Memeluk kerapuhan dan merayakan kehidupan Sebuah respon terhadap kelemahan dalam hidup
1
Dipersembahkan kepada saudara-saudari yang bergumul dengan kelemahan di dalam hidup baik kelemahan fisik maupun mental
2
Daftar Isi I.
Manusia dan kelemahan
II.
Yesus Kristus yang rentan
III.
Memeluk kerapuhan kita
3
Pengantar Dalam pertengahan tahun 2015 ini, saya kembali merefleksikan hidup ke belakang dan berpikir bahwa sudah kira-kira setengah dari usia (35 tahun) saya menderita pergumulan dengan penyakit mental. Di tahun 1998, setelah lulus dari pendidikan SMA dan ketika saya mulai memasuki sekolah teologi, saya mulai menderita penyakit mental ini. Dan sekarang pada bulan Agustus 2015, pergumulan dan pertempuran saya dengan penyakit ini sudah melewati sekitar 17 tahun. Puji syukur kepada Tuhan Allah yang setia dan memelihara kehidupan saya hari lepas hari dan menolong serta menguatkan ketika sedang melewati lembah bayang-bayang maut. Tanpa anugerah dan rahmatNya saya tidak mampu menjalani kehidupan sampai detik ini. Saya akan hanyut dalam penderitaan dan kegelapan tanpa pertolonganNya. Tetapi oleh kasih karuniaNya, saya ditopang sampai sekarang ini. Di dalam kesempatan kali ini, saya hendak membuat tulisan singkat yang memaparkan perenungan, cerita singkat pergumulan saya di dalam menghadapi penyakit mental ini dari tahun 1998 sampai 2015 dan refleksi-refleksinya. Kiranya tulisan ini boleh menjadi berkat.
4
I.
Manusia dan kelemahan
We human beings are all fundamentally the same. We all belong to a common broken humanity. We have all wounded, broken hearts. Each of us need to feel appreciated and understood. We all need help. – Jean Vanier Kita umat manusia adalah secara fundamental sama. Kita merupakan milik kemanusiaan kita yang hancur. Kita semua sudah terluka dan patah hatinya. Setiap kita perlu dihargai dan dimengerti. Kita semua memerlukan pertolongan. – Jean Vanier
Adalah merupakan satu kenyataan bahwa pada umumnya setiap manusia tidak suka dengann apa yang namanya kelemahan, kerapuhan, kerentanan dan kekurangan. Kebanyakan manusia tentu lebih menyukai kekuatan, kesehatan, dan kelebihan. Ini kedengarannya seperti hal yang lumrah dan alamiah. Satu hal yang sesuai dengan common sense manusia. Manusia kelihatannya jelas tidak menyukai penyakit baik secara fisik maupun secara mental yaitu sakit secara pikiran dan emosional. Cacat fisik maupun mental juga dinilai sebagai sesuatu kekurangan yang besar. Keadaan usia yang makin degenerasi dan menua juga hal yang ditakutkan dan berusaha dihindari atau disangkal oleh khalayak ramai baik. Fenomena orang mencari obat anti-aging adalah fenomena manusia yang tidak mau digeser oleh kelemahan, usia dan kesementaraan. Orang kebanyakan lebih suka dengan masa muda yang penuh gairah muda, petualangan dan kekuatan. Namun kenyataan di dalam dunia yang tidak sempurna ini realita 5
kelemahan, kekurangan, luka, cacat dan sakit peyakit seringkali tidak bisa dihindari. Dan juga satu realita di dalam dunia ini yaitu bahwa setiap manusia sedang menuju kepada proses kematian (aging). Penderitaan, keluh kesah dan air mata adalah bagian dari denyut nadi setiap orang bila kita hendak sungguh-sungguh jujur mengakuinya. Saya, Jeffrey Lim, sebagai penderita sakit mental juga bergumul di dalam menghadapi kelemahan tubuh, kerentanan dan kerapuhan hidup saya. Dengan penyakit ini, kondisi pikiran dan emosi saya mudah menjadi kacau bila terpicu oleh sesuatu hal. Kondisi fisik saya bisa tibatiba melemah dan memerlukan banyak istirahat yang tentunya tidak nyaman ketika kita ingin melakukan hal ini dan itu. Perasaan dapat terasa begitu mencekam dan rasa cemas menghantui bukan saja dalam pikiran saja namun juga menyakitkan bagi tubuhku. Tubuh menjadi tegang, terlalu berjaga-jaga dan berkeringat. Ingatan dalam memori dapat menjadi tidak jelas, kabur dan seperti terpecah. Suasana hati begitu menggelisahkan dan juga batin seperti tersayat-sayat. Keberadaan orang yang asing seperti mengancam dan membuat saya tidak memandang orang lain sebagai sesama manusia yang patuh dikasihi tetapi yang perlu diwaspadai. Dan juga seringkali muncul perasaan bersalah dan malu yang bukan disebabkan karena melakukan dosa (namun karena kesalahan kecil yang lumrah) dan saya merasa bodoh serta tidak berguna. Saya tidak mengerti mengapa saya sering mengalami hal seperti ini. Dan solusi yang ditawarkan oleh dokter psikiater adalah obat-obat penenang (anti psychotic) dan obat anti mania ( untuk penyakit Bipolar Disorder ).
Di dalam pergumulan panjang saya menghadapi penyakit mental ini, saya jelas awalnya sangat tidak suka realita bahwa saya harus mengkonsumsi obat dan kenyataan bahwa saya sakit secara mental. Dari pengalamaan bergumul dengan penyakit ini, saya jadi bisa mengerti sedikit pergumulan manusia mengapa banyak orang tidak suka kelemahan dan penyakit. Karena 6
penyakit dan kelemahan itu sesuatu yang tidak enak dan tidak nyaman. Sesuatu yang mengganggu. Sesuatu yang menghalangi kita untuk menjadi sukses menurut pandangan umumnya. Sesuatu yang dipandang menghambar karir dan juga kegembiraan hidup kita yang seringkali kita nilai melalui aspek fisik. Karena saya bergumul dengan penyakit mental sudah cukup lama, hal ini secara langsung maupun tidak langsung membuat saya bertemu dengan orang-orang yang juga bergumul dengan sakit mental juga. Kadang saya bisa bertemu dengan orang-orang yang menderita baik Depresi, Bipolar Disorder atau tipe-tipe penyakit mental lainnya. Dan saya sering mengamati dan mendengarkan
mereka berbagi cerita hidup mereka dan mengeluh kepada saya. Keluhan-
keluhan umumnya adalah mengenai keberadaan penyakit mereka dan akibat efek dari penyakit itu seperti : Mengapa saya menjadi lemas ? Mengapa saya menjadi tidak produktif ? Mengapa saya terus bawaannya tidur ? Mengapa saya dulu begitu energik dan banyak melakukan aktifitas ini dan itu tetapi sekarang saya begini ? Mengapa saya harus makan obat ? Mengapa saya merasa Depresi ? Mengapa pikiran dan perasaan saya kacau ? Mengapa saya gelisah ? Mengapa saya sesak dadanya ? Mengapa saya jadi gemuk ? Mengapa saya tidak bisa tidur ? Dan sebagainya.
