MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH (Studi Ayat Fithrah, Hanif dan ‘Ubudiyah) Mohammad Irham Perguruan Tinggi Agama Islam Al-Hilal Sigli Jl. Lingkar Keuniree, Sigli Aceh Email:
[email protected] ABSTRACT Al-Qur'an have depicted in detail about human being, good from side of genesis of human being creation, characteristic and intention of human being creator. Characteristic intended in al-Quran is fithrah, hanif and 'ubudiyah. The three things is tendency or potency owned when human being created. Despitefully, human being is also mentioned as creature given free rein to want, this matter is to maximize the potency of human being as khalifah in the earth. Kata Kunci: Manusia, Hamba Allah, al-Qur’an PENDAHULUAN Al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah tidak menciptakan manusia atau alam semesta ini sebagai permainan (QS. al-Mukminun: 115), Allah tidak menciptakan langit, bumi dan segala sesuatu di antara keduanya dengan sia-sia (QS. Shad: 27), dan dalam QS. Ali Imran: 191 disebutkan pula bahwa tujuan penciptaan tersebut adalah untuk sesuatu serius. Tujuan ini adalah agar manusia beribadah atau melaksanakan perintah Allah, karena ibadah pada dasarnya adalah untuk kepentingan manusia sendiri, bukan untuk kepentingan Allah, “Kebajikan yang dilakukan seseorang adalah untuk dirinya sendiri sedangkan kejahatan yang dilakukannya akan merugikan dirinya sendiri.” (QS. al-Baqarah: 286) Dengan demikian, manusia harus berjuang untuk menaklukkan segala hambatan dan godaan yang merugikan dirinya sendiri. Manusia juga harus melakukan usaha-usaha pembebasan diri, karena di antara ciptaan Allah ia memiliki posisi yang unik, karena manusia diberikan kebebasan berkehendak agar dapat menyempurnakan misinya sebagai khalifah Allah di atas bumi. Misi inilah – perjuangan untuk menciptakan sebuah tata sosial yang bermoral di atas dunia – yang dikatakan al-Qur’an sebagai amanah. (QS. al-Ahzab: 72) Dalam ayat tersebut, Allah telah menawarkan amanah ini kepada langit dan bumi, tetapi keduanya menolak karena takut menanggung beratnya tanggungjawab, lalu amanah ini diterima oleh manusia. Walaupun amanah ini berat bagi manusia dan perbuatannya itu terlampau “nekat” (zhalum dan jahul) karena manusia belum menyempurnakan perintah Tuhan yang paling sedia kala. 1 _____________ 1
Sesungguhnya tidak ada manusia yang kebal dari godaan-godaan syaitan, demikian pula dengan nabi-nabi (QS. al-Hajj: 52 dan QS. al-Isra: 53) dan Nabi Muhammad sendiri (QS. al-A’raf: 200 dan QS. Fushilat: 36), tetapi setiap orang yang benar-benar beriman dan memiliki kemauan, apalagi para nabi, dapat mengatasi godaan-godaan tersebut (QS. al-Hijr: 11; QS. al-Isra: 65; QS. al-Nahl: 99) Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1983), 27 dan 49. 78
MUHAMMAD IRHAM: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH
KEDUDUKAN MANUSIA SEBAGAI HAMBA ALLAH Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah Allah, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Dzariyat: 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya menyembah kepada-Ku”. Dalam kapasitas manusia sebagai hamba,2 tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam al-Qur’an biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertakwa (muttaqun), dan untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau jenis kelamin etnis tertentu. Al-Qur’an menegaskan bahwa hamba yang paling ideal adalah para muttaqun, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Hujurat: 13; “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Kekhususan-kekhususan yang diperuntukkan kepada laki-laki, seperti seorang suami setingkat lebih tinggi di atas isteri (QS. al-Baqarah: 228), laki-laki pelindung bagi perempuan (QS. al-Nisa: 34), memperoleh bagian warisan lebih banyak (QS. al-Nisa’: 11), menjadi saksi yang efektif (QS. al-Baqarah: 282), dan diperkenankan berpoligami bagi mereka yang memenuhi syarat (QS. al-Nisa: 3), tetapi ini semua tidak menyebabkan laki-laki menjadi hamba utama. Kelebihankelebihan tersebut diberikan kepada laki-laki dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih ketika ayat-ayat alQur’an diturunkan. Dalam kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Allah sesuai dengan kadar pengabdiannya, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Nahl: 97; “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. Dari uraian ayat di atas, dapat dimengerti bahwa ajaran Islam tentang manusia sebagai hamba Allah, memberikan porsi kemuliaan dan keutamaan bagi manusia-manusia yang beriman, bertakwa dan beramal saleh, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Dengan kata lain, berbagai bentuk penghormatan dan kemuliaan yang ada di dunia ini, dan penghormatan itu diberikan di luar
