MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di_duni@maya
Fazlul Rahman
Penerbit LSIP 2011
Perpustakaan Nasional Katalog dalam terbitan (KDT) RAHMAN, Fazlul Matinya Sang Dai: Otonomisasi Pesan-Pesan Kagamaan di Dunia Maya oleh Fazlul Rahman.—Tangerang Selatan: LSIP, 2011 Vii, 182hlm., 26 cm ISBN 978-602-99877-0-6 1.
Dakwah
2. Komunikasi 3. Internet dan Dunia Maya
Hak Cipta 2011, pada penulis Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit Penerbit: LSIP Jl. Alam Indah Vila Inti Persada Blok C6/No.36 Pamulang, Tangerang Selatan Telp/Fax: 021-7497810 Cetakan 1: Agustus 2011
Pengantar Penerbit Agama yang merupakan suatu bentuk kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh sebagian besar umat manusia. Di zaman modern dengan perkembangan teknologi yang begitu pesan, agama dihadapkan pada tantangan serius untuk menghadirkan pesan-pesan keagamaan kepada umat manusia yang telah menggunakan teknologi canggih. Misalnya saja di dunia maya, penyampaian dakwah dihadapkan pada penggunaan fasilitas tekonologi canggih yang menjangkau seuruh penjuru dunia. Tak heran jika, penyampaian pesan-pesan dakwah dilakukan melalui tulisan dalam bentuk artikel di ruang-ruang website, blog atau mailist. Kini sudah banyak yang menyampaikan dakwah melalui internet, baik daalm bentuk tulisan maupun gambar. Oleh karenanya, seorang dai harus mampu menghadirkan pesan-pesan keagamaan yang sesuai dengan perkembangan ilmu dan tekonologi, seperti di dunia maya. Ternyata, sebagian besar orang, dengan beragam alasan, ternyata tidak terlalu mempermasalahkan identitas para penyampai pesan-pesan keagamaan di internet. Dari titik inilah berawal kebangkitan mad’u. Di dunia lintas identitas, dengan leluasa mad’u mengeksplorasi beragam hal untuk asupan keagamaannya. Tanpa perlu mengenal siapa sebenarnya di balik pesan. Para pembaca ternyata menggunakan otoritasnya dalam menyeleksi dan memaknai pesan. Mereka secara aktif mengendalikan pesan-pesan yang masuk dalam dunia maya. Buku ini secara meyakinkan mampu mengeksplorasi pesan-pesan dakwah di dunia maya yang seakan menyingkirkan otoritas para da’i. Sehingga dakwah tidak lagi dalam bentuknya yang konvensional, tabligh dan ceramah secara langsung melalui para da’i, tetapi sudah disampaikan dalam banyak model di dunia maya, yang memiliki otoritasnya sendiri tanpa perlu mendapatkan justifikais dari para da’i. Inikah zaman matinya “Sang Da’i”?. Khamami Zada Pamulang Timur, 2011
Pengantar Penulis Alhamdulillah, segala puji teruntuk Sang Maha Penyayang dan Pengasih atas curahan karunia sehingga penulis dapat merampungkan buku ini. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada da’i agung Muhammad S.a.w, sosok teladan bagi sekalian umat. Dalam kesempatan ini, penulis ingin berterima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang ikut berperan dalam proses penyelesaian studi penulis di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta ini. Diantaranya: 1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA, selaku rektor Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, selaku direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan pada lembaga yang dipimpinnya. 2. Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, selaku pembimbing dalam penulisan tesis ini, atas bimbingan dan dukungannya. Semoga Allah senantiasa membalas jasa baik beliau dengan kebaikan yang lebih. 3. Prof. Suwito, yang terus menekankan ketelitian dalam penulisan. Dr. Yusuf Rahman, yang selalu mengingatkan untuk berfikir sistematis. Dr. Fuad Jabali, yang terus mendorong untuk berfikir inovatif. Secara khusus, buku ini penulis dedikasikan kepada orang tua penulis, terkhusus mother tercinta Siti Maidah. Semoga karya kecil ini dapat menjadi bukti bakti penulis kepada beliau. Walaupun tentu tidak sebanding dengan gunung kasih sayang dan lautan doa yang terus mengalir bagi penulis. Bagi father, yang telah menginspirasi penulisan buku ini. Buku ini juga penulis dedikasikan kepada abang penulis, Fahdi Maula, MS.i yang telah banyak memberi teladan fikir dan sikap kepada penulis. Semoga kasih sayang Allah selalu menyelimuti keluarga kami.
Untuk teman-teman seperjuangan, bani “F” (Faiqotul Mala, Fahmi Irfani, Fuad Hasan, Falah, Fauzi), Indra, mbak Is, Arief, Agus, Nadzifah dan lain-lain, yang telah membakar semangat untuk terus berkompetisi dalam kebaikan. Tidak lupa penulis haturkan banyak terima kasih kepada kawan-kawan informan sesama penghuni dunia maya. Atas kerjasama dan loyalitas, tanpa kalian buku ini tidak akan sampai pada kesimpulan akhir. Semoga amal baik kalian semua bernilai ibadah di sisi-Nya.
Daftar Isi PENDAHULUAN A. B. C. D.
Benang Kusut Dakwah di Dunia Maya Penelitian Terdahulu yang Relevan Bingkai dan Metodologi Penelitian Logika Penulisan
4 14 16 24
PROBLEMATIKA RESPONS PESAN A. B.
Respons Pesan dalam Komunikasi Dai, Mad’u dan Pesan Dakwah
25 34
MENYIBAK TABIR MENGGALI KUBUR A.
B.
Internet 1. Profil Jaringan Superhighway 1.1. Dai dan Tantangan Jaringan Superhighway 2. Wujud Internet di Masyarakat dan Ruang Gerak Dai 2.1. Komputer dan Masyarakat 2.2. Internet di Tengah Masyarakat 2.3. Penggunaan Internet di Eropa 2.4. Penggunaan Internet di Afrika 2.5. Penggunaan Internet di Asia dan Indonesia 2.6. Relokasi Ruang Gerak Dai Pernik Dunia Maya 1. Dunia Maya dan Masyarakatnya 1.1. Masyarakat Maya 1.2. Pola Komunikasi Masyarakat Maya 1.2.1. CMC VS FtF (Face-to-Face Communication) 2. Realitas Virtual 2.1. Pesona Filosofis Realitas Virtual 2.2. Virtualisasi Ritual
41 41 51 54 55 56 58 59 60 64 66 66 67 71 73 77 81 84
MEMBANGKITKAN KONSUMEN DAKWAH MENGUNGGAH TUHAN A.
B.
Kisruh Anonimitas Dunia Maya 1. Cybercleric di antara Bayang Anonimitas 2. Catatan Etnografis “Kematian” Dai Mengunggah Tuhan ke Dunia Maya 1. Ilusi Ketuhanan Google 2. Menemukan Tuhan di Dunia Maya
98 105 113 140 140 150
PENUTUP A. B.
Kesimpulan Rekomendasi
155 158
GLOSARIUM
159
DAFTAR PUSTAKA
162
INDEKS
178
PENDAHULUAN “Lihatlah Apa yang Dikatakan, Jangan Lihat Siapa yang Mengatakan” (Ali bin Abi Thalib r.a) Globalisasi yang ditandai dengan kemajuan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi yang kita rasakan saat ini telah banyak memberikan kemudahan terhadap kehidupan manusia. Beragam informasi di belahan dunia manapun bisa kita nikmati di manapun kita berada melalui layar-layar televisi, komputer, bahkan telepon seluler secara langsung (live) dari kejadian. Dunia sebagaimana dikhayalkan oleh Marshall McLuhan tak ubahnya seperti “desa global”1 yang tak lagi mengenal ruang dan waktu.2 Media massa adalah salah satu aspek kehidupan yang mengalami kemajuan yang sangat pesat. Diawali dengan ditemukannya telegraf oleh Samuel. F. B. Morse pada pertengahan tahun 1800-an yang dilanjutkan dengan Gutenberg dengan mesin cetak pertamanya di masa yang sama, media massa mulai mengambil bagian dominan dalam kehidupan manusia sampai ditemukkannya teknologi radio pada tahun 1920-an yang dapat merekam, menghasilkan dan memancarkan suara. Berlanjut pada tahun 1940-an, ditemukannya teknologi yang mampu menghasilkan suara dan gambar gerak (motion picture), televisi, film dan bioskop, sampai dengan ditemukannya teknologi Internet pada akhir tahun 1960-an3 yang dapat menggabungkan 1
Istilah “desa global” atau lebih dikenal dengan “global village,” dipopulerkan oleh Marshall McLuhan karena pandangan optimisnya terhadap perkembangan teknologi yang terjadi. Pandangan optimis McLuhan tersebut bertolak belakang dengan William Gibson, Mark Slouka dkk yang memiliki pandangan skeptic terhadap perkembangan teknologi yang terjadi. Mengenai perdebatan ini, lebih lanjut baca: Stanley J. Baran, Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture (New York: McGraw-Hill, 2004), 298-299 dan bandingkan dengan Mark Slouka, Ruang Yang Hilang: Pandangan Humanis Tentang Budaya Cyberspace Yang Merisaukan (Bandung: Mizan, 1995) dan Astar Hadi, Matinya Dunia Cyberspace: Kritik Humanis Mark Slouka Terhadap Jagat Maya (Yogyakarta: LKiS, 2005). 2 Anthony Giddens mengatakan bahwa modernitas menuntut pembaharuan konsep “ruang” (space), karena konsep ”ruang” pada masa-masa awal peradaban manusia sudah tidak berlaku lagi. Lebih lanjut baca: Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (California: Standford University Press, 1990), 14. 3 Lebih lanjut tentang sejarah internet, baca: Micheal A. Banks, On the Way to the Web: The Secret History of the Internet and its Founders (United States of America: Apress, 2008).
Pendahuluan
tulisan, suara, dan gambar gerak.4 Semua kemajuan ini pada akhirnya membuat masyarakat semakin tidak bisa lepas dari media massa.5 Seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap informasi, tawaran produk media massa pun bermunculan. Setiap produk media massa berusaha untuk “memanjakan” konsumennya dengan berita-berita yang up to date, kemudahan akses, serta biaya yang ekonomis. Internet, yang merupakan fokus kajian ini, saat ini merupakan media massa yang paling digandrungi oleh masyarakat dunia. Hal ini terlihat jelas dari tingginya angka penetrasi dan jumlah pengguna Internet di dunia. Berdasarkan data terakhir (sampai tanggal 31 Maret 2011) pengguna Internet di kawasan Asia saja menunjukkan peningkatan 706.9% terhitung dari tahun 2000-2011 dengan jumlah user 922.329.554! Sedangkan total penguna Internet di dunia mencapai 2.095.006.005 dari total populasi 6.930.055.154, ini berarti pengguna Internet di dunia dari tahun 2000-2011 mengalami peningkatan 480.4%!6 Kedatangan Internet yang disambut begitu meriah oleh masyarakat dunia tentunya dikarenakan kemudahan akses serta variasi informasi yang tersedia di dalamnya.7 Selain itu, Internet juga memiliki sifat-sifat menarik yang tidak dimiliki oleh media massa lain. Grossman dkk (1999)—sebagaimana dikutip Hopkins—menulis tentang Internet dan merumuskan struktur bangunan Internet8 sebagaimana berikut: 1.
2.
Struktur bangunan Internet adalah decentralized (tidak memiliki central outhority); Ia adalah jaringan dari beberapa jaringan yang ada yang didesain tanpa gatekeeper. Internet bersifat global; menyediakan akses langsung informasi dari seluruh dunia. 4
Nuruddin, Pengantar Komunikasi Massa (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), 59-60 bandingkan dengan Asa Briggs dan Peter Burke, A Social History of the Media (New York: Polity Press, 2000). 5 Melfin L. DeFleur dan Everette E. Dennis, Understanding Mass Communication (Boston, Houghton Mifflin Company), 3. 6 Untuk mengetahui detail data statistik mengenai penggunaan Internet di dunia, kunjungi: www.Internetworldstats.com 7 Pada dasarnya, alasan orang memilih media dipengaruhi oleh hasil yang ingin didapat dan usaha yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil tersebut. Sebagai contoh, televisi lebih mudah digunakan, tidak perlu banyak usaha dibutuhkan—tetapi isi di dalamnya bisa jadi terbatas. Internet membutuhkan lebih banyak pemikiran dan tindakan, tetapi isi di dalamnya bisa sangat bervariasi. Lebih lanjut baca: Wilbur Schramm, The Process and Effects of Mass Communicatin (Urbana: University of Illinois Press, 1954), 19. 8 Bruce R. Hopkins, The Nonprofits’ Guide to Internet Communication Law (United States of America: John Wiley & Sons, Inc. 2003), 7-8.
2
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
3. 4.
5.
Internet bersifat “abundant”; Ia mampu mengakomodir komunikator virtual dengan jumlah yang tak terbatas. Internet sangatlah ekonomis; karena individu dapat mengirim pesan ke ratusan bahkan ribuan orang melalui e-mail dengan biaya murah, dapat berkomunikasi melalui halaman-halaman Web secara gratis. Internet bersifat “user-controlled”; dikontrol sesuai dengan keinginan pengguna. Menurut penulis, sifat ini tidak hanya berlaku secara teknis tetapi juga dalam konteks pemaknaan pesan yang diterima. Hal ini berarti pengguna mempunyai otoritas penuh bagaimana memaknai pesan-pesan yang ada di Internet.
Selain kemudahan akses, variasi informasi, serta biaya yang ekonomis, Internet memiliki kekuatan interaktivitas. Dengan interaktivitas ini, menurut Patricia Wallace,9 Internet mampu menghadirkan nuansa psikologis melalui simbol-simbol yang hanya berlaku di dunia maya. Maka adalah hal yang lumrah terjadi saat ini seseorang memperlakukan media Internet sebagaimana kehidupan nyata10 Beragam fasilitas yang dijanjikan Internet sangatlah menarik perhatian berbagai golongan masyarakat untuk beramai-ramai “hijrah” ke dunia maya. Tidak memandang usia, pekerjaan, jenis kelamin, jarak atau batas apapun, orang-orang turut meramaikan dunia maya yang akhirnya secara natural terbentuklah apa yang disebut “cybercommunity” atau komunitas cyber.11 Tidak ketinggalan “para pencari Tuhan” pun turut meramaikan dunia cyber. Karena memang—menurut Lorne L. Dawson banyak hal yang dapat dilakukan oleh Internet untuk kepentingan agama,12 di antaranya:
9
Internet ternyata tidak hampa dengan nuansa psikologis. Para penguna Internet dapat marah, berkasih sayang, berkelahi dll, semua itu biasanya diwakili dengan “emoticons”. Lebih lanjut baca: Patricia Wallace, The Pscychology of the Internet (UK: Cambridge University Press, 1999),18-19. 10 Sebagaimana yang diungkapkan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass bahwa kita memberlakukan media tidak hanya sebagai alat tapi sebagai bagian dari kehidupan riil kita. Lebih lanjut baca: Em Griffin, A First Look at Communication Theory (New York: McGraw Hill, 2003), 403. 11 Layaknya dunia nyata, cybercommunity juga memiliki tataran pranata sosial yang mengatur kehidupan mereka. Lebih lanjut tentang cybercommunity baca: Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), 159. 12 Lorne L. Dawson, “Doing Religion in Cyberspace: The Promise and the Perils,” The Council of Societies for the Study of Religion Bulletin 30, no. 1 (2001): 3-9 dan bandingkan dengan Syarif Hidayatullah dan Zulfikar S. Dharmawan dalam Islam Virtual: Keberadaan Dunia Islam di Internet (Ciputat: Penerbit MIFTA, 2004).
3
Pendahuluan
A.
a.
Menyebarkan pesan ke seluruh dunia Dengan fasilitas homepage yang disediakan Internet, kita dapat berbagi informasi mengenai keyakinan kita dan dalam sekejap informasi tersebat akan tersebar ke saentero dunia. Setiap orang di belahan dunia manapun akan dengan mudah dapat mengaksesnya.
b.
Membangun komunitas baru Internet memberikan kita fasilitas untuk dapat selalu berhubungan walau terpisah jarak dan waktu. Hal ini sangatlah menguntungkan bagi para pemerhati agama untuk bergabung bersama dan membentuk sebuah komunitas baru dunia maya yang bahkan tidak mungkin diadakan di dunia nyata.
c.
Menghancurkan batasan ruang dan waktu Kehebatan Internet yang mampu menghancurkan batasan ruang dan waktu sungguh sangat menguntungkan para praktisi agama dalam hal membuka wacana keagamaan seluas-luasnya melalui dialog antar keimanan (inter-faith dialogue). Siapapun dari penjuru dunia, tanpa terganggu batasan ruang dan waktu, dapat berpartisipasi dalam dialog yang digelar di dunia maya ini.
d.
Melaksanakan ritual di dunia virtual Internet ternyata tidak hanya sebatas wahana yang bertaburan angka, huruf dan gambar yang dapat dibaca dan dilihat. Dengan kemajuan teknologi seperti animasi 3-D, Internet dapat menjadi wadah pengadaan ritual keagamaan di dunia maya.
e.
Mengembangkan pemahaman yang lebih terbuka dalam beragama. Dengan berlimpahnya informasi keagamaan yang berasal dari berbagai pemahaman, para pencari hakikat keagamaan tentunya dapat membandingkan beragam informasi itu sehingga memberikan dan mengembangkan kesadaran beragama yang lebih terbuka.
Benang Kusut Dakwah di Dunia Maya Beragam fasiltias Internet bagi agama—sebagaimana dirinci oleh Dawson di atas—tentunya tidak disia-siakan oleh para pencari Tuhan. Data dari halaman situs Google Zeitgeist membutktikan hal tersebut dengan mengungkap bahwa hal yang paling dicari sejak kemunculan Google sejak pertama kali diluncurkan adalah query tentang : ‘who is God?’ dan ‘what is love?’. Dua hal itu adalah query yang paling dicari manusia sejak awal berdirinya Google.
4
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Ternyata manusia tidak lagi mencari Tuhan di altar-altar suci pemujaan, tidak juga di masjid dan wihara. Manusia di abad digital ini mencari hakikat Tuhan dan cinta di dalam bilyunan kode biner yang berjalin bersama menjadi sebuah sistem Internet yang menggurita. Manusia modern menemukan Tuhan dan cinta mereka di dalam format pdf, exe, mp3, atau wma.13 Fakta lain yang cukup mengejutkan dirilis oleh Pew Internet and American Life Project14 bahwa sekitar 28 juta orang Amerika menggunakan Internet untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan keagaamaan dan spiritualitas serta membangun hubungan dengan orang lain sesama surfer dalam perjalanan keimananan mereka. Mereka inilah yang kemudian dijuluki “Religion Surfers.”15 Berikut ini adalah tabel detil kegiatan-kegiatan keagamaan para Religion Surfer lengkap dengan persentase jumlah mereka dalam setiap kegiatan: Persentase para “Religion Surfers” yang pernah… Mencari informasi tentang agama mereka sendiri Mencari informasi tentang keimanan agama lain Mengirim permohonan doa via e-mail Mendownload musik religi Memberikan bimbingan spiritual via e-mail Membeli atribut keagamaan online Merencanakan kegiatan-kegiatan keagamaan via e-mail
67% 50% 38% 38% 37% 34% 29%
13
Disarikan dari Fatah, “Mecari Tuhan di Google”, http://fatah75.wordpress.com/2008/06/06/mencari-tuhan-di-google/ (diakses tanggal 20 Desember, 2009), bandingkan dengan Garin Nugroho & Nurjanah Intan, Who is God? Mencari Tuhan Lewat Google (Yogyakarta: Penerbit Buku Grhatama, 2009). 14 Lihat http://www.pewInternet.org/reports/reports.asp, lebih lanjut baca Elena Larsen, “Cyberfaith: How Americans Pursue Religion Online” dalam Religion Online: Finding Faith on the Internet, ed. Lorne L. Dawson dan Douglas E. Cowan (New York: Routledge, 2004), 17-20. 15 25% dari pengguna Internet tercatat mendapatkan informasi yang berkaitan dengan keagamaan dan spiritualitas secara online. Ini menunjukkan kemajuan dari survei yang diadakan sebelumnya yaitu pada akhir tahun 2000 yang menunjukkan bahwa 21% dari pengguna Internet—atau sekitar 19 sampai 20 juta orang—online untuk mencari materi-materi keagaaman dan spiritualitas. Lebih dari 3 juta orang dalam satu hari mengakses materi-materi keagamaan dan spiritualitas, hal ini menunjukkan kenaikan dari tahun sebelumnya yang mencatat hanya 2 juta orang dalam sehari mengakses materi-materi keagamaan dan spiritualitas. Sebagai perbandingan, adalah hal yang menarik untuk dicatat bahwa jumlah orang-orang yang mencari dan mendapatkan informasi keagamaan dan spiritualitas secara online ternyata lebih besar dibanding mereka yang menggunakan Internet untuk judi, lelang, jual beli, telpon, online banking, juga kencan online.
5
Pendahuluan
Mendapatkan ide untuk membuat upacara keagamaan online Mendaftar ke religious Listserv Mendownload khotbah Mendapatkan ide cara-cara merayakan religious holidays Mencari bimbingan spiritual via e-mail Online untuk mencari gereja baru Berpartisipasi dalam religious chat rooms Bermain game komputer spiritual Berpartisipasi dalam online worship Mengambil kursus keagamaan online Menggunakan “a faith-oriented matchmaking service”
28% 27% 25% 22% 21% 14% 10% 5% 4% 3% 3%
Sumber: Pew Internet and American Life Project Religion Surfers. Survei, 24 Juli- 15 Agustus 2001. N=500; margin of error +/-4%.16 Survei yang dilakukan oleh Pew Internet and American Life Project ini juga mencatat fakta lain yang tak kalah penting, bahwa para Religion Surfers beranggapan bahwa sumber-sumber kunci masalah spiritualitas lebih mudah didapat secara online.17 Fakta-fakta yang diungkap Google Zeitgeist dan survei Pew Internet and American Life Project di atas memberikan kita satu pandangan baru mengenai Internet dan agama, bahwa Internet telah menjelma menjadi ladang subur bahkan sebuah kebutuhan bagi perkembangan agama,18 walaupun— menurut Mara Einstein—Internet juga merupakan tempat subur bagi para pebisnis agama.19 Menurut Nurcholish Madjid,20 Internet merupakan media 16
Elena Larsen, “Cyberfaith: How Americans Pursue Religion Online” dalam Religion Online: Finding Faith on the Internet, 19 bandingkan dengan Ja>bir bin Muh}ammad Na>s}ir Buhjam, Madkhal ila> Manhajiyyat al-Da’wah ‘abra al-Internet (AlJazair: Ma’had al-Mana>hij, 2007) 17 64% dari para Religion Surfers percaya bahwa akses ke pembelajaran keagamaan dan materi-materi pendidikan keagamaan lebih mudah didapat secara online daripada mencarinya “offline”. Hampir setengah (44%) dari mereka percaya bahwa akses untuk doa dan beragam kegiatan kebaktian lainnya lebih mudah mereka dapatkan di Internet daripada mencarinya “offline”. Bagi mereka yang bukan anggota dari organisasi keagamaan, bergantung pada Internet untuk mencari sumber-sumber informasi keagamaan. Sedangkan bagi mereka yang memang anggota dari organisasi tertentu, mencari komunitas mereka di Internet. 18 Brenda E. Brasher, Give me That ONLINE RELIGION (San Fransisco: Jossey-Bass, 2001), 11. 19 Lebih lanjut baca: Mara Einstein, Brands of Faith: Marketing Religion in a Commercial Age (New York: Routledge, 2008).
6
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
efektif untuk menggelar “dialog antar-iman” (inter-faith dialogue), ini terlihat jelas dari banyaknya situs-situs yang bermunculan yang mempromosikan hal tersebut. Kesuburan tersebut tentunya didukung oleh sifat Internet yang memang terbuka bagi siapapun. Seseorang hanya memerlukan seperangkat komputer dan modem yang tersambung dengan jaringan telpon untuk dapat bergabung mewarnai Internet. Khusus bagi aktifitas dakwah, keterbukaan Internet sangatlah berimplikasi positif bagi ajaran Islam yang menganjurkan umat Islam untuk menyampaikan pesan-pesan Allah walau hanya satu hal. 21 Banyaknya halaman Internet yang memuat artikel-artikel tentang Islam adalah bukti nyata bahwa Internet adalah medium yang pro dakwah. Hal ini tentunya kabar gembira bagi para praktisi agama (dai). Namun celakanya, keterbukaan Internet secara tidak disadari mengakibatkan krisis bagi otoritas dan otentisitas kebenaran agama itu sendiri.22 Dahulu, kebenaran makna ajaran-ajaran agama hanya milik mereka yang dikenal memiliki pengetahuan keagamaan yang luas dan kesalehan sosial yang baik, sebagaimana yang didukung oleh teori dakwah yang memang mensyaratkan kriteria dai sukses dengan akhlak mulia dan penguasaan berbagai disiplin ilmu agama.23 Hal ini juga diamini oleh teori komunikasi yang menyatakan bahwa komunikasi akan mencapai tujuan maksimalnya jika pesan disampaikan oleh seorang komunikator yang kredibel dan berkepribadian menarik.24 Tapi di dunia maya, siapapun berhak untuk menyampaikan pesan-
20
2000).
Sukidi Imawan, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
21 Sebagaimana hadis Rasulullah yang menyatakan "( "ﺑﻠّﻐﻮا ﻋﻨّﻲ وﻟﻮ أﯾﺔH.R. Bukhari). Hadis no. 3274 Kitab al-Ja>mi‘ al-S}ah}i>h al-Mukhtas}ar karya Muh}ammad Ibnu Isma>‘i>l Abu> ‘Abdullah al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r Ibnu Kathir, 1987). 22 Dua hal inilah yang diperingati oleh Dawson dan Cowan dalam tulisan pembuka buku yang mereka edit mengenai Religion Online dalam Religion Online: Finding Faith on the Internet, Lorne L. Dawson dan Douglas E. Cowan (New York: Routledge, 2004). 23 Muh}ammad Rajab al-Shatiwi, al-Da‘wah al-Isla>miyyah fi> D{aw’i al-Kita>b wa al-Sunnah, (Kairo: Da>r al-T{iba>‘ah al-Muhammadiyyah, 1990), Muh}ammad Amh}azu>n, Manhaj al-Nabi> fi> Da‘wah min Khila>l al-Si>rah al-S{ah}i>h}ah (Kairo: Da>r al-Ssala>m, 2003), ‘Abdulla>h Na>s}ih} ‘Ulwa>n, Silsilah Madrasah al-Du‘a>t (Kairo: Da>r al-Ssala>m, 2004), ‘Abd al-Kari>m Zayda>n, Us}u>l al-Da‘wah (Beirut: Mu’assah al-Risa>lah, 2001). 24 Stanley J. Baran, Self, Symbols & Society (Addison-Wesley Publishing Company, Inc., 1984) bandingkan dengan: Gene C. Whaples, dan Einar R. Ryden, “Attitude Change: Your Challenge,” Journal ofExtension (November/ Desember 1975), Thomson dan Megan M, “Attitudes and attitude change: Implications for the OSSIS Speakers Bureau Programme,” Defence R&D Canada – Toronto, Technical Memorandum DRDC Toronto TM 2003 – 126, (September 2003), Hovland & Weiss W,
7
Pendahuluan
pesan agama. Tidak ada aturan yang mengikat seseorang untuk mencantumkan identitas aslinya ketika menulis pesan-pesan agama di dunia maya, juga tidak ada aturan yang membatasi apa yang boleh dan tidak boleh ditulis oleh seseorang di dunia maya, sehingga kita tidak dapat membedakan mana dai yang “benar” dan mana dai yang “tidak benar.”25 Komplesitas permasalahan semakin rumit dengan kenyataan bahwa anonimitas di dunia maya tidak dapat dielakkan.26 Pertanyaan besar selanjutnya adalah siapakah yang memegang otoritas pemaknaan pesan-pesan agama yang begitu melimpah di dunia maya jika dihadapkan dengan anonimitas penulis pesan tersebut? Apakah dengan ketidak jelasan identitas penulis, makna pesan-pesan agama tersebut turut menjadi bias? Mengenai makna sebuah teks, Roland Barthes berargumen bahwa teks, ketika sudah menjadi sebuah tulisan, memiliki makna otonom dari penulisnya. Baginya, si penulis (author) hanya akan menjadi tirani yang mengungkung makna teks dengan kondisi psikologis dan sosiologisnya.27 Argumen Roland Barthes yang menyatakan “kematian seorang pengarang” sejatinya sejalan dengan madzhab hermeneutika transendental yang berpandangan bahwa untuk menemukan makna teks tidak harus mengaitkan dengan pengarangnya karena sebuah makna dapat berdiri otonom ketika tampil dalam teks. Dalam konteks permasalahan apakah memahami makna sebuah teks harus mengetahui kaitan psikologis-historis dari pengarangnya? Ataukah cukup dengan memusatkan pada teks sebagai karya yang berdiri sendiri? Selain hermeneutika transcendental, ada satu madzhab lain, yaitu hermeneutika historis psikologis yang berpadangan bahwa teks adalah eksposisi eksternal dan
“The Influence of Source Credibility on Communication Effectiveness,” Public Opinion Quarterly (1951). 25 Menurut Jum‘ah Ami>n ‘Abd al-‘Azi>z kata “da>‘iyah” dalam terminologi bahasa Arab menunjukkan dua kategori dai, dai yang mengajak kepada kebenaran dan dai yang mengajak kepada kesesatan (Jum‘ah Ami>n ‘Abd al-‘Azi>z, al-Da‘wah: Qawa>‘id wa Us}ul (Alexandria: Da>r al-Da‘wah, 1999), 18. 26 J. L Mnookin, “Virtual(ly) Law: The Emergence of Law in LambdaMOO,” Journal of Computer-Mediated Communication 2 (l), Part 1 (1996). 27 Roland Barthes, Image, Music, Text (New York: Hill and Wang, 1977). Pandangan Barthes ini kemudian mendatangkan kritik dari sejumlah kalangan, di antaranya Sean Burke yang mengatakan bahwa pandangan untuk menghapuskan penulis dari teks adalah pandangan yang keliru dan secara filosofis tidak dapat dipertanggunjawabkan, lihat: Sean Burke, The Death and Return of The Author: Criticism and Subjectivity in Barthes, Foucault and Derrida (Edinburg: Ediburgh University Press, 2008).
8
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
temporer saja dari pikiran pengarangnya, sementara kebenaran yang hendak disampaikan tidak mungkin terwadahi secara representative dalam teks.28 Jika kita kembali kepada pertanyaan siapakah yang memegang otoritas pemaknaan pesan-pesan agama yang begitu melimpah di dunia maya jika dihadapkan dengan anonimitas penulis pesan? Penulis berhipotesa bahwa otoritas pemaknaan berada pada para pembaca pesan-pesan agama tersebut. Atau jika penulis bahasakan dengan bahasa dakwah, pemaknaan pesan-pesan dakwah tidak bergantung pada identitas dai melainkan berada dalam otoritas mad’u, dengan kata lain—mengadopsi redaksi Roland Barthes—dai telah “mati.” Hipotesis tersebut didukung oleh perkataan Imam Ali r.a yang menyatakan “lihatlah apa yang dikatakan dan jangan lihat siapa yang mengatakan”.29 Pernyataan Imam Ali r.a di atas dengan jelas mendorong kita untuk menjadi penerima pesan yang objektif memaknai tanpa harus terpengaruh oleh penyampainya. Dalam pandangan ilmu komunikasi, hipotesis penulis ini didukung oleh para ilmuwan komunikasi seperti Lee Thayer, Rene-Jean Ravault, Stuart Hall, dan Bakti dengan “teori resepsi aktif” (active-recipient theory)30 mereka yang mengatakan bahwa media massa tidaklah sehebat yang dibayangkan, para penerima pesan media (receiver) tidaklah pasif tapi aktif, bahkan dapat memberikan reaksi berbalik sebagaimana dijelaskan oleh “teori boomerang” (boomerang effects theory).31 Hampir senada dengan teori boomerang, “teori perkiraan kedua” (second-guessing theory) menyatakan ketika receiver mendapatkan ketidak akuratan pesan (baik dari isi, atau penyampai pesan), maka receiver akan memberikan reaksi berbalik.32 Ketiga
28
Gerald L. Bruns, Hermeneutics Ancient & Modern (Yale University Press, 1992), 2-3 sebagaimana dikutip oleh Komaruddin Hidayat dalam Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1996) lebih lanjut tentang hermeneutika, baca: Richard E. Palmer, Hermenutics (Evanston: Northwestern University Press, 1969), John B. Thompson (Ed.), Paul Ricouer Hermeneutics and the human sciences (New York: Cambridge University Press, 2005), John D. Caputo, More Radical Hermeneutics: On Not Knowing Who We Are (Bloomington: Indiana University Press, 2000) . 29 ‘Abd al-Wa>h}id bin Muh}ammad bin ‘Abd al-Wa>h}id al-‘Aqdami> al-Tami>mi>, Ghurar al-H}ikam wa Durar al-Kalim (Mathba’ah al-‘Irfa>n, 1931) Fashl 85 hadits ke 40 dengan redaksi La> tanz}ur ila> man qa>la wa unz}ur ila> ma> qi>la. 30 Sebagaimana dikutip oleh Andi Faisal Bakti, Communication and Family
Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program (Leiden: INIS, 2004), 27. 31 Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning…, 108, 113-117. 32 Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, 4th edition (Belmont, California: Wadsworth, Inc., 1992), 144.
9
Pendahuluan
teori ini secara implisit menunjukkan bahwa penerima pesan memiliki otoritas penuh dalam memaknai pesan yang mereka terima. Hipotesis penulis di atas masih memerlukan kajian lebih lanjut yang lebih mendalam. Hal ini menjadi penting karena kita harus menyikapi pesanpesan anonim yang berbicara tentang agama di dunia maya dengan bijak. Kita tidak bisa menolak pesan-pesan tersebut jikalau memang ternyata terbukti pesan-pesan tersebut “lebih nyaring suaranya” dan lebih “bersih” dalam menyuarakan pesan-pesan agama. Atau memang kita harus menyingkirkannya33—sebagaimana yang disangkakan Kuntowijoyo—lantaran pengetahuan agama yang diperoleh dari sumber-sumber anonim seperti Internet, bukan lembaga-lembaga Islam konvensional seperti masjid, hanya akan membuat generasi baru Muslim saat ini tidak merasa sebagai bagian dari umat. Sandy Stone menceritakan—dalam tulisannya yang berjudul "Will the Real Body Please Stand Up? Boundry Stories about Virtual Cultures"—sebuah kasus tentang anonimitas di dunia maya yang menggemparkan komunitas dunia cyber. Kasus ini tentang seseorang bernama Julie. Julie terdaftar dalam sebuah komunitas elektronik sejak pertengahan tahun 1980-an. Julie, seorang wanita tua cacat dengan kepribadian menarik dan banyak memberikan tulisan-tulisan inspiratif di komunitasnya sehingga banyak perempuan di komunitas tersebut yang menjadi teman Julie dan meminta nasehat tentang beragam masalah termasuk masalah-masalah kehidupan pribadi mereka. Beberapa tahun berlalu, salah satu teman Julie memintanya untuk bertemu secara personal di dunia nyata. Dari pertemuan itulah terungkap ternyata Julie bukanlah seorang wanita tua cacat sebagaimana yang diakuinya selama ini. Julie ternyata adalah seorang laki-laki setengah baya yang berprofesi sebagai psikiater. Pasca terungkapnya rahasia Julie, para wanita yang sempat berkonsultasi menceritakan permasalahan pribadi mereka merasa terbohongi dan privasi mereka terbongkar. Tetapi, di antara mereka ada yang tidak keberatan dan tidak mempermasalahkan identitas Julie, selama nasehat-nasehat yang diberikan selama ini baik dan berguna, siapapun sebenarnya Julie bukanlah masalah.34 Fenonema Julie yang diceritakan di atas mempunyai kesamaan dengan fenomena Abdullah Gymnastiar. Seorang dai kondang yang lebih dikenal dengan Aa Gym ini konon ditinggalkan oleh sebagian jama’ahnya—khususnya dari kaum ibu—setelah melakukan poligami karena dinilai tidak konsisten dengan dakwahnya selama ini. Walaupun tidak semua jama’ahnya berpandangan sama. 33
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (Bandung: Penerbit Mizan, 2001), 130. 34 Dikutip oleh Guiseppe Mantovani dalam New Communication Environments From Everyday to Virtual (London: Taylor & Francis Publisher, 1996), 118.
10
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Kedua fenomena ini bermuara pada masalah yang sama, identitas penyampai pesan. Intinya adalah betapa sesungguhnya pesan-pesan keagamaan yang disampaikan—baik oleh Julie atau Aa Gym—secara intrinsik benar namun dimaknai berbalik oleh sebagian orang karena pengaruh identitas penyampai pesan yang dinilai bertolak belakang dengan apa yang disampaikan. Hal lain yang mendukung perlunya penelitian lebih lanjut adalah fakta bahwa Indonesia, berdasarkan data yang dirilis oleh Internet World Statistic (lihat gambar 1), ternyata menempati posisi ke 13 dari 20 negara di dunia dengan jumlah pengguna Internet terbanyak. Dengan fakta ini, perlu diadakan penelitian lebih lanjut terkait jumlah pengguna Internet di Indonesia yang membaca teks-teks anonim yang berbicara tentang agama, sejauh mana mereka menerima kebenaran yang dihadirkan oleh teks-teks anonym tersebut jika dibandingkan dengan kebenaran yang disampaikan melalui model-model ceramah konvensional.
Gambar 1. Daftar 20 Negara dengan jumlah pengguna Internet tertinggi di dunia.35
35 Diunduh dari http://www.Internetworldstats.com/top20.thm pada tanggal 22 Februari 2010.
11
Pendahuluan
Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat mengidentifikasi beberapa permasalahan yang relevan sebagaimana berikut: a. Setelah mengamati data tingginya penetrasi Internet di dunia, maka timbullah keinginan penulis untuk mengetahui lebih detail bagaimana sebenaranya “lalu lintas” Internet yang begitu padat, siapa saja aktor di balik “raksasa teknologi”36 ini dan bagaimana dunia menyikapi anonimitas yang ada didalamnya. b. Beragam fasilitas yang disediakan Internet “memaksa” para praktisi dakwah untuk turut mencebur ke kolam dunia maya. Mereka kemudian berbondong-bondong menghijrahkan agama ke dunia maya. Mungkinkah agama yang begitu “melangit”, sarat dengan nilai-nilai ketuhanan direduksi ke dalam sebuah sistem Internet yang anonym dan tak memiliki nilai? c. Angka pengguna Internet di Indonesia menunjukkan angka yang cukup fantastis akan tetapi penelitian mengenai penggunaan Internet untuk urusan keagamaan—khususnya agama Islam—di Indonesia masih minim. d. Otoritas pemaknaan ajaran keagamaan selama ini terkungkung oleh identitas penyampai—baik perorangan ataupun lembaga—ajaran agama tersebut. Otonomisasi kebenaran makna ajaran dari identitas penyampai merupakan solusi yang dapat diambil dalam rangka purifikasi kebenaran ajaran agama itu sendiri. Pada sebuah penelitian, keluasan masalah dan lingkup yang terkait dengan objek yang diteliti adalah keniscyaan. Sehingga sebuah penelitian mutlak memerlukan batasan masalah yang akan diteliti. Selain bertujuan untuk menjadikan kajian lebih fokus dan terarah juga sebagai acuan pencarian data sehingga terarah dan tepat sasaran. Penelitian ini sejatinya akan membahas masalah anonimitas pesanpesan keagamaan di dunia maya. Dalam hal ini ada tiga masalah pokok yang harus di batasi, yaitu “anonimitas”, “pesan-pesan keagamaan” dan “dunia maya”. Pertama, terma “anonim” yang berarti keadaan di mana penulis (author) asli pesan tersebut tidak diketahui. Anonimitas pesan yang penulis maksud disini adalah anonimitas dalam semua tingkatannya; pesan anonim yang
36 Meminjam istilah Astar Hadi dalam Matinya Dunia Cyberspace (Yogyakarta: LKiS, 2005).
12
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
sama sekali tidak dapat diketahui siapa penulis aslinya dan pesan yang yang sulit diketahui siapa penulisnya tapi masih memungkinkan untuk diketahui.37 Kedua, terma “pesan-pesan keagamaan”. Mengingat ada beragam pesan yang berkeliaran di dunia maya, maka dalam konteks kajian ini, penulis membatasi penelitian pada pesan-pesan keagamaan, dalam bentuk apapun dan dari agama apapun. Dengan pembatasan ini berarti pesan-pesan yang membahas selain urusan keagamaan tidak termasuk dalam kajian. Ketiga, terma “dunia maya”. Dunia maya adalah dunia yang sangat luas untuk dikaji. Dalam konteks kajian ini, penulis membatasi penelitian pada beberapa “ruang” dari dunia maya, yaitu : newsgroup/ discussion group, email, dan webpage.38 Pembatasan ini bermaksud untuk tidak memasukkan pesanpesan keagamaan yang ada di ruang conferencing/ chat seperti AOL Instant Messenger, Yahoo Messenger atau IRC dan tentunya segala hal yang berkaitan dengan “dunia offline” ke dalam kajian. Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi serta pembatasan masalah yang telah diuraikan sebelumnya maka pertanyaan pokok yang yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: a. Apa dan bagaimana hakikat dunia maya? b. Bagaimana membingkai agama yang luhur ke dalam Internet yang tanpa nilai? c. Bagaimana menyikapi anonimitas pesan-pesan keagamaan di dunia maya? Beberapa pertanyaan pokok di atas mendasari perumusan masalah yang akan diteliti. Maka perumusan masalah pada penilitian ini adalah: Apakah otoritas pemaknaan pesan-pesan keagamaan di dunia maya bergantung pada identitas “dai”?
37
Jacob Palme, “Anonimity on the Internet,” http://people.dsv.su.se/~jpalme/society/anonymity.html (diakses pada tanggal 22-Februari, 2010). 38 Penelitian yang dilakukan oleh Özgürol Öztürk dan Kerem Rizvanoglu mengenai website Islami di Turki menegaskan bahwa website-website Islam seharusnya dapat dianggap sebagai artefak budaya yang memberikan informasi etnografis yang berharga bagi para peneliti yang bergelut dengan isu-isu antar-budaya yang terjadi khususnya dalam interaksi manusia dan komputer, baca Özgürol Öztürk dan Kerem Rizvanoglu, “When Ritual Becomes Virtual: An Analysis of The Reconstruction of Religious Daily Practices in Turkish Islamic Websites,” diunduh online dari http://newmedia.yeditepe.edu.tr/pdfs/isimd_07/ozgurol_ozturk.pdf
13
Pendahuluan
B.
Penelitian Terdahulu yang Relevan Penelitian mengenai agama dan Internet sebenarnya bukanlah hal yang baru. Pada tahun 2000, Gary R. Bunt dalam bukunya Virtually Islamic telah mengkaji bagaimana Islam degan segala perangkatnya mencoba membaur dalam sebuah sistem komunikasi bermedia komputer (computer mediated communication). Dengan bukunya tersebut, Bunt ingin mengatakan bahwa Islam tetap mampu berbaur dalam sebuah sistem CMC tanpa harus kehilangan jati dirinya.39 Dua tahun setelah itu, Bunt kembali memublikasikan karyanya yang berjudul Islam in the Digital Age. Dalam bukunya ini, Bunt lebih berfokus pada gerakan jihad yang dimediasikan oleh Internet, khususnya pasca peristiwa 11 September.40 Pada tahun 2001, Brenda E. Brasher menulis buku dengan judul Give me That Online Religion. Dalam bukunya tersebut, Brasher mengungkapkan optimismenya mengenai perkembangan spiritualitas di dunia maya. Baginya, spiritualitas—tanpa memandang dari agama apapun itu—tetap dapat hidup subur di dunia maya.41 Pada tahun 2002, sebuah buku dengan judul Practicing Religion in the Age of Media hadir dengan kajian komprehensif mengenai bagaimana media, agama dan budaya, dalam rentang peradaban manusia, saling mewarnai satu sama lain. Buku yang diedit oleh Stewart M. Hoover dan Lynn Schofield Clark ini menyoroti secara tajam perubahan pola keberagamaan masyarakat di era media.42 Pada tahun 2004, Singapore Internet Research Center mengadakan penelitian bagaimana masyarakat Singapura memakai Internet untuk tujuantujuan keagamaan.43 Hal menarik dari penelitian ini adalah fakta yang mengatakan bahwa bahwa masyarakat Muslim dan Kristen Singapura adalah para pemeluk agama yang paling aktif melakukan kegiatan keagamaan yang menyangkut agama orang lain, seperti mencari informasi tentang agama selain
39 Lebih lanjut baca: Gary R. Bunt, Virtually Islamic: Computer-mediated Communication and Cyber Islamic Environments (Cardiff: University of Wales Press,
2000).
40 Lebih lanjut baca: Gary R. Bunt, Islam in The Digital Age: E-Jihad, Online Fatwas, and Cyber Islamic Environments (London: Puto Press, 2003). 41 Lebih lanjut baca: Brenda E. Brasher, Give me That ONLINE RELIGION
(San Fransisco: Jossey-Bass, 2001). 42 Lebih lanjut baca: Stewart M. Hoover and Lynn Schofield Clark (Ed.), Practicing Religion in the Age of The Media (New York: Columbia University Press, 2002). 43 Randolph Kluver, Benjamin H. Detenber, Lee Waipeng, Shahiraa Sahul Hameed dan Pauline, “The Internet and Religion in Singapore: A National Survei,” School of Communication and Information Nanyang Technological University (2004).
14
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
agama mereka, mengadakan komunikasi dengan pemeluk agama lain, atau ikut membeli/ menggunakan servis yang disediakan agama lain. Pada tahun 2005, Jumroni dari fakultas dakwah dan komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta meneliti bagaimana website dakwah berfungsi sebagai media dakwah kontemporer pada era informasi dan teknologi komunikasi.44 Salah satu dari kesimpulan penelitian ini mengatakan bahwa situs dakwah yang ditemukan di media Internet di Indonesia ternyata tidak banyak, tidak sebanding dengan banyaknya aktivitas dakwah itu sendiri, hanya sembilan domain saja yaitu: www.aldakwah.org, www.alhikmah.com, www.cybermq.com, www.ldii.or.id, www.alsofwah.or.id, www.muhammadiyah-tabligh.or.id, www.al-muhajir.or.id, www.salafy.or.id dan www.al-islam.or.id . Pada tahun 2006, Ibrahim bin Abdurrahim Abid membahas tuntas bagaimana memanfaatkan Internet untuk kepentingan dakwah, dengan membagai pembahasan dalam tiga bagian pokok yaitu pembahasan mendalam tentang dakwah, Internet dan teknis pemanfaatan Internet untuk dakwah. Penelitian dengan judul: وﺳﺎﺋﻞ اﻟﺪﻋﻮة إﻟﻰ اﷲ ﻓﻲ ﺷﺒﻜﺔ اﻟﻤﻌﻠﻮﻣﺎت اﻟﺪوﻟﯿﺔ )اﻻﻧﺘﺮﻧﺖ( وﻛﯿﻔﯿﺔ اﺳﺘﺨﺪاﻣﺎﺗﮭﺎ اﻟﺪﻋﻮﯾﺔ merupakan disertasi yang ia tulis untuk mendapatkan gelar doktor di Universitas Imam Ibnu Saud al-Islamiyyah. Pada tahun 2008, Heidelberg Journal of Religion on the Internet memublikasikan penelitian Simon Jenkis yang berjudul Rituals and Pixels: Experiments in Online Church. Dalam artikelnya, Simon Jenkins meneliti bagaimana sebuah ritual keagamaan diadakan di dunia cyber. Penelitiannya berfokus pada pengadaan ritual di geraja online yang disebut “Church of Fools.” Hal menarik dari penelitian ini adalah bahwa Gereja online yang dibangun oleh Simon dkk ternyata disambut baik oleh para pengguna Internet, hal ini terlihat dari banyaknya partisipan yang mengikuti kegiatan ritual keagamaan di gereja online tersebut. Dan ritual yang diadakan dalam dunia cyber tersebut ternyata dilaksanakan dengan khidmat sebagaiamana diadakan di gereja dunia nyata.45 Pada tahun 2009, Gary R. Bunt kembali berkarya, ia menulis buku berjudul “iMuslims.” Bukunya ini dianggap sebagai pelengkap dari dua buku sebelumnya yang ia tulis (Virtually Islamic dan Islam in The Digital Age). Salah satu hal yang ingin ia katakan melalui buku ini adalah bahwa komunikasi 44
Jumroni, “Laporan Penelitian Individual Website Dakwah Sebagai Media Dakwah Kontemporer Pada Era Informasi dan Teknologi Komunikasi, Analisis Situs Dakwah di Media Internet”, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2005). 45 Lebih lanjut baca Simon Jenkins, “Ritual and Pixels; Experimetns in Online Church”, Online-Heidelberg Journal of Religions on the Internet 3.1 (2008).
15
Pendahuluan
bermedia computer (CMC) mempunyai dampak transformative pada Islam dan orang Muslim dalam memahami konteks ajaran agama Islam.46 Berbeda dengan penelitian 10 tahun terakhir, buku Matinya Sang Dai; Otonomisasi Pesan-pesan Keagamaan di Dunia Maya ini berfokus pada pengkajian otoritas pemaknaan pesan-pesan keagamaan di dunia maya. Penelitian ini merupakan kajian terhadap makna otonom pesan-pesan keagamaan di dunia maya. Melalaui kajian ini diharapkan dapat menambah khazanah kajian ilmiah tentang agama di dunia maya. Lebih lanjut, penelitian ini bermanfaat bagi para praktisi, akademisi, dan peneliti lain khususnya yang bergerak di bidang dakwah dan komunikasi karena telah memberikan satu pandangan baru tentang otoritas pemaknaan pesan-pesan keagamaan. C.
Bingkai dan Metodologi Penelitian a. Jenis Penelitian Penelitian dalam buku ini merupakan jenis penelitian kualitatif.47 Walaupun menurut Wardi Bachtiar istilah jenis penelitian kualitatif dan kuantitatif tidak dikenal di dalam literatur-literatur riset. Keduannya lebih dikenal sebagai jenis data, yaitu data kualitatif dan kuantitatif. 48 b.
Sumber Data Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data Sumber peneltian ini terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder. Menurut Lofland49 sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah katakata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lainlain. Berdasarkan hal itu dan dikarenakan penelitian ini adalah penelitian kualitatif maka sumber utama penelitian ini adalah catatan wawancara di lapangan, yang dalam hal ini “lapangan maya.”
46
Lebih lanjut baca: Gary R. Bunt, iMuslims: Rewiring the House of Islam (Kuala Lumpur: The Other Press, 2009). 47 Penelitian kualitatif sendiri adalah penelitian yang dimaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dll., secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Lihat: Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosdakarya, 2008), 6. 48 Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah (cet.1, Jakarta: Logos, 1997), 21. 49 John Lofland & Lynn H. Lofland, Analyzing Social Settings: A Guide to Qualitative Observation and Analysis (Belmont, Cal.: Wadsworth Publishing Company, 1985), sebagaimana dikutip oleh Lexy J. Maleong dalam Metodologi Penelitian Kualitatif, 157.
16
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
John D. Brawer mengatakan untuk mengakses makna-makna sosial, mengamati perilaku dan bekerja secara profesional dengan informan, ada beberapa metode pengumpulan data yang relevan seperti observasi terlibat (participation observation), wawancara mendalam (in-depth interview), penggunaan dokumen-dokumen personal dan analisis diskursif (discourse analysis) bahasa alami.50 Maka dalam penelitian ini, penulis mengunakan metode wawancara mendalam (in-depth interviews) dan pengamatan berperanserta (participant observation) dengan para informan di dunia maya atau biasa dikenal dengan metode “cyber etnography.”51 Penggunaan metode participant observation (pengamatan berperan serta) dalam sebuah setingan virtual mensyaratkan beberapa kriteria, seperti memiliki pengetahuan mengenai aturan berinteraksi antar para ‘insider,’ bagaimana mengatur ‘tempat’ dengan cara yang dapat diterima dan bahkan telah bersosialisasi di dalam suatu budaya.52 Oleh karenanya, penulis dalam hal ini melakukan semacam “penjajakan” diri di lapangan sebelum memulai penelitian. Memindahkan etnografi ke dalam sebuah setingan online mengharuskan pengujian ulang dasar-dasar praktek epistemis yang mencirikan sebuah pekerjaan etnografis. Hal yang paling pertama adalah perubahan dalam fokus kajian dari interaksi tatap muka (face-to-face) menjadi bentuk-bentuk interaksi virtual.53 Misalnya etnografi virtual mungkin saja berbasis online 50
John. D. Brewer, Ethnography (Philadelphia: Open University Press). Penggunaan metode etnografi untuk sebuah penelitian di dunia maya— sebagaimana dikatakan oleh Wittel—adalah sesuai dengan konsep “lapangan” dalam studi etnografi yang lentur dan dapat diaplikasikan di “lapangan dunia maya” (cyberspace), lihat: A. Wittel, “Ethnography On the Move: From Field to Net to Internet,” Forum: Qualitative Social Research 1(1) (2000, January), http://qualitativeresearch.net/index.php/fqs/article/viewArticle/1131/2517 (diakses tanggal 12 Februari, 2010) bandingkan dengan Annette Markham, “Reconsidering self and other: the methods, politics, and ethics of representation in online ethnography,” dalam Handbook of qualitative research, ed. N.K. Denzin dan Y.S. Lincoln (Thousand Oaks: Sage, 2004), Christine Hine, Virtual ethnography (London, Thousand Oaks & New Delhi: Sage, 2000), Kate Eichhorn, “Sites Unseen: Ethnographic Research in a Textual Community,” Qualitative Studies in Education 14, 4 (2001): 565-78, Adi Kuntsman, “Cyberethnogrpahy as Home Work,” Anthropology Matters Journal 6, 2 (2004), http://www.anthropologymatters.com (diakses tanggal 12 Februari, 2010). Karena memang cyber ethnography sendiri mengasumsikan bahwa apa yang berlaku di dunia maya tidaklah berbeda dengan apa yang berlaku di dunia nyata, lihat: Allison Cavanagh, “Behavior in Public?: Ethics in Online Ethnography,” Cybersociology 6, 2 (1999), http://www.cybersociology.com/files/6_2_ethicsinonlineethnog.html (diakses tanggal 12 Februari 2010). 52 Annette N. Markham, Life Online: researching real experience in virtual space (altaMira Press, 1998) 53 Robert. V. Kozinets, Netnography: Doing Ethnographic Research Online (London: Sage Publication, 2010) 51
17
Pendahuluan
interviewing, yang merupakan sebuah bentuk khusus dari situasi interaktif yang memerlukan kemampuan interpretatif tertentu dari seorang peneliti. 54 Walaupun isyarat-isyarat non verbal seperti kontak mata dan bahasa tubuh merupakan cara krusial untuk membangun suatu hubungan dalam interview tatap muka, online interview harus bersandar pada bentuk-bentuk isyarat paralinguistis yang lain. Yang biasa digunakan seperti emoticon. Lebih dari itu, penggunaan huruf kapital tanda seru dapat menunjukkan emosi dalam berkomunikasi dan penekanan-penekanan hal penting. Dalam etnografi virtual, bentuk-bentuk isyarat tekstual tersebut harus diteliti sebagai bagian dari interview yang harus ditafsirkan. Kedua, sifat alami dari lapangan dan bagaimana kita mendefinisikannya adalah hal yang harus diformulasikan ulang dalam etnografi. Seorang etnografer virtual tidak dapat bergantung pada batasan-batasan fisik dalam mendefinisikan lokasi; sebagai gantinya, mereka biasanya bergantung pada hubungan dan praktek-praktek berbagi (connection and shared practice).55 Kebanyakan kajian Internet yang ditulis dan diterbitkan pada dekade yang lalu telah memberikan semangat kemajuan baik sisi pemahaman konseptual dan metodologis sebuah penelitian lapangan di dunia maya (Fernback,56 Kendall,57 dan Stone58). Banyak dari para ilmuwan yang memberikan definisi baru bagi terma ‘lapangan’ (field) dalam dunia maya. Annette Markham59 misalnya, ia mengemukakan konsep diskursif ketimbang geografis batasan-batasan lapangan; Christine Hine mendeskripsikan ide ‘virtual etnography’ yang berfokus pada kejadian (event) daripada budaya atau lokasi; dan Kate Eichhorn60 menyarankan untuk menggunakan terma ‘textual 54
Pauline Maclaran, Miriam Catterall, (2002), Analysing qualitative data: computer software and the market research practitioner, Qualitative Market Research:
An International Journal, Vol. 5 Iss: 1, pp.28 - 39 55 Christine Hine, Virtual Ethnography (London: Thousand Oaks & New Delhi: Sage, 2000). 56 J. Fernback, There is a there there: notes toward a definition of cybercommunity. Dalam Doing internet research: critical issues and methods for examining the net (ed) S. Jones. London, New Delhi: Sage, 1999) 57 L. Kendall, Recontextualizing 'cyberspace': methodological considerations for on-line research. Dalam Doing internet research: critical issues and methods for examining the net (ed) S. Jones (Thousand Oaks, London and New Delhi: Sage, 1999). 58 A.R.S. Stone, Will the real body please stand up?: boundary stories about virtual cultures. Dalam Reading digital culture (ed) D. Trend. (Oxford and Massachusets: Blackwell, 2001). 59 Anette. N. Markham,. Reconsidering self and other: the methods, politics, and ethics of representation in online ethnography. Dalam Handbook of qualitative research (eds) (N.K. Denzin & Y.S. Lincoln. Thousand Oaks: Sage, 2004. 60 Kate Eichhorn. 2001. Sites unseen: ethnographic research in a textual community. Qualitative Studies in Education 14 (4): 565-78.
18
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
community’ (komunitas tekstual) dalam kaitannya dengan etnografi ‘tempat yang tak terlihat’ untuk membantah ‘warisan antropologis dari terma lapangan.’ Kajian-kajian ini dan kajian-kajian lain mengusulkan, dengan cara yang berbeda, bahwa dunia maya (cyberspace) memungkinkan (bahkan menuntut) kita untuk menguji dan membingkai ulang konsep usang tentang penelitian lapangan. Ketiga, ketika biasanya para etnografer konvensional ‘terjun ke lapangan’, ‘berada di lapangan’ dan ‘kembali dari lapangan’—yang mendasari bagian esensial dari profesionalitas seorang etnografer—para etnografer virtual jarang sekali beranjak dari tempat kerja mereka, meskipun demikian, mereka tetap harus bernegosiasi untuk mendapatkan akses ke lokasi penelitian. Mereka harus memperoleh “tiket masuk” ke sebuah newsgroup misalnya. Mereka juga harus membuat keputusan seberapa lama mereka harus tinggal di lapangan, apakah pertanyaan penelitian mengharuskan dia untuk berkutat lebih lama di lapangan online. Lebih dari itu, mereka harus memutuskan apakah penilitian yang dilaksanakan memerlukan interaksi langsung atau tidak, hal ini terkait dengan penentuan metode penelitian, apakah menggunakan metode partisipan atau non-partisipan.61 Internet telah membuka sebuah dunia baru bagi kajian ilmu-ilmu sosial, tentunya dengan meningkatnya aksesibilitas database dan pusat-pusat informasi, dan dengan perkembangan komunitas-komunias online yang telah memudahkan akses ke lokasi-lokasi penelitian lapangan. Hasilnya, banyak individu yang mulai melakukan penelitian ‘cyber ethnography’—atau kajian tentang manusia di beberapa komunitas virtual dan lingkungan jaringan. Cyber ethnography berfokus pada gagasan bahwa ‘suatu komunitas tidak lagi didefinisikan dengan batasan geografis atau batasan-batasan semiotic (etnis/ religius/ linguistik). Tetapi komunitas bisa saja dibangun di dunia maya atas dasar kepentingan umum afiliatif melampaui batasan-batasan kelas, bangsa, ras, gender dan bahasa. Memandang komunitas online sebagai tempat aktual di mana para ilmuwan sosial dapat ‘mengamati, mengunjugi, menetap dan pergi’, telah memaksakan para peneliti di lapangan untuk mempertanyakan seberapa jauh metode etnografi tradisional dapat diaplikasikan dalam kajian komunitas online. Metode-metode etnografi tradisional bersandar pada gagasan tentang suatu komunitas tertentu yang harus dipelajari, dengan mengambil individuindividu tertentu dan menggunakan aturan-aturan tertentu. Dalam cyber ethnography, komunitas tidak memerlukan batasan-batasan geografis, selama
61 Johanna Moisander & Anu Valtonen, Qualitative Marketing Research Marketing Methods: a Cultural Approach, (Sage publication, 2006).