Kebanyakan dari penderita yang saya jumpai yang bergumul dengan masalah kesehatan mental seringkali mereka tidak suka mengkonsumsi obat-obatan psikiatrik. Saya berpikir alasannya pertama mungkin karena mereka sebagai penderita tidak mengerti natur sakit mental yang memerlukan pengobatan medis. Kedua mungkin juga karena mereka tidak mau menerima 7
kenyataan bahwa mereka sakit secara mental. Mereka masih mempunyai pandangan ideal mengenai diri dan tidak bisa menerima realita sebenarnya diri yang sakit. Ketiga, banyak diantara mereka yang tidak suka dengan efek samping dari obat-obatan psikiatrik. Memang obatobat ini dapat membuat mereka bukan saja lemas dan kurang gairah tetapi bahkan membuat banyak efek samping seperti gemuk salah satunya. Saya mengerti benar bahwa tidak mudah menerima kenyataan diri yang sakit, lemah, rapuh, rentan dan penuh kekurangan. Saya akan menceritakan pengalaman saya sendiri yang bergumul berat dengan penerimaan diri yang sakit. Pada tahun 1998, dekat peristiwa waktu krisis ekonomi melanda Indonesia, saya mulai menderita penyakit mental dan mulai mengkonsumsi obat-obatan psikiatrik yaitu Risperdal (anti psychotic). Pada saat itu saya sedang berada di dalam sekolah teologi Institut Reformed dimana saya sedang belajar mengenai ilmu teologi dan Alkitab. Pengalaman di dalam komunitas Institut Reformed bagi saya adalah kenangan memori yang manis dan hangat. Pada waktu itu sekolah teologi ini baru mulai dibuka dan saya masuk di angkatan pertama. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan bersama-sama dengan para dosen membangun komunitas di dalam Insitut Reformed ini. Institut Reformed bagaikan sebuah rumah dan kemah tempat saya berlindung ketika saya sedang mengalami gangguan mental. Saya bersyukur untuk persekutuan dengan teman-teman dalam Kristus yang menguatkan. Kita sering doa bersama dan persekutuan makan Indomie bersama. Pada saat itu walaupun saya mengalami kekurangan penyakit mental tapi saya merasa diterima, dikasihi dan aman. Institut Reformed, sebuah institusi teologi, yang didirikan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong merupakan komunitas yang saling mengasah, membentuk dan tempat yang penuh dengan makna bagi saya. Namun saya kemudian meninggalkan tempat itu di tahun 1999. Setelah berjalan 2 semester sekolah teologi, saya mengambil cuti akademis dan pergi ke Sydney, Australia. Orang tua saya, papah dan mamah, mempunyai rencana supaya saya boleh refreshing berlibur ke Australia dan berharap semoga ini bisa membuat saya lebih sembuh. Saya berangkat ke Sydney dan tinggal di rumah kukuh. Dan tidak tahu entah bagaimana, akhirnya saya jadi meneruskan pendidikan saya di Australia. Saya mengambil Diploma di Insearch Institute of Commerce di bidang Information Technology.
8
Saya kemudian mulai memasuki semester pertama di Insearch dan di akhir semester secara mengejutkan saya mendapatkan nilai rata-rata yang termasuk kategori tertinggi (High Distinction). Ketika saya mulai mendapatkan nilai yang baik ini, saya mulai berpikir. Apakah benar saya sakit mental ? Apakah saya benar saya membutuhkan obat-obatan psikiatrik ? Mana mungkin saya sakit mental bila nilai saya termasuk tinggi ? Buat apa saya makan obat lagi kalau saya sudah sembuh ? Itulah semua pemikiran saya. Pada akhirnya saya memutuskan untuk stop makan obat. Perasaan diri yang merasa sudah baikan dan takabur ini membuat saya mengambil langkah yang fatal yaitu memberhentikan makan obat. Saya tidak suka realita saya makan obat dan sakit. Setelah semester satu sudah berlalu, di dalam semester kedua saya mulai merasakan hal yang aneh dalam diri dan pikiran saya. Aktivitas saya mulai makin menjadi aktif dan mengambil banyak ekstrakulikuler yang berlebihan di luar Insearch, UTS. Saya mulai mengambil seminarseminar filsafat, musik, dll. Saya makin aktif ini itu tetapi makin pikiran dan hidup makin tidak terarah. Dan di dalam pikiran saya mulai banyak kegelisahan dan perasaan yang kacau. Sebenarnya ini tanda bahwa penyakit saya mulai timbul ke permukaan lagi setelah saya mulai tidak mengkonsumsi obat. Saya sering merasa gelisah dan berjalan kesana kemari tanpa arah. Pernah ada waktu dimana saya berjalan ke pantai dan berjalan masuk ke dalam pantai sampai kedalaman sepinggang yang mengakibatkan mobile phone saya akhirnya rusak. Dan di satu waktu saya memakai jas hujan walaupun sebenarnya sudah tidak hujan. Di beberapa waktu yang lalu sebelumnya saya pernah membeli sebuah jam tangan perempuan. Dan kembali pada waktu saya berjalan memakai jas hujan itu, jam saya itu terjatuh. Saya mencari kemana-mana jam itu. Detik waktu saya ketemu dan memungut jam itu, polisi yang melihat tingkah laku saya yang aneh menyangka saya mencuri jam. Saya mengatakan itu jam tangan saya tetapi polisi curiga dan interogasi saya dan saya dituduh mencuri jam tangan. Akhirnya harus berhadapan dengan pengadilan. Pada saat itu setiap hari pikiran dan perasaan saya diliputi rasa kegelisahan dan ketakutan. Di dalam kekalutan masa itu, pihak Universitas menolong dan mereferensikan saya ke dokter psikiater dr. Ben Teoh dari malaysia. Dr. Ben Teoh mengatakan bahwa saya menderita Schizo Affective Disorder dan harus mengkonsumsi obat-obatan psikiatrik. Dia memberi saya obat Zyprexa (anti psychotic) dan Effexor (Anti Depressant). Saya harus bertemu dengan beliau 9
setiap sebulan sekali dan dipantau perkembangan kesehatan mentalnya. Dan bersyukur pada Tuhan bahwa melalui pihak sekolah akhirnya ada pengacara handal dari sekolah yang menolong kasus saya yang tidak bersalah tentang jam tangan itu. Saya dinyatakan tidak bersalah dan boleh mengambil jam tangan itu kembali. Secara singkat cerita selama di Australia, karena anugerah Tuhan dan pemeliharaanNya, tahun 2002 akhir saya lulus kuliah di Universitas of Technology, Sydney dengan gelar Bachelor of Computing.
