Newsletter
Interfidei
Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia
EDITORIAL
Daftar Isi Bilingual Newsletter Editorial ...................... 1 Fokus .......................... 2 Opini .......................... 6 Aktivitas ................... 12 Potret ........................ 20 Feature....................... 23 Refleksi ..................... 29 Agenda ..................... 31
TANTANGAN BERSAMA COMMON CHALLENGES TO AGAMA-AGAMA DI INDONESIA RELIGIONS IN INDONESIA
M
encermati perkembangan serta dinamika keberagaman di Indonesia hari ini, memunculkan pertanyaan bagaimana masa depan kemajemukan di tengah pusaran pertarungan berbagai ideologi. Penanggung Jawab Kepada siapa ak an kit a Elga Sarapung alamatkan semua pertanyaan tentang Pemimpin Redaksi harapan dan tantangan kemajemukan Indro Suprobo di Bumi Pertiwi ini? Jawabannya ada Tim Redaksi Khairul Anwar, Listia,Herry pada diri kita yang merasa dan melihat Metty, Margaret, Indro Suprobo bahwa sesungguhnya persoalan itu adalah tanggung jawab bersama elemenSetting/ Layout elemen bangsa. Juga bagaimana hal ini Sarnuji menjadi tantangan bersama bagi agamaDokumentasi agama di Indonesia. Polemik teologis Herry Metty yang di bawa oleh beberapa orang ini Keuangan menjadi semacam titik balik dari Eko Putro Mardiyanto berbagai masalah yang timbul tersebut. Sekretariat Tantangan bagi institusi agama Ira Sasmita adalah bagaimana merawat Distributor keberagaman ini, untuk menciptakan Susanto kedamaian dan keadilan bagi semua. Diterbitkan oleh Pada Newsletter ini kami mencoba Institut DIAN/ Interfidei untuk berbagi dari pengalaman tentang Jl. Banteng Utama 59, Perum Banteng Baru pentingnya menjaga keharmonisan Yogyakarta, 55581, Indonesia. dalam bingkai semangat kasih dan saling Phone.:0274-880149. Fax.:0274- menghormati serta adanya sikap 887864 penghargaan terhadap perbedaan. E-mail
[email protected] Selamat membaca. Website Http://www.interfidei.or.id.
Newsletter Interfidei No. 7/II Desember 2008- Maret 2009
Q
uestions arise of the future of pluralism amidst tremendous theological struggles referring to the development of religious diversity in Indonesia these days. To w h o m s h o u l d t h e questions on the future and the challenges of religious diversity in Indonesia be addressed? All of us, as a nation, are responsible for this matter. Such problems are challenges for every single Indonesian. Any religious polemics posted by several people recently seem to be turning point to the many problems within the society. Religious institutions are challenged to nurture this diversity to create justice and peace for all. The edition of the newsletter that is now in your hand wants to share various experience on the importance of fostering harmony with compassion and respect for differences. Enjoy your reading.
1
Interfidei newsletter
Fokus
TANTANGAN BERSAMA AGAMA-AGAMA DALAM MENJAWAB PERSOALAN KEMANUSIAAN
AN INTERVIEW WITH ESTHI SUSANTI
WAWANCARA DENGAN ESTHI SUSANTI
W
K
a m i b e rke s e mp a t a n u n t u k mewawancarai Esthi Susanti, seorang aktivis yang bekerja untuk korban HIV/AIDS selama 15 tahun, ketika menghadiri pertemuan jaringan antariman nasional, 8-10 Agustus di Yogyakarta. Berikut ini adalah komentarnya tentang peran agama-agama dalam merespo n berbagai masalah kemanusiaan.
Esthi Susanti
Bagaimana menurut anda peran DIAN/Interfidei dalam mengangkat masalah-masalah sosial sebagai tantangan bersama untuk agama-agama dalam proses membangun dialog antar iman? Saya melihat Interfidei berperan penting menyangkut tantangan bersama yang dihadapi agama-agama. Menurut saya, Interfidei memusatkan perhatian pada dialog antar iman dan juga mengupayakan berbagai kegiatan untuk mendukung toleransi, perdamaian, integritas kemanusiaan, dan demokrasi. Interfidei, menurut saya, memupuk dialog antar penganut agama dan juga antar aktivis kemanusiaan yang sehari-hari bergumul dengan masalah sosial, politik dan ekonomi, dan juga pendidikan serta lapangan pekerjaan yang berdampak pada kemanusiaan. Dialog bukan semata-mata berbicara tentang Tuhan dan ajaran agama yang abstrak, tetapi juga tentang realita kemanusiaan. Hal inilah yang dikerjakan oleh teman-teman yang bergerak dalam isu kemanusiaan. Ada titik temu antara agama dan para aktivis kemanusiaan, yaitu keutuhan ciptaan. Bahwa manusia bergumul untuk mengatasi kemiskinan, masalah ekonomi, pendidikan, dan lapangan pekerjaan yang berakibat pada berkurangnya nilainilai kemanusiaan, merupakan permasalahan lain.
2
Edisi Desember 2008- Maret 2009
THE CHALLENGES TO RELIGIONS IN RESPONDING TO HUMANITARIAN PROBLEMS
e had a chance to interview Esti Susanti, an activist who has been working for HIV/AIDS patients for 15 years, when she attended the national interfaith-network meeting on 8-10 August 2008 in Yogyakarta. The following is her comments on the role of religions in responding to humanitarian concerns. How do you see DIAN/Interfidei in promoting social needs as common challenges to religions to cultivate dialogue among religions? I can see the role of Interfidei in regard to the challenges for religions. According to me, Interfidei centres on interfaith dialogue and has been fostering programs to nurture tolerance, peace, the integrity of humanity, and democracy. Interfidei has been nurturing not only inter-faith dialogue but also dialogue between humanitarian groups who daily deal with social, political, and economical issues, education, and employments. Dialogue is not merely about God and abstract religious teachings, but also about reality. This sort of dialogue on the real life has been being dealt with by humanitarian groups. There is a meeting point between religions and humanitarian activists, the wholeness of beings. That people struggle for poverty, economy, education, employment, which results in the vanishing human values, is another issue. Do you think religious institutions have been well engaged in answering social needs? In order to be able to embrace its adherents, a religion needs to emphasize on the process of humanizing the people. Karel Steenbrink views happiness and feeling good as the reason people hold
Edisi Desember 2008 - Maret 2009
Focus
Menurut Anda apakah yang dilakukan institusi on to religions nowadays. For this reason, religions keagamaan untuk menanggapi persoalan kemanusiaan can no longer dwell in their ivory tower. They must work and touch their adherents to create happiness, sudah memadai? Proses menjadi manusia merupakan feeling good, and wellness. Interfidei has an important role in initiating problem yang harus dihadapi oleh agama, kalau tidak agama akan ditinggal oleh penganutnya. Menurut such a dialogue. I see that Interfidei has started to karel Steenbrink, sekarang ini orang mencari agama foster networks with many groups that deal with untuk happiness dan feeing good. Seharusnya ada humanitarian affairs. It is different to what it did perubahan, karena itu agama tidak bisa berdiri di previously when dealing solely with discourse and not menara gadingnya. Agama harus bekerja dan even a single concrete action to answer the needs of bersentuhan langsung dengan penganut- the people. The worsening of the problems of penganutnya dan berupaya mendatangkan feeling humanity has relation to religious discourse. Taking the example on prostitution and 'undignified' death good, happiness dan wellness. Yang dilakukan oleh interfidei adalah bagian because of HIV virus, both is humiliation of human penting. Saya tertarik karena saya kira interfidei values. However, the two can also be seen under the mulai bergerak dan berdialog dengan kelompok yang light of religions. For this reason, it is important for bergerak dan berhadapan dengan masyarakat, di activists of religions to work hand in hand with bidang kemanusiaan. Pada waktu lalu apa yang humanitarian ones. Reality emerges from ideas as people witness incidents dilakukan Interfidei terbatas in everyday life. These pada wacana karena tidak incidents, which haven't melakukan pelayanan been put into words by terhadap kebutuhan r eligions, are the masyarakat. Memburuknya potentials for changes. persoalan kemanusiaan ini berkaitan erat dengan wacana How do you understand the keagamaan, contohnya way religious institutions pelacuran dan kematian yang approach the issues? tak bermartabat dari ODHA. As far as I've Permasalahan ini merupakan o b s e r ve d , re l i g i o n s ' pelanggaran nilai approach to social kemanusiaan. Oleh karena itu, m perlu kerjasama antara aktivis Peserta mempertanyakan peran agama bagi kemanusiaan dalam a t t e r s a r e m e r e agama-agama dan aktivis studi bersama tentang Agama-agama dan Persoalan HIV/AIDS f o r m a l i t y . I t h i n k religions need to struggle kemanusiaan. Inilah cita-cita more for humanity especially in dealing with peerubahan yang diharapkan dari agama-agama. HIV/AIDS patients. I was so surprised once Menurut penilaian anda bagaimna pendekatan yang telah witnessing a religious institution announced its willingness to help HIV/AIDS patients only if they dilakukan oleh institusi agama-agama? Pendekatan institusi agama masih bersifat had confessed their sins. A dialogue is crucial in such a formal, seperti pengalaman saya berdialog dengan situation for it is impossible for someone who is in kelompok agama. Agama perlu menyuarakan suara that problem to follow the rule. I also put forward the kemanusiaan khususnya yang berkaitan dengan idea of dignity of life and death when once engaged meninggalnya ODHA. Saya sangat terkejut dengan with another religious institution. This institution respons kelompok agama yang melakukan accepted this idea because it found its relation to the pendekatan secara formal. Mereka Mengatakan, concept of husnul khatimah. Furthermore, it even ”kami (Institusi agama) akan melayani ODHA jika established a shelter for HIV/AIDS patients. There were definitely so many obstacles to go through. The Edisi Desember 2008- Maret 2009
3
Fokus
Interfidei newsletter
people in the shelter mereka telah were frightened and mengaku berdosa c o n d e m n e d dan melakukan HIV/AIDS patients as pertobatan”. Dalam sinners, while on the kondisi seperti ini, contrary these people orang bermasalah needed comfort. A tidak akan mengikuti long and extensive peraturan yang ada di dialogue is needed to struktur, saya kira deal with such an pendekatan ini issue. For me sangat formal. Untuk HIV/AIDS is because situasi seperti ini, of human's conduct. It dialog menjadi can be cured but is penting. Satu ketika now left behind since saat saya berdialog Permainan untuk mendalami materi people refuse to juga dengan institusi change their attitudes agama lain, saya menyuarakan tentang hidup dan mati secara to the matter. I see how religion effects the way people bermartabat, mereka mengatakan bahwa ada konsep treat HIV/AID as well as the patients. If we intend to husnul khatimah (akhir yang baik) tentang orang cut the vicious cycle of HIV for instance, it would be mati, dan mereka mengakui itu diterima dan konsep better if we introduce condom to the people instead of ini lebih diterima oleh orang yang mempunyai declaring religious justification of the matter that it masalah. Dan mereka juga menindaklanjuti dengan relates to adultery and so is against with religion. For membuat lembaga penampung (shelter) ODHA. Ini this reason, we need to approach an issue under the tidak bejalan dengan mudah, orang yang ada di light of its context; to understand a health problem shelter juga ketakutan dengan mengatakan bahwa from health perspective instead of religion and vice ODHA adalah orang yang berdosa. Seharusnya para versa. It is impossible to change the Scripture, thus ODHA dalam kondisi ini perlu merasa comfortable. better to cite encouraging verses from it to promote Dan ini perlu dialog yang sangat panjang. Dalam dialogue. It is also important for religious leading kasus ODHA, perilaku yang diciptakan oleh figures to have one voice supporting dialogue to avoid manusia bisa ditanggulangi. Tetapi ternyata tidak misunderstanding among the adherents. ditanggulangi karena tidak ada perubahan cara berfikir. Masalahnya adalah praktik cara penularan How do you think religious institution should respond to ditanggapi dengan jalan keluar melalui pendekatan HIV/AIDS patients? Religious institutions are seen as tackling the agama. Misal dalam konteks public health, kita ingin memutus mata rantai HIV dengan cara memakai attempts to prevent HIV. They must not agree on kondom. karena hal ini adalah hal yang riil yang condom in terms of religious justifications, but they tidak bisa dengan bahasa agama, seperti berzinah itu can at least address condom as a health instrument. In dosa. Seharusnya orang berbicara dengan apa yang addition, religious institution can also inform the dia ketahui dan tidak berada di luar jalurnya. Ayat people of the way using it and that it is meant to save. alkitab tidak bisa diubah, oleh sebab itu kita There has been progress on the way religions viewing mengajak orang untuk berbuat baik, jangan dengan condom and HIV/AIDS. I think dialogue has been dialog yang berlawanan yang akan membuat going on to bridge the two approaches, yet virus masyarakat bingung dan tidak percaya karena spreads faster than any of the approaches. We need to initiate the understanding on the pemimpin agama tidak kompak. importance to heed ourselves as well as our
4
Edisi Desember 2008- Maret 2009
Edisi Desember 2008 - Maret 2009
Focus