19
Pendahuluan
individu-individu di dalamnya berbagi kepentingan bersama, hal ini dapat membangun sebuah komunitas, selain tentunya lokasi fisik.62 Mendiskusikan riset Internet dalam kajian kultural, Jonathan Sterne63 menyarankan mengganti beberapa hal pokok terkait interpretasi teks, yaitu memfokuskan investigasi pada konteks dari suatu teks, kejadian, atau beberapa kegiatan yang ada. Dalam hal ini, penelitian tidak berfokus kepada makna yang diperoleh partisipan dari kejadian yang ada tetapi bagaimana makna itu bisa didapat dan kondisi seperti apa yang menghasilkan pengalaman tertentu.64 Walaupun penelitian lapangan dan partisipasi observasi lebih tepat digambarkan sebagai pekerjaan antroplogis, seorang etnografer juga dapat memanfaatkan alat-alat lain termasuk interview, survei serta ukuran-ukuran sederhana.65 Oleh karena itu, selain melakukan wawancara mendalam dengan para informan di dunia maya, penulis juga membuat “web based survey” dengan memanfaatkan fasilitas yang terdapat dalam Google Document yang beralamat di https://spreadsheets.google.com/viewform?formkey=dGJTWFRUNThJUXdkR2 dvYXpOYmFsNFE6MQ dan disebarkan ke 39 mailist66 dan 415 orang yang termasuk dalam friend list di akun facebook penulis. Secara teknis, dalam melakukan in-depth interview, penulis menggunakan metode penarikan sampel non-probabilitas, yang berarti mengambil sampel tertentu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu.67 Pertimbangan yang dimaksud adalah beberapa kriteria penetapan “informan yang baik” dalam wawancara etnografi, yaitu sebagaimana dirinci oleh Spradley: enkulturasi penuh, keterlibatan langsung, suasana budaya yang tidak dikenal, cukup waktu dan non analitik.68
62
Bronwen Morgan, The Intersection of rights and regulation: new directions in sociolegal scholarship (Markets and the law) (USA: Ashgate Publishing Company, 2007)
63 Jonathan Sterne, “Thinking the Internet: Cultural studies versus the millennium” dalam Steve Jones (Ed.), Internet research: Critical issues and methods for examining the Net (Thousand Oaks, CA: Sage, 1999), 257-288. 64 Steve Jones, “Studying the Net: Intricacies and issues” dalam Steve Jones (Ed.), Doing Internet Research (Thousand Oaks, Ca: Sage, 1999). 65 Fetterman, David M. "Ethnography." Encyclopedia of Social Science Research Methods. 2003. SAGE Publications. 4 Apr. 2010.
. 66 Data lengkap mengenai mailist yang dituju ini silahkan lihat di lampiran. 67 Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi (Bandung: Remadja Karya, 1989), 107. 68 James P. Spradley, The Etnographic Interview, terj. Misbah Zulfa Elizabeth (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 68-77.
20
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Dalam mengkaji sebuah komunitas virtual, penting untuk mengesampingkan keraguan tentang siapa sebenarnya para partisipan. Satu hal yang dikhawatirkan oleh banyak orang tentang Internet adalah bahwa kita tidak pernah tau siapa sebenarnya yang turut memberikan kontribusi, identitas ‘asli’ mereka, begitu juga dengan validitas dari apa yang mereka katakan. Beberapa orang mencoba untuk menguji kebenaran kegiatan online.69 Kajian etnografi harus dilaksanakan, sebagaimana yang dikatakan Christine Hine, sebagaimana kajian-kajian budaya lainnya, dengan mengesampingkan pandangan-pandangan etnosentris. Pencarian terhadap otentisitas seharusnya dikesampingkan kecuali jika hal itu menjadi masalah bagi para penduduk di dunia maya.70 Penggunaan metode penarikan sampel non-probabilitas untuk penelitian bermedia Internet (Internet-mediated research) memiliki kelemahan dalam hal kemampuan generalisasasi data (generalisability).71 Untuk mengatasi hal ini, penulis akan menarik sampel sebanyak mungkin untuk mendapatkan data yang lebih komprehensif dan tidak bias.72 Sedangkan sumber sekunder penelitian ini adalah buku-buku, jurnaljurnal ilmiah, koran dan majalah yang mengangkat tema Internet dan agama. Untuk pengumpulan sumber sekunder ini, penulis menggunakan metode dokumentasi73 yang berproses dari menghimpun dokumen,74 memilih-milih dokumen sesuai dengan tujuan penelitian, menerangkan dan mencatat serta menafsrikannya serta menghubung-hubungkannya dengan fenomena lain.
69
Shani Orgad, Storytelling Online: talking breast cancer on the Internet, (New York: Peter Lang Publishing, Inc., 2005). 70 Christine Daymon & Immy Holloway, Qualitative Research Methods in Public Relations and Marketing Communications, diterjemahkan oleh Cahya Wiratama menjadi Metode-Metode Kualitatif dalam Public Relations dan Marketing Communications (Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2008), 211-212. 71 Hewson, Yule, Laurent, Vogel, Internet Research Methods: A Practical Guide for The Social and Behavioural Sciences (London: Sage Publication, 2003), 37. 72 Selain mengumpulkan sebanyak mungkin sampel, Hewson dkk juga memberikan solusi lain yaitu dengan mengambil sampel pebanding dari non-internet. Hewson dkk, Internet Research Method, 38-39. 73 Lihat: Wardi Bachtiar dalam Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, 77. 74 Dokumen merupakan bahan tertulis atau benda yang berkaitan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Ia bisa merupakan rekaman atau dokumen tertulis seperti arsip data base surat-surat, rekaman gambar, benda-benda peninggalan yang berkaitan dengan suatu peristiwa. Lihat: Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian SosialAgama (Bandung: Rosdakarya, 2003), 164.
21
Pendahuluan
c.
Lokasi penelitian Penelitian ini akan memfokuskan pada para informan yang berada di rooms yang terdapat dalam Islam Chat (Yahoo Messenger/ Yahoo Chat/ Categories: Religion & Belief/ Islam Chat). Pemilihan lokasi penelitian ini berdasarkan pertimbangan bahwa di antara rooms yang tersedia di Yahoo Messenger, Islam Chat adalah room yang memang dikhususkan untuk para user yang ingin berdiskusi (atau sekedar berbincang) seputar masalah keislaman. Menurut hasil observasi sementara penulis, room tersebut juga berisi para user yang memang peduli dengan Islam. Berdasarkan dua hal ini, penulis menetapkan Islam Chat adalah tempat yang paling tepat untuk mengumpulkan data-data yang akan dijadikan sumber utama penelitian ini. Selain melakukan wawancara mendalam dengan para informan yang berada di Islam Chat, penulis juga membuat web based survey dan menyebarkannya ke 39 mailist. Penentuan 39 mailist ini dipilih secara acak dengan menggunakan search engine Yahoo Groups dengan mengetikkan terma “dakwah”, “Islam” dan beberapa mailist universitas besar di Indonesia seperti Universitas Indonesia, UGM, BINUS dan UIN. Penulis juga menyebar qustioner ke 415 orang yang termasuk dalam friend list dalam akun facebook penulis. d.
Pendekatan penelitian Penelitian ini menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan komunikasi dan etnografi, atau—sebagaimana yang disebut oleh Bakti— pendekatan “ethnometodology.”75 Pendekatan komunikasi berguna untuk membedah Internet dan segala problematika di dalamnya dari sisi komunikasi. Pendekatan ini sangat penting mengingat fokus penelitian dalam buku ini adalah mengenai pesan, Internet, dan dakwah yang semuanya merupakan bagian dari kajian ilmu komunikasi. Sedangkan pendekatan etnografi dalam penelitian ini—sebagaimana fungsi pendekatan etnografi—berguna untuk membangun suatu pengertian yang sistemik mengenai suatu kebudayaan manusia dari perspektif orang yang telah mempelajari kebudayan itu.76 Dalam konteks penelitian ini, pendekatan etnografi berguna untuk mempelajari segala hal tentang kebudayaan para user di dunia maya
75 76
22
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning…, 217-219. James P. Spradley, Metode Etnografi, 13.
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
e.
Langkah-langkah Penelitian Penelitian ini akan mengadopsi langkah-langkah penelitian yang digariskan Robert V. Kozinets dalam Netnography-nya.77 Langkah-langkah ini dijelaskan sebagaimana berikut: Step 1. Definition of Research Questions, Social Sites or Topics to Investigate Step 2. Community Identification and selection Step 3. Community Participant-Observation (engagement, immersion) and Data Collection (Ensure Ethical Procedures)
Step 4. Data Analysis and Iterative of Findings Step 5. Write, Present and Report Research Findings and/or Theoretical and/or Policy Implications Gambar 2. Alur kajian netnografi Kozinets78 Perlu penulis informasikan sejak awal, bahwa dalam penerapan langkah-langkah di atas, penulis akan mengkontekstualisasikannya dengan kasus “dai, dakwah dan dunia maya” yang merupakan tema kajian penelitian ini.
77
Robert V. Kozinets, Netnography: Doing Ethnographic Research Online (London: Sage Publications Inc., 2010). 78 Robert V. Kozinets, Netnography, 61.
23
Pendahuluan
D.
Logika Penulisan Komunikasi adalah hal yang tidak mungkin terpisahkan dari kehidupan manusia. Walau demikian, tidak banyak orang yang mengerti apa yang dimaksud dengan komunikasi. Bagi penulis, mendefinisikan terma “komunikasi” sendiri bukanlah hal yang penting bagi kehidupan, tetapi membentuk model komunikasi efektif yang dapat mengantarkan pada tujuan proses komunikasi itulah yang seharusnya terus diusahakan demi meningkatkan kualitas komunikasi itu sendiri. Dakwah yang merupakan salah satu bentuk komunikasi,79 sesungguhnya harus turut mengadakan evaluasi baik dari sisi substansi maupun kemasannya. Karena seiring zaman yang terus berubah dan menuntut perubahan, pesan-pesan keagamaan bukan tidak mungkin diacuhkan. Adalah sebuah keniscayaan untuk mengevaluasi setiap ruang dari bangunan dakwah yang begitu besar, oleh karenanya penulis memfokuskan satu ruang kecil dari dakwah yaitu pesan-pesan keagamaan yang berada di dunia maya. Secara lebih spesifik, dalam penelitian ini penulis mengajukan hipotesis bahwa pesan-pesan keagamaan di dunia maya memiliki makna otonom dari para penyampainya, dalam hal ini para dai. Untuk membuktikan hipotesis ini, lebih dahulu penulis akan membahas beberapa teori yang akan dijadikan landasan penelitian tentang bagaimana komunikan (receiver) merespon pesan-pesan yang diterimanya. Karena fokus kajian penelitian ini adalah dunia maya, penulis selanjutnya akan memaparkan bagaimana seluk beluk dunia maya kemudian mengkontekstualisasikannya dengan kasus dai, dakwah dan dunia maya. Selanjutnya penulis akan bergabung bersama para pengguna Internet (user) di lapangan untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan komprehensif. Jika hipotesis penulis terbukti benar, sesungguhnya paradigma dakwah selama ini yang mengatakan bahwa faktor penentu keberhasilan dakwah adalah dai tidak lagi berlaku. Tetapi mad’u lah penentu keberhasilan dakwah.
79
Karena dalam kegiatan komunikasi dan dakwah terdapat paralelisme yang sifatnya saling isi mengisi dan melengkapi antara satu dengan yang lainnya, lihat: M. Bahri Ghazali, Da’wah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Da’wah (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997), 13. Tetapi walau begitu, dakwah memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan beragam bentuk komunikasi yang lain, sehingga tidak berlebihan jika Toto Tasmara menyebut dakwah merupakan bentuk komunikasi yang khas, lihat: Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), 39.
24
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
25
PROBLEMATIKA RESPONS PESAN “The way a person puts words together is a product of him. But the way in which those words are understood by a receiver is a function of the receiver, not of the originator.” (Lee Thayer) Tujuan utama suatu proses komunikasi adalah tersampainya pesan secara utuh oleh si penerima pesan (receiver). Dalam prakteknya, pesan ternyata tidak selamanya dapat diterima dengan baik oleh para penerimanya. Banyak faktor yang menentukan utuh atau tidaknya pesan yang diterima oleh si penerima pesan; baik dari sisi penyampai pesan, penerimanya dan bahkan pesan itu sendiri. Dalam konteks dakwah, beragam pesan-pesan keagamaan yang disampaikan dai (sebagai komunikator) ternyata juga tidak selalu diterima dengan baik oleh mad’u (sebagai komunikan pesan-pesan keagamaan tersebut). Fenomena ini tentunya menuntut penelusuran teoritis terkait problematika respons pesan—baik dalam konteks ilmu komunikasi maupun ilmu dakwah. Pada pembahasan bab ini, penulis memfokuskan kajian pada beberapa teori dalam ilmu komunikasi dan ilmu dakwah terkait problematika ini. A.
RESPONS PESAN DALAM KOMUNIKASI “Komunikasi” yang berarti suatu proses pertukaran (baik fikiran, perasaan atau informasi) oleh seseorang kepada orang lain yang memiliki kesamaan makna dengan tujuan tertentu,1 memiliki banyak klasifikasi.2 1
Definisi terma komunikasi sangatlah beragam tergantung dari siapa dan dari
angle mana ia memotret komunikasi. Lihat misalnya Sarbaugh, Intercultural Communication (New Jersey: Haydon Book Company Inc, 1993), 2, bandingkan dengan Dani Vardiansyah, Pengantar Ilmu Komunikasi (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), 4, Stanley J. Baran, Jerilyn S. Mclntyre, Timothy P. Meyer, Self, Symbols and Society: An Introduction to Mass Communication (London: Addison-Wesley Publishing Company, Inc., 1984), 19, Denis McQuail dan Seven Windahl, Communication Models for The Study of Mass Communication (New York: Longman Publisihing, 1993), 5. Aubrey Fisher mengatakan bahwa Fenomena komunikasi adalah fenomena banyak serba: serba ada, serba luas dan serba makna. Pernyataan ini dapat dibenarkan bila kita menilik sejumlah konsep komunikasi yang telah berlimpah dan berubah secara mendasar dari tahun ke tahun. Di pertengahan abad 20 saja, misalnya, pendefinisian menjadi ajang yang populer di kalangan pakar komunikasi. Dance dan Larson, dalam Miller, melaporkan
Problematika Respons Pesan
Terlepas dari keragaman ragam definisi dan klasifikasi, sebenarnya proses komunikasi hanya berkutat seputar penyampai pesan (komunikator), pesan, saluran penyampai pesan (media), penerima pesan (komunikan) dan efek yang dihasilkan.3 Dalam hal ini, respons, merupakan hal yang sangat penting untuk mengetahui efektivitas komunikasi yang sedang berlangsung.4 Karena dari respons inilah kita dapat mengetahui efek apa yang timbul pada diri komunikan. Dan efek itu sendiri merupakan tujuan utama dari sebuah proses komunikasi.5 Dalam dunia komunikasi, pesan (baik berupa lisan, tulisan atau simbol) memiliki banyak problematika. Di antaranya dari sisi bagaimana komunikan merespons pesan yang diterimanya. Beragam teori komunikasi pun bermunculan menjelaskan permasalahan ini. Diantaranya Teori S-O-R sebagai singkatan dari Stimulus – Organism – Responsse ini semula berasal dari psikologi. Menurut stimulus repsonse ini, efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusu, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Jadi unsur-unsur dalam model ini adalah: a. Pesan (stimulus, S) b. Komunikan (organism, O) c. Efek (responsse, R)
bahwa lebih dari 126 definisi telah diusulkan dalam literatur -sebagaimana dikutip oleh Elvinaro Ardianto dan Bambang Q. Anees dalam Filsafat Ilmu Komunikasi (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007), 17. 2 Mengenai ragam klasifikasi komunikasi ini, baca Anwar Arifin, Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar Singkat (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006). 3 Sebagaimana yang dikatakan Lasswell bahwa cara yang paling tepat untuk menggambarkan sebuah proses komunikasi adalah dengan menjawab beberapa pertanyaan berikut: (Who) Siapa?, (Says what) Mengatakan apa?, (In what channel) Melalui media apa?, (To whom) Kepada siapa?, (With what effect) Menghasilkan efek apa?, lebih lanjut baca: Denis McQuail dan Seven Windahl, Communication Models for Study of Mass Communications (New York: Longman, 1993), 13, bandingkan dengan elemen-elemen komunikasi yang diungkapkan John. R. Bittner dalam Mass Communication, an Introduction (New Jersey: A Division of Simon & Shuster, Inc., 1986), 15. 4 Arvind Kumar, Encyclopedia of Mass Media and Communication, (New Delhi: Anmol Publication PVT. LTD., 1998) vol. 2, 149, Campbell dan Hapler, Dimensions in Communication (California: Wadsworth Publishing Company, 1969), 43. 5 John Vivian, Teori Komunikasi Massa, alih bahasa: Tri Wibowo B.S (Jakarta: Kencana, 2008), 464.
26
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Stimulus
Organisme:
Perhatian Pengertian penerimaan
Responsse (perubahan sikap) Gambar 3. Teori S-O-R Dari gambar di atas, jelas bahwa pesan tidak serta merta akan menghasilkan respons. Organisme, dalam hal ini komunikan, akan terlebih dahulu mengolah pesan yang diterimanya dan tentunya pesan yang disampaikan tersebut mungkin diterima dan ditolak. Teori ini menekankan signifikansi peran yang dimiliki komunikan dalam mengolah pesan. Berbeda dengan teori S-O-R yang menekankan peran signifikan yang dimiliki oleh komunikan, dalam komunikasi massa dikenal teori peluru yang justru tidak melihat kekuatan apapun pada komunikan. Disebut teori peluru karena komunikan dianggap secara pasif menerima berondongan pesan-pesan komunikasi. Bila kita menggunakan komunikator yang tepat, pesan yang baik, atau media yang benar, komunikan dapat diarahkan sekehendak kita. Teori ini juga dikenal dengan teori jarum hipodermik. Teori ini mempunyai asumsi bahwa komponen-komponen komunikasi (komunikator, pesan, media) amat perkasa dalam mempengaruhi komunikan.6 Disebut model jarum hipodermik karena dalam model ini dikesankan seakan-akan komunikasi “disuntikkan” langsung ke dalam jiwa komunikan. Teori ini ditampilkan pada tahun 1950-an setelah peristiwa penyiaran kaleidoskop stasiun radio CBS di Amerika berjudul “The Invasion From Mars”.7 Wilbur Schramm pada tahun 1950-an itu mengatakan bahwa seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang pasif tidak berdaya. Tetapi kemudian dalam karya tulisnya yang 6 Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi (Bandung: Penerbit Remadja Karya, 1989), 83. 7 Selengkapnya tentang artikel ini, baca: Hadley Cantril, “The Invasion from Mars, dalam (ed.) Wilbur Schramm, The Process and Effects of Mass Communication (Urbana: University of Illinois, 1961), 411.
27
Problematika Respons Pesan
diterbitkan pada awal tahun 1970-an Schramm meminta kepada para peminatnya agar teori peluru dianggap tidak ada, sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu ternyata tidak pasif. Pernyataan Schramm tentang pencabutan teorinya itu didukung oleh Paul Lazarsfeld dan Raymond Bauer. Lazarsfeld mengatakan bahwa jika khalayak diterpa peluru komunikasi, mereka tidak jatuh terjembab. Kadangkadang peluru itu tidak menembus. Adakalanya pula efek yang timbul berlainan dengan tujuan si penembak. Seringkali pula khayalak yang dijadikan sasaran senang untuk ditembak. Sementara itu Raymond Bauer menyatakan bahwa khalayak merupakan sasaran yang tidak pasif. Mereka “bandel” (stubborn).8 Secara aktif mereka mencari yang diinginkan dari media massa. Jika menemukannya, lalu melakukan interpretasi sesuai dengan predisposisi dan kebutuhannya. Jika dilihat dari substansinya, ada beberapa teori lain yang masuk dalam kategori teori peluru ini,9 seperti teori Stimulus-Responss, SMCR (Source-Message-Channel-Receiver), Spiral Keheningan (Spiral of Silence), Agenda Setting, dan lain-lain. Pada tahun 1967, menggunakan prosedur pengumpulan data yang disebut Q-sort, William Stephenson melakukan penelitian ekstensif mengenai apa yang dirasakan oleh beragam audiens tentang media. Dari penelitian inilah Stephenson mengembangkan teori yang ia sebut sebagai “play theory”,10 yang menunjukkan bahwa sebenarnya kita menggunakan media sebagai alat untuk menghindari, kabur ke dunia santai (play) yang tidak dapat dirasakan di lain waktu. “Play theory” milik Stephenson ini sesungguhnya merupakan bagian dari penelitian dan teori selanjutnya yang lebih luas, berfokus pada penggunaan (uses) kita terhadap media dan gratifikasi (gratification) apa yang kita dapat dari media, yang kemudian dikenal dengan uses and gratification theory. Teori uses and gratification mengklaim bahwa media tidak melakukan sesuatu pada seseorang; tetapi individulah yang melalukan sesuatu tersebut dengan media.11 Dengan kata lain, pengaruh media terbatas pada apa yang seseorang perkenankan. Pendekatan ini berawal dari pemikiran bahwa setiap 8
Disarikan dari Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2003), 265. 9 Rachmat Kriyanto, Teknis Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2008), 205. 10 William Stephenson, The play theory of Mass Communication (Chicago: The University of Chicago Press, 1967). 11 Elihu Katz, Jay Blumler, and Michael Gurevitc, “Uses of Mass Communication by the Individual,” dalam Mass Communication Research: Major Issues and Future Directions, eds. W. P. Davidson and F. Yu (New York: Praeger, 1974), 11-35.
28
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
individu adalah adalah seorang selektor aktif dari media komunikasi, sudut pandang ini berbeda dari teori peluru. Jika dibandingkan dengan penelitian klasik terhadap efek media massa, teori uses and gratification ini menjadikan konsumen media sebagai titik awal dan mengkaji perilaku berkomunikasinya dalam hal pengalaman yang dirasakannya langsung (direct experience) dengan media. Pendekatan ini memandang bahwa audiens secara aktif memperlakukan isi media, mereka tidak hanya pasif menerima apa yang diberikan oleh media. Hal ini berarti menunjukkan tidak adanya hubungan langsung antara pesan dan efek, melainkan bahwa audiens memilih pesan untuk digunakan, dan penggunaannya tersebut berfungsi sebagai variabel penentu dalam sebuah proses terjadinya efek. Beberapa tokoh yang dikenal dalam pendekatan ini adalah Jay Blumler dan Elihu Katz. Para penggagas ini telah menggariskan beberapa dasar asumsi teoritis dan metodologis pendekatan uses and gratification . Ada tiga asumsi teoritis yang penting didisuksikan. Pertama, bahwa audiens media massa bersifat aktif dan mempunyai tujuan. Tidak seperti kebanyakan teori efek, uses and gratification mengasumsikan bahwa anggota audiens tidaklah pasif tetapi memiliki peran proaktif dalam menentukan bagaimana mereka memperlakukan media di dalam kehidupan mereka. Kedua, anggota audiens secara garis besar bertanggung jawab untuk memilih konten media yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Asumsi ketiga, masih terkait dengan yang kedua, mengatakan bahwa media berlomba dengan sumber-sumber lain dalam memberikan gratifikasi atas kebutuhan audiens. Dalam kata lain, terlepas dari pilihan-pilihan yang diberikan oleh media, individu memilih jalannya sendiri untuk memenuhi kebutuhan mereka.12 Pendekatan ini tentunya tidak lepas dari kritik para ilmuwan komunikasi, Baran misalnya, mengemukakan beberapa kritik bagi pendekatan ini: Pertama, karena pendekatan Uses and gratification menekankan kepada motif para audien ketika membuat pilihan-pilihan tertenu dalam mengonsumsi media serta konsekuensi dari pilihan-pilihannya tersebut, hal ini terkadang menjadi terlalu apologis bagi industri media. Dengan kata lain, ketika efek negatif media dipandang sebagai hasil dari pilihan dan penggunaan audien itu sendiri, industri media terbebas dari tanggung jawab atas isi yang mereka tampilkan. Karena media hanyalah memberikan apa yang orang inginkan.
12 Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, 4th edition (California: Wadsworth, Inc., 1992), 364-365.
29
Problematika Respons Pesan
Kedua, pendekatan ini mengasumsikan bahwa orang-orang tidak hanya tahu mengapa mereka membuat pilihan-pilihan konten media tertentu tetapi mereka juga dapat menjelaskan dengan gamblang alasan-alasannya kepada para peneliti uses and gratification . Ketiga, pendekatan ini mengabaikan fakta bahwa kebanyakan pilihan konsumsi media bersifat tidak sengaja- ketika kita membaca koran untuk mengetahui kabar pemilu misalnya, kita mau tidak mau akan melihat iklan-iklan yang tertera disitu. Ketika kita pergi untuk menonton sebuah film action, kita disuguhi oleh beberapa representasi gender dan etnis yang tidak ada hubungannya dengan pilihan film kita. Keempat, pendekatan ini mengabaikan peran kultural media dalam membentuk pilihan dan penggunaan orang terhadap media. Terlepas dari beberapa kritik di atas, pendekatan uses and gratification ini telah memberikan kontribusi berarti dalam perkembangan teori komunikasi massa dengan menekankan hakikat terbalik dari proses komunikasi massa. Oleh karenanya, para ilmuwan mulai menanggapi serius ide pentingnya peran orang dalam sebuah proses komunikasi massa- karena mereka lah yang memilih kontent, mereka yang menciptakan makna, dan mereka juga yang bertindak sesuai dengan makna tersebut.13 Setali tiga uang dengan teori uses and gratification, Lee Thayer,14 Rene-Jean Ravault, Stuart Hall,15 Katz and Liebes,16 Ien Ang,17 begitu juga dengan Andi Faisal Bakti18 menyodorkan “teori resepsi aktif” (active-recipient theory) yang meyakini bahwa media massa tidaklah sehebat yang dibayangkan, para penerima pesan media (receiver) tidaklah pasif tapi aktif, bahkan dapat memberikan reaksi berbalik sebagaimana dijelaskan oleh “teori boomerang” (boomerang effects theory).19 13
Stanley J. Baran, Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture, 3rd edition (New York: The McGraw Hill Companies, Inc., 2004), 428. 14 Lee Thayer, Communication and Communication Systems in Organization, Management, and Interpersonal Relations (Homewood, Illinois: Richard D. Irwin, INC., 1968).
15
Stuart Hall, “Encoding/ decoding”, dalam Culture, Media, Language, eds. Stuart Hall dll (New York: Routledge, 1980). 16 Katz, E. And T. Liebes, “Mutual Aid in the Decoding of Dallas: Preliminary Notes from a Cross-Cultural Study.” dalam P. Drummond and R. Paterson (eds.), Television in Transition (London: BFI Books, 1986), 187-280. 17 Ien Ang, “The Nature of the Audience.” Dalam J. Downing et al. (eds.), Questioning the Media (Newbury Park: Sage, 1990), 155-65. 18 Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in
Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of A Global Development Program (Jakarta: INIS, 2004). 19 Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning..., 108, 113-117.
30
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Teori resepsi-aktif ini meyakini bahwa sesungguhnya para receiver bukanlah orang-orang yang pasif ketika menerima pesan. Thayer adalah orang yang paling menekankan peranan signifikan yang dimiliki receiver. Menurut Thayer, pandangan tradisional yang selama ini kita yakini yaitu: AB=X, saat ini, tidak lagi relevan jika dilihat dari beberapa sisi: Pertama, model komunikasi StimulusRespons (AB) tidak sesuai dengan kenyataan. A mungkin mengatakan sesuatu kepada B. Tapi kita tidak ingin menanyakan “realitas” dari ucapan A. Tetapi kita juga ingin mengerti bahwa apa yang B dengar atau bagaiaman ia menginterpretasi apa yang ia dengar adalah hasil dari apa yang dikatakan oleh B bukan hasil dari apa yang dicerna oleh A. Kedua, kita harus mengenali fakta bahwa ucapan A sesungguhnya tidak diterima oleh fikiran “kosong”/ tidak aktif. Bahkan sebaliknya. Ucapan A dapat dianggap berguna bagi B hanya jika (1) B mengembangkan “peralatan yang diperlukan” untuk mencerna ucapan A dalam konteks yang diinginkan oleh A dan (2) fikiran B dalam keadaan aktif. Ketiga, adalah jelas bahwa faktor siapa yang berbicara memiliki pengaruh besar kepada bagaimana B menginterprestasi pesan. Seseorang akan mudah menerima pernyataan kontroversial yang disampaikan oleh seorang kawan, tetapi ia bisa menjadi sangat tidak setuju terhadap pernyataan seseorang yang tidak ia sukai atau tidak dipercayai. Keempat, pandangan tradisional tentang proses komunikasi mengaburkan fakta bahwa kita sebenarnya sedang berbicara tentang hal-hal yang berbeda dalam satu label yang sama, yaitu komunikasi.20 Dari pandangan model komunikasi AB=X, ada tiga ambiguitas yang mungkin memberikan efek kepada pesan yang diterima oleh receiver. Pertama dan yang paling jelas adalah ambiguitas makna. Dengan mengasumsikan bahwa receiver dapat dan peka ketika menjadi penerima pesan, ia akan mencoba untuk menerima makna pesan yang memuaskan dirinya. Receiver akan bertanya pada dirinya: “apa yang originator maksud dengan mengatakan (menuliskan, dll) hal tersebut”? Tergantung seberapa jelas pesan originator yang diterima, receiver akan mampu mengurai ambiguitas pesan yang disampaikan oleh originator. Ia akan memolakan dan membangun struktur serta menyeleksi sisi penting serta makna pesan tergantung pada kemampuan memahami yang dimilikinya. Selama receiver tidak siap dan tidak mampu mengurai pesan originator –dalam kaitannya dengan penafsirannya terhadap apa yang originator maksudkan dari 20
Lee Thayer, Communication ad Communication Systems In Organization, Management, and Interpersonal Relations (Homewood, Illinois: Richard D. Irwin, Inc., 1968), 24-26.
31
Problematika Respons Pesan
pesannya tersebut—pesan originator akan tetap menjadi ambigu dan tidak jelas bagi receiver. Kedua adalah ambiguitas maksud (intention). Dalam kebanyakan respons komunikasi, bagian vital dari pesan adalah saat receiver mencoba memberikan jawaban terhadap pertanyaan: “mengapa orang seperti itu mengatakan perkataan seperti itu kepada ku di saat seperti itu dengan cara seperti itu?” Jika receiver tidak mampu menafsirkan atau menguraikan teka-teki metakomunikatif yang ada pada dirinya, apa yang dimaksud oleh originator akan selamanya menjadi tidak jelas. Bentuk ketiga dari ambiguitas adalah ambiguitas konsekuensi. Seorang receiver mungkin dapat memahami betul maksud dan makna pesan yang disampaikan originator, tapi tetap ia merasa ada ambiguitas tetang konsekuensi (khususnya untuk dirinya sendiri) dari memahami dan mengerti maksud originator.21 Teori resepsi-aktif ini menekan peran signifikan yang dimiliki receiver dalam merespons pesan yang berarti suatu maksud (dari pesan) dibangun oleh receiver sesuai dengan tujuan, kebutuhan, sensitivitas, dan apa yang receiver yakini dari keinginan originator ketika berinteraksi dengannya. Yang terpenting, receiver akan menginterpretasi22sesuai dengan norma-norma, nilai, kultur di masyarakat ia hidup. Menurut teori ini, penerimaan pesan oleh receiver sangat bergantung pada fungsi/kegunaan pesan tersebut bagi receiver, dan apapun yang memiliki fungsi/kegunaan bagi individu dapat dikatakan bermakna. Makna sendiri adalah proses dan produk dari individu dan individu itulah unsur yang menciptakan dan menyertakan atau menentukan kebermaknaan (meaningfullness) pesan yang diterimanya. Cara bagaimana seseorang merangkai kata-kata adalah produk dari dirinya. Tetapi cara bagaimana kata-kata tersebut difahami oleh receiver adalah fungsi dari receiver, bukan originator (penyampai pesan). Originator bisa saja menciptakan “data-data”; tetapi receiverlah yang menciptakan makna dari datadata tersebut bagi dirinya. Ada derajat akurasi yang berbeda ketika seseorang mengatakan “memahami pesan” (getting the message). Secara intuitif, kita sudah menyadari bahwa berkomunikasi tidak sekedar memahami serangkaian kata-kata. Jika anda “memahami” apa yang saya katakan, anda berarti telah mendapatkan “bahan mentah” dari informasi. Tetapi jika anda memahami apa tujuan perkataan saya,
21
Lee Thayer, Communication ad Communication Systems...,167. Selengkapnya mengenai proses interpretasi receiver terhadap pesan yang diterima, baca: Lee Thayer, Communication ad Communication Systems..., 122-123. 22
32
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
itu berarti anda telah memahami apa yang saya maksudkan, barulah kemudian anda bisa mengatakan bahwa anda “memahami pesan.” Tetapi pesan, layaknya makna, adalah sepenuhnya produk dari receiver. Oleh karenanya, pesan yang dimaksudkan oleh originator dan pesan yang “difahami” oleh receiver terkadang berbeda atau paling tidak mirip, itupun diperoleh dari kesefahaman “diam-diam” antara keduanya.23 Schramm menyebutkan beberapa persepsi yang harus diperhatikan komunikator ketika mengkomunikasikan makna kepada komunikan: 1. Receiver akan menginterpretasi pesan yang diterimanya sesuai dengan pengalaman dan cara-cara yang telah ia pelajari. 2. Receiver akan menginterpresi pesan yang diterimanya dalam bentuk penolakan terhadap perubahan sesuai dengan kekuatan struktur personalitasnya. 3. Receiver mengikuti pola fikir kelompok tertentu, hal ini berlaku pada cara bagaimana ia mengolah pesan yang ia terima.24 Schramm (sebagaimana dikutip Ravault, 1985),25 meyakini bahwa banyak dari para peneliti dibidang komunikasi yang mengubah pandangan mereka mengenai teori “audiens aktif” (active audience) dan ia mengatakan bahwa saat ini kita perlu memahami sebuah proses komunikasi sebagai dua proses yang berbeda, satu proses dilakoni oleh komunikator, dan satu lagi oleh receiver, berbeda dengan apa yang ada dalam “teori peluru.” Menurut Ravault teori peluru hanya melihat komuikasi sebagai sebuah proses yang simpel, dari pengirim pesan ke penerimanya, dengan keyakinan bahwa pesan yang terkirim akan dipahami sebagaimana mestinya. Menurut Thayer26 walau bagaimana pun, setiap respons sesungguhnya mengandung setidaknya tiga “pesan” yang dapat difahami: “apa yang difahami komunikator tentang apa yang ia ucapkan, apa yang difahami oleh receiver tentang apa yang diucapkan oleh komunikator dan apa sebenarnya yang diucapkan oleh komunikator.
23
Lee Thayer, Communication ad Communication Systems..., 36-37. Wilbur Schramm, “The Meaning of Meaning”, dalam Wilbur Schramm (ed.), The Process and Effects of Mass Communication..., 112. 25 Ravault R. J. 1985a. “Resisting Media Imperaliasm by Coerseduction,” InterMedia, 13, no. 3 (May), 32-37. --1985b. “International Communication: Bullet or Boomerang? In David Paletz (ed.), Political Communication Research: Approaches, Studies, Assessments (Norwood, N. H.: Ablex), 245-265. 26 Lee Thayer, Communication ad Communication Systems..., 345. 24
33
Problematika Respons Pesan
Receiver yang pasif, menurut Ravault,27 dapat dianggap sebagai korban dari teori komunikasi yang menganggap bahwa receiver tidak dapat aktif. Walau bagaimanapun, Ravault membantah bahwa, ketika para receiver juga dapat menjadi aktif, mereka tidak dapat diperlakukan sebagai korban, oleh karenanya konseptualisasai dari sebuah proses komunikasi menjadi penting adanya. Kita sering kali mendapatkan fenomena ketika seorang receiver sebenarnya mampu memahami secara jelas maksud dari pesan yang disampaikan oleh originator, tetapi tetap saja ia tidak mengerjakan apa yang originitor inginkan tuk dikerjakan. Mengapa? Karena seperti dua orang yang lain, originator dan receiver dapat menginterpretasi pesan yang ada hanya jika pesan tersebut dianggap penting oleh keduanya. Kalau bukan karena otoritas originator atau “power” yang dimiliki oleh originator terhadap receiver, interpretasi originator terhadap pesan tidak akan seakurat interpretasi receiver sendiri. Seorang originator boleh saja mempunyai tujuan yang jelas dari apa yang ia sampaikan, tetapi interpretasinya terhadap pesan tidak lagi, karena memang ia yang membuat pesan tersebut, seakurat interpretasi yang dilakukan oleh receiver terhadap pesan yang sama.28 B.
DAI, MAD’U DAN PESAN DAKWAH Istilah dakwah tidak pernah mendapatkan definisi yang eksplisit dari Nabi Muhammad SAW, baik dari perilakunya maupun ucapannya. Oleh karenanya, dalam sejarah umat Islam, pengertian dakwah mengalami penyempitan dan perluasan makna.29 Dakwah bisa diartikan setiap kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah SWT sesuai dengan garis akidah, syariat dan akhlaq Islamiyyah. Secara kebahasaan, dakwah adalah kata dasar (masdar) dari kata kerja da'âyad'û yang berarti panggilan, seruan atau ajakan. Dalam Al-Quran, kata da’wah terdapat dalam 4 tempat; Al-Baqarah ayat 186, Ar-Ra'd ayat 14, ArRuum ayat 25 dan Al-Mu'min ayat 43. Dari empat ayat ini, dapat disimpulkan bahwa definisi kata dakwah menurut persepsi Al-Quran adalah panggilan,
27
114.
Sebagaimana dikutip Bakti dalam Communication and Family Planning...,
28
Lee Thayer, Communication ad Communication Systems, 138. Muhammad Sulthon, Menjawab Tantangan Zaman; Desain Ilmu Dakwah, Kajian Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Press, 2003), 12. 29
34
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
seruan, dan doa. Secara singkat Esposito mendefinisikan dakwah adalah Islam, dan Islam adalah dakwah.30 Dalam rangkain dakwah, dikenal fase “tabligh” yang merupakan fase kedua setelah dakwah. Dakwah yang merupakan ajakan dan seruan agar manusia masuk Islam atau mengajak orang-orang Islam untuk lebih berkomitmen kepada ajaran-ajaran Islam, dilanjutkan dengan “tabligh” yang merupakan penyajian dan pengajaran yang baik mengenai ajaran-ajaran Islam. Seperti halnya seseorang yang sedang mempersiapkan sebuah pesta pernikahan. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengundang orang-orang untuk hadir ke pesta tersebut baru kemudian menyajikan hidangan. Analogi inilah yang disampaikan Rasulullah ketika beliau menggambarkan dirinya dalam sebuah hadis yang menyatakan:
“aku adalah umpama seseorang yang mempersiapkan pesta pernikahan dan mengajak orang-orang untuk masuk ke dalamnya. Maka barang siapa yang memasukinya, niscaya dia akan menikmati hidangannya. Dan barang siapa yang tidak memasukinya, niscaya dia tidak akan merasakan hidangannya.” (H.R. Bukhari) Muhammad ‘Is}mat Bakar membedakan antara seorang dai dan muballigh dalam beberapa hal. Menurutnya, seorang dai tidak harus menjadi orang yang ahli dalam hukum-hukum syariat. Sedangkan muballigh harus benarbenar menguasai seluk beluk hukum-hukum syariat, sehingga ia mampu menyampaikan hukum-hukum Islam secara detil kepada masyarakat. Dan juga, seorang muballigh tidak harus mengetahui kebudayaan, kondisi sosial, bahasa suatu masyarakat, berbeda dengan seorang dai yang harus lebih dahulu mengetahui seluk beluk kondisi masyarakat yang akan dituju.31 Hal inilah yang dicontohkan oleh dai pertama, Nabi Muhammad SAW, yang memulai dakwahnya dari kalangan yang paling dikenalnya, yaitu istrinya, keluarganya, dan teman-teman karibnya. Dakwah Muhammad SAW pada mulanya dilakukan secara sembunyisembunyi karena situasi pada waktu itu belum memungkinkan penyampaian dakwah secara terang-terangan. Kemudian setelah pengikut Muhammad SAW bertambah dan beberpa pemuka Quraisy juga telah menganut agama Islam, barulah dakwah Islam itu disampaikan secara terang-terangan melalui masjid yang beliau bangun, dan melalui majlis-majlis ilmu.
30
Paul E. Walker, "Dakwah", dalam John L. Esposito (ed.), Ensiklopedi Oxford
Dunia Islam Modern, jilid 1 (Bandung: Penerbit Mizan, 2001). 31
Muh}ammad ‘Is}mat Bakar, “al-Farq bayna al-Da‘wah wa al-Tabli>gh wa alAmru bi al-Ma’ru>f wa al-Nahy ‘an al-Munkar,”Majalah al-Naba’ edisi no. 35, Rabiul Tsani, 1420.
35
Problematika Respons Pesan
Dakwah Muhammad SAW juga dilakukan dengan tulisan.32 Beliau pernah mengirim surat, yang berisi seruan, ajakan atau panggilan untuk menganut agama Islam kepada raja-raja dan kepala-kepala pemerintahan dari negara-negara yang bertetangga dengan negara Arab. Pasca wafatnya Muhammad SAW, kaum muslimin tidak lantas berhenti berdakwah. Mereka melanjutkan perjuangan menyebarkan risalah dakwah dengan mendirikan berbagai madrasah-madrasah untuk mempelajari fiqh, hadis, tafsir dan berbagai disiplin ilmu Islam lainnya. Bahkan Umar r.a pada masa pemerintahannya menjamin kehidupan para ulama sehingga mereka tidak perlu memikirkan apapun selain belajar dan mengajar. Kaum muslimin juga menyemarakkan menghafal Al-Quran dengan menyerahkan anak-anak mereka ke tangan para h}uffâdz (penghafal Al-Quran). Para penyair pun tidak ketinggalan mengambil peran mereka dalam dakwah dengan membuat syairsyair bernafaskan Islam. Dalam perkembangannya di Indonesia, dakwah disampaikan melalui cara dan sarana yang berbeda.33 Sebut saja Sunan Kalijaga yang menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Metode dan cara-cara yang dilakukan oleh para sahabat pasca wafatnya Rasulullah S.a.w, maupun para Walisongo adalah salah satu dari beberapa contoh sarana dakwah tradisional yang seiring zaman harus diadakan peremajaan, tentunya tanpa harus keluar dari garis asas metode dakwah yang digariskan oleh Allah S.W.T.34 Karena dunia kini dan masa depan adalah dunia yang dikuasai sains dan teknologi. Mereka yang memiliki keduanya akan menguasai dunia. Bila Islam ingin kembali memainkan perannya, tidak bisa tidak ia harus menguasai sains dan teknologi.35 32
1407 H).
Ibnu Kathi>r, al-Si>rah al-Nabawiyyah (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
33 T.W. Arnold, The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith (New Delhi: Aryan Books International, 2002). 34
Asas metode dakwah yang dimaksud adalah sebagaimana yang dijelaskan alQuran dalam surat al-Nahl ayat 125 yaitu dengan h{ikmah (dakwah dengan memberikan keterangan atau contoh tindakan real yang disarikan dari Al-Quran dan As-Sunnah demi memberikan kemaslahatan dan menghindari kemudharatan), maw’iz{ah h{asanah (perkataan kebenaraan yang menerangi dan memberikan efek di dalam hati agar tidak hanya dapat mengontrolnya tapi juga memberikan rasa rindu kepada keimanan) serta muja>dalah billati> hiya ah{san (dialog yang berdasarkan subjektivitas bukan pertengkaran). 35 Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif (Bandung: Penerbit Mizan 1995).
36
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Dalam perjalanan panjangnya, kesuksesan dakwah selalu dibebankan kepada dai.36 Dengan kata lain, agar dakwah dapat memberikan hasil maksimal, pesan-pesan dakwah harus disampaikan oleh para dai yang memiliki kualitas spiritualitas serta keilmuan yang tinggi.37 Fenomena aktualisasi metode dakwah dengan memanfaatkan media teknologi yang gencar dilakukan saat ini, seperti pemanfaatan teknologi Internet untuk berdakwah, telah memberikan paradigma baru mengenai kesuksesan dakwah, bahwa dai tidak lagi menjadi faktor utama dari diterimanya pesan-pesan dakwah secara maksimal oleh mad’u. Karena terbukti di dunia maya, mad’u tidak pasif menerima pesan-pesan dakwah. Mereka dengan aktif mengolah dan memaknai pesan-pesan yang mereka terima tanpa terpengaruh oleh identitas penyampainya. Pernyataan Ali bin Abi Thalib yang menyatakan “lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan”38 dengan jelas mendorong kita untuk menjadi penerima pesan yang objektif memaknai tanpa harus terpengaruh oleh identitas penyampai pesan. Seberapa pun hebat potensi seorang dai dalam menyampaikan, tetap saja potensi mad’u dalam mengolah dan memaknai pesan adalah faktor yang lebih menentukan kesuksesan tersampainya pesan-pesan dakwah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kesuksesan dakwah bergantung pada mad’u, tidak pada dai. Jika ditinjau dari sudut pandang psikologi dakwah, ketika dakwah dilakukan terhadap seorang individu, perubahan individu harus diwujudkan dalam satu landasan yang kokoh serta berkaitan erat dengannya, sehingga perubahan yang terjadi pada dirinya itu menciptakan arus, gelombang atau paling tidak yang menyentuh orang lain. Hal ini dikarenakan setiap individu tumbuh atas dua kekuatan yaitu kekuatan dari dalam yang sudah dibawa sejak lahir yang sering juga disebut kemampuan-kemampuan dasar dan kekuatan luar
36 Hasanuddin, Manajemen Dakwah (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005), 79, Fathul Bari An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah: Bekal Perjuangan Para Dai (Jakarta: Amzah, 2008), 134. 37 Muhammad Rajab al-Shatiwi, al-Da‘wah al-Isla>miyyah fi D}aw’i al-Kita>b wa al-Sunnah, (Kairo: Dar al-Thiba'ah al-Muhammadiyyah, 1990), Muh}ammad Amh}azu>n, Manhaj Nabi fi al-Da‘wah min Khila>l al-Si>rah al-S}ah}i>h}ah, (Kairo: Darussalam, 2003), ‘Abdullah Na>s}ih ‘Ulwa>n, Silsilah Madrasah al-Du’a>t (Kairo: Darussalam, 2004), ‘Abdul Kari>m Zayda>n, Us}u>l al-Da’wah (Beirut: Muassah al-Risalah, 2001), ‘Ali ‘Abdul H}ali>m Mah}mu>d, Fiqh al-Da‘wah al-Fardiyyah (Mesir: Da>r al-Wafa>’, 1992), Ahmad Ahmad Ghalwush, al-Da‘wah al-Isla>miyyah: Us}u>luha> wa Wasa’>iluha> (Kairo: Da>r al-Kutub alMas}ri>, 1987), Fikih Dakwah, Memahami Permasalahan Fikih Dakwah (PT. Mitra Cahaya Utama, 2006). 38 ‘Abdul Wahi>d bin Muh}ammad bin ‘Abdul Wahi>d al-Aqdami> al-Tami>mi>, Ghurar al-H}ikam wa Durar al-Kalim, (Mathba’ah al-‘Irfan, 1931) Fashl 85 hadits ke 40 dengan redaksi La> tanz}ur ila> man qa>la wa unz}ur ila> ma> qi>la.
37
Problematika Respons Pesan
yang merupakan pengaruh lingkungannya.39 Berdasarkan hal tersebut, pesanpesan dakwah yang diterima oleh mad’u akan melalui beragam proses penyaringan. Seorang mad’u tidak akan menelan mentah-mentah beragam pesan dakwah yang diterimanya. Seberapapun hebat seorang dai dalam menyampaikan pesan-pesan dakwahnya, tetap saja otoritas selektifitas berada di tangan mad’u. Secara teoritis, dalam kegiatan komunikasi dan dakwah terdapat paralelisme yang sifatnya saling isi mengisi dan melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Adanya aktivitas komunikasi memungkinkan terlaksananya kegiatan dakwah, begitu juga, dengan berdakwah berarti terlaksana pula tugastugas komunikasi. Aktifitas dakwah hakekatnya adalah komunikasi dalam pengertian secara khusus.40 Lebih rinci Toto Tasmara menjelaskan kekhususan dakwah dari komunikasi, bahwa dakwah itu adalah juga merupakan suatu proses komunikasi, tetapi tidak semua proses komunikasi merupakan proses dakwah. Dengan demikian dakwah itu merupakan suatu bentuk komunikasi yang khas, yang dapat dibedakan dari bentuk komunikasi lainnya dalam beberapa hal sebagai berikut41: 1. Siapa pelakunya (komunikator) 2. Apa pesan-pesannya (message) 3. Bagaimanakah caranya (approach) 4. Apakah tujuannya (destination) Sedangkan dalam komunikasi dakwah dpat dijelaskan sebagai berikut: 1. 2.
3. 4. 5.
Sumber (source) : Al-Quran dan Sunnah Komunikator : a. Khusus : Ulama (t}a>ifah liyatafaqqah fi al-di>n) b. Umum: setiap muslim dan muslimat yang mukallaf Pesan (message) : al-Quran dan Sunnah, penjabaran al Quran dan Sunnah dalam kehidupan. Approach : Hikmah, kasih saying dan persuasif. Tujuan : Perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan isi dan harapan dari pesan yang disampaikan serta terwujudnya amal shaleh yaitu perbuatan yang selaras dengan Quran dan Sunnah.
39
Faizah dan Lalu Muchsin Effendi, Psikologi Dakwah (Jakarta: Kencana, 2006), 70-73. 40 M. Bahri Ghazali, Da’wah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Da’wah (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997), 13. 41 Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), 39.
38
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Usaha Toto Tasmara untuk mensinergikan antara komunikasi dan dakwah diatas sayangnya tidak berlandaskan pada teori komunikasi yang valid. Menurut penulis, untuk mensinergikan antara dakwah dan komunikasi, lebih tepat jika kita tinjau dari proses bagaimana komunikasi terjadi kemudian disinkronisasikan dengan proses dakwah. Sinkronisasi tersebut dapat dilihat dari proses komunikasi yang dipola oleh Lasswell sebagai berikut:
Says what?
Who?
In what Channel?
To whom?
With what effect?
Dalam ilmu komunikasi:
Komunikator
pesan
media
komunikan
efek
Dalam ilmu dakwah:
Dai
Pesan dakwah
Media dakwah
Mad’u
efek
Jika kita kembali kepada pembahasan otoritas respons pesan dalam keduanya (kajian komunikasi dan dakwah), pada bab ini penulis menyimpulkan bahwa penerima pesan (komunikan atau mad’u) secara aktif mengolah pesan yang mereka terima. Hal ini menunjukkan bahwa pemaknaan (yang merupakan salah satu bentuk respons pesan) berada pada otoritas receiver atau mad’u. Seberapa pun hebat potensi seorang komunikator/dai dalam menyampaikan suatu pesan, tetap saja potensi receiver/mad’u dalam mengolah dan memaknai pesan adalah faktor yang lebih menentukan kesuksesan tersampainya pesanpesan dakwah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kesuksesan komunikasi/dakwah bergantung kepada komunikan/mad’u, tidak pada komunikator/dai Kesimpulan ini sejalan dengan ayat al-Quran yang menyatakan :
ﻓﺬﻛ ّ ﺮ إن ﻧﻔﻌﺖ اﻟﺬﻛﺮى “Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat.” (Q. S al-A’la, 9)
39
Problematika Respons Pesan
Al-Jurja>ni dalam Tafsir al-Qurt}ubi menyatakan bahwa ayat ini menjelaskan kewajiban untuk memberikan peringatan (al-tadzakkur) walau kadang tidak bermanfaat. Penjelasan al-Jurja>ni ini menekankan bahwa apa yang dapat kita lakukan hanyalah berusaha menyampaikan pesan, tanpa dapat memastikan efek dari pesan tersebut pada diri komunikan. Hal serupa juga tersurat dalam firman Allah yang menyatakan
ﻓﺬﻛ ّﺮ إﻧﻤﺎ أﻧﺖ ﻣﺬﻛ ّ ﺮ ﻟﺴﺖ ﻋﻠﯿﮭﻢ ﺑﻤﺼﯿﻄﺮ “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan dan kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka” (Q.S al-Ghas}iyah, 22-23).
40
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
41
MENYIBAK TABIR MENGGALI KUBUR “The Internet is changing the face of religion worldwide” (Lorne L. Dawson and Douglas E.Cowan) Setelah memaparkan secara teoritis bagaimana suatu pesan direspon oleh penerimanya dari sudut pandang komunikasi dan dakwah, maka pada bab ini penulis secara spesifik akan menampilkan bagaimana profil tempat di mana pesan-pesan tersebut berada, yaitu dunia maya. Dunia maya merupakan dunia yang memiliki pesona, fenomena, serta permasalahan tersendiri. Dalam konteks kajian Internet dan gama, khususnya bagi para Dai, penulis melihat bahwa Internet lambat laun akan menjadi “kubur” bagi para Dai. Internet dengan kecanggihan dan beragam fasilitas yang “memanjakan” para penggunanya menjadi tantangan tersendiri bagi para Dai. Pesan-pesan keagamaan yang selama ini disampaikan dalam ruang yang terbatas semakin lama semakin ditinggalkan. Masyarakat lebih memilih untuk mengisi asupan keagamaan mereka melalui dunia maya. Bahkan mereka mulai tertarik untuk “menghijrahkan” atribut keagamaan mereka ke dunia maya. Pembahasan pada bab ini sejatinya akan mengupas seberapa hebat kekuatan Internet, pesona tata ruang maya yang memikat banyak orang – termasuk kalangan agamawan, problematika pemindahan atribut keagamaan ke dalamnya serta bagaimana para Dai menyikapi hal ini. Pembahasan ini menjadi penting untuk membangunkan para Dai dari tidur panjangnya. Internet yang terus berbenah mempercanggih diri jika tidak diiringi dengan peremajaan konsep dakwah, dengan sendirinya akan menjadi kubur bagi para Dai. A. 1.
INTERNET Profil Jaringan Superhighway Jaringan arus lalu lintas tingkat tinggi atau biasa disebut “Superhighway” merupakan gelar yang pantas diberikan bagi Internet. Sebuah interconnected-networking yang menghubungkan ratusan bahkan ribuan komputer dengan menggunakan sistem yang terhubung secara global dengan TCP/ IP1 sebagai protokol pertukaran paket (packet switching communication
1
TCP/ IP (Transmission Control Protocol/ Internet Protocol) adalah protokol yang digunakan untuk menangani komunikasi antara dua sistem di Internet. Protokol sendiri adalah suatu cara yang digunakan untuk mengontrol atau membuat sebuah koneksi atau komunikasi antar computer. Bagian “IP” dari pasangan TCPI/IP bertugas
Menyibak Tabir Menggali Kubur
protocol) telah membuka arus lalu lintas informasi yang dahulu tidak pernah dibayangkan. Pada tahun 1995, tepatnya pada tanggal 24 Oktober, The Federal Networking Council (FNC) merumuskan definisi terma “Internet”. Menurut FNC, Internet adalah sebuah sistem informasi global yang— 1. Secara logis terhubung satu sama lain dengan sebuah “alamat” khusus berdasarkan Internet Protocol (IP) 2. Mampu mendukung proses komunikasi dengan menggunakan perangkat Transmission Control Protocol/ Internet Protocol (TCP/ IP) 3. Menyediakan kemudahan akses agar dapat digunakan secara umum atau pribadi. Layanan berkomunikasi tingkat tinggi, lengkap dengan infrastruktur canggih yang menopangnya, terurai di dalamnya.2 Ketika melacak embrio perkembangan Internet, kita menemukan fakta menarik bahwa pada bulan April tahun 1746, di sebuah biara agung daerah Carthusians, Paris, sekitar dua ratus biarawan berbaris membentuk sebuah garis panjang. Setiap biarawan memegang ujung kawat besi sepanjang 25 kaki. Biarawan dan kawat penghubung yang mereka pegang tersebut membentuk sebuah garis kawat yang saling berhubungan satu sama lain sepanjang lebih dari 1 mil. Ketika kawat sudah tersambung semua, Jean-Antonie Nollet, seorang ilmuwan Prancis ternama, mengambil sebuah baterei listrik dan, tanpa peringatan sebelumnya, menyambungkannya dengan kawat yang berada di tangan para biarawan—memberikan mereka kejutan listrik yang kuat. Saat itu Nollet tidak sedang bermain-main dengan para biarawan, ia sedang melakukan sebuah eksperimen penting dalam dunia keilmuan. Ia sedang meneliti seberapa jauh sebuah aliran listrik dapat ditransmisikan dan seberapa cepat proses transmisi tersebut berlangsung. Teriakan serta getaran tubuh para biarawan (akibat setruman) yang terjadi secara simultan sepanjang lebih dari 1 mil menunjukkan bahwa listrik dapat ditransmisikan dalam jarak yang lumayan jauh dan proses transmisi terjadi secara instan. Hasil eksperimen ini merupakan hal yang luar biasa. Eksperimen yang dilakukan oleh Nollet dan lain-lain menunjukkan bahwa arus listrik juga mampu bertransmisi jarak jauh secara instan. Tidak menulisi alamat tujuan di paket data, sedang “TCP” memberi nomor urut , agat terkirim ke alamat yang dituju dan juga mudah dalam penyusunnya kembali nanti. 2 Raymond Greenlaw dan Ellen Hepp, In-line/ On-line: Fundamentals of the Internet and the World Wide Web (New York: McGraw Hill, 2002), 99.