Tahun 2002 akhir, saya pulang ke Indonesia. Pada saat itu mamah saya mengatakan bahwa saya sudah tidak ada beban kuliah di universitas lagi. Saya bisa mulai stop obat dan jangan takut kambuh. Saya sudah tidak ada beban hidup terlalu berat dan stop obat psikiatrik bakalan tidak apa-apa. Tidak akan gila demikian mamah saya berkata. Ketika saya merenungkan peristiwa ini ke belakang, saya berpikir bahwa mamah juga bergumul di dalam menerima kelemahan saya dan memprojeksikan bahwa saya akan dan pasti sehat. Memang manusia pada umumnya tidak suka akan sesuatu yang lemah dan membebankan. Kita semua mau kuat. Harus diakui juga secara ekonomi obat-obatan psikiatrik yang saya konsumsi itu cukup mahal. Harga 1 tablet Zyprexa itu 50 ribu rupiah ditahun 2015 ini dan saya harus makan obat 1 tablet tiap hari. Efek samping dari obat ini membuat saya menjadi gemuk sekali. Dulu saya seorang pecinta alam yang suka naik gunung dimana tubuh saya kurus dan gesit. Tetapi dengan obat Zyprexa ini membuat saya lemas dan nafsu makan besar. Siapa yang suka dengan keadaan ini ? Mamah saya juga ingin supaya saya stop obat ini. Pada saat itu saya juga setuju. Kita semua memang tidak punya wawasan mengenai sakit mental dan tidak belajar dari sejarah bahwa penderita sakit mental memang perlu makan obat. Saya kemudian stop obat psikatrik di awal tahun 2003. Di awal tahun saya sudah mendaftar untuk sekolah teologi di SAAT ( Seminari Alkitab Asia Tenggara ). Saya diterima dan 10
6 bulan kemudian saya masuk seminari Alkitab di SAAT. Karena saya stop obat sudah 6 bulan, kondisi mental saya mulai memburuk. Dengan keadaan mental yang makin lama makin disorientasi dan emosi perasaan yang kacau, pada akhirnya saya harus meninggalkan SAAT dan dirawat setelah boleh memikati belajar selama 4 bulan disana. Pdt. Paul Gunadi, seorang konselor kristen terkenal di SAAT, mengatakan bahwa dengan penyakit saya seperti ini saya tidak bisa ( mampu ) menjadi hamba Tuhan yang melayani di gereja. Kondisi penyakit ini membuat saya gampang peka terhadap perubahan dalam diri orang lain dan paranoid. Dengan keadaan penyakit ini membuat saya tidak bisa di bawah tekanan. Pelayanan di gerejawi yang berhadapan dengan banyak orang tidak cocok bagi saya menurut beliau. Pak Paul Gunadi menyarankan saya kerja dibelakang layar yang membuat saya bisa lebih tenang dan nyaman. Sepulang dari SAAT Malang, saya sampai di rumah dan kemudian saya makin kambuh penyakitnya sehingga terpaksa masuk ke Rumah Sakit Hurip Waluyah di Karangtineung, Bandung untuk dirawat. Dokter yang melayani saya adalah dokter Agus Saeman yang merupakan direktur Rumah Sakit Immanuel pada saat itu. Beliau seorang dokter yang baik dan penuh perhatian terhadap pasien. Perjalanan saya sulit menerima realita bahwa saya sakit secara mental terus berlanjut dan panjang. Dari semua cerita ini, saya hendak menunjukkan satu hal bahwa kita manusia sulit menerima realita kerapuhan, kerentanan dan kelemahan kita. Kita lebih suka kalau kita kuat, berkuasa, penuh tenaga, dan tidak rentan. Kita tidak suka menerima kenyataan diri yang lemah, rentan dan rapuh. Dan itu menimbulkan konflik dalam diri. Konflik inner yang membuat kondisi semakin tidak baik dan tidak penuh dalam diri kita. Setelah dirawat di Hurip Waluyah, saya kembali ke rumah dan bertemu dengan Pdt. Joseph Tong. Oleh Pdt. Joseph Tong, saya dibimbing dan diberikan pelayanan di STTB (Sekolah Tinggi Teologi Bandung) untuk mengedit buku dan juga membuat program akademik disana (programming). Pada awalnya saya sering ngantuk dan ketiduran. Pernah di kantor Pak Joseph Tong, saya menumpahkan kopi di meja karena saya lemas, ngantuk dan tertidur. Setiap hari saya datang ke STTB jam 8 pagi dan setelah makan siang jam 12 saya pulang. Dalam anugerah Tuhan, saya akhirnya selesai mengedit buku kesaksian seorang perempuan yang sakit gagal ginjal dan juga menyelesaikan programming program akademik. Setelah pulang dari STTB, di
11
rumah saya tidak mengerjakan apa-apa dan banyak istirahat. Kondisi saya tidak memungkinkan untuk produktif seperti orang biasanya. Berita mengenai kondisi saya sampai ke telinga Pdt. Dr. Stephen Tong. Dan beliau selaku pendiri Institut Reformed (sekolah Alkitab saya yang dulu), memanggil saya dan mamah saya menghadap beliau. Setelah berbincang-bincang dengan saya dan mamah, akhirnya Pak Tong menyuruh saya tinggal di Institut Reformed. Beliau mengatakan kalau saya baikan, saya boleh sekolah teologi lagi. Pernyataan beliau memberikan saya semangat. Saya memang ingin belajar teologi. Saya ingin sekolah teologi. Pada saat itu saya ditempatkan sekamar dengan ko Toni Afandi yang merupakan teman seangkatan saya yang dulu. Ko Toni dengan kasih persaudaraan banyak menguatkan saya. Hari demi hari karena penggunaan obat sudah berjalan, kondisi saya makin baikan. Ini seharusnya membuat saya sadar bahwa saya butuh obat. Pada tahun 2005, dengan kondisi saya yang makin baik, saya mulai sekolah teologi kembali di Institut Reformed.
Saya mengisi waktu-waktu saya diluar kuliah untuk membaca buku-buku teologi dan Alkitab. Waktu-waktu itu juga merupakan waktu-waktu yang indah dimana saya boleh berteduh 12
di dalam kemah rohani. Waktu-waktu itu adalah saat saya banyak membaca Alkitab dan bukubuku. Setiap hari Selasa, saya bersama teman-teman pelayanan suka pergi ke Rumah Sakit Husada untuk pengabaran Injil kepada orang-orang sakit. Pada saat itu saya sering menjadi supir dan membawa mobil L-300. Kuliah-kuliah teologi mulai saya ikuti dan nikmati satu persatu. Pelajaran yang berkesan bagi saya adalah mengenai Perjanjian Lama yang diajar ahli PL yaitu Ibu Ev. Inawaty Teddy, M.Th . Kemudian pelajaran sejarah teologi oleh Ko Billy Kristanto yang sekarang sudah menjadi Pdt. Dan juga pelajaran Christian Philosophy oleh Ko Yadi (Ev. Yadi Sampurna Lima). Dengan kondisi saya yang makin lama makin baik, dalam satu peristiwa saya diminta praktek pelayanan 2 bulan ke Taiwan. Pdt. Nico Ong meminta saya pelayaan di Taiwan. Praktek pelayanan 2 bulan akhirnya berlanjut menjadi praktek pelayanan 1 tahun. Saya kemudian melayani di Taiwan selama setahunan lebih dan di China selama 3 bulan (Guang Zhou). Pengalaman diterima di pelayanan, aktifitas pelayanan yang makin banyak dan kondisi yang semakin baik dalam hal mental membuat saya kembali berpikir bahwa saya sudah baikan. Saya mulai melawan kondisi saya yang rapuh dan lemah serta perlu obat dan mulai ingin menjadi seseorang yang kuat dan hebat. Saya ingin menunjukkan diri pada orang lain bahwa saya sudah sembuh dan bahwa saya bisa mengatasi penyakit saya. Saya mulai ingin maju dari bawah ke atas semakin tinggi dan bukan menyadari kerapuhan saya dan memeluknya. Setelah pulang dari pelayanan Taiwan dan China, saya kembali ke Jakarta. Pada saat itu tahun 2007 adalah waktunya bikin thesis. Tema thesis saya waktu itu adalah mengenai Polemik di dalam menerima psikologi sekular atau menolaknya. Saat itu, saya terpengaruh banyak pemikiran dari Jay Adams yang menolak psikologi dan bahkan juga psikiatri. Pandangan beliau ini menganggap kontribusi psikologi dan psikiatri itu adalah produk orang-orang berdosa dan sekular. Jay Adams di dalam bukunya Competent to Counsel ada membahas satu realita ada banyak orang-orang di rumah sakit mental yang sebenarnya bukan sakit secara biologis tetapi merupakan orang-orang berdosa yang berlindung disana. Mereka bukan harus diobati dengan medis tetapi perlu dikonfrontasi dan bertobat. Saya sangat terpengaruh oleh pikiran Jay Adams dan memandang bahwa saya sendiri sebenarnya tidak sakit mental secara biologis dan keberadaan sakit saya adalah karena dosa saya. Saya harus maju dan melawan sakit mental saya dalam perjuangan keras dan meminta anugerah Tuhan.
