Jurnal Ilmiah Akuntansi • Vol. 1, No. 1, Juni 2016
MEMPERTANYAKAN NILAI-NILAI PANCASILA PADA PROFESI AKUNTAN: BERCERMIN PADA KODE ETIK IAI* Achdiar Redy Setiawan Universitas Trunojoyo Madura Jl. Raya Telang PO. Box 2 – Kamal, Bangkalan Email:
[email protected] ABSTRAK Sebagai negara bangsa, Indonesia menghadapi tantangan besar di depan arus besar globalisasi. Secara historis, para founding fathers Indonesia setuju untuk menggunakan nilai-nilai bersama, yaitu Pancasila, sebagai dasar, jiwa dan kehidupan bernegara. Profesi akuntansi yang bekerja di daerah ekonomis juga memiliki kewajiban untuk menyelaraskan pengembangan profesi sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Tujuan dari artikel konseptual ini untuk mengkritisi apakah profesi akuntansi sejalan (atau tidak) dengan jiwa Negara: Pancasila. Berdasarkan review pada Kode Etik IAI (semacam analisis konten), ditemukan bahwa ada banyak nilai-nilai belum termaktub dalam kode etik. Nilai Pancasila menjadi alat untuk mengkritisi keberadaan dan substansi Kode Etik IAI. Salah satu temuan yang muncul adalah absennya pernyataan bahwa tanggung jawab utama dari akuntan sejatinya kepada Allah. Selain itu, keadilan sosial, keseimbangan distribusi pendapatan dan beberapa nilai-nilai Pancasila harus didorong muncul dan menjadi concerm dalam pengembangan profesi akuntan di masa depan. ABSTRACT As a nation state, Indonesia has faced great challenges in front of globalisation stream. Historically, the founding fathers of Indonesia agreed to use common values, namely Pancasila, as a foundation, soul and life rules of the state. Accounting profession that work in economical area also has obligation to harmonize the profession development in line with Pancasila values. The objective of this conceptual article to overview accounting profession whether in line (or not) with the soul of State, Pancasila. Based on review on Ethical Code of IAI (such an content analysis), it is found that there a lot of Pancasila values yet to include in ethical code. One of them is ultimate responsibility of accountant to God. Beside that, social fairness, income distribution balancing should be encouraged in accountant profession development in the future. Keywords: Nilai Pancasila, profesi akuntan, kode etik profesi IAI.
1Terima
kasih tak terhingga kepada Rumah Baca Cerdas, Malang milik Prof.Malik Fajar atas limpahan literarur klasik terkait topik Pancasila.
1
Setiawan, Mempertanyakan nilai – nilai Pancasila pada Profesi Akuntan
PANCASILA!!2 (Memperingati Kelahiran Pancasila)
KUSUMPAHI KAU TERSIKSA DUNIA AKHIRAT!!!
1 Ketuhanan yang Maha Esa betulkah artinya: boleh hakimi orang yang beda keyakinan boleh caci orang yang beda agama boleh habisi orang yang beda kitab suci
Puisi karya Rieke Diah Pitaloka tahun 2005 ini menyentak kesadaran kita semua bahwa kita memiliki sebuah nilai fundamental yang luar biasa. Sejatinya, nilai ini telah disepakati sampai detik ini sebagai jiwa dan landasan hidup bangsa. Namun realitas hari ini perlu kita pertanyakan ulang tentang di mana nilai-nilai luhur ini bersemayam di tengah peradaban yang semakin bergerak dinamis. Seluruh bidang kehidupan seharusnya selaras terhadap nilai kebaikan yang disepakati bersama ini, tak terkecuali seluruh bidang profesi. Akuntan termasuk diantaranya. Setiap bangsa memiliki ciri-ciri khas yang menjadi landasan pijakan dan menjiwai perjalanan bangsa tersebut. Ciri khas ini akan menjadi pembeda bangsa satu dengan bangsa yang lain. Berbagai macam persoalan yang dapat berupa ancaman dan tantangan dalam segi politik, ekonomi, sosial akan budaya akan selalu muncul dan mewarnai perjalanan sebuah bangsa. Berdasarkan ciri khas yang menjadi ruh dan jiwa serta pandangan hidup kebangsaan inilah berbagai persoalan yang membelit dapat dipecahkan. Asdi (1985:65) menguraikan bahwa pandangan hidup bangsa mengandung unsur-unsur pokok kepribadian bangsa yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur yang lahir dan hidup pada bangsa tersebut serta menjadi milik bangsa yang bersangkutan. Dengan sendirinya, nilai-nilai ini diakui dan diyakini kebenaran dan kebaikannya, sehingga bangsa tersebut juga memiliki tekad untuk menghayati, menjalankan dan mengamalkannya dalam kehidupan bermasyarkat, berbangsa dan bernegara. Ketika
2 Kemanusiaan yang Adil dan Beradab betulkah artinya: boleh perkosa semaunya boleh rampok seenaknya boleh bunuh sesukanya 3 Persatuan Indonesia betulkah artinya: boleh samasama jadi maling boleh samasama jadi penipu boleh samasama jadi koruptor 4 Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan betulkah artinya: boleh sepakat pilih pemimpin yang bengis boleh sepakat pilih pemimpin yang sadis boleh sepakat pilih pemimpin yang culas 5 Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia betulkah artinya: boleh jadikan rakyat sesat boleh jadikan rakyat melarat boleh jadikan rakyat sekarat JIKA KAUANGGAP BETUL, KUSUMPAHI KAU BERKARAT SAMPAI KIAMAT!!! Karya Rieke Dyah Pitaloka, artis yang saat ini terpilih menjadi anggota DPR RI 2009-2014 2
2
Jurnal Ilmiah Akuntansi • Vol. 1, No. 1, Juni 2016