42
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
seperti cahaya, arus listrik dapat ditransmisikan melalui kawat dan di setiap penjuru. Hal ini berarti jika sebuah getaran arus listrik diatur pada saat jam satu melalui kawat sepanjang setengah mil yang membentang dari gereja menuju tempat biarawan, maka biarawan tersebut akan mengetahui secara tepat jam berapa saat itu, walaupun ketika itu ia berada di bawah tanah atau di dalam sebuah ruangan atau di tempat yang tidak terlihat dari menara jam. Listrik menjanjikan kecepatan penyampaian sinyal dari satu tempat ke tempat yang lain, kapanpun, dalam sehari. Adalah Claude Chappe, salah seorang peneliti yang berusaha memanfaatkan aliran listrik untuk mengirimkan pesan dari satu tempat ke tempat yang lain. Ia menemukan cara mengirim pesan dengan membuat dentang suara dari sebuah kuali yang dipukul. Suara dentangan ini dapat terdengar dalam jarak sekitar seperempat mil. Bunyi dentangan tersebut nantinya akan disingkronkan dengan jam yang didisain khusus oleh Chappe. Jam yang didisain khusus oleh Chappe tersebut tidak mempunyai jarum yang menunjukkan jam dan menit, tapi hanya memiliki jarum detik yang berputar dua kali dalam satu menit dengan kecepatan seperti biasa. Dan jam tersebut hanya memiliki 10 angka saja dari yang biasanya berjumlah 12. Untuk mengirimkan pesan, Claude Chappe dan adiknya Rane pertamatama mencocokkan jam mereka masing-masing kemudian mengambil tempat terpisah sekitar ratusan yard. Chappe kemudian akan membuat dentangan ketika jarum detik menunjuk ke angka 12, sehingga adiknya dapat menyesuaikan jam yang di tangannya. Setelah jarum detik mulai bergerak melewati angka 12, Chappe kemudian mengirimkan sinyal angka-angka dengan membuat dentangan. Dengan menggunakan rumusan angka yang sudah disiapkan dalam sebuah buku kode, Rane kemudian menerjemahkan dentangandentangan tersebut menjadi huruf-huruf, kata-kata, dan kalimat. Dengan begitu mereka telah berhasil mengirim pesan singkat. Tidak berhenti disitu, Chappe dan adiknya terus menyempurnakan disain yang lama agar dapat mengirimkan pesan yang kompleks dengan sinyal yang sederhana. Akhirnya mereka menggunakan sebuah panel kayu yang dapat berputar, dengan tinggi sekitar lima kaki, di satu sisinya diberi warna hitam, dan sisi lain diberi warna putih. Dengan menggerakkannya dari satu warna ke warna lain-sebagaimana dalam jam, di mana jarum detik bergerak dari satu angka ke angka yang lain-Chappe dapat mengirim angka-angka. Disain yang telah disempurnakan ini mempunyai kelebihan dapat mengirimkan pesan ke jarak yang sangat jauh dengan sangat cepat-terutama jika mengunakan teleskop untuk mengamati panel. Pada tangal 2 Maret 1791, pukul 11 pagi, Chappe dan adiknya menggunakan peralatan mereka (panel hitam-putih, jam, teleskop dan buku
43
Menyibak Tabir Menggali Kubur
kode) untuk mengirimkan pesan dari satu benteng di kota mereka Brulon, sebelah utara kota Prancis, ke sebauh rumah di daerah Parce yang berjarak 10 mil. Dengan dihadiri para staf lokal kerajaan, dengan alat tersebut, Chappe dan adiknya mampu mengirimkan sebuah kalimat yang dipilih oleh seorang doktor di tempat tersebut yang berbunyi “SI VOUS REUSSISSEZ, VOUS SEREZ BIENTOT COUVER DE GLOIRE” (apabila kamu sukses, kamu akan segera menikmati kejayaan) dari satu tempat ke tempat yang lain. Chappe menyebut penemuannya tersebut dengan “tachygraphe.” Sebuah kata Yunani yang berarti “fast writer” (penulis cepat)—untuk menunjukkan sebuah kecepatan yang belum pernah dapat ditempuh dalam mengirimkan pesan. Setelah penemuannya tersebut, ia berdiskusi dengan temannya yang bernama Miot de Melito, seorang pegawai pemerintahan juga seorang sarjana klasik, yang mengusulkan nama “telegraphe,” atau “far writer” (penulis jarak jauh).3 Dari penemuan inilah kemudian terjadi mata rantai yang panjang menuju revolusi komunikasi yang diakui Tom Standage, bahwa segala penemuan di bidang telekomunikasi pasca ditemukannya telegraf ini, sejatinya hanyalah pengembangan dari telegraf itu sendiri. Jadi tidak berlebihan jika dikatakan bahwa telegraf merupakan merupakan cikal bakal lahirnya sebuah jaringan superhighway. Sejak ditemukannya telegraf, media komunikasi terus menunjukkan progresnya, hingga pada bulan July tahun 1945, Vanner Bush, seorang sarjana engineering, menerbitkan sebuah esei yang sudah ditulisnya semenjak sebelum terjadinya perang dengan judul “As We May Think.”4 Dalam eseinya tersebut, Bush mengungkapkan bahwa permasalahan terbesar yang dihadapi para ilmuwan setelah perang adalah information overload (banjir informasi). Untuk mengatasi masalah ini, Bush mengajukan dua solusi: microphotography dan cathode ray tube. Yang pertama berguna untuk mereduksi buku The Encyclopedia Britanica ke dalam sebuah the volume of a matchbox. Sedangkan yang kedua, berguna untuk memunculkan teks dan gambar pada sebuah layar kaca. Satukan dua kemungkinan tersebut, tulis Bush, maka anda akan dapat membuat sebuah alat yang memungkin individu untuk menyimpan banyak buku, rekaman, komunikasi dan diatur oleh sebuah sistem tertentu sehingga
3
Tom Standage, The Victorian Internet; The Remarkable Story of the Telegraph an the Nineteenth Century’s Online Pioneers (America: Walker Publishing
Company, 1998), 1-17. 4 Esei Vanner Bush ini dipublish online oleh The Atlantic Monthly; July 1945; “As We May Think”; Volume 176, No. 1; 101-108 dengan alamat http://www.theatlantic.com/past/docs/unbound/flashbks/computer/bushf.htm
44
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
dapat diakses dengan tingkat kecepatan dan fleksibelitas yang tinggi. Bush menyebut mesin usulannya tersebut dengan nama “memex.” Lebih detail, Bush menjelaskan bahwa memex memiliki fitur layar bening (translucent screens) yang dapat memproyeksikan material agar dapat dibaca dengan baik. Mempunyai keyboard, dan beberapa tombol serta lever. Bentuknya tidak jauh berbeda dari meja tulis biasa. Semua entry yang ada di memex dapat disusun berdasarkan judul dan subjek layaknya sebuah perpustakaan, tetapi para penggunanya juga dapat berpindah dari satu item ke item yang lain secara langsung melalui apa yang Bush sebut sebagai “trails”. Dengan “trails” ini, setiap kali seorang peneliti membuat file baru, dia dapat, dengan mengetikkan kode, tersambung ke file lain yang ia pilih. Jadi, setiap orang yang melihat file pertama dapat melihat ke file-file lain yang tergabung di dalamnya dengan mengetikkan beberapa tombol. Memex yang diusulkan Bush memang belum bahkan tidak pernah terwujud, tetapi informasi tentang “trials” yang digagas Bush dalam mesin memex-nya tersebut merupakan sebuah cikal bakal terwujudnya sebuah jaring dunia (World Wide Web).5 Tentang sejarah kelahiran Internet, seseorang boleh saja mengatakan bahwa Internet lahir dari sebuah koneksi pertama yang menyambungkan antar dua komputer; tetapi tidak ada yang tahu kapan dan di mana pastinya kejadian itu terjadi. Yang pasti pada tahun 1950an, U.S Air Force mengembangkan sebuah sistem radar bernama SAGE (Semi-Automatic Ground Environment), yang dibangun berdasarkan komunikasi antar komputer dari beberapa tempat yang berbeda dengan menggunakan modem. Dari ranah bisnis, SABRE airline telah menggunakan sistem reservasi secara online dengan menggunakan dua mainframe komputer IBM 7090 pada tahun 1960. Tetapi siapa yang tahu kalau ternyata ada peneliti lain dari negri-negri industri yang sudah atau sedang melakukan proyek sejenis pada waktu yang sama. Di sisi lain, ketika komputer-komputer tersebut saling berkomunikasi, tidak berarti mereka saling terhubungkan dalam satu jaringan (networked) yang memungkinkan bagi tiap sistem komputer untuk mengakses sumber-sumber data yang terdapat di sistem komputer lainnya. Hal ini belum dapat dilakukan, karena harus menunggu sebuah jaringan komputer pertama di dunia yaitu the Advanced Research Projects Agency Network atau ARPANET. Secara garis besar, cerita tentang Internet bermula ketika pada tahun 1957 di mana pada tahun itu Uni Soviet berhasil meluncurkan “Sputnik”, yaitu satelit bumi buatan pertama. Hal ini menimbulkan ketakutan bagi negri adidaya seperti Amerika Serikat, sehingga pihak Pentagon merasa perlu untuk 5
John Cassidy, Dot.con: The Greatest Story Ever Sold (Perctbound), 9-12.
45
Menyibak Tabir Menggali Kubur
membentuk sebuah lembaga riset dalam bidang penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi agar dapat membantu militer negara. Maka dari situlah dibentuk The Advanced Research Project Agency (ARPA) yang selanjutnya membangun sebuah jaringan yang bernama ARPANET. 6 Pada tahun 1962, konsep tentang jaringan global pertama kali muncul ketika Joseph Carl Robnett Licklider dari MIT mempresentasikan idenya mengenai seperangkat komputer yang saling berhubungan, dikenal dengan “Galactic Network.” Licklider sukses meyakinkan para penerusnya tentang urgensi konsep jaringan komputernya tersebut, dan pada tahun 1966 Robert Taylor mengusulkan konsep jaringan tersebut sebagai solusi dari permasalahan tingginya biaya pemeliharaan 17 housed mainframes yang tersebar di masingmasing pusat riset di dalam negri. Pada dasarnya, walaupun banyak yang mengatakan bahwa Internet diciptakan untuk merespon ancaman serangan nuklir, kepentingan efisiensi dana serta peningkatan dunia keilmuwan adalah dua hal pokok yang mendorong ARPA untuk mendanai proyek pembuatan jaringan komputer. Tahun 1967, Lawrence Robert, dengan menggabungkan pemikiran Licklider dan ide packet switiching, membuat disain jaringan komputer pertama yang nantinya dikenal dengan nama ARPANET, sebuah jaringan ARPA yang merupakan cikal bakal dari Internet.7
\ Gambar 4. Diagram awal mula jaringan ARPANET. 6
Michael A. Banks, On The Way to The Web: The Secret History of The Internet and Its Founders (Apress, 2008), 1-2. 7 Pierre-LéonardHarvey dan Karine Vigneault. "Internet." Encyclopedia of Distributed Learning. 2003. SAGE Publications. http://www.sage-
ereference.com/distributedlearning/Article_n89.html, diakses tanggal 4 Apr. 2010.
46
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Jaringan ARPANET pertama digunakan di University of California, Los Angeles (UCLA) pada September 1969. Diagram pertama (diagram sebelah kiri di gambar.1) menunjukkan node (host) pertama dari sebuah jaringan (#1 IMP) yang tersambung ke mainframe computer8 (1 Host, a Sigma 7 model) di UCLA pada tahun 1969. Gambar diagram jaringan sederhana ini merupakan bukti signifikan yang menunjukkan pentingnya momen tersebut dalam sejarah karena jaringan yang tersambung dari mainframe ke penerjemah pesan saat itu telah mewujudkan adanya lokasi pertama di cyberspace. Diagram kedua (diagram sebelah kanan di gambar 4.) menunjukkan percobaan konfigurasi ARPANET dengan empat nodes pada akhir tahun 1969.Nodes/ hosts jaringan digambarkan dalam bentuk lingkaran, yang diberi no urut instalasi. Jadi pertama adalah UCLA, kemudian SRI (Standford Research Institute), kemudian UCSB (University of California Santa Barbara) dan terakhir University of Utah. Jaringan antar nodes, melalui line telfon khusus, ditunjukkan dengan garis lurus. Sedangkan kotak bujur sangkar pada gambar tersebut menunjukkan jumlah unit komputer yang tersambung dengan jaringan dan masing-masing diberi nama khusus-misalnya, PDP10 (buatan DEC) dan 360 (dari IBM).9Empat nodes/hosts inilah yang kemudian diyakini sebagai embrio jaringan superhighway yang ada saat ini. Dalam perkembangannya, Internet mengalami banyak inovasi, beragam isu mengenai Internet di masa depan pun bermuculan. Di antaranya adalah mewujudkan multilingual domain names. Di mana 80% dari planet bumi ini menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama mereka, secara natural, hal ini membangkitkan keinginan untuk dapat menggunakan bahasa masing-masing di Internet. Untuk mewujudkannya saat ini memang sangatlah sulit. Tetapi banyak orang percaya bahwa hal ini akan terwujud. Jika benar-benar terjadi, tentunya akan membuat perubahan signifikan pada Internet di masa depan. Isu lain tentang masa depan Internet adalah kontrol terhadap softwaresoftware ilegal, pembajakan musik dan pornografi. Masalah-masalah tersebut terus berlanjut, begitu juga dengan worm, virus dan spam. Saat ini worm dan virus telah mampu melemahkan Internet untuk dapat bebas berkembang di dalamnya. Mengingat Internet dibangun untuk beragam tujuan, maka beragam usaha untuk membangun sebuah sistem security yang lebih baik adalah mutlak dibutuhkan. Menurut Zittrain, dikarenakan sifat Internet yang terbuka untuk siapa saja, beragam “kode-kode asing” dapat masuk dan merubah sistem
8
data.
Mainframe adalah jenis komputer generasi pertama yang dijadikan pusat
9 Martin Dodge dan Rob Kitchin, Atlas of Cyberspace (Britain: Person Education Ltd, 2001), 29-30.
47
Menyibak Tabir Menggali Kubur
Internet.10 Hal ini tentunya membuat Internet tidak hanya berisi manfaat, tetapi juga sesak dengan sampah-sampah kotor. Selain dua isu di atas, isu ketersediaan akses untuk semua orang di semua negara tidak dapat diacuhkan. Hal ini tentunya menyangkut biaya yang terjangkau, serta kecanggihan Internet untuk memperluas jaringan di berbagai pelosok dunia. 11 Mengenai ketersediaan akses Internet, Claffy dari University of California mengingatkan kita tentang batas kemampuan Internet. Ia mengatakan dalam pertemuan American Association for the Advancement of Science, “we know even now that we are at some fundamental limits of what
the Internet can handle. We have one big expectation—being able to innovate.” Peringatan Claffy ini berdasarkan observasi yang menunjukkan bahwa infrastruktur Internet, sebagian besarnya, tersembunyi. Di Amerika Serikat, ada ratusan ISP (Internet Service Provider) yang mengatur lintasan Internet. Setiap ISP telah membuat kesepakatan di antara mereka untuk berbagi jalur. Kesepakatan tersebut seakan berbunyi if you move my bits, I’ll move yours. Bagaimanapun juga, kesepakatan tersebut tidak hanya idependen dan tak diatur tetapi juga tersembunyi. Dengan begini, menjadi tidak mungkin untuk memahami bagaimana lalu lintas nantinya akan dialihkan ketika, misalnya, satu jalur terputus. Menjadi tidak mungkin memahami seberapa kuat keseluruhan sistem ketika terjadi kesalahan. Menjadi tidak mungkin utuk memetakan keseluruhan struktur Internet. Dan juga menjadi sulit untuk memprediksi bagaimana Internet akan berkembang. Satu hal yang sudah pasti bahwa Internet akan terus tumbuh, hanya saja kita tidak tahu bahwa apakah sistem yang sekarang dipakai untuk menunjukkan isi yang ada di Internet akan dapat mengakomodasi pertumbuhan tersebut. Setiap lokasi di Internet-setiap website, setiap user-telah terhubung dengan alamat yang spesifik, yang dikenal dengan Internet Protocol (IP). Sistem addressing yang dipakai saat ini-disebut Ipv4- telah memiliki sekitar 4 milyar alamat yang tersedia. Sekitar dua tahun, Internet diperkirakan akan melebihi kapasitas alamat yang tersedia.12 Oleh karenanya, para peneliti saat ini sedang
10 Jonathan L. Zittrain, The Future of The Internet and How to Stop It (New Haven & London: Yale University Press, 2008). 11 Ian Peter, “Future History of The Internet,” diakses online dari http://www.nethistory.info/History%20of%20the%20Internet/future.html pada tanggal 27 Juli 2010. 12 Michael Moyer, “The (Good and Bad) Future of The Internet,” diakses online dari http://www.scientificamerican.com/blog pada tanggal 04/07/2010. Pembahasan lebih mendalam tentang pengembangan sistem addressing ini, baca artikel Geoff Huston, “Addressing The Future Internet,” di http://www.circleid.com/posts/addressing_the_future_Internet/.
48
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
mengembangkan sebuah sistem addressing generasi baru-disebut Ipv6 Systemyang menyediakan alamat yang cukup hingga masa akhir dunia. Tidak hanya pengembangan sistem addressing, kecepatan akses Internet juga menjadi isu yang muncul dalam wacana masa depan Internet. Sebuah teknologi bernama 'Grid' diklaim 10.000 kali lebih cepat daripada koneksi broadband Internet yang ada sekarang. 'Grid' pun disebut-sebut akan menggantikan Internet di masa depan. 'Grid' disebut mampu mengunduh video film hanya dalam hitungan detik. Memang sulit dipercaya, namun 'Grid' ini dibesut oleh CERN, pusat penelitian ilmiah terkemuka Eropa yang dulu juga berjasa amat besar dalam mengembangkan World Wide Web. Seperti dikutip detikINET dari Telegraph.co.uk, Senin (7/4/2008), teknologi 'Grid' juga diklaim mampu mengirimkan gambar kualitas sangat tajam dengan cepat, game online secara bersamaan dengan jutaan pemain serta video telepon dengan ongkos murah. David Britton, profesor di Glasgow University yang memimpin penelitian menyatakan, 'Grid' bisa mengubah kehidupan masyarakat. Dengan kekuatan teknologinya, generasi masa depan akan berkomunikasi dengan cara yang tak terbayangkan oleh generasi masa kini.13 Selain kecepatan dan sistem addressing, aspek Internet routing juga menjadi perhatian para peneliti dalam memprediksi masa depan Internet. Ritesh Mukherjee mengajukan sebuah fitur protocol baru yang bernama LISP. LISP sendiri merupakan kependekan dari Locator ID Separation Protocol, sebuah standar baru tentang routing yang sedang didiskusikan di Internet Enginerring Task Force (IETF). Apa yang dijanjikan LISP ini tidak lebih dari kemampuan mengubah cara laju lalu lintas Internet sehingga dapat meningkatkan kecepatan serta menyediakan tabel routing efficiencies.
"LISP is more than just a feature or a protocol, it's like a new routing architecture," ucap Ritesh Mukherjee, manajer produksi LISP di Cisco, kepada InternetNews.com. "The original idea behind LISP was to solve the Internet's problem of growth in Internet routing tables in the core. " Mukherjee menambahkan bahwa LISP dapat memberikan manfaat lebih jauh,14 seperti membantu perusahaan-perusahaan untuk mensimplifikasi any-to-any WAN connectivity dan data center mobility untuk mengurangi biaya operasional.
13
Fino Yurio Kristo, “Internet Masa Depan 10.000 Kali Lebih Cepat?,” diakses online dari http://www.detikinet.com/read/2008/04/07/165130/919699/328/Internetmasa-depan-10000-kali-lebih-cepat pada tanggal 04/07/2010. 14 Sean Michael Kerner, “LISP: The Future of Internet Routing?,” diakses online dari http://itmanagement.earthweb.com/netsys/article.php/3885331/LISP-TheFuture-of-Internet-Routing.htm pada tanggal 04/07/10.
49
Menyibak Tabir Menggali Kubur
Saat ini, kita tidak dapat mengatakan bahwa Internet telah berhenti berinovasi. Internet, atau disebut jaringan (secara harfiah dan geografis), adalah sebuah “makhluk” yang tercipta dari induknya yang bernama komputer. Ia tidaklah sama seperti jaringan industri telepon atau televesi, ia akan, dan pastinya harus, terus berinovasi dan berkembang seiring laju industri komputer. Sesungguhnya pertanyaan paling mendesak mengenai masa depan Internet bukanlah bagaimana teknologi itu berubah, tetapi bagaiaman mengatur proses perubahan dan evolusi itu sendiri. Dalam sebuah artikel yang berjudul A Brief History of The Internet, Barry M. Leiner dkk menggambarkan bahwa arsitektur Internet selama ini telah diatur oleh sekelompok designer, tetapi “bentuk” dari kelompok designer sendiri telah berubah seiring dengan perkembangan pihak-pihak tertentu.15 Dengan suksesnya Internet, berarti telah mewujudkan perkembangbiakan para stakeholders yang saat ini tidak hanya para penanam saham finansial, tetapi juga intelektual, dalam sebuah jaringan. Saat ini, kita mendapatkan perdebatan mengenai kontrol atas sebuah domain dan IP address, sebuah usaha untuk menemukan struktur sosial berikutnya yang akan memandu Internet di masa depan. Menemukan struktur sosial yang cocok tentunya sangatah sulit, mengingat ada sekian banyak stakeholders. Apabila Internet mengalami kemandekan, tentunya bukan karena ketiadaan teknologi, visi atau motivasi. Tetapi karena kita tidak dapat menentukan arah dan berbaris bersama menuju masa depan. Sebuah web dan segala yang terjadi di dalamnya, bergantung pada dua hal; teknis protocol dan kesepakatan sosial. Teknis protocol, seperti HTTP dan HTML, menentukan bagaimana komputer dapat berinteraksi. Sedangkan kesepakatan soial, seperti dorongan untuk membuat link-link ke sumber-sumber yang berharga, atau peraturan-pertaturan tentang perikatan di jaringan sosial suatu website, adalah tentang bagaimana masyarakat suka, dan seharusnya, berinteraksi dalam masyarakat. Jadi bagaimana kita dapat merencanakan masa depan web yang lebih baik untuk masa depan masyarakat yang lebih baik? Menurut Berners-Lee, kita memastikan bahwa dua hal yang menentukan Internet tadi (teknis protocol dan kesepakatan sosial) menghormati nilai-ninilai dasar. Yaitu bahwa web harus tetap menjadi platform yang universal: independen dari peralatan hardware apapun, platfrom software, bahasa, budaya dan kelumpuhan. Oleh karena itu, suatu web tidak dapat dikontrol oleh satu perusahaan tertentu atau satu negara
15
Barry M. Leiner, Vinton G. Cerf, David D. Clark, dkk, “A Brief History of The Internet,” diakses online dari http://www.isoc.org/Internet/history/brief.shtml pada tanggal 27/06/2010.
50
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
tertentu.16 Dengan menghormati prinsip-prinsip dasar tersebut kita dapat memastikan bahwa teknologi web, seperti Internet, akan terus melayani sebagai sebuah pondasi yang dapat menerima hal-hal besar datang kepadanya 1.1. Dai dan Tantangan Jaringan Superhighway Pada sub bahasan sebelum ini, penulis telah mengemukakan profil teknologi paling anyar abad ini. Sebuah teknologi yang mampu mereduksi beragam batasan yang pernah ada selama perjalanan sejarah manusia. Teknologi yang membuka ruang baru bagi lalu lintas pertukaran informasi tingkat tinggi. Lalu, bagaimana seharusnya Dai menyikapi fenomena ini? Dalam melaksanakan tugasnya, para juru dakwah melandaskan kegiatan mereka pada metode-metode yang memang telah digariskan oleh para Nabi utusan Allah terdahulu.17 Tetapi bukan berarti metode dakwah berhenti berinovasi, metode dakwah harus terus berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan situasi dan kemajuan peradaban dan kebudayaan.18 Hal ini tentunya selaras dengan pernyataan Ibnu Mas’ud yang memerintahkan para pengemban dakwah untuk menyampaikan pesan-pesan Allah sesuai dengan kadar akal mereka agar tidak menjadi fitnah. Kadar akal yang dimaksudkan di atas tentunya bukan hanya kemampuan logis para mad’u, tetapi juga metode yang sesuai dengan kondisi zaman dan kebudayaan mad’u. Dakwah sebagai suatu kegiatan komunikasi keagamaan, ketika dihadapkan dengan perkembangan dan kemajuan teknologi komunikasi yang semakin canggih, seharusnya melakukan beberapa modifikasi. Artinya harus ada usaha peremajaan kemasan dakwah dengan memanfaatkan beberapa media komunikasi yang ada saat ini sehingga dakwah dapat menjadi lebih komunikatif.19 Di antara beragam tawaran media komunikasi yang ada, Internet merupakan media yang wajib dimanfaatkan demi kepentingan dakwah. Internet merupakan lahan subur bagi dakwah. Hal ini dapat dilihat jelas dari fenomena banyaknya masyarakat dunia yang mengaksesnya. Beragam 16 Berners-Lee, “The Future of The World Wide Web,” diakses online dari http://dig.csail.mit.edu/2007/03/01-ushouse-future-of-the-web pada tanggal 27/06/2010. 17 Metode yang dimaksud adalah metode yang dijelaskan dalam al-Quran dan Sunnah. Lebih lengkap tentang metode-metode ini, baca: Muh}ammad Ibra>hi>m alJayu>shi>, Mana>hij al-Da‘wah wa Asa>libuha> (2001) bandingkan dengan’Adna>n ‘Ali Ridha> al-Nah}wi, Daur al-Minha>j al-Rabba>niy fi al-Da‘wah al-Isla>miyyah (Riyadh: Mat}a>bi‘ alFarazdaq al-Tija>riyyah, 1985). 18 Amin Ahsan al-Isla>hi, Metode Dakwah Menuju Jalan Allah, terj. Mudzakir & Mulyana Syarief (Jakarta: Litera Antarnusa, 1985), 2-15. 19 Ghazali mengatakan bahwa dakwah yang menggunakan media komunikasi lebih efektif dan efisien atau dengan bahasa lain dakwah yang demikian merupakan dakwah yang komunikatif, lihat M. Bahri Ghazali, Dakwah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Dakwah (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997), 33.
51
Menyibak Tabir Menggali Kubur
informasi bertaburan di jagat Internet melewati mata, hati dan kepala para pengaksesnya. Mengapa kita tidak turut mewarnai informasi-informasi yang ada di jagat Internet dengan warna-warni Islam? Para pengguna Internet juga tergolong masyarakat dakwah yang kita wajib mengenalkan Islam kepada mereka.20 Mereka adalah manusia, yang jika ditinjau dari perspektif filsafat dakwah, butuh terhadap dakwah.21 Internet juga merupakan alat ampuh untuk berdakwah. Internet dengan segala kecanggihannya akan sangat membantu para juru dakwah dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah ke berbagai penjuru dunia. Oleh karenanya, para Dai harus lah meningkatkan kemampuan mereka khususnya kemampuan menggunakan teknologi ini dengan baik.22 Alat yang canggih akan menjadi rongsokan yang tak berarti jika kita tidak tau bagaimana menggunakannya. Salah satu unsur yang menjamin keberhasilan wasilah dakwah dalam suatu dakwah fardiyyah adalah kepanDaian dan kecerdasan Dai itu sendiri.23 Dan sayangnya kaum muslimin tidak memandang urgensi keahlian dan ketrampilan (skill) dalam dakwah.24 Hal ini bukan berarti di antara kaum muslimin tidak ada yang memiliki keahlian dan ketrampilan, tetapi mereka tidak memanfaatkannya untuk kepentingan dakwah Islam. Internet, di lain sisi, saat ini telah banyak dimanfaatkan oleh berbagai oknum dengan beragam bentuk penyalahgunaan. Sebut saja pornografi, datadata statistika tentang pornografi di Internet sangat mengejutkan. Jerry Ropelato, berdasarkan sumber-sumber terpercaya, mengungkapkan dalam situs www.toptenreviews.com bahwa setiap detik, $3,075.64 digunakan untuk pornografi. Setiap detik, 28.258 pengguna Internet melihat pornografi. Di detik yang sama, 372 pengguna Internet mengetikkan kata-kata pornografi di search engines. Setiap 39 menit, sebuah video porno terbaru selesai dibuat di Amerika
20 Miswan Thahadi, Quantum Dakwah & Tarbiyah: Menuju Kemenangan Islam di Pentas Peradaban (Jakarta: Penerbit Al-I’tishom, 2008).
21 Manusia banyak tahu tentang objek-objek di luar dirinya, dan kemudian mampu mengubah-ubah serta menguasai objek-objek tersebut bagi kepentingan dirinya yang secara kolektif telah menghasilkan peradaban dan kebudayaan manusia. Tetapi ketika manusia mempertanyakan hakikat dirinya sendiri, maka ia telah menemukan keterbatasannya. Pemikiran tentang diri akhirnya sampai kepada kenyataan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk religius yang punya kecenderungan untuk beragama dan berTuhan. Lebih lanjut, baca: Suisyanto, Pengantar Filsafat Dakwah (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2006), 46. 22 Abdul Basit, Wacana Dakwah Kontemporer (Yogyakarta: STAIN Purwekorto Press & Pustaka Pelajar, 2006), 233. 23 ‘Ali ‘Abdul H{ali>m Mah}mu>d, Fiqh al-Da‘wah al-Fardiyyah (Mesir: Dar alWafa>’, 1992). 24 Amin Ahsan al-Islahi, Metode Dakwah Menuju Jalan Allah, 2-15.
52
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Serikat.25 Lebih lanjut, Ropelato mengungkapkan bahwa sebenarnya pornografi di Internet merupakan bisnis yang sangat besar dan menjanjikan. Industri pornografi ternyata meraup kuntungan lebih besar dari para raksasa industri Internet lainnya seperti Microsoft, Google, Amazon, eBay, Yahoo, Apple dan Netflix. Pada tahun 2006, keuntungan industri pornografi menggelembung sampai $97.06 milliar! Fakta kejahatan pornografi di atas hanyalah satu dari sekian banyak bentuk-bentuk penyimpangan pemanfaatan Internet. Dalam hal ini, umat Islam seharusnya mengambil tindakan nyata dari sekedar mengumpat dan mencemooh oknum-oknum yang “mengotori” Internet. Tetapi bagaimana? Menurut ‘Ali Abu> al-Sa’u>d, media massa merupakan musuh terselubung yang memerangi kaum Muslimin dengan kata-kata, gambar dan fikiran. Oleh karenanya, umat Islam harus mampu membuat ‘media massa tandingan’ bernafaskan Islam yang dapat menghadirkan pesan-pesan Islam ke dalam fikiran dan hati manusia di seluruh penjuru dunia.26 Dalam konteks Internet, umat Islam berkewajiban memasukkan ‘satu paket lengkap’ tentang Islam ke dalamnya.27 Umat Islam harus berusaha memaksimalkan potensinya untuk kepentingan penyebaran dakwah Islam. “Islamisasi Internet” sebenarnya bukanlah perkara sulit jika setiap individu muslim mau mengusahakannya. Dimulai dari hal yang paling mudah, yaitu setiap individu muslim yang menggunakan Internet, setiap harinya, mengirimkan satu pesan Islam di Internet,28 baik melalui blog, situs-situs jaringan sosial, email atau ruang manapun dari sekian banyak ruang yang tersedia di Internet. John Daido Loori, seorang kepala biarawan yang juga pendiri homepage Biara Gunung Zen (http://www.mro.org/zmm), mengatakan “Jika Buddha mempunyai akses ke komputer, saya yakin dia akan menggunakannya. Sarana ini memang belum menimbulkan keakraban tatap muka, kehadiran, merasakan energi. Anda tahu, salah satu ciri seni lukis Cina adalah bahwa jika anda tidak menangkap chi-jika anda melukis gunung, tetapi anda tidak memiliki 25
Jerry Ropelato, “Internet Pornography Statistics”, diakses online dari http://Internet-filter-review.toptenreviews.com/Internet-pornography-statistics.html pada tanggal 22-12-2010. 26 ‘Abdu Rabbi al-Nabi> ‘Ali Abu> al-Sa‘u>d, al-Takht}i>t} li al-Da‘wah alIsla>miyyah wa Ahammiyatuhu (Kairo: Maktabah Wahbah, 1992), 91. 27 ‘Abd al-Maji>d Syukri>, komentar terhadap makalah Harun Salamat yang berjudul “Istikhda>m al-Shabakah al-Dawliyyah li al-Ma’lu>ma>t (al-Internet) fi> Maja>l alDa‘wah al-Isla>miyyah” dalam seminar yang diadakan oleh al-Markaz al-I’la>miy li alQiya>dah al-Sha’biyyah al-Isla>miyyah al-‘A>lamiyyah dengan tema “Nah{wa I’la>m Isla>mi> Fa>’ilun wa Muaththirun” di Tripoli pada bulan Maret 1998. 28 Muhammad Ismail Thalib, “Satu Hari, Satu Informasi,” Koran Harian Republika, Senin 7 Desember 2009.
53
Menyibak Tabir Menggali Kubur
chi gunung dalam lukisan, maka lukisan anda tidak bernyawa. Dan ini berlaku juga untuk foto maupun gambar. Karya seni harus memiliki chi agar hidup. Demikian juga dengan kata-kata. Dan kita menyebut kata-kata dengan kata yang ‘hidup’, chi, alih-alih kata yang ‘mati’. Kata yang hidup adalah kata yang penting, dan mengubah kata dapat terjadi melalui suara, mengetikkan di komputer, atau menulis sebagai kata dalam buku.”29 Pernyataan Loori diatas tentunya mengisyaratkan potensi yang dimiliki Internet untuk menyebarkan ajaran keagamaan Buddha. Kesadaran inilah seharusnya yang juga dimiliki oleh para Dai. Adalah suatu fenomena yang tak dapat diingkari saat ini bahwa kebanyakan juru dakwah masih menggunakan cara-cara klasik yang tidak lagi diminati oleh pendengarnya (mad’u).30 Di saat yang sama, kondisi sosial, teknologi, serta budaya masyarakat kita saat ini telah semakin dewasa. Oleh karenanya, telah tiba saatnya bagi kaum Muslimin, khususnya para pengemban dakwah, untuk berbenah. Perkembangan ilmu modern telah menghasilkan banyak penemuan bermanfaat, khususnya di bidang perangkat elektronik. Para Dai seharusnya mampu memanfaatkan perangkat tersebut untuk mengembangkan risalah dakwah.31 Jika dahulu Muhammad S.A.W mengirimkan surat ke raja-raja untuk mengajak masuk Islam,32 maka saat ini, seharusnya para Dai memanfaatkan jaringan superhighway untuk mengajak masyarakat di seluruh penjuru dunia untuk masuk mengenal Islam. 2.
Wujud Internet di Masyarakat dan Ruang Gerak Dai Ketika membicarakan wujud Internet di tengah masyarakat, tentunya kita tidak dapat memisahkannya dari sejarah perkembangan komputer dalam perjalanan manusia, mengingat bahwa Internet tidak akan pernah ada tanpa komputer. Pada sub bahasan berikut, penulis pertama akan menjelaskan perjalanan perkembangan komputer dari generesi ke generasi kemudian dilanjutkan dengan pembahasan bagaimana masyarakat memperlakukan Internet dalam kehidupan keseharian mereka.
29
Jeff Zaleski, Spiritualitas Cyberspace: Bagaimana Teknologi Komputer Mempengaruhi Keberagamaan Kita, terj. Zulfahmi Andri (Bandung: Mizan, 1999), 192. 30 ‘Abdu al-Badi>‘ S}aqr, Kayfa Nad‘u> al-Na>s (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976), 13.
31
Muh}ammad ‘Abd al-Qa>dir Abu> Fa>ris, Usus fi al-Da‘wah wa Wasa’>il Nashriha> (Jordan: Da>r al-Furqa>n li al-T{iba>’ah wa al-Nashr wa al-Tawzi>‘, 1998), 159. 32 Keterangan lebih lanjut tentang surat-surat Muhammad ini dapat dibaca di Muh}ammad Ibn Sa’ad, Al-T}abaqa>t al-Kubra> (Beirut: Da>r Beirut, 1980).
54
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
2.1. Komputer dan Masyarakat Diawali dengan penemuan alat sipoa pada sekitar abad ke 4 SM di Babylonia (yang sekarang menjadi Iraq), komputer mulai menyapa manusia. Sejarah mencatat alat lain yang disebut Antikythera yang digunakan untuk mencatat dan memprediksi pergerakan bintang-bintang dan planet-planet di angkasa pada sekitar abad ke 1 SM. Pada tahun 1623, Wilhelm Schickard merancang alat penghitung mekanis pertama. Tapi sayang, alat tersebut hanya sebatas prototipe dan belum diwujudkan. Perkembangan komputer terus menunjukkan progresnya hingga saat ini, Shaun Scott membagi perkembangan komputer dalam lima generasi; Komputer generasi pertama (1939-1954) menggunakan vacuum tube untuk menghitung. John Ambrose Fleming (pada tahun 1940-an) mengembangkan vacuum tubes pertama. Pada masa ini, perkembangan komputer banyak ditujukan untukkepentingan militer. Kemudian generasi kedua (1954-1959) komputer tidak lagi menggunakan vacuum tubes, tetapi menggunakan transistor. Dr. John Bardeen, Dr. Walter Brattain dan Dr. William Shockley disebut-sebut sebagai pengembang pertama komputer yang menggunakan transistor ini pada tahun 1947. Vacuum tube, walaupun telah dimanfaatkan sekitar 50 tahun lamanya, membutuhkan banyak power, mudah panas dan terbakar. Sedangkan transistor memberikan metode baru dan lebih efisien untuk hitung menghitung. International Business Machinces (IBM) adalah pihak yang banyak mendominasi pembuatan komputer generasi kedua ini. Komputer generasi ketiga (1959-1971) mulai menggunakan integrated circuit (IC). IC sendiri merupakan chip yang disusun dari beberapa transistor. Komputer generasi ini mulai dipercanggih dengan beberapa aplikasi. Pada tahun 1962, Ivan Sutherland mendemonstrasikan “Sktetchpad”, sebuah program yang memungkinkan para insinyur untuk menggambar di komputer menggunakan light pen. Pada akhir generasi ini, Departemen Pertahanan mulai mengembangkan ARPANET (yang merupakan cikal bakal Internet) dan Intel Corp mulai memproduksi sirkuit large-scale integrated (LSI). Kemudian melangkah pada penggunaan microprocessor yang dikembangkan pada awal tahun 1970an. Komputer pada masa ini dianggap komputer generasi keempat. Pada generasi ini, komputer banyak mengalami perkembangan. Pada tahun 1971, Gilbert Hyatt dari Micro Computer Co., mempatenkan microprocessor pertama. Kemudian pada Februari tahun yang sama, Ted Hoff dari Intel Corp., mengenalkan 4-bit 4004 processor pertama. Pada 1972, Intel mengembangkan 8-bit 8008 dan 8080 microprocessor. Kebanyakan komponen yang kita lihat pada komputer-komputer modern saat
55
Menyibak Tabir Menggali Kubur
ini merupakan pengembangan dari komponen yang ada pada tahun 1970an tersebut. Generasi terakhir komputer (masa kini dan masa depan) memberikan pengalaman-pengalaman saintifik baru seperti Internet, World Wide Web, realitas virtual, kecerdasan buatan, dan beragam penggunaan inovasi teknologi tingkat tinggi. Beberapa peristiwa penting turut mengiringi langkah komputer generasi ke lima ini. Di antaranya pengembangan World Wide Web pada tahun 1991 oleh Tim Berners-Lee; Web browser pertama, “Mosaic”, pada tahun 1993; peluncuran Netscape Navigator pada tahun 1994; kemudian pada 1996 dilanjutkan dengan peluncuran Internet Explorer oleh Microsoft.33 Perjalanan lima generasi komputer di atas tentunya memberikan kita satu gambaran jelas bahwa masyarakat sebenarnya tidak dapat terpisah dari komputer. Kecanggihan software dan hardware komputer sangatlah memanjakan masyarakat. Hal ini jugalah yang membuat Internet sangat digandrungi oleh banyak kalangan masyarakat. Untuk lebih lengkapnya, mari kita kita melihat data-data bagaimana masyarakat memperlakukan Internet. 2.2. Internet di Tengah Masyarakat Mengawali pembahasan pada sub bahasan ini, penulis ingin mengutip data statistik pengguna Internet di seluruh dunia sebagaimana dirilis oleh
http://www.Internetworldstats.com/stats.htm di bawah ini: Gambar 5. Data Statistik Perbandingan Pengguna Internet dengan Jumlah Populasi di Dunia34 33 ShaunScott. "Computers and Humankind." Encyclopedia of Anthropology. 2005. SAGE Publications. 3 Apr. 2010. Diakses online dari http://www.sageereference.com/anthropology/Article_n185.html pada tanggal 28 Mei 2010. 34 Data statistik berdasarkan data pada tanggal 30 Juni 2010. Jumlah populasi yang tercantum berdasarkan data US Census Bureau (http://www.census.gov/), informasi
56
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Dari data di atas terlihat jelas betapa Internet disambut dengan sangat antusias oleh masyarakat dunia. Pertumbuhan angka pengguna Internet dari tahun 2000-2011 yang mencapai angka 480.4%, yang berarti ada sekitar 2.095.006.005 orang dari total populasi dunia yang menggunakan Internet, merupakan bukti nyata dari antusiasme masyarakat dunia terhadap Internet. Wilbur Schramm pernah bertanya, "apa yang membuat seseorang memilih salah satu dari berbagai media yang ditawarkan oleh media komunikasi massa?" Jawaban yang diberikan Schramm menjadi sebuah formula yang menjabarkan alasan mengapa orang tertarik pada berbagai bentuk media yang berbeda. Pada dasarnya, alasan orang memilih media dipengaruhi oleh hasil yang ingin didapat dan usaha yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil tersebut. 35 Sebagai contoh, televisi lebih mudah digunakan, tidak perlu banyak usaha dibutuhkan - tetapi isi di dalamnya bisa jadi terbatas. Internet membutuhkan lebih banyak pemikiran dan tindakan, tetapi isi di dalamnya bisa sangat bervariasi. Sebuah studi mengenai “Internet deprivation” (perampasan Internet) yang dilakukan oleh Yahoo and Advertising Agency OMD menunjukkan betapa sulitnya bagi para konsumen Internet untuk pergi tanpa Internet.36 Para partisipan pada penelitian tersebut disuruh untuk tidak menggunakan Internet dalam jangka waktu dua minggu. Mereka diberikan buku kosong lengkap dengan alat tulisnya untuk menuliskan apa yang mereka rasakan selama tidak menggunakan Internet. Dalam studi ini, banyak partisipan yang menuliskan ekspresi prustasi dalam buku curhat mereka. Mereka merasa terpisah dari kawan serta keluarga mereka. Studi serupa yang dilakukan oleh Ipsos-Insight mengungkap bahwa ketika para konsumen Internet disuruh untuk memilih satu saja tipe media yang boleh dibawa ke tempat perasingan, mayoritas (64%) memilih komputer dengan akses Internet. Data-data mengenai pengguna Internet di dunia serta hasil observasi yang dilakukan oleh Schramm, Yahoo and Advertising Agency serta IpsosInsight selanjutnya menimbulkan pertanyaan bagaimana masyarakat memperlakukan Internet di kehidupan mereka? mengenai penggunaan Internet berdasarkan data-data yang dipublish di Nielsen Online (http://en-us.nielsen.com/tab/product_families/nielsen_netratings), International Telecommunications Union (http://www.itu.int/en/pages/default.aspx ), GfK (http://www.gfk.com/), pemerintah lokal serta data-data lain yang dapat dipercaya. 35 Wilbur Schramm, The Process and Effects of Mass Communicatin (Urbana: University of Illinois Press, 1954). 36 Buchwalter, C. (2005, April). “Integrated Interactive Marketing : Quantifying the Evolution of Online Engagement.” Retrevied July 1, 2005, from Nielson/NetRatings site: http://www.nielsen-netratings.com/pr/wp_050401.pdf
57
Menyibak Tabir Menggali Kubur
2.3. Penggunaan Internet di Eropa Internet di negara-negara Eropa terkenal sebagai sumber berita, hal ini terlihat jelas di Spanyol, Italia, Austria dan Denmark tapi tidak di Yunani. Pencarian informasi yang berkaitan dengan kesehatan adalah hal yang paling banyak diminati di negeri Belanda dan Irlandia, tetapi lagi-lagi tidak terlalu semarak di Yunani. Peningkatan pendidikan melalui Internet (e-learning) merupakan hal yang banyak dilakukan di negara-negara Eropa bagian selatan, tetapi tidak terlalu banyak dilakukan di Swedia dan Denmark. Chatting dan discussion group sangat populer di kalangan pengguna Internet di Eropa (sekitar 50 % dari total user) terutama di negara Spanyol. Sedangkan di negara-negara Eropa bagian utara, pemanfaatan Internet sebagai alat mencari kerja dan online banking adalah hal yang banyak dilakukan.37 Sebuah data survei yang dikeluarkan oleh Eurostat Press Office pada tahun 2008 menunjukkan beberapa aktivitas pengguna Internet di 27 negara yang tergabung dalam Uni Eropa,38 diantaranya melakukan transaksi keuangan via Internet Banking, mencari informasi layanan travel,39 berinteraksi dengan public authority, mencari informasi kesehatan, membaca online kabar, koran serta majalah, memesan barang atau dan mencari/ mengirim aplikasi pekerjaan.40
37
MonicaMurero, Victoria Nash, and Deborah DiDuca. "Internet in Europe."Encyclopedia of Community. 2003. SAGE Publications. 4 Apr. 2010. Diunduh dari http://www.sage-ereference.com/community/Article_n285.html pada tanggal 10 Mei 2010. 38 Uni Eropa atau biasa dikenal dengan European Union (EU) adalah sebuah organisasi antar-pemerintahan dan supra-nasional, yang terdiri dari negara-negara Eropa, yang sejak 1 Januari 2007 telah memiliki 27 negara anggota. Persatuan ini didirikan atas nama tersebut di bawah Perjanjian Uni Eropa (yang lebih dikenal dengan Perjanjian Maastricht) pada tahun 1992. Negara-negara yang tergabung dalam EU-27 adalah: Austria, Belgium, Bulgaria, Cyprus, Czech Republic, Denmark, Estonia, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Ireland, Italy, Latvia, Lithuania, Luxemburg, Malta, the Netherlands, Poland, Portugal, Romania, Slovakia, Slovenia, Spain, Sweden and the United Kingdom. Untuk keterangan yang lebih komprehensif tentang sejarah EU-27 ini, silahkan kunjungi http://europa.eu/abc/history/2000_today/index_en.htm 39 Berdasarkan data yang dirilis pada tahun 2007 oleh NH Hoteles (sebuah bisnis perhotelan terbesar ketiga di dataran Eropa) bahwa 85% pengguna Internet di Eropa menggunakan Internet untuk mengatur perjalanan libur mereka. Lebih lanjut tentang data ini silahkan kunjungi http://www.nh-hotels.com/nh/en/press_room/535.html 40 Untuk detail data statistik survei, silahkan kunjungi: http://europa.eu/rapid/pressReleasesAction.do?reference=STAT/08/169&format
58
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
2.4. Penggunaan Internet di Afrika Sejak akhir tahun 1980an, era baru teknologi informasi dan komunikasi (ICT) telah dimulai di Afrika. Teknologi satelit, yang memungkinkan perpindahan infomasi dalam seketika, telah membawa Afrika masuk ke dalam sirkuit informasi internasional. Popularitas teknologi informasi dan komunikasi yang lain, seperti Internet pada tahun 1990an, datang seiring dengan hadirnya trend-trend baru seperti globalisasi, krisis ekonomi dan perubahan di bidang demokrasi. Masyarakat Afrika, walaupun kebanyakan berada di daerah kota, mulai belajar menggunakan teknologi baru ini. Théophile Vittin dalam artikelnya tentang kesempatan dan tantangan Internet di Afrika menjelaskan bagaimana masyarakat Afrika memanfaatkan teknologi Internet. Ia mengatakan bahwa penggunaan e-mail adalah salah satu kegiatan yang paling populer di Afrika karena mahalnya biaya pengiriman surat melalui pos, walaupun masih banyak yang menggunakan cara tersebut. Begitu juga jika dibandingkan dengan biaya telepon yang tinggi, e-mail merupakan cara yang paling murah dan mudah untuk berkomunikasi di Afrika. Selain penggunaan e-mail, masyarakat Afrika juga turut bergabung dalam diskusi nasional dengan membaca koran-koran online, berpartisipasi dalam debat dan grup-grup diskusi online serta melakukan transaksi jual beli barang. Tidak mau ketinggalan, para seniman Afrika juga turut mempromosikan karya mereka dengan mengiklankan dan membangun sebuah “galeri virtual”. Negara-negara Afrika juga memanfaatkan Internet untuk mempromosikan turisme mereka dengan membangun webpage berisi keterangan tempat-tempat wisata serta kultur setempat yang menarik. Para jurnalis di Afrika memanfaatkan Internet untuk melengkapi informasi yang didapat dari agen-agen berita tradisional; yaitu dengan memanfaatkan fasilitas berita online, program radio online serta mailing list. Fasilitas-fasitlitas tersebut tentunya membantu Afrika untuk menekan biaya, menghemat waktu sehingga lebih efisien. Beberapa proyek percobaan yang dilakukan di Afrika menunjukkan potensi besar yang dimiliki teknologi informasi dan komunikasi untuk melakukan pengembangan di bidang kesehatan. Misalnya pemanfaatan Internet untuk diagnosa dan perawatan, mengirimkan data-data medis, informasi mengenai penanggulangan penyakit, pendidikan, riset dan lain-lain. Internet juga dimanfaatkan oleh beberapa universitas dan institusi akademis untuk melegkapi kekurangan masalah ketersediaan akses ke informasi global yang bersifat ilmiah.41 Internet memudahkan para pelajar dan akademisi 41
in
Théophile Vittin, “Overview: Opportunities and Challenges of The Internet Africa,” diakses online dari
59
Menyibak Tabir Menggali Kubur
untuk dapat mengakses sumber-sumber ilmiah dari bank data dan jaringan riset internasional serta membuka kesempatan belajar bagi masyarakat Afrika. Internet di Afrika juga digunakan untuk kepentingan meteorologi.42 Dengan memaksimalkan potensi Internet, ACMAD (African Centre of Meteorological Applications for Development) telah membantu 53 kantor meteorologi Afrika untuk dapat bekerjasama satu sama lain. Pertukaran informasi via Internet antar kantor-kantor tersebut telah memungkinkan Afrika untuk mengembangkan sebuah model meteorologi yang dapat memberikan ramalan cuaca jangka panjang. Hal ini sangat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat Afrika, khususnya untuk kepentingan cocok tanam. 2.5. Penggunaan Internet di Asia dan Indonesia Banyak asumsi yang mengatakan bahwa Internet dapat berkembang di Asia dikarenakan perkembangan ekonomi yang signifikan, kemakmuran dan kebutuhan masyarkatnya terhadap informasi. Terlepas dari benar atau salahnya asumsi tersebut, Internet tidak lain adalah sebuah teknologi canggih yang datang dengan harapan akan kebaikan dan ancaman terhadap kehancuran masyarakat. Asia merupakan daerah yang masyarakatnya menginginkan terwujudnya harapan akan kebaikan yang dibawa oleh Internet tersebut. Banyak negara-negara Asia mempromosikan Internet dengan memberikan gambaran keuntungan yang mungkin diraih dari Internet untuk memikat sektor pendidikan dan bisnis agar turut tersambung dengan Internet.43 Laju pertumbuhan Internet di Asia oleh karenya menjadi sangat tinggi, khususnya jika dibandingkan dengan negara-negara industri lain. Asia ternyata memiliki sikap “serius” terhadap Internet. Hal ini terlihat jelas dari tujuan masyarakat Asia ketika mendaftar Internet. Sebuah survei yang dilakukan oleh Telecommunication Authority of Singapore (TAS) mengungkap bahwa 38.4 % dari pendaftar mengatakan bahwa komunikasi adalah alasan utama menggunakan Internet, diikuti dengan kemampuan mengakses database (32.9 %) dan kepentingan riset (16.6 %). Dengan kata lain, lebih dari 85 % pengguna Internet memilih tiga fungsi “serius” (komunikasi, akses database dan riset) sebagai alasan utama mereka mendaftar ke Internet. Lihat tabel berikut: http://www.unsystem.org/ngls/documents/publications.en/voices.africa/number9/3overvi ew.htm pada tanggal 26 Juni 2010. 42 Jean-Michel Cornu, “How People Use The Internet Today in Africa,” diakses online dari http://portal.unesco.org/ci/en/ev.phpURL_ID=1514&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SEC TION=201.html tanggal 28 Juni 2010. 43 Peng Hwa Ang dan Chee Mang loh, “Internet Development in Asia,” diakses online dari http://www.isoc.org/inet96/proceedings/h1/h1_1.htm pada tanggal 26 Juni 2010.
60
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Beberapa Alasan Utama Mendaftar Layanan Internet Komunikasi Akses database Riset Keingintahuan Grup diskusi Harga murah Rekreasi Bisnis Lain-lain
38.4% 32.9% 16.6% 3.7% 2.7% 2.4% 1.2% 1.1% 1.0%
Sumber: TAS, September 1995. Bagaimana dengan Indonesia? Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan dengan 150 informan Indonesia mengenai kegiatan apa saja yang mereka lakukan ketika online, terungkap 5 kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh orang-orang Indonesia, 1. Beraktivitas di jejaring sosial (facebook dan twitter) 2. Membaca berita 3. Emailing 4. Chatting 5. Blogging
61
Menyibak Tabir Menggali Kubur
mendownload/ menonton video mencari peluang bisnis mencari lamaran kerja mencari/membaca jurnal-jurnal… membaca berita membaca artikel bermain game online jejaring sosial (fb & twitter) googling emailing download quran download ebook diskusi mendengar ceramah mendengar/ mendownload lagu chatting membaca komik blogging belanja online 0
10
20
30
40
50
60
70
80
Gambar 6. Tabel kegiatan online masyarakat Indonesia Dalam konteks perilaku berInternet di Indonesia, Yahoo!-TNS mengungkap 10 fakta dan perilaku kebiasaan orang berInternet di Indonesia: 1. Satu dari tiga orang penduduk perkotaan di Indonesia mengakses Internet dalam satu bulan terakhir. 2. Penetrasi Internet pada segmen penduduk usia 15-29 tahun paling tinggi dibandingkan segmen usia lain dengan %tase sebesar 64 %. Diikuti usia 20-24 tahun sebesar 42 %. Berikutnya usia 25-29 tahun sebesar 28 %, kemudian usia 30-34 tahun sebesar 16 %, usia 40-44 tahun sebesar 12 %, dan usia 45-50 tahun sebesar 5%. 3. Pengguna Internet tidak hanya di kota besar, tetapi juga menyebar di kota-kota kecil.
62
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
4.
Warung Internet (warnet) paling sering digunakan mengakses Internet, 83 % dari pengguna online menggunakan warnet dalam satu bulan terakhir. Disusul akses dari handphone, PDA, dan perangkat mobile lain sebesar 22 %, dari kantor 19 %, dari sekolah 17 %, dan dari rumah 16 %. 5. Enam dari 10 pengguna Internet mengunjungi mengunjungi situs jaringan sosial (social network) setiap bulan. 6. Sebanyak 28 % masyarakat perkotaan mengakses Internet dalam satu bulan terakhir. Enam % mengakses Internet tiap hari. 7. Penggunaan Internet yang tinggi tidak hanya didominasi Jakarta, tetapi juga merata di banyak kota lain. 8. Aktivitas Internet paling sering digunakan bukan untuk membuka berita online atau bertransaksi, melainkan untuk membuka email berbasis web sebesar 59 %, instant messenger 58 %, membuka situs jaringan sosial 58 %, mesin pencari 56 %, membaca berita online 47 %. Untuk membuka Internet banking hanya 5 %. Untuk transaksi online hanya 3 %. 9. Yahoo! adalah layanan e-mail berbasis web paling dominan, sedangkan Google dominan untuk mesin pencari. 10. Situs jaringan sosial masih merajai. Sebanyak 58 % mengakses situs jaringan sosial. Dan Friendster masih menduduki urutan pertama.44 Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemenkominfo RI), pengguna Internet di dunia kurang dari 200 juta orang pada 1998. Kemudian meningkat tajam menjadi 1,7 miliar orang yang mengakses Internet pada 2010. Sedangkan pengguna Internet di Indonesia mencapai 30 juta orang atau sekitar 12,5 % populasi penduduk Indonesia. Sebanyak 64 % pengguna tersebut berasal dari kalangan remaja yang berusia 15 hingga 19 tahun.45 Angka 30 juta orang pengakses Internet di Indonesia merupakan angka yang menggembirakan di satu sisi, tapi tidak di sisi lain. Menggembirakan karena ternyata masyarakat Indonesia sudah dapat mengakses lautan informasi bermanfaat yang tersedia di Indonesia, sehingga diharapkan dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang berwawasan global. Tapi di sisi lain, angka 30 juta tersebut menjadi memprihatinkan ketika fakta menyebutkan 44 Data selengkapnya dapat diunduh di http://www.admaxnetwork.com/download/news/NetIndexIndonesiaHighlights.pdf 45 Diakses online dari http://www.republika.co.id/berita/breakingnews/nasional/10/06/17/120424-remaja-dominasi-akses-Internet pada tanggal 26/06/2010.
63
Menyibak Tabir Menggali Kubur
bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah pengakses situs porno terbanyak di dunia.46 Menggunakan Internet bukan hanya sekedar mengakses Internet tetapi sebagaimana yang diungkapkan oleh Warcshauer bahwa pemanfaatan ICT seharusnya dapat menunjang kepentingan sosial dan personal yang lebih luas.47 Karena layaknya produk-produk globalisasi lain, Internet hadir dengan hal-hal positif lengkap dengan negatifnya. Benar apa yang dikatakan Jung dkk, bahwa permasalahannya bukanlah pada pernahkah seseorang memandang ke monitor atau menaruh tangan mereka di atas keyboard, tetapi seberapa sering mereka menggunakan Internet dan untuk tujuan apa. Memiliki akses Internet dan memiliki kemampuan untuk menggunakan Internet secara efektif adalah dua aspek yang berbeda.48 Ketersediaan serta kemampuan penggunaan Internet seharusnya diiringi dengan bekal moril para pengunanya sehingga dapat memberikan output yang baik. 2.6. Relokasi Ruang Gerak Dai Islam sebagai rahmatan lil ‘a>lami>n seharusnya difahami secara komprehensif. Universalitas Islam sejatinya tidak hanya dari sisi substansi, 49 tapi juga harus difahami dari cakupan dakwah Islamnya yang (seharusnya) meliputi semua orang di belahan dunia manapun.50 Karena pengutusan Muhammad S.a.w sesungguhnya sebuah perubahan ruang wahyu Ilahi yang dahulu hanya terbatas bagi kaum tertentu di tempat tertentu pada zaman tertentu. Diutusnya Muhammad S.a.w merupakan cahaya bagi seluruh alam, risalah yang dibawanya diperuntukkan bagi setiap makhluk yang berakal dan mendengar.51 Ruang gerak Dai yang dahulu berkonsentrasi di ruang-ruang 46 ANTARA News merilis berita yang cukup memprihatinkan, bahwa Indonesia adalah negara dengan jumlah pengakses situs porno terbanyak di dunia, demikian disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring. "Indonesia sampai saat ini paling besar mengakses situs porno," kata Tifatul Sembiring yang mengaku prihatin bila selama ini Internet hanya dipergunakan untuk mengakses sesuatu yang tidak bermanfaat. Kenyataan yang merupakan fakta pahit itu telah mendorong Tifatul untuk menyosialisasikan cara memanfaatkan informasi yang benar dan baik. "Kita akan kembangkan program INSAN yakni Internet sehat dan aman," katanya. 47 M. Warschauer, Technology and Social Inclusion: Rethinking The Digital Divide (Cambridge MA: MIT Press, 2003). 48 Jung, J.-Y., Qiu, J. L., and Kim, Y.-C. (2001). “Internet connectedness and inequality: beyond the “divide.” Communication Research, 28(4), 507–35. 49 Bahwa ajaran-ajaran Islam diperuntukkan bagi seluruh alam. 50 Muh}ammad al-Ra>wi> mengupas tuntas universalitas dakwah Islam ini dalam karyanya al-Da‘wah al-Isla>miyyah (Beirut: Da>r al-‘Arabiyyah, tt). 51 Muh}ammad al-Ghaza>liy, Al-Da‘wah al-Isla>miyyah Tastaqbil Qarnaha> alKha>mis ‘Ashar (Damaskus: Da>r al-Qalam, 2001), 165, 177.
64
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
masjid, langgar, pesantren dan tempat-tempat pengkajian Islam konvensional, saat ini harus direlokasi. Adalah fenomena kesalahan dakwah yang tidak disadari saat ini bahwa dakwah amat jarang menyentuh lingkar luar dari umat Islam yang sudah memiliki rasa keagamaan yang berada di masjid, langgar, pesantren dan majlismajlis keIslaman lainnya. Mereka yang enggan datang ke masjid, yang menjadikan Islam hanya sebagai identitas kewarganegaraan, yang hanya shalat ketika hari raya, praktis tak tersentuh oleh dakwah. Tidak arif jika para pengemban dakwah justru menyalahkan mereka karena tidak hadir di majlismajlis keIslaman. Absennya para Dai di tengah-tengah ragam umatnya adalah karena selama ini fikih dakwah yang dipakai di kalangan umat Islam adalah pemahaman lama yang berusia belasan abad.52 Kita selama ini telah menyempitkan arti dakwah. Dakwah hanya diartikan sebagai ceramah keagamaan. Seorang Dai selalu diartikan sebagai seorang pengkhutbah di masjid-masjid. Secara realitas, kondisi dakwah di Indonesia belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Dakwah masih berjalan di tempat dan masih berputar pada persoalan-persoalan klasik yang ada di masayarakat.53 Ruang gerak Dai hanyalah sebatas masjid, langgar-langgar, pesantren, tidak lebih. Lalu apa yang dapat dilakukan untuk dapat menyentuh masyarakat – Muslim atau non-Muslim – secara lebih luas? Pertama, merubah paradigma dakwah yang salah. Dakwah tidak hanya sebatas ceramah di masjid-masjid, pengajian/ halaqah di langgar-langgar dengan jumlah pendengar yang terbatas. Dakwah seharusnya difahami sebagai sebuah bentuk kegiatan yang memberikan pemahaman Islam kepada siapapun dan di manapun. Dengan begitu, dakwah bukan hanya tugas para penceramah. Dai bukan hanya mereka yang berdiri di mimbar-mimbar masjid memberikan ceramah. Karena istilah Dai sendiri sesungguhnya mencakup mereka yang melaksanakan tugas-tugas dakwah secara sempurna (menyampaikan dan mengajarkan Islam serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari) juga mereka yang mengerjakan sebagian dari tugastugas dakwah.54 Kedua, meluaskan penggunaan media dakwah untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas dengan memanfaatkan beragam bentuk media, mulai 52 Qoris Tajudin dan Hussen Gani, “Da’wah Multimedia, Da’wah Era Modern” dalam Ulil Amri Syatri (ed.), Da’wah Mencermati Peluang dan Problematikanya (Jakarta: STID Mohammad Natsir Press, 2007), 117. 53 Abdul Basit, Wacana Dakwah Kontemporer (Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press & Pustaka Pelajar, 2006), 32. 54 Muh{ammad al-Fath{ al-Baya>nu>ni>, Al-Madkhal ila ‘Ilmi al-Da’wah (Beirut: Mu’assah al-Risa>lah, tt), 40.
