Memandang Seni Rupa, Membaca Mata Esei pengantar
Memandang Lukisan, Membaca Novel Di dalam novel 'Larung' karya Ayu Utami, kita dapat memetik sebuah kesaksian yang 'indah' tentang mata dalam kalimat-kalimat seperti ini. "...Ketika orang menjadi tua, maka keindahan pergi ke luar dirinya. Pada saat itulah kita tahu rasanya memiliki mata untuk melihat kecantikan hidup dari luarnya sebab kita telah berjarak dari hidup ...Tapi menjadi tua adalah seperti bayangan yang pelan-pelan terlepas dari layar dan meninggalkan film yang terus berputar sementara ia terhirup ke kursi penonton dan menyaksikan cerita yang berjalan tanpa dirinya di sana lagi. (Sebuah gedung bioskop, Nak, adalah layar lebar yang bercahaya dan ruang pemirsa yang gelap dan luas; kita tahu banyak kursi meski kita tak melihat warnanya). Ketika orang menjadi tua maka ia menjadi mata. Dan hanya mata. Tak ada lagi saya. Hanya mereka." (hal. 17). Membaca bagian kecil novel itu saya teringat pada lukisan alm.Amang Rahman (19312000). Seorang tua berambut dan bercambang putih lebat selembut kapas, sepasang matanya hanya hitam, dalam -tentunya bolong- dilukiskan di tengah latar alam yang senyap dan maha luas -tentunya keluasan bertepi, yakni sebatas bingkai pada lukisan. (Novel) Ayu Utami: 'Ketika orang menjadi tua maka ia menjadi mata'. (Lukisan) Amang Rahman: Ketika orang menjadi tua, maka ia tanpa mata. Kemana sepasang mata itu raib meninggalkan jejak lubang hitam pada raut wajah? Kenapa? Sejak kapan persisnya seorang tua menjadi tua, menjadi 'hanya mata' atau 'tanpa mata', seraya 'keindahan pergi ke luar dirinya'. Lukisan-lukisan orang tua bermata bolong itu tak jarang diberi judul 'potret diri' oleh pelukisnya. Bagaimana sebuah lukisan wajah bermata bolong semacam itu dapat disebut sebagai 'potret diri'? Manakah 'potret diri' Amang Rahman yang 'sesungguhnya' yang dapat kita khayalkan? Sekarang setidaknya kita telah memiliki dua acuan tentang 'potret diri'. Yakni, lukisan 'potret diri' yang ditawarkan oleh sebuah lukisan wajah dengan sepasang mata bolong yang dapat kita pandang (seperti kita memandang lukisan Amang Rahman itu). Atau justru sebaliknya, 'potret diri' bisa saja adalah sebuah gagasan atau khayal tentang diri yang mengacu pada
'hanya sepasang mata' yang menandai pertama-tama seseorang adalah 'seorang tua'; tetapi celakanya tak dapat kita jumpai pada lukisan, karena ini merupakan imajinasi di dalam ranah bahasa (novel). Ya, dapatkah kita 'memandang' mata di dalam novel? Baik di dalam lukisan maupun novel, keduanya tentu saja adalah gagasan atau metafora perihal mata yang cukup ganjil tentang penggambaran perihal 'seorang tua', atau 'potret diri seorang tua', atau ‘seorang tua sebagai potret diri’. Ketika kita melihat cuma sepasang lubang atau rongga mata pada wajah atau 'potret diri' dalam lukisan itu, sosok orang tua yang semula mengesankan memandang, sesungguhnya telah berbalik menjadi sosok yang sepenuhnya kita pandang atau dipandang. Betulkah demikian? Bagiamana dengan seorang tua yang 'menjadi mata'? Memandang apakah dia? 