Berkaitan dengan ODHA, bagaimana seharusnya sikap institusi agama? Institusi agama dianggap sebagai penghambat untuk penanggulangan HIV. Kita tidak meminta mereka untuk menyetujui kondom dan/atau juga tidak ada justifikasi agama dalam hal itu. Tapi bisa saja dia bicara tentang kondom sebagai alat kesehatan, dan penggunaanya tergantung pada yang menggunakan. Dan niat ini adalah untuk menyelamatkan. Dari pihak agama sudah ada kemajuan besar dalam melihat kondom dan HIV, memilih dari yang terbaik dan yang buruk dan dipakai sebagai dasar. Saya kira dialog sudah mulai berjalan akan tetapi virus lebih cepat Diskusi tentang Agama dan HIV/AIDS dari pendekatan ini. Perlu ada bahasa dan konsep bahwa menjaga diri dan lingkungan sangat penting. Untuk environment. To preserve God's command can be menjaga amanah Tuhan, perlu dialog antara kaum also by promoting dialogue between theologians, teolog dan pekerja kemanusiaan dan korban. Orang humanitarian workers, and the victims. A powerful yang powerfull adalah yang tidak konflik dalam person is the one who can control the physical, integrasi antara fisik psikis dan spritiual. Jika hal ini psychological, and spiritual state. Therefore, sinkron akan menjadi lebih bagus. synchronization among the three thus very important. Kita hidup beberapa persen dikendalikan Mere interfaith dialogue is not enough since oleh kebiasaan, dialog antar agama saja belum selesai. life is also shaped by the habits of the people. We need Perlu dialog dengan realitas dan ini perlu dibangun. a dialogue which is in accordance with factual Perlu proses, tidak hanya bicara sistem tapi juga situations. We need to pay more attention to the proses. Dan memulai proses ini penting. Saya sedang process. It is important to start doing the process. I am menyusun sebuah buku tentang kematian now writing a book on dignified death and its concern bermartabat dan kaitannya dengan ODHA, dan saya to the HIV/AIDS patients. I hope this book will give berharap ini bisa menjadi bahan dialog dengan kaum contribution to develop dialogue with religious agamawan.[KHA] leading figures.[]
Edisi Desember 2008- Maret 2009
5
Interfidei newsletter
Opini
TANTANGAN BERSAMA AGAMA-AGAMA
COMMON CHALLENGES TO RELIGIONS IN INDONESIA
I Wayan Sadra*
I Wayan Sadra*
S
A
eperti kita ketahui, Indonesia adalah s it has been widely known, negara yang terdiri dari lebih-kurang Indonesia is the largest archipelago 17.000 buah pulau sehingga in the world that consists of more membentuk kepulauan terbesar di dunia. or less 17,000 islands. This condition Dengan demikian kitapun paham bahwa hal results in diversity in many of its aspects, inilah yang menimbulkan keberagaman such as physical geography, ethnic, dalam banyak hal seperti kondisi alam, suku, language, tradition, culture, religion, etc. bahasa, tradisi, budaya, agama, dll. Dalam In religious context, there had never been konteks kehidupan beragama, semua orang I Wayan Sadra any significant conflicts within and among juga tahu bahwa penduduk negeri ini religions historically even though the menganut beragam agama yang dalam kurun waktu people were from various different backgrounds of cukup lama kita tidak pernah mendengar adanya beliefs. singgungan antar agama yang berarti apalagi intern In recent times, mass media is frequently agama. broadcasting news on religious violence and conflicts Belakangan ini media masa sangat sering that cost countless deaths of the people as well as menayangkan berita berita tentang pertentangan properties. There are several reasons for such dan bahkan benturan fisik yang memakan banyak conflicts. Group interest is one of the possible causes. korban harta dan jiwa yang dilatarbelakangi oleh It manipulates problems which basically don't relate keagamaan. Kenapa ini bisa terjadi? Ada beberapa to religions to religious conflicts. The second cause is alasan. Pertama, adanya pihak yang karena kepentingan related to religion in itself. People understand religion tertentu mempolitisir permasalahan, sehingga differently. This is even more complicated as there is berkembang menjadi persoalan antar agama. Kedua, memang persoalannya adalah persoalan agama. more than one religion; different understandings Terjadinya hal ini tentu saja disebabkan oleh results in different approaches. There are religious groups who treat religion pemahaman kita tentang agama masih beragam as a political party. They aim to gain more participants sehingga perlakuan terhadap agamapun menjadi by inviting people to convert to particular religion; berbeda beda juga. this action is apparently observable in our society. Fakta menunjukkan bahwa ada pihak yang memperlakukan agama seperti partai politik yaitu There are also groups that believe that certain religion mencari masa sebanyak-banyaknya. Karena itu upaya is the most righteous one. They condemn other untuk mengkonversi orang lain masuk ke agama religions as false teachings thus demand to banish tertentu terjadi begitu saja di tengah kehidupan them. These groups try to impel their teachings to masyarak at. Selanjutnya ada pihak yang others with every possible way, including a violent one berkeyakinan bahwa pemahamannya terhadap which later creates conflict. An endless debate on religion, especially which religion is true and right, has *Penulis adalah Pimpinan Gendong Gandhi Ashram Candi Dasa Karangasem Bali
6
Edisi Desember 2008- Maret 2009
*The writer is the director of Gendong Gandhi Ashram Candi Dasa Karangasem Bali
Edisi Desember 2008 - Maret 2009 agama paling benar sehingga semua paham yang berbeda adalah paham yang salah dan tidak boleh ada. Jika pihak yang disalahkan tidak mau mengikuti pahamnya, pemaksaan kehendak dengan beragam cara sering dilakukan sehingga tidak jarang berakhir pada benturan fisik. Disamping itu, ada pihak yang berkeyakinan bahwa agamanyalah yang benar dan agama yang lain salah. Dalam kehidupan sehari hari kita sering mendengar debat kusir tentang agama dimana masing masing pihak ngotot menyatakan bahwa keyakinannya paling benar. Inipun akan sangat mungkin menimbulkan benturan fisik yang sesungguhnya tidak perlu terjadi. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kita tidak mampu menerima perbedaan padahal kalau kita mau jujur, perbedaan itu adalah takdir sehingga kita harus paham bahwa tidak mungkin bagi kita untuk menolaknya dan penolakan berarti pengingkaran terhadap kekuasaan Yang Maha Kuasa. Kenyataan di atas sebenarnya dapat dijadikan sebagai sebuah indikator dari pemahaman kita yang sempit terhadap agama. Jika persoalan semacam ini kita biarkan begitu saja maka selamanya kita akan terjebak dalam pertentangan yang tidak kita inginkan. Untuk itu ada beberapa hal yang kiranya patut kita cermati. Bercermin pada catatan sejarah tentang kerukunan hidup antar umat beragama di masa lampau, dimana kita hampir tidak pernah mendengar adanya konflik antar agama seperti sekarang ini, maka catatan sejarah tersebut semestinya dapat kita jadikan acuan untuk mengarungi kehidupan bersama dalam masyarakat yang serba majemuk. Sebagai landasan untuk mengulangi catatan sejarah tersebut, mutlak harus kita sadari bahwa tidak ada agama yang mengajarkan manusia untuk saling membenci, apalagi saling membunuh. Semuanya mengajarkan kepada kita untuk saling membantu, saling menyayangi, dan saling menghormati. Sangat perlu pula disadari bahwa tidak ada agama yang dapat disalahkan karena tidak ada hakim di seluruh dunia yang dapat menjatuhkan vonis bersalah terhadap satu agama karena memang tidak ada alat ukur universal yang dapat dipergunakan untuk mengukur kesalahan agama tertentu. Permasalahannya sekarang adalah seringnya kita memvonis orang lain bersalah dengan menggunakan alat ukur sendiri tanpa mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya agama orang lain. Sikap seperti inilah yang membuat kehidupan kita
Opinion also triggered violence and religious conflict. These violence and conflict reveal the difficulties to acknowledge diversity while diversity itself is undeniable, it is fate. Therefore, neglecting diversity means traversing the power of God. The facts mentioned above also indicate the narrow perception towards religion. Therefore, to some extent, there are some points to reckon in order to avoid similar conflicts to reoccur. Reflecting on the history of religious harmonious life in the past where no inter-religious conflict occurred, is indispensable. History teaches us to live harmoniously. In order to establish the ideal life as is figured out throughout the history, people must understand that there isn't even a single religion prescribes hatred and murder. Every religion teaches its adherents to serve, love, and respect others. There is also no point to blame certain religion for conflicts because of the absence of universal value to judge faults. People tend to apply their own beliefs to judge without attempting to understand others. This is potential to create jarring life.
Gambar Diambil dari Jurnal Imparsial
Edisi Desember 2008- Maret 2009
7
Opini menjadi tidak nyaman. Disamping itu, jika kita sadar bahwa setiap manusia memiliki hak dasar termasuk memeluk agama sesuai dengan kepercayaan masing masing seperti yang tertuang dalam UUD'45, semestinya prilaku untuk saling menghormati pasti bisa terwujud. Tapi sayang sekali bahwa kita sepertinya tidak mau paham dan bahkan cenderung menolak apa yang sudah menjadi kesepakatan hidup bernegara hanya karena ego kita yang berlebihan sehingga kita ingin menegasikan hak orang lain. Patut kita sayangkan juga bahwa sifat egois yang termanifestasikan dalam bentuk ingin menguasai orang lain itu kita bungkus dengan kata “agama” yang jelas jelas kontraproduktif dengan ajaran agama itu sendiri. Paling tidak, dari sekian agama yang saya ketahui seperti: Islam mengatakan: “Lakum di-nukum wali yadi-n” yang artinya : “Bagimu agamamu, bagiku agamaku” ; Hindu menegaskan: “Sarva Dharma samaanatwa” yang artinya: “Hormat terhadap semua agama”. Bagi Hindu, sekedar toleransi terhadap agama lain tidaklah cukup sehingga sikap hormat adalah sebuah kewajiban. Raja Asoka, seorang penganut Buddha, mengatakan: “Ia yang menghina agama orang lain berarti sedang mencaci agamanya sendiri. Ia yang menghormati agama orang lain sedang mencintai agamanya sendiri”. Dari tiga ungkapan di atas sangat jelas bahwa masing masing agama mengekspresikan toleransi dan rasa hormatnya terhadap agama lain. Ungkapan luhur seperti inilah yang seharusnya disosialisasikan dengan baik dan benar, baik itu oleh tokoh tokoh agama maupun oleh institusi agama dan institusi pemerintah sehingga penghakiman terhadap agama lain dapat dihindarkan. Namun harapan seperti itu belum mampu diwujudkan secara maksimal, baik itu oleh institusi agama ataupun pemerintah dan bahkan keputusan keputusan yang mereka buat justru memicu terjadinya peningkatan ketegangan yang tidak jarang melahirkan tindakan tindakan anarkis yang berakhir pada pembunuhan. D alam beberapa kasus yang sempat ditayangkan oleh media elektronik, aparat kepolisian nampak sangat canggung dalam mengambil tindakan preventif terhadap tindak kekerasan yang berbau agama sehingga terkesan tidak mampu melindungi keamanan masyarakat yang menjadi sasaran. Kasus terbaru adalah PAKEM yang dikeluarkan Kejaksaan Agung. Di samping terkesan konyol karena menyatakan:
8
Edisi Desember 2008- Maret 2009
Interfidei newsletter In addition, if people eagerly admit the concept that every human is naturally born with basic rights, including religious right based on individual belief as stated in UUD 1945 (Indonesian Constitution 1945), harmonious life with respect to each other might be achieved. Unfortunately, the tendency to disregard the communal live as nation state, which is developed from ego, disrespects the rights. This ego is also manifested in contradictory action namely intimidation in the name of religion even though religion never teaches its followers to intimidate other believers. Some religions view the harmonious religious live differently, for example, Islam states that Lakum di-nukum wali yadi-n that means “My religion is mine, your religion is yours”; while Hindu is emphasising on Sarva Dharma samaanatwa or “Respect to all religions.” Tolerating other religions is not enough hence respect is a must. King Asoka, a Buddhist, once proclaimed that “Those who disrespect other's religion are insulting their religion. Yet, those who respect other's religion are honouring their own religion”. These three quotations express tolerance and respect to other religion, and needed the support of religious figures, institutions, also the government. Contradictorily, the policies established so far direct people to conflicts of which mostly lead to persecution. In some cases publicized by electronic media, the police seem reluctant to prevent religious conflict, and this implies their failure to protect the people. The newest case is the rule decreed by the Attorney
“Ia yang menghina agama orang lain berarti sedang mencaci agamanya sendiri. Ia yang menghormati agama orang lain sedang mencintai agamanya sendiri”
Edisi Desember 2008 - Maret 2009
Opinion
