MEMBANGUN KEPEDULIAN SISTEM MANAJEMEN PERUSAHAAN ”EXCELLENT BEHAVIOUR”
Membangun kepedulian (Awareness) dibagi menjadi dua bagian. Pertama membangun kepedulian terhadap mutu-keselamatan kesehatan kerja-lingkungan serta membangun kepedulian terhadap sistem manajemen. Kajian terbentuknya kepedulian berangkat dari ”individual character” yang diharapkan mempunyai perilaku pada tingkat ”Perilaku Unggul” (Excellent Behavior). Sangat menarik bila kita melihat dari sudut pandang personal karakter, mengingat setiap individu mempunyai ”basic character” yang beragam. Inipun menjadi perhatian dalam pengembangan sistem manajemen perusahaan yang sudah mengkaji bahwa sumber daya manusia menjadi asset perusahaan dengan mengedepankan Peran, Tanggung Jawab dan Wewenang dalam pengelolaan sistem di perusahaan. Beberapa pakar sumber daya manusia sudah mempopulerkan ”Brainware Management” dalam mengelola sumber daya manusianya. Aset ini menjadi sangat signifikan mengingat pola bisnis global yang menuntut profesionalisme yang handal dari setiap sumber daya manusia terkait di perusahaan. Namun seberapa jauh respon yang segera ditindaklanjuti berkenaan dengan tuntutan ini, masih menjadi dilema bagi banyak perusahaan yang menjadikan karyawan belum sebagai sumber daya strategis dalam mengelola roda bisnis perusahaannya. Bagi banyak perusahaan yang belum mengedepankan sumber daya manusia sebagai aset signifikan perusahaan, maka sebagai katalis akselerasi pembentukan ”Perilaku Unggul” tergantung pada diri kita sendiri. Perusahaan sebagai Fasilitator Pembentukan ”Perilaku Unggul” Bila suatu perusahaan akan membentuk karyawan yang mempunyai integritas, loyalitas, motivasi, profesional dan banyak lagi sesuai visi perusahaan bersangkutan, maka beberapa hal yang dijadikan acuan akan sangat membantu sebagai berikut ini. 1. Terpenuhinya Human Needs. Pada dasarnya manusia mempunyai kebutuhan mendasar dalam menjalani kehidupan sehari hari yang ideal. Pembagian kebutuhan ini kita sebut ”Human Needs” yang konon memegang peranan penting dalam membentuk perilaku unggul seorang karyawan. a. Primary Human Needs (Fisiological Needs) Kebutuhan primer manusia mencakup kebutuhan terpenuhinya sandang, pangan dan papan. b. Secondary Human Needs (Psychological Needs) Kebutuhan sekunder manusia mencakup rasa selamat, aman dan nyaman. Perasaan selamat muncul bila ia sudah mendapatkan perlindungan dari sekitarnya yang memadai tanpa kekhawatiran terjadinya incident dan
halaman 1 dari 9
accident. Perasaan aman muncul bila ia sudah mendapatkan perlindungan terhadap criminal, gangguan fisik dan psikis. Perasaan nyaman muncul bila ia sudah mampu menyalurkan hobi, penyegaran jiwa dan raga serta interaksi dengan sesama komunitas. c. Tertiary Human Needs (Psychological Needs) Kebutuhan tersier manusia mencakup aktualisasi diri, penghargaan diri dan pemenuhan kebutuhan akan jabatan atau strata. Bila ”Human Needs” terpenuhi, maka kecenderungan manusia untuk mengeksplorasi kemampuan diri dengan lebih optimal. Energi internal yang ada akan terfokus pada peningkatan keahlian, kemampuan dan pemberdayaan sumber daya yang ada. ”Reward, Recognition dan Punishment” yang diterapkan suatu perusahaan akan cenderung terpenuhi karena ketergantungan karyawan pada pemenuhan kebutuhan yang tinggi. Seorang karyawan merasa khawatir akan kehilangan posisi, jabatan atau status sosialnya bila ia tidak mentaati seluruh ketentuan yang sudah ditetapkan perusahaan bersangkutan. Kondisi ini sangat menguntungkan perusahaan bila akan menerapkan suatu misi strategis yang memerlukan integritas, loyalitas, dorongan motivasi yang kuat dalam menggulirkan rencana kerja. Hampir 75% energi positif yang berasal dari internal diri karyawan sudah mencerminkan keberhasilan pencapaian. 