_____________ 2
Sebagaimana diketahui bahwa, al-Qur’an menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan tiga macam istilah yang satu sama lain saling berhubungan, yakni al-insan, al-basyar, dan bani Adam. Manusia sering disebut al-insan karena sering menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran dan peringatan. Manusia disebut dengan al-basyar karena cenderung perasaan dan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan. Manusia disebut sebagai Bani Adam, karena menunjukkan pada asal usul manusia yang bermula dari Nabi Adam sehingga bisa tahu dan sadar akan jati dirinya. Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an Kajian Tematik atas AyatAyat Hukum dalam Al-Qur’an (Jakarta: Pena Madani, 2003), 106-107. Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
79
bingkai iman, amal saleh dan takwa adalah tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam.3 STUDI AYAT-AYAT FITHRAH Dari segi bahasa, kata fithrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna yang lain seperti “penciptaan” atau “kejadian”.4 Fithrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahirnya. Dalam al-Qur’an, kata ini dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali, 14 di antaranya dalam konteks uraian tentang bumi atau langit. Sisanya tentang konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fithrah manusia. Yang terakhir ini ditemukan sekali pada QS. al-Rum: 30; “Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama, (pilihan) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” Dari kata fithrah di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadiannya, membawa potensi agama yang lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.5 Dalam konteks ayat ini, fithrah keagamaan akan melekat pada diri manusia untuk selama-lamanya, walaupun boleh jadi tidak diakui atau diabaikannya. Fithrah manusia tidak hanya terbatas pada potensi keagamaan semata, ada juga ayat-ayat lain yang membicarakan tentang penciptaan potensi manusia, walaupun tidak menggunakan kata fithrah seperti QS. Ali Imran: 4; “Telah dihiaskan kepada manusia kecenderungan hati kepada perempuan (atau lelaki), anak laki dan perempuan serta harta yang banyak berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang.” _____________ 3
Hal ini dapat dicermati dalam beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan ajaran persamaan antarmanusia, lihat QS. al-Nisa: 1; QS. al-A’raf: 189; QS. al-Zumar: 6; QS. Fathir: 11; dan QS. al-Mu’min: 67. Ayat-ayat itu pada pokoknya menjelaskan bahwa dari segi hakikat penciptaan, antara manusia yang satu dan manusia lainnya tidak ada perbedaan. Mereka semua sama dari asal kejadian yang sama, yaitu dari tanah, dari diri yang satu, yakni Adam yang diciptakan dari tanah. Karena itu, tidak ada kelebihan seorang individu atas individu lainnya atau satu golongan atas golongan lainnya, atau satu ras atas ras lainnya. Karena asal-usul kejadian manusia seluruhnya adalah sama, tidak layak seseorang atau satu golongan menyombongkan diri terhadap yang lain atau menghina yang lain. Muhammad Husain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Jilid. VI (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1397 H.), 134-135. 4 Konon sahabat Nabi, Ibnu Abbas tidak tahu persis makna kata fathir pada ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan langit dan bumi sampai ia mendengar pertengkaran tentang kepemilikian satu sumur. Salah seorang berkata “Ana fathartuhu”. Ibnu Abbas memahami kalimat ini dalam arti, “saya yang membuatnya pertama kali.” Dan dari situ Ibnu Abbas memahami bahwa kata ini digunakan untuk penciptaan atau kejadian sejak awal. Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 284. 5 Konsep fithrah tidaklah identik dengan teori tabula rasa. Sama seperti halnya pandangan Islam tentang manusia tidaklah identik dengan aliran dualisme maupun covergency, sebab teori tabula rasa, sebagaimana dikemukakan oleh John Locke, memandang bahwa manusia itu putih bersih, ibarat kertas belum dicoret. Lingkungan dan pendidikanlah yang mencoret kertas yang putih bersih tadi. Jadi, teori tabula rasa memandang manusia terlahir dalam keadaan pasif. Sebaliknya, fithrah memandang manusia lebih dari sekadar kertas putih dan bersih, melainkan dalam fithrah terdapat potensi yang terbawa oleh manusia, yakni daya atau kekuatan untuk menerima agama atau tauhid. Bedanya dengan teori tabula rasa, potensi ini bersifat dinamis. 80
MUHAMMAD IRHAM: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH
Manusia berjalan dengan kakinya adalah fithrah jasadiyah-nya, sementara menarik kesimpulan melalui premis-premis adalah fithrah aqliyahnya. Senang menerima nikmat dan sedih bila ditimpa musibah juga adalah fithrahnya. Karena itu, menurut M. Quraish Shihab, adalah tepat kesimpulan Muhammad bin Asyur dalam tafsirnya tentang QS. al-Rum: 30, yang menyatakan bahwa fithrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fithrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya).6 Al-Qur’an memandang manusia sebagaimana fithrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal manusia, di mana melakukan dosa dengan melanggar larangan Allah, mengakibatkan Adam dan isterinya diturunkan dari surga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah pembawa dosa turunan.7 Islam dengan tegas menyatakan bahwa ada dua bentuk manusia, ada manusia yang fithrah – di mana setiap orang sejak awal penciptaannya disertai dengan sederetan potensi meraih nilai-nilai tinggi dan luhur. Kemudian, ketika seorang manusia dilahirkan di dunia, ia telah memiliki potensi untuk menjadi seorang yang bermoral, menjadi potensi untuk menjadi seorang yang agamis, memiliki potensi untuk mencari kebenaran, memiliki potensi mencintai keindahan, dan memiliki potensi untuk hidup bebas dan merdeka. Manusia secara potensial, dalam dirinya telah terdapat nilai-nilai yang tinggi dan luhur yang dalam hal ini persis seperti sebatang tumbuhan yang agar dapat tumbuh serta berkembang perlu diberi cahaya, air dan lain sebagainya, inilah manusia “fithrah”.8 Secara kebahasaan, fithrah mempunyai pengertian yang sama dengan khilqah, yaitu “ciptaan” atau “penciptaan”. Tetapi secara peristilahan fithrah kemudian berarti “penciptaan yang suci”. Dalam pengertian ini, semua segi kehidupan seperti makan, minum, tidur, dan apa saja yang wajar, tanpa berlebihan, pada manusia dan kemanusiaan adalah fithrah. Semuanya itu bernilai kebaikan dan kesucian, karena semuanya berasal dari design penciptaan oleh Tuhan.9 _____________ 6
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an…, 285. Penggunaan istilah Bani Adam dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi dari makhluk anthropus (sejenis kera), hal ini diperkuat lagi dengan panggilan-panggilan Adam dalam al-Qur’an oleh Allah dengan huruf nida’ (Ya, Adam!). Demikian pula kata ganti yang menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta) dan bukan jamak (antum), sebagaimana terdapat dalam QS. al-Baqarah: 35. 8 Di sinilah perbedaan pandangan yang amat mendasar antara Islam dan materialis berkaitan dengan faktor-faktor yang mewujudkan sejarah. Islam menyatakan bahwa manusia, species manusia, suatu wujud yang diciptakan berbentuk manusia adalah memiliki suatu naluri (fithrah). Suatu naluri yang memiliki hubungan erat dengan penciptaan manusia itu sendiri, dan yang memajukan sejarahnya adalah nalurinya itu, dan kesempurnaan dirinya juga karena adanya naluri itu juga. Islam mengatakan bahwa aktivitas manusia dilahirkan melalui nalurinya. Dan kaum materialis mengatakan bahwa naluri manusia dilahirkan dari aktivitasnya. Murtadha Muthahhari, Mengenal Epistemologi Sebuah Pembuktian Terhadap Rapuhnya Pemikiran Asing dan Kokohnya Pemikiran Islam, terj. M. Jawad Bafaqih (Jakarta: Lentera, 2001), 298. 9 Dari sudut pandang ini dapat dimengerti mengapa Islam tidak membenarkan usaha menempuh hidup suci dengan meninggalkan hal-hal yang wajar pada manusia seperti makan, minum, tidur, berumah tangga dan seterusnya. Berkenaan dengan ini Nabi pernah memberi peringatan keras kepada salah seorang sahabat, Utsman bin Mazh’um, yang ingin menempuh hidup suci dengan tindakan semacam pertapaan. Nabi juga dengan keras menolak pikiran sementara sahabat beliau yang ingin menempuh hidup tanpa kawin. Semua tindakan meninggalkan kewajaran hidup manusia adalah tindakan melawan fithrah, jadi juga tidak sejalan dengan sunnah. Ahmad Gaus AF, Dialog Ramadhan bersama Cak Nur (Jakarta: Paramadina, 2000), 128-129. 7
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
81
Al-Qur’an justeru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini.10 Bahkan manusia diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik (positif – hanif).11 STUDI AYAT-AYAT HANIF Kata hanif berasal dari kata kerja hanafa-yahnifu dan mashdarnya hanifan, artinya condong atau cenderung dan kata bendanya kecenderungan. Tetapi dalam al-Qur’an, yang dimaksudkan adalah “kecenderungan kepada yang benar”, seperti dijelaskan oleh mufassir modern, Mawlana Muhammad Ali, dalam The Holy Qur’an, yang merujuk kepada kamus Arab-Inggris Lane Lexicon dan Kamus alQur’an, al-Mufradat fi al-Gharib karangan al-Raghib al-Isfahani. Keterangan yang lebih lengkap tentang arti yang spesifik dari kata hanif ini diberikan The Holy Qur’an karya Hadrat Mirza Nashir Ahmad yang merujuk kepada beberapa sumber; (a) orang yang meninggalkan atau menjauhi kesalahan dan mengerahkan dