Konservasi Tanah Menghadapi Perubahan Iklim
| 83
4. TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DAN SUMBANGANNYA TERHADAP MITIGASI GAS RUMAH KACA
M asw ar dan Ai Dariah Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah
Pendahuluan Lahan gambut bagi Indonesia memiliki nilai yang sangat penting karena menyediakan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, menyimpan dan mensuplai air, menyimpan karbon, dan merupakan habitat bagi keanekaragaman hayati dengan berbagai jenis flora dan fauna langka yang hanya ada dijumpai pada ekosistem ini. Sejalan dengan meningkatnya pertambahan penduduk dan keterbatasan ketersediaan lahan untuk pengembangan berbagai sektor, seperti pertanian dan perkebunan untuk memenuhi ketahanan pangan, hutan tanaman industri (HTI) untuk industri kertas, maupun untuk pemukiman penduduk dan infrastruktur lainnya, menyebabkan pilihan mulai diarahkan pada lahan gambut. Meskipun lahan gambut memiliki fungsi yang sangat strategis, namun karena Indonesia adalah produsen sekaligus konsumen utama untuk komoditi kayu, industri kertas, dan kelapa sawit dunia, menyebabkan alih fungsi atau reklamasi disertai pembuatan drainase lahan gambut alami di Indonesia tidak dapat dihindari. Alih fungsi lahan gambut telah terjadi semenjak beberapa dekade terakhir dan masih terus berlangsung sampai sekarang. Akibat dari konversi secara masif lahan gambut terus terjadi, menyebabkan Indonesia telah kehilangan hampir setengah dari tutupan vegetasi alami lahan gambutnya. Menurut Balitbangtan (2013), pada kondisi tahun 2012 hanya sekitar 8,8 juta hektar (55,5%) hutan gambut alami Indonesia yang masih tersisa. Akibat eksploitasi hutan di lahan gambut alami yang tidak mengindahkan kaidah konservasi, telah menyebabkan kondisi lahan gambut Indonesia sebagian besar telah mengalami kerusakan atau degradasi. Degradasi ini terutama terkait dengan alih fungsi lahan gambut alami, seperti menjadi semak belukar karena dibiarkan terlantar setelah diambil kayunya, dijadikan perkebunan kelapa sawit dan tanaman hutan industri, penipisan lapisan gambut (subsience) akibat drainase dan peristiwa kebakaran. Saat ini paling sedikit 6 juta hektar lahan hutan rawa gambut alami yang telah dikonversi, dan sekitar 4 juta hektar dalam keadaan rusak, baik dari aspek komposisi vegetasi maupun tata airnya. Konsekuensi logis dari semakin luasnya konversi dan/atau drainase lahan gambut, menyebabkan semakin banyak bahan organik yang hilang karena terdekomposisi dan/atau terbakar yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang sangat banyak secara terus-menerus ke atmosfir. Berdasarkan laporan resmi pemerintah Indonesia, yaitu pada International Second National
84 | Konservasi Tanah Menghadapi Perubahan Iklim
Communication Under The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), emisi GRK dari lahan gambut mencapai 25% dari total emisi Indonesia (KLH 2009). Pada sisi lain, selain mengemisikan GRK asap yang timbul akibat kebakaran lahan gambut juga tersebar ke berbagai arah bahkan sampai melewati lintas batas negara yang menimbulkan gangguan serius terhadap transportasi dan kesehatan manusia. Sebagai contoh, munculnya asap serta kabut tebal akibat kebakaran hutan dan lahan gambut pada tahun 1997 di Sumatera dan Kalimantan menyebabkan berkurangnya jarak pandang di beberapa kota di Sumatera, Kalimantan, dan bahkan sampai ke negara tetangga Singapura dan Malaysia. Hal ini telah mengakibatkan penundaan beberapa jadwal penerbangan dan bahkan penutupan beberapa bandar udara, selain itu asap tersebut juga mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat. Masih berlanjutnya proses degradasi lahan gambut alami di Indonesia sampai saat ini, diperkirakan akan memunculkan masalah di masa mendatang. Lahan gambut yang sudah dikonversi dan/atau didrainase, telah