STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
MEMPREDIKSI BEHAVIOUR INTENTION MELALUI REPUTASI DAN FAILURE ATTRIBUTION Nunung Ghoniyah Fakultas Ekonomi Universitas Islam Sultan Agung Semarang
[email protected] Abstrak Perusahaan dengan reputasi yang sangat baik mengarahkan pada niat berperilaku yaitu keinginan pembelian ulang dan melakukan positive word of mouth. Namun bukti lain menunjukkan bahwa failure attribution (stability dan controlability) menjadi variabel moderating antara reputasi perusahaan dengan niat berperilaku. Jika kegagalan sering terjadi, penyebab kegagalan berasal dari internal perusahaan dan perusahaan tidak bertanggungjawab terhadap kegagalan tersebut, maka pengaruh antara reputasi dengan niat berperilaku akan melemah. Sebaliknya, jika kegagalan itu jarang terjadi, penyebab kegagalan itu berasal dari eksternal dan perusahaan memperlihatkan tanggungjawabnya terhadap kegagalan tersebut, maka pengaruh reputasi dengan niat berperilaku akan menguat.
A. PENDAHULUAN Tiap perusahaan, tidak memandang seberapa baiknya perusahaan tersebut, tetap membuat kesalahan-kesalahan pada saat memenuhi harapanharapan konsumen yang sekarang ini cenderung lebih menuntut dan kurang loyal (Nikbin et al., 2011). Bitner (1993) menyatakan bahwa karena keunikan yang melekat pada jasa, sangatlah tidak mungkin untuk meyakinkan 100% penawaran jasa bebas dari kesalahan. Bahkan banyak perusahaan yang telah berorientasi pada konsumen dengan program kualitas pelayanan yang prima tidak mampu menghilangkan semua kegagalan penyampaian jasa (del RioLanza et al., 2009). Jadi, kegagalan-kegagalan dalam penyampaian jasa merupakan tantangan yang cukup signifikan bagi tiap perusahaan jasa. Riset-riset sebelumnya menemukan bahwa kegagalan penyampaian produk dan jasa dapat mendatangkan konsekuensi yang tidak diharapkan, seperti kemarahan konsumen (Folkes et al., 1987), ketidakpuasan (Bitner at al., 1990; Hess et al., 2003; Tsiros et al., 2004), keinginan mengajukan komplain (Folkes et al., 1987), keinginan untuk menyakiti perusahaan (Folkes, 1984) dan keinginan berpindah (Keaveney, 1995)
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
Pada saat karyawan menyampaikan jasa, konsumen mengharapkan banyak hal dari organisasi jasa yang mempunyai reputasi yang baik dalam kualitas jasanya. Riset-riset sebelumnya
menunjukkan bahwa reputasi
perusahaan mempengaruhi respon konsumen, seperti pilihan produk dan jasa (Traynor, 1983), sikap (Brown, 1995), niat beli (Yoon et al., 1993) dan kepercayaan (Johnson dan Grayson, 2005). Hess (2008) menemukan bahwa reputasi perusahaan mempunyai pengaruh langsung dengan niat beli ulang dan rekomendasi dari mulut ke mulut. Meskipun variabel reputasi perusahaan telah diteliti, namun masih sangat sedikit riset yang menguji pengaruh reputasi perusahaan dalam konteks kegagalan jasa atau penanganan komplain (Hess, 2008). Sebagai tambahan, dalam bidang marketing terkini, penyebabpenyebab kegagalan jasa termasuk stability dan controllability telah ditekankan sebagai subyek penting. Riset menunjukkan bahwa konsumen sering mencari penjelasan penyebab dari kegagalan jasa (Folkes et al., 1987; Bitner, 1990).
B. REPUTASI Reputasi perusahaan merupakan faktor strategis yang sangat penting bagi suatu organisasi. Hall (1992) menyatakan bahwa reputasi adalah aset strategis yang berpengaruh signifikan terhadap kesuksesan bisnis secara keseluruhan. Greyser (1999) juga menyatakan bahwa memanaj dan membangun reputasi dapat menghasilkan tiga manfaat bagi suatu perusahaan, yaitu: (1) meningkatkan daya tarik perusahaan dibandingkan dengan perusahaan sejenis, (2) mempertahankan perusahaan diwaktu krisis, (3) meningkatkan financial returns. Charles dan Siah (2002) menambahkan bahwa membangun reputasi merupakan unsur kritis untuk bisnis dimana konsumen memiliki sedikit pengetahuan tentang pilihan produk. Reputasi perusahaan didefinisikan sebagai persepsi konsumen tentang bagaimana perusahaan memperhatikan konsumen dan memperhatikan tentang kesejahteraan mereka dengan sungguh-sungguh (Doney dan Cannon, 1997).
