Masyarakat Adat Apakah Benar Bagian dari Nation State Indonesia? Oleh: Ricardo F. Nanuru Abstrak Nation State Indonesia memiliki keberagaman suku bangsa yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Hal ini sungguh disadari oleh Founding Fathers bangsa ini sehingga “Bhineka Tunggal Ika” dipakai sebagai dasar filosofis pemersatu beragam suku bangsa dan budaya di Indonesia. Salah satu keunikan dari keragaman suku bangsa itu ada dalam Masyarakat Adat yang semakin hangat dibicarakan belakangan ini. Tulisan ini akan membahas secara khusus eksistensi masyarakat adat di Indonesia, baik secara umum maupun kedudukannya dalam legitimasi hukum di nation state ini. Pembahasan ini sengaja dihadirkan untuk menjawab pertanyaan besar pada sub judul tulisan ini, yaitu apakah benar masyarakat adat adalah bagian dari nation state Indonesia? Dari pembahasan ini, didapati kesimpulan bahwa masyarakat adat masih merupakan merupakan bagian dari nation state Indonesia, terbukti dengan berbagai undang-undang yang mengaturnya. Sayangnya, kenyataan di lapangan seringkali tidak sesuai dengan amanat undang-undang yang ditetapkan. Dengan demikian kepentingan masyarakat adat di nation state Indonesia masih belum diakomodir secara baik. Kata-kata Kunci: Masyarakat Adat, Nation State, Indonesia, Undang-Undang.
Pendahuluan Para pendiri negara (founding fathers) NKRI menyadari akan keberagaman suku bangsa yang dihimpun menjadi suatu negara bangsa ketika itu. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” secara filosofis menunjukkan pengakuan dan penghormatan Bangsa Indonesia atas keberagaman dan menunjukkan adanya kesadaran bahwa keberagaman tersebut dipandang sebagai suatu “energi sosial”. Keberagaman ini bisa dilihat dalam realitas berbagai kelompok masyarakat di seluruh nusantara yang juga bermuara pada perbedaan adaptasi interaksi suatu kelompok masyarakat terhadap ekosistem lokalnya yang melahirkan kearifan lingkungan dan “mode of production”
yang berbeda satu sama lain. Keberadaan berbagai kelompok-kelompok masyarakat tersebut sebagai salah satu pelaku sejarah penyusun bangsa bisa ditelusuri dalam berbagai dokumen sejarah, produk hukum dan perangkat peraturan lainnya. Pengakuan atas keberadaan kelompokkelompok masyarakat yang beragam cukup banyak disebutkan dalam berbagai produk hukum dan perangkat peraturan lainnya secara eksplisit maupun implisit seperti; (a) Penjelasan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bagian Penjelasan Sepasal Demi Sepasal, Bab VI, Pasal 18; (b) UU Pokok Agraria No. 5/1960; (c) UU Pokok Kehutanan No. 5/1967; (d) UU No. 11/1974 Tentang Irigasi (e) Ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998
Tentang Hak Asasi Manusia yang Pelaksanaannya dilengkapi dengan UU HAM No. 39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia.1 Kelompok-kelompok masyarakat ini secara sosial memiliki keunikan, terutama dalam hubungan dengan sumbersumber agraria, dalam hal sistem nilai yang dianut, mitos serta asal-usul. Suku bangsa Sunda, misalnya, dapat dikategorikan sebagai suatu suku bangsa yang cakupan geografis sebaran masyarakatnya mencakup seluruh belahan Jawa Barat, masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda, dan pada umumnya memeluk agama Islam. Namun suku Naga dan Badui, meski merupakan bagian dari suku bangsa Sunda, jelas memiliki keunikan dari segi kepercayaan dan hubungan dengan tanah dan sumberdaya alam sekitarnya bila dibandingkan dengan orang Sunda pada umumnya. Bila Islam telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Sunda umumnya, maka kepercayaan suku Naga lebih menyerupai kepercayaan asli (buhun) seperti kepercayaan marapu di Sumba, atau kaharingan di Kalimantan. Suku dan subsuku bangsa atau kelompok-kelompok masyarakat tersebut biasanya hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah, memiliki kedaulatan atas tanah dan sumberdaya alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Kelompok seperti ini memang diakui dan disebutkan dalam Penjelasan UUD 45 tentang selfbesturende landschappen dan selfbesturende gemainschappen seperti Nagari di 1
