4
edisi Monthly Report on
Religious Issues Sinopsis
M
ajelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan 10 pedoman penyesatan kepada masyarakat untuk kelompok-kelompok yang dianggap menyimpang. Presiden SBY tampak setuju dengan langkah MUI ini. Kapolri pun mengamini. Permintaan dana MUI melonjak menjadi Rp 18 trilyun. Dengan menggunakan 10 pedoman penyesatan itu, kelompok-kelompok masyarakat terus melakukan “operasi” aliran sesat. Di Cirebon aliran Hidup di Balik Hidup dituduh sesat, kelompok pengajian Nurul Yaqin di Tangerang dan kelompok Dzikir Asmaul Husna diserang, karena dianggap sesat. Kasus yang paling menonjol adalah keluarnya fatwa MUI perihal sesatnya al-Qiyadah al-Islamiyah, yang telah disinggung pada edisi sebelumnya. Akibat fatwa itu, sebagian anggotanya dipukuli kelompok tertentu, sebagian yang lain minta perlindungan pada polisi, sebagiannya lagi menyatakan tobat. Bahkan, Rasul alQiyadah al-Islamiyah Ahmad Mushaddeq juga menyatakan tobat.
Monthly Report the WAHID Institute edisi kali ini melaporkan isu-isu keagamaan periode Oktober hingga pertengahan November 2007. Selamat membaca!
Susunan Redaksi
Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi | Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, Nurul H. Ma’arif, Abd. Moqsith Ghazali. Staf Redaksi: M. Subhi Azhari dan Nurun Nisa’ | Lay out: Widhi Cahya Alamat Redaksi: The Wahid Institute Jln Taman Amir Hamzah 8, Jakarta - 10320 Website: www.wahidinstitute.org Email:
[email protected] Kontributor:
Akhdiansyah - NTB | Suhendy - Jawa Barat | Nur Kholik Ridwan - Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta | Alamsyah M. Dja’far - DKI Jakarta | Zainul Hamdi - Jawa Timur | Syamsul Rijal - Makassar. Kerjasama dengan TIFA Foundation
Novemb er 2
Sepuluh Pedoman Penyesatan, 007
Masyarakat Bertindak Sendiri 1. 10 Pedoman untuk Mendeteksi Aliran Sesat
D
ari Hotel Sari Pan Pasific di Jln. Thamrin Jakarta, 10 kriteria aliran sesat dirilis Pengurus Pusat Majelis Ula ma Indonesia (MUI) awal November lalu. Sekelom pok orang, seturut panduan ini, bisa dikategorikan sesat jika mengingkari satu di antara rukun iman yang enam, meyakini atau mengikuti keyakinan yang tak sesuai al-Qur’an dan Sun nah, atau meyakini turunnya wahyu setelah al-Qur’an (Lihat 10 Pedoman Itu...). Pedoman itu dihasilkan dalam Rapat Kerja Nasional MUI 2007, yang digelar selama tiga hari, 4 - 6 November dan dihadiri seluruh pengurus MUI, ketua dan sekretaris MUI Provinsi se-Indonesia. Selain 10 pedoman, forum tahunan yang dibuka Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan ditutup Wakil Presiden Jusuf Kalla itu juga menghasilkan 13 rekomendasi terkait situasi mutakhir. Di luar kasus penyesatan, sebagian besar rekomendasi MUI seperti Pilkada, penyelanggaraan Bank Syariah, alokasi ang garan MUI, dan perlindungan TKI, seakan tenggelam. Mak lum saja, sejak dua bulan terakhir, isu kelompok meyimpang membanjiri pemberitaan media massa tanah air. Pihak MUI beralasan, 10 kreteria aliran sesat itu men jadi kebutuhan mendesak bagi masyarakat. “Namun harus dibedakan antara kesalahan dan kesesatan,” kata Sekretaris Umum MUI HM Ichwan Syam dalam konferensi pers usai Rakernas (6/11/07). Konsekuensinya, MUI meminta budget tambahan untuk proyek penyesatan ini, dari Rp 16 trilyun menjadi Rp 18 trilyun pertahun (Detik.com, 3/11/2007). Ke tika membuka Rakernas MUI di Istana Negara, Presiden se cara tegas menyatakan akan mengikuti dan mengamini lang kah MUI. Kapolri pun berjanji akan menindak tegas penga nut dan aktor intelektual aliran sesat (Antara, 01/11/07). Bagi sebagian kelompok, langkah MUI dikhawatirkan akan memicu aksi anarkis, seperti peristiwa-peristiwa sebelumnya paska dikeluarkannya fatwa sejenis. Terkait kasus kekerasan
kasus-kasus bulan ini
■
Monthly Report on Religious Issues, edisi IV, November 2007