13
Pada waktu itu saya sebenarnya sedang naif. Pemikiran saya tidak seimbang. Sebenarnya sakit mental adalah sakit yang meliputi aspek Biologis, Psikologis, Sosial dan Spiritual. Tetapi masalah sakit mental saya reduksi hanya menjadi masalah spiritual belaka. Ketika pandangan model medis (medical model) di dunia psikatrik yang fokus melihat masalah sakit mental itu natur utamanya adalah sakit biologis yang memerlukan obat-obatan maka pemikiran Jay Adams adalah pendulum lainnya yang melihat masalah natur sakit mental adalah masalah spiritual: dosa. Semua pandangan ini tidak seimbang. Perlu dilihat secara seimbang sekali lagi bahwa masalah sakit mental adalah masalah Bio-Psiko-Sosial dan Spiritual. Karena saya sedang merasakan diri saya seakan-akan makin sehat. Saya lupa bahwa pada waktu itu saya merasa gairah dan semangat serta energik itu bukan karena saya makin sembuh. Justru itu keadaan dimana saya mulai memasuki tahap hipomania dan akan menuju mania + psikotik. Keadaan ini ada miripnya dengan keadaan pada tahun 2000 di semester dua di Insearch, Australia, dimana saya mulai banyak aktif mengambil seminar namun hidup mulai tidak terarah. Dengan kondisi hipomania yang bergairah membuat saya makin banyak diundang kotbah. Kotbah-kotbah seperti dengan mudah mengalir dan bersemangat. Walaupun demikian , pergumulan dalam thesis saya banyak menemui hambatan karena pikiran yang diambil dari Jay Adams itu dinilai terlalu tidak seimbang. Dan pada saat itu seorang hamba Tuhan meminta saya sedikit-sedikit mengurangi dosis obat psikiatrik saya. Dengan tekanan hidup di pelayanan yang makin tinggi ditambah dosis obat yang makin kurang membuat, dan banyak masalah ini dan itu, semua ini membuat saya kambuh lagi. Saya masuk dalam keadaan mania + psikotik (delusi) kembali. Dan saya terpaksa di rawat kembali. Peristiwat kali ini lebih berat dimana perawatan akan penyakit saya berpindah-pindah dari pemulihan Prima Harapan di Cibiru ke rumah sakit Hurip Waluyah dan terakhir ke Grahita. Di Prima Harapan, Cibiru saya tidak baikan karena tidak mau konsumsi obat. Di Hurip Waluyah juga demikian. Dan akhirnya di Grahita yang dirawat lebih teliti oleh Dr. Lukas Kabul dan Ibu Emi, saya harus kembali menyadari kerapuhan dan kelemahan saya yang membutuhkan konsumsi obat-obat psikiatrik. Dari pengalaman sejak tahun 1998 sampai 2015 ini, dengan kambuh berkali-kali dalam sakit mental ini, saya harus pada akhirnya makin menerima realita kelemahan, kerentanan dan kerapuhan saya. Banyak orang pada umumnya termasuk saya sulit menerima kenyataan diri yang lemah, bergantung dan butuh pertolongan orang lain dan juga medis. Banyak orang mempunyai 14
konsep ideal bahwa dirinya harus menjadi superman atau megalomania yang kebal dan begitu kuat. Sulit bagi kita untuk menerima bahwa kita tidak sekuat apa yang kita pikirkan. Sulit bagi kita untuk menerima realitas bahwa kerapuhan adalah bagian dari kemanusiaan kita. Kepenuhan dalam hidup bukan berarti sebuah kesempurnaan. Namun kepenuhan hidup adalah berarti memeluk kehancuran kita sebagai bagian integral dari hidup.
15
II.
Yesus Kristus yang rentan
Then came Jesus forth, wearing the crown of thorns, and the purple robe. And Pilate saith unto them, Behold the man! – John 19:5 Lalu Yesus keluar, bermahkota duri dan berjubah ungu. Maka kata Pilatus kepada mereka: "Lihatlah manusia itu!" – Yohanes 19:5
16
Kita sebagai manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Nenek moyang pertama kita adalah Adam dan Hawa. Kemanusiaan kita berada di dalam gambaran Adam. Sejak sekolah minggu kita sudah mengetahui bahwa Adam jatuh dalam dosa dengan memakan buah pengetahuan baik dan jahat. Kemudian setelah makin belajar teologi kita makin menyadari bahwa dosa itu masuk dan merusak seluruh keberadaan kita dan segala aspeknya sebagai manusia. Adam berdosa dan kita yang berada di dalam Adam berdosa dan rusak. Pencobaan Adam dan Hawa itu adalah pencobaan dimana mereka ingin menjadi seperti Allah. Apakah salah menjadi seperti Allah ? Dalam pengertian moralitas tidaklah salah mempunyai keinginan menjadi seperti Allah. Bukankah manusia memang Tuhan ciptakan menurut gambar dan rupaNya ? Bukankah dalam Alkitab diajarkan bahwa Allah menghendaki kita sempurna seperti Bapa di surga sempurna. Dan bukankah Allah mengatakan kuduslah kamu sebab Aku kudus ? Jadi menjadi seperti Allah dalam hal kesucian dan moralitas itu sesuatu yang baik. Tetapi pencobaan Adam dan Hawa ini adalah pencobaan untuk menjadi seperti Allah di dalam hal menjadi penentu dan Tuhan yang menentukan apa yang baik dan jahat. Pencobaan ini adalah pencobaan untuk menjadi maha kuasa dan berdaulat otonomi seperti Allah. Manusia diciptakan Tuhan sebagai mahluk yang bergantung baik kepada Tuhan Allah maupun satu sama lain. Adam dan Hawa yang berada dalam posisi manusia tidak menerima kondisinya sebagai manusia tetapi ingin mengambil posisi Allah. Dengan tidak menerima posisi kemanusiaan yang sudah diberikan Allah maka sebenarnya manusia kehilangan kemanusiaannya yang sejati. Manusia pertama jatuh dalam dosa. Adam gagal di dalam menjadi teladan dan wakil kemanusiaan bagi kita. Namun
Tuhan Allah mempunyai rencana sebelum dunia dijadikan. Bapa mengutus
AnakNya Tuhan Yesus Kristus ke dalam dunia ini. Yesus Kristus berinkarnasi dan menjadi manusia. Allah mengosongkan diri dan meninggalkan segala hak istimewaNya dan mengambil rupa hamba sama seperti manusia, seperti kau dan saya. Dalam Kitab Filipi dikatakan : Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan 17
manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati bahkan mati di kayu salib. (Filipi 2:5-8 )
Alkitab dalam kitab Kolose 1:15 mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah gambar Allah yang tidak kelihatan. Dan di dalam diriNya tinggal seluruh kepenuhan Allah (Kol 1:19). Dia adalah penyataan Bapa. Ketika kita melihat Yesus Kristus maka kita melihat Bapa (Yoh 14:9). Yesus Kristus seperti potret dan icon yang menggambarkan Allah. Satu perenungan yaitu kita melihat Bapa ketika melihat Yesus Kristus yang adalah Anak Allah ataukah kita juga melihat Bapa ketika kita melihat Yesus Kristus yang juga adalah Anak Manusia. Bukankah keAllahanNya dan kemanusiaanNya tidak terpisahkan dalam satu pribadi ? Yesus Kristus menyatakan Bapa yang maha kasih selain di dalam keAllahanNya, juga di dalam kemanusiaanNya. Di dalam kemanusiaanNya berarti juga di dalam keberadaanNya, kerentanan dan kelemahanNya sebagai manusia. Perlu diingat bahwa Yesus Kristus menjadi sama dengan kita yang terbatas, rentan dan lemah namun Dia tidak berdosa. Kitab Ibrani mengatakan :
18
Sebab Imam Besar yang kita punya bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa (Ibrani 4:15) Dari mana kita mengetahui bahwa Kristus Yesus sebagai manusia juga berbagian dalam kerentanan dan kerapuhan kita ? Dari Alkitab kita belajar bahwa ketika Yesus Kristus menjadi manusia, Dia harus dikandung di dalam rahim Perawan Maria melalui Roh Kudus. Maria harus mengandung dan sampai waktunya melahirkan Dia. Yusuf dan Maria perlu merawat Yesus Kristus ketika Dia lahir di palungan. Orang tuanya membesarkan
dan merawat Dia. Ini
menandakan bahwa Allah yang kuat menjadi lemah, menjadi manusia serta tinggal bersama manusia lainnya. Kitab Yohanes menjelaskan bahwa Allah tinggal di tengah kita dan membuat tabernakel di tengah kita (Yoh 1:14). Yesus Kristus memang bisa menenangkan badai dengan kuasa ilahiNya. Tetapi Ia juga bisa haus (Yoh 19:28) dan lapar (Mat 4:2 ). Ia bisa letih dan sangat letih (Yoh 4:6). Dia bisa ngantuk dan tertidur (Mat 8:24). Ia bisa menangis (Yoh 11:35) . Ini semua adalah bagian dari kemanusiaan. Kalau kita menelurusi dari kelahiran Yesus Kristus, hidup Yesus Kristus dan sampai kayu salib kita menemukan bahwa walaupun Dia adalah Anak Allah, Dia sungguh-sungguh manusia sejati.
