Membandingkan Sistem Perdagangan Saham dalam Aspek Likuditas† Simulasi Mikrostruktur
Hokky Situngkir†† (
[email protected])
Yun Hariadi†† (
[email protected])
Yohanes Surya††† (
[email protected])
Catatan: †
Makalah kemajuan penelitian yang dilaksanakan atas kerjasama antara Surya Research International dan Bursa Efek Jakarta; disampaikan pada 7 April 2005.
††
Peneliti Ekonofisika di Bandung Fe Institute dan Surya Research International.
†††
Senior Research Fellow Ekonofisika Surya Research International.
Abstract We shape the microstructure model proposed in the previous research report by using the statistical analysis on surrogate and poll data. In micro description level, the model emphasizes the importance of psychological and fundamental issues to be counted on. From many resulting data generated in simulations, we choose the best data reflecting the statistical properties of time-series data and start comparative analysis between the continuous trading mechanism and the continuous interval trading system. The result is a suggestion not to change the trading system used to day since there is a big possibility it reduces to the current liquidity. Some further researches are suggested beside possible endeavors to reduce several possible exogenous aspects affecting liquidity in general.
Acknowledgement The research is funded by the cooperation of Surya Research International with the Jakarta Stock Exchange. Authors thank fellows in Divisi Riset dan Pengembangan JSX for technical help on polls, Serge Galam for literature number seven, and colleagues in Bandung Fe Institute especially Rendra Suroso for discussions on the rough draft of the paper. None but authors are responsible for errors.
0. Latar Belakang Apa yang dilakukan oleh metodologi ini pada dasarnya adalah untuk memindahkan mikrostruktur dari sistem keuangan ke dalam sistem komputer untuk kemudian menganalisis hasil interaksi dari agen-agen mikro yang heterogen tersebut sebagai interaksi. Lebih jauh dalam analisis data ekonomi keuangan, beberapa hal yang pada awalnya dikembangan untuk mendekati sistem fisis telah banyak pula berubah. Sifat-sifat data ekonomi keuangan ini tentunya akan sangat bermanfaat pada pendekatan mikrosimulasi terhadap proses ekonomi keuangan yang keluarannya seringkali membingungkan para analis. Dalam studi ekonomi keuangan secara mendasar sangat terasa bahwa mekanisme pasar merupakan proses yang telah teramalkan oleh bapak ilmu ekonomi, Adam Smith, tentang adanya “tangan-tangan tak kelihatan” yang senantiasa “mengatur” agen-agen ekonomi yang bertindak untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan dirinya sendiri yang secara makro dapat mencapai apa yang dikenal sebagai efisiensi pasar. Mekanisme mikrostruktur dalam interaksi antar agen ini diagregasi sebagai pasar dan merupakan bentuk dari tersebarnya informasi di antara agen dalam sistem yang serba tak pasti dan informasi yang serba asimetris. Kenyataan ini ditunjukkan dengan fakta bahwa pasar seringkali terlihat tak rasional namun pada kenyataanya selalu efisien (Shalizi, 2001). Hal ini juga diverifikasi dalam aplikasi analisis memetika dalam pasar keuangan yang dilakukan oleh Frank (1999) yang menunjukkan terjadinya difusi strategi yang dilakukan oleh agen-agen dalam pasar keuangan. Secara umum, dapat dikatakan bahwa analisis terhadap mikrostruktur sistem keuangan ini dapat diklasifikasi dalam dua kelas analisis, yaitu pendekatan klasik, yakni pendekatan eksperimental tentang struktur pasar dan bagaimana terbentuknya pasar. Chan, et. al. (1999) menunjukkan perbandingan yang jelas antara kedua jenis metodologi ini dan keunggulan penggunaan dengan metodologi simulasi pasar komputasional. Dikatakan bahwa penggunaan simulasi pasar ini memungkinkan kita untuk melakukan berbagai percobaan terhadap sistem keuangan. Tidak seperti percobaan dalam pendekatan konvensional yang berbasis pada percobaan pada manusia yang di dalamnya dinamika perilaku subyek ekonomi tak dapat secara eksplisit dimodelkan pada banyak periode perdagangan, pada percobaan yang menggunakan
simulasi
berbasis
agen
dapat
dimodifikasi
dengan
mudah
untuk
mengakomodasi perilaku kompleks adaptif, informasi yang asimetris, hingga keinginan agen yang heterogen. Beberapa penggunaan simulasi mikrostruktur untuk menjelaskan berbagai fenomena sistem ekonomi keuangan hingga hari ini telah sangat bervariasi sesuai dengan berbagai konteks penggunaan dan ihwal obyek sistem yang hendak didekati. Contoh yang terkenal adalah model yang dibangun oleh Bak, et.al. (1996) yang menunjukkan variasi harga dalam bursa dengan banyak agen yang terlibat di dalamnya; riset ini menunjukkan bagaimana 2
pendekatan pemodelan berbasis agen dapat menunjukkan pentingnya penggunaan penskalaan (scaling) dalam analisis keuangan dan menggambarkan penggunaan statistika non-Gaussian dalam model mikronya. Model lain yang populer dan telah disempurnakan beberapa kali adalah Santa Fe Institute Artificial Stock Market yang ditunjukkan dalam LeBaron (2002) yang menunjukkan evolusi sistem ekonomi keuangan dengan beberapa piranti ilmu kompleksitas seperti algoritma genetika dan sebagainya yang diekstrapolasi misalnya dalam Palin (2002). Salah satu pengayaan atas model ini adalah bentuk-bentuk varian teknis dari model untuk menjawab berbagai pertanyaan atas proses pasar dan bursa yang dikerjakan oleh Lux (2000). Model LeBaron ini merupakan model yang dikenal sangat rumit karena didesain untuk menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dalam evolusi sistem ekonomi keuangan secara umum. Beberapa riset lanjutan dari apa yang disampaikan dalam bab ini secara umum dapat dikatakan hendak berupaya melakukan adaptasi model ini pada sistem ekonomi keuangan di Indonesia untuk memahami berbagai sifat dan karakter sistem ekonomi keuangan di Indonesia. Bentuk pemodelan mikrostruktur lain yang juga menarik untuk disimak adalah hasil kerja King, et.al. (2003) yang mencoba membuat sistem pemodelan yang berupaya benarbenar memindahkan struktur sistem ekonomi keuangan dalam realitas teknis yang sebenarnya ke dalam model mikrosimulasi, misalnya keterlibatan broker dalam pasar, serta berbagai aplikasi teknis terjadinya pasar dan bursa saham, indeks, dan kurs mata uang dalam model heuristik yang mereka bangun. Hal penting yang menarik untuk dicatat adalah sebagaimana diutarakan oleh Stigler pada tahun 1964 yang merupakan ilmuwan pertama yang melakukan simulasi pasar modal:
“…tujuannya adalah agar kita memiliki deskripsi pasar yang sangat sederhana di satu sisi, dan di sisi yang lain representasi yang paling tepat dalam pengamatan kita terhadap karakteristik pasar yang didekati…”
Dari sini kita dapat melihat berbagai keuntungan analitis yang bisa kita dapatkan dengan menggunakan simulasi mikrostruktur dalam sistem keuangan. Dalam hal analisis atas penggunaan jenis sistem perdagangan tertentu di pasar modal, maka kita akan mendisain model yang paling menggambarkan sifat mikro dari pasar yang ingin kita amati.