“Ahmadiyah tidak dilarang tetapi kegiatannya yang dilarang”. Keputusan ini jelas jelas bertentangan dengan UUD'45 sehingga akan terkesan lebih konyol karena yang melanggar Undang Undang Dasar tersebut adalah lembaga negara yang seharusnya menegakkannya. Disamping itu PAKEM yang dikeluarkan memunculkan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam sendiri yang bukan tidak mungkin dapat memicu konflik internal. Jika ini sampai terjadi, bukankah pemerintah itu sendiri yang menjadi penyebabnya. Oleh karenanya ,secara pribadi saya setuju dengan pendapat beberapa teman yang mengatakan bahwa sebaiknya negara tidak perlu ikut campur dalam Pelarangan Ahmadiyah di Indonesia Gambar diambil dari Jurnal Ekonomi urusan agama lebih lebih kalau campur tangannya terkesan memihak kelompok tertentu atau mempolitisirnya. Jika campur tangan semacam itu General's Office which states “Ahmadiah is not terjadi dan kemudian melahirkan konflik, bukankah banned but its teaching is”. This decree sounds itu artinya negara sendiri yang dengan sengaja absurd because it contradicts to the national membuat konflik. Hal ini tentu saja tidak boleh terjadi Constitution. The government as a policy maker fails karena sebenarnya persoalan yang terjadi di kalangan to protect the people. Besides, the rule itself is masyarakat bukanlah persoalan yang berakar pada assumed to accommodate another conflict within Islam, thus is also indicated the government as its agama. Jika pemahaman kita terhadap agama memang initiator. Thus, that nation-state should not involve in benar, saya yakin tidak akan ada masalah yang patut kita the people's religious lives. She also should not incline beri label “konflik antar agama”. Dengan demikian to privilege particular group and politicize it for sangat patut dipertanyakan apakah pemahaman kita certain aim. The nation-state induces conflict, in tentang esensi atau definisi agama itu jelas atau tidak. other words, it is on purpose creating the conflict if it Dengan kata lain, pertanyaan: “Apa itu agama?” sangat intervenes religiosity of the people. patut kita lontarkan dan perlu pula dicari jawabannya If the concept of religion and religiosity is secara bersama. Jika pemahaman kita selalu berbeda decently conceptualized, it will reduce inter-religious beda, tentu saja kita paham bahwa konflik konflik conflict. The question is on how religion is defined yang muncul pantas terjadi. and conceptualized or on what religion is. It is Sebenarnya akar penyebab dari persoalan valuable to answer them with open mind because konflik yang terjadi belakangan ini tidak lain dan different conceptions on religion consequently will tidak bukan adalah keserakahan umat manusia yang develop conflict. tentu saja berakibat pada terjadinya ketidakadilan. The truth is that the source of all conflicts Ketika ketidak-adilan itu terjadi maka kemiskinan recently happened lay on covetousness and injustice. tidak dapat kita hindarkan; dan ketika kemiskinan Injustice stimulates pover ty and pover ty itu terjadi orang akan sangat mudah menjadi putus accommodates despair. This despair articulates asa. Keputus-asaan inilah yang sering menjadi lawlessness because people do not think about life pemicu tindakan kekerasan karena orang yang putus again because live and death is not important asa akan berpendapat bahwa mati sekarang atau anymore. Perceiving religion as the source of conflict besok sama saja. Kita patut bersedih jika ada pihak subsequently is an insult for the religion per se. tertentu yang tega teganya menggunakan agama Therefore, it is everyone responsibility, especially sebagai label dari sebuah konflik karena prilaku public figures in society, religious figures, religion and tersebut justru merupakan sebuah penghinaan non-religion institutions, governmental and nonterhadap agama itu sendiri. Oleh karenanya Edisi Desember 2008- Maret 2009
9
Opini merupakan tugas bersama bagi kita semua, khususnya tokoh masyarakat, tokoh agama, institusi agama dan non-agama, institusi pemerintah dan non-pemerintah untuk bergandengan tangan guna membangun komunikasi dan silaturahmi lintas agama dalam rangka membangun kerukunan melalui upaya peningkatan pemahaman terhadap agama sendiri dan agama orang lain secara benar sehingga apa yang menjadi kerinduan umat manusia yaitu hidup rukun dan damai dapat diwujudkan. Semestinya kita mampu bercermin pada alam. Jika kita melihat sebuah pemandangan yang indah, bukankah ia terdiri dari berbagai komponen yang berbeda beda namun mendapat ruang dan peran masing masing secara proporsional sehingga menjadi sebuah lukisan yang begitu indah sehingga menyejukkan dan menyenangkan yang melihatnya. Dengan demikian, perlukah kita mempertentangkan perbedaan ini? Jawabnya tentu saja “tidak” karena yang menentang perbedaan justru menentang kodrat. Perlu juga disadari bahwa penyeragaman tidak pernah melahirkan keindahan. Disamping bercermin pada pemandangan alam, kita juga dapat berguru pada sungai. Didunia ini ada ribuah sungai yang aliran airnya semua menuju ke satu tujuan yaitu laut. Ketika air dari sekian banyak sungai itu sampai di laut maka tidak lagi ada perbedaannya; semuanya jadi asin. Dengan kata lain tujuan semua agama itu sama namun jalan untuk mencapai tujuan boleh berbeda beda. Bukankah ada pribahasa yang mengatakan: “seribu jalan menuju Roma”. Hal lain yang patut kita renungkan adalah bahwa secara budaya masyarakat Indonesia terkenal memiliki rasa toleransi dan rasa hormat yang sangat tinggi. Di Bali, seperti juga ditempat tempat lain, hubungan antar umat beragama telah berjalan harmonis dalam kurun waktu yang begitu lama seperti tercermin dalam kegiatan saling bantu, termasuk kegiatan keagamaan. Bahkan di satu desa yang bernama desa Pegayaman di kabupaten Buleleng, Bali Utara, masyarakat muslim mengadopsi nama khas nama Bali seperti I Nyoman, I Ketut, I Wayan, dan I Made yang kemudian disambung dengan nama muslim seperti Muhammad, Karim dsb. Jika memang betul kita merasa membutuhkan kerukunan, keadilan, keharmonisan, kesejahteraan bersama, keindahan dll., hal-hal positif seperti terurai di atas dapat dijadikan modal dasar untuk membangun sebuah komunikasi dalam rangka membangun
10
Edisi Desember 2008- Maret 2009
Interfidei newsletter
Ketika ketidak-adilan itu terjadi maka kemiskinan tidak dapat kita hindarkan; dan ketika kemiskinan itu terjadi orang akan sangat mudah menjadi putus asa. Keputus-asaan inilah yang sering menjadi pemicu tindakan kekerasan karena orang yang putus asa akan berpendapat bahwa mati sekarang atau besok sama saja governmental institutions, to work together to build bridge for inter religious communication in order to arrive at religious harmonious life through explication and re-conceptualization of individual religion and other's religion correctly. Nature is the best teacher. Beautiful scenery consists of some components that each component possesses its own propositional space and role to form beautiful scenery. This analogy is in line with the present situation that requires us to rethink the endless debate over the diversity among us. Uniformity never leads to beauty. Apart from nature, river is also best teacher to admit the diversity. As every river ends up in sea, the water from each river amalgamate in the sea so there will be no more diversity but salty water, the water of the sea. In other words, every religion undergoes different path to achieve the same purpose. One thing to consider is that Indonesia, culturally, well known for her social tolerance and high respect. In Bali, as in other places, inter-religion relation has been established for long time that is observable from its mutual cooperation even in religious event. Moreover, in Pegayaman village district Bulleleng, North Bali, the Moslem society adopt Balinese name such as I Nyomana, I Ketut, I Wayan, and I Made which then combined with Islamic name like Muhammad, Karim etc. If it is true that people need harmony, justice, welfare, beauty, etc the positive points mentioned above are the foundations to build beneficial communication to establish power to form communal welfare. In other words, instead of
Edisi Desember 2008 - Maret 2009 kekuatan bersama demi kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, disamping kita harus paham bahwa setiap yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan kodratnya, kita harus lebih meningkatkan pemahaman kita terhadap agama sendiri untuk dapat memahami agama lain. Budaya dan tradisitradisi positif yang telah hidup bertahun tahun di tengah-tengah masyarakat hendaknya dijadikan cermin untuk hidup rukun dan damai serta mampu meneladani alam dalam mewujudkan hidup yang indah. Dengan kesadaran seperti ini saya sangat yakin bahwa kerukunan hidup antar umat beragama pasti dapat diwujudkan. Agama-agama akan mampu menjalankan fungsi sosialkemanusiaannya. Tidak saja sibuk dengan urusan institusi, perbedaan teologi dan berkonflik, tetapi menjadi agama-agama yang “rahmatan lil a'lamin” yang membebaskan, mensejahterakan, yang membawa keadilan bagi manusia dan alam seluruhnya.
Candidasa, 30 April 2008
Opinion
menjadi agama-agama yang “rahmatan lil a'lamin” yang membebaskan, mensejahterakan, yang membawa keadilan bagi manusia dan alam seluruhnya. perceiving human rights and responsibility as fate, perception on religion and religiosity are crucial to admit diversity in religion. The attitudes and traditions which have survived for generations might become good model to attain harmonious life by valuing nature to achieve beautiful harmony. This perspective will strongly lead to religious harmonious live accomplishment. Candidasa, April 30, 2008
Edisi Desember 2008- Maret 2009
11
Interfidei newsletter
Aktivitas
1. BEDAH BUKU “JURANG DI ANTARA KITA: PROBLEMATIKA DIALOG MASYARAKAT MULTIKULTUR”
T
idak terasa kehadiran InstitutDIAN/ Interfidei telah menapaki 17 tahun. Rentang waktu yang cukup panjang dalam berjuang untuk kemanusiaan. Salah satu dari rangkaian kegiatan 17 tahun adalah diskusi buku dengan tema “Jurang di antara kita: Problematika Dialog Masyarakat Multikultur”. Diskusi ini berlangsung pada tanggal 2 Agustus 2008. Kegiatan tersebut direalisasikan dalam bentuk diskusi bedah buku bekerjasama dengan IMPULSE Yogyakarta. Hal yang diharapkan dari diskusi ini adalan membuka ruang dialog secara terus menerus untuk menjawab berbagai persoalan kemanusiaan terutama berkaitan dengan hubungan antar iman di Indonesia. Kegiatan ini menghadirkan pembicara : PROF. EG. Singgih, Ph.D, (Guru Besar Fakultas Teologi UKDW Yogyakarta) Jaspert Slob (Aktivis Percik, Salatiga) serta Mega Hidayati (Mahasiswa Doktoral ICRS, penulis Buku “Jurang Di antara Kita”). Diskusi ini mengupas tentang dialog dalam perspektif Gadamer dan Paul Knitter. Dalam realitas sehari-hari kita hidup dengan prasangka, dan karena itu diperlukan usaha yang bersungguh-sungguh untuk mendorong terciptanya dialog yang komunikatif. Disamping membahas buku Mega Hidayati di atas, juga dibahas pemikiran-pemikiran TH Sumartana tentang Pluralisme dan Dialog antar iman.[Anwr] 2. Pertemuan Jaringan antariman se Indonesia ke-4 di Jogjakarta Sikap masyarakat Indonesia terhadap pluralitas agama, dan adat istiadat semakin dipertanyakan. Belakangan ini banyak sekali konflik berkepanjangan yang terjadi hanya karena perbedaan pandangan, ideologi dan keyakinan. Bahkan kekerasan fisik pun tak jarang dilakukan. Hingga nilai-nilai kemanusiaan dan kearifan budaya
12
Edisi Desember 2008- Maret 2009
1.BOOK DISCUSSION “JURANG DIANTARA KITA: PROBLEMATIKA DIALOG MASYARAKAT MULTIKULTUR”
I
nstitute DIAN/Interfidei is now 17 years old. 17 years is long standing period to struggle for humanity. In its 17th anniversary on August 2, 2008, a book discussion entitled “Jurang Diantara Kita: Problematika Dialog Masyarakat Multikultur” was held. The book discussion was in cooperation with IMPULSE Yogyakarta. The concern was starting from the goal and hopes to accommodate a continuous dialogue to respond to humanity issues especially interfaith dialogue in Indonesia. Considering DIAN/Interfidei's experience to develop awareness on the importance to perceive diversity for more or less 17 years, it carried messages that diversity was splendid. The speakers of the discussion were Prof. E.G. Singgih, Ph.D., (Professor of Theology of UKDW Yogyakarta), Jaspert Slob (Activist of Percik Salatiga), and Mega Hidayati (Student of Doctoral Program of ICRS of UGM, the writer of “Jurang Diantara Kita”). Passion to teach and learn the phenomena appear in society was another consideration. The discussion tried to dismantle dialogue through Gadamer's and Paul Knitter's perspective. In daily
Pembicara bedah buku Jurang Diantara Kita
Edisi Desember 2008 - Maret 2009
Aktivity
Indonesia menjadi tergerus oleh konflik perbedaan reality, prejudices against individual or institution kepentingan, lingkungan hidup terabaikan, belong to the community might exist, and therefore masalah-masalah kebangsaan dan kemanusiaan efforts to stimulate communicative dialogue is crucial. Besides Hidayati's book, the discussion was tidak diperhatikan dengan serius. Menyikapi kondisi ini, Institut DIAN also $on T.H. Sumartana's book about Pluralism and (Dialog Antariman di Indonesia)/INTERFIDEI, Interfaith Dialogue (Anwar) sebagai lembaga yang menginisiasi pertemuan Jaringan Antariman se-Indonesia menyelenggarakan 2. Indonesian Fourth Interfaith-Network Meetingpertemuan ke IV di Puskat, Sinduharjo, Yogyakarta, Yogyakarta The way people behave toward religious tanggal 8-10 Agustus 2008 dengan tema ”Masa Depan Pluralisme Agama di Indonesia: Harapan pluralism and tradition these days is questionable. untuk Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan There have been many conflicts occur because of the Ciptaan”. Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai different perspective, ideology, and faith among the lembaga dan individu yang memiliki concern yang people. Physical violence also arises as the effect of these differences. Values on humanity and local sama di daerah masing-masing Ada beberapa rangkaian acara yang wisdom are discarded by the many different interests. Responding to such situation, Institute of dilaksanakan. Pertama, konferensi berupa seminar nasional dengan menghadirkan dua pembicara, DIAN/Interfidei (Interfaith Dialogue Institute), as Karel Steenbrink (Profesor Emeritus Universitas an institution whose concern is religious pluralism, Utrecht, Belanda) dan Jalaluddin Rahmat. Dalam attempts to respond to such situation by organizing seminar ini, Prof. Karel Steenbrink mencoba conference and workshop on 8-10 August 2008 at the memaparkan perkembangan keberagaman di center of Puskat Audiovisual, Sinduharjo, Belanda. Ia melihat Belanda mengalami perubahan Yogyakarta. The conference and workshop was yang cukup signifikan dari negara yang monokultur themed on” The Future of Religious Pluralism in menjadi negara yang pluralis. Dalam 40 tahun saja, Indonesia: Hope for Justice, Peace, and the sejak tahun 1970, umat Islam dari hampir nol persen Wholeness of Beings”. There were many participants menjadi 6 % dan penduduk migran lainnya (Ghana, from various organizations as well as individual ones China, Curacao, Polandia, Romania, Bulgaria) all over Indonesia who shared the same concern mencapai 4 %. Kelompok-kelompok lebih banyak attended the meeting. Interfidei had planned series of programs for berada di kota-kota, seperti Amsterdam, Den Haag, Rotterdam dan Utrecht, sehingga keberadaan this event. There was firstly a national seminar mereka lebih jelas kelihatan. Perubahan ini presented Karel Steenbrink (an Emeritus Professor from the University of bukannya tanpa Utrecht, the Netherlands) masalah, melainkan and Jalaludin Rahmat as justru sebaliknya. the keynote speakers. Contohnya, Islam selalu Karel Steenbrink dipojokkan sebagai e x a m i n e d t h e agama yang fasis, development of religiosity intoleran dan penuh in the Netherlands. He kekerasan. noted that the Sedangkan Netherlands underwent a Jalaluddin Rahmat s i g n i f i c a n t mencoba mengupas transformation from a pluralisme di Indonesia. monoculture nation to a Dalam tataran plural one. The number k e n e g a r a a n , b e l i a u Karel Steenbrink dalam obrolan informal