2. Terpenuhinya Komitmen Top Manajemen Suatu perusahaan membutuhkan komitmen yang kuat dari Top Manajemen. Pola ”Top Down Leadership” yang diterapkan pimpinan puncak perusahaan sangat membantu terhadap akselerasi pembentukan budaya kerja karyawan. Fakta di lapangan, komitmen ini berpotensi inkonsistensi dalam tindak lanjut berkesinambungan. Banyak sekali Top Manajemen adalah ”Pimpinan” perusahaan bukan ”Pemimpin” perusahaan. ”Pimpinan” berasal dari penunjukkan perusahaan terhadap seseorang yang dianggap mampu menjalankan roda bisnis perusahaan. Tapi, ”Pemimpin” berasal dari pengakuan lingkungan sekitar yang mengedepankan kemampuan individu dalam mengayomi, mengelola, mengarahkan dan membina lingkungannya. Seorang pemimpin yang baik akan mampu menelurkan banyak pemimpin, sehingga orang yang ada dibawah bimbingannya minimal bisa mengaktualisasikan dalam memimpin diri sendiri (Self Leadership Building). Bila “Self Leadership” sudah terbangun maka iklim yang terbentuk adalah ”Team Leadership”. Selanjutnya tanpa disadari iklim yang yang ada cenderung membentuk “Organizational Leadership”. Kondisi ini yang diharapkan terbina dalam menggulirkan “Top Down Leadership” yang berasal dari kuatnya komitmen manajemen puncak. Komitmen Top Manajemen ini memegang peranan penting bagi peningkatan motivasi manajemen lini tengah dalam mengelola program
halaman 2 dari 9
yang akan ditindaklanjuti. Individu sebagai Fasilitator Pembentukan “Perilaku Unggul “ (Managing Soft Skill) Mengelola Soft Skill (Keahlian Soft) menjadi kunci utama sebagai pembentuk ”Perilaku Unggul” individu. Pada kenyataannya, sebaik apapun sistem manajemen yang diterapkan perusahaan akan banyak menghadapi kendala karena belum terbentuknya ”sense of belonging” (rasa memiliki) dari masing masing individu didalamnya. Output kepedulian (Awareness) yang diharapkan oleh manajemen tidak pernah ditemui dengan optimal. Kesibukan dan rutinitas kerja membelenggu setiap karyawan dalam memenuhi KPI yang ditetapkan terkait proses terkait saja. Berawal dari permasalahan ini, berbagai metoda yang dikembangkan sama sekali tidak mumpuni. Apa yang harus dilakukan oleh manajemen ? Pada dasarnya manusia mampu mengelola potensi dirinya secara alamiah. Namun, sumber yang harus digali masih belum dipahami dengan tepat. Kita sebagai individu yang notabene adalah karyawan di suatu perusahaan menjadi kunci utama. Iklim kerja yang terbentuk di dalam suatu lingkungan kerja mencerminkan energi yang dipancarkan dari setiap induvidu dalam berienteraksi antar sesamanya. Untuk membentuk “Excellent Behavior” (Perilaku Unggul) dalam diri kita berawal dari niat kita dalam menjalani proses hidup. Problematik sekitar kita harus mampu disiasati dengan optimal agar output diri yang diharapkan memancarkan energi positif. Dalam mengelola potensi diri perlu dikembangkan metoda yang tepat dalam “Managing Individual Soft Skill” melalui pengelolaan kemampuan intelektual, emosional dan spiritual yang terintegrasi. Harmonisasi ketiganya menjadi kata kunci dalam menumbuhkan ”spirit of life” yang proporsional. 