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
Reputasi juga didefinisikan sebagai nilai jangka panjang yang dibangun perusahaan bagi konsumennya (Chen dan Chen, 2009). Reputasi perusahaan ini sangat penting bagi pelanggan untuk memberikan gambaran terhadap kualitas produk yang dihasilkan (Brown dan Dacin, 1997). Reputasi perusahaan dapat dilihat dari kompetensi perusahaan tersebut dan keunggulan dibandingkan dengan kompetitornya (Herbig et al., 1994 dalam Margaretha, 2004). Reputasi perusahaan dibangun sepanjang waktu melalui proses sosial yang sangat kompleks yang melibatkan stakeholder internal maupun eksternal (Deephouse, 2000). Riset telah menunjukkan bahwa reputasi mempengaruhi pilihan produk (Traynor, 1983), sikap terhadap produk dan jasa (Brown, 1996), kepercayaan (Johnson dan Grayson, 2005) dan niat beli (Yoon et al., 1993).
C. BEHAVIOUR INTENTION C.1. Word of Mouth Intention. Banyak dari studi-studi marketing menjelaskan bahwa komunikasi dari mulut ke mulut mempunyai pengaruh terhadap keputusan pembelian. WoM communication merupakan pertukaran informasi baik positif maupun negatif yang dilakukan secara informal antar individual mengenai suatu produk atau jasa. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui pertemuan langsung, melalui telpon atau internet. Menurut Lovelock, Wirtz, Keh dan Lu (2005) dalam Nikbin et al. (2011) komunikasi dari mulut merupakan rekomendasi yang berasal dari konsumen lain yang dipandang secara umum dapat dipercaya dibandingkan dengan promosi yang dilakukan perusahaan. Katz dan Lazarsfeld (1955) menyatakan bahwa WoM tujuh kali lebih efektif dibandingkan dengan iklan di majalah dan surat kabar, empat kali lebih efektif dibandingkan dengan personal selling, dan dua kali lebih efektif dibandingkan dengan iklan di radio dalam hal mempengaruhi konsumen dalam hal berganti merek.
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
Lebih jauh, Day (1971) mengestimasi bahwaWoM sepuluh kali lebih efektif dibandingkan dengan iklan. Morin (1983) memperlihatkan bahwa rekomendasi dari orang lain tiga kali lebih efektif. Saat itu, Morin menggunakan sampel lebih dari 600 poduk yang berbeda. Banyak riset telah dilakukan untuk melihat efek komunikasi dari mulut ke mulut ini. Sebagian besar dari riset tersebut mengambil obyek produk, namun sebenarnya WoM ini lebih relevan diterapkan di industri jasa. Hal ini disebabkan karena jasa bersifat intangible, jadi keputusan pembeliannya penuh dengan risiko (Tjiptono, 2010). Oleh karena itu, pada umumnya konsumen jasa lebih mengandalkan dan lebih percaya pada WoM dibandingkan dengan iklan. Sebagai contoh, dalam industri jasa, konsumen membuat tiga kriteria dalam hal mengevaluasi jasa. Nelson (1970) menyatakan bahwa konsumen akan mengevaluasi search quality pada saat akan mengkonsumsi jasa, yaitu atribut jasa yang dapat dievaluasi sebelum membeli. Kedua, Nelson (1970) menyatakan bahwa konsumen akan mengevaluasi experience quality, yaitu atribut jasa yang dapat dievaluasi selama konsumen jasa, seperti kecepatan dan ketepatan janji. Darbi dan Karni (1973) menjelaskan tentang kriteria yang ketiga, yaitu credence