65
Menyibak Tabir Menggali Kubur
dari media elektronik, cetak, sampai Internet.55 Karena hanya dengan media, beragam kelompok masyarakat lintas geografis terhubung satu sama lain. Mengamati data penggunaan Internet di Eropa, Afrika, Asia dan Indonesia diatas, penulis menyimpulkan bahwa umat Islam saat ini belum maksimal menampilkan Islam di ruang maya tersebut. Para pengguna Internet ternyata tidak tertarik untuk mengakses informasi-informasi yang berbau Islam. Entah faktor apa yang menyebabkan hal ini, yang pasti kita harus berinisiatif untuk “menghijrahkan” para Dai ke ruang baru tersebut. Internet yang merupakan wahana perang informasi abad ini, membuka pintu seluas-luasnya bagi siapapun untuk turut serta di dalamnya. Jika kita pasif, maka informasi yang bias atau bahkan merusak akan semakin banyak di Internet. Kewajiban dakwah yang merupakan kewajiban individu, menjadikan seorang Muslim saat ini wajib kifayah untuk memahami dan terlibat aktif di Internet sebagai sarana dakwah.56 Artinya, jika di satu daerah tidak ada satu pun muslim yang memahami dan terlibat aktif berdakwah di Internet, maka semua muslim di daerah itu “berdosa.” 2.
PERNIK DUNIA MAYA
1.
Dunia Maya dan Masyarakatnya Istilah dunia maya merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan sebuah replika dunia yang memiliki tata ruang, aturan, serta dinamika kehidupannya sendiri. Dalam bahasa Inggris, istilah dunia maya biasa diterjemahkan dengan kata cyberspace. Terma “cyberspace” sendiri pertama kali dimunculkan oleh seorang penulis fiksi-ilmiah, William Gibson dalam novelnya Neuromancer. Dalam bukunya tersebut, Gibson mendefinisikan cyberspace sebagai sebuah halusinasi yang dialami oleh jutaan orang setiap hari (berupa) representasi grafis yang sangat kompleks dari data di dalam sistem pikiran manusia yang diabstraksikan dari bank data setiap komputer.57 Poin utama dari definisi yang diberikan Gibson ini adalah halusinasi. Dunia maya adalah dunia halusinasi yang dirasakan akibat interaksi mendalam manusia dengan komputer. Berbeda dengan Gibson, menurut Alisjahbana cyberspace 55
Qoris Tajudin dan Hussen Gani, “Da’wah Multimedia, Da’wah Era Modern” dalam Ulil Amri Syatri (ed.), Da’wah Mencermati Peluang dan Problematikanya, 117. 56 Nuim Hidayat, “Da’wah di Internet Wahana Pertarungan Informasi," dalam Ulil Amri Syatri (ed.), Da’wah Mencermati Peluang dan Problematikanya (Jakarta: STID Mohammad Natsir Press, 2007), 193. 57 Wiiliam Gibson, Neuromancer (Barkeley Publication Group, 1984). Sebagaimana dikutip oleh Yasraf Amir Piliang dalam pengantar buku “Ruang Yang Hilang: Pandangan Humanis Tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan” karya Mark Slouka (Penerbit Mizan, 1999).
66
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
lebih menyerupai suatu sistem-Ekologi (seperti Biosphere misalnya), daripada suatu mesin. Suatu sistem bio-electronic yang sangat serupa dengan suatu Complex-Adaptive-Sistym. Yaitu suatu sistem yang komplek dan lincah sekali dapat menyesuaikan diri secara mandiri, dengan suatu sistem umpan-balik, serupa suatu sistem biologi yang hidup.58 Dunia maya atau dunia cyberspace merupakan dunia bukan-ruang, ia adalah metafora, sebuah “ruang” simbolis59 yang menjadi tempat “kediaman” jutaan manusia tidak dalam pengertian fisik. Layaknya tempat kediaman di dunia nyata, dunia maya juga memiliki tata ruang, infrastruktur, pola kehidupan masyarakat (yang mencakup tatananan masyarakat, pola komunikasi, dinamika kehidupan) serta sistem nilai tersendiri. 1.1. Masyarakat Maya Perdebatan mengenai konsep komunitas yang ada di dunia maya berujung pada dua argumen. Argumen yang mendukung bahwa komunitas maya tidaklah beda dengan komunitas lain yang ada di dunia nyata. Mereka tetap komunitas yang diakui memiliki eksistensi tersendiri walaupun hanya dapat ditelusuri di dunia maya. Sedangkan argumen kedua berpendapat bahwa komunitas maya tidak dapat dikatakan sebagai sebuah komunitas karena eksistensi mereka tidak dapat dibuktikan di dunia nyata. Menurut Wellman dan Gulia, kebanyakan analisis yang ada mengenai eksistensi komunitas maya terlalu reduktif, selalu memperlakukan Internet sebagai sebuah fenomena sosial yang terisolasi tanpa mempertimbangkan bagaimana interaksi di Internet disesuaikan dengan aspek-aspek kehidupan manusia yang lain.60 Menurutnya, Internet hanyalah salah satu dari sekian banyak media yang digunakan oleh manusia untuk berinteraksi. Ia bukanlah sebuah realitas yang terpisah. Buktinya, manusia membawa beragam atribut kehidupan mereka ke dalam interaksi di dunia maya seperti: jenis kelamin, status sosial, kultur lingkungan, status sosial ekonomi bahkan atribut keagamaan mereka. Terlepas dari perdebatan pengakuan eksistensi komunitas maya, Sayling Wen merinci tatanan kehidupan masyarakat maya layaknya tatanan kehidupan masyarakat di dunia nyata.61 Ditinjau dari proses dan interaksi sosial 58 Iskandar Alisjahbana, “Cyberspace dari Peradaban Gelombang-Ketiga; Sifat dan Hakekat Manusia & Masyarakat di Dalam Era-Informasi," diakses online dari http://www.elektroindonesia.com/elektro/utama6.html pada tanggal 02/03/2010. 59 Astar Hadi, Matinya Dunia Cyberspace: Kritik Humanis Mark Slouka Terhadap Jagat Maya (Jogjakarta: LKiS, 2005), 14-15. 60 Barry Wellman dan Milena Gulia, Virtual Communities as Communities: Net Surfers Don’t Ride Alone dalam Communities in Cyberspace (ed.) Marc A. Smith and Peter Kollock (London: Routledge, 1999). 61 Sayling Wen, Future of the Media (Batam: Lucky Publishers, 2002). Bandingkan dengan apa yang ditulis oleh M. Burhan Bungin tentang masyarakat maya
67
Menyibak Tabir Menggali Kubur
misalnya, di masyarakat maya, ada yang bersifat sementara dan juga bersifat menetap dalam waktu yang relatif lama atau bahkan menetap selama lamanya. Sifat proses social dan interaksi social ini ditentukan oleh kepetingan mereka dalam dunia maya. Yang bersifat sementara contohnya surfing, chating, browsing, dll. Sedangkan yang bersifat tetap adalah masyarakat yang memliki alamat rumah di dunia Internet dengan status penyewa atau pemilik. Mereka ini yang memiliki e-mail, website atau bahkan provider. Setiap saat mereka memanfaatkan alamat dan rumah mereka untuk berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat maya guna berbagi kebutuhan. Masyarakat maya juga memiliki kelompok sosial. Pengelompokan anggota dalam masyarakat maya terjadi ketika kebutuhan informasi tertentu dapat dilayani oleh pemilik website (tuan rumah) dengan sebaik baiknya dan sebanyak-banyaknya, terutama ketika informasi itu dapat diakses dengan mudah dan bebas oleh masyarakat luas. Semakin besar kelompok jaringan atau semakin banyak orang lalu lalang melalui jaringan tertentu, merupakan sebuah ukuran bahwa jaringan atau website tersebut memiliki kualitas publik yang marketable. Dalam masyarakat maya, hotmail.com, yahoo.com, amazon.com, msc.com, plaza.com dan semacamnya, dikenal sebagai jaringan (kelompok) terbesar saat ini. Perlu dicatat, bahwa yang paling penting dan menjadi ciri khas dari sifat keanggotaan dalam masyarakat maya adalah eksistensi mereka di dalam kelompok atau jaringan tersebut. Masyarakat maya memiliki kultur budaya tersendiri, mereka menciptakan kultur universal yang dapa dijelaskan sebagaimana yang dimiliiki oleh masyarakat nyata. Mulai dari peralatan dan perlengkapan hidup (yang berupa alat-alat teknologi informasi yang umumnya dikenal dengan mesin kompyter dan mesin-mesin elektronika lain yang membantu kerja atau dibantu oleh mesin komputer), mata pencaharian dan system-sistem ekonomi (yang berbentuk penjualan jasa dengan sistem ekonomi substitusi), sistem kemasyarakatan (yang berupa sistem kelompok jaringan baik intra maupun antar jaringan yang ada dalam masyarakat maya dengan aturan yang diciptakan oleh para pemilik provider, pemilik website, pemilik produk dan jasa yang ditawarkan dan sebagainya), bahasa (yang digunakan berdasarkan pada konvensi dan kreativitas pengguna, seperti menggunakan ikon-ikon tertentu untuk penggambaran dan sebagaianya), karya (yang pada umumnya merupakan karya seni), sistem pengetahuan (yang dikembangkan menggunakan proses pemberitahuan dan pembelajaran langsung secara trial and error) sampai pada sistem kepercayaan. dalam Sosiologi Komunikasi; Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), 160-172.
68
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Masyarkat maya memiliki sistem pranata dan kontrol social yang dibangun bersama atau dibangun sebagai system proteksi diri. Beberapa pranata dan kontrol sosial yang lazim dalam masyarakat maya dikenal seperti login, password atau PIN number yang digunakan sebagai pintu masuk. Pranata lain yang ada dalam masyarakat maya, bahwa semua informasi yang ada dalam dunia maya menjadi milik publik yang dapat diakses oleh semua orang. Masyarakat maya juga mengenal stratifikasi sosial berdasarkan pada besaran jaringan yang dimiliki. Jadi dasar pembentukan stratifikasi masyarakat maya ditentukan pada seberapa besar kepemilikan jaringan dan informasi yang dapat diakses darinya. Umpanya seperti: http://, www., adalah pemilik stratifikasi tertinggi dalam masyarakt maya. Stratifikasi social kedua dalam masyrakat maya dikenal seperti : .com, .net, .or., gov. dll. Sistem kepemimpinan dalam masyarkat maya dibangun berdasarkan kekuasaan dan kepemilikian terhadap jaringan tertentu. Apa yang dijelaskan Wen di atas tentunya memperkuat eksistensi komunitas maya. Dan Wen ternyata tidak sendiri, beberapa ilmuwan lain turut menganalisa dinamika kehidupan komunitas maya seperti Tim Jordan yang memfokuskan penelitiannya kepada hirarki kekuasaan dan kultur perpolitikan yang terjadi di dunia maya,62 Sarah Kember yang membahas konstruksi, manipulasi serta pemaknaan ulang konsep kehidupan dalam sebuah kebudayaan tekno-saintifik kontemporer,63 Patricia Wallace yang menganalisis sisi psikologis para pengguna Internet di dunia maya64, dan masih banyak karyakarya ilmiah lain yang kesemuanya semakin memperkuat asumsi bahwa komunitas maya tidak dapat dipandang sebelah mata. Karena –sebagaimana yang dikatakan oleh Baym- sesungguhnya yang membedakan komunitas maya dengan komunitas “nyata” adalah proses bagaimana mereka terbentuk.65 Komunitas nyata terbentuk karena faktor kesamaan geografis sedangkan komunitas maya terbentuk karena faktor kesamaan minat.66 Untuk 62
Tim Jordan, Cyberpower: The Culture and Politics of Cyberspace on the Internet (London: Routledge, 1999). 63 Sarah Kember, Cyberfeminism and Artificial Life (London: Routledge, 2003).
64 Patricia Wallace, The Pscychology of The Internet (United Kingdom: Cambridge University Press, 1999). 65 Nancy K. Baym, “The Emergence of On-line Community” dalam S. Jones (Ed.), Cybersociety 2.0: Revisiting Computer Mediated Communication and Community (Thousand Oaks, CA: Sage, 1998). 66 Masyarakat maya dapat diklasifikasikan berdasarkan attribute (atribut sosial yang menyatukan mereka), supporting software (software yang digunakan), relationship to physical communities (hubungan fisik dengan komunitas tertentu), dan boundedness (batasan-batasan sosiologis). Contoh atribut yang mendasari terbentuknya suatu masyarakat maya adalah: tujuan bersama atau kesamaan minat, intensitas interaksi yang
69
Menyibak Tabir Menggali Kubur
membuktikan hal ini, penelitan web survei yang penulis lakukan, terungkap fakta bahwa umur, pekerjaan serta background pendidikan bukanlah sekat untuk bergabung dalam suatu komunitas di dunia maya, tetapi kesamaan tujuan dan minat lah yang menyatukan mereka dalam suatu komunitas tertentu di dunia maya. Hal ini membuktikan apa yang disebut Mark Pesce sebagai “deteritorialisasi diri.” 67 Selain permasalahan eksistensi, masyarakat maya juga tidak lepas dari permasalahan kepunahan. Agar sebuah komunitas maya dapat terus eksis, para anggotanya harus banyak menghabiskan waktu di dunia online. Hal ini berarti para anggota komunitas harus merelakan kebanyakan waktu mereka untuk berkomunikasi antar sesama mereka, walaupun mengorbankan aktivitas lainnya. Kemampuan suatu komunitas virtul dalam menghubungkan orang-orang yang tidak dapat bertemu secara face-to-face memberikan dorongan dalam hal tertentu untuk turut bergabung menghabiskan waktu di komunitas mereka. Faktor lain yang menentukan kelangsungan sebuah komunitas virtual adalah kepemilikan, pemeliharaan ruang serta perlengkapan komunitas mereka. Sebuah komunitas virtual juga harus selalu mengupgrade kecanggihan teknologi yang selama ini digunakan. Komunitas virtual masih tergolong fenomena baru. Perubahan yang terus terjadi pada teknologi dan masyarakat akan memunculkan beragam bentuk baru dari sebuah hubungan yang juga akan memunculkan bentuk baru dari sebuah komunitas virtual. Sosiolog Barry Wellman menyatakan bahwa saat ini kita sedang berjalan menjauh dari sebuah bentuk tradisional sebuah komunitas dan menuju kepada apa yang ia sebuat sebagai “networked individualism,”68 di mana banyak orang memilih menjadi anggota dari sebuah jaringan yang jauh dan sepi, daripada menjadi bagian dari kelompok-kelompok lokal yang sesak. Dengan “networked individualism” ini, otonomi individual menjadi faktor utama dari perkembangan jaringan serta memberikan mereka keanggotan dalam beragam bentuk komunitas yang memungkinkan mereka untuk
tinggi serta hubungan emosional yang erat, adanya aktivitas bersama, adanya support dari para anggota dan konvensi-konvensi sosial. Lebih lengkap tentang klasifikasi masyarakat maya, baca: Jonathan Lazar dan Jennifer Preece, (1998). “Classification Schema for Online Communities.” Proceedings of the 1998 Association for Information Systems, Americas Conference, 84-86. 67 Mark Pesce, “Ritual and the Virtual,” London & Caer Leon, Wales July 1997 diakses online dari http://hyperreal.org/~mpesce/caiia.html. 68 Barry Wellman. (2001). “The persistence and transformation of community: From neighbourhood groups to social networks.” Diunduh dari http://homes.chass.utoronto.ca/~wellman/publications/lawcomm/lawcomm7.PDF pada tanggal 10 Agustus 2010.
70
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
berhubungan dengan orang-orang dari lintas kelompok.69 Untuk hal ini, Internet memang bukan yang memulainya, tapi Internet memegang peranan dari terwujudnya hal tersebut. 1.2. Pola Komunikasi Masyarakat Maya Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa masyarakat maya terbentuk tidak berdasarkan kesamaan letak geografis, tentunya hal ini mempengarahui pola komunikasi yang mereka terapkan untuk dapat “berinteraksi”70 satu sama lain. Masyarakat maya menggunakan pola komunikasi yang dikenal dengan computer-mediated communication atau pola komunikasi bermedia komputer. Komunikasi bermedia sendiri adalah suatu bentuk komunikasi yang menggunakan peralatan elektronik. Dalam komunikasi bermedia ini, kita membedakan antara komunikasi massa (mass communication) dan komunikasi bermedia komputer (computer-mediated communication), sebagaimana yang dikatakan Rafaeli dan Sudweeks bahwa CMC merupakan bentuk komunikasi personal atau grup tapi bukan komunikasi massa71, karena komputer lebih dikenal sebagai alat komunikasi personal bukan media untuk menyebarkan informasi kepada sekelompok massa. Selain itu, komunikasi massa merupakan jenis komunikasi linier, yang berarti komunikasi mengalir dari pengirim (sender) ke penerima (sender) dengan sedikit atau bahkan tanpa umpan balik dari penerima kepada pengirim, sedangkan CMC bersifat interaktif,72 individu-individu yang turut serta dalam interaksi bermedia komputer dapat berperan sebagai sumber dan penerima pesan dalam waktu bersamaan. Komputer yang ada yang terkoneksi dengan jaringan Internet berperan sebagai saluran (channel) dalam sebuah proses komunikasi Format CMC biasanya memanfaatkan Internet atau komputerkomputer yang terhubung satu sama lain dengan suatu jaringan untuk memfasilitasi interaksi manusia dengan manusia. E-mail misalnya, dapat
69 Lori Kendall, "Virtual Communities." Encyclopedia of Community. 2003. SAGE Publications. 4 Apr. 2010. . 70 Pengertian interaksi dalam dunia maya tentunya sangat berbeda dengan dunia nyata. Interaksi di dunia nyata berarti adanya kontak fisik antar individu. Di dunia maya, kontak fisik bukanlah factor utama terjadinya interaksi, melainkan adanya respon timbal balik antar individu. Baca: Thomas Ploug, Ethics in Cyberspace. How Cyberspace May Influence Interpersonal Interaction (London New York: Springer, 2009). 71 Sheizaf Rafaeli dan Fay Sudweeks, “Networked Interactivity,” Journal of Computer-Mediated Communication vol.2 no.4, diakses online dari http://jcmc.indiana.edu/vol2/issue4/index.html pada tanggal 25 Oktober 2010 72 Judy C. Pearson (et al.), Human Communication (New York: McGraw-Hill, 2003), 335-336.
71
Menyibak Tabir Menggali Kubur
‘bepergian’ ke penjuru dunia dengan menggunakan Internet atau dapat melintasi gedung dengan menggunakan jaringan perusahaan. Seperti halnya media massa yang memiliki beberapa variasi, CMC juga memiliki beberapa variasi. Salah satu cara untuk mengklasifikasikan tipe-tipe CMC adalah dengan menentukan bentuk komunikasinya, apakah bersifat synchronous atau asynchronous. Komunikasi synchronous terjadi ketika orangorang yang terlibat dalam interaksi komunikasi dapat berinteraksi secara real time dan setiap orang secara bersamaan menjadi pengirim dan penerima pesan. Misalnya, percakapan tatap muka atau percakapan telpon. Sedangkan komunikasi asynchronous terjadi ketika interaksi dalam proses komunikasi memiliki jeda dan setiap individu yang terlibat harus bergantian menjadi pengirim dan penerima pesan.73 Jika anda pernah memiliki seorang sahabat pena atau bertukar kabar dengan seorang teman atau anggota keluarga melalui surat, maka anda sedang melakukan suatu proses komunikasi asynchronous. Berikut ini adalah lima bentuk utama CMC: e-mail, bulletin board systems, instant messaging/ chat, audi-video conference dan multi user environment. Electronic mail atau e-mail menggunakan Internet atau jaringan komputer untuk mengirim pesan kepada seseoran yang tergabung dalam suatu jaringan atau Internet. Email merupakan bentuk dari komunikasi asynchronous.
Bulletin board System (BBS) merupakan fasilitas komunikasi asynchronous berbasis teks yang memungkinkan anda untuk menyebarkan informasi ke banyak orang. Diskusi-diskusi BBS yang ada di website-website biasanya mengangkat topik-topik tertentu yang menjadi perhatian para anggotanya. Tidak hanya di website, bentuk diskusi serupa BBS ini dapat juga menggunakan listserv (grup diskusi berbabasis email). Diskusi-diskusi, baik yang berbasis di web atau email hanya memungkin satu orang untuk secara asnynchronous memposting pesan ke sejumlah orang yang juga mengakses forum diskusi tersebut.
Instant messaging (IM) atau biasa dikenal dengan istilah chatting salah satu
73
bentuk
komunikasi
syncrhonous
berbasis
teks
yang
Lebih lanjut tentang format-format komunikasi asynchronous, baca: AggerGupta, Dorothy E. "Asynchronous Formats." Encyclopedia of Distributed Learning. 2003. SAGE Publications. 23 Apr. 2010.
72
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
memungkinkan penggunanya untuk menghubungkan dua komputer dengan Internet dan melakukan percayakan melalui komputer mereka.
Audio-video conferencing, menggunakan jaringan Internet untuk menghubungkan dua atau lebih komputer yang memiliki kemampuan multimedia secara live, percakapan interaktif menggunakan saluran komunikasi audio-visual. Dengan menggunakan mikrofon dan kamera, anda dapat melakukan percakapan audio visual dengan melalui Internet dengan biaya murah.
Multiuser environments (MUDs) adalah dunia virtual yang berbasis di website di mana para partisipan dapat berinteraksi satu sama lain dan terlibat dalam sebuah fantasi role-playing.
1.2.1. CMC VS F-T-F (Face-to-Face) Communication Setelah membahas pola komunikasi yang diterapkan oleh masyarakat maya, pada bahasan berikut, penulis akan menjawab pertanyaan benarkah CMC terlalu reduktif untuk memfasilitasi kebutuhan berkomunikasi masyarakat maya? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mengkomparasikan komunikasi bermedia komputer yang diterapkan oleh masyraakat maya dengan model komunikasi face to face yang biasa digunakan oleh kebanyakan orang di dunia nyata. Komunikasi bermedia komputer (CMC) mengacu pada interaksi manusia dengan manusia via komputer. Beberapa aplikasi CMC yang terkenal adalah email, instant messaging, chat room, bulletin board dan newsgroup. Jika dibandingankan dengan komunikasi tatap muka (face-to-face), CMC membebaskan komunikator dari kebutuhan terhadap wujud fisik dan juga tentunya dari akibat pengaruh isyarat-isyarat nonverbal. Walaupun beberapa peneliti mengatakan bahwa suatu hubungan yang berdasarkan CMC tidak sekaya bentuk komunikasi tatapmuka, peneliti lain mencoba mengidentifikasi beberapa cara agar CMC dapat meningkatkan intimasi para penggunanya. Riset yang dilakukan oleh Stefanone menunjukkan bukti-bukti bahwa CMC ternyata mempererat hubungan,74 khususnya bagi mereka yang terpisah jarak. Memang agak membingungkan, ‘isyarat-isyarat sosial’ yang tereduksi dan anonimitas CMC ternyata dapat mendukung intimasi antar penggunanya. 74
Stefanone, M. A., & Jang, C.-Y. (2007). “Writing for friends and family: The interpersonal nature of blogs.” Journal of Computer-Mediated Communication, 13(1), article 7. http://jcmc.indiana.edu/vol13/issue1/stefanone.html
73
Menyibak Tabir Menggali Kubur
Sebuah model hiperpersonal dari CMC yang diusulkan oleh Walther menyatakan bahwa CMC terkadang lebih nyaman dan bershabat dari komunikasi tatap muka.75 Kerangka komunikasi hiperpersonal memberikan pendekatan untuk memahami bagaimana membuktikan bahwa CMC lebih “kaya” dari sekedar aktivitas paralel tatap muka. Yifeng Hu dan koleganya membuat survei di kalangan mahasiswa Amerika yang menggunakan Instant Message. Riset mereka menunjukkan ada hubungan positif antara angka penggunaan Instant Message dan angka peningkatan keharmonisan sosial antar sahabat.76 Apa yang ditunjukkan oleh Yifeng Hu dan koleganya sesungguhnya tidak berbeda dengan apa yang penulis dapatkan ketika melakukan interview dengan para informan di Yahoo Messenger. Menurut salah satu informan, karena intensitas “pertemuan” di room yang pada awalnya hanya berdiskusi satu sama lain, pada akhirnya juga dapat menimbulkan rasa suka diantara anggota room tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa IM justru berperan meningkatkan bukan menghalangi terwujudnya intimasi. Lebih dari itu, kajian ini menemukan bahwa dengan seringnya berkomunikasi via IM mendorong para usernya untuk saling bertemu dan bertatap muka. Bahkan dengan orang-orang yang belum dikenal sebelumnya, anonimitas CMC dan interaksi berbasis teks mendorong terjadinya intimasi. Penelitian CMC yang dilakukan Hu mengenai hubungan romantis yang terjadi diantara para mahasiswa Hongkong yang menggunakan IM mengungkapkan fakta bahwa ketiadaan isyarat-isyarat sosial mengurangi kekhawatiran penilaian (evaluation apprehension), dengan begitu para penggunanya dapat mempresentasikan diri semau mereka tanpa ada kekhawatiran sehingga memudahkan mereka untuk menangkap makna melalui teks. Tidak hanya hubungan romantis, hubungan intim yang lebih serius pun dapat terjadi melalui CMC ini. Andrea Baker mengungkap penelitian yang dilakukannya dari rentang tahun 1993 dan 1997 tentang 18 pasangan yang bertemu online kemudian bertemu ‘offline’ (di dunia nyata), sehingga mereka menjadi sahabat, teman kencan dan akhirnya memutuskan untuk menikah.77 Berikut adalah data yang diungkap Andrea Baker: 75
Joseph B. Walther. (1996). “Computer-mediated communication: Impersonal, interpersonal, and hyperpersonal interaction.” Communication Research, 23 , 3-43. 76 Hu, Yifeng, and S. Shyam Sundar. "Computer-Mediated Communication (CMC)." Encyclopedia of Children, Adolescents, and the Media. 2006. SAGE Publications. 4 Apr. 2010.
74
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
No. Nama
Umur
Tempat Bertemu
Waktu bertemu
Waktu bertemu
online
offline
Hasil
1
Janice, Joe
21, 31
trivia game Jan. '96 chat group
Beberapa bulan setelahnya
Menikah
2
Kate, Gary
26, 57
trivia game June, '96 chat group
August '96
Berteman
3
Joanie, Sam
21, 25
occupational
Jan. '95
July '95
Bertunangan dan akhirnya tinggal bersama
newsgroup
4
Sandra, Keith
23, 31
gaming MUD
Aug. '94
Feb. '95
Menikah
5
Minnie, Franklin
32, 35
friendship chatline
March '97
June '97
Menikah akhirnya berpisah
6
Rachel, Brad
19, 26
Chatline
Sept. '96
a few months Menikah later
7
Allison, Mac
24, 25
gaming MUD
Jan. '92
Jan '96
Bertunangan tapi belum tinggal bersama
8
Shelly, Rich
26, 27
Chatline
April 21 '96
April 26 '96
Bertunangan dan akhirnya menikah
9
Pansy, Ronald
43, 36
technical April / May Sept. '94 support forum '94
Hidup bersama dan akan menikah
10
Jeanette, Andrew 25, 25
early Relay Oct. '91 chatline
Aug. '93
Menikah
11
Tova, Josh
30, 32
local BBS
Sept./Oct. '94
Menikah
12
Natasha, Bree
46, 45
through
website
Aug. '94 N's Nov. '92 /
a few weeks Tingga later bersama
75
dan
Menyibak Tabir Menggali Kubur
article 13
Nina, Reggie
19, 25
"raunchy" chatline
Jan. 20, '97
March 1, '97
Tinggal bersama
14
Cassie, Mike
42, 40
community discussion group
Dec. '96
Mar. '97
Berpisah/ tetap berteman
15
Lenore, Roy
16, 22
new personals
age Feb. 26, '97
June, '97
Tinggal bersama dan berencana akan menikah
16
Sally, Randy
39, 29
commercial chatline
July '93
Jan. '94
Menikah
17
Eve, Tommy
43, 45
ethnic chatline July, '96
July, '97
Bertunangan tetapi belum tinggal bersama
18
Celia, Paul
34, 36
technical chatline
Feb. '97
menikah
Nov. '96
*Umur dan hasil sesuai dengan waktu pada saat pengumpulan data, antara Juni 1997 dan Februari 1998 Orang-orang yang bergabung di dunia maya pada awalnya memang harus beradaptasi dengan lingkungan virtual (virtual environment) ketika mereka berinteraksi satu sama lain. Berbeda dengan lingkungan nyata yang didukung dengan adanya kontak fisik, interaksi di dunia maya memang memakan waktu yang lebih lama untuk dapat membuat interaksi yang nyaman.78 Tetapi hal itu bukan berarti interaksi di dunia maya tidak dapat berujung dengan hubungan romantis dan lebih intim karena sebagaimana yang dikatakan Jean-Francois Perreault ketika ditanya mengenai percintaan yang terjadi di dunia maya (cyberspace-romance), mengatakan bahwa para pasangan yang terlibat percintaan di dunia maya ini merasa menemukan hal-hal yang
78
Malcolm R. Parks dan Kory Floyd. (1996). “Making Friends in Cyberspace”.
Journal of Communication 46(1) Winter. 0021-9916/96, diakses online dari http://jcmc.indiana.edu/vol1/issue4/parks.html pada tanggal 26 Juni 2010.
76
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
hilang yang tidak mereka dapatkan di dunia nyata,79 sehingga mereka dengan sadar menjalin percintaan di dunia maya bahkan merealisasikannya di dunia nyata. Apa yang diungkapkan Stefanone, Hu dan Barker diatas tentunya memperkuat asumsi bahwa pola komunikasi bermedia komputer, dengan seagala keterbatasannya,80 tidak hanya mampu memfasilitasi kebutuhan komunikasi para masyarakat maya, tetapi juga dapat memberikan output signifikan yang tidak kalah dengan komunikasi tatap muka. CMC ternyata tidak sereduktif yang disangkakan. 2.
Realitas Virtual Terma realitas virtual atau biasa dikenal dengan virtual reality (VR) digunakan untuk mendeskripsikan sebuah variasi lingkungan (environment), pengalaman dan aktivitas yang dihasilkan oleh teknologi komputer, termasuk di dalamnya game-game komputer dan khyalan-khayalan futuris yang digambarkan dalam sebuah film terkenal seperti The Matrix. Realitas virtual dihasilkan dari beberapa teknologi tertentu81 yang memungkinkan penggunanya untuk merasakan dan berinteraksi dengan objek-objek virtual dalam sebuah lingkungan artifisial yang memiliki rangkaian ruang waktu dan aturan-aturan tersendiri yang diimplementasikan sebagai perkakas dari objek-objek virtual. Perkembangan microcomputer, head-mounted displyad (HMD), datagloves dan CAVE (Cave Automatic Virtual Reality), mejadi dasar terwujudnya sebuah
79
John Suler, “Cyberspace Romances; interview with Jean-Francois Perreault,” diakses online dari http://www-usr.rider.edu/~suler/psycyber/bvinterview.html pada 27 Juni 2010 80 Sebagaimana yang dinyatakan oleh pendekatan “Cue-Filtered-Out” bahwa CMC kekurangan isyarat-isyarat fisik seperti gesture, ekspresi mimik, suara yang dapat memaksimalkan interaksi dalam komunikasi tatap muka. Walther, Anderson, dan Park, (1994). “Interpersonal effects in computer-mediated interaction: A meta-analysis of social and antisocial communication.” Communication Research, 21(4). 460-487). CMC juga tidak memiliki standar serta norma sosial bersama yang dapat mengakibatkan orang bertindak sesuka hatinya, lihat: Sproull, L., & Kiesler, S., Connections : new ways of working in the networked organization (Cambridge, Mass: MIT Press, 1991) Pola komunikasi ini juga sangat rentan dengan kebohongan serta kepalsuan identitas, lihat: Irene Cairo dan Susana Vinocur Fischbein, “Psychoanalysis and virtual Reality”. The International Journal of Pscyhoanalaysis, Int J Psychoanal (2010) 91:985-988). 81 Diantara teknologi yang dipakai untuk menghasilkan sebuah realitas virtual adalah head-related transfer functions (HRTFs) yang khusus menghasilkan suara yang akan digunakan dalam sebuah simulasi virtual. Lebih lanjut tentang HRTFs ini, baca: William L. Martens. "Virtual Reality: Auditory." Encyclopedia of Perception. 2009. SAGE . diakses pada tanggal 07/05/2010
77
Menyibak Tabir Menggali Kubur
VR.82 Sejak saat itu, kemampuan untuk menciptakan dan merasakan pengalaman dalam dunia virtual menjadi perbincangan banyak kalangan. Jaron Lanier, salah satu pionir dalam pengembangan teknologi VR, dikenal luas sebagai orang pertama yang memunculkan terma “virtual reality” pada tahun 1980an.83 Terma (VR) sendiri menggeser terma lain yang sejenis seperti “Artificial Reality” milik Myron W Krueger dan “Phantomology” sebagaimana diajukan seorang penulis bernama Stanslaw Lern. Kata “virtual” dalam bahasa Inggris (diambil dari bahasa latin “virtus” yang berarti: kejantanan, keunggulan, karakter, berharga, keberanian) dapat diartikan “practically” (secara praktis), “as good as” (sama bagus), “almost” (hampir) dan “nearly, but not completely” (mendekati tapi tidak sepenuhnya). Sedangkan terma “reality” menunjukkan wujud sesuatu sesungguhnya tetapi bukan sekedar wujudnya. Secara harfiah, VR adalah sesuatu yang nampak nyata dan secara praktis memang terlihat seperti nyata tetapi tidak seluruhnya nyata. 84 Misalnya dalam sebuah game simulasi balap mobil. Seseorang dapat mengendarai mobil balap virtual layaknya menyetir mobil balap sungguhan, tetapi ketika mobil virtual tersebut menabrak atau ditabrak, tentunya efek yang ditimbulkan berbeda dengan yang terjadi pada mobil sungguhan.
Gambar 7. “Sensorama” karya Norton Heiling (1962)
82
Lebih lengkap tentang teknologi yang membentuk teknologi VR ini, baca: Lisa Yount, Virtual Reality (Thompson Gale, 2005), 26. 83 Lebih lengkap tentang Lanier Jaron, baca Kevin Featherly. "Lanier, Jaron." Encyclopedia of New Media. 2002. SAGE Publications. . diakses pada tanggal 07/05/2010. 84 Marcus Burkhardt, "Virtual Reality." Encyclopedia of Time: Science, Philosophy, Theology, & Culture. 2009. SAGE Publications. . diakses pada 02/05/2010.
78
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Gambar 8. “Head-Mounted Display” karya Sutherland
Sejarah VR sebagai sebuah simulasi multisensor dari dunia nyata dapat ditelusuri pada tahun 1960an. “Sensorama” (lihat gambar 7) yang diciptakan oleh seorang cinematographer bernama Norton Heilig pada tahun 1962 adalah simulator kendaraan multisensor. Sistem tersebut memungkin seseorang untuk duduk di depan sebuah layar di mana ia dapat memilih beragam kendaraan (yang sudah direkam sebelumnya) seperti motor, sepeda atau bahkan helikopter. Sensorama menggunakan sebuah bidang optik yang luas untuk menampilkan slide demi slide sebuah gambar fotografis 3D dan memiliki stereo sound juga generator udara dan bau. Saat itu, sistem yang ada tidak interaktif, user hanyalah sebagai observer yang pasif. Pada tahun 1965, Ivan Sutherland menerbitkan sebuah artikel berujudul “The Ultimate Display”. Dalam artikelnya tersebut ia menggambarkan bahwa pada suatu hari komputer akan mampu menyediakan jendela menuju sebuah dunia virtual.85 Tiga tahun setelah itu, ia membuat alat bernama “Head-Mounted Display” (lihat gambar 8). Sebuah alat yang memvisualkan pandangan 3D penggunanya untuk memberikan kesan berada di dunia virtual. Sutherland juga mengembangkan alat “Sketchpad” (lihat gambar 9), yang dianggap sebagai nenek moyang dari program CAD (Computer-Aided Drafting) yang ada saat ini. Atas karya-karya dan perhatiannya terhadap sistem VR, Sutherland banyak dikenal sebagai bapak sistem Virtual Reality.
85
Artikel lengkap “The Ultimate Display” yang ditulis Sutherland ini dapat diakses di http://www.cs.uiowa.edu/~sbabu/The%20Ultimate%20Display.htm Seorang peneliti VR Frederick P. Brooks dalam What’s Real About Virtual Reality menguraikan visi Sutherland dengan megnatakan “Don't think of that thing as a screen, think of it as a
window, a window through which one looks into a virtual world. The challenge to computer graphics is to make that virtual world look real, sound real, move and respond to interaction in real time, and even feel real.” Selengkapnya, baca Brooks. 1999: "What’s Real About Virtual Reality?" IEEE Computer Graphics and Applications, 19, 6: 16-27.
79
Menyibak Tabir Menggali Kubur
Gambar 9. “Sketchpad” karya Sutherland (1963)
Pada tahun 1978 A. Lippman, Scott Fisher dan para peneliti lain dari MIT mengembangkan aplikasi “Aspen Movie Map”. Sebuah aplikasi yang memungkinkan penggunanya untuk melihat simulasi perjalanan di kota Aspen, Colorado. Sistem dalam aplikasi tersebut menggunakan foto-foto dari semua jalan di kota yang dihasilkan dari empat kamera dari angle yang berbeda. Dalam simulasi tersebut, pengguna dapat memindahkan pandangan dari satu angle ke angle yang lain. Inilah awal mula munculnya sebuah simulasi lingkungan VR yang interaktif.86 VR menganggap sebuah lingkungan adalah suatu tempat antara realitas aktual dan apa yang sebenarnya bukan realitas aktual, lingkungan ruang maya adalah tempat di mana penggunanya merasakan ‘kehadiran’ (present), sebuah ruang virtual dapat dibayangkan sebagai sebuah media di mana penggunanya berpindah dari satu tempat ke tempat lain, berinteraksi menggunakan alat untuk mereduksi jarak hingga menjadi antara mata pengguna dan layar monitor saja.87 Teknologi VR juga menjadi topik bahasan dalam ilmu sosial, misalnya akun Julian Dibbell di sebuah simulasi sosial online berbasis teks (text-based online social simulation) menunjukkan bagaimana setingan sosial virtual tersebut benar-benar menunjukkan terwujudnya masyarakat micro.88 Ia kemudian menunjukkan bahwa fenomena sosial dalam masyarakat online tersebut memiliki tingkat kompleksitas yang sama dengan apa yang terjadi di dunia offline. Sherry Turkle mengkaji realitas sosial virtual lebih jauh dan kemudian mengatakan bahwa pengalaman seseorang di dunia online sesungguhnya telah membentuk identitas mereka di dunia offline. Realitas sosial virtual online adalah wadah di mana mereka mengeksplorasi aspek-aspek 86 Mario A. Guiterrez A., Frederic Vexo dan Daniel Thalmann, Stepping into Virtual Reality (London: Springer), 4-5. 87 Krystina Derrickson, Second Life and The Sacred: Islamic Space in a Virtual World, diakses online dari http://www.digitalIslam.eu/article.do?articled=1877 88 J. A Dibbell. “Rape in Cyberspace or How an Evil Clown, a Haitian
Trickster Spirit, Two Wizards, and a Cast of Dozens Turned a Database Into a Society.” Village Voice vol. 38 no. (51)(1993).
80
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
dari identitas mereka yang “tertindas” dalam interaksi sehari-hari di dunia offline. Realitas sosial virtual juga memberikan seseorang kesempatan untuk bertindak semau mereka dalam menghadapi perubahan, yang mana akan mengakibatkan mereka kehilangan muka jika melakukannya di dunia offline. Sedangkan para penulis sekarang, seperti Donna Haraway, telah memandang diri mereka sendiri dan makhluk hidup lain sebagai cyborg.89 Mereka tidak membedakan antara pengalaman-pengalaman di dunia offline dan online90 realitas virtual adalah nyata sebagaimana kehidupan sehari-hari di dunia offline. Teknologi VR sebagai sebuah ilmu ilusi (The Science of Illusion)91 ternyata menarik perhatian banyak kalangan dari berbagai bidang. Pendidikan misalnya, John Unsworth memanfaatkan teknologi ini dengan membangun sebuah “kampus virtual,”92 Barbara O. Rothbaum beserta timnya di Virtually Better Inc., menjadikan teknologi VR sebagai media untuk memberikan terapi pasien yang mengalami gangguan psikologis kekhawatiran yang berlebihan,93 Simon Jenkins membuat sebuah simulasi gereja virtual yang bernama Church of Fool,94Durgin dan Zhi Li membahas bagaimana memaksimalkan penggunakan VR untuk mengkaji persepsi seseorang.95 Dan masih banyak lagi kalangan yang memanfaatkan potensi teknologi ini untuk melakukan berbagai pengmbangan. 2.1. Pesona Filosofis Realitas Virtual Isu realitas bukanlah isu baru, khusunya dalam sejarah Barat, kita tau bagaimana Plato mempertahankan suatu bentuk ideal yang ia sebut sebagai “really real” yang kemudian Aristoteles menurunkan derajat ide Plato tersebut ke tingkatan realitas sekunder, karena menurutnya kita hanya mendapatkan
89
Donna Haraway, The Haraway Reader (New York: Routledge, 2004). Joao Vieira da Cunha. "Virtual Reality." International Encyclopedia of Organization Studies. 2007. SAGE Publications. . 91 Sebagaimana disebut oleh Mario dkk dalam Stepping into Virtual Reality..., 1. 92 Lebih lanjut tentang kampus virtual ini, silahkan baca John Unsworth, “Constructing Virtual Campus” di alamat http://www3.isrl.illinois.edu/~unsworth//Virtual.Campus.html 93 Barbara O. Rothbaum. "Virtual Reality Therapy." Encyclopedia of Behavior Modification and Cognitive Behavior Therapy. 2005. SAGE Publications. 5 Apr. 2010. . 94 Simon Jenkins. “Ritual and Pixels; Experimetns in Online Church.” Online – 90
Heidelberg Journal of Religions on the Internet 3.1 (2008).
95 Frank H. Durgin dan Zhi Li. "Controlled interaction: Strategies for using virtual reality to study perception." Behavior Research Methods 2010, 42 (2), 414-420.
81
Menyibak Tabir Menggali Kubur
“bentuk yang tipis” dari “really real”96 yang berupa substansi individu yang dapat kita sentuh dan rasakan di sekitar kita. Pada abad pertengahan, sesuatu yang riil adalah yang dijelaskan oleh makna-makna simbolik. Simbol-simbol relijius biblikal menambahkan pesan-pesan super nyata menjadi realitas, memberikan mereka kekekalan dan makna walaupun aspek-aspek materialnya terkadang tidak nyata, terestrial, sampah. Pada masa Renaisans, sesuatu dianggap nyata jika dapat dihitung dan diamati berulang-ulang dengan beragam indera. Kemudian datanglah masa modern yang memaknai realitas dengan bahan-bahan atom yang memiliki dinamika internal atau energi. Tetapi kemudian pertanyaan mengenai realitas ini divonis mati dengan adanya dorongan analitis sains menuju kompleksitas dan pluralitas gaya-gaya artistik.97 Jika kita mempertanyakan apa sebenarnya yang dimaksud dengan “realitas” pada saat sekarang ini, kita pun akan mendapatkan interpretasi yang beragam. Bunge misalnya, baginya sesuatu yang nyata adalah yang memiliki eksistensi terpisah dari subjek-subjek lain (independen).98 Pendapat Bunge ini sejalan dengan konsepsi filosofis sebuah realitas independen yang diajukan oleh Stroud.99 Kerangka fikir filosofis tentang realitas ini berdasarkan sebuah konsepsi tentang “realitas” atau “dunia” yang independen dari fikiran, pengalaman dan respon manusia atau hewan yang berfikir tentang atau merespon kepada realitas dan dunia tersebut. Menurut Stroud, kita pun memiliki konsepsi yang sama. Kita memikirkan dunia yang independent dari diri kita dan respon kita dengan cara yang sangat biasa. Banyak hal di dunia ini yang apakah kita mempunyai respon terhadapnya atau tidak, dunia sudah ada disini sebelum kita, dan akan tetap ada dalam bentuk tertentu setelah kita semua tidak ada lagi. Tetapi konsepsi duniawi tentang dunia yang independen bukanlah konsepsi yang diinginkan untuk dapat memberikan jawaban yang sesuai bagi pertnyaan filosofis mengenai realitas.
96
Menurut Schumaker frase “really real”, atau ia menyebutnya dengan “real reality”, (realitas yang nyata) dan “unreal reality” (realitas yang tidak nyata) terlalu berlebih-lebihan dan membingungkan secara konseptual. Ia kemudian mengajukan beberapa frase yang menurutnya lebih tepat untuk mengurai benang kusut realitas, diantaranya: Primary Reality, Personal Reality, Cultural Reality, keterangan lebih lanjut tentang frase-frase yang diajukan Shumaker ini, baca: John F. Schumaker, The
Curroption of Reality: A Unified Theory of Religion, Hypnosis, and Psychopathoology
(New York: Prometheus Books, 1995), h. 17-22. 97 Sebagaimana dikutip oleh Michael Heim, The Metaphysics of Virtual Reality (New York: Oxford University Press, 1993), 110. 98 Mario Bunge, Chasing Reality: Strife Over Realism (London: University of Toronto Press, 1919), 27. 99 Barry Stroud, The Quest for Reality: Subjectivism and the Metaphysics of Colour (New York: Oxford University Press, 2000), 40.
82
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Kita melihat bahwa kita bisa saja terus bertanya secara kritis, bagian mana dari keyakinan kita yang benar. Kita menyadari bahwa faktanya adalah apa yang kita yakini tentang sesuatu bukan berarti sesuatu itu benar.100 Sesuatu tersebut bisa menjadi tidak benar walaupun saya, atau banyak orang, meyakininya. Adalah suatu kemungkinan untuk diyakini tanpa harus menjadi benar. Karena sesuatu yang yang diyakini adalah sesautu dari dua kemungkinan, yaitu benar dan tidak benar. Hal ini dapat terlihat jelas pada segala sesuatu yang memang sudah menjadi sesuatu yang benar, sebelum ada orang atau keyakinan yang meyakininya. Begitu juga dengan segala sesuatu yang akan menjadi benar, tetapi tidak pernah dipercaya oleh siapapun. Intinya adalah sesuatu dapat menjadi sesuatu tersebut tanpa harus dipercaya untuk dapat menjadi sesuatu tersebut. Tetapi ketika kita meyakini sesuatu, kita ingin apa yang kita yakini tersebut tidak berbeda dengan kebenaran; dan ketika kita mencari kebenaran tentang sesuatu, kita ingin apa yang kita anggap benar tidak berbeda dengan apa yang nantinya kita yakini. Mencoba berfikir lebih jauh, Rescher mengkaji karakteristik suatu kenyataan. Menurutnya, karakterisasai sesuatu menjadi sesuatu yang nyata biasanya sesimpel membedakan antara yang benar-benar nyata dan asli dengan yang dianggap demikian. Kenyataan atau realitas, bertolak belakang dengan hal-hal seperti: fiksi (yang merupakan produk khayalan), kepalsuan (imitasi, ilusi, kepura-puraan), delusi (angan-angan, fatamorgana), kepura-puraan (tipudaya, sesuatu yang kelihatannya benar), ersatz (sesuatu yang dibuat-buat), dan “simulacra” (seperti dongeng dan sejenisnya).101 Lebih lanjut Rescher membedakan antara kenyataan (reality) dengan penampakan (appearance), ia menyimpulkan bahwa pembedaan yang fundamental bukan antara penampakan yang mungkin terjadi dalam pengalaman kita dengan penampakan yang tidak mungkin terjadi di luar itu, tetapi antara yang benar terjadi dalam pengalaman kita dengan sesuatu yang tidak benar terjadi. Persoalannya bukanlah pada apa sesuatu itu dan apa yang dianggap sesuatu itu, tetapi antara apa yang dianggap benar dan apa yang dikira tidak benar . Akhirnya, tidak ada alasan mengapa sesuatu tidak dapat menjadi sebagaimana yang nampak dalam anggapan yang berbeda, dan anggapan-anggapan ini nampak sebagaimana aslinya.102 Coba kita lihat orang-orang paranoid, penampakan sesuatu sesuai dengan anggapan mereka tentang sesuatu tersebut. Setelah apa yang diungkapkan di atas tentang filosofi “realitas”, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan “realitas virtual?” 100
Barry Stroud, The Quest for Reality..., 40. Nicholas Rescher, Reality and Its Appearance (New York: Continuum International Publishing Group, 2010), 4. 102 Nicholas Rescher, Reality and Its Appearance..., 6. 101
83
Menyibak Tabir Menggali Kubur
Dahulu, orang mempercayai bahwa touch (persentuhan) merupakan sebuah kenyataan sebenaranya, pada akhir abad ini mengalami tantangan dari tiga sisi. 103 Pertama, para filusuf dan ahli psikologi menguji pengalaman yang dirasakan oleh para tuna netra dan persepsi aestetik mereka. Kedua, bahwa teknologi dan perangkat elektronik saat ini sedang bereksperimen sebuah virtual reality dan mencoba mensimulasikan touch. Ketiga, peningkatakan pemahaman mengenai kekurasakan syaraf atau bahkan kegilaan, yang memperjelas bahwa persentuhan sendiri dapat menjadi lawan dari apa yang biasa kita sebut dengan realitas. Apa yang diungkapkan Diaconu saat ini terbukti, bahwa kenyataan tidak lagi milik persentuhan (touch). Teknologi telah sukses membuat kenyataan lain dari kenyataan yang pernah ada selama ini. Tidak hanya itu, teknologi telah mampu mentransfer kenyataan yang pernah ada selama ini ke dalam ruang nyata baru yang disebut dengan realitas virtual. Realitas virtual sejalan dengan apa yang diungkapkan Bunge dan Stroud tentang sebuah realitas independen dan artifisial yang –meminjam bahasa Stroud- benar/ nyata, walaupun dahulu tidak pernah terfikir oleh seorangpun. Di dalam realitas virtual ini, orang-orang mengalami ekstase komunikasi tingkat tinggi104 yang penuh dengan kenyamanan, kebebasan berekspresi, dan beragam fasilitas eksplorasi kehidupan yang tidak mungkin dilakukan di dunia nyata. 2.2. Virtualisasi Ritual Pada pembahasan sebelumnya, penulis telah membahas tentang terma realitas virtual, baik dalam konteks teknis maupun filosofis, yang pada intinya adalah bahwa konsep realitas saat ini telah mengalami perluasan. Realitas tidak hanya sebatas apa yang dapat diindera oleh sensor-sensor fisik dalam kehidupan nyata ini, tetapi ada ‘realitas kedua’ yang dapat diindera melalui sensor-sensor teknis. Teknologi, khususnya perkembangan teknologi komputer, telah menciptakan sebuah ruang relitas baru yang memiliki karakteristik, ruang lingkup, pesona, dan problematikanya sendiri. Banyak hal menarik yang timbul dari fenomena realitas virtual ini, diantara yang paling menyita perhatian penulis adalah fenomena virtualisasi ritual. Jika ditinjau dari konteks kajian agama dan Internet, tentunya fenomena ini mengundang banyak pertanyaan; diantaranya apa yang dimaksud dengan 103 Madalina Diaconu, “Illusionary Touch and Touching Illusions”, dalam (ed.) Anna-Teressa Tymieniecka, Human creatlion between reality and illusion (Netherland: Springer 2005), 115. 104 Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme (Bandung: Mizan, 1998).
84
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
terma ritual dalam pemahaman agama? di mana titik temu antara ritual dan ibadah? Benarkah Internet mampu memvirtualisasikan ritual? Apa implikasi dari virtualisasi ritual ini bagi agama itu sendiri? Maka dalam sub bahasan berikut, penulis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menyakian kajian komprehensif mengenai fenomena ini. Mengawali pembahasan ini, penulis akan memulai dengan mengkaji terma ritual dan ibadah tuk menemukan titik temu antar keduanya untuk kemudian dibenturkan dengan tema virtual. Mendefinisikan terma ritual merupakan pekerjaan yang problematik. Permasalahan ini kebanyakan disebabkan oleh kesalahfahaman struktural mengenai apa yang seharusnya dilakukan. Lebih spesifik lagi, setiap orang yang mengajukan definisi tentang ritual, kebanyakan berbentuk klasik: ‘bahwa sesuatu dianggap ritual hanya jika memeliki karakteristik A, B dan C, di mana jumlah karakter atau beberapa karakter pilihan merupakan variabel dari beberapa definisi yang ada.105 Dalam kasus ‘ritual’, biasanya orang akan mengatakan bahwa ritual : Terbangun secara kultural, dihukumi secara adat. Perilaku; praksis; pelaksanaan; gerakan-gerakan tubuh dan/ atau ucapan-ucapan. Para perilaku bertindak sebagaimana penonton Terbingkai dalam rutinitas kehidupan sehari-hari; tidak terstruktur Memiliki tempat serta waktu tertentu Kolektif; publik Menciptakan/ mengorganisir masayarakat/ kelompok-kelompok sosial Menciptakan perubahan/ transisi Simbolik; penuh arti (bagi para pesertanya) Berulang Memiliki standar tertentu; terlatih Berlebihan Komunikatif Tidak instrumental Memiliki ketentuan; memiliki catatan tertentu. Tersusun; konvensional Memiliki mode tertentu Menyalurkan emosi Memandu makrifat.
105 Jens Kreinath, Jan Snoek, and Michael Stausberg (eds.), Theorizing Rituals (Leidin: Brill, 2006), 3.
85
Menyibak Tabir Menggali Kubur
Karakteristik ritual di atas, walaupun tidak lengkap, adalah karakteristik yang biasa ditemui di beberapa definisi yang ada.106 Secara singkat, ritual dapat diartikan sebagai preskripsi (tertulis atau dalam bentuk lain) untuk kepentingan seremonial tertentu107 dan tidak seluruhnya disandi oleh para pesertanya.108 Hal menarik yang terungkap dari beragam perisitiwa yang dikaji sebagai bentuk ritual adalah fakta bahwa peristitwa-peristiwa tersebut memiliki sifat dinamis yang sangat melekat padanya. Hal inilah yang kemudian disebut oleh Bruce Kapferer sebagai sisi virtualitas ritual.109 Kerana menurutnya, ritual merupakan bentuk dari virtualitas itu sendiri, yang berarti sebuah proses dinamis yang terjadi di dalam atau luar diri tanpa mempertimbangkan unsur hubungan representasi simbolis dengan realitas eksternal- berupa bentuk simbolis yang telah dikodekan (coded) di mana interpretasi atau makna pada akhirnya dapat direduksi ke dunia piskologis dan sosiopolitis diluar konteks ritual. Dan virtualitas ritual ini seharusnya dibedakan dengan virtualitas yang ada dalam teknologi cyber. Ada perbedaan besar antara terma ibadah dalam Islam dan terma ritual. Agama-agama ‘bumi’ yang merupakan buatan manusia memiliki ritual bukan ibadah. Ritual yang berupa gerakan-gerakan tubuh, pembacaan mantra-mantra, tapa, atau apapun itu, seseungguhnya tidak memiliki makna, kosong. Berbeda dengan ibadah yang kita kenal dalam Islam. Ibadah yang memang disyariatkan langsung dari Allah tentunya memiliki nilai, makna dan sesuai dengan maslahat manusia.110 Ibadah –dalam bentuk apapun itu- bertujuan untuk menumbuhkan kepedulian sosial secara nyata. Hal ini terlihat jelas dari ibadah shalat yang ditutup dengan salam menengok ke kanan dan ke kiri, puasa yang ditutup dengan membayar zakat. Inilah yang disebut oleh Komaruddin Hidayat sebagai 106
Jens Kreinath, Jan Snoek, and Michael Stausberg (eds.), Theorizing Rituals (Leidin: Brill, 2006), 11. Karakteristik ini senada dengan karakteristik yang diajukan oleh Rappaport dalam Ritual and Religion in The Making of Humanity (UK: Cambridge University Press, 1999), bandingkan dengan karakteristik lain yang diajukan oleh Catherine Bell dalam Ritual: Perspective and Dimensions (New York: Oxford University Press, 1997). 107 Jens Kreinath, Jan Snoek, and Michael Stausberg (eds.), Theorizing Rituals (Leidin: Brill, 2006), 14. 108 Roy A. Rappaport, Ritual and Religion in The Making of Humanity (UK: Cambridge University Press, 1999). 109 Bruce Kapferer, “Ritual Dynamics and Virtual Practice: Beyond Representation and Meaning”, Social Analysis, Volume 48, Issue 2, Summer 2004. 35-
54.
110
Muh}ammad Ra>tib al-Nabulsi, “al-‘Iba>da>t wa al-T{aqu>s, diakses online dari http://www.nabulsi.com/text/10nadwat/deenhaya/deenhaya-921-15b.php pada tanggal 26 Juli 2010
86
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
makna simbolik dari ibadah.111 Agama sebagai sistem keyakinan menyediakan konsep tentang hakikat dan makna hidup itu—tetapi ia tidak terpaku pada segisegi formal atau bentuk lahiriah keagamaan. Ia berada di baliknya. Karena itu formalitas harus “ditembus”, batas-batas lahiriah harus “diseberangi”. Kemampuan melampui segi-segi itu (niscaya) akan berdampak pada tumbuhnya sikap-sikap religius –individu maupun masyarakat- yang lebih sejalan dengan makna dan maksud hakiki ajaran agama.112 Kata “ibadah” sendiri, memiliki beragam definisi tergantung dari sudut pandang siapa yang mengartikannya. Para ahli bahasa mendefinisikan ibadah sebagai ketaatan (Q.S. Yasin, 60) dan doa (Q.S al-Mu’min, 60), sedangkan menurut ulama Tauhid, ibadah merupakan bentuk ketauhidan, sebagaimana yang dikatakan Ikrimah bahwa “segala lafadz ibadah dalam al-Quran diartikan dengan “tauhid.” Tauhid yang mereka maksud disini adalah meng-Esakan Allah dalam beribadah serta meyakini ke-Esaan-Nya pada dzat, sifat dan pekerjaanNya. Ulama akhlak mengartikan ibadah dengan mengerjakan segala ketaatan fisik dan mengerjakan syariat. Ulama tasawuf mengatakan seseorang beribadah ketika ia mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan nafsunya, untuk mengagungkan Tuhannya. Senada dengan ulama tasawuf, menurut ulama fiqh, ibadah adalah segala pekerjaan yang dilakukan semata-mata untuk mengharapkan keridhoan serta pahala Allah di akhirat. Semua definisi yang diajukan oleh beragam ulama diatas dapat disatukan dalam kesatuan definisi ibadah yang komprehensif, yakni bahwa ibadah adalah nama yang mencakup segala yang disukai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang jelas maupun yang tersembunyi.113 Dalam pengertian Islam, ibadah bukan semata-mata melaksanakan ritus yang diwajibkan, seperti: shalat, menunaikan zakat, berpuasa dan melaksanakan haji. Lebih jauh lagi, ibadah dalam pengertian Islam adalah berserah diri sepenuhnya hanya kepada Allah, melaksanakan kehendak-Nya dan apa yang disenanginya-Nya, melalui jalan dan cara yang telah ditetapkan-Nya. Namun demikian, inti dari semua itu adalah ibadah dalam bentuk ritual, dan hanya itulah satu-satunya kunci untuk melaksanakan ibadah yang penuh
111
Komaruddin Hidayat, Tuhan Begitu Dekat: Menangkap Makna-makna Tersembunyi di Balik Perintah Beribadah (Jakarta: PARAMADINA), 67. 112 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius (Jakarta: Penerbit Paramadina 1997) 113 T.M. Hasbi al-Siddieqy, Kuliah Ibadah: Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum dan Hikmah (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang), 1-6.