banyak menjadi lahan terlantar (semak belukar), yaitu sekitar 3,8 juta hektar (Balitbangtan 2013) dengan kondisi yang telah berubah dari tidak mudah terbakar (karena selalu tergenang) menjadi sumber titik api (kebakaran). Menurut laporan DNPI dan JICA (2014), sepanjang tahun 2007 - 2013 dari hasil pengamatan citra satelit MODIS rata-rata hotspots setiap tahunnya di wilayah Indonesia sebanyak 16.570 titik yang sebagian besar berasal dari lahan gambut. Hilangnya vegetasi karena terbukanya hutan menyebabkan berkurangnya penyerapan CO2, dan emisi GRK yang simultan pada lahan gambut meningkatkan gas rumah kaca di atmosfir, kedua hal ini semakin berpotensi menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Selain kegagalan, banyak pula ditemukan keberhasilan pengelolaan lahan gambut dan telah menghasilkan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Namun sebaliknya, daerah dengan pengelolaan lahan gambut yang buruk, telah memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, ekonomi, dan juga kehidupan manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini membahas mengenai lahan gambut secara lebih detail, manajemen pengelolaannya serta pengaruhnya terhadap emisi GRK. Pembentukan dan Sifat Lahan Gambut Di dalam bidang ilmu taksonomi tanah, gambut dikenal dengan istilah ‘Histosols’, atau yang populer dalam bahasa Inggris disebut sebagai organic soil atau peat. Istilah ‘gambut’ sendiri berasal dari bahasa daerah Banjar, yaitu salah satu nama Kec. di Kalimantan Selatan (Sabiham 2006). Perbedaan antara profil tanah gambut dengan profil tanah mineral disajikan pada Gambar 1.
Konservasi Tanah Menghadapi Perubahan Iklim
| 87
organik dalam bentuk seperti aslinya seperti batang, cabang, dan akar-akar besar (Murdiyarso et al. 2004). Sarwono (2003) merangkum teori evolusi proses pembentukan gambut yaitu tahapan pertama, merupakan proses akumulasi bahan organik (menghasilkan bahan induk) yang dikenal dengan proses geogenesis; tahapan kedua, merupakan proses pematangan gambut yang terjadi pada awal reklamasi atau pengeringan tanah gambut dikenal dengan proses pedogenesis yang meliputi: (a) proses pematangan fisik, yaitu pematangan disebabkan oleh dehidratasi akibat pengeringan (drainase dan evaporasi); (b) proses pematangan kimia, terjadi karena bahan gambut kehilangan kelembapan dan masuknya udara ke dalam pori-porinya; (c) proses pematangan biologi, terjadi akibat pencampuran bahan gambut oleh mikrofauna, yang menghasilkan atau moder yaitu gambut yang kadar bahan organiknya tinggi dan kandungan liatnya rendah. Pembentukan mull terjadi pada tanah gambut yang mengandung liat dan pH tinggi sampai sedang. Sedangkan pembentukkan moder terjadi pada lapisan atas (top soil) tanpa dan/atau dengan kadar liat yang rendah. Menurut Sabiham (2006) proses pembentukan gambut di Indonesia sama dengan gambut di daerah tropis lainnya. Awal terbentuknya endapan gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 11.000 BP (BP= Before Present yaitu dicatat sebelum tahun 1950). Kejadian terbentuknya endapan gambut di Indonesia berkaitan erat dengan peristiwa transgresi dan regresi air laut pada Zaman Kuarter (Holosen) yang membentuk dataran-dataran pantai dan daerah cekungan, seperti di pulau-pulau sekitar Dataran Sunda dan Dataran Sahul. Dengan adanya proses sedimentasi dan progradasi menyebabkan garis pantai cenderung bertambah ke arah laut. Daerah-daerah ini kemudian ditumbuhi oleh berbagai jenis vegetasi yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan mengisi cekungan-cekungan tersebut. Di daerah pantai dan dataran rendah (cekungan), mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tingginya permukaan air sungai, terjadi peningkatan penumpukan serasah tanaman, menghasilkan pembentukan hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah (dome).
