VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
MEMADUKAN OTAK DAN HATI DALAM BIMBINGAN BELAJAR ISLAMI Elfi Rimayati FIP IKIP Veteran Semarang Email :
[email protected]
ABSTRAK Hampir di semua lembaga pendidikan di Indonesia, kecerdasan intelektual (Intelectual Quotient/ IQ) masih mendominasi ukuran kecerdasan seseorang bahkan menjadi penentu kelulusan peserta didik. Tuntutan terhadap aspek kecerdasan intelektual ini disinyalir menjadi pemicu rendahnya moralitas peserta didik lantaran kecerdasankecerdasan lain seperti kkecerdasan emosi (Emotional Quotient/EQ), kecerdasan spiritual (Spiritual Quostient/SQ), kecerdasan sosial (Social Quostient/SsQ), dan kecerdasan personal (Personal Quostient/ PQ) yang bermuara di dalam hati masih terabaikan. Dari perspektif Bimbingan dan Konseling, hal ini terjadi lantaran bidang bimbingan belajar yang bertugas mengembangkan potensi kecerdasan peserta didik masih berkutat pada teratasinya masalah-masalah akademik, sedang akhlak mulia yang seharusnya membingkai kecerdasan akademik belum digarap maksimal. Bimbingan dan Konseling dalam spektrumnya yang lebih luas bertujuan memandirikan peserta didik hingga ia bisa hidup bahagia. Untuk bisa hidup bahagia kecerdasan akademik saja tentu tak menjamin. Kecerdasan-kecerdasan lain seperti EQ, SQ, SsQ dan PQ mutlak diperlukan. Sebagai agama yang sempurna Islam menawarkan solusi bagi terbentuknya multi kecerdasan tersebut melalui Bimbingan Belajar yang berwawasan Islami. Kata kunci: Bimbingan Belajar, IQ, EQ, SQ, SsQ, dan PQ I. PENDAHULUAN A. Pengantar Berangkat dari Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003
Bab II pasal 3 yang
menyebutkan bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (2006: 5-6). Dari pasal ini jelas terlihat cita-cita mulia yang ingin digapai oleh dunia pendidikan di Indonesia. Melalui pendidikan ini pemerintah hendak membangun generasi bangsa yang sempurna, tidak hanya cerdas tapi juga berperadaban dan bermartabat yang dilandasi nilai-nilai spiritualitas yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai sebuah negara yang berketuhanan, dan sangat
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
24
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
menjunjung nilai-nilai Religiusitas, harapan pemerintah ini tidaklah berlebihan. Untuk mencapai harapan ini Bimbingan dan Konseling merupakan salah satu komponen penting. Karena ia merupakan bagian integral dalam sistim pendidikan Indonesia. Salah satu bidang dari Bimbingan dan Konseling yang diberikan kepada peserta didik
adalah bidang bimbingan belajar. Melalui bimbingan belajar ini diharapkan
peserta didik dapat terhindar dari kesulitan-kesulitan belajar. Peranan guru BK adalah memfasilitasi siswa dalam mencapai tujuan akademik yang diharapkan. Juntika (2005:10) mendefinisikan bimbingan belajar sebagai bimbingan yang diarahkan untuk membantu para individu dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah akademik. Di antara masalah-masalah akademik itu adalah pengenalan kurikulum, pemilihan jurusan atau konsentrasi, cara belajar, penyelesaian tugas-tugas dan latihan, pencarian dan penggunaan sumber belajar, perencanaan sumber belajar lanjutan, dan lain-lain. Lebih teknis dari definisi diatas, Yusuf (2005:11) menegaskan bahwa bimbingan belajar dilakukan dengan cara mengembangkan suasana belajar-mengajar yang kondusif agar terhindar dari kesulitan-kesulitan belajar. Para pembimbing membantu individu mengatasi kesulitan-kesulitan belajar, mengembangkan cara belajar yang efektif, membantu individu agar sukses dalam belajar dan menyesuaikan diri dengan semua tuntutan pendidikan. Dari tampilan definisi ini nampak nyata bahwa bimbingan belajar yag diberikan lebih berorientasi pada terentaskannya masalah kesulitan-kesulitan belajar peserta didik, bersifat lebih akademis, serta “terkesan” mengabaikan pembentukan karakter peserta didik. Sehingga jika melihat fenomena yang muncul di kalangan peserta didik seakan berbanding terbalik dengan cita-cita mulia tujuan pendidikan. Kasus-kasus seperti tawuran pelajar, pergaulan/seks bebas di kalangan pelajar, keterlibatan tindak kriminal, serta penggunaan obat-obat terlarang di kalangan pelajar marak terjadi. Belum lagi prilaku-prilaku di kelas yang menyangkut nilai-nilai kejujuran yang dinilai masih rendah, seperti budaya mencontek, bahkan membeli jawaban ujian nasional bukan lagi hal yang tabu. Semua ini dilakukan demi mendapatkan nilai akademik yang tinggi. Seakan para peserta didik sudah kehilangan kendali moral sebagai calon intelektual yang “seharusnya” jujur dan bermartabat. B. Bimbingan Belajar Islam Bimbingan belajar sebagai salah satu bidang bimbingan yang diberikan kepada peserta didik memiliki makna strategis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Seiring
