 an. Dampaknya adalah restrukturisasi sistem upah berdasarkan perhitungan yang lebih meluas dan tidak hanya berdasarkan relasi majikan-buruh.
180
Petani yang semula tidak mempunyai lahan banyak memakai sawah-sawah sewa. Petani penyewa perlu membeli lahan dengan harga yang ditetapkan sebesar 800 ribu rupiah per 100m2 untuk satu tahun dan rata-rata penyewa akan meminta lahan 1 bau atau setara dengan 500m2. Perhitungannya bahwa dengan luas ini dapat diperoleh keuntungan yang maksimal. Petani penyewa relatif bisa menyimpan hasil panen dan menginvestasikan dalam usaha-usaha lain seperti pendidikan anak-anak dan menanamkan modal di sektor perikanan. Selain petani penyewa, terdapat petani penggarap yang menetapkan sistem maru dimana petani penggarap bertanggungjawab pada kebutuhan pupuk, bibit sampai pemeliharaan sementara pemilik lahan hanya menyediakan lahannya saja. Pembagian keuntungan dilakukan dari hasil laba setelah dipotong biaya produksi sebesar masing-masing 50 persen. Ada juga yang menerapkan sistem bagi dimana pemilik dan penggarap sama-sama ikut menyertakan modal dalam penyediaan bibit, pupuk dan perawatan. Setelah panen, jumlah pemasukan langsung dibagi dua. Bagi warga yang tidak mempunyai modal akan bekerja sebagai buruh tani dengan berbagai macam sistem yang dibuat oleh pemilik lahan antara lain: buruh menjadi penjaga lahan selama satu musim tanam. Dia harus bertanggungjawab untuk mengusir burung cipret, peking atau derkuku yang memakan padi atau tikus ketika mulai mendekati panen. Buruh ini akan diberi upah setelah panen dengan ketentuan besaran yang ditetapkan oleh pemilik lahan dan tidak ada upah standar. Adapun waktu pengupahan sendiri bisa dihitung harian, bulanan atau dalam setiap musim panen.
181
Model petani penyewa dan penggarap menjadi titik awal terjadinya pemerataan aset-aset pertanian yang semula hanya dimiliki beberapa orang. Petani penyewa dan penggarap mempunyai peran penting dalam memunculkan sistem upah baru terhadap buruh tani. Dalam sistem upah yang menghubungkan antara petani baik pemilik, penyewa atau penggarap dengan buruh sangat tergantung pada tingkat debit aliran air di masing-masing areal persawahan. Terdapat perbedaan antara sistem yang diterapkan di dusun Krecek, Nepen dan Sumber Agung yang relatif mendapatkan aliran yang lancara dari sumber aiar atau saluran irigasi dengan yang ada di dusun Bumirejo. Di dusun tersebut, aliran air pada musim kemarau sangat sedikit sehingga banyak terdapat persil atau istilah bagi sebidang lahan yang berukuran dan berfungsi sama dan biasanya merupakan sabutan pada lahan perkebunan. Kurangnya air membuat petani membuat sumur-sumur pompa di tengah sawah. Terdapat 12 pompa untuk mengairi areal pertanian pada musim kemarau saja. Sumur ini dibuat oleh perorangan dan dikelola oleh masing-masing pemilik dan tidak tertutup kemungkinan untuk dimanfaatkan oleh tetangganya. Dalam kondisi ini, upah diberikan lebih rendah karena pemilik lahan pertanian harus membayar biaya listrik untuk pompa dan bahan bakar. Bagi buruh tani, pendapatan mereka bisa bertambah dengan bekerja untuk membuat atau memperbaiki galengan (pematang) karena untuk membajak sudah dikerjakan melalui sistem borongan dengan traktor. Selain upah yang diberikan kepada profesi buruh, juga diberikan terhadap profesi lain yaitu petugas air yang diatur berdasarkan persentase dari hasil panen. Rata-rata petugas air mendapatkan 12 kg gabah tiap panen untuk setiap sawah seluas
182
250 ru. Masing-masing blok sawah terdapat satu orang sehingga untuk lahan seluas 250 ru terdapat total 5 orang dengan satu koordinator. Mereka bertugas untuk mengalirkan air dari aliran Sumbersari pada malam Selasa, Rabu, Kamis dan Jumat. Sedangkan hari sisanya dari air sumber di desa. Koordinator wangan berhak mendapatkan upah 2500 rupiah untuk setiap 100m2 sawah yang dialiri dari saluran irigasi kecil dalam ruas wangan tersebut. Koordinator biasanya tergabung dalam HIPA yang ditunjuk dalam musyawarah (forum) desa. Dalam menjalankan tugasnya, petugas pengelola air dibagi tiga bagian yaitu: disawah yang bertugas membuka dam kecil dan mendatangkan air dari pusat dam besar. Upah yang diterima oleh petugas 30 ribu perkolam untuk sekali isi yang dirincikan 20ribu untuk pembelian air dan 10 ribu uang jasa. Sementara untuk tegalan dan tanaman pertanian padi sebesar 7500 perbagian. Sistem upah profesi diikuti dengan ketentuan sanksi pada pelanggaran yang terjadi. Forum desa bertugas mengangkat dan memberhentikan koordinator air ketika yang bersangkutan tidak jujur untuk digantikan dengan yang lain. Misalnya menjual aliran air kepada blok yang semestinya belum mendapatkan giliran. Setiap koordinator juga mendapat upah disesuaikan dengan kebutuhan air yang diinginkan, tidak bisa dipastikan besarnya bayaran yang akan diterima. Tetapi rata-rata koordinator mendapatkan 25 ribu. Kepemilikan tanah pertanian di Krecek rata-rata seluas 2 bagian atau 1 bau. Tetapi bagi petani kaya, mereka juga mempunyai instalasi selepan (penggilingan padi) dan rata-rata mempunyai 15 bau atau 30 bagian tetapi kebanyakan sudah diatas
183
namakan anak-cucunya. Petani kaya mendapatkannya dari warisan dan beberapa orang mantan birokrat seperti Sakri di Bumirejo yang mempunyai lahan lebih dari 2 ha dibeli setelah pensiun. Bagi buruh tani yang mempunyai keluarga yang bekerja di luar bisa menjadi petani penyewa dengan luas lahan maksimal 100m2. Mereka banyak yang memelihara sapi untuk menambah penghasilan. Dari hasil bekerja di luar, beberapa keluarga buruh tani mampu membelikan sawah untuk yang berkategori dibawah setengah bau atau 250m2 seharga 50 juta. Dalam menunjang kebutuhan hidup seharihari, mereka juga memelihara sapi dan bekerja sebagai buruh di selepan. Dari keluarga buruh tani yang bekerja di luar negeri, tidak semua menginvestasikan pendapatannya untuk menyewa lahan pertanian. Sebagian besar tenaga kerja yang bekerja di luar negeri banyak dari kaum perempuan, terbesar ke Hongkong. Rata-rata mereka bekerja selama 2 tahun. Setelah pulang, mereka lebih memilih membeli sepeda dan bukannya sawah. Rumahnya juga relatif bagus-bagus dan memakai model baru. dengan hasil yang dibawa pulang, mereka bisa mengangkat status sekonomi keluarga. Tetapi sebagian besar dari mereka merupakan generasi muda yang tidak lagi suka bekerja disawah tetapi memilih membelanjakan uangnya untuk membeli kendaraan dan perabotan serta menyekolahkan adik-adiknya. Sistem upah yang membuktikan adanya pergeseran dari klientilisme mutlak menjadi terbuka dalam bidang ekonomi terlihat dari pola yang dianut dalam pengolahan dan perdagangan pertanian padi. Dalam pembelian hasil pertanian, para penebas padi (Borek) melakukan taksiran 3 hari sebelum panen (segrek) dan
184
bertanggungjawab mulai dari segrek sampai pengangkutan ke selepan. Paling cepat uang pembelian bisa dicairkan satu minggu setelah 3 hari dilakukan negosiasi harga. Biasanya Borek juga merupakan pemilik selepan karena mempunyai modal berupa selepan sendiri, lahan penjemuran dan karyawan sendiri. Karyawan Borek bisa saling dipinjamkan pada Borek lainnya sehingga karyawan bisa bekerja sepanjang hari tanpa menunggu musim panen di desa Bumirejo saja. Para pekerjanya adalah para buruh tani yang juga pemilik sapi. Para pekerja ini mendapatkan banyak keuntungan jika mereka kreatif. Selain ikut segrek, lalu bekerja di selepan, mereka juga bisa mengambil kawul (ranting padi) gratis dari sisa selepan untuk dipakai bahan makanan ternak mereka. Berbagai sistem upah yang belaku diatas menunjukkan adanya kapasitas yang lebih baik yang memungkinkan akar-rumput bisa mendapatkan pendapatan dengan lebih layak. Sistem tersebut juga tidak lagi dipengaruhi dengan latarbelakang sosial politik para pekerja. Para pemilik selepan tidak mempekerjakan karyawannya dengan pandang bulu. S merupakan pemilik selepan besar dan anggota LDII tetapi dia mempunyai karyawan dari NU dan sebaliknya pemilik selepan NU banyak mempunyai karyawan dari LDII. Para pengguna selepan sendiri juga tidak memilihmilih kemana akan menggiling padi atau menjualnya. LDII juga mempunyai garis petunjuk untuk jamaahnya tetpai tidak banyak berlaku.
185
4.Munculnya Solidaritas setelah Krisis Pertentangan antara ormas dalam memperebutkan masjid desa yang terjadi di dusun Sumber Agung pada masa lalu sempat membawa masyarakat Krecek terjebak dalam pertentangan antar aliran keagamaan. Solidaritas mereka lebih berbentuk sektarian. Pada akhir tahun 1980 an, masuknya negara yang intensif membuat pertentangan ini bisa di netralisir dengan membuat harmonisasi diantara pemuka masing-masing Ormas dalam bentuk FKUB. Tipe solidaritas pada waktu itu masih dipicu oleh sentimen antar elit saja. Perubahan sosial politik pasca Orde Baru telah membuat kesadaran baru di kalangan akar-rumput. Solidaritas
mulai
muncul
dari
kebutuhan
untuk
menyelenggarakan
kepentingan bersama. Mereka tidak lagi mengenal satu kepentingan saja yaitu mencari patron yang bisa memberikan mereka perlindungan secara menyeluruh seperti menjamin kebutuhan ekonomi dan kebutuhan akan keamanan. Bentuk solidaritas ini terlihat khususnya dibidang keamanan. Solidaritas dimanfaatkan sebagai rantai penghubungan antara kepentingan elit dan akar-rumput untuk menyelenggarakan sistem keamanan bersama-sama. Kebutuhan akan keamanan dan terselenggaranya kerjasama antara kedua belah pihak memungkinkan terpeliharanya hak milik elit dan jaminan logisitik yang memadai terhadap bantuan yang diberikan oleh kelompok akar-rumput. Pada masa-masa genting diantara tahun 1998-1999, Krecek pernah mengalami masa-masa dimana keamanan kampung diaktifkan kembali yaitu ketika isu adanya teror ninja pada ulama-ulama. Sistem keamanan lingkungan sendiri sudah lama tidak
186
aktif sejak tahun 80-an karena dirasakan telah aman dan tidak ada warga yang melapor kehilangan atau ada tindakan kriminal yang merugikan harta benda dan keselamatan warga. Sekalipun inisiatif untuk melakukan ronda dan menempati serta menghidupkan sistem keamanan lingkungan agar poskamling bisa berfungsi sebagiamana mestinya, warga tidak begitu merespon atau bereaksi. Inisiatif yang muncul dari perangkat desa memang tidak terlalu dihiraukan tetapi isu ninja cukup berhasil membangkitkan respon warga sehingga justru inisiatif mulai dari pengelolaan sumber daya manusia, pemilihan strategi keamanan sampai suplai logistik muncul dari kalangan warga sendiri. Pola pengamanan lingkungan yang dibangun atas inisiatif akar rumput tersebut, solidaritas dibangun diatas landasan kesepahaman antara elit-akar-rumput dengan pertimbangan-pertimbangan untuk mewujudkan kepentingan bersama yang nilainya lebih tinggi dari kepentingan invidual. Pada saat isu ninja mulai berada dipuncaknya pada tahun 1999, setiap gang menjadi tanggungjawab kelompok kecil yang terdiri dari perwakilan keluarga. Beberapa gang yang ada dalam satu RT dikoordinasi oleh ketua RT setempat. Sementara setiap RT mengirimkan perwakilan untuk berjaga di poskamling yang ada di dalam wilayah dusun. Demikian juga untuk penjagaan tingkat desa, terdiri dari unsur-unsur yang dikirimkan oleh masing-masing dusun. Dalam kondisi tersebut, pemerintah desa hanya berfungsi sebagai pendukung saja karena sistem respon warga sudah terbentuk dengan baik. Setelah isu Ninja meredup, poskamling dan penjagaan harian hampir tidak ada, kecuali beberapa
187
warung di pinggiran desa dan setiap perempatan saja yang masih digunakan sebagai tempat nongkrong beberapa kelompok pemuda. Munculnya solidaritas dalam bidang keamanan masih ditindaklanjuti dengan pengaktifan ruang publik didalam Gardu penjagaan yang tidak pernah sepi pada malam hari. Selain adanya perubahan fungsi dari sekadar penjagaan saja, warga di semua dusun di Krecek memanfaatkannya sebagai media untuk bersosialisasi dan membuat perencanaan-perencanaan terkait dengan perbaikan kondisi pertanian mereka. Selain solidaritas keamanan, pada sistem upah yang telah disinggung diatas juga mempengaruhi terbentuknya solidaritas dalam bidang ekonomi yang diwujudkan dalam penghapusan diskriminasi rekrutmen tenaga kerja. Terdapat pembedaan antara ruang politik dengan ekonomi dengan alasan bahwa ruang ekonomi adalah bentuk aktivitas yang sangat vital yang mencerminkan usaha kehidupan seseorang. Sedangkan
aktivitas
politik
merupakan
pilihan
yang
menggambarkan
kebebasan.didalam berbagai ruang produksi ekonomi solidaritas sudah terbentuk dan berjalan. Di dusun Nepen menurut salah seorang tokoh masyarakat Pak Tris, kehidupan warga pengikut ormas masing-masing tidak bisa dipengaruhi oleh posisi mereka dalam hubungan produksi. Pemilik kolam pembibitan ikan sebagain besar adalah pengurus dan anggota Muhammadiyah sementara pekerjanya banyak dari warga NU. Hal serupa juga terjadi dilingkungan selepan milik Haji Sakri di Bumirejo. Posisinya sebagai pengurus LDII tidak mempengaruhi perlakuan terhadap pekerja selepan dan buruh taninya yang kebanyakan orang-orang NU. Demikian juga
188
Koperasi dan selepan yang dikelola oleh Haji Herian di Sumber Agung yang mempekerjakan banyak anggota Muhammadiyah dan LDII di dusun tersebut.
C. Otonomisasi Akar-rumput Salah satu hasil elaborasi antara kondisi dari perubahan struktural di tingkat makro dengan respon dari tingkat mikro adalah otonomisasi akar rumput. Diawal bab ini sudah dijelaskan mengenai posisi akar rumput dan hubungannya dengan elit. Bentuk-bentuk hubungan tersebut bisa dijelaskan sebagai hubungan saling menguntungkan. Masing-masing pihak mempunyai modalitas dan penawaran yang sama-sama kuat sehingga relasi yang dibangun kemudian lebih menunjukkan kesetaraan. Dalam otonomisasi akar rumput akan dibahas mengenai modalitas yang dimiliki akar rumput untuk membenahi dirinya sendiri dan memperbaiki kapasitasnya. Diantara beberapa hal yang perlu dilihat adalah mekanisme internal mereka dalam melakukan manajemen konflik. Meskipun elit juga mempunyai peran dalam proses ini tetapi sebagaian besar perumusan dan identifikasi terhadap konflik dan solusinya bisa dilakukan oleh institusi akar rumput sendiri. Otonomisasi merupakan hasil dan bentuk baru yang memuat kemandirian substansial dimana akar rumput bisa memberikan tawaran-tawaran baru terhadap elit terutama berkaitan dengan pengelolaan sumber daya umum. Di Krecek, sumber daya umum sudah menempati ruang yang diperebutkan antara elit dan akar rumput. Kontestasi dalam perebutan ini menghasilkan model-model baru dalam pengelolaannya.
189
1.Manajemen Konflik Kepercayaan dan Ekonomi Munculnya konflik banyak didominasi oleh ketegangan antara elit dan akar rumput dalam persoalan perebutan basis politik. Dalam proses politik seperti Pemilu dan Pilpres, hal tersebut tidak begitu tampak tetapi dalam proses politik lokal, konflik politik beberapa kali muncul. Diantaranya dalam pemilihan kepala dusun, ketegangan dalam persiapan pemilihan kepala desa dan pilkada dimana hal terakhir memuat keterlibatan aktor politik dari luar desa. Tetapi secara umum, konflik-konflik politik diselesaikan melalui mekanisme hukum dimana aparatus negara bisa mengambil alih persoalan tersebut. Dalam konflik lainnya yang bersifat internal masyarakat sendiri, mekanisme penyelesaian sudah mulai terbentuk. Bentuk-bentuk konflik yang bisa diselesaikan melalui mekanisme internal berupa musyawarah atau konsultasi publik adalah konflik yang berlatarbelakang perebutan sumber daya umum. Sejak tahun 1999, konflik perebutan distribusi sumber daya air mulai bermunculan. Dalam persoalan perebutan distribusi air, pemicu konflik berasal dari ketidakmampuan koordinator air untuk menjalankan perannya dnegan baik dan adil. Akibatnya, sering terjadi pergantian koordinator dan banyak yang dipercaya menjadi petugas lebih dari setahun. Konflik tersebut justru banyak melibatkan antar elit ekonomi tetapi bisa diminimalisir agar klien elit-elit tersebut tidak bisa ikut semakin memperkeruh suasana. Hasilnya bisa dirasakan karena tidak ada pengerahan masa secara besar-besaran yang dilakukan oleh masing-maisng elit yang bertikai dan menimbiulkan bentrokan fisik.
190
Fungsi manajemen konflik berawal dari respon terhadap munculnya sengketa distribusi air yang berlangsung selama bulan Agustus-September (musim kemarau). Persoalannya terjadi karena aliran air mengalir tidak sesuai dengan perjanjian sebelumnya sehingga ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Setiap sengketa yang terjadi akan dibawa ke forum dusun terlebih dahulu dan difasilitasi oleh kepala dusun yang diikuti oleh sebagian besar masyarakat. Bentuk hukuman berupa skorsing yang diputuskan secara bersama-sama. Dalam kasus Haji Sakri di Bumirejo yang pernah berselisih dengan tetangganya karena perebutan distribusi air, Kiai Jaiz sebagai tokoh NU di dusun tersebut tidak bisa serta merta melakukan membelaan terhadap anggotanya yang tengah berkonflik dengan Haji Sakri. Kasus tersebut diserahkan kepada Kepala Dusun Bumirejo yang akan mengumpulkan waga masyarakat untuk membicarakan solusinya. Dalam kasus-kasus lain dimana fasilitasi yang dilakukan ditingkat dusun tidak bisa menyelesaiakn persoalan, akan dibawa ke forum desa dan melibatkan Kepala Desa. Model penyelesaian konflik lainnya yang melibatkan elit dan akar rumput untuk saling menyumbang saran adalah pelembagaan manajemen konflik yang ditimbulkan oleh persoalan-persoalan keagamaan. Pada masa Orde Baru, elit menggambil alih fungsi penyelesaian konflik dan mereduksinya menjadi persoalan mereka sendiri. Seperti prestasi Kiai Zaini Khudori dalam konflik terbuka antara LDII, NU dan Muhamadiyah dalam perebutan Masjid Agung Krecek di dusun Sumberagung. Tetapi sejak tahun 2000, elit keagamaan dari berbagai Ormas membuat Forum Kerukunan Ulama (FKU) sebagai organisasi yang menyatukan para
191
ulama dan pemuka agama dari berbagai aliran yang ada untuk duduk bersama membangun harmoni dan strategi dakwah agar tidak menganggu kepentingan satu dengan yang lain. Dalam proses pelembagaan FKU sebagai bagian dari institusi dukungan pemerintah desa, akar rumput diminta persetujuannya dan dalam proses tersebut dilakukan beberapa revisi berkaitan dengan pelaksanaannya. Dalam klausul yang diajukan, Pemerintahan desa wajib memberikan anggaran dana untuk setiap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh FKU setiap sebulan sekali. Kedudukan FKU secara informal setara dengan pemerintahan dusun tetapi tidak masuk dalam struktur formal pemerintahan. Program tahunan FKU sudah berjalan dalam 4 tahun belakangan. Di beberapa tempat di masing-masing dusun, warga masyarakat memperoleh banyak manfaat karena setiap tahun pada acara peringatan kemerdekaan, semua ulama berkumpul dalam istighotsah akbar di Balai Desa dan masing-masing mendapatkan giliran untuk memimpin do’a secara bergiliran. Dalam hal kepengurusan FKU, wakil-wakil dari NU memang mendominasi. Ormas yang lain juga menyadari bahwa hal tersebut sebagai representasi suara mayoritas NU. Ketua umum, ketua satu sampai tiga dipegang oleh ulama NU sementara seterusnya LDII, Muhammadiyah dan DDII. Konflik yang terjadi di Sumbergagung bisa diselesaikan ketika masing-masing ormas membuat masjidnya sendiri-sendiri atas prakarsa FKU sementara untuk kegiatan pengajian rutin dan agenda lainnya dalam rangka dakwah, FKU menjadi mediator bagi suksesnya semua agenda tersebut. Tokoh Muhammadiyah yang kaya, Haji Khoirul Huda yang terkenal dermawan dan baru saja meninggal merupakan salah satu donatur pendirian musala
192
NU di beberapa dusun. Begitu juga tokoh LDII Haji T juga menjadi sahabat akrab Kiai Zaini Khudori. Tidak semua bentuk manajemen konflik bisa dilakukan oleh elit agama dan elit ekonomi yang berkepentingan. Agresivitas di kalangan elit mulai mendapatkan hambatan dari beberapa anggota elit karena pelembagaan institusi baru di desa cenderung dimanfaatkan untuk mobilisasi dukungan politik. Beberapa Kiai yang lain seperti Kiai Yunus Mubari memang membatasi posisi ulama dalam percaturan politik praktis karena yang diperlukan dalam merawat ummat adalah memberikan petuah dan teladan yang baik. Bagi elit ekonomi seperti Haji Herian, lebih suka mendekat pada Kiai yang tegas dan ikut mengambil tindakan dalam penyelesaian masalahmasalah sosial. Dalam kasus pelarangan permainan Bilyard karena beberapa warga yang resah melihat anak-anak mereka tidak pernah datang untuk mengaji selepas shalat di Masjid merupakan momentum manajemen konflik yang dilakukan oleh elit ekonomi bersama akar rumput. Atas inisaitif beberapa warga, Haji Herian membeli tempat Bilyard di dusun Sumberagung. Tetapi pengusaha Bilyar kemudian memindahkan tempat usahanya ke dusun Balongmanyar dan Pulorejo. Haji Herian memilih untuk melakukan koordinasi dengan kepala dusun yang bersangkutan. Hal tersebut menemui kendala karena Kepala Desa justru memberi izin operasional. Dalam kasus Bilyar, manajemen konflik masih terikat pada faktor kepercayaan dari agenda sosial politik kelompok santri yang ingin segala jenis hiburan yang kontraproduktif terhadap dakwah. Sementara disisi lain harus
193
berbenturan dengan kebutuhan akan hiburan dimana kelompok abangan maish mempunyai kepentingan yang juga sama besar. Keputusan Kepala Desa seakan memperlihatkan dominasi kelompok abangan di dalam Birokrasi desa masih begitu kuat.
2.Pengelolaan Sumber Daya Umum Sumber daya umum melekat pada komoditas yang dibutuhkan publik atau berpotensi untuk dimanfaatkan untuk kepentingan bersama seperti air, tanah-tanah yang diwakafkan dan tanah milik desa. Di Krecek, pengelolaan sumber daya umum berkaitan dengan status kepemilikan tanah dan jaringan keluarga yang menguasainya. Seperti dibahas dalam bab mengenai peran negara dalam mengendalikan distribusi air pada masa Orde Baru dimana masyarakat berada dalam posisi sebagai pihak yang harus diatur. Besaran pengaruh negara juga berdampak pada tingkat penerimaan sebagian besar elit yang mempunyai tanah yang luas. Secara umum, di Krecek terdapat beberapa tipikal tuan tanah yaitu pertama, Elit desa yang menjadi tuan tanah banyak terdapat di Sumberagung, Krecek dan Nepen karena ketiga dusun ini di masa lalu tidak termasuk dalam kompleks perkebunan. Pada umumnya pemilik tanah yang luas adalah pedagang dan petani yang mendapatkan tanah secara turun temurun. Tetapi kelompok ini, yang banyak diantaranya adalah para haji sudah tidak bisa ditemukan lagi sisa-sisanya. Faktor utamanya adalah tanah yang diwariskan kepada anak-cucunya sudah dihabiskan karena ketidakmampuan mengelola dengan baik.
