MEDIA ALTERNATIF SEBAGAI SUBKULTUR ANAK MUDA JAKARTA: STUDI KASUS RURUSHOP RADIO Ilham Andika Sosiologi FISIP UI Program S1 Reguler
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini membahas fenomena media alternatif yang sedang berkembang ditengah anak muda Jakarta, dengan studi kasus Rurushop Radio. Melalui pendekatan kualitatif, penelitian ini menunjukkan Rurushop Radio muncul atas kesadaran untuk menangkap dan menyebarkan informasi sesuai dengan ketertarikan dan gaya mereka sendiri. Walaupun tidak secara kaku, Rurushop Radio dapat dikatakan sebagai media alternatif. Aspek media alternatif tersebut kemudian juga terbukti menjadi sebuah subkultur anak muda Jakarta. Hal itu terwujud dari aktivitas mereka yang menunjukkan simbol atau atribut subkultur seperti musik, gaya bahasa dan promosi. Resistensi, jaringan dan sumber daya manusia merupakan sumber kekuatan Rurushop Radio sebagai media alternatif dan subkultur untuk dapat bertahan. ABSTRACT This study is discussing alternative media which has become youth subculture in Jakarta with a case study of Rurushop Radio. Through a qualitative approach, this study is showing that the initiation of Rurushop Radio was based on their consciousness to grab and publish information on their own way. Although still in a flexible basis, Rurushop Radio could be specified as alternative media. The values of the radio as an alternative media were also been proven to become a youth subculture in Jakarta. These finding were being represented by radio’s activity which exposes the subculture symbol such as songs, style of language, and promotions. Resistance, network and human resources are the dominant strength of this radio to keep being exist. Keywords: Alternative Media; Rurushop Radio; Subculture; Youth PENDAHULUAN Kondisi sosial dan politik dapat mempengaruhi perkembangan sebuah generasi dalam pembentukan karakter, perilaku dan ekspresi-ekspresi subkultur mereka1. Pada masa Orde Baru, pemerintahan yang lebih bersifat represif tidak memberikan banyak dukungan bagi tumbuhnya subkultur anak muda. Hal ini dapat terlihat ketika Negara pada saat itu secara khusus melarang 1
Menurut Androe Soedibyo (dalam Mudji Sutrisno, In Bene dan Hendar Putranto, 2004) pandangan dan kebijakan yang diambil oleh rezim yang berkuasa seperti politisi, pembuat kebijakan, dan profesional kaum muda akan sangat mempengaruhi anak muda. Hal ini dikarenakan posisi anak muda yang berada pada tahap perkembangan, dimana sikap dan nilai-nilainya sedang dalam tahap pembentukan. Selain itu, kompleksitas masyarakat modern membuat anak muda melewati fase memberontak sebelum menjadi dewasa.
1
Media alternatif sebagai..., Ilham Andika,FISIP UI, 2014
musik rap dan pop melankolis yang dianggap tidak mencerminkan kepribadian dan identitas bangsa2. Namun setelah reformasi, perkembangan subkultur di Indonesia terutama di kota-kota besar menjadi begitu cair, jumlahnya menjadi semakin banyak. Ruang-ruang bagi tumbuh kembangnya subkultur menjadi lebih luas. Contohnya seperti kemunculan distro yang dapat dilihat sebagai ekspresi subkultur anak muda dari fashion populer yang telah diramaikan sebelumnya dengan merk-merk ternama seperti Levis atau Wrangler. Perkembangan ini juga didorong melalui kemajuan teknologi dan akses informasi. Dalam hal ini sangat berkaitan dengan informasi yang dapat diperoleh masyarakat melalui banyaknya jumlah media beserta keleluasaan dalam memberikan informasi. Dengan disahkannya UU kebebasan pers setelah reformasi, memunculkan banyak sekali media-media baru dengan ragam informasi yang diberikan. Oleh karena itu anak muda kemudian memiliki kesempatan untuk menyerap budaya-budaya baru, entah itu berasal dari dalam negeri atau dari luar negeri. Media memang memiliki peran yang penting dalam perkembangan kebudayaan, terlebih pada budaya anak muda, Media mampu menyebarkan maupun mengembangkan suatu produk budaya tertentu menjadi lebih eksis. Namun, kebanyakan dari media tersebut lebih sering menangkap atau menyajikan budaya-budaya populer. Padahal tidak sedikit budaya selain budaya populer yang berkembang ditengah anak muda. Ketidaksanggupan itulah yang membuat mediamedia lain bermunculan untuk menangkap informasi dari budaya diluar budaya populer tersebut. Media inilah yang disebut oleh Chris Atton (2002) sebagai media alternatif. Dilihat dari sejarah dan perkembangannya di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, ada beberapa media yang bergerak seperti penjelasan diatas. Misalnya seperti Brainwashed Zine, Stoned College, Ripple Magazine, Deathrockstar, Provoke, dan Jakartabeat. Walaupun muncul dan berkembang pada waktu yang berbeda-beda, kesemua media tersebut bergerak menangkap informasi-informasi alternatif yang berbeda dari media mainstream pada umumnya. Khususnya pada pergerakan budaya-budaya anak muda, seperti musik, fashion dan lain sebagainya. Salah satu media yang juga menangkap dan memberikan informasi berbeda dari media mainstream dan sedang berkembang sehingga mulai dikenal saat ini oleh anak muda Jakarta adalah Ruruhop Radio. Sebagai sebuah media yang baru muncul, perkembangan Rurushop Radio cukup menarik perhatian dan menjadi perbincangan ditengah anak muda Jakarta. Saat ini pendengar dari Rurushop Radio bisa dibilang cukup banyak. Followers dalam akun Twitter resmi Rurushop Radio pun saat tulisan ini dibuat telah mencapai 7416, padahal usianya baru 2 tahun lebih. Selain itu banyaknya respon dari pendengar ketika siaran radio tengah berlangsung, melalui media Twitter juga memperlihatkan bagaimana antusiasme para pendengar terhadap radio ini. Dalam siarannya, Rurushop Radio tidak memiliki jadwal yang tetap seperti radio-radio mainstream. Tidak setiap hari dan setiap waktu ada penyiar yang mengisi acara. Tema atau topik yang diangkat dalam siaran cenderung spontan dan nyeleneh sehingga bebas dan tergantung pada arah obrolan para penyiar ketika ada yang menarik menurut perhatian mereka. Pembicaraan dan penggunaan bahasanya pun bebas, entah itu bahasa dari penyiar atau dari pendengar. Malah bisa dikatakan bahasa yang digunakan cenderung “kasar” dan “kotor” bagi masyarakat umum. Dari segi lagu yang diputarkan, biasanya Rurushop Radio menyesuaikannya dengan topik atau tema yang sedang dibahas ketika siaran berlangsung. Namun mereka lebih sering memutarkan musikmusik dari band indie lokal dan beberapa lagu dari luar negeri yang jarang diputarkan di radioradio mainstream. 2
Subkultur Kita Hari Ini yang dimuat dalam Kompas tahun 2007
2
Media alternatif sebagai..., Ilham Andika,FISIP UI, 2014
Sebagai sebuah media yang menawarkan hal berbeda dari arus utama, mulai dari konten hingga cara mereka berproduksi, dan yang lebih mencolok adalah kenirlabaan mereka, Rurushop Radio menjadi menarik untuk diteliti. Terlebih lagi dengan keberadaan media-media mainstream lain yang sudah menjalar ditengah masyarakat, khususnya bagi anak muda, dianggap dapat menjadikan keunikan tersendiri bagi posisi Rurushop Radio. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana Rurushop Radio sebagai media alternatif menjadi sebuah subkultur anak muda perkotaan. Penelitian ini kemudian juga akan melihat bagaimana proses kemunculan Rurushop Radio sebagai media alternatif dan cara mereka mendapatkan tempat dan bertahan dikalangan anak muda Jakarta. Lebih jauh lagi penelitian ini berusaha untuk melihat apakah Rurushop Radio menjadi sebuah upaya resistensi terhadap media mainstream. MEDIA ALTERNATIF, SUBKULTUR, RESISTENSI DAN ANAK MUDA Menuru Chris Atton (2002) adalah media yang berbeda dengan media mainstream, khususnya pada produk seperti konten, bentuk, cara kreasi atau cara produksi. Begitu juga dengan proses seperti cara distribusi, perubahan hubungan sosial antara peran dan tanggung jawab dan hubungannya dengan audience. Secara lebih lanjut, menurut Atton, dalam mendefinisikan media alternatif, kata alternatif menjadi penting untuk dijelaskan. Kata alternatif memiliki pengertian yang luas. Kata alternatif bisa merujuk pada informasi yang ‘alternatif’ dari informasi yang diberikan oleh media mainstream atau media massa. Informasi yang disampaikan dan interpretasi yang dilakukan tidak seperti yang biasa terlihat atau mungkin tidak dapat ditemukan ditempat lain. Media altrnatif juga penting untuk dbedakan dengan media radikal. Raymond Williams dalam McGuigan (1992) membedakan dengan baik antara alternatif dan radikal dengan menggunakan sudut pandang sosiologis pada konteks budaya. Ia menyebutkan bahwa kultur alternatif merupakan kultur yang berusaha mencari tempat agar dapat hidup berdampingan dengan hegemoni yang ada, sedangkan kultur yang radikal atau oppositional culture berusaha menggantikan hegemoni tersebut. Sama halnya dengan penjelasan diatas Bailey, Cammaerts dan Carpentier (2007) secara khusus menjelaskan media alternatif yang seperti ini sebagai pendekatan Alternative media as an alternative to mainstream media. Pendekatan ini membedakan media mainstream dan media alternatif, dimana media alternatif dapat dilihat sebagai pelengkap bagi media mainstream atau sebagai perlawanan terhadap hegemoni media mainstream. Pendekatan ini memposisikan media alternatif dengan melihat hubungan antara media dan representasi, karena salah satu alasan media alternatif itu ada adalah untuk menyuarakan ideologi minoritas atau representasi yang salah dalam media mainstream. Dalam bahasa Atton (2002) media alternatif mampu memberikan akses bagi beberapa kelompok minoritas atau merjinal yang tidak memiliki power terhadap media massa. Oleh karena itu konteks sosial menjadi sangat penting bagi posisi media alternatif itu sendiri. Sesuatu yang alternatif dalam titik konteks sosial dan waktu tertentu bisa menjadi mainstream. Media itu sendiri memiliki kaitan dengan subkultur, dimana Thornton (1995) menyatakan bahwa media merupakan bagian integral dari pembentukan subkultur dan bagian formulasi anak-anak muda atas aktivitas mereka. Begitu pula,bagi media alternatif, dimana menurut Atton (2002) perlawanan terhadap hegemoni media mainstream oleh media alternatif sama halnya dengan perlawanan yang dilakukan oleh subkultur. Dengan kata lain, kata ‘sub’ dalam subkultur yang menunjukkan
3
Media alternatif sebagai..., Ilham Andika,FISIP UI, 2014
pembedaan jelas kebudayaan mereka dengan kebudayaan dominan atau arus utama sama dengan kata “alternatif” dari media alternatif. Unsur perbedaan dalam subkultur itu sendiri sering kali diserap oleh budaya dominan, ketika nilai, keyakinan dan estetika sebuah subkultur menjadi begitu populer. Inilah yang sering kali menjadi akhir dari lingkaran kehidupan sebuah subkultur. Hal ini tidak begitu mengherankan, karena subkultur dan budaya tanding adalah sumber dari inovasi, dan sebagian besar anggota subkultur berasal dari kelompok usia yang tergabung dalam masyarakat arus utama, sehingga membawa unsur-unsur subkultur mereka kepada kehidupan yang semakin konvensional. Konsep subkultur pada awal kemunculannya sering dikaitkan dengan perlawanan, dimana menurut Chris Barker (2000) subkultur sering dipandang sebagai ruang bagi budaya menyimpang untuk menegosiasikan ulang posisi mereka atau untuk meraih tempat bagi dirinya. Sehingga kebanyakan teori subkultur memunculkan pertanyaan mengenai resistensi. Resistensi itu sendiri menurut Chris Barker (2004) “merujuk pada oposisi dan pembangkangan dalam kaitan hubungan antara dominasi dan power”, atau dalam hal ini adalah kaitan antara budaya dominan dan budaya tanding. Unsur resistensi antara budaya tanding dan subkultur tentu saja harus dibedakan. Micah L. Issit (2011) menjelaskan hal ini dengan baik, menurutnya subkultur adalah kelompok budaya yang memiliki nilai dan keyakinan berbeda didalam budaya yang lebih besar. Sedangkan budaya tanding adalah sebuah subkultur yang memiliki ideologi, estetika atau keyakinan lain yang bertentangan secara langsung dengan budaya yang lebih besar. Tujuan dan resistensi dari kedua konsep ini berbeda, karena sebuah budaya tanding bertujuan untuk menghancurkan sistem dan menggantikannya dengan sistem baru yang mereka anggap lebih baik. Sedangkan subkultur hanya akan memiliki makna dan arti selama masih ada arus utama bagi mereka untuk membedakan diri. Dengan kata lain, sebuah subkultur belum tentu dan tidak harus memiliki resistensi dengan ideologi-ideologi tertentu yang mereka kedepankan seperti dalam budaya tanding. Konsep subkultur juga memiliki kaitan dengan anak muda, dimana bentuk-bentuk perbedaan dalam subkultur sering kali ditunjukkan oleh anak muda. Brake (1985) mengatakan bahwa anak muda sering kali dianggap sebagai “gangguan” karena perbedaan-perbedaan yang mereka tunjukkan. Namun pandangan tersebut segera dimentahkan dengan analisa para akademisi subkultur. Contohnya seperti hasil kajian Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Birmingham, dimana kajian tersebut sering kali memperlihatkan subkultur pada anak muda menunjukkan sebuah perlawanan kebudayaan terhadap kebudayaan dominan dan kebudayaan orang tua. KONTEKS & PROSES KEMUNCULAN RURUSHOP RADIO Pasca reformasi, kelenturan peraturan yang berkaitan dengan media dan kemajuan teknologi telah mempengaruhi keran keterbukaan informasi menjadi semakin deras. Data yang disampaikan oleh Sasa Djuarsa Sendjaya dalam Wulandari (2010. h 62) menunjukkan hingga akhir tahun 2002, terdapat sepuluh stasiun televisi swasta, lima diantaranya merupakan stasiun televisi yang baru mengudara setelah reformasi. Begitu pula dengan stasiun radio, yang tercatat jumlahnya meningkat menjadi 1188 stasiun. Jumlah itu terdiri atas 56 stasiun RRI dan 1132 buah stasiun radio swasta. Ratusan media cetak pun juga mulai bermunculan. Hal ini membawa sesuatu yang tadinya dianggap tejadi di “luar” sana menjadi begitu dekat dengan kehidupan kita 4
Media alternatif sebagai..., Ilham Andika,FISIP UI, 2014