terhadap Ahmadiyah, Januari silam, misalnya, temuan Komnas HAM mengokohkan dugaan itu. Dalam laporannya, fatwa-fatwa MUI ber peran langsung membentuk sikap intoleran dan kebencian, yang tak jarang berujung tin dak kekerasan. Fatwa ormas yang berdiri 26 Juli 1975 di Jakarta ini pula yang dijadikan, baik oleh sekelompok orang maupun aparat untuk “menggulung” para pengikut alQiyadah al-Islamiyah di sejumlah dae rah. Atas tudingan ini, pihak MUI menampik. Dalam berbagai kesem patan, lembaga yang berkantor di Mas jid Istiqlal ini berkali-kali menandaskan jika tugas mengantisipasi aksi anarkis ada di tangan pemerintah melalui aparat. Tugas ulama tak lebih menjaga akidah umat. Bagi MUI, aliran sesat adalah perkara serius. “Ada 13 poin yang ditulis MUI. Yang pertama di lakukan adalah langkah-langkah tegas dan tepat terhadap aliran dan paham sesat. Saya dukung, mari kita jalankan bersama-sama,” tegas Presiden (Antara 05/11/07). Tapi un tuk serius mengatasinya, saat ini lembaga yang sebagian biaya operasionalnya didanai APBN lewat Departemen Agama itu mengaku kekurangan sangu. Seperti diakui Sekretaris Umum MUI HM Ichwan Syam usai diskusi di Trijaya FM, di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (3/11/07), tahun ini anggaran MUI naik sekitar 13 persen dari sebelumnya. Dari Rp 16 trilyun menjadi Rp 18 trilyun pertahun. “Idealnya, sebenarnya banyak sekali,” katanya sembari menyodorkan bukti jika 93 persen se kolah Islam di Indonesia dikelola swasta. Itu artinya, upaya “menggarap” aliran sesat jauh membutuhkan biaya besar. Bagi kelompok yang getol memperjuangkan kebebasan beragama, perkara uang yang tak sedikit itu bikin jengkel. “Bayangkan! Sudah dibiayai negara banyak, eh malah dipakai bikin fatwa yang membuat kisruh,” kata aktivis se buah LSM di Jakarta. Tak heran, saat terjadi kekerasan terhadap Ahmadiyah awal tahun lalu, mantan Presiden KH. Abdurrahman Wahid mendesak pemerintah mencabut ban tuan itu. Dengan begitu, implikasinya jelas. Posisi MUI sama dengan ormas lain semisal Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah. Saat menjabat presiden, pikiran serupa juga dilon tarkan Gus Dur.
Jalur pemasukan dana ke MUI sebenarnya tak hanya dari APBN. Beberapa lembaga di MUI, seperti dirujuk Pedoman Rumah Tangga MUI disahkan 28 Juli 2005 Jakarta, bisa diang gap lembaga yang banyak meraup rupiah. Dua di antaranya: Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, Minuman dan Kosmetika (LPPOM) dan Dewan Syariah Nasional (DSN). Setiap perusahaan yang ingin men dapat stempel halal dari MUI mesti menggelontorkan rupiah. Tak jelas berapa rupiah untuk setiap jenis produknya. DSN juga terbilang basah. Simak saja Pedoman Rumah Tangga DSN-MUI No. 02 Tahun 2000, yang bisa diakses publik via website resmi MUI www.mui.or.id pada kanal DSN. Lembaga berisi agamawan, praktisi, atau pakar ini, atas persetujuan MUI ditahbiskan sebagai satu-satunya badan yang berwenang dan bertugas mengeluarkan fatwa atas jenisjenis kegiatan, produk, dan jasa keuangan Sya riah, termasuk fungsi pengawasan terhadap penerapan fatwa untuk seluruh lembaga-lem baga keuang-an syariah di tanah air. Tak hanya itu, DSN mewajibkan pada setiap lembaga keuangan syariah, seperti bank-bank syariah atau lembaga lain yang berkepenting an dengan syariah, untuk menyetor -- DSN menyebutnya -- “dana kepesertaan” dan “iuran bulanan”. Besarnya? Itu telah dipatok lang sung lewat Surat Keputusan DSN. Yang bikin ngiler, di luar itu DSN juga memperoleh dana
Sepuluh Pedoman itu... 1. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam. 2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tak sesuai dengan al-Quran dan sunnah. 3. Meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran. 4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran. 5. Melakukan penafsiran al-Quran yang tak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir. 6. Mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam. 7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul. 8. Mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir. 9. Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak lima waktu. 10. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya. The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, edisi IV, November 2007 ■
operasional dari Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. ***
Rasanya 10 pedoman itu tak berakhir hanya di sini. Terbuka peluang dipakai masya rakat untuk melegitimasi aksi kekerasan atau aparat untuk “mengamankan” mereka yang dinilai sesat. Sebuah media Islam edisi bulan lalu, bahkan mengarahkan sorotannya ke se jumlah penerbitan yang diduga menyebarkan