1. Pertimbangan Khusus Berdasarkan Jajak Pendapat Sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan model yang ingin disimulasikan, pada tanggal 22-23 Maret 2005 telah diadakan jajak pendapat ke beberapa investor/trader di BEJ
3
dan dari hasilnya kita menemukan beberapa karakteristik yang penting dari pola mikro investasi di Bursa Efek Jakarta, a.l.: -
Sangat sedikit trader yang menggunakan satu perangkat analisis yang pasti dalam mengambil keputusan. Dibandingkan dengan analisis atas grafik historis seperti Moving Average, yang menggunakan berita dan atau isu fundamental relatif lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa dalam simulasi agen harus didisain untuk tidak melulu menggunakan analisis chart dan harus mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti faktor psikologis dan berita-berita fundamental.
-
Sistem pertetanggaan sangat penting oleh karena sangat sering terjadi proses imitasi antar agen. Berdasarkan hasil jajak pendapat, proses imitasi ini justru sangat dominan dalam proses trading.
-
Dari jajak pendapat juga ditemui bahwa jumlah mereka yang berusaha untuk ikut dalam call yang dilakukan (misalnya pada pre-opening market) berimbang jumlahnya dengan mereka yang lebih memilih menunggu hingga berjalannya proses trading – padahal kebanyakan trader lebih menyenangi untuk ikut trading pada sesi pagi. Hal ini mengisyaratkan bahwa call kurang begitu berperan dominan pada sebagian besar trader.
-
Dalam berinvestasi, likuiditas dipengaruhi oleh ketertarikan oleh investor secara umum terhadap saham tertentu. Mengingat pola berkerumun yang sangat kentara di kalangan investor, muncul dugaan bahwa popularitas dan ketersediaan informasi sangat berperan penting. Di sisi lain, justru likuiditas yang tinggi merupakan hal yang penting bagi popularisme sebuah stok tertentu. Ini yang mungkin membuat sebuah saham yang likuid menjadi semakin likuid dan yang kurang likuid menjadi semakin kurang likuid.
Melalui hasil-hasil ini kita menjalankan simulasi dengan variabel-variabel yang disesuaikan dengan situasi pasar dengan kecenderungan investor yang ingin kita modelkan tersebut. Laporan yang lebih lengkap dan detail tentang hasil elaborasi hasil polling yang dilakukan diuraikan oleh Khanafiah, et.al. (2005).
2. Elaborasi Model Sebagaimana telah diterangkan dalam laporan sebelumnya. Dari hasil konstruksi model yang telah dilakukan dan dengan bimbingan dari analisis atas hasil jajak pendapat yang dilakukan, kita akan melakukan simulasi mikrostruktur. Inti dari simulasi mikrostruktur ini adalah bagaimana sistem perdagangan saham yang berbeda-beda memberikan efek perubahan likuiditas dari sebuah saham. Sebagaimana telah diketahui, tiga hal yang ingin kita simulasikan adalah: 4
1. Continuous Trading System, yakni sistem perdagangan yang saat ini dilakukan di Bursa Efek Jakarta. Sistem ini merupakan sistem di mana investor dapat melakukan transaksi kapanpun pada jam kerja bank (bursa buka). Secara faktual, kita memahami bahwa kebanyakan pasar modal saat ini memiliki sesi continuous dalam perdagangan sahamnya, demikian pula halnya dengan Bursa Efek Jakarta. 2. Call Market System, yakni sistem perdagangan di mana investor dapat bertransaksi pada periode perdagangan tertentu saat pasar di-call. Jadi terdapat interval waktu di mana order dari investor dikumpulkan untuk kemudian dicari best-matched-nya pada saat call. Beberapa pasar modal menggunakan kombinasi sistem perdagangan continuous trading system dan call market ini dengan mengadakan call pada saat pembukaan sesi dan atau sesi penutupan. 3. Continuous Interval Trading System, yakni penamaan yang diberikan untuk kombinasi kedua sistem perdagangan sebelumnya. Dalam sesi ini, terdapat interval waktu yang kecil sedemikian yang merupakan selang terjadinya call dan berlangsung secara terus-menerus (continuous). Secara intuitif, hal ini dimaksudkan untuk melindungi kondisi bursa (saham) dan menjamin kelancaran perdagangan dengan adanya remote trading. Ketiga sistem perdagangan ini kita tiru strukturnya dan “menumbuhkannya” di komputer (in silico) agar kita dapat melihat sejauh mana terdapat kausasi antara likuiditas dan sistem perdagangan. Terdapat tiga elemen penting dalam model dan simulasi kita, yaitu agen, sistem perdagangan (mikrostruktur), formasi harga, dan sistem perdagangan.
Gambar 1 Koordinat X dan Y media simulasi dijalankan.