nilai-nilai luhur ini telah merasuk pada seluruh elemen bangsa, maka di tengah arus apapun yang muncul dan menghadang, suatu bangsa akan mempertahankannya secara gigih, menjadi titik tolak sekaligus tujuan bersama. Pandangan hidup bersama inipun juga dimiliki oleh bangsa Indonesia. Para founding father bangsa sebagai peletak dasar berbangsa telah menyepakati bahwa Pancasila adalah landasan dan tujuan berbangsa. Pancasila. Abdulgani (1977:13) menegaskan bahwa lahirnya Pancasila mendahului lahirnya Negara Republik Indonesia. Hal ini bisa dilihat bahwa secara formal, Pancasila sebagai pandangan hidup ini termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea keempat. Rumusan Pancasila dalam Mukadimah UUD 1945 mendahului pasal-pasal dalam batang tubuh UUD 1945. Faktor ini mengandung arti bahwa Negara harus dijiwai dan dipimpin oleh Pancasila. Pancasila, tegas Abdulgani (1977:13), adalah leimotive (dorongan pokok) dan leitstar (bintang penunjuk jalan) yang menuntun perjalanan bangsa mencapai tujuannya. Perkembangan pesat dan dinamis yang terjadi dan mengungkungi perjalanan bangsa Indonesia tak pelak juga mencuatkan pertanyaan besar tentang relevansi Pancasila dalam menjawab tantangan jaman. Abad 21 ditandai dengan derasnya arus globalisasi yang merasuki segenap ruang-ruang privat. Pesatnya pekembangan teknologi dan informasi menjadi salah satu penanda penting. Kondisi ini menjadikan kehidupan berbangsa sebagai kumpulan manusia dalam satu geografis tertentu menghadapi tantangan besar. Bibit-bibit individualisme, pemihakan berlebihan kepentingan pribadi dan kelompok diatas kepentingan bangsa, anasir dan pengaruh asing cukup kental terasa. Segala hal yang menjauhkan
dari cita-cita luhur bangsa seperti dicontohkan diatas seharusnya menjadi titik tumpu (kembali) menjadikan kesadaran berpancasila sebagai sesuatu yang penting dan utama. Sebagai pandangan hidup, Pancasila mengandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicitacitakan, pikiran-pikiran yang terdalam dan gagasan mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik (Salam, 1996:44). Dalam proses pembangunan, pengaruh dari model dan anasir yang khususnya bersumber dari luar tidak bisa secara mentah-mentah (taken for granted) diadopsi dan diterapkan di Indonesia. Perlu ada tahapan penyesuaian dan adaptasi terhadap nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia. Inilah salah satu esensi penerimaan kita sebagai bangsa atas kesepakatan menjadikan Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Esensi penerimaan ini patut dilayangkan pada semua bidang kehidupan, termsuk profesi yang berkembang di masyarakat Indonesia hari ini. Arah kemajuan dan pengembangan semua profesi semestinya pun selaras dengan nilainilai mulia Pancasila. Profesi yang dijalankan, hidup dan berkembang di Indonesia walau tidak dapat dilepaskan dari perkembangan yang ada di dunia global, ketika berpraktik di Indonesia, perlu ada pengejawantahan nilai-nilai Pancasila dalam profesi tersebut. Ini adalah konsekuensi logis dan tanggung jawab moral atas penerimaan terhadap Pancasila sebagai falsafah dan pandasan hidup. Pertanyaan serupa tak terkecuali juga harus ditujukan kepada profesi akuntansi. Sebagaimana diulas Tuanakotta (2007), di Indonesia, tonggak sejarah profesi akuntansi dimulai dengan berdirinya Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) pada 23 Desember 1957.
3
Setiawan, Mempertanyakan nilai – nilai Pancasila pada Profesi Akuntan
Sebelumnya, UU No.34 tahun 1954 tentang Gelar Akuntan yang terdiri dari 7 (tujuh) pasal merupakan pengakuan resmi negara terhadap profesi akuntan. Berdirinya IAI–Seksi Akuntan Publik pada tanggal 7 April 1977 juga merupakan penanda penting pengembangan profesi akuntan, khususnya akuntan publik. Terakhir, ditetapkannya UU No.5 tahun 2011 tentang Akuntan Publik membawa babak baru pengakuan urgensi profesi di ranah publik dan kenegaraan. Dari beberapa lintasan sekilas sejarah profesi di atas, dapat dibaca bahwa profesi akuntansi sebenarnya menempati posisi yang istimewa dan mulia di mata masyarakat. Sebagai kepanjangan tangan publik dalam menjaga akuntabilitas pelaporan keuangan di ranah institusi privat dan publik, profesi akuntansi perlu menaruh perhatian besar untuk menjaga amanah yang dibebankan secara ajeg dan bertanggung jawab. Sorotan dan atensi masyarakat (dan negara) terhadap profesi ini akan terus berlangsung selama dunia bisnis dan ekonomi masih bergulir. Pengembangan profesi akuntansi di Indonesia perlu dipertanyakan keselarasannya dengan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Sebagaimana dimafhumi, profesi akuntansi tidaklah steril dari pengaruh perkembangan di dunia global. Apalagi sebagaimana diungkap oleh Tuanakotta (2007), jaringan profesi akuntansi niscaya selalu terkait dengan dunia global. Hal ini berkaitan dengan lingkup dan jangkauan bisnis yang menjadi surrounding profesi akuntansi. Untuk itulah, penempatan Pancasila dalam pengembangan profesi akuntansi penting untuk dikemukakan agar para akuntan tidak tercerabut dari akarnya sebagai bangsa Indonesia. Meskipun dalam praktiknya, akuntan adalah bagian dari masyarakat global, keteguhan pola pikir, pola sikap dan pola tindak berdasarkan Pancasila 4
perlu terus diingatkan dan didorong secara berkelanjutan. Penegasan eksplisit nilai Pancasila dalam Kode Etik sebagai pedoman berperilaku, bertindak dan bekerjanya para akuntan akan melahirkan kesadaran bahwa akuntan adalah warga negeri besar Indonesia yang telah menyepakati Pancasila sebagai dasar pedoman bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Absennya penegasan substansi Pancasila dalam Kode Etik akan menjauhkan realitas tentang being akuntan dalam konteks Keindonesiaan. Akuntan dapat berlindung di balik justifikasi manusia modern dalam pusaran globalisasi yang bisa abai tentang keindonesiaan. Dari aspek inilah, tulisan ini mengambil sudut pandangnya. Dengan menggunakan Kode Etik Akuntan Indonesia sebagai dasar penelaahan, tulisan ini bertujuan mengkritisi pengembangan profesi akuntansi di Indonesia. Tulisan ini disusun dengan sistematika berikut. Pertama, penjelasan awal tentang ideologi Pancasila. Ini sebagai alat untuk mengingatkan kembali tentang urgensi dan posisi penting Pancasila dalam sendi kehidupan bangsa Indonesia. Kedua, selayang pandang profesi akuntansi dan kode etik yang dianut. Ketiga, Telaah kritis coba diuraikan dalam bagian ini. Terakhir, sebagai ending sound, pengambilan posisi yang teguh dan jelas atas nilainilai luhur Pancasila perlu dinyatakan dalam pengembangan profesi akuntansi di Indonesia. IDEOLOGI PANCASILA Lahirnya Pancasila secara konseptual diungkapkan mulanya oleh Presiden RI pertama, Soekarno (baca Abdulgani, 1977, Asdi, 1985, Pasha 1988 dan Salam, 1996). Pada pidatonya dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menggali lima prinsip (asas) yang