karena informasi yang tersedia saat ini sangat banyak sekali. Terlebih dengan keberadaan internet yang semakin memperluas ketersediaan informasi bagi masyarakat Indonesia saat ini. Keterbukaan media tersebut telah membuka kesempatan bagi setiap orang untuk memberikan informasi atau pendapat dalam media publik. Tetapi dalam praktiknya, tidak semua orang memiliki akses terhadap hal tersebut. Keterbukaan media di era reformasi sepertinya hanya dekat kepada mereka-mereka yang memiliki capital. Hal ini jelas menunjukkan bahwa hanya segelintir orang yang bisa mengakses keterbukaan media mainstream tersebut. Sedangkan mereka yang sebenarnya memiliki eksperimen kultural cenderung tidak memiliki akses untuk menyebarkan dan menikmati informasi dari keterbukaan media mainstream yang ada. Keterbukaan media mainstream yang ada pada saat era reformasi hingga saat ini juga cenderung tidak bisa mencakup semua kelompok. Segmentasi yang diupayakan oleh mediamedia tersebut sebagai pembeda antara satu media dengan media yang lain sepertinya juga tidak cukup untuk meliputi semua lapisan yang ada dalam masyarakat. Jika Prambors memilih anak muda sebagai segmen mereka, pertanyaan selanjutnya adalah apakah semua anak muda mendengarkan Prambors, apakah mereka merasa terwakili oleh Prambors, atau hanya anak-anak muda dari kelas tertentu saja yang mendengarkan mereka. Hal-hal seperti ini juga terjadi dalam semua jenis media, seperti televisi atau majalah. Hal tersebut menunjukkan bahwa banyaknya media baru yang muncul juga tidak berarti secara langsung akses terhadap media tersebut terbuka bagi semua orang dan mencakup semua kelompok. Program yang tidak dapat dikonsumsi secara masif memang sulit untuk diproduksi media mainstream. Media-media tersebut lebih mengedepankan keuntungan dibanding dengan kualitas dan orisinalitas. Sesuatu yang tidak populer akan jarang kita lihat dalam media saat ini. Hal ini yang membuat medium internet menjadi relevan bagi anak muda yang marjinal atau memarjinalkan diri tadi. Bukan kapital ekonomi yang dibutuhkan disini, karena biaya yang diperlukan jauh lebih sedikit, malah banyak juga yang gratis. Jangkauannya pun dapat lebih luas dan cepat karena dapat diakses dengan mudah melalui gadget-gadget yang semakin mumpuni. Melalui kelebihan-kelebihan internet dan kemajuan teknlogi inilah yang kemudian mewujudkan media yang terbuka bagi semua orang, karena mampu mencakupi isu-isu marjinal. Internet menjadi nafas baru bagi media “bawah tanah” (alternatif). Internet memungkinkan setiap pengguna menjadi produsen dan konsumen informasi pada saat yang sama sehingga menghilangkan peran kontrol Negara, swasta dan bahkan profesional atas informasi (Hill & Sen, 2005). Melalui internet, media bawah tanah jumlahnya menjadi semakin banyak, bahkan bahkan jumlahnya berhasil mengalahkan media mainstream. Media-media tersebut berhasil menangkap informasi-informasi yang terlewatkan dalam media mainstream. Keberadaannya dapat melengkapi kebutuhan kelompok-kelompok yang tidak terwakili dalam media mainstream. Media seperti ini berproduksi sebagai media dengan cara mereka sendiri. Tak terpaku pada baku media mainstream sehingga perbedaannya akan sangat terlihat. Kita dapat melihat contoh antara Deathrockstar dan majalah Hai, sebagai majalah yang sama-sama mengulik tentang musik. keduanya juga memanfaatkan medium webzine, yaitu majalah online yang menggunakan internet sebagai bentuk distribusinya. Tetapi dalam beberapa konten perbedaan mereka cukup terlihat. Dalam membuat tulisan tentang musik, Deathrockstar lebih sering membicarakan musik-musik underground, sedangkan majalah Hai lebih sering membicarakan musik-musik populer anak muda. Dalam beberapa kesempatan majalah Hai memang pernah meliput musik-musik underground, akan tetapi jumlahnya sedikit dan jarang sekali. 5
Media alternatif sebagai..., Ilham Andika,FISIP UI, 2014
Mereka juga mempormosikan acara-acara yang berbeda antara satu sama lain. Hai mempromosikan acara konser Ahmad Dhani, sedangkan Deathrockstar mempromosikan konser musik SUPERBAD, yang dikenal sebagai acara musik independen bulanan. Hai me-review album baru JKT 48 (Girlband), sedangkan Deathrockstar me-review album perdana C.U.T.S. (band indie). Distribusi yang mereka lakukan juga berbeda, Deathrockstar lebih mengandalkan jaringan skala kecil, bawah tanah (alternatif), dan tidak menjual informasinya, sedangkan majalah Hai menggunakan jaringan skala besar dan memperjualbelikannya. Selain dalam bentuk webzine, berkat internet dan kemajuan teknologi media-media bawah tanah (alternatif) juga banyak muncul dari radio streaming. Pada awal kemunculannya radio-radio ini bergerak mengangkat musik-musik underground. Dengan memutarkan lagu, mengundang musisi indie dan membuat acara-acara yang terkait dengan musisi underground atau indie. Tetapi dalam perkembangannya saat ini juga banyak muncul radio streaming dari berbagai segmentasi. Dari segmentasi bisnis ada Marketeers Radio yang juga merupakan perluasan dari Markeeters Magazine. Kemudian dari segmen agama ada Radio Rodja, yang namanya meluas setelah memanfaatkan radio streaming. Tidak ketinggalan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga memanfaatkan medium baru ini. Kemunculan media “bawah tanah” (alternatif) di Indonesia memang terus mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Menurut cerita para informan, pada awal perkembangannya, media bawah tanah muncul melalui medium zine. Kata zine itu sendiri adalah kependekan dari fanzine atau yang berarti majalah fans. Penyebutan zine ini pun sebenarnya untuk menunjukkan perbedaannya dengan majalah yang mapan atau mainstream. Zine dibuat oleh penggemar sebuah budaya tertentu seperti musik underground lokal dan tidak jarang mengangkat isu politik juga (Wallach, 2008). Dalam perkembangannya juga muncul zine-zine olahraga, film atau yang lainnya. Zine-zine yang dapat dikatakan sebagai pencetus zine di kota-kota besar menurut tulisan Wendy Putranto3 adalah Revogram Zine dari Bandung dan dianggap banyak orang sebagai yang pertama dari semua jenis zine musik. Kemudian ada Mindblast Zine dari Malang dan Megaton Zine dari Jogjakarta. Untuk di Jakarta ada Brainwashed zine yang dibuat oleh Wendy. Kesemua zine tersebut memiliki fokus musik yang sama, yaitu musik underground. Materi-materi dalam zine tersebut biasanya berisi profil band, rilis album, info-info acara dan lain-lain. Pembuatan zine tersebut sangat dekat dengan etos DIY (Do It Yourself). Semuanya dilakukan oleh mereka sendiri, mulai dari peliputan, tulisan, percetakan, design, tema, distribusi dan lain sebagainya. Dari zine-zine yang ada saat itu, umumnya kebanyakan tidak dapat bertahan lama. Mereka rata-rata hanya bertahan selama beberapa edisi saja, bahkan ada yang hanya dua edisi. Tetapi euphoria zine ini terus berlangsung sampai pada tahun 2000-an. Dimana penyebaran zine ikut meluas seiring dengan perkembangan distro. Sampai pada titik medium zine beralih ke internet dan menjadi lebih dikenal dengan webzine yang berarti fanzine electronic (Wallach, 2008) seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Disela ketertarikan dan keasyikan dalam membuat zine dan webzine, medium baru bagi media “bawah tanah” (alternatif) sudah mulai muncul. Menurut informan Emir, pada tahun 2005 DJ Wirya muncul sebagai salah satu stasiun radio streaming pertama yang ada di Jakarta. 3
Wendi Putranto merupakan executive editor majalah Rolling Stone Indonesia dan RollingStone.co.id yang telah meliput dan menulis berbagai peristiwa musik di Tanah Air dan mancanegara sejak 1996. Ia telah menulis buku "Rolling Stone Music Biz” (2009) sebagai panduan cerdas berkarir di bisnis musik Indonesia. Pernah menjadi personal manager band The Upstairs selama 7 tahun dan promotor konser lokal/internasional.