2.1. Agen Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, kita mengambil inspirasi dari model Ising dan magnetisasi (Kaizoji, et.al., 2002 & Iori, 2002) dengan membangun sebuah dunia 5
perdagangan virtual yang menjadi media simulasi mikrostruktur kita. Dunia virtual yang kita buat terdiri dari kisi-kisi yang berbentuk lanskap persegi panjang di mana tiap kisi merepresentasikan satu individu agen ekonomi. Simulasi kita secara formal dikenal sebagai simulasi berdasarkan waktu dan spasial diskrit yang masing-masing agen dimodelkan sebagai variabel koordinat (x,y). Di sini kita mendefenisikan himpunan X = {0,1,…,X-1} dan Y = {0,1,…,Y-1}. Untuk lebih jelasnya lihat penggambaran sistem koordinat X x Y pada gambar 1. Dalam simulasi yang kita jalankan kita menggunakan persegi panjang yang berbentuk bujur sangkar K x K, artinya X=Y=K dan jumlah agen dalam dunia virtual kita adalah sebesar K 2 . Perlu dicatat pula bahwa lanskap yang kita gunakan di sini adalah sistem koordinat periodik yang terbatas, artinya keempat tepi sistem koordinat menyatu atasbawah dan kanan-kiri membentuk torus (gambar 2). Pada lanskap XxY, setiap sel (x’,y’) yang terletak pada batas lanskap (dalam pengertian ( x' , y ' ) ∈ XxY adalah sama dengan sel di mana ( x, y ) ∈ XxY dengan aturan:
( x, y ) = ( x' mod X , y ' mod Y )
(1)
Gambar 2 Torus sebagai model umum dunia virtual simulasi
Tiap agen ekonomi direpresentasikan oleh tiap sel dan tetangganya direpresentasikan atas beberapa sel yang ada di sekitarnya berdasarkan rule pertetanggaan Von Neumann dan Moore sebagaimana ditunjukkan pada gambar 3. Pola iterasi dalam simulasi komputer bersifat diskrit dan teknik pertetanggaan yang berbeda ini akan membantu kita dalam pembedaan sistem perdagangan kontinu dan diskrit nantinya. Dalam pasar buatan ini agen dibekali dengan aset yang berbentuk modal tunai dan stok. Modal tunai ini akan digunakan oleh agen untuk melakukan transaksi seperti halnya stok. Misalkan pada kondisi awal agen-i memiliki modal cash Mi(0) dan modal stok Ni(0) sehingga pada saat t nilai aset keseluruhan adalah
C i (t ) = M i (t ) + p(t ) N i (t )
(2)
6
Dengan p(t) merupakan harga stok pada saat t. Keputusan agen terhadap aksi jual, beli, atau abstain dipengaruhi oleh tingkat gangguan (noise) yang diterima dan interaksi dengan tetangga terdekatnya.
Gambar 3 Tipe pertetanggan agen yang digunakan dalam simulasi: Pertetanggaan Von Neumann (kiri) dan Pertetanggaan Moore (kanan).
Keputusan agen-i (apakah jual, beli, atau tidak bertransaksi) dimodelkan sebagai state dari lanskap tadi (xi) yang dipengaruhi oleh faktor pertetanggaanya Mi,j(t), faktor psikologis individualnya
(ψ i (t ) ),
dan
berbagai
berita
(fundamental)
seputar
saham
yang
diperdagangkan ( ε (t ) ). Di sini, tiap agen menerima informasi berita yang sama dan perbedaan mempersepsi informasi tersebut merupakan hal yang berbeda (heterogen) untuk tiap agen. Hal ini tentu mengingatkan kita pada sistem informasi yang asimetri pada sistem ekonomi khususnya pasar keuangan. Faktor-faktor (Yi) ini merupakan faktor yang mengeksitasi agen dalam mengambil keputusannya dan secara matematis sederhana dapat dituliskan sebagai hubungan:
Yi = αM i , j (t ) + βψ i (t ) + γε (t )
(3)
dimana α , β , dan γ merupakan konstanta-konstanta yang mengatur kekuatan dari masingmasing faktor tersebut di tiap agen relatif terhadap kedua faktor lainnya dengan hubungan:
α + β +γ =1
(4)
dan faktor saling pengaruh antar agen sebagai
M i , j (t ) =
∑P
i, j
x j (t )
(5)
7
dengan menunjukkan penjumlahan rata-rata atas pengaruh agen i dan j. Pada model ini kita tidak berusaha mendekati mikrosistem pasar dengan menggunakan strategi-strategi pengambilan keputusan agen sebagaimana digunakan pada metode pasar modal buatan umumnya (misalnya Situngkir & Surya, 2004b dan LeBaron, 2002), melainkan menggunakan ketiga faktor individual di atas untuk membrojolkan variabel makro dari pasar modal. Model yang kita konstruksi ini lebih dekat pada model magnetisasi model Ising dengan beberapa adaptasi dari pendekatan oleh Iori (2002). Agen ekonomi meng-update keputusannya pada tiap iterasi dengan memilih apakah akan menjual stoknya ( xi (t ) = −1 ), membeli stok ( xi (t ) = 1 ) atau tidak mengambil keputusan transaksi sama sekali ( xi (t ) = 0 ). Hal ini dilakukan dengan mengkalkulasi sinyal Yi yang diperolehnya setiap iterasi dan membandingkannya dengan sebuah nilai ambang tertentu (threshold), dinyatakan dengan variabel ki(t).
Yi (t ) ≤ k i− (t ) ⎧− 1, ⎪ xi (t ) = ⎨ 0, k −i (t ) < Yi (t ) < k i+ (t ) ⎪ 1, Yi (t ) ≥ k i+ (t ) ⎩
(6)
Dalam model ini, kita menggunakan nilai ambang dengan hubungan simetris:
k i− (t ) = −k i+ (t )
(7)
di mana pada kondisi awal koefisien ambang tersebut diambil dari bilangan acak yang dihasilkan yang memenuhi variansi σ (k i (0)) ≈ 0 . Melalui model ini kita meng-update nilai ambang sesuai dengan pergerakan harga saham tersebut dengan hubungan
k i (t + 1) =
p(t + 1) k i (t ) p (t )
(8)
Hubungan ini memungkinkan adanya adaptasi dari agen ekonomi terhadap pergerakan harga. Hal ini menunjukkan adanya efek memori yakni perubahan nilai ambang saat ini memiliki proporsionalitas dengan perubahan harga stok dalam tiap iterasi. Metode pengambilan keputusan ini dapat menunjukkan banyak faktor secara lebih umum daripada metode pengambilan keputusan yang melulu meniru agen sebenarnya – dengan jalan memasukkan berbagai faktor dominan yang kita peroleh dari hasil jajak pendapat di mana kebanyakan agen ekonomi di BEJ tidak senantiasa merefleksikan analisis chart.