Jurnal Ilmiah Akuntansi • Vol. 1, No. 1, Juni 2016
sebaik-baiknya sebagai Dasar Negara Indonesia Merdeka, yakni: kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi. Kesejahteraan sosial dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lima mutiara nilai ini lalu distilahkan sendiri oleh Bung karno sebagai Pancasila. Usulan Soekarno sesungguhnya bukanlah nilai orisinil yang muncul dari pemikiran Soekarno. Soekarno, tegas Abdulgani (1977:9), “hanyalah” penggali dan perangkai dalam satu kesatuan utuh. Sejatinya, lima nilai itu merupakan rangkaian jiwa dan nafas yang telah hidup dan eksis sejak para leluhur bangsa menapakkan sejarahnya. Dan ini juga beliau tegaskan dengan eksplisit dalam pidato monumentalnya tersebut: “….. Saya hanyalah sekedar perumus, penyambung lidah dari keinginan-keinginan dari perasaan-perasaan yang sudah lama terpendam, bisu dalam jiwa dan kalbu rakyat Indonesia turun-temurun…. (Salam, 1996:5). Merujuk pada pidato Soekarno tersebut jelaslah bahwa nilai-nilai Pancasila sejatinya merupakan nilainilai yang telah dianut bangsa Indonesia sejak lama. Nilai-nilai ini dihayati, diyakini dan dijalankan sebagai nilai yang dianggap benar dan baik dalam tatanan sosial kemasyarakatan. Dengan demikian, tidaklah mengherankan pula jika para peletak dasar kenegaraan Indonesia (founding fathers) pada akhirnya menyepakati lima sila ini sebagai dasar negara tatkala Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus 1945. Secara formal, Pancasila sebagai pandangan hidup ini termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea keempat yang ditetapkan pertamakali pada 18 Agustus 1945. Secara eksplisit, terma
“Pancasila” memang tidak tercantum, namun formulasinya ada di dalamnya dan ditegaskan sebagai dasar tujuan bernegara. Berikut kutipan lengkapnya (garis bawah dari penulis untuk menunjukkan lima sila Pancasila): “Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi sgenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berKetuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakila n, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara dan pandangan hidup bangsa merupakan pencerminan kehidupan bangsa dan negara. Asdi (1985: 70-73) mengemukakan beberapa fungsi Pancasila, antara lain: a) Sebagai Jiwa Bangsa Indonesia: ini memiliki arti tetap dan tidak berubah yang lahir seiring lahirnya bangsa Indonesia b) Sebagai Kepribadian bangsa Indonesia: merupakan sesuatu yang dinamis, mewujud dalam tindakan sehari-hari, dalam sikap
5
Setiawan, Mempertanyakan nilai – nilai Pancasila pada Profesi Akuntan
mental dalam amal perbuata bangsa yang khas, unik, yang membedakannya dengan bangsa lain. c) Sebagai Pandangan hidup bangsa: sebagai falsafah bangsa, Pancasila dapat mempersatukan bangsa karena nilai-nilainya merupakan kristalisasi nilai yang dianut dan diyakini kebenarannya. d) Sebagai titik tolak atau landasan dan sekaligus sebagai cita-cita dan tujuan bangsa: Sebagai titik tolak, Pancasila memberikan landasan yang kuat, sedangkan sebagai tujuan hidup bersifat dinamis sesuai tuntutan jaman. e) Sebagai dasar moral bangsa: ini berarti setiap individu yang bernaung di bawah payung Indonesia hendaknya bermoral seperti nilai-nilai Pancasila: berdasar akal sehat, selaras dengan rasa, dan didorong oleh kehendak yang baik sesuai hakikat manusia f) Sebagai perjanjian luhur bangsa: Pancasila merupakan kebulatan tekad dari bangsa Indonesia yang disepakati para pendiri bangsa. g) Sebagai dasar Negara Republik Indonesia: Pancasila dipakai sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan pemerintah dan negara. h) Sebagai sumber dari segala sumber hukum: keseluruhan aturan perundang-undangan harus berlandaskan nilai-nilai luhur Pancasila. Pancasila yang lahir secara konsepsi kenegaraan pada tahun 1945 dalam perkembangannya tetap menjadi satu-satunya landasan hidup yang disepakati. Bahkan hingga kini memasuki abad 21, abad teknologi informasi yang menjadikan dunia seakan tak berbatas lagi (borderless), Pancasila masih dan (mungkin) sangat relevan untuk menjadi panduan menghadapi beragam tantangan dan ancaman yang menghadang. Bahkan hingga UUD 6
1945 mengalami amandemen hingga empat kali, Asshiddiqie (2002: 1), rumusan Pembukaan UUD 1945 tidak mengalami perubahan sedikitpun. Amandemen merubah banyak hal hanya dalam Batang Tubuh. Dengan demikian, nilai Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 ini tetap menjadi jiwa dan landasa bernegara. Salah satu kunci atau resep untuk terus merevitalisasi Pancasila adalah dengan menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka. Usman dan Alfian (1993:4) menyatakan bahwa Pancasila akan bisa terus dipakai karena nilai-nilainya selalu bisa dikomunikasikan dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang dinamis. Kuncinya ada pada pemaknaan terus-menerus sehingga substansinya dapat terus relevan dan komunikatif sepanjang jaman. Sebagaimana ungkapan terkenal Soekarno “ambil apinya, jangan abunya”, pemaknaan Pancasila sebagai ideologi terbuka akan menjadikan implementasi dan internalisasi Pancasila menjadi ruh yang hidup. Interaksi yang dinamis dengan realita kehidupan yang menghadang akan menempatkan bangsa Indonesia semakin yakin akan kebenaran dan “kesaktian” Pancasila sebagai nilai yang dianggap benar dan baik. Ketika Pancasila ini telah disepakati sebagai landasan bernegara, maka konsekuensi logisnya, maka Pancasila harus diamalkan secara objektif dan subjektif (Pasha, 1988: 51). Secara objektif bermakna bahwa Pancasila harus dijadikan dasar, sumber, dan jiwa seluruh pembuatan dan perumusan peraturan perundangundangan dan penyelenggaraan negara. Adapun pengamalan Pancasila secara subjektif merujuk pada pengamalan pancasila oleh orang-perorang selaku warga negara Republik Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individual, lebih-lebih sosial kemasyarakatan.