Edisi Desember 2008- Maret 2009
13
Aktifitas
Interfidei newsletter
menyebutkan dua orang presiden yang menghargai of Muslims has increased from 0% to 6% since 1970, pluralisme, yaitu Soekarno dan Gus Dur. Sedangkan and so has the number of immigrants (from Ghana, di kalangan internal agama, Islam misalnya, ada China, Curacao, Polandia, Romania, and Bulgaria) to kelompok fundamentalis yang mengklaim kebenaran 4%. These groups appear mostly around urban areas tunggal hanya milik mereka. Bahkan simbol-simbol such as Amsterdam, Den Haag, Rotterdam, and agama sering dipahami secara formalistik. Utrecht. This transformation has brought challenges, Munculnya kelompok ini dianggap karena pengaruh for instance that Islam has been considered as a fascist, politik Islam dan secara umum, didukung oleh anak- intolerant, and violent religion. anak muda yang tidak punya kerja dan mengalami Jalaluddin Rahmat, on the other side, kesulitan ekonomi. emphasized more on pluralism in Indonesia. He even Kedua, lokakarya yang dihadiri oleh 51 pointed two Indonesian former presidents who peserta baik dari utusan lembaga maupun valued pluralism: Soekarno and Gus Dur. However, perorangan dari seluruh Indonesia. Kegiatan ini he was aware of religious fundamentalism within diawali oleh diskusi pengantar dalam dua paralel. certain religion, Islam for instance, which claims Paralel pertama dengan pembicara Ahmad Syafi'i absolute truth to be solely theirs. Religious symbols Mufid, Mohtar Mas'oed dan Abdul Munir Mulkhan are even taken for granted by such fundamentalist dengan penanggap utamanya Noorhalis Madjid. groups. Taking the example within Islam, he Temanya adalah ”Demokrasi, Pluralisme Agama, dan explained that fundamentalist groups appear as the Keyakinan dalam Negara Indonesia”. Sedangkan effect of the politic of Islam. He added that it was also paralel kedua dengan pembicara Kapolda DIY, MM. because of the amount of unemployed youngsters Billah, dan Yong Ohoitimur, MSC. Adapun with financial struggles who were potentially penanggap utamanya Esthi Susanti, Farid Wajidi dan persuaded to join the groups. I Nyoman Sadra. Temanya adalah ”Budaya Kekerasan There was also a workshop with 51 attendants dan Nilai-Nilai Keagamaan dan Keyakinan dalam who were present as individuals as well as Negara Indonesia”. representatives of various institutions all over Pada dasarnya lokakarya ini merupakan Indonesia. An introduction discussion separated in pertemuan jaringan antariman se-Indonesia yang two groups opened the workshop. The first group keempat kali setelah sebelumnya dilaksanakan di presented Ahmad Syafi'i Mufid, Mohtar Mas'oed and Malino (2002), Candi Dasa (2004) dan Banjar Baru Abdul Munir Mulkhan as the speakers. This group (2006). Jaringan itu sendiri terbentuk karena adanya took 'Democracy and Religous Pluralism in keresahan bersama bahwa pluralitas agama dan Indonesia' as its theme and provided Noorhalis budaya di Indonesia justru menimbulkan konflik Madjid as the respondent. Meanwhile, the second yang berkepanjangan. group was themed on Violent Behaviour and Dalam pertemuan ini, Religious Pluralism in terungkap ada beberapa hal yang Indonesia. This group menjadi penyebab. Pertama, terkait presented the Chief of dengan internal agama itu sendiri, Yogyakarta Regional seperti persoalan teks, penafsiran dan Police, MM. Billah, tradisi yang berkembang. Kita melihat and Yong MSC as the adanya teks-teks yang secara speakers. There were tekstualnya membangun eksklusivitas also Esthi Susanti, agama, seperti menganggap bahwa Farid Wajidi, and I agama itu yang paling benar dan yang Nyoman Sadra in this lain salah. Penafsiran pun justru group to respond to semakin memperuncing hal tersebut. the speakers. Kedua, memudarnya rasa kebangsaan Foto para pembicara This workshop
14
Edisi Desember 2008- Maret 2009
Edisi Desember 2008 - Maret 2009 dan rasa memiliki sebagai bangsa yang besar dengan pluralitas agama dan budaya. Ketiga, terjadinya konflik sering didasarkan pada ketidakadilan ekonomi, sosial dan politik. Keempat, lemahnya penegakan hukum. Kelima, tergerusnya nilai-nilai moral dan budaya Indonesia. Keenam, minimnya ruang publik (media) bagi wacana pluralisme. Dalam hal ini, negara seharusnya mengambil peran. Namun yang terjadi adalah kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh negara justru tidak memberi ruang yang cukup besar bagi keberagaman ini. Melihat realita tersebut, jaringan antariman yang telah terbentuk selama enam tahun, mencoba untuk merapatkan barisan kembali dengan menetapkan visi dan misi yang sama, yaitu berupaya mencerahkan kesadaran individu, keluarga, internal dan antariman tentang wacana pluralisme dan melakukan aksi bersama untuk menebarkan keadilan dan perdamaian. Terbentuknya jaringan ini sangat dibutuhkan untuk saling berbagi informasi, mempercepat respon dan dukungan terhadap kasuskasus yang terjadi dan memonitoring implementasi etika jaringan. Dalam lokakarya ini ada beberapa hal yang disepakati. Pertama, pembentukan pokja yang bertugas membuat mekanisme kerja, etika dan prinsip berjejaring, membangun database jaringan dan kegiatan yang terkait dengan agenda pluralisme, melakukan mapping untuk kepentingan sinergitas agenda besar pluralisme Indonesia, mengkoordinasik an kegiat an yang sudah diamanatkan oleh anggota dan minimal sekali setahun mengadakan pertemuan jaringan. Kedua, perlu adanya sosialisasi wacana pluralisme, baik dalam berbagai forum dialog maupun dalam promosi ke sekolah-sekolah. Ketiga, perlu mengadakan pertemuan-pertemuan antar aktivis untuk memperkuat jaringan. Keempat, membangun sumber-sumber keuangan. Kelima, advokasi kebijakan. Seluruh kegiatan pertemuan jaringan antariman ke-4 ditutup dengan refleksi 17 tahun Interfidei. Acara ini menjadi ruang bersama untuk refleksi pengalaman perjalanan Interfidei sebagai lembaga yang memperjuangkan terciptanya masyarakat sipil yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi. Ikut hadir dalam
Activity was basically the fourth meeting of Indonesian interfaith network as the previous ones took place in Malino (2002), Candi Dasa (2004) and Banjar Baru (2006). This network was established as an anxiety over religious and cultural plurality that potentially produces conflicts. There were several issues raised as the causes of conflicts among religions as well as culture. To begin with is referring to the scripture and its interpretation, and also the developing tradition. There are verses from the scripture which undeniably support religious exclusivist, for example the verses that textually declare certain religion as the right one thus the others are false. An interpretation of the verses, additionally, worsens the problem. It is also on the weakening of nationalism and sense of belonging as a nation with its religious and cultural plurality. The next is that conflicts are mostly because of injustice economically, socially, and politically. The weakening of law enforcement, the lessening of moral and cultural values, the limited public space for pluralism (the media for instance) also appear as the causes of conflicts among religions.. The government should participate in encouraging religious pluralism. The government, in contradictory, established policies that restrict it. The interfaith network, which has been for six years, attempts to respond to the condition by establishing its vision and mission to educate individuals, families, religious groups internally, and inter-faith groups on pluralism and to struggle for justice and peace. This network is necessary to share information and to embrace responses to religious conflicts, and also to monitor the implementation of its ethics. The workshop led to several agreements. Firstly is to set up a working group that launches the mechanism, ethics, and principles to work within the network, to develop the network database and to organize events that support pluralism, to do mapping to support religious pluralism in Indonesia, to coordinate activities that are assigned by the members, and to hold a meeting at least once a year. Secondly is the importance to socialize pluralism through religious dialogue forums and also to promote it to schools. Thirdly is importance to initiate meeting for activists to meet each other to
Edisi Desember 2008- Maret 2009
15
Aktifitas kesempatan ini dan sekaligus memberikan refleksinya adalah GKR Hemas. Beliau menyatakan bahwa saat ini, kita tengah dicoba dengan berbagai upaya penyeragaman budaya yang gerakannya sudah memasuki parlemen. Ini terbukti dengan lahirnya kebijakan inkonstitusional, termasuk ratusan perda bernuansa agama mayoritas yang direspon dengan raperda kota Injil di Kabupaten Monokwari, Papua. Selain itu, Syafi'i Maa'rif dan Bikhu Sri Pannavaro juga ikut memberikan refleksi. Tak lupa juga dalam acara ini ditampilkan pementasan kesenian daerah, seperti gejuk lesung dan tarian dari Papua, serta disemarakkan oleh kelompok Serikat Pengamen Indonesia dan Komunitas Tikar Pandan (IS). 3. Kearifan Lokal dan Pluralisme Dalam rangka peringatan sumpah pemuda yang ke 80, di tengah berbagai pertanyaan tentang identitas kebangsaan dalam kemajemukan, Institut DIAN/Interfidei mengadakan sebuah diskusi terbatas dengan tema “Pluralisme dan Kearifan Lokal di Indonesia” pada tanggal 28 Oktober 2008. Acara ini menghadirkan narasumber DR. PM Laksono (Dosen Antropologi UGM). Belajar dari kearifan lokal yang menjadi identitas elemen bangsa, dapat kita lacak bagaimana sebetulnya kemajemukan mengajarkan kita untuk senantiasa hidup dalam suasana yang mampu membangun rasa persaudaraan. Dalam uraian makalah dari PM Laksono, beliau memberi ilustrasi kearifan lokal dalam mempertahankan identitas dan mampu merekatkan hubungan sosial masyarakat. Dalam kisah Sujud seorang tukang kendang keliling yang secara konsisten menjalankan kegiatan dalam bidang seni hingga masa tuanya. Sujud dengan kendangnya mampu “menyihir” orang yang mengikutinya untuk menghargai hal kecil dari seni dan tradisi masyarakat dan mampu mempertahankan ingatan bersama tentang kebersamaan. Dengan kekayaan kultural yang masih ada, mampukah masyarakat memelihara dan menjaga kemajemukan dengan belajar dari kearifan lokal masyarakat kita?. (Anwr) 4. Pertemuan Forum Komunikasi Guru-Guru
16
Edisi Desember 2008- Maret 2009
Interfidei newsletter strengthen the network. Fourthly is to raise financial resources. And finally is to participate in advocating policies. As the meeting ended, a celebration of Interfidei's 17th birthday took place. This celebration was more on a reflection of the process Interfidei have underwent as an institution that endeavors to uphold civil society rooted in humanity and democracy. Gusti Kanjeng Ratu (Her Majesty) Hemas was present to give her thoughts on what Interfidei has done for 17 years. She explained that there have been many efforts to standardize the cultures in Indonesia, which are reaching the parliaments. She referred to the unconstitutional policies, including hundreds of provincial regulations centered on the requirement of certain major religion. She furthermore provided the provincial regulation bill on kota Injil (the city of the Gospel) of the Monokwari regency, Papua. In addition, Syafi'i Maa'rif and Bikhu Sri Pannjavaro also contributed their reflections on the Interfidei's contribution to foster pluralism. Finally, art performances as well as cultural ones livened up the whole birthday celebration. 3. Local Wisdom and Pluralism Being intrigued by incidents violating diversity by imposing certain politic, religion(s), cultural identity(ies), and group-interest masquerading under the names of religious institutions and cultures, DIAN/Interfidei organized a discussion on “Pluralism and local wisdom in Indonesia” on October 28, 2008. The discussion, which was also to commemorate the 80th sumpah pemuda (Youth Oath), presented DR. PM Laksono, a lecturer in anthropology at Gadjah Mada University, as the keynote speaker. Local wisdom as an element of identity of the nation helps us to trace how diversity does teach people to live a harmonious life. PM Laksono voiced the same concern as well in his paper as he presented illustration of the way local wisdom defends and also bonds social relation among people through Sujud, a kendang player (sort of small drum) who faithfully played his kendang around the neighbourhoods to his old age. He 'chanted' people with his kendang to appreciate simple things of art and tradition to preserve diversity.