'Mata' di sana pun kini paling tidak mendua arti. Yakni, mata dari sosok 'yang hidup dari tanpa melihat' seperti kesan kita pada lukisan bermata bolong dan berikutnya adalah mata sosok 'yang melihat tapi yang telah 'berjarak dari hidup', seperti kita telah memetiknya melalui metafora yang indah di dalam bahasa novel. Tentunya, ada acuan yang lebih stabil yang dapat kita gunakan untuk memahami sang mata, baik di dalam lukisan maupun di dalam novel. Yakni, yang tergambar dalam semua lukisan yang diberi judul 'potret diri' adalah sosok yang dikesankan hidup, apakah sosok itu 'melihat' atau 'tidak melihat' dengan sepasang matanya. Mustahil kita berkhayal perihal sosok yang 'melihat' tanpa sekaligus memiliki gambaran sosok yang 'hidup': mata di sana adalah mata dari sang hidup. Demikianlah, 'mata' di dalam lukisan maupun di dalam novel telah memberikan suatu penglihatan baru kepada kita bagaimana memaknai mata. Mata bolong di dalam lukisan boleh jadi tetap berfungsi sebagai mata: mata bolong itu tetap dimaksudkan oleh pelukisnya sebagai 'mata'. Sedangkan 'mata' dalam tuturan novel seperti telah kita baca dapat kita bayangkan sebagai mata itu sendiri yang tak lagi memerlukan apa pun untuk melihat dunia: mata yang bahkan dapat mengklaim kehadirannya sebagai 'seorang tua'. Bahkan pada saat 'orang tua' menjadi hanya 'mata", pada saat itu, 'tak ada lagi saya'. Boleh jadi tuturan dalam novel telah 'menyerang' gagasan representasi visual dalam lukisan karena 'logos' mediumnya yang berbeda. Atau, lukisan telah sedemikian rupa mengelak untuk melukiskan gagasan afirmatif tentang 'mata' sebagai semata-mata 'mata' yang menunjukkan (misalnya saja) representasi identitas ketuaan atau potret seseorang. Dengan kalimat lain, tatkala melukiskan mata bolong pada wajah, pun hakekatnya sang pelukis
tengah menghadirkan wacana yang bermakna tentang mata. Dan kembali ke wacana potret diri dalam bahasa visual lukisan, bukankah melukiskan 'potret diri' yang 'lengkap' berupa raut wajah bermata bolong dan kelam justru terkesan lebih benderang --sebuah negasi bagi kehadiran mata-- ketimbang melukiskan secara afirmatif 'sepasang mata' yang benderang untuk memandang dunia sebagai acuan untuk pokok 'potret diri' yang sama kelamnya, seperti setidaknya telah disarankan oleh novel? Atau dengan cara paradoks seperti itukah (yakni, menghilangkan mata) sebuah lukisan justru hendak mengatakan tentang mata atau menyejajarkan diri dengan metafora di dalam tuturan bahasa? Potret diri tanpa sepasang mata (atau bermata bolong) agaknya merupakan sebuah 'dialektika' yang ampuh bagi wacana tentang diri dalam seni lukis, kalau kita memperoleh pandangan yang lebih kompleks perihal mata. Diri yang hadir di sana adalah sebuah tuturan 'cerita' minus 'aku', kalau kita mengerahkan imajinasi kita tentang seorang tua yang menjadi 'hanya mata'. Secara perlahan-lahan, sang aku meloloskan diri dari layar atau 'ruang pemirsa', melepaskan diri dari (menjadi) tontonan. Demikianlah pemiuhan, pengalihan, penyejajaran representasi rupa 'potret diri' dengan sesuatu obyek seperti dalam lukisan Amang Rahman adalah keniscayaan yang masuk akal di dalam lukisan, hanya kalau kita percaya pada tuturan di dalam bahasa : potret (diri) seorang tua hakekatnya adalah sepasang matanya, yang secara hurufiah raib dari lukisan. Di sanalah 'diri minus aku' adalah diri yang cenderung beralih rupa agar dapat ditonton: dilukiskan serupa menara, monumen seruling, pohon hayat, mungkin juga perahu atau cakrawala.