Pengelompokan Gambut Menurut Soil Survey Staff (2010) berdasarkan tingkat kematangan atau kandungan serat, tanah gambut dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu (1) Fibrik, memiliki kandungan serat lebih dari 3/4 bagian volume tanah (terdekomposisi <33%); (2) Hemik, kandungan seratnya antara fibrik dan saprik (terdekomposis 33 – 66%); dan (3) Saprik kandungan seratnya kurang dari 1/6 bagian dari volume tanah (terdekomposis >66%). Secara umum dapat dijelaskan bahwa gambut fibrik adalah apabila bahan vegetasi aslinya masih dapat
88 | Konservasi Tanah Menghadapi Perubahan Iklim
diidentifikasikan atau sedikit mengalami dekomposisi, hemik apabila tingkat dekomposisinya sedang, dan saprik apabila tingkat dekomposisinya telah lanjut. Berdasarkan tingkat kesuburan alami, gambut dibagi dalam 3 kelompok yakni eutrofik (kandungan mineral tinggi), oligotrofik (miskin unsur hara atau kandungan mineral, terutama Ca rendah dan reaksi masam), dan mesotrofik (terletak di antara keduanya, kandungan basa sedang) (Andriesse 1988). Berdasarkan ketebalan, gambut Indonesia dikelompokan dalam 4 kelas, yaitu: (1) dangkal, ketebalan 50 - 100 cm; (2) agak dalam, ketebalan 100 - 200 cm; (3) dalam, ketebalan 200 - 300 cm; dan (4) sangat dalam, ketebalan lebih dari 300 cm (Subagyo et al. 1996). Menurut lingkungan pembentukan dan fisiografi lahan gambut dapat dibedakan atas empat tipe lahan gambut yaitu: 1) gambut cekungan (basin peat) adalah gambut yang terbentuk di daerah cekungan, lembah sungai atau rawa burit atau rawa belakang; 2) gambut sungai (river peat) adalah gambut yang terbentuk di sepanjang sungai yang masuk ke daerah lembah kurang dari 1 km; 3) gambut daratan tinggi (highland peat) adalah gambut yang terbentuk di punggung-punggung bukit atau pegunungan; dan 4) gambut daratan pesisir atau pantai (coastal peat) adalah gambut yang terbentuk di sepanjang garis pantai (Noor 2001). Berdasarkan lingkungan tumbuh dan pengendapannya, gambut dapat dikelompokan menjadi dua jenis yaitu: (1) gambut ombrogen adalah gambut yang airnya hanya berasal dari air hujan. Gambut jenis ini dibentuk dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan pembentuk yang semasa hidupnya hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kandungan mineralnya adalah asli (inherent) dari tumbuhannya itu sendiri; dan (2) gambut topogen adalah gambut yang airnya berasal dari air aliran permukaan. Jenis gambut ini diendapkan dari sisa tumbuhan yang semasa hidupnya tumbuh dari pengaruh elemen yang terbawa oleh air permukaan. Gambut topogen lebih subur digunakan untuk budi daya tanaman dibandingkan dengan gambut ombrogenous, karena gambut topogenous relatif mengandung lebih banyak unsur hara (Driessen dan Soepraptohardjo 1974).
