MEMBANGUN KULTUR INFORMASI DAN KOMUNIKASI: STUDI KASUS PEMBANGUNAN TELECENTER DI PERDESAAN Ir. Agung Hardjono, MSEM, MSIS,
[email protected] Dinar Pandan Sari,
[email protected] Partnerships for e-Prosperity for the Poor (Pe-PP), Bappenas, Jl. Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat 10310 ABSTRAK Semakin disadari kini bahwa upaya mengkoneksikan desa tertinggal di Indonesia bukan hanya sebatas meletakkan infrastruktur informasi dan komunikasi di suatu tempat. Namun, lebih jauh lagi, upaya ini menyangkut persoalan mengembangkan budaya baru dalam memperoleh informasi dan berkomunikasi serta mengembangkan kapasitas masyarakat desa dalam memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai bagaimana memanfaatkan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) ini. Tanpa itu, menyambungkan desa terisolir dengan layanan akses internet atau TIK lainnya hanyalah upaya yang sia-sia tanpa keberlanjutan dan tidak akan membawa hasil yang diharapkan, yaitu peningkatan kesejahteraan.
1.
PENDAHULUAN
1.1. Gambaran Umum Saat ini di Indonesia melalui program Universal Service Obligation (USO), lebih dari 5000 desa tertinggal dan terisolasi telah diupayakan untuk tersambung dengan layanan voice telepon. Selanjutnya dalam 10 tahun ke depan Indonesia menargetkan untuk menyambungkan 50% dari desa tertinggalnya dengan layanan akses internet atau TIK lainnya. Suatu target yang ambisius. Mengapa? Karena yang perlu diupayakan kini adalah suatu keseimbangan antara pendekatan teknologi dan sosio ekonomisnya. Pemasangan infrastruktur komunikasi dan informasi adalah mudah, namun membangkitkan kesadaran dan pemanfaatan secara tepat dan benar untuk menjaga keberlangsungannya adalah hal yang tidak mudah. Seringkali pelaksana proyek sejenis terjebak pada asumsi bahwa menyediakan akses informasi dan komunikasi adalah tujuan akhir. Hal ini mengakibatkan banyaknya program pembangunan infrastruktur TIK yang dilaksanakan tidak berujung pada pembangunan komunitas perdesaan. Sebagian dari program seperti ini ada yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu di komunitas tersebut karena tidak diarahkan pada target group yang tepat, yaitu masyarakat miskinnya. Sebagian yang lain membawa dampak pembangunan yang sangat lama. Bahkan ada beberapa proyek yang kemudian tidak berkelanjutan dan masyarakatnya tidak merasakan manfaat dari kegiatan yang dijalankan.
Upaya untuk memperluas konektivitas dan menembus keterisolasian masyarakat terpencil sebenarnya baru merupakan satu langkah awal. Pada saat yang bersamaan diperlukan juga penyiapan kondisi komunitas agar siap memanfaatkan alternatif baru dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi ini. Masalah-masalah di komunitas dan potensinya harus dapat diidentifikasi dengan tepat, sehingga kemudian infrastruktur TIK beserta programnya yang diletakkan di suatu daerah dapat menemukan konteksnya dan memberikan manfaat langsung pada masyarakat penggunanya. Hal ini semakin dipertegas dalam forum World Summit on Information Society (WSIS) di Tunisia, 16-18 November 2005 lalu. Dimana para pimpinan dunia dari 174 negara telah menandatangani Kesepakatan untuk membangun Masyarakat Informasi (Information Society) yang berpusat kepada manusia (people-centered) bukan pada teknologinya, melibatkan semua pihak termasuk mereka yang miskin (inclusive), dan berorientasi pada pembangunan (development oriented). Para pimpinan pemerintahan tersebut telah menyadari bahwa pembangunan infrastruktur TIK saja (standalone) tidaklah cukup. 1.2 Proyek Partnerships for e-Prosperity for the Poor (Pe-PP) Partnerships for e-Prosperity for the Poor (Pe-PP Proyek Percontohan Mengurangi Kemiskinan Dengan Memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi), yang saat ini sedang dilaksanakan oleh Bappenas dengan menggunakan dana hibah dari
Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia 3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung
418
UNDP, telah mengadopsi prinsip-prinsip Tunisia dalam implementasinya. Pe-PP telah menitik beratkan pendekatannya kepada pembangunan masyarakat informasi yang bersifat bottom-up, yaitu berakar pada kebutuhan masyarakat (demand driven). Selain mendirikan telecenter1 yang merupakan akses TIK bersama untuk masyarakat desa, Pe-PP juga melakukan pendampingan intensif selama satu tahun kepada kelompok-kelompok masyarakat desa agar mereka dapat membangun kultur informasi dan komunikasi serta menjadi kelompok-kelompok belajar mandiri yang terus menerus meningkatkan kapasitas dirinya. Pendampingan kepada masyarakat perdesaan dan kelompok miskin seperti ini merupakan proses yang berwawasan jangka panjang. Karena dengan pendampingan ini maka layanan dan informasi yang diberikan telecenter adalah yang memang benarbenar dibutuhkan masyarakat. Telecenter percontohan yang didirikan Pe-PP telah memfasilitasi kelompok-kelompok masyarakat dalam membangun kultur informasi dan komunikasi dari dalam. Dalam proses ini terdapat unsur pemahaman atas kondisi saat ini, pengenalan atas faktor-faktor penunjang, dan pengidentifikasian atas apa yang dikehendaki atau apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang. Pe-PP melakukannya melalui kegiatan yang dinamakan infomobilisation, yaitu kegiatan pendampingan untuk meningkatkan pemahaman akan pentingnya informasi dan komunikasi dalam meningkatkan kesejahteraannya. Mereka difasilitasi untuk mengidentifikasi kebutuhan informasi dan komunikasinya, serta diberdayakan agar dapat mengakses informasi dan berkomunikasi melalui telecenter. Saat ini di bawah program Pe-PP, lima telecenter telah berdiri di Pulau Jawa dan Sulawesi, yaitu di Desa Pabelan, Magelang, Jawa Tengah (Mei 2004), di Desa Muneng, Madiun, Jawa Timur (Mei 2005) dan di Desa Kertosari, Lumajang, Jawa Timur (Mei
2005), di Lapulu, Sulawesi Tenggara (Maret 2006), dan di desa Tuladenggi, Gorontalo (April 2006). Khusus untuk Telecenter di Jawa Timur, satu lokasi merupakan replikasi dari model Pe-PP yang dibiayai sepenuhnya oleh APBD, Jatim. Rencananya tahun anggaran 2006 akan didirikan lagi, paling tidak, 4 telecenter baru di Jatim dengan biaya APBD. Desa di mana telecenter-telecenter itu berada telah berhasil meningkatkan produksi pertanian dan peternakannya karena dapat memperoleh informasi teknis dari lembaga-lembaga riset melalui internet. Mereka juga berhasil mempromosikan produkproduk desa melalui internet, sehingga produkproduk tersebut, yang sebelumnnya hanya dijual di pasar setempat, sekarang sudah mulai dipasarkan ke beberapa daerah lain yang jauh dan bahkan antar pulau. Keberadaan telecenter juga telah memacu penduduk usia sekolah untuk belajar sesuatu yang sebelumnya hanya bisa diperoleh di kota-kota besar. Seorang santri di desa Pabelan, Jawa Tengah telah berhasil menjadi juara II dalam kompetisi yang diselenggarakan oleh perusahaan software international Microsoft tanpa harus meninggalkan desanya. Satu buah telecenter lagi di Sulawesi sedang dalam proses pembangunan, yaitu di Desa Salubomba, Sulawesi Tengah. Sementara satu buah telecenter di Papua rencananya akan didirikan pada pertengahan tahun kedua 2006. Telecenter-telecenter yang didirikan di bawah program Pe-PP ini adalah telecenter percontohan. Harapannya adalah agar model-model telecenter ini dapat direplikasi oleh pihak-pihak lain, seperti misalnya apa yang sekarang sedang dilakukan oleh Provinsi Jawa Timur. Luaran-luaran dari proyek PePP ini nantinya akan dibukukan untuk menjadi referensi dan bahan pembelajaran bagi yang lainnya, dan tujuan jangka panjangnya adalah untuk diadopsi menjadi kebijakan nasional. 2.