Mata Sang Ada Lukisan-lukisan Jeihan yang menampilkan pelbagai sosok perempuan tanpa sepasang mata -seringkali disebut juga bermata bolong- juga mengesankan bahwa sosoknya mengenakan topeng. Ketika menelaah sosok-sosok perempuan dalam lukisan Jeihan dalam pameran tunggalnya, 'Andika' (1993), Jim Supangkat menyinggung hanya sekilas tentang mata bolong dalam lukisan Jeihan, sebagai bagian yang mengukuhkan munculnya kesan topeng pada wajah.
Jim menulis tentang pentingnya memperhatikan'wajah' dalam lukisan-lukisan Jeihan, "Wajah dalam lukisan Jeihan adalah bagian yang kontroversial. Menimbang seluruh kecenderungan komposisinya --yang menekankan figur di tengah ruang-- wajah dalam lukisan Jeihan mestinya bagian yang tidak istimewa (sekadar bagian dari tubuh). Namun pada kenyataannya, wajah ini hampir selalu mendapat tekanan. Ekspresi wajah bahkan mencerminkan pertimbangan estetik. Noktah hitam pada gambaran mata --yang sering ditafsirkan sebagai mata bolong-- bukan hanya sekedar menyederhanakan bentuk mata ke bentuk globalnya, tapi juga untuk menyeleksi realitas. Dengan tidak melukiskan sorot mata, Jeihan terhindar dari misalnya, mengekspresikan kenestapaan. Di satu sisi Jeihan peka merasakan gejolak kejiwaan pada model yang dilukisnya, namun di sisi lain citra keindahan yang menempel di kepalanya menolak kenyataan itu untuk ditampilkan sebagai ekspresi keindahan". Lagi, kepada kita pelukis telah menyuguhkan pasal penting yang tak layak kita abaikan begitu rupa: mata. Pada lukisan Jeihan, bangun atau massa tubuh yang seakan selalu mengapung tanpa penopang pada bidang segi empat kanvasnya yang cenderung monokromatis itu, seakan adalah 'cahaya' yang mencuri untuk menggantikan sorot atau tatapan mata yang hilang. Kegelapan yang niscaya pada irisan mata bolong itu menjadi sentral bagi faset -faset kelam di sana-sini dalam komposisi warna lukisannya: kegelapan teka-teki atau misteri 'sumur' sang manusia atau sosoknya dilukiskan Jeihan di sana, kalau bukan justru 'kenestapaan'nya. Tubuh dalam lukisan Jeihan: khayal yang tak membuncah, tak menerbitkan gelora. Sosok berbaring -umumnya perempuan- dalam lukisan Jeihan bahkan dapat mengingatkan kita pada sebuah komposisi lanskap yang tenang dan meditatif: seakan irisan-irisan lembah atau dataran rendah di bawah bentangan langit tanpa cakrawala yang membawa kita pada irama dan keseimbangan. Sesudah penelusuran melewati patahan-patahan dengan blabar tebal itu, kita akan bersua dengan dua iris liang hitam, ceruk yang menggoda kita menembusnya, kalau tidak menatapnya lama-lama: sepasang mata bolong yang mengundang kita tanpa kehadiran bahasa. Meninjam frase lukisan surealis, begitulah kita melihat dalam lukisan Jeihan, sepasang mata itu seakan sebuah 'elemen enigmatik' dalam sebuah lanskap. Mata bolong itu telah disebutkan berguna untuk 'menyeleksi realitas'. Dengan kalimat yang lain, kita dapat mengatakan bahwa sosok yang digambarkan Jeihan tidak lagi berhubungan dengan keadaan disekelilingnya yang disebut sebagai realitas itu. 'Realitas' pada lukisan