8
Pada mekanika statistik, perilaku sistem akan senantiasa dipengaruhi oleh nilai Pij. Dalam hal ini, sistem kita menggunakan nilai probabilitas ϕ untuk memberi nilai Pij=1 dengan menggunakan hubungan:
⎧1, peluang = ϕ Pij = ⎨ ⎩0, peluang = 1 − ϕ
(9)
Memperhatikan model Ising di atas, jika ϕ = 0 maka keputusan antar agen tidak akan berkorelasi sama sekali – keputusan agen menjadi independen sama sekali dan secara apriori-teoretis menghasilkan pola yang tidak menunjukkan sifat mengerumun dalam formasi harganya oleh karena hubungan homogen antar agen Pij=0 – pada kondisi ini, sifat kemagnetan akan sama sekali hilang. Sebaliknya untuk kondisi ekstrim di mana ϕ = 1 , maka tentu saja akan terdapat Pij=1 pada seluruh agen sedemikian sehingga menunjukkan sifat makro feromagnetik. Kedua keadaan ini pada dasarnya dapat menghasilkan kondisi ekstrim keseragaman keputusan seluruh agen yang menghasilkan lonjakan (atau jatuhan) harga yang sangat tinggi. Dalam studi-studi serupa ini (misalnya Mezard, et. al.,1987 dan Galam, 2002) telah diketahui bahwa terdapat kondisi peluang tertentu ( ϕ ) yang menunjukkan pola transisi paramagnetik ke feromagnetik yang membuat agen cenderung mengelompok satu sama lain dengan keputusan yang masing-masing berbeda antar kelompok tersebut – dalam hal ini terjadinya jatuhan atau lonjakan harga yang besar akan dapat dihindari. Diskusi semacam ini seolah telah menjadi tanda dinamika heterogenitas sistem sosial yang terlihat tak hanya di pasar modal, tapi juga pada sistem sosial yang lebih luas seperti formasi penduduk atas dinamika perbedaan opini (Stauffer, 2001) bahkan perolehan suara dalam pemilihan umum (Situngkir & Surya, 2004a).
2.2. Formasi Harga Lebih lanjut, setelah terjadi pengambilan keputusan dari tiap agen, maka formasi harga pun dilakukan per iterasi. Sebagaimana kita ketahui hubungan antara perubahan harga tiap waktu senantiasa berbanding lurus dengan permintaan berlebih pada pasar. Dalam simulasi kita, secara otomatis, begitu agen selesai dalam mengkalkulasi keputusannya maka ia langsung memasang order. Permintaan dan penawaran dari keseluruhan agen secara sederhana dapat ditunjukkan sebagai:
D(t ) = ∑ xi (t )
(10)
i
9
dan
Z (t ) = ∑ xi (t ) x ( t ) = −1 i
(11)
i
dalam volume yang setara dengan magnetisasi
V (t ) ≈ ∑ xi (t )
(12)
i
Melalui kelebihan permintaan maka formasi harga secara umum dapat dilihat sebagai bentuk kesebandingan
Δp(t + 1) ≡ p(t + 1) − p (t ) ≈ D(t ) − Z (t )
(13)
dan dalam bentuk logaritmik persamaan di atas yang digunakan dalam simulasi kita menggunakan formasi harga pada t+1 sebagai
⎛ D(t ) ⎞ ⎟⎟ p (t + 1) = p (t )⎜⎜ ⎝ Z (t ) ⎠
ξ
(14)
dengan
ξ=
V (t ) c K2
(15)
Melalui mekanisme formasi harga ini, kita dapat mensimulasikan sistem mikrostruktur melalui berbagai sistem perdagangan yang akan dibahas berikutnya.
2.3. Sistem Perdagangan Sebagaimana telah kita ketahui, faktor penting dalam sistem perdagangan adalah harga dan waktu. Sehingga harga (p) dan waktu (t) ini akan menjadi parameter utama pada setiap unsur-unsur penyusun sistem perdagangan secara mikro. Dalam hal ini, per definisi, Continous Trading merupakan fungsi dari harga dan waktu dan dapat dituliskan
κ = κ ( p, t ), ∀t ∈ T
(16)
10
dengan T merupakan keseluruhan waktu jam kerja dalam trading sedangkan untuk Call Market Session yang juga merupakan fungsi dari harga dan waktu-tertentu misalnya
χ = χ ( p, tˆ _), tˆ = nt
(17)
dengan n merupakan periode diadakannya call. Dari sini, untuk Trading System yang menggunakan campuran pada kedua faktor tersebut, dalam bentuk misalnya pada pembukaan dan penutupan menggunakan sesi call dan lainnya menggunakan continuous dapat dituliskan sebagai
⎧ χ ( p, tˆ _), n = 1, mx Γ ( p, t ) = ⎨ ⎩ κ ( p, t ), lainnya
…(18)
Dengan mx merupakan periode akhir dari penutupan transaksi. Untuk model continuous interval trading system, pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan memasang nilai n yang relatif kecil yang menunjukkan interval clearing transaksi.
order jual
order jual
t
order beli
transaksi
t
order beli
Gambar 4 Ilustrasi perbandingan sistem perdagagan sesi continuous (kiri) dan sesi call dengan continuous interval trading system (kanan)
Sesi perdagangan yang menggunakan sistem yang kontinu berbeda dengan yang menggunakan sistem call berdasarkan waktu clearing dari order yang datang dari investor. Pada sistem perdagangan dengan sesi continuous formasi harga segera terbentuk disusul
11
dengan clearing transaksi begitu ditemui nilai yang terbaik (best price) misalnya dengan time priority dan price priority secara terus-menerus sepanjang pasar buka. Di sisi lain, dengan sistem call ataupun model continuous interval trading, formasi harga terjadi berdasarkan interval waktu yang sama, yang kita nyatakan dengan variabel n. Dengan kata lain terdapat selang waktu tertentu di mana harga masuk dan menunggu terjadinya clearing transaksi. Secara algoritmik, kita mengatakan bahwa terdapat selang iterasi tertentu di mana investor atau trader dapat memasukkan (atau membatalkan) sebuah order. Hal ini terjadi juga pada sesi continuous tetapi hanya selama order tersebut dalam posisi antrian (queueing), sementara sesi call harus menunggu hingga interval waktu n tercapai. Dari perspektif komputasi, selang waktu interval ini memberi dampak bagi investor yang akhirnya memiliki selang (jeda) waktu tertentu mulai dari order disampaikan hingga terjadinya transaksi. Secara psikologis hal ini tentu akan mempengaruhi trader demikian pula secara reseptansi terhadap rumor dan sistem pertetanggaan dalam komputasi – tentunya di samping formasi harga sebagai hal yang paling berperan. Dalam simulasi, hal ini kita bedakan dengan menggunakan konsep pertetanggaan yang berbeda antara sistem pertetanggan von Neumann (untuk sesi continuous) dan pertetanggaan Moore (untuk sesi call) serta terjadinya formasi harga untuk selang iterasi tertentu pada sesi call dan terjadi pada setiap iterasi untuk sesi continuous. Dari sini kita akan melakukan perbandingan terhadap kedua sistem ini untuk melihat secara komparatif bagaimana kedua mikrostruktur ini berbeda dalam hal pencapaian harga, volume perdagangan, likuiditas, dan tentunya aspek-aspek makro (statistika) yang lain yang terdeteksi di bursa. Secara ringkas, algoritma yang digunakan dalam continuous trading session adalah sebagai berikut:
start; inisialisasi; while(i<jumlah_iterasi) i:=i+1; Kalkulasi_per_Agen(x,y); Submit_Order_per_Agen(x,y); eval(); if sisa(i/interval)==0 Cari_Best_Price(); Order_Done(); end; end; end; ShowResult();
Dan di sisi lain, continuous interval yakni dengan call untuk interval tertentu dilakukan dengan ringkasan algoritma sebagai berikut:
12
start; inisialisasi; while(i<jumlah_iterasi) i:=i+1; Kalkulasi_per_Agen(x,y); Submit_Order_per_Agen(x,y); Cari_Best_Price(); Order_Done(); end; end; ShowResult();
Dengan menggunakan kedua algoritma di atas, kita mensimulasikan ketiga sistem sesi perdagangan yang ingin dicari bentuk brojolan optimumnya. Hal ini menjadi diskusi kita lebih lanjut.
