Media Radio: AWAKENING atau DELIRIUM? Drs. Wolly Baktiono, MSi. ABSTRACT Radio communication has changed markedly over the last century. Much to be learned and sustainable research day by day. When we reach the radio as a broadcasting system, we don’t play in all areas of the electromagnetic spectrum anymore. Three major force fields in nature: gravitational, electric, and magnetic before, now we are concerned with radio as mass media, media business, media studies fields. No one knows the exact composition of these fields, but scientists have gathered sufficient information to be able to predict how they behave. Although an accurate representation can’t be pictured, we can visualize a field as consisting of lines of force. More specifically mass media (print and electronic) had grown up historically with a strong and widely shared image as having an important part to play in public life and being essentially within the public domain. Most media operate to apply and economic/industrial perspective. The distinctive and varying characteristics of the media as economic enterprises, as between different media different contents. Many radio station must be radically reformed if private broadcasting will survive in the digital age. Think tank – broadcast thinkers has set out a number of changes to how public service and commercial broadcast is handled in Indonesia. The stations should place quality before ratings and should “stop spending huge resources” on celebrities gossip, popular entertainment and programmes targeting all age (?) with the sole purpose of extending reach. Government and state commission, named KPI are the responsible agents for regulation of public, community, and commercial, part of the radio spectrum. The need for efficient use of spectrum resources on a national basis is urgent and must be recognized by all spectrum users. Efficient use requires intelligent planning, management, and technical advances in communications equipment. To put together these facets of content provider, planning, management, human resources, professionalism and equipment requires sound and effective spectrum management at the national level. A few radio station in this country still consistently realize their desiring machine to do business. Surprisingly, there are radiomen still care of broadcasting theory, the values, understand the public interest meaning which supposedly serve. The attracting of radio broadcasting system as media institution for the content provider, member of private radio association (PRSSNI), should be aware the necessity of advance information technology and mobility understanding, capital and media. Actually, the mass media can not escape from the capital maneuver [G. Lipovetsky]. Broadcasters find out an answer to the practical problem of getting better radio programs, optimize revenue and keeping them to reach the aim of organization. But it involves, as a theory of radio, an analysis of the whole problem as well as an answer to it. The theory advances not only an economic innovation for broadcasting but an interpretation of the facts of life in Indonesia. And actually it begins in a concern with some of the facts of life in general. There are uncounted ways of making money, many of which may be pursued in broad daylight. To dream the awakening of radio business is not to dream the impossible dream. There are innumerable ways too of wasting time and generating nonsense, then awakening without enlightenment of the conscience of a real broadcaster is a delirium.
1
"Ma pensée, c'est moi: voilà pourquoi je ne peux pas m'arrêter. J'existe par ce que je pense ... et je ne peux pas m'empêcher de penser." (Pikiranku adalah aku: karena itu aku tidak dapat menghentikannya. Aku hadir dengan apa yang kupikirkan ..... dan aku tidak dapat mengekang diriku dari pikiran”) - La Nausée, Jean-Paul Sartre
Pendahuluan