lht. Maria Rita Ruwiatuti, 1998, Penghancuran Hak Masyarakat Adat Atas Tanah: Sistem Penguasaan Tanah, Sengketa dan Politik Hukum Agraria, Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria, h.17
Sumatera Barat, Binua di Kalimantan, Marga di Sumatra Selatan, Desa di Jawa, Lembang di Toraja.2 Praktek politik penyeragaman sesungguhnya telah berlangsung sejak Indonesia merdeka. Dalam masa rejim Orde Lama, dapat dilihat upaya penyeragaman ini dalam indoktrinasi dan pemaksaan demokrasi terpimpin, sebagai upaya mempertahankan paham negara integralistik. Kelompok-kelompok masyarakat seperti ini telah menjadi salah satu pihak yang paling banyak dirugikan oleh politik penyeragaman terlebih oleh politik pembangunan selama tiga dasawarsa terakhir, baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan budaya. Negara, khususnya selama masa rezim Orde Baru, memandang kenyataan keberagaman ini sebagai potensi konflik dan karena itu perlu ada penyeragaman. Politik penyeragaman ini dengan jelas terlihat lewat penerapan UU Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Taman Nasional, Kawasan Konservasi, Kawasan Hutan Negara, Pemaksaan Asas Tunggal bagi organisasi-organisasi, dan selama masa Orde Baru, misalnya, kita melihat bahwa hanya boleh ada lima agama yang keberadaannya diakui oleh pemerintah. Walaupun kelompok-kelompok masyarakat seperti ini masih banyak dijumpai di Indonesia, namun faktanya dalam proses pengambilan keputusan politik dan pembuatan kebijakan nasional eksistensinya belum cukup terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari agenda politik 2
Hal ini dibahas oleh Kristiano Atok dalam pengantar diskusi Bagaimana memperluas partisipasi masyarakat lokal dalam sistem demokrasi untuk mencapai pemerintahan lokal yang baik di era otonomi? yang diselenggarakan Institute For Research And Empowerment (IRE), 2003 di Yogyakarta.
nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat dengan gamblang dari berbagai produk peraturan perundang-undangan di Indonesia. UU Pokok Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perikanan, UU Transmigrasi dan UU Penataan Ruang telah menjadi instrumen penguasa untuk mengambil alih sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Masyarakat adat/masyarakat lokal adalah pihak-pihak yang paling banyak menderita akibat kebijakankebijakan negara sejak Indonesia merdeka. Politik Orde Lama dan politik pembangunan yang dikembangkan oleh rezim Orde Baru. Di bidang ekonomi ditemukan berbagai kebijakan dan hukum yang secara sepihak menetapkan alokasi dan pengelolaan sumberdaya alam yang sebagian besar berada di dalam wilayahwilayah adat, di bawah kekuasaan dan kontrol pemerintah (pemerintah vs MA, ada datanya tidak) Berbagai peraturan perundangan sektoral, khususnya yang dikeluarkan selama pemerintahan otoriter Orde Baru Soeharto dan Habibie seperti Undang-Undang (UU) Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perikanan, UU Transmigrasi dan UU Penataan Ruang, telah menjadi instrumen utama untuk mengambil alih sumber-sumber ekonomi yang dikuasai masyarakat adat dan kemudian pengusahaannya diserahkan secara kolusif dan nepotistik kepada perusahaan-perusahaan swasta yang dimiliki oleh segelintir elit politik dan kroni-kroninya. Politik sumberdaya alam yang sangat tidak adil ini, telah menimbulkan konflik berdimensi kekerasan yang diwarnai oleh pelanggaran hak azasi manusia di seluruh pelosok Nusantara. Di bidang politik, bila dibandingkan dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, masyarakat adat menghadapi situasi yang lebih sulit lagi.