quality, yaitu atribut jasa yang sulit dievaluasi meskipun telah membeli. Dalam hal ini konsumen hanya mengandalkan pada reputasi perusahaan. Harisson dan Walker (2001) menyatakan bahwa experience dan credence quality itulah yang menjadi bahan pembicaraan dalam WoM. Komunikasi dari mulut ke mulut dapat dijadikan sebagai kekuatan bertindak bagi konsumen yang puas dan yang tidak puas. Konsumen yang puas dengan kualitas produk dan jasa perusahaan akan menceritakan kinerja perusahaan tersebut kepada orang lain dan mereka bersedia merekomendasikan produk atau jasa tersebut kepada pihakpihak lain yang kemudian akan berkembang menjadi informasi dari mulut ke mulut positif yang sangat bermanfaat bagi perusahaan (Fill, 2005) dalam Nikbin et al. (2011). Hal ini sejalan dengan pernyataan
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
Carpenter dan Fairhust (2005) bahwa kepuasan konsumen akan secara positif
mempengaruhi
komunikasi
dari
mulut
ke
mulut
dan
mempengaruhi loyalitas konsumen. Schneider dan Bowen (1999) mengatakan bahwa konsumen yang terpuaskan akan akan berkeinginan untuk menceritakan tentang pengalamannya kepada orang lain. Blackwell et al. (2006) mengatakan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan akan membentuk perkataan mulut (word of mouse). Perkataan mulut adalah proses dimana seseorang menceritakan pengalaman konsumen mereka dengan orang lain. Di zaman yang dipenuhi dengan teknologi seperti sekarang ini, internet merupakan salah satu sarana komplain dari konsumen. Oleh karena itu word of mouse perlu dicermati kemungkinan terjadinya, karena melalui internet ini kecepatan dan cakupan word of mouse akan semakin tinggi dan semakin luas. Sichtman (2007) menambahkan bahwa komunikasi dari mulut ke mulut juga dapat dipengaruhi oleh kepercayaan konsumen pada perusahaan. Dengan adanya kepercayaan, dapat mengurangi kekecewaan konsumen dan konsumen mempunyai
perasaan senang dengan
perusahaan sehingga bersedia melakukan komunikasi dari mulut ke mulut. Di lain pihak, komunikasi dari mulut ke mulut yang negatif berkaitan
dengan
penyebaran
pengalaman-pengalaman
tidak
menyenangkan yang dialami konsumen pada saat mengkonsumsi produk atau jasa sehingga berakibat negatif pula bagi perusahaan. Dengan adanya kekuatan komunikasi dari mulut ke mulut ini, banyak perusahaan membuat strategi untuk menciptakannya. Diantaranya adalah dengan mendorong konsumen terutama pihak-pihak yang dipercaya di dalam kelompoknya sebagai pemberi referensi pada orang lain (Lovelock et al., 2005). Selain itu perusahaan dapat memberikan penghargaan bagi konsumen bila mereka melakukan rekomendasi, misalnya gratis satu produk apabila maampu mengajak 10 orang. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan kepada responden sehubungan dengan variabel ini menurut Nikbin et al. (2011) adalah: (1) saya akan
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
merekomendasikan jasa ini kepada teman-teman saya, (2) Jika teman saya sedang mencari jasa seperti ini, saya akan memberitahu mereka tentang jasa ini, (3) Saya akan mengatakan kepada teman-teman saya tentang hal-hal positif dari jasa ini.