MEMBANGUN KULTUR INFORMASI DAN KOMUNIKASI
1
Telecenter merupakan tempat mengakses informasi, berkomunikasi dan mengakses layanan sosial dan ekonomi dengan menggunakan sarana teknologi informasi dan komunikasi berupa komputer dan sambungan ke internet. Secara fisik telecenter ini terlihat seperti Warnet (Warung Internet) namun perbedaannya yang mendasar adalah bahwa telecenter tidak sekedar fasilitas untuk mengakses komputer dan internet melainkan media untuk kegiatan pengembangan masyarakat desa. Telecenter akan memfasilitasi kelompok-kelompok masyarakat dalam membangun kultur informasi dan komunikasi dan menjadi media yang mendorong berkembangnya dinamika interaksi masyarakat dalam semua aspek kehidupannya.
2.1. Infomobilisation Telecenter dikatakan berhasil dalam pengembangan masyarakat bila ia dapat memfasilitasi interaksi masyarakat dalam semua aspek kehidupannya (ipoleksosbudhankam). Dengan kata lain, sebuah kultur informasi dan komunikasi tercipta dan menjadi bagian dari masyarakat dimana mereka secara sadar dan sukarela
Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia 3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung
419
memanfaatkan sarana dan prasarana telecenter untuk membangun komunitasnya.
dikembangkan oleh suatu lembaga pengembangan masyarakat (Suhardi, 2005).
Pembangunan kultur informasi dan komunikasi merupakan suatu proses yang panjang. Pe-PP melakukannya melalui kegiatan yang dinamakan infomobilisation. Infomobilisation merupakan salah satu kegiatan utama telecenter (Project Document PePP, 2004).
Secara metodologi, proses ini merupakan upaya dalam memastikan implementasi telecenter di lapangan bersifat bottom-up dan partisipatif. Hal ini sangat penting karena tidak dapat dipungkiri bahwa inisiatif-inisitiatif sejenis (termasuk pula Pe-PP) sebenarnya sangat bersifat top-down dalam pendekatan awalnya (Suhardi, 2005 dan Sutia’ah, 2005).