perkembangan
IPTEK
yang
demikian
pesat,
dampaknya
terhadap
perkembangan peserta didikpun tak terelakkan. Memang, tak dapat dipungkiri manfaat MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
25
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
yang bisa diambil dari kemajuan teknologi ini sangat banyak, tapi dampak negatifpun menyisakan azab sengsara yang luar biasa. Peserta didik yang terlibat tindak kriminalitas, kekerasan, agresifitas,
tindak asusila, dan perbuatan-perbuatan tak
terpuji lainya merupakan akibat dari ketidak mampuannya membentengi diri dari arus kecanggihan teknologi informasi tersebut. Secara umum Bimbingan dan Konseling di sekolah-sekolah termasuk bimbingan belajar di dalamnya, masih terbatas pada pengentasan masalah “kulit luar”nya saja. Menurut guru besar Bimbingan dan Konseling dari Universitas Pendidikan Bandung Prof. Moh. Djawad
Dahlan hal ini disebabkan karena teori-teori bimbingan dan
Konseling yang selama ini dikembangkan lebih mendasarkan pada acuan “filsafat” dan “sains”, sehingga wajar kalau hasilnya masih banyak menunjukkan kecenderungan ke spekulatif dan tentatif (belum tentu, sementara, waktu, dan masih bisa berubah). Oleh sebab itu wajar pula bila ada sementara ahli yang menilai bahwa hasil bimbingan selama ini baru bersifat “supervisial”, “kulit luarnya saja”, atau “tidak tuntas” (M.D. Dahhlan, 1988:25). Bahkan secara tegas Dahlan menyarankan agar nilai-nilai agama menjadi landasan dalam merumuskan alternatif bimbingan dan konseling di era globalisasi. Saran itu didasarkan pada kenyataan bahwa selama ini Perguruan Tinggi telah mencetak manusia yang tidak utuh, manusia yang bernalar tinggi tetapi berhati kering, sarjana yang meraksasa dalam teknik, tatapi masih merayap dalam hal etik, dimana-mana tersebar intelek yang pongah dengan pengetahuan, tetapi kebingungan dalam menikmati hidup dan kehidupan selaku hamba Allah yang shaleh. Bimbingan belajar yang berorientasi pada pengentasan permasalahan akademik semata, akan dinilai berhasil manakala peserta didik tidak lagi mengalami kesulitankesulitan belajarnya, sukses meraih nilai akademik yang tinggi, berhasil masuk jurusan faforitnya dan bahkan sukses masuk Perguruan Tinggi yang didambakannya. Nilainilai yang terkandung dibalik kesuksesannya tersebut seakan tidak demikian penting untuk dikaji dan diaplikasikan. Sehingga banyak dijumpai peserta didik yang cerdas secara
akademik,
dan
sukses
secara
akademik
tidak
diimbangi
dengan
kepribadian/karakter yang terpuji. Perdewaan terhadap kecerdasan akademik (IQ) yang bersumber pada “otak rasional” ini berdampak buruk bagi peserta didik. Kecerdasan akademik yang tidak dibarengi dengan kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial, dan kecerdasan personal hanya akan melahirkan pribadi yang tidak utuh. Taufiq Pasiak (2008:120) mencermati secara umum adanya kekeliruan dalam pendidikan di Indonesia. Ia mencontohkan IQ (Intelegence Quostion) masih menjadi ukuran kecerdasan hampir di semua lembaga pendidikan. IQ atau kecerdasan rasio itu masih MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
26
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
dipercaya sebagai kunci untuk mencapai kesuksesan. Senada dengan pandangan diatas, A.G.Agustian (2003:xli) kembali menegaskan bahwa pendidikan di Indonesia selama ini, terlalu mementingkan arti penting nilai akademik, kecerdasan otak atau IQ saja. Mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke bangku kuliah, jarang sekali ditemukan pendidikan kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang: integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreatifitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi, padahal inilah hal yang terpenting. Pemberlakuan Ujuian Nasional (UN) yang penuh pro-kontrapun berjalan terus. Ini menjadi bukti nyata gambaran sistim pendidikan di negeri ini masih mendewakan kecerdasan rasio tersebut. Hasil Ujian Nasional sejatinya bukan gambaran utuh kecerdasan peserta didik, karenanya tidal layak dijadikan standar kelulusan. Robert Cooper