Khususnya dengan penerapan politik penghancuran sistem pemerintahan adat secara sistematis dan terus menerus. Upaya ini secara gamblang bisa dilihat dari pemaksaan konsep desa yang seragam di seluruh Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Desa dengan segala perangkatnya secara “konstitusional” menusuk “jantung” masyarakat adat, yaitu menghancurkan sistem pemerintahan adat dengan akibat kemusnahan kemampuan masyarakat adat untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri. Masuknya konsep desa tersebut ke tengah masyarakat adat, telah mengubah secara paksa bentuk pengambilan keputusan yang ada di antara institusi-institusi adat hingga tersisa pada peran seremonial sematamata. Kehancuran sistem-sistem adat ini menjadi lebih diperparah lagi dengan kebijakan militerisasi kehidupan pedesaan lewat konsep pembinaan teritorial TNI dengan masuknya Bintara Pembina Desa (BABINSA) sebagai salah satu unsur kepemimpinan desa. Dengan kebijakankebijakan ini bisa dikategorikan bahwa negara telah melakukan pelanggaran hakhak sipil dan politik masyarakat adat selama lebih darim 30 tahun. Dalam kondisi politik ekonomi yang hanya mengakomodasikan kepentingan segelintir elit kekuasaan dan pengusaha-pengusaha kroninya ini, hukum yang diproduksi oleh negara semata-mata dibuat untuk mengamankan kepentingan kekuasaan sehingga menimbulkan ketidak-adilan hukum terhadap masyarakat adat. Pertama, kebijakan-kebijakan hukum itu sendiri sudah bias dengan semangat penyeragaman, bias formalitas, dan bias hukum positif, yang secara budaya tidak berakar pada prinsip-prinsip hukum sebagaimana yang dikenal dalam sistem sosial dan sistem budaya masyarakat adat di seluruh nusantara. Kedua, berbagai
produk hukum yang mengatur atau berhubungan dengan hak-hak masyarakat adat dibuat saling kontradiktif satu sama lain, dan sebagian lainnya dibuat mengambang (tidak jelas), sehingga tidak memungkinkan adanya kepastian hukum yang bisa memberikan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat. Dengan kondisi ketidak-pastian hukum ini, elit kekuasaan bisa melakukan intervensi terhadap proses hukum apabila dianggap mengancam kepentingannya dan kroninya. Permasalahan yang demikian kompleks ini menunjukkan adanya ketidak-patutan dalam hubungan dan posisi antara Negara dengan Masyarakat Adat, sehingga menyebabkan terjadinya pengambil-alihan hak dan kedaulatan mengelola diri sendiri masyarakat adat yang dilakukan oleh negara tanpa melalui proses politik yang adil dan demokratis. Masyarakat adat, yang memang secara geografis hidup di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat-pusat kekuasaan, telah menjadi objek politik. Tidak ada pilihan lain bagi masyarakat adat untuk memperbaiki posisi dan hubungannya dengan institusi-institusi negara selain mengorganisir kekuatannya sebagai bagian dari masyarakat madani yang bercita-cita menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis di Indonesia. Pembahasan 1.
Pengertian
Menyebut masyarakat adat, yang ada di pikiran orang biasanya adalah sekelompok kecil masyarakat, penduduk asli dari sebuah negara atau daerah, orangorang pinggiran yang hidup di hutan, padang pasir, kutub, masyarakat tertindas,
atau mereka yang budayanya berbeda dari masyarakat umum di sekitarnya.3 Pandangan di atas ada benarnya. Namun dalam kenyataannya sangat rumit menentukan siapakah masyarakat adat itu. Tiap negara memiliki pemahaman dan pandangan yang berbeda, yang menyebabkan berbeda pula dalam menghadapi dan memperlakukan masyarakat adat di negaranya. Bahkan ada beberapa negara yang tidak mengakui keberadaan masyarakat adat di negaranya. Di Indonesia, kata “masyarakat adat” merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris Indigenous Peoples. Ada juga yang mengartikan sebagai masyarakat asli atau penduduk asli. Tapi istilah masyarakat asli atau penduduk asli jarang dipakai dalam konteks “masyarakat adat”, karena terlalu umum dan kurang tepat untuk menggambarkan keadaan sesungguhnya. Siapa yang bisa menjamin keaslian suatu komunitas? Menurut Wikipedia berbahasa Indonesia, Masyarakat Adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia untuk paling tidak merujuk kepada empat jenis masyarakat asli yang ada di dalam negara-bangsa (nation state) Indonesia. Dalam ilmu hukum dan teori secara formal dikenal Masyarakat Hukum Adat, tetapi dalam perkembangan terakhir, masyarakat asli Indonesia menolak dikelompokkan sedemikian mengingat perihal adat tidak hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan. biasanya yang disebut sebagai masyarakat adat adalah: a) penduduk asli (Melayu: orang asli), b) kaum minoritas, c) kaum termaginal atau tertindas karena identitas mereka yang berbeda dengan identitas yang dominan disuatu negara 3
Hasan Basri, Masyarakat Adat Dalam Isu Global, http://hasanbasri08.laros.or.id, diakses tanggal 27 Desember 2010.
