MATAHARI PERUT BUMI Karya Nardianto (Universitas Pekalongan) PARA PELAKU Bandot (Munafik dan Penghasut), Jegur ( Wedus Culas), Jeder (Wedus Pendengki), Debug (Wedus Provokator), Wuss (Wedus Pendusta), Bumi (Wedus Gegabah dan bodoh), Zika (Pemaksa Kehendak), Rembes (Peduli), Tepluk (Gampang terpedaya dan Bloon), Mbah Mili (pemberi nasihat), Para Warga (Pengadu), Mendak, Gejug, Kiting: Polos dan Lugu.
SINOPSIS Bumi dan para pemimpin desa lainnya adalah wujud pemimpin durjana, akibat salah didik dan produk pendidikan yang juga salah. Pemimpin yang mengidolakan budaya barat, aturan-aturan barat. Akibatnya, datanglah sebuah masa, perutpun menjadi mulut. Kebutuhan menjadi tuhan. Maksiat menjadi kiblat, binal menjadi moral. Pangkat menjadi hakikat. Matahari dipaksa bunuh diri diperut bumi. Kalau sudah demikian genangan akan jadi endapan, subur akan jadi lumpur. Petani kehilangan lahannya. Jati diri kehilangan moralnya, anak-anak kehilangan kekanak-kanakannya, tambang emas kehilangan kilaunya. Para binatang pun kehilangan kandangnya dan memilih tidur di istana. Saat itulah, ada yang mulai tersadar bahwa ada maling yang datang dari barat, kembali kebarat. Ada kebakaran dan banjir dari barat dan kembali ke barat. Maling itu leluasa masuk rumah kita karena ada yang melubangi didinding-dindingnya. Maling itu telah mencuri matahari dan menyimpannya di perut bumi. Matahari di langit akan digantikan dengan matahari buatan, aturan-aturan buatan, misi-misi buatan. Hal itu berawal dari lahirnya mantra menyimpang yakni mantra pancagila. Mereka menyalahkan yang benar dan membenarkan bagi yang salah. Jungkir balik sebuah peradaban dimulai dari pertemuan tukar misi para pemimpin desa.
BABAK 1 PEMBUKA Setting panggung berbentuk prisma dengan bagian sisi kiri dan kanan panggung digunakan sebagai pintu keluar masuknya para pemain yang didominasi penuh oleh kain hitam (sisi kiri, kanan dan belakang panggung). Di sisi kiri dan kanan panggung di pasang lampu sebagai pencahayaan (Right lighting I, Left lighting I dan Right lighting II red color, Left lighting II red color) kemudian pencahayaan utama di bagian tengah atas dan depan atas (Center lighting dan Front lighting). Suasana panggung terasa mistis. Lampu warna merah menyala terang redup menyorot tatanan panggung berulang-ulang (right lighting II, left lighting II red color). Terdengar suara bocah-bocah merintih kesakitan lantaran kaki dan tangan mereka terikat disebuah pasungan (berbentuk logo Facebook, Instagram, Tweeter). Mereka meronta untuk berusaha membebaskan diri dari jeratan mantra yang mengikat mereka. Dibarengi dengan rapalan mantra dari balik panggung (Kidung Wahyu Kolosebo). Rumekso ingsun laku nisto ngoyo woro kelawan mekak howo, howo kang dur angkoro senajan syetan gentayangan, tansah gawe rubedo hinggo pupusing jaman. Nyirep geni wiso murko Meper hardaning ponco, saben ulesing netro Linambaran sih kawelasan, ingkang paring kamulyan Sang hyang jati pengeran Panggung kembali sunyi.
ADEGAN I Teriakan bocah-bocah dari dimensi lorong waktu masa lalu terdengar di atas panggung, sebelum lahirnya sebuah masa, sebelum pemimpin durjana menjelma manusia, sebelum tergagasnya mantra-mantra gila dan aturanaturan berbeda. Kegelisahan tergambar pada bocah-bocah polos nan lugu. Tatanan panggung di setting menyerupai tanah lapang tanpa dekorasi apapun. Masuklah bocah-bocah dengan kepala tertutup wakul (cepon) dengan karakter yang berbeda-beda, dengan langkah kaki mengendap-endap mengikuti suara kentongan dan bunyi perkusi. Semakin dinamis suara kentongan dan perkusi maka semakin cepat langkah kaki bocah-bocah tersebut dengan lampu warna merah yang terpasang di sisi kanan dan kiri panggung (Righ light dan Left light II red color) menyala terang redup, kemudian lampu tersebut menyala konsisten. Mereka mulai merapal mantra. Siji-siji rojo pati, yo dek yo Loro-loro ono maling, yo dek yo Telu-telu umah kobong Papat-papat banjir bandang Limo-limo maling kewan, yo dek yo Setelah merapalnya, kemudian semua bocah tersebut berhamburan kesegala penjuru panggung (koregrafis panik) sambil menyuarakan penggalan kata yang ada dalam mantra tersebut. Satu-persatu “cepon” tersebut di buka dari kepala mereka kemudian dijadikan sebagai alas dan mematung. Mendak : Ada maling! ada maling! ada maling! (berlarian di sekitar panggung dengan ekspresi tegang dan panik) Malingnya menerobos dari barat, kemudian kembali ke barat lagi. Apa yang maling itu lakukan? maling yang selama ini menggerogoti bumi pertiwi. Bukan perkara maling sandal jepit, bukan maling kotak amal masjid, bukan sekadar maling dana pendidikan. Malingnya sudah
mencuri matahari dan menyimpannya di perut bumi. Bayangkan apa yang akan terjadi? Kekacauan tatanan akan terjadi yang harusnya menyinari malah gelap hati, aturan dibuat sendiri dilanggar sendiri. (kemudian mematung) Gejug
: Banjir datang! banjir datang! banjir datang! (berlarian di sekitar panggung dengan ekspresi tegang dan panik) Banjir itu menerjang dari barat, lalu surutnya juga kebarat lagi. Kenapa tidak utara sama selatan, karena utara maupun selatan juga korban banjir. Bukan hanya banjir yang kerap merendam pemukiman warga atau merendam puluhan hektar sawah petani. Banjir lantaran tak bisa membendung moral generasi muda yang penuh hura-hura, banjir air mata orang tua lantaran perut putrinya telah terisi matahari tanpa suami, banjir yang meluluhlantakkan tatanan pamong desa, banjir itu menggenangi matahari yang membuat cahayanya gelap gulita sehingga para siswa berani memenjarakan gurunya.