6
Media alternatif sebagai..., Ilham Andika,FISIP UI, 2014
Mereka muncul dengan menawarkan konten-konten indie. Walaupun bergerak menangkap informasi indie, DJ Wirya melakukan produksi secara profesional. Ada struktur yang jelas dalam organisasinya. Teknis siaran baku media mainstream juga diterapkan disini. Sangat berbeda dengan apa yang dilakukan dalam produksi zine pada awal kemunculannya. Saat ini stasiun radio streaming DJ Wirya memang masih bertahan, tetapi konten yang mereka tawarkan sekarang lebih dekat kepada mainstream. Mungkin ini berkaitan dengan kerjasama-kerjasama yang mereka lakukan dengan beberapa korporasi, termasuk major label musik. Cara produksi radio streaming yang mungkin agak sama dengan cara produksi zine sekaligus konten-kontennya adalah Stoned College Radio. Didirikan pada sekitar akhir tahun 2008 di Jakarta Selatan, stasiun radio ini mengusung sebuah konsep kehidupan kampus dalam siarannya. Dimana ada penyiar yang disebut sebagai dosen, dekan, office boy, dan mahasiswa. Dijalankan oleh para amatir dalam penyiaran radio. Sehingga gaya siaran mereka berbeda dengan radio mainstream. Sesuai dengan namanya “Stoned”, siaran mereka memang terdengar seperti sedang mabuk. Kata-kata vulgar pun sering terucap dari para penyiar. Secara konten, radio ini lebih mengedepankan musik-musik indie. Prinsip-prinsip DIY memang cukup terlihat dalam radio ini, tetapi dalam perkembangannya mereka tidak mampu bertahan. Stoned College Radio hanya dapat bertahan kurang dari dua tahun. Radio ini perlahan-lahan menghilang dan selanjutnya mereka muncul kembali dengan merubah bentuk bukan lagi sebagai radio streaming tetapi lebih kepada webzine. Itupun mereka memanfaatkan laman internet yang gratis. Saat ini tidak terlalu banyak inovasi produksi yang mereka hasilkan. Sehingga tidak terlalu menarik perhatian. Pada sekitar tahun 2009-2010 perlahan-lahan radio streaming mampu menggantikan webzine. Seiring dengan perkembangan teknologi yang membuat akses terhadap internet menjadi begitu mudah dan cepat. Misalnya seperti kemunculan Kentang Radio, Berisik Radio dan Ruang Lain Radio yang dibuat oleh informan Emir. Layaknya perkembangan zine, radio-radio streaming ini kemudian bertambah jumlahnya. Hampir disetiap kota memiliki radio streaming yang “bawah tanah” (alternatif) saat ini, seperti misalnya ada Kanaltigapuluh dari Malang dan Hujan Radio dari Bogor. Untuk Di Jakarta sendiri salah satu radio streaming yang terhitung baru dan paling terdengar namanya adalah Rurushop Radio. Sebuah radio streaming yang berkembang sebagai generasi ketiga dari proses perjalanan media-media bawah tanah (alternatif). Rurushop Radio lahir dari inisiatif para seniman ibukota yang sering berkumpul, berdiskusi dan bermain di Rurushop. Ada cukup banyak yang bisa disebut sebagai para pendiri Rurushop Radio menurut informan Mushowir, seperti misalnya Oomleo yang merupakan anggota band Goodnight Electric dan mantan penyiar di OZ Radio Jakarta, Ricky Malau yang merupakan seorang seniman yang lebih dikenal sebagi aktor, Saleh Husein yang merupakan seorang anggota band White Shoes & The Couples Company dan tiga informan Oscar, Mushowir Bing dan Haoritsa yang berhasil diwawancarai. Kesamaan ketertarikan terhadap musik dan berbagai kesenian serta kebudayaan ibu kota lain yang membuat mereka berkumpul dan mendirikan radio ini. Tidak ada sasaran pendengar secara khusus yang ditentukan oleh para pendiri, karena menurut mereka Rurushop Radio dapat didengarkan oleh siapa saja. Bahkan seorang ibu-ibu yang ingin bernostalgia kadang bisa mendengarkan lagu yang diputarkan oleh beberapa penyiar “lawas” seperti Ricky Malau. Namun jika kita lihat dari sebagian besar lagu, program, topik bahasan dan event yang menjadikan Rurushop Radio bekerja sebagai media partner-nya
7
Media alternatif sebagai..., Ilham Andika,FISIP UI, 2014
segmentasi Rurushop Radio lebih kepada anak muda. Begitu pula dengan penegasan dalam website resmi mereka yang mengatakan Rurushop Radio adalah radio kaum muda kontemporer. Ketika berbicara mengenai Rurushop Radio kita tidak bisa melepaskannya dari Ruang Rupa. Rurushop Radio itu sendiri telah menjadi bagian dan merupakan salah satu media yang digunakan oleh Ruang Rupa untuk mempromosikan acara-acaranya. Ruang Rupa itu sendiri merupakan organisasi nirlaba dengan tujuan mendorong kemajuan gagasan seni rupa dalam konteks perkotaan dan lingkup luas kebudayaan lain. Kurang lebih seperti itu penjelasan mereka di situs resminya. Ruang Rupa menyediakan tempat baru bagi para seniman di Jakarta untuk mengekspresikan karya mereka ditengah hiruk-pikuk Kota Jakarta. Isu-isu yang diangkat oleh mereka biasanya mengenai kehidupan perkotaan dan situasi-situasi yang menekan lainnya. Kemudian mereka mewujudkannya dalam wujud yang berbeda dari segala yang telah massif di Jakarta. Pameran, festival, laboratorium seni rupa, lokakarya, penelitian dan penerbitan jurnal kesemuanya mereka bungkus menjadi sesuatu yang lebih bermakna dalam kebudayaan kota. Seniman yang mendirikan Ruang Rupa mayoritas adalah mereka yang memang memiliki latar belakang pendidikan tinggi sebagai seniman. Jadi tidak sulit bagi para seniman tersebut untuk menghasilkan acara-acara yang “aneh” ditengah acara-acara kota lainnya. Contohnya seperti festival OK. Video, Jakarta 32 Derajat, Holy Market dan Ruru Shop. Keberadaan acaraacara tersebut menawarkan sesuatu yang berbeda bagi anak muda Jakarta, atau bahkan juga bagi anak-anak muda di kota lain. Tidak jarang para peserta dan pengunjung dari acara Ruang Rupa berasal dari luar kota Jakarta. Festival OK. Video dan Jakarta 32 derajat misalnya, menawarkan sebuah pilihan baru bagi anak muda Jakarta yang jenuh akan televisi atau bioskop “kesayangannya”. Begitu pula dengan Holy Market dan Ruru Shop yang menjajakan barangbarang yang lain dari pada yang lain. Sulit untuk menemukan barang-barang yang dijual di Holy Market dan Ruru Shop. RURUSHOP RADIO SEBAGAI MEDIA ALTERNATIF Menurut Atton (2002) sebuah media dapat disebut sebagai media alternatif ketika informasi yang diberikan berbeda dengan media mainstream. Secara lebih mendalam Ia memberikan tipologi media alternatif yaitu, alternatif pada produk dan proses. Produk yang dimaksudkan disini antara lain konten, bentuk dan cara produksi. Sedangkan proses merujuk pada cara distribusi, perubahan hubungan sosial antara peran dan tanggung jawab dan hubungan antara media dengan audience. Konten media alternatif menurut Atton memiliki kecenderungan berisi tentang sesuatu yang radikal, atau berbeda dengan arus utama, atau setidak-tidaknya memiliki unsur resistensi. Artinya secara garis besar konten media alternatif harus berbeda dengan media mainstream. Sebagai media dalam bentuk radio, konten Rurushop Radio menurut peneliti berupa playlist lagu, program, gaya bahasa, dan acara yang dipromosikan oleh mereka. Setelah melakukan wawancara dan observasi, peneliti mendapati bahwa playlist yang ada di Rurushop Radio sangat beragam, karena playlist tersebut diisi oleh semua penyiar dan pengurus, sekaligus penyiar dan pengurus lama yang sudah tidak rutin siaran dan tidak mengurus lagi. Lagu-lagu tersebut disimpan kedalam satu komputer. Jadi lagu yang lama tidak dihapus dan lagu yang baru tinggal ditambahkan. Bagi para penyiar, mereka bebas memutarkan lagu apa saja sesuai keinginan mereka ketika siaran, sekaligus menambahkan lagu-lagu baru untuk playlist Rurushop Radio. Hal ini dikarenakan tidak ada peraturan khusus bagi para penyiar untuk 8