87
Menyibak Tabir Menggali Kubur
makna.114Artinya, seseorang tidak mungkin dapat melaksanakan ibadah yang penuh makna tanpa melakukan bentuk ritual ibadah. Pemahaman ibadah menurut Islam ini sejatinya tidak berbeda dengan apa yang difahami dalam Kristiani. Seorang pemimpin agama Kristiani, Skip Ryan, mengatakan bahwa “the emphasis in worship is on being, not doing,”115 bahwa yang ditekankan dalam peribadatan adalah ibadah itu sendiri, atau pemaknaan ibadah itu, bukan sekedar mengerjakan ibadah. Dalam Islam, ibadah tidak semuanya diterima oleh Allah S.W.T,116 ada dua syarat agar ibadah seseorang diterima oleh Allah, ikhlas semata karena Allah dan mengikuti sunnah Nabi-Nya.117 Terkait dua syarat diterimanya ibadah ini, Fud}ail bin ‘Iya>d} mengatakan bahwa suatu pekerjaan jika dikerjakan dengan ikhlas tapi tidak benar maka tidak diterima. Jika pekerjaan tersebut dikerjakan dengan benar tetapi tidak ikhlas maka tidak juga diterima. Pekerjaan yang benar dan ikhlaslah yang akan diterima. Ikhlas berarti dikerjakan semata karena Allah sedangkan benar berarti berdasarkan sunnah,118 sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat al-Zumar ayat 11-12 dan surat al-Kahfi ayat 110. Dari pemaparan terebut diatas, penulis menyimpulkan bahwa ibadah adalah nilai, sedangkan ritual adalah unsur teknis untuk mencapai nilai tersebut. Ibarat dua sisi mata uang yang tak mungkin terpisahkan, ibadah dan ritual saling melengkapi. Artinya, ibadah tidak akan lengkap dengan ritual dan ritual yang baik adalah yang dapat berubah menjadi ibadah Menurut Rakhmat, pengertian ibadah adalah sama dengan pengertian syariat Islam. Seperti syariat Islam, kita dapat membagi cakupan ibadah menjadi dua kategori: 1. ibadah yang merupakan upacara-upacara tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti salat, zikir dan shaum 2. ibadah yang mencakup hubungan antarmanusia dalam rangka mengabdi kepada Allah. Ibadah pertama bersifat ritual; ibadah kedua bersifat sosial. Untuk tidak mengacaukan orang awam (juga para ahli), para fuqaha menyebut ibadah pertama ‘ibadah mahd}ah (ibadah dalam arti khas), ta’abbudi atau taalluh 114 Khurram Murad, dalam kata pengantarnya di buku Inner Dimensions of Islamic Worship karya al-Ghazali, terj. Muhtar Holland (UK: The Islamic Foundation,
1983), 8.
115 Joseph F. Ryan, Worship: Beholding the Beauty of the Lord (Ilinois: Crossway Books, 2005), 94. 116 Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam alQuran surat al-Maidah ayat 27, al-Munafiqun ayat 1, dan al-Taubah ayat 53, 83. 117 Kha>lid al-Sayyid Raushah, Ladhdhatu al-‘Iba>dah: Birna>mij ‘Amaliy li alTarbiyah al-I>ma>niyyah (Alexandria: Da>r al-S}afa> wa al-Marwah, 2004), 55. 118 Ja>mi‘ al-‘Ulu>m wa al-H}ikam, 17.
88
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
(menurut Abul A’la al-Maududi). Ibadah kedua lazim disebut sebagai muamalah atau al-‘adah. Ushul fiqh menyatakan bahwa dalam urusan ibadah, semuanya haram, kecuali bila secara pasti terdapat dalil yang memerintahkan; sedangkan dalam urusan ‘adah (muamalah), semuanya boleh, kecuali bila secara pasti terdapat dalil yang melarang. Masih menurut Rakhmat, ‘ibadah mahd}ah hanya terdiri atas delapan hal: t}aharah, salat, puasa, zakat, haji, mengurus jenazah, ud}h}iyyah (penyembelihan) dan aqiqah, zikir dan doa. Dalam delapan hal ini, kita tak boleh mengembangkan hal-hal yang baru, semuanya haram, kecuali bila ada dalil yang memerintahkan. Di sini, sifat kreatif dan inovatif dilarang. Bahkan kita harus menjalankannya tanpa merenungkan secara ‘aqliyyah, “ghairu ma’qu>la>t al-ma’na”, ujar ahli ushul fiqh. Kita harus mengangkat tangan ketika mengucapkan Allahu Akbar, melirik ke kanan dan kiri ketika menyebut Assala>mu’alaikum. Mengapa? Wallahu a’lam. Kita jalankan saja, karena meniru contoh Nabi s.a.w. ini adalah urusan ta’abbudi. Bila> kaifa- tanpa bertanya kenapa? Caranya, waktunya, tempatnya sudah ditentukan oleh Rasulullah s.a.w. Ibadah kedua—yang dalam pembicaraan sebelumnya disebut muamalah—menuntut kita untuk kreatif dan inovatif. Islam hanya memberikan petunjuk umum dan pengarahan saja.119 Disinilah titik temu antara ritual dan ibadah, keduanya memiliki sisi dinamis. Atau meminjam bahasa Bruce Kapferer, ibadah memiliki sisi “virtualitas.” Pertanyaan yang timbul selanjutnya adalah, benarkah Internet mampu memvirtualisasikan ritual? Bagaimana mungkin memahami praktek-praktek kegamaan orang-orang yang tidak berkumpul pada satu tempat yang sama, atau lebih menariknya, memahami praktek keagamaan yang pesertanya tidak pernah bertemu satu sama lain? Sebagaimana yang dikatakan Barbara Myerhoff, bahwa “ritual sesungguhnya bersifat fisiologis: membuktikan basis tingkah laku mereka, menggunakan pengulangan dan melibatkan seluruh sensor diri melalui presentasi dramatis dengan menggunakan beberapa kostum, topeng, warna, tekstur, bebauan, makanan, minuman, lagu, tarian, tiang, bingkai, dan lain-lain (1977: 199). Apabila para sarjana mendukung pemahaman ritual sebagaimana diatas, mereka akan menyimpulkan bahwa ritual yang diadakan di dunia maya sesungguhnya “tidak nyata”, karena makna ritual tidak akan pernah melebihi puncak virtual. Walaubagaimanapun, seseorang harus berhati-hati dengan penolakan ini. Tentunya karena beberapa elemen penting dari ritual tradisional akan hilang jika tanpa kehadiran fisik. Tetapi bagaimana jika kita berfikir 119 Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-Ceramah di Kampus (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), 46-47.
89
Menyibak Tabir Menggali Kubur
terbalik, daripada kita sepakat bahwa ketiadaan kehadiran fisik akan membuat ritual menjadi tidak nyata atau “kosong, kita mungkin lebih baik menanyakan apa yang mungkin dimanfaatkan ritual dari suasana virtual dan makna apa yang mungkin diperoleh oleh para peserta ritual di dunia maya, sehingga mereka mau berkumpul lagi dan lagi untuk melaksanakan cyber-ritual bersama bahkan walaupun mereka harus membayar untuk itu. Validitas suatu ritual tidak dapat dengan mudah dihubungkan dengan kehadiran fisik atau bentuk mediasi. Apa yang kurang dari online ritual, tepatnya adalah ketiadaan kehadiran fisik yang memungkinkan para peserta ritual untuk secara dalam merasakan bahwa mereka akan berakhir di ruang bawah tanah, dan diselimuti oleh kematian. Sebagaimana yang dikatakan Ronald Grimes, “semua ritual, apapun bentuk ungkapannya, merupakan bentuk partisipasi manusia dan penggunaan teknik yang mencoba membangun ulang dan mengintegrasikan antara fikiran dan emosi para pesertanya.” Jika inilah tujuan utama dari semua ritual, online sama saja dengan offline, maka kita bisa saja mengatakan bahwa ritual-ritual di dunia cyber ini memiliki kemanjuran (efficacy), karena ritualritual tersebut melaksanakan fungsi pembangunan ulang serta mere-integarsikan fikiran dan emosi pesertanya. Kita bisa saja memprediksi, bagaimanapun, kita akan terus melihat agama-agama, baik yang lama dan baru, saling berebut perhatian dalam pasar kulutral dan menggunakan teknologi untuk meraih pelanggan-pelanggan baru. Jika itu terjadi, maka komputer dan jaringan komputer memiliki peran yang sangat signifikan bagi perkembangan agama di masa depan.120 Karena kemampuannya untuk menampilkan proses konstruksi relijiusitas individu melalui ruang-ruang virtual yang digunakan untuk kegiatan keagamaan, Internet menghadirkan sebuah sumber baru dan tak dapat dibandingkan bagi kajian keagamaan dan telah banyak digunakan sebagai sumber kajian agama-agama dan ritual. Diantara ruang-ruang virtual keagamaan yang ada di Internet adalah Active Worlds121 yang sudah aktif sejak 1995 dan There122 pada tahun 1998. Tetapi yang paling terkemuka dan terkenal adalah aplikasi 3D berbasislangganan (subscription-based 3D application), dikenal dengan Second Life123 yang mulai dipasarkan untuk publik online pada tahun 2003.
120
Stephen D. O’Leary, Cyberspace as Sacred Space: Communicating Religion on Computer Networks, dalam Lorne L. Dawson and Douglas E. Cowan (Eds.), Religion Online: Finding Faith on the Internet, (New York and London: Routledge, 2004) 121
http://activeworlds.com/ http://there.com/ dan tidak lagi beroperasi sejak 9 Maret 2010. 123 http://secondlife.com/ 122
90
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Hal menarik dari Second Life ini adalah fakta bahwa semakin banyak penduduk di Second Life yang menganggap bahwa Second Life tidak hanya sebuah tempat bermain game online, tetapi sebagai wujud eksplorasi kemungkinan-kemungkinan kehidupan nyata yang harus ditangani secara serius. Fakta lain menyebutkan bahwa mereka tidak hanya aktif dalam masalah sosial tetapi juga dalam masalah keagamaan yang akhirnya terjadilah perpindahan aktivitas kehidupan nyata serta simbol-simbol dan kegaitan-kegiatan keagamaan ke ruang maya.124 Sara Reeder mengatakan bahwa semakin Internet masuk ke dalam dunia kita, maka keyakin-keyakinan keagamaan yang telah ada terdahulu akan berhadapan dengan model kebaktian yang lebih baik yang tidak terbatas dengan batasan geografis.125 Tidak hanya di dunia maya, ritual juga hadir di layar handphone. Contohnya seperti gadget ini, Odin 99 sebuah hand phone yang dirancang khusus untuk pada penganut Buddha.
Gambar 10. Handphone Odin 99. Handphone yang berbalut warna logam emas yang menunjukan warna Buddha ini memiliki beberpa fitur yang mendukung dalam sarana berdoa. Terdapat fitur virtual pembakaran kemenyan, ritual pemurnian, dan memutar musik yang dapat mendukung meditasi anda. Dengan adanya hand phone ini para penganut Buddha dapat melakukan meditasi di manapun mereka berada serasa di vihara. Untuk sementara Odin 99 ini hanya tersedia di China.126
124
Kerstin Radde-Antweiler, “Cyber-Rituals in Virtual Words, WeddingOnline in Second Life,” Masaryk University Journal of Law and Technology, diunduh dari http://storage02.video.muni.cz/prf/mujlt/storage/1205309627_sb_r02-radde.pdf 125 Sara Reeder, “In The House of The Digital Gods: Meditations On The New Rituals of Cyberspace,” diakses online dari http://www.earthportals.com/god.html, pada tanggal 1 Agustus 2010. 126 http://kabarit.com/2009/05/hand-phone-buddha-%E2%80%9Csaranamendekatkan-diri-dengan-buddha-melalui-teknologi%E2%80%9D/
91
Menyibak Tabir Menggali Kubur
Apa yang dimaksud dengan ritual online pada akhirnya hanyalah berupa hadirnya simbol-simbol relijius dalam ruang maya.127 Hal ini berarti bahwa yang kita virtualkan sebenarnya adalah simbol-simbol keagamaan yang berbentuk ritual. Begitu juga dengan virtualisasi ibadah, sesungguhnya apa yang kita virtualkan adalah simbol-simbol ibadah bukan ibadah itu sendiri. Contohnya, ketika kita membaca al-Quran dari mushaf yang ada di layar handphone atau komputer, sesungguhnya kita telah memvirtualkan simbol keagamaaan yaitu al-Quran. Jika kita kembali pada dikotomi ibadah dan mu’amalah-sebagaimana yang dipaparkan oleh Rakhmat diatas, virtualisasi ibadah sebatas pada virtualisasi mu’amalah. Karena hanya sisi mu’amalah yang memiliki ruang dinamis, sedangkan ibadah sudah terpola oleh ketentuan syariat dan tidak ada lagi negoisasi lebih lanjut. Dalam konteks pembahasan virtualisasi ritual ini, mari menyimak wawancara Zaleski dengan beberapa pemuka agama yang telah berkecimpung langsung di dunia maya terkait kemungkinanan memvirtualkan ritual dalam beragam keyakinan. Rabi Yosef Y. Kazen, direktur kegiatan pada situs ChabadLubavitch (http://www.chabad.org/) ditanya tentang kemungkinan memindahkan sinagog ke web, “Dapatkah sinagog diduplikasi secara online?” tanya Zaleski. “Penggandaan dapat saja dilakukan,” jawab Kazen, “tetapi hanya hingga tingkat tertentu. Ada keterbatasan. Misalnya, dalam kehidupan orang Yahudi, pria di atas usia tiga puluh harus mengenakan tefillin (kantung kulit yang berisi lembaran ayat-ayat Taurat) setiap akhir munggu. Ini betul-betul tindakan fisik. anda mengambil kotak kulit, meletakkannya di atas tangan anda, menggenggamnya, dan meletakkannya di atas kepala sembari membaca doa-doa tertentu. Ya, doa itu sendiri dapat dibaca di Internet. Akan tetapi, tindakan aktual perlu dilakukan oleh raga jasmani. Konsep ajaran Yahudi pada umumnya adalah dengan menggunakan materi- kulit hewan, bulu domba yang dijadikan wol- sehingga terdapat partisipasi aktual dalam semua empat tingkatan yang berbeda: benda mati, tumbuhan, hewan dan manusia- semuanya ke dalam satu aspek. “Bisakah saya makan secara virtual?” lanjutnya, “berapa lama saya bisa bertahan dengan cara demikian? Saya bisa membaca resep, tetapi saya masih harus pergi keluar untuk berbelanja telur, membeli gula.” Zaleski kemudian menanyakan lebih lanjut apakah ada aspek lain dari ajaran Yahudi yang tidak dapat dipindahkan ke cyberspace.
127
Casey, C. A. , 2008-11-20 "Symbol and Ritual Online: Case Studies in the Structure of Online Religious Rituals" Paper presented at the annual meeting of the NCA 94th Annual Convention, TBA, San Diego, CA Online . 2010-11-11 from http://www.allacademic.com/meta/p260217_index.html
92
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
“Anda tidak dapat melakukan minyan secara online. Anda tidak dapat memiliki kuorum sepeluh orang,” jawab Kazen. Jawaban ini lantas mengundang keheranan Zaleski mengapa sepuluh orang Yahudi tidak dapat bertemu dalam chat room online secara real-time dan lantas melakukan minyan- jumlah minimal berdasarkan tradisi Yahudi, yang dibutuhkan untuk melakukan doa dan ibadah secara berjamaah. “Menarik sekali. Kenapa tidak bisa?” “Karena kuorum sepuluh orang memerlukan sepuluh raga jasmani. Setiap orang memiliki secercah tanda kesalehan dalam dirinya, yakni ruhani. Ritual ini memerlukan sepuluh orang, yang mencerminkan sepuluh tingkatan berbeda dari kesalehan. Oleh karena itu, anda mungkin dapat mengumpulkan sembilan orang yang tidak mungkin tidak religius sama sekali, dan seorang yang religius. Komitmen religius mereka bukanlah yang menjadi masalah, selama mereka orang Yahudi.” “Dan pria, di atas usia tiga puluh tahun. Konsepnya adalah bahwa jika anda memiliki sepuluh orang yang demikian, anda menurunkan tingkat kesalehan yang lebih tinggi yang memungkinkan anda untuk membacakan doa
Kaddish.” “Tapi mengapa,” tanya Zaleski lebih lanjut, “hal itu tidak bisa dilakukan di chat room dengan sepuluh orang pria?” “Karena tidak ada kehadiran fisik. Kita tidak perlu melihat realitas spiritual tentang apa yang terjadi pada saat itu. Namun, hal tertentu harus dilakukan oleh orang-orang secara fisik, seperti halnya makanan harus dimakan oleh orang secara fisik.”128 Dari percakapan diatas, satu hal yang dapat digaris bawahi adalah bahwa konsep ritual dalam Yahudi mengharuskan adanya kehadiran fisik. Dalam hal in, ketidakmampuan Internet untuk mentransofrmasikan fisik para peserta ritual ke dalam ruang maya adalah hal yang menggagalkan terjadinya virtualisasi ritual yang ada dalam agama Yahudi. Selanjutnya, mari kita melihat bagaimana pandangan keyakinan Kristiani dalam konteks virtualisasi ritual yang dalam hal ini diwakili oleh James S. Mulholland, seorang direktur Keuskupan Martino untuk The Path to Peace Foundation of the Holy See Mission untuk PBB yang juga memiliki kedudukan sebagai Knight Commander di Ordo Saint Gregory, gelar kehormatan tertinggi yang diberikan gereja Katolik kepada orang orang awam yang tidak memimpin negara dan juga salah satu penanggungjawab CICI 128
Jeff Zaleski, Spiritualitas Cyberspace: Bagaimana Teknologi Komputer Mempengaruhi Keberagamaan Kita, terj. Zulfahmi Andri (Bandung: Mizan, 1999), 4042.
93
Menyibak Tabir Menggali Kubur
(Catholic Information Center on Internet), salah satu indeks Katolik Roma yang pada Agustus 1996 menerima penghargaan sebagai situs Katolik terbaik dari IWAY 500, salah satu tempat di Internet yang menilai situs Internet yang lain. Zaleski menanyakan apakah menurut Mulholland, ritual religius-dalam kasus gereja, setiap kegiatan sakramen-dapat dilakuakn di Internet? Misalnya, pengakuan dosa? Mulholland menjawab: “Pertama-tama saya harus mengaku bodoh. Saya tidak tahu tentang persyaratan sakramen. Menurut pendapat saya, sebagian persayaratan pengakuan dosa mungkin bisa dilakukan melalui Internet, misalanya masalah kerahasiaan. Dengan berbagai sistem keamanan yang tersedia, kegiatan ini akan lebih mungkin dilakukan di masa datang. Di Internet, dengan lebih mudah dan lebih aman. Bagaimanapun, kita telah memiliki telepon sejak lama. Dan setahu saya, telepon tidak pernah digunakan untuk pengakuan dosa. Jadi, mungkin bentuk baru komunikasi ini tidak sepenuhnya memenuhi syarat. Saya kira Komuni lebih tidak mungkin dilakukan. Dan saya kira kita tidak akan mengatasi kekuarangan pendeta dengan cara seperti ini.” Dari jawaban Mulholland diatas, Zaleski menyimpulkan bahwa permasalahan ketidak mungkinanan tersebut hanyalah masalah bagaimana memenuhi persayaratan khusus dari gereja.129 Hal ini berarti bahwa virtualisasi ritual tidak mungkin dilakukan jika berbenturan dengan persyaratan khusus yang dikeluarkan oleh gereja. Setelah melihat pandangan dari agama Islam, Yahudi dan Kristiani, selanjutnya mari melihat bagaimana pandangan agama Buddha mengenai virtualisasi ritual. Dalam hal ini, mari mengamati percakapan Zaleski dengan John Daido Loori, seorang kepala biarawan di Biara Gunung Zen (Zen Mountain Monastery) yang juga pendiri situs Zen Mountain Monastery (http://www.mro.org/zmm/). Dalam pertemuannya dengan Loori, Zaleski menanyakan perihal kemungkinanan mengadakan ritus secara online. Berikut adalah catatan wawancara Zaleski dengan Loori, Jeff Zaleski: “Apakah anda pernah mempertimbangkan untuk melakukan ritus suci secara online?, Katakanlah, upacara pengalihan?” Loori: “Tidak, sama sekali tidak. Saya juga tidak memimpikan melakukan hal yang sama untuk tiga puluh tahun pelatihan yang saya lakukan dengan para rahib, dengan mentransmisikan dharma ke seseorang yang tidak pernah saya lihat. Tidak akan.” JZ: “Dan mengapa tidak?” 129
94
Jeff Zaleski, Spiritualitas Cyberspace..,134-135.
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Loori: “Karena guru menjadi murid, dan murid menjadi guru. Ini harus dilakukan dalam hubungan yang dekat. Sebagaian besar cara tersebut harus dilakukan dengan penuh kesiapan terus-menerus. Itulah satu aspek yang paling sulit dari praktek awam. Saya mempunyai peserta awam yang telah melakukan pelatihan bersama saya selama tujuh belas tahun, dan mereka tidak siap untuk pengalihan, hanyakarena sedikitnya waktu yang mereka sediakan untuk kontak langsung. Anda tidak akan sungguh-sungguh melihat watak seseorang hingga mereka berada dalama tekananan hebat.” JZ: “Hal tersebut berlangsung dua arah kan? Maksud saya, mereka harus melihat anda seperti halnya anda melihat mereka.” Loori: “Tentu. Orang-orang memiliki pandangan yang ideal tentang bagaimana guru Zen seharusnya. Anda tahu berapa kali saya dengar tentang merokok? Apakah hal ini bertentangan dengan ajaran Buddha? Saya pergi ke pertemuan para menteri, menteri penjara. Ada sekitar enam puluh atau tujuh puluh orang, dan saya diminta untuk berbicara tentang ajaran Buddha. Para rabi merokok, pendeta Katolik merokok, orang Protestan merokok, dan semua orang mempermasalahkan kenyataan bahwa saya merokok. Bagaimanapun juga, orang Buddha memang tidak seharusnya merokok. Anda tahu, saya diharapkan untuk suci.” JZ: “Saya ingin tahu lebih jauh. Apakah anda hanya bicara soal para murid yang mengamati siapa anda, atau apalah anda juga bicara tentang sebentuk energi yang dalirkn dari guru ke murid yang tak dapat dialirkan melalui cyberspce?” Loori: “Benar. Misalnya dokusan. Ini berlangsung selama waktu meditasi yang lama, dan hampir mustahil untuk berpura-pura dalam situasi seperti itu. Ini sangat langsung, sangat jujur. Itu hal yang sangat penting dalam Zen karena Zen adalah transmisi khusus di luar naskah-naskah. Ini tidak berkaitan dengan kata-kata dan tulisan. Ini merupakan penyadaran langsung tentang apa ia sebenarnya. Ini merupakan silsilah kuno, dan ditransmisikan dari pikiran-pikiran, orang ke orang, selama dua ribu lima ratus tahun. Selalu dilakukan dengan transmisi langsung tersebut. Ini tidak berkaitan dengan memahami sutra, ini bukan tentang melakukan ibadah, atau membaca mantera, atau sejenisnya. Ini menyangkut penyadaran dan penyadaran menjadi transformatif-diwujudkan.”130 Dari percakapan Zaleski dengan Loori di atas, hal terpenting yang dapat disimpulkan bahwa Internet dengan segala kecanggihannya ternyata tetap saja tidak mampu mentransfer nilai-nilai yang terkandung dalam ritual Zen.
130
Jeff Zaleski, Spiritualitas Cyberspace..,198-199.
95
Menyibak Tabir Menggali Kubur
Dalam rangkaian kajian virtualisasi ritual ini, lebih lanjut mari kita mencermati percakapan Zaleski dengan Swatmi Atma, direktur Sivananda yang memiliki situs Sivananda Yoga “Om” Page (http://www.sivananda.org/). Situs ini menyampaikan ajaran Sri Swami Sivananda (1887-1963), aliran Sivananda Yoga , atau yoga sintesis, yang menggabungkan unsur-unsur dari empat jalan tradisional Yoga: jnana yoga (kebijaksanaan), bhakti yoga (yoga pengabdian), karma yoga (yoga jalan peniadaan diri), dan raja yoga (yoga fikiran). Situs ini menguraikan ajaran Sivananda, termasuk informasi kegiatan Vedanta Yoga Sivananda, dan memberikan langganan gratis buletin elektronik dengan sebutan
Gurugram. Berikut ini adalah catatan wawancara Zaleski dengan Swatmi Atma mengenai kemungkinan melakukan Yoga online: JZ : Itu melahirkan pertanyaan yang menarik. Saya dapat membaca banyak buku tentang Yoga, dan saya bahkan dapat menonton video, yang tentu dapat anda sajikan di halaman web, meskipun waktu mendownloadnya mungkin menjadi penghalang. Namun, semua ini tidak akan sama dengan pelajaran saya dengan guru Yoga dalam bentuk fisik. Atau mungkinkah? SA : Benar. Hal itu tak akan dapat digantikan. Banyak orang mempunyai komputer fobia, mereka secara refleks akan mengatakan, “orang akan mengakses semua ini dan kemudian mereka tidak akan pernah mendatangi ashram.” Namun, saya percaya bahwa hal demikian tidak akan terjadi. Hal itu sama saja dengan mengatakan: karena adanya buku-buku tentang Yoga, lebih sedikit orang yang mempraktikkan atau mencari guru. Tidak, ini hanya merupakan batu loncatan untuk mendorong orang agar lebih mendekat. Tentu saja, mereka dapat mencoba sendiri beberapa hal dari buku atau dari video, tetapi kemungkinan besar hal itu hanya akan mendorong mereka untuk mencari dan belajar dari guru. JZ : mengapa anda menganggap penting bagi orang untuk melakukan hal tersebut, dan tidak berhenti pada yang mereka peroleh dari komputer atau buku? SA : ini merupakan sifat ajaran ini. Dengan praktik Yoga dan praktik spiritual, ada sesuatu yang lebih halus yang harus ditransmisikan. Tentu saja, kita tidak dapat memikirkannya dalam istilah teknis yang terperinci, seperti “Jika mereka mengambil sikap tertentu, haruslah adayang memperhatikan kesalahan” dan sebagainya, tetapi ini lebih halus daripada itu. Ada energi tertentu dan sesuatu yang dilewatkan melalui hubungan yang hidup dengan guru yang tak dapat digantikan oleh medium lain. JZ : Anda tidak menganggap itu dapat ditransmisikan melalui
cyberspace?
96
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
SA: Tidak. Itu tidak akan pernah menggantikan peran guru Yoga yang sesungguhnya. Ketika saya mulai mempelajari Yoga, dua tahun pertama saya lakukan melalui buku-buku sehingga saya faham betul mengenai hal ini. Ini bebrbeda sekali. Ketika saya mulai mengikuti kelas Yoga yang sesungguhnya dengan guru, saya mulai memperoleh kemajuan dan menemukan apa itu sesungguhnya Yoga. Saya sudah mendapat manfaat dari melakukan Yoga melalui buku-buku, tetapi ada perbedaan dimensi ketika saya bertemu dengan guru.131 Satu hal penting yang perlu digaris bawahi dari percakapan diatas bahwa perangkat komputer hanyalah pintu masuk untuk memahami Yoga. Banyak orang dapat mencoba sendiri beberapa hal dari buku atau dari video, tetapi kemungkinan besar hal itu hanya akan mendorong mereka untuk mencari dan belajar dari guru. Internet tidak akan pernah menggantikan peran guru Yoga yang sesungguhnya. Karena dalam praktik Yoga sendiri memiliki sesuatu yang lebih halus yang harus ditransmisikan dan hal ini tidak dapat dilakukan oleh Internet. Setelah menguraikan bagaimana sesungguhnya konsep ritual jika dipertemukan dengan kekuatan Internet dari pandangan keyakinan yang berbeda, penulis ingin menekankan tiga hal; pertama, bahwa sesungguhnya ritual, dalam pandangan keyakinan yang berbeda, memiliki nilai-nilai subtstantif yang tidak dapat ditransformasikan melalui perangkat komputer. Nilai-nilai ini hanya dapat ditransformasikan melalui fisik para peserta ritual yang dalam hal ini Internet tidak mampu mewujudkannya di dunia virtual. Kedua, setiap keyakinan memiliki sifat serta aturan-aturan baku terkait ritual. Hal inilah yang kemudian mempersempit ruang dinamis yang ada dalam ritual. Ketiga, apa yang dimaksud dengan ritual online pada akhirnya hanyalah berupa hadirnya simbol-simbol relijius dalam ruang maya.132 Virtualisasi ritual yang ada di dunia maya sesungguhnya tidak berarti virtualisasi ritual secara utuh.
131
Jeff Zaleski, Spiritualitas Cyberspace.., 236-237. Casey, C. A. , 2008. "Symbol and Ritual Online: Case Studies in the Structure of Online Religious Rituals" Paper presented at the annual meeting of the NCA 94th Annual Convention, TBA, San Diego, CA Online . 2010-11-11 from http://www.allacademic.com/meta/p260217_index.html 132
97
Menyibak Tabir Menggali Kubur
98
MEMBANGKITKAN KONSUMEN DAKWAH MENGUNGGAH TUHAN “It's an astonishing act of technological and intellectual mainstreaming that is changing the character of the Internet, and could even change our ideas about God.” (Joshua Cooper Ramo/Chama) Pada bab sebelumnya penulis telah mengupas kehebatan Internet, pesona tata ruang maya yang memikat banyak orang—termasuk kalangan agamawan, problematika pemindahan atribut keagamaan ke dalamnya serta bagaimana para Dai menyikapi hal ini, yang pada intinya menegaskan bahwa ada dunia lain selain dunia nyata yang kita rasakan ini. Di dalamnya terdapat fenomena keagamaan yang tidak terbayangkan sebelumnya yang pada akhirnya menuntut peremajaan konsep dakwah; baik dari sisi Dai, mad’u maupun metode dakwahnya. Dalam konteks peremajaan ini, implikasi yang paling jelas terjadi pada tubuh dakwah adalah berubahnya tanggung jawab kesuksesan dakwah yang selama ini dibebankan pada Dai. Sebagaimana yang telah dibahas panjang lebar dalam bab sebelum ini bahwa dunia maya memiliki aturannya tersendiri. Tata ruang maya sangatlah berbeda dengan tata ruang dunia nyata. Masyarakat yang hidup di dalamnya juga memiliki pola kehidupan yang berbeda. Hal ini tentunya turut berimbas kepada pola kesuksesan dakwah yang ada di ruang baru tersebut. Jika di dunia nyata kesuksesan dakwah sangatlah bergantung pada kualitas pribadi Dai, maka di dunia anonim, yang tidak dapat membedakan mana Dai yang berkualitas mana yang tidak, kesuksesan dakwah tidak lagi dapat dibebankan kepada Dai. Oleh karenanya, penulis kemudian mengajukan solusi dengan membangkitkan para konsumen dakwah (mad’u). Pada pembahasan bab ini, penulis akan memaparkan argumentasi solusi pembangkitan mad’u berdasarkan data yang penulis himpun, kemudian penulis akan meletakkan permasalahan dalam konteks keberagamaan yang lebih luas. A.
KISRUH ANONIMITAS DUNIA MAYA Kata “anonimitas” baru muncul pada awal abad 19, berdasarkan OED (Oxford English Dictionary), tepatnya pada masa kekuasaan Ratu Elizabeth.
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
Seorang penerjemah yang sangat dikenal saat itu, Philemon Holland, memberikan catatan pada terjemahannya tentang Pliny’s Natural History (1601) bahwa sesuatu yang ditemukan tapi tidak memiliki nama panggilan selanjutnya diberi nama “anonymos.” Menurut Gaston,1 lahirnya kata “anonymos” dalam bahasa Inggris tidak berarti menyamakan antara apa yang tanpa nama dan memberi nama sesuatu yang tanpa nama. Walau bagaimana pun, kata tersebut dapat digunakan dalam konteks yang beragam,2 sehingga dapat melahirkan definisi berbeda seuai dengan konteksnya. Anonimitas bisa diterapkan menjadi tidak mungkin atau sangat susah untuk mengetahui siapa penulis sesungguhnya suatu pesan. Bentuk yang paling umum dari anonimitas adalah pseudonymity (nama samaran), menampilkan nama lain selain nama asli penulis. Seorang yang memakai nama samaran biasanya memang sangat rahasia, tetapi terkadang nama asli di balik nama samaran tersebut sudah sangat dikenal, seperti Asmarani Rosalba yang mempunyai nama samaran Asma Nadia. Anonimitas dalam konteks komunikasi secara umum, menuai pro dan kontra yang berkisar pada 3 kategori utama. Pertama, beberapa kritikan terhadap anonimitas mengatakan bahwa penyingkapan identitas sesungguhnya memberikan efek informatif yang sangat penting. Identifikasi terhadap pembicara dapat membantu audiens untuk menilai kebenaran atau akurasi pembicaraannya. Seorang pendengar akan mengevaluasi isi pembicaraan seseorang berdasarkan kepentingannya serta reputasi pembicara. Namun identifikasi identitas pembicara dapat juga mempengaruhi para pendengarnya untuk salah menilai kebenaran atau dorongan persuasif yang ditimbulkan dari pembicaraan. Aspek lain dari efek informatif penyingkapan identitas adalah mencegah adanya penyamaran identitas. Tabir anonimitas hanya akan mengundang terwujudnya penyamaran serta pemalsuan identitas. Dalam suatu kondisi anonim, seseorang dengan bebas memperkenalkan diri mereka dengan identitas serta atribut yang mereka inginkan. Seorang supir taksi dapat mengaku seorang kaya raya. Tua jompo boleh saja memperkenalkan dirinya sebagai remaja ingusan berusia belasan tahun. Seorang perempuan kulit hitam mungkin saja menjadi seorang lelaki kulit putih. Kondisi anonim di dunia maya 1 Sean Gaston. "(Not) meeting without name." symploke 16.1-2 (2008): 107+. Gale Arts, Humanities and Education Standard Package. Web. 20 Mar. 2010.
http://find.galegroup.com/gps/infomark.do?&contentSet=IACDocuments&type=retrieve&tabID=T002&prodId=IPS&docId=A209899472&source=gal e&srcprod=SP01&userGroupName=ptn046&version=1.0 2 AN Joinson, Understanding the Psychology of Internet Behavior: Virtual Worlds, Real Lives (Palgrave, Basingstoke, 2003).
99
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan sosial di mana penampilan anda menjadi tidak penting. Penampilan hanyalah sesuatu yang sangat tidak relevan. Kemampuan seseorang untuk memakai topeng-topeng yang berbeda, menjadikan ia ingin untuk berkesperimen mencoba menjadi seseorang yang lain. Seseorang yang cacat fisik misalnya, dapat menikmati pergaulan dalam suatu interaksi sosial dengan orang-orang yang tentunya tidak mengetahui kekurangan yang ia miliki. Kedua, perdebatan mengenai anonimitas biasanya berkisar tentang efek terjadinya pemaksaan suatu kelompok. Ketika suatu kelompok megutarakan pendapatnya mengenai sebuah permasalahan kontroversial di ruang publik, tentunya kelompok tersebut harus bersiap menghadapi kecaman, bahkan tak jarang menghadapi perlawanan fisik dari kelompok-kelompok lain yang kontra dengan mereka. Hal inilah yang kemudian menjadikan keharusan untuk menungkapkan identitas asli dinilai telah menghalangi kebebasan berekspresi kelompok-kelompok yang terkucilkan di masyarakat. Dengan adanya anonimitas, orang dapat terbebas dari konsekuensi-konsekuensi publik atas pendapat mereka. Tetapi di sisi lain, anonimitias mempunyai efek negatif yaitu menyebarnya pesan-pesan kebencian dari kelompok-kelompok yang termarginalkan. Efek anonomitis ketiga yang sering dibicarakan adalah permasalahan penerapan undang-undang. Dalam sebuah situasi di mana pidato tentang tematema tertentu dianggap ilegal, maka penyingkapan identitas pembicara dapat mengoptimalkan penerapan undang-undang. Karena merasa takut ditangkap, kebanyakan orang menghindari menyampaikan pidato mengenai tema-tema yang ilegal. Potensi untuk menyembunyikan identitas seseorang, menghindari tanggungjawab dari pidato-pidato ilegal, keduanya telah mendorong terjadinya penipuan pesan-pesan online dan juga menghambat usaha-usaha penerapan undang-undang. Hiroaki Morio dan Christopher Buchholz mengkaji anonimitas dalam konteks yang lebih spesifik, yaitu anonimitas dalam konteks komunikasi bermedia komputer. Mereka mengemukakan tiga tingkatan anonimitas yang ada dalam komunikasi bermedia komputer. Pertama, anonimitas visual (visual anonymity). Anonimitas visual berarti kita tidak dapat melihat partner kita dalam berkomunikasi, kecuali dengan menggunakan aplikasi live-video conferencing. CMC memang biasanya tidak melibatkan gambar visual dari para penggunanya. Anonimitas visual eksis di komunitas online yaitu ketika orangorang dalam komunitas tersebut berkomunikasi satu sama lain tanpa menampilkan gambaran fisik mereka pada pesan-pesan yang mereka tuliskan. Tingkatan kedua dari anonimitas adalah pemisahan antara identitas nyata dan identitas online. Dalam komunitas online, banyak ditemukan fakta-
100
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
fakta yang menunjukkan bahwa orang-orang di dalamnya menciptakan personapersona baru bagi dirinya dengan menggunakan nickname atau avatar. 3 Dengan menciptakan identitas baru ini, secara virtual, individu dapat menjadi orang lain, dengan kepribadian serta atribut diri yang berbeda. Tingkatan ketiga dari anonimitas adalah konsep lack of identifiability (kekurangan kemampuan untuk identifikasi), di mana perilaku seseorang tidak dapat dibedakan dengan perilaku orang lain.4 Di antara tiga tingkatan anonimitas yang ada, lack of identifiability adalah yang paling mendekati “the true anonymity” di mana individu-individu yang ada tidak lagi dapat menentukan sumber pesan yang mereka terima. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Azehci,5 tiga tingkatan anonimitas yang ada bersifat hirarkis secara alami (lihat gambar 11). Visual anonimitas berada di level paling bawah dalam CMC. Anonimitas pada level ini terkadang masih dapat menunjukkan identitas asli penulis pesan, sebagaimana dalam email, kita biasanya mengirim dan menerima e-mail dari orang yang kita kenal.
\
Gambar11. Hirarki Tingkatan Anonimitas
Tingkatan kedua, yaitu dissociation of real and online identity, terlihat jelas dalam chat rooms. Ketika bergabung dalam chat rooms, individu kebanyakan menampilkan identitas yang berbeda dari identitas asli mereka. Pada tingkatan tertinggi anonimitas, lack of identifiability, indvidu secara penuh anonim. Hal ini kita temukan dalam newsgroups dan layana-layanan lain 3 S. Turkle, Life on The Screen: Identity in the Age of the Internet (New York: Simon & Schuster, 1995). 4 K. Douglas, McGarty C (2001). “Identifiability and self-presentation: computer-mediated communication and intergroup interaction,” Br J Soc Psychol 40:399–416. 5 S. Azechi (2005). “Information humidity model: explanation of dual modes of community for social intelligence design.” AI Soc 19:110–122.
101
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
yang memungkinkan kita untuk mengirim pesan-pesan tanpa harus membubuhkan identifiable marking.6 Mikael Berglund pernah menstudi bagaimana anonimitas digunakan di 7 Internet. Studinya tersebut berdasarkan data publik newsgroup dari server Swedish Usenet News. Berikut adalah tabel selengkapnya: Persentase
Topik
18,8 %
Sex
18,5 %
Iklan pencari pasangan
9,4 %
Tes
8,7 %
Software
5,8 %
Hobi, pekerjaan
4,7 %
Tidak terklasifikasi
4,3 %
Computer hardware
4,0 %
Agama
3,6 %
Gambar
2,5 %
Ras
2,5 %
Politik
2,2 %
Etika ber-Internet
1,4 %
Kritik personal terhadap orang tertentu
1,4 %
Rujukan Internet
1,4 %
Iklan yang menjual sesuatu
1,4 %
Psikologi
1,1 %
Perang, kekerasan
1,1 %
Narkotika
1,1 %
Etika
0,7 %
Puisi 6
Hiroaki Morio dan Christopher Buchholz, “How Anonymous Are You Online? Examining Online Social Behaviors from a Cross-cultural Perspective” AI & Soc (2009) 23:297-307. 7 Sebagaimana dikutip oleh Jacob Palme and Mikael Berglun, “Anonymity on the Internet,” diakses online dari http://people.dsv.su.se/~jpalme/society/anonymity.html pada tanggal 1 Februari 2010.
102
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
0,7 %
Gosip selebriti
0,7 %
Obat-obatan medis
0,4 %
Fiksi
0,4 %
Penyensoran Tabel 1. Klasifikasi Penggunaan Anonimitas Berdasarkan Konten Pesan
Dari data di atas, apa yang bisa kita katakan tentang anonimitas di Internet? Baik atau buruk kah anonimitas Internet? Singkatnya, anonimitas dan pseudonimitas dapat digunakan untuk tujuan baik dan buruk. Palme dan Berglund menyebutkan beberapa tujuantujuan baik dari anonimitas dan pseudonimitas:8 Orang-orang yang berasal dari organisasi tertentu, yang merasa takut dari serangan, atau menghadapi ancaman serius dapat menggunakan bentuk-bentuk anonimitas untuk menyebarkan informasi dengan rasa aman. Masyarakat yang hidup di sebuah negara dengan kondisi rejim perpolitikan yang represif dapat menggunakan anonimitas untuk menghindari ancaman atas opini politik yang mereka sampaikan. Orang-orang dapat mendiskusikan hal-hal yang bersifat personal, yang akan membuat malu jika diketahui oleh banyak orang seperti masalah seksual. Orang-orang akan mendapat penilaian yang lebih objektif atas pesanpesan yang mereka sampaikan dengan tidak menunjukkan nama asli mereka. Orang-orang akan lebih terbuka dan objektif dalam sebuah diskusi anonim di mana faktor-faktor seperti status sosial, gender, dan lainlain, tidak akan mengganggu penilaiain terhadap apa yang mereka katakan. Pseudonimitas dapat digunakan dalam eksperimen yang menggunakan metode ‘role playing’, misalnya seorang laki-laki berperan sebagai wanita untuk memahami perasaan orang-orang yang berbeda jenis dari dirinya. Dan tentu saja, anonimitas memiliki sisi gelap: 8
Jacob Palme and Mikael Berglun, “Anonymity on the Internet,” diakses online dari http://people.dsv.su.se/~jpalme/society/anonymity.html pada tanggal 1 Februari 2010.
103
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Anonimitas dapat digunakan untuk melindungi para penjahat dalam melakukan beragam macam kejahatan seperti menyebarkan fitnah, penyebaran pornografi, menyebar ancaman, hasutan-hasutan rasis dan lain-lain. Anonimitas dapat juga digunakan untuk mencari mangsa dalam melakukan kejahatan. Walaupun tindakan yang dilakukan tidak ilegal, anonimitas tetap saja dapat digunakan untuk melakukan komunikasi yang bersifat menyerang dan menggangu.
Pada era digital, khususnya bagi para pengguna Internet, anonimitas adalah hak, bahkan menjadi kebutuhan bagi berlangsungnya kebebasan berbicara. Beberapa layanan komersial pun bermunculan untuk menjaga anonimitas di dunia online, dan mereka menyediakan tipe-tipe anonimitas yang diinginkan para pengguna Web. Produk-produk berlangganan seperti “Anonymizer” menjamin anonimitas pelanggannya dengan menjamin kemanan surfing di dunia maya dengan memastkan aktifitas-aktifitas online pelanggannya menjadi invisible dari administrator situs, provider, marketer, atau siapapun. Bagi Ian Clarke, pendiri Freenet Online Information Exchange, anonimitas adalah satu-satunya jaminan bagi sebuah masyarakat bebas untuk dapat merasakan kebebasan berbicara. “Freenet adalah sebuah forum untuk kebebasan berbicara.” Kata Clark pada Newsbytes tahun 2001. “Anonimitas sangatlah penting bagi kebebasan berbicara, karena jika anda tidak bisa menjadi anonim, maka anda akan dihukum atas apa yang anda katakan, hal ini akan meresahkan orang lain yang ingin menyampaikan opini mereka. Demi kebebesan bebicara yang sebenarnya, anonimitas sangatlah penting.” Tetapi seorang penulis, Esther Dyson, berpendapat bahwa walaupun anonimitas Internet dianggap sah secara hukum, anonimitas Internet juga memiliki sisi gelap, destruktif, dan sebaiknya tidak dianjurkan oleh para komunitas online. Sebagai imbangan, Dyson menulis, adalah lebih baik bagi komunitas yang ada di Internet untuk dapat dikenal dan bertanggungjawab atas kata-kata serta perbuatan mereka, daripada mencoba membuat komunitas rahasia di mana para penghuninya tidak perlu takut terhadap identifikasi dan dapat mengatakan apapun yang mereka inginkan. Sebagaimana komentar yang ditulis seorang kartunis New Yorker, bahwa di Internet tidak ada yang tahu kalau anda anjing. Tetapi seiring dengan apa yang terjadi di tahun 2002, kalau anda dahulu adalah seekor anjing yang
104
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
meresahkan orang lain, maka pengadilan akan memerintahkan ISP anda untuk membuka topeng anda.9 Ketika merumuskan sebuah kebijakan publik untuk menangkal pesanpesan anonim online, para pembuat kebijakan menghadapi beberapa halangan. Pertama, mereka harus menemukan cara untuk meminimalisir sisi negatif yang ditimbulkan oleh pesan-pesan tersebut, tetapi di sisi lain, mereka pun harus mampu memelihara sisi-sisi positif yang masih dapat dimanfaatkan dari pesanpesan tersebut. Kedua, dalam menghadapi penolakan secara massal dari para pengguna dunia maya terhadap peraturan legalisasi, para pembuat kebijakan harus menerapkan batasan-batasan minimal. Ketiga, karena semakin tingginya kemampuan para user untuk menghindari peraturan-peraturan yang ada di dunia maya, para pembuat kebijakan harus mampu membuat peraturan-peraturan yang melebihi kemampuan para user. Sebuah usulan sederhana untuk menjawab halangan-halangan di atas, para pengirim pesan ulang (remailer) yang anonim diharuskan untuk memberikan tanda pada pesan bahwa pesan tersebut dikirim ulang dari pengirim anonim. Mislanya, pada alamat domain harus dicantumkan kata “anon.” Saat ini, karena tidak peraturan seperti itu, maka pesan-pesan anonim yang terkirim ulang sangat potensial untuk memunculkan “invisible anonymity” (anonomitas yang tak dapat dilihat). Terma “invisible anonymity” menunjukkan kemampuan menjadi anonim tanpa dikenali sebagai anonim. Melalui para remailer anonim, para user dapat mengirim pesan-pesan yang terlihat tidak semuanya anonim. Pesan-pesan tersebut dapat muncul dengan header yang “normal”, dengan user yang random serta nama domain yang tidak mengindikasikan bahwa pesan-pesan tersebut dikirm melalui remailer. Sebaliknya, usulan tersebut menimbulkan bentuk lain, yaitu “visible anonymity” yaitu pesan-pesan anonim yang teridentifikasikan sebagai anonim.10 1.
Cybercleric di Antara Bayang Anonimitas
Sebagaimana yang disebutkan dalam pembahasan terdahulu, bahwa anonimitas di Internet merupakan hak bagi para penggunanya. Ia memang memiliki sisi negatif tetapi bukan berarti sama sekali tidak memiliki manfaat. Terlepas dari itu semua, anonimitas di Internet telah mendarah daging. Oleh karenanya, adalah hal yang percuma untuk mencabut paksa anonimitas dari Internet. 9
Featherly, Kevin. "Anonymity." Encyclopedia of New Media. 2002. SAGE Publications. 4 Apr. 2010. . 10 Gia B. Lee, “Addressing Anonymous Messages in Cyberspace,” diakses online dari http://jcmc.indiana.edu/vol2/issue1/anon.html
105
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Dalam konteks penyebaran ajaran agama, anonimitas Internet merupakan tantangan terbesar bagi para praktisi agama di dunia maya (cybercleric), khususnya para Dai maya. Lantas, bagaimana seharusnya para Dai maya menyikapi anonimitas di ruangnya yang baru ini? Berkaca pada apa yang telah dicontohkan Muhammad S.A.W, setidaknya ada dua faktor yang menentukan keberhasilan dakwah beliau; pertama, konsistensi Muhammad S.a.w dengan kode etik dakwah. Kedua, keteladanan (uswah/ qudwah) yang beliau berikan kepada para sahabat. Kode etik dakwah yang dimaksud adalah beberapa rambu dakwah yang digariskan oleh Al-Quran, Ali Mustafa Yaqub mengatakan setidaknya ada tujuh etika dakwah berdasarkan al-Quran; tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan (Q.S al-Baqarah, 44 dan al-Shaff, 2-3), tidak mencerca sesembahan lawan (non muslim) (Q.S al-An’am, 108), tidak memungut imbalan (Q.S Saba, 47, Syu’ara, 109, 127, 145, 164, 180 dan Hud, 29 & 51), tidak melakukan kompromi dalam masalah agama (Q.S al-Kafirun, 1-6), tidak melakukan diskriminasi sosial (Q.S ‘Abasa, 1-2, al-An’am, 52, dan al-Kahfi, 28), tidak berkawan dengan pelaku maksiat. (Q.S al-Maidah, 78-79), tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui (Q.S. al-Isra, 36).11 Tata Sukayat merinci lebih lanjut mengenai kode etik seorang Dai, menurutnya seorang Dai harus mempunyai paling tidak 35 sifat-sifat mulia dan menjauhi sekitar 42 sifat-sifat dan perilaku tercela.12 Fuad Kauma menyebutkan setidaknya ada 15 sifat tercela yang menjadi “noda” dalam diri para ulama.13 Kode etik dan keteladanan seorang Dai sebagaimana yang disebutkan di atas, tentunya akan menjadi tidak berlaku ketika Dai memasuki ruang maya. Karena ruang maya adalah ruang lintas geografis, etnis dan lintas etis. Di ruang maya kita tidak dapat mengidentifikasi mana Dai dan mana bukan Dai, apalagi sampai mengontrol kode etik dan keteladanannya. Lantas, bagaimana 11 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 223. 12 Lebih detail tentang sifat-sifat ini, baca: Tata Sukayat, Quantum Dakwah (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009), 58-83. Bandingkan dengan kriteria yang ditulis oleh Mah}mu>d ‘Abd al-Lat}i>f ‘UwaYd}ah, H{amlu al-Da’wah al-Isla>miyyah: Wa>jiba>t wa S}ifa>t (Beirut: Da>r al-Ummah, 1996), ‘Abdul Kari>m Zayda>n dalam Us}u>l al-Da‘wah (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 2001), Muh}ammad Rajab al-Sha>tiwi, al-Da‘wah alIsla>miyyah fi Dhaw’i al-Kita>b wa al-Sunnah, (Kairo: Dar al-Thiba'ah alMuh}ammadiyyah, 1990), Muhammad Amhazu>n, Manhaj Nabi> fi> al-Da‘wah min Khila>l al-Si>rah al-S}ah}i>h}ah, (Kairo: Darussa>lam, 2003), Abdullah Na>s}ih ‘Ulwan, Silsilah Madrasat al-Du;at (Kairo: Darussa>lam, 2004), ‘Ali Abdul H}ali>m Mah}mu>d, Fiqh alDa‘wah al-Fardiyyah (Mesir: Da>r al-Wafa>’, 1992), Ah}mad Ah}mad Ghalwush, al-Da’wah al-Isla>miyyah: Ushu>luha> wa Wasa>iluha> (Kairo: Da>r al-Kutub al-Mashriy, 1987), Moh. Ardani, Memahami Permasalahan Fikih Dakwah (PT. Mitra Cahaya Utama, 2006). 13 Fuad Kauma, Noda-Noda Ulama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002).
106
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
seharusnya seorang Dai memposisikan dirinya di ruang yang tanpa batas tersebut? Di dunia maya, walaupun tersedia beragam fasilitas penyampaian dakwah, pola dakwah yang paling mungkin diterapkan oleh seorang Dai adalah penyampaian pesan-pesan keagamaan melalui tulisan dalam bentuk artikel di ruang-ruang website, blog atau mailist. Oleh karenanya, seorang Dai harus mampu menghadirkan artikel-artikel keagamaan yang sesuai dengan “cita rasa” masyarakat maya. Sebelum memaparkan bagaimana kriteria artikel Islam yang baik di dunia maya, penulis ingin mengungkap penilaian para pembaca artikel Islam di dunia maya selama ini. Penilaian ini menjadi penting diungkap untuk bahan evaluasi artikel Islam itu sendiri. Untuk kepentingan tersebut, disini penulis hanya akan memaparkan penilaian-penilaian yang bersifat kritis. Berikut ini tabel penilaian-penilaian kritis para pembaca artikel sebagaimana yang penulis dapatkan dari hasil web survei:
Masih kurang artikel tentang Islam. Saya sih agak trauma klo baca artikel tentang Islam, soalnya banyak yang masih beraliran keras. Selain itu Internet masih didominasi sama pornografi, klopun cari keyword(nya apa,eh yang keluar apa) relatif. lebih banyak yang amatir dari pada yang profesional. dalam arti hanya untuk "SHOW ME" bagus...tinggal kemasannya ja dibuat agak menarik lg biar orang" jadi lebih tertarik.. ada yang menarik yaitu yang bahasanya sederhana tapi isinya berbobot. Ada juga yang membosankan yaitu yang penuh dengan bahasa arab tapi yang disampaikan tidak jelas sehingga membosankan ketika ada tugas makalah .... saya mengambil sebagian dari Internet ... saya juga mengikut perkembangan Insist lewat FB ... menurut saya cukup efektif buat dakwah masa kini ... hanya saja kemasannya kadang2 kurang menarik ... cukup baik, namun terkadang artikel2 islam cenderung membosankan dan terlalu baku, mungkin apabila yg membaca adalah orang yg tlah familiar dgn kegiatan keagamaan mungkin mereka biasa saja atau menyukai,tp klo orang awam artikel tsb mungkin hanya membaca sedikit krn bosan.
107
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
kadang artikel tersebut sangat bermanfaat, kadang juga sngat ekstrim.... ada artikel yang menarik dengan pembahasan yang bermutu, tapi kebanyakan tidak menariknya (bagi saya) karena cara penulisannya yang teks book banget. Kurang didukung dengan dalil-dali. Kebanyakan mendeskreditkan suatu kaum atau kelompok, terus nasihat-nasihat tanpa dalil dan sebagian juga bagus dan mendidik serta bisa menambah wawasan dan ilmu kita jadi bagi saya,artikel tersebut tidak dapat dijadikan rujukan utama. tetap harus kita kroscek ke guru/ustadz/ustadzah yang lebih paham. banyak yang tidak berdasarkan penelitian yang jeli dan mendalam...kebanyakan hanya ditulis berdasarkan ilmu yang dangkal Cukup baik. Cuma pencantuman referensi bukunya kurang sangat menarik...hannya saja banyak orang yang tidak memperhatikan panjang artikel tersebut karena jika terlalu panjang maka mata akan jenuh untuk menatap layar. Ada beberapa artikel yang terkadang saya nilai kurang masuk akal, atau terkadang tidak sesuai dengan realita. Sangat subjektif, saya lebih suka artikel yang bernada sharing pengalaman atau teori daripada yang menggurui Tabel 2. Penilaian Kritis Para Pembaca Artikel Islam Dari beberapa komentar di atas, dapat disimpulkan bahwa beberapa sisi dari artikel Islam di dunia maya yang ada selama ini harus ditinjau ulang-jika tidak dikatakan harus direvisi: Pertama, sisi kandungan artikel. Artikel seharusnya tidak bersifat ekstrim, subjektif, memuji kelompok sendiri dengan mendeskreditkan kelompok lain. Kedua, profesionalitas penulisan artikel. Hal ini berarti suatu artikel haruslah berdasarkan kajian yang mendalam, berdasar pada fakta empiris, objektif, logis dan tidak hanya sekedar ajang “unjuk gigi” para penulis amatir.
108
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
Sisi ketiga yang harus dievaluasi adalah penyajian artikel. Artikel seharusnya dikemas dengan lebih menarik, memerhatikan panjang artikel, tidak teks book dan tidak terlalu banyak menggunakan istilah dalam bahasa arab. Beberapa kritikan di atas sesungguhnya berkorelasi positif dengan harapan para pembaca artikel itu sendiri. Berdasarkan survei yang dilakukan penulis mengenai kriteria artikel Islam yang baik di dunia maya, setidaknya ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh para Dai ketika mereka menyuguhkan pesan-pesan keagamaan di dunia maya. Kriteria pertama yang paling penting adalah validitas artikel, yaitu bahwa artikel tidak hanya informatif tetapi juga valid karena didukung oleh referensi yang akurat baik dari al-Quran, Sunnah maupun sumber-sumber yang memang dirujuk. Hal ini menurut beberapa informan, berguna untuk meninjau ulang kebenaran apa yang disampaikan ke sumber aslinya sehingga tidak ada pembohongan publik yang akhirnya menyesatkan para pembacanya. Kedua, artikel Islam yang baik adalah artikel yang objektif. Artinya, artikel tersebut menyuguhkan kajian yang komprehensif, ditinjau dari berbagai aspek, cerdas, inspiratif dan tidak terkotori oleh dogma-dogma kelompok sehingga tidak mencemooh pihak-pihak yang tidak sepaham. Ketiga, kontekstualitas artikel. Menurut data yang penulis himpun, kebanyakan orang lebih memilih artikel-artikel Islam yang realitis dan sesuai dengan konteks keadaan masyarakat saat ini. Dengan kontekstualisasi ini, diharapkan artikel tersebut dapat memberikan solusi terhadap permasalahan masa kini. Keempat, hal yang tidak kalah penting adalah penyajian artikel yang damai, motivatif, menggunakan bahasa yang ringan. Dalam konteks bahasa, salah seorang informan mengatakan tidak harus menggunakan banyak kata-kata berbahasa Arab, karena hal tersebut justru akan menyulitkan pembaca yang tidak memahami. Selain itu, akan lebih baik jika diberikan visualisasi (baik berupa gambar, suara, ataupun video) agar lebih atraktif. Kelima, identitas artikel. Identitas yang dimaksud disini tidak hanya keterangan tentang siapa penulis artikel tersebut, tetapi juga organisasi yang berada di balik tulisan tersebut. Salah satu informan mengatakan bahwa artikel yang baik adalah yang memiliki organisasi di dunia nyata untuk kepentingan peninjauan lebih lanjut. Lima karakteristik “ideal” artikel keislaman, yang disebutkan di atas, jika diletakkan dalam konteks anonimitas Internet dan korelasinya dengan sikap Dai di dunia maya, dapat disimpulkan bahwa apa yang disebut di awal dengan kode etik dakwah dan keteladanan seorang Dai di dunia maya tidaklah berlaku. Hal ini selain disebabkan karena wujud Dai di dunia maya yang sangatlah reduktif—jika tidak dikatakan “tidak berwujud,” juga dikarenakan masyarakat
109
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
maya lebih banyak yang mementingkan kualitas penyampaian pesan dibanding kualitas penyampainya. Terbukti, dari data yang penulis dapat, bahwa 57% informan lebih mementingkan isi dari penulis, 11% mementingkan penulis dari isi, 27% memandang keduanya penting dan 5% abstain. Fakta bahwa lebih banyak orang yang mementingkan isi artikel dari penulisnya, menurut penulis sangatlah berimplikasi positif. Mengapa? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mengajak untuk melihat data mengenai pengaruh penulis terhadap kebenaran artikel yang ditulisnya; bahwa 44 % orang menjawab penulis mempengaruhi penilaiannya terhadap artikel, 5% menjawab sangat mempengaruhi, 29% tidak mempengaruhi, 21 % tidak selalu dan 1% tidak tahu. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar orang masih menilai kebenaran makna artikel dari penulisnya. Hal ini menyebabkan makna objektif yang terdapat dalam artikel terkungkung oleh subjektifitas, fanatisme dan otoritas penulis. Maka fakta bahwa lebih banyak orang mementingkan isi artikel dari penulisnya sangatlah berimplikasi positif. Karena dengan begitu objektifitas makna artikel dapat terbebas dari semua kungkungan di atas. Untuk memperjelas hal ini, penulis akan memaparkan beberapa alasan mereka yang menyatakan bahwa isi lebih penting dari penulisnya. Dari Alasanalasan tersebut akan terlihat jelas bahwa dengan terlepasnya artikel dari kungkungan penulis akan mengembalikan makna objektif yang ada dalam artikel.
bagi saya artikelnya,krn yg nambah pengetahuan itu,isi dari artikelnya itu,sejauh mana kualitas isi artikelnya itu sejauh itulah ia bisa mempengarui pembaca... artikel itu sendiri....alasannya "jangan lihat siapa yang bicara tapi apa yang dibicarakan." artikel itu sendiri.yg qt butuhkan itu artikelnya...ilmunya...datangnya sh dri spa ja. klopn itudtng dari tukng ojeg,,,knp qt ga ambil. artikel itu sendiri.. kenapa? karena artikel bisa dateng dari mana saja dan kapan saja, penulisnya anak kecil pun apabila berguna kenapa gak kita ikuti... Lebih penting artikel, walaupun penulis nya juga punya peran. Karena kadang dari penulis awam muncul ide atau pendapat yang lebih cemerlang. artikelnya lbh penting. Karena ilmu itu hrus d ambil drmna dan dari siapa saja,
110
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
tnp perlu mempehatikan siapa dia Artikel, penulis kadang subyektif..:D content dari article karena menunjukkan kedalaman isi dari topik yang dibahas yang paling penting adalah artikelnya, apa lagi kita tidak saling kenal didunia maya tsb
jadi
bukan
penulisnya
Artikel yang lebih penting ketimbang penulisnya. Sebab, siapa pun bisa menulis soal apa pun termasuk artikel keislaman. Jadi lebih baik membaca artikel yang bagus tapi dengan penulis pemula yang tidak terkenal daripada membaca artikel yang 'biasa saja' dengan penulis terkenal. Wallahu'alam bishawab.. Artikelnya. Siapapun orangnya, asal artikel itu tidak menyimpang dari AlQur'an dan Hadist, sy anggap penting dan bermanfaat. artikel itu sendiri. seorang penulis bisa dianggap baik maupun buruk bahkan dicemooh dari hasil penulisannya. Pada saat membaca maka pembaca bisa mengetahui bagaimana latar belakang si penulis dari gaya penulisannya isi artikelnya. karena saya tidak mengenal orang yang menulis artikel tersebut. secara pribadi saya lebih menerima tulisan dari kelompok manapun, tidak melihat latar belakang penulis, yang terpentung tulisan tersebut dapat dipetanggungjawabkan secara ilmiah dan benar sesuai ajaran Islam (Al-Qur'an dan hadis). artikel itu sendir karena artikel tersebut biasanya di landasi oleh hukum2 yg ada walau si penulis anak kecil no problem. tentu artikel itu sendiri, karena pola pikir dari penulis itu bisa kita nilai dari isi tulisannya, dan bila isinya bermutu tentu bisa menambah pengetahuan kita juga. Tentu saja artikelnya, karena dengan melihat isi artikelnya, sebagai pembaca saya melihat karakter orang tersebut,pemikiran orang tersebut. Apakah murni ingin berdakwah menyampaikan kebenaran atau sekedar menyebarkan idealismenya menggunakan jalur dakwah.