(kemudian mematung) Kiting
: Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran! (berlarian di sekitar panggung dengan ekspresi tegang dan panik) Kebakaran itu dari arah barat, kemudian lenyap ke arah barat juga. Apakah ini kebakaran yang ditimbulkan oleh matahari yang sekarang ada diperut bumi. Apakah kebakaran hutan yang kerap terjadi di Riau atau hutan yang ada di tanah air kita. Ini kebakaran gedung-gedung lantaran bom rakitan gembong teroris. Kebakaran yang disebabkan oleh mewabahnya teknologi yang menggerogoti anak usia dini dan remaja masa kini. Kebakaran lantaran amarah warga karena matahari telah berhasil dicuri dan disembunyikan di perut bumi, sehingga nilai
kebijakan terjungkal dan kesesatan menggumpal, dimana nafsu keserakahan manusia bertahta menjadi raja jagad raya. (kemudian mematung) Zika
: Embeeekk! Embeeekk! Embeeekk! (dengan suka cita dan genit) Aku memimpikan emas permata dan bergelimang harta. Tidak perduli walaupun itu dari barat saya tetap ingin kaya. Di jaman yang serba modern Aku ingin berfoya-foya dan bersuka ria. Penampilanku layaknya Lady Gaga, Aku ingin terbang ke Argentina, Belanda bahkan Swedia seperti isteri pamong desa. Akan kugadaikan tubuhku yang sexy nan rupawan bak Rihana ini untuk mendulang harta, dengan rok mini dan buah dada sedikit terbuka akan kujual dengan harga tinggi kepada pamong desa. Lalu, akan aku beli matahari untuk menerangi kehidupanku sendiri dan tentunya sebagian akan ku jual ke barat, dengan demikian, aku akan kaya sampai tujuh turunan. (tertawa puas)
Setelah mereka merapalkan mantra. Semua berkumpul lalu merapalkan mantra yang berbeda. Dan kembali mengenakan wakul (cepon) di kepalanya. E, dhayohe teka, e, gelarna klasa E, klasane bedhah, e, tambalen jadah E, jadahe mambu, e, pakakna asu E, asune mati, e, cemplungna kali E, kaline banjir, e, kelekna pinggir
Zika
: sudah cukup, cukup, aku bilang diam!!! (dengan nada teriak dan seakan-akan ingin melawan kebencian)
Melihat tingkah Zika, bocah-bocah yang sedang merapal mantra mulai ketakutan (koreografis takut dengan teatrikal). Kemudian Zika membuang tutup (Cepon) kepalanya.
Zika
: Aku ingin merapal mantra sesuai dengan keinginanku. Aku tidak sudi terjebak dalam mantra-mantra kuno yang hanya menguntungkan mereka yang membuatnya. Aku ingin kebebasan dari jeratan mantramantra sesat dan bikin melarat yang di buat dengan sepakat. Mantra yang bikin remaja jadi gelap mata dengan nafsu syahwatnya, mantra yang menjadikan petani kehilangan lahannya, mereka bebas masuk dan mengeruk emas negara. Mereka mencuri matahari dan kemudian disimpan di perut bumi, desa gelap gulita, kekacuan dimana-mana, pemerkosaan merajalela, kemiskinan merata, bencana meluluhlantakan semua, pamong desa semena-mena, kemana perginya jati diri bangsa! (dengan nada semakin meninggi). Lantas ini salah siapa? (dengan tertawa nyindir)
Kemudian Zika pergi meninggalkan panggung tanpa wakul (cepon) tutup kepala. Terlihat tiga bocah di atas panggung tiba-tiba tergeletak. Lampu mati.
ADEGAN II Beberapa Wedus berlarian masuk dari sisi kanan dan kiri panggung sambil merapal mantra gila “Sing eman ora keduman, sing keduman ora eman”, di ucapkan berulang-ulang dan di barengi dengan bunyi kentongan yang berirama. Setting panggung di buat seperti padepokan. Lampu warna merah yang terpasang di sisi kiri dan kanan panggung mulai menyala terang-redup secara berulang-ulang (Righ light dan Left light II red color). Wedus-wedus berebut mantra penguasa dan merapalnya. Tiba-tiba masuklah Bandot dengan gagah dari sisi panggung. Di ikuti dengan perpindahan lampu warna mati dan lampu tengah dan depan menyala (Center lighting dan Front lighting). Bandot : (Mengamati sekitar). Semuanya, Siap Grak! (seketika Wedus-wedus tersebut telah siap).
Baiklah murid-murid, selamat datang di Padepokan para elit dan berduit, Mari kita mulai pelajaran pertama tentang mantra Pancagila (tertawa sinis). Para Wedus : Mantra Pancagila? Mantra apa? (saling bertanya hingga suasana menjadi ramai dan gaduh). Bandot : Iya benar sekali, mantra Pancagila. Yaitu pelajaran untuk menjadi penguasa yang kaya raya. Para Wedus : Penguasa? Kaya raya? Penguasa seperti Hary Azhar yang kaya raya, penguasa seperti Nurhadi, penguasa seperti para Mentri. Aku mau, aku mau. (Saling memandang dan suasana menjadi ramai). Jegur
: Pak guru bagaimana cara menguasai mantra Pancagila?
Bandot : (tertawa) gampang sekali muridku, pelajari mulai dari tahapan pertama hingga tahapan terakhir. Jegur
: Saya bersedia mempelajarinya pak guru, ajari saya pak guru.