aliran sesat semisal Marxisme, pluralisme, dan nikah beda agama. Lantas ke mana lagi 10 pedoman itu meng arah? Jika tak serius ditangani, boleh jadi kekuatiran yang dilontarkan Wapres Jusuf Kalla di penutupan Rakernas MUI (6/11/07), itu yang terjadi: dakwah api dan batu. Dan, kelompok-kelompok yang dinilai sesat ber dasarkan 10 kreteria kesesatan itulah yang akan kena api dan batunya.■
2. Pertobatan Rasul al-Qiyadah al-Islamiyah
S
epanjang Oktober hingga pertenga han November, nama Ahmad Mushad deq menjadi bintang media massa. Pimpinan al-Qiyadah al-Islamiyah yang meng klaim punya 40 ribu pengikut itu (8 ribu ang gota inti di tanah air), jadi magnitude setelah mengaku sebagai nabi baru. Ia menyebut di rinya al-Masih al-Maw’ud, orang suci yang di tunggu-tunggu. “Aku al-Masih al-Maw’ud men jadi syahid Allah bagi kalian, orang-orang yang mengimaniku, dan aku telah menjelaskan ke pada kalian tentang sunnah-Nya dan rencanarencana-Nya…” Itu tertulis dalam Ruhul Qudus yang Turun Kepada al-Masih al-Maw’ud, buku yang beredar di kalangan internal al-Qiyadah al-Islamiyah. Buku yang edisi perdananya terbit Februari 2007, ini diyakini berisi fir man Allah dan Ruhul Kudus yang ditu runkan pada sang utusan. Kata pengantar buku setebal 192 ini ditulis Michael Muhdats (nama ini gabungan bahasa Inggris dan Arab, yang terdengar cukup nyentrik). Si Michael tak lain Ahmad Mushaddeq yang mengaku memperoleh wahyu setelah lelaku 40 hari 40 malam di Gunung Bunder, Bogor, Jawa Barat, pertengahan 2006. Lelaki kela hiran Jakarta 21 April 1944 ini tidak mewa jibkan pengikutnya shalat lima waktu, puasa, membayar zakat, dan naik haji. Ia juga mengu bah kata Muhammad Rasululullah dalam dua kalimat syahadat dengan al-Masih al-Maw’ud Rasulullah. Ajaran ini yang menyulut reaksi luar biasa dari masyarakat. Apalagi beberapa pertemuan The Wahid Institute
besar kelompok al-Qiyadah al-Islamiyyah deng an ritual pembaiatannya yang “vulgar” gencar ditayangkan berbagai stasiun televisi. Di se jumlah daerah, para pengikut al-Qiyadah alIslamiyah diserang dan sebagian “diamankan” aparat. Selasa pagi awal Oktober misalnya, berbekal fatwa MUI Sumatera Barat yang di rilis akhir September, massa menyerbu rumah Dedi Priyadi, seorang pimpinan al-Qiyadah alIslamiyah yang konon sudah berpengikut 500 orang. Bersama keluarganya, siang harinya, ia diungsikan ke Markas Kepolisian Kota Besar Padang, Sumatra Barat. Beberapa hari setelah insiden, pria berjanggut tipis ini dijadikan tersangka. Insiden serupa terjadi di Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Barat. Setelah MUI Yogyakarta dan MUI Sumatera Barat, giliran MUI Pusat menerbitkan fatwa sesat pada 4 Okto ber 2007. Fatwa itu diteken sehari sebelum nya, dengan No. 4 tahun 2007. Tapi Ahmad Mushaddeq alias Abussalam ali as al-Masih al-Maw’ud alias Michael Muhdats dan kelompoknya melawan. Kepada SCTV, Senin (8/10/2007), mantan pelatih atlet bulu tangkis nasional itu berniat melaporkan MUI ke polisi, lantaran telah menghalanginya beribadah sesuai kepercayaan yang dianutnya. Empat hari setelah itu, mantan pegawai Dinas Olah Raga Pemda DKI ini kembali menolak fatwa. “Saya tidak membawa agama baru. Saya hanya menggenapkan nubuwwah Al lah dalam al-Qur’an, seperti halnya Muham mad menggenapkan ajaran Isa dan Musa,” kata Mushaddeq saat bertandang ke Kantor
kasus-kasus bulan ini
■
Monthly Report on Religious Issues, edisi IV, November 2007
Majalah Tempo, Kamis siang (Tempo Interaktif 18/10/2007). “Perlawan” itu layu setelah al-Qiyadah al-Is lamiyah terus ditekan dari berbagai penjuru. Razia marak dilakukan di sejumlah daerah sepanjang Oktober hingga awal November. Sebagian pengikutnya mengalami tindak kekerasan seperti yang terjadi di Yogyakarta. Enam orang dipukuli. Akhir kisahnya, Mushaddeq pun menye rahkan diri ke Polda Metro Jaya, 29 Oktober 2007 silam. Jum’at, 9 Oktober, lelaki berda rah Betawi yang konon sempat menjadi anggo ta Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah IX (NII KW IX) itu pun berto bat. Drama pertobatan berlangsung di lantai II Gedung Direktorat Krimi nal Umum Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya. “Saya menarik seluruh pernyataan saya tentang nabi dan rasul,” katanya dalam konferensi pers usai pertobatan (Kedaulatan Rakyat 10/11/2007). Acara yang dipandu pakar ilmu komunikasi, Bachtiar Ali, ini juga dihadiri Agus Miftah, H. Amidhan mewakili MUI dan KH. Said Aqil Sir adj dari Nahdlatul Ulama (NU). Mushaddeq mengungkapkan, dirinya memutuskan berto bat setelah berdialog selama dua hari dengan Kang Said, sapaan akrab KH. Said Aqil Siradj. Pelbagai persoalan dikupas. Mulai dari ajaran