(1998:38)
menegaskan
bahwa
“kecerdasan
rapor”
atau
IQ
hanya
menyumbangkan sekitar 4 - 10 % bagi keberhasilan hidup. Sedang sisanya 90-96% ditentukan oleh kecerdasn-kecerdasan lain. Konsekuensi yang paling tragis atas pendewaan otak kiri itu adalah hilangnya kearifan dalam diri manusia. Eksploitasi baik terhadap alam maupun diri manusia itu sendiri, berkembang sangat pesat. Dalam perspektif agama (Islam), belajar tidak sekedar membuat peserta didik menjadi cerdas, dan berilmu, tapi dengan ilmunya tersebut ia mampu melahirkan amal shalih yang mewujud dalam sikap dan prilakunya yang jujur, toleran, simpati, empati, menghargai, menghormati orang tua, guru, dan sesama ,suka menolong, rela berkorban, mampu bekerjasama, memiliki kesadaran (self-awareness) yang tinggi, konsep diri (self-concept) yang kuat, harga diri (self-esteem) dan selalu meningkatkan kualitas dirinya sebagai hamba Allah yang shalih. Prilaku ini merupakan manifestasi kecerdasan yang bersumber dari kecerdasan hati. Menurut Adnan (1998:28) hati nurani akan menjadi pembimbing terhadap apa yang harus ditempuh dan apa yang harus diperbuat. Bahkan (hal.10) agama Islam adalah agama fitrah sesuai dengan kebutuhan dan kebutuhan manusia. Kebenaran Islam senantasa selaras dengan suara hati manusia. Dengan demikian seluruh ajaran Islam merupakan tuntutan suara hati manusia. Inilah sesungguhnya konsep belajar yang menawarkan bagi terbentuknya multi kecerdasan. Jika dalam konsep Bimbingan dan Konseling modern, bidang bimbingan belajar terpisah dengan bidang bimbingan pribadi, sosial dan keagamaan, maka bimbingan belajar Islami justru mencakup ketiganya. Melalui Bimbingan Belajar Islami diharapkan peserta didik tidak hanya cerdas intelektualitasnya (IQ) nya, tapi kecerdasan emosi (EQ), kecerdasan Spiritual SQ), kecerdasan Sosial (SsQ) dan kecerdasan pribadi (PQ) juga turut terbentuk. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
27
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
II. PEMBAHASAN A. Pengembangan Otak dan Hati Dalam Proses Bimbingan Belajar Islam Berdasarkan penggalian terhadap kandungan
al-Qur’an dan al-Hadis yang
merupakan literatur utama bagi umat Islam, terdapat banyak ayat dan prinsip-prinsip belajar yang perlu dikembangkan. Jika dalam literatur Bimbingan Belajar modern mengedepankan pengembangan potensi otak rasional, maka bimbingan belajar Islami memiliki jangkauan yang lebih mendalam dan bersifat transendental. Belajar tidak hanya melibatkan otak rasional, tapi “hati” juga memiliki keterlibatan yang signifikan. Sehingga proses belajar sejatinya merupakan pengembangan terhadap kedua dimensi tersebut yaitu otak (dalam bahasa al-qur’an sering disebut dengan istilah akal dan hati dalam bahasa al-Qur’an sering disebut dengan istilah Qalbu). 1. Otak (Akal) Dalam al-Qur’an istilah otak tidak dikenal, untuk menggambarkan kecerdasan digunakan istilah akal. Otak merupakan makna akal dalam dimensi jasmani. Kata akal (dalam makna rasio/daya pikir) dalam al-Qur;an dinyatakan dengan beberapa istilah, yaitu tafakkur, tadabbur, al-lub, al-hujjah,
al-hijr dan al-nuha. Shihab
(2006:vol:15:178) berpendapat bahwa akal adalah kekuatan yang menghalangi pemiliknya melakukan sesuatu yang tidak wajar. Akal memikirkan, memahami, serta menimbang yang lahir dan dan yang batin dari suatu persoalan. Akal mampu membedakan antara yang baik dan buruk, kemampuan untuk melihat jauh kedepan, mengatur dan mengelola, akal adalah pelita yang dengannya ditembus yang
tersirat
dari
yang
tersurat,
kermampuan
menampung
pengalaman,
menghubugkan masa lalu dengan masa kini serta menarik kesimpulan dan pelajaran dari kedua masa itu. Dalam maknanya yang demikian akal merupakan manifestasi kecerdasan manusia. Akal memiliki kemampuan berfikir dan memahami dari obyek yang nampak maupun yang abstrak seperti kehidupan pasca kematian semisal alam barzah, surga dan neraka. Akal juga mampu mengarahkan tingkah laku individu untuk berprilaku positif atau negatif. 2. Hati (Qalbu) Al-Qur’an menyebut hati (qalbu) dengan empat istilah yaitu sadr disebut 46 kali, lubb disebut 16 kali, fuad 16 kali, dan syaghaf 1 kali. Penyebutan hati (qalbu) dengen beberapa istilah yang cukup banyak menandakan bahwa hati memiliki peranan yang cukup penting dalam sistim psikis/ jiwa setiap individu. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim (1980) ditegaskan bahwa “ sesungguhnya dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik akan baiklah seluruh MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