Para Wedus : Iya pak guru ajari kami pak guru. Bumi
: Zzzzzz... (terlihat sedang tertidur)
Debug : Lihat pak guru aaa, calon pemimpin yang suka tidur aaa (menunjuk Bumi). Bandot : Sungguh tidak pantas untuk ditiru, murid inginnya semaunya sendiri, jika ditegur nanti bisa masuk Bui. Jegur
: Kita jadikan “duta” saja pak guru, macam penyanyi dangdut dan penghina polisi.
Jeder
: Iya pak guru, di tandai saja pak guru.
Para Wedus : Iya pak guru, tandai saja pak guru (kembali ramai). Bandot : Tenang murid-murid, baiklah mulai hari ini saya nobatkan bumi menjadi “duta” (jeda, memberi efek penasaran) mimpi. Wuss
: Mimpi apa pak guru?
Debug : Mimpi menjadi pemimpin kaya raya. Para Wedus ; (bertepuk tangan dan ramai) Bandot : Diaaam! (terlihat galak) Para Wedus : (seketika diam) Jeder
: Oya Pak guru, tahapan dasar merapal mantra Pancagila itu bagaimana pak guru?
Bandot : (tertawa) tahapan pertama matikan hati nurani terlebih dahulu. Dengan demikian kalian dapat menguasai keuangan yang maha kuasa. Yang kedua tutup telinga rapat-rapat. Maka akan terwujud korupsi yang adil dan merata bagi keluarga dan pejabat negara. Para Wedus
: Berikutnya?
Bandot : Jangan pernah menjulurkan tangan kebawah, Rakyat kecil tempatnya di bawah tidak pantas kalau kita tolong dan kita angkat ke atas. Lebih baik kita angkat saja keluarga kita untuk menuju hal yang mulia dan saling melindungi agar tercipta persatuan mafia hukum Indonesia. Para Wedus
: Berikutnya?
Bandot : Setelah saling menjaga dan melindungi sanak saudara maka kalian harus menutup mata kalian. Jangan pernah memberikan rasa iba kepada yang tiada harta. Dengan begitu Kekuasaan Yang Dipimpin Oleh Nafsu
Kebejatan Dalam Persekongkolan dan
Kepurak-purakan selamanya
akan terjaga dan akan selalu membudaya. Para Wedus
: Berikutnya?
Bandot : Yang terakhir yaitu Kenyamanan Sosial Bagi Seluruh Keluarga Pejabat dan Wakil Rakyat. Tak usah kalian perduli dengan rakyat, tak usah kalian terlalu mengayomi rakyat karena di sini kalian sudah mewakili rakyat. Jadi, kenyamanan dan kekayaan kalian adalah bentuk dari perwakilan rakyat. Apa kalian paham? apa kalian bersedia merapal mantra Pancagila? Para Wedus
: Paham. Siap bersedia.
Bandot : Bersedia yang bagaimana murid-muridku? Jegur
: Bersedia untuk menjadi kaya melalui emas yang ada di papua?
Jeder
: Bersedia menelanjangi moral para generasi muda?
Debug : Bersedia menginflasi dan memanipulasi kebudayaan negeri aaa. Wuss
: Bersedia menanam gedung-gedung tinggi, untuk kesejahteraan yang kaya.
Bandot : Luar biasa. Sekali lagi saya tegaskan tujuan utama mantra Pancagila yaitu menjadi pemimpin yang kaya raya. Para wedus Semua
: (bertepuk tangan dan saling bersorak).
: (berbaris seperti upacara, menghadap penonton dan hormat) Kami para
predator
negeri
berjanji
akan
mencuri
matahari
dan
memindahkannya di perut bumi. Sebagai ganti, matahari kami subtitusi dengan diksi dan aturan kami sendiri. Mantra kami sendiri. Matikan hati demi kekayaan diri.
Lampu fokus menyorot Bumi yang dari awal tertidur di kursi dan perlahan mulai redup. Lampu mati.
ADEGAN III Waktu berjalan, para murid di sekolah barat telah menjadi penguasa. Tibalah waktu bagi mereka untuk merapal mantra. Sebuah pertemuan tukar misi untuk memajukan desa. Katanya? Di tengah panggung terdapat sebuah meja bundar tanpa sudut. Di atas meja terlihat lampu bohlam menggelantung menyala redup menyorot meja. Di tengah meja terdapat tumpukan berkas-berkas dan peta desa yang sudah ditandai menggunakan bendera-bendera desa tetangga. Di sekeliling meja nampak beberapa orang duduk di atas kursi roda sambil memandang ke arah tumpukan berkas tersebut. Lampu tengah (Center light) menyala mengarah ke atas panggung. Salah satu dari mereka memulai pembicaraan. Jegur
: Kepada pemimpin Desa yang budiman. Maksud dari saya mengundang tuan-tuan pada tukar misi ini karena berbagai hal. Sudikah saudarasaudara memaparkan misi masing-masing? Silahkan tuan Jeder. (menunjuk Jeder)
Jeder : Misi yang saya bawa tentang persatuan mafia hukum. Jegur : Persatuan mafia hukum yang bagaimana tuan? Jeder : kita tahu bahwa di desa tuan Bumi banyak sekali yang gila harta, dari situ saya akan bentuk organisasi yang di khususkan untuk mafia hukum yang kaya raya (sambil tertawa kecil). Debug : Kalau Oe disini membawa misi kekuasaan dengan nafsu kebejatan aaa. Jeder : nafsu kebejatan yang sudah membudaya-kah?
Debug : Tepat sekali aaa. Nafsu yang dibina dan di pelihara aaa, supaya mata kita hanya bisa melihat yang mewah-mewah saja aaa. Wuss : Saya juga tidak kalah dengan anda no, misi saya yaitu perdamaian yang adil dan merata no. Dimana pemerataan dan keadilan hanya diperuntukan bagi keluarga pejabat desa no. Jegur : Luar biasa misi anda tuan-tuan, saya juga tidak kalah dengan tuan-tuan, saya disini membawa misi tentang keuangan yang maha kuasa. Yaitu misi “Pembiayaan Budaya”. (tertawa puas, kemudian di ikuti dengan tawa semua orang). Selang beberapa saat masuklah seseorang yang mendekat ke arah mereka berkumpul. Dengan di iringi tembang modern berjudul One More Night yang dipopulerkan oleh Maroon 5 (disela-sela lagu mereka menari ceria). Setelah lagu berhenti. Jegur
: Selamat datang tuan Bumi.