Jeihan: bidang kosong nyaris tunggal warna, atau terkadang jejak emotif sambungmenyambung dari kuas yang sengaja ditampilkan di atas kanvas. Kekosongan dan kesunyian pada latar lukisan Jeihan memang makin menegaskan bahwa sepasang mata bolong itu seakan 'menolak kenyataan', kalau kita khayalkan bahwa sosok di situ bagaimana pun tetap dan niscaya berhubungan dengan keadaan atau penggambaran di sekitarnya (relasi internal yang terjadi dalam lukisan atau upaya pelukisan citra). Kekosongan, teka-teki adalah prasyarat yang niscaya pada lukisan mata bolong Jeihan, seperti kesenyapan yang niscaya di sekeliling potret diri Amang Rahman yang tua. Demikianlah, visi seorang pelukis (modernis) bukanlah pandangan kepada yang di luar, kepada relasi yang melulu bersifat 'optikal-fisikal' (Klee) dengan dunia. Dunia tak lagi hadir di depannya melalui representasi, malahan agaknya bagi pelukis benda-benda di dunia ini lahir melalui semacam pemusatan atau penjelmaan-dengan-sendirinya dari yang tampak. Lukisan tak menjalin hubungan dengan apa pun di antara benda-benda yang dialami oleh si pelukis, kecuali hubungan yang pertama-tama bersifat 'autofigurative'. Suatu pemandangan atau spektakel tentang sesuatu (spectacle of something) hanya mungkin kalau menjadi suatu 'pemandangan ketiadaan' (spectacle of nothing), yakni dengan menerobos 'kulit bendabenda' untuk menunjukkan bagaimana benda-benda menjadi benda-benda, bagaimana dunia menjadi dunia. Apollinaire mengatakan bahwa di dalam sebuah sajak ada frase-frase yang tidak muncul lantaran diciptakan, frase yang membentuk dirinya sendiri...Spirit hidup internal, pancaran dari yang nampak inilah yang dicari oleh pelukis dengan nama kedalaman, ruang, warna. (Merleau-Ponty). Sang mata, indera pelukis yang sensitif yang selama ini seumpama jendela yang selalu menjurus keluar, sesungguhnya secara paradoks merupakan suatu ancangan untuk memandang ke arah dalam: penampikan kenyataan, pemusatan ke dalam diri. 'Melihat' – dengan mata-- bagi para pelukis moderen ini tentunya bukanlah problem sensibilitas optismaterialis-obyektif, yakni melihat apa yang tampak ada di luar. Melainkan kekhidmatan ontologis-spiritualis- subyektif perihal apa yang mungkin ada atau gagasan perihal 'ada'. Tampaknya, dialektika dua wajah jendela untuk menghadap ke luar dan sekaligus merasuk ke dalam itulah yang dapat dibayangkan oleh penggambaran mata bolong. Bukankah indera mata pun diyakini merupakan jembatan dua dunia, antara sesuatu yang tak dapat dipahami dan yang dapat dipahami?
"Lewat kucing saya mencoba menampilkan intensitas yang pada masyarakat kini sedang diabaikan..orang lebih banyak terkesan kepada gejala kulit....Anak-anak kucing yang menggeliat, merpati-merpati yang bergerak beringsut sangat ada hubungannya. Hubungan dunia dalam." (: alm.Popo Iskandar) Seakan menyerahkan diri pada penampakan suatu 'ada' yang magis, pelukis Popo Iskandar (1927-2000) melukiskan sepasang mata kucing berwarna hijau pada lukisan-lukisan kucing pelbagai bentuk dan warna. Seakan kita diajak untuk menyeberang atau keluar dari realitas sehari-hari di sekitar kucing, mengarungi sosok terpiuh, barik, bungkahan warna sebelum berlabuh kepada misteri sang kucing. Sepasang mata kucing tak lain mirip dua irisan penampang daun; tampak sebagai sesuatu yang dibubuhkan dari luar, atau datang dari nun jauh di balik sana, dari bayang-bayang sang 'ada' di belakang kucing? Lebih dari sekadar sorot mata yang menusuk kegelapan dari seekor kucing, sepasang elip mata hijau itu melampaui perspektif makna sebagai tatapan mata milik sang kucing. Demikianlah simbolisme mengungguli keasyikan materialistik didalam realisme: menggunakan obyek-obyek sebagai suatu ‘aksara yang sublim’ untuk mengekspresikan gagasan