28
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
tubuh, tapi apabila ia rusak, maka akan rusaklah seluruh tubuh, ketahuilah bahwa ia adalah hati”. Hadis ini mengisyaratkan adanya dua komponen yang terdapat dalam unsur hati (qalbu). Pertama, hati/jantung sebagai komponen fisik (jasmani) yang berupa segumpal daging, jika ia baik maka seluruh organ menjadi baik karena jantung berfungsi
memompa sirkulasi darah ke seluruh jaringan tubuh, jika ia
rusak, maka fungsi ini akan terganggu. Kedua, hati sebagai komponen non fisik (ruhani) yang memiliki kecerdasan. Dalam kapasitas ini hati mampu menjadikan pemiliknya berprilaku baik atau jahat. 3. Otak (akal) dan Hati (qalbu) Manifestasi Kecerdasan Sempurna Dengan mendasarkan pada pengertian otak (akal) dan hati (qalbu) tersebut, maka dapat diketahui bahwa keduanya sama-sama memiliki kecerdasan yang harus dikembangkan secara optimal. Pendayagunaan kinerja otak dan hati secara bersama-sama dan seimbang akan membentuk peserta didik menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas akademik yang dibuktikan dengan tingginya nilai-nilai mata pelajaran, tapi juga kecerdasan emosi, kecerdasan, sosial, kecerdasan spiritual serta kecerdasan personal ikut terbentuk yang dapat dibuktikan dari prilakunya yang baik. Menurut Muhaimin (2009:35) Intelegence Quostient (IQ) menyengkut cerdas, pintar, kemampuan membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah, serta menentukan kemampuan prioritas atau mana yang lebih bermanfaat. Emotional Quostient (EQ) menyangkut kemampuan mengendalikan emosi, mengerti perasaan orang lain, senang bekerja sama, menunda kepuasan sesaat, dan berkepribadian stabil.
Sedangkan Spiritual Quostient menyangkut kemampuan merasa selalu
diawasi oleh Allah (iman), gemar berbuat lillahi ta’ala/ikhlas tanpa pamrih, disiplin beribadah mahdah, sabar berikhtiar, pandai bersyukur dan berterima kasih. Kecerdasan spiritual dalam makna yang demikian telah dikonversikan ke dalam nilai-nilai agama Islam. Toto Tasmara (dalam Yusuf,2005:245) menyebutnya dengan istilah kecerdasan Ruhaniyah atau Transcendental Intelegence (TQ) yang dimaknainya sebagai kecerdasan yang berpusat pada rasa cinta yang mendalam kepada Allah Rabbul ‘Alamin dan seluruh ciptaan-Nya. Sedangkan kecerdasan Sosial (social quostient) menurut Amstrong,1994, adalah kematangan kesadaran pikiran dan budi pekerti untuk berperan secara sosial dalam kelompok atau masyarakat.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
29
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
B. Bimbingan Belajar Islami Sebuah Solusi 1. Pengertian Bimbingan Belajar Islami dimaksudkan sebagai upaya bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka teratasinya berbagai masalah belajar, menumbuhkan keimanan dan amal shalih dengan cara mengembangkan kedua potensi otak (akal) dan hati (qalbu) secara bersama-sama berdasarkan prinsipprinsip ajaran Islam. Dengan kata lain Bimbingan Belajar Islami ditujukan bagi berkembangnya potensi kecerdasan peserta didik yang bersumber dari kecerdasan otak/akal dan kecerdasan hatinya. Output dari Bimbingan Belajar Islami adalah peserta didik yang berilmu (cerdas intelegensi), beriman (cerdas spiritual ) dan beramal shalih (cerdas pribadi, sosial dan emosi). Dalam pandangan islam untuk menjadi mulia, tidak cukup berbekal ilmu, tapi juga iman dan amal shalih. 2. Prinsip-Prinsip Belajar Islam Belajar pada hakikatnya adalah sebuah proses mencerna, mendalami dan memahami ilmu dengan menggunakan potensi otak dan hati yang secara “given” telah dilekatkan oleh Allah dalam diri setiap manusia. Sebagai sebuah upaya bantuan, pada bimbingan belajar yang bercirikan nilai-nilai keislaman, peserta didik harus diperkenalkan lebih dahulu akan prinsip-prinsip belajar menurut Islam, yang merupakan karakter yang membedakan dari konsep belajar moderen. Prinsipprinsip tersebut adalah: a. Belajar adalah wajib Dalam pandangan Islam belajar hukumnya wajib.. Prinsip ini diambil dari QS:9:122 yang artinya “
Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu
semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kapada kaumnya apabila telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya”. Dalam menafsirkan ayat ini Quraisy Shihab (2006, vol.5:750) menegaskan bahwa perintah belajar tidak terbatas pada ilmuilmu agama dan satu dua orang tertentu, tapi meliputi semua ilmu yang bermanfaat dan diperintahkan bagi semua umat muslim. Al-Zarnuji (1995:4) salah seorang pakar pendidikan Islam klasik mengatakan bahwa ayat tersebut merupakan ajakan yang bersifat “wajib” kepada semua umat muslim untuk belajar. Sekalipun dalam ayat tersebut tidak tampak kata-kata wajibun yang berarti wajib, atau kata-kata faridhatun yang berarti difardhukan, tetapi dalam ayat itu terdapat fiil mudhari’ yang telah kemasukan lam amr, yakni lafaz liyatafaqqahu, maka aktifitas belajar dalam pandangan Islam hukumnya wajib. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
30
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
Kewajiban ini juga bersifat abadi sebagaimaana disebutkan dalam hadis nabi “tuntutlah ilmu dari ayunan sampai ke liang lahat” (HR. Ibnu Majjah, hadis nomor 220). Sehingga azaz belajar dalam Islam adalah belajar sepandang hayat dan sejagat hayat (long life education). Melalui prinsip ini para pembimbing atau guru BK berkewajiban menyampaikan kepada peserta didik bahwa aktifitas belajar yang sedang dijalani merupakan kewajiban. Ketika peserta didik melangkahkan kaki ke sekolah sejatinya mereka sedang melaksanakan kewajiban yang diperintahkan sebagai hamba Allah swt. Sehingga perlu ditekankan oleh guru BK bahwa mereka harus menjalaninya dengan tulus ikhlas, serius serta mengharap RidhaNya. Melalui pemahaman ini diharapkan motivasi belajar peserta didik tumbuh untuk belajar dengan rajin, serius, sehingga ilmu akan mudah dicerna dan difahami serta ilmunya berdampak bagi peningkatan kualitas dirinya sebagai hamba Allah yang mulia. b. Belajar adalah aktititas ibadah Dalam pandangan Islam, aktifitas belajar bukan hanya aktifitas duniawi yang berarti akan memberikan manfaat bagi kepentingan hidup manusia di dunia, tapi aktifitas ini memiliki dimensi ukhrawi yang berarti bahwa belajar juga akan memberikan kebermanfaatan bagi kehidupan manusia di akhirat kelak. Dalam pandangan Islam, belajar memiliki nilai ibadah. Sehingga manusia yang terus menerus mengembangkan kualitas dirinya dan mengelola potensi alam ciptaanNya melalui proses belajar, mereka termasuk manusia yang dimuliakan Allah swt dan dimudahkan jalannya menuju surga. Sebagaimana hadis Nabi saw: “Barangsiapa berjalan di satu jalan dalam rangka menuntut ilmu (belajar), maka Allah memudahkan jalan menuju surga. Dan sesungguhnya malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu (orang-orang yang belajar) tanda Ridha dengan yang dia perbuat” (Al-Darimi, 1998, hadis nomor 346). Karena belajar memiliki nilai ibadah, peserta didik harus melakukannya dengan sebaik mungkin, dengan niat yang lurus tanpa dkotori perbuatanperbuatan yang akan mengurang inilai-nilai ibadahnya. Guru BK berkewajiban menyampaikan prinsip ini kepada peserta didik. Karena prinsip ini akan melahirkan motivasi atau daya juang untuk sukses (striving for success). Kesuksesan belajar yang dilandasi nilai-nilai ibadah tentu akan mewujud dalam prilaku mulia.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
31
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
c. Belajar adalah Sabilillah (Berjuang di jalan Allah) Berangkat dari Firman Allah dalam QS:6:153, Quraish Shihab (2006:vol 4:349) dalam menafsirkan ayat ini menyatakan bahwa belajar termasuk dalam kategori sabilillah. Termasuk dalam sabilillah adalah haji, puasa, berjihad, belajar, mengajar ilmu yang bermanfaat, kegiatan-kegiaan sosial yang berguna dan lain-lain kebajikan. Karenanya yang dinamai sabilillah adalah subulus salam bermuara pada jalan yang lurus (shiratal mustaqim). Peserta didik perlu diberi pemahaman bahwa ketika mereka meniatkan diri pergi ke sekolah sebagai tempat belajar, sejatinya mereka sedang berjuang menegakkan agama Allah. Dengan prinsip ini diharapkan peserta didik memiliki tujuan akhir belajar (final goal) yang jelas, yaitu mencerdaskan dirinya untuk kejayaan agama Islam. Mereka tidak akan membiarkan dirinya bodoh, karena kebodohan suatu umat merupakan pertanda kehancuran agama. d. Belajar Tidak boleh Putus Asa Prinsip ini berangkat dari Firman Allah dalam QS:12:87 yang artinya “Sesungguhnya tiada berputus asa dari Rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”.