194
Pada saat posisi tuan tanah yang gagal mewariskan kestabilan status ekonomi tersebut, mobilitas akar rumput dalam melakukan penawaran posisi kepemilikan tanah semakin besar. Penyebabnya adalah adanya perbaikan kondisi finansial dalam keluarga-keluarga akar rumput yang mendapatkan pendapatan dalam jumlah besar ketika bekerja di luar desa. Keluarga elit ekonomi yang menjual tanah-tanah warisannya harus tergantung pada institusi publik desa yang dikendalikan oleh negara. Perubahan mendasar setelah mengendurnya pengaruh negara menyebabkan elit-elit ekonomi yang gagal tersebut harus ikut berpartisipasi dalam merancang sistem pengelolaan sumber daya umum bersama kelompok lainnya. Keluarga Kiai Mahfudz di dusun Sumber Agung misalnya merupakan bagian dari elit ekonomi gagal yang masih mempunyai pengaruh karena faktor kharisma orang tuanya. Tetapi dalam pengelolaan sumber daya umum, mereka harus mengikuti aturan main yang sudah dibuat diantaranya pada distribusi pertanian kolam yang diusahakan oleh keluarga tersebut. Kedua adalah tuan tanah yang terdapat di luar ketiga dusun tersebut yang mendapatkan tanah luas dari hasil kerja keras. Kelompok ini merupakan elit ekonomi baru yang mampu menarik keuntungan dari elit ekonomi yang gagal. Mereka melakukan pembelian besar-besaran terhadap tanah-tanah bagian yang dihasilkan dari politik landreform pada tahun 1960 an. Kondisi ini banyak terjadi di dusun Bumirejo dan Pulorejo sebagai bekas daerah perkebunan yang sudah dikapling dan dibagibagikan dengan jumlah yang sama. Dalam kurun waktu tertentu, petani yang tekun
195
ini membeli satu demi satu tanah milik tetangganya yang dihabiskan untuk berjudi atau dijual untuk kebutuhan hidup lainnya. Ketiga adalah tuan tanah yang termasuk pendatang dan mendapatkan banyak tanah setelah dia menjadi elit desa yang mempunyai kewenangan dalam mengelola aset desa. Misalnya dia mendapatkan hak untuk menyewa tanah kas desa atau tanah ganjaran perangkat desa lainnya. disamping itu, mereka juga pedagang hasil pertanian yang mendapatkan keuntungan dengan relatif stabil karena mereka juga mampu membangun jaringan dan transaksi perdagangan dengan daerah luar Krecek. Elit ekonomi tipe ini pada masa Orde Baru merupakan kelompok yang mengendalikan program peningkatan usaha kecil yang dilakukan oleh negara. Mereka banyak mengambil keuntungan dari perputaran modal di sektor koperasi simpan pinjak, pejualan pupuk dan penampungan hasil panen. Elit ekonomi ini tersebar di beberapa ormas dan terbesar adalah NU dan Muhammadiyah. Pada situasi baru setelah negara melepaskan sistem patrimonialnya, tuan tanah tersebut mempunyai kemampuan yang sangat besar karena aset-aset yang melimpah. Ditambah lagi dengan dukungan sistem perdagangan yang mereka buat. Sebagian besar petani harus menjual hasil panennya kepada mereka karena penguasaan yang dominan terhadap faktor produksi mulai dari lahan pertanian, jumlah karyawan, usaha selepan, jaringan kartel sampai koperasi. Kelompok ini pada akhirnya lebih banyak mendikte kepentingan dalam pengeloaan sumber daya umum seperti mengalirkan air secara melimpah ke lahan-lahan miliknya setelah membeli dengan harga lebih tinggi jatah aliran milik warga lainnya. Mereka juga terkenal agresif
196
dalam menyewa tanah-tanah kas desa dan mempekerjakan banyak orang untuk menggarapnya. Melihat kondisi pengaturan air diatas, elit ekonomi masih berperan ketika sistem yang berlaku di masyarakat dikendalikan berdasarkan hubungan yang saling menguntungkan. Mekanisme pasar berlaku dan terdpaat penerimaan dari kelompokkelompok masyarakat lainnya. Tidak semua sumber daya umum bisa dikendalikan dibawah otoritas elit ekonomi karena ada seumber lainnya yang berada dibawah elit keagamaan yaitu tanah wakaf. Tanah-tanah yang dimiliki oleh elit ekonomi merupakan tanah pribadi yang diberikan untuk kegiatan sosial dan keagamaan. Berbeda dengan tanah kas desa yang sebenarnya diperuntukkan bagi buruh tani yang mau menyewanya. Dalam pengelolaan tanah kas desa, harga yang ditawarkan disesuaikan dengan penawaran tertinggi yang tentu saja akan dimenangkan oleh elit ekonomi yang mempunyai banyak modal untuk mengerjakannya. Meskipun demikian hasil pengelolaan tanah kas desa masuk kedalam bagian dana yang digunakan untuk pembangunan desa. Khusus untuk tanah wakaf, dimasa lalu merupakan penyebab munculnya konflik antar ormas dan memicu munculnya solidaritas sektarian. Tetapi setelah mekanisme yang diatur oleh negara melalui Departemen Agama tentang pengelolaan tanah wakaf, menghasilkan kesepakatan-kesepakatan antara elit ekonomi sebagai pemberi tanah dengan elit keagamaan sebagai wali dari pengelolaan tanah. Kesepakatan tersebut dihasilkan dengan tujuan untuk pembenahan kondisi sosial keagamaan terutama soal pendidikan dan fasilitas umum. Aturan main dari negara
197
belum dianggap sebagai hasil yang bersifat final dan bisa menjadi rujukan yang mengatur sampai teknis mengenai pengelolaanya. Tarik menarik antara ormas untuk memperebutkan tanah wakaf masih terjadi sebelum adanya kesepakatan yang dilakukan pada pertengahan tahun 1990 an. Tercatat konflik yang disebabkan tanah wakaf yang menjalar menjadi pertikaian antar ormas pernah terjadi di Sumberagung yakni perebutan Masjid Jami’ antara NU, Muhammadiyah dan LDII. Waktu itu ada seorang Haji NU yang kaya mewakafkan tanah untuk masjid agung Krecek. dia mempunyai tiga anak, yang tertua NU lalu LDII dan Muhammadiyah. Ketiga anak tersebut mengklaim mempunyai hak untuk memanfaatkan masjid sehingga menjadi sengketa yang berlarut-larut sampai ke pengadilan. Kasus lainnya terjadi pada tanah yang menjadi lokasi MAN Krecek antar ahli waris yang diwarnai dengan sentimen afiliasi Ormas tetapi cepat bisa diselesaikan. Kemudian, tanah wakaf di dusun Bumirejo yang mengancam kedudukan Kiai Jaiz sebagai kiai dusun dari NU. Kasus di Bumirejo setidaknya menyiratkan hal penting karena pihak desa juga mempunyai kewenangan untuk menerima tanah wakaf. Diatas tanah wakaf di Bumirejo sudah dibangun sekolah madrasah yang dikelola oleh LP Ma’arif NU tetapi persoalan status nadzir (wali wakaf) belum selesai. Menurut beberapa sumber, diantara keluarga pemberi wakaf, tanah tersebut sudah diwakafkan melalui Nadzir desa tetapi pada akhirnya dimanfaatkan untuk kepentingan NU dengan membangun madrasah dan masjid. Dalam rangka mengatasi persoalan tanah wakaf, di desa terdapat dua macam Nadzir yaitu milik desa dan ormas. Jabatan Nadzir Ormas terdapat pada setiap ormas
198
yang ada yang diangkat oleh Departemen Agama sedangkan Nadzir Desa diangkat oleh keputusan dalam musyawarah desa. Para Nadzir ini yang menguasai tanah wakaf di wilayah desa dan peruntukannya. Jabatan nadzir hanya dipegang oleh satu orang dimana masing-masing mengemban tugas untuk menarik tanah wakaf sebesarbesarnya bagi institusinya masing-masing. Di NU, Kia Zaini Khudori merupakan nadzir yang memanfaatkan pengaruhnya dan masih begitu efektif agar orang mewakafkan tanahnya untuk kepentingan NU. Pertentangan antar ormas bisa diminimalisir dengan adanya FKU. Aturan main informal berupa kesepakatan antar elit keagamaan sudah dibuat untuk menghindari
konflik
kepentingan
sebagaimana
pernah
terjadi
pada
masa
kepemimpinan lurah Krecek yang juga bapak dari Kades Krisbanu. Saat itu, sengketa Masjid Jami’ menjadi berlarut-larut karena posisi kades yang tegas dengan tidak mau mengeluarkan tandatangan untuk sertifikat tanahnya. Kades waktu itu memang termasuk golongan priyayi yang merasa mempunyai dukungan luas di masyarakatnya sehingga relatif berjarak dengan ormas-ormas. Sedangkan saat ini, kades cenderung mengikuti arus besar dan tidak mempunyai pendirian karena mungkin dia berhitung jumlah dukungan dibelakangnya. Dalam pengelolaan sumber daya umum, hubungan antara NU dan pemerintah desa merupakan barometer. Hampir semua agenda pemerintah desa memanfaatkan media-media dakwah NU juga para pemuka agamanya agar mendapatkan dukungan. Pemerintah desa juga menumpang dalam NU untuk memperoleh dukungan bagi setiap kebijakan-kebijakannya ditingkat desa. Pengelolaan sumber daya umum
199
melibatkan elit dalam kapasitasnya sebagai pihak yang diberikan mandat. Segala pekerjaan atas pengelolaan tersebut dipertangungjawabkan pada berbagai forum yang terkait dengan jenis sumber daya. Dengan demikian kewenangan dan kemampuan baik elit ekonomi atau agama bisa dibatasi
D. Kemunduran Patrimonialisme Setelah dibahas mengenai bentuk-bentuk respon masyarakat terhdap perubahan struktural dari tingkat makro, hal terpenting dalam penelitian ini adalah reposisi hubungan antara elit-akar rumput yang memunculkan model multipatronase dimana akar rumput mempunyai banyak pilihan patron dan mempunyai keleluasaan untuk melakukan mobilitas vertikal dengan menjadi patron baru. Sistem patrimonialistik
memang
tidak
sepenuhnya
hilang
tetapi
bergeser
dari
patrimonialisme mutlak menjadi terfragmentasi kedalam beberapa kekuatan. Jika pada masa Orde Baru, negara menjadi bagian langsung dari berlakunya sistem tersebut dengan melakukan penetrasi langsung dan melalui agensi-agensinya sehingga elit yang terbentuk adalah elit yang menguasai sumber daya umum dan peran-peran strategis mereka di masyarakat dalam semua aspeknya. Posisi elit sendiri telah terberai menjadi tiga kutup yaitu elit politik, elit agama dan elit ekonomi. Masing-masing pihak tidak bisa berdiri sendiri tetapi saling berhubungan untuk menjalankan fungsi-fungsi sosial politik yang lebih dari yang dimiliki akar rumput. Dalam perjalanannya, usaha yang dilakukan oleh elit mendapatkan tantangan yang cukup berat karena mereka dipaksa untuk bisa
200
melakukan negosiasi dengan akar rumput. Hal menyebabkan relasi yang dibangun dalam hubungan elit-akar rumput lebih bersifat relasional karena maisng-masing mempunyai kekuatan yang bis dipakai sebagai alat tawar-menawar.