111
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Artikelnya tentu. karena ilmu dari manapun datangnya selama itu benar dan sesuai dengan kenyataan why not ya artikel nya donk.blm tetntu penulis yg msh amatir isinya ga bagus,mana tau dr penulis2 amatir/pemula itu terlahir artikel2 yg bagus2:) artikelnya, karena yang bisa nambah wawasan adalah isi artikelnya bukan penulis artikelnya Artikel itu sendiri. Karena pada dasarnya content dari artikel itulah yang ,menunjukkan artikel itu berguna atau tidak Yang terpenting adalah artikel itu sendiri, karena tanpa mengetahui penylisnya toh kita dapat menerima pesan yang disampaikan lewat artikel tersebut article lebih penting. penulis lebih banyak untuk silaturahmi Yang terpenting adalah isi artikel, karena kebanyakan tujuan pembaca artikel keagamaan di dunia maya adalah untuk mendapatkan informasi mengenai sebuah topik yang diinginkan. Ketika si pembaca membuka situs pencarian, maka ia akan mengklik situs yang paling relevan dengan artikel yang dicari. Jika dirasa artikel yang dicari telah didapat dan sesuai dengan kebutuhan, maka cukup. Adapun nama penulis artikel, hanya akan menjadi bahan penguat pertimbangan pembaca Tabel 3. Alasan Mementingkan Isi dari Penulis Selain menunjukkan implikasi positif kepada kebenaran artikel, fakta ini juga membuktikan kebenaran teori S-O-R (Stimulus – Organism – Response) yang menyatakan bahwa pesan tidak serta merta akan menghasilkan respon. Organisme, dalam hal ini komunikan, akan terlebih dahulu mengolah pesan yang diterimanya dan tentunya pesan yang disampaikan tersebut mungkin diterima dan ditolak. Dalam konteks media massa, fakta di atas membuktikan kebenaran teori Uses and Gratification dan teori Resepsi Aktif yang menyatakan bahwa konsumen media massa bukanlah unsur yang hanya dapat pasrah dengan terpaan media-sebagaimana disangkakan teori Peluru- tetapi mereka secara aktif memperlakukan konten media, mereka tidak hanya pasif menerima apa yang diberikan oleh media. Penerimaan pesan oleh receiver sangat bergantung pada fungsi/ kegunaan pesan tersebut bagi receiver, dan apapun yang memiliki kegunaan/ fungsi bagi individu dapat dikatakan
112
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
bermakna. Makna sendiri adalah proses dan produk dari individu dan individu itulah unsur yang menciptakan dan menyertakan atau menentukan kebermaknaan (meaningfullness) pesan yang diterimanya. Cara bagaimana seseorang merangkai kata-kata adalah produk dari dirinya. Tetapi cara bagaimana kata-kata tersebut difahami oleh receiver adalah fungsi dari receiver, bukan originator (penyampai pesan). Originator bisa saja menciptakan “datadata”; tetapi receiverlah yang menciptakan makna dari data-data tersebut bagi dirinya. Dalam konteks dakwah, data-data di atas membenarkan apa yang diusung oleh psikologi dakwah bahwa pesan-pesan dakwah yang diterima oleh mad’u akan melalui beragam proses penyaringan. Seorang mad’u tidak akan menelan mentah-mentah beragam pesan dakwah yang diterimanya. Seberapapun hebat seorang Dai dalam menyampaikan pesan-pesan dakwahnya, tetap saja otoritas selektifitas berada di tangan mad’u. Setelah memaparkan dan menganalisa fakta-fakta di atas, penulis berkesimpulan bahwa anonimitas di dunia maya meringankan beban para cybercleric. Sebagian besar orang, dengan beragam alasan, ternyata tidak terlalu mempermasalahkan identitas para penyampai pesan-pesan keagamaan. Dari titik inilah berawal kebangkitan mad’u. Di dunia lintas identitas, dengan leluasa mad’u mengeksplorasi beragam hal untuk asupan keagamaannya. Tanpa perlu mengenal siapa sebenarnya di balik pesan, para komunikan ternyata menggunakan otoritasnya dalam menyeleksi dan memaknai pesan. Membangkitkan mad’u berarti memurnikan pesan-pesan keagamaan dari kungkungan identitas penyampaianya. 2.
Catatan Etnografis Kematian Dai Pada sub bahasan ini, saya akan menuangkan hasil wawancara saya dengan 29 orang informan di Islam Chat Yahoo Messenger, yang memperkuat hipotesis penulis mengenai “kematian” Dai di dunia maya. Dalam penulisan hasil wawancara ini, saya mengadopsi metode penulisan hasil wawancara yang dicontohkan Jeff Zaleski dalam The Soul of
Cyberspace. 1.
Perbincangan dengan Rizka (06/11/2010). Rizka, pemilik id Yahoo Messenger (YM) fasha_ann, mahasiswi kelas 3 SMK, 17 tahun berasal dari Klaten. Saat saya bertemu dengannya di room Islam Chat, ia mengaku sedang mencari data tentang tenun lurik untuk tugas pembuatan film dari sekolahnya. Setelah melakukan obrolan singkat, saya pun mulai menggiring pembicaraan ke arah penelitian. Secara singkat, saya menjelaskan bahwa
113
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
keberadaan saya di room Islam Chat untuk melakukan penelitian dan meminta persetujuannya untuk menjadi informan saya. Setelah menyetujui, saya pun memulai pertanyaan tentang kehidupan informan saya dengan Internet (berapa lama mengenal Internet, seberapa sering menggunakan Internet dan apa saja yang dilakukan ketika online). Hal ini penting ditanyakan karena diantara syarat informan yang baik menurut Spradley14 adalah enkulturasi penuh dan keterlibatan langsung. Rizka mengatakan bahwa ia mengenal Internet sejak kelas 1 SMP, kawannya mengenalkannya menggunakan Internet. Dalam seminggu, rizka tidak ada waktu pasti berapa sering menggunakan Internet, “kalo ada waktu luang saja, tapi ya kira-kira seminggu 2 kali” begitu katanya. Mengenai kegiatan online, ia mengatakan biasanya ia browsing materi pelajaran dan chatting. Saya kemudian menanyakan apakah ia suka membaca artikel di dunia maya dan tema apa saja yang ia baca. Ia menceritakan ia suka membaca artikel dari dunia maya, terkadang tentang sejarah, agama atau info perkuliahan. Lebih spesifik saya menanyakan apakah ia suka membaca artikel Islam. Ia pun berterus terang sering membuka website HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). “Aku
sering buka website HTI, karena apa yang diungkap HT itu masuk akal,” akunya. Perbincangan selanjutnya saya arahkan untuk mengungkap bagaimana ia menilai suatu artikel. Saya bertanya ketika ia membaca artikel Islam, apa hal yang terpenting baginya; penulis atau isinya? Ia pun menjawab yang terpenting baginya adalah artikelnya serta argumen artikel tersebut. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa artikel yang baik menurutnya adalah artikel yang mampu memberikan argumen kuat, masuk akal dan berdasarkan hukum syariat. Secara spesifik saya kemudian menanyakan bagaimana pendapat dia tentang artikel anonim, ia menjawab “gak masalah sih buat aku,” lebih lanjut saya bertanya bagaimana jika terdapat keterangan tentang penulisnya, apakah akan mempengaruhi penilainnya? “Kayaknya gak. Masalahnya aku gak pernah ingat penulis-penulis artikel yang aku baca,” jawabnya. Kemudian saya menanyakan bagaimana pendapatnya jka seorang Aa Gym menulis artikel tentang indahnya rumah tangga dengan satu istri. Ia menjawab “pendapat aku
ya sah-sah aja dia nulis begitu. Kalau masalah dia poligami kan kita gak tau alasan dia yang sebenarnya lagian dalam Islam itu kan boleh-boleh aja.” Setelah
14
James P. Spradley, The Etnographic Interview, terj. Misbah Zulfa Elizabeth (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 68-77.
114
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
mendapatkan poin-poin penting yang menjadi fokus wawancara, saya pun berpamitan dan mengadd idnya dalam friendlist Yahoo Messenger saya. Dari perbincangan saya dengan rizka, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil; pertama, bahwa di dunia maya, otoritas selektifitas berada di tangan pembaca. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan rizka yang mengatakan bahwa ia memilih lebih banyak membuka website HTI karena menurutnya halhal yang diungkap HTI sesuai dengan pola fikirnya yang logis. Kedua, pola fikir seseorang mempengaruhi penilaian apa yang ia konsumsi. Hal ini terlihat dari bagaimana rizka menilai artikel yang ia baca. Ketiga, bahwa identitas penulis artikel bukanlah hal yang signifikan dalam penilaian kualitas artikel. Karena, sebagaimana yang diungkapkan rizka, bahwa penulis artikel seringkali tidak diingat, tetapi pesan artikel tersebutlah yang diingat. 2.
Perbincangan dengan Asif (06/11/2010). Asif, pemilik id YM krazzy_muqeet, lulusan perkuliahan Engineering, 22 tahun, berasal dari India. Setelah perkenalan singkat, saya mengutarakan tentang penelitian yang sedang saya jalani dan memintanya untuk menjadi informan. Dengan senang hati ia menjawab, “ i love do any work related to
Islam.” Mengawali wawancara, saya memastikan enkulturasi penuh serta keterlibasan langsung informan saya dengan Internet. Oleh karenanya, saya menanyakan seberapa lama ia mengenal Internet, seberapa sering ia menggunakannya dan apa saja yang ia lakukan ketika online. Asif menjawab bahwa ia sudah mengenal Internet sejak 4 tahun lalu dari seorang kawannya dan baru-baru ini ia memasang koneksi Internet di rumahnya, sehingga ia biasa menghabiskan 2 sampai 3 jam setiap harinya untuk Internetan. Ia menggunakan Internet untuk browsing, chatting dan mendownload. Selanjutnya saya menanyakan apakah ia biasa membaca artikel online? Sayangnya, ia menjawab “no.” Tetapi saya terus mengejarnya dengan menanyakan situs apa yang biasa ia buka di Internet? Dengan santainya, ia menjawab “what ever in my mind i go for it” (apa yang terlintas di hati saya, itulah yang saya cari). Asif kemudian menceritakan bahwa ia lebih banyak membuka website Ask Imam (www.askimam.com) untuk menambah ilmunya daripada membaca artikel. Seringkali ia membaca pertanyaan-pertanyaan yang dijawab langsung oleh para imam di situs tersebut. Terkait anonimitas penyampai pesan, saya pun menanyakan apakah ia mengenal imam-imam yang menjawab pertanyaan dalam situs www.askimam.com tersebut? Ia menjawab, “I don’t know any one who is
115
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
giving the answers” (saya tidak mengenal satupun imam yang menjawab pertanyaan dalam situs tersebut). Lantas saya pun mempertanyakan, bagaimana ia dapat mempercayai kebenaran jawaban imam-imam tersebut sedangkan ia tidak mengenalnya? Ia pun menjawab “it refer from Quran and Hadeeth.” (Karena jawabannya berdasarkan Quran dan Hadis). Bagi Asif, walaupun ia tidak mengenal siapa yang menjawab pertanyaan, selama jawabannya berdasarkan Quran dan Hadis, ia akan mempercayai kebenaran jawaban tersebut. Atau dengan kata lain, ia lebih mementingkan pesan yang disampaikan daripada penyampainya. Setelah pertanyaan terakhir tersebut, saya pun berpamitan dan tidak lupa mengadd id Yahoo Messengernya ke dalam friend list saya. Dari perbincangan saya dengan Asif ada dua hal penting yang terungkap; pertama, bahwa memang otoritas selektifitas di dunia maya dipegang sepenuhnya oleh user. Dalam konteks kajian komunikasi, hal ini membuktikan bahwa komunikan tidaklah pasif dalam merespons pesan-pesan yang diterimanya. Hal ini terlihat jelas dari pernyataan Asif yang mengatakan bahwa ia mengontrol situs mana yang akan ia kunjungi setiap kali online. Kedua, bahwa identitas imam bukanlah hal yang signifikan untuk menentukan kebenaran apa yang ia sampaikan. Berarti, jawaban-jawaban para imam tersebut memiliki kebenaran otonom dari identitas ke-imam-an penyampainya. 3.
Perbincangan dengan Ibrahim (06/11/2010). Ketika saya masuk ke room 1 dari Islam Chat, saya sengaja memposting pertanyaan mengenai anonimitas dunia maya di main room Islam Chat. Main room adalah ruang utama di Yahoo Messenger, tempat berkumpulnya semua user untuk saling menyapa. Diantara beberapa user yang menanggapi pertanyaan saya di main room tersebut, id “overover” adalah id yang paling serius menanggapi. Oleh karena di main room sangatlah “sesak” saya pun mengirimkan pm (personal message) ke id tersebut untuk berbicara berdua saja dengannya. Sebelum bertanya lebih jauh, saya ingin memastikan kadar enkulturasi informan saya, serta sejauh mana keterlibatannya dengan Internet. Ia mengatakan bahwa sebagian besar waktunya digunakan untuk online. Dia membaca banyak koran online, melakukan banyak riset tentang hal-hal yang ingin ia ketahui serta ngobrol di YM. Karena ia sudah pensiun, dia bisa online 7 jam dalam sehari. Tanpa banyak tanya tentang identitas masing-masing, kami pun memulai diskusi. Ia mengatakan bahwa “anonymity is used i think, primarily as a shield
to allow uncivil, even obscene behaviour for many. By shield, i mean many will
116
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
say things in chat they would NEVER say in a face to face conversation.” (anonimitas menurut saya biasa digunakan sebagai tameng untuk meligimitasi tingkah laku negatif dan cabul. Tameng yang saya maksud disini adalah bahwa kebanyakan orang akan mengatakan hal-hal yang TIDAK PERNAH mereka katakan dalan perbincangan tatap muka). Kemudian saya menanyakannya bagaimana dengan anonimitas pesanpesan keIslaman? Bagaimana cara ia menyaring artikel-artikel yang ada di dunia maya? Ia mengatakan bahwa pertama kali ia akan melihat siapa pemilik situs, siapa saja yang memimpin situs tersebut. Jika tidak jelas siapa pemilik situs tersebut, ia tidak akan mempercayai kredibilitas situs tersebut. Saya kemudian menanyakannya mana yang lebih penting, author atau pesan yang disampaikannya? Ia pun menjawab dengan memberikan contoh dua kalimat syahadat, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah makhluk yang diutus untuk menyampaikan pesan-pesan-Nya. Ia pun bertanya, dalam hal ini, mana yang lebih penting; pesan atau penyampai pesan tersebut? Menurutnya, sebelum kita mempercayai pesan, biasanya kita melihat terlebih dahulu siapa penyampainya. Saya lantas bertanya, bagaimana jika kita tidak mengetahui siapa penyampainya? Ia pun menjawab, kita harus berhati-hati dengan pesan tersebut. Menurutnya, kelemahan kita adalah seringkali kita tidak mudah menyadari kehadiran/ godaan “iblis”, oleh karenya ia sering kali memeriksa siapa yang menyampaikan pesan-pesan tersebut karena di Internet, banyak sekali tersedia informasi tentang seseorang. Ia menekankan satu hal, “one learns how to determine truth in others.” (Seseorang belajar menentukan kebenaran dari orang lain). Semuanya tergantung kita, “we bring our views,
experiences, talents, prejudices with us every time we log on. Along with our loves, fears, wishes,” ucapnya. (kita membawa pandangan, pengalaman, talenta, prasangka kita setiap kali kita log on. Bersama dengan cinta, ketakutakan dan harapan kita). Karena terlalu asyik berdiskusi, saya lupa menanyakan siapa sebenarnya pemilik id “overover” ini. Ia pun memperkenalkan diri, namanya Mohammad Ibrahim. Obrolan pun berlanjut ke perkenalan kegiatan masing-masing. Ibrahim menanyakan detil penelitian saya. Saya pun menjelaskan detil penelitian saya secara singkat dan padat. Setelah saya jelaskan, Ia kemudian menunjukkan saya link sebuah cerita yang pernah ia baca sekitar 50 tahun yang lalu. (http://www.byui.edua/onlinelearning/courses/hum/201/The_Man.html). Cerita tersebut berjudul “the man that saw thru heavan”. Pada intinya, cerita tersebut ingin menunjukkan bahwa apa yang seseorang katakan belum tentu sama dengan apa yang ia dengar. Dengan cerita tersebut, Ibrahim ingin menunjukkan bahwa ternyata kita sering kali salah menyampaikan apa yang kita dengar. Secara tidak langsung Ibrahim ingin menunjukkan bahwa dalam suatu proses
117
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
komunikasi, kita seringkali salah menangkap pesan-pesan yang kita konsumsi sehingga ketika kita menyampaikan lagi informasi tersebut ke orang lain, informasi tersebut menjadi tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Saya melanjutkan bertanya tentang bagaimana Ibrahim menguji suatu pesan anonim. Hal apa saja yang harus diperhatikan ketika kita membaca pesan anonim? Ia menjelaskan “I read it trying to determine the premise of the author,
easier to see with their usage of language when they describe the different or conflicting issues. That usually is an easy method to determine bias, but when it is NOT so easy, then either the author is being very objective or is asl perhaps crafty in hiding an agenda, so the more skilled he is, the closer I look. I look for perjoritives or a weaker defense of a position that the authr attacks or disagrees with, that also is an indication that I am reading something that is tryin gto manipuloate my judgement. The it comes down to their logic, and their evidence.” Dari jawaban-jawaban yang diberikan, saya tertarik untuk mengenal lebih jauh dan menanyakan siapa sebenarnya Ibrahim. Ia pun menceritakan bahwa ia lahir di pedalaman US bagian selatan. Keluarganya pindah ke US dari Perancis pada tahun 1940. Istrinya berasal dari Iran. Ia sendiri dulu adalah seorang pejuang perang, kemudian ia bekerja untuk IBM sekitar 30 tahun. Ia juga menjalankan beberapa bank dan memiliki bisnis ekspor impor serta sebentar menjadi konsultan IT>. Tetapi sekarang ia sudah pensiun. Ia mengatakan ia menikmati hari-harinya sekarang dengan bersantai bersama cucu-cucunya. Setelah banyak berbincang tentang keluarga dan kehidupan di negaranya, saya pun berpamitan dengannya. Tidak lupa mengadd idnya di friend list. Sesungguhnya banyak hal yang diambil dari Ibrahim, tetapi khusus terkait penelitian ini, setidaknya ada 3 hal yang harus digaris bawahi, pertama; bahwa identitas bukanlah hal yang sangat penting untuk diketahui bagi masyarkaat maya, tetapi kesatuan minatlah yang menyatukan mereka. Hal ini terlihat jelas dari pertemuan saya dengan Ibrahim. Tanpa saling berkenalan sebelumnya, kami dapat terlibat dalam perbincangan. Ini dapat terjadi karena mempunyai satu tema yang kami anggap menarik. Kedua; bahwa masyarakat maya tidak pasif menerima informasi. Hal ini terlihat dari jawaban Ibrahim ketika menyikapi pesan-pesan anonim. Ketiga; bahwa komunikasi bermedia komputer (computer mediated communication) dapat menciptkan keakraban sebagaimana yang dapat terjadi dalam pola komunikasi tatap muka.
118
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
4.
Perbicangan dengan Rini (07/11/2010). Rini adalah pemilik id YM furstin_vanilla. Perempuan asal Sukabumi kelahiran tahun 1986 ini bekerja sebagai guru di SMK dan MTS. Dalam ceritanya, ia mengaku baru 2 bulan ini mengikuti kegiatan belajar mengaji di atTartil dan untuk mengisi keilmuan Islamnya, selama ini ia belajar dari ceramahceramah di tv, sekolah dan mencari artikel Islam di Internet. Mengenai enkulturasi dan keterlibatannya dengan Internet, Rini mengatakan ia mengenal Internet sejak sekitar tahun 2005-2006. Awalnya, Rini mengenal Internet dari seorang kawannya yang mengajaknya ke warung Internet. Saat itu ia tidak terlalu tertarik, tetapi kemudian ia mencoba-coba mengatur setting GPRS yang ada di handphonenya dan menggunakannya untuk mendownload ringtone. Perkenalan Rini dengan Internet semakin berlanjut, ia mulai mengeskplorasi website-website dan turut serta dalam ruang chatting. Dari situlah kemudian ia mulai bersosialisasi dengan masyarakat maya. Karena kesibukannya, Rini tidak mempunyai waktu tentu mengakses Internet. Terkait permasalahan artikel di dunia maya, saya menanyakan Rini apakah ia suka membaca artikel tentang Islam di dunia maya. Selain meng-iyakan, Rini memberi contoh situs yang biasa ia kunjungi yaitu dudung.net dengan alasan di situs tersebut terdapat kata-kata hikmah dan artikel-artikel menarik. Kemudian saya menanyakan apa hal yang paling penting baginya ketika membaca artikel; penulis atau isi artikel? Bagi Rini, isi artikel lebih penting, terutama yang berdasarkan Quran dan Hadis. Mengenai anonimitas artikel, saya bertanya apakah identitas penulis artikel mempengaruhi penilaiannya terhadap artikel? Ia menjawab “ga c.. khan kalo memang berdasarkan Qur’an/Hadis pasti intinya sama.” Dari jawaban tersebut, dapat disimpulkan bahwa menurut Rini, ketiadaan keterangan siapa penulis artikel bukanlah masalah karena hal yang terpenting baginya adalah isi artikel bukan penulis. Dari percakapa saya dengan Rini, ada dua hal yang dapat disimpulkan; pertama, bahwa para pengguna Internet secara aktif memilih bacaan yang memang sesuai dengan minatnya. Hal ini terlihat jelas dari pernyataan Rini yang memilih dudung.net karena di dalamnya terdapat konten yang menurutnya menarik. Kedua; bahwa identitas penulis artikel bukanlah hal yang penting bagi pembaca selama artikel tersebut berdasarkan al-Quran dan Sunnah. Hal ini menunjukkan bahwa hal yang terpenting dalam proses komunikasi di dunia maya adalah isi pesan yang disampaikan bukan identitas penyampainya.
119
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
5.
Perbincangan dengan Hana (09/11/12). Hana adalah pemilik id YM “rr_shafaa”. Saat saya bertemu dengannya, perempuan lulusan fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Jakarta ini, bekerja di salah satu perusahaan swasta di daerah Jakarta Timur. Sebelumnya Hana pernah bekerja di Bahrain sebagai sekretaris dan translator selama dua tahun delapan bulan. Setelah menamatkan studinya di UIN Jakarta, Hana sempat mengambil kuliah profesi di ElRahma. Semasa perkuliahannya, perempuan 25 tahun ini sempat aktif di IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) dan Hizbut Tahrir Indonesia. Setelah perkenalan singkat mengenai kehidupan masing-masing, saya pun mengutarakan tentang penelitian yang sedan saya jalani dan meminta Hana untuk menjadi salah satu informan. “My pleasure” jawabnya tanda setuju. Mengawali wawancara, saya menanyakan kehidupan Hana dengan Internet. Berdasarkan ceritanya, Hana mengenal Internet sejak tahun 2005 karena tuntutan skripsi dan mulai intens menggunakan Internet sejak akhir tahun 2006. Saat ini, karena tuntutan pekerjaan, Hana menghabiskan kebanyakan waktunya di Internet untuk beragam kegiatan; emailing, messengers, membaca berita, beraktifitas di jejaring sosial dan skype untuk layanan telpon gratis. Mengenai artikel Islam di dunia maya, Hana mengatakan bahwa ia membaca artikel Islam secara rutin setiap minggu karena ia mengikuti forum pengajian Bahrain yang materinya dikirim via email setiap minggu. Dalam membaca artikel Islam di dunia maya, Hana biasanya memperhatikan terlebih dahulu website di mana artikel tersebut diterbitkan. Setelah website, hal selanjutnya yang ia perhatikan adalah pesan dan penulisnya. Menurut Hana, keduanya (pesan dan penulis) memiliki signifikansi yang sama. Ia mengatakan
“walaupun ada pepatah bilang ‘lihatlah apa katanya jangan lihat yang berkata’, tetapi penulis juga menjamin keabsahan isi tulisan”. Lebih spesifik, saya menanyakan apakah pesan dakwah anonim yang ada di Internet memiliki kebenaran otonom dari penyampainya (Dai). Ia pun menjawab “ga sepenuhnya..
lebih dilihat kepada dasarnya, setelah itu si penyampainya... akan lebih baik jika dasarnya tepat dan Dainya tidak diragukan”. Setelah mendapatkan hal utama wawancara saya, saya pun berpamitan dengan Hana dan tidak lupa menambahkan idnya ke dalam friend list Yahoo Messenger saya. 6.
Perbincangan dengan Keith (12/11/2010). Seperti biasa, saya mencari informan dengan cara menyapa dan mengajak berkenalan para user yang ada di Islam Chat. Dari 8 orang yang saya sapa, hanya Keith yang ketika itu merespon. Keith sendiri adalah seorang
120
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
lulusan sekolah menengah yang saat ini sedang tidak memiliki pekerjaan. Pria berumur 34 tahun ini tinggal di USA dan pemilik id restless_soul_waiting05. Sebelum memeluk Islam, Keith tidak memeluk agama. Ia masuk Islam ketika ia berumur 13 tahun. Kedua orang tuanya beragama Islam dan familinya yang lain ada yang beragama Kristiani, Islam dan atheist. Setelah perkenalan singkat mengenai kehidupannya, saya pun meminta kesediaannya untuk menjadi salah satu informan dalam penelitian saya. Wawancara pun saya mulai dengan mengungkap enkulturasi dan keterlibatannya dengan Internet. Keith pun menjawab bahwa ia mulai mengenal Internet pada tahun 1994. Dan ia menghabiskan sekitar 10 jam online. Ia biasa memanfaatkan waktu onlinenya dengan chatting, reading dan emailing. Perbincangan selanjutnya berkisar tentang artikel Islam online. Saya pun menanyakan apa yang terpenting baginya; artikel atau penulisnya? Ia pun menjawab “the message for sure.” (tentu pesannya). Ketika saya tanya apa alasannya, ia sedikit berfikir “hm.. for some reason this seems a hard one to
answer, yet I’d think it simple.. actually I think they are both important but it depends.. see.. if the author was “bad” person writing for deceptive motives.. yet, the message of his article was a “good” one.. then I’d think looking at the author would be damn important..” (hm.. sebenarnya ini adalah pertanyaan yang sulit, tapi saya akan membuatnya mudah.. Sebenarnya menurut saya keduanya penting tetapi tergantung.. Coba.. Ketika ada seseorang yang “tidak baik” menulis sesuatu untuk menyesatkan.. tetap saja, pesan yang ia sampaikan merupakan pesan yang “baik.” Jadi menurut saya melihat kepada siapa penulisnya menjadi sangat penting). Lebih spesifik, saya menanyakan pendapatnya jika artikel tersebut anonim. Ia mengatakan “the message would be more important because it
would be up to u, the reader, to decide how to ulitize the information gained fro the message. In this, the author plays no active part. So, overall, the message is more important. That’s my FINAL answer. “ (artikel yang disampaikan akan menjadi lebih penting karena nantinya akan bergantung pada anda, sebagai pembaca, bagaimana memanfaatkan informasi yang didapat dari artikel tersebut. Jadi, secara keseluruhan, artikel lebih penting. Itu jawaban final saya). Pertanyaan terakhir tersebut menutup perbincangan saya yang terkait dengan penelitian. Selanjutnya kami sempat berbincang hal-hal di luar penelitian sampai akhirnya berpamitan dengan tak lupa mengadd id Ymnya ke dalam friend list saya. 7.
Perbincangan dengan Sari (14/11/2010). Sari, pemilik id YM “beautiful.darksky,” mempuyai nama lengkap Sari Gita Nurani, berasal dari Pekalongan. Saat itu, ia mengaku sedang menempuh
121
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
pendidikannya pada strata satu fakultas manajemen informatika. Ketika ditanya tentang pengalamannya dalam mengikuti kajian keislaman, dia menjawab pernah bergabung dalam kajian Nasyiatul Aisyah. Perempuan yang berumur 26 tahun ini kemudian bercerita tentang awal mula mengenal Internet dengan mulai belajar cara browsing dan chatting, kemudian setelah kuliyah dan sering mendapatkan tugas, dia mulai suka menghabiskan waktunya kurang lebih tiga jam perhari. Ia mengaku selama berada di depan Internet, hal yang biasa ia lakukan adalah browsing, download dan membaca artikel keislaman. Dalam hal membaca artikel Islam, Sari tidak berani sembarangan karena takut “palsu” dan menyesatkan. Setelah ditanya bagaimana penilaiannya pada artikel keislaman, ia pun menjawab bahwa ketika artikel tersebut berbicara tentang satu tema, maka ia akan melihat sumber yang dipakai, dan kalau dia ragu, ia menanyakan pada orang yang lebih tau, dan kalau ada hadis dia suka memilih hadis yang sudah jelas shahihnya. Kemudian ketika ditanya apakah penulis artikel itu mempengaruhi penilaian atau tidak? dia menjawab “tidak terlalu, asal dia bisa mencantumkan hujjah yang benar, insya Alloh gak apa-apa”. Terakhir ia menegaskan jawabannya atas pertanyaan mana yang lebih penting baginya penulis atau isinya? “jangan liat siapa yang bicara, dengar apa yang dibicarakan,” tandasnya dengan tegas. 8.
Perbincangan dengan Lorayel (14/11/2010). Dalam rangka perkenalan dengan komunitas yang ada dalam room 1 Islam Chat, saya menuliskan sapaan “assalamo’alaikom room, nice to meet u all” di main room. Sapaan saya direspon oleh beberapa orang disana dan saya pun melanjutkan “penjajakan” dalam room tersebut. Untuk mendapatkan informan yang berkenan untuk diwawancara, saya pun memutuskan untuk berkenalan langsung ke setiap id yang ada dalam room tersebut dengan mengirimkan PM (Personal Message) “assalamo’alaikom, 22 m Indonesia here, wanna talk?.” “youmakemep3rf3ct” adalah salah satu dari tiga id yang merespon sapaan saya. Si pemilik id langsung menanyakan “what would you like to talk about?” Saya pun menjelaskan secara singkat tentang penelitian saya dan memintanya untuk menjadi informan. Ia mengatakan bahwa saat itu ia harus tidur karena banyak hal yang harus ia kerjakan esok harinya. Saya pun menawarkan untuk mengirimkan saja daftar kuesioner ke emailnya agar dia dapat menjawabnya di lain waktu. Sementara saya mengirimkan lembar kuesioner ke email yang diberikan, saya meneruskan perbincangan untuk mengungkap siapa di balik id “youmakemep3rf3ct”. L O’real Frye, sebuah nama yang cukup aneh bagi orang asia seperti saya, adalah nama pemilik id “youmakemep3rf3ct.” “Lorayel,”
122
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
begitulah saya mengeja nama tersebut, menceritakan bahwa dia tidak mengganti namanya ketika ia masuk Islam. Lebih lanjut, perempuan 29 tahun asal USA ini mengatakan bahwa ia adalah pekerja seni yang juga seorang mahasiswi pascasarjana dan saat ini ia sedang membuat penelitian mengenai reformasi pendidikan di Amerika dan efeknya terhadap pendidikan kesenian. Pada tanggal 20/11/2010, saya mendapatkan email balasan dari Lorayel. Terkait pertanyaan keislamannya, ia mengatakan “iam a recent revert
of 3 years. I was introduced to Islam by someone on the Internet from a Yahoo chatroom.” (bahwa ia baru memeluk Islam selama 3 tahun dan ia mengenal Islam dari seseorang di chat room Yahoo Messenger). Ia juga menjadi anggota dalam Muslim Student Association di kampusnya. Mengenai enkulturasinya dengan dunia Internet, ia mengatakan bahwa ia mengenal Internet sejak tahun 1990-an. Ia tidak memiliki waktu rutin menggunakan Internet, tetapi ia mengusahakan untuk memeriksa e-mailnya setiap hari dan ia biasa menggunakan Internet untuk membuka facebook, e-mail dan beberapa proyek penelitian. Mengenai artikel Islam dan kaitannya dengan anonimitas pesan, ia mengatakan bahwa kita harus sangat berhati-hati dalam mengonsumsi artikel di Internet. Karena menurutnya, di Internet siapa pun dapat memberikan informasi atau misinformasi. Dan baginya, baik pesan maupun penulis sama-sama penting. Ia mengatakan “knowing who believes what will help us to sift throug
information that can help or harm our beliefs. So we must be critical thinkers and safeguard our heats and mind, because i believe that Shaitan uses people to lead others astray.” (mengetahui siapa yang berbicara dan apa kepercayaannya akan membantu kita untuk menyaring apakah informasi yang kita terima dapat membantu atau merugikan keyakinan itu. Maka kita harus menjadi pemikir yang kritis dan menjaga hati dan fikiran kita, karena saya percaya bahwa setan menggunakan manusia untuk menyesatkan sesamanya). 9.
Perbincangan dengan Ana (14/11/2010). Ana, pemilik id YM ana_razishta_64, seorang perempuan 25 tahun berasal dari Marocco, mahasiswi magister bidang hukum. Melalui obrolan pembuka yang singkat, Ana mengakui tidak dapat berbahasa Inggris dengan baik. Dosen bahasa Inggrisnya menyuruh dia untuk turut serta di Yahoo Messenger agar dapat berlatih berbahasa Inggris langsung dengan para native. Dari pengakuannya tersebut, saya memahami mengapa bahasa Inggris yang digunakannya tidaklah baik. Hal ini tentunya menuntut saya untuk lebih memahami apa yang ia “ucapkan.” Setelah perkenalan singkat tersebut, saya pun mengutarakan maksud penelitian saya dan memintanya untuk menjadi informan dan ia pun
123
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
menyetujuinya. Saya mengawali dengan bertanya berapa lama ia mengenal Internet, seberapa sering ia menggunakan Internet dan apa saja yang ia lakukan selama menggunakan Internet. Ana mengatakan ia tidak tahu pasti kapan ia pertama kali mengenal Internet, kira-kira ketika ia berumur 14 atau 13 tahun. Ia mengenal Internet dari cerita kawan-kawannya. Biasanya ia menghabiskan 2 jam setiap malam untuk Internet-an dan ia gunakan waktu tersebut untuk chatting, download dan mencari bahan perkuliahan. Ketika perbincangan saya dengan Ana baru sampai tahap mengetahui enkulturasi dan keterlibatannya dengan Internet, Ana merasa penat dan merasa terganggu karena ia masih memiliki banyak buku yang harus dibacanya. Karena keluhannya tersebut, maka saya pun menawarkannya untuk mengirimkan saja daftar pertanyaan saya ke email sehingga dia dapat menjawabnya nanti. Tetapi akhirnya dia sejutu untuk meneruskan wawancara. Perbincangan selanjutnya saya arahkan untuk mengungkap apakah ia pernah membaca artikel islam online, apa yang lebih penting baginya; artikel atau penulisnya, dan bagaimana pandangannya mengenai artikel anonim. Ana pun menjelaskan bahwa ia pernah membaca artikel Islam online dan baginya isi artikel dan penulisnya sama-sama penting. Karena menurutnya, pesan dan penulis tidak dapat dipisahkan. Setelah mendapatkan point utama wawancara ini, saya pun berpamitan dan tak lupa mengadd id YM informan saya. 10. Perbincangan dengan Nike (17/11/2010). Pada saat saya masuk dalam chat room, saya mencoba menyapa seorang yang mempunyai id YM “n_ke_s.” Perempuan berumur 19 tahun dan bergelut di kajian keislaman ADK (aktivis dakwa kampus) ini memiliki nama Nike. Setelah berbagi cerita dan pengalaman, saya pun mulai bertanya pada dia hal yang berkaitan dengan interaksinya dengan Internet selama ini. Ia mengaku kenal Internet sejak SMA, dan ia biasanya menghabiskan 3 jam setiap harinya untuk Internet. Ketika saya bertanya apa saja yang dia lakukan selama itu, ia hanya menjawab singkat, “macem-macem” katanya. Kemudian dengan nada bercandanya ia sambil menjelaskan apa yang menjadi kebiasaannya setiap buka Internet, “ya seperti facebookan, Yman, baca-baca artikel dan nyari bahan terlebih kalau lagi ada tugas kuliyah.” Dari kebiasaannya membaca artikel, ia berpendapat bahwa artikel yang menyertakan rujukan atau refrensinya itu lebih bagus dan lebih bisa dipercaya. Kemudian saya bertanya lebih dalam lagi mengenai penilainnnya pada suatu artikel, mana yang lebih penting baginya; isi artikel atau penulisnya. Ia menjawab “isinya, karena kalau isinya berbobot ya insya Allah otomatis penulisnya juga hebat....punya ilmu yang mumpuni” jawabnya. Tapi kemudian
124
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
ia menjelaskan bahwa dari segi kuantitas, Dai sangatlah tinggi. Tapi sayang dari segi kualitas, mereka rendah. 11. Perbincangan dengan Abdollah (21/11/2010). Abdollah adalah pemiliki id YM “abdo_allah36.” Pria 26 tahun yang tinggal di daerah Mansoura, Mesir ini adalah seorang mahasiswa S1 Universitas al-Azhar Kairo yang juga seorang tenaga pengajar Bahasa Arab. Pagi itu, sekitar pukul 06.00 am waktu Kairo atau pukul 11:00 am kami bertemu di room 3 Islam Chat. Setelah perkenalan singkat, saya pun mengutarakan sekilas tentang penelitian yang sedang saya lakukan dan memintanya untuk menjadi informan dan ia menyetujuinya. Perbincangan selanjutnya saya arahkan untuk mengetahui sejauh mana enkulturasi informan saya dengan Internet. Abdollah menceritakan bahwa ia biasanya hanya menghabiskan 2 jam sehari di Internet. Hal itu dikarenakan banyak tugas yang harus dikerjakan. Selain sibuk di perkuliahan, ia juga rutin menghafal al-Quran, membaca buku, mengajarkan Islam kepada temantemannya di Internet dan di rumah dan juga berdagang. Mengetahui kegiatannya mengajar Islam di Internet, saya pun memintanya bercerita lebih lanjut mengenai hal tersebut. Abdollah mengatakan ia menghabiskan 1 jam setiap pagi hari dan 1 jam pada malam harinya untuk melakukan kegiatan “dakwah” di Internet tersebut. Biasanya, dia masuk ke chat rom dan bertanya kepada “orang-orang” di sana apakah ada yang ingin belajar tentang Islam. Kurang lebih sudah dua bulan Abdollah melakukan kegiatannya tersebut, karena sebelumnya ia tidak mempunyai komputer. Sedangkan kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di rumahnya sudah berjalan delapan tahun. Mengenai pesan-pesan keagamaan di dunia maya dan kaitannya dengan anonimitas Internet, Abdollah mengatakan bahwa ia biasa mengkonfirmasi apaapa yang ia baca di Internet dengan informasi-informasi yang telah ia baca dari buku-buku berbahasa Arab. Menurut pengakuannya, untuk mengisi kebutuhan informasi tentang Islam, ia lebih memilih memilih mengambilnya dari bukubuku daripada Internet. Karena buku menjelaskan lebih detil tentang apa yang ia dapatkan dari Internet. Bagi Abdollah, keterangan mengenai penulis artikel tidaklah penting. Lebih lanjut Abdollah menjelaskan, “every one say true and
false but what is important is who always say god depend on his evidence from Qoran and sunni and early Islamic books.” (setiap orang terkadang mengatakan hal yang benar dan salah tetapi yang terpenting adalah selalu melihat buktibukti ucapannya tersebut dari Quran dan Sunnah serta buku-buku keislaman kontemmporer).
125
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
12. Perbincangan dengan Ahmed (23/11/2010). Pagi ini di room Islam Chat saya menyapa user yang memiliki id a_mada_2011. Setelah perkenalan singkat, saya mengetahui pemilik id tersebut ternyata bernama Ahmed, 20 tahun berasal dari Mesir. Setelah berkenalan, saya kemudian mengarahkan pembicaraan ke topik penelitian saya. Berawal dari menanyakan seberapa sering Ahmed menggunakan Internet, kemudian mengarah ke pandangan ia mengenai artikel Islam yang ada di Internet. Ahmed merespon dengan mengatakan bahwa setiap hari menghabiskan kira-kira 2 jam waktunya di Internet. Mengenai artikel Islam online, Ahmed mengatakan bahwa ia tidak pernah membaca artikel Islam online. Menurutnya, segala sesuatu yang dipublish di Internet tidak dapat dipercaya. Ketika saya tanya alasannya, ia mengatakan “cause I don’t know who write this.” (karena saya tidak tahu siapa yang menulis) Ia pun menekankan “I trust who I know” (saya hanya mempercayai siapa yang saya kenal). Dari jawabannya tersebut dapat disimpulkan bahwa Ahmad hanya akan mempercayai sumber-sumber yang ia kenal. 13. Perbincangan dengan Qudsia (26/11/2010) Qudsia adalah pemilik id YM “qudsia_elahi.” Seorang perempuan 27 tahun asal Pakistan yang saat saya bertemu dengannya ia mengaku sedang meneruskan studinya sambil bekerja part time di Canada. Qudsia adalah lulusan ilmu politik tahun 2003 dari universitas Pakistan. Sejak perceraiannya, ia memutuskan meneruskan perkuliahannya di Canada. Setelah perkenalan singkat, saya pun mengutarakan mengenai penelitian yang sedang saya lakukan dan ia pun menyetujuinya. Wawancara saya awali dengan menanyakan kehidupan informan saya dengan Internet. Qudsia mengatakan bahwa ia mengenal Internet sejak sekitar 15 tahun yang lalu dari sekolah dan kawan-kawannya. Saat ini ia biasa menggunakan Internet paling tidak empat sampai lima kali dalam seminggu. Dan biasanya ia menggunakan Internet untuk chatting, beraktifitas di situs jejaring sosial Facebook, membaca berita, mencari resep masakan dan menonton film. Mengenai artikel Islam di Internet, Qudsia mengatakan bahwa ia sering membaca artikel dan menonton film-film online tentang Islam di dunia maya. Ketika saya tanya bagaimana ia menyaring beragam informasi tentang Islam di Internet, ia mengaku seringkali menemukan informasi tentang Islam yang berasal dari orang-orang yang anti Islam dan untuk menyaringnya ia mengembalikan kepada al-Quran dan Hadis. Ketika ditanya mana yang lebih penting baginya, artikel atau penulisnya, Qudsia mengatakan “difficult... u
know we have alots of maslak so u need to know what thouht of school is it.” [pertanyaan sulit.. anda tahu kalau kita (umat Islam) memilikki banyak
126
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
“maslak” (aliran keagamaan), oleh karenanya (dalam menghukumi suatu informasi keislaman) kita harus memahami faham mana yang diusung oleh artikel tersebut]. Lebih spesifik, saya bertanya bagaimana jika artikel tersebut anonim. Qudsia mengatakan tentu saja hal tersebut akan membuat ragu pembaca, tetapi kemudian ia mempertanyakan mengapa seseorang harus menyembunyikan identitasnya ketika menyampaikan kebenaran? Sayangnya perbincangan saya harus terhenti sampai disini karena koneksi Internet saya terputus. Dan ketika koneksi Internet saya tersambung kembali, Qudsia ternyata sudah sgn out. 14. Perbincangan dengan Monique (28/11/2010). Pertemuan saya dengan Monique berawal ketika saya menyapa id “bhsgraduate07” di room Islam Chat. Setelah perkenalan singkat, saya mengetahui bahwa orang yang ada di balik id “bhsgraduate07” adalah Monique, perempuan brusia 21 tahun dan tinggal di US. Ia tinggal di daerah Virgnia dan saat ini ia terdaftar sebagai mahasiswi jurusan English Literature di Emory and Henry College. Saat saya bertemu dengannya pertama kali, Monique mengaku baru memeluk Islam selama 1 bulan. Sebelumnya, ia beragama Kristen. Setelah perkenalan singkat tersebut, saya menyampaikan tentang penelitian saya dan memintanya untuk menjadi salah seorang informan dalam penelitian saya. Kemudian saya mengorek informasi terkait enkulturasi dan keterlibatannya dengan Internet. Monique mengatakan bahwa ia sudah mengenal Internet semenjak umur 8, ketika itu gurunya di sekolah yang mengenalkannya Internet. Saat ini, ia mengatakan bahwa tidak ada waktu pasti berapa jam ia habiskan waktu di Internet. Mengenai kegiatannya di Internet, ia biasa menggunakan Internet untuk berkomunikasi dengan tunangannya serta memeriksa email. Perbincangan berlanjut, saya menanyakan apakah ia pernah membaca artikel-artikel tentang Islam di Internet? Ia mengatakan pernah tetapi tidak banyak. Ia menjelaskan bahwa ia lebih banyak mencari informasi tentang Islam dari buku. Karena menurutnya, Internet tidak dapat dipercaya. Artikel-artikel tentang Islam di Internet banyak yang tidak dapat dipercaya tapi kita harus berhati-hati karena diantara artikel tersebut ada yang ditulis oleh orang muslim yang tidak mumpuni. Monique sendiri menilai suatu artikel Islam di Internet dengan melihat dalil-dalil dari Quran dan Hadis, jika artikel tersebut tidak diperkuat dengan dalil Quran dan Hadis, maka ia tidak akan membaca artikel tersebut. Dan walaupun terdapat dalil-dalil tersebut, ia akan tetap memeriksa ulang ayat tersebut untuk memastikan kebenaran dalil tersebut. Lebih spesifik, saya menanyakan apa yang terpenting baginya dalam melihat artikel; artikel itu
127
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
sendiri atau penulisnya? ia menyatakan “the message is the most important but
I avoid reading articles that are written about Islam fom those who are not muslim.” (Pesan adalah hal terpenting tetapi saya menghindari membaca artikel-artikel yang berbicara tentang Islam tetapi ditulis oleh non-muslim). Setelah menyampaikan jawabannya tersebut, Monique meminta waktu untuk menaruh pakaian di mesin cuci. Setelah ia kembali, kami pun meneruskan perbincangan. Saya pun kemudian mengarahkan perbincangan ke permasalahan anonimitaas Internet, khususnya pandangan Monique mengenai artikel anonim. Menurutnya, di Internet tidak ada orang yang benar-benar anonim, ada banyak cara untuk mengetahui siapa yang menulis. Bagi Monique, identitas penulis terkadang mempengaruhi penilaiannya terhadap artikel dan kadang tidak. Identitas penulis akan mempengruhinya jika penulis tersebut bukanlah orang muslim atau tidak memiliki nama Arab. Tetapi selama kita tidak dapat mengetahui siapa sebenarnya. 15. Perbincangan dengan Ana (28/11/2010). Ana adalah pemilik id YM “sweetgirl1402”. Perempuan 22 tahun asal Pekalongan ini adalah alumni akademi kebidanan kendal dan sempat bekerja di rumah bersalin di daerah Bogor. Saat saya bertemu dengannya, Ana lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sambil mencari informasi pekerjaan baru. Setelah perkenalan singkat mengenai kehidupan masing-masing, saya kemudian mengutarakan mengenai penelitian yang sedang saya jalani dan memintanya untuk turut serta menjadi informan dan Ana pun menyetujui. Mengawali perbincangan, saya menanyakan kegiatan keagamaan informan saya. Ana menceritakan bahwa ia pernah mengikuti pengajian rutin bersama habib Lutfi di daerah Pekalongan sekitar 1 tahun lamanya. Mengenai kehidupannya dengan Internet, Ana menceritakan bahwa ia telah mengenal Internet sejak ia berada di bangku perkuliahan. Saat ini, ia biasa menghabiskan 3 jam lebih di depan Internet untuk mendownload lagu, chat, dan terkadang mendengarkan alQuran via Internet. Mengenai artikel Islam di Internet, ia mengatakan pernah membaca artikel tentang Islam di Internet tetapi yang berbahasa Inggris. Lebih lanjut Ana mengatakan untuk mengisi asupan keagamaannya ia lebih baik mendengar penjelasan melalui televisi atau radio daripada membaca. Karena ia dapat lebih memahami jika mendengarkan. Dari pengakuannya yang pernah mengikuti kajian rutin dengan habib Lutfi serta lebih tertarik mendengarkan ceramah langsung daripada membaca, saya pun tertarik untuk menanyakan apa hal yang terpenting baginya ketika mendengarkan ceramah/ pengajian, apakah materi yang disampaikan atau penceramahnya. Ia pun menjawab “ya ceramahnya
128
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
atuh.” Bagi Ana, walaupun penceramahnya tidak terkenal, selama ceramahnya bagus, maka tidaklah menjadi masalah. Begitu juga ketika ditanya mana yang lebih penting, artikel atau penulis. Ana menjawab, “kalau menurut Ana artikelnya.” Ketika diatanya alasan hal tersebut, Ana menjawab “khan lebih
berguna artikelnya dari pada penulisnya.” Setelah mendapatkan poin utama interview, saya pun berpamitan dengan Ana dan tidak lupa menambahkan id YMnya dalam friend list. 16. Perbincangan dengan Ayu (29/11/2010). Pertemuan saya dengan Ayu berawal ketika id [email protected] menyapa. Pada awalnya, pemilik id tersebut mengaku bernama Achrasz, laki-laki, berumur 21 tahun asal Padang. Namun setelah perkenalan lebih jauh, ternyata si pemilik id meminta maaf dan mengkonfirmasi identitasnya. Ia mengatakan bahwa nama aslinya adalah Ayu, perempuan, umur 21 tahun asal Padang. Berdasarkan ceritanya, mahasiswi semester tujuh universitas Andalas ini telah enam bulan aktif di kegiatan mentoring Islam. Setelah perkenalan singkat, saya pun mengutarakan tentang penelitian yang sedang saya jalani dan memintanya untuk menjadi informan. “Ok with pleasure” jawab Ayu tanda setuju. Mengawali wawancara, saya pun bertanya tentang kehidupan informan saya dengan Internet. Ayu mengatakan bahwa ia mengenal Internet semenjak kelas 2 sma dari seorang temannya di sekolah. Saat ini, ia menggunakan Internet hanya jika ada tugas yang bahannya dari Internet atau saat waktu senggang. Paling banyak tiga kali dalam seminggu. Mengenai artikel tentang Islam di Internet, Ayu mengaku 35% waktu onlinenya digunakan untuk membaca artikel tentang Islam, selebihnya digunakan untuk chat dan membaca email. Ketika ditanya mana lebih penting, artikel atau penulisnya, Ayu menjawab keduanya penting. Lebih lanjut saya pun menanyakan pendapatnya jika tidak ada keterangan siapa penulis artikel, Ayu pun menjawab “beritanya gak bisa dipercaya. Kalau gak ada penulis, kabar burung dong mas. Gak jelas.” Ayu menjelaskan lebih lanjut “apa mungkin
sebuah artikel bagus tanpa diiringi keterangan penulisnya??? Saya pikir gak ada deh mas.. yang ada tu cerita.. gurindam, hikayat atau tentang kesusastraan lama..” Dari jawabannya tersebut, saya pun tertarik untuk menanyakan lebih spesifik, bagaimana jika suatu artikel Islam yang anonim tersebut disertakan dalil dari al-Quran dan Hadis?. Menurutnya, “artikel yang bagus disertai dengan
penulisnya mas.. Karena dengan begitu orang akan mudah mengetahuinya, menganalisanya dengan tepat, memahami kedalamannya. Bayangin aja mas, ketika artikel tersebut dibaca oleh seseorang dan orang tersebut mengalami hambatan atau kekurang mengertian tentang artikel yang dia baca... bukankah
129
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
dia harus bertanya kepada si pembuatnya mas? Karena si pembuatnya lah yang lebih tau atau lebih mengerti dengan apa yang dia buat. Bayangkan seanDainya tidak ada penulis itu akan dianggap angin lalu saja.” Walaupun perbincangan saya dengan Ayu harus berhenti karena ia berpamitan lebih dulu, jawaban yang dilontarkan Ayu sesungguhnya sudah cukup menjelaskan pendapatnya tentang pentingnya identitas penulis artikel. 17. Perbincangan dengan Kamal (05/12/10) Kamal adalah pemilik id “brotherhood_ib”. Ketika pertama kali saya bertemu dengannya di ruang Islam Chat, ia mengaku sebagai seorang mahasiswa IIUM jurusan Civil and Islamic Law. Laki-laki 21 tahun asal Malaysia ini juga seorang aktifis pan islamic party of Malaysia yang kegiatannya tidak hanya mengurus seputar kegiatan perpolitikan tetapi juga mengadakan kajian keislaman. Kamal bergabung ke dalam partai politik ini sejak ia berumur 17 tahun, atau sekitar empat tahun yang lalu, hingga saat ini. Setelah perkenalan singkat, saya pun mengutarakan mengenai penelitian saya dan memintanya untuk menjadi salah satu informan dalam penelitian ini. “Sure” ucapnya, tanda persetujuan. Saya pun memulai interview dengan menanyakan mengenai enkulturasinya dengan dunia Internet. Ia mengatakan bahwa ia mengenal Internet sejak ia duduk di sekolah dasar. Ketika itu saudaranya memiliki semacam bisnis komputer, sehingga ia dapat belajar dari saudaranya tersebut mengenai komputer, termasuk Internet. Mengenai kesehariannya dengan Internet, ia mengaku biasa menghabiskan 4 jam setiap hari untuk membaca berita, artikel dan beraktifitas di jejaring sosial. Terkait artikel keislaman di dunia maya, saya pun menanyakan seberapa sering ia membaca artikel keislaman dan pendapatnya mengenai anonimitas di dunia maya terkait keabsahan pesan-pesan keagamaan di dunia maya. Menurut Kamal, siapapun bisa menulis tentang apapun di dunia maya maka kita perlu untuk menyaring tulisan-tulisan yang ada di dunia maya dengan merujuk langsung ke dalil yang ada dalam al-Quran dan Sunnah. Bagi Kamal, penulis artikel tidaklah terlalu penting, justru yang terpenting adalah artikel itu sendiri. ia mengatakan “the most important is the
issue in the article, the question arise, author is just an advantage to an article.” (Hal terpenting adalah isu yang diangkat dalam artikel tersebut, pertanyaan yang dimunculkan, penulis hanyalah sebagai nilai tambah bagi artikel tersebut). Dan yang tidak kalah penting, ia menambahkan “and the article comes with evidence or proof.” (Suatu artikel harus menyertakan bukti-bukti).
130
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
Setelah mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan, saya pun berpamitan dengan Kamal dan tidak lupa mengadd id YM-nya. Hal terpenting yang dapat saya ambil dari perbincangan saya dengan Kamal adalah bahwa bagi orang terpelajar dan sering membaca artikel di Internet seperti Kamal, hal terpenting adalah substansi dari pesan-pesan keagamaan tersebut, bukan penyampainya. Karena memang keterangan mengenai siapa di balik pesan tersebut hanyalah sebagai nilai tambah. 18. Perbincangan dengan Ahmed (05/12/2010) Ahmed, seorang laki-laki berumur 36 tahun asli Kairo. “ahmedsaadabbas” adalah id YM yang digunakan Ahmed ketika bergabung di room Islam Chat 1. Saat saya bertemu dengannya, ia mengaku bekerja sebagai pimpinan perusahaan engineering di negaranya merangkap sebagai konsultan IT. Awalnya kami berbicara dengan bahasa Inggris, tetapi ketika saya mengatakan bahwa saya juga sempat tinggal di Mesir kami pun terlibat percakapan dengan bahasa Arab dan sesekali dengan ‘ammiyah. Setelah berbincang singkat masalah kehidupan kami masing-masing, saya kemudian mengutarakan mengenai penelitian yang sedang saya jalankan dan meminta Ahmed untuk menjadi informan saya dan ia pun menyetujuinya. Mengawali wawancara, saya menanyakan perihal kehidupan Ahmed dengan Internet. Ia mengatakan bahwa ia sudah mengenal Internet semenjak 25 tahun yang lalu dan saat ini hampir 6-7 jam menggunakan Internet setiap harinya. Mengenai kegiatannya di Internet, ia biasa menggunakan Internet untuk chatting, download materi pekerjaannya, mempelajari software-software baru. Terkait artikel Islam yang ada di Internet, Ahmed mengatakan bahwa artikel tersebut tidak seluruhnya benar. Oleh karenanya, ia mengingatkan saya untuk memperhatikan rujukan yang dipakai dalam artikel tersebut. Ahmed menegaskan:
اﻟﻤﺼﺪر اﻟﻤﻄﺎﺑﻖ ﻟﺘﻔﺴﯿﺮ اﻟﻘﺮأن وﻣﺎ ورد ﺑﺎﻟﺴﻨﺔ اﻟﺒﺨﺎرى.ﻋﻠﯿﻚ أن ﺗﺘﺤﺮى اﻟﻤﺼﺪر أﻣﺎ اﻹﺳﺮاﺋﯿﻠﯿﺎت ﻓﮭﻲ ﺧﻄﯿﺊ.وﻣﺴﻠﻢ (anda harus memperhatikan rujukan yang dipakai. Rujukan harus sesuai dengan tafsir al-Quran yang ada dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Jika berasal dari israiliyya>t maka tidak dapat dibenarkan). Lebih spesifik, saya pun bertanya bagaimana jika suatu artikel tersebut tidak disertai keterangan penulisnya. Ahmed pun menjawab
إذا ﻟﻢ ﯾﻜﺘﺐ اﺳﻢ اﻟﻜﺎﺗﺐ اﺳﺘﻔﺖ ﻗﻠﺒﻚ ﻛﻤﺎ ﻗﺎل اﻟﺮﺳﻮل ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ اﻟﺤﻼل ﺑﯿﻦ .واﻟﺤﺮام ﺑﯿﻦ وﺑﯿﻨﮭﻤﺎ أﻣﻮر ﻣﺘﺸﺎﺑﮭﺎت ﻓﺎﺟﺘﻨﺒﻮا اﻟﺸﺒﮭﺎت 131
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
(jika tidak tercantumkan nama penulis, maka tanyakan kepada hati anda. Sebagaimana sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa hal-hal yang halal sudah jelas dan hal-hal yang haram juga sudah jelas dan di antara keduanya adalah hal-hal mustasyabiha>t (tidak jelas apakah halal atau haram) maka hindarilah hal-hal mutasyabiha>t tersebut). 19. Perbincangan dengan Infi (06/12/10) Ketika saya memasuki ruang utama dari room 6 di Islam Chat, saya pun menemukan sekitar 20 id terdaftar di dalamnya. Saya pun memerhatikan siapa dan apa saja yang mereka bicarakan dalam main room tersebut. Di antara sekian banyak id yang saling bercakap, saya memutuskan untuk menyapa id yang terlihat familiar di ruang tersebut. Dan saya pun mengirimkan PM (personal message) ke pemilik id “knowledge_is_infinity” untuk berkenalan. “Infi,” begitulah pemilik id tersebut disapa. Setelah perkenalan singkat saya dengan mahasiswi fakultas science ini, saya pun mengutarakan tentang penelitian yang sedang saya jalani dan memintanya untuk menjadi informan dan ia pun menyetujuinya. Kemudian saya memulai interview dengan menanyakan perihal kehidupannya dengan Internet, khususnya terkait artikel keagmaan yang ada di dalamnya. Menurut pengakuannya, ia biasa menghabiskan enam jam sehari untuk online. Dalam enam jam tersebut, ia biasa menyempatkan waktu untuk membaca artikel tentang Islam yang ditulis oleh kawan-kawannya di Islamic group facebook. Ketika ditanya mana hal yang lebih penting baginya, artikel atau penulisnya dan bagaimana ia menyikapi artikel-artikel anonim yang ada di Internet, ia menyatakan “ few articles are anonymous but the information they contain may be of very much use then it doesnt matter who wrote it” (memang ada beberapa artikel yang anonim tetapi informasi yang terkandung mungkin sangat berguna jadi tidak penting sapa yang menulisnya). Lebih spesifik, saya pun menanyakan bagaimana jika artikel anonim tersebut berbicara tentang Islam? Ia menyatakan bahwa kita harus mengkomparasikan informasi yang tertulis di dalamnya dengan apa yang ada dalam al-Quran dan Hadis. Jadi, identitas penulis artikel-artikel keislaman tidaklah penting selama informasi yang terkandung berdasarkan Quran dan Hadis. Setelah mendapatkan poin utama yang dicari, saya pun berpamitan tetapi tidak mengadd id Infi karena ia menolak. Ia bilang, jika ingin bertemu lagi dengannya, silahkan datang ke room 6 Islam Chat. Dari perbincangan saya dengan Infi, ada tiga hal yang dapat dicatat. Pertama, bahwa jejaring facebook merupakan wadah subur untuk berdakwah. Hal ini terungkap dari pengalaman Infi yang biasa membaca artikel-artikel keislaman melalui islamic group yang terdapat dalam jejaring sosial facebook.