Sifat-Sifat Tanah Gambut Sifat alami gambut yang penting adalah sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Di antara sifat yang penting dari tanah gambut di daerah tropis adalah bahan penyusun berasal dari kayu-kayuan, dalam keadaan alami tergenang, mengembang (swelling) dalam keadaan jenuh, menyusut (shrinking) saat dikeringkan, mengalami penurunan permukaan (subsidence) karena drainase menyebabkan gambut kehilangan air yang banyak sehingga gambut menyusut dan sebagian hilang karena terdekomposisi, kering tidak balik (irreversible drying) karena kehilangan air atau kekeringan menyebabkan sifat
Konservasi Tanah Menghadapi Perubahan Iklim
| 91
Penyebab Degradasi Lahan Gambut Lahan gambut terdegradasi adalah gambut yang telah mengalami penurunan fungsi hidrologi, produksi, dan ekologi yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, apabila sudah terjadi salah satu atau lebih indikator berikut berarti lahan gambut sudah mengalami degradasi yaitu: a) sudah ada penebangan pohon, b) ada jalan logging, c) bekas kebakaran, d) kering, e) penambangan (Balitbangtan 2013). Lahan gambut pada kondisi alaminya adalah jenuh air sepanjang tahun. Pada kondisi alami tersebut, lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon melalui proses fotosintesis tanaman yang mengabsorpsi CO2 atmosfir dan menyimpannya sebagai materi organik dalam bentuk biomassa tanaman, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati (serasah dan nekromas). Menurut Keddy (2000) diantara ekosistem yang ada di bumi ini, ekosistem lahan basah atau gambut adalah sistem yang paling produktif dalam menyerap karbon dari atmosfir melalui proses fotosintesis tumbuhan yakni mencapai 13 t C /ha /th dibandingkan hutan tropika sekitar 8 t C /ha /th. Karbon yang diserap oleh vegetasi dari atmosfir tersebut sebagian jatuh dan diakumulasikan dalam bentuk bahan tanah gambut. Menurut Bernal (2008), lahan basah daerah tropika di Costa Rica mengakumulasikan sekitar 263 g C /m2 /th dan lahan basah daerah temperate di Ohio mengakumulasikan sekitar 140 g C /m2 /th. Namun, prediksi yang lebih rendah disampaikan oleh Chmura et al. (2003), yakni hanya sekitar 20-30 g C /m2 /th. Jadi terlihat jelas bahwa dalam kondisi alami lahan gambut berkontribusi nyata dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfir. Namun apabila hutan/vegetasi alami gambut tersebut ditebang dan/atau lahan didrainase, maka karbon yang tersimpan pada vegetasi pada lahan gambut tersebut menjadi hilang, dan karbon yang tersimpan di tanah juga mudah teroksidasi atau terdekomposisi menghasilkan gas rumah kaca terutama CO2. Dampak selanjutnya, lahan gambut akan mengalami penurunan permukaan (subsidence). Pada kawasan yang terus mengalami subsidence, permukaan tanahnya menjadi relatif lebih rendah sehingga lebih rawan terhadap banjir. Apabila hal seperti itu terjadi di wilayah pantai maka akan menyebabkan intrusi air laut. Dari berbagai data atau informasi yang beredar saat ini, terlihat bahwa konversi hutan gambut di daerah tropika menjadi bentuk penggunaan lain yang diikuti dengan pembuatan saluran drainase telah menyebabkan kehilangan karbon yang sangat besar dan berkontribusi sangat besar pula terhadap emisi GRK dan perubahan iklim global. Sebagai gambaran telah terjadinya konversi dan/atau pembuatan drainase terhadap lahan gambut dunia dapat dilihat dari laporan Alex dan Joosten (2008) yang mana seluas 65 juta hektar lahan gambut dunia telah didrainase, dan telah mengemisikan CO2 sebanyak 3 Giga t/tahun. Khusus untuk Indonesia, menurut Hooijer et al. (2006), selama periode tahun
92 | Konservasi Tanah Menghadapi Perubahan Iklim
1985 – 2000, sebanyak 20% (rata-rata 1,3% per tahun) hutan gambut alami telah ditebang dan/atau dikonversi untuk penggunaan lain. Pada sisi lain, data konsesi menunjukkan bahwa 27% dari luas area konsesi untuk kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) berada pada lahan gambut.