C.2. Minat Beli Ulang Minat beli adalah tahap kecenderungan konsumen untuk bertindak sebelum keputusan membeli benar-benar dilaksanakan, sedangkan minat beli ulang mengacu pada keinginan konsumen untuk mempertahankan hubungan dengan perusahaan tertentu (Jones dan Taylor, 2007). Minat beli juga didefinisikan sebagai pernyataan yang berkaitan dengan batin yang mencerminkan rencana dari pembeli untuk membeli suatu produk tertentu dalam suatu periode waktu tertentu (Howard et al., 1988) berdasarkan pengalaman pembelian sebelumnya serta harapan-harapan terhadap produk tersebut dimasa yang akan datang (Oliver, 1997). Menurut Kinnear dan Taylor (1995), minat beli adalah tahap kecenderungan konsumen untuk bertindak sebelum keputusan pembelian benar-benar dilaksanakan. Dodd, Moenroe dan Grewal (1991) mendefinisikan minat pembelian sebagai kemungkinan pembeli bermaksud membeli suatu produk. Minat beli merupakan bagian dari komponen perilaku dalam sikap konsumen. Sikap adalah perasaan seseorang terhadap suatu objek, yaitu berhubungan dengan masalah suka atau tidak suka terhadap sesuatu (Peter dan Olson, 1999). Sikap menggambarkan emosi dan perasaan seseorang (Schiffiman dan Kanuk, 1994; Engel Blackwell dan Miniard, 1993) menyebutnya sebagai “as primarily evaluative in nature” yaitu menunjukkan penilaian langsung dan umum terhadap suatu produk, apakah produk itu disukai atau tidak disukai, atau apakah produk itu baik atau buruk. Teori-teori sikap mengemukakan bahwa sikap konsumen terhadap suatu produk akan mempengaruhi perilaku atau tindakan
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
konsumen terhadap produk tersebut. Para pemasar berkepentingan untuk
mengetahui
sikap
konsumen
terhadap
produk
yang
dipasarkannya kemudian merumuskan strategi untuk mempengaruhi sikap konsumen tersebut (Sumarwan, 2003). Meskipun merupakan pembelian yang belum tentu akan dilaksanakan pada masa mendatang, namun pengukuran terhadap minat pembelian umumnya dilakukan guna memaksimumkan prediksi terhadap pembelian aktual (Kinnear dan Taylor, 1995; Engel et al., 1995). Meurut teori reasion action yang dikemukakan oleh Fishbein (1975), niat berperilaku dan perilaku aktual mempunyai hubungan yang sangat dekat. Selain itu, dari berbagai hasil riset ditemukan bahwa semakin
berminat seorang
konsumen untuk melakukan pembelian ulang terhadap suatu produk, maka semakin ingin mereka melakukan pembelian aktual dan semakin ingin menjalin hubungan jangka panjang dengan perusahaan (Kim et al., 2011). Mempertahankan konsumen saat ini sangatlah penting karena biaya untuk mendapatkan konsumen baru lebih tinggi dibandingkan dengan biaya mempertahankan konsumen yang sudah ada (Spreng et al., 1995). Sebagai konsekuensi dari kepuasan dan ketidakpuasan, minat pembelian ulang merupakan faktor kritis yang mempengaruhi hubungan konsumen dengan perusahaan di masa datang dan mempengaruhi tingkat profitabilitas (Reichheld dan Sasser, 1990; Weun, 1997). Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan kepada responden untuk mengukur niat beli ulang menurut Nikbin et al. (2011) adalah: (1) Saya akan terus menerus secara kontinyu menggunakan jasa ini, (2) Saya cenderung akan menggunakan jasa yaang sama untuk pembelian di masa datang, (3) Saya mempunyai niat yang kuat untuk menggunakan jasa ini pada pembelian berikutnya.
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
D. FAILURE ATTRIBUTIONS Atribusi
diartikan
sebagai
upaya-upaya
dalam
mengalihkan
tanggungjawab sebuah kejadian. Riset menunjukkan bahwa ketika terjadi kegagalan, konsumen sering mencari penjelasan tentang penyebab kegagalan tersebut (Folkes et al., 1987; Bitner, 1990) dan menghubungkan penyebabpenyebab kegagalan untuk meyakinkan mengapa kegagalan tersebut dapat terjadi (Welner, 2000). Atribusi dibuat untuk hasil yang positif maupun negatif, namun umumnya dibuat untuk kejadian yang negatif (Folkes, 1984). Weiner (1980) mengklasifikasikan failure attribution ke dalam tiga kategori, yaitu: 1. Locus of Control Locus of control mengacu pada apakah penyebab kegagalan berasal dari konsumen atau produsen (Hess et al., 2003). Sebagai contoh, ketika kegagalan terjadi, seperti keterlambatan pengiriman, konsumen membuat atribusi dalam hal apakah kegagalan ini terjadi karena kesalahan karyawan atau bukan (Mellalieu, 2005). Dimensi locus ini diturunkan dari teori atribusi (Mellalieu, 2005). Walaupun locus attribution penting untuk banyak kondisi kegagalan, banyak peneliti meniadakan atribusi ini karena banyak kasus kegagalan dipersepsikan konsumen sebagai sesuatu yang berasal dari perusahaan, dan bukan kesalahan dari konsumen. Riset lain menemukan bahwa kegagalan suatu jasa dapat terjadi karena perilaku konsumen dan proses pengiriman jasa (Denham, 1998). Hal ini menjadikan locus attribution menjadi bermakna ganda dan menjadi tidak relevan untuk banyak situasi (Folkes et al., 1987; Bitner, 1990; Smith et al., 1999; Hess et al., 2003). 