Historika (Dari Wireless ke Broadcasting) Derap langkah kehidupan media massa elektronika, sejak awal sudah ditandai oleh adanya pergeseran-pergeseran paradigma. Fase I, komunikasi dan kebijakan media pertama-tama merujuk pada teknologi, telegraf, telefoni dan wireless yang baru tumbuh. A wire atau kabel sebagai medium untuk transmisi, menjadi mungkin untuk berkomunikasi antara satu titik ke banyak titik. Manusia sejagat saling terjembatani. Kemudian wireless dikenal sebagai radio communications. Kebijakan komunikasi pada era tersebut mulai berusaha mencapai kehendak dan manfaat akan keuntungan finansial bagi perusahaannya. Hadirlah era broadcasting system. Kebijakan media sebagai kebijakan komunikasi baru (Jan van Cuilenburg; Denis McQuail), berlangsung terus sampai menjadi kebijakan industri komunikasi (sampai Perang Dunia II). Kemudian pelayanan publik sebagai kebijakan media (1945-1990); dan fase berikut (1980/90 dan berikutnya) paradigma kebijakan baru sedang dicari). Purna Perang Dunia II, kebijakan media didominasi oleh sosio-politik ketimbang ekonomi atau wigati pada strategi nasional. Paradigma demikian berlangsung sampai dua dasa warsa yang lalu, bagaimanapun teknologi, ekonomi dan tren sosial.. Disebut media madness bila produk dari sisi komersial, sosiologis, kondisi intelektual, membawanya ke eksistensinya dan pada puncak pengaruhnya. Kemudian secara fundamental kebijakan media berubah konteks Dalam kajian akademik, mass communications theory, media radio mendapat porsi cukup. Tatkala berbicara tentang media massa elektronika, tampak nyata bahwa fenomena kehadirannya diperhitungkan juga dalam mediascape. Sementara radio tetap berkehendak untuk hidup. Meski disertai keharusan untuk menyadari bagaimana mesti berperan di tengah masyarakatnya. Dapatkah radio berpegang kepada komitmen pada bisnisnya? Di samping juga tantangannya bukan semakin ringan, tetapi memang semakin berat. Fungsi sosialnya yang sangat besar, tidak membuatnya pantas radio lebih bersifat egosentrisme, mengurusi kepentingannya sendiri. Dengan potensi dan aksi khasnya, radio seharusnya juga peduli pada keprihatinan dan kewigatian masyarakatnya. Misalnya 2
terhadap kewaspadaan penanggulangan bencana alam, global warming, pencegahan bahaya narkotika, penyelamatan lingkungan hidup dan banyak lagi yang lain. Masalahnya masih berkisar pada dapatkah menjawab perihal yang menjadi ranah media brodkas itu, how should we
attract a following business appropriaetly for tomorrow? Memang
McQuail menawarkan kepada para peneliti dan pengaji media massa,
agar juga
merambah pada realitas bahwa media tidak dapat dipisahkan dengan keniscayaannya sebagai industri yang aspek bisnisnya pantas dieksplorasi keilmuannya. Sebaliknya, dalam aktivitas bisnis dunia kepenyiaran sendiri, orang-orang radio ada yang masih patut dibanggakan. Bahwa radio siaran sebagian terobsesi mengambil bagian dalam “semangat” kebangkitan radio, the awakening spirit. Mengagumkan, bahkan masih ada yang mau tahu tentang teori dan ilmu broadcasting, nilai-nilainya, paham akan makna public interest yang bagi media wajib melayaninya (supposedly serve). Kebanyakan media beroperasi dengan menerapkan aktivitas utamanya dengan perspektif ekonomik dan industrial. Perbedaan dan keragaman karakteristik media broadkasnya, sebagai economic enterprises, sebagai media berbeda dan konten berbeda, meski ada yang tidak mau susah-susah, mengekor saja yang lain.. Banyak stasion radio yang berusaha secara radikal, membangun radio komersialnya agar tetap survive dalam era digital ini. Para pemikir brodkas mengantongi kiat-kiat perubahan untuk dapat melayani publiknya dan broadkas komersialnya dengan penanganan yang serius dan mengagumkan. Stasion-stasion menempatkan kualitas di atas rating dan upaya cermat “menghentikan penghamburan sumberdaya yang sangat besar,” Tidak gegabah mengeluarkan dana besar untuk penelitian yang ternyata tidak relevan, dana promosi yang yang tidak yakin efektif pengaruh dan dampaknya. Pendek kata lebih berpaling pada upaya efisiensi dan pengetatan ongkos. Lebih dari satu dasawarsa, broadcast audience bisa menjadi „user‟ dari media baru (The New Media), tatkala broadcast juga merambah ke dunia virtual, nampang dengan Webcast. Motivasi yang strategis, yang diberikan oleh asosiasi agar anggotanya teraktivasi, terpacu dan tampil dengan performa optimal. Memang dengan serta-merta dituruti, meski tidak merata. Karena yang lain justeru ada yang acuh tak acuh dan menganggap tidak ada gunanya. Artinya Asosiasi melemparkan mutiara sebagian ke kubangan lumpur. Masih beruntung ada yang bukan hanya karena mau “patuh” terhadap organisasi saja, tetapi sadar bahwa memang niscaya harus demikian. Dalam konteks dinamika organisasi, diperlukan semangat mobilisasi anggota agar menjadi lokomotifnya 3
sendiri. Mobilisasi sebagai langkah transformasi kelompok atau minat, dari pengamat pasif menjadi aktor kolektif.