al-Qiyadah al-Islamiyah, hingga pengakuannya sebagai rasul. Kang Said membawa kitab ku ning, menjelaskan bahwa Muhammad adalah rasul dan nabi terakhir. Ini kesepakatan para ulama (ijma’) sejak dahulu hingga kini. Lelaki yang mulai mendirikan al-Qiyadah al-Islami yah sejak 2000 itu, usai mendengar argumen tasi Kang Said, lantas mengajak para pengikut nya meniru langkahnya. Sebagian besar pengikutnya meniru lang kah sang pemimpin. Bahkan ada yang ber tobat lebih dulu sebelum diseru olehnya. Se bagian kecil bersikukuh. Acara pertobatan pada Jum’at (09/11/2007) di Aula Markas Kepolisian Resor Kota Tegal yang se mulai berjalan lancar misalnya, tibatiba kisruh. Heru Muhaemin dan para pengikutnya menolak meng ucapkan syahadat seperti disyaratkan MUI setempat. Bahkan di hadapan MUI dan polisi, mereka mengucapkan syahadat versi mereka. Lantas bagaimana nasib para pengikut alQiyadah al-Islamiyah selanjutnya? Tak ada kabar pasti. Tapi dengan dikeluarkannya la rangan resmi oleh Pemerintah melalui Kejak saan Agung, awal November 2007, rasanya kelompok ini kian tak berkutik. Mereka yang terbukti menyebarkan ajaran al-Qiyadah al-Is lamiyah bisa terjerat pasal penodaan agama. Ancaman penjara pun menanti. ■
3. Tuduhan Sesat untuk Kelompok HDH
C
ap sebagai aliran sesat juga menim pa kelompok pengajian Hidup di Ba lik Hidup (HDH). Pimpinan HDH, Muhammad Ali alias Mudjoni, di hadapan sejumlah ulama di Aula Kantor MUI Ka bupaten Cirebon (2/11/07), membantah per nyataan pengikutnya tentang ajaran HDH seperti yang tertuang dalam sebuah buku. Jawaban yang diberikan Mudjoni atas ajaran itu berbelit-belit dan tidak tegas, bahkan justru mengkritik pembe ritaan wartawan yang memvonis kelompoknya sesat. Ketua MUI Cirebon, KH. Ja’far Aqil Siradj meminta ketegasan Mudjoni tentang kebe naran empat hal yang membuat resah umat Is lam, yaitu kebenaran Muhammad Kusnan yang
menjadi pencetus aliran itu pernah meneri ma wahyu, melakukan mi’raj, melihat surga dan neraka, serta keyakinan bahwa syafaat hanya diberikan saat Nabi Muhammad masih hidup. Menjawab pertanyaan itu, Mudjoni mengatakan, semua pemahaman yang disam paikan pengikutnya itu salah akibat salah penafsiran. “Empat hal itu tidak benar. Mung kin ini karena salah pemahaman atau penaf siran saja,” ujarnya. Ia juga membantah isi buku ajaran HDH yang menjadi pegangan kelompok itu. Usai dialog, Mudjoni dibawa ke Mapolres Cirebon untuk menjalani pemerik saan dengan dugaan menodai agama. Sementara itu, KH. Ja’far Aqil Siradj menga takan, pihaknya tidak hanya terpaku pada pen jelasan Mudjoni, karena sejumlah pengikut The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, edisi IV, November 2007 ■
dan warga telah memberikan keterangan pen dukung. “Jawabannya memang berbelit-belit dan intinya membantah semua tuduhan itu, tetapi kami akan pelajari buku-buku yang di pakai kelompok itu,” katanya. KH. Ja’far mengatakan, jika ajaran itu seper ti yang tertulis dalam sejumlah buku karangan Mudjoni, Menjelajah Dimensi Ruang Alam Fana dan Baka, Mengenal Eksistensi Allah, dan Percakapan Kusnan dan Ali, maka jelas telah terjadi penyimpangan. “MUI akan memilah apakah terjadi penyimpangan soal akidah, muamalah atau ibadah. Mungkin perlu waktu yang agak lama,” katanya. Ia juga menegaskan, tidak ada manusia selain Nabi Muhammad yang bisa mencapai sidratul muntaha atau melihat surga dan neraka. “Keyakinan adanya nabi lain sete lah Nabi Muhammad, juga merupa kan ajaran yang salah,” katanya (Antara 2/11/07). Kelompok Hidup di Balik Hidup sebetul nya telah ada sejak 1970 di Kabupaten Cire bon, Jabar, tepatnya di Desa Sigong, Kecama tan Lemahabang, tempat lahir Muhammad Kusnan bin Amir yang diyakini jemaahnya sebagai seorang nabi. Di Balai Desa Sigong, Kepala Desa Sigong H. Saefuddin kepada war tawan menjelaskan, ajaran itu telah berkem bang sejak 1970-an. Awalnya Muhammad Kusnan merekrut jamaah dari keluarga dan tetangganya. Sejak 1990, kelompok ini kian berkembang. Darsan (55), warga desa yang sempat ikut ajaran itu mengakui, sejak 1970an ajaran itu telah ada. Namun jemaahnya baru sekitar enam orang. “Saya sendiri ikut da tang untuk mengkaji kitab al-Qur’an. Namun saya keluar dan rupanya sekarang berkembang lagi,” katanya.
