Mata kuliah
: Filsafat Kebudayaan
Pertemuan ke
: 10 (K10)
Materi
: Kebudayaan sebagai strategi:
Tujuan
: Mahasiswea memahami konsep pentahapan kebudayaan dan pengertian strategikebudayaan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------A. Isi kajian/Materi 1. Tahap-tahap Kebudayaan Kebudayaan
sebagai
kata kerja mengantarkan manusia
pada
usaha
mengevaluasi dan membentuk kembali kebudayaan. Dalam kerangka pemikiran ini Van Peursen mengajukan teorinya tentang bagan tiga tahap kebudayaan. Kerangka teoritis ini digunakan sebagai alat untuk membuka jalan pada manusia sebagai pelaku budaya agar mampu menilai perkembangan dirinya secara mitis, ontologis dan fungsional. (1) Tahap Mitis Tahap mitis adalah tahap ketika manusia masi merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, seperti kekuasaan dewa-dewa seperti tampak dalam mitologi bangsa primitive (Van Peursen,1976;18). Manusia dan alam saling melebur. Di dalamnya terdapat anggapan bahwa alam raya meraupakan percikan Dzat Ilahi, termasuk di dalamnya manusia. Mitos sebagai cerita yang memberikan pedoman dan arah kepada sekelompok manusia berfungsi untuk menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Mitos berfungsi membantu manusia agar dapat menghayati daya-daya atau kekuatan alam yang mempengaruhi dan menguasai alam dan manusia. Pada tahap ini belum ada garis pemisah yang tegas antar manusia sebagai subjek budaya dengan alam yang serba Ilahi sebagai objek. (2) Tahap Ontologis Pada tahap ini manusia tidak lagi hidup dalam kungkungan kekuatan mitis. Manusia sudah mulai meneliti sesuatu yang ada di sekitarnya. Manusia mulai mengambil jarak dengan alam yang dulu dirasakan mengepungnya. Manusia mulai menyusun ajaran atau teori rnengenai dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) dan menyusun segala sesuatu menurut perinciannya (ilimu-ilmu) (Van Peursen, 1976; 18). Fungsi pemikiran ontologis, pertama adalah untuk membuat suatu peta mengenal segala sesuatu yang mengatasi manusia. Sikap ontologis berusaha menampakkan dunia transenden, dunia yang mengatasi manusia, bahkan menjadikan
sesuatu yang dapat dimengerti (Van Peursen,1976;59). Dan fungsi tersebut daya pikir yang objektif mulai nampak. Dengan cara berpikir dengan akal subjek mulai membuat jarak dengan objek yang dipikirkan. Dengan cara berpikir ini pula di Yunani Kuno mulai berkembang ilmu filsafat. Fungsi kedua adalah untuk menerangkan proses yang terjadi di alam raya dan dalam hidup manusia dengan mendasarkan pada hukum abadi. Hukum-hukum tersebut berfungsi sebagai sarana untuk menerangkan alam dan hidup manusia melalui filsafat (Van Peursen, 1976;64). Fungsi ketiga, alam pikiran ontologis menjanjikan ilmu pengetahuan yang dapat dikontrol dengan menggali sebab dan akibat terjadinya segala sesuatu sehingga sampailah pada Sebab Pertama (Van Peursen,1976;68). Pada tahap ontologis ini manusia tidak lagi dikuasai oleh daya-daya alam. Manusia mulai mengambil jarak, sehingga muncul substansialisme, yaitu sikap menempatkan sesuatu lepas dan hal lain, tidak tergantung dari yang lain. Manusia mulai menempatkan sesuatu sebagai substansi yang berdiri sendiri. (3) Tahap Fungsionil Pada tahap ini terkandung sikap dan pikiran yang ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesualu di lingkungannya (Van Peursen, 1976; 18). Tahap ini juga merupakan sikap mengatasi keterasingan manusia akibat substansialisme. Manusia mulai mencari hubungan antar bidang. Anti sebuah kata, perbuatan dan barang, dipandang menurut peran atau fungsi yang dimainkan dalam keseluruhan yang saling bertautan. Dengan usaha ini keterasingan manusia dapat terhapuskan (Van Peursen, 1976;86). Pada pokoknya, pada tahap ini diakui adanya hubungan antar hal di dunia ini dalam perannya masing-masing. Hal-hal yang perlu diperatikan dalam tahap pemikiran fungsionil ini: Pertama, daya-daya kekuatan sekitar baru nampak bila manusia memperlihatkan relasi langsung antara dia sendiri dan dunia sekitar yang berkuasa. Orang tidak lagi berbicara tentang adanya sesuatu tetapi artinya sesuatu. Hakikat benda, peristiwa, tata masyarakat manusia, dilihat sejauh hal tersebut mempunyai arti, dapat digambarkan dan dikelola dengan penuh arti. Arti sesuatu adalah cara sesuatu itu dialami dan diintegrasikan dalam hidup. Bila segala sesuatu dialami dengan penuh arti maka sesuatu tersebut diakui sebagai kenyataan yang diterima (Van Peursen, 1976;92). Kedua, tahap fungsionil juga nampak memberi dasar pada masa kini. Pada pemikiran fungsionil, situasi baru dibenarkan bila keadaan tersebut dapat dihayati manusia, tidak melebihi kemampuannya (Van Peursen,1976;97).