1. Intelectual Soft Skill Kemampuan intektual setiap individu dibangun sejak kita mengenyam pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Kemampuan analisa, berpikir praktis, rasional, ”problem solving”, knowledge, science dan keterkaitannya dengan penggunaan pikiran adalah output yang diharapkan. Hasil yang ingin dicapai adalah bila implementasi pengelolaan pekerjaan kita berada pada posisi ”High Performance Management Achievement”. Beberapa kelompok masyarakat memandang kemampuan intektual itu datang dengan sendirinya melalui aktualisasi yang bersangkutan dalam analisa logika. Kenyataannya bahwa knowledge itu harus ditingkatkan melalui pendidikan baik formal maupun informal. Kesimpulan sementara bahwa kita harus selalu mengasah kemampuan intektual dalam upaya membangun analisa logika yang proporsional. 2. Emotional Soft Skill Kemampuan emosional setiap individu juga memegang peranan sangat penting. Beberapa pakar manajemen mengemukakan bahwa bila
halaman 3 dari 9
kita terlalu mengedepankan kemampuan intelektual, maka tingkat keberhasilannya maksimal 20% saja untuk mencapai jenjang kesuksesan dalam membina jenjang karir atau peluang usaha. Intinya ada kemampuan lain yang harus dibangun terkait pengembangan kemampuan diri yang optimal. Pentingnya membangun kemampuan emosional dalam diri kita mengingat peranan yang begitu besar delam menjalin interaksi horizontal dengan berbagai kalangan. Output yang diharapkan berupa pemahaman kebutuhan orang lain dan lingkungan sekitar terhadap permasalahan ”Human Needs”. Kalo kita kaji bahwa ”Human Needs” adalah kebutuhan dasar dari setiap individu, maka keberhasilan memahami Human Needs oarang lain adalah tolak ukur diterimanya kita dalam menjalin hubungan yang lebih mendalam. Kepercayaan yang tumbuh dari orang lain (Kolega kita) adalah peluang kita dalam mengeksploitasi kebutuhan lainnya terkait jalinan kerjasama yang saling menguntungkan. Kemampuan inilah yang kita kenal dengan ”Emotional Soft Skill” setiap individu. Tingkat keberhasilan kita dalam mengelola kemampuan emosional sungguh mencengangkan. Hampir 70% kerjasama usaha, pengembangan bisnis global, membangun perusahaan yang handal selalu mengedepankan kemampuan emosional yang unggul. 3. Spritual Soft Skill Kemampuan spiritual setiap individu menjadi tanggung jawab masing-masing individu yang hakiki. Namun, ini menjadi salah satu yang memegang peranan penting sebagai koridor pengembangan kemampuan intektual dan emosional. Dewasa ini pengembangan kemampuan spritual dilakukan secara parsial, sehingga dalam implementasi keseharian kecenderungan ritual belaka. Rutinitas kewajiban yang dijalankan sama sekali tidak berinteraksi dalam pengembangan kemampuan yang lain, akhirnya stagnasi kebuntuan psikologis selalu dijabarkan secara rasional. Hasil akhir pencapaian keberhasilan hingga level top manajemen mempunyai kecenderungan tak terbatas. Hal inilah yang harus kita kelola terkait kemampuan kita mengantisipasi permasalahan kehampaan jiwa. Mengelola soft skill terintegrasi sangat dibutuhkan dewasa ini agar arah pencapaian akhir menjadi jelas dan sesuai dengan yang diharapkan. Kemampuan kita dalam mengelola Intelektual-Emosional-Spiritual Soft Skill yang terintegrasi akan menghasilkan energi positif yang muncul dalam diri kita. Beberapa mengenal sebagai ”Inner Beauty”. Beberapa mengenal sebagai pancaran energi yang selalu mengedepankan ”Positive Thinking”. Semuanya benar adanya bahwa inti dari kesinergisan pengelolaan soft skill adalah ”Energi Positif”. Dalam pembuktian, energi positif yang dipancarkan seseorang akan menghasilkan respon positif dari seseorang yang dihadapinya. Dalam beberapa kajian, para pakar manajemen sempat melakukan telaahan terhadap pancaran energi positif terhadap air. Akhir- akhir ini hasil