yang memiliki insight . Lebih dari sekadar seorang 'comprehensive expresser', pelukis memiliki'emotivity', 'transendental emotivity.' Karena itu simbol-simbol mampu muncul dari kegelapan, menjadi hidup. Yakni, hidup yang bukan lagi hidup yang penuh kefanaan dan relativitas, melainkan hidup yang merupakan hakekat atau esensi hidup, ada dari sang Ada... Obyek adalah tanda, huruf-huruf dari aksara maha besar yang cuma si jenius dapat mengucapkannya. (:Albert Aurier) Pelukisan sepasang mata bolong pada potret diri, pada sembarang sosok, sepasang mata kucing sebagai pancaran dari 'sang ada' dalam lukisan-lukisan itu tentunya menunjukkan sebuah gagasan yang memusat: memusat pada idea tentang dunia, 'sang ada', diri; pada subyek si pelukis itu sendiri. Gagasan demikian bukanlah gagasan perihal mengurai, memilah atau menjelaskan, melainkan gagasan sinkretik, penyatuan, pemadatan dan penyelarasan. Melalui pelukisan ini seakan disuguhkan juga sebuah tamasya dramatik yang tersembunyi di dalam diri, melalui mata.
Mata di 'Seberang' Tubuh
Lukisan-lukisan Ivan Sagito, Laksmi Shitaresmi, Lucia Hartini dan Sigit Santosa masingmasing berhubungan dengan penggambaran kembali atau representasi mata dalam wacana ajal, identitas personal yang majemuk, dimensi ruang-waktu serta dislokasi tubuh dalam pandangan yang mengatasi obyek sang mata itu sendiri di luar diri, pandangan yang dikenal sebagai perspektif transenden. Manusia cukup memiliki dua mata yang tidak simetris yang melekat pada wajah: mata kematian dan mata kehidupan. Itulah ambang absurditas makna mata bolong yang memandang ke arah kematian dan ambang realisme mata hidup yang menembus kehidupan. Bukankah dengan demikian sebenarnya pelukis memiliki 'mata ketiga' untuk memandang keduanya? Tatkala lahir manusia sudah terlalu tua untuk menjemput ajalnya sendiri dan ketika ia mati, sudah tentu ia masih terlampau bayi dalam usia semesta. "Ada manusia terletak bersamaan di antara dua tempat yakni pada hidup dan juga pada mati. Karena fana, hidup juga bermuatan mati. Tergambarlah pada satu wajah yang sama, wajah manusia yang sama dan fana, mata hidup dan mata mati..." Hidup yang selekas lembar daun pisang kering, rapuh, gugur atau cuma melambai. (Ivan Sagito) Sosok citra perempuan yang diangankan tegar seperti kesatria perempuan yang perkasa, Srikandhi, kini mengerahkan seluruh ekstra-persepsinya, mengatasi semua labirin, mengarungi dan 'membaca' kembali pelbagai rahasia mata: di hadapan mata, tidakkah kita sekaligus adalah masa silam dan masa depan? Labirin adalah medan pertempuran atau pencarian perempuan yang sesungguhnya. Aku adalah logos atau sang pusat yang bersabda, ketika pelukis mengatakan "..hanya aku yang tahu mataku atas kesaksianku, hanya kamu yang tahu matamu atas kesaksianmu". (Lucia Hartini). Seperti pada lukisan Lucia Hartini, mata-mata dalam serangkaian lukisan wajah perempuan dalam karya Laksmi Shitaresmi adalah mata sebagai kesaksian personal yang bersumber dari sang aku. Mata adalah perangkat untuk memberikan kesaksian pribadi, meskipun mungkin hanya kesaksian bisu benda-benda pada serangkaian wajah yang diulang-ulang. Wajah perempuan satu yang banyak, wajah banyak perempuan dalam bingkai nasib yang satu. Rambut yang membentuk raut tertentu wajah, melahirkan bentuk-bentuk pikiran tertentu. ‘Ada korespondensi antara pemikiran dan tubuh, yang ada di dalam terdapat juga di luar’.