Rohasan (45) warga Dusun IV RT 03/RW 08 Desa Sigong, juga diyakini jemaahnya sebagai generasi ketiga dari Muhammad Kusnan. Ia menjadi pimpinan jemaah di Cirebon dengan jumlah mencapai 500 orang mulai dari Cire bon sampai Kuningan. Dari buku penjelasan ajaran Hidup di Balik Hidup, sebagaimana dilansir Antara dari Kepala Desa Sigong H. Saefuddin, terungkap riwayat Muhammad Kusnan yang lahir 1926, yang mengaku pada usia 10 tahun tubuhnya dibelah oleh dua ma laikat. Keduanya memberi cahaya dan jubah putih bercahaya. Sejak itu, Kusnan punya kemampuan melihat hal-hal gaib dan biasa berbicara dengan Jibril. Bahkan ditema ni Jibril, ia menemui semua nabi dari Nabi Adam. Ia juga diberi kesempa tan melihat sidratul muntaha, alam barzah, surga dan neraka. Para pengikut aliran HDH enggan berbicara tentang ajaran mereka. Na mun mereka mengakui sedikit was-was un tuk pulang ke rumah, karena takut dihakimi warga. Pada 1/11/07, di Desa Sigong, Keca matan Lemahabang, sekitar 30 warga melaku kan aksi unjuk rasa keliling desa menyatakan penolakan atas ajaran HDH. Sekitar 100 war ga desa pengikut HDH kemudian pergi men inggalkan desa itu. Dua diantaranya dihakimi puluhan warga Desa Astana Mukti, Kecama tan Pangenan Kabupaten Cirebon pada akhir Oktober 2007 lalu. Namun keduanya berhasil diamankan petugas dan dibawa ke Polres Cire bon. Hingga laporan ini ditulis, pemimpin HDH, Rohasan, masih ditahan di Mapolres Cirebon. Kemungkinan besar dia akan diaju kan ke pengadilan dengan tuduhan menodai agama. ■
4. Penyerangan Rumah Pimpinan Dzikir Asmaul Husna al-Jabar
U
sai melaksanakan shalat Magrib, Asep Rahmat, pimpinan Jama’ah Dzikir Asmaul Husna al-Jabar ngobrol deng an istri, tiga puteranya dan beberapa jama’ah, di depan rumah. Tiba-tiba terdengar kaca de pan rumah pecah karena dilempar batu oleh sekelompok orang. Tidak hanya melempar The Wahid Institute
batu, mereka juga berteriak memanggil-mang gil Asep Rahmat supaya keluar rumah. Karena khawatir atas keamanan keluarganya, Asep tidak keluar rumah. Dia membawa anak, is tri dan jama’ahnya ke belakang rumah supaya aman. Setelah itu Asep naik ke atas rumah. Ia melihat sekitar 100 orang yang menyerang
kasus-kasus bulan ini
■
Monthly Report on Religious Issues, edisi IV, November 2007
rumahnya. Semua mengenakan penutup wa jah, membawa golok dan bambu (31/10/07) Dengan membabi buta, mereka merusak dua mobil (Kijang dan Feroza) dan 3 motor (GL Max, Honda Revo dan Honda Supra) yang diparkir di depan rumah. Melihat tin dakan anarkis mereka, Asep menelpon kan tor Polsek, Koramil dan Kecamatan Banyure smi. Tidak lama setelah mendapat laporan, aparat keamanan Polsek Banyuresmi datang di lokasi. Melihat banyaknya massa, Polsek Banyuresmi meminta bantuan Polres Garut. Beberapa personil tentara dari Koramil Banyuresmi juga datang ke TKP membantu pengamanan. Melihat kedatangan aparat, para penyerbu melarikan diri. Sempat terjadi pengejaran terhadap mereka, namun tak seorang pun tertangkap. Polisi lantas melakukan penyi siran ke kampung-kampung untuk menang kap para pelaku peyerangan. Namun kepolisian kesulitan menangkap mereka, karena belum mempunyai bukti. Salah satu alasannya belum ada saksi yang melihat dengan jelas para pelaku. Meski demikian, polisi telah memanggil orangorang yang dicurigai, termasuk aktornya yang berinisial R. R dan kelompoknya, menurut informasi warga, telah lama dipantau pihak berwajib karena pernah aktif di NII. Mereka sekarang bergabung di salah satu ormas Islam beraliran Wahabi, yang hobi membid’ahkan amalan-amalan warga Nahdliyin. Sampai saat ini, Asep Rahmat dan keluar ganya belum kembali ke rumahnya, karena situasi masih mencekam. Bahkan beberapa penduduk masih mendapat teror kelompok yang dicurigai melakukan penyerbuan dan pengrusakan rumah Asep itu untuk tutup mulut. Untuk mengamankan situasi, pihak kepolisian mengevakuasi Asep dan keluar ganya ke Ponpes Najahan di Kecamatan Bayongbong Garut, asuhan KH. Ubun Bunyamin. Bersama KH. Bunyamin, Asep dan keluargan ya diajak ke Kantor PCNU Garut. Sebelum peristiwa penyer buan dan pengrusakan, ada selebaran yang ditulis Rohendi dan kawan-kawannya (mantan ak tivis NII), yang disebarluaskan ke