Seorang Pendamping Lapangan ditugaskan di setiap lokasi telecenter untuk memfasilitasi kegiatan infomobilisation selama satu tahun penuh. Siklus kegiatan masyarakat yang difasilitasi oleh kegiatan infomobilisation tergambarkan melalui diagram di bawah ini:
Memahami kondisi sekarang, tujuan, dan faktor pendukung
Evaluasi
Merencanakan kegiatan
“Keberadaan telecenter (infrakstruktur TIK) pada awalnya dianggap sesuatu yang tiba-tiba ada atau turun dari langit, karena masyarakat tidak merasa membutuhkan tidak pernah ada usulan ataupun bayangan jika masyarakat di desa yang bersangkutan akan berhubungan dengan internet dan berbagai media pendukungnya, secara otomatis reaksi pro dan kontra dari masyarakat pasti muncul.“(Sutia’ah, 2005) Dengan latar belakang situasi seperti inilah, maka sesungguhnya semakin penting bagi setiap proyek infrastruktur TIK untuk merancang dan mengembangkan kondisi yang kondusif untuk berkembangnya budaya partisipasi. TIK harus dapat menemukan konteksnya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Melaksanak an kegiatan dengan fasilitas telecenter
GAMBAR 2.1 SIKLUS KEGIATAN MASYARAKAT YANG AKAN DIFASILITASI MELALUI KEGIATAN INFOMOBILISATION
Kegiatan infomobilisation ini menjadikan masyarakat sebagai subjek dan bukan objek. Melalui kegiatan infomobilisation masyarakat sendiri yang mengidentifikasi masalah dan potensi yang mereka hadapi, merencanakan kegiatan-kegiatan dan melaksanakannya dengan difasilitasi oleh Pendamping Lapangan. Proses seperti ini diharapkan dapat “....mengalihkan proses dan ketrampilan metodologi (infomobilisation) kepada masyarakat sehingga mereka mampu menjadi pelaku dalam proses pemecahan masalah mereka sendiri dan bukan sekedar konsumen pemecahan masalah yang
Dari sisi metodologi, proses infomobilisation dalam pembangunan telecenter Pe-PP menggunakan berbagai pendekatan, seperti PRA (Participatory Rural Appraisal) dengan menggunakan alat bantu seperti Diagram Venn, Peta Desa, Daily Routine dan Kalender Musim, Diagram Alur, dsb. Sebagai tambahannya, digunakan pula metodologi EAR (Ethnographic Action Research), yaitu suatu metode partisipatif yang secara harfiah menggabungkan dua pendekatan riset, yaitu pendekatan ethnografis (pemahaman atas kultur, karakteristik dan dinamika masyarakat setempat) serta action (bagaimana menerapkan temuan yang diperoleh di lapangan untuk kemudian menjadi suatu usulan kegiatan atau aktivitas pemberdayaan masyarakat) (Jo Tacchi, Don Slater, and Greg Hearn, 2003). 2.2. Target Infomobilisation Idealnya infomobilisation dilakukan menjangkau semua lapisan masyarakat di suatu komunitas perdesaan. Satuan unit yang didampingi adalah kelompok-kelompok masyarakatnya, seperti
Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia 3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung
420
kelompok petani, kelompok ibu-ibu PKK, kelompok anak muda, kelompok manula, dsb. Namun demikian infomobilisation terutama harus dapat menjangkau lapisan masyarakat yang terpinggirkan, seperti masyarakat miskin, perempuan, cacat, dsb. Karena kelompok masyarakat inilah yang sebenarnya seringkali tidak merasakan manfaat pembangunan. 2.3. Mengenal Desa Sendiri (MDS) Dalam kegiatan infomobilisation, salah satu komponen penting yang merupakan kegiatan awal dan menentukan perencanaan kegiatan selanjutnya adalah kegiatan Mengenal Desa Sendiri (MDS). MDS adalah pemetaan kondisi sekarang, tujuan, dan faktor pendukung. MDS merupakan serangkaian kegiatan yang perlu dilakukan oleh kelompokkelompok masyarakat sebagai landasan perencanaan kegiatan-kegiatan masyarakat yang demand-driven dengan memanfaatkan sarana telecenter. Kelompokkelompok masyarakat di desa difasilitasi untuk melakukan kegiatan MDS ini oleh Pendamping Lapangan. Hasil dari MDS tersebut menggambarkan dinamika interaksi masyarakat desa secara menyeluruh seperti digambarkan berikut. Masalah, Kebutuhan, Potensi
•
•
Semua hasil kegiatan kelompok ini pada akhirnya menggambarkan Dinamika Interaksi Masyarakat Desa antar individu, kelompok masyarakat dan lingkungannya mengenai semua aspek kehidupan mereka. Hasil tersebut juga menggambarkan penggunaan berbagai media oleh masyarakat desa baik media tradisional (perkumpulan arisan, pengajian, RT, kelompok tani, pemuda; layar tancap; papan pengumuman; koran; dll.) maupun elektronik (TV, radio, telepon, HP, komputer, internet, dll.). Peta dinamika interaksi masyarakat desa ini sering disebut dengan “Ekologi Komunikasi.” Proses MDS dalam proyek Pe-PP dilakukan selama kurang lebih 2 bulan penuh. Ekologi Komunikai yang dihasilkan oleh kegiatan MDS oleh kelompokkelompok masyarakat ini akan menjadi landasan dalam pembangunan layanan dan informasi oleh telecenter. Hal ini pada gilirannya membuat pembangunan layanan dan informasi di telecenter dapat dilakukan dengan proses bottom-up alias berdasarkan demand-driven sehingga menghasilkan kegiatan-kegiatan masyarakat yang benar-benar dibutuhkan 3.