Jeder
: Mari silahkan tidak usah sungkan.
Bumi : Maaf tuan-tuan atas keterlambatan saya. Saya baru kena macet di Tol Brebes. Selain itu, saya juga baru Takziah di pemakamannya ketua KPU. Banyak pekerjaan yang belum selesai saya kerjakan. Demi kemajuan Desa jadi saya harus selalu kerja, kerja dan kerja. Untuk kerja nyata. Karena saya memimpikan desa saya dapat maju dan berkembang. Debug : Sudah paham kami tuan aaa. Tak usah kau perjelas lagi sekiranya kami juga maklum akan hal itu aaa. Bumi
: Terimakasih sudah memaklumi budaya Saya tuan-tuan. Budaya bermimpi. Budaya lamban.
Jegur
: Baiklah tuan-tuan, tanpa berfikir panjang lagi mari kita mulai tukar misi pembiayaan budaya ini.
Debug : Apakah tuan Bumi sudah siap aaa dengan mantra tukar misi tuan? Bumi
: Apa sebaiknya tidak kita bicarakan lebih dalam lagi tuan-tuan?
Jegur
: Apa yang hendak kau pertimbangkan lagi tuan Bumi? Dari empat putaran yang lalu kami di sini menunggu untuk bisa saling tukar mantra dengan misi yang kita bawa.
Wuss : Apakah anda ingin mempermainkan kami no tuan Bumi no? Bumi : Bukan maksud saya seperti itu, segala sesuatu bukankah harus melalui kesepakatan terlebih dahulu, karena ini juga merupakan mimpi saya untuk desa tercinta. Jeder : Jadi maksud anda, anda tidak setuju untuk bertukar misi tuan? Jegur : Apakah anda menghendaki perseteruan di antara kita terjadi. Bumi : Bukan semacam itu. Wuss : Sabar tuan-tuan no. Kita beri kesempatan tuan Bumi untuk menjelaskan hal ini no. Debug : Begini tuan Bumi aaa, semua tergantung pada anda aaa, jika anda mau bertukar misi kita akan baik-baik saja aaa. Bumi : Ini tidak ada dalam perjanjian kita, apakah tuan-tuan ingin membodohi saya yang bodoh ini. Wuss : Tenangkan dirimu tuan Bumi, buat apa kita berseteru dengan masalah ini no, kita kan bisa membicarakannya baik-baik no.
Jegur : Baiklah kalau tuan Bumi yang minta, silahkan tuan Bumi apa yang hendak engkau sampaikan kepada kami. Bumi : Saya bersedia merapal mantra dan bertukar misi tapi dengan beberapa syarat kepada tuan-tuan yang ada disini. Jeder : Tidak masalah tuan Bumi, katakan saja apa yang hendak jadi permintaanmu tuan. Bumi : Di masa kepemimpinan saya ini, saya memimpikan desa yang nyaman tuan. Jeder : Nyaman yang seperti apa tuan Bumi? Bumi : Nyaman dari berbagai segi tuan, nyaman dibidang tekhnologi, nyaman dibidang sarana dan prasarana dan nyaman-nyaman yang lain tuan? Jeder : Memangnya kenyamanan untuk siapa? Bumi : Untuk semua rakyat di desa saya tuan? Jegur
: (sambil tertawa meledek) Apakah hanya rakyat yang diberi kenyamanan? Bagaimana dengan wakil rakyat?
Bumi : (sejenak berfikir) Iya saya rasa itu ide bagus tuan. Jegur
: Tentu tuan Bumi. Namun semua itu tidaklah gratis.
Bumi : Lalu apa yang harus saya lakukan tuan-tuan? Jeder
: Gampang tuan Bumi. Tanda tangan saja berkas persetujuan tukar misi dan pembiayaan Budaya ini. Maka semua akan beres.
Jegur
: Betul sekali tuan, kesempatan sekali seumur hidup jangan kau siasiakan.
Bumi : Jika saya sudah menandatangani berkas persetujuan tukar misi dan pembiayaan budaya, berarti tuan-tuan bersedia membantu agar desa saya menjadi lebih nyaman dalam berbagai bidang? Jegur, Jeder, Debug, Wuss : iya!! ( saling pandang dan semua tertawa) Bumi akhirnya menandatangani persetujuan tukar misi pembiayaan Budaya. Lampu mati, suara tertawa masih terdengar dari kegelapan panggung.