19
Dalam peristiwa sengsara Kristus, di taman Getsemani, Yesus Kristus bergumul dan berdoa. Dia memerlukan teman yang mau bergumul bersama Dia tetapi ketiga muridNya tertidur. KeringatNya membasahi seperti darah dan Dia bergumul dengan hebat karena harus menerima cawan murka Allah demi keselamatan manusia. Saya membayangkan bahwa di dalam berdoa dan berlututNya Tuhan Yesus kepada Bapa, tubuhnya bergetar dan jiwanya penuh pergumulan yang berat. Buat apa Tuhan Yesus berdoa ? Tentunya Dia memerlukan kekuatan. Ini menandakan bahwa adanya getaran dalam jiwaNya yang membuat Dia memerlukan kekuatan dari Bapa.
Di dalam perjalanan menuju salib, Yesus dihina, diolok-olok. Kitab Yesaya menyaksikan ini “Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; Ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan” (Yes 53:3). Karena Yesus Kristus adalah manusia sejati maka penderitaanNya adalah nyata dan sungguh-sungguh dialamiNya. Dia didera, ditelanjangi dan dalam perjalanan ke salib, Yesus 20
Kristus sudah tidak tahan secara fisik sehingga harus dibantu oleh Simon dari Kirene. Ini menunjukkan bahwa Yesus Kristus sudah lemah fisiknya sehingga perlu bantuan orang lain untuk menyelesaikan tugasNya dikayu salib. Dari aktif Dia menjadi pasif dan menjadi objek tindakan orang lain. Dan dikayu salib, Dia haus. Oh betapa manusiawinya Anak Allah ! Dan kematianNya pun diserahkan kepada Bapa. Hidup dari palungan sampai salib adalah hidup yang bergantung. Bergantung pada orang lain dan juga kepada Allah Bapa. Ketika kita merenungkan mengenai sosok orang yang diurapi Tuhan yang akan menjadi Raja. Seperti apakah sosok orang itu ? Banyak dikalangan orang Yahudi yang berpandangan bahwa Mesias yang diurapi itu akan datang dengan keperkasaan. Mesias akan penuh kekuatan dan membawa pasukan perang. Penuh kegagahan. Tetapi Yesus Kristus orang dari Nazaret ini bukan datang naik kuda perang tetapi menunggangi keledai dengan sederhana.
Dia tidak memakai pedang dan kekuatan tetapi Dia menyerahkan diriNya untuk mati di kayu salib. Dia melayani dan mencuci kaki murid-muridNya. Dia memberikan kita teladan untuk diteladani yaitu untuk melayani dan mengasihi. Dia mengajarkan orang untuk mengasihi musuhnya. Dan DoaNya di kayu salib adalah Doa pengampunan kepada musuh-musuhNya : Bapa ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat menyalibkan Anak Allah – ditambahkan oleh penulis). 21
(dengan
Di atas kayu salib terlihat sosok manusia yang hancur, ditelanjangi, diolok-olok, dihina, tidak berdaya, lemah, sangat letih, kehausan dan menderita. Tetapi penjahat di sebelah Kristus Yesus dapat melihat kemuliaan Allah yang tertinggi. Di dalam salib terdapat paradoks antara lemah dan kuat. Antara kebodohan dan hikmat. Salib adalah batu sandungan bagi orang Yahudi yang mencari tanda dan mujizat yang kuat. Dan salib adalah kebodohan bagi orang Yahudi yang mencari hikmat. Tetapi di dalam salib tersembunyi hikmat dan kuasa Allah. Di dalam kerentanan dan kerapuhan Yesus Kristus terkandung kekuatan Allah. Perenungan mengenai hidup Yesus Kristus seharusnya membuat kita tertegun dan berdiam memikirkannya. Dia menjadi teladan dan wakil kemanusiaan kita. Bukan seperti Adam yang berada posisi dibawah hendak naik ke atas menjadi Tuhan tetapi Yesus Kristus yang berada posisi diatas turun berinkarnasi ke bawah mengambil rupa hamba. Dia bukan saja Allah yang beserta kita tetapi Allah yang berserta di dalam penderitaan kita. Mungkin istilah ini bisa mengganggu sebagian orang : “Yesus Kristus yang rentan sebagai manusia”. Tetapi inilah yang disaksikan oleh Alkitab. Ketika kita mengenal bahwa Yesus Kristus adalah gambaran Allah yang tidak kelihatan yang menyatakan diri Bapa. Bagaimana gambaran Yesus ini ditemukan di dalam dunia ini ? Yaitu di dalam diri orang-orang yang patah, luka, rentan dan rapuh. Bagaimana kita mengetahui hal ini ? Alkitab di dalam kitab Matius 25 mengatakan : 22
“Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian, ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku……. Aku berkata, sesungguhnya sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:35-40) Dari ayat ini maka kita mengetahui bahwa Yesus Kristus mengidentifikasikan diriNya di dalam diri orang-orang yang patah, luka, lemah, rentan dan rapuh. Dia adalah Sang Penyembuh yang di dalam inkarnasiNya juga terluka. Dia mencari orang-orang yang hancur, marginal, dibuang masyarakat, terluka dan berbagian serta bersekutu di dalam pergumulan mereka. Dia bergaul dengan orang berdosa. Di dalam Matius 11:19, Anak Manusia dituduh seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungui cukai dan orang berdosa. Yesus Kristus dianggap kerasukan setan dan gila (Yoh 10:20). Tetapi sesungguhnya Yesus Kristus di dalam inkarnasiNya, menjadi miskin supaya Dia boleh memenangkan orang-orang yang miskin dan dibuang masyarakat. Perenungan ini seharusnya membuat kita berpikir dan mengintropeksi diri. Seringkali manusia sulit menerima kelemahan, kerentanan dan kerapuhannya sebagai manusia. Manusia suka mengambil posisi naik ke atas dan tidak mau terima kenyataan dirinya yang diciptakan Tuhan dalam limitasi. Manusia ingin menjadi superman. Tetapi Yesus Kristus sebagai manusia sejati hidup di dalam keberadaanNya sebagai manusia. Dia adalah gambaran kemanusiaan yang sejati. Dengan jalan salib, Dia memeluk semua penderitaan. Dia membalas kejahatan dengan kebaikan. Dia menerima setiap pukulan dan memberikan pengampunan. Dia taat kepada realita yang diberikan Bapa kepadaNya. Salib Kristus adalah pusat dimana kita harus merenungkan hidup kita. Di dalam kelemahan kita, kita harus menggumuli bahwa anugerah Allah ada di dalam kita. Ketika aku lemah maka aku kuat karena anugerah Tuhan yang menyertai kita. Hidup kita berpusat pada salib dan salib berarti kita taat menerima realita yang diberikan Bapa kepada kita. Jalan salib adalah jalan yang menyakitkan tetapi sekaligus jalan yang menyembuhkan. Adakah kita menerima realita dan kenyataan yang diberikan Bapa di dalam konteks hidup kita ? Maukah kita berdamai dengan diri dan kenyataan yang diberikan kepada kita?