Jurnal Ilmiah Akuntansi • Vol. 1, No. 1, Juni 2016
Dalam aspek ekonomi dan bisnispun, Pancasila juga perlu diletakkan sebagai nafas utama untuk diamalkan secara objektif dan subjektif dalam kehidupan. Salah satu ekonom terkemuka Indonesia, Mubyarto (2002), menegaskan bahwa Sistem Ekonomi Pancasila bercirikan: (a) roda perekonomian digerakkan oleh dorongan ekonomi, sosial dan moral, (b) kehendak kuat seluruh masyarkat ke arah pemerataan sosial berasaskan nilai kemanusiaan, (c) prioritas kebangsaan atau nasionalisme menjiwai setiap kebijakan ekonomi, (d) koperasi merupakan soko-guru perekonomian dan merupakan bentuk konkrit dari usaha bersama, (e) terdapat keseimbangan yang jelas antara perencanaan pembangunan di tingkat nasional dengan desentralisasi di daerah guna mendukung pemerataan dan keadilan ekonomi sosial. Dalam nafas dan spirit yang sama, dengan menyitir sila-sila Pancasila, Swasono (2010:61) menggambarkan Sistem Ekonomi Pancasila berorientasi atau berwawasan: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme, (2) Kemanusiaan, yaitu kehidupan berekonomi yang humanistik, adil dan beradab, tidak ada pemerasan dan penghisapan, (3) Persatuan, yakni berdasar sosio-nasionalisme Indonesia berasas kekeluargaan, kebersamaan, gotong royong dan tidak saling mematikan (4) Kerakyatan, artinya berdasar demokrasi ekonomi, mengutamakan hajat hidup orang banyak, dan (5) Keadilan sosial secara menyeluruh, bermakna keadilan yang mengutamakan kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran orang-perorang. Profesi akuntansi secara garis besar bergerak dalam bidang bisnis dan ekonomi. Sebagai bagian dari sistem ekonomi dalam industri jasa profesional, profesi akuntansi yang menjalankan pekerjaannya di wilayah Indonesia perlu (dan wajib)
menyesuaikan diri dengan nilai-nilai Sistem Ekonomi Pancasila. Nilai-Nilai Pancasila seharusnya mewarnai dan menjiwai pengembangan profesi akuntansi di Indonesia walaupun secara praksis ia tidak bisa dilepaskan dengan globalisasi beserta seluruh turunannya. Hari ini, pertanyaan tentang nilai Pancasila ini perlu diajukan (kembali) pada saat arus globalisasi begitu merasuki semua ruang publik dan privat, tak terkecuali profesi akuntansi. Globalisasi yang terjadi di dunia ibarat pisau bermata dua, mengiris dua sisi (Wibowo, 2010: 180). Asumsi neo-liberal yang menjadi dasar berpijak globalisasi menjadikan gurita penguasaan sumberdaya ekonomi berjalan atas dasar kepemilikan modal yang paling besar. Pada saat yang sama, sebagai eksesnya, peran negara menjadi semakin kerdil dan kehilangan kapasitasnya. Pada titik inilah, membincang tentang nasionalisme kebangsaan menjadi hal penting untuk dikedepankan pada saat dunia seakan tanpa sekat dan batas geografis ini. PROFESI AKUNTANSI DAN KODE ETIK AKUNTAN Ditengah dunia persaingan bisnis global dengan realitas yang sangat kompleks sekarang ini, banyak faktor yang perlu dijaga dan dilakukan para pelaku bisnis. Manajemen usaha memerlukan beberapa kompetensi pengembangan skill yang simultan, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengelolaan organisasi yang dinamis, pengakomodasian aspek-aspek sosial kultural serta beberapa kebijakan lainnya. Salah satu hal yang mungkin mulai agak „terlewatkan‟, perkembangan bisnis mutakhir menunjukkan suatu aspek kebutuhan yang harus diterapkan para pelaku bisnis untuk menjaga kesinambungan usahanya, yaitu
7
Setiawan, Mempertanyakan nilai – nilai Pancasila pada Profesi Akuntan
penerapan etika dengan segala konsekuensinya. Kecenderungan bisnis sekarang ini yang kian tidak memperhatikan masalah etika mengakibatkan sesama pelaku bisnis saling bertabrakan kepentingannya bahkan saling “membunuh” (Shihab, 1997). Bahkan Shihab juga menyitir ungkapan Sayyid Quthb bahwa aktivitas ekonomilah yang merupakan aktivitas pertama yang menanggalkan etika, disusul politik dan terakhir adalah seks. Hal ini tentu saja menciptakan tatanan perekonomian yang timpang dimana yang kuat akan semakin merajai dan yang lemah semakin tertindas. Keadilan dan fairness yang memberikan kesempatan yang sama bagi semua aktor untuk menjalankan bisnisnya menjadi kehilangan elan vitalnya. Profesi Akuntansi yang berada di wilayah subsistem bisnis ekonomi juga memerlukan etika guna mengarah pada praktik yang fairness dan bertanggungjawab. Salah satu bidang keahlian dalam profesi akuntansi yang sangat rentan terhadap penyalahgunaan adalah akuntan publik. Akuntan publik adalah profesi independen yang memberikan jasa assurance dan non-assurance (Tuanakotta, 2011: 162). Jasa assurance ini memberikan suatu tingkatan keyakinan tertentu kepada klien. terdiri dari penugasan atau jasa atestasi (antara lain jasa audit, review, jasa atestasi mengenai SPI, teknologi informasi dll) dan jasa non-atestasi. Jasa non-assurance yang lazim dikenal antara lain jasa konsultansi, akuntansi dan perpajakan. Jasa konsultansi tertentu merupaka bagian dari jasa asuurance dan non-assurance, namun bukan bagian dari jasa atestasi. Mengingat sifat pekerjaannya yang independen, akuntan publik memerlukan tatanan yang memadai guna memberikan tingkatan kepercayaan kepada masyarakat. Penyusunan kode etik bagi akuntan publik merupakan salah satu 8