masyarakat di kampung Panjalu, Legokpeer, Legokpeer Kaler, Lampung dan Jamuren Desa Karyasari Kec. Banyuresmi Garut. Se lebaran itu menyatakan, ajaran Jama’ah Dzi kir Asmaul Husna al-Jabar itu sesat. Dalam selebaran itu disebutkan, Asep Rahmat mela rang shalat dan mengharuskan pengikutnya membayar Rp 2 juta untuk menebus dosa. Di sisi lain, orang tua Rohendi, Ahur, mene mui tokoh NII di Kec. Banyuresmi yang dike nal sebagai teman dekatnya, yaitu Rohman, yang tinggal di kampung Panjalu Ds. Karyasa ri Kec. Banyuresmi Garut, 5 km dari Kam pung Nyalindung (TKP). Ahur melaporkan pada Rohman perihal ajaran-ajaran Asmaul Husna al-Jabar yang dianggap sesat. Menda pat informasi Ahur, Rohman merespon deng an mengumpulkan para pengikutnya. Mere ka lantas meminta tanda tangan tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai kampung di Desa Karyasari Kec. Banyuresmi Garut yang akan digunakan untuk menindak Asep Rahmat. Karena merasa difitnah dan dicemarkan nama baiknya melalui selebaran, Asep Rah mat melaporkan Rohendi ke Kapolsek Banyu resmi. Polsek Banyuresmi lantas memanggil Rohendi. Ia datang ke Polsek didampingi keluarganya. Karena pemeriksa dari Polsek Banyuresmi ada tugas luar kantor, Rohendi dan keluarganya kembali lagi ke Kampung Nyalindung. Sepulang Rohandi dari Polsek, malam hari nya tiba-tiba segerombolan orang bert eriak-teriak pada warga Kampung Legokpeer. Mereka mengatakan, orang-orang Kampung Legokpeer tidak punya keberanian. Orang yang menyesatkan dibiarkan saja, tidak dit indak. “Kami sudah melakukan peyerangan dan menghancurkan rumah Asep Rahmat”, kata mereka. Menurut pengamatan Hoer, warga Kam pung Lampung Ds. Karya Sari Kec. Banyuresmi, peristiwa ini terjadi karena Rohman (tokoh NII) mer asa kehilangan pengikut. Seki tar 300 pengikutnya pindah mengikuti Asep Rahmat. Setelah ada kasus al-Qiyadah al-Islamiyah, Asep Rahmat malah diisukan oleh Rohman sebagai salah pengikut aliran yang telah disesatkan MUI ini.■ The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, edisi IV, November 2007 ■
5. Penolakan Pembangunan Pura Penataran Agung di Lombok Barat - NTB
P
enolakan terhadap pembangunan Pura Penataran Agung, di Dusun Kebaloan, Ds. Senaru Kec. Bayang, Kab. Lombok Barat, mulai merebak sejak Oktober 2007 lalu. Ini diawali dengan pembakaran dan peng rusakan alat-alat berat di lokasi pembangunan, pada Minggu (21/10/2007). Anarkisme ini diperkirakan bukan hanya dilakukan oleh masyarakat sekitar, tapi juga masyarakat Lom bok Timur dan Lombok Tengah. Sejak aksi pembakaran dan peng rusakan terjadi, muncul pro-kontra dari masyarakat, khususnya umat Islam di sana. Sejak berita pem bangunan pura ini berkembang di tengah masyarakat, terdapat in formasi simpang siur. Informasi per tama, sebenarnya tidak ada pembangu nan pura baru, tapi merenovasi pura yang sudah ada. Informasi kedua, akan diba ngun pura terbesar di Asia Tenggara. Menurut kelompok ini, lahan yang sudah dibebaskan sekitar 6 hektar dan akan diperluas bertahap. Guna menyikapi pembangunan pura ini, Senin (5/11/07), berlangsung pertemuan para tuan guru, Ormas Islam, dan OKP Islam se-Pulau Lombok, bertempat di Masjid Raya at-Taqwa Mataram. Inisitaif pertemuan be rasal dari MUI Propinsi NTB, yang juga ber kantor di sekretariat masjid ini. Hadir dalam pertemuan itu, Ketua MUI NTB Prof. Saiful Muslim MM, TGH. Hayyi Nu’man, Ketua DPD PBR NTB dari NW, TGH. Sofwan Ha kim dan TGH. Muharrar, keduanya pimpinan Ponpes Nurul Hakim, Kediri Lombok Barat. Hadir juga belasan tuan guru dari Kota Ma taram, Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Dalam pertemuan itu, lahir kesepakatan bersama, yang isinya menolak pembangunan Pura Penataran Agung Rinjani. Lalu para pe serta yang hadir diminta membuat pernyata an menolak pembangunan atas nama Ormas masing-masing yang ditujukan pada Gubernur NTB. Untuk meyakinkan peserta, dibagikan juga selebaran, termasuk denah pembangun an pura. The Wahid Institute
Tidak mau dianggap diam, Forum Keruku nan Umat Beragama (FKUB) juga meng adakan pertemuan di kantor Depag NTB, Kamis, (8/11/2007). Selain Ketua MUI NTB, hadir juga Kepala Depag NTB, HL. Suhaemi Ismy, Wakil Gubernur HB. Tamrin Rayes, TGH. Mustafa Umar, pimpinan Ponpes Ka pek Gunung Sari, Gede Mandya (PHDI) dan berbagai tokoh agama. Peserta menyepakati untuk menunda atau penghentian pemba ngunannya. Isu pro kontra pembangunan pura terus berlanjut di masyarakat Lom bok. Sebagian kelompok Islam menyatakan siap berjihad jika pembangunan pura dilanjutkan. Bahkan berkembang isu akan ada penyerangan di lokasi pembangunan, jika panitia pembangunan ngotot melak sanakan niatnya. Minggu, (10/11/07), bertempat di kantor Ds. Gondang Kec. Bayan, Lombok Barat, di adakan pertemuan antara tokoh Islam dan Hin du. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan mendukung surat keputusan Bupati Lombok Barat dan PHDI tentang pelarangan pembang unan Pura Penataran Agung Rinjani. Pemer intah daerahpun diminta membubarkan pani tia pembangunan lokal dan nasional. Menyikapi hal ini, Minggu (18/11/07), Rela wan Demokrasi (Redam) NTB mengundang beberapa tokoh muda, antara lain aktivis PMII Cab. Mataram, Lakpesdam NU Mataram dan aktivis Jaringan Islam Kampus (Jarik) Mata ram. Hasil pertemuan di kediaman Ketua Al iansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) L. Satria Wangsa SH itu, adalah meminta agar Gubernur NTB menyikapi secara serius pem bangunan pura ini. Menurut informasi, L. Satria Wangsa dan Ketua Redam L. Prima Wira Putra setelah itu menemui Gubernur NTB Drs. L. Srinata. Senin (19/11/2007) Gubernur NTB lantas mengundang pihak terkait, antara lain MUI, PHDI dan aparat keamanan untuk mengeluar kan keputusan pembubaran panitia pembang unan pura melalui SK Gubernur NTB.■