23
Sebagai murid Yesus Kristus, selain tinggal di dalam Dia, kita juga harus meneladaniNya. Kita melihat satu contoh seorang murid Yesus Kristus yang bernama Simon Petrus. Setelah bangkit dan menampakkan diri kepada murid-muridNya, Yesus mengatakan sesuatu mengenai diri Simon Petrus : “Aku berkata kepadamu : sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kau kehendaki” ( Yoh 21:18 ) Pemahaman dari perikop ini adalah bahwa hidup Simon Petrus dan juga seperti hidup kita berada di dalam kedaulatan dan pimpinan Tuhan. Kita tidak berdaulat dan bukan bos dan pimpinan dari hidup kita. Kita menerima apa yang hendak diberikan Tuhan kepada kita. Cerita hidup kita bukan milik kita. Cerita hidup kita milik Tuhan dan untuk kemuliaan nama Tuhan. Kita hidup begitu rentan, rapuh dan bergantung kepada anugerah Tuhan. Kita harus menerima segala yang diberikanNya termasuk segala kelemahan, kerentanan dan kerapuhan kita. Ini adalah jalan yang menyakitkan tetapi jalan yang menyembuhkan.
24
III.
Memeluk kerapuhan kita
Wholeness does not mean perfection; It means embracing brokenness as an integral part of life – Parker J. Palmer Kepenuhan bukan berarti kesempurnaan, tetapi berarti memeluk kerusakan sebagai bagian integral dari hidup – Parker J. Palmer
Menjadi manusia yang penuh adalah menjadi manusia yang memeluk segala kelemahan, kerentanan dan kerapuhannya. Manusia diciptakan Tuhan di dalam limitasi dan keterbatasan. Manusia harus menerima apa yang Tuhan tetapkan sebagai manusia dengan segala keberadaannya yaitu tubuh dan jiwa, darah dan daging. Kita sebagai manusia dibatasi hukum alam. Kita sebagai manusia dibatasi hukum fisika. Sistem tubuh kita diatur oleh hukum yang Tuhan tetapkan. Manusia memerlukan nutrisi. Manusia membutuhkan istirahat. Manusia membutuhkan makanan dan minuman. Manusia luka jika dilukai. Manusia dapat menangis dan meratap jikalau sedih. Manusia saling membutuhkan sesamanya. Dan dalam hidup ini, manusia dengan sesamanya hidup bukan secara merdeka independen dan otonomi tetapi saling bergantung satu sama lain. Kita harus berpaling dari paradigma kuat dan otonomi ke paradigma rapuh dan saling bergantung.
25
Seringkali secara tidak langsung, entah dari film-film, atau dari komik-komik atau dari konsep dunia secara umum, kita mempunyai pandangan manusia yang ideal itu seperti superhero. Mereka kuat, mereka independen dan otonomi, mereka seakan-akan superman yang begitu kebal dan sulit ditemukan kelemahannya. Mereka begitu kuat, tidak menangis, tidak mengenal lelah dan kebal. Secara tidak sadar kita menganut konsep manusia ideal seperti ini dalam arti menjadi manusia sejati itu menjadi kuat, kebal dan tidak lemah. Menjadi kuat adalah menjadi nomor satu dan bila menjadi lemah maka kita akan menjadi manusia yang tersingkir dan terabaikan. Dunia ini mengajarkan hidup itu keras. Jadi kita harus kuat bila tidak akan tertindas. Ini adalah paradigma yang menjunjung tinggi kekuatan dan kuasa. Semenjak di sekolah dasar, nilai kehidupan kita secara tidak sadar sudah dibedakan menurut kepandaian, peringkat dan nilai-nilai di kelas. Bila kita pintar kita akan mencapai peringkat tiga atau sepuluh besar. Dan sepuluh besar dibelakang adalah anak-anak bodoh yang nilainya kurang. Hidup manusia dengan segala nilainya dinilai oleh kepandaian yang direduksi menjadi angka belaka. Ini dapat berkembang kepada hal yang sifatnya impersonal. Esensi manusia ditentukan oleh kepandaiannya, kekuatan dan kehebatannya. Manusia menjadi dikategorikan dengan kategori spektrum: prodigy,jenius, pandai, biasa, bodoh, idiot. Manusia dikategorikan menjadi kuat dan lemah, berbakat dan tidak berbakat. Semua ini mengakibatkan tingkatan hirarki di dalam memandang manusia. Dan secara tidak sadar semua manusia mau berlomba-lomba untuk mencapai piramida paling atas. Hal ini disebabkan karena konsep kepenuhan manusia berada bila kita makin sampai pada tingkat primida atas yaitu untuk mencapai yang kuat, yang pandai, yang berbakat. Semua ini mengakibatkan kompetisi dan sikutsikutan. Secara tidak sadar ini membuat persaingan dan hukum rimba survival of the smartest (orang pintar yang akan bertahan hidup), survival of the strongest (orang kuat yang akan bertahan hidup) dan akhirnya mengakibatkan kita mengabaikan kasih dan nilai kemanusiaan sesama kita dan juga diri kita sendiri. Kita tidak bisa menerima keunikan dari setiap sesama kita tanpa memandang pintar bodoh, kuat lemah namun mengasihi dan menerima segala keberadaannya. Dengan paradigma dikotomi kuat lemah, pandai bodoh seperti ini kita akan terus menatap dan berfokus kepada tipe ideal dari manusia yang kuat, pandai dan berbakat dimana semua attribut ini dipandang sebagai manusia yang penuh. Sayang sekali sebetulnya pemahaman 26
paradigma ini adalah impersonal dan tidak manusiawi. Kategori yang lemah, cacat, kurang pandai dan kurang berbakat akan tersingkirkan dan menjadi marginal. Kasih tidak dimungkinkan dalam paradigma kuasa, kompetisi dan piramida seperti ini. Manusia di dalam kekuatannya, kuasa dan kehebatannya seringkali membuat jarak dengan manusia yang lain. Dan menariknya, sebaliknya manusia di dalam segala kerapuhannya dan segala kelemahannya membuat rasa kita berbagian di dalam kemanusiaan yang sama. Ketika dunia menuntut kita untuk menjadi kuat, kebal dan tidak rentan maka adalah panggilan bagi kita untuk kembali menyadari kemanusiaan kita yang rentan, rapuh dan saling bergantung. Perenungan saya terhadap kemanusiaan Yesus Kristus membuat saya mengerti bahwa Yesus Kristus yang adalah manusia sejati juga berbagian di dalam kelemahan dan kerentapan sebagai manusia seperti letih, lapar, haus, perlu tidur, menangis, dsb (walaupun secara unik, Dia tidak berdosa). Ini adalah manusiawi dan tidak perlu disangkal. Kelemahan dan kerapuhan itu perlu diterima dan dipeluk. Ketika kita ingin menjadi seseorang yang super kuat, kebal dan tidak rentan maka kita justru menjadi tidak manusiawi. Saya pernah bercerita di bagian sebelumnya bahwa ada saat ketika saya bertemu dengan banyak orang yang mengalami pergumulan sakit mental dan mereka mengeluh. Ada cerita satu seseorang yang saya sebut dengan nama Diana (bukan nama sebenarnya). Diana bergumul dengan penyakit Bipolar Disorder. Penyakit ini mendatangkan tragedi di dalam hidup Diana yang membuat dia cerai dengan pasangannya. Hal ini tentu sangat menyakitkan. Penyakit Bipolar Disorder ini membuat Diana harus mengkonsumsi obat-obatan psikiatrik. Penyakit dan efek samping dari obat-obatan membuat Diana menjadi tidak produktif dan juga banyak lemas. Diana sering mengeluh mengapa dia tidak berenergi dan sering mengantuk. Diana juga sulit bergumul di dalam menerima kenapa dia menjadi gemuk karena mengkonsumsi obat-obatan psikiatrik. Kekuatiran hidup dan kecukupan hidup seringkali juga menghantui Diana. Diana harus bergumul dengan mencukupi dirinya dan juga anaknya yang ikut dia. Pergumulan hidupnya tidak mudah. Banyak dari penderita sakit mental seperti Diana yang bergumul di dalam menerima keadaan mereka. Mereka sulit di dalam menerima diri mereka dan berdamai dengan diri mereka. Seringkali di dalam diri mereka ada konflik batin dan kegelisahan ketika berhadapan dengan kelemahan diri. Saya mengerti hal ini sebab saya juga demikian. Saya tidak menyepelekan 27