Ketiga, peranan pengetahuan. Dalam hal ini terdapat pergeseran dari teori ke praktek tidak hanya dalam pengetahuan dan filsafat tetapi juga dalam hal sehari-hari (Van Peursen, 1976;99). Sesuatu hal dipahami dalam perannya, misalnya kata-kata di dalam bahasa tidak hanya dihafalkan tetapi juga dimengerti penggunaanya dalam hubungannya dengan relasi dalam konteks pemakaiannya. Pada tahap fungsionil ini yang penting adalah relasi, bukan jarak antara subjek dan objek. Suatu hal yang dikhawatirkan adalah bahaya dalam operasionalnya (operasionalisme). Penjelasan tentang relasi praktis segala sesuatu tentu memerlukan penjelasan operasional. Penggunaan bahasa praktis ini sering membatasi pemahaman umum. Oleh karena itu penggunaan bahasa operasional sering menyebabkan penafsiran yang berbeda dari segi pemahaman umum. 2. Fungsi Bagan Tiga Tahap Bagan kebudayan ini tidak memberi deskripsi kebudayaan secara lengkap, melainkan merupakan sebuah alat konseptual yang dapat digunakan untuk mengarahkan kebudayaan. Bagan ini juga diharapkan menimbulkan kesadaran manusia tentang kebudayaan serta menemukan kaidah-kaidah untuk mencapai strategi yang dapat dipertanggungjawabkan (Van Peursen, 1976;33). Berdasarkan wujud kebudayaan yang bersifat gagasan, pola tata laku masyarakat, dan kebudayaan fisik, maka tahap-tahap tersebut dapat digunakan sebagai sarana konseptual untuk mewujudkan kebudayaan masa datang yang diinginkan. Yaitu suatu bentuk baru kebudayaan yang sesuai dengan masyarakat yang berkembang menjadi lebih modern dan lebih memanusiakan manusia. 3. Kebudayaan sebagai strategi Kata “kebudayaan” tidak lagi menjadi kata benda tetapi sekarang lebih menjadi kata kerja, dan filsafat kebudayaan bukan lagi menjadi suatu usaha teoritis tetapi bahkan menjadi sarana atau alat untuk merenungkan kebudayaan dan membantu memaparkan stategi kebudayaan ke masa depan. Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan direncanakan (Van Peursen, 1988: 10-1 1). Kebudayaan dalam tiga wujudnya tidak dilihat sebagai produk melainkan sebagai bahan yang digunakan untuk membantu menentukan dan mencari hari depan. Realitas kebudayaan tidak diterima sebagai warisan melainkan sebagai bahan yang harus dikoreksi dan disesuaikan, diintegrasikan dengan kebutuhan dan kepentingan hari depan. Oleh sebab itu dituntut adanya kemampuan, kreativitas, dan penemuan-
penemuan baru. Manusia tidak hanya membiarkan diri dalam kehidupan lama melainkan dituntut mencari jalan baru dalam mencapai kehidupan yang Iebih manusiawi. Dasar dan arah yang dituju dalam perencanaan kebudayaan adalah manusia sendiri sehingga humanisasi menjadi kerangka dasar dalam strategi kebudayaan (Au Moertopo, 1978; 12). Dalam konteks pembangunan, Soerjanto Poespowardojo (1993) mempertanyakan hakikat pembangunan manusia. Bila pada penjelasan di atas dikemukakan bahwa kebudayaan yang dijalani manusia dapat dipahami sebagai upaya mengarahkan masa depan yang diinginkan, maka sesungguhnya manusia juga harus berpikir apakah pembangunan yang dilaksanakan tetap dalam kerangka nilai baik untuk manusia. Dalam satu bahasannya dipertanyaan apaka sesungguhnya konteks pembangunan itu pembangunan untuk manusia ataukah manusia untuk pembangunan. Apabila pembangunan itu untuk manusia maka harapan Ali Moertopo bahwa kebudayaan sebagai upaya memanusiakan manusia dapat tercapai. Akan tetapi apabila yang terjadi sebaliknya maka atas nama pembangunan manusia dàpat dijadikan komoditi yang boleh jadi akan sangat merendahkan martabat kemanusiaan itu sendiri. Akhirnya, maka pengendali kebijakan yang akan menentukan pembangunan sebagai bagian dari aktivitas berkebudayaan manusia sesunggungnya akan diarahkan kemana. Manusia diabdikan kepada pembangunan ataukah sesungguhnya pembangunan diharapkan dapat mengangkat harkat martabat kemanusiaan. Dalam konteks kehidupan manusia sebagai aktivitas berkebudayaan, maka sebagai suatu strategi kebudayaan dalam hal ini diarahkan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia (Soerjanto Poerpowardoyo, 1993 :2 5). B. Metode Pembelajaran −
Ceramah & dialog. Dosen menjelaskan konsep tahap-tahap kebudayaan dan pengertian kebudayaan sebagai strategi masa depan.
−
Mahasiswa mendiskusikan dan mengeksplorasi lebih lanjut permasalahan seputar tema strategi kebudayaan.
−
Mahasiswa yang memilih tema ini melanjutkan dengan membuat makalah yang lebih lengkap.
−
Dosen menginformasikan tema kajian minggu depan dan mempersiapkan mahasiswa untuk mempelajari dan membuat pemikiran tentang pengembangan kajian atas dasar konsep tersebut.
C. Evaluasi −
Evaluasi kelas dilakukan dengan melakukan tes pemahaman mahasiswa terhadap materi kuliah.
−
Evaluasi individual dilakukan terhadap kesiapan pengembangan tema bagi mahasiswa yang memilih. D. Pustaka Peursen.C.A.Van,1988,Strategi Kebudayaan,Yogyakarta. Soerjanto Poespowardojo,1993,Strategi Kebudayaan,Gramedia,Jakarta. Ali Moertopo,1978,Strategi Nasional,CSIS,Jakarta.