upayanya. Dalam konteks Indonesia, Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia merupakan salah satu produk kode etik yang dibuat. Dalam banyak hal, poin-poin yang ada dalam Kode Etik tersebut memang diarahkan untuk menata profesi akuntan publik. Namun demikian,di awal ditegaskan secara eksplisit bahwa kode etik ini juga berlaku untuk bidang keahlian dalam profesi akuntansi yang lain, sperti akuntan manajemen, akuntan pemerintah dan akuntan pendidik: “Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya (Kode Etik IAI 2001 bagian Pendahuluan)” Dasar pikiran penyusunan kode etika profesional setiap profesi adalah kebutuhan profesi tersebut terhadap kepercayaan masyarakat tentang mutu jasa yang diserahkan oleh pihak profesi. Setiap profesi yang menyediakan jasanya kepada masyarakat memerlukan kepercayaan dari masyarakat. Umumnya masyarakat awam tentang pekerjaan yang dilakukan oleh pihak profesi karena kompleksnya pekerjaan yang dilaksanakan oleh profesi. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa akuntan publik akan menjadi lebih tinggi jika profesi tersebut menerapkan standar mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan profesional yang dilakukan oleh anggota profesinya. Profesi Akuntansi memiliki kekhasan tersendiri dalam pelaksanaan profesionalismenya. Salah satu hal yang menonjol adalah penerimaan (acceptance) tanggungjawab untuk bertindak dalam rerangka kepentingan umum
Jurnal Ilmiah Akuntansi • Vol. 1, No. 1, Juni 2016
(public interest). Oleh karena itu, tanggungjawab profesional akuntan tidak hanya eksklusif tertuju pada pemuasan kebutuhan klien individual. Di tingkat internasional, IFAC (International Federation of Accountants) mengeluarkan IFAC Code of Ethics for Professional Accountants pada tahun 2005. Kode etik IFAC ini menjadi salah satu rujukan penting dalam pengembangan kode etik di seluruh dunia. Tujuannya juga linear dengan Kode Etik yang lain, yaitu memperkuat profesi akuntansi serta memberi kontribusi bagi pengembangan perekonomian internasional yang kuat melalui penetapan dan promosi ketaatan pada standar profesional yang berkualitas tinggi. Lebih lanjut, rilis IFAC ini juga mendorong adanya kode etik yang konvergen di seluruh dunia. Kode Etik IFAC terdiri dari tiga bagian. Part A mengandung prinsipprinsip dasar etika profesional akuntan dan menyediakan kerangka konseptual penerapannya. Part B dan C berisi ilustrasi bagaimana kerangka konseptual tersebut diaplikasikan dalam situasi tertentu, yaitu dalam praktek publik (Part B) dan dunia bisnis (Part C). Prinsip-prinsip fundamental yang harus dipatuhi akuntan profesional menurut Kode Etika IFAC terdiri dari: a) Integrity: seorang akuntan profesional wajib bertindak jujur dan straightforward dalam keseluruhan hubungan profesional dan bisnisnya.. b) Objectivity: seorang akuntan profesional tidak boleh bertindak bias, conflict of interest atau terpengaruh faktor lainnya untuk mengesampingkan pertimbangan profesi atau bisnis yang semestinya c) Professional Competence and Due Care : seorang akuntan profesional wajib menjaga secara berkelanjutan atas professional knowledge and skill pada level yang
dipersyaratkan untuk menjamin klien menerima jasa profesional yang kompeten sesuai perkembangan praktik, teknik dan aturan terkini. d) Confidentiality: seorang akuntan profesional wajib menghormati kerahasiaan informasi dan tidak boleh mengungkapkan informasi kepada pihak ketiga tanpa otoritas tertentu jika tidak ada hak atau aturan prorofesional yang mewajibkannya. Prinsip ini juga melarang profesi mengambil keuntungan profesional dari pihak ketiga atas kepemilika informasinya. e) Professional Behavior: seorang akuntan profesional wajib mematuhi aturan hukum dan regulasi yang relevan dengan pekerjaannya serta menjauhi tindakan yang dapat merendahkan martabat profesi. Kode Etik IFAC menggunakan pendekatan conceptual framework untuk melaksanakan prinsip-prinsip dasar. Kerangka konseptual disediakan untuk membantu akuntan profesional untuk mengidentifikasi, mengevalusi dan merespon ancaman (threats) kepatuhan terhadap prinsipprinsip fundamental. Beberapa ancaman tersebut dapat diklasifisikasikan sebagai berikut: a. Self-interest threats; terjadi sebagai hasil adanya kepentingan keuangan atau kepentingan lainnya; b. Self-review threats; terjadi saat kebutuhan pertimbangan awal perlu direevaluasi oleh tanggung jawab profesional; c. Advocacy threats; terjadi jika akuntan profesional mempromosikan sebuah posisi atau opini pada titik objektivitas berikutnya dapat dikompromikan. d. Familiarity threats; terjadi karena adanya hubungan dekat sehingga akuntan menjadi lebih simpati terhadap kepentingan pihak lainnya.