Ibnu Katsir (1997: ed.5. versi .650) dalam menafsirkan ayat ini
manegaskan bahwa manusia tidak boleh memutus harapan dengan Allah. Setiap manusia harus berbaik sangka kepada Allah swt. Tidak jarang peserta didik dihadapkan pada berbagai macam kesulitan dalam menjalani proses belajar. Kesulitan-kesulitan itu sering kali membawa mereka pada sikap putus asa yang berakibat pada rendahnya prestasi belajar dan bahkan kegagalan belajar. Karenanya putus asa merupakan sikap negatif yang seharusnya tidak dimiliki peserta didik. Allah juga tidak menyukai orangorang yang berputus asa. Al-Quran secara tegas menyabutkan bahwa di setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Sebagaimana FirmanNya dalam QS: 94;7 yang artinya “karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, dan sungguh sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. Dari prinsip ini terbentuklah kecerdasan emosi (EQ) yang menurut Goleman (1996:45) memiliki ciri-ciri adanya kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdoa. Dengan kecerdasan emosi yang dimilikinya hidup mereka akan lebih bermakna baik bagi diri dan orang lain, karena dengan kecerdasan emosi ini sifat kepedulian sosial (social interest) akan terapliksikan. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
32
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
e. Belajar bertujuan meningkatkan kualitas iman, ilmu dan amal shalih Dalam pandangan Islam orang-orang yang berilmu diberikan posisi yang mulia dan derajat yang tinggi di sisi Allah. Ketegasan ini tersurat dalam QS:8:11 yang artinya “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.
Shihab
(2006, vol.14:79) dalam menafsiri ayat ini menegaskan bahwa orang yang berilmu adalah mereka memiliki derajat yang lebih tinggi dari sekedar beriman. Yang dimaksud dengan al-ladzina utul ilma atau yang diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti bahwa ayat diatas membagi kaum beriman menjadi dua kelompok, yang pertama sekedar beriman dan beramal shalih. Dan yang kedua beriman dan beramal shalih serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok yang kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan karena nilai ilmu yang disandangnya, tatapi juga amal dan pengajarannyaa kepada fihak lain secara lisan, tulisan maupun dengan keteladanan. Para guru BK perlu memotivasi peserta didik melalui prinsip ini. Melalui proses belajar manusia dididik untuk memupuk keimanan sekaligus amal shalih. Ilmu tanpa iman akan salah arah, dan ilmu tanpa amal tiada bermanfaat. Inilah bentukan kecerdasannya, kecerdasan spiritual dan kecerdasan sosial. 3. Etika Belajar Dalam Islam aktivitas belajar diatur sedemikian rupa sehingga belajar dalam pandangan Islam memiliki nilai lebih jika dibandingkan dengan konsep belajar modern. Aktifitas belajar dibingkai dengan etika menurut citra Islam yang dapat membawa peserta didik pada berbagai kecerdasan. Etika belajar yang dimaksud adalah: a. Berdoa Sebagai sebuah aktifitas ibadah, belajar harus dimulai dengan berdoa, karena ia adalah wujud komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhannya. Dalam konsep belajar modern dikenal dengan istilah hening. Dimana peserta didik sebelum mulai belajar dianjurkan untuk hening sejenak agar tubuh menjadi rileks dan proses belajarpun menjadi mudah. Islam mengajarkan dalam keheningan (sering disebut dengan istilah khusyuk) manusia akan lebih mudah berkomunikasi dengan Tuhannya. Salah satu cara yang efektif dalam berkomunikasi dengan Allah adalah dengan berdoa. Aktifitas belajar yang dimulai dengan berdoa memiliki arti bahwa di dalam belajar ada campur tangan Allah Sang pemiliki kecerdasan. Rasulullah juga berdoa MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
sebagaimana 33
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