pergumulan dan penderitaan orang-orang seperti Diana. Saya sebagai penderita penyakit mental berada di dalam pergumulan yang ada miripnya dengan mereka. Adalah sulit untuk menerima realita bahwa kita lemah dan sakit. Tetapi ketika kita terus tidak terima dan hendak melawan kenyataan ini maka beban dan tekanan itu semakin besar. Ketika kita konflik di dalam diri kita maka ini membuat masalah semakin besar. Hidup kita menjadi tidak penuh dan tidak disyukuri. Tetapi justru aneh sekali yaitu ketika kita belajar untuk menerima dan berdamai dengan diri maka justru ada kekuatan besar untuk menghadapi kenyataan hidup. Kita perlu belajar bahwa kita lemah dan rapuh serta bergantung kepada anugerah Tuhan. Orang yang tidak dapat menerima keberadaan dirinya bahkan benci dirinya dapat mengakibatkan bunuh diri. Banyak penderita sakit mental yang tidak menerima diri dan berdamai dengan diri menyebabkan dia konflik dengan dirinya dan menghabisi nyawanya sendiri. Saya pernah mendengar bahwa seorang anak pendeta terkenal Rick Warren yang menulis buku Bestselling Purpose Driven Life. Anak dari beliau yang bernama Matthew Warren bergumul dengan Bipolar Disorder dan akhirnya hidupnya berakhir dengan bunuh diri. Saya tidak tahu persis bagaimana cerita dan pergumulan detilnya, hanya saya berpikir bahwa di dalam pergumulan saya sendiri dengan penyakit mental saya ini bukanlah hal yang mudah. Beberapa waktu kemudian saya juga mendengar seorang artis terkenal pemain film Patch Adams yang bernama Robins William. Beliau pun menderita Bipolar Disorder dan mati bunuh diri. Hal ini sungguh tragis. Ini adalah realita yang hidup yang menyakitkan ketika orang berada di dalam konflik dengan diri. Ketika kita merenungkan mengenai kehidupan. Kehidupan yang diberikan Tuhan adalah suatu anugerah. Kita harus menghargainya. Di dalam kehidupan yang warna-warni dengan sukaduka ini kita harus tetap mempunyai mata melihat bahwa banyak hal yang baik di dalam dunia ini. Banyak hal indah di dalam dunia ini. Mata kita jangan hanya terfokus kepada penderitaan dan tertutup pandangannya terhadap segala pengharapan. Kita harus belajar mempunyai pengharapan bahwa segala sesuatu mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Tuhan (Rom 8:28). Alkitab mengatakan bahwa Dia akan membuat segala sesuatu indah pada waktunya (Pengkotbah 3:11). Karena itu kita perlu berdamai dengan diri dan menerima segala kelemahan dan kerapuhan diri kita sebagai manusia.
28
Pengertian menghidupi hidup yang rentan dan rapuh adalah bukan berarti kita kompromi dengan dosa dan kesalahan kita. Tetapi ini lebih ke arah menerima segala kelemahan dan keberadaan diri kita yang Tuhan sudah berikan dimana ini adalah kelemahan yang manusiawi. Pengertian ini tersirat di dalam doa yang berbunyi demikian :
Allah berikanlah kepada saya ketenangan Untuk menerima hal-hal yang saya tidak dapat rubah Dan keberanian untuk merubah hal-hal yang dapat saya rubah Dan hikmat untuk membedakan keduanya
Di dalam doa ini kita meminta ketenangan. Yang dibutuhkan oleh kita adalah hati yang tenang sebelum kita berani merubah hal-hal yang dapat kita rubah dan hati yang tenang untuk menerima hal-hal dan segala kelemahan, kerentanan, kerapuhan dan kekurangan yang kita tidak dapat rubah. Inilah yang kita butuhkan. Menerima kelemahan kita bukanlah hal yang mudah. Ini adalah menyakitkan tetapi akan menyembuhkan kemudian. Dari pengalaman saya dengan bergumul dengan sakit mental, ada masa dimana saya benar-benar terbaring, tidak mengerjakan apa-apa dan tidak produktif menghasilkan sesuatu. Saya menjadi banyak istirahat dan tidur di ranjang. Obat penenang bekerja begitu kuat dan saya hanya tergeletak pasif di tempat tidur serta memandang ke langit-langit. Ada kalanya hal ini berlangsung secara berbulan-bulan. Bila kita mempunyai pandangan sempit bahwa manusia mempunyai makna kalau dia bekerja dan menghasilkan sesuatu maka mungkin saya merasa diri 29
saya tidak bermakna dalam kategori pemikiran seperti ini. Tetapi dari perspektif kemanusiaan yang rentan dan rapuh, saya percaya semua pengalaman ini ada maknanya. Ketika saya sedang berdiam dan berbaring di kamar tidur, saya menyadari bahwa saya tidak ada apa-apa. Saya lemah dan bergantung pada anugerah Tuhan. Saya bergantung pada medis yang diberikan pada saya. Saya bergantung pada makanan yang disiapkan untuk saya. Saya merasakan hidup saya lemah dan bergantung. Manusia modern mempunyai mitos merdeka independen dan otonomi dimana mereka bisa mengisi kebutuhan diri mereka sendiri. Tetapi kalau kita mau jujur. Ketika seseorang semenjak dari kandungan selama sembilan bulan sampai lahir harus berada dalam perawatan sang ibu. Ketika lahir harus terus dirawat oleh sang ibu sampai batita dan juga sampai balita. Masuk taman kanak-kanak seseorang harus dibiayai oleh orang tuanya dan perlu dalam bimbingan dan perhatian orang tuanya. Dari SD sampai SMA juga, seseorang masih bergantung kepada orang tuanya dalam hal sekolah dan kehidupannya. Nah mungkin kita bilang bahwa perihal bergantung adalah perihal anak-anak. Seseorang yang sudah dewasa tidak bergantung kepada orang lain. Seorang yang sudah dewasa bisa mencukupi kehidupannya sendiri dan otonomi. Tetapi justru menariknya Yesus Kristus berkata mengenai anak-anak yaitu : Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menyentuh mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Melihat hal itu, Yesus marah dan berkata kepada mereka, “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan halang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti inilah yang memiliki Kerajaan Allah. Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Siapa saja yang tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.” Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya di atas mereka ia memberkati mereka. (Mrk 10:13-16)