132
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
Kedua, bahwa artikel anonim terkadang memberikan informasi yang sangat berguna. Ketiga, jika kita mendapatkan artikel keislaman yang anonim, kita harus mengkonfirmasikan isi artikel tersebut dengan apa yang terdapat dalam Quran dan Hadis. Selama artikel tersebut sesuai dengan Quran dan Hadis, maka penulis artikel menjadi tidak penting. 20. Perbincangan dengan Eka (08/12/2010). Eka adalah pemilik id YM “empiana”. Perempuan 24 tahun asal Jogjakarta ini menggeluti bidang kesehatan. Dengan background pendidikannya itulah ia sempat bekerja di rumah sakit Proklamasi dan panti jompo di Negara Saudi Arabia selama satu tahun. Ketika di bangku kuliah, Eka sempat aktif di kajian FADHILAH di kampus, kemudian aktif di Pendidikan Dasar Ulama di bawah naungan NU. Setelah berkenalan singkat mengenai kehidupan masing-masing, saya mengutarakan mengenai penelitian yang sedang saya lakukan dan memintanya untuk menjadi informan. “Siap. Tapi tak sambi di room ya,” jawabnya tanda setuju. Mengawali wawancara, saya menayakan kehidupan Eka dengan Internet. Ia mengatakan bahwa ia mengenal Internet sejak tiga tahun silam untuk kepentingan skripsi. Dan saat ini, karena Eka sedang dalam masa menunggu keberangkatannya ke Mesir untuk survey pendidikan kesehatan disana, hampir sebagian besar waktunya digunakan di depan Internet untuk beraktifitas di jejaring sosial Facebook dan chatting. Karena pengalamannya yang cukup lama berkecimpung di room Islam Chat, Eka dapat menceritakan beragam fenomena kehidupan yang terjadi antar para user di dalam Islam Chat tersebut secara detil. Perbincangan saya dengan Eka sering kali terputus, karena memang saat itu sinyal Internet di tempatnya sedang terganggu akibat bencana letusan gunung merapi. Setelah kembali tersambung, saya pun menanyakan Eka perihal artikel Islam di dunia maya, Eka mengatakan sekitar satu sampai dua jam dari waktunya di depan Internet ia gunakan untuk membaca artikel Islam. Ketika saya bertanya apa hal terpenting bagi Eka ketika membaca artikel tentang Islam di Internet, ia menjawab “pasti isinya lah. Trus pasti aku butuh referensinya kalo bias selengkap-lengkapnya.” Lebih lanjut saya bertanya seberapa penting informasi tentang penulis artikel baginya, Eka menjawab ”mmmm, kalo
penulisnya sih gak begitu. Mungkin iya sebagaian yang pernah deger aja namanya tapi Eka orangnya pelupa.” Dari jawabannya tersebut saya ingin menegaskan bagaimana sikapnya jika menemukan artikel Islam yang anonim, Eka pun menjawab “ya aku tetap baca sih tapi hati-hati buat post.”
133
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
21. Perbincangan dengan Islam (10/12/2010). Islam, pemilik id YM islamislam2010187, laki-laki berusia 19 tahun ini berasal dari daerah Elminya, Mesir dan hanya dapat berkomunikasi dengan bahasa Arab. Setelah berbincang sedikit masalah Mesir dan kehidupan kesehariannya, saya pun menjelaskan secara singkat tentang penelitian saya dan memintanya untuk membantu saya menjadi informan. Mengawali wawancara ini, saya menayakan aktivitasnya di Internet. Ia mengatakan bahwa ia menghabiskan banyak waktu di Internet untuk menuliskan artikel-artikel di suatu forum online agar dibaca oleh orang. Selanjutnya saya menanyakan apakah ia juga sering membaca artikelartikel Islam online, apa hal yang terpenting baginya; artikel atau penulisnya dan bagaimana ia menilai artikel anonim. Islam mengaku sering membaca artikel-artikel keagamaan di Internet dan baginya, artikel lebih penting dari penulisnya. Ketika ia menemukan artikel anonim, selama artikel tersebut bermanfaat bagi dirinya, ia tidak peduli sama sekali dengan identitas penulisnya. Lebih spesifik, saya menanyakan apakah hal itu berarti dakwah di Internet tidak memerlukan identitas Dainya? Ia menjawab dengan tegas, “ya. Anda tidak perlu mengetahui identitas Dainya. Saya akan menjelaskan kepada anda bagaimana. Saya menaruh beragam artikel di forum-forum online agar dibaca oleh banyak orang. Dan saya masuk ke forum tersebut dengan namanama samaran, seperti Abdullah yang bukan nama asli saya. Dan para pembaca tidak pernah mempermasalahkan nama tersebut dan bahkan tidak pernah menanyakan nama asli saya.” Menurutnya, hal ini berbeda ketika ia mengkonsumsi pesan-pesan agama di dunia nyata. Ketika mendengar ceramah, identitas Dai sangatlah penting. 22. Perbincangan dengan Islamuddin (13/12/2010). Islamuddin, seorang lelaki 27 tahun berasal dari Pakistan, pemilik id YM “islam4u1174”. Islamuddin adalah seorang Bachelor in Computer and Education. Setelah perkenalan singkat, saya pun memaparkan tentang penelitian saya dan memintanya untuk menjadi informan. Islamuddin mengenal Internet sejak ia berada di kelas 10 (mungkin setingkat SMA di Indonesia). Saat ini ia biasa memanfaatkan 10 jam untuk Internet-an, tetapi untuk kepentingan kantornya. Mengenai artikel keislaman di dunia maya, Islam mengaku sering membaca artikel-artikel online tetapi baginya, artikel-artikel tersebut tidak dapat dipercaya. Karena menurut Islam, artikel-artikel keislaman di dunia maya kebanyakan ditulis oleh para sarjana barat yang melihat Islam dengan kacamata Barat.
134
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
Ketika ditanya apa hal yang terpenting baginya, penulis artikel atau artikel itu sendiri? Islamuddin menjawab bahwa baginya keduanya sama-sama penting. Jika ia mendapatkan artikel yang anonim, ia hanya akan membacanya dan kalau memang artikel tersebut menarik, ia akan mencarinya lebih lanjut dari buku. 23. Perbincangan dengan Wahed (23/12/2010). Wahed, anak laki-laki berumur 20 tahun asal India ini merupakan pemilik id YM “mohseen_khan52”. Saya bertemu siswa tingkat akhir ini di room Islam Chat 6. Setelah perkenalan singkat saya dengan Wahed, saya pun mengutarakan mengenai penelitian yang sedang saya lakukan dan ia pun menyetujuinya. Mengawali perbincangan, saya menanyakan kehidupan informan saya dengan Internet. Wahed bercerita bahwa ia mengenal Internet sejak setahun yang lalu melalui buku dan seorang temannya yang memiliki warung internet. Saat ini, ia biasa menghabiskan sekitar empat jam dalam seminggu untuk Internetan. Dan biasanya ia gunakan untuk chatting, mengunggah foto, membaca pesan-pesan di email dan sekali waktu membaca artikel-artikel tentang Islam. Mengenai artikel Islam di dunia maya, Wahed menyatakan bahwa biasanya ia menilai suatu artikel dari tampilan dan tema artikel tersebut. Lebih lanjut saya pun menanyakannya mana yang lebih penting bagi Wahed, pesan atau penulisnya. Wahed menjawab “the author”. Ia pun menjelaskan alasannya
“message comes from the author. If he is great, than the message from him will also great”. Lebih jauh saya bertanya bagaimana jika penulis artikel tersebut anonim, ia pun menjawab “if the message is great but without author name, if it leads to good of the people then ok”. Jadi, selama pesan tersebut mengajak kepada kebaikan, maka anonimitas penulis bukanlah masalah. 24. Perbincangan dengan Dara (23/12/2010) Dara adalah seorang guru piano asli Aceh. Perempuan 28 tahun pemilik id YM “dara_aldilla” ini memiliki riwayat pendidikan yang “variatif”. Pada tahun 2001, Dara kuliah di bidang informatika selama satu tahun kemudian pindah ke FKIP Bimbingan Konseling selama satu tahun kemudian pindah lagi ke FKIP Kesenian selama tiga semester. Pasca terjadinya bencana Tsunami, Dara berhenti kuliah dan mulai mengajar piano juga bergabung sebagai relawan untuk mensosialisasikan masalah disaster education, khususnya Tsunami, bekerja sama degan peneliti dari Tokyo University Jepang. Setelah berkenalan dan berbincang perkembangan Aceh saat ini, saya kemudian mengutarakan
135
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
mengenai penelitian yang sedang saya lakukan dan memintanya menjadi informan dan Dara pun menyetujuinya. Mengawali wawancara, saya menanyakan kehidupan informan saya dengan Internet. Dara menceritakan bahwa ia pertama kali mengenal Internet pada tahun 1999. Saat itu ia suka berkorespondensi ke luar negeri. Awalnya ia menggunakan surat biasa untuk berkorespondensi, lalu kemudian di rumahnya dipasang Internet, dan sejak itulah ia mulai berkirim surat menggunakan email. Akhir-akhir ini, Dara biasa menghabiskan satu sampai dua jam menggunakan Internet setiap harinya. Aktifitasnya di Internet berkisar seputar membaca email, facebooking, mencari file untuk piano partitur dan chatting. Mengenai artikel Islam di Internet, Dara mengaku memang hanya sesekali membaca artikel Islam di Internet. Lebih lanjut Dara mengatakan bahwa ia lebih senang membaca artikel-artikel Islam yang bertema kajian sains berbasis al-Quran. Perbincangan saya dengan Dara sempat terhenti karena ia meminta izin untuk menjemput keponakannya dan menjanjikan akan segera kembali dan meneruskan perbincangan. Setelah saya menunggu sekitar 20 menit, Dara kembali sign in dan kami pun meneruskan perbincangan. Perbincangan selanjutnya saya arahkan untuk mengungkap mana lebih penting antara pesan dalam suatu artikel dan penulisnya menurut Dara. Ia mengaku lebih mementingkan pesan dari penulisnya. Dengan santai ia menjawab “saya gak pernah memperhatikan siapa penulisnya he he he”. Ketika saya tanya alasannya, Dara menjawab “nggak ada alasan sih.. kalo saya sih
memang begitu. Kalau ada yang menarik ya saya baca”. 25. Perbincangan dengan Najma (24/12/2010). Perkenalan saya dengan Najma berawal ketika saya menyapa seorang user yang menggunakan id “tear_drops4love.” Ia memperkenalkan diri, namanya Keith, female from US. Ketika saya tanya lebih lanjut mengenai dirinya, ia mengatakan bahwa ia tidak mau memberi tahu data pribadi mengenai dirinya. Selanjutnya, saya mengutarakan sekilas bahwa saat itu saya sedang mengadakan penelitian mengenai bagaaimana seorang muslim user menggunakan Internet dan meminta dirinya untuk menjadi informan saya. Ia pun mengetikkan “lol” (laugh over load) yang menunjukkan bahwa ia tertawa terbahak-bahak. Ia pun menjelaskan bahwa ia bukan seorang muslim. Setelah menjelaskan bahwa penelitian saya dapat ditarik ke lingkaran yang lebih umum; Agama dan Internet, agama disini termasuk agama-agama selain Islam, ia pun menyetujuinya. Saya memulai wawancara dengan menanyakan sekilas tentang agamanya. Ia menyatakan bahwa ia hanya peraya
136
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
pada Tuhan dan para Nabi tetapi tidak percaya pada agama. Karena menurut keyakinannya, Tuhan tidak pernah mengajarkan tentang agama. Hal ini membuat saya bertanya lebih lanjut, “so who taught u bout Christian beliefs and teachings.” (lantas siapa yang mengajarkan anda tentang keyakinan dan ajaran Kristiani). Ia pun menjawab dengan singkat, “keep it (God) in ur heart always and search there u will find answer to all.” (Jagalah Tuhan di hatimu selalu, niscaya anda akan menemukan jawaban atas semua). Najma menjelaskan lebih lanjut, “u know.. God said if you never found me then you never knew me because I have been within u since the beginning of time.” (Anda tahu.. Tuhan mengatakan jika kalian tidak akan pernah menemukan-Ku maka kalian tidak akan pernah tahu tentang Aku karena Aku sudah ada dengan kalian sejak permulaan). Dari jawabannya di atas, saya pun mengajukan pertanyaan spesifik, “than how could we find God? Could we find God here on the net?” (Lantas bagaimana kita bias menemukan Tuhan? Dapatkah kita menemukan-Nya di disini di Internet?) Dengan pasti, Najma menjawab “yes of course we can. Can
we find him in the garden? Can we find him in the temple? Can we find him in the stars? Of course. You know why? If you make every day like I do, he show me every day who is God almighty by wahat has been written and how all was created and yet I wake and see it every day exactly as God said. (Tentu saja kita bisa. Bisakah kita menemukan-Nya di taman? Dapatkah kita menemukan-Nya di kuil? Dapatkah kita menemukan-Nya di langit? Tentu. Anda tahu mengapa? Jika anda melakukan apa yang saya lakukan setiap hari, sesungguhnya Ia menunjukkan aku setiap hari siapa sebenarnya Tuhan yang Maha Kuasa itu melalui apa yang sudah Ia tentukan). Selanjutnya Najma memberitahu bahwa ia memiliki qurannya sendiri, “I have net quran from islam city in mecca Saudi Arabia. Holy Quran. Yes. Just net version. Mecca has this.” Kemudian ia menunjukkan link ke online quran yang ia maksud http://www.islamcity.com/multimedia/radio/ch200/default.asp?inc=6.htm#Top dan http://www.religionfacts.com/islam/index.htm. sebenarnya ada banyak online quran, tapi 2 quran yang ditunjukkan link tersebut adalah yan paling favorit baginya. Terkait dengan artikel online yang ada, saya tertarik menanyakan Najma apa yang terpenting baginya; pesan atau penyampainya? Dengan gamblang, Najma menyampaikan pandangannya, “the message of course. It is the message the prophets all die for. To bring it forth.” (Tentu pesannya. Karena pesan yang disampaikan adalah pesan yang memang diperjuangkan oleh para nabi secara turun temurun).
137
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
26. Perbincangan dengan Amy (24/12/2010). Amy adalah pengguna id “friendsforever.after.” Wanita 24 tahun ini berasal dari daerah Alexandria, Mesir, berprofesi sebagai guru bahasa Inggris. Setelah perkenalan singkat saya dengan wanita lulusan faculty of education, Alexandria University ini saya menjelaskan kepadanya tentang penelitian yang sedang saya garap dan memintanya untuk menjadi salah satu nara sumber saya. Setelah disetujui, saya pun memulai wawancara dengan menanyakan seputar enkulturasi dan keterlibatannya dengan Internet. Amy menceritakan bahwa ia mengenal Internet semenjak ia masuk dunia perkuliahan. Dosendosennya sering kali menyuruh untuk membuat penelitian, maka mau tidak mau ia harus menggunakan Internet. Saat ini ia menghabiskan 4 jam setiap harinya untuk Internet dan biasanya waktu tersebut ia gunakan untuk chatting, downloading dan membaca novel-novel para penulis Inggris. Perbincangan berlanjut ke masalah artikel-artikel keIslaman di Internet. Menurutnya, kebanyakan orang ketika menyampaikan tentang Islam dan prinsip-prinsip Islam dengan sangat rumit, padahal Islam tidak rumit. Ketika saya tanya apa yang terpenting baginya; artikel atau penulisnya, ia mengatakan “of course the message.” (Tentu artikelnya) Mengapa? “becoz I
don’t know the writer personally and I don’t care of it. All what I care is that what he want to let us know. I mean the message of his writing.” (karena saya tidak mengenalnya secara pribadi dan saya tidak peduli dengan hal tersebut. Saya hanya memperhatikan apa yang si penulis ingin beritahukan kepada kita). Dan ketika saya tanya lebih lanjut, bagaimana jika pesan tersebut tidak ada keterangan penulisnya, ia mengatakan hal tersebut tidak masalah. Karena sebagai mana yang ia katakan, ia tidak peduli siapa penullis artikel. 27. Perbincangan dengan Sharifah (25/12/2010) Sharifah adalah seorang perempuan berumur 30 tahun dan bekerja sebagai juru tulis di salah satu persuahaan di negaranya, Filipina. Mengenai keislamannya, perempuan lulusan magister agricultural extension ini menceritakan bahwa ia pernah mengikuti pendidikan nonformil yang dari situlah ia belajar membaca al-Quran, sejarah Nabi Muhammad, dan bagaimana menjadi seorang muslim yang baik. Setelah perkenalan singkat mengenai kehidupan masing-masing, saya pun mengutarakan tentang penelitian saya dan memintanya untuk menjadi informan. Mengawali wawancara, saya meminta Sharifah untuk menceritakan kehidupannya dengan Internet. Ia menceritakan bahwa ia mengenal Internet semenajak ia berada di bangku kuliah karena saat itu ia memiliki satu mata kuliah yang membahas bagaimana melakukan riset di Internet. Saat ini, karena
138
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
ia bekerja di bagian R&D, hampir kebanyakan waktunya di kantor dihabiskan di Internet. Mengenai artikel-artikel keislaman di dunia maya dan kaitannya dengan anonimitas artikel, Sharifah mengatakan bahwa artikel yang baik adalah artikel yang tidak menyebar profokasi dan baginya, walaupun ia mementingkan substansi pesan dari pada penulisnya, ia tetap tidak mempercayai artikel-artikel yang anonim. Jika artikel tersebut memang benar-benar menarik, dia akan mencari artikel lain yang membahas tema yang sama. 28. Perbincangan dnegan AkhlaqurRahman (25/12/2010). AkhlaqurRahman adalah pemilik id YM “a_rahman78692.” Pada awal perkenalan saya dengan lelaki asal India yang bekerja sebagai system engineer ini, ia banyak bertanya mengenai tokoh Islam Indonesia seperti Abo Bakar Ba’asyir dan lain-lain. Setelah obrolan singkat mengenai Islam di Indonesia dan perbandingannya dengan India, saya pun mengutarakan mengenai penelitian saya dan meminta Rahman untuk menjadi informan. Seperti biasa, saya memulai interview dengan menanyakan kehidupan informan saya dengan Internet. Rahman bercerita bahwa ia mengenal Internet sejak tahun 2003 dan saat ini ia biasa menghabiskan empat sampai lima jam untuk online setiap hari. Biasanya ia memanfaatkan Internet untuk mencari bahan-bahan yang terkait pekerjaan kantornya, chatting dan mengunduh lagu. Mengenai artikel keislaman di dunia maya dan kaitannya dengan anonimitas artikel-artikel tersebut, Rahman menyatakan bahwa ia sering kali membaca artikel-artikel Islam di Internet. Dan baginya, selama informasiinformasi yang terkandung sesuai dengan al-Quran dan Hadis, maka kita dapat mempercayainya begitu juga ketka arikel tersebut anonim. Karena menurutnya, sebagaimana yang termuat dalam sebuah Hadis bahwa yang terpenting adalah apa yang dikatakan bukan siapa yang mengatakan. Lebih lanjut Rahman pun menjelaskan mengenai Hadis tersebut yang intinya disebutkan bahwa sekalipun suatu perkataan keluar dari syeitan, selama apa yang diakatannya tersebut berdasarkan al-Quran dan Hadis, maka kita harus mempercayainya. 29. Perbincangan dengan Omar (30/12/2010) Omar yang memiliki nama lengkap Abdorrahman Omar ini adalah pemilik id YM “abdomar75.” Lelaki kelahiran tahun 1980, berasal dari Mesir dan berprofesi sebagai guru bahasa arab. Saya bertemu Omar di room 10 Islam Chat. Pertama kali saya ajak berbincang mengenai penelitian saya dan memintanya menjadi informan, Omar menolak karena ia sedang sibuk dan menyuruh saya untuk mengirimkan kuesioner langsung ke emailnya. Namun selang seminggu
139
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
saya menunggu, Omar belum membalas email. Setelah seminggu sejak saya mengirimkan email, kebetulan saya melihat id YM Omar menyala bertanda ia sedang online. Saya pun menodongnya menanyakan mengapa email saya tidak dibalas olehnya. Entah mengapa, Omar mengaku tidak menerima email saya. Dan saya pun memutuskan untuk meminta waktu Omar untuk mewawancarainya saat itu juga. Setelah menyetujui permohonan saya, wawancara saya awali dengan menanyakan enkuluturasinya dengan Internet. Ia mengatakan bahwa ia baru setahun ini mengenal Internet. Karena di desanya, Internet baru saja masuk dalam setahun itu. Saat ini Omar biasa menghabiskan 4 jam setiap harinya di depan Internet untuk mencari tema-tema terkait nahwu, s}araf dan beberapa profil yang ada dalam sejarah Islam serta kabar-kabar terbaru seputar dunia Islam. Terkait dengan pertanyaan mengenai artikel-artikel keislaman dan kaitannya dengan anonimitas artikel-artikel tersebut, Omar mengatakan bahwa ia biasa mengunduh artikel-artikel tentang Islam. dan artikel yang baik menurutnya adalah artikel yang berbicara berdasarkan dalil dari al-Quran dan Sunnah. Bagi Omar, penulis tidak mempengaruhi penilaianya terhadap artikel tersebut. Ketika saya tanya apakah penulis artikel mempengerahui penilaiannya terhadap artikel-artikel tersebut, Ia menjawab
"ﻻ طﺒﻌﺎ ﻷﻧﮫ ﺣﺘﻰ ﯾﻜﻮن ﺣﻜﻤﻲ ﻣﻮﺿﻮﻋﻲ ﻻﺑﺪ أﻻ أﻛﻮن ﺗﺤﺖ ﺗﺄﺛﯿﺮ ﻛﺎﺗﺐ اﻟﻤﻘﺎل "ﻓﺎﻟﻤﮭﻢ ﻋﻨﺪي ﻣﺎ ﻛﺘﺐ وﻟﯿﺲ ﻣﻦ ﻛﺘﺐ وذﻟﻚ ﻷن اﻻﻧﺴﺎن ﻓﻲ اﻟﻨﮭﺎﯾﺔ ﺑﺸﺮ ﯾﺨﻄﺄ وﯾﺼﯿﺐ (Tentu tidak, agar penilaian saya terhadap artikel tersebut tetap objektif, maka saya tidak boleh terpengaruh oleh penulis artikel tersebut. Jadi bagi saya yang terpenting adalah apa yang ditulis bukan siapa yang menulis. Karena manusia pada akhirnya hanyalah makhluk yang terkadang salah dan terkadang benar). B.
Mengunggah Tuhan ke Dunia Maya
1. Ilusi Ketuhanan Google Mari memulai pembahasan ini dengan membuka situs http://isGooglegod.com/ . Apa yang nampak dalam layar monitor anda kemudian? Jawaban singkat tapi padat, “yes” (Google is god). Dalam “Googlism,” Google memaparkan sembilan bukti ketuhanannya; 1. Google adalah entitas yang paling mendekati kategori omniscient (wujud yang maha tau), yang dapat dibuktikan secara ilmiah. 2. Google berada dimana-mana dalam satu waktu (omnipresent).
140
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
3.
4.
5. 6.
7.
8.
9.
Google menjawab beragam “doa”. Seseorang dapat “berdoa” memohon apa saja kepada Google dengan mengetikkannya ke dalam kotak search engine, pada saat itu juga Google akan menjawabnya. Google sangatlah berpotensi untuk abadi. Google bukanlah makhluk hidup sebagaimana manusia. Algortimanya tersebar di berbagai server; jika ada satu yang lepas atau rusak, yang lainnya akan langsung menggantikannya. Secara teoritis Google akan bertahan selamanya. Google bersifat tek terbatas. Seiring perkembangan internet, Google akan terus mengindeks perkembangan tersebut. Google mengingat semuanya. Dengan mengupload fikiran dan opini anda ke internet, anda akan selamanya hidup dalam rekaman Google, bahkan sampai anda meninggalkan dunia ini. Google dapat menjadi malaikat yang tak pernah salah. Di antara filosofi perusahaan Google adalah keyakinan bahwa perusahan dapat menghasilkan uang tanpa harus menjadi iblis. Berdasarkan Google Trends, terma “Google” dicari lebih banyak dibanding terma-terma “God”, “Jesus”, “Allah”, “Buddha”, Christianity”, “Islam”, Buddhism” dan “JuDaism”. Jika Tuhan diartikan sebagai dzat yang paling diminta pertolongan ketika kita butuh, maka Google telah membuktikan ketuhanannya. Bukti eksistensi Google tersebar dimana-mana. Google memiliki buktibukti eksistensi lebih banyak dibanding “Tuhan-Tuhan” yang pernah ada selama ini. Jika kita menganut faham “seiing is believing” (beriman adalah melihat), maka silahkan anda mengakses www.Google.com dan rasakan kehebatannya.15
Terpesona dengan kehebatan Google dan teknologi wi-fi yang ada, Alan Cohen, wakil presiden perusahaan Airespace, sebuah perusahaan penyedia layanan Wi-Fi, mengatakan :
“God is wireless, God is everywhere and God sees and knows everything. Throughout history, people connected to God without wires. Now, for many questions in the world, you ask Google, and increasingly, you can do it without wires, too.''16 15 Diakses online dari http://www.thechurchofGoogle.org/Scripture/Proof_Google pada tanggal 22Desember 2010. 16 Sebagaimana dikutip Thomas L. Friedman dalam kolom opini majalah New York Times online, selengkapnya tentang tulisan Friedman ini baca: Thomas L. Friedman, “Is Google God?” http://www.nytimes.com/2003/06/29/opinion/is-Googlegod.html
141
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Menurut Cohen, sepanjang sejarah peradabannya, manusia tersambung dengan Tuhan tanpa melalui perantara apapun. Jika manusia memiliki pertanyaan tentang apapun, ia dapat langsung bertanya kepada Tuhan dimanapun dan kapanpun. Menurutnya, kemampuan ketuhanan tersebut juga dimiliki oleh Google dengan bantuan teknologi wi-fi. Google yang mampu menjawab pertanyaan apapun semakin menunjukkan ketuhanannya dengan hadirnya teknologi wi-fi yang dapat menghadirkannya di manapun dan kapanpun tanpa kabel. Senada dengan Cohen, Douglas Coupland dalam novelnya Jpod, menyetarakan Google dengan Tuhan. Menurutnya, kesan yang didapat setelah menggunakan Google sangatlah berkesan.17 Ia menceritakan betapa seringkali ketika ia berada di restoran mengharapkan Google turun untuk membawa jawaban atas permasalahannya. Kesan yang dirasakan oleh Alan Cohen dan Douglas Coupland tentang ketuhanan Google sangatlah mungkin juga dirasakan oleh banyak orang di dunia ini. Hal ini tentunya menimbulkn pertanyaan besar benarkah sembilan bukti ketuhanan Google yang dirilis googlism itu cukup untuk membuktikan ketuhanan Google? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mengajak untuk meninjau konsep Tuhan dalam agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) dan ardhi (Buddha dan Hindu). Mari memulai dengan konsep Tuhan dalam agama Buddha. Ada dua aliran besar agama Buddha dewasa ini, yaitu aliran Theravada dan Mahayana. Keduanya berbeda dalam memandang Tuhan. Menurut mazhab Theravada, Tuhan tidaklah semestinya dipandang sebagai pribadi yang dengannya umat Buddha mengajukan permohonan, memuja, dan menggantung hidup mereka kepadanya. Bagai Theravada, suatu pribadi (being) adalah terbatas dan selalu menjadi (dumadi, becoming). Oleh karena itu tidak mungkin ada wujud (being) yang berpribadi (personal) yang kekal. Bagi Theravada, Tuhan juga tidak dipandang sebagai “bukan pribadi,” karena Tuhan mengatasi hubungan relaitf antara ada dan tiada, antara being dan nonbeing, antara pribadi dan bukan pribadi. Meskipun demikian, penggambaran Tuhan menurut ukuran dan perasaan manusia selalu dihindari, sebab dianggap dapat menurunkan dan membatasi kedudukan Tuhan sebagai Tuhan. Bagi mazhab Theravada Tuhan seharusnya diungkapkan dalam aspek-aspek nafi, seperti tidak dilahirkan, tidak menderita, tidak menjelma, tidak tercipta dan sebagainya. Jika demikian pandangan Tuhan dari mazhab Theravada, tidak jauh berbeda dengan 17
Rebecca Myers, “Is Google God?”, diaksaes online dari http://www.time.com/time/arts/article/0,8599,1194830,00.html pada tanggal 27 Januari 2011.
142
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
pandangan Tuhan dalam agama Islam, yang melihat Islam tidak bisa disamakan dengan manusia ciptaannya. Hal ini sesuai dengan Berbeda dengan aliran Theravada, aliran Mahayana memandang Tuhan tidak jauh berbeda dengan agama-agama lain. Dalam aliran ini Tuhan dikenal melalui ajaran Trikaya dan Adi Buddha. Kebudhaan menurut aliran Mahayana ini adalah suatu pencapaian yang dapat dicapai oleh setiap manusia yang sehat jasmani dan rohani.18 Di antara para Buddha, tidak ada perbedaan antara Buddha yang satu dengan yang lain atau tidak ada perbedaan antara Buddha yang pertama (adi), di tengah-tengah (majjah) maupun yang terakhir (pariyosana). Bagi aliran Mahayana, yang penting dari semua ini adalah bahwa kebudhaan dapat dicapai oleh semua orang dengan tanpa bantuan dan tuntunan dari orang lain. Bagi Mahayana, tingkat kebudaan itu dapat dicapai dengan usaha sendiri, tanpa bantuan orang lain, oleh karena itu guru yang membimbing orang untuk mencapai ke arah kebudaan bukanlah hal yang amat dipentingkan. Tanpa usaha keras dari seseorang yang ingin mencapai tingkat kebudaan, dia tidak akan dapat mencapainya.19
Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam yang artinya “Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak.” Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asankhata) maka manusia yang berkondisi (sankhata) dapat mencapai 18
Sebagaimana yang dikatakan Walpola Rahula bahwa setiap orang (tetapi hanya laki-laki) memiliki potensi di dalam dirinya untuk menjadi Buddha jika ia ingin berikhtiar, baca: Walpola Rahula, What The Buddha Taught (London: The Gordon Praser Gellery, 1972), 1. 19 M. Ikhsan Tanggok, Agama Buddha (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), 44-47.
143
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.20 Agama Buddha berlawanan dengan kebanyakan agama yaitu memberi pelajaran Jalan Tengah dan membuat ajarannya homocentris (berpusat pada manusia) yang berlawanan dengan kepercayaan-kepercayaan theocentris (berpusat pada Tuhan). Dengan demikian agama Buddha adalah introvert (melihat ke dalam) dan berhubungan dengan pembebasan individu. Dhamma (istilah dalam bahasa Pali untuk ajaran-Nya) harus direalisasikan oleh diri sendiri, bahkan sampai pasca kematian Buddha.21 Dalam konteks Indonesia, pengakuan agama Buddha sebagai agama yang resmi di Indonesia memiliki catatan tersendiri. Menurut Metta Darmasapurtra, pada dasarnya agama seperti Hindu dan Buddha tidak mengenal konsep Tuhan dalam pengertian “kata benda” seperti agama-agama samawi. Sesungguhnya dalam agama Buddha tidak dikenal konsep Tuhan tetapi dikarenakan Indonesia memiliki prinsip dasar untuk harus mengakui adanya Tuhan berdasarkan sila Ketuhanan Yang Mahaesa dalam Pancasila, maka perlu usaha untuk menyiasati ketentuan, agar tidak dicap atheis atau bahkan distempel sebagai seorang komunis dengan tidak mengakui Tuhan dalam bentuk kata benda tetapi mengakui sifat ketuhanan. Mengakui adanya Zat atau sesuatu yang di luar kita, yang dalam pengertian Buddhisme sebenarnya lebih dikenal sebagai hukum yang Maha dahsyat, Maha bergerak sendiri, yang mengatur semua isi alam. Tetapi karena diharuskan menyebut personifikasi Tuhan, dalam agama Buddha lalu dikenal nama Sang Hyang Adi Buddha yang dalam literaturliteratur internasional sebetulnya tidak pernah dikenal. Jadi itu adalah personifikasi Tuhan yang hanya ada di kalangan Buddha Indonesia. 22 Konsep ketuhanan dalam agama Buddha tidak jauh berbeda dengan konsep Tuhan dalam agama Hindu. Tuhan dalam agama Hindu sebagaimana yang disebutkan dalam Weda adalah Tuhan tidak berwujud dan tidak dapat digambarkan, bahkan tidak bisa dipikirkan. Dalam bahasa Sanskerta keberadaan
20
Bhikku Khemanando, “Konsep Tuhan dalam Agama Buddha,” diakses online dari http://khmand.wordpress.com/2008/08/20/konsep-Tuhan-dlm-agama-Buddha/ pada tanggal 17 Januari 2011 21 Sebagaimana yang tertulis dalam ajaran terakhir Buddha yang mengatakan “Afther my death, the Dharma shall be your teacher. Follow the Dharma and you will be true to me.” Selengkapnya mengenai ajaran-ajaran terakhir Buddha ini, baca Bukkyo Dendo Kyokai, The Teaching of Buddha (Japan: Kosaido Printing Co., 1981), 24-26 22 perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Metta Darmasapurtra, salah satu pendiri dan aktivis Forum Samantabadra, dalam Saepullah, “Agama-agama Tak Mungkin Disamakan,” diakses online dari http://islamlib.com/id/artikel/agama-agama-tak-mungkin-disamakan/ pada tanggal 18 Januari 2011.
144
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
ini disebut Acintyarupa yang artinya: tidak berwujud dalam alam pikiran manusia. Tuhan Yang Maha Esa ini disebut dalam beberapa nama, antara lain: * Brahman: asal muasal dari alam semestea dan segala isinya * Purushottama atau Maha Purusha * Iswara (dalam Weda) * Parama Ciwa (dalam Whraspati tatwa) * Sanghyang Widi Wasa (dalam lontar Purwabhumi Kemulan) * Dhata: yang memegang atau menampilkan segala sesuatu * Abjayoni: yang lahir dari bunga teratai * Druhina: yang membunuh raksasa * Viranci: yang menciptakan * Kamalasana: yang duduk di atas bunga teratai * Srsta: yang menciptakan * Prajapati: raja dari semua makhluk/masyarakat * Vedha: ia yang menciptakan * Vidhata: yang menjadikan segala sesuatu * Visvasrt: ia yang menciptakan dunia * Vidhi: yan menciptakan atau yang menentukan atau yang mengadili. Tuhan Yang Maha Esa ini, apapun namanya, digambarkan sebagai beliau yang merupakan asal mula. Pencipta dan tujuan akhir dari seluruh alam semesta. Wujud kesadaran agung yang merupakan asal dari segala yang telah dan yang akan ada. Raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini yang hidup dan berkembang dengan makanan. Sumber segalanya dan sumber kebahagiaan hidup. Maha suci tidak ternoda. Mengatasi segala kegelapan, tak termusnahkan, maha cemerlang, tiada terucapkan, tiada duanya. Absolut dalam segala-galanya, tidak dilahirkan karena Beliau ada dengan sendirinya (swayambhu). Penggambaran tentang Tuhan Yang Maha Esa ini, meskipun telah berusaha menggambarkan Tuhan semaksimal mungkin, tetap saja sangat terbatas. Oleh karena itu kitab-kitab Upanisad menyatakan definisi atau pengertian apapun yang ditujukan untuk memberikan batasan kepada Tuhan Yang Tidak Terbatas itu tidaklah menjangkau kebesaranNya. Sehingga kitabkitab Upanisad menyatakan tidak ada definsi yang tepat untukNya, Neti-Neti (Na + iti, na + iti), bukan ini, bukan ini. Untuk memahami Tuhan, maka tidak ada jalan lain kecuali mendalami ajaran agama, memohon penjelasan para guru yang ahli di bidangnya yang mampu merealisasikan ajaran ketuhanan dalam kehidupan pribadinya. Sedangkan kitab suci Veda dan temasuk kitab-kitab Vedanta (Upanisad) adalah sumber yang paling diakui otoritasnya dalam menjelaskan tentang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa).
145
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Brahman sendiri memiliki 3 aspek: Sat, Cit dan Ananda. Sat: sebagai Maha Ada satu-satunya, tidak ada keberadaan yang lain di luar beliau. Dengan kekuatanNya Brahman telah menciptakan bermacam-macam bentuk, warna, serta sifat banyak di alam semesta ini. Planet, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan serta benda yang disebut benda mati berasal dari Tuhan dan kembali pada Tuhan bila saatnya pralaya tiba. Tidak ada satupun benda-benda alam semesta ini yang tidak bisa bersatu kembali dengan Tuhan, karena tidak ada barang atau zat lain di alam semesta ini selain Tuhan. 2. Cit: sebagai Maha Tahu Beliaulah sumber ilmu pengetahuan, bukan pengetahuan agama, tetapi sumber segala pengetahuan. Dengan pengetahuan maka dunia ini menjadi berkembang dan berevolusi, dari bentuk yang sederhana bergerak menuju bentuk yang sempurna. Dari avidya (absence of knowledge- kekurangtahuan) menuju vidya atau maha tahu. 1.
3. Ananda Ananda adalah kebahagiaan abadi yang bebas dari penderitaan dan suka duka. Maya yang diciptakan Brahman menimbulkan illusi, namun tidak berpengaruh sedikitpun terhadap kebahagiaan Brahman. Pada hakikatnya semua kegembiraan, kesukaran, dan kesenangan yang ada, yang ditimbulkan oleh materi bersumber pula pada Ananda ini bersumber pula pada Ananda ini, bedanya hanya dalam tingkatan. Kebahagiaan yang paling rendah ialah berwujud kenikmatan instingtif yang dimiliki oleh binatang pada waktu menyantap makanan dan kegiatan sex. Tingkatan yang lebih tinggi ialah kesenangan yang bersifat sementara yang kemudian disusul duka. Tingkatan yang tertinggi adalah suka tan pawali duhka, kebahagian abadi, bebas dari daya tarik atau kemelekatan terhadap benda-benda duniawi. Alam semesta ini adalah fragmen Tuhan. Brahman memiliki prabawa sebagai asal mula dari segala yang ada. Brahman tidak terbatas oleh waktu tempat dan keadaan. Waktu dan tempat adalah kekuatan Maya (istilah sansekerta untuk menamakan sesuatu yang bersifat illusi, yakni keadaan yang selalu berubah baik nama maupun bentuk bergantung dari waktu, tempat dan keadaan) Brahman. Jiwa atau atma yang menghidupi alam ini dari makhluk yang terendah sampai manusia yang tersuci adalah unsur Brahman yang lebih tinggi. Adapun bnda-benda (materi) di alam semesta ini adalah unsur Brahman yang lebih
146
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
rendah. Walaupun alam semesta merupakan ciptaan namun letaknya bukan di luar Brahman melainkan di dalam tubuh Brahman.23 Setelah memaparkan konsep ketuhanan pada agama ardhi (Buddha dan Hindu), kemudian mari kita melihat konsep Tuhan pada agama Yahudi, Kristen dan Islam. Mari kita mulai dengan melihat bagaimana sosok Tuhan dalam dalam agama Kristen, berikut ini adalah 20 fakta tentang Tuhan dalam Kitab Injil; Tuhan itu abadi (Ulangan 33:27; Yeremia 10:10; Mazmur 90:2), Tak terbatas (infinite) (1 Kings 8:22-27; Yeremia 23:24; Mazmur 102:25-27; Revelation 22:13), Maha Kecukupan (Exodus 3:13-14; Mazmur 50:10-12; Colossians 1:16), Hadir di segala tempat (omnipresent ) (Mazmur 139:7-12), Maha Kuasa (omnipotent) (Genesis 18:14; Luke 18:27; Revelation 19:6), Maha Mengetahui (omniscient) (Mazmur 139:2-6; Isaiah 40:13-14), Kekal (Mazmur 102:25-27; Hebrews 1:10-12; 13:8) Berdaulat (2 Samuel 7:22; Isaiah 46:9-11), Bijaksana (Proverbs 3:19; Romans 16:26-27; 1 Timothy 1:17), Suci (Leviticus 19:2; 1 Peter 1:15), Adil (Ulangan 32:4; Mazmur 11:7; Mazmur 119:137), Jujur (Ulangan 7:9; Mazmur 89:1-8) Maha Benar (Mazmur 31:5; John 14:6; John 17:3; Titus 1:1-2) Maha Baik (Mazmur 25:8; Mazmur 34:8; Mark 10:18), Maha Pengasih (Ulangan 4:31; Mazmur 103:8-17; Daniel 9:9; Hebrews 2:17) MahaPenyayang (Exodus 34:6; Mazmur 103:8; 1 Peter 5:10), Tuhan adalah cinta (John 3:16; Romans 5:8; 1 John 4:8), Tuhan adalah jiwa (John 4:24) Tuhan adalah cahaya (James 1:17; 1 John 1:5), Tritunggal (Matius 28:19; 2 Corinthians 13:14 Dalam agama Yahudi, pada dasarnya orang-orang Yahudi memercayai keesaan Tuhan (monotheism). Mereka yakin bahwa tidak ada Tuhan selain Tuhan yang satu, dan Ia Maha Kuasa, sosok Pencipta yang Maha Mengetahui 23
Anggun Gunawan, “Konsep Ketuhanan dalam Agama Hindu,” diakses online dari http://grelovejogja.wordpress.com/2008/10/17/konsep-ketuhanan-dalam-agamahindu/ pada tanggal 20 Januari 2011.
147
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
dan Maha Pemelihara dunia ini.24 Dalam Mechon Mamre's online encyclopedia of Torah Observance (ensiklopedia yang memuat kepercayaan, masyarakat, tempat, bahasa, kitab, praktek-praktek ibadat dan kebiasaan-kebiasaan dalam agama Yahudi) menyebutkan sifat-sifat Tuhan sebagaimana berikut: Tuhan itu eksis, satu, pencipta segala, tidak berjasad (incorporeal), tak memiliki jenis kelamin, hadir di segala tempat (omnipresent), maha kuasa (omniponent), maha tau (omniscient), abadi, adil, maha penyayang, suci, sempurna, tuhan adalah ayah kita semua.25 Bagaimana dengan Islam? Dalam Islam, Allah S.W.T memiliki 20 sifat wajib dan mustahil serta sifat jaiz (yang boleh ada dan tidak ada pada Allah). Berikut ini adalah sifat wajib dan mustahil bagi Allah S.W.T : Sifat Wajib 1
Wuju>d artinya ada
2
Qidam artinya dahulu
3
Baqa>’ artinya kekal Mukha>lafatuhu li al-h}awa>dithi artinya
4 5 6
berbeda dari semua makhluk
Qiya>muhu binafsihi artinya berdiri sendiri
Wah}da>niyyah artinya esa
7 8 9 10 11 12 13 14
Qudrah artinya Maha kuasa Ira>dah artinya berkehendak ‘Ilm artinya Maha Mengetahui Hayat artinya hidup Sama’ artinya mendengar Bas}ar artinya melihat Kala>m artinya berfirman Qadi>ran artinya Maha kuasa
15
Muri
16
‘Ali>man artinya Maha mengetahui
Sifat Mustahil 1) ‘Adam artinya tidak ada 2) H}udu>t} artinya baru atau permulaan 3) Fana> artinya binasa atau rusak 4) Muma>thalatuhu li al-h}awa>dithi artinya menyerupai yang baru 5) Ihtiya>juhu li ghairihi artinya membutuhkan sesuatu selain dirinya 6) Ta’addud artinya berbilang lebih dari satu 7) ‘Ajzun artinya lemah 8) Kara>hah artinya terpaksa 9) Jahlun artinya bodoh 10) Mautun artinya mati 11) S}amamun artinya tuli 12) ‘Umyun artinya buta 13) Bukmun artinya bisu 14) ‘A>jizan artinya Maha lemah 15) Mukrahan artinya Maha terpaksa 16) Ja>hilan artinya Maha bodoh
24
Caroline Large, The Three Great Smitic Religions (Singapore: Times Books International, 1981), 14 25 “The Nature of God”, diakses online dari http://www.mechonmamre.org/jewfaq/god.htm pada tanggal 2 Januari 2011.
148
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
17 18 19 20
H{ayyan artinya Maha hidup Sami>’an artinya Maha mendengar Bas}i
17) Mayyitan artinya Maha mati 18) Ashamma artinya Maha tuli 19) A’ma artinya Maha buta 20) Abkama artinya Maha bisu
Tabel 4. Sifat Wajib dan Mustahil bagi Allah S.W.T Setelah jelas bagaimana konsep-konsep Tuhan dalam agama-agama samawi (Yahudi, Kristen, Islam) dan ardhi (Buddha dan Hindu) lantas bagaimana konsep-konsept tersebut kemudian dibenturkan dengan sembilan bukti ketuhanan Google? Menurut penulis, ketuhanan Google hanyalah ilusi. Hal ini dapat dijelaskan dalam beberapa kesimpulan berikut: Pertama, jika Google mengklaim dialah entitas yang paling mendekati kategori omniscient (wujud yang maha mengetahui) dan dapat menjawab “doa” (permohonan) apapun. Hal ini sangatlah jauh berbeda dengan aspek Cit Brahman dalam agama Hindu yang mengatakan beliaulah sumber ilmu pengetahuan, bukan pengetahuan agama, tetapi sumber segala pengetahuan. Dalam agama Kristen, Tuhan tidak hanya Maha Mengetahui tetapi juga Maha Benar. Dalam Islam, Allah S.W.T mempunyai sifat Maha Tahu. Ke-Maha Tahuan Allah S.W.T meliputi segala yang nampak dan yang tak nampak. Tidak ada satu pun yang lewat dari pengawasan-Nya apa-apa yang ada di langit dan di bumi.26 Ke-maha tahu-an Google sangatlah terbatas pada apa-apa yang diindekskan oleh programmernya, tidak disertai dengan kepastian validitasnya, terbatas pada hal-hal yang nampak. Kedua, Google mengklaim keberadaannya yang dapat hadir dimanamana dalam satu waktu (omnipresent), tak terbatas dan abadi. Hal ini sangatlah mengada-ada. Keberadaan Google sangatlah terbatas pada adanya jaringan penghubung. Adanya wi-fi tidak berarti Google dapat hadir tanpa jaringan, jaringan itu tetap ada hanya saja jaringan tersebut tidak lagi menggunakan kabel. Ketika jaringan itu tidak ada, maka Google tidak dapat hadir, apalagi untuk abadi selamanya. Tidak hanya itu, keabadian Google juga sangat terbatas dengan perangkat komputer yang menopangnya. Ketika perangkat tersebut dimatikan, Googlepun turut mati. Berbeda dengan konsep omnipresent dalam konsep ketuhanan Yahudi yang tidak terbatas pada hal-hal yang wujud karena Ia sendiri tidak berwujud, dengan sifat omnipresent yang dimiliki Brahman yang tidak hanya hadir dimana-mana dalam satu waktu tapi alam semesta ini adalah bagiannya, dengan konsep Tuhan dalam Islam yang berdiri sendiri tidak 26
149
(Q.S Ali Imran: 5, Ibrahim: 38)
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
memerlukan kepada hal lain yang menopang-Nya, Maha Hidup dan mustahil mati. Ketiga, klaim ketuhanan Google karena ia mampu mengingat semuanya tidaklah terbukti. Google sangatlah bergantung pada sistem security file yang menjaga semua arsipnya. Jika sistem ini hancur, maka adalah hal yang tidak mustahil, Google akan “hilang ingatan”. Hal ini sangatlah berbeda dengan konsep Tuhan dalam Islam yang menyatakan bahwa setiap gerak-gerik manusia dari mulai kehadirannya di dunia ini sampai kematiannya terekam dengan jelas oleh para malaikat dan akan diputar kembali nanti sebagai barang bukti. Keempat, Google dapat menjadi malaikat yang bersifat mulia tanpa menjadi iblis sangatlah bertentangan dengan faktanya. Google menampung semua informasi tanpa filter. Kejahatan dunia maya, baik berupa pornografi, hacking, penggelapan identitas dan beragam kejahatan lain, cukup untuk menjadi bukti “keiblisan” Google. Hal ini sangatlah berbeda dengan konsep Dharma yang ada dalam agama Buddha. Kelima, Google mengklaim memiliki bukti eksistensi yang tersebar dan banyak dicari oleh orang. Dalam hal ini Google terlalu memaksakan diri, karena Google sendiri baru lahir pada tahun 1996. Dalam hal bukti eksistensi, memang Google dapat ditemukan dimana saja tetapi lagi-lagi harus didukung dengan jaringan. Hal ini sangatlah berbeda dengan konsep qidam Tuhan dalam agama Islam. Dan monoteisme primitif—sebagaimana yang dijelaskan oleh Wilhelm Schmidt27—telah dirasakan sebelum manusia mulai menyembah banyak dewa. 2.
Menemukan Tuhan di Dunia Maya Jika pada bahasan sebelumnya penulis telah mematahkan argumentasi ketuhanan Google, tidak berarti penulis menafiyikan potensi Google untuk dapat mengantarkan para pencari Tuhan untuk menemui Tuhan mereka. Ayos Purwoaji, editor Hifatlobrain, menuliskan artikel berjudul pencarian Tuhan di Google. Ia menyebutkan bahwa pada tahun 2007, situs Google Zeitgeist menyajikan sebuah fakta yang mengejutkan. Query teratas yang diketikkan pengunjung Google di mesin pencari tersebut adaah “who is God.” 28 Menurut penulis, selain menunjukkan kesinambungan usaha pencarian Tuhan dari waktu ke waktu dengan berbagai macam cara, fakta ini juga 27
Sebagaimana dikutip oleh Karen Armstrong dalam Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4.000 Tahun, terj. Zainul Am (Bandung: Penerbit Mizan, 2004), 27. 28 Sebagaimana dikutip oleh Garin Nugroho dan Nurjannah Intan dalam Who is God? Mencari Tuhan Lewat Google (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Grhatama, 2009), 16.
150
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
mengisyaratkan satu hal penting bahwa saat ini, manusia semakin “lincah” dalam mencari Tuhan. Mereka tidak lagi terbatas pada ruang-ruang sempit yang ada di dunia nyata. Memanfaatkan teknologi Internet, para pencari Tuhan meneruskan perjalanan pencarian mereka. Ruang maya, yang satu sisi dipandang negatif karena dipenuhi “sampah-sampah” tidak berguna, ternyata menyimpan potensi tersendiri. Untuk membuktikan hal ini, penulis mengajak ke salah satu “rumah” yang ada di dunia maya. Di salah satu “dinding rumah” seorang masyarakat maya, terpampang tulisan sebagaimana berikut:
Tiada Tuhan selain Allah - yang didengungkan di dunia nyata, juga berlaku dengan baik di dunia maya. Bahkan berbagai struktur, birokrasi, kekuasaan menjadi luluh rata oleh infrastruktur maya ini mengembalikan manusia kepada fitrahnya.29 Ungkapan Iwan (si pemilik “rumah”) menunjukkan kesan pribadi seorang penduduk maya terhadap apa yang ia rasakan selama ini. Menurutnya, ruang maya memiliki sisi relijiusitas tersendiri—atau meminjam istilah Dawson “cyber religiousity”30 –dengan porsi yang sama seperti di ruang nyata. Lebih dari itu, ruang tersebut memiliki kemampuan untuk “memurnikan” manusia. Menurut Pratik Kanjilal, kebutuhan untuk terus berkomunikasi dan mendapatkan informasi telah mendorong banyak individu untuk menulis dan bertukar pesan di dunia maya. Tanpa alasan yang jelas mengapa mereka terdorong untuk melakukan hal tersebut, mereka secara rutin melakukannya. Menurutnya, inilah inti keberagamaan.31 Tanpa bertanya mengapa Aku harus memberi, dengan kasih sayang-Nya, Tuhan tak pernah berhenti memberi dan berkomunikasi dengan makhluk-makhluk-Nya. Kesan rejilius dunia maya ternyata tidak hanya terbatas bagi kalangan Muslim saja, Fr. Richard Lonsdale menyamakan Kerajaan Allah seperti Internet. Dalam Kerajaan Allah, kita dapat menghubungi siapa saja, di mana saja serta kapan saja kita memerlukan seseorang untuk berbicara atau seseorang untuk menolong kalian. Menurutnya, hal di atas akan kita dapatkan dalam “Allah-net.” Allah-net dapat melakukan segala hal yang dapat dilakukan oleh 29 Iwan, “Tiada Tuhan di Dunia Maya,” diakses online dari http://ukpkstain.multiply.com/journal/item/33 pada tanggal 18 Februari 2011. 30 Lorne L. Dawson, “Cyberspace and Religious Life: Conceptualizing the Concerns and Consequences,” Paper presented at 2001 Conference in London The Spiritual Supermarket: Religious Pluralism in the 21st Century, April 19-22, 2001, diakses online dari http://www.cesnur.org/2001/london2001/dawson.htm pada tanggal 21 Februari 2011. 31 Pratik Kanjilal, “God of the global village,” diakses online dari http://www.indianexpress.com/ie/daily/19980511/13150154.html pada tanggal 21 Februari 2011
151
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Internet dengan lebih baik, lebih cepat dan dengan daya/kekuatan yang lebih besar. Kita tidak harus tahu bagaimana mengoperasikan sebuah komputer. Kita tidak harus paham bahasa khusus program. Kita tidak harus menghafalkan alamat e-mail yang panjang. Kita bisa saja berada di tengah hutan, di dasar lautan, atau bahkan di bulan! Kita tetap bisa tersambung (connected). Kalian tidak perlu khawatir akan `hackers' (orang yang mengacaukan program komputer) atau virus. Bahkan, tidak ada tagihan yang harus dibayar setiap bulan. Bermilyar-milyar orang saling dihubungkan—tanpa kabel ataupun komputer sama sekali. Roh Kudus, pribadi ketiga dalam Tritunggal yang Maha Kudus, menghubungkan kita semuanya. Kita dapat ngobrol (berdoa dan membaca Firman Tuhan), kita dapat memperoleh program-program yang berguna (Sakramen-sakramen), dan kita dapat memperoleh Bantuan Teknis yang tidak pernah mengecewakan kita (Kasih Karunia). Lebih lanjut Fr. Richard Lonsdale menjelaskan tentang keimanan yang serupa dengan perintah “sign in” dalam Internet. Iman inilah yang kemudian menjadi syarat untuk memasuki Kerajaan Tuhan. Bagaimana kita dapat memasuki dunia maya atau Internet? Hanya satu: kepercayaan. Ketika kita memasuki dunia Internet, kita sedang mempertaruhkan kepercayaan kita. Kita mungkin tidak yakin dengan siapa kita berhubungan. Mungkin saja kita chatting dengan seseorang yang hendak mencelakai atau menyalahgunakan informasi yang kita kirim. Teman chatting kita bisa saja sama sekali berbeda dengan yang kita bayangkan. Bahkan bisa terjadi ternyata sedang berbicara dengan sebuah mesin! Jadi, ketika kalian memasuki Internet, sesungguhnya kita sedang menanggung suatu resiko. Tetapi kita menaruh cukup kepercayaan juga untuk memberikan informasi-informasi pribadi. Kepercayaan atau iman inilah yang diperlukan agar dapat masuk dalam Kerajaan Allah. Ketika kita berdoa, kita menaruh iman kepercayaan kepada Tuhan yang tidak dapat kita lihat ataupun kita dengar.32 Mak Weimer, yang menyebut dirinya sebagai penginjil teknologi, lantaran ia menggunakan medium Internet sebagai sarana pelayanan, menyatakan sekitar dua juta orang mencari Tuhan setiap hari tapi bukan di gereja, melainkan di sebuah mesin pencari dot com. Weimer sendiri adalah CEO dari Global Media Outreach, sebuah layanan internet dari Campus Crusade for Christ International (CCCI) yang telah memfasilitasi 91 situs dalam 11 bahasa untuk memberitakan Kabar Baik. 32
Fr. Richard, “Hal Kerajaan Allah itu Seumpama Internet,” diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Richard Lonsdale. Artikel dapat diakses di http://www.indocell.net/yesaya/pustaka/id390.htm.
152
Membangkitkan Konsumen Dakwah Mengunggah Tuhan
Menurut Weimer, para pengunjung dunia maya ini rata-rata mengajukan pertanyaan yang kerap mengejutkan seperti : “Kini setelah aku menerima Yesus Kristus, apa yang harus kulakukan selanjutnya? Apakah aku harus menjadi sempurna sekarang? Bagaimana aku harus berdoa?” Menurut hasil penelitan Pew Internet and American Life Project, kini semakin banyak peselancar religius yang menggunakan medium internet, di antaranya guru sekolah Minggu dan pengkhotbah. Gabriel Faimau melakukan sebuah survey mengenai penggunaan Internet yang melibatkan 81 misionaris Katolik berbahasa Indonesia dari Divine Word Missionaries yang bekerja di lebih dari 50 negara. Salah satu penemuannya yang menarik adalah bahwa dari 81 partisipan, 84 persennya diketahui memanfaatkan informasi-informasi dari Internet sebagai bahan khotbah mereka.33 Hal ini tidaklah mengherankan, karena menurut Paine, ternyata tingkat relijiusitas seseorang berkorelasi positif dengan penggunaan Internet.34 Apa yang diungkapkan Paine ini sejalan dengan temuan Shirley S. Ho, Waipeng Lee dan Shahiraa Sahul Hameed bahwa kebanyakan “Muslim surfer” cenderung untuk bergabung dalam kegiatan online dikarenakan kesadaran keagamaan mereka.35 “Ini menghemat waktu,” ungkap Manuela Castro, 20 tahun, seorang mahasiswi dari University of Florida, yang meski dibesarkan dari keluarga Katolik namun tidak pernah ke gereja selama bertahun-tahun. Sebagai gantinya, ia pun lebih sering mengunjungi dunia maya. “Anda bisa menggunakan mesin
pencari Google untuk mencari Tuhan, dan tetap menggunakan baju tidur Anda,” ungkapnya. Tak dipungkiri, bagi mereka yang haus akan kebenaran sejati, berselancar di dunia maya setidaknya dapat memuaskan dahaga sekaligus melindungi mereka dari pesan para pengkotbah yang terkadang bersikap menghakimi atau “menyimpang.” Sedangkan bagi mereka yang membutuhkan nasihat atau layanan doa, internet dapat menyediakan jawaban sehingga mereka tidak perlu bertatap muka dengan para pelayan Tuhan yang terkadang membuat mereka “merasa canggung,” ujar Michael Kress, redaktur pelaksana dari situs Belief, yang 33 Gabriel Faimau, “The Internet: A new venue for religion,” diakses online dari http://www.thejakartapost.com/news/2009/01/24/the-internet-a-new-venuereligion.html, pada tanggal 22 Februari 2011. 34 Christopher Paine, "Exploring the Relationships Between Religion and Internet Usage" Paper presented at the annual meeting of the International Communication Association, Sheraton New York, New York City, NY, 2009-05-25, http://www.allacademic.com/meta/p14224_index.html. 35 Shirley S. Ho, Waipeng Lee dan Shahiraa Sahul Hameed, “Muslim surfers on the Internet: using the theory of planned behavior to examine the factors influencing engagement in online religious activities,” New Media Society 2008 10:93
153
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
menyediakan pelbagai informasi religius dan dikunjungi sekitar 3 juta peselancar setiap bulannya.36 Layaknya sekolah, bisnis, pemerintahan, dan bahkan setiap orang yang memenuhi dunia maya, grup-grup keagamaan pun turut menyesakkan dunia online; membangun home page khusus gereja, menyebarkan dogma dan membuat newsgroup, bulletin boards dan chat rooms yang agamis. Hampir setiap malam, masyarakat maya bertemu dan tenggelam dalam perbincangan dan diskusi mengenai agama. Sungguh fenomena arus intelektual dan teologikal yang sangat mengejutkan dan mengubah “karakter” Internet bahkan dapat mengubah pandangan kita terhadap Tuhan.37Fenoman ini menguatkan asumsi bahwa saat ini banyak orang “menemukan Tuhan” mereka di dunia maya.