1.Elit sebagai Pemberi Tawaran Posisi elit yang mulai melemah menyebabkan hanya menyisakan posisinya sebatas memberikan penawaran. Mekanisme tawar menawar antara elit-akar-rumput mengikuti model pelaksanaan demokrasi dalam skala yang kecil dalam acara seeprti Musrenbangdes di kantor desa. Memang acara ini digelar oleh institusi pemerintahan tetapi justru menarik karena keterlibatan dari seluruh perangkat desa mulai dari ketua RT, RW, sampai kepala dusun dan lembaga desa lainnya seperti Badan Perwakilan Desa (BPD) dan LPKMD serta beberapa tokoh masyarakat. Salah satu agenda penting musrenbang adalam pembicaraan mengenai peruntukan Alokasi Dana Desa (ADD). Forum ini juga menjadi ajang perebutan pengaruh bukan hanya dari ormas dan institusi desa lainnya tetapi juga bagi pemerintah daerah. Dalam sambutan pembuka acara, wakil dari kecamatan menyatakan bahwa ADD merupakan hasil dari kebaikan hati bupati. Tentu begitu tendensius karena ADD sudah diatur dalam peraturan yang ada mengenai jumlah nominalnya dan Musrenbang kali digelar untuk memutuskan alokasi dana tersebut akan dimanfaatkan untuk pembangunan apa saja. Dalam Musrenbang, kedudukan status sosial ekonomi dan politik masih ditentukan berdasarkan tempat duduk. Elit berada didepan sementara dibagian belakang adalah akar rumput. Sebagian besar peserta memakai sarung dan berpeci
201
dan ada juga yang berpakaian batik yang motifnya seragam. Dari 150 orang undangan, peserta yang datang hanya 45 orang dan 2 orang diantaranya perempuan mewakili PKK. Acara dipimpin langsung oleh kades yang melemparkan topik dan rencana alokasi dana tawaran dari pemerintah pada forum. Peserta bisa langsung menginterupsi jalannya diskusi seperti ketika sampai pada pembicaraan tentang pembagian beras miskin (raskin) dimana hampir semuanya menyepakati bahwa beras harus diberikan sesuai klasifikasi orang miskin menurut RT nya masing-masing. Berbagai pendapat muncul bahkan diantaranya bersinggungan tajam. Meskipun demikian, mekanisme forum bisa menyelesaikan perdebatan tersebut. Dalam musrenbang, elit mempunyai kepentingan untuk terlibat dalam pembangunan desa sebagai bagian dari investasi sosial politik jangka panjang. Keterlibatan mereka selain dengan alasan-alasan diatas juga dilatarbelakangi oleh motif pencarian keuntungan dengan menjadi pemborong pembangunan. Juga motif-motif terselubung lainnya seperti kebutuhan untuk beraktualisasi dalam aktivitas tingkat desa. Dalam agenda ini, kades mempunyai tempat untuk berposisi sebagai penghubung antara negara dengan masyarakat. Pola kepemimpinan kades juga tampak ketika diakhir acara bersedia menyerahkan honorarium proyeknya pada kas desa. Musrenbang memang acara formal tetapi sangat terlihat bahwa desain forum sudah dibuat sebelumnya. Maksudnya bukan didesain untuk kepentingan seseorang dibalik layar tetapi lebih pada terlihatnya peran media ruang publik lain seperti di warung, pengajian atau di sawah. Dalam forum tersebut, meski dihadiri oleh tidak sampai separuh dari undangan, keputusannya mengikat seluruh warga desa. Tidak
202
ada aturan tertulis mengenai tatacara musrenbang termasuk jumlah suara yang hadir dan menyepakati hasil diskusi. Disini berlaku bahwa siapapun yang diundang dan tidak hadir dengan alasan apapun, bisa menanyakan hasil akhirnya dalam bentuk keputusan kepada warga atau tetangganya yang hadir. Segala macam pembantahan atau penggugatan pada hasil keputusan akan mendapatkan resistensi dengan sendirinya dari undangan yang hadir atau warga lain yang sudah mendapatkan sosialisasi. Wajah-wajah yang aktif dalam diskusi memang bisa dihitung dengan jari, hanya sejumlah orang yang menjadi elit. Tetapi suara mayoritas yang ada dan duduk dibelakang menjadi tolok ukur berhasil atau gagalnya sebuah pendapat atau sanggahan atas pendapat terdahulu didalam forum. Suara dibelakang ini berbunyi koor setuju atau tidak tetapi diantara mereka tidak ada yang memberikan pendapatnya secara mandiri. Dukungan seperti ini memunculkan pertanyaan bagaimana mobilisasi pendapat bisa dilakukan dalam situasi yang kondisional semacam ini? Pertanyaan ini mendapatkan titik terang untuk dijawab dari gaya bahasa yang ditunjukkan oleh Kades atau satu dua orang yang menjadi pusat. misalnya seperti ini, ketika ada peserta yang mengusulkan agar beras Raskin dibagi menurut ketentuan miskin yang diatur oleh desa dan memberikan yang lebih banyak bagi yang tidak mampu, kades menyerahkan ini pada forum. Salah seorang elit lainnya menyanggah dikubu dan tempat duduk disebelahnya. Ketika kades menyatakan bahwa hendaknya persoalan siapa yang berhak diserahkan sepenuhnya pada RT setempat sebagai orang yang paling tahu kondisi warganya, sontak peserta dibarisan belakang berteriak setuju
203
secara bersamaan. Dari sini tampak ada keterkaitan antara pola kepemimpian kades dengan mobilisisasi pendapat dan tentu saja telah terbentuk dalam situasi diluar forum yang formal. Pada tingkat desa, forum tersebut membuktikan bahwa desain acara yang semula menjadi milik elit sepenuhnya sehingga mereka bisa melakukan klaim terhadap partisipasi akar rumput sebagai bagin dukungan terhadap keberadaan mereka. Klaim tersebut ditujukan kepada negara dan kekuatan politik lainnya sehingga bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan yang bersifat pribadi. Acara musrenbang merupakan faktor kunci yang bisa dilihat bahwa demokrasi dalam skala yang kecil, khususnya dalam rangka pembuatan kebijakan publik bisa dilakukan dengan melibatkan akar rumput secara aktif.
2.Kompromisme Elit-Akar Rumput Berbagai ketentuan mengenai munculnya posisi tawar akar-rumput dengan revitalisasi terhadap institusi informal telah mengakibatkan pergeseran pola hubungan dengan elit. Jalan tengah yang memungkinkan untuk diambil oleh elit dan akarrumput adalah bentuk kompromisme yaitu capaian kesepakatan dengan pemberian keuntungan pada masing-masing pihak dalam ruang-ruang ekonomi, sosial dan politik. Di Krecek, bentuk kompromisme mempunyai tiga macam basis yaitu ekonomi dimana elit ekonomi santri membuka ruang usahanya bagi lintas ormas dan tidak menjadikan bentuk afiliasi ormas sebagai alasan untuk menutup akses usaha.
204
Di dusun Nepen tokoh yang mengkoordinasi petani kolam yang tergabung dalam Perkumpulan Mina Guna Usaha yang beranggotakan 68 orang adalah tokoh Muhammadiyah. Pak Tris mengelola perkumpulan tersebut secara profesional dan tidak membawanya sebagai bagian dominasi Muhammadiyah karena hampir semua anggotanya adalah orang NU seperti halnya kondisi di Nepen sendiri yang secara keseluruhan adalah pengikut NU dan mempunyai pengajian yang berjalan setiap hari. Pengikut Muhammadiyah hanya 4 orang dan dua diantaranya termasuk Pak Tris dan adiknya. Dalam sebuah kesempatan pertemuan dengan pegawai kredit dari BPR di Pare yang mempunyai hubungan dekat dengan petani kolam ini, didapatkan informasi bahwa Pak Tris sendiri tergabung dengan pengajian Muhammadiyah di kota Pare yaitu Yayasan 4 Mei sehingga di Nepen sendiri praktis tidak ditemukan media dakwah yang dikoordinasikan oleh Muhammadiyah. Jaringan lokal dengan elit ekonomi dari NU seperti Dawam dan Syai’in juga berjalan dengan baik. Basis kompromi yang kedua adalah melalui jalur kebudayaan dimana elit agama bisa menerima pelaksanaan kegiatan kebudayaan yang diusahakan oleh kelompok abangan dan didukung oleh birokrasi desa. Mereka bertujuan untuk menjadikan posisi mereka di pemerintahan desa menjadi lebih kuat karena mendapatkan dukungan dari usaha untuk melestarikan berbagai tradisi yang ada. Di Krecek, kategorisasi yang merujuk pada kelompok priyayi melekat pada orang yang menguasai tanah yasan atau adat seperti kamituwo atau perangkat desa. Termasuk didalamnya juga guru. Sisa-sisa peninggalan mereka masih tampak berdiri seperti bentuk rumah dan cerita-cerita mengenai peran mereka dimasa lalu. Sedangkan
205
abangan menunjuk pada orang-orang yang tidak pernah datang ke Masjid kecuali hari Jum’at, suka main kartu dan berjudi serta masih suka minuman keras. Di dusun Mulyorejo dan Bumirejo, kegiatan yang lekat dengan kehidupan kelompok abangan dan kejawen masih tetap dilakukan dengan berbagai modifikasi karena kebanyakan dari mereka adalah anggota NU. Mereka menggelar wayangan, sedekah bumi dengan makanan dari daging kerbau dan tidak boleh dari hewan lain merupakan keharusan yang tetap dijaga sampai sekarang. Bahkan ada keyakinan kalau ada pemilik kerbau akan mati pada saat dilangsungkannya acara tersebut. Pandangan hidup seperti itu mendapatkan respon dari NU karena dianggap sudah menjurus pada sirik kepada Tuhan. Dalam NU-isasi yang dilakukan pada masa-maas awal Orde Baru, pandangan yang semula meletakkan ritual kuno sebagai niat untuk memuja pada kekuatan selain Tuhan, perlahan-lahan dirubah menjadi salah satu sarana saja seperti ketika membuat tumpengan yang sedianya dimakan di areal makam, karena dianggap kotor, dialihkan ke masjid. Tumpengan, wayang dan sedekah bumi dianggap sebagai sarana untuk memanjatkan rasa syukur atas kehidupan yang telah diberikan oleh Tuhan. Dalam tradisi suroan warga melangsungkan sedekah bumi yang setelah ditelusuri, tradisi tersebut merupakan bentuk lain dari ziarah kubur untuk memperingati Kiai Zaid sebagai pembawa Islam di Krecek sebelum pemerintah kolonial membuka perkebunan tebu. Satu paket dengan sedekah bumi digelar acara wayangan yang rutin tetapi akhir-akhir ini sudah kelihatan sedikit yang meminatinya sehingga diganti dengan karaoke dan hadrah dengan harapan bisa menarik lebih
206
banyak lagi penonton. Pergantian kemasan yang dilakukan oleh birokrasi desa dan beberapa jaringan keluarganya terhadap tradisi lokal memberikan dampak yang begitu signifikan. Akar-rumput merasakan adanya keterwakilan mereka melalui tradisi yang diakui oleh pemerintahan desa. Meskipun pemerintahan desa tidak pernah memberikan ketentuan formal yang mendukung adanya ritual-ritual tersebut, hampir sebagian besar kepala dusun berposisi sebagai sponsor rangkaian kegiatan tahunan tersebut. Dalam acara bersih desa yang diadakan di Bumirejo dan Mulyorejo serta Pulorejo, kepala dusun menjadi koordinator dan menjadikan acara tersebut kegiatan resmi tingkat dusun. Seperti dituturkan oleh Kepala Dusun Bumirejo yang merupakan ipar dari Haji Abdullah, pemimpin LDII setempat bahwa: “Itu merupakan adat jawa yang tidak bisa dihapus dan tidak mempengaruhi jamaah Islam. Malah yang mbesoh atau nari adalah orang sini juga, dari berbagai ormas Islam. Selain itu kita juga nanggap wayang dan juga hadrah dalam acara tersebut. Acara tersebut membutuhkan biaya yang ditanggungrenteng oleh seluruh warga secara sukarela dan tidak mematok besaran dalam jumlah tertentu”19. Semula, nyadran dipercayai sebagai pusat pertarungan antara santri dan abangan. Tetapi menilik dari pagelaran yang diadakan di Bumirejo dan Mulyorejo, nyadran tidak lebih dari sekadar manifestasi dari keterbelahan pilihan sosial budaya masyarakatnya. Ritual yang diadakan setiap bulan suro pada hari jumat legi atau pon ini diawali dengan larung dan berdoa di sumber mata air juga pesarean pendiri desa. Meskipun dalam beberapa hal sudah mengalami pergeseran seperti doa tidak lagi
19
Wawancara dengan kepala dusun Bumirejo, Mulyorejo dan Pulorejo bersama kepala desa di kantor desa.