Edisi Desember 2008 - Maret 2009
Activity Is there still hope for the people to defend and uphold diversity by learning from our local wisdom(s) with the many cultural inheritances we own? (Anwr)
PM.Laksono
Agama Forum Komunikasi Guru-Guru agama yang diselenggarakan secara rutin tiap bulan, pada 30 Agustus 2008 dilaksanakan di Multicultural Campus Universitas Sanata Dharma Jogjakarta dengan narasumber DR Susetyawan. Tema yang dibicarakan adalah “Agama dan nilai-nilai kemanusiaan”. Dalam diskusi dibahas hal yang memungkinkan agamaagama bisa bicara tentang moralitas, yaitu ketika nilai-nilai kemanusiaan universal diangkat dan diwujudkan. Pertemuan 27 Oktober diselenggarakan di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan. Forum dengan narasumber Nurkholik Ridwan mengetengahkan tema 'Politisasi Agama di Indonesia'. Tema ini menyoroti sejarah agama-agama yang senantiasa diwarnai kolaborasi antara elit agama dan elit kekuasaan. Pa d a b u l a n Nove m b e r p e r te m u a n dilaksanakan pada tanggal 27 di dua tempat SMP Stella Duce 2 dan di Interfidei. Tema pertemuan yang dibahas di kedua tempat ini adalah tentang situasi hubungan antar-agama terkini dalam pengamatan guru-guru. Di Interfidei, pertemuan dilanjutkan dengan membahas hasil survey lembaga Penelitian dan Pengabdian masyarakat UIN Syarif Hidayatullah tentang penolakkan guru-guru agama Islam terhadap Pluralisme. 5. Diskusi Buku “A Renewal Without Breaking
4. The Forum of Communication among teachers of Religion This forum routinely takes place every month. On August 30, 2008 the meeting was held at Multicultural Campus of Sanata Dharma University Yogyakarta. The speaker, DR. Susetyawan, led the discussion on the values of religion and humanity. The discussion emphasized on the possibility of religion to address morality as it fulfilled its universal values of humanity. The meeting on October 27, 2008 at Pusat Studi Pedesaan dan K awasan of Gadjah Mada University was themed on politicizing religions in Indonesia with Nurkholik Ridwan as the speaker. The discussion focused on the overlapping between religion and power during the history. On November 27, 2008 a discussion took place at two places: the SMP Stella Duce 2 and the office of Interfidei. The discussions, even though separated at two different places, examine the present situation of inter-religious relationship from the teachers' perspective. The group at the office of Interfidei furthermore examined the result of the survey done by the research centre for public Service, Yogyakarta Islamic State University, which showed Islamic teachers' objection to promote pluralism. 5. Book Discussion Djohan Effendi's A Renewal Without Breaking Tradition: The Emergence of A New Discourse in Indonesia's Nahdatul Ulama During the Abdurrahman Wahid Era This book deals with the development of religious thought that has occurred especially during Abdurrahman Wahid's leadership. His role as the leader of Nahdatul Ulama (NU) inspired many within the younger generation of NU, especially young kiai (religious scholars) and intellectuals to undertake intellectual inquiry through engagement in new religious discourses. They have sought to revive their own intellectual tradition and open themselves toward new ideas in responding to new challenges. What makes this phenomenon so special is that, compared to the rest of the Indonesian
Edisi Desember 2008- Maret 2009
17
Aktifitas
Interfidei newsletter
Tradition: The Emergence of A Muslim umat (community), New Discourse in Indonesia's whether traditionalists or Nahdatul Ulama During The Modernists, they endeavour to Abdurrahman Wahid Era” develop their intellectual Buku yang ditulis oleh tradition s and religious Djohan Effendi ini adalah tentang paradigms so that they are able perkembangan pemikiran agama to make traditional Islamic yang secara khusus terjadi selama learning contextual to masa kepemimpinan contemporary society. At the Abdurrahman Wahid. Perannya Para peserta Forum Guru Agama same time many of the leading sebagai pimpinan Nahdatul ulama younger women thinkers in (NU) menginspirasi banyak NU have engaged in a similar process of applying the generasi muda NU, khususnya kiai-kiai muda dan core teachings of Islam to the challenges of modern kaum intelektual untuk terlibat mengkritisi diskursus society. Not only are they involved in social activities keagamaan yang ada. Mereka telah berhasil along with the other women in NU, they are also menghidupkan kembali tradisi intelektual di kalangan actively involved in intellectual and religious NU dan membuka diri untuk pemikiran-pemikiran baru untuk dapat merespon tantangan masa kini. Satu discourse. With a great passion and application they hal yang menarik adalah jika dibandingkan dengan seek to develop the principles of feminism from an umat Muslim lainnya, baik itu yang tradisionalis Indonesian and Islamic perspectives. Not only do they maupun yang modernis, kaum muda kalangan NU ini criticize the tendency towards patriarchal bias in the berusaha untuk mengembangkan tradisi intelektual interpretation of religious texts undertaken over the dan pola beragama mereka sehingga mereka mampu centuries by male ulama but more than that, they also untuk mengkontekstualisasikan tradisi Islam yang try to undertake their own interpretation over masih tradisional sesuai dengan kondisi masyarakat primary texts. By engaging in the development of new kontemporer masa kini. Pada saat yang bersamaan, intellectual discourses NU's younger generation, both ada banyak pemimpin muda perempuan NU yang men and women, seek to reinterpret existing religious terlibat dalam proses yang sama yang berusaha untuk paradigms, to respond to universal and contemporary menerapkan inti ajaran Islam sesuai dengan tantangan demands with a view to establishing a democratic masyarakat modern masa kini. Mereka tidak hanya system, respecting human rights and encouraging the terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial bersama dengan emancipation of women in order to establish a civil perempuan-perempuan NU lainnya, tapi juga terlibat society. Unlike the traditionalist in the past that was aktif dalam aktifitas intelektual dan diskursus essentially limited to engaging in the intellectual keagamaan. Dengan keinginan dan ketekunan yang heritage of medieval ulama, the young kiai are able to kuat, mereka tetap berupaya untuk mengembangkan enrich their knowledge tradition by opening prinsip-prinsip feminisme dari perspektif Indonesia themselves to accept new ideas that bridge the past dan Islam. Mereka tidak hanya mengkritisi and the present, better known as neo-traditionalism. kecenderungan bias patriarki yang berhubungan The emergence of neo-traditionalism in the dengan interpretasi ayat-ayat kitab suci yang sudah perspective of Muslim umat has been a significant dilakukan selam bertahun-tahun oleh para ulama lakifactor to stem the threat of religious fundamentalism laki, tapi lebih dari itu mereka berusaha untuk on one hand and, on the other hand, to facilitate the menghasilkan interpretasi mereka sendiri atas teks-teks growth of a moderate religious attitude amongst utama tersebut. Dengan terlibat dalam perkembangan members of the Indonesian Muslim umat that is more diskursus intelektual maka kaum muda NU, baik conducive towards modernization and pluralism in perempuan maupun laki-laki, berupaya untuk the framework of establishing a progressive, civilized menterjemahkan kembali pola pikir keberagamaan society.[] untuk dapat menjawab tuntutan hidup masa
18
Edisi Desember 2008- Maret 2009
Edisi Desember 2008 - Maret 2009 sekarang dengan system demokrasi yang baru yang menghormati hak-hak asasi manusia dan yang mendukung emansipasi perempuan agar dapat menegakkan masyarakat madani. Berbeda dengan kaum tradisionalis di masa yang lampau yang keterlibatannya sebatas intelektualitas warisan ulama abad pertengahan, kiai-kiai muda NU mampu untuk memperkaya pengetahuannya akan tradisi dengan membuka diri untuk menerima pemikiranpemikiran baru yang menjembatani masa lampau dan masa kini, dikenal dengan gerakan neo-traditionalism. Kemunculan neo-traditionalism di kalangan umat Muslim merupakan faktor yang sangat penting untuk membendung ancaman fundamentalisme agama di satu pihak, dan di pihak lain untuk memfasilitasi pertumbuhan sikap keagamaan yang moderat di kalangan umat Muslim Indonesia untuk lebih mendukung modernisasi dan pluralisme dalam kerangka menciptakan masyarakat berbudaya yang maju.
Activity
Para pembicara pada acara bedah buku Renewal
(taken from the abstract of Djohan Effendi's A Renewal Without Breaking Tradition: The Emergence of A new Discourse in Indonesia's Nahdatul Ulama During the Abdurrahman Wahid Era)
(Tulisan ini dikutip dari bab Abstrak buku)
Edisi Desember 2008- Maret 2009
19
Interfidei newsletter
Potret
MEREGUK CINTA-KASIH DI PANTI ASUHAN DAMIAN
B
ila kita melihat kehidupan sekitar, tak bisa disangkal betapa dunia ini terasa tidak sempurna. Ada banyak kemajuan dicapai oleh umat manusia. Banyak orang merasakan kehidupan yang serba mudah dan serba kecukupan. Tetapi di seluruh pelosok dunia di tengah berbagai kemakmuran tersebut, senantiasa tercecer kelompok masyarakat yang tidak bisa merasakan kesejahteraan yang layak untuk martabat kemanusiaan. Pada situasi seperti ini umumnya manusia terlalu sibuk dengan keinginan dan hidupnya sendiri. Hanya sedikit, bahkan sangat sedikit orang yang menyediakan hidupnya sendiri untuk mencarikan jalan bagi kelompok orang yang dipinggirkan untuk bisa hidup secara lebih layak dan bermartabat. Tidak kurang, setiap ajaran agama dengan lembaga-lembaga keagamaan yang makmur menyerukan 'keberpihakan pada yang lemah' atau pembelaan untuk si miskin, namun jumlah orang yang lemah dan miskin di dunia makin membengkak. Sulit disangkal struktur sosial-ekonomi yang tidak adil menggerus kekuatan masyarakat untuk membuat keseimbangan, apalagi sumber daya alam makin tidak mendukung kebutuhan penghuni bumi yang makin membengkak. Masih mungkinkah kekuatan agama memperbaiki struktur yang tidak adil ini? Dalam kegetiran mengusung harapan, masih ada manusiamanusia tangguh yang berhasil mengalahkan segala kungkungan ego dan membebeaskan diri dari jerat keinginan dan kepentingan pribadi demi menyumbangkan waktu hidupnya bagi kelompok orang yang tidak beruntung untuk mengupayakan hidup yang bermartabat. Sebutlah di sini Ibu Gisela Borowska, sejak tahun 1963 menghabiskan hidup pribadinya untuk membantu anak-anak yang tidak beruntung, orang sakit, orang jompo maupun penyandang cacat. Lebih dari 25 tahun dia mengabdikan diri untuk membantu orang-orang yang menderita lepra di pusat bantuan kesehatan di wilayah Flores dan Alor hingga tidak
20
Edisi Desember 2008- Maret 2009
ENCOUNTERING LOVE IN AN ORPHANAGE, DAMIAN
T
he world is indeed imperfect. The people develop and experience easer and more comfortable life. Yet, there are people everywhere who are excluded from any sorts of comforts in life and even life a less dignified life. This is because one seems to focus on one's sole life and pays no attention to others. There are only a few individuals who concern about the others and struggle for better life for them. Every religion and also religious institution calls the people to taking side on those who are weak and poor, but their number are swelling up. This is because of the unjust social-economical structure that people lose their capability to endorse social balance, and also because of the natural resources are no longer enough to provide the needs of the people that are continually growing. Can religion assist in restoring the injustice? Are there people who willingly share their life to help their unfortunate neighbors? Gisela Borowka, a woman who has been willingly offering her life for unfortunate children,
Edisi Desember 2008 - Maret 2009 ditemukan pengidap lepra di wilayah ini. Aktifitas ini terinspirasi dari apa yang dilakukan oleh Pater Damian, seorang Rohaniawan Katolik yang bekerja untuk orangorang yang menderita sakit lepra di 2 desa kecil : Kalawao dan Kalaupapa di pulau Molokai, Hawaii. Untuk mengenang Pater Damian, Gisela yang dikenal akrab disapa dengan panggilan 'Mama Putih' (nama ini diberikan, untuk lebih akrab dengan warga masyarakat. Sapaan ”Mama” bagi masyarakat Flores pertanda kedekatan dengan seorang perempuan yang lebih tua. ”Putih”, karena warna kulit ”Mama”), menyematkan nama 'Damian' untuk panti asuhan yang dia dirikan dan kelola di Kalabahi, kepulauan Alor, Nusa Tenggara Timur. Totalitas memberikan diri untuk membantu kalangan yang tidak beruntung ini tidak dibatasi oleh perbedaan apa pun yang disandang oleh anak-anak di Panti Asuhan ini. Perbedaan latar belakang agama serta etnis diyakini sebagai kekayaan yang patut disyukuri sebagai khasanah untuk pembelajaran. Panti asuhan ini tidak hanya mengasuh anak-anak dari berbagai latar belakang agama, tetapi mendorong mereka untuk aktif sebagai umat beragama menurut agama mereka masing-masing. Dengan gembira para pengurus panti mengantar anak-anak ke tempat-tempat ibadah, khususnya pada perayaan hari-hari besar, baik untuk penganut agama Katolik, Islam maupun Protestan. Kerja bakti di tempat-tempat ibadah, mengantar kue dan merayakan bersama menjadi kegembiraan yang dinikmati bersama. Perbedaan dan latarbelakang anak-anak asuh ini justru menjadi sesuatu yang membanggakan bagi para pengurus dan pengelola panti asuhan. Maka perbedaan tersebut sama sekali tidak terasa sebagai sesuatu yang menghambat tumbuhnya rasa saling menyayangi di antara anak-anak maupun antara anak-anak dan para pengasuhnya. Perasaan senasib sebagai anak-anak yang tidak mempunyai salah satu orang tua atau bahkan tidak mempunyai kedua orang tua, yang menumbuhkan rasa persaudaraan seolah mereka kakak-beradik dalam keluarga. Para pengurus Panti bangga dengan kenyataan keragamaan di antara anak asuh. Dengan segenap kekuatan yang ada para pengasuh memberik an tempat berlindung, mencarikan dana untuk biaya sekolah dan kebutuhan sehari-hari. Saat ini panti asuhan Damian mengasuh,
Potret
Kompleks Panti Asuhan Damian, NTT