Interaksi Sosial Kelompok Masyarakat
MEMBANGUN TELECENTER PERCONTOHAN: STUDI KASUS TELECENTER E-PABELAN, DESA PABELAN, MAGELANG
3.1. Pembentukan dan Penguatan Kelompok Belajar Mandiri Desa (KBMD)
Komunikasi
Media
Bagaimana interaksi antar kelompok masyarakat terjadi? Bagaimana pola interaksinya? Bagaimana alur informasi dan komunikasi berjalan? Media komunikasi apa yang digunakan untuk berinteraksi?
Komunikasi: - Data - Informasi -Pengetahuan
GAMBAR 2.3 PETA DINAMIKA INTERAKSI MASYARAKAT DESA
Beberapa pertanyaan kunci dalam MDS adalah: • Apa saja permasalahan, kebutuhan dan potensi yang ada? Bagaimana masyarakat menyelesaikan permasalahan itu saat ini? Siapa saja dan apa sumber-sumber informasi serta konsumen informasi di desa ? • Kelompok masyarakat apa saja yang ada di desa tersebut? Bagaimana dengan kelompok miskin?
Di desa Pabelan, pemetaan masalah dan potensi masing-masing dukuh dilakukan melalui Kelompok Belajar Mandiri (KBMD). KBMD ini adalah kelompok masyarakat bentukan dari kegiatan MDS. KBMD dibentuk pada awal kegiatan MDS. Secara intensif, kelompok-kelompok belajar mandiri ini didampingi oleh Pendamping Lapangan, agar mereka dapat membangun kultur informasi dan komunikasi dan terus menerus meningkatkan kapasitas dirinya. Di Pabelan kini telah ada 10 KBMD. Penguatan KBMD dilakukan melalui pendampingan rutin di setiap pertemuan kelompok, di antaranya adalah penguatan organisasi. Di dalam KBMD juga telah
Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia 3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung
421
dilakukan strategi pemupukan modal untuk mengurangi ketergantungan terhadap bantuan langsung terutama dalam bentuk uang. Sampai saat ini KBMD terus berjalan rutin melalui pertemuan-pertemuan antara anggotanya. Anggota KBMD telah merasakan manfaat langsung dari kelompoknya sehingga dengan sukarela dan penuh kesadaran terus menggulirkan aktivitas kelompok. Telah tumbuh dan berkembang rasa memiliki terhadap KBMD bentukan MDS ini. Di dalam KBMD masing-masing, tiap kelompok memetakan masalah dan potensinya dengan berbagai teknik PRA yang difasilitasi oleh pendamping lapangan mereka. Bersama-sama kemudian mereka melakukan perencanaan kegiatan dan melaksanakannya. Salah satu kegiatan riil yang saat ini sedang dilakukan oleh salah satu KBMD adalah kegiatan Penelitian oleh Petani (PoP) Penggunaan Pupuk Organik dan Pestisida Organik terhadap Tanaman Semangka. Petani sebelumnya ini sangat tergantung pada penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia buatan pabrik, padahal harga sarana pertanian tersebut sangat tinggi sehingga terkadang tidak sesuai dengan hasil panen yang didapat. Oleh karena itu maka dalam penelitian oleh petani dilakukan budidaya tanaman semangka dengan penggunaan pupuk organik yang murah dan mudah didapat, sedangkan penanggulangan hama dan penyakitnya dengan menggunakan pestisida alami yang dapat dibuat sendiri oleh petani. Diharapkan perlakuan ini dapat menjadikan petani mandiri, menjadi manajer di lahannya sendiri dan mengurangi bahkan merubah wacana