207
dipusatkan pada makam pendiri desa melainkan pada makam leluhur kamituwo dusun. Secara teknis, acara diawali dengan membawa tumpeng yang berisi nasi putih dan ayam bakar serta beberapa jenis kembang dan beberapa ikat jerami. Tempat yang pertamakali dituju adalah sumber air yang dipenuhi oleh pohon-pohon besar. doa dipimpin oleh juru kunci pesarean yaitu mbah Supri yang sudah turun temurun memimpin doa bersama dalam acara nyadran. Mbah Supri didampingi oleh beberapa orang tua sementara pada Kiai ataupun kepala dusun sendir tidak ikut serta. Malah kebanyakan yang hadir adalah anak-anak kecil dan sedikit orang dewasa. Mbah Supri dibantu oleh beberapa orang kemudian membuat galian untuk mengubur kepala kambing di tempat sumber air. Lalu ditaburi oleh kembang berjenis tiga dan dibakarkan satu ikat jerami. Setelah itu orang-orang berkumpul mengelilingi tumpeng dan pada saat yang bersamaan doa mulai dibacakan. Adapun doa yang dibacakan adalah doa sebagaimana doa muslim pada umumnya yang berisi pujian dan ucapan rasa syukur kepada Tuhan. Sebelum doa dengan cara muslim, terlebih dulu Mbah Supri mengatakan beberapa kata yang sepertinya ditujukan pada roh yang bersemayam ditempat tersebut. Ada semacam dialog karena tubuh Mbah Supri begetar dengan mata terpejam dengan logat komunikasi yang tegas tetapi berhati-hati. Setelah doa usai, tumpeng dibuat rebutan oleh semua yang hadir dan dimakan bersama-sama. Acara larung dilanjutkan ditempat pesarean leluhur Kamituwo Pardi. Tidak ada yang berbeda seperti acara di tempat sumber air hanya doa yang ditujukan pada leluhur Kamituwo saja. Menilik acara kedua ini, memang terdapat beberapa
208
tekanan yang muncul dan dirasakan oleh orang-orang yang setia pada acara nyadran karena biasanya sebelum upacara dimulai, pesarean mbah Zaid selalu diberi kain putih sebagai penutup nisan. Tetapi akhir-akhir ini ada yang mengambilnya. Mbah Supri dan beberapa orang tua memang tidak terlalu ambil pusing dengan persoalan ini. Mereka kemudian memberikan kain penutup nisan lagi. Setelah acara larung di dua tempat usai, acara besar digelar dirumah Kasun. Rumah kasun mempunyai pendopo sendiri dan disampingnya terdapat kentongan besar yang ditabuh ketika accara akan dimulai. Di pekarangan samping rumah sudah digelar panggung yang lengkap dengan gamelan dan sinden yang menembangkan tembang-tembang Jawa. Setelah kentongan ditabuh beberapa kali, orang-orang pada berdatangan memenuhi pendopo. Dilihat komposisinya, yang paling banyak tetap anak-anak dan orang-orang tua, sangat sedikit yang hadir berasal dari orang muda. Tampak diantara yang hadir Kiai J dan segenap perangkat dusun. Doa’a tetap dipimpin oleh mbah supri yang pada malam harinya juga menjadi dalang dalam pagelaran wayang kulit. Setelah dibacakan doa yang begitu panjang oleh Mbah Supri, dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh Kiai Jaiz. Sesudahnya, hadirin diluar perangkat desa pulang membawa berkat yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Sementara didalam rumah Kasun perangkat desa mengadakan acara makan-makan secara khusus. Jenis kompromi ketiga adalah jalur kedekatan personal. Dalam beberapa persoalan, harmonisasi antara LDII dan NU di dusun Bumirejo terdapat ganjalan. Ketika diadakan pengajian bersama dengan cara bergiliran dari satu masjid ke yang
209
lain tidak berjalan lancar. Kiai Jaiz pernah melakukan hal tersebut dan pengajian sudah berjalan di masjid NU tetapi ketika giliran di LDII, mereka tidak mau dengan alasan belum siap. Hal tentu saja bisa dimengerti karena persoalan pengajian merupakan bagian dari keagamaan yang menyangkut amaliah. Mungkin LDII Bumirejo pada awalnya bisa menerima model yang ditawarkan NU tetapi sangat terbuka intervensi dari LDII pusat dimana pada persoalan keagamaan, bawahannya harus tunduk mengikutinya. Lemahnya transmisi kesadaran antar generasi memang bakal menjadi persoalan utama. Hubungan antara LDII dan NU di Bumirejo saat ini bisa harmonis karena persahabatan personal para pemimpinnya. Seorang ustadz dari LDII, menceritakan tentang sejarah eksistensi ormasnya di wilayah desa krecek ini. Haji Abdullah termasuk salah satu orang yang mengembangkan LDII di wilayah dusun Bumirejo. Dia juga merupakan adik dari salah seorang tokoh pemuda rakyat yang ikut menjadi korban pembersihan yang membuatnya menikahi kakak iparnya. Dimulai pada tahun 1970 an ia mulai membangun pondok kecil dengan ukuran 4x6m. Setelah berjalan 6 tahun kemudian akhirnya LDII mempunyai anggota sebanyak 20 keluarga di Bumirejo. Perkembangan selanjutnya anggota bertambah 10 keluarga lagi dan tidak hanya diwilayah bumirejo bagian barat saja anggotanya, tapi sudah berkembang ke arah timur dusun. Sama dengan sejarah yang dialami NU, Ia menceritakan bahwa LDII juga mempunyai peran yang besar terhadap santrinisasi di dusun ini. Ketika warga masih banyak yang menjadi BTI, LDII bersama NU dengan dakwah mereka berusaha untuk
210
melakukan pendekatan dengan warga agar kembali menjadi pemeluk agama Islam yang benar. Haji Abdullah dan Kiai Jaiz sama-sama pernah menjadi santri dari Modin Krecek yang berafiliasi pada Masyumi, selepas dari modin, mereka berdua berpisah dan melanjutkan sekolah ke pesantren yang berbeda. Kiai Jaiz memang anak dari pemuka NU dan ketika lulus dari Sumbersari langsung memegang kendali NU ranting. Pada tahun 80 an Haji Abdullah sendiri mulai mendirikan mushola untuk menampung jamaah LDII yang semakin bertambah banyak di dusun ini, hingga akhirnya tahun 90an ia berhasil menyelesaikan musholla bertingkat yang terletak didepan rumahnya. Dia juga menambahkan bahwa LDII mencapai perkembangan yang pesat ketika tahun 2000 anggotanya telah menyebar ke separuh wilayah dusun Bumirejo. Anggota LDII sendiri sebagian besar mempunyai latar belakang petani, dan beberapa diantara ada juga yang menjadi pedagang kecil. Seperti halnya kompromi terhadap tradisi sedekah bumi yang dipelopori oleh Kasun Bumirejo yang masih kerabat dari Haji Abdullah kemungkinan besar tidak bisa dilangsungkan dimasa mendatang karena desakan Kiai pendatang sudah merangsek masuk dengan berbagai macam isu mulai menggoyang keberadaan Kiai Jaiz. Dampak positif dari jaringan personal adalah harmonisasi akar rumput. Jamaah NU dan LDII beragam golongan mulai dari petani, pedagang kecil dan mBorek. Warga LDII pemilik selepan yang paling besar adalah Pak Sakri yang juga keluarga dari Haji Abdullah. Sementara pemilik selepan lainnya adalah Pardi di sebelah timur desa. Meski LDII merupakan ormas yang mempunyai pengikut dengan
211
besaran yang hampir sama dengan NU, Pak Sakri sendiri tidaklah mendapatkan perlakuan istimewa, meskipun dia haji dan kerabat Haji Abdullah. Dia menjalankan praktek bisnis sebagaimana umumnya dengan merangkul semua golongan. Bahkan LDII Bumirejo yang berkoordinasi di Kebon jeruk disebelah barat desa Badas membawa banyak keuntungan bagi anggota NU yang bekerja di selepan milik elit LDII. Jaringan ini menyebabkan banyak Borek LDII yang bisa melebarkan sayapnya kebeberapa desa dengan lebih efektif.
3.Kapasitas dan Posisi Tawar Akar-rumput 1.Terhadap Negara Peranan negara pada masa Orde Baru yang begitu besar terhadap bidang pertanian membuat ketergantungan di tingkat pedesaan tidak bisa dihilangkan begitu saja. Khususnya perhatian yang besar kepada petani dengan memberikan berbagai macam subsidi pertanian dan stabilisasi harga-harga produksi pertanian. Pada masamasa krisis ekonomi antara tahun 1997-2000, petani terimbas dengan macetnya distribusi pupuk yang membuat mereka harus berjuang dengan berbagai macam cara dan bersifat individual untuk mendapatkan pupuk. Pada masa-masa awal krisis mereka banyak memilih untuk memanfaatkan pupuk alternatif. Disamping karena biaya yang murah dan menjanjikan biaya produksi yang rendah, mereka bisa memprediksi berapa besar panen yang bisa dinikmati. Tetapi pupuk alternatif setelah dipakai tidak memberikan dampak yang
212
bagus bagi perbaikan hasil produksi dan berdampak pada waktu panen yang semakin lama begitu juga tanaman rentan terhadap serangan hama. Pada saat pemerintah memberikan perhatian kembali pada sektor pertanian setelah kondisi politik nasional relatif stabil pada tahun 2003-2005, persoalan pupuk masih belum mendapatkan perbaikan distribusi yang signifikan. Para petani diberikan jatah dengan komposisi pupuk yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Disetiap desa ditetapkan jatah untuk kebutuhan minimal petani dan harus dibeli dengan sistem kupon. Beberapa diantara petani kaya melakukan pembelian diam-diam dalam skala besar ke desa-desa lain yang kelebihan jatah karena petani tidak mampu mengaksesnya. Kelangkaan pupuk ini tentu saja berakibat dengan tidak maksimalnya hasil panen yang didapatkan. Ketika pemberian pupuk tidak sesuai dengan waktu pemberiannya atau telat dalam pemberiannya maka hasil panen yang didapatkan tidak akan sama ketika pupuk diberikan sesuai dengan waktunya. Selisih panen yang ada bisa mencapai 10kg tiap kwintalnya. Misalnya dengan pemberian pupuk tepat waktu 1 kwintal gabah bisa mendapat 50kg beras, kalau pupuk yang diberikan telat, hanya bisa mendapat 35-40kg saja. Hasil seperti itu mengakibatkan penurunan keuntungan bahkan petani bisa mengalami kerugian. Matapencaharian petani seringkali dianggap sebagai faktor determinan yang mengharuskan sistem sosial politik juga diatur berdasarkan klientilisme. Dalam menyikapi persoalan pupuk, akar-rumput memang tidak bisa berbuat banyak kecuali menunggu. Meskipun terdapat beberapa usaha seperti yang dilakukan
213
oleh H di Pulorejo dengan membentuk perkumpulan tani tetapi distribusi pupuk yang diatur oleh negara membuat katergantungan tidak bisa diabaikan. Persoalan pupuk menjadi faktor penting yang mempengaruhi kadar ketergantungan masyarakat terhadap negara. Meskipun demikian, persoalan pupuk merupakan persoalan yang kompleks dan melibatkan skenario besar. Kontrol pemerintah daerah terhadap kelancaran distribusinya juga tidak bisa berbuat banyak untuk menstabilkan harga karena pemain pasar yang mempunyai kekuatan lebih besar dalam mengendalikan distribusi tersebut tidak bisa dikenali. Sebenarnya, tingkat kerugian yang paling besar dari langkanya pupuk adalah elit ekonomi karena luasnya lahan yang dipunyai menuntut tercukupinya pasokan pupuk dalam jumlah besar. Tetapi mereka bisa mengusahakan pembelian dalam jumlah besar dengan pola stok diawal dan membeli langsung dari distributor besar dengan harga pasar. Meningkatnya kapasitas akar-rumput diikuti oleh naiknya posisi tawar terhadap negara. Bentuk yang paling mudah dilihat dari perbaikan kapasitas tersebut adalah terbentuknya masyarakat santri yang mempunyai model interaksi sosial politik dimana pergeseran hubungan antara elit-akar-rumput tidak lagi disandarkan pada besarnya dukungan negara. Sementara posisi tawar akar-rumput terhadap negara dilakukan dengan usaha revitalisasi institusi informal dalam rangka mencukupi kebutuhan ekonomi sekaligus mengamankan kepentingan sosial dan politiknya.
214
2.Terhadap Kekuatan Sosial Politik Di semua dusun yang ada di Krecek, diantara kekuatan sosial politik yang berpengaruh bisa dibagi dalam tiga kubu yang saling berebut pengaruh satu sama lain. Kubu pertama adalah organisasi keagamaan. NU didominasi oleh elit-elit keagamaan, ekonomi dan politik tetapi juga mempunyai massa dalam jumlah besar yang bukan dari kelompok ekonomi menengah. Sebagai kekuatan sosial yang berpengaruh, elit-elit NU dan ormas yang lain mempunyai panggung yang mendudukkan mereka dalam satu hubungan yang saling menguntungkan. Karakteristik elit ekonomi lebih menonjolkan sifat dasarnya sebagai pencari keuntungan material dan sumber daya yang dimiliki bisa dijadikan jaminan keluarga dan keturunannya. Sementara karakteristik elit keagamaan dan politik sama-sama memanfaatkan organisasi untuk melakukan mobilisasi dukungan sehingga kepentingannya bisa diterima sebagai bagian kepentingan organisasional. Kedudukan elit menjadi penting jika dilihat dari modalitas pengetahuan dan jaringan yang mereka miliki sehingga mampu mendesain tujuan-tujuan perubahan sosial politik melalui institusi yang ada. Dalam mendukung segenap agenda-agendanya antar elit menggunakan saluran komunikasi informal dan mencoba membagi peran diantara mereka sendiri. Motifmotif penguasaan elit terhadap institusi kemudian memunculkan spontanitas di kalangan akar-rumput untuk menghalau kepentingan-kepentingan terselubung mereka.
215
Spontanitas mewakili suara yang keluar dari kepentingan akar-rumput yang berisi tema-tema semangat pengembalian ke jalur yang semestinya sesuai dengan tujuan institusi, atau kritik terbuka terhadap kampanye elit keagamaan yang membawa kepentingan dirinya sendiri. Tidak jarang spontanitas tersebut muncul bersamaan dengan isu mengenai tujuan dan motif-motif elit yang beredar dari mulut ke mulut. Mereka mempunyai sensitivitas kolektif yang bisa menuntun secara alamiah untuk menyeleksi agenda-agenda elit yang disosialisasikan melalui mediamedia formal atau informal. Posisi akar-rumput dalam kekuatan sosial politik berada dalam tarikan antara kepentingan elit dengan negara. Meskipun banyak aktor-aktor yang lain tetapi kepentingan elit dan negara mempunyai akses yang langsung berhubungan dengan wilayah sosial politik mereka. Kapasitas akar-rumput sendiri ditopang dengan berhasilnya revitalalisasi institusi informal sehingga posisi mereka lebih otonom. Otonomisasi tersebut menghasilkan posisi tawar yang tinggi terhadap kepentingan elit untuk mendesakkan agenda-agenda kelompoknya atas nama institusi dan akar-rumput hanya dijadikan klaim dukungan dan mobilisasi massa yang besar. Dalam ormas keagamaan, karakteristik mobilisasi elit yang tidak bersifat rasional terdapat di dalam komunitas tarekat. Ketaatan anggota pada mursyid (guru) menjadikan ketundukan yang mereka alami jarang bisa ditawar. Didalam kelompokkelompok tarekat lazim terdapat sebuah hubungan yang ketat antara guru-murid yang berada dalam pola komunikasi yang linier. Tetapi dalam kondisi interaksi sosial yang melibatkan keterkaitan antar institusi, anggota tarekat harus mendasarkan pola interasi sosialnya pada perhitungan yang lain. Di Krecek terdapat beberapa tokoh
216
tarekat yang berosialisasi dengan baik dan tidak begitu tampak fanatisme terhadap organisasinya. Meskipun demikia, ketaatan pada guru melebihi segalanya dan hanya berlaku pada ketentuan-ketentuan normatif ajaran ke-sufi-an saja. Institusi seperti parpol menyumbang terjadinya pergeseran orientasi akarrumput dan menjadikan mereka bukan hanya simpatisan yang pasif. Mereka mempunyai posisi tawar yang tinggi karena dukungan dari terbukanya ruang publik. Informasi dan akses jaringan akar-rumput juga lebih baik yang memungkinkan mereka mendapatkan acuan sebelum tawar menawar atau transaksi politik dilakukan dengan para politisi. Kapasitas mereka juga semakin memperlihatkan kemandirian dalam menentukan pilihan-pilihan politiknya. Alasan yang memadai bisa diberikan untuk memberikan dukungan bagi parpol atau politisinya tanpa dipengaruhi oleh tekanan-tekanan yang datang dari elit dengan memanfaatkan kelemahaman ekonomi mereka.