Kesadaran Kritis (conscientização) Penyelenggaraan siaran sebagai lembaga media yang memang berfungsi sebagai content provider, juga harus lebih bersikap cermat dan kritis menyadari (conscientização) keniscayaan teknologi informasi dengan pemahaman mobilitas, kapital dan media. Media massa tidak lepas dari manuver kapital [G. Lipovetsky]. Termasuk juga menyadari perlunya antisipasi teknologi komunikasi digital, yang berpengaruh pada operasional segala aksi masyarakat, segala pemikirannya, termasuk dunia brodkas. Kehidupan sosial adalah serentetan permainan. Kita butuh ketrampilan yang benar dan tepat, untuk ikut melakukan permainan itu dengan hasil gemilang. Memang pada kenyataannya, kapitalisme pasar melumpuhkan visi seluruh stasion, yang didorong oleh asosiasi seperti dicantumkan dalam Standar Kelayakan Radio Siaran Indonesia (SKRSI)-nya. Meski pada kenyataannya belum sepenuhnya dihayati oleh sebagian besar anggotanya. Demi ”performance” jangka pendek, sirkulasi cepat atas kapital atau high-speed transaksi ekonomi, merupakan alasan kuat terhambatnya program berlabel awakening alias kebangkitan radio itu. Pendek kata, kita menyaksikan para anggota yang ”mengurusi” industri radio dan media massa ini, tidak banyak yang sanggup bersikap discernment, memilah mana yang perlu, sangat penting, urgen dan mana yang sesungguhnya tidak memiliki nilai (value) apapun. ”Broadcasting activity is also a matter of choice.” Apakah cukup perhatian kita pada potensi menggarap pesan Jurnalisme (profesionalisme media massa); produksi siaran dan aktivitas off-air menjadi profit center sebagai komoditi (hegemoni pasar); kecerdikan melakukan mimetisme (kelatahan profesi) dengan pelbagai kiat yang mungkin bisa lebih unggul. Yang harus dilakukan oleh anggota demi stasionnya adalah cara cerdik dan cerdas menjual komoditi brodkas yang tidak biasa. Apa itu niche marketing, blitz-sales, libidimotion dan puluhan gimmick yang lain berkaitan dengan kreativitas penjual jasa radio. Syukur kalau itu adalah penerapan Integrated Marketing Communication yang komprehensif. Bagaimana kesungguhan hati pengelola stasion radio melakukan bisnis, dengan komitmen yang tinggi, maka tidak ada yang mustahil untuk mewujudkan kebangkitannya. Tetapi harus disadari bahwa realitas sosiallah yang mesti dijadikan parameter untuk survive and thrive tadi. Mengapa demikian, karena sekarang memang radio-radio swasta anggota asosiasi, harus cepat-cepat mengambil sikap yang sejak 2006, dapat ditengarai, 4