2. Stability Stability mengacu pada apakah penyebab-penyebab kegagalan disebabkan sebagai sesuatu yang relatif permanen dan tidak dapat berubah atau sebagai sesuatu yang bersifat sementara dan berfluktuasi (Folkes, 1988). Ketika seorang karyawan dipersepsikan bertanggungjawab atas
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
kegagalan yang terjadi, selanjutnya konsumen menilai bagaimana kejadian tersebut terjadi dan menghubungkan kejadian tersebut dengan kejadian lain yang bersifat stabil dan tidak stabil (Mallalieu, 2005). Kegagalan dengan
penyebab-penyebab
yang
stabil,
berulang
lebih
sering
dibandingkan dengan kegagalan yang tidak stabil yang akhirnya menimbulkan masalah bagi organisasi. Atribusi untuk alasan-alasan yang tidak stabil mengarahkan pada ketidakpastian outcome di masa datang, sedangkan
atribusi
yang
stabil
mengarahkan
seseorang
untuk
mengharapkan outcome yang sama di kemudian hari (Weiner, 2000). Jadi, kegagalan dengan penyebab yang stabil merupakan target yang jelas bagi pemecahan masalah bagi organisasi. Organisasi dengan tingkat kualitas jasa yang tinggi sebaiknya mencoba untuk menghindari kagagalan yang bersift stabil (Hess et al., 2003)
3. Controllability Controllability mengacu pada derajat dimana kelompok fokal mempersepsikan bahwa penyebab kegagalan itu dapat dikontrol atau tidak (Hess et al., 2003). Atribusi ini meliputi kepercayaan konsumen tentang apakah perusahaan dapat menghalangi kegagalan yang terjadi (Hamilton, 1980; Weiner, 2000). Ketika konsumen merasa bahwa penyebab kegagalan bukan berasal dari internal perusahaan dan dapat dikontrol, mereka cenderung tidak menyalahkan. Namun, ketika penyebab kegagalan tersebut dapat dikontrol dan berasal dari internal, mereka akan menyalahkan perusahaan, marah dan mempunyai keinginan untuk menyakiti perusahaan (Folkes, 1984). Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan kepada responden sehubungan dengan variabel failure attribution menurut Nikbin et al. (2011) adalah: (1) Kegagalan terjadi secara permanen, (2) Kegagalan muncul terus menerus (stabil) sepanjang waktu, (3) Kegagalan sangat sering terjadi, (4) Kegagalan berada dalam kontrol perusahaan, (5) Kegagalan berasal dari internal perusahaan, (6) Kegagalan sebenarnya
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
dapat ditangani sejak dini (preventif) oleh perusahaan, (7) kegagalan sebenarnya dapat dihindari oleh perusahaan.
E. Pengaruh Reputasi terhadap Niat Pembelian Ulang dan Word of Mouth Penelitian sebelumnya tentang kepuasan dan kualitas jasa telah menunjukkan bahwa pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi respon terhadap persepsi jasa saat ini. Sebagai contoh, banyak peneliti telah memperlihatkan bahwaa kepuasan masa lalu secara signifikan mempengaruhi kepuasan saat ini (Labarbera dan Mazursky, 1983; Oliver, 1980; Woodruff et al., 1983). Bolton dan Drew (1991) menemukan bahwa sikap sebelumnya, seperti sikap terhadap kualitas keseluruhan, mempunyai pengaruh langsung terhadap sikap konsumen saat ini (terhadap kualitas keseluruhan). Selanjutnya, Zeithaml et al. (1996) memperlihatkan bahwa kualitas jasa sebelumnya secara segnifikan mempengaruhi loyalitas konsumen, keinginan berpindah, dan keinginan komplain. Hess (2008) menemukan bahwa perusahaan dengan reputasi yang sangat baik mengarahkan pada keinginan pembelian yang lebih banyak dan tidak ingin melakukan negative word of mouth. Reputasi perusahaan secara langsung membentuk kepercayaan pelanggan terhadap produk sehingga akan mempengaruhi pertimbangan pelanggan dalam menentukan pilihan (Dick et al., 1990). Sulivan (1998) menyatakan bahwa jika dilihat dari sudut pandang pelanggan, reputasi perusahaan dapat dijadikan jaminan bagi pelanggan untuk menilai kualitas produk perusahaan tersebut.