disebutkan dalam QS:20:114 (Depag, 1418:489) yang artinya: “... dan katakanlah Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. Dalam membimbing Guru BK memberikan pemahaman dan tata cara berdoa yang benar, juga tentang pentingnya berdoa setiap hendak belajar. Etika ini akan menumbuhkan kesadaran kepada peserta didik bahwa dalam belajar harus ada ikhtiar (usaha) lahir maupun batin. Adanya keseimbangan olah pikir dan olah batin dalam proses belajar ini akan menumbuhkan prilaku positif seperti tidak arogan, rendah hati, menghargai diri dan orang lain. Prilaku seperti ini merupakan manifestasi kecerdasan rasa (Emotional Quostient) yang merupakan indikator kunci bagi kesuksesan. b. Menghormati/memuliakan ilmu Dalam pandangan Islam ilmu adalah cahaya (nur Illahi). Cahaya ini tidak akan bisa menembus kecuali pada orang-orang yang bersih. Menurut Ghazali (1994:54) peserta didik sebelum memulai belajar hendaknya mensucikan jiwa dari prilaku buruk, sifat-sifat tercela dan budi pekerti yang rendah seperti dengki, membanggakan diri, sombong, suka pamer dan lain-lain. Untuk membersihkan diri dari sifat-sifat buruk tersebut ada dibalik hikmah berwudhu. Menurutnya beberapa hikmah berwudhu adalah: (1) wudhu bukan sekedar membersihkan kotoran yang melekat, tetapi ia juga membersihkan jiwa dari segala kotorannya.(2) wudhu juga menanamkan benih keikhlasan dalam hati agar terlindung dari sifat-sifat tak terpuji. Dampak psikologis dari kebersihan jiwa ini sungguh luar biasa. Peserta didik yang memeliki kebersihan jiwa seperti ini mereka akan bisa menampilkan dirinya sebagai pribadi yang ramah, santun, menjaga kehormatan diri, komitmen, konsep dirinya kuat (cermin dari kecerdasan Personal), menghargai orang lain, tidak menyakiti teman, suka membantu ( wujud kecerdasan sosial), bersimapati, berempati, tidak suka melakukan kekerasan, adu domba, menahan diri dari amarah, ikhlas, pemaaf dan sabar (yang merupakan cermin dari kecerdasan emosi). c. Menghormati/memuliakan guru Pepatah jawa mengatakan guru berarti digugu dan ditiru. Maknanya guru adalah sosok pribadi yang didengar dan ditiru prilakunya, maka harus dihormati. Islam mencitrakan guru lebih jauh dari itu. Sebagaimana sabda Nabi (Thabrani, 1998, hadis no.99). “Pelajarilah ilmu, dan pelajarilah ilmu ketenangan dan kesopanan serta rendahkanlah dirimu terhadap orang yang kamu ambil ilmunya”. Dalam aplikasinya, al-Zarnuji (1995:26) menegaskan bahwa yang termasuk MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
34
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
dalam hal menghormati guru adalah peserta didik tidak menyakiti hatinya, mematuhi perintahnya selama tidak bertentangan dengan agama, tidak berjalan didepannya, tidak duduk ditempatnya, jika dihadapannya tidak mulai bicara kecuali atas ijinnya. Dengan demikian peserta didik harus mencari kerelaan hati gurunya, dan harus menjauhi hal-hal yang menyebabkan ia marah. Etika belajar ini membentuk kecerdasan akademik (IQ), kecerdasan emosi (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), sekaligus kecerdasan Personal (PQ) tingkat tingi. Kecerdasan akademik akan mudah didapat manakala ada hubungan yang harmonis antara guru dan peserta didik, rasa nyaman dalam menimba ilmu akan memudahkan ilmu itu terserap. Kecerdasan spiritual mewujud dalam pribadinya yang mengimani akan adanya kehadiran dan kehendak Allah dalam proses dan hasil belajar. Kecerdasan Personal mewujud dalam tampilan pribadinya yang penuh kebersahajaan. d. Bersikap Tawadhu’(rendah hati) Tawadhu adalah sikap positif yang harus dimiliki setiap peserta didik. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa: negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orangorang yang tidak menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi dan kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS, 28:83) Shihab (2006,vol.9:528) dalam menafsiri ayat ini menghubungkan dengan QS; (17:37) yang maknanya tidak hanya mengambarkan cara berjalan, atau sikap ketika berjalan tapi lebih luas lagi yaitu melakukan interaksi dengan pihak lain dengan sebaik-baiknya dan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Al-Zarnuji (1996:26) juga menyatakan bahwa setiap peserta didik harus memiliki sikap rendah hati baik terhadap guru maupun terhadap sesama teman dan semua orang. Etika ini akan membentuk kecerdasan personal (PQ) peserta didik. Tingkah laku peserta didik yang memiliki kecerdasan personal akan nampak dalam caranya dia berjalan, duduk, berkomunikasi,
serta menyampaikan
gagasan. Prilaku tawadhu (rendah hati) ini kemudian mewujud menjadi gaya hidup (style of life) yang positif. III. KESIMPULAN 1. Sebagai agama sempurna, Islam sejatinya telah memberikan informasi yang akurat yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis tentang solusi dari berbagai problema hidup manusia.