dan pola pikir di tingkat petani akan ketergantungan dengan pihak luar yang sangat besar. Produksi yang dihasilkannya pun diharapkan merupakan hasil produk organik yang relatif aman untuk dikonsumsi dan mempunyai nilai jual yang lebih. Dari hasil MDS yang sudah dilakukan di desa Pabelan menunjukkan bahwa menanam semangka relatif mudah dan cocok dilakukan serta mempunyai harga jual yang baik. Permasalahan yang ada diantaranya adalah biaya produksi yang mahal tidak sebanding dengan panen yang dihasilkan, kebiasaan dan ketergantungan menggunakan pupuk kimia dan pestisida yang telah mengakar di tingkat petani membuat petani kurang yakin dengan apa yang akan dilakukannya, apabila meninggalkan kebiasaan tersebut. Sehingga untuk menjawab dan membuktikannya perlu dilakukan penelitian dan uji
coba sederhana yang akan dilakukan di tingkat petani sendiri. Informasi untuk mendukung petani dalam melakukan penelitian ini banyak diperoleh di telecenter. Saat ini, masing-masing KBMD secara bergiliran diundang dan didampingi untuk datang langsung ke telecenter dan membiasakan menggunakan fasilitas telecenter. Para KBMD ini kini bahkan sudah memiliki mailing list kelompok. Hasil kegiatan PoP pun yang saat ini dicatat secara rutin pun turut menjadi dokumentasi telecenter ePabelan dan bagian dari koleksi konten lokal desa Pabelan. 4.
KESIMPULAN
Dalam pendekatan-pendekatannya Pe-PP berupaya memperlihatkan bahwa pemanfaatan TIK untuk peningkatan kesejahteraan (dalam hal ini melalui pembangunan telecenter di perdesaan) sangat relevan, sepanjang telecenter tersebut dapat menemukan konteksnya di tengah-tengah masyarakat. Konteks yang tepat inilah yang perlu diciptakan dan dikembangkan melalui pembangunan kultur informasi dan komunikasi masyarakat perdesaan. Berbagai contoh di berbagai negara menunjukkan bahwa TIK memiliki potensi yang besar untuk pengentasan kemiskinan. Tantangannya adalah bagaimana menstrategikan pemanfaatan TIK yang juga menjawab faktor-faktor perubahan mindset, komitmen politik dan keberlanjutan. Makalah ini berusaha menunjukkan bahwa pembangunan telecenter untuk penanggulangan kemiskinan harus dilihat sebagai bagian dari suatu perubahan budaya komunitas yang jauh lebih kompleks dari sekedar penyediaan akses semata. 5.
REFERENSI
[1] Bappenas-UNDP, “Partnerships for e-Prosperity for the Poor (Pe-PP) Project Document”, 2004 [2] Suhardi, “Laporan Hasil Survey Kampung Sendiri (SKS) di Desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah”, Magelang, 2005. [3] Sutia’ah, “Laporan Hasil Kajian Ekologi Komunikasi Masyarakat Desa Kertosari, Kecamatan Pasrujamber, Kab. Lumajang”, Lumajang, 2005. [4] Jo Tacchi, Don Slater, and Greg Hearn, “Ethnographic Action Research: A user’s handbook developed to innovate and research ICT applications for poverty eradication”, UNESCO 2003.
Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia 3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung
422
Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia 3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung
423