36 Disarikan dari situs Glministry.com - Christian News and Information Radio Media, “Tren Mencari Yesus di Dunia Maya,” http://www.glministry.com/?p=1890. 37 Joshua Cooper Ramo/Chama, “Finding God on the Web; Across the Internet, Believers are Re-Examining Their Idea of Faith, Religion and Spirituality,” TIME Magazine, December 16, 1996 vol. 149 no. 1
154
PENUTUP “Throughout the history of organized religion, technology, for better or worse, has tended to become theology.” (Charles Henderson) Agama yang merupakan suatu bentuk kepercayaan yang mutlak dimiliki oleh setiap individu, masih dan akan terus menyisakan ruang bagi para peneliti—dari bidang apapun itu—untuk terus mengungkap fakta-fakta akademis tentangnya. Selama masih tersisa individu di muka bumi ini, maka kajian tentangnya akan dan harus terus berlanjut. Di sisi lain, teknologi yang merupakan wujud usaha individu dalam mempertahankan eksistensinya di kehidupan ini akan selalu mengalami beragam inovasi seiring sejarah peradaban manusia yang terus bergerak maju. Gesekan keduanya (agama dan teknologi) tentunya akan menghadirkan beragam fenomena baru yang menuntut para akademisi untuk terus mengkaji, sehingga dapat memberikan penjelasan yang utuh. Dalam konteks gesekan agama dan teknologi, penulis telah menyajikan kajian yang berfokus pada satu fenomena kecil dari terma besar agama dan teknologi, yaitu dakwah di dunia maya. Setelah memaparkan penjelasan dalam empat bab sebelum ini, pada bab ini penulis akan memberikan beberapa poin kesimpulan serta beberapa rekomendasi bagi para peneliti selanjutnya. A.
Kesimpulan Sebagaimana yang telah penulis sampaikan pada pendahuluan kajian ini bahwa tema besar yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah tema Islam dan Internet yang mengambil kasus otonomisasi pesan-pesan keagamaan di dalamnya, maka poin-poin kesimpulan yang akan penulis paparkan disini mencakup kedua hal tersebut (tema dan kasus). 1. Secara teoritis, respons pesan—baik dalam konteks kajian komunikasi maupun dakwah—merupakan tolak ukur kesuksesan berkomunikasi dan berdakwah. Dan otoritas respons pesan dalam keduanya (kajian komunikasi dan dakwah) berada sepenuhnya pada penerima pesan (receiver) atau mad’u. Hal ini
Penutup
berarti selektifitas mad’u/receiver merupakan faktor utama penentu keberhasilan suatu bentuk dakwah/komunikasi. 2. Internet merupakan alat ampuh untuk berdakwah. Internet dengan segala kecanggihannya akan sangat membantu para juru dakwah dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah ke berbagai penjuru dunia. Oleh karenanya, para dai haruslah meningkatkan kemampuan mereka khususnya kemampuan menggunakan teknologi ini dengan baik. Alat yang canggih akan menjadi rongsokan yang tak berarti jika kita tidak tau bagaimana menggunakannya. 3. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan dengan 150 informan Indonesia mengenai kegiatan apa saja yang mereka lakukan ketika online, terungkap 5 kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh orang-orang Indonesia, 1. Beraktivitas di jejaring sosial (facebook dan twitter) 2. Membaca berita 3. Emailing 4. Chatting 5. Blogging 4. Islam sebagai rahmatan lil ‘a>lami>n seharusnya difahami secara komprehensif. Universalitas Islam sejatinya tidak hanya dari sisi substansi, tapi juga harus difahami dari cakupan dakwah Islamnya yang (seharusnya) meliputi semua orang di belahan dunia manapun. Karena pengutusan Muhammad S.a.w sesungguhnya telah merubah ruang wahyu Ilahi yang dahulu hanya terbatas bagi kaum tertentu di tempat tertentu pada zaman tertentu. Diutusnya Muhammad S.a.w merupakan cahaya bagi seluruh alam, risalah yang dibawanya diperuntukkan bagi setiap makhluk yang berakal dan mendengar. Ruang gerak dai yang dahulu berkonsentrasi di ruang-ruang masjid, langgar, pesantren dan tempat-tempat pengkajian Islam konvensional, saat ini harus direlokasi. 5. Apa yang dimaksud dengan ritual online pada akhirnya hanyalah berupa hadirnya simbol-simbol relijius dalam ruang maya. Hal ini berarti bahwa yang kita virtualkan sebenarnya adalah simbol-simbol keagamaan yang berbentuk ritual bukan virtualisasi ritual secara utuh. Begitu juga dengan virtualisasi ibadah, sesungguhnya apa yang kita virtualkan adalah simbolsimbol ibadah bukan ibadah itu sendiri. Contohnya, ketika kita membaca alQuran dari mushaf yang ada di layar handphone atau komputer, sesungguhnya kita telah memvirtualkan simbol keagamaaan yaitu al-Quran. Jika kita kembali pada dikotomi ibadah dan mu’amalah, virtualisasi ibadah sebatas pada virtualisasi mu’amalah. Karena hanya sisi mu’amalah yang memiliki ruang
156
MATINYA SANG DAI: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
dinamis, sedangkan ibadah sudah terpola oleh ketentuan syariat dan tidak ada lagi negoisasi lebih lanjut. 6. Di dunia maya, walaupun tersedia beragam fasilitas penyampaian dakwah, pola dakwah yang paling mungkin diterapkan oleh seorang dai adalah penyampaian pesan-pesan keagamaan melalui tulisan dalam bentuk artikel di ruang-ruang website, blog atau mailist. Oleh karenanya, seorang dai harus mampu menghadirkan artikel-artikel keagamaan yang sesuai dengan “cita rasa” masyarakat maya. Berdasarkan survei yang penulis lakukan, suatu artikel dikatakan baik jika memenuhi kriteria berikut: a. Valid. Artinya artikel tidak hanya informatif tetapi juga valid karena didukung oleh referensi yang akurat baik dari al-Quran, Sunnah maupun sumber-sumber yang memang dirujuk. b. Objektif. Artinya artikel menyuguhkan kajian yang komprehensif, ditinjau dari berbagai aspek, cerdas, inspiratif dan tidak terkotori oleh dogma-dogma kelompok sehingga tidak mencemooh pihakpihak yang tidak sepaham. c. Kontekstual. Berdasarkan data yang penulis himpun, kebanyakan orang lebih memilih artikel-artikel Islam yang realitis dan sesuai dengan konteks keadaan masyarakat saat ini. Dengan kontekstualisasi ini, diharapkan artikel tersebut dapat memberikan solusi terhadap permasalahan masa kini. d. Disajikan dengan damai, motivatif, menggunakan bahasa yang ringan. Dalam konteks bahasa, salah seorang informan mengatakan tidak harus menggunakan banyak kata-kata berbahasa Arab, karena hal tersebut justru akan menyulitkan pembaca yang tidak memahami. Selain itu, akan lebih baik jika diberikan visualisasi (baik berupa gambar, suara, ataupun video) agar lebih atraktif. e. Memiliki identitas. Tidak hanya keterangan tentang siapa penulis artikel tersebut, tetapi juga organisasi yang berada di balik tulisan tersebut. 7. Bahwa masyarakat maya lebih baik mementingkan kualitas penyampaian pesan dibanding kualitas penyampainya. Terbukti, dari data yang penulis dapat, bahwa 57% informan lebih mementingkan isi dari penulis, 11% mementingkan penulis dari isi, 27% memandang keduanya penting dan 5% abstain. 8. Bahwa sebagian besar orang masih menilai kebenaran artikel dari penulisnya. Berdasarkan data mengenai pengaruh penulis terhadap kebenaran artikel yang ditulisnya; terungkap 44 % orang menjawab penulis mempengaruhi
157
Penutup
penilaiannya terhadap artikel, 5% menjawab sangat mempengaruhi, 29% tidak mempengaruhi, 21 % tidak selalu dan 1% tidak tahu. 9. Anonimitas di dunia maya meringankan beban para cybercleric. Sebagian besar orang, dengan beragam alasan, ternyata tidak terlalu mempermasalahkan identitas para penyampai pesan-pesan keagamaan. Dari titik inilah berawal kebangkitan mad’u. Di dunia lintas identitas, dengan leluasa mad’u mengeksplorasi beragam hal untuk asupan keagamaannya. Tanpa perlu mengenal siapa sebenarnya di balik pesan, para komunikan ternyata menggunakan otoritasnya dalam menyeleksi dan memaknai pesan. Mereka secara aktif mengendalikan gempuran pesan. B. Rekomendasi Dikarenakan beragam keterbatasan penelitian yang ada, penulis merekomendasikan beberapa hal di bawah ini bagi para peneliti selanjutnya: 1. Untuk mendapatkan data dan kesimpulan yang lebih komprehensif. Penulis merekomendasikan bagi para peneliti selanjutnya untuk memperluas cakupan data penelitian. Hal ini dapat diusahakan dengan membuat kuesioner dengan beragam bahasa dan disebarkan mailing list di dunia. 2. Terkait virtualisasi ritual, penulis merekomendasikan para peneliti selanjutnya untuk observasi langsung di dalam ruang virtual seperti Secondlife. Sehingga dapat merasakan langsung pengalaman virtual ritual dan mendapatkan komentar langsung dari para penduduk ruang virtual tersebut. 3. Untuk menguatkan hipotesis “kematian dai,” penulis merekomendasikan bagi para peneliti selanjutnya untuk tidak hanya melakukan observasi di dunia maya, tetapi juga mengkomparasikannya dengan dunia nyata.
158
Glosarium Address: Setiap komputer yang terhubung ke Internet memiliki address (alamat) yang unik. World Wide Web memiliki format alamat yang disebut URL (Uniform Resource Locator). Ada berbagai jenis alamat yang biasa digunakan di Internet. Pengguna Internet dapat memiliki alamat email, komputer dapat memiliki alamat IP, sebuah server dapat memiliki alamat Internet, dan sebuah situs web dapat memiliki URL. Alamat IP terdiri atas 4 byte (32bit), versi yang lebih baru mneggunakan format 48 bit. Bulletin Board Service: Sebuah tempat dalam jaringan di mana pesan-pesan dari pengguna umum dapat ditinggalkan, dan sebuah pesan dapat menjangkau semua pengguna. Chat room:
Chat room adlaah ruangan maya di dalam Internet di mana anggotaanggotanyadapat bertukar pesan teks secara real-time. Banyak chat room chat room menggunakan fasilitas khusus, misalnya IRC, Yahoo Messenger dan lainlain. Gatekeeper: 1.
2.
Komponen dari sistem konfereni H.323 yang melaksanakan resolusi panggilan alamat, kendali izin masuk, dan pengelelolaan bandwith subnet. Istilah telekomunikasi yang mengunjukkan entitas H.323 pada suatu LAN yang menyediakan penerjemahan alamat dan kendali akses LAN untuk terminal dan gateway H.323. Gatekeeper dapat menyediakan layann lain ke terminal dan gateway H.323 seperti pengelolaan bandwith dan penempatan gateway. Gatekeeper menjaga pencatatan perangkat dalam jaringan multimedia. Perangkat-perangkat mendaftarkan diri ke Gatekeeper pada saat penyalaan dan meminta izin masuk untuk suatu panggilan dari
Gatekeeper.
Glosarium
Homepage: Halaman depan atau halaman pertama suatu situs web yang menjadi titik awal untuk navigasi. Sekaligus menjadi tempat di mana informasi situs tersebut benar-benar dimulai. Disebut juga Welcome Page. Listserv: Sistem pendistribusian maling list otomotis yang awalnya dirancang untuk jaringan Bitnet/EARN. Memungkinkan para pengguna untuk menambahkan atau menghapus diri mereka dari mailing list tanpa intervensi manusia (lain). Newsgroup:
Newsgroup adalah forum diskusi publik yang terfokus pada suatu topik di Internet di mana semua pesan dikirimkan. Terdapat ribuan newsgroups, dan jutaan pengguna telah terdaftar di dalamnya. Kebanyakan pengiriman untuk newsgroup berbentuk permintaan bantuan pada suatu topik tertentu, atau jawaban yang mencakup informasi yang diperlukan. Nickname: Nama samaran yang digunakan dalam suatu chat room oleh para partisipannya. Biasanya berbeda dari nama yang sebenarnya. Packet Switching: Packet switching adalah sistem di aman data dipecah dalam paket-paket dan dikirim melalui jalur-jalur yang berbeda di antara komputer-komputer, sekaligus membebaskan jaringan ketika tidak ada data yang akan dikirim. Query: Pesan yang digunakan (biasanya dalam suatu protokol request-response) untuk menanyakan tentang nilai dari suatu variabel atau himpunan variabel. Server: Node yang memungkinkan node lain pada LAN mengakses sumber-sumbernya. Server ini bisa bersifat terdedikasi atau non-dedicated, artinya node tersebut bisa dipakai dengan cara lain, misalnya pada suatu workstation. TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol):
160
MATINYA SANG DA’I: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Merupakan seperangkat protokol gabungan yang melaksanakan transfer data di antara dua komputer. TCP memonitor dan memastikan kebenaran transfer data. IP menerima data tersebut dari TCP, memecahnya menjadi paket-paket, dan mengirimnya kembali ke jaringan di dalam Internet. Website: Sebuah tempat dalam World Wide Web di mana homepage sebuah organisasi atau individual berada. Wi-Fi (Wireless Fidelity):
Wi-Fi Alliance adalah aliansi industri yang memperomosikan penggunaan jaringan nirkabel yang berdasarkan pada spesifikasi IEEE 802.11. Produk yang telah dapat persetujuan dari aliansi tersebut menerima sertigikat segel interoperabilitias Wi-Fi.
161
DAFTAR PUSTAKA Abu> Fa>ris, Muhammad ‘Abd al-Qa>dir. Usus fi al-Da’wah wa Wasa>il Nashriha>. Jordan: Da>r al-Furqa>n li al-T{iba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’, 1998. Agger-Gupta, Dorothy E. "Asynchronous Formats." Encyclopedia of Distributed Learning. 2003. SAGE Publications. 23 Apr. 2010. http://www.sage-ereference.com/distributedlearning/Article_n15.html. Alisjahbana, Iskandar. “Cyberspace dari Peradaban Gelombang-Ketiga; Sifat dan Hakekat Manusia & Masyarakat di Dalam Era-Informasi," diakses online dari http://www.elektroindonesia.com/elektro/utama6.html pada tanggal 02/03/2010. Amh}azu>n, Muh}ammad. Manhaj Nabi fi al-Da‘wah min Khila>l al-Si>rah alS}ah}i>h}ah. Kairo: Darussalam, 2003. Ang, Ien. “The Nature of the Audience.” Dalam Questioning the Media, ed. J. Downing et al. Newbury Park: Sage, 1990. Ang, Peng Hwa dan Chee Mang loh, “Internet Development in Asia,” diakses online dari http://www.isoc.org/inet96/proceedings/h1/h1_1.htm pada tanggal 26 Juni 2010. An-Nabiry, Fathul Bari. Meniti Jalan Dakwah: Bekal Perjuangan Para Da’i. Jakarta: Amzah, 2008. Ardani, Mohammad. Memahami Permasalahan Fikih Dakwah. PT. Mitra Cahaya Utama, 2006. Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q. Anees. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007. Arifin, Anwar. Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4.000 Tahun, terj. Zainul Am. Bandung: Penerbit Mizan, 2004. Arnold, T.W. The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith. New Delhi: Aryan Books International, 2002. Azechi, S. “Information humidity model: explanation of dual modes of community for social intelligence design.” AI Soc (2005) 19:110–122. Bachtiar, Wardi. Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah. Jakarta: Logos, 1997. Baker, Andrea. “Cyberspace Couples Finding Romance Online Then Meeting for the First Time in Real Life,” CMC Magazine vol. July 1998, diakses online dari http://www.december.com/cmc/mag/1998/jul/baker.html pada 26 Juni 2010.
Daftar Pustaka
Bakti, Andi Faisal. Communication and Family Planning in Islam in Indonesia:
South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program. Leiden: INIS, 2004. Banks, Micheal. A. On the Way to the Web: The Secret History of the Internet and its Founders. United States of America: Apress, 2008. Baran, Stanley J. Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture, 3rd edition. New York: The McGraw Hill Companies, Inc., 2004. Baran, Stanley J., Jerilyn S. Mclntyre, Timothy P. Meyer. Self, Symbols and Society: An Introduction to Mass Communication. London: AddisonWesley Publishing Company, Inc., 1984. Barthes, Roland. Image, Music, Text. New York: Hill and Wang, 1977. Basit, Abdul. Wacana Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: STAIN Purwekorto Press & Pustaka Pelajar, 2006. Baym, Nancy K. “The Emergence of On-line Community.” Dalam Cybersociety
2.0: Revisiting Computer Mediated Communication and Community, ed. S. Jone. Thousand Oaks, CA: Sage, 1998. al-Baya>nu>niy, Muh{ammad al-Fath{. Al-Madkhal ila ‘Ilmi al-Da‘wah. Beirut: Muassah al-Risalah, tt. Bell, Catherine. Ritual: Perspective and Dimensions. New York: Oxford University Press, 1997. Berners-Lee. “The Future of The World Wide Web,” diakses online dari http://dig.csail.mit.edu/2007/03/01-ushouse-future-of-the-web pada tanggal 27/06/2010. Bittner, John. R. Mass Communication, an Introduction. New Jersey: A Division of Simon & Shuster, Inc., 1986. Brasher, Brenda E. Give me That ONLINE RELIGION. San Fransisco: JosseyBass, 2001. Brewer, John. D. Ethnography. Philadelphia: Open University Press. Briggs, Asa dan Peter Burke. A Social History of the Media. New York: Polity Press, 2000. Brooks. 1999: "What’s Real About Virtual Reality?" IEEE Computer Graphics and Applications, 19, 6: 16-27. Bruns, Gerald L. Hermeneutics Ancient & Modern. Yale University Press, 1992. Buchwalter, C. (2005, April). “Integrated Interactive Marketing : Quantifying the Evolution of Online Engagement.” Retrevied July 1, 2005, from Nielson/NetRatings site: http://www.nielsennetratings.com/pr/wp_050401.pdf Buhjam, Ja>bir bin Muh}ammad Na>s}ir. Madkhal ila> Manhajiyya>t al-Da‘wah ‘abra al-Internet. AlJazair: Ma’had al-Mana>hij, 2007.
163
MATINYA SANG DA’I: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Bunge, Mario. Chasing Reality: Strife Over Realism. London: University of Toronto Press, 1919. Bungin, M. Burhan. Sosiologi Komunikasi; Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Prenada Media Group, 2006. Bunt, Gary R. iMuslims: Rewiring the House of Islam. Kuala Lumpur: The Other Press, 2009. Bunt, Gary R. Islam in The Digital Age: E-Jihad, Online Fatwas, and Cyber Islamic Environments. London: Pluto Press, 2003. Bunt, Gary R. Virtually Islamic: Computer-mediated Communication and Cyber Islamic Environments. Cardiff: University of Wales Press, 2000. Burke, Sean. The Death and Return of The Author: Criticism and Subjectivity in Barthes, Foucault and Derrida. Edinburg: Edinburgh University Press, 2008. Burkhardt, Marcus. "Virtual Reality." Encyclopedia of Time: Science, Philosophy, Theology, & Culture. 2009. SAGE Publications. . diakses pada 02/05/2010. Bush, Vanner. “As We May Think, ”The Atlantic Monthly; July 1945;; Volume 176, No. 1; 101-108. http://www.theatlantic.com/past/docs/unbound/flashbks/computer/bus hf.htm Cairo, Irene dan Susana Vinocur Fischbein. “Psychoanalysis and virtual Reality.”The International Journal of Pscyhoanalaysis, Int J Psychoanal (2010) 91:985-988. Campbell dan Hapler. Dimensions in Communication. California: Wadsworth Publishing Company, 1969. Cantril, Hadley. “The Invasion from Mars.” dalam The Process and Effects of Mass Communication, ed. Wilbur Schramm. Urbana: University of Illinois, 1961. Caputo, John D. More Radical Hermeneutics: On Not Knowing Who We Are. Bloomington: Indiana University Press, 2000. Casey, C. A. , 2008-11-20 "Symbol and Ritual Online: Case Studies in the Structure of Online Religious Rituals" Paper presented at the annual
meeting of the NCA 94th Annual Convention, TBA, San Diego, CA Online . 2010-11-11 from http://www.allacademic.com/meta/p260217_index.html. Cassidy, John. Dot.con: The Greatest Story Ever Sold. (Perctbound). Cavanagh, Allison, “Behavior in Public?: Ethics in Online Ethnography,” Cybersociology 6, 2 (1999).
164
Daftar Pustaka
Cornu, Jean-Michel. “How People Use The Internet Today in Africa,” diakses online dari http://portal.unesco.org/ci/en/ev.phpURL_ID=1514&URL_DO=DO_T OPIC&URL_SECTION=201.html pada tanggal 28 Juni 2010. da Cunha, Joao Vieira. "Virtual Reality." International Encyclopedia of Organization Studies. 2007. SAGE Publications. . Dawson, Lorne L. dan Douglas E. Cowan. Religion Online: Finding Faith on the Internet. New York: Routledge, 2004. Dawson, Lorne L. “Cyberspace and Religious Life: Conceptualizing the Concerns and Consequences,” Paper presented at 2001 Conference in
London The Spiritual Supermarket: Religious Pluralism in the 21st Century, April 19-22, 2001, diakses online dari http://www.cesnur.org/2001/london2001/dawson.htm pada tanggal 21 Februari 2011. Dawson, Lorne L. “Doing Religion in Cyberspace: The Promise and the Perils,” The Council of Societies for the Study of Religion Bulletin 30, no. 1 (2001). Daymon, Christine & Immy Holloway, Qualitative Research Methods in Public Relations and Marketing Communications, diterjemahkan oleh Cahya Wiratama menjadi Metode-Metode Kualitatif dalam Public Relations dan Marketing Communications. Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2008. DeFleur, Melfin L dan Everette E. Dennis. Understanding Mass Communication. Boston, Houghton Mifflin Company. Denzin, N.K. dan Y.S. Lincoln (ed.) Handbook of qualitative research. Thousand Oaks: Sage, 2004. Derrickson, Krystina. “Second Life and The Sacred: Islamic Space in a Virtual World,” diakses online dari http://www.digitalIslam.eu/article.do?articled=1877 pada tanggal 7 November 2010 Diaconu, Madalina. “Illusionary Touch and Touching Illusions.” Dalam Human creatlion between reality and illusion, ed. Anna-Teressa Tymieniecka. Netherland: Springer 2005. Dibbell, J. A. “Rape in Cyberspace or How an Evil Clown, a Haitian Trickster Spirit, Two Wizards, and a Cast of Dozens Turned a Database Into a Society.” Village Voice vol. 38 no. (51)(1993). Dodge, Martin dan Rob Kitchin. Atlas of Cyberspace. Britain: Person Education Ltd, 2001.
165
MATINYA SANG DA’I: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Douglas, K dan McGarty C. “Identifiability and self-presentation: computermediated communication and intergroup interaction,” Br J Soc Psychol (2001) 40:399–416. Durgin, Frank H. dan Zhi Li. "Controlled interaction: Strategies for using virtual reality to study perception." Behavior Research Methods 2010, 42 (2), 414-420. Effendy, Onong Uchjana. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008. Effendy, Onong Uchjana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2003. Eichhorn, Kate. “Sites Unseen: Ethnographic Research in a Textual Community,” Qualitative Studies in Education 14, 4 (2001): 565-78. Einstein, Brands of Faith: Marketing Religion in a Commercial Age. New York: Routledge, 2008. Faimau, Gabriel. “The Internet: A new venue for religion,” diakses online dari http://www.thejakartapost.com/news/2009/01/24/the-internet-a-newvenue-religion.html, pada tanggal 22 Februari 2011. Faizah dan Lalu Muchsin Effendi. Psikologi Dakwah. Jakarta: Kencana, 2006. Featherly, Kevin. "Anonymity." Encyclopedia of New Media. 2002. SAGE Publications. 4 Apr. 2010. . diakses pada tanggal 07/05/2010. Fetterman, David M. "Ethnography." Encyclopedia of Social Science Research Methods. 2003. SAGE Publications. 4 Apr. 2010. . Friedman, Thomas L. “Is Google God?” diakses onine dari http://www.nytimes.com/2003/06/29/opinion/is-Google-god.html pada tanggal 27 Januari 2011. Gaston, Sean. "(Not) meeting without name." symploke 16.1-2 (2008): 107+. Gale Arts, Humanities and Education Standard Package. Web. 20 Mar. 2010. http://find.galegroup.com/gps/infomark.do?&contentSet=IACDocuments&type=retrieve&tabID=T002&prodId=IPS&docId=A20989 9472&source=gale&srcprod=SP01&userGroupName=ptn046&version =1.0. Ghalwush, Ah}mad Ah}mad. al-Da‘wah al-Isla>miyyah: Us}u>luha> wa Wasa’>iluha>. Kairo: Da>r al-Kutub al-Mashri>, 1987.
166
Daftar Pustaka
Ghazali, M. Bahri. Da’wah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Da’wah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997. al-Ghaza>li>, Muh}ammad. al-Da‘wah al-Isla>miyyah Tastaqbil Qarnaha> al-Kha>mis ‘Ashar. Damaskus: Da>r al-Qalam, 2001. al-Ghazali. Inner Dimensions of Islamic Worship, terj. Muhtar Holland. UK: The Islamic Foundation, 1983. Gibson, Wiiliam. Neuromancer. Barkeley Publication Group, 1984. Giddens, Anthony. The Consequences of Modernity. California: Standford University Press, 1990. Greenlaw, Raymond dan Ellen Hepp. In-line/ On-line: Fundamentals of the Internet and the World Wide Web. New York: McGraw Hill, 2002. Griffin, Em. A First Look at Communication Theory. New York: McGraw Hill, 2003. Guiterrez A., Mario A, Frederic Vexo dan Daniel Thalmann. Stepping into Virtual Reality . London: Springer. Gunawan, Anggun. “Konsep Ketuhanan dalam Agama Hindu,” diakses online dari http://grelovejogja.wordpress.com/2008/10/17/konsep-ketuhanandalam-agama-hindu/ pada tanggal 20 Januari 2011. Hadi, Astar. Matinya Dunia Cyberspace: Kritik Humanis Mark Slouka Terhadap Jagat Maya. Yogyakarta: LKiS, 2005. Hall, Stuart. “Encoding/ decoding.” Dalam Culture, Media, Language, eds. Stuart Hall dkk. New York: Routledge, 1980. Haraway, Donna. The Haraway Reader. New York: Routledge, 2004. Harvey, Pierre-Léonard dan Karine Vigneault. "Internet." Encyclopedia of Distributed Learning. 2003. SAGE Publications. http://www.sageereference.com/distributedlearning/Article_n89.html, diakses tanggal 4 Apr. 2010. Hasanuddin, Manajemen Dakwah. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005. Heim, Michael. The Metaphysics of Virtual Reality. New York: Oxford University Press, 1993. Hewson, Yule, Laurent, Vogel,.Internet Research Methods: A Practical Guide for The Social and Behavioural Sciences . London: Sage Publication, 2003. Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Penerbit Paramadina, 1996. Hidayat, Komaruddin. Tuhan Begitu Dekat: Menangkap Makna-makna Tersembunyi di Balik Perintah Beribadah. Jakarta: PARAMADINA. Hidayat, Nuim. “Da’wah di Internet Wahana Pertarungan Informasi." Dalam Da’wah Mencermati Peluang dan Problematikanya, ed. Ulil Amri Syatri. Jakarta: STID Mohammad Natsir Press, 2007.
167
MATINYA SANG DA’I: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Hidayatullah, Syarif dan Zulfikar S. Dharmawan. Islam Virtual: Keberadaan Dunia Islam di Internet. Ciputat: Penerbit MIFTA, 2004. Hine, Christine. Virtual ethnography. London, Thousand Oaks & New Delhi: Sage, 2000. Ho, Shirley S., Waipeng Lee dan Shahiraa Sahul Hameed, “Muslim surfers on the Internet: using the theory of planned behavior to examine the factors influencing engagement in online religious activities,” New Media Society 2008 10:93. Hoover, Stewart M. and Lynn Schofield Clark (Ed.) Practicing Religion in the Age of The Media. New York: Columbia University Press, 2002. Hopkins, Bruce R. The Nonprofits’ Guide to Internet Communication Law. United States of America: John Wiley & Sons, Inc., 2003. Hovland dan Weiss W, “The Influence of Source Credibility on Communication Effectiveness,” Public Opinion Quarterly (1951). Hu, Yifeng, and S. Shyam Sundar. "Computer-Mediated Communication (CMC)." Encyclopedia of Children, Adolescents, and the Media. 2006. SAGE Publications. 4 Apr. 2010. t al-Kubra>. Beirut: Da>r Beirut, 1980. Ibnu Kathi>r. Abu> al-Fida’ Isma>‘i>l ibnu ‘Umar. al-Si>rah al-Nabawiyyah. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1407 H. al-Islahi, Amin Ahsan. Metode Dakwah Menuju Jalan Allah, terj. Mudzakir & Mulyana Syarief. Jakarta: Litera Antarnusa, 1985. Iwan. “Tiada Tuhan di Dunia Maya,” diakses online dari http://ukpkstain.multiply.com/journal/item/33 pada tanggal 18 Februari 2011. al-Jayu>shi>, Muh}ammad Ibra>hi>m. Mana>hij al-Da‘wah wa Asa>libuha>. 2001. Jenkins, Simon. “Ritual and Pixels; Experimetns in Online Church.” Online – Heidelberg Journal of Religions on the Internet 3.1 (2008). Joinson, AN. Understanding the Psychology of Internet Behavior: Virtual Worlds, Real Lives. Palgrave, Basingstoke, 2003. Jones, S. (ed.), Doing internet research: critical issues and methods for examining the net. London, New Delhi: Sage, 1999. Jordan, Tim. Cyberpower: The Culture and Politics of Cyberspace on the Internet. London: Routledge, 1999.
168
Daftar Pustaka
Joshua Cooper Ramo/Chama. “Finding God on the Web; Across the Internet, Believers are Re-Examining Their Idea of Faith, Religion and Spirituality.” TIME Magazine, December 16, 1996 VOL. 149 NO. 1. Jumroni. “Laporan Penelitian Individual Website Dakwah Sebagai Media Dakwah Kontemporer Pada Era Informasi dan Teknologi Komunikasi, Analisis Situs Dakwah di Media Internet”, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2005). Jung, J.-Y., Qiu, J. L., and Kim, Y.-C. (2001). “Internet connectedness and inequality: beyond the “divide.” Communication Research, 28(4), 507– 35. Kanjilal, Pratik. “God of the global village,” diakses online dari http://www.indianexpress.com/ie/daily/19980511/13150154.html pada tanggal 21 Februari 2011. Kapferer, Bruce. “Ritual Dynamics and Virtual Practice: Beyond Representation and Meaning”, Social Analysis, Volume 48, Issue 2, Summer 2004. 35-54. Katz, Elihu dan T. Liebes. “Mutual Aid in the Decoding of Dallas: Preliminary Notes from a Cross-Cultural Study.” Dalam Television in Transition, ed. P. Drummond and R. Paterson. London: BFI Books, 1986. Katz, Elihu, Jay Blumler, and Michael Gurevitc. “Uses of Mass Communication by the Individual.” Dalam Mass Communication Research: Major Issues and Future Directions, eds. W. P. Davidson and F. Yu. New York: Praeger, 1974. Kauma, Fuad. Noda-Noda Ulama. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002. Kember, Sarah. Cyberfeminism and Artificial Life. London: Routledge, 2003. Kendall, L. “Recontextualizing 'cyberspace': methodological considerations for on-line research.” Dalam Doing internet research: critical issues and methods for examining the net, ed. S. Jones. Thousand Oaks, London and New Delhi: Sage, 1999. Kendall, Lori. "Virtual Communities." Encyclopedia of Community. 2003. SAGE Publications. 4 Apr. 2010. . Kerner, Sean Michael. “LISP: The Future of Internet Routing?,” diakses online dari http://itmanagement.earthweb.com/netsys/article.php/3885331/LISPThe-Future-of-Internet-Routing.htm pada tanggal 04/07/10. Khemanando, Bhikku. “Konsep Tuhan dalam Agama Buddha,” diakses online dari http://khmand.wordpress.com/2008/08/20/konsep-Tuhan-dlmagama-Buddha/ pada tanggal 17 Januari 2011.
169
MATINYA SANG DA’I: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Kluver, Randolph, Benjamin H. Detenber, Lee Waipeng, Shahiraa Sahul Hameed dan Pauline, “The Internet and Religion in Singapore: A National Survei,” School of Communication and Information Nanyang Technological University (2004). Kozinets, Robert V. Netnography: Doing Ethnographic Research Online. London: Sage Publications Inc., 2010. Kreinath, Jens, Jan Snoek, and Michael Stausberg, eds. Theorizing Rituals. Leidin: Brill, 2006. Kristo, Fino Yurio. “Internet Masa Depan 10.000 Kali Lebih Cepat?,” diakses online dari http://www.detikinet.com/read/2008/04/07/165130/919699/328/Interne t-masa-depan-10000-kali-lebih-cepat pada tanggal 04/07/2010. Kriyanto, Rachmat. Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2008. Kumar, Arvind. Encyclopedia of Mass Media and Communication. New Delhi: Anmol Publication PVT. LTD., 1998. Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung: Penerbit Mizan, 2001. Kuntsman, Adi. “Cyber Ethnogrpahy as Home Work,” Anthropology Matters Journal 6, 2 (2004). Kyokai, Bukkyo Dendo.The Teaching of Buddha. Japan: Kosaido Printing Co., 1981. Lazar, Jonathan dan Jennifer Preece, “Classification Schema for Online Communities.” Proceedings of the 1998 Association for Information Systems, Americas Conference, 84-86 (1998). Lee, Gia B. “Addressing Anonymous Messages in Cyberspace,” diakses online dari http://jcmc.indiana.edu/vol2/issue1/anon.html. Leiner, Barry M., Vinton G. Cerf, David D. Clark, dkk. “A Brief History of The Internet,” diakses online dari http://www.isoc.org/Internet/history/brief.shtml pada tanggal 27/06/2010. Littlejohn, Stephen W. Theories of Human Communication, 4th edition. Belmont, California: Wadsworth, Inc., 1992. Lofland, John & Lynn H. Lofland, Analyzing Social Settings: A Guide to Qualitative Observation and Analysis. Belmont, Cal.: Wadsworth Publishing Company, 1985. Maclaran, Pauline dan Miriam Catterall, “Analysing qualitative data: computer software and the market research practitioner,” Qualitative Market Research: An International Journal, Vol. 5 Iss: 1, pp.28 – 39 (2002). Madjid, Nurcholish. Masyarakat Religius. Jakarta: Penerbit Paramadina 1997.
170
Daftar Pustaka
Mah}mu>d, ‘Ali ‘Abdul H}ali>m. Fiqh al-Da’wah al-Fardiyyah. Mesir: Da>r alWafa>’, 1992. Maleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya, 2008. Mantovani, Guiseppe. New Communication Environments From Everyday to Virtual. London: Taylor & Francis Publisher, 1996. Markham, Anette. N. “Reconsidering self and other: the methods, politics, and ethics of representation in online ethnography,” dalam Handbook of qualitative research, ed. N.K. Denzin & Y.S. Lincoln. Thousand Oaks: Sage, 2004. Markham, Annette N. Life Online: researching real experience in virtual space. altaMira Press, 1998. Martens, William L. "Virtual Reality: Auditory." Encyclopedia of Perception. 2009. SAGE . diakses pada tanggal 07/05/2010. McQuail, Denis dan Seven Windahl. Communication Models for Study of Mass Communications. New York: Longman, 1993. Mnookin, J. L. “Virtual(ly) Law: The Emergence of Law in LambdaMOO,” Journal of Computer-Mediated Communication 2 (l), Part 1 (1996). Moisander, Johanna dan Anu Valtonen. Qualitative Marketing Research Marketing Methods: a Cultural Approach. Sage publication, 2006. Morgan. The Intersection of rights and regulation: new directions in sociolegal scholarship (Markets and the law). USA: Ashgate Publishing Company, 2007. Morio, Hiroaki dan Christopher Buchholz, “How Anonymous Are You Online? Examining Online Social Behaviors from a Cross-cultural Perspective” AI & Soc (2009) 23:297-307. Moyer, Michael. “The (Good and Bad) Future of The Internet,” diakses online dari http://www.scientificamerican.com/blog/post.cfm?id=the-goodand-bad-future-of-the-inte-2010-02-22 pada tanggal 04/07/2010. Murero, Monica, Victoria Nash, and Deborah DiDuca. "Internet in Europe." Encyclopedia of Community. 2003. SAGE Publications. 4 Apr. 2010. Diunduh dari http://www.sageereference.com/community/Article_n285.html pada tanggal 10 Mei 2010. Musante, Allison. “Finding (Virtual) Religion,” diakses online dari http://www.ithaca.edu/tour/news/7554/ pada tanggal 28/7/10.
171
MATINYA SANG DA’I: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Myers,
Rebecca. “Is Google God?”, diaksaes online dari http://www.time.com/time/arts/article/0,8599,1194830,00.html pada tanggal 27 Januari 2011. al-Nabulsi>, Muh}ammad Ra>tib. “al-‘Iba>da>t wa al-T{aqu>s, diakses online dari http://www.nabulsi.com/text/10nadwat/deenhaya/deenhaya-92115b.php pada tanggal 26 Juli 2010. al-Nah}wi>, ’Adna>n ‘Ali Ridha>. Dawr al-Minha>j al-Rabba>ni> fi al-Da‘wah alIsla>miyyah. Riyadh: Mat}a>bi’ al-Farazdaq al-Tija>riyyah, 1985.. Nugroho, Garin dan Nurjannah Intan. Who is God? Mencari Tuhan Lewat Google (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Grhatama, 2009. Nuruddin. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007. O’Leary, Stephen D. Cyberspace as Sacred Space: Communicating Religion on Computer Networks, dalam Religion Online: Finding Faith on the Internet, ed. Lorne L. Dawson dan Douglas E. Cowan. New York and London: Routledge, 2004. Orgad, Shani. Storytelling Online: talking breast cancer on the Internet. New York: Peter Lang Publishing, Inc., 2005. Öztürk, Özgürol dan Kerem Rizvanoglu, “When Ritual Becomes Virtual: An Analysis of The Reconstruction of Religious Daily Practices in Turkish Islamic Websites,” diunduh online dari http://newmedia.yeditepe.edu.tr/pdfs/isimd_07/ozgurol_ozturk.pdf Paine, Christopher. "Exploring the Relationships Between Religion and Internet Usage" Paper presented at the annual meeting of the International
Communication Association, Sheraton New York, New York City, NY, 2009-05-25, http://www.allacademic.com/meta/p14224_index.html. Palme, Jacob dan Mikael Berglun, “Anonymity on the Internet,” diakses online dari http://people.dsv.su.se/~jpalme/society/anonymity.html pada tanggal 1 Februari 2010. Palmer, Richard E. Hermenutics . Evanston: Northwestern University Press, 1969. Parks, Malcolm R dan Kory Floyd. “Making Friends in Cyberspace”. Journal of Communication 46(1) Winter. 0021-9916/96, (1996). diakses online dari http://jcmc.indiana.edu/vol1/issue4/parks.html pada tanggal 26 Juni 2010. Pearson, Judy C, dkk. Human Communication. New York: McGraw-Hill, 2003. Pesce, Mark. “Ritual and the Virtual,” London & Caer Leon, Wales July 1997 diakses online dari http://hyperreal.org/~mpesce/caiia.html pada tanggal 22-01-2010
172
Daftar Pustaka
Peter,
Ian. “Future History of The Internet,” diakses online dari http://www.nethistory.info/History%20of%20the%20Internet/future.ht ml pada tanggal 27 Juli 2010. Piliang, Yasraf Amir. Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan, 1998. Ploug, Thomas. Ethics in Cyberspace. How Cyberspace May Influence Interpersonal Interaction. London New York: Springer, 2009. Radde-Antweiler, Kerstin. “Cyber-Rituals in Virtual Words, Wedding-Online in Second Life,” Masaryk University Journal of Law and Technology, diunduh dari http://storage02.video.muni.cz/prf/mujlt/storage/1205309627_sb_r02radde.pdf. Rafaeli, Sheizaf dan Fay Sudweeks, “Networked Interactivity,” Journal of Computer-Mediated Communication vol.2 no.4, diakses online dari http://jcmc.indiana.edu/vol2/issue4/index.html pada tanggal 25 Oktober 2010. Rahula, Walpola.What The Buddha Taught. London: The Gordon Praser Gellery, 1972. Rakhmat, Jalaluddin. Islam Alternatif: Ceramah-Ceramah di Kampus. Bandung: Penerbit Mizan, 1995. Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Penerbit Remadja Karya, 1989. Rappaport, Roy A. Ritual and Religion in The Making of Humanity. UK: Cambridge University Press, 1999. Rawshah, Kha>lid al-Sayyid. Ladhdhatu al-‘Iba>dah: Birna>mij ‘Amaliy li alTarbiyah al-I>ma>niyyah. Alexandria: Da>r al-S}afa> wa al-Marwah, 2004. Ravault, R. J. 1985a. “Resisting Media Imperaliasm by Coerseduction,” InterMedia, 13, no. 3 (May). --1985b. “International Communication: Bullet or Boomerang? In David Paletz (ed.), Political Communication Research: Approaches, Studies, Assessments (Norwood, N. H.: Ablex). al-Ra>wi,> Muh}ammad. al-Da’wah al-Isla>miyyah. Beirut: Da>r al-‘Arabiyyah, tt. Reeder, Sara. “In The House of The Digital Gods: Meditations On The New Rituals of Cyberspace,” diakses online dari http://www.earthportals.com/god.html, pada tanggal 1 Agustus 2010. Rescher, Nicholas. Reality and Its Appearance. New York: Continuum International Publishing Group, 2010. Richard, Fr. “Hal Kerajaan Allah itu Seumpama Internet,” diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Richard Lonsdale.
173
MATINYA SANG DA’I: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Artikel dapat diakses di http://www.indocell.net/yesaya/pustaka/id390.htm. Ropelato, Jerry. “Internet Pornography Statistics”, diakses online dari http://Internet-filter-review.toptenreviews.com/Internet-pornographystatistics.html, pada tanggal 22-12-2010. Rothbaum. Barbara O. "Virtual Reality Therapy." Encyclopedia of Behavior Modification and Cognitive Behavior Therapy. 2005. SAGE Publications. 5 Apr. 2010. . Ryan, Joseph F. Worship: Beholding the Beauty of the Lord. Ilinois: Crossway Books, 2005. S}aqr, Abdu al-Badi>’. Kayfa Nad’u> al-Na>s. Kairo: Maktabah Wahbah, 1976. Saepullah. “Agama-agama Tak Mungkin Disamakan,” diakses online dari http://islamlib.com/id/artikel/agama-agama-tak-mungkin-disamakan/ pada tanggal 18 Januari 2011. Sarbaugh, Intercultural Communication. New Jersey: Haydon Book Company Inc, 1993. al-Sa’u>d, ‘Abdu Rabbi al-Nabiy ‘Ali Abu>. al-Takht}i>t} li al-Da’wah al-Isla>miyyah wa Ahammiyatuhu. Kairo: Maktabah Wahbah, 1992. Schramm, Wilbur. The Process and Effects of Mass Communicatin. Urbana: University of Illinois Press, 1954. Schumaker, John F. The Curroption of Reality: A Unified Theory of Religion, Hypnosis, and Psychopathoology. New York: Prometheus Books, 1995. Scott, Shaun. "Computers and Humankind." Encyclopedia of Anthropology. 2005. SAGE Publications. 3 Apr. 2010. Diakses online dari http://www.sage-ereference.com/anthropology/Article_n185.html pada tanggal 28 Mei 2010. al-Shatiwi>, Muh}ammad Rajab. al-Da‘wah al-Isla>miyyah fi D}aw’i al-Kita>b wa al-Sunnah. Kairo: Dar al-Thiba'ah al-Muh}ammadiyyah, 1990. al-S{iddi>eqy, T.M. Hasbiy. Kuliah Ibadah: Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum dan Hikmah. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang. Slouka, Mark. Ruang Yang Hilang: Pandangan Humanis Tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan. Bandung: Penerbit Mizan, 1999. Spradley, James P. The Etnographic Interview, terj. Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006. Sproull, L., & Kiesler, S. Connections : new ways of working in the networked organization. Cambridge, Mass: MIT Press, 1991.
174
Daftar Pustaka
Standage, Tom. The Victorian Internet: The Remarkable Story of the Telegraph an the Nineteenth Century’s Online Pioneers. America: Walker Publishing Company, 1998. Stefanone, M. A., & Jang, C.-Y. (2007). “Writing for friends and family: The interpersonal nature of blogs.” Journal of Computer-Mediated Communication, 13(1), article 7. http://jcmc.indiana.edu/vol13/issue1/stefanone.html. Stephenson, William. The play theory of Mass Communication. Chicago: The University of Chicago Press, 1967. Stone, A.R.S. “Will the real body please stand up?: boundary stories about virtual cultures,” dalam Reading digital culture, ed. D. Trend. Oxford and Massachusets: Blackwell, 2001. Stroud, Barry. The Quest for Reality: Subjectivism and the Metaphysics of Colour. New York: Oxford University Press, 2000. Suisyanto, Pengantar Filsafat Dakwah. Yogyakarta: Penerbit Teras, 2006. Sukayat, Tata. Quantum Dakwah. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009. Sukidi, Imawan. Teologi Inklusif Cak Nur. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2000. Suler, John. “Cyberspace Romances; interview with Jean-Francois Perreault,” diakses online dari http://wwwusr.rider.edu/~suler/psycyber/bvinterview.html pada 27 Juni 2010 Sulthon, Muhammad. Menjawab Tantangan Zaman; Desain Ilmu Dakwah, Kajian Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Press, 2003. Suprayogo, Imam. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Rosdakarya, 2003. Tajudin, Qoris dan Hussen Gani. “Da’wah Multimedia, Da’wah Era Modern,” dalam Da’wah Mencermati Peluang dan Problematikanya, ed. Ulil Amri Syatri. Jakarta: STID Mohammad Natsir Press, 2007. al-Tami>mi>, ‘Abd al-Wa>hid bin Muh}ammad bin ‘Abd al-Wa>h}id al-‘Aqdami>. Ghurar al-H{ikam wa Durar al-Kalim. Mathba’ah al-‘Irfa>n, 1931. Tanggok, M. Ikhsan. Agama Buddha. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009. Tasmara, Toto. Komunikasi Dakwah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997. Thahadi, Miswan. Quantum Dakwah & Tarbiyah: Menuju Kemenangan Islam di Pentas Peradaban. Jakarta: Penerbit Al-I’tishom, 2008. Thalib, Muhammad Ismail. “Satu Hari, Satu Informasi,” Koran Harian Republika, Senin 7 Desember 2009.
175
MATINYA SANG DA’I: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya
Thayer, Lee. Communication and Communication Systems in Organization, Management, and Interpersonal Relations. Homewood, Illinois: Richard D. Irwin, INC., 1968. Thompson, John B. (Ed.). Paul Ricouer Hermeneutics and the human sciences. New York: Cambridge University Press, 2005. Thomson dan Megan M, “Attitudes and attitude change: Implications for the OSSIS Speakers Bureau Programme,” Defence R&D Canada – Toronto, Technical Memorandum DRDC Toronto TM 2003 – 126, (September 2003). Turkle, Sherly. Life on The Screen: Identity in the Age of the Internet. New York: Simon & Schuster, 1995. ‘Ulwa>n, ‘Abdulla>h Na>s}ih}. Silsilah Madrasah al-Du‘a>t. Kairo: Da>r al-Sala>m, 2004. ‘Uwaid}ah, Mah}mu>d ‘Abd al-Lat}i>f. H{amlu al-Da’wah al-Isla>miyyah: Wa>jiba>t wa S}ifa>t. Beirut: Da>r al-Ummah, 1996. Vardiansyah, Dani. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia, 2004. Vittin, Théophile. “Overview: Opportunities and Challenges of The Internet in Africa,” diakses online dari http://www.unsystem.org/ngls/documents/publications.en/voices.africa /number9/3overview.htm pada tanggal 26 Juni 2010. Vivian, John. Teori Komunikasi Massa, alih bahasa: Tri Wibowo B.S. Jakarta: Kencana, 2008. Walker, Paul E. "Dakwah," dalam John L. Esposito (ed.) Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, jilid 1. Bandung: Penerbit Mizan, 2001. Wallace, Patricia. The Pscychology of The Internet. United Kingdom: Cambridge University Press, 1999. Walther, Anderson, dan Park, (1994). “Interpersonal effects in computermediated interaction: A meta-analysis of social and antisocial communication.” Communication Research, 21(4). 460-487). Walther, Joseph B. “Computer-mediated communication: Impersonal, interpersonal, and hyperpersonal interaction.” Communication Research, 23 , 3-43 (1996). Warschauer, M. Technology and Social Inclusion: Rethinking The Digital Divide. Cambridge MA: MIT Press, 2003. Wellman, Barry dan Milena Gulia. “Virtual Communities as Communities: Net Surfers Don’t Ride Alone,” dalam Communities in Cyberspace, ed. Marc A. Smith dan Peter Kollock. London: Routledge, 1999. Wellman, Barry. “The persistence and transformation of community: From neighbourhood groups to social networks.” (2001). Diunduh dari
176
Daftar Pustaka
http://homes.chass.utoronto.ca/~wellman/publications/lawcomm/lawco mm7.PDF pada tanggal 10 Agustus 2010. Wen, Sayling. Future of the Media. Batam: Lucky Publishers, 2002. Whaples, Gene C. dan Einar R. Ryden. “Attitude Change: Your Challenge,” Journal ofExtension (November/ Desember 1975). Wittel, A. “Ethnography On the Move: From Field to Net to Internet,” Forum: Qualitative Social Research 1(1) (2000, January), http://qualitativeresearch.net/index.php/fqs/article/viewArticle/1131/2517 (diakses tanggal 12 Februari, 2010) Yaqub, Ali Mustafa. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008. Yount, Lisa. Virtual Reality. Thompson Gale, 2005. Zaleski, Jeff. Spiritualitas Cyberspace: Bagaimana Teknologi Komputer Mempengaruhi Keberagamaan Kita, terj. Zulfahmi Andri. Bandung: Mizan, 1999. Zayda>n, ‘Abdul Kari>m. Us}u>l al-Da‘wah. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2001. Zittrain, Jonathan L. The Future of The Internet and How to Stop It. New Haven & London: Yale University Press, 2008. www.Internetworldstats.com http://fatah75.wordpress.com/2008/06/06/mencari-tuhan-di-google http://www.pewInternet.org/reports/reports.asp http://www.Internetworldstats.com/top20.thm http://europa.eu/abc/history/2000_today/index_en.htm http://www.nh-hotels.com/nh/en/press_room/535.html http://www.admaxnetwork.com/download/news/NetIndexIndonesiaHighlights.p df http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/06/17/120424remaja-dominasi-akses-Internet-di-indonesia http://www.cs.uiowa.edu/~sbabu/The%20Ultimate%20Display.htm http://www3.isrl.illinois.edu/~unsworth//Virtual.Campus.html http://activeworlds.com/ http://there.com/ http://secondlife.com/ http://kabarit.com/2009/05/hand-phone-buddha-%E2%80%9Csaranamendekatkan-diri-dengan-buddha-melalui-teknologi%E2%80%9D/ http://www.thechurchofGoogle.org/Scripture/Proof_Google_Is_God.html http://www.mechon-mamre.org/jewfaq/god.htm http://www.glministry.com/?p=1890
177
INDEKS A Ang, 31
addressing, 49, 50 Afrika, 60, 61, 68 Alisjahbana, 69 Amerika Serikat, 46, 49, 54 Antikythera, 56 Aristoteles, 85 ARPANET, 46, 47, 57 Asia, 62, 68 asynchronous, 74, 75 Atma, 99, 100 audi-video conference, 75 Austria, 59, 60 Allah-net, 154 Amerika, 124 anonim, 98, 99, 102, 104, 105, 106, 115, 119, 122, 125, 129, 135 anonimitas, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 110, 114, 116, 117, 118, 120, 124, 126, 132, 137, 140, 141 anonimitas visual, 100 avatar., 101 Azehci, 101 Annette Markham, 18, 20 anonim, 10, 12, 13 anonimitas, 8, 9, 11, 13, 14
B Babylonia, 56 Bahrain, 121 Baker, 77 Bakti, 10, 24 Bardeen, 56 Barthes, 9 Bauer, 28
Belanda, 59 Berners-Lee, 51, 57 blog, 49, 54 Blumler, 29 Brattain, 56 Brenda E. Brasher, 7, 15 Buddha, 143, 144, 145, 146, 148, 151, 152 Buddha, 54, 55, 95, 98, 99 bulletin board systems, 75 Bunge, 85, 87 Bunt, 15 Bush, 44, 45
C Canada, 127 Carthusians, 42 Chappe, 43, 44 chat rooms, 102, 156 chat,, 75 Chatting, 59, 63 Christine Hine, 18, 19, 20, 22 Christopher Buchholz, 100, 102 Cina, 55 Claffy, 48, 49 CMC, 74, 75, 76, 77, 80
computer-mediated communication, 74 Cyber ethnography, 18, 21 cyber religiousity, 153 cybercleric, 106, 114 cyberspace, 47, 69, 79, 96, 100
D desa global, 1 Dai, 25, 36, 38, 39, 40, 41, 51, 52 53, 55, 66, 67, 68, 98, 106, 107, 109, 110, 113, 114, 121, 126, 136
Indeks
dakwah, 7, 8, 10, 13, 16, 17, 24, 25, 26, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 52, 53, 54, 55, 66, 67, 68, Denmark, 59, 60 dharma, 98 Diaconu, 87 Dibbell, 83, 84 discussion group, 59, 79 dokusan, 99 dunia maya, 41, 68, 69, 70, 71, 73, 79, 93, 95, 96, 101 Durgin, 84, 85 dunia maya, 3, 4, 5, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 17, 18, 20, 21, 22, 24, 25, 26, 38, 98, 100, 104, 105, 106, 107, 109, 110, 113, 114, 115, 117, 118, 120, 121, 126, 128, 132, 135, 136, 140, 141, 152, 153, 154, 155, 156 Dawson, 4, 5, 8
E Eropa, 49, 59, 60, 68
F Fernback, 20 Fisher, 83 Fud}ail, 92
G Galactic Network, 46 Gary R. Bunt, 14, 15, 17 Gibson, 69 Globalisasi, 1 Google, 142, 143, 144, 151, 152, 153, 156 Googlism, 142 Grid, 49 Grimes, 93 Grossman, 2 Gutenberg, 1
179
H Hall, 31 Haraway, 84 hardware, 51, 57 Heilig, 82 Hidayat, 68, 90 Hindu, 144, 146, 148, 151 Hiroaki Morio, 100, 102 home page, 156 Hopkins, 2, 3 Hu, 77, 80 Hyatt, 57
I Ibrahim bin Abdurrahim Abid, 16 ibadah, 88, 90, 91, 92, 93, 95, 96, 99 Indonesia, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68 integrated circuit, 56 Internet, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 26 41, 42, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 64, 65, 66, 68, 70, 72, 73, 74, 75, 84, 88, 93, 94, 96, 97, 98, 99, 101 Iraq, 56 Irlandia, 59 Islam, 53, 54, 55, 66, 67, 68, 90, 91, 92, 93, 98, 107, 109, 110, 112, 114, 115, 116, 117, 120, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 135, 138, 139, 143, 144, 146, 148, 150, 151, 152 Italia, 59 Ian Clarke, 104 invisible anonymity, 105, 106
J jaringan superhighway, 44, 48, 55 Jenkins, 84 John Ambrose Fleming, 56 John D. Brawer, 18
MATINYA SANG DA’I: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya Jonathan Sterne, 21 Jumroni, 16
K Kapferer, 89, 90, 93 Kate Eichhorn, 18, 20 Katolik, 155, 156 Katolik, 97, 99 Katz, 29, 31 Kazen, 96 Kember, 72 Kendall, 20 komunikasi bermedia komputer, 100, 119 komunikasi hiperpersonal, 76 Komunikasi, 2, 4, 16, 22, 25, 26 komunikasi, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 34, 39, 40 komunitas maya, 69, 70, 71, 72 Kozinets, 19, 25 Kristen, 128, 144, 148, 151, 152 Krueger, 81 Kuntowijoyo, 10
L Lanier, 81 large-scale integrated, 57 Lazarsfeld, 28 Lee Thayer, 10 Leiner, 51 Lern, 81 Licklider, 46 Liebes, 31 listserv, 75 Lofland, 18 Loori, 54, 55, 98, 99 Lynn Schofield Clark, 15
mad’u, 52, 55 mad’u, 98, 113, 114 mad’u., 113 mainframe, 45, 47 Mara Einstein, 7 masyarakat maya, 107, 110, 119, 120, 153, 156 Masyarakat maya, 70, 71, 72, 73 McLuhan, 1 memex, 45 Mesir, 107, 126, 127, 132, 134, 135, 139, 141 microprocessor, 57 Mikael Berglund, 102 Morse, 1 Muhammad, 35, 36, 37, 38 Muhammad, 54, 55, 67, 90 Mukherjee, 50 Mulholland, 97, 98 multi user environment, 75 multimedia, 75 Myerhoff, 93
N newsgroup, 76 newsgroups, 102 nickname, 101 Nollet, 42, 43 Nur Kholish Madjid, 7
O omnipresent, 142, 149, 150, 151 omniscient, 142, 149, 150, 151 originator, 113
P packet switiching, 46
M mad’u, 25, 38, 39, 40
Palme, 102, 103 Paris, 42 Perreault, 79, 80
180
Indeks
Plato, 85
play theory, 28 pornografi, 104, 107, 152 pornografi, 48, 53, 54 Prancis, 42, 44 Protestan, 99 provider, 71
Stone, 20 Stroud, 86, 87 Stuart Hall, 10 Sudweeks, 74 Sutherland, 56, 82, 83 Swedia, 59 synchronous, 74
R Rafaeli, 74 Rakhmat, 92, 93, 95 Ravault, 10, 31, 34 Realitas virtual, 80 realitas virtual, 84, 87 receiver, 113 receiver, 25, 31, 28, 32, 33, 34, 35, 40 relijiusitas, 153, 155 relijiusitas, 94 Rescher, 86, 87 respons, 25, 26, 27, 32, 34, 40 ritual, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 101 Robert V. Kozinets, 24, 25 Robert, 46 Roland Barthes, 9, 10 Ropelato, 53, 54 Rothbaum, 84
S Sandy Stone, 11 Schramm, 28, 33, 34 Schramm, 58, 59 search engine, 142 server, 102, 142 Shockley, 56 Simon Jenkis, 16 sinagog, 96 Singapore, 62 Spanyol, 59 Spradley, 22, 24 Stewart M. Hoover, 15
181
T Taylor, 46 TCP/ IP, 42 teori peluru, 27, 28, 29, 34 teori Resepsi Aktif, 113 teori resepsi aktif, 31 Thayer, 31, 32, 33, 34, 35 Theravada, 144 Tom Standage, 44 Toto Tasmara, 39, 40 transistor, 56
U uses and gratification, 29, 30, 31, 113
V virtual reality, 80 virtual, 3, 5, 18, 19, 20, 21, 22 virtual, 57, 61, 73, 76, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 87, 88, 93, 94, 95, 96, 101 Vittin, 60, 61
W Wallace, 3 Walisongo, 37 William Stephenson, 28 Wallace, 72 Warcshauer, 66 website, 49, 51, 70, 71, 75, 76, 78 Wellman, 69, 70, 73
MATINYA SANG DA’I: Otonomisasi Pesan-Pesan Keagamaan di Dunia Maya Wen, 70, 71 Wilhelm Schickard, 56 World Wide Web, 42, 45, 49, 51, 57 wi-fi, 143, 151 Wardi Bachtiar, 17, 23
Y Yahudi, 144, 148, 149, 151, 152
Z Zaleski, 55, 96, 97, 98, 99, 100, 101 Zittrain, 48
\
182