(Goethe). Obyek-obyek tergambar sebagaimana adanya di dalam mata, obyek adalah realitas dari mata itu sendiri. Melihat adalah proses yang 'ada' di dalam mata. Mata tidak bolong, tetapi putih: sang mata seakan ruang pembekuan dan penampakan kembali bagi simbol-simbol yang diperas dari berbagai kenyataan. Kita menemukan kembali esensi realitas dalam pantulan mata, berlaku seperti cermin. (Laksmi Shitaresmi, "Wajah Dua Belas", 2002). Juga kita melihat wajah dalam lukisan Laksmi Shitaresmi, mata seperti dam perkasa yang jebol tanpa suara, membentuk aliran sungai kecil yang menghiasi wajah dalam jejak-jejak pahatan yang keras dari tangan-tangan sang 'duka', yang menghadapkan diri sepenuhnya kepada kita. Air mata adalah kesaksian dan bahasa para perempuan yang tertumpah, tetapi juga mengandung kekuasaan yang mencekik leher-leher perempuan itu sendiri. Matakah yang mereduksi realitas atau simbol, yang melahirkan identitas perempuan dalam tawanan air matanya sendiri, seutas tali, api atau ranum dedaunan yang gugur? Jika wajah --dengan atau tanpa mata-- adalah sebuah dunia, baiklah, mungkin air mata itu, yang dilukiskan seputih garam, mungkin ingin menggarami dunia. Pada perempuanlah, yang personal adalah juga politikal. Tidakkah tubuh lebih tahu tentang dunia ketimbang saya sendiri? Tidakkah tubuh seakan juga bertugur dalam rahasia sang wajah, mengawasi dunia? Apakah dengan demikian tubuh menjadi lebih nista atau mulia? Seluruh tubuh menjadi ruang simbolis bagi mata: mata bertubuh, tubuh bermata. "Seandainya mata muncul di antara jantung dan hati, barangkali dunia tidaklah seperti dunia kita ini..." Bukankah kita menemukan lagi dunia tanpa peta pada mata anak-anak tak berdosa maupun mata kosong seorang renta? Apakah ada batas telak antara keduanya? (Sigit Santosa)
Mata-mata: Para Kolonialis Wajah adalah sebuah 'aksara' atau dapat menggantikan 'aksara'. Namun wajah manusia bukanlah aksara yang demikian sublim, melainkan aksara yang cukup lucu di hadapan pengetahuan atau norma yang obyektif yang begitu serius ingin mengubah realitas menjadi satuan-satuan tipografis maupun positif-logis. Seperti visus-visus atau penglihatan jauh dapat ditaksir dengan menggunakan kartu uji Snellen pada jarak tertentu --kita mengalaminya pada pengetesan kesehatan mata, sebelum dokter memutuskan apakah kita perlu menambah mata menjadi empat --, seberapa jauh atau seberapa dekatkah engkau