sick people, old people, and also people with physical defects, served the lepers for more than 25 years at a health center in Flores and Alor until there was not even a single leper around the area. She was inspired by Pater Damian, a Catholic priest, who dedicated himself for the lepers in two little villages in Hawaii: the Kalawao and the Kalaupapa. Gisela, well known as “Mama Putih” (white-skinned Mother) cite”Damian” to name an orphanage house she founded in Alor to reminisce about Pater Damian. The people addressed Gisela”Mama” to show close relation between her and the people, and 'putih' as Gisela was white-skinned. Her service for the children at the orphanage is not restricted by the children's background. She even takes religious differences as benefits to learn from and to be thankful for. The orphanage takes care of children from much different background of faiths and also supports the children to commit themselves to the faiths they believe in. The staffs of the house will gladly accompany the children to go to worship places especially during religious feast days. People at the orphanage enjoy community service at worship places as well as celebrating feast days in togetherness. Differences are taken as treasures to be proud of. Differences cannot hindrance people in the orphanage to love one another. The children even consider one another as brothers and sisters as they all don't have parents, and this strengthens the familihood in the house. The employees of this orphanage try their best to provide protection and financial aids for school Edisi Desember 2008- Maret 2009
21
Potret membiayai hidup dan pendidikan lebih dari 50 anak dari usia di bawah satu tahun hingga 17 tahun, beberapa di antaranya sudah lebih dewasa, bahkan ada beberapa Ibu yang tetap tinggal di Panti, membantu urusa kerumahtanggaan. Panti mengusahakan pembiayaan pendidikan dari tingkat SD hingga perguruan tinggi yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Dalam soal pendidikan ini, bukan hanya pendidikan formal di sekolah yang diupayakan, tetapi berbagai cara pendampingan juga diselenggarakan untuk menggugah keberanian dan percaya diri anakanak. Melatih anak-anak untuk berani tampil di depan publik pada perayaan-perayaan keagamaan. Segala upaya untuk mengembalikan martabat kemanusiaan --yang terwujud oleh situasi tidak adil-bukan hanya menyita tenaga, pikiran dan waktu. Anakanak dalam masa tumbuh kembang ini tentu saja membutuhkan berbagai sarana prasarana yang perlu dipenuhi untuk menunjang apa yang menjadi tujuan dari pendirian panti asuhan. Biaya hidup dan pendidikan adalah menjadi persoalan besar yang lain yang harus senantiasa disiasati. Untuk memenuhi kebutuhan keuangan yang sangat besar ini upaya-upaya yang dilakukan oleh pengurus Panti adalah dengan mengelola usaha transportasi angkutan kota, kios telepon, bertani sayur-mayur dan beternak. Namun karena tidak ada donatur tetap yang bisa menyangga kebutuhan, masalah keuangan panti hingga saat ini menjadi tantangan yang cukup berat untuk mengelola seluruh kegiatan panti asuhan. Pemerintah melalui Dinas Sosial pernah memberikan perhatian. Demikian halnya Ibu-Ibu Dharma Wanita, Gabungan Organisasi Perempuan, Pemerintah Daerah dan beberapa sekolah serta komunitas Gereja, pernah berkunjung di panti ini. Perhatian ini menjadi dukungan moral tersendiri, meski dari sisi tanggung jawab sosial negara dan mayarakat hal ini belum menjawab persoalan yang antara lain dicoba disangga oleh panti asuhan Damian.[]
22
Edisi Desember 2008- Maret 2009
Interfidei newsletter and daily needs for each child. Damian has taken care of more than 50 children until now. These children are diverse in terms of age: from infants to 17 years old. Some of the children are now adults who decide to dedicate themselves in the orphanage and help to serve other children. It also provides financial support for the children to study from electuary to university. It doesn't only support the children to study formally, but also to closely assist them to be confident of themselves. The children are also educated to be courageous and confident to perform in public during religious festivals. It is undeniable that any attempts to restore the dignity of humans because of injustices consume energy, mind, and also time. But, the employees of Damian never stop struggling to provide means and infrastructure for the children to support them as what the orphanage aims to do. Finance is one of the obstacles that Damian has to face, and there have been many initiatives done to deal with it. The orphanage runs transportation business; it provides telecommunication service; and it engages in farming and animal husbandry. However, it is still very difficult to fulfill the financial needs as it doesn't have donors that permanently provide financial aids. For this reason, finance is the most difficult challenge to deal with to preserve the orphanage to preserve the present time. The government, through its Department of Social Services, once paid attention to Damian. And so did the Dharma Wanita, Union of Women's Organizations, Regional Government, and several schools who had the chance to visit it. The attention people gave to Damian support the house to exist, even though it definitely necessitates more than moral support to survive.[]
Edisi Desember 2008 - Maret 2009
PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN: POTRET SEKOLAH QORYAH TOYYIBAH
K
Feature
LIBERATING EDUCATION: A PORTRAIT OF QORYAH TOYYIBAH
A
eberadaan Pendidikan alternatif di tengah mahal dan sulitnya mendapatkan pelayanan pendidikan yang berkualitas menjadi sebuah kebutuhan. Diperluk an keber pihak an dan kesungguhan hati untuk bergelut dengan beragam masalah yang menimpa sistem pendidikan di Indonesia. Sudut pandang pendidikan yang masih menempatkan peserta didik sebagai objek pendidikan menjadikan mereka tidak berkembang secara optimal. Sekolah alternatif Qoryah Thoyyibah yang berdiri di desa Kali Bening Kota Salatiga Jawa Tengah menyentak dunia pendidikan Indonesia, karena mampu eksis dan berjalan dengan metode pembelajaran yang berbeda dari sistem pendidikan nasional yang sangat konvensional. Berikut ini kami mewawancarai Ahmad Bahrudin salah seorang pendiri dan pengasuh Sekolah Alternatif Qoryah Thoyyibah.
n alternative education is becoming a necessity amidst the expensive and more difficult to access qualified education nowadays. Therefore, sincerity is urgently required to grapple with educational system in Indonesia. The paradigm which sees students as the objects of education becomes a barrier for students to develop themselves to their best. Qoryah Toyyibah, an alternative school in a village, Kali Bening, Salatiga, Middle Java, surprises Indonesia for being able to exist. The school runs a teaching method which is absolutely different to the one by the national educational system that is conventional. DIAN/Interfidei had the opportunity to interview one of the founders as well as the tutors of the school, Ahmad Bahruddin.
DIAN/INTERFIDEI: Apa yang melatarbelakangi pendirian Sekolah Alternatif Qoryah Thoyyibah? AB : Sebetulnya ini bermula dari hal yang tidak direncanakan, istilahnya kepepet (by Accident). Maksudnya, dua tahun lalu anak saya lulus dari sekolah dasar (SD), untuk mendaftar ke SMP butuh biaya, belum lagi seragam dan uang gedung dan sebagainya. Saya mesti menyiapkan uang berapa? Nah lantas saya mengumpulkan beberapa warga yang ada di sekitar rumah yang berjumlah 30-an. Setelah berkumpul saya ceritakan keluhan saya tentang mahalnya biaya pendidikan yang mesti dikeluarkan oleh orang tua untuk menyekolahkan anaknya, mulai dari uang gedung dan sebagainya. Pada waktu itu, para orang tua yang berkumpul juga punya keluhan yang sama tentang mahalnya biaya pendidikan yang dikeluarkan dengan situasi pendapatan dan ekonomi mereka yang ratarata sebagai petani dan pedagang kecil. Karena merasakan hal yang sama lantas saya kemukakan bagaimana kalau kita mendirikan sekolah, mulai dari
DIAN/INTERFIDEI : What did motivate to found Qoryah Toyyibah? AB : It was unexpectedly and by accident. Everything began when my child finished the elementary school around two years ago and wanted to continue to junior high school. It was difficult to decide as I was aware of the fees I needed to prepare for higher education; new uniforms to buy and also the fees to pay to the school as well as for other expenses. I was not sure whether or not I was able to provide the money so I invited at approximately thirty people to meet and share my problem. I passed on my sigh of the expenses people must pay to send children to school. Surprisingly, those who also had children communicated the same struggle. Many of the people in the meeting were complaining about the expensive fees for education. It was very difficult for them to provide the finance as they were mostly farmers and retailers. The same struggle among us drove to the idea to organize a school which would be handled together. Unfortunately, there were only 12 out of 30 people agreed upon the plan. Nevertheless, the twelve participants moved on with the plan to run the school Edisi Desember 2008- Maret 2009
23
Feature
Interfidei newsletter
merencanakan semua hal yang berkaitan dengan sekolah sampai biaya apakah mahal atau murah, hal itu terserah kita karena sekolah itu kita yang bikin. Dari 30 orang itu hanya 12 orang yang menyetujui, kebanyakan mereka menolak. Andaikan kurang dari sepuluh orang mungkin keberadaan sekolah alternatif Qoryah Thoyyibah tidak akan terwujud. Dengan kekuatan 12 orang tua siswa ini yang membuat sekolah menjadi mandiri. Hal teknis disepakati, untuk sekolah di rumah saya, karena rumah saya punya jaringan internet lantas dipakai untuk sekolah. Sekolah alternatif Qoryah Thoyyibah ini berjalan atas dasar prinsip pendidikan yang membebask an. Dengan ar ti k at a kit a menyerahkan kepada anak beberapa hal yang bisa Ahmad Bahrudin pengelola sekolah alternatif Qoriyah Toyyibah mereka kelola sendiri, seperti seragam kita mempercayakan anak memilih seragam mereka in my house since it has internet connection. Qoryah sendiri, karena jika orang tua ikut campur artinya Toyyibah would have never existed if there were less mereka punya uang untuk mencukupkan itu. Anak than 10 people supported the idea. harus dipercaya. Jika orang tidak dipercaya maka akan Qoryah Toyyibah bases on liberating hancur, orang tua yang tidak dipercaya oleh anak akan education. We trust the students to cope with things tidak baik. Ini merupakan keunikan dalam bentuk to handle by themselves, school's uniform for keunggulan, dalam hal menentukan pilihan mereka instance. Parents do not interfere with uniform issue sendiri. Kepercayaan kepada anak ini membawa since if they do it means they have enough money to konsekwensi, orang tua harus siap untuk menanggung provide it. It is very important to build trust between resiko, terutama ketika anak menyepakati sesuatu atau bahkan nilai, selama hal itu tidak merugikan orang lain. students and their parents. It will be misfortune for Orang tua harus siap menanggung resiko, menurut saya parents to fail to have the trust from their children. I see this as one of the strengths of the school. It is ini yang harus kita dukung. certainly irrefutable that trusting children has DIAN/INTERFIDEI: Latar belakang Bapak consequences, and therefore parents must prepare untuk berkomitmen mengelola sekolah alternatif Qoryah themselves for these consequences. Thoyyibah? DIAN/INTERFIDEI: What does encourage you AB: Secara pribadi saya merasakan dan to commit yourself to organize the school? mendapatkan pelayanan pendidikan konvensional AB: I personally experienced conventional mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. education when I was at school even to university life. Yang menurut saya, anak dianggap sebagai objek didik. Yang menginspirasi sekaligus menarik untuk bergerak I felt being treated as an object of education when I dalam bidang ini adalah pada waktu menyusun skripsi was a student. I was interested in engaging in saya dibimbing oleh seseorang yang cukup education because of the experience during my mempengaruhi pola pikir saya, karena beliau graduate thesis writing process. I had an advisor who mendorong untuk membaca buku dan teks pendidikan encouraged me to read educational text books that yang membebaskan seperti paedagogie of oppresseds liberate the mind. He introduced Paulo Freire's the serta karya Paulo Freire lainnya. Sementara di lain Pedagogy of the oppressed which later influenced the pihak saya juga di dukung oleh anak saya, andaikan way I viewed education. My own children also anak saya menolak untuk mengikuti pendidikan ini, supported me by keenly joining the school. I believe
24
Edisi Desember 2008- Maret 2009
Edisi Desember 2008 - Maret 2009
Feature
hasilnya akan berbeda, dan orang tidak akan mengikuti karena mereka pasti berfikir, lha wong anaknya saja tidak ikut?. Walaupun saya tidak bisa memaksa anak saya untuk mengikuti pendidikan ini.
that it would be different if they rejected to join this school. People would probably have rejected to send their children to the school if my children were not there.
DIAN/INTERFIDEI: Apa yang melatarbelakangi masyarakat ikut dalam mengelola Sekolah? Yang dominan masalah biaya, dari pada anak tidak sekolah. Itu dulu sebelum sekolah ini mempunyai board. Yang kedua mereka (orang tua )juga ikut mengelola sekolah ini.
DIAN/INTERFIDEI: Why do the people participate to handle the school? AB: It was about financial issue at the first place. The parents thought sending their child to an alternative school was much better instead of giving up school. However, it was before we had the board. Parents are now involved in managing Qoryah Toyyibah.
DIAN/INTERFIDEI: Persoalan yang dialami sekolah mulai dari berdiri sampai sekarang? Kami tidak merasa ada masalah sebagai hambatan. Kita belajar dari masalah, kompleksitas masalah menjadi resource pembelajaran. Terkadang keterbatasan sarana dan prasarana menjadi hambatan, kami menghadapi dengan berpikir positif dan menggangap masalah tersebut sebagai tantangan. Justru kita belajar dari hal itu, karena prinsip belajar tidak berhenti oleh apapun dan siapapun. Jika kita berpikir negatif semua tidak akan terlaksana, misal tidak ada ruang belajar kan bisa memanfaatkan rumah, tidak ada uang untuk bayar listrik, siang hari kan terang jadi bisa belajar siang hari saja. DIAN/INTERFIDEI: Peran pemerintah memfasilitasi gagasan pendidikan alternatif? Pada awalnya sekolah ini sempat minta bubar karena dengan murid yang hanya 12 dikatakan tidak bisa. Kita diminta bergabung dengan sekolah terbuka yang lain. Kami sempat marah tapi tetap jalan dengan jumlah siswa yang ada. Dalam penilaian saya, Dinas dan p e m e r i n t a h h a ny a t a h u a t u r a n t e r t u l i s . Menindaklanjuti hal itu kita lebih pro aktif dengan menunjukkan aktivitas sekolah. Setelah berhasil banyak orang yang mengapresisasi kegiatan ini. Sekolah dikunjungi oleh direktorat dan anggota dewan. Anakanak berkarya dengan cara mereka sendiri, mereka telah membuat buku dan juga mars dan himne untuk pendidikan kesetaraan. Lebih dari itu malahan buku anak-anak itu dibeli oleh direktorat. Pemerintah tetap punya kemauan untuk berbuat baik dalam menjalankan kebijakan mereka. Kita tidak berhenti untuk menyuarakan keberpihakan kepada kaum tertindas.