ADEGAN IV Setting panggung di buat menyerupai ruang kantor pamong desa. Terlihat di atas panggung sebuah meja dengan tumpukan berkas-berkas, semua yang ada di ruang tersebut tampak mewah. Terlihat seseorang yang sedang meluapkan kekecewaannya lantaran mengetahui sikap Kepala Desa yang di anggap melakukan kesalahan dan merugikan desanya setelah bertukar misi. Lampu tengah dan depan (Center light dan Front light) Menyala menyorot tatanan panggung tersebut. Rembes: Kacau! Amburadul! ini gawat, ini benar-benar gawat. Tuan Bumi ini kenapa tidak teliti dengan hal semacam ini. Hal yang menyangkut kesejahteraan dan kemaslahatan umat. Merakyat ya boleh, blusukan ya boleh, bloboh ya juga boleh, tapi ya lihat situasi, lihat kondisi, jangan main asal setuju saja. Terus kalau sudah begini lantas apa yang bisa saya lakukan. Bilangnya kerja nyata, kerja! Kerja! Kerja! tapi ya jangan grusa grusu (dengan ekspresi panik dan marah). Melihat Rembes ngedumel sendiri tiba-tiba masuklah Tepluk mengagetkanya. Tepluk : Heh bocah! Rembes: Eladalah, kranjingan ngagetin saja kau ini. (kaget)
Tepluk : Rem, ada apa to, kenapa wajahmu jelek gitu, kenapa badanmu cungkring gitu, kenapa perutmu buncit gitu, kenapa kepalamu peang gitu, ganggu orang kerja saja. Ada apa sebenarnya, hahh! (berlagak tegas) Rembes: e, e, e, lah kok ngece, tidak tahu apa saya ini sedang pusing, saya ini sedang marah. Lantaran budayanya ditukar gitu, sungainya kotor gitu, rakyatnya melarat gitu, emasnya di ambil gitu, andongnya di ganti kereta cepat gitu, laki-lakinya LGBT gitu. Tepluk : Woles kang, woles. Pusing kenapa to Rem, cerita dong, curhat dong Rem. (ala mamah dedeh) Rembes: Begini Pluk, saya heran dengan sikap tuan kita akhir-akhir ini. Tepluk : Sikap tuan yang bagaimana kang? Rembes: Masih ingat pas waktu lalu tuan Bumi pulang dari Desa tetangga? Tepluk : Iya kang, kenapa? Rembes: Ternyata tuan Bumi telah menggadaikan Bank Mandiri, BNI, dan BRI. Tepluk : Bagus dong Kang dapat uang banyak kalau digadaikan? Rembes : Bagus gundulmu, akibatnya banyak nasabah yang menarik diri. Tepluk : Ohh begitu ya Kang? Rembes : Selain itu, tuan Bumi juga menandatangani berkas persetujuan tukar misi pembiayaan budaya. Tepluk : Ohhh.. Rembes: Kamu tau tidak isi dari berkas itu? Tepluk : Tidak kang, kan saya tidak ikut kesana waktu itu.
Rembes: Ki bocah bloon! begini ceritanya. ternyata pas tuan Bumi menandatangani berkas itu, tuan Bumi tidak tahu isi dan tujuan dari berkas itu sendiri, dan ini mengancam kemaslahatan umat kita, desa kita ini. Semua dapat bebas masuk ke desa kita dan membawa budaya kita. Dan tidak hanya berkas itu saja. Gaji dewan perwakilan desa naik ya tanda tangan. Impor daging sapi dan beras dari desa lain juga tanda tangan. Tepluk : Ohhh gitu, pantesan saja perutnya tuan Bumi makin gede, orang semua ditelan ke perutnya, bahkan kalau perlu matahari dilangit, diuntal juga. Aturan ditelan juga. Tanda tangan sana sini saja juga ditelan. Rembes : Iya, sama kaya kamu. Hati-hati nanti perutnya meledak jika kebanyakan menelan yang bukan hak-mu. Tepluk : Jangan gitu to Kang. Kita kan kerja, dan setiap yang kita lakukan pasti butuh imbalan. Rembes : Naah itu, sistem yang salah kaprah dan ini akan memberi dampak negatif besar bagi desa ini, ditambah adanya persetujuan berkas itu. Bayangkan jika Gamelan kita, Andong kita, Angklung kita, Wayang kulit budaya kita dibawa ke desa tetangga, terus anak cucu kita nanti bagaimana. Tepluk : Bagaimana apanya kang? La kalau desa lain ingin membawa itu semua ya jangan boleh wong itu warisan leluhur kita? Rembes : Masalahnya tuan kita sudah memberikan izin akan hal itu melalui tukar misi kemaren. Tepluk : Ohh gitu ya kang. Rembes: Bayangkan Pluk, bayangkan (tiba-tiba dipotong Tepluk)
Tepluk : Sebentar kang tak bayangkan dulu,, (mlongo sambil berimajinasi). Siswi SMP digilir lima pemuda Kang, gadis cilik Yuyun Kang dicekik dan disetubuhi, kemaluan Eno dipuaskan dengan gagang cangkul Kang. Rembes: Setan Alas, Bajingan. Emosi saya ini Pluk. Tepluk : Sabar Kang sabar. (berusaha menenangkan Rembes) Rembes: Ya sudah, kalau begitu jangan bayangin lagi. Begini Pluk, semisal istri kamu dibawa orang desa tetangga. apa yang hendak kau lakukan melihat hal semacam itu? Tepluk : Kalau ini saya yang emosi Kang, Gorok saja lehernya Kang, (terlihat emosi) enak saja istri saya mau di naiki orang lain. Rembes: Sabar Pluk sabar, itu Pluk yang saya maksud. Tepluk : Lalu, apa hubunganya istri saya dengan berkas itu Kang? Rembes: Eladalah, Tepluk, pluk,, otakmu itu lho Pluk, otakmu ini pasti gara-gara waktu kecil salah minum vaksin, jadi rusak begitu. Tepluk : Vaksin kok disalahkan. Memangnya kenapa kang dengan otakku? Rembes: Kamu itu pamong desa harusnya bisa mikir, pamong desa kok bloon. Tepluk : Laaah wong saya diusung untuk jadi pamong desa ya saya nganut saja. Rembes: Karepmu Pluk, karepmu. Sekarang saya tanya, apa tujuanmu mencalonkan diri jadi pamong desa. Tepluk : Begini kang. saya itu dijanjikan dapat uang banyak, bisa jadi kaya dan hidup mewah. Ditawarin semacam itu ya saya tidak berani nolak. Hehe Rembes: Terus tanggung jawab dan amanah yang kau emban?
Tepluk : Hehe kalau itu saya ikut-ikutan yang di atas saja dech. Kalau atasan iya, ya semuanya iya aja jadi kan beres tanpa pusing lagi. Rembes: Eladalaah, tobat, tobat. Berapa banyak yang kau keluarkan untuk simpatisan agar mau mendukungmu. (dengan sedikit emosi) Tepluk : Ya banyak Kang, buat kampanye juga butuh dana besar, belum lagi memberi sumbangan tiap warga agar mau memilih saya. Rembes: Kau bilang itu sumbangan. Itu namanya kecurangan dan bisa di tindak pidana. (dengan emosi) Tepluk : Jangan di laporin ya Kang, saya belum balik modal soalnya. Dan jangan bilang-bilang ya kalau saya begitu. Rembes: Sekarepmu.