sebaiknya bertempur atau ngibrit keluar gelanggang ( fight or flight)! Posisi asosiasi sendiri sebagai organisasi ”andalan,” mestinya tetap memiliki academic inspired association dan élan vital-nya tetap sebagai learning organization. Berani berperan sebagai organic intellectuals di tengah masyarakat yang semakin tidak sembarangan. Para anggotanya selalu dapat menentukan pilihan, sanggup melakukan assesment sendiri, apakah sudah optimal daya kreatif dan kerjanya? Apakah pada umumnya anggota memiliki etos belajar? Apakah sadar karakter currious bisa menjadikan dirinya, perusahaannya tidak biasa-biasa saja? Sementara asosiasi sendiri bisa berperan sebagai teladan. Berani mewujudkan ”walk the talk.” Belajar dari kunjungan anggota ke Broadcast Asia di Singapura, wawasan pemahaman gerak langkah industri brodkas dunia, dikenal dari dekat,. Beberapa perkembangan teknologi yang dipamerkan dan juga dibahas dalam forum itu, misalnya Computer Graphics/Post Production Workflow, Digital Media Asset Management, HD Technology, Professional Audio Technology, 3D & Interactive Technologies, Digital Signage / Out of Home Advertising / Large Panel Screen, IPTV dan Mobile Broadcasting. Hal itu membukakan mata kita betapa perlunya kita mengenali lebih banyak tentang dunia kita sendiri. Sebelumnya alarm Change or Die di Radio Convention 1986 di New Orleans, sejak itu pula sudah dikumandangkan oleh Asosiasi. Dan tiba-tiba saja kita semua sekarang sudah dikepung oleh DOOH (digital out of home), yaitu Digital Signage. Asosiasi radio swasta komersial (PRSSNI) boleh optimis, bahwa apa yang mengesankan dan pernah dirasakan dua atau tiga dasawarsa yang lampau, yang dikenal sebagai „the golden years of radio broadcasting‟ - dalam wajah lain akan kembali mengedepan. Sebagian aktivis asosiasi yakin, bisa melihat jawabannya segera. Bukankah misalnya media radio masih tetap “merajalela” di dalam ribuan mobil yang memadati jalan-jalan di mana pun. Di ruang domestik dan di tengah aktivitas sehari-hari, radio lebih banyak hadir. Bukankah kompetitor utamanya, yakni televisi, sering terlanda programprogram yang ogah bergerak, meninggalkan pengulangan-pengulangan tayangannya. Misalnya bila ada isu atau current affair yang dianggap besar, sering tersaji dengan dampak kejenuhan pada audience. Pihak produser media adalah manusia juga, sering lengah dan kurang terpikir bahwa the saturation effect itu disangkanya tidak menjadi masalah. Bila realitas rasa mual (la nausée) ini, berlangsung terus-menerus, maka teoritis yang banyak diuntungkan adalah radio. Masalahnya sekarang adalah radio dan “radio” itu tidak sama. Tidak dapat digeneralisasikan sama-sama didengarkan publik. Sejak dulu hukum
penggunaan 5
spektrum gelombang ranah publik ini adalah resepsi publik: audience mendengarkan sebagai musik atau brisik, informasi atau infaktuasi, guardian voice atau garbage, radio spesifik atau radio jenerik. Memang tergantung selera dan kelas publik. Kelas sosial adalah basis fakta sosial. Kita terus hidup di dalam stratifikasi yang cukup tinggi, realitasnya tidak setara, unequal! Itulah perlunya segmenting, untuk urusan format dan positioning sebagai keniscayaan dalam bisnis radio. You need the right skills to play those broadcasting games successfully, kata Pierre Bourdieu.