Bidang Bimbingan Belajar yang mampu berperan meningkatkan
kecerdasan akademik peserta didik dinilai belum cukup lantaran kebutuhan peserta MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
35
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
didik dalam menjalani kehidupan di era supercanggih membutuhkan kecerdasankecerdasan lain yang lebih penting. Kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial serta kecerdasan personal yang selama ini masih terabaikan sesungguhnya justru mutlak diperlukan. 2. Penggalian informasi dari teks al-Qur’an dan al-hadis membuahkan sebuah konsep bimbingan belajar yang sama sekali baru dalam dunia konseling. Prinsip-prinsip belajar yang ditemukan antara lain (1) belajar adalah wajib, (2) belajar merupakan aktifitas ibadah, (3) belajar merupakan perjuangan di jalan Allah/ sabilillah, (4) belajar tidak boleh putus asa dan (5) Belajar untuk beriman dan beramal shalih. Selain itu ditemukan etika belajar yang meliputi (1) berdoa, (2). Memulikan ilmu (3) memuliakan guru dan (4) sikap tawadhu (rendah hati). 3 3. Prinsip-prinsip dan etika belajar tersebut jika diaplikasikan dalam setiap proses belajar diyakini mampu mencerdaskan peserta didik baik IQ, EQ, SQ, SsQ dan PQ. Temuan ini diharapkan dapat menjadi solusi alternatif bagi pengembangan potensi kecerdasan peserta didik melalui bidang bimbingan belajar yang selama ini dinilai masih kurang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (1418 H), Khadim al-Haramain asy Syarifain, Departemen Agama Republik Indonesia. Agustian, AG, (2001), ESQ Emotional Spiritual Quotion, Jakarta: Penerbit Arga. Dahlan, Djawad, (2005), Pendidikan dan Konseling di Era Global, Bandung: Riski Press. Darimi, Abdullah bin Abdurrahman bin Fadl bin Bahram bin Abdul Shomad, (1998), Sunan al-Darimi, dalam Maushu'ah al-Hadits al-Syarif (Perpustakaan Hadits), Saudi Arabia: Global Islamic Software Company. Ghazali, Imam, (1992), Ihya Ulum al-Diin: Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama, alih bahasa Prof. Dr. Ismail Ya’kub, SH, MA. Jakarta: CV. Fauzan. Goleman, Daniel, (2003), Kecerdasan Emosional, terj T Hermaya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Ibnu Katsir, (1997) Tafsir Ibn Katsir, dalam Al-Qur'an al-Karim, Edisi 5 versi 6.50, Beirut: Shahr Juntika, Nurihsan Ahmad dan Akur Sudianto, (2005), Manajemen Bimbingan dan Koseling di Sekolah Dasar Kurikulum 2004, Jakarta: Grasindo.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
36
VOL : XX, NO : 2, JUNI 2013
-----------------, 2005, Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung, Rosda Karya-PPsUPI. Muslim, Al-Hajjaj bin Muslim bin Ward bin, (1998), Shahih Muslim, dalam Maushu'ah alHadits al-Syarif (Perpustakaan Hadits), Saudi Arabia: GIS Company. Pasiak, Taufiq, (2008), Revolusi IQ/ EQ/ SQ Antara Neurosains dan al-Quran, Bandung: Mizan Pustaka. Shihab, Muhammad Quraish, (2006), Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, Jakarta, Lentera Hati. Tim Redaksi, (2006), UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta, Fokusmedia. Yusuf, Syamsu, dan Juntika Nurihsan, (2005), Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Zarnuji, Syekh, (1995), Terjemah Ta’lim Muta’allim, (alih bahasa : Abdul Kadir al-Jufri) Surabaya: Mutiara Ilmu.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
37