Jangan sampai nasibmu seperti ketua KPU kita yang
meninggal kena azab lantaran diduga melakukan kecurangan yang sama seperti kau lakukan itu. (dengan nada kesal) Tepluk : Jangan gitu dong Kang, saya kan jadi takut. Sebenarnya Ada apa to Kang? Rembes: Ada apa dengan cinta! Yang kamu tanyakan itu “jahat” (menirukan gaya cinta di film AADC). Dengan berkas itu mereka akan dengan mudahnya dapat keluar masuk ke desa kita ini tanpa upeti, dan mereka bebas menjual dan menjarah keanekaragaman budaya yang ada di desa kita ini. Tepluk : Oohh gitu, Penjajahan itu namanya Kang ya? Apa ya istilahnya, kon-kon ? apa ya namanya? Rembes: Kolonial Pluk. Coba kamu lihat akhir-akhir ini para muda mudi yang sekarang banyak tidak tahu dan bahkan enggan untuk melesatrikan budaya kita.
Tepluk : Astagfirullahh (ngelus dada) Rembes: Harga pangan selalu tinggi padahal kita bisa memproduksi sendiri. Emas kita diambil. Batu bara kita dijarah. Ikan-ikan kita dirampok. ABK kita disandera. Tepluk : Embeekk... (ngelus dada). Inalillahi. Rembes: Itu karena mereka yang dari desa tetangga dengan mudahnya masuk dan membawa produk untuk dipasarkan ke desa kita ini Pluk. Termasuk mantra-mantra asing yang mencuci otak kita? Tepluk : Embeekk.. (ngelus dada). Masyallah. Rembes: Tahlilan saja yuk Pluk. Nyembelih Embeekk. Tepluk : Loh memang siapa yang meninggal kang. Rembes: Embeekk.. kesadaran kita yang meninggal Pluk, (sambil kesal) Tepluk.. Pluk.. mudeng tidak apa yang tadi saya bicarakan, hah!!! embeekk.. embeekk.. embeekk. Memangnya kampung kita kampung embeekk. Tepluk : Ya jelas saya mudeng to kang. Rembes: Apa? (terlihat kesal) Tepluk : Mungkin tuan Bumi melakukan itu semua karena takut atau mungkin disuruh sama Eyang kita Kang. Eyang O’ok Bama atau takut ditembak Om Yah-Udi Rembes: Aduchh biyung, tobat, tobat. Ora nyambung, bloon kok jadi pamong desa. Pluk, Pluk karepmu (terlihat kesal sambil keluar meninggalkan panggung) Tepluk : Loh Kang ko pergi, mau kemana Kang,, ikut.
Rembes: (dari balik panggung) Embeekkk..! Tepluk : Lah kok ngambek. Memangnya ada yang salah dengan omonganku (bertanya kepada penonton). Gini-gini wakil rakyat lho, (sok ganteng) pamong desa. Cepat tua nanti kamu Kang marah-marah terus. Kang jika hendak main Pokemon GO saya ikut. (mengejar Rembes). Embeeekk.. kang embeekk. Panggung kembali sepi dan kemudian Lampu mati.
ADEGAN V Gambaran canda tawa dari bocah-bocah yang sumringah yang sedang bermainan Congklak, Karet gelang, Ular naga panjang, Tri olo gotri (menggunakan pemain figuran) terlihat penuh keceriaan. Namun beberapa saat kemudian datanglah segerombolan Wedus gila yang mengobrak abrik dan mencoba merampas permainan mereka. Setting panggung tanpa dekorasi apa pun. Lampu depan dan tengah (front and center light) menyala redup menandakan suasana sore hari. Mendak : Yo prokonco dolanan neng kene, padang bulan wulane koyo rino, ngelingake ojo podo turu sore (nembang). Kiting
: Aku ikut, aku ikut.
Gejug
: Kita main apa ya? (nada manja)
Kiting
: Emmmm (berfikir sejenak) enaknya main apa?
Gejug
: Bagaimana kalau main Petak Umpet?
Mendak : (selesai nembang) jangan, kita main lompat tali saja? Bagaimana? Kiting
: Ayo. (dengan nada manja)
Gejug
: Ya sudah, ayo.
Kemudian mereka asyik bermain Lompat tali. Saat sedang asyik bermain tibatiba segerombolan Wedus datang dari sisi kiri dan kanan panggung mengobrakabrik, dan ingin merampas permainan mereka. Bocah-bocah tersebut berlarian dan berteriak-teriak ketakutan. Permainan lampu terang redup secara cepat mengiringi suasana gaduh di atas panggung. Teriakan semakin keras dan Wedus-wedus semakin menjadi. Kemudian lampu mati, suara teriakan masih terdengar jelas. ADEGAN VI Suasana warga nampak gelisah, ketika Kala Durgama di depan mata, dimana semua serba terbalik-balik. Ketika Matahari sudah tidak pada tempatnya. Sehingga aturan tak beraturan dijadikan pijakan, musim yang tak bermusim telah menjadi ancaman. Suasana inilah yang menjadi pergunjingan warga di bagian tengah di desa Air. Lantaran gonjang ganjing tatanan pamong desa semakin carut marut. Setting panggung menyerupai pos ronda, dan terlihat beberapa makanan khas desa. Lampu tengah dan depan menyala (Center light dan Front light) menyorot ke tatanan panggung tersebut. Mbah Mili : Katelu, kapapat, kalima, kaenem, kapitu, ini gawat? (terlihat bingung sambil memegangi sebuah primbon) Warga 1
: Apanya yang gawat mbah?
Mbah Mili : Sudah saatnya Kala Durgama tiba. Warga 2
: Kala Durgama, apa itu Mbah?
Mbah Mili :
Jaman
dimana
semua
serba
terbalik-balik.
Yang
muda
menanggalkan jati dirinya demi kesenangan belaka, demi bisa dianggap ada.
Mbah 1
: Lalu apa yang harus kita lakukan Mbah?