atau wilayah. Dengan kata lain, masyarakat adat adalah masyarakat pribumi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa secara praktis dan untuk kepentingan memahami dan memaknai Deklarasi ini di lapangan, maka kata "masyarakat adat" dan "masyarakat/penduduk pribumi" digunakan silih berganti dan mengandung makna yang sama. Pandangan yang sama dikemukakan dalam merangkum konsep orang-orang suku dan populasi/orangorang asli dari Departemen Urusan Sosial Ekonomi PBB dengan merujuk kepada Konvensi ILO 107 (1957) dan 169 (1989).4 Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan masyarakat adat di sini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya. Batasan ini mengacu pada "Pandangan Dasar dari Kongres I Masyarakat Adat Nusantara" tahun 1999 yang menyatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitaskomunitas yang hidup berdasarkan asalusul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat. 2.
Realitas Sosial Budaya
Dari realitas sosial-budaya yang ada di Indonesia, keberadaan entitas masyarakat adat ternyata cukup beragam, serta memperlihatkan dinamika perkembangan yang bervariasi. Secara garis besar, entitas masyarakat adat tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 4 4
http://id.wikipedia.org, Masyarakat Adat, diakses tanggal 27 Desember 2010.
tipologi; Pertama, adalah kelompok masyarakat lokal yang masih kukuh berpegang pada prinsip “pertapa bumi” dengan sama sekali tidak mengubah cara hidup seperti adat bertani, berpakaian, pola konsumsi, dan lain-lainnya. Bahkan meraka tetap eksis dengan tidak berhubungan dengan pihak luar, dan mereka memilih menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya dengan kearifan tradisonal mereka. Entitas kelompok pertama ini, bisa dijumpai seperti komunitas To Kajang (Kajang Dalam) di Bulukumba, dan Kanekes di Banten; Kedua, adalah kelompok masyarakat lokal yang masih ketat dalam memelihara dan menerapkan adat istiadat, tapi masih membuka ruang yang cukup bagi adanya hubungan “komersil” dengan pihak luar, kelompok seperti ini bisa dijumpai, umpamanya pada komunitas Kasepuhan Banten Kidul dan Suku Naga, kedua-duanya berada di Jawa Barat; Ketiga, entitas masyarakat adat yang hidup tergantung dari alam (hutan, sungai, gunung, laut, dan lain-lain), dan mengembangkan sistem pengelolaan sumberdaya alam yang unik, tetapi tidak mengembangka adat yang ketat untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman jika dibandingkan dengan masyarakat pada kelompok pertama dan kedua tadi. Komunitas masyarakat adat yang tergolong dalam tipologi ini, antara lain Dayak Penan di Kalimantan, Pakava dan Lindu di Sulawesi Tengah, Dani dan Deponsoro di Papua Barat, Krui di Lampung, dan Haruku di Maluku; Keempat, entitas masyarakat adat yang sudah tercerabut dari tatanan pengelolaan sumberdaya alam yang “asli” sebagai akibat dari penjajahan yang telah berkembang ratusan tahun. Masuk dalam kategori ini adalah Melayu Deli di Sumatra Utara, dan Betawi di Jabotabek. (Sirajudin, 2008: 30-31)
Realitas seperti pengelompokkan tipologi masyarakat adat tersebut, sampai sekarang juga masih banyak dijumpai di berbagai wilayah di Sulawesi Tengah. Misalnya, Taa Wana, Daa, Kahumamaun, Mansama, Laudje, Tajio, Bolano, Bajo, Kulawi,Bada, Rampi, dan banyak lagi. Dari daftar numerasi di Depdagri, diketahui bahwa Sulawesi Tengah termasuk urutan ketiga setelah propinsi Papua dan NTT dalam hal jumlah kelompok etno-linguistik. Dari studi etnolog yang dilakukan Barbara Grimes, setidaknya lebih dari 20 kelompok etnolinguistik yang berbeda terdapat di Sulawesi Tengah. Tetapi, tidak semua kelompok etno-linguistik tersebut dapat dikategorikan sebagai masyarakat adat. Sebab, pendefinisian masyarakat adat harus merujuk kedalam 4 tipologi yang telah disebutkan sebelumnya (Sirajudin, 2008: 32) Berangkat dari realitas tersebut tadi, sebenarnya, tidak ada alasan bagi pemerintah kita untuk tidak mengakui eksistensi masyarakat adat, secara politik maupun hukum. Namun sayangnya, penantian untuk adanya pengakuan secara politik dan hukum secara gencar baru terasa pasca bergulirnya reformasi. Termasuk dalam perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar 1945, dalam bentuk amandemen yang ketiga dan keempat. Bahkan jauh sebelumnya, sebanarnya telah ada UU Pokok Agraria tahun 1960 yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soekarno. Tapi, sayangnya lagi, UU Pokok Agraria tidak banyak bermakna bagi keberadaan masyarakat adat di Indonesia. 3.