Mesin hasrat (les machines désirantes) Saat ini monopoli dalam pemilikan media komunikasi dan privatisasi, semaksimal mungkin dilebarkan pintunya oleh oknum-oknum aparat pemerintah. Tentu
terjadi
karena tidak ada yang cuma-cuma. Narasi lama, kebijakan media ditantang dan para pembuat kebijakan mencari-cari suatu “paradigma” kebijakan komunikasi yang baru. Misalnya EDP (Evaluasi Dengar Pendapat), sebuah pelembagaan kebijakan dunia penyiaran yang lebih cenderung menjadi alat formal legitimasi untuk membuka ruang “transaksi” regulator dan pengusaha atau calon pengusaha penyiaran. Tampak sekali bahwa semakin tidak layaknya pihak pemohon, semakin “bagus untuk dipelihara” proses perijinannya. Meski tanpa tanda-tanda kepastian bakal keluar surat ijin siarannya, karena memang bukan lembaga yang berhak meng-issue-nya. Kalau kembali kepada paradigma baru yang tampaknya demi pergeseran dalam mencari keseimbangan komponen politik, sosial dan nilai ekonomi, itu masih sepenuhnya dapat diterima. Tetapi itu adalah wacana yang hanya menjadi mitos industri pertelevisian dan radio siaran, sebagai das Sollen. Kita saksikan ternyata apa yang kita pahami sebagai public domain, yang dulu menjadi inti perjuangan melahirkan jabang-bayi Undangundang Penyiaran selama hampir 3 tahun dalam kandungan, menghasilkan bayi-bayi tabung berupa stasion2 radio tanpa ijin. Atau apa yang tadinya dijadikan modal “perjuangan” - diversity of ownership, diversity of content dan slogan-slogan lain yang keren. Kenyataan yang terjadi adalah syahwat “konglomeradio” yang memang tidak dapat disalahkan, terakomodasi secara menyolok. Banyak stasion satu demi satu berpindah tangan kepemilikannya, menjadi barang koleksi segelintir orang. Koleksi? Ya, karena masalahnya ada radio-radio yang tidak perlu dijamah oleh pemiliknya. Karyawan tidak diperlukan, kecuali hanya untuk menjaga asal kedengaran ada siaran. Cukup dua orang, dua shift tugas jaga, yang diajari menghidupkan pemancar dan pasang MP3.. Berbulan atau bertahun-tahun kalau ada yang menawar “komoditi ijin siaran” ini. 6
Kebetulan kalau ada penawaran dengan harga tinggi. Apakah ini yang baru namanya bisnis atau “coo” radio? Sangat berbeda bila semua radio-radio itu di tangani dengan sungguh-sungguh dan selayaknya. Digarap dengan serius dan profesional. Kalau demikian, masih dapat layak diterima! Walaupun itu menggunakan nama-nama lain siapapun, karena itu peluang yang ada akibat kelemahan hukum positif kita. Yang puluhan tahun oleh asosiasi telah diprogramkan pendidikan bagi anggota. Dengan sekian milyar rupiah, supaya setiap anggotanya melayani publik dengan optimal. Melumasi mesin hasrat (desiring machine) berbisnis para anggotanya, terasa agak muspro (sia-sia) kurang membawa manfaat dan makna. Tidak ada mesin hasrat yang eksis di luar mesin sosial (aktivitas produksi dunia penyiaran), yang terbentuk pada skala luas; dan tidak ada mesin sosial (jaringan kinerja para brodkaster) tanpa mesin hasrat yang hinggap pada skala kecil. Hasrat sosial bersifat id (naluri) skizofrenik ketimbang ego (pribadi) neurotik. Bukan dalam makna merayakan skizofrenia, tetapi menggunakannya untuk mengeksplorasi masyarakat kontemporer ini,
subjek individual sebagai sosok-sosok