mengenal (wajah) aku dan aku mengenal (wajah) engkau? Kita tidak berhasil memasuki mata sebenar-benarnya, seperti halnya kita selalu gagal menerobos wajah manusia untuk merogoh sejati-jatinya. Representasi mata biologis merupakan kawasan obyektif yang menjadi sah oleh peralatan penalaran bernama pengetahuan. Di seberang itu, kita mempercayai kehadiran seni. Membuka mata kita untuk 'membaca' kedirian seseorang, wajah dan hatinya, membaca sesuatu yang terpantul pada ekspresi ke-aku- an atau ke-ada- an kiranya adalah gambaran yang cukup ironis mengenai mata itu sendiri. Setidaknya mungkin untuk diri yang mengatakannya sendiri: 'membuka' mata bisa saja bergeser makna menjadi 'menutup'nya dengan kaca mata... Terlampau simboliskah para pelukis, terlampau ideatiskah seni? Seberapa dekat mata kita kepada realitas atau 'yang ada'; tidakkah selama ini kita telah memperalat dan diperalat oleh mata kita sendiri? (Pius Sigit Kuncoro). Wacana mata telah mengkonsumsi habis-habisan kenyataan dan jangan lupa, juga menciptakan korupsi norma. Situasi yang paradoks telah terjadi di atas meja birokrasi yang antik pada masa kolonial dan kini beralih fungsi menjadi status tertentu bagi masyarakat borjuasi pada masa 'post-kolonial'. Lebih dari membaca, melihat dan memahami, mata juga mengkonsumsi, mengkorupsi, menjelajahi dan menelanjangi sambil menimpakan stigma tertentu pada situasi yang mendua yang bertumpuk di atas meja, tempat kita berunding, memerintah dan menghabisi. Apakah mata demikian berkuasa menjadi penentu norma? (Entang Wiharso) Tetapi tak ada tatapan mata yang begitu menjajah, merampas dan bersifat kolonialis seperti pada mata-mata mereka yang menamakan dirinya manusia. Bukan, ini bukanlah realitas melainkan sejenis pertunjukan, panggung, realitas kedua yang cukup masuk akal untuk tidak mengatakannya sebagai sesuatu yang logis: representasi yang selalu mengatakan kesejajaran atau bersifat pararel dengan realitas yang ingin direpresentasikannya. Ahli fenomenologis akan menulis, ‘dengan memilih badan terjadi juga pemilihan atas alam. Yang mau menciptakan alam tarian harus menutup matanya dan terjun ke dalam alam akustik dengan membuka telinga’. Contoh populer untuk itu justru tokoh komik Si Buta dari Gua Hantu yang berseru kembali dalam sebuah lukisan di atas kanvas yang pernah dianggap adiluhung itu: "Ayah, aku ingin memecahkan rahasia ilmu golok mata malaikat. Aku sudah tahu arti ilmu daripada
membedakan suara". Para pendekar yang menghuni dunia seni rupa nun jauh di 'bawah' itu boleh jadi tak kalah hebatnya dengan para pelukis yang hidup di dunia tinggi wacana, setidaknya dalam hal membutakan atau meniadakan mata. Masihkah kita akan mengatakan bahwa ini semua tak cukup berharga? Marilah menengok sebuah wacana tinggi 'fenomenologis' di dalam gambar-gambar komik di sudut-sudut gang, atau membaca komik dalam lukisan di dalam benderang lampu spot galeri dengan aroma yang wangi (Diyanto). Atau, kita akan dihinggapi penyakit insomnia kekal pada wajah kita yang gepeng karena terlampau berat dihimpit oleh beban dunia. Dunia tak pernah tidur: betapa sengsaranya kita karena itu, betapa nestapa sesungguhnya para seniman...(S. Teddy. D).