DIAN/INTERFIDEI: What has been hindering the school to grow since the beginning of its establishment until now? We don't take problems as barriers. We understand them as means to learn and try to take the bright side of anything that seems to be obstacles. We encourage ourselves to be creatively find a way for every challenges: to use houses of the villagers when there are not enough rooms to study, or to study during the day when we don't have money to pay electricity. DIAN/INTERFIDEI: Does the government do something to facilitate the idea of alternative education? The government planned to close down the school at first for there were only 12 students, and required the students to join other formal school. We were irritated by this decision, but ignored it and moved on with our school and its only 12 students. Furthermore, we actively initiated more activities to prove that the school was able to exist. Fortunately, more and more people appreciated our efforts and came to visit us, including the directorate of education and the children committee. Our students foster their creativity by themselves; they wrote books, of which some of them were bought by the directorate, and they also composed a hymn to promote equality for education. I believe that the government had good intention in making decisions, including the one to close our school. Hence, we didn't respond it furiously. We keep moving for what we believe in and do not stop to struggle for the marginalized. DIAN/INTERFIDEI: Do the students get school certificate? Edisi Desember 2008- Maret 2009
25
Feature DIAN/INTERFIDEI: Bagaimanan dengan ijazah yang diperoleh oleh anak ? Mereka kan bisa mendapatkan ijazah, dengan adanya sekolah terbuka, bisa difasilitasi oleh negara untuk mengikuti ujian nasional dengan ujian kesetaraan. Kami tetap mengarahkan anak untuk memilih. Saya justru lebih bangga jika anak tidak dapat ijazah, termasuk anak saya tidak mengikuti ujian nasional. Dengan tidak mempunyai ijazah dia akan lebih mandiri karena tidak mengandalkan ijazah akan tetapi kemampuan yang dia miliki. Walaupun pada akhirnya dia juga ikut ujian nasional karena diomong (dikomentari) oleh ibunya. DIAN/INTERFIDEI: Peran institusi agama dalam mendukung ide Bapak? Belajar itu ajaran agama. Secara eksplisit dalam hadist diajarkan untuk belajar dengan kata faridhah. Yang berarti wajib dalam arti kebutuhan yang mendasar, tidak wajib dalam pengertian ada pahala dan dosa. Agama sendiri pembebas dari belenggu kebodohan. Pendidikan yag membebaskan bagi saya itu sangat islami, karena membelenggu anak itu dosa besar, dalam bentuk dosa sosial. Saya tidak bisa minta maaf pada Tuhan, wong saya berbuat salah kepada anak, masak saya minta maaf pada Tuhan.
Interfidei newsletter The students get their certificates from public schools. This can be done with the help of the state by allowing the students to enroll national exam, yet the students are encouraged to freely choose whether or not to join the exam. I personally appreciate those students with no school certificates more than the ones who have it. I believe students will be more independent without such certificates thus rely fully on their capabilities. My own child chose not to enroll the national exam in the beginning before finally gave the decision for my wife's comments. DIAN/INTERFIDEI: Do religious institutions support your attempt to develop the school? I believe religion encourages us to study as well. The hadits explicitly encourages us to study. It promotes faridhah, to show that to study is obligatory (in terms of basically needed), and is optional (in relation to pahala and sin). Religion also frees people from deception. Liberating education, for me, is very Islamic. It is sinful to curb the children, a social sin. Thus, it is not to God I ask forgiveness when I do such an act but to the children since they are the ones who suffer my unjust conduct.
DIAN/INTERFIDEI: Berkaitan dengan kearifan lokal di masyarakat ? Kita juga harus cermat memandang kearifan lokal. Kadang-kadang kita terjebak dalam kepicikan, untuk itu kita harus berfikir universal. Misal keadilan, bahwa ada kearifan yang tumbuh di masyarakat harus kita junjung tinggi. Seperti gotong royong, saling berbagi tapi di saat ada nilai feodal yang tidak adil lingkungan dan sosial dan jender, itu yang harus ditolak. Masyarakat punya kearifan lokal tapi di saat kita terjebak dalam revitalisasi nilai yang feodal, gerakan transformatif kultur mesti kita upayakan. Menurut saya kita harus mempunyai prinsip untuk menjaga nilai lama yang baik dan menciptakan nilai baru yang lebih baik.
DIAN/INTERFIDEI: How do you respond to local wisdom within the society? We need to critique local wisdoms. We sometimes are trapped in narrow-mindedness, thus thinking universally is important. Taking the example on justice; there are values in regard to the local wisdoms we must uphold, gotong royong and sharing with others are ones of them. However, there are also feudalistic values of the local wisdoms which discourage justice and gender equality that we certainly must reject. It is surely essential to maintain local wisdoms. Nevertheless, cultural transformative movement is required when people are entrapped in their feudalistic merits. I personally think it will be good to uphold the virtuous values of our traditions and to construct more encouraging values of the less virtuous ones.
DIAN/INTERFIDEI: Bagaimana Interaksi antar komunitas dibangun di kalangan anak-anak? Berinteraksi dengan komunitas(masyarakat) menjadi sangat utama, karena komunitas menjadi sumber belajar, juga penting untuk mencermati relasi
DIAN/INTERFIDEI: How do you introduce inter-communities relations to the students? We do encourage interaction with
26
Edisi Desember 2008- Maret 2009
Edisi Desember 2008 - Maret 2009
Feature
yang ada di masyarakat. Bisa saja pergeseran dari yang adil ke yang tidak adil harus disikapi. Juga karena sekolah tidak berdiri sendiri, tetapi berdiri di tengahtengah komunitas. Bagaimana membangun anak untuk menghargai perbedaan dan ini menjadi agenda sekolah ke depan.
communities since they are sources from which to learn. We also encourage students to examine the relation within the society. This is because of the possibility of shifting values to respond to, the sifting of what is just and unjust treatment for instance. Building interaction with communities is also important since the school exists among DIAN/INTERFIDEI: Bagaimana anak-anak communities. For this reason, educating students to dihadapkan pada masalah perbedaan? respect differences is necessary. This is definitely in Justru harus dibangun juga untuk menghargai our top list plan for the future. keberbagaian. Sangat berbahaya jika yang dihargai adalah keseragaman dengan tidak adanya pemahaman DIAN/INTERFIDEI: How do the students deal tentang keberbagaian. Keberbagaian akan memperkaya with diversity? dengan belajar untuk memahami orang di luar kita. Hal We really support the students to value ini mengajarkan pada anak untuk tidak egois dengan diversity. It is dangerous when students hail mempelajari konteks masalah. Di sekolah kami uniformity without adequate knowledge of diversity. Valentine Day's didiskusikan oleh anak-anak dan dalam Diversity indeed will enrich students to understand pemahaman anak, Santo Valentine adalah seorang syuhada, padahal semua anak adalah muslim. Santo others. It helps students to be respectful and to understand the contexts when problems emerge from Valentine ada jauh it. For example, we take sebelum Nabi Valentine 's Day into Muhammad, bahkan discussion in our school. Santo menjaga Syariah Our students understand Tuhan dengan St. Valentine as a syuhada melarang mengikuti though they all are perint ah penguasa Moslems. He was alive waktu itu yang melarang untuk long before the Prophet menikah. Tidak ada Muhammad. He even urusan dengan agama defended God's syariah Islam dan Kristen. by forbidding people to Santo Valentine hidup submit to the law that pada tahun 230 hindered people to sebelum masehi, marry. This has nothing sementara dalam to do with religions, pemahaman anak, b et we e n I s l a m a n d agama samawi pada Sumber: InternetChristianity in particular. Para murid Qoriyah Toyyibah waktu itu adalah yang The students learn that dianut oleh Santo St. Valentine lived in 230 Velentine, karena Nabi Muhammad baru lahir pada B. C. E while the Prophet Muhammad in 561 C. E. 561 Masehi This helps them to understand that St. Valentine adhered to the revealed religion of his lifetime. DIAN/INTERFIDEI: Bagiamana reaksi anakanak terhadap polemik intern agama? DIAN/INTERFIDEI: How do the students Masih saja ada egoisitas anak ketika mereka respond to internal religious controversy? melihat persoalan yang ada. Karena itu ada klaim The students are still so-called egoistic in kebenaran. Tapi ketika harus dimusuhi, itu tidak benar. dealing with religious truth claim, and sometimes they Itu kan menjadi agenda saya. Sampai sekarang kondisi even tend to oppose different truth claims. This Edisi Desember 2008- Maret 2009
27
Feature riil anak-anak jauh lebih bagus dibanding pada masa saya ketika mendapatkan pendidikan di sekolah. Yang paling prinsipil untuk diterapkan adalah kerjasama. Bagaimana anak menjadi lebih berempati dan anti kekerasan
DIAN/INTERFIDEI: Apa harapan anda dalam membangun pendidikan dan kepelbagaian? Harus kembali kepada substansi pendidikan, yaitu pendidikan yang humanis. Beri kepercayaan kepada anak untuk mengembangkan diri. Ketika anak dijadikan objek pembelajaran, ciri humanis hilang. Seperti ungkapan Rm Mangun, guru dan pendidikan jangan bersikap sebagai pawang. Harapan saya kita kembali kepada pendidikan yang humanis dan memberi kesempatan kepada anak sebagai subyek belajar dan beri kepercayaan kepada anak untuk berkreativitas, karena di sana ciri pendidikan humanis berlangsung. Ujian nasional diharapkan untuk memetakan anak dan bukan sebagai alat untuk menghukum anak, menjadi beban bagi anak, menjadikan mereka picik, tanpa peduli dengan pengembangan kapasitas mereka, apalagi biaya mahal. Pemerintah perlu benar-benar serius dengan pendidikan, tidak mengulang pengalaman yang buruk di masa lalu dalam dunia pendidikan. (Anwr)
28
Edisi Desember 2008- Maret 2009
Interfidei newsletter becomes part of my “agenda” in improving the school. However, the students are experiencing much better situation in comparison to what I once did. We are principally educating students to work together with others. We are also promoting empathy and nonviolent attitude to them. DIAN/INTERFIDEI: What do you expect people do to improve our education and diversity? We need to emphasize to the substance of education, its humanistic values. We must trust students to develop themselves. Students are not supposed to be treated as object of education. This is in line to what Father Mangunwijaya once stated that education is not a witch doctor to control students. I look forward to witnessing a more humanistic education that allows students as the subjects of study, and grants opportunities for them to nurture their creativities. A national exam should be a help for students instead of a burden. I also expect the government to support such a humanistic education and to be wiser in establishing policies in regard to education. [Anwr]
Edisi Desember 2008 - Maret 2009
Reflection
KEHIDUPAN, AWAL DARI AGAMA
LIFE, THE ORIGIN OF RELIGION
Elga Sarapung
Elga Sarapung
ila ada pertanyaan, “Agama berasal dari mana?” Saya duga, hampir 100% orang akan menjawab : dari langit, dari Tuhan. Pendeknya dari ”atas” sana. ”Agama untuk apa?” Saya kira, jumlah yang sama banyaknya akan menjawab : ”membantu orang supaya tahu tentang surga dan neraka”, atau, ”untuk membantu orang mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik”. Pertanyaan dan jawaban semacam ini biasanya muncul di dalam percakapan dengan komunitas umat beragama, khususnya Islam dan Kristen (Katolik dan Protestan). Segala sesuatu di luar agama dianggap ”dari dunia”, buatan manusia. Agama menjadi ”lebih tinggi” dari hal-hal lain dalam kehidupan. Pandangan ini berbahaya dan perlu dikoreksi karena merupakan kesalahan besar dari sejarah pemikiran dan tafsir keagamaan. Selain akan membawa umat pada pemikiran yang dangkal tentang agama, juga akan berpengaruh pada sikap hidup sehari-hari dalam beragama. Agama mempunyai manfaat atau makna hanya dalam hubungan vertikal, tidak horizontal. Jangan heran, orang cenderung berani mati untuk membela agama, padahal agama sama sekali tidak perlu dibela. Yang perlu dibela layaknya substansi makna dari agama, yaitu kehidupan. Tetapi, dengan membela agama orang bermimpi masuk surga dan ketakutan masuk neraka. Dua hal yang perlu didiskusikan. Agama terputus dari kehidupan, dari realitas. Agama apa pun yang hidup dan berkembang di mana pun di dunia ini berasal dari sebuah kehidupan dan berkiprah dalam realitas kehidupan. Tidak ada agama yang berasal dari sebuah kematianstatis dan untuk realitas yang mati. Tidak ada juga agama yang begitu saja seolah-olah turun dari langit. Seluruh seluk-beluk tentang yang namanya agama : ajaran, institusi, pemeluk, bahkan yang disebut ILAHI atau ALLAH sekalipun, semuanya berkaitan erat
hen referred to the question,” where does religion come from?” I assume almost 100% people will answer that it comes from God. In short, most people will agree that religion comes from the above. Many people might predictably response that religion is to help people to understand good and evil when given the question on the function of religion. These sort of qestion and respon are commonly found in discussion among religious adherents, Moslems and Christians (Protestants and Catholics) in particular. Everything outside of religion is considered ”secular” and man-made. This way of thinking puts religion higher than anything else in life. Such an idea is dangerous and needs correction since it is against history and interpretation of religion. It brings people to shallow perspective on religion. In addition, it affects everyday conduct in dealing with others. People tend to think that religion is a vertical relationship (merely with the so-called God) and has nothing to do with horizontal relation (with fellow human beings). This is the reason why people are willing to sacrifice their lives to defend their religions. In fact, relgion doesn't need our sacrifice and defense. It is life, the substance of religion, that needs our attention. People believe that they might reach heaven by defending religion. There are two points to focus on. Relgion is excluded from everyday life. Any religion, wherever it is developed, originally comes from life and carries on with life. There is no even a single religion that is dead and static. There is no religion comes down from the sky as well. All of the aspects of relgion, the teaching, the institution, the adherents, and even the Supreme Force (or God), are all closely related with life. In summary, it is not a religion when it doens't shape life. It doesn't deserve the term ”religion” when it is distant from life and isolates itself from it.
B
W
Sumber: Dok. Interfidei
Edisi Desember 2008- Maret 2009
29
Refleksi dengan kehidupan. Singkat kata, agama berasal dari kehidupan, oleh kehidupan, untuk kehidupan. Artinya bila agama tidak berpengaruh dengan kehidupan, menjauhi kehidupan, menghindar dan mengasingkan diri dari kehidupan apalagi menolak kehidupan, maka sebenarnya itu bukan agama atau tidak layak disebut agama. Pertanyaannya, kehidupan, maksudnya apa? Yaitu hiru-pikuk realitas yang ada di dalam dunia, baikburuk, suka-tidak suka, pendeknya semua : manusia dengan segala aktivitasnya; manusia dengan keutuhan ciptaan sekelilingnya yang didalamnya selalu ada dinamika seorang manusia bersama dengan sesama manusia lain dalam rupa dan latarbelakang apapun. Kehidupan dalam konteksnya, di mana terjadi perkembangan dan perubahan dengan segala akibatnya. Masih banyak kalangan, di hampir semua agama berpikir bahwa agama lebih berkaitan dengan hal-hal ”di luar” dunia nyata, karena dunia dianggap profan-tidak sakral. Simbol-simbol yang dinampakkan sebagai penghayatan dari pemahaman tersebut, antara lain dengan rajin ke gereja atau mesjid atau pura, vihara dan klenteng, rajin shalat lima waktu, puasa, rajin membaca Alkitab, rajin menekuni dan menjalankan ritual keagamaan dan lain sebagainya. Lalu, di luar semua itu adalah yang ”duniawi”. Implikasinya tidak menjadi urusan agama. Segala sesuatu tentang agama lebih sebatas tembok gereja, tembok mesjid atau simbol-simbol yang dianggap ”sakral”, termasuk para figur yang disebut agamawan. Semua yang nampak dari luar. Padahal, agama, jauh lebih mendalam dari semua itu. Agama memiliki nilai-nilai kehidupan luar biasa : sabar, kasih, jujur, tulus, terbuka, bijaksana, adil, manusiawi yang tidak dapat diukur dan dijadikan patokan dengan sekedar menjalankan berbagai ritual, menampilkan berbagai simbol ke permukaan, memperindah gedung atau pusat kegiatan keagamaan (gereja, mesjid, vihara, pura, dll.), juga tidak pada figur agamawan semata. Persoalannya adalah, ketika yang simbolistik diperhadapkan dengan nilai. Dalam praktek hidup sehari-hari menjadi bertolak-belakang, sedikit sekali yang benar-benar saling mendukung. Orang yang rajin menjalankan ritual peribadatan, menyumbang banyak dana untuk pembangunan gedung ibadah, boleh jadi orang yang sama melakukan korupsi,
30
Edisi Desember 2008- Maret 2009
Interfidei newsletter Agama memiliki nilai-nilai kehidupan luar biasa : sabar, kasih, jujur, tulus, terbuka, bijaksana, adil, manusiawi yang tidak dapat diukur dan dijadikan patokan dengan sekedar menjalankan berbagai ritual, menampilkan berbagai simbol ke permukaan, memperindah gedung atau pusat kegiatan keagamaan (gereja, mesjid, vihara, pura, dll.), juga tidak pada figur agamawan semata.
What is religion? It is the reality. It is the life with all of its values as well as its hullabaloo. It is life with its people and all of their performances. In brief, it is life and its context where changes and their consequences take place. There are still many adherents consider religon to be apart of ”worldly life” because the world is judged to be profane--not sacred. This is symbolized by attitudes such as going to worship place regularly, performing prayers on time, fasting, diligently reading the scriptures, devoutedly perform religious rituals, etc. All things in contradictory to these attitudes are regarded to be ”secular”, thus are detached from religion. Religion appears to solely relate to the buildings (churches, mosques, etc) and other so-called sacred symbols, including the religious leaders. In other words, religion is all about exterior outlook. Indeed, religion is deeper than outer performance. It delivers magnificent values: patience, love, honesty, sincerity, openness, wisdom, justice, and humanity. These values are unmeasureable. They are the base for religiosity for they are beyond any reasons to perform rituals, to put forward religious symbols, and to embellish worship places. They are even beyond religious leading figures. The problem comes when religious symbols confront its values. There are only a few of these symbols that support religious values in real life. The ones who diligently accomplish religious rituals can be the same person who do corruption and violence
Edisi Desember 2008 - Maret 2009
Agenda
kekerasan dalam rumah tangga atau terhadap sesama, terhadap lingkungan sekitarnya. Antara nilai dan simbol tidak ada hubungan sama sekali. Spiritualitas agama yang harusnya nampak dari dinamika simbol dan nilai tidak nampak, sirna. Akibatnya, antara lain tidak ada sensitivitas sosial yang tulus, jujur, terbuka untuk peduli pada keadilan, pada persoalan-persoalan kemanusiaan. Bukti nyata dari keadaan ini adalah, umumnya umat beragama, agamawan, tokoh agama tidak menganggap penting untuk peduli kepada persoalan kemiskinan, diskriminasi, korban berbagai bentuk kekerasan, anak terlantar, penyakit sosial HIV/AIDS, trafficking, persoalan HAM, korupsi, dan lain sebagainya. Agama yang dianut bersangkutan menjadi semakin jauh dari dunia nyata, kalaupun dekat-hanya karena kepentingan tertentu dan sesaat. Tembok antara agama sebagai simbol dan agama sebagai nilai semakin tinggi. Spiritualitas agama hilang. Mengapa? Apa yang putus atau yang memutuskan? Kesadaran? Pengetahuan yang terbatas? Lingkungan? Bukankah realitas kemanusiaan manusia dan keutuhan ciptaan adalah KEHIDUPAN dari mana agama lahir, di mana agama hidup dan berkembang dan ke mana tujuan dan makna dari agama?[]
to fellow humans and also to environment. In fact, symbols have nothing to do with religious values. The spirit of religion which is shown through the dynamic of its symbol and value has now faded. This results in the decreasing of sensitivity to societal concerns, honesty, and attention to justice and humanitarian problems. The ignorance of adherents and religious leaders of poverty, discrimination, the victims of violence, deserted children, HIV/AIDS, trafficking, violations of human rights, corruption, etc appear as the effect of the decreasing values of humanity. Religion is becoming farther from the real life, and it is not only because of certain purpose for a certain time. There is even higher wall between religion as a symbol and religion as a value. The spirit of religion has faded away? Why is it so? Is it because of the lack of awareness? Is it because of the limited knowledge? Or may be because of the environment? Don't the reality of humanity and the wholeness of beings lie on the life from which religion is from, from where religion develops and to where the religion leads the people?[]
AGENDA INTERFIDEI
AGENDA
Diskusi Diskusi Refleksi Awal Tahun dan Bedah Buku “Sakramen Politik: Mempertanggungjawabkan Memoria” pada Rabu, 21 Januari 2009 di Interfidei, dengan pembicara Rm. Dr. Eddy Kristiyanto, OFM (penulis), Prof. Dr. Faruk HT, Daniel Dhakidae, Ph.D, dan Valentina Sri Wiiyanti. Moderator Elga Sarapung (direktur Interfidei). Diskusi Sharing tentang Gender, Agama dan Budaya
Discussion Discussion mixed reflection on the book entitled “Sakramen Politik: Mempertanggungjawabkan st Memoria” on Wdnesday, january 21 . 2009 in Interfidei, presenting the book writer, Rm. Dr. Eddy Kristiyanto, OFM, Prof. Dr. Faruk HT, Daniel Dhakidae, Ph.D, and Valentina Sri Wijiyanti, and the director of Interfidei (Elga Sarapung) as the moderator. A sharing discussion on Gender, Religioin, and Culture under the context of India and Indonesia attended by
dalam Konteks India dan Indonesia. Dihadiri oleh Jaringan Perempuan Jogja dan executive director Henry
Edisi Desember 2008- Maret 2009
31
Interfidei newsletter
Agenda Martyn Institute (Hyderabad, India), Dr. Andreas D'Souza. Diskusi Terbatas tentang Surat Terbuka “A Common Word Between Us dan You”, Sabtu, 7 Februari 2009 di Interfidei dengan mengundang 31 Intelektual Yogyakarta dari berbagai lintas agama dan Dr. Andreas D'Souza. Diskusi bulanan, tema Sharing Pengalaman Dialog Interfaith dalam Konteks India yang dilakukan oleh Henry Martyn Institute, pada Senin, 23 Februari 2009 di Interfidei. Pembicara Dr. Andreas D'Souza. Training Internal Staf Interfidei tentang Transformasi Sosial oleh Dr. Andreas D'Souza pada Selasa-Kamis /24-26 Februari 2009. Kegiatan Pendidikan Assesment Kegiatan pendidikan di Bandung, pada kamis-Minggu/22-25 Januari 2009 Kegiatan pendidikan di Manado, pada Rabu-Sabtu/18-21 Februari Kegiatan pendidikan di Kei, pada Minggu-Rabu/1-4 Maret 2009 Kegiatan pendidikan di Manokwari dan Merauke, pada SeninSabtu/9-21 Maret 2009 Studi Agama dan Masyarakat di Lampung dengan mengangkat persoalan tanggung jawab agama terhadap persoalan sosial yang paling krusial bagi masyarakat Lampung, yaitu tanah. Kegiatan ini kerjasama Interfidei dengan Forum Lintas Agama (FLA) Lampung, dengan melibatkan seluruh stake holder yang terkait. Diselenggakan pada akhir April 2009. Penerbitan Buku “Spiritualitas Agama-Agama”, dalam proses Buku Penulis Muda tentang Pluralisme Agama di Indonesia, dalam proses Buku Saku “Agama, HAM dan Demokrasi di Indonesia, karya MM. Billah BukuPenerapan Perda Syariat di Bulukumba (dlm proses)
Yogyakarta Women Networks and the executive director of the Henry Martyn Institute (Hyderabad, India), Dr. Andreas D'Souza. A discussion on the open letter “A Common Word Between Us and You”, with limited participants. It took place on th Saturday, February 7 . 2009 in Interfidei, involving 31 intellectual figures in Yogyakarta from various backgrounds of faiths and Dr. Andreas D' Souza.
A monthly discussion, February was themed on the experience of the Henry Martyn Institute dealing with Interfaith dialogue in India. The discussion, which took place on Monday, February 23rd.2009 in Interfidei, presented Dr. Andreas D'Souza as the keynote speaker. Training for the staffs of Interfidei on Social Transformation led by Dr. Andreas D' Souza on Tuesday-Thursday (February 24th -26th. 2009).
Programs on Education Assessement in Bandung, Thursday-Sunday/22-25 January 2009. Assessment in Menado, Wednesday-Saturday/18-21 February 2009. Assessment in Kei, Sunday-Wednesday/1-4 March 2009. Assessment in Manokwari and Merauke, Monday-Saturday/9-21 March 2009. A study on Religion and Society will take place on the end of April 2009 in Lampung themed on religions' responsibility to the most crucial social issue in Lampung, the land. This is a cooperation between Interfidei and Forum Lintas Agama/Inter-religious Forum (FLA) Lampung. All of related stakeholders will be involved in this event. Publishing Book entitled “Spiritualitas Agama-Agama”, forthcoming. Book by young writers on Religious Pluralism in Indonesia, forthcoming. Pocket book entilted “Religion, Human rights, and Democracy in Indonesia” by MM. Billah. Book on the application of Regional Law of Syariah in Bulukumba, forthcoming.
Yayasan Dian/Interfidei Dian/Interfidei Foundation Board Members: Djohan Effendi, Daniel Dhakidae, Zulkifli Lubis; Executive Board: A. Elga J. Sarapung (Director), Indro Suprobo (Vice Director), Ira Sasmita (Secretariate); Eko Putro Mardiyanto (Finance); Department Coordinators: Elga Sarapung (Education/Networking/Library/Documentation); Listia (Research/Discussion/Seminar); Indro Suprobo (Publication/Institution/Fundraising); Martinus Yopa (HRD); Triny Rettob (Household); Staffs: Sarnuji, Herry Metti, Margareth Aritonang, Khairul Anwar, Susanto, Alfiat; Address: Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru Yogyakarta, 55581-Indonesia, Ph.: 0274-880149, Fax.: 0274 -887864, E-mail :
[email protected]. Website:http://www.interfidei.or.id//;No.Rek: Yayasan DIAN-Interfidei, Bank BNI Cabang UGM, Capem Pasar Colombo, No. 0039234672. Demi Pengembangan Newsletter ini, kami terbuka terhadap saran dan kritik anda. We are open to Suggestions and criticisms in order to improve this Newsletter.
32
Edisi Desember 2008- Maret 2009