Media alternatif sebagai..., Ilham Andika,FISIP UI, 2014
memutar lagu apa. Mereka biasanya lebih menyesuaikan lagu-lagu yang diputarkan dengan tema yang sedang dibicarakan. Hal ini tentu saja berbeda dengan radio-radio mainstream lain, lagu-lagu populer sudah dipersiapkan oleh music director dan harus diputar oleh penyiar atau operator. Jika dikelompokkan, peneliti memilih untuk mengatakan bahwa lagu-lagu yang mereka putarkan adalah lagu yang berada diluar jalur industri musik populer dan label musik besar. Kebanyakan lagu yang mereka putar adalah lagu-lagu dari band independen, lagu-lagu lama atau bahkan lagu nasional. Lagu-lagu tersebut mungkin jarang atau bahkan tidak pernah diputar di radio mainstream. Begitu pula dengan program-program siaran mereka seperti Anak Bawang, Menggambar Lewat Udara dan Jalan Tikus. Ketiga program tersebut menawarkan hal berbeda dengan program-program radio atau media lain yang mainstream. Jarang sekali program di media mainstream yang membahas trend anak muda dengan gaya nyeleneh seperti program Anak Bawang. Belum ada sejauh pengamatan peneliti program siaran radio yang mengajak para pendengarnya untuk menggambar atau mengomentari gambar seperti program Menggambar Lewat Udara. Kemudian juga hanya ada sedikit program siaran radio yang secara khusus mengundang komunitas-komunitas unik di Jakarta seperti Jalan TIkus. Hampir kesemua program dapat dikatakan unik dan orisinil. Konten Rurushop Radio selanjutnya adalah gaya bahasa. Menurut para informan dan observasi peneliti, penggunaan gaya bahasa di Rurushop Radio cukup bebas. Tidak ada peraturan tertentu yang dibuat oleh para pengurus bagi para penyiar. Sehingga penyiar bebas melontarkan kalimat apapun. Mereka memang lebih sering menggunakan kalimat-kalimat yang vulgar atau kasar bagi masyarakat umum. Tetapi menurut mereka, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa sehari-hari saat nongkrong atau berbicara dengan teman-teman. Penggunaan bahasa mereka pun menjadi begitu santai dan tidak kaku. Terakhir, konten Rurushop Radio adalah acara yang mereka promosikan. Selain mempromosikan acara-acara Ruang Rupa dan barang-barang eksklusif ala Rurushop, cukup banyak kerja sama yang dilakukan oleh Rurushop Radio sebagai media partner dengan lembaga atau komunitas lain. Mulai dari konser musik, pameran, festival, workshop, pemutaran film dan lain sebagainya pernah mereka promosikan. Acara-acara yang mereka promosikan biasanya berskala kecil, eksklusif dan hampir kesemuanya adalah acara independen, seperti film atau band-band independen. Tentu saja ini menjadi sangat berbeda dengan acara yang biasa dipromosikan oleh media-media mainstream. Produk media alternatif yang dimaksudkan oleh Chris Atton berikutnya adalah bentuk. Bentuk yang dimaksudkan disini adalah bentuk yang secara terlihat dari Rurushop Radio. Ada tiga dimensi dalam bentuk disini, yaitu website, studio, dan logo. Website Rurushop Radio dapat dikatakan sebagai website yang sederhana tidak terlalu banyak tulisan seperti website-website radio mainstream lainnya yang begitu banyak iklan menghiasi tiap halamannya. Sedangkan untuk design logo dan studio Rurushop Radio tidak perlu diragukan lagi tampilannya. Kebanyakan para pendiri dan pengurus merupakan seniman “kontemporer” yang memang memiliki keahlian untuk menggambar dan membuat desain baru. Rurushop Radio telah membuat beberapa logo yang mampu menarik perhatian dan langsung menjadi icon mereka. Misalnya seperti penggunaan font yang mencolok, hingga gambar Monumen Nasional yang ditambahkan dengan keterangan bahwa Rurushop Radio merupakan radio “kebanggaan ibukota”. Logo dan keterangan tentu saja memiliki kesan yang berbeda dengan logo-logo media mainstream lainnya. 9
Media alternatif sebagai..., Ilham Andika,FISIP UI, 2014
Begitu pula dengan studio Rurushop Radio, studio ini juga didesain dengan sedemikan rupa dan berbeda dari kebanyakan studio radio lainnya. Dimana ruangan ini begitu terbuka, siapapun bisa berada didekat para penyiar, ikut mengobrol, melontarkan celoteh-celotehan yang mengandung humor. Bukan sebuah tempat yang ditutup rapat-rapat agar tidak muncul suarasuara lain ketika siaran, seperti yang dilakukan radio lain. Tak jarang para penyiar Rurushop radio melakukan siaran sambil menghisap rokok. Begitu juga dengan bintang tamu yang datang. Produk media alternatif terakhir menurut Chris Atton adalah cara produksi. Cara produksi yang dimaksud disini adalah cara produksi yang inovatif, biasanya menggunakan teknologiteknologi baru yang mempermudah jalannya produksi. Jika melihat studi kasus Rurushop Radio, sepertinya tipologi produksi yang dimaksudkan oleh Atton sangat cocok. Rurushop Radio menggunakan medium teknologi yang terbilang baru. Mereka menggunakan online streaming sebagai alat untuk menyebarkan siarannya. Jangkauan siaran mereka pun menjadi lebih luas, bukan hanya secara lokal, tetapi juga bisa diakses dari luar negri. Begitu pula dari segi biaya yang lebih murah dari siaran radio yang menggunakan modulasi frekuensi (FM) atau modulasi amplitude (AM). Dari segi proses yang dimaksudkan oleh Atton, untuk mengatakan Rurushop Radio sebagai media alternatif dapat dilihat dari, pertama, cara distribusi mereka. Rurushop Radio ketika melakukan siaran radio dapat dikatakan bergerak secara sembunyi-sembunyi, atau dengan kata lain tidak tersentuh oleh hukum. Sebelumnya sudah dijelaskan dalam beberapa aspek yang menunjukkan bahwa mereka tidak tersentuh hukum, yaitu mereka dapat secara bebas menggunakan bahasa “vulgar” ketika siaran. Akan berbeda jika kalimat-kalimat yang mereka gunakan diucapkan oleh para penyiar di radio mainstream. Mungkin penyiaran mereka dapat diberhentikan seketika oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Begitu pula dengan pemutaran musik yang mereka lakukan, dimana tidak ada lisensi tertentu dari setiap lagu yang diputarkan. Aspek proses berikutnya berkaitan dengan organisasi dari media alternatif. Jika dilihat sebagai media alternatif, Rurushop Radio memiliki struktur yang kecil dan terlihat lebih horizontal bentuknya. Hanya ada dua pembagian kerja menurut pengamatan peneliti, yaitu produser dan penyiar. Diantara dua bagian ini tidak ada aturan kaku yang mengatur tugas mereka masing-masing. Keduanya sering kali saling mengerjakan tugas-tugas secara bergantian. Bentuk struktur yang horizontal semakin terlihat dari tidak adanya perintah-perintah tertentu dari produser kepada penyiar. Mereka sama kedudukan posisinya dalam struktur Rurushop Radio. Mereka sama-sama sukarela melakukan tugas ini. Hal ini juga menunjukkan bagaimana terjadinya organisasi kolektif menurut Atton dalam Rurushop Radio. Dimana para produser juga bisa menjadi operator, ketika para penyiar harus mewawancarai narasumber dengan cukup fokus sehingga kesulitan untuk mengoperasikan perangkat yang digunakan. Membangun jaringan juga bukan hanya tugas dari produser, para penyiar juga ikut andil dalam hal ini. Misalnya saja ketika Rurushop Radio mengalami masalah dalam hal teknis dan para produser tidak bisa mengatasinya. Aspek proses dalam Rurushop Radio selanjutnya adalah proses komunikasi dengan para pendengar. Proses komunikasi yang terjadi bisa dikatakan horizontal, dimana komunikasi yang terjadi diantara penyiar dan pendengar cukup intens dan dapat mempengaruhi informasi atau diskusi yang sedang berlangsung ketika siaran. Rurushop Radio sangat sering membuka kesempatan bagi para pendengar atau skoyer untuk meminta lagu apa yang harus diputar. Begitu juga dengan kalimat-kalimat “celaan” yang berlangsung antara penyiar dan pendengar. Kalimatkalimat seperti ini menunjukkan kedekatan posisi atau yang bisa disebut komunikasi horizontal