Legitimasi Hukum Masyarakat Adat
Terhadap
Pengertian masyarakat adat sendiri menimbulkan perdebatan. Dalam
pandangan hukum, masyarakat hukum adat diartikan sebagai masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah yang mempunyai kelembagaan penguasa adat dan pranata hak-hak tradisional yang ditaati dan dipertahankan secara turun temurun. Pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adapt merupakan amanat Konstitusi. Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Amanat konstitusional ini merupakan landasan bagi pemerintah dalam mengatur "keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat" di dalam suatu undang-undang. Namun, UUD 1945 menegaskan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat yang diakui dan dihormati oleh negara, dan perlu diatur di dalam undang-undang, harus memenuhi tiga persyaratan yuridis, yakni: 5 Pertama: "sepanjang masih hidup", artinya bila kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionainya ternyata masih hidup, yakni memiliki sistem nilai adat, memiliki lembaga adat, memiliki pemangku adat, memiliki anggota komunitas adat, dan memiliki kejelasan teritori pemberlakuannya, dan nilai-nilai adat tersebut digunakan sebagai pengatur sikap dan perilaku masyarakatnya, maka "kesatuan masyarakat hukum adat tersebut harus dihormati dan diakui oieh negara". Contoh: Nagari di Minangkabau, Gampong di Nanggroe Aceh Darussalam, 5
hal ini disampaikan oleh Dirjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa – Depdagri mewakili Menteri Dalam Negeri dalam pidato pembukaan Sarasehan Pemdeskel, Juli 2006.
Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, serta Negeri di Maluku. Kedua: "sesuai dengan perkembangan masyarakat”, artinya bila sistem nilai adat yang berlaku di dalam suatu komunitas adat ternyata masih dihormati dan diakui oleh segenap warga komunitasnya (secara internal), serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial yang dianut oleh masyarakat luas (secara eksternal), maka nilai-nilai adat tersebut harus dijaga dan dilestarikan, serta wajib dihormati dan diakui oleh komunitas lainnya tatkala berada dalam kehidupan komunitas adat tersebut. Contoh: Bagi masyarakat Minangkabau yang menganut sistem "matrilinial", dan sejauh norma adat ini ternyata tidak bertentangan dengan norma sosial pada komunitas adat lainnya, maka masyarakat hukum adat lainnya harus menghormati sistem nilai "matrilinial" tersebut. Ketiga: "sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Rapubiik Indonesia", yakni bila sistem nilai adat pada suatu komunitas adat tertentu ternyata dapat diterima dan dihormati oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, serta tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana sistem nilai adatnya tidak memecah belah persatuan dan kesatuan nasional, maka sistem nilai adat istiadat tersebut wajib dihormati dan dijaga kelestariannya oleh negara dan perlu diatur di dalam undang-undang. Sebelum amandemen terhadap UU Dasar 1945, TAP MPR No.XVII/1998 tentang Hak Azasi Manusia (HAM) terlebih dahulu memuat ketentuan tentang pengakuan atas hak masyarakat adat. Dalam pasal 41 Piagam HAM yang menjadi bahagian talk terpisahkan dari TAP MPR itu, ditegaskan ; “Identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”. Dengan
adanya pasal ini, maka hak-hak dari amsyarakat adat yang ada, ditetapkan sebagai salah satu hak asasi manusia yang wajib dihormati, dan salah satu hak itu menurut pasal ini adalah hak atas tanah ulayat. Bahkan dalam TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan PSDA, hak-hak masyarakat adat tersebut tidak hanya sebatas hak atas tanah ulayat, tetapi juga menyangkut sumberdaya agraria/sumberdaya alam, termasuk keragaman budaya dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Hal itu termaktub dalam pasal 4, bahwa ; “Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip: mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam”. Secara umum, TAP MPR No.IX/2001 itu, lahir karena situasi empirik pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik, eksploitatif, memiskinakan rakyat (termasuk masyarakat adat) dan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan, serta kerusakan lingkungan hidup yang massif. Karena itu, TAP MPR ini, mengamanahkan agar dilakukannya pembaharuan agraria oleh pemerintah dalam hal pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan prinsip-prinsip penghargaan atas HAM, demokratisasi, transparansi, dan partisipasi rakyat, keadilan penguasaan dan kepemilikan, serta pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Pada tingkatan UndangUndang, UUPA No. 5/1960 adalah produk hukum yang pertama kali menegaskan pengakuannya atas hukum adat. Ketentuan ini bisa dilihat pada pasal 5 yang menyebutkan bahwa: “Hukum
agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang didasarkan atas persatuan bangsa”. Pasal 5 ini merupakan rumusan atas kesadaran dan kenyatan bahwa sebagian besar rakyat tunduk pada hukum adat, sehingga kesadaran hukum yang dimiliki Bangsa Indonesia adalah kesadara hukum berdasarkan adat. Hanya saja Memang semangat UU ini, dikemudian waktu banyak dibelakangi, karena pergeseran politik ekonomi dan hukum agraria. Kendati demikian, UU ini hingga sekarang masih menjadi hukum yang positif yang mengatur mengenai agraria. Karenanya masih menjadi alat legal dalam memperkuat hak-hak komunitas adat. Namun seiring dengan arus reformasi, kesadaran terhadap pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat menjadi salah satu isu politik yang mengemuka. Sejumlah Undang-Undang telah diproduk menyertai UUPA, seperti yang akan diuraikan dibawah ini. Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang HAM ini, boleh dibilang sebagai operasionalisasi dari TAP MPR XVII/1998 yang menegaskan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Hak Asazi Manusia. Pasal 6 UU No.39/1999, menyebutkan: 1.
2.
Dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. Indentitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman.
Penjelasan pasal 6 ayat (1) UU ini menyatakan bahwa “hak adat” yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi
di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundangan-undangan. Sedangkan penjelasan untuk ayat (2) dinyatakan bahwa dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Lebih jauh, pasal 6 UU HAM ini sesungguhnya menegaskan pula keharusan bagi hukum, masyarakat dan pemerintah untuk menghargai kemajemukan identitas dan nilai-nilai budaya yang berlaku pada komunitas adat setempat. Pengingkaran terhadap kemajemukan tersebut, misalnya melakukan penyeragaman (uniformitas) nilai terhadap mereka merupakan suatu pelanggaran HAM, apalagi jika pengingkaran tersebut disertai tindakantindakan pelecehan, kekerasan atau paksaan. Sudah tentu tindakan demikian bias dikategorikan kejahatan serius dan berat, sehingga memung-kinkan untuk diselesaikan di pengadilan HAM. UndangUndang lain yang juga mengatur hak-hak masyarakat hukum adat adalah UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. UU ini bahkan mengakui adanya wilayah masyarakat hukum adat, seperti dinyatakan dalam pasal 1 angka 6: “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Sayangnya, pasal ini masih belum menunjukkan pengakuan hak komunitas adat atas sumber daya alam dalam wilayahnya, karena ternyata hutan adat masih diklaim sebagai hutan negara,
seperti dipertegas lagi dalam pasal 5 ayat (2), bahwa: “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat”; dan bahwa “Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (pasal 1 angka 4).
b.
Untungnya, pasal 4 ayat (3) memberikan rambu-rambu kepada penyelenggara negara terutama bagi otoritas kehutanan agar tetap memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat. Pasal ini menyatakan: “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. Penjelasan pasal 5 ayat (1) juga menguraikan: “Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya… Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan.”
Lantas, bagaimana membuktikan masyarakat hukum adat tersebut pada kenyataannya masih ada? Dan melalui apa pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat tersebut diupayakan sehingga hakhaknya dapat ditegakkan? Untuk pertanyaan yang terakhir, pasal 67 ayat (2) menyebutkan: “Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Sedangkan untuk pertanyaan pertama, penjelasan pasal 67 ayat (1), memberikan gambaran sebagai berikut:“Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
Dengan demikian, kemungkinan pengakuan hak masyarakat hukum adat untuk melakukan pengelolaan hutan adatnya masih sangat terniscayakan. Hal ini dipertegas dalam pasal 67 ayat (1) bahwa : “Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak:
e.
a.
melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan seharihari masyarakat adat yang bersangkutan;
c.
a. b. c. d.
melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya”.
masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; ada wilayah hukum adat yang jelas; ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari”.