halaman 4 dari 9
telaahan terhadap air memberikan kesimpulan bahwa ternyata air dapat merespon energi positif dari lingkungan sekitarnya. Secara ilmu pengetahuan, para pakar mendefinisikan adanya bentukan kristal Hexagonal pada air sebagai respon positif yang ideal. Telah beredar air dengan kandungan ”Hexagonal Crystal” digunakan sebagai media alternatif penyembuhan dalam upaya meregenerasi sel-sel tubuh yang rusak menjadi berfungsi normal. Luar biasa... Tubuh kita, menurut para ahli bahwa hampir 70% mengandung air sebagai unsur pembentuk tubuh. Bila kita mampu mengelola jiwa kita dengan didasari kemampuan mengelola Soft Skill seperti diatas, maka output yang keluar dalam aktualisasi tubuh adalah ”Inner Beauty” yang pada dasarnya ”Excellent Personality-Excellent Behavior”. Bila tubuh kita memancarkan energi positif yang diaktualisasikan dalam ”Inner Beauty”, maka seseorang yang kita hadapi akan merespon dengan positif karena kandungan air yang ada didalam tubuhnya juga kecenderungan membentuk kristal hexagonal. Bagaimana membentuk energi positif ini sebagai cikal bakal terbentuknya ”Excellent Behavior” memerlukan pengelolaan khusus. Semoga rekan-rekan semua tertarik dalam pengembangan selanjutnya. Semoga wacana ini bermanfaat bagi semua pihak dengan segala kekurangan dan keterbatasan, karena kesempurnaan adalah milik Yang Maha Kuasa. Terima Kasih... Banyak perusahaan mengalami masalah yang sama dalam hal membangun kepedulian terhadap sistem manajemen perusahaan yang ada. Top Manajemen mempunyai visi yang tidak pernah tercapai setelah sekian lama menerapkan sistem manajemen yang handal berstandar internasional. Rutinitas pekerjaan membelenggu para manager dalam menjawab KPI (Key Performance Indicator) yang sudah ditetapkan melalui ”Performance Management Tools” yang ada. Sebuah survey yang dilakukan oleh lembaga independen terhadap konsistensi implementasi sistem manajemen di berbagai perusahaan menyatakan bahwa sebagian besar perusahaan menjalankan roda bisnisnya dengan tetap pada metoda ”Conventional Management”, padahal mereka sudah bersertifikasi standar internasional pada sistem manajemennya. Sistem Manajemen mengalami stagnasi dan belum bersinergi secara konsisten dengan visi dan misi perusahaan. Setelah sekian lama dikaji terkait permasalahan yang timbul di hampir banyak perusahaan, salah satunya adalah ”Management System Awareness” (Kepedulian Terhadap Sistem Manajemen Perusahaan). Dari banyak pengamatan dan kajian di berbagai industri, saya akan membahas bagaimana membangun kepedulian terhadap sistem manajemen perusahaan dari sudut pandang ”Corporate Culture” yang ada di suatu perusahaan. Sebelum saya menuangkan dalam sebuah buku tentang bagaimana mengelola dan membangun ”Corporate Culture” yang akan
halaman 5 dari 9
dituangkan dalam ”Corporate Culture Management”, ada baiknya ini menjadi wacana kita dalam menelaah pentingnya kepedulian dalam interaksinya dengan sistem manajemen perusahaan terintegrasi yang efektif dan efisien. Konsep Fundamental ”Company Macro Business” Suatu perusahaan harus menentukan arah bisnis dalam upaya mencapai visi yang sudah ditetapkan serta menindaklanjuti misi bisnis yang dituangkan dalam “Global Strategic Planning” secara corporate maupun “Operational/Business Unit Strategic Planning”. Vehicle Management terintegrasi menjadi sandaran yang tepat sebagai Frame (Kerangka) dalam menjalankan roda bisnis perusahaan yang tepat.