Mbah Mili : Semua sudah digariskan akan seperti itu. Ditambah Sekarang cuaca di Desa kita ini sudah tidak bisa diramalkan lagi. Warga 2
: Sudah wayahe mbah. Desa kita ini sedang mengalami degradasi musim dan dekadensi kesenjangan iklim.
Warga 1
: Kenapa hal ini bisa terjadi?
Warga 2
: Ya karena Kebijakan pamong desa kita tidak terarah dan miskin inovasi. Buktinya lagi-lagi Rishuffle terjadi lagi.
Mbah Mili : Tidak perlu menyalahkan pamong desa, kita percaya saja dengan mereka. Toh mereka melakukannya untuk kita rakyat kecil. Warga 2
: Untuk kita yang bagaimana mbah, bukankah kebijakan-kebijakan pamong desa selalu memberatkan kita mbah.
Mbah Mili : Kalau kita selalu menyalahkan pamong desa apa bedanya dengan kita yang hanya berpangku tangan. Seharusnya kita mulai introspeksi, mengevaluasi situasi dan berani melakukan redifinisi. Agar kita bisa meberikan sebuah revitalisasi menuju suatu solusi definitif, guna mendapatkan outcome terbaik dari apa yang kita harapkan. Noto ati lan pikiran kanggo golek dalan sing padang. Dimulai dari diri sendiri. Warga 2 : Iya mbah, maaf jika saya lancang. Warga 1
: Kata pak lurah dalam menanggulangi musim yang tidak sesuai dengan perkiraan kita, pak lurah menyarankan untuk merapal mantra yang pak lurah sosialisasikan.
Warga 2 : Matra pak lurah? apa maksud kamu?
Warga 1 : Saya juga tidak paham mantra yang bagaimana. Ya pokoknya mantra pak lurah. Mantra yang diperoleh dari gurunya yang di barat, didikan barat! Mbah Mili: Sudah-sudah, jangan diperdebatkan lagi, jaga emosimu jangan mudah terhasut (menunjuk warga 2), dan kamu (menunjuk warga 1), “Manungsa mung ngunduh wohing pakarti” Warga 1 : Enjeh Mbah. (padahal sebenarnya tidak tahu) Warga 2 : Mungkin yang dimaksud begini mbah, kita masih bisa tanam padi tanpa harus berpedoman sama Pranotomongso mbah. Warga 1 : La kalau begitu bagaimana caranya? Itu kan petunjuk kita dalam menyiasati musim tanam atau musim panen kita. Warga 2 : Yang dimaksud pak lurah kita bisa gunakan mantra dari desa lain yang sekarang sudah banyak dipasaran, untuk mempercepat panen kita mbah. Begitu to Kang? (menunjuk warga 1) Warga 1 : Ya mungkin? Tapi apa bisa mempercepat masa panen padi, bukankah itu tidak masuk akal? Terus dampak dari mantra yang bertentangan dengan kepercayaan kita itu apa bisa menjamin? Warga 2 : I don’t know? Mbah Mili: Mula, kali ilang kedunge. Warga 1 : Apa lagi itu mbah? Mbah Mili: kemajuan teknologi yang mempermudah hidup manusia, di jaman yang serba modern ini, kita dituntut untuk beradaptasi dengan teknologi dan perkembangan zaman
Warga 2 : Benar sekali. perkembangan zaman yang semakin pesat memaksa kita untuk bertransformasi ke era modern mbah. Mbah Mili: Wayahe sudah tiba. Desa kita ini rindu memimpikan pemimpin yang seperti Satria Pinandhita Sinisihan Wahyu, pemimpin yang membawa kemakmuran dan kesejatian bangsa. Warga 1 : Di zaman yang seperti ini mustahil ada pemimpin yang bisa membawa kemakmuran dan kesejahteraan bangsa? Mbah Mili : Bagaimana menurutmu? (menunjuk warga 2) Warga 2 : I don’t know? Saran dari pak lurah untuk mengatasi hal semacam ini kita juga harus nempur dari desa tetangga mbah. Warga 1 : Lho, bukannya desa kita ini mampu menghasilkan beras sendiri, kenapa harus nempur dari desa tetangga? Warga 2
: Namanya saja saran dari pak Lurah, ya tanya pak lurah saja sana? Sampean tahu tidak? Dulu kita membajak sawah dengan Kerbau, sekarang dengan adanya mantra dari desa tetangga semua diganti dengan Traktor yang akan mencemari lingkungan.
Warga 1
: Iya, Saya tahu.
Mbah Mili: Kalau sudah begini Keadaan masyarakat yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto tur raharjo hanyalah sebuah utopia. Pulau Jawa akan tenggelam. Warga 1
: Bagaimana bisa tenggelam mbah? (dengan panik)
Warga 2 : Ya, bisa! Banjir dimana-mana, pencemaran lingkungan terjadi setiap waktu, sampah menggunung di aliran sungai. Warga 1 : Itu karena pemerintahnya semena-mena.
Mbah mili: Sudah jangan saling menyalahkan, ingat sedulur-sedulurku Gusti paring dalan kanggo uwong sing gelem ndalan Warga 1 : Lalu apa solusi yang tepat untuk menyiasati hal ini mbah? Warga 2 : Jangan sampai kita petani kehilangan petaninya. Mbah Mili: Iya, (dengan nada santai) Kalau memang harus berpedoman dengan mantra pak lurah ya kita jalankan saja. Warga 1 : Saya setuju dengan mbah Mili, hanya lahan itu yang bisa kita tanam. Warga 2 : Bukankah di sisi barat desa kita ini tengah di landa kebakaran mbah, apakah bisa ditanam. Mbah Mili: Kalau seperti itu kita bisa tanam yang dibagian timur desa kita ini saja. Warga 2 : Di bagian timur juga sudah di jadikan pertambangan mbah. Semua tanah di bor dan dikeruk hasil emasnya. Mbah Mili: Kalau begitu jalan terakhir kita tanam di bagian tengah desa kita ini atau di bagian utara sama selatan. Warga 2 : Di bagian tengah juga demikian mbah, di bagian utara sama selatan semua diratakan dengan tanah diganti dengan bangunan-bangunan perkantoran. Warga 1 : Habis dong lahan yang kita punya. Mbah Mili: Belum habis, kita bisa memanfaatkan yang lain. Kita harus pandaipandai bersyukur. Jadi kaya boleh, tetapi harus dermawan, Jadi miskin boleh, tetapi harus neriman, Jadi raja boleh, tetapi harus yang merakyat, Jadi rakyat boleh, tetapi jangan khianat Warga 1 : Iya mbah, tapi apakah itu bisa?