Berbeda dengan UU sebelumnya yang menegaskan hak-hak masyarakat hukum adat dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam sesuai identitas dan kekhasan budaya, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, lebih tertuju pada penegasan hak-hak masyarakat hukum adat untuk mengelola
sistem politik dan pemerintahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat. Pasal 203 ayat (3), umpamanya menyebutkan: “Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”. Pasal ini sekaligus memberi makna bahwa masyarakat hukum adat sesuai perkembangannya dapat mengembangkan bentuk persekutuannya menjadi pemerin-tahan setingkat desa sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 202 ayat (1): “Desa yang dimaksud dalam ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di Sumatera Barat, Gampong di provinsi NAD, Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku”. Berdasarkan pemaparan di atas, menjadi jelas bahwa pengakuan terhadap masyarakat adat di nation state Indonesia telah di atur dalam undang-undang. Namun kenyataannya sungguh sangat disayangkan, karena seringkali terjadi masyarakat adat mendapatkan peran bagian yang termarjinalisasi dalam struktur konsep pembangunan di Indonesia dan mendapatkan pembedaan dari kelompok masyarakat Indonesia pada umumnya. Penutup Memahami nilai-nilai budaya lokal tidak bisa dipisahkan dari kondisi pemilik dan pengguna utamanya, yaitu masyarakat adat. Mereka adalah satu satu kelompok utama penduduk negeri ini yang paling banyak menderita (dirugikan) dari segi nilai materil dan spritual atas penerapan politik pembangunan yang selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir. Penindasan
terhadap masyarakat adat ini terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan budaya lainnya. Kondisi ini menjadi demikian ironis karena pada kenyataannya masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur negara–bangsa (nation-state) Indonesia. Hanya saja bangunan "negara-bangsa" yang majemuk (Bhinneka Tunggal Ika) sebagaimana digagas oleh Para Pendiri ini telah dihianati begitu saja oleh para penerusnya, yaitu dengan merampas secara sistematis hak-hak masyarakat adat yang merupakan struktur dasar "negara-bangsa" yang majemuk. Namun dalam hampir semua keputusan politik nasional, eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses-proses dan agenda politik nasional. Dengan berbagai kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah, negara secara tidak adil dan tidak demokratis telah mengambil-alih hak asal usul, hak atas wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem nilai, ideologi dan adat istiadat, hak ekonomi, dan yang paling utama adalah hak politik masyarakat adat. Perangkatperangkat kebijakan dan hukum diproduksi untuk memaksakan uniformitas dalam semua bidang kehidupan. Kedaulatan negara ditegakkan secara represif dengan mengabaikan kedaulatan masyarakat adat untuk mengatur dan mengembangkan kemandirian kultural dan politik di dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di bidang ekonomi ditemukan berbagai kebijakan dan hukum yang secara sepihak menetapkan alokasi dan pengelolaan sumberdaya alam yang sebagian besar berada di dalam wilayahwilayah adat, di bawah kekuasaan dan kontrol pemerintah. Berbagai peraturan
perundangan sektoral, khususnya yang dikeluarkan selama pemerintahan otoriter Orde Baru Soeharto dan Habibie seperti Undang-Undang (UU) Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perikanan, UU Transmigrasi dan UU Penataan Ruang, telah menjadi instrumen utama untuk mengambil-alih sumber-sumber ekonomi yang dikuasai masyarakat adat dan kemudian pengusahaannya diserahkan secara kolusif dan nepotistik kepada perusahaan-perusahaan swasta yang dimiliki oleh segelintir elit politik dan kroni-kroninya. Berhembusnya angin "reformasi" sampai hari ini juga tidak merubah kebijakan dan hukum dalam pengelolaan sumberdaya alam. Energi dan kekuasaan yang dipegang oleh para pemimpin lembaga penyelenggara negara yang dipilih secara demokratis, yang mestinya digunakan untuk mengganti total peraturan per-Undang-Undangan-an peninggalan Orde Baru, justru lebih sibuk mengurus dirinya sendiri dan saling menjatuhkan satu sama lain. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang memiliki fungsi legislasi yang kuat, boleh dikatakan belum melakukan kewajibannya, khususnya yang berkaitan dengan legislasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan penataan sistem politik nasional ke arah demokrasi yang partisipatif (participatory democracy). Perkembangan "reformasi" seperti ini tetap saja tidak memberikan "ruang" bagi sistem-sistem lokal untuk bekerja mengatur dirinya dan mengelola sumberdaya dan keanekaragaman hayati sesuai dengan prinsip-prinsip kearifan tadisional. Berdasarkan kenyataan-kenyataan ini timbul pemikiran penulis apakah bedanya nation state Indonesia dengan penjajah di zaman dahulu? Bahkan meminjam bahasa Rikardo Simarmata
dalam bukunya Pengakuan Hukum Bagi Masyarakat Adat di Indonesia, ia menyatakan bahwa ternyata Pemerintah Hindia Belanda mempunyai sikap yang lebih bersahabat terhadap keberadaan masyarakat adat pada masa itu. Pengakuan secara formal pun diberikan kepada masyarakat adat seperti yang tertuang dalam pasal 11 Algemeene Bepalingen van Wetgeving (AB) tahun 1848. Pengakuan ini diikuti oleh Regerings Reglement (RR) tahun 1854, dan pengakuan selanjutnya menurut buku ini adalah pada tahun 1924 oleh pasal 234 ayat (2) IS yang menjadi tonggak penggunaan istilah Adatrecht. Terhadap peradilan adat (inheemse rechtspraak), pemerintah Hindia Belanda ternyata memberikan apresiasi tersendiri, yaitu dengan memberikan pengakuan tertulis di pasal 130 IS dan pasal 3 Ind.Staadblad 1932 nomor 80 yang mengatur tentang peradilan adat yang ada di Jawa dan Madura, dan untuk daerah lain diberi keleluasaan untuk menggunakan hukum adatnya masing-masing. Pemerintah Hindia Belanda tidak hanya memberi pengakuan terhadap hukum adat dan peradilan adat saja, tetapi hak-hak masyarakat adat atas tanah ternyata mendapat pengakuan dan pengaturan seperti pada ketentuan pasal 62 RR dan Agrarische Wet 1870 (Simarmata, 2006: 39). Kenyataan-kenyataan riil yang terjadi di nation state Indonesia inilah yang kiranya harus diperhatikan oleh Pemerintah ke depan, jika tidak ingin terjadi bahaya-bahaya laten seperti pemberontakan dan disintegrasi. Pemerintah haruslah menghindari cara pandang terhadap masyarakat sebagai masyakat yang kolot dan lapuk, sistem nilai yang irasional, dan anggapan bahwa mereka tidak mampu mengikuti perubahan. Kajian ini diakhiri dengan
harapan kiranya setiap orang yang mengaku sebagai bagian dari nation state Indonesia tidak menutup mata dan membiarkan praktek-praktek ketidakadilan
terus terjadi terhadap Masyarakat Adat di Indonesia karena mereka adalah juga “anak kandung” Republik ini.
Pustaka Atok Kristiano, 2003, Bagaimana Memperluas Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Sistem Demokrasi Untuk Mencapai Pemerintahan Lokal Yang Baik di Era Otonomi? (makalah), Yogyakarta: Institute For Research And Empowerment (IRE). Ruwiatuti, Maria Rita, 1998, Penghancuran Hak Masyarakat Adat Atas Tanah: Sistem Penguasaan Tanah, Sengketa dan Politik Hukum Agraria, Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria. Simarmata Rikardo, 2006, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP & RIPP. Sirajudin, Azmi AR, 2008, Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Hukum Nasional, Yogyakarta: LKiS. Ma’ruf, H, Moh, (Mendagri), 2006, Menggagas Desa Masa Depan (Arsip Sambutan), Jakarta: DRSP-USAID, Ditjen PMD dan FPPD. Undang – Undang dan Ketetapan MPR RI: Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Jakarta: 24 September 1960. Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999 Tentang: Hak Asasi Manusia, Jakarta: 23 September 1999. Undang-Undang RI No. 32 Tentang: Pemerintahan Daerah, Jakarta: 15 Oktober 2004 TAP MPR RI No. XVII /MPR/1998 Tentang: Hak Asasi Manusia, Jakarta: 13 November 1998. TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 Tentang: Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, Jakarta: 9 November 2001. Internet: Hasan Basri, Masyarakat Adat Dalam Isu Global, http://hasanbasri08.laros.or.id, diakses tanggal 27 Desember 2010. http://id.wikipedia.org, Masyarakat Adat, diakses tanggal 27 Desember 2010.