9
Setiawan, Mempertanyakan nilai – nilai Pancasila pada Profesi Akuntan
e. Intimidation threats; terjadi jika akuntan dihalango untuk bertindak objektif karena ancaman tertentu, baik secara aktual maupun persepsi. Untuk menghilangkan atau mengurangi ancaman diatas pada level yang dapat diterima, beberapa safeguard dapat dikedepankan: a. Safeguards yang dibuat profesi legislasi atau regulasi. Contohnya antara lain: pendidikan, pelatihan dan persyaratan untuk masuk kedalam profesi, regulasi good governance, standar profesional, reviu eksternal oleh pihak ketiga yang legal. b. Safeguards dalam lingkungan kerja Di Indonesia, kebutuhan adanya etika juga telah lama menjadi pemikiran para akuntan. Etika profesional bagi praktik akuntan di Indonesia disebut dengan istilah kode etik dan dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Dalam kongresnya tahun 1973, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk pertama kalinya menetapkan kode etik bagi profesi akuntan di Indonesia. Kode etik ini kemudian disempunakan dalam kongres IAI tahun 1981, 1986, 1990,1994, dan tahun 2000. Pembahasan mengenai kode etik profesi akuntan ini didasarkan pada Kode Etik Akuntan Indonesia tahun 2001.3 Kode Etik IAI dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam
Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) merilis Kode Etik Profesi Akuntan Publik yang dinyatakan efektif berlaku pada 1 Januari 2010. Tulisan ini mengacu kepada Kode Etik IAI karena IAI merupakan organisasi yang menaungi semua bidang profesi akuntan, tidak hanya profesi akuntan publik. 3
10
pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya. Kode Etik IAI terdiri dari tiga bagian: (1) Prinsip Etika, (2) Aturan Etika, dan (3) Interpretasi Aturan Etika (Struktur Kerangka Kode Etik ada pada gambar 1). Kepatuhan terhadap Kode Etik, seperti juga dalam semua standar dalam masyarakat terbuka, tergantung terutama sekali terhadap pemahaman dan tindakan sukarela anggota. Selain itu kepatuhan anggota aprofesi juga ditentukan “pemaksaan” oleh anggota yang lain serta opini publik, dan pada akhirnya oleh adanya mekanisme pemrosesan pelanggaran Kode Etik oleh organisasi. KERANGKA KODE ETIK IAI
1.Tanggung Jawab Profesi
2.Kepentingan Umum(publik) 3.Integritas 4.Objektivitas 5.Kompentensi dan Kehati-hatian Profesional 6.Kerahasiaan 7.Perilaku Profesional 8.Standar Teknis Indenpedensi, Integritas, objektivitas
Standar Umum Prinsip Akuntansi
PRINSIP ETIKA
.ATURAN ETIKA
Tanggung Jawab Kepada Klien
Tanggung Jawab kepada Rekan
Tanggung Jawab dan Praktik Lalu
ENTERPRETASI ATURAN ETIKA
TANYA JAWAB
Gambar 1. Kerangka Kode Etik IAI Sumber: Kode Etik IAI 2001
Jurnal Ilmiah Akuntansi • Vol. 1, No. 1, Juni 2016
Bercermin Dari Kode Etik IAI dan Realitas Profesi Kode Etik IAI secara eksplisit menegaskan bahwa hadirnya kode etik ini bertujuan untuk memenuhi tanggung-jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Prinsip Etika Profesi dalam Kode Etik IAI menyatakan pengakuan profesi akan tanggungjawabnya kepada publik, pemakai jasa akuntan, dan rekan. Sebagaimana tampak pada gambar 1, terdapat 8 (delapan) prinsip yang didedahkan oleh Kode Etik IAI: 1. Tanggung Jawab Profesi; Hal ini diartikan bahwa dalam melaksanakan tanggungjawabnya sebagai profesional setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. 2. Kepentingan Publik; Maknanya, dalam memenuhi tanggung-jawab profesionalnya, pasti ada tekanan yang saling berbenturan dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Profesionalisme harus diarahkan dalam sebuah keyakinan bahwa apabila akuntan memenuhi kewajibannya kepada publik, maka kepentingan penerima jasa terlayani dengan sebaik-baiknya. 3. Integritas; yaitu suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas mengharuskan seorang akuntan untuk, antara lain, bersikap jujur, benar dan adil. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan atau peniadaan prinsip. Integritas juga mengharuskan anggota
4.
5.
6.
7.
untuk mengikuti prinsip obyektivitas dan kehati-hatian profesional. Objektivitas; Prinsip ini diartikan bahwa dalam menghadapi situasi dan praktik yang secara spesifik berhubungan dengan aturan, anggota harus menghindari situasi-situasi yang dapat membuat posisi profesional mereka ternoda. Hubunganhubungan yang memungkinkan prasangka, bias atau pengaruh lainnya untuk melanggar obyektivitas harus dihindari. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional; Prinsip ini mengharuskan akuntan untuk memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan kompetensi dan ketekunan. Terdapat dua fase yang terpisah: (a) Pencapaian Kompetensi Profesional: dapat dicapai dengan standar pendidikan umum yang tinggi, diikuti oleh pendidikan khusus, pelatihan dan ujian profesional dalam subyek-subyek yang relevan, dan pengalaman kerja. Hal ini harus menjadi pola pengembangan akuntan sebagai profesional, (b) Pemeliharaan Kompetensi Profesional: Kompetensi harus dipelihara dan dijaga melalui komitmen untuk belajar dan melakukan peningkatan profesional secara berkesinambungan selama kehidupan profesional. Kerahasiaan; Prinsip ini menginginkan para akuntan wajib menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya, juga untuk kepentingan perolehan keuntungan pribadi. Perilaku Profesional: Hal ini diartikan bahwa setiap akuntan harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik
11
Setiawan, Mempertanyakan nilai – nilai Pancasila pada Profesi Akuntan
dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. 8. Standar Teknis; Artinya, setiap akuntan harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Secara umum, pernyataan yang mengatur perilaku akuntan untuk sejalan dengan nilai-nilai kebaikan dan etika sudah cukup baik. Keseluruhan prinsip kode etik telah berisikan nilai-nilai ideal yang seharusnya memang diinternalisasi dan diimplementasikan oleh para akuntan yang berpraktik di Indonesia. Namun ada beberapa pertanyaan yang perlu diusung terkait apakah nilai-nilai Pancasila juga telah diakomodasi dalam kode etik ini. Pada poin pertanggungjawaban akuntan ini, ada poin penting yang terlewatkan sebenarnya. Ada sebuah missing link pada penegasan poin ini. Pertanggungjawaban akuntan bermula pada publik, lalu pemakai jasa akuntan dan rekan. Jika dilihat secara seksama, ada “penegasian” Tuhan dalam ranah publik profesi akuntan di Indonesia. Tuhan adalah ultimate reality. Segala hal ikhwal penciptaan manusia tidaklah terlepas dari peranNya. Dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi adalah untuk menghamba padaNya. Dan ini mencakup segala bentuk dan dimensi kehidupan, tak terkecuali kehidupan bemasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam konteks profesi akuntansi, jika ada penegasan pertanggungjawaban kepada Tuhan dalam kode etik, tentu ini menjadi standing point yang luar biasa di mata masyarakat. Penghambaan dan ketaatan yang mewujud pada pertangungjawaban akuntan yang utama (dan terutama) kepada Tuhan perlu dinyatakan secara eksplisit dalam kode etik profesi. Ini akan mendorong para akuntan dalam 12