3. Simulasi Simulasi kita akan berfokus pada sistem perdagangan yang ingin diperbandingkan, yakni sistem perdagangan call market tanpa continuous trading session dengan selang interval waktu call yang sangat kecil dan diidentifikasi sebagai continuous interval trading system dan sistem perdagangan di mana pembukaan dan penutupan dilakukan dengan call dan diikuti dengan continuous trading system. Sebagaimana diterangkan di awal terdapat beberapa perbedaan kecil di tingkat mikro agen ekonomi untuk kedua sistem perdagangan tersebut selain permasalahan clearing sistem perdagangan. Hal ini dirangkum dalam tabel 1. Dalam memilih platform kondisi mikro yang ingin disimulasikan, kita melakukan cross-check dengan pendekatan mekanika statistik yang telah digunakan dalam laporan kemajuan sebelumnya, yaitu pertimbangan distribusi leptokurtis dari sistem termasuk momen-momen
distribusinya,
pengelompokan
volatilitas
(yang
diestimasi
dengan
menggunakan log-return), dan panjang memori dari data deret waktu (direpresentasikan dengan eksponen Hurst).
Tabel 1 Koefisien mikro yang digunakan dalam simulasi Sistem Pertetanggan Probabilitas pengaruh tetangga
α β γ
Interval Perdagangan
Continuous Trading Von Neumann 0.6 0.50 0.30 0.20 0
Continuous Interval Trading Moore 0.7 0.40 0.35 0.35 [3,10] iterasi
13
Gambar 5 Dinamika berjalannya simulasi untuk 10 iterasi pertama dengan visualisasi keputusan agen ekonomi apakah menjual, membeli, atau abstain (atas) dan distribusi kepemilikan modal agen dengan memperhatikan cash dan stok yang dimilikinya (bawah).
Pada gambar 5 ditunjukkan pula bagaimana dinamika pasar buatan di-observasi melalui rangkaian simulasi yang dilakukan1. Pada gambar tersebut ditunjukkan faktor-faktor mikro yang kita amati antara lain keputusan agen dan akumulasi modal di antara agen-agen ekonomi. Pada gambar 5 (atas) terlihat bahwa kita menggunakan kondisi awal keputusan agen dengan peluang sebesar ϕ untuk pengaruh Pij = 1 dan 1 − ϕ untuk Pij = 0 yang menghasilkan pola keputusan untuk tiap agen – kita merepresentasikan warna biru untuk keputusan jual atau xi = −1 , warna merah untuk keputusan beli atau xi = 1 , dan warna kuning untuk abstain atau xi = 0 . 1
Simulasi dilakukan pada komputer dengan prosesor Intel Pentium berkecepatan 3.0 GHz dan memakan waktu sekitar 3-5 jam untuk mendapatkan data pasar artifisial dalam 5000 iterasi. 14
Seiring dengan berjalannya waktu, keputusan agen tersebut di-update dengan persamaan 8 sehingga menghasilkan bentuk pengelompokan untuk jual dan beli sebagaimana digambarkan pada iterasi ke-10 dari simulasi. Demikian pula halnya dengan akumulasi modal dari agen yang dikalkulasi melalui persamaan 2, yang menunjukkan bahwa semakin biru maka semakin kecil kepemilikan modal dari agen dan semakin merah maka semakin kaya si agen akan akumulasi modal. Pada iterasi ke-10 terlihat bahwa telah terdapat penumpukan keuntungan dari bursa saham pada sekelompok agen yang bertetangga (warna oranye dan hijau). Hal ini terjadi tentunya pada seluruh tipe sistem perdagangan yang kita simulasikan. Bagaimana faktor-faktor mikro ini menghasilkan data keuangan buatan yang ingin kita analisis? Hal ini ditunjukkan pada gambar 6 yang menampilkan gambara fluktuasi harga (yang telah dinormalisasi) dan volume perdagangan untuk sesi perdagangan yang kontinu dan yang menggunakan interval tertentu – masing-masing pada 1000 round iterasi yang dapat kita analogikan sebagai waktu perdagangan harian dari pasar yang ingin kita amati. Pada gambar tersebut terlihat pula bahwa terdapat selang waktu tertentu pengorganisasian diri agen di dalam lanskap simulasi yang ditandai fluktuasi volume perdagangan yang cukup tinggi di awal simulasi untuk kemudian mencapai kondisi ekuilibria dari sistem yang ditandai dengan naik-turunnya harga. Sebagaimana telah dijelaskan dalam laporan kemajuan sebelumnya, faktor agregat yang menjadi pusat perhatian kita tentunya adalah return harga, yakni dinamika perubahan harga dari waktu ke waktu. Return harga ini merupakan alat yang memberikan bimbingan (guidance) bagi kita dalam memilih bentuk simulasi yang akan kita gunakan untuk menguji dampak keduanya atas likuiditas sistem perdagangan. Sebagaimana akan dilaporkan pada bagian lebih lanjut, kita menggunakan adjusting beberapa parameter yang ditunjukkan oleh tabel 1 sehingga kita memperoleh hasil yang minimal menggambarkan sifat dan pola pergerakan harga dan volume perdagangan. Sebagai bentuk awalan, secara kualitatif kita dapat melihat pada gambar 7 return dari dua tipe simulasi yang kita lakukan, yakni pengelompokan volatilitas. Estimasi yang kita gunakan sebagai volatilitas adalah bentuk logaritmik dari perubahan harga per satuan waktu sebagai:
⎛ p(t + 1 ⎞ ⎟⎟ ⎝ p(t ) ⎠
σ (t + 1) ≡ ln⎜⎜
(19)
15
Gambar 6 Data perdagangan buatan yang dihasilkan pada simulasi: sistem perdagangan dengan mikrostruktur continuous interval (atas) dan dengan sistem perdagangan dengan mikrostruktur continuous session (bawah) masing-masing untuk 1000 round.
Sebagaimana digambarkan pada gambar 7, pengelompokan volatilitas ditunjukkan sebagai bentuk simpul-simpul waktu di mana fluktuasi harga yang besar terjadi dengan diikuti dan dilanjutkan oleh fluktuasi yang relatif lebih kecil. Berdasarkan pendekatan teoretis yang dilakukan oleh Cont & Bouchaud (2000) hal ini akan membrojolkan sifat distribusi data statistika dengan karakteristik leptokurtis yang akan kita observasi lebih detail pada bagian berikutnya.
16
Gambar 7 Hasil simulasi data return yang dihasilkan untuk sesi perdagangan continuous interval (atas) dan continuous trading (bawah). Kedua faktor menunjukkan pola pengelompokan volatilitas.
4. Analisis Statistika Hasil Simulasi Dari data return yang dihasilkan untuk simulasi sistem perdagangan yang berbedabeda tersebut, kita menggambarkan histogram untuk mendapatkan visualisasi sejauh mana kelebihan kurtosis terbentuk. Hal ini digambarkan pada gambar 8 yang menunjukkan pola leptokurtis yang memang terjadi di ekor kiri dan kanan. Pola di bagian ekor yang terbentuk menggambarkan pula bentuk yang tak beraturan (irregular) yang juga terlihat pada data-data perdagangan yang sebenarnya sebagaimana dilaporkan sebelumnya. Dari sini, kita telah mengidentifikasi satu sifat yang menunjukkan keabsahan model yang kita gunakan.
17
Gambar 8 Pola distribusional dari data return yang dihasilkan untuk simulasi atas kedua sistem yang ingin diperbandingkan. Terlihat pola leptokurtis dari masing-masing dan fluktuasi di ekor kiri dan kanan histogram yang irregular.
Lebih lanjut, kita tentu juga ingin melihat, hingga pada penjumlahan data ke berapa pola distribusi ini berlangsung dalam sifat skala. Dengan kata lain, pada sekuen data ke berapa distrbusi kembali ke distribusi normal. Hal ini kita lakukan dengan mencari crossover kepadatan probabilitasnya dari rezim Levy ke rezim Gauss (lih. Hariadi & Surya, 2003). Dari pendekatan ini, kita mendapati bahwa crossover ini terjadi sekitar 100 sekuen data untuk mikrosimulasi dengan sistem continuous interval dan di bawah 100 untuk continuous trading session sebagaimana ditunjukkan pada gambar 9. Melalui pendekatan ini, dengan memperbandingkannya dengan data-data perdagangan di BEJ secara umum, kita mendapati bahwa data yang dihasilkan melalui simulasi ini memiliki ekivalensi dengan data-data transaksi dengan orde jam di bursa. Artinya, simulasi yang kita hasilkan sesuai dengan yang ingin kita rancang bahwa kita ingin melihat dinamika sistem hingga ke level perdagangan intraday.
18
Gambar 9 Komparasi terjadinya crossover ke distribusi normal dari distribusi ekor gemuk (Levy) untuk data simulasi dengan mikrostruktur perdagangan yang berbeda.
Dari sifat distribusi, kita juga ingin melihat terjadinya korelasi positif antara nilai mutlak dari return dan volume perdagangan sebagaimana yang secara empirik ditemukan di seluruh bursa saham dunia termasuk di Bursa Efek Jakarta. Dengan memperhitungkan hal ini dalam simulasi, maka kita dapat menggambarkan koefisien sampel korelasi silang antar keduanya sebagaimana ditunjukkan pada gambar 10. Di sini terlihat jelas bahwa terjadi korelasi silang positif yang terjadi dengan penurunan nilai atas waktu lag. Sebagaimana telah dilaporkan sebelumnya, hal ini terjadi di Bursa Efek Jakarta dengan efek yang kurang lebih sama dengan yang kita temui pada simulasi dengan continuous trading session. Ini ditandai dengan penurunan yang cukup cepat seiring dengan berjalannya waktu lag sampel korelasi. Sebagaimana didiskusikan pada Iori (2002), hal ini memang terlihat dengan penggunaan koefisien ξ pada persamaan 14 pada mekanisme mikro formasi harga dalam model yang dibangun.
Gambar 10 Koefisien sampel korelasi silang antara nilai mutlak return dan volume perdagangan untuk sistem continuous interval (kiri) dan continous market murni (kanan).
19
Salah satu karakteristik yang juga menarik untuk dilihat adalah memori dari data deret waktu. Untuk melihat hal ini, kita tentu harus melihat sejauh mana data daret waktu kita persisten atau anti-persisten atas tren yang ada. Untuk melihat hal ini, sebagaimana digunakan untuk menganalisis data perdagangan yang sebenarnya kita menggunakan rescaled range analysis (analisis R/S) yang mencari nilai H pada
R ( n) ≈ sH S ( n)
(20)
di mana nilai H akan selalu berada pada interval [0,1]. Nilai H yang berbeda-beda menunjukkan sifat data deret waktu terhadap tren yang diikutinya, sebagai: (i) 0 ≤ H < 0.5 menunjukkan persistensi atas tren. (ii) H = 0.5 menunjukkan sifatnya sebagai gerak Brown biasa. (iii) 0.5 < H ≤ 1 menunjukkan antipersistensi atas tren. Data deret waktu keuangan dengan memori yang panjang tentu akan senantiasa berada pada pada nilai eksponen Hurst yang tidak akan eksak sama dengan gerak Brown biasa (=0.5). Hal ini juga ditunjukkan pada data BEJ yang kita gunakan bahwa nilai eksponen Hurst berada relatif dekat dengan gerak Brown sebesar 0.67 untuk perdagangan continuous interval dan 0.74 untuk sesi perdagangan continuous. Secara garis besar hal ini digambarkan oleh gambar 11.
Gambar 11 Analisis R/S untuk data perdagangan yang dihasilkan melalui sistem continous interval (kiri) dan continuous market (kanan).