Integrasi Sistem Manajemen Mutu, Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan sebagai “vehicle management” dalam menjalankan roda bisnis perusahaan yang efektif dan efisien. Sistem Manajemen Terintegrasi ini akan menghilangkan ketergantungan terhadap ”Personal Management Style” yang selama ini menjadi tolak punggung kesinambungan perusahaan. ”Key Person” dalam bisnis sangat rentan terhadap kelangsungan operasional perusahaan pada era globalisasi dewasa ini, mengingat seringnya terjadi pembajakan profesional dalam dunia bisnis dan perdagangan bebas.
halaman 6 dari 9
Kehandalan ”Key Person” dalam perusahaan hanya terjadi pada beberapa orang, dan tentunya Top Manajemen berpikir keras dalam menjaga keharmonisan horizontal agar yang bersangkutan selalu membina integritas serta loyalitas pada perusahaan. Di lain pihak sebagian karyawan menjalani rutinitas pekerjaan sebagai suatu kewajiban tugas yang harus dicapai sesuai target KPI yang sudah ditetapkan. Membangun ”Awareness” (Kepedulian) terhadap Sistem Manajemen Perusahaan Dalam skema diagram alir “Fundamental Concept of Integrated Company Macro Business” sistem manajemen bertindak sebagai kendaraan dalam menjalankan roda bisnis operasional perusahaan. Kebijakan Manajemen (Management Policy) sebagai frame atau koridor dalam menentukan dan mencapai kinerja (performance). Hal ini belumlah memadai dalam menggulirkan sistem manajemen yang menuntut bergulirnya secara berkesinambungan dalam meningkatkan kinerja (performance). Potensi inkonsistensi dalam implementasi dan memelihara kecukupan, kelengkapan, keefektifan sistem manajemen selalu dipertanyakan dalam setiap verifikasi lembaga terkait. Mengkaji permasalahan diatas, dipandang perlu bukan hanya adanya kebijakan manajemen sebagai “Performance Management Frame”, namun perlu dibangun “Corporate Policy” (Kebijakan Perusahaan) yang didalamnya memuat jiwa perusahaan (Corporate Soul) sebagai identitas dan karakter perusahaan. Corporate Policy = Corporate Culture + Management Policy (Kebijakan Perusahaan = Budaya Perusahaan + Kebijakan Manajemen) Corporate Culture yang akan dibentuk menyangkut ”Individual Character Change” yang melibatkan seluruh jajaran pada masing-masing fungsi dan tingkatan manajemen perusahaan. Pembentukan budaya perusahaan tidaklah semudah kita mengembangkan sistem manajemen. Suatu perusahaan bisa jadi tidak akan pernah terbentuk budaya perusahaan sepanjang perjalanan bisnis mereka. Indikator yang bisa dijadikan parameter adalah tingginya tingkat ”Turn Over” karyawan dalam periode waktu yang singkat. Seringnya timbul gejolak demonstrasi menuntut perbaikan kompensasi dan beberapa indikator lain yang menjadi perhatian serius bagi manajemen perusahaan.
halaman 7 dari 9
CorporateCultureManagement
halaman 8 dari 9
Tahapan pembentukan Corporate Culture bisa memberikan kontribusi pemikiran bagi manajemen dalam membangun dan membentuk kepedulian terhadap perusahaan dan sistem manajemen perusahaan. Dengan harapan menjawab sedikit wacana yang selama ini tidak pernah terpecahkan, maka saya sebagai ”Partner” perusahaan rekan rekan manajemen sekalian, membuka kesempatan untuk menggali lebih jauh permasalahan yang dialami terkait pembentukan kepedulian serta budaya perusahaan. Data dan fakta dari rekan rekan manajemen sekalian akan menjadi bahan analisa yang sangat berguna bagi saya dalam upaya menkaji interaksi di semua sektor industri bagi semua pihak bila kiranya kompleksitas permasalahan disampaikan secara berkesinambungan. Semoga wacana ini bermanfaat bagi semua pihak dengan segala kekurangan dan keterbatasan, karena kesempurnaan adalah milik Yang Maha Kuasa. Terima Kasih... Salam Perubahan....
Dewo P.Rahardjo Management Partner
halaman 9 dari 9