kasus-kasus bulan ini
■
Monthly Report on Religious Issues, edisi IV, November 2007
6. Pengajian Nurul Yaqin di Tengerang Diserang
E
ntah apa yang merasuki 100-an warga Kampung Enclek Sebrang, Desa Surya Bahari, Pakuhaji, Tengerang, Banten. Selasa (6/11/07), mereka menyerbu kelom pok Pengajian Nurul Yaqin yang ada di kam pung itu. Tak hanya itu, selain mengusir para jemaah pengajian, warga yang datang dari em pat desa sekitar membakar rumah dan meru sak kendaraan milik jemaah. Dalam sekejap, sebuah rumah berukuran 6 x 12 meter rata dengan tanah. Sebuah warung, sebuah mobil dan empat sepeda motor milik jemaah men jadi arang. Kejadian yang menimpa kelompok penga jian pimpinan H. Juhata ini lagi-lagi men jadi catatan buruk bagi cara-cara menyikapi perbedaan yang ada di tengah masyarakat. Betapa tidak, kedatangan para penye rang yang tiba-tiba dan tanpa proses dialog, itu sangat jauh dari sikap santun. Tak ayal, para jemaah pengajian yang tidak berdosa harus menerima berbagai keru gian baik moril maupun materiil. Sikap warga ini pun menjadi kepri hatinan bagi pihak kepolisian Resor Tangerang yang terjun menangani kasus ini. “Kami sesalkan warga yang main hakim sendiri”, kata Kepala Satuan Reserse Krimi nal Resor Tengrang, Ajun Komisaris Ade Ary Syam (Koran Tempo, 7/11/07). Namun rasa prihatin yang ditunjukkan pihak kepolisian ternyata tidak serta-merta diikuti sikap adil di lapangan. Alih-alih me nahan para pelaku penyerangan, 40 orang jemaah pengajian malah digiring ke Kantor Polsek Pakuhaji untuk diamankan. Sikap polisi, di satu sisi memang ingin menghindari amuk massa yang lebih besar, namun dengan cara menahan para jemaah pengajian yang nota bene korban, tentu saja ini menunjukkan sikap diskriminatif polisi. Meski akhirnya mereka dipulangkan, polisi tidak seharusnya membiarkan para pelaku penyerangan bebas tanpa proses hukum yang mestinya. Bagaima na polisi menjamin para korban terbebas dari rasa takut, jika peristiwa serupa terulang kem bali? Apa sesungguhnya pemicu keberingasan
warga Kampung Enclek Sebrang? Ini tak lain lantaran adanya dugaan penyebaran aliran se sat oleh H. Juhata melalui pengajian yang di selenggarakannya. Majelis ini diadakan sejak dua tahun lalu, seminggu dua kali, yang diha diri jemaah dari luar Kampung Enclek. Tidak ada yang istimewa dari pengajian ini. Materi yang diajarkan juga tidak mengganggu keterti ban umum atau menimbulkan permusuhan. Namun seperti kasus-kasus penyerangan se belumnya, materi yang diajarkan H. Juhata di tuduh meresahkan warga karena menyimpang dari ajaran Islam. Beberapa tuduhan penyimpangan itu, antara lain, H. Juhata mengajarkan shalat da’im (sha lat di mana saja dan kapan saja), mengganti lafal dzikir menjadi la ilaha illa ana (tiada Tu han selain Aku), dan menyempurnakan syahadat dengan puasa 27 hari. Warga lain menyebutkan, H. Juhata pernah mengaku shalat di bulan dan bisa mendatangkan tsunami. Secara tegas, tuduhan-tuduhan itu dibantah baik oleh H. Juhata mau pun para jemaahnya. Berbagai tuduhan yang dialamatkan pada pengajian Nurul Yaqin ini sama sekali tidak berdasar, karena masih sebatas dugaan. Para pengikut penga jian sendiri mengakui, yang diajarkan tidak berbeda dengan ajaran Islam pada umumnya. H. Juhata pun menganggap tuduhan-tuduhan itu sebagai fitnah. Sayangnya, bantahan itu tidak menyurutkan aksi penyesatan. MUI Kab. Tangerang bahkan mempertegas bahwa ajaran H. Juhata tidak sesuai al-Qur’an dan Hadis. Dalam sebuah pertemuan antara MUI Kab. Tangerang dan H. Juhata, lembaga ini menekan agar yang ber sangkutan menghentikan kegiatannya. Cara seperti ini memang acapkali kita saksikan di lakukan MUI untuk memaksakan kebenaran nya. Padahal itu belum tentu benar. MUI tidak pernah melihat bahwa pengajian ini punya program pemberdayaan ekonomi, dengan memberi uang pada setiap anggota nya Rp 1 juta untuk modal usaha. Untuk kepentingan ini, H. Juhata meminta jemaah menyetor iuran Rp 10 ribu setiap pekan, saat jadwal pengajian (Koran Tempo 8/11/07).■ The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, edisi IV, November 2007 ■