Emisi GRK Akibat Dekomposisi Gambut Apabila terjadi konversi hutan gambut yang biasanya diikuti dengan pembuatan drainase, maka akan berdampak terhadap unit-unit hidrologi dari hutan rawa gambut tersebut. Pada saat tanah gambut yang didominasi oleh sisa tanaman (daun, dahan, ranting, dan batang) mengalami kondisi aerob menyebabkan aktivitas bakteri pembusuk akan meningkat. Setelah bakteri perombak mulai mendekomposisi gambut, karbon yang tersimpan dalam gambut akan teremisi ke udara dalam bentuk CO2. Sebagai contoh, emisi tahunan CO2 pada kondisi lahan gambut alami berkisar antara 1,35 – 3,40 t C /ha /th, namun setelah didrainase meningkat menjadi 1,60 – 4,60 t C /ha /tahun (Silvola et al. 1996). Kasus untuk ekosistem gambut tropika yang diwakili oleh Indonesia dan Malaysia misalnya, kehilangan karbon akibat oksidasi dari permukaan lahan gambut yang didrainase rata-rata sebesar 17,71 t C /ha /th (Hooijer et al. 2006). Informasi terbaru yang dilaporkan Husnain et al. (2013) emisi karbon dari lahan gambut yang didrainase di Indonesia adalah 17,98±6,81 t C /ha /th; 16,07±5,18 t C /ha /th; 16,62±6,81 t C /ha /th; 14,17±4,63 t C /ha /th masing-masing pada kebun kelapa sawit, kebun Akasia, hutan sekunder dan kebun karet secara berurutan, sedangkan pada lahan terlantar adalah sekitar 18,26±6,54 t C /ha /th. Drainase menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan ekosistem gambut yaitu dari sebagai penyimpan menjadi penyumbang emisi karbon (Canadell et al. 2007; Rieley et al. 2008). Menurut Joosten (2009), secara global emisi CO2 dari lahan gambut yang didrainase telah meningkat dari 1.058 juta ton pada tahun 1990 menjadi 1.298 Mega ton pada tahun 2008 (> 20%). Peningkatan ini terutama terjadi di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, China, Malaysia, dan Papua New Guinea. Khusus di Indonesia, menurut Hooijer et al. (2006) diperkirakan rata-rata 632 juta ton CO2 (interval 355–874 juta ton CO2) setiap tahun diemisikan dari lahan gambut yang didrainase. Data terbaru yang disampaikan Joosten (2009), bahwa perkiraan emisi CO2 tahun 2008 dari lahan gambut Indonesia adalah yang tertinggi di dunia, yaitu sebanyak 500 juta ton dibandingkan Rusia di posisi kedua hanya sebesar 139 juta ton. Secara umum, laju emisi CO2 dari proses dekomposisi tanah gambut antara lain dipengaruhi oleh kedalaman dan umur drainase, kematangan gambut, dan suhu tanah. Menurut Charman (2002), mineralisasi karbon pada lahan gambut sangat dipengaruhi oleh muka air tanah dan suhu. Dari berbagai faktor tersebut kelihatannya, kedalaman dan umur drainase yang paling
Konservasi Tanah Menghadapi Perubahan Iklim
| 99
permukaan gambut (subsidence), dan emisi gas rumah kaca. Berkaitan dengan hal ini, adanya potensi tidak lestarinya pengelolaan lahan gambut perlu diminimumkan, dengan mengembangkan teknologi pengelolaan lahan gambut yang baik dan telah teruji keberhasilannya. Daftar Pustaka Agus, F and Maswar. 2013. Agroforest Options for Low Emission Use of Peat Scrub Areas. REALU II Final Report. Indonesian Soil Research Institute. Bogor. 15 pages. Alex, K dan H. Joosten. 2008. Global Peatland Assesment. Factbook for UNFCCC policies on peat carbon emission. Wetlands International. ALLREDDI. 2011. Accountabillity and Local Level Initiative to Reduce Emission from Deforetation and Degradation in Indonesia. Final Report. World Agroforestry Centre. 82 pages. Ambak, K dan L. Melling. 2000. Management practices for sustainable cultivation of crop plants on tropical peatlands. Proc. of The International Symposium on Tropical Peatlands 22-23 November 1999. BogorIndonesia. 119 hal. Andriesse, JP. 1988. Nature and management of tropical peat oils. FAO Soils Bulletin 59. Soil Resources, Management and Conservation Service FAO Land and Water Development Division. Balitbangtan. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1 : 250.000. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balitbangtan. 2013. Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi untuk Mengurangi Emisi GRK dan Mengoptimalkan Produktivitas Tanaman. Materi pada Workshop on Degraded Peatland yang Digagas bersama antara Litbang, Kementan dengan Bappenas melalui Proyek ICCTF, pada tanggal 6 Nov 2013. (Dalam proses publikasi). Ballhorn, U., F. Siegert, M. Mason, and S. Limin. 2009. Derivation of burn scar depths and estimation of carbon emissions with LIDAR in Indonesian peatlands. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (online). The paper can be read and downloaded at www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas. 0906457106. Bernal, B. 2008. Carbon Pools And Profiles In Wetland Soils: The Effect of Climate and Wetland Type. M.S. Thesis, presented in partial fulfillment of the requirements for Master’s degree in the Graduate School of the Ohio State University.