10
Media alternatif sebagai..., Ilham Andika,FISIP UI, 2014
antara penyiar dan pendengar. Kalimat mencela tentu agak sulit diterima bagi kebanyakan orang, kecuali mereka memang memiliki kedekatan tertentu. RURUSHOP RADIO: MEDIA ALTERNATIF SEBAGAI SUBKULTUR Aspek-aspek karakteristik Rurushop Radio yang telah disebutkan sebagai ciri yang menunjukkan sebuah media alternatif, menurut peneliti juga dapat dilihat sebagai sebuah gejala budaya. Lebih tepatnya kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan arus utama. Aspek representasi perbedaan kebudayaan yang ditunjukkan oleh Rurushop Radio ini sangat lekat dengan konsep subkultur. Perbedaan-perbedaan tersebut menurut peneliti prinsipnya hampir sama dengan prinsip perbedaan yang ditekankan oleh media alternatif, karena menurut Atton (2002) perlawanan terhadap hegemoni media mainstream oleh media alternatif sama halnya dengan gaya perlawanan yang dilakukan oleh subkultur. Ada beberapa aspek yang terdapat pada media alternatif, khususnya studi kasus Rurushop Radio ini yang menunjukkan representasi karakteristik subkultur dari anak muda tertentu. Dari segi ide atau gagasan mereka yang mengekspresikan nilai tertentu dan dapat terlihat dari tujuan atau latar belakang dari Rurushop Radio. Dimana secara garis besar akan terlihat dari tujuan mereka dan selanjutnya terlihat juga dari praktik-praktik mereka. Tujuan dan pandangan mereka terhadap media mainstream mengekspresikan sebuah makna dan nilai tertentu bagi Rurushop Radio. Tujuan Rurushop Radio dituliskan dalam website resmi mereka, tujuan tersebut menunjukkan bagaimana sebenarnya Rurushop Radio dibentuk atas dasar keresahan yang terjadi pada anak muda akan musik-musik perubahan zaman. Musik perubahan zaman dan perbedaan kemasan informasi yang dimaksudkan disini ditujukan kepada media-media mainstream yang telah mapan dengan produk-produk musik populer beserta informasinya yang begitu seragam. Sehingga mereka menawarkan atau memberikan lagu-lagu yang menurut mereka lebih ”bergizi” beserta informasi-informasi yang mereka kemas dengan gaya mereka sendiri dan berbeda. Hal ini juga sejalan dengan apa yang diceritakan oleh para informan, dimana Rurushop Radio merupakan upaya untuk mencari “tantangan baru” dari media-media yang sudah ada. Selain itu banyaknya media-media mainstream yang telah ada saat ini dirasa tidak cocok dengan dirinya dan para penyiar atau pendiri yang lain. Sehingga mereka merasa mewakili para pendengar-pendengar radio yang merasa tidak terwakili dengan keberadaan media mainstream. Tujuan ini tidak terlepas dari pandangan mereka terhadap media mainstream itu sendiri. Dimana kebanyakan dari mereka merasa tidak terlalu menyukai media mainstream karena dirasa terlalu seragam dan terlalu komersil sehingga informasi yang disampaikan menjadi kabur. Tetapi hal ini diungkapkan oleh mereka hanya sebagai bentuk kekecewaan, tidak sampai membuatnya anti terhadap media mainstream. Begitu pula dengan informan-informan lain yang juga cenderung tidak anti terhadap media mainstream. Beberapa dari mereka malah masih memperhatikan “isi” dari media tersebut. Namun mereka secara sadar memahami keberadaan media mainstream sebagai sesuatu yang penting bagi Rurushop Radio, yaitu sebagai pembeda mereka. Tujuan dan pandangan terhadap media mainstream yang telah dituliskan dan dipahami oleh para informan sebagai pendiri, produser dan penyiar Rurushop Radio selanjutnya diimplementasikan oleh mereka melalui kegiatan-kegiatan Rurushop Radio. Disini peneliti ingin mengatakan bahwa kesemua kegiatan tersebut didasarkan pada ide atau gagasan yang memiliki nilai kebebasan dan kreativitas dalam konteks media. Hal ini dikarenakan media mainstream bagi mereka terlalu seragam dan kemasan informasi yang itu-itu saja. Nilai inilah yang kemudian 11
Media alternatif sebagai..., Ilham Andika,FISIP UI, 2014
menjadikan Rurushop Radio sebagai sebuah subkultur dari kebudayaan dominan atau mainstream dalam konteks media. Ekspresi nilai yang ditunjukkan oleh Rurushop Radio tentu saja bukan tanpa pengikut. Rurushop Radio terlihat berhasil dengan kata lain memfasilitasi para pendengarnya yang biasa disebut skoyer, sekaligus anggota dari subkultur ini. Dalam mewujudkan nilai kebebasan dan kreativitas Rurushop Radio sebagai subkultur, dapat terlihat dari kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Ada beberapa aspek kegiatan yang terdapat dalam siaran mereka yang menunjukkan nilai-nilai kebebasan dan kreativitas. Misalnya saja seperti lagu-lagu yang diputarkan oleh mereka, dimana mereka tidak membatasi jenis lagu apa yang harus diputarkan. Mereka memutarkan lagu “lawas”, lagu-lagu indie, bahkan mereka juga memutarkan lagu nasional. Begitu pula dengan promosi acara eksklusif, program siaran dan gaya bahasa vulgar yang digunakan. Nilai kebebasan dan kreativitas sangat kental disini. Sebagai sebuah media, nilai kebebasan dan kreativitas yang terwujud dalam segala aktivitas Rurushop Radio memperlihatkan simbol dan atribut yang khas dari mereka. Bagian yang paling penting adalah kesemuanya itu diikuti oleh para pendengarnya, atau dalam hal ini sebutan khusus bagi pendengar Rurushop Radio adalah skoyer. Para skoyer memiliki pandangan terhadap media mainstream yang sama dengan para pendiri, produser dan penyiar Rurushop Radio, sehingga aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh Rurushop Radio menjadi suatu hal yang menarik bagi mereka. Skema Rurushop Radio Sebagai Media Alternatif & Subkultur Rurushop Radio
Media Alternatif
Subkultur
Produk: Konten, Bentuk, Cara Produksi
Nilai Kebebasan & Nilai Kreativitas
Proses: Cara Distribusi, Perubahan Hubungan Sosial, Perubahan Proses Komunikasi
Aktivitas: Siaran Radio, Acara yang Diadakan, Promosi Skoyer Simbol & Atribut: Musik Indie, Gaya Bahasa Vulgar, Acara & Barang Eksklusif
12
Media alternatif sebagai..., Ilham Andika,FISIP UI, 2014