3.Terhadap Monopoli Ekonomi Berlakunya monopoli ekonomi pada masa Orde Baru telah membuat akarrumput mengalami ketidakberdayaan dalam meningkatkan daya saing produksinya. Mereka cenderung susbsisten secara ekonomi dan harus tunduk pada monopoli aktivitas ekonomi yang dilakukan baik oleh elit atau korporasinya. Masuknya modal swasta dalam skala besar sejak HVA adalah mengembalikan fungsi kantor perkebunan tebu peninggalan kolonial pada akhisr tahun 60 an sebagai pabrik pengolahan rosela untuk produksi karung yang dibiayai oleh penanaman modal asing
217
dari Jepang yang dikelola oleh seorang pengusaha keturunan Cina. Kantor ini letaknya diwilayah desa Klampisan Kecamatan Kandangan, sebelah timur Krecek dan banyak menyerap tenaga kerja dari desa sekitarnya, khususnya para pemuda. Tetapi pada tahun 80-an, perusahaan ini bangkrut dan ditutup dan membuat banyak tenaga kerja beralih profesi menjadi petani dan perantau. Perusahaan tersebut menyerap hampir semua tenaga kerja didesa dan menjadi tumpuan kehidupan bagi masyarakat. Pernah dikabarkan akan dijual 100 miliar dan LDII pusat sudah mau membeli dengan harapan bisa menampung banyak tenaga kerja dan juga pengusahaan penanaman bahan bakunya. Bangkrutnya perusahaan membuat terjadi migrasi ke kota besar-besaran, sebagian kecil lainnya memilih bertani di desa. Produksi pertanian yang bergairah menimbulkan dampak berantai. Salah satunya adalah usaha penggilingan padi. Pada awal 80-an, beberapa orang mendirikan kongsi untuk membangun huller / selepan dengan sistem kerja renteng dan bagi hasil di dusun Krecek dan Sumberagung. Keberadaan selepan ini pada awalnya hanya menampung sesuai fungsinya dalam memisahkan kulit padi menjadi beras dan menyerap pelanggan dari kalangan petani di desa Krecek sendiri. Lambat laun, sistemnya berkembang bukan hanya pada fungsi selepan sendiri tetapi seiring bertambahnya modal, para pemilik kongsi melebarkan sayap untuk membeli gabah, meyediakan jemuran sampai menjual beras dari wilayah lain di luar Krecek. Pemerintah memberikan fasilitas yang mencukupi sehingga jumlah pengusaha selepan mencapai 20 buah di seluruh desa yang memakai sistem berbentuk koperasi dan perseorangan.
218
Dari 20 selepan, hanya satu yang berbadan hukum koperasi dan menjadi satusatunya yang bisa memutar modal dan mendapatkan keuntungan besar. Ini terjadi karena para pemilik kongsi memposisikan diri sebagai pedagang yang mengambil peluang (jemput bola) sampai keluar desa Krecek. Lambat laun kongsi ini akhirnya dikuasai oleh beberapa orang dengan satu orang patron yang terkuat dan menentukan siapa yang berhak untuk bekerja di dalam koperasi dan siapa yang harus dikeluarkan tanpa ada semacam aturan main yang jelas. Patron dan beberapa kliennya dalam kongsi menikmati keuntungan yang besar dari sistem yang sudah dijalankannya yang paling tidak menguasai lebih dari sepertiga perputaran hasil pertanian di Krecek. Dominasi pengusaha selepan yang tergabung didalam koperasi yang didukung oleh negara membuat pesaing-pesaingnya yaitu pemilik perorangan hanya menggunakan selepan miliknya iuntuk melayani kepentingan pribadi karena rata-rata mereka mempunyai lahan yang sangat luas. Selebihnya, hasil pertanian banyak yang disetor ke koperasi sehingga keuntungan koperasi semakin bertambah besar. Disamping selepan yang ada, perkembangan teknologi sejak 4 tahun yang lalu memungkinkan warga masyarakat lainnya yang mempunyai modal untuk membeli alat semacam mobil rakitan yang multifungsi, sebagai alat pengangkut gabah dan selepan berjalan. Harga yang ditetapkan untuk memanfaatkan jasa selep berjalan ini relatif murah dan bisa langsung digunakan dilokasi panen dan selanjutnya mengangkutnya sampai kejalan raya yang sudah disiapkan mobil pengangkut. Selep berjalan diawaki oleh sekitar 3-4 kru yang biasanya terdiri dari satu keluarga.
219
Adanya selepan berjalan pada awalnya membuat pengurus koperasi merasa tidak nyaman karena banyak dirugikan karena harga yang ditawarkan sangat murah dan pelayanan yang diberikan bisa menjangkau sampai di lokasi panen. Pengurus koperasi melakukan lobi-lobi kepada pemerintah untuk melarang beroperasinya selepan keliling tersebut dengan alasan bisa menganggu stabilitas harga gabah. Disamping itu mereka juga melakukan kampanye kepada masyarakat agar tidak memanfaatkan selepan tersebut karena statusnya yang liar dan tidak mempunyai izin. Tetapi usaha-usaha tersebut tidak banyak membuahkan hasil. Selepan berjalan yang banyak diusahakan oleh kelompok akar-rumput yang berakibat pada berkurangnya keuntungan koperasi mendapatkan sambutan yang luas. Sektor pertanian yang potensial sempat menarik sebuah perusahaan pertanian dengan teknologi modern. Tetapi modal tersebut tidak bisa berjalan lancar dan mengalami kebangkrutan. Perusahaan tersebut bergerak dalam bidang teknologi pertanian dengan menyuplai pupuk dan cara pertanian yang mampu menghasilkan panen yang berlipat. Mereka masuk melalui pintu birokrasi desa dan semua programnya disosialisasikan oleh Kades dan perangkatnya. Para petani didaftar dan diberikan pinjaman dalam bentuk benih, pupuk dan beberapa alat ringan pertanian untuk jangka waktu satu kali musim tanam. Setelah dilakukan ujicoba dalam satu musim tanam, hasil panen tidak begitu baik dan banyak petani mengalami kerugian. Sesudahnya, pihak perusahaan memutuskan untuk menghentikan percobaan dan pinjaman yang diberikan kepada petani tidak pernah ditagih kembali.
220
Posisi tawar dalam monopoli ekonomi yang kebanyakan dilakukan oleh jaringan elit dibidang perdagangan kebutuhan sehari-hari juga semkain kuat. Model perdagangan kecil (peracangan) yang dilakukan oleh LDII di Bumirejo berjalan efektif sehingga banyak warga masyarakat bisa menggantungkan hidupnya dari penjualan barang baik sebagai distributor atau pengecer. Industri kecil yang berkembang adalah pembuatan minuman sari temu yang mempunyai pangsa pasar sampai kawasan lain di kecamatan Pare. Dalam rangka peningkatan daya saing dan kesempatan berusaha yang bebas, beberapa pengusaha dari luar desa menanamkan modal dan berinvestasi di bebeapa jenis usaha seperti peternakan ayam yang diusahakan oleh orang Muhammadiyah dari Bloran-Canggu. Tenaga kerja yang terserap berasal dari berbagai latarbelakang baik NU atau LDII. Setiap tahun pengusaha juga mengeluarkan zakat berupak sembako pada warga sekitar. Dalam mendapatkan modal, penawaran yang diberikan kepada pemilik modal terutama Bank kadang terlalu berani. Jika musim penghujan, petani ini beramai-ramai meminjam uang di BPR dengan nominal 3-5 juta rupiah sebagai modal untuk pembenihan ikan. Setiap keuntungan yang didapatkan dari penjualan perminggu cenderung dipakai untuk tujuan yang konsumtif seperti membeli perabotan rumah, kendaraan atau perhiasan. Meskipun cara ini dianggap sebagai salah satu bentuk investasi yang paling sederhana tetapi sebenarnya mereka akan mengalami kerugian karena barang yang dijual akan mengalami penyusutan harga. bentuk aset sementara karena ketika keuntungan selama musim penghujan tidak bisa dipakai atau kurang untuk menutup hutang-hutangnya, aset ini akan dijual.
221
Petani kolam mempunyai cara untuk membangun kepercayaan terhadap pemberi modal. Dengan menjual segala macam harta yang dimiliki untuk menutup hutang yang ada sehingga pada musim tanam berikutnya, mereka diberikan pinjaman kembali. Alasan utama yang membuat mereka lebih suka meminjam di BPR adalah syarat yang mudah dan pelayanan yang cepat sehingga memungkinkan pencairan uang sebagaimana kebutuhan mereka secara individual. Berbeda dengan di bank umum atau pemerintah yang meminta adanya agunan besar seperti sertifikat tanah dimana ini sulit dipenuhi karena tidak semua petani mempunyai lahan pribadi. Prosedurnya juga rumit karena tidak bisa diakses secara persoanal melainkan harus kolektif dan memakan waktu yang lama.
E. Beberapa Catatan dan Implikasi Teoretik
Studi ini menghasilkan tiga catatan penting yang didalamnya termasuk implikasi teoretik. Pertama adalah mengenai posisi agen dan struktur dan pergerakannya dalam situasi yang berubah. Dalam pembahasan ini, kerangka morphogenetics yang digunakan akan dihadapkan pada implikasi teoretik lainnya dari teori strukturasi dan Historical Institutionalism (HI). Kedua, pembahasan mengenai kritik terhadap statisme yang dibawa oleh Geertz dalam melihat masyarakat tradisioanal. Dinamisasi yang bersifat gradual terjadi didalam masyarakat dan perubahan sosial politik menjadi hal yang menarik untuk dilihat dan menguji tingkat statisme masyarakat itu sendiri. Ketiga, pembahasan mengenai dua hal penting
222
didalam dan menyebabkan adanya perubahan yaitu responsivitas dan adaptatifitas dalam konteks politik informal.
1.
Pergerakan Agen dan Struktur dalam Perubahan Perdebatan mengenai peranan agen dan struktur dalam mempengaruhi
perubahan telah menghasilkan serangkaian temuan teoretik. Studi ini telah menghasilkan bahan bagi ulasan dalam perdebatan teoretik utamanya dalam ranah pendekatan strukturasi yang dikembangkan oleh Giddens dan pengikutnya. Kemudian pendekatan morphogenetics (Bhaskar, Archer), lalu pendekatan Historical Institutionalism (HI) (Scokpol, Bell, William). Studi ini mempunyai cakupan pembahasan yang berasal dari pijakan morphogenetics yang memandang aktor terlibat dalam struktur sosial yang belum eksis dimana mereka bisa melakukan transformasi atau reproduksi untuk menciptakan bentuk struktur di masa depan. Pendekatan ini mempunyai kemiripan dengan teori strukturasi terutama pada adanya pengakuan terhadap hubungan timbal balik antara agen dan struktur hanya berbeda dalam tingkat penolakan dari kedua hal tersebut. Tetapi ada beberapa implikasi empiris yang mempunyai kedudukan minoritas dan tidak mendapatkan tempat pembahasan yang memadai dalam pendekatan tersebut. Diantara hal yang paling utama adalah tingkat dan derajad perubahan yang selalu melibatkan peranan aktor dan struktur dalam posisi yang saling merespon. Struktur yang bekerja di tingkat makro yang diwakili dalam instrumen-instrumen kekuasaan seperti negara dan aparatusnya, korporasi ekonomi dan kolaborasi politik
223
mempunyai cara kerja yang berbeda. Antara dalam kondisi yang stabil dan pada masa krisis. Potret struktur yang diandaikan oleh morphogenetic bisa menampilkan analisis yang mendalam mengenai peran aktor dan struktur dalam terjadinya perubahan. Keduanya mempunyai sifat saling menekan sampai pada titik tertentu sehingga menghasilkan elaborasi. Masyarakat merupakan bagian dari sistem yang bersifat terbuka. Karakternya diberikan oleh berbagai macam pengaruh yang menghasilkan cultural arrangement dan cultural forms. Sementara struktur dan agensinya berlaku saling menekan sepanjang waktu. Struktur cenderung berlaku fluktuatif karena bisa menjadi faktor perusak atau faktor reproduktif sekaligus sehingga bersifat probalistik daripada deterministik. Munculnya transformasi dari hasil elaborasi dari perubahan yang terjadi mempunyai bentuk dalam tindakan. Agensi yang terlibat dalam perubahan dibagi menjadi tiga macam yaitu primary agent sebagai kekuatan yang mengendalikan atau mendominasi dan bersifat individual. Kemudian corporate agents yang bersifat kolektif dan dihasilkan dari adanya keputusan dan tindakan secara massal. Lalu social actors yang menjadi hasil kombinasi antara komponen dalam primary dan corporate agents. Argumentasi utama dari strukturasi diwakili oleh Giddens (1984) berpendapat bahwa struktur dan agensi bukanlah entitas yang berbeda karena saling tergantung satu sama lain. Struktur eksis melalui agensi dan agen mempunyai “rules and resources” yang memfasilitasi atau memberikan tekanan pada tindakan agen. Kritik terhadap konsepsi Giddens yang paling penting datang dari Archer yang
224
mengemukakan bahwa struktur dan agensi bersifat saling menekan satu sama lainnya sampai pada titik dimana keduanya tidak lagi mengalami distingsi. Dia menyebutnya “central conflation” sehingga teori strukturasi nyaris tidak bisa menjelaskasn teknis operasional untuk memberi nilai praktis dari strukturasi (Marsh & Stoker ed 2002: 280). Dalam pandangan pendekatan historical institutionalism (HI), yang menjadi perhatian utama adalah model analitik naratif (analytic narrative). Fokusnya pada kondisi waktu dan tempat yang sepsifik serta kontekstual. Institusi merupakan menjadi jawaban atas fenomena tindakan kolektif dan begitu penting dalam memahami dampak politik (Rothstein 1996:159). Dalam prosesnya, studi sejarah dianggap mampu untuk untuk menggambarkan dan menjelaskan dengan jernih mengenai kemunculan dan kelangsungan dari institusi yang bisa melakukan fungsi koordinasi dan fasilitasi diantara aktor dan kelompok-kelompok lainnya (Hall 1994, Thelen & Kume 1999). Klaim utama HI terletak pada adanya pilihan-pilihan yang dibuat dalam desain institusional dari sistem pemerintahan yang mempengaruhi pengambilan keputusan di masa depan dari individu (Hall & Taylor 1996). Studi ini melihat patrimonialisme sebagai informalitas harus dilihat sebagai ikatan yang bisa melibatkan mobilisasi sumber daya. Dalam bagian ini, dia bisa menjelma menjadi kesatuan organik yang mampu mengendalikan politik formal. Patrimonialisme kemudian menjadi struktur dimana agensi yang terlibat didalamnya adalah elit dan akar rumput yang diikat dengan model patron-klientilisme. Dalam kondisi struktur yang melemah, maka agen utama tidak mempunyai pilihan lain
225
kecuali melakukan kompromi dan membagi sumber daya yang semula dikuasainya kepada pihak lain. Disini terlihat bahwa agensi bukanlah sesuatu yang selamanya tergantung pada keberadaan struktur. Patrimonialisme melemah, disamping karena desakan dari luar, juga penerimaan dan tumbuhnya respon dari dalam masyarakat sendiri.