Mbah Mili: Tidak apa-apa, yang penting kita masih bisa meneruskan profesi petani kita. Ayo kita gotong royong untuk desa ini. Desa tercinta kita. Warga 1, 2 : iya mbah (serempak) Lampu semakin meredup perlahan dan akhirnya mati. Panggung kembali sunyi.
ADEGAN VII Tergambar sebuah dimensi lorong waktu masa yang akan datang, dimana masa tersebut adalah gambaran dari pemimpin durjana. Ketika semua warga sibuk berlarian ke segala penjuru mata angin, entah timur, utara, selatan hingga ke barat untuk mencari matahari yang telah tiada. Mula-mula terdengar bunyi kentongan, lalu suara angin topan dan petir saling bersahutan. Suasana kengerian pun tampak mengiringi. Setting panggung menyerupai kuburan, di belakang kuburan terdapat gapura bertuliskan Desa Air. tatanan panggung menggambarkan desa Air yang porak poranda. Lampu warna merah (Righ light dan Left light II red color) menyala terang redup berulang-ulang. Terdengar suara warga dan anak-anak dari dalam gundukan tanah. Di sekeliling gundukan tanah terlihat Bumi terpasung di sebuah kayu dengan isi perutnya yang terurai sedang meronta kesakitan. Kemudian lampu tersebut menyala konsisten. Bumi
: (menahan sakit yang teramat) Aacccccchhhhhh, (merintih kesakitan) sudah lebih dari setengah waktu masa jabatanku ini, aku merasakan sakit yang seperti ini. penderitaan yang tak akan pernah habis hingga masa jabatanku pun telah habis nantinya (jeda, sambil menahan sakit).
Suara itu datang lagi. Mantra itu datang lagi. Suara mantra-mantra yang pernah ada dalam kegirangan dan raut wajah yang sumringah. Mantra para petani yang tengah sibuk dengan irama gesekan alat perias sawah. Mantra kerlap-kerlip lampu memancar layar terkembang dengan tarian wayang sedang di adu romo dalang. Mantra bunyi kendang dan nyanyian sinden membius sunyinya malam. (kemudian berubaah dengan mengiba) mari mendekat nak, kemarilah, beri satu pelukan agar aku bisa tenang dalam menebus dosaku. (tiba-tiba berganti dengan histeris) jangan, jangan kau pergi, kembali, kembalilah. Aku menyesal, tidak, jangan, tolong! (dengan teriak kemudian menangis). (tiba-tiba pasrah) Apa yang harus aku lakukan. Ketika semua sudah bisa berjalan sendiri, ketika mereka mulai meninggalkan, ketika aku mulai mengiba dengan mantra yang keparat. Sebegitu bodohnya aku hingga ku relakan mereka membawa matahari. (dengan menahan sakit) matra itu telah merasuk ke dalam tubuhku, melewati tenggorokanku, lalu melubangi jantungku, masuk ke lambung, usus, limfa, ginjal dan seketika pecah isi perutku. Tuhan, ampuni hamba yang salah dan khilaf. (diam sejenak) (warga dan bocah berdialog dari dalam gundukan tanah dengan nada yang menyeramkan) Warga 1 : Wahai pemimpin desa, kembalikan lahan kami yang kau jadikan inflasi! Bumi
: Siapa itu? (dengan penuh ketakutan). Ampuni hamba Tuhan, saya hanya melayani tamu. (dengan mengiba)
Warga 2 : Wahai pemimpin desa, kembalikan kilauan emas yang sudah kau rampas! Bumi
: Suara apa itu? (dengan nada ketakutan).
Warga 1 : Dasar pemimpin desa yang rela melepaskan budayanya demi tahta dan harta? Bumi
: Bukan, Tidak, Bukan Saya! (dengan ketakutan semakin menjadi)
Warga 2 : Kau beri jalan pada mereka! Bumi
: (masih menahan sakit).
Mendak : Wahai pemimpin desa, kembalikan kebahagian kami! Bumi
:
Saya
sudah
mensejahterakan
rakyatku,
saya
sudah
membahagiakannya. Gejug
: Kau memanipulasi kesejahteraan kami!
Kiting
: Kau mutilasi hak kami untuk urusanmu sendiri!
Warga 1 : Kau hujani batu di desa sendiri! Warga 2 : Kau racuni bayi yang terlahir dengan hutang dan materi! Mendak : Kau telanjangi moral generasi muda kami! Bumi
: Ampun, hamba khilaf. (dengan menangis dan ketakutan yang teramat)
Semua : Kau jual tanpa tawar kebudayaan leluhur kami! Bumi
: Tuhan tolong hamba tuhan (semakin ketakutan dan menggigil)
Warga 1 : Tuhan-pun telah kau gadaikan, manusia macam apa kau ini! Mendak : Bumi telah kau celakai! Kiting
: Lautan telah kau nodai!
Warga 1 : Hutan telah kau Gunduli! Warga 2 : Matahari telah kau curi! dasar pencuri!
Bumi
: Tidak, aku bukan pencuri, tidak. (masih dalam keadaan ketakutan dan kesakitan yang teramat sangat)
Semua
: PENCURI! PENCURI ! PENCURI! (diucapkan berulang-ulang)
Suasana semakin mencekam, lampu kembali beralih menjadi warna merah (right and left light II red color) yang menyala terang redup berulang-ulang dibarengi dengan suara angin menderu dan petir menyambar. Suasana semakin gaduh, teriakan kesakitan Bumi semakin menjadi dan teramat sangat hingga tak bisa dirasa. Lampu padam. Panggung sepi.
SELESAI