setiap tindak tanduknya akan selalu di “jalan” Tuhan. Efek dominonya, publik sebagai stake holder jasa profesi akan melihat profesi akuntan semakin dapat dipercaya. Logikanya sederhana, kepatuhan terhadap Kode Etik yang diarahkan kepada kepatuhan (terutama) kepada Tuhan akan menghilangkan prasangka terhadap adanya tindakan menyimpang atau negatif para akuntan. Sebuah fakta ganjil nan menarik pernah diungkapkan oleh Bapak Unti Ludigdo, Ketua Jurusan Akuntansi FE Universitas Brawijaya UB), pada sebuah kesempatan di kampus UB. Beliau salah satu saksi dan pelaku sejarah pada saat berlangsungnya perumusan Kode Etik Akuntan Indonesia pada Kongres IAI (penulis lupa waktu tepatnya). Pada rapat komisi, sebenarnya usulan tentang pertanggungjawaban akuntan yang pertama (dan utama) kepada Tuhan sebenarnya sudah disetujui oleh forum. Konsep tersebut diterima sebagai kesepakatan. Namun, apa yang terjadi? Ternyata, saat telah dikodifikasikan, pernyataan tentang tanggung jawab akuntan terhadap Tuhan lenyap, hilang tak berbekas. Lenyapnya poin krusial ini mencerminkan, di benak sebagian besar akuntan, bunyi pasal akuntabilitas kepada Tuhan ini bisa saja dianggap terlalu “berat”. Atau bisa jadi, urusan dengan Tuhan tidak perlu dinyatakan secara dokumen publik, cukup disadari, dihayati dan diamalkan secara pribadi oleh masing-masing individu. Kondisi ini dengan sendirinya menyisakan pertanyaan, di mana Tuhan diletakkan ketika akuntan menjalankan profesionalismenya? Jika dikembalikan kepada urusan privat pribadi akuntan, masyarakat bisa saja menilai bahwa profesi akuntansi tidak berani meletakkan pertanggungjawaban akuntan yang utama kepada Tuhan. Skeptisisme
Jurnal Ilmiah Akuntansi • Vol. 1, No. 1, Juni 2016
dapat muncul, akuntan tidak berani karena pekerjaan yang dijalankan tidaklah sepenuhnya di “jalanNya”. Berkaitan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman hidup, sila pertama Pancasila jelas menyatakan: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila Ketuhanan ini menjadi pilar pertama bangunan bangsa Indonesia. Artinya, keseluruhan hidup manusia Indonesia seharusnya secara nyata mengarah dan terarah kepada penghambaan terhadap Tuhan, baik di wilayah privat maupun publik. Etika dan moral sebagaimana spirit Ketuhanan Sistem Ekonomi Pancasila seharusnya juga memberlakukan etika dan moralitas religius. Mempertanyakan konteks sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, dapat dilihat dalam konteks lanskap profesi akuntan (publik) di Indonesia. Menyitir data dari Tuankotta 2011 (257), praktik akuntan publik, khususnya pengauditan, masih didominasi oleh kantor akuntan yang berafiliasi global di peringkat teratas. Dalam pasar global, pembagian kue jasa akuntan publik cenderung timpang. Secara mayoritas (lebih dari 75 persen), pendapatan audit dikuasai oleh empat Kantor Akuntan Publik/KAP (dikenal dengan big Four) yang afiliasinya berada hampir di semua negara di muka bumi ini. Mereka adalah: Pricewaterhouse Cooper (PwC), Ernst & Young (EY), KPMG dan Deloitte. Diluar Big- Four, pasar akunta publik disusul oleh asosiasi internasional non big-four (second tier), semisal Grant Thornton, Seidman dll. Terakhir, baru KAP-KAP lokal yang tidak memiliki afiliasi asing yang menikmati kue dalam jumlah relatif kecil dan bersifat lokal regional. Pun dalam pasar Indonesia. Tuanakotta (2011: 300-314) membeberkan realitas bahwa dominasi Big Four juga berlaku di negara nusantara ini. Kode etik tidak memberikan ruang untuk pembagian “kue” ini untuk lebih berkeadilan. Big
Four yang relatif sudah punya nama global, plus disokong sokongan kemampuan kapital yang memadai akan terus melambung jika tidak ada tatanan yang lebih memeratakan dan berkeadilan. Perlu ada ruang untuk menegaskan bahwa persaingan ini tidak terlalu jomplang. Pada saat kapasitas dan kapabilitas KAP kecil dan lokal terus ditingkatkan, kiranya perlu ada “pengaturan” dalam Kode Etik profesi. Hal ini misalkan saja berbentuk pembagian klien dengan pembatasan tertentu. Selanjutnya, spirit tentang Keindonesiaan juga tidak tampak dalam Kode Etik IAI. Mungkin saja profesi akuntan merasa memang tidak relevan berbicara nasionalisme dalam konteks profesi. Namun, hemat penulis, pada saat profesi akuntansi bergerak dalam subsistem Ekonomi Pancasila, semangat kebangsaan yang tercermin dalam sila ketiga, Persatuan Indonesia, harusnya sangat perlu dimunculkan. Pernyataan sikap bahwa akuntan Indonesia mendukung dan menyelaraskan diri dengan kenasionalan Indonesia perlu secara tertulis dinyatakan. Hal ini untuk menjawab bahwa walaupun secara praktik selalu bersentuhan dengan iklim global, nasionalisme keindonesiaan ada di dada dan jiwa profesi. Keberpihakan terhadap nasionalisme kebangsaan perlu dihadirkan pula pada saat akuntan berada dalam situasi pekerjaan yang dilematis antara kepentingan asing dan kepentingan nasional. Akuntan Indonesia wajib mendahulukan kepentingan nasional diatas kepentingan asing. Pada sila keempat, Sistem Ekonomi Pancasila menekankan demokrasi ekonomi, mengutamakan hajat hidup orang banyak. Profesi akuntan Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam tanggungjawab profesinya sudah mengarahkan bahwa kualitas dan pemenuhan tanggungjawab profesi adalah untuk
13
Setiawan, Mempertanyakan nilai – nilai Pancasila pada Profesi Akuntan