2.
Statisme Geertz Studi ini berkaitan erat dengan studi yang dilakukan oleh Geertz mengenai
tipologi dalam agama Jawa. Teorisasi yang dikemukakan olehnya kemudian berimplikasi luas pada munculnya konsep politik aliran dalam tradisi budaya politik di Indonesia utamanya Jawa. Tipologi abangan, santri dan priyayi yang dibuat oleh Geertz mempunyai ruang gerak yang cenderung statis karena tidak memperlihatkan peluang untuk bergeser ketika ada perubahan. Jika demikian halnya, tipologi tersebut terjebak dalam usaha untuk melakukan purifikasi terhadap struktur kepercayaan orang Jawa terhadap masuknya ideologi sehingga baginya agama merupakan manifestasi dari unsur-unsur yang berbeda didalamnya. Statisme yang dibawa oleh Geertz sekilas tampak membenarkan budaya politik orang Jawa. Studi yang dilakukannya sudah banyak dikritik relevansinya terutama berkaitan dengan fenomena blurring didalam tipologi yang dibuat Geertz. Faktor utama yang menjadi pijakan dari fenomena tersebut adalah santrinisasi pasca 65. Faktor yang tidak mendapatkan perhatian besar terletak pada munculnya perubahanperubahan baik dari tekanan makro atau muncul dari desakan dalam skala mikro.
226
Relevansi aliran sendiri karena pada pertengahan tahun 60-an, dihadapkan pada perubahan situasi politik dan telah membawa dampak pada munculnya santrinisasi sehingga proporsi abangan sebagaimana yang disebut Geertz secara drastis telah menurun (Liddle 2003). Statisme Geertz memang tidak bisa sepenuhnya ditolak jika dilekatkan pada mobilitas kognitif dalam budaya politik Jawa. Tetapi apabila manifestasi dari statisme diletakkan pada porsi untuk menyebut nilai kepercayaan Jawa merupakan bagian integral dari budaya politiknya, tentu hal ini akan menghadapi dilema tersendiri. Sejak masuknya Cina, spektrum ekonomi politik kelompok priyayi telah tergeser. Demikian juga ketika santrinisasi terjadi, sepktrum ideologis kelompok abangan juga mengalami kejenuhan dan dalam titik kulminasi santrinisasi melalui gerakan kultural yang dilakukan oleh ormas kelompok santri, mampu mengintegrasikan kepentingan kelompok abangan sehingga menyababkan cirikhas kelompok santri juga berubah. Berbagai perubahan pasca apa yang disebut Geertz mengenai agama Jawa dan ditulis pada dekade 50 an tampak dengan dominasi pedagang-pedagang China yang mulaiu membanjiri kota Pare pada akhir 60 an. selain itu infiltrasi keagamaan yang dilakukan oleh NU dan ormas-ormas lainnya berpotensi menghasilkan apa yang disebut sebagai santrinisasi pada awal 70 an. Sedangkan kelompok abangan mengalami formalisasi bersama dengan keberadaan para priyayi yang sudah tidak lagi mempunyai kekuatan penyangga di masyarakat. Kelompok abangan harus menerima santriniasi secara kolektif sementara prestise kelompok priyayi telah sedemikian menurun karena imbas negaranisasi yang dilakukan oleh Orde Baru.
227
Studi ini bisa menemukan aspek dinamisasi dalam masyarakat Jawa tradisional dimana perubahan telah mengakibatkan munculnya respon dan adaptasi dari aktor terhadap struktur barunya. Tentu saja dinamisasi yang dimaksud bukanlah bagian dari perilaku aktor yang terlalu cepat mengubah dirinya melainkan melalui pertimbangan mengania besar kecilnya tekanan struktural yang ada. Dari sisi metode, Geertz menggunakan ‘‘thick description’’ untuk menggambarkan sisi emosionalitas dan perasaan diri dengan memasukkan sejarah sebagai bagian dari pengalaman aktornya. Hal tersebut membuat narasi yang bisa dibangun mengenai perubahan dan dinamika dalam masyarakat menjadi begitu hidup dan mendalam. Denzin (1989:83). Menyebutkan bahwa dalam metode thick description, suara, perasaan, tindakan dan makna dari interaksi antar individu bisa lebih didengar. Dengan demikian, dia bisa membangun gambaran yang jernih dari tindakan individu dan kelompok dimana budaya dan latarbelakang mereka hidup. Geertz bekerja dengan menggunakan sensivitasnya untuk mengetahui persepsi elit dan porsinya lebih besar daripada memahami narasi dari persepsi akar rumput. Sebagai antropolog, Geertz sangat sukses menerapkan metodenya, tetapi sikap yang kurang akomodatif pada persepsi
akar rumput
telah
menyebabkan
hasil
pembacaannya kurang mewakili kepentingan aktor yang lebih besar dan kolektif. Dalam menarik interpretasi terhadap fragmen budaya, Geertz hampir melupakan sisi politik yang berupa ambisi faksi-faksi yang ada didalam kelompok abangan, seperti kejawen yang menekankan pada olah mistisisme dan kosmologis dengan majaphitan yang mempunyai hasrat kekuasaan yang besar. keberadaan faksi-faksi tersebut bisa
228
jadi diabaikan karena Geertz terlampau masuk kedalam narasi persepsi elit tanpa membandingkan dengan narasi sejarah yang dibangun oleh aktor kolektif.
3. Ambivalensi dalam Budaya Politik Informal Dalam studi tentang patrimonialisme, informalitas merupakan hal yang menjadi latarbelakang bagi terbentuknya mobilisasi dan hegemonisasi berbasis struktur kekerabatan. Institusi berperan penting penting sebagai perangkat dalam rangka menggerakkan kepentingan-kepentingan individu dan mampu memperluas cakupan pengaruhnya. Dalam persoalan distingsi antara formalitas dan informalitas, terdapat ambivalensi karena dalam masyarakat pedesaan, tradisionalitas sudah mempunyai kapasitas institusional yang bersifat informal. Sementara formalisasi institusi yang dilakukan oleh negara merupakan bagian integral dari apa yang disebut sebagai birokratisasi institusi tradisional. Ambivalensi didalam pelaksanaan fungsi institusi terlihat ketika institusi informal tidak lagi menjadi pelengkap atau subordinat dari institusi formal. Demikian juga sebaliknya, institusi informal menggantikan peran institusi formal karena dianggap korup dan bangkrut. Kedua macam institusi tersebut berjalan secara bersamaan sebagai bagian dari integrasi sistemik. Oleh karena itu kerap dijadikan ajang politicking dengan skala yang lebih rendah, baik oleh elit atau akar rumput. Dalam kasus di Krecek, institusi informal masih menggunakan jaringan dan fungsi dari institusi formal. Sekalipun tidak mutlak dan maksimal tetapi pemanfaatan fungsi dan peran salah satu institusi yang ada cukup membuktikan bahwa ambivalensi
229
disebabkan karena penerimaan masyarakat terhadap keduanya masih berlaku. Masyarakat tidak melakukan tindakan pembunuhan atas institusi yang dianggap tidak menguntungkan. Mereka lebih suka untuk mengakomodasi institusi informal dengan maksud bisa lebih terkontrol. Pengaruh dari terjadinya ambivalensi terdapat pada perilaku masyarakat terhadap perubahan. Struktur institusi tidak lagi mencerminkan penguatan dan pelemahan antara formal dan informal. Sedangkan aktor juga mengalami diversifikasi dalam hal eksistensi dan diferensiasi. Perubahan memang terjadi dan simpul utamanya bisa dijelaskan dari dua hal yaitu responsivitas dan adaptifitas. Responsivitas aktor terhadap perubahan mempunyai karakteristik retroaktif karena sebagain besar dari mereka mempercayai kehendak sejarah sehingga perubahan muncul dari proses yang berlangsung secara sederhana. Kekuasaan berganti, kehidupan pun harus ikut berganti. Peluang aktor dalam memberikan respon atas perubahan bisa dilihat dari jenis dan kedudukan aktor dan kemungkinankemungkinan gerakan yang bisa mereka lakukan. Posisi aktor dalam memberikan sumbangan dalam membangun kekuatan arah dari respon tersebut menjadi hal yang penting. Responsivitas membuat terjadinya perpaduan antara model struktur dalam skala mikro dengan pergeseran yang diakibatkan di tingkat makro. Bentuk responsivitas bisa dikenali melalui gagasangagasan elit untuk melakukan kompromi ketika akar rumput sudah mulai bergeliat dan ingin menunjukkan eksistensinya. Demikian juga dengan usaha-usaha akar rumput untuk menenmpatkan poisis tawar ekonomi, sosial dan politiknya dalam
230
rangka menghindari kemungikinan kerugian yang akan mereka dapatkan apabila salah menentukan pilihan. Bentuk ambivalensi yang lain dalam perubahan adalah adaptifitas. Masyarakat mempunyai sistem yang memungkinkan mereka mengikuti arah perubahan yang terjadi. Pola adaptasi masyarakat Krecek terkait dengan pola hubungan elit-akar rumput dimana ketegangan atau kompromi diantara mereka menjadi penyumbang bentuk-bantuk adatasi terhadap perubahan. Disatu sisi, perubahan tingkat makro telah mendorong terjadinya mobilisasi akar rumput untuk melakukan revitalisasi terhadap institusi
informal.
Tujuan-tujuan
umumnya
adalah
hendak
mengurangi
ketergantungan pada institusi formal dukungan negara. Usaha ini tidak lantas menjadikan institusi informal mempunyai kedudukan yang sangat penting dan bukan juga menjadi satu-satunya alat tanpa melibatkan institusi formal. Pola adaptasi yang diambil oleh masyarakat baik elit atau akar rumput mempunyai implikasi pada posisi akar rumput terhadap pola patrimonialisme yang menjadi instrumen utama bagi elit untuk mendapatkan kekuasaan. Ada semacam kehati-hatian karena adaptasi yang dilakukan tidak menempuh cara-cara yang frontal. Misalnya dengan menolak keterlibatan pemerintah dalam pengaturan pertanian mereka. Cara pandang pemerintah sepanjang masih bisa diakomodasi tentu tidak akan diabaikan begitu saja. Dalam kasus keterlibatan dalam produksi perikanan, masyarakat mempunyai cara yang berbeda karena kepercayaan dibangun diantara pembeli-pedagang yang sudah terlibat dalam interaksi secara turun temurun. Daya
231
tahan mereka terhadap perubahan ekonomi tidak lantas membuat mereka beramairamai menuntut pemerintah untuk memperhatikan nasib mereka.