F. Failure Attribution sebagai Variabel yang Memoderasi antara Reputasi dan Niat Berperilaku Sejumlah bukti memperlihatkan bahwa reputasi mempengaruhi niat berperilaku termasuk niat pembelian ulang dan rekomendasi dari mulut ke
mulut
(Hess,
2008).
Jadi
hubungan
langsung
antara
reputasi
perusahaandan niat berperilaku telah ditemukan. Namun bukti lain juga menunjukkan bahwa failure attribution menjadi variabel moderating antara
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
reputasi perusahaan dengan niat berperilaku (Vazquez-Casielles et al., 2007; Grewal et al., 22008; Tsiros et al., 2004). Vazquez-Casielles et al. (2007) menemukan bahwa hubungan positif antara kualitas jasa dan kepuasan konsumen keseluruhan (overall customer satisfaction) akan diperkuat ketika konsumen membuat low stability dan low controllability attribution. Senada dengan Vazquez-Casielles, Grewal et al. (2008) menyatakan bahwa kompensasi penting hanya ketika perusahaan bertanggungjawab atas kegagalan dan ketika kegagalan itu jarang terjadi. Jika kegagalan sering terjadi atau ketika perusahaan tidak bertanggungjawab, kompensasi tidak mempunyai pengaruh pada niat pembelian ulang. Selanjutnya Tsrios et al. (2004) menemukan bahwa hubungan positif antara kualitas dan kepuasan akan lebih kuat ketika persepsi konsumen ketika dimensi-dimensi penyebab atribusi rendah. Konsumen diharapkan menjadi lebih memaafkan atas kegagalan yang terjadi,
khususnya
jika
ini
disebabkan
oleh
perusahaan.
Namun
bagaimanapun, jika kegagalan tersebut stabil dan terjadi lagi dan perusahaan sudah tidak mampu lagi menangani masalah, kemudian konsumen meragukan reputasi perusahaan karena mereka percaya bahwa masalah yang terjadi secara terus menerus sebaiknya dikoreksi oleh perusahaan. Jadi, ketika masalah terjadi secara terus menerus (stabil), hubungan yang positif antara reputasi perusahaan dengan niat berperilaku menjadi lemah.
SIMPULAN Tiap perusahaan, tidak memandang seberapa baiknya perusahaan tersebut, tetap membuat kesalahan-kesalahan pada saat memenuhi harapanharapan konsumen yang sekarang ini cenderung lebih menuntut dan kurang loyal. Oleh karena itu, menarik untuk mencari penyebab-penyebab kegagalan tersebut, karena hal ini akan berpengaruh pada reputasi perusahaan yang akhirnya akan berpengaruh pada niat beli ulang dan rekomendasi dari mulut ke mulut.
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
DAFTAR PUSTAKA Bitner, M.J. (1990). “Evaluating Service Encounters: The Effects of Physical Surroundings and Employee Responses”. Journal of Marketing Research. 54, 2, 69-82 Bolton, R. And Drew, J. (1991). “A Longitudinal Analysis of The Impact of Service Changes on Customer Attitudes”. Journal of Marketing. 55, 1, 1-9 Brown, S. (1995).”The Moderating Affects of Insupplier/Outsupplier Status on Organization Buyer Attitudes”. Journal of the Academy of Marketing Science. 23, 3, 170-182 Brown, T., Barry, T., Dacin, P. And Gunst, R. (2005). “ Spreading the Word: Investigating Antecedents of Consumers’ Positive Word of Mouth Intentions and Behaviour in a Retailing Concept”. Journal of the Academy of Marketing Science. 33, 2, 123-138 Brown, Tom J., and Peter A. Dacin. (1997). “The company and the Product: Corporate Associations and Consumer Product Responses”. Journal of Marketing. January. 68-84 Campbell, M. (1999). “Perceptions of Price Unfairness Antecedens and consequences”. Journal of Marketing Research. 38, 2, 187-199 Del-Rio-Lanza, A.B., Vazquez-Casielles, R., and Diaz-Martin, A.M. (2009).”Satisfaction with Sevice Recovery: Perceived Justice and Emotional Responses”. Journal of Business Research. 62, 8, 775-771 Dick, Alan, Dipankar Chakravarti and Gabriel Biehal. (1990). “Memory based Inference During Consumer Choice”. Journal of Consumer Research, 17, June, 82-93 Day G.S. (1971). Attitudechange, Media And Word Of Mouth . Journal Of Advertising Research.11, 6 , 31-40. Doney, P. And Cannon, J. (1997). “An Examination of the Nature of Trust in Buyer-Seller Relationship”. Journal of Marketing, 61, 2, 35-51 Dodds,K.B., Monroe, D., Grewal. (1991). “In Search of Value: How Price and Store Name Information Influence Buyer’s Product Perception”. The Journal of Service Marketing. Darby M.R. E. Karni (1973). “ Free Competition and the Optimal Amount of Fraud “. Journal Of Law And Economics, 16. 67-86.