heterogenitas, bagian dari fungsi masing-masing dalam masyarakat dan mesin alamiah (Gilles Deleuze). Pendekatan „sistem‟ memang mengajarkan kita tentang hukum ketergantungan ini; the part depends on the whole, and the whole depends on the parts. Hanya satu dua anggota yang masih konsisten menjalankan mesin hasrat itu, hingga punya stamina untuk tetap do business. Walaupun itu terjadi karena harus “disambi” dengan macam-macam usaha yang lain. Dan itu tren yang baik sekali, bila core business broadkasnya tidak diterlantarkan. Sekali lagi karena pada hakikatnya menggunakan asset langka milik publik. Ethical Issues –”masuk tak genap, keluar tak ganjil?” Aksi masyarakat dalam sejarah penelitian komunikasi massa, kinerja media brodkas tampak seperti peluru perak yang ditembakkan oleh senjata media, menembus secara penetratif kepada audience (Anderson & Meyer). Publik media berpartisipasi aktif dalam komunikasi via media; mereka mengonstruksi makna dari isi siaran yang mereka tangkap. Kajian aksi sosial mengamati interaksi komunikasi dalam hal intensitas aktor komunikasi, interpretasi penerima dan isi pesan. Dan para brodkaster semestinya menyadari dampak pekerjaannya itu. Bahwa makna (isi siarannya) tidak dengan sendirinya sudah tersaji dalam proses komunikasi, melainkan terkonstruksi di dalamnya oleh publik sendiri. Jadi setiap tindakan komunikasi melahirkan setidaknya pemisahan 7
dan perbedaan potensial ruang yang terkonstruksikan, yakni makna yang timbul karena: 1) intensi dari pihak produser, 2) konvensi dalam isi siaran, dan 3) interpretasi penerima (audience). Para pemikir sosial seperti Louis Wirth dan Talcott Parsons, memiliki sumbangan penting dalam menekankan betapa pentingnya media massa sebagai instrumen kontrol sosial. Pada abad ke 21 ini,
dengan semakin maraknya internet,
hubungan dua arah antara media massa dan opini publik mulai berubah. Radio juga meningkatkan kemampuannya secara optimal. Mereka harus bersaing dengan media baru (New Media) juga media TV yang juga tidak merasa haram bila harus banting harga. Bersaing dengan radio-radio lain yang juga menerima iklan, meskipun tidak pernah membayar pajak, tidak membayar ijin penggunaan frekwensi, karena memang liar. Hal ini tidak boleh bosan untuk diungkapkan, para penguasa kebijakan kita kan gampang lupa. Tentunya setiap stasion tahu, bahwa sebagai pemegang lisensi ijin siaran dengan frekuensi milik publik itu, tidak boleh mengabaikan tanggung jawabnya terhadap publik. Masalahnya apa itu masuk dalam ranah etika bisnis. Kalau ya, masih diperlukankah itu pada saat ini? Sebab ada gejala bahwa segala sesuatu yang menyangkut konsep etika, dapat dianggap „masuk tak genap, keluar tak ganjil.‟ Radio-radio di Indonesia, seperti di manapun memiliki jangkauan liputan geografis, yang menyangkut penerimaan publik sesuai kapasitas transmisinya. Diversitas dalam penyajian siaran meliputi daya tarik (interest), selera (tastes) dan kebutuhan (needs) publik masing-masing dilayani oleh beragam stasion. Termasuk penyajian informasi yang imbang, tidak berpihak bila itu menyangkut isu konflik yang timbul di masyarakat. Oleh karena itu asosiasi mendorong agar para anggotanya dengan caranya sendiri-sendiri mengacu pada kualitas, - a specific concern for quality, as define in different ways (McQuail). Meskipun sebagai entrepreneur, revenue adalah obsesinya, tetapi sebagai broadcaster, sebagai broadcasting public server, tetap saja para prominen komunikasi menyerukan “putting public interest before financial objective!” Perihal ini telah menjadi topik bahasan panjang di dalam tim kajian saat menyusun dan merumuskan Standar Kelayakan Radio Siaran Indonesia di Surabaya (2003). Semangatnya menjaga keseimbangan antara entrepreneurship dan social responsibility broadcaster yang tidak mengarah pada pembentukan sifat le financier gourmand atau kerakusan keuntungan. Kebutuhan radio agar dipersepsi memiliki pengertian, nilai dan manfaat yang lebih baik. Berstandar profesional dengan merujuk pada keahlian di bidang brodkas (expertise), trampil dalam penyelenggaraan siaran (skillfulness on attracting the program), 8
menghayati segala aturan, strategi, kode etik dan tatakrama kerjanya (code of conduct). Niat untuk berusaha mencapai kinerja tinggi, dampak optimal dan menjadikan organisasi ini sedemikian berwibawanya. Itu ciri-ciri kebangkitan, awakening! Broadcastrepreneurship bukan hanya mentalitas tukang jaga kaset. MP3, atau CD; bukan berpikir seperti bakulan di pasar. Dulu orang radio bisa ongkang-ongkang kejatuhan rejeki, karena order iklan sering datang begitu saja. Cerita jadul ini menjadi dongeng orang radio yang sekarang menjadi bahan mengigau, delirium. Kewajiban pokok radio sehari-hari adalah mempertemukan produk dan jasa yang ditawarkan dengan para konsumennya. Termasuk di antaranya mengambil inisiatif dalam Public events – talk, celebration, conferences – adalah peluang untuk melesatkan tokoh masyarakat (public profile), aktivis moral, product launching serta potensi besar untuk menumbuhkan sense of belonging terhadap jasa, produk dan brand yang dipromosikan, kepada masyarakat seluas-luasnya. Para pengambil keputusan tertinggi di dalam perusahaan radio anggota, seyogyanya memiliki keyakinan dan mendemonstrasikan nilai2 yang mereka inginkan, agar juga dimiliki oleh para tim kerjanya. Metode untuk mengimplementasikan tuntunan etika (ethical conduct) yang meyakinkan adalah dengan menghindari pelaksanaan apa yang jelas tidak pantas, tidak jujur, tidak adil dan memalukan (unethical conduct can‟t occured). Kemampuan membentengi diri para anggota tim kerja terutama aktor komunikasinya adalah fungsi penting untuk melakukan internal controle. Semakin banyak radio yang berjurnalisme, mengolah dan menyajikan program berita. Sementara pergeseran paradigma dalam berwacana berita, berkembang terus. Martin Montgomery
dari Universitas Strathclyde, Skotlandia mengingatkan adanya
kecenderungan akan changing discourses of the news in mainstream public service broadcasting. Kewigatian terhadap konsekuensi-konsekuensi atas perubahan pada orangorang khusus, yang bekerja pada waktu sebenarnya (real time) dalam menyajikan berita. Para aktor komunikasi penyaji berita itu, sesungguhnya rentan mengalami kekeliruan atau kesalahan. ”It was the kind of mistake that does arise in live broadcasting..... but it was a live broadcast and once the words are out of your mouth, you did not go back and look at the transcript”- demikian Montgomery. Hal ini tidak akan pernah dianggap masalah besar, bila selama ini dampak yang timbul dapat teratasi. Wacana pemberitaan tersaji secara telanjang, jelas, tetapi disampaikan tanpa skrip sebagai materi bacaannya. Seperti banyak brodkas menyajikan laporan berita oleh presenter, reporter, koresponden dan bukan disampaikan oleh yang diwawancarai (interviewees) dan saksi mata (eyewitnesses). 9
Peringatan demikian, setelah timbul kasus Andrew Gilligan, liputan tentang invasi Inggris bersama-sama Amerika terhadap Irak. Kajian media menganalisis dengan serius dampak (media effect) wacana pemberitaan dalam paradigma unscripted ini.
Penutup / Kesimpulan Bila ada suatu penelitian kritis akademik, yang mengatakan bahwa media, termasuk radio, sebagai suatu objek dari intervensi dan aktivitas politik, itu adalah konsekuensi dari aspirasi publik tentang demokratisasi media. Akibat dari kenyataan bahwa radio memang media yang tidak dapat diremehkan. Berusaha mengatasi terusmenerus masa depan radio yang masih tidak menentu ini, pelbagai ragam strategi dilakukan. Tetap membangun loyalitas audience nya, tetap menjadi tekad umum? Radio berusaha memproduksi „komoditi‟ lewat siaran-siarannya. Ko modit i yang yang dikonsumsi sebagai produk “manipulasi” produser. Peran hasrat bermain dalam pilihan konsumsi, yang konsumsi itu berupa ekspresi kultural. Siapapun tidak dapat menjadi seseorang atau sesuatu bagi semua orang. Perspektif ke depan, dunia broadcast pada umumnya berada pada rentang tarik-menarik, antara kebutuhan untuk bersikap efisien dalam menggunakan sumberdaya spektrum frekuensi dalam skala nasional dan kemauan serta keberanian politik untuk menangkal gaya pembiaran terhadap ketidakpedulian dunia brodkas. Efisiensi itu butuh upaya keras intelligent planning, manajemen komunikasi dalam ukuran
dan perangkat
technological advances. Kinerja optimal tidak harus
disertai dengan perangkat kerja yang serba berlebihan. Seperti BBC, menjaga mutu pelayanan publiknya seraya memangkas penghamburan biaya yang tidak rasional. Inilah yang dimaksud dengan pemikiran radikal! Belajar dari sana, brodkas di Indonesia ada yang mesti diwujudkan, sekedar sebagai push model. Dalam konsep SKRSI diguratkan sebagai tiga prinsip dasar, 1) Public service, 2) Revenue dan 3) To be a good organization. Oleh karena itu kewajiban asosiasi bukan hanya menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai public opinion, tetapi juga menjadikan nilai-nilai itu sebagai general opinion yang menjadi komitmen seluruh anggota. Bila publik adalah sentral pengabdian media, apakah media-media itu juga menyadari, bahwa sesungguhnya audience adalah produk dari konstruksi diskursif, yakni bangunan yang terhubung satu sama lain. Tetapi konstruksi itu sendiri tergambar di atas ranah keberadaannya (ontologis) yang disebut “audience power” atau “mediated multitude.” Sampai pada pengertian mengenai 10
audience power ini sebagaimana juga digunakan dengan istilah “Power Viewing.” Baginya audience bukanlah suatu kelompok dalam masyarakat, tetapi suatu proses di mana masyarakat menciptakan dirinya sendiri. Dalam hal mengatasi masalah ini, sebaiknya merujuk pada konsep habitus (Bordieu), suatu deretan sikap dan tindakan (actions), serta keyakinan sehari-hari. Habitus ini berlangsung di dalam struktur masyarakat yang peduli dan wapada terhadap sekitarnya. Suatu bentuk potensial dari pada struktur yang pasti dengan kesadaran yang penuh. Kebiasaan mengigau (delirium) tentang cerita sukses puluhan tahun yang lalu, membuat perilaku orangorang radio belum juga siuman. Tidak juga cukup memiliki awareness seperti cerita termashur Anthony de Mello, telur burung elang yang ditetaskan dan diasuh oleh induk ayam; sampai tua tetap saja menjadi ayam kampung seperti induk semangnya. Tidak tahu kalau dirinya sesungguhnya adalah Elang Rajawali yang gagah perkasa di udara. Tragis! Sebaiknya asosiasi ini menjadi entitas organik, denyut nafas anggotanya bisa dirasakan dan sebaliknya apa yang dikatakan oleh asosiasinya bermanfaat bagi anggotanya. Jangan sampai mereka hanya melakukan pseudolistening, karena terbuai oleh lamunan sehingga lebih banyak mengigau, delirium! Tunjukkan pada dunia media, bahwa radio Indonesia sedang memasuki masa-masa renaissance, tetap hadir dan lebih bermartabat! (Penulis adalah:pengajar UK Petra; Ketua Dewan Kehormatan Standar Profesional Radio Siaran - PP PRSSNI)
11
Refensi: Barbuw, Erik, et al. “Conglomerates and the Media,” (New York: The New Press, 1997) Benington, Geoffrey, & Jacques Derrida, “Derrida” (Chicago: University of Chicago Press, 1993) Bowman, James, “Media Madness” (New York: Brief Encounter, 2008) Deleuze, Gilles & Felix Guatarri, “Anti Oedipus,” (Minneapolis: University of Minneasota, 1989) Geller, Valerie, “Creating Powerful Radio,” (Burlington: Focal Press, 2007) Jenkins, Richard, “Pierre Bourdieu,” (London: Routledge, 1992) Kroker, Marilouise & Arthur, “Digital Delirium,” (New York: St. Martin‟s Press, 1997) Lindlof, Thomas R. & Bryan C. Taylor, “Qualitative Communications Research Method,” (SAGE: London, 2008) McQuail, Dennis, “Mass Communication Theory” (LA; London, SAGE Publications, 2010) Miles, Peggy & Dean Sakal, “Internet Age Broadcaster,” (Washington DC., NAB., 2001) Mongomery, Martin, “Broadcast News,” Media Culture & Society, Vol. 28 nr. 2 – March 2006) Pringle, Peter & Michael F. Starr, William E. McCavitt. “Electronic Media Management” (Boston: Focal Press, 1999)
12