232
BAB V KESIMPULAN Masa peralihan setelah runtuhnya Orde Baru membuka jalan baru bagi perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat lokal. Perubahan yang paling penting adalah memudarnya sistem patrimonialisme yang melekat sebagai model kekuasaan Orde Baru. sistem tersebut pada masa-masa kekuasaan Orde Baru ditransformasikan kedalam tatanan masyarakat. Jenis masyarakat yang mempunyai pola-pola kekuasaan yang hampir sama adalah masyarakat santri yang menjadi modal terbesar dalam kekuasaan politik di Indonesia. Sistem patrimonialisme di dalam masyarakat santri membuat elit mempunyai peran yang signifikan sebagai agensi negara dalam mengendalikan masyarakat (akarrumput). Disamping itu juga membantu peran-peran yang dijalankan oleh aparatus negara dalam menundukkan masyarakat. Wilayah terpenting yang menjadi basis legitimasi bagi elit didalam masyarakat santri adalah wacana keagamaan, subsistensi ekonomi dan mobilitas institusi. Elit santri bisa bertahan karena mendapatkan dua tipe dukungan yaitu dukungan negara dan dukungan dari akar-rumput dimana elit menyediakan berbagai kebutuhan mendasar mereka. Seiring dengan melemahnya dukungan negara dan situasi nasional yang bergerak kearah yang tidak menentu, elit santri masih melakukan upaya-upaya untuk mempertahankan legitimasi politiknya. Tetapi secara umum perubahan yang terjadi dalam hubungan elit-akar-rumput lebih ditentukan oleh perubahan struktural yang berlangsung ditingkat nasional. Usaha demokratisasi telah menuntut birokrasi agar
233
lebih transparan. Demikian juga perbaikan iklim politik dan masuknya pengaruh yang bertujuan untuk memperbaiki tingkat pengetahuan masyarakat dalam proses politik. Partisipasi, revitalisasi institusi dan kritisisme telah membentuk masyarakat didalam lingkaran santri lebih mempunyai posisi tawar. Hubungan
elit-akar-rumput
kemudian
berjalan
dengan
lebih
saling
menguntungkan. Elit sendiri meski tidak bisa dikatakan sama sekali tidak berdaya dalam menyalin legitimasi politiknya, harus menetapkan strategi baru untuk memperbaiki komunikasi dengan konsep-konsep kesetaraan dengan akar-rumput. Memang terlalu dini jika dikatakan bahwa akar-rumput bisa bebas dari subsistensi tetapi ruang yang terbuka untuk merubah kedudukan mereka menyebabkan posisi tawar terhadap elit bisa dioptimalkan. Situasi pasca Orde Baru memang menguntungkan akar-rumput dalam mengaktualisasikan kepentingannya degan lebih beragam dan bebas. Tendensi elit sendiri untuk membatasi hal tersebut sudah mulai berkurang. Dalam pengertian yang lebih spesifik, kondisi struktural yang terjadi di tingkat nasional memberikan pengaruh yang lebih besar pada faktor menguatnya institusi-institusi dukungan masyarakat. Akibatnya, peran elit dalam wilayah politik mendapatkan penawaran yang cukup tinggi dari akar-rumput. Elit tidak lagi memposisikan diri sebagai pengontrol dan pemelihara kekuasaan politik dengan legitimasi yang dimiliki sebelumnya. Melainkan, terpaksa diposisikan sebagai pemberi tawaran pada akarrumput dalam mendukung kepentingan-kepentingan politiknya.
234
Dalam masyarakat santri, perubahan yang terjadi di tingkat mikro lebih banyak dipengaruhi oleh perubahan struktural yang terjadi di tingkat makro. Tetapi pergeseran dan bentuk perubahan tidak serta merta bisa disamakan dengan kondisi yang terjadi di tingkat makro. Pergeseran yang penting ditingkat mikro adalah bergesernya legitimasi politik elit. Pergeseran ini dipengaruhi oleh melemahnya dukungan negara terhadap elit politik yang berfungsi sebagai agensi negara dan bersama aparatus negara menguasai sumber daya umum dan mobilisasi sosial politikterhadap akar-rumput. Keberadaan institusi juga penting untuk dicermati karena fungsinya dalam menghantarkan legitimasi elit mendapatkan berbagai macam keistimewaan dari negara dan juga dari masyarakatnya. Pesantren harus menyesuaikan diri dengan perubahan dimana elitnya membangun jaringan baru dengan politisi dan parpol untuk mendapatkan dukungan material. Basis legitimasi kultural saja tidak cukup untuk melakukan revitalisasi terhadap peran sosial politik Kiai dan pesantrennya. Untuk itu jaringan dengan parpol menjadi pilihan menarik yang dilihat tidak terlalu menimbulkan resiko ideologis. Harga yang harus dibayar juga tidak terlalu mahal dalam ukuran kesinambungan pengaruh mereka pada tingkat masyarakat. Pergeseran struktural menghasilkan bentuk-bentuk baru dalam hubungan antara elit-akar-rumput. Diantaranya adalah menguatnya kapasitas dan posisi tawar akar-rumput terhadap negara dan juga monopoli ekonomi. Penguatan ini diakibatkan oleh lemahnya konsolidasi elit untuk memantapkan bangunan strukturalnya terhadap sumber daya ekonomi dan jaringan politiknya sebagai agensi negara. Dalam kondisi
235
pasifis memang bisa dikatakan mustahil bagi akar-rumput untuk melakukan perlawanan atau minimal resistensi terhadap keinginan elit mengembalikan posisi strukturalnya seperti masa Orde Baru. Respon terhadap perubahan struktural kemudian menghasilkan hal-hal yang mengejutkan. Relasi elit-akar-rumput yang semula begitu senjang menjadi relatif lebih rapat dan didasarkan pada alasan-alasan kepentingan yang sama. Posisi tawar dan kapasitas akar-rumput juga mengalami otonomisasi dan gerakan mereka melawan dominasi elit berada dalam ruang-ruang yang terbuka. Munculnya spontanitas dalam menandingi wacana yang dilakukan oleh elit dalam media-media publik seperti pengajian, musrenbang dan pertemua-pertamuan lainnya. Dalam kajian ini terdapat penemuan yang penting yang terbagi dalam tiga bagian utama yaitu pergesernya legitimasi politik elit, munculnya
fragmentasi
patrimonial dan revitalisasi institusi informal yang berakibat pada munculnya otonomisasi akar-rumput. Dalam bagian pertama, legitimasi elit politik tidak bisa lagi memanfaatkan institusi sosial dan politik dalam melakukan mobilisasi dukungan dari akar-rumput. Pergeseran yang paling terlihat adalah pada soal pemanfaatan basis material dari modalitas kultural menjadi politik yang menggunakan tiga landasan yaitu dengan wacana keagamaan, dengan institusi dan dengan jaringan yang mereka miliki. Elit tengah mengalami krisis dukungan, kepercayaan dan kekuasaan. Pada kondisi ini mereka memanfaatkan ruang-ruang publik yang tersedia untuk membangun kembali legitimasi politinya dengan lebih elegan dan memanfaatkan sumber-sumber dukungan yang datang dari akar-rumput sendiri.
236
Munculnya fragmentasi patrimonial lebih banyak disebabkan oleh gagalnya elit mengambil alih posisi negara dalam masa-masa transisi. Fragmentasi patrimonial bukanlah akhir dari patrimonialisme didalam masyarakat santri. Tetapi bentuk tersebut mengarah pada pelucutan sistem patrimonialisme karena sifat kekuasaannya menyebar dalam beberapa entitas yang lebih kecil. Penyebaran tersebut tidak diikuti jalinan kekuasaan yang berpretensi untuk mengembalikan kepada kekuasaan yang lebih terfokus dan terpusat seperti pada masa Orde Baru. Pelemahan patrimonialisme tampak dari kedudukan elit yang berubah-ubah dan senantiasa harus menunggu klarifikasi dari akar-rumput untuk menjalankan agenda-agendanya. Dalam usaha untuk melakukan revitalisasi institusi informal, akar-rumput tidak menemukan kendala yang cukup berarti karena beberapa fungsi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya didalam institusi formal telah membuka diri untuk menerima kerjasama dari institusi yang lain dalam memaksimalkan fungsi sesuai kebutuhan masyarakat. Peran institusi informal mampu menggantikan ketergantungan pada peran negara dan elit di bidang pengolahan pertanian dan pembangunan masyarakat. Disamping itu menjadi salah satu posisi tawar akar-rumput terhadap elit karena bekerjanya institusi informal telah meletakkan fungsi jaringan dan koordinasi diantara akar-rumput sendiri. Revitalisasi institusi informal memungkinkan munculnya otonomisasi akarrumput sebagai hasil dari transformasi perubahan struktural. Otonomisasi tersebut mempunyai tiga kemampuan yaitu adaptatif yang membuat akar-rumput lebih mampu menyesuaikan kapasitasnya sesuai dengan kondisi yang berubah-ubah atau masih
237
belum stabil. Kemudian responsif karena dapat memberikan tanggapan atas berbagai perubahan tersebut sebagai pihak yang aktif. Dan kemudian transformatif yang banyak dipengaruhi oleh tingginya akses informasi dan masuknya perubahan dari tingkat yang lebih tinggi sehingga memberikan merek abanyak pilihan-pilihan. Penemuan tersebut diatas bisa menjadi bahan referensi penting bagi banyak kepentingan yang hendak memanfaatkan relasi elit-akar-rumput untuk tujuan-tujuan ekonomi, sosial dan politik. Khususnya bagi parpol, bergesernya legitimasi elit menjadi tantangan yang cukup serius untuk menyederhanakan pola mobilisasi dukungan yang selama ini hanya melibatkan elit saja. Demikian juga dengan masuknya kepentingan-kepentingan ekonomi harus memberikan sikap yang lain karena resistensi pada masyarakat pedesaan dengan sistem masyarakat yang agraris dan sistem politik yang sarat dengan klientilisme tidak selalu menjadi warna dan konsekuensi dari adanya perubahan struktural.
238
DAFTAR PUSTAKA
Archer, M. (1995). Realist Social Theory: The Morphogenetic Approach. Cambridge: Cambridge University Press.
Archer, M. (2000). Being Human: The Problem of Agency. Cambridge: Cambridge University Press.
Karl D Jacson, Kewibawaaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat, Pustaka Utama Graffiti, Jakarta, 1990
Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi Kebudayan dalam Islam, Sipres, Jogjakarta
Slamet Effendy Yusuf, Dinamika Kaum Santri, Rajawali, Jakarta, 1983
A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri, LKPSM, Jogja, 1995
Abdul Munir Mulkhan, Moral Politik Santri, Erlangga, Jakarta, 2003
Zainuddin Maliki, Penaklukan Negara Atas Rakyat, Gadjah Mada University Press, 1999
Yin, Robert K, Case Study Research: Design and Methods, Second Edition, Sage, 1994
239
Anderson, Benedict R, 1972. Old State New Society: Indonesia New Order in Historical Perspective, Journal of Asian Studies 42, 477-496
Anderson, Benedict R & Audrey Kahin (ed), 1982, Interpreting Indonesian Politik: thirteen Contributions to the Debate, Ithaca, Cornell University, Southeast Asia Program, Modern Indonesia Project
Booth, Anne & Peter McCawley (peny), 1990, Ekonomi Orde Baru, Boediono (terj), Jakarta, LP3ES
Bordieu, Pierre, 1977, Outline of a Theory of Practice, trans by Richard Nice, Cambridge University Press
------------------, 1984, Distinction: a Social Critique of the Judgement of Taste, Harvard University Press
Hefner, R.W, 1999, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, Imam Ahmad (terj), Yogyakarta, LkiS.
Jay, Robert R, 1969, Javanese Villager: Social Relations in Rural Modjokuto, Cambridge, Mass, MIT Press
Moedjanto, G, 1986, The Concept of Power in Javanese Culture, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
Nakamura, Mitsuo, 1983, The Crescent Arises over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town, Yogyakarta, GMU press
240
Popkin, Samuel L, 1979, The Rational Peasant: the Political Economy of Rural Society in Vietnam, University of California Press
Scott, James C, 1994, Moral Ekonomi Petani, Hasan Basari (terj), Jakarta, LP3ES
Woodward, Mark R, 1999, Islam Jawa: Kesalehan Normatif vs Kebatinan, Hairus Salim (terj), Yogyakarta, LkiS.
Gaffar, Afan, 1992, Javanese Voters: Election Under the Hegemonic Party System: A Case Study of Indonesia, Yogyakarta, GMU Press
-----------------,1999, Politik Indonesia: Transisi menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Geertz, Clifford, 1989, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Aswab Mahasin (terj), Jakarta, Pustaka Jaya.
Marsh, David & Garry Stoker (ed), 2002, Theory and Methods in Political Science, Palgrave
Burnham, Peter et al, 2004, Research Methods in Politik, Palgrave
Varley, Robert C.G, 1993, Masalah dan Kebijakan Irigasi, Munawir (ter), Jakarta, LP3ES
Lombard, Denys, 2000, Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid 1-3, Winarsih P.A dkk (terj), Jakarta, Gramedia Denzin, N. K. (1989). Interpretive interactionism. Newbury Park, CA: Sage.
241
Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (Eds.). (2005). Handbook of qualitative research (3rded.). Thousand Oaks, CA: Sage. Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures: Selected essays. New York: Basic Books. Holloway, I. (1997). Basic concepts for qualitative research. London: Blackwell Science. Schwandt, T. A. (2001). Dictionary of qualitative inquiry (2nd ed.). Thousand Oaks,CA: Sage.
242