Analisis 1. Tidak berlebihan jika periode pelaporan ini disebut sebagai musim penyesatan. Hal ini, antara lain, ditandai semakin maraknya tuduhan sesat terhadap berbagai kelompok yang sebelumnya tidak dikenal. Di samping itu, kelompok-kelompok yang sudah divonis sesat sebelum pelaporan ini disusun, juga masih terus menjadi perbincangan publik. Sebut saja Ahmadiyah, yang hingga pelapo ran ini disusun masih terus mendapat in timidasi di berbagai daerah. Demikian juga kasus al-Qiyadah al-Islamiyah yang men capai puncaknya ketika pimpinannya, Ahmad Mushaddeq, menyatakan bertobat. 2. Sebagaimana analisis kami pada edisi sebelumnya (III), kini MUI, baik pusat maupun daerah kembali menunjuk kan dirinya sebagai kekuatan yang dianggap paling otoritatif untuk menentukan sesat tidak nya sebuah kelompok atau aliran keagamaan. Bahkan Presiden SBY, ke tika membuka Rakernas MUI menyatakan akan mengikuti fatwa MUI. Ini cukup iro nis, karena panduan kerja seorang presiden adalah konstitusi dan undang-undang, bu kan fatwa MUI. Pernyataan Presiden itu mengindikasikan betapa ia inferior berha dapan dengan MUI. 3. Menyangkut 10 pedoman identifikasi ke lompok sesat yang dikeluarkan MUI, ada beberapa hal yang layak dikomentari. Pertama, secara substansial banyak hal yang layak dipersoalkan. Ada kriteria yang sangat normatif, seperti rukun iman, rukun Is lam, dan otentisitas al-Qur’an. Pada tingkat ini, meski dalam beberapa aspeknya bisa
The Wahid Institute
dipermasalahkan, tapi ini mencerminkan arus utama keyakinan teologis Islam. Se jumlah kriteria yang lain juga sangat prob lemtis. Misalnya “melakukan penafsiran alQur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kai dah tafsir”. Ketentuan ini tidak cukup jelas maksudnya, karenanya bisa menimbulkan berbagai penafsiran. Tentu saja kami tidak menuntut ketentuan ini diperjelas, karena secara metodologis dan substansial memang problematis. Penafsiran terhadap al-Qur’an dan kaidah-kaidah (metodologi)-nya terus mengalami perkembangan. Justru karena perkembangan inilah al-Qur’an bisa senantiasa sesuai dengan perkem bangan zaman (shalihun li kulli zaman wa makan). Kedua, akibat yang paling mungkin muncul dari 10 pedoman itu adalah hadirnya “polisi swasta” dalam masyarakat yang akan dengan mu dah mengklaim sesat kelompok lain. Ini sangat potensial menciptakan ke resahan baru dalam kehidupan masyara kat. Kata “sesat” juga akan menjadi alat ko munikasi baru dalam masyarakat, yang jelas sangat tidak mendidik, karena kata “sesat” adalah alat komunikasi kekerasan. Ketiga, pada tingkat tertentu, 10 pedoman ini san gat potensial dijadikan alat menteror aktifit as berfikir umat Islam, baik teror yang mun cul dari luar maupun dari dalam. Teror dari luar muncul dari orang lain yang menggu nakan pedoman ini mengawasi pikiran dan tindakan orang lain. Teror dari luar ini akan menimbulkan ketakutan. Jika teror ini ma suk pada dunia akademik Islam, jelas sangat berbahaya, karena akan terjadi pembakuan dan pembekuan intelektualisme Islam.■
■
Monthly Report on Religious Issues, edisi IV, November 2007
Rekomendasi 1. Dalam kaitan MUI yang terus men geluarkan fatwa sesat dan telah memicu masyarakat untuk bertin dak sendiri, maka tidak berlibihan jika pemerintah meninjau kembali peran MUI. Sebagai lembaga yang mendapat kucuran dana dari APBN, apakah MUI layak melakukan pe nyesatan sehingga mendorong terjadinya kekerasan yang be rakibat terpecah-belahnya masyarakat? Bolehkah dana negara digunakan MUI untuk kepentingan sendiri dengan menyesatkan, memojokkan dan membiar kan sekelompok masyarakat diper lakukan tidak adil? Bolehkah MUI melakukan bisnis dengan menjual sertifikasi halal dan menarik dana dari Bank Syari’ah? Bagaimana peng gunaan dana tersebut? BPKP, BPK dan mungkin lembaga-lembaga anti korupsi seperti Corruption Wacth sudah waktunya melakukan audit terhadap penggunaan dana tersebut demi terjaganya demokrasi dan ke adilan. 2. Dalam kaitan penyesatan, pengka
10
jian juga perlu segera dilakukan ter hadap Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) yang belakangan ini “dihidupkan” kembali untuk memvonis suatu aliran sebagai sesat. Lembaga ini cukup problematis, jika dilihat dari struktur kenegaraan dan kewenangan yang dimiliki. Dari sisi struktur ketatanegaraan, lembaga yang dibentuk berdasarkan Su rat Keputusan Jaksa Agung No. KEP-108/JA/5/1984 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Ali ran Kepercayaan Masyarakat, se benarnya tidak jelas. Sementara, dasar hukum penindakan terhadap aliran-aliran dianggap sesat didasar kan pada UU No.1/PNPS/1965 ten tang Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Dalam praktiknya, Pakem menjadi super body yang bisa berfungsi sebagai polisi, jaksa, sekaligus hakim. Dalam Pakem itulah sebuah kelompok bisa divonis sesat, tanpa melalui proses peradilan yang fair.■ Rumadi, Alamsyah, Subhi Azhari, Ahmad Suaedy-Jakarta, Yongky-Lombok, Suhendy-Jawa Barat
The Wahid Institute