100 | Konservasi Tanah Menghadapi Perubahan Iklim
Canadell JG, Pataki DE, Gifford R, Houghton RA, Luo Y, Raupach MR, Smith P, and Steffen W. 2007. Saturation of the terrestrial carbon sink. Pp. 59-78 In: Canadell, J.G., D. E. Pataki and L. Pitelka (Eds.). dalam Terrestrial Ecosystems in a Changing World. Berlin, Springer Verlag. Chmura GL, Anisfeld C, Cahoon DR, and Lynch JC. 2003. Global carbon sequestration in tidal, saline wetland soils. Global Biogeochemical Cycles. 17: 1111, doi: 10.1029/2002GB001917. Charman D. 2002. Peatlands and environmental change. Wiley, Chichester. Cruz- . 2003. Sorption-desorption of lead (II) and mercury (II) by model association of soil colloids. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:1378-1387. Dai XY, White D, and Ping CL. 2002. Evaluation of soil organic matter composition and bioavailability by Pyrolysis-gas chromatography/mass spectrometry. Journal of Analytical Applied Pyrolysis. 62: 249-258. Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan Japan International Cooperation Agency (JICA). 2014. Updating Indonesia’s Green House Gas Abatement Cost Curve. Driessen PM dan Soepraptohardjo M. 1974. Soil for Agricultural Expansion in Indonesia. Soil Research Institute. Bogor. Global Peatland Initiative. 2002. World Peatland Map. Hobbie S, Schimel J, Trumbore S, and Randerson J. 2000. Controls over carbon storage and turnover in high-latitude soils. Global Change Biology. 6. Suppl. 1: 196-210. Hooijer A, Silvius M, Wösten H, and Page S. 2006. PEAT CO2, Assessment of CO2 Emission from drained peatlands in SE Asia. Wetland International and Delft Hydraulics report Q3943. Hooijer A, Page S, Canadell JG, Silvius M, Kwadijk J, W¨osten H, and Jauhiainen J. 2010. Current and future CO2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences 7: 1505–1514. Husnain, I. G. Putu Wigena IGP, Ai Dariah, Marwanto S, Setyanto P., and Agus F. 2013. CO2 emissions from tropical drained peat in Sumatra, Indonesia. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change An International Journal Devoted to Scientific, Engineering, Socio-Economic, and Policy Responses to Environmental ChangeMitig Adapt Strateg Glob Change. DOI 10.1007/s11027-014-9550-y. Joosten, H. and Clarke D. 2002. Wise Use of Mires and Peatlands – Background and Principles Including a Framework for Decision-Making. International Mire Conservation Group / International Peat Society. 304pp.