30
Tuhan Yesus mengatakan barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya. Seperti seorang anak bukan berarti kekanakkanakan tetapi mempunyai hati seperti anak yang percaya dan bergantung kepada orang tuanya. Dihadapan Allah kita seperti seorang anak yang bergantung kepadaNya. Dan di dalam relasi kita dengan sesama, kita juga saling bergantung satu sama lain. Ketika seseorang menjadi tua, maka dia akan menjadi seperti anak-anak kembali. Kebutuhan hidup, makan dan minum, medis, dll menjadi bergantung pada orang lain. Ketika seorang hendak menuju kematian, dia harus terbaring dan pasif bergantung pada kebaikan orang disekitarnya. Ini adalah natur manusia yang adalah saling bergantung dan rentan serta rapuh. Kita manusia sebenarnya adalah manusia yang miskin dan bergantung kepada anugerah Tuhan. Berbahagialah bila kita menyadari bahwa kita miskin dihadapan Allah dan kita memiliki kerajaan sorga. Kita bergantung seperti anak-anak dihadapan Tuhan. Seringkali sebagai manusia, kita mempunyai kekuatiran hidup yang besar. Kekuatiran ini meliputi mengenai apa yang akan kita makan dan apa yang hendak kita pakai. Seringkali kebutuhan hidup dihadapan kita terasa lebih nyata daripada keberadaan Tuhan. Seringkali kita secara tidak sadar dan berpandangan bahwa memang Tuhan menciptakan kita tetapi soal 31
memelihara kehidupan kita, Dia jauh dari kita. Padahal sebenarnya, Tuhan itu dekat dengan kita dan menyertai kita. Tuhan Yesus, Anak Allah yang menjadi manusia dan mengerti kesulitan manusia memberikan nasihat kepada murid-muridNya supaya mereka tidak kuatir dalam hidup.
“Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian ? Pandanglah burung-burung di langit yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? Siapakah yang diantara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya ? … (Matius 6:25-27) Tuhan Yesus Kristus memberikan jalan kepada kita di dalam hal kekuatiran. Dia berjanji bahwa barangsiapa mencari kerajaan Allah dan kebenaranNya maka semuanya itu akan ditambahkan kepada kita (Matius 6:33). Janji ini artinya adalah bahwa dengan menjalani panggilan hidup kita di dalam kerajaan Allah di dunia ini maka Tuhan akan memelihara kehidupan kita. Arti dari pemahaman ini juga adalah bahwa dunia ini bukan ada di dalam sistem tertutup dimana Allah tidak intervensi. Allah selalu terlibat di dalam pemeliharaanNya di dalam dunia ini dan terhadap anak-anakNya. Allah menyertai umatNya dan tidak meningglkan mereka. Kitab Ibrani memberikan nasihat : Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibrani 13:5) 32
Kembali kepada pengalaman saya di dalam bergumul dengan sakit mental, yaitu ketika saya harus terbaring dan hanya bergantung pada anugerah Tuhan. Hal-hal ini membuat saya merenungkan makna hidup. Saya makin menyadari atau lebih tepat disadarkaan bahwa makna hidup bukan dinilai dengan apa yang dihasilkan dan dikerjakan kita (what we do or act) tetapi makna hidup kita adalah keberadaan diri kita yang dikasihi Tuhan (who am I as beloved one) dan apa yang Kristus Yesus kerjakan bagi kita (what Jesus Christ has done for us). Awalnya saya sangat gelisah ketika saya menilai diri saya dengan apa yang saya kerjakan atau hasilkan. Identitas diri saya menjadi ditentukan oleh apa yang saya kerjakan dan apa yang saya hasilkan misalnya pekerjaan saya dan uang yang saya hasilkan. Saya menjadi gelisah kalau tidak menjadi manusia ideal seperti tipe orang modern yaitu yang produktif, efisien, banyak menghasilkan dan kuat. Sebenarnya tipe ideal manusia seperti ini adalah melihat analogi dari robot yang produktif dan efisien. Hanya anugerah Tuhan membuat saya mulai bisa menerima realita bahwa ketika tidak mengerjakan apa-apa dan berdiam diri dihadapan Tuhan itu bukan sesuatu yang sia-sia. Diam diri dan menyadari bahwa saya diterima dan dikasihi Tuhan. Berdiam diri dan mengakui bahwa Dia adalah penguasa hidup saya. Dari posisi menerima keberadaan diri, berdamai dengan diri dan tenang dihadapan Tuhan membuat saya mendengar boleh SuaraNya dan diberikan kekuatan untuk mengerjakan apa yang Dia minta saya kerjakan. Saya kembali menyadari bahwa saya seorang yang diberkati dimana saya boleh dibawa ke dalam suasana teduh untuk diam, tenang dan mendengar SuaraNya. Dan buku ini adalah hasil dari perenungan saya di saat itu. Saya bersyukur kepada Tuhan Allah bahwa melalui pengalaman bergumul dengan penyakit mental selama 17 tahun ini membuat saya menyadari bahwa panggilan saya adalah untuk kembali menghidupi kemanusiaan saya yang rentan dan rapuh dalam anugerahNya, untuk mendengar suaraNya di dalam keheningan dan menjalani tanggung jawab yang diberikanNya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan takaran yang Tuhan sudah atur. Ada kalanya ketika saya lebih sehat dan mampu lebih beraktifitas, saya diberikan tanggung jawab yang lebih. Namun ada kalanya ketika saya sedang lemah, saya percaya bahwa pada saat itu saya beralih tenang berdiam dan bersandar kepada Tuhan yang masih dan selalu mengatur alam semesta ini. Anugerah Tuhan memampukan saya melewati banyak lembah bayang-bayang maut dan kegelapan di dalam pergumulan sakit mental. Anugerah Tuhan juga memberikan kekuatan saya 33
menyelesaikan kuliah teologi saya di tahun 2014 dimana perjalanan sekolah teologi ini adalah perjalanan panjang yang sudah saya gumuli sejak tahun 1998. Anugerah yang sama di masa lampau ini menjadi dasar kepercayaan bahwa di masa depan juga akan ada anugerah yang terus menyertai saya beserta keluarga saya. Tutup kata saya hanya mengucap syukur buat kehidupan indah yang Tuhan sudah karuniakan dengan segala keberadaannya. Terima kasih Tuhan Yesus. Amin
34
Penulis
Jeffrey Lim, B.Comp, M.C.S Seorang yang bergumul dengan penyakit mental sejak tahun 1998. Beliau bergumul di dalam menghadapi penyakit mental dan belajar memeluk rasa sakit ini dan merayakan kehidupan sebagai anugerah dari Tuhan. Beliau lulus Sarjana Komputer dengan gelar Bachelor of Computing di University of Technology, Sydney. Dan pada tahun 2014, lulus dari Sekolah Tinggi Teologi Reformed Injili Internasional dengan gelar M.C.S (Master of Christian Studies) dengan thesis yang berjudul “Sejarah Perkembangan Doktrin Trinitas dari Pemikiran Bapa-bapa Gereja Awal sampai Konsili Chalcedon”.
35