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
Engel, J.F., Blackwell, R.D.,and Miniard,P.W. Behaviour”. 8th ed., Chicago: The Dryden Press.
(1995).”Consumer
Folkes, V.S. (1984). “Consumer Reactions to Product Failure: A Attributional Approach”. Journal of Marketing. 10, 4, 398-409 Folkes, V.S. (1988). “Recent Attribution Research in Consumer Behaviour: A Review and New Directions”. Journal of Consumer Research, 14, 4, 548-585. Folkes, V.S., Koletsky S. And Graham, J. (1987). “A Filed Study of Causal Inferences and Consumer Reaction the View from the Airport”. Journal of Consumer Research. 13, 4, 534-539 Fishbein, M. And Ajzen, I. (1975).”Belief, Attitude, Intentions, and Behaviour: An Introduction to Theory and Research. MA: Addison-Wesley. Grewal, D. Roggevean, A.L. and Tsiros, M. (2008). “The Affect of Compensation on Repurchase Intentions in Service Recovery”. Journal of Retailing. 84, 4, 424-434 Hess, R.L., Ganesan, S. and Klein, N.M. (2003). “Service Failure and Recovery: The Impact of Relationship Factors on Customer Satisfaction”. Journal of the Academy of Marketing Science. 31, 2, 127-145 Howard, John A., Robert P. Shay and Christoper A. Green (1988). “Measuring The Effect of Marketing Information on Buying Intention”. Journal of Service Marketing. 2, 4, 27-36 Harrison-Walker L.J. (2001).”The Measurement Of WOM Communication And An Investigation Of Service Quality And Consumer Commitment As Potential Antecedents” . Journal of Service Research. 4, 61-75. Kim, J.W., Kim E.J., Kim, S.M and Hong, H.G. (2011). “Effects of Fit with CSR Activities and Consumption value on Corporate Image and Repurchase Intention. International Journal of Business Strategy. 11,1,35-46 Kinnear, Thomeas C. And James, R. Taylor. (1996). “Marketing Research: An Applied Approach, 5th Edition, USA Katz, P.F., Lazarsfeld. (1955). Personal influence. Glencoe : Free Press Johnson, D. And Grayson, K. (2006). “Cognitive and Affective Trust in Service Relationships”. Journal of Bussines Research. 58, 500-507
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
Moureen Margaretha (2004). “Studi Mengenai Loyalitas Pelanggan pada Divisi Asuransi Kumpulan AJB Bumi Putra 1912”, Jurnal Sains Pemasaran Indonesia. 3, 3, 289-308 Morin S.P. (1983). “Influentials Advising Their Friends to Sell Lots of HighTech Gadgetry” . Wall Street Journal. 28. 30. Nelson P. (1970). “Information And Consumer Behavior” . Journal of Political Economy. 78(20). 311-329. Oliver, R.L. (1997). Satisfaction A Behavioral Perspective on Consumer. Boston, MA: Irwin,McGraw-Hill. Schneider B., and Bowen D. (1999). “Understanding Consumer Delight and Outrage”. Sloan Management Review, 41, 35-46 Selnes, Fred. (1993). “An Examination of the Effect of Product Performance on Brand Reputation, Satisfaction, and Loyalty. European Journal of Marketing. 27, 9, 19-35 Sullivan, Mary W. (1998). “How Brand Names Affect the Demand for Twin Automobiles”. Journal of Marketing Research. 35, May, 154-165 Zeithaml, Valerie A. And Mary Jo Bitner. (1996).”Service Marketing”. McGraw Hill Companies Inc., New York