Konservasi Tanah Menghadapi Perubahan Iklim
| 101
Joosten, H. 2009. Peatland Status and Drainage Related Emissions in All Countries of The World. The Global Peatland CO2 Picture. Wetlands International. www.wetlands.org. 35p. Keddy, PA. 2000. Wetland Ecology: principles and conservation. Cambridge University Press. Cambridge, U.K. Kirk, G. 2004. The Biogeochemestry of Submerged Soils. John Wiley & Sons, Ltd. 291 hal. KLH (Kementerian Lingkungan Hidup). 2009. Indonesia Second National Communication Under The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Ministry of Environment, Indonesia. Jakarta. Maas, A. 2003. Peluang dan Konsekuensi Pemanfaatan Lahan Rawa pada Masa Mendatang. Pengukuhan Guru Besar. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Maswar. 2011. Kajian Cadangan Karbon pada Lahan Gambut Tropika yang Didrainase untuk Tanaman Tahunan. Disertasi Program Doktor (S.3). Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Maswar. 2014. Cadangan Karbon dan Laju Subsidan pada Beberapa Kondisi dan Lokasi Tanah Gambut Tropika Indonesia. Laporan sub. Kegiatan ICCTF. Kementan. (Dalam proses publikasi). Murdiyarso D, Rosalina U, Hairiah K, Muslihat L, Suryadiputra INN, dan Jaya A. 2004. Petunjuk Lapangan Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Najiyati S, Asmana A, dan Suryadiputra INN. 2005. Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forest and peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Kanisius. 174 hal. Nykänen H, Alm J., Silvola J., Tolonen K, and Martikainen PJ. 1998. Methane fluxes on boreal peatlands of different fertility and the effect of longterm experimental lowering of the water table on flux rates. Global Biogeochem. Cycles 12: 53-69. Page S, Siegert F, Rieley JO, Boehm HV, Jayak A, and Limin S. 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature 420:61-65. Pramono DS. 2004. Transmigration Development in The Peatlands, Its Prospect and Problems. Makalah dipresentasikan di Workshop on Assessment, Conservation, Restoration and Sustainable Use of Tropical Peatland and
102 | Konservasi Tanah Menghadapi Perubahan Iklim
Peat Swamp Forest Biodiversity in Pontianak, 14-16, April 2004. (Tidak dipublikasi). Rieley JO, R.A.J. Wüst, J. Jauhiainen, S.E. Page, H. Ritzema, H. Wösten, A. Hooijer, F. Siegert, S. Limin, H. Vasander, and M. Stahlhut. 2008. Tropical Peatlands, carbon stores, carbon gas emissions and contribution to climate change processes. Pp. 148-181 in M. Strack (eds.). Peatlands and Climate Change. IPS. Saarijärvi. Sabiham, S. 2006. Pengelolaan Lahan Gambut Indonesia Berbasis Keunikan Ekosistem. Orasi Ilmiah Guru Besar tetap Pengelolaan Tanah. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sarwono, H. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo. 354 halaman. Silvola J., Alm J., Ahlholm U., Nykanen H. and Martikainen P.J. 1996. CO2 fluxes from peat in boreal mires under varying temperature and moisture conditions. Journal of Ecology 84: 219–228. Soil Survey Staff. 2010. Key to soil taxonomy 11th United States Departement of Agriculture Natural Resources Conservation Service. Subagyo, Marsoedi, dan Karama S. 1996. Prospek Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian. Pada Seminar Pengembangan Teknologi Berwawasan Lingkungan untuk Pertanian pada Lahan Gambut, 26 September 1996. Bogor. (Tidak dipublikasikan). Susanne MS and Price JS. 1999. Soil water flow dynamics in managed cutover peat field, Quebec: Field and laboratory invertigations. Water Resouces Research. 35 (12): 3675 - 3683. White DM, Garland DS, Dai X, and Ping CL. 2002. Fingerprinting soil organic matter in the Arctic to help predict CO2 flux, Journal of Cold Regions Science and Technology 35: 185-194. Widjaja Adhi, I.P.G. 1986. Pengelolaan lahan rawa pasang surut dan lebak. Jurnal Litbang Pertanian V (1): 1 – 9. Widjaja Adhi, I.P.G. 1988. Masalah Tanaman di Lahan Gambut. Makalah pada Pertemuan Teknis Penelitian Usahatani Menunjang Transmigrasi. Cisarua Bogor, 27-29 Februari. 16 halaman. (Tidak dipublikasikan). Wösten JHM, and Ritzema HP. 2001. Land and water management options for peatland development in Sarawak, Malaysia. International Peat Journal 11: 59-66. Yavitt J, Williams C, and Wieder R. 2004. Soil chemistry versus environmental controls on production of CH4 and CO2 in northern peatlands. European Journal of Soil Science 56 (2): 169-178.
Konservasi Tanah Menghadapi Perubahan Iklim
| 103
Zhang Y, Li C, Trettin CC, Li H, and Sun G. 2002. An integrated model of soil, hydrology and vegetation for carbon dynamics in wetland ecosystems. Global Biogeochemical Cycles 16: GB001838.