Dari gambar tersebut terlihat bahwa dari segi statistika R/S, kita menemukan bahwa terdapat kecenderungan persistensi atas tren yang cenderung lebih tinggi pada sistem perdagangan continuous market. Hal ini isa dimaklumi mengingat pola clearing dari pasar kontinu adalah
20
terus-menerus dan secara intuitif kita memahami bahwa sesuai dengan adanya pola herding behavior persistensi (tentunya juga anti-persistensi) terhadap tren memang akan relatif lebih kentara. Sebagaimana ditunjukkan oleh karya klasik Vilfredo Pareto, ukuran kekayaan dari agen-agen pelaku ekonomi akan senantiasa mengikuti power-law (Situngkir & Surya, 2003). Hal ini juga secara umum muncul pada simulasi yang kita lakukan dengan mendefinisikan kekayaan dari agen di sistem ekonomi buatan kita sebagai persamaan 2. Bentuk hukum pangkat yang diikuti digambarkan pada gambar 12 dan hal ini menunjukkan pada kita bahwa simulasi kita telah cukup memberikan gambaran sederhana atas sistem keuangan yang ingin kita analisis sistem perdagangannya. Secara umum, hasil analisis statistika atas data yang dihasilkan dari simulasi ini dirangkum dalam tabel 2 yang menunjukkan besaran momen-momen distribusi. Hal inilah yang kita diskusikan pada bagian berikutnya dari makalah ini.
Gambar 12 Distribusi kekayaan di antara agen-agen ekonomi dalam simulasi kita setelah sekian banyak iterasi menunjukkan pola power-law.
5. Diskusi Setelah mendapati bahwa data yang kita hasilkan dari simulasi memang menunjukkan perilaku standar dari pasar modal, maka kita mencoba menganalisis sejauh mana sistem perdagangan tertentu akan memberikan dampak bagi optimalisasi pasar modal, khususnya dalam studi kasus yang kita analisis, yakni Bursa Efek Jakarta. Dari ringkasan tabel 2 yang menunjukkan sifat-sifat statistika data simulasi, kita menemukan bahwa rataan per iterasi volume perdagangan dengan menggunakan continuous trading system menunjukkan angka 21
yang jauh lebih besar dibandingkan dengan yang dihasilkan melalui simulasi mekanisme continuous interval trading. Dari beberapa simulasi yang dilakukan memang ditunjukkan bahwa semakin besar koefisien n yaitu interval diadakannya clearing transaksi maka semakin kurang likuid saham tersebut.
Tabel 2 Ringkasan Sifat Statistika Data Return Hasil Simulasi Rata-rata Variansi Skewness Kurtosis Eksponen Hurst rataan volume perdagangan per round
Continuous Trading 0.0031 0.0593 3.5681 57.8835 0.74
Continuous Interval Trading 0.0020 0.043 0.9119 13.4042 0.68
167.01
42.84
Hal ini dapat dilihat pula dengan memperhatikan fluktuasi harga pada kedua sistem perdagangan. Sebagaimana ditunjukkan pada gambar 7, pada sistem continuous market, dinamika return terlihat bahwa terdapat gejolak naik turun harga yang lebih cepat dibandingkan dengan waktu interval. Hal ini dapat dipahami secara kualitatif dengan mengetahui bahwa pada sistem continuous semua order yang masuk akan langsung di-done begitu menemui nilai yang sesuai dengan yang diprioritaskan. Hal ini tentu berbeda dengan yang ditemui di pasar continuous dengan interval waktu tertentu yang memiliki waktu jeda tertentu yang cenderung “memperlambat” eksekusi order meski misalnya order yang telah masuk tersebut telah mencukupi standar prioritas yang digunakan. Dari segi fairness formasi harga, secara sederhana dapat kita lihat bahwa kedua sistem pada dasarnya dapat mencapai nilai harga yang efisien. Baik pasar modal yang menggunakan interval waktu untuk transaksi maupun yang kontinu menunjukkan bahwa mungkin dicapai nilai harga yang optimum. Pendekatan yang agak berbeda namun memiliki pola simulasi yang sama dilakukan dengan membandingkan beberapa simulasi pasar modal buatan dilakukan oleh Farmer (2001) menunjukkan bahwa sistem perdagangan buatan yang menggunakan pola pasar Walrasian (serupa call market) memang cenderung menjadi lingkungan yang sulit bagi agen-agen yang memiliki potensi dalam merangsang likuiditas pasar pada mekanisme pasar continuous. Lebih lanjut secara empirik, pendekatan umum yang dilakukan oleh Amihud et.al., (1997) menunjukkan pula bahwa terdapat kecenderungan ilikuiditas ketika sistem continuous diubah menjadi sistem call. Pendekatan simulasi kita secara komplementer menunjukkan bahwa bahkan dengan call yang menggunakan interval waktu yang kecil pun (seperti dalam continuous interval trading system) justru dapat
22
mengurangi likuiditas pasar.
Hal ini juga menjadi pertimbangan di bursa-bursa efek di
beberapa negara, misalnya Bursa Malaysia (2005) yang berniat mengganti sistem perdagangannya dari call market menjadi continuous market dengan platform yang disebut Common Trading Platform pada kuartal keempat tahun ini. Dengan kata lain, berbicara tentang pasar modal di Bursa Efek Jakarta, hasil simulasi kita menunjukkan bentuk suggestion yang sama bahwa sistem perdagangan yang digunakan saat ini secara mendasar masih optimum dari perspektif likuiditas pasar. Analisis top-down kita yang mengekstrak data-data makro dan yang bottom-up dalam hal ini menunjukkan bahwa ke-tidak-optimal-an pasar dalam hal formasi harga bukan terletak pada sistem perdagangannya. Dari sini tentu timbul pertanyaan baru, faktor apa yang penting dianalisis lebih jauh dalam rangka meningkatkan likuiditas perdagangan saham di Bursa Efek Jakarta. Sebagaimana ditunjukkan pada laporan sebelumnya dan pendekatan jajak pendapat yang dilakukan (Khanafiah, et.al., 2005) sistem perdagangan yang diberikan sudah memadai, namun bagaimana persepsi masyarakat ditelaah sehingga ber-investasi di BEJ mungkin adalah sarana yang paling penting untuk dikerjakan lebih lanjut – termasuk fungsi-fungsi edukasi BEJ di tengah masyarakat luas. Di lain pihak, hal yang perlu dipertimbangkan adalah tentang popularitas emitten yang sahamnya diperdagangkan di BEJ. Hal ini telah dijelaskan sebelumnya, bahwa semakin banyak investor yang aktif bertransaksi di bursa, maka formasi harga akan menjadi lebih cepat mencapai efisiensi dan fairness terbentuknya harga oleh pasar pada mekanisme continuous akan cepat pula tercapai.
6. Catatan Kesimpulan Kita telah menunjukkan proses konstruksi model yang disesuaikan dengan apa yang kita peroleh dari analisis statistika mekanik sebagaimana dilaporkan sebelumnya. Dengan tambahan beberapa informasi penting kondisi mikro investor dari polling yang dilakukan maka kita melakukan simulasi untuk membandingkan sejauh mana pengaruh dari sistem perdagangan dengan continuous trading system dan continuous interval trading system terhadap likuiditas perdagangan di Bursa Efek Jakarta. Dari analisis yang dilakukan ditemukan bahwa meskipun pola efisiensi dalam hal formasi harga akan dengan mudah diperoleh (misalnya call dilakukan dengan pola perdagangan Walrasian), maka likuiditas yang tinggi akan terkorbankan karena volume perdagangan akan menjadi relatif jauh lebih kecil. Untuk spesifikasi mikro perdagangan di Bursa Efek Jakarta, continuous trading system telah sangat optimal dan tidak dianjurkan
23
untuk melakukan perubahan ke pola perdagangan dengan call market atau continuous interval trading system jika obyektif kita adalah untuk mempertinggi likuiditas. Dengan kata lain, dari berbagai faktor yang mempengaruhi likuiditas perdagangan di BEJ serta pilihan perubahan sistem perdagangan dari continuous trading session ke continuous interval trading system, faktor endogen cenderung tidak begitu berpengaruh untuk meningkatkan likuiditas bursa. Faktor eksogen dari bursa justru perlu mendapat perhatian khusus dalam rangka peningkatan likuiditas bursa, khususnya saham-saham yang memang kurang likuid. Hal yang dapat menjadi analisis lanjutan dari penelitian ini yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menghasilkan suggestion yang mempertinggi likuiditas adalah penelitian tentang persepsi masyarakat atas keputusan untuk berinvestasi di Bursa Efek Jakarta. Sementara ini, yang dapat dilakukan untuk meningkatkan likuiditas adalah berbagai prosedur yang memungkinkan sebanyak mungkin masyarakat investasi untuk mendapatkan informasi tentang saham-saham yang kurang likuid di BEJ dan sejauh mana saham yang diperdagangkan cukup populer untuk dapat mendulang likuiditas di bursa.
Referensi Amihud, Y., Mendelson, H., & Lauterbach, B. “Market Microstructure and Securities Values: Evidence from the Tel Aviv Stock Exchange.” Journal of Financial Economics 45: 365-390. Bak. P., Paczuski, M., & Shubik, M. (1996). Price Variations in a Stock Market with Many Agents. Pra-cetak arXiv:cond-mat/9609144v1 Bursa Malaysia. (2005). Frequently Asked Question: Common Trading Platform. URL: http://www.klse.com.my/website/documents/CTP_FAQ_Nov_1-32.pdf Chan, N.T., LeBaron, B., Lo, A.W., Poggio, T. (1999). Agent-Based Models of Financial Markets: A Comparision with Experimental Markets. MIT Sloan Working Paper No. 4195-01. Cont, R. & Bouchaud, J.P. (2000). “Herd Behavior and Aggregate Fluctuations in Financial Market”. Macroeconomic Dynamics 4:170-196. Farmer, J.D. (2001). “Toward Agent Based Model of Investment”. Benchmark and Atribution Analysis. Association for Investment Management Research, AIMR. Frank, Joshua. (1999). Applying Memetics to Financial Markets: Do Markets Evolve towards Efficiency?. Journal of Memetics Vol.3(2). Publikasi on-line. URL: http://jomemit.cfpm.org/1999/vol3/frank_j.html Galam, S. (2002). "Minority Opinion Spreading in Random Geometry". The European Physical Journal B 25:403-406. Hariadi, Y. & Surya, Y. (2003). Multifraktal: Telkom, Indosat, & HMSP. Working Paper WPT2003 Bandung Fe Institute.
24
Hegselmann, R. & Flache, A. (1998). “Understanding Social Complex Dynamics: A Plea for Cellular Automata Based Modeling”. Journal of Artificial Societies and Social Simulations 1(3). URL: http://www.soc.surrey.ac.uk/JASSS/1/3/1.html Iori, Giulia. (2002). “A Microsimulation of traders activity in the stock market: the role of heterogeneity: agents’ interactions and trade frictions”. Journal of Economic Behavior & Organization 1(49):269-85. Kaizoji, T., Bornholdt, S. and Fujiwara, Y. (2002). “Dynamics of Price and Trading Volume in a spin model of stock markets with heterogeneous agents”. Physica A 316: 441-452. Khanafiah, D., Situngkir, H., Surya, Y. (2005). Jejak Trading System pada Profil Investor: Elaborasi Hasil Jajak Pendapat. Working Paper WPE2005. Bandung Fe Institute. King, A.J., Streltchenko, O., & Yesha, Y. (2003). Multi-agent Simulations for Financial Markets. Publikasi on-line. URL: http://www.csee.umbc.edu/~finin/cv/ LeBaron, Blake. (2002). Building the Santa Fe Artificial Stock Market. Woking Paper Brandeis University. URL: http://www.brandeis.edu/~blebaron Lux, Thomas. (2000). Multi Agent Simulation of Financial Markets and the Stylized Facts. Presented at Conference ‘Beyond Equilibrium and Efficiency. Santa Fe Institute Mezard, M., Paris, G., & Virasoro, M.A. (1987). Spin Glass Theory and Beyond. World Scientific. Palin, Jon. (2002). Agent-Based Stock Market Models: Calibration Issues and Application. Thesis for MSc Degree in Evolutionary and Adaptive Systems. School of Cognitive and Computing Sciences. University of Sussex Shalizi, Cosma (2000), Why Markets Aren’t Rational but Are Efficient?. SFI Bulletin 15(1). Santa Fe Institute Publications. Situngkir, H. & Surya, Y. (2003). Dari Transisi Fasa Ke Sistem Keuangan: Distribusi Statistika pada Sistem Kompleks. Working Paper WPQ2003. Bandung Fe Institute. Situngkir, H. & Surya, Y. (2004a). Democracy: Order out of Chaos. Working Paper WPQ2004. Bandung Fe Institute. Situngkir, H. & Surya, Y. (2004b). Statistical Facts of Artificial Stock Market: Comparison with Indonesian Empirical Data. Working Paper WPS2004. Bandung Fe Institute. Stauffer, D. (2001). “Monte Carlo Simulations of Sznajd Models”. Journal of Artificial Societies and Social Simulation 5(1). URL: http://www.soc.surrey.ac.uk/JASSS/5/1/4.html
25