Televisi: Mata Kotak Kini kita bergeser dari soal mata-mata itu kepada sesuatu yang membuat kita justru tak dapat menutup mata kita sendiri, apakah kita termasuk kalangan kebanyakan atau para seniman. Yakni, kenyataan sehari-hari yang direpresentasikan melalui apa saja, termasuk media. Semua media mengambil bentuk kotak: koran, televisi, majalah, surat kabar. Semua kita adalah saksi kedua dari peristiwa-peristwa yang dipantulkan oleh kotak-kotak itu. Peristiwaperitiwa real dipantulkan kesana-kemari oleh cermin yang begerak di luar kekuasaan setiap orang, membawa gambar atau susunan realitas yang saling memantul. Manusia: monster yang entah ingin melihat kenyataan dengan lebih serakah -seperti kaum kolonialis juga-- ataukah realitas majemuk yang melekat pada struktur tubuh? Satu,dua atau tiga pasang mata, seperti halnya benda-benda yang dihidupkan oleh mesin, hidup dan bergerak serupa roh-roh animis di masa kebudayaan mitis. Bukankah kotak-kotak mass media adalah ibu dari semua mitos baru juga? (Heri Dono). Realitas adalah rutinitas, seperti kedipan otomatik pada mata pada sekian sekon. Para perupa adalah pencuri momen empirik yang terus-menerus direproduksi dalam kenyataan, bukan lagi momen estetik yang seakan tunggal dan mencengangkan. Seperti pikiran, mata kita terus-menerus diperpanjang, dipertajam serta diperluas. Pertanyaan terhadap kenyataan itu adalah: oleh alat apa dan siapa dan dengan cara bagaimana? Dewasa ini kita bahkan tidak bebas untuk menentukan sendiri file atau isi pikiran kita sendiri, atau membentuk "gambar-gambar di kepala kita" (pictures in our head) karena peranan
mass media. Ada sistem yang mengontrol realitas. Sejumlah 'newspeak' telah dibuat oleh pusat-pusat kekuasaan tertentu untuk membatasi pandangan kita tentang realitas. (Noam Chomsky). Para perupa kontemporer agaknya menyadari itu, mereka menemukan sejumlah 'media baru' kalau bukan 'permainan baru'. Mereka masih punya 'kuasa penuh' terhadap realitas itu. Menonton tevelisi dengan remote control, misalnya adalah ‘pengalaman dari sebuah kegiatan melompat-lompat dari satu saluran teve ke saluran yang lain tanpa order atau tata aturan yang jelas.’ Misalnya, tangkapan-tangkapan 1/25 detik ketika mata sosok di dalam kotak ajaib itu tidak 'melihat' kita: diskoneksi, anonim dan hilangnya sepersekian detik komunikasi. (Ade Darmawan). Mesin meniru reflek biologis, seperti realitas ingin meniru seni. Para seniman memperoleh bahan yang melimpah ruah di sekitarnya, ‘momen-momen, kilasan-kilasan ingatan, suasana bertemu orang, kejadian, tempat, selama 3 minggu, 8 rol filem, 22 hari.’ (Indra Ameng). Kenyataan yang 'autofiguratif' yang menggambar secara otomatik 'teks' dirinya sendiri yang bermakna bagi para pelukis bergeser menjadi kenyataan yang 'automatic' bagi orang kebanyakan. Persekutuan antara seni dan teks kehidupan sehari-hari. Epilog: Saksi Mata Bagaimana kenyataan yang majemuk dan dianggap sederajat harus dibaca sebagai sematamata teks, baik dalam teks rupa maupun teks tertulis? Bagaimana rasa kenyataan di dalam teks? Kita tahu bahwa mata bolong tidak dapat menjadi saksi mata dalam kenyataan hidup kita. Kendati secara simbolis, metaforis dan dramatik, representasi 'mata seni' telah menjelajahi berturut-turut diri, ada, nestapa, ruang-waktu, kematian, absurditas dan realitas palsu seperti digambarkan dan direpresentasikan oleh para perupa, namun mata yang korup atau korupsi pada mata tidak akan berhasil menjadi sebuah kesaksian orang pada dunia. Saya adalah saksi, manusialah saksi pertama bagi dunia, sebelum matanya. Mata kecil nyaris tenggelam dalam biduk wajah yang mengapung di atas samudera kekosongan di depan dan di belakang hanya dapat kita saksikan setelah kita berada di ketinggian menara sosok perempuan tirus-tinggi yang sedikit tergetar oleh kesaksian kita yang hadir
menyaksikannya. Kita juga menyaksikannya? Di depan meja sang hakim itu, bersama sang saksi mata atau ...dimanakah kita? (Dolorosa Sinaga). Lihatlah, bukankah masih ada gurat lemah seakan kebetulan pada kerasnya perunggu, seperti leleran tipis air dari sang mata; air mata? +++ Jakarta, 16 Agustus 2002 Hendro Wiyanto Kurator pameran