mengutamakan kepada kepentingan publik. Hal ini dapat dimaknai bahwa profesi akuntansi juga selaras dengan Pancasila. Terakhir, sila kelima Pancasila mengisyaratkan kemakmuran bersama. Sebagaimana disinggung dalam telaah sila kedua Pancasila, persoalan pembagian “kue” ini belum diatur secara eksplisit dalam Kode Etik. Kesejahteraan masih berada pada kisaran akuntan tertentu yang mendominasi, yaitu KAP yang berafiliasi kepada Big Four. SIMPULAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan proses globalisasi multidimensional yang melanda seluruh permukaan bumi. Seluruh negara tanpa terkecuali tidak dapat dan tidak mugkin menghindari arus besar globalisasi. Globalisasi telah menyentuh segala aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, perdagangan, politik, sosial, budaya, bahkan gaya kehidupan Proses globalisasi menggerakkan manusia beserta ideologinya secara cepat dalam dunia yang sudah tanpa batas. Ikatan sebagai bangsa menjadi kendur dan sekan tidak relevan lagi diperbincangkan. Persoalannya adalah bagaimana meletakkan rasa dan jiwa nasionalisme. Manusia yang hidup dalam sebuah teritori tertentu mengidentifikasikan dirinya tidak lagi semata bangsa dalam batasan geografis tersebut, tapi adalah bangsa dunia. Bangsa Indonesia telah menyepakati bahwa landasan dan pedoman hidup bernegara adalah Pancasila. Jika konsensus tersebut sampai detik ini masih belum terbatalkan, maka dengan sendirinya, pendefinisian ulang hakikat berbangsa ini perlu dilakukan pada saat globalisasi begitu menggurita. Bahkan pekerjaan ini perlu diletakkan sebagai arus utama ketika
14
bangsa masih mau mengakui dan mengidentifikasi sebagai nation state (negara bangsa) Indonesia. Dalam bidang ekonomi, ideologi yang dikembangkan adalah Sistem Ekonomi Pancasila. Konsep penataan ekonomi beserta segala hal turunannya semestinya juga berada dalam koridor Pancasila. Sistem Ekonomi Pancasila disusun diatas nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, nasionalisme indonesia, demokrasi ekonomi dan keadilan sosial. Profesi akuntansi yang menjalankan pekerjaannya di wilayah hukum nusantara merupakan bagian dan subsistem Ekonomi Pancasila. Dengan demikian, penataan dan pengembangan profesi akuntansi di Indonesia perlu pula diselaraskan dengan nilai-nilai Pancasila. Berdasarkan pembacaan terhadap Kode Etik IAI, masih terdapat banyak nilai-nilai Pancasila yang belum termaktub. Perlu disisipkan dalam pengembangannya ke depan agar para akuntan memiliki kesadaran jangka panjang bahwa ia seharusnya lebih memerankan dirinya sebagai warga Indonesia dibanding dengan “pongahnya“ berperan sebagai mesin kapitalisme di depan altar globalisasi. Beberapa nilai Pancasila yang relevan dan seharusnya menjadi pernyataan sikap akuntan Indonesia, antara lain: (a) pemenuhan tanggung jawab yang utama (dan terutama) adalah kepada Tuhan, sesuai dengan sila pertama Pancasila. Baru kemudian disusul tanggungjawab kepada publik, pemakai jasa (klien) dan rekan sejawat., (b) aspek keadilan dan pemerataan penghasilan perlu diatur sedemikian rupa untuk memberikan keseimbangan diantara pelaku dalam profesi. Penguasaan “kue” pendapatan oleh beberapa pihak saja perlu dihindari dengan “intervensi pengaturan” yang rigid, minimal dalam kode etik, (c) membincang tentang nasionalisme Indonesia masih relevan dalam konteks profesi. Akuntan Indonesia,
Jurnal Ilmiah Akuntansi • Vol. 1, No. 1, Juni 2016
yang hidup dan menjalankan profesinya di Indonesia, secara sikap dan pemikiran, seharusnya mengedepankan kepentingan bangsa diatas kepentingan yang lain, terutama kepentingan asing. Waba’du, menyitir pesan Amien Rais (2008) dalam bukunya “Selamatkan Indonesia : Agendan Mendesak Bangsa”, bangsa Indonesia perlu diselamatkan. Agenda globalisasi yang juga menyentuh profesi akuntansi perlu disikapi secara dewasa dan bijak. Salah satu pesan penting yang diungkapkan Amien Rais yang menjadi pamungkas bukunya adalah kembali merevitalisasi Pancasila. Pancasila terbukti telah berhasil menjadi konsensus dan perjanjian adiluhung bangsa Indonesia pada masa lalu. Hingga sekarang dan insyaallah masa depan. Tidak bisa dipungkiri Pancasila telah menjadi semen perekat paling kuat sebagai bangsa. Jika semua elemen (termasuk profesi akuntansi di dalamnya) bersama dalam koridor nilai-nilai Pancasila ini, adalah sebuah keniscayaan bangsa Indonesia akan menjadi bangsa besar yang disegani di dunia. Bangsa yang mampu berkiprah di dunia tapi tetap kuat dengan tradisi dan nilai lokalitas yang baik. Daftar Rujukan: Abdulgani, Roeslan. 1977. Pengembangan Pancasila di Indonesia. Jakarta: Idayu Press. Asshiddiqie, Jimly. 2002. Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah Perubahan Keempat. Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI. Asdi, Endang Daruni. 1985. Memahami Pancasila. Yogyakarta: Penerbit dan Percetakan Lukman. Mubyarto. 2002. Ekonomi Pancasila, edisi terbaru. Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila, Universitas Gajah Mada.
Pasha, Musthafa Kamal. 1988. Pancasila, UUD 1945 dan Mekanisme Pelaksanaannya. Yogyakarta: Mitra Gama Widya. Tuanakotta, Theodorus. 2007. Setengah Abad Profesi Akuntansi. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Tuanakotta, Theodorus. 2011. Berpikir Kritis dalam Pengauditan. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Usman, Oetojo dan Alfian (Penyunting). Pancasila Sebagai Ideologi : Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat. Salam, Burhanuddin. 1996. Filsafat Pancasilaisme, Edisi Revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Ikatan Akuntan Indonesia. 2001. Kode Etik Akuntan Indonesia International Federation of Accountants. 2005. IFAC Code of Ethics for Professional Accountants. Rais, M.Amien. 2008. Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia!. Yogyakarta: PPSK Press. Shihab, Quraisy. 1997. Etika Bisnis dalam Wawasan Al-Qur’an. Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul Qur‟an No.3/VII/1997, hal.4-9. Swasono, Sri Edi. 2010. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial: Dari Klasikal dan NeoKlasikal Sampai ke The End of Laissez-Faire. Penerbit Perkumpulan Prakarsa. Wibowo, I. . 2010, Negara Centeng : Negara dan Saudagar di Era Globalisasi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Yusuf, Choirul Fuad. 1997.Etika Bisnis dalam Wawasan AlQur’an, Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul Qur‟an No.3/VII/1997, hal.10-23.
15
16