RESISTENSI RURUSHOP RADIO UNTUK EKSISTENSI Jika dilihat dari aspek-aspek media alternatif Rurushop Radio dan sebagai sebuah subkultur, yang sudah dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya, Rurushop Radio dapat dikatakan sebagai sebuah resistensi terhadap media mainstream. Namun perlu ditekankan, bahwa resistensi yang dilakukan oleh Rurushop Radio adalah resistensi yang sama dengan subkultur, bukan resistensi yang sama dengan budaya tanding. Bukan hanya itu, resistensi Rurushop Radio disini konteksnya adalah Rurushop Radio juga sebagai media alternatif. Resistensi Rurushop Radio menurut peneliti lebih digunakan sebagai pembeda mereka dari sesuatu yang mainstream atau dari media alternatif lain. Oleh karena itu resistensi dalam Rurushop Radio lebih cocok dikatakan sebagai upaya mereka untuk eksis. Cara kerja resistensi Rurushop Radio sama seperti yang dijelaskan oleh Atton (2002) yaitu melalui eksperimen dan transformasi peran dalam bentuk organisasi media alternatif dan simbol-simbol lain yang melekat pada media alternatif, sama halnya dengan perlawanan yang dilakukan oleh subkultur. Rurushop Radio memiliki proses dan produk yang berbeda, dan cenderung berlawanan dengan media mainstream, namun mereka menunjukkan bahwa mereka mampu bertahan setidaknya sampai saat ini. Dari segala bentuk resisteni Rurushop Radio, peneliti tidak melihat ada upaya atau keyakinan tertentu dari Rurushop Radio untuk dapat menggantikan hegemoni dari media mainstream dengan sistem yang mereka anggap lebih baik, karena dalam beberapa kesempatan mereka mengatakan tidak meyakini hal tersebut. Terlebih jika Rurushop Radio benar-benar mengupayakan hal tersebut, penggunaan simbol gaya bahasa vulgar yang menjadi ciri resistensi mereka masih memiliki stigma negatif dalam masyarakat. Sulit bagi mereka untuk menawarkan sesuatu yang baru namun sudah dianggap negatif. Dengan kata lain, resistensi Rurushop Radio terhadap media mainstream tidaklah terlalu kuat. Begitu juga bagi para skoyer, bentuk-bentuk resistensi Rurushop Radio seperti musik indie, gaya bahasa vulgar dan acara atau barang yang eksklusif mereka praktikan dalam kehidupan sehari-hari mereka untuk membedakan diri dari para penikmat media mainstream dengan berbagai “isi”nya. Mereka menggunakan atribut-atribut subkultur Rurushop Radio seperti lebih menyukai musik indie, bukan musik populer. SUMBER-SUMBER KEKUATAN RURUSHOP RADIO Ada beberapa aspek yang menurut peneliti sebagai sumber-sumber kekuatan Rurushop Radio. Sumber-sumber ini berkaitan dengan bagaimana mereka bisa mendapatkan tempat dan bertahan sebagai media alternatif dan subkultur. Aspek yang pertama adalah jaringan yang mereka bangun.Sebagai sebuah media alternatif dan subkultur, peneliti ingin mengatakan bahwa Rurushop Radio membuka kerja sama dengan jaringan yang tepat. Hal ini dikarenakan jaringanjaringan tersebut mampu memperkuat posisi media alternatif dan subkultur mereka. Jaringajaringan tersebut contohnya adalah Ruang Rupa. Ruang Rupa itu sendiri mendapat funding dari beberapa seperti Ford Foundation dan Hivos. Hal ini yang kemudian membuat Ruang Rupa mampu memberikan asupan modal bagi Rurushop Radio untuk melakukan produksi. Namun keberadaan lembaga pemberi donor tidak menghilangkan esensi media alternatif atau subkultur Rurushop Radio. Justru kepentingan Ford Foundation dalam hal ini berkaitan dengan informasi yang memang jarang ditangkap oleh media mainstream. Keberadaan Ford Foundation dan beberapa funding lain dibalik Ruang Rupa dan
13
Media alternatif sebagai..., Ilham Andika,FISIP UI, 2014
Rurushop Radio menurut peneliti malah menjadi kekuatan besar untuk menunjukkan posisi subkultur mereka dan juga untuk bisa bertahan. Melalui Ruang Rupa, Rurushop Radio juga berhasil membangun jaringan dengan beberapa media alternatif lainnya, sehingga posisi subkultur itu menjadi lebih jelas lagi. Sebut saja seperti Deathrockstar, Jakartabeat.net, Majalah Cobra, Irockumentary, Demajors dan Visual Jalanan. Hal ini tentu saja mempermudah distribusi Rurushop Radio sebagai media alternatif dan subkultur. Selain jaringan Ruang Rupa, Rurushop Radio juga memiliki kekuatan pada sumber daya manusia. Dalam hal ini sumber daya yang dimaksudkan adalah para pengurus dan penyiar. Mereka memang amatir dalam dunia penyiaran radio, tetapi mereka memiliki kultural kapital, dimana mereka semua memiliki latar belakang pendidikan sarjana. Mayoritas adalah sarjana seni yang kemudian juga menjadi penggiat seni, entah itu melukis, mural, membuat patung dan lain sebagainya. Bahkan salah satu dari penyiar juga merupakan dosen di perguruan tinggi. Jadi tidak sulit sepertinya bagi mereka untuk membuat satu hal baru yang berbeda dari yang lain. Terakhir yang menjadi kekuatan Rurushop Radio adalah gaya bahasa. Menurut pengamatan peneliti, Rurushop Radio telah berhasil membangun ciri gaya bahasa dalam interaksi mereka sebagai media alternatif. Sulit bagi media-media alternatif lain untuk mengikuti hal ini. Kalimat-kalimat vulgar yang mereka ucapkan atau dituliskan dalam Twitter juga mampu mengajak para pendengar untuk meresponnya dengan kalimat yang tidak jauh beda. Bahasa yang mereka gunakan begitu dekat dengan bahasa-bahasa anak muda sebenarnya, tetapi penggunaannya dalam media masih terbilang jarang. Kata-kata vulgar ini sepertinya juga berhasil mendekatkan Rurushop Radio dengan para pendengarnya, karena biasanya kalimat vulgar hanya diucapkan oleh anak muda ketika bersama dengan teman dekatnya. KESIMPULAN DAN SARAN Media alternatif muncul melalui proses dimana keterbukaan media saat ini belum cukup mampu untuk mewakili suara-suara yang marjinal atau terlebih yang memarjinalkan diri, khususnya pada anak muda perkotaan. Oleh karena itu bagi anak-anak muda yang memiliki eksperimen kultural yang lebih berupaya membuat media mereka sendiri untuk menangkap dan menyebarluaskan informasi atau budaya tertentu sesuai dengan ketertarikan mereka. Hal ini lah yang kemudian memunculkan zine pada pertengahan tahun 1990-an. Dalam perkembangan teknologi, mediumnya berganti menjadi webzine dan radio streaming. Rurushop Radio muncul sebagai media alternatif ketika prinsip-prinsip dan praktik yang mereka miliki berlaku pada model tipologi yang diberikan oleh Atton (2002) mengenai media alternatif. Produk Rurushop Radio yang pertama adalah berupa konten, bentuk visual dan cara produksi mereka yang secara keseluruhan berbeda dengan media mainstream. Sedangkan proses Rurushop Radio adalah cara distribusi, perubahan hubungan sosial antara peran dan tanggung jawab serta perubahan proses komunikasi dengan audien yang juga memiliki perbedaan yang kental dengan media-media mainstream. Penjabaran mengenai keberlakuan tipologi media alternatif Atton terhadap Rurushop Radio tidaklah selamanya kaku. Dalam beberapa hal peneliti tidak menemukan kesamaan tipologi tersebut dengan praktiknya. Aspek-aspek Rurushop Radio sebagai media alternatif juga dapat dilihat sebagai sebuah gejala budaya. Menurut pandangan peneliti Rurushop Radio juga menunjukkan sebuah kebudayaan tertentu yang berbeda dengan budaya arus utama. Ide atau gagasan mereka yang terlihat dari tujuan dan latar belakang didirikannya radio ini mengekspresikan nilai kebebasan 14
Media alternatif sebagai..., Ilham Andika,FISIP UI, 2014
dan nilai kreativitas yang berbeda dengan kebudayaan arus utama dalam konteks media. Nilainilai ini kemudian terwujud dalam aktivitas-aktivitas Rurushop Radio. Kesemuanya itu diikuti oleh para pendengarnya, yaitu skoyer. Skoyer merupakan anggota dari subkultur ini, mereka memilih aktivitas dan simbol atau atribut Rurushop Radio dalam cara hidup mereka yang berbeda dengan kebudayaan-kebudayaan yang dominan atau mainstream. Skoyer dapat diidentifikasi ketika memiliki pandangan yang sama dengan ide atau gagasan Rurushop Radio, sehingga mereka mengikuti aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh radio ini. Sebagai sebuah subkultur, resistensi yang dilakukan oleh Rurushop Radio lebih terlihat sebagai upaya Rurushop Radio untuk eksis. Musik indie, gaya bahasa vulgar, acara atau barang yang dipromosikan digunakan untuk membedakan diri agar dapat bertahan dari sesuatu yang mainstream. Bagi para skoyer, simbol atau atribut yang telah disebutkan tersebut juga dipraktikan sebagai cara hidup mereka yang berbeda dari sesuatu yang mainstream. Selain unsur resistensi Rurushop Radio sebagai sebuah subkultur dalam konteks media sebagai upaya mereka untuk dapat bertahan dari sesuatu yang mainstream, terdapat beberapa sumber kekuatan lain yang mereka miliki. Salah satunya adalah jaringan Ruang Rupa dan beberapa jaringan lain. Jaringan ini semakin memperkuat posisi mereka sebagai subkultur dan media alternatif. Kemudian Rurushop Radio juga membangun jaringan dengan media alternatif lain yang mempermudah distribusi mereka. Ketiga ada sumber daya manusia yang memiliki kultural kapital. Kemudian yang terakhir adalah gaya bahasa vulgar yang telah menjadi ciri khas mereka. Sumber-sumber kekuatan ini bisa dilihat dari Rurushop Radio sebagai media alternatif sekaligus subkultur. Agar Rurushop Radio ini dapat tetap bertahan dan berkembang, Rurushop Radio perlu melakukan perluasan jaringan “alternatif” mereka. Perluasan ini bisa dilakukan oleh Rurushop Radio dengan kerja sama yang dijalin dengan band-band indie, acara-acara musik atau acara lain yang memiliki ketertarikan sama dengan Rurushop Radio, atau bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang dapat membantu berjalannya radio ini seperti memberi dukungan berupa dana. Selain itu, Rurushop Radio juga perlu menyiapkan regenerasi para pengurus dan penyiar. Saat ini Rurushop Radio dijalankan para pengurus dan penyiar secara volunteer, hal ini agak sulit bagi mereka jika nantinya punya kesibukan lain, misalnya seperti berkeluarga atau bekerja secara rutin Walaupun sejauh ini dengan mekanisme tersebut Rurushop Radio tetap berjalan, namun menurut peneliti akan menghambat perkembangan dan bertahan dalam jangka waktu yang lama jika tidak diiringi dengan regenerasi. Ketika regenerasi tersebut dilakukan, Rurushop Radio perlu untuk menanamkan nilai-nilai yang melatarbelakangi didirikannya Rurushop Radio ini. Sehingga aktivitas-aktivitas yang dilakukan tidak berubah nantinya. Melihat perkembangan medium bagi media alternatif, selain webzine dan radio streaming, ada kemungkinan bahwa terdapat juga media alternatif dalam bentuk video, atau yang saat ini sering dikenal dengan webseries. Untuk melengkapi studi-studi mengenai media alternatif menurut peneliti dibutuhkan juga penelitian dengan medium baru seperti webseries tersebut. Sehingga nanti akan didapat gambaran secara keseluruhan mengenai media alternatif dalam berbagai medium.
15
Media alternatif sebagai..., Ilham Andika,FISIP UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA Arifin, Nurul. Bambang Murtiyoso. Philip Yampolsky. 2006. Perjalanan Kesenian Indonesia Sejak Kemerdekaan: Perubahan Dalam Pelaksanaan, Isi dan Profesi. Indonesia: PT. Equinox Publishing Atton, Chris. 2002. Alternative Media. SAGE Publication. Brake, Michael. 1985. Comparative Youth Culture. Routledge & Kegan Paul Ltd. Bailey, Olga Guedes. Dkk. 2007. Understanding Alternative Media. Open University Press: McGraw Hill Education. Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Teori & Praktik (Nurhadi, Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana Gelder, Ken. 2005. The Subcultures Reader. London/New York: Routledge Gelder, Ken. 2007. Subcultures: Cultural Histories and Social Practice. New York: Routledge. Hebdige, Dick. 1979. Subculture: The Meaning Of Style. London/New York: Routledge Hebdige, Dick. 1988. Hiding in the Light: On Images and Thing. London: Routledge. Hill, David T. Krishna Sen. 2005. The Internet in Indonesia’s New Democracy. New York: Routledge Issit, Micah L. 2011. Goths: A Guide to an American Subculture. ABC-CLIO, LLC Jurriens, Edwin. 2009. from monologue to dialogue: Radio and reform in Indonesia. Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies: KITLV Press Laughey, Dan. 2006. Music And Youth Culture, Columbia University Press McGuigan, Jim. 1992. Cultural Popularism, London: Routledge. Mudji Sutrisno, In Bene, Hendar Putranto. 2004. Cultural Studies : Tantangan Besar Teori-Teori Kebudayan, Yogyakarta : Koekoesan Neuman, W. Lawrence. 2006. Social research methods: Qualitative and quantitative approaches (6th ed.). Boston: Pearson Strinati, Dominic. 2004. An introduction to theories of popular culture. New York: Routledge. Silverstone, Roger. 1999. Why Study the Media?. London: Sage Thornton, S. 1995. Club Cultures:Music, Media and Subcultural Capital. Cambridge: Polity Press. Wallach, Jeremy. 2008. Modern Noise, Fluid Genres: Popular Music In Indonesia 1997-2001. London: The University Of Wisconsin Press. William, R. 1961. The Longe Revolution. London: Chotto & Windus. Andrianto, Apit. 2006. Media Dan Konstruksi Identitas: Studi Etnografi Terhadap Peran Media Komunitas Subkultur Slanker Dalam membentuk Identitas Kelompok. Tesis. Depok:Universitas Indonesia. Huq, Rupa. 2007. Resistance or incorporation? Youth policy making and hip hop culture. Youth Cultures: Scenes, Subculture and Tribes. Routledge Taylor & Francis Group, LLC 2007. Karib, Fathun. 2007. Kesadaran Kolektif Dan Identitas Dalam Komunitas Punk Jakarta, Studi Kasus Band Bunga Hitam. Skripsi. Depok:Universitas Indonesia Kariko, Abdul Aziz Turhan. 2009. Pop Melayu: Hegemoni Media Massa dalam Ranah Musik Populer di Indonesia. Tesis. Depok:Universitas Indonesia. Kusuma, Chandraditya. 2013. Subkultur Straight Edge: Identitas dan Resistensi. Skripsi. Depok:Universitas Indonesia Pakan, Sarani Pitor. 2013. Backpacking dan Backpacker di Indonesia. Skripsi. Depok:Universitas Indonesia 16
Media alternatif sebagai..., Ilham Andika,FISIP UI, 2014
Park, Judy. 2011. Significance of Changing Korean Youth Subculture Styles. Asian Culture and History Vol. 3, No. 1. Syatori, A. 2010. Media Komunitas dan Strategi Pengembangan Komunitas; Studi Tentang Proses dan Strategi Pengembangan Komunitas Berbasis Media Komunitas “Angkringan” di Bantul Yogjakarta. Tesis. Depok: Universitas Indonesia Torkelson, Jason. 2010. Life After (Straightedge) Subculture. Springer Science+Business Media, LLC. Wulandari, Diah. 2010. Konstruksi Pemberitaan Politik Ber-isu Gender. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro Agus Susanto, Dari Hippie Hingga Distro http://nasional.kompas.com/read/2008/09/21/05250821/.Dari.Hippie.hingga.Distro. diakses pada tanggal 13 Agustus 2013. Blog Wendy Putranto. 2014. BRAINWASHED: Jakarta Underground Magazine (1996-1999) http://wenzrawk1.blogspot.com/2014/03/brainwashed-jakarta-underground.html Kill the DJ & Chindil. Subkultur Kita Hari Ini. Kompas, 4 Mei 2007. KUNCI: Remaja, Gaya, Selera. Edisi Khusus/6-7. Mei-Juni 2000 About Ruang Rupa http://ruangrupa.org/web/index.php?option=com_content&view=article&id=48&Itemid=1&lang =en
17
Media alternatif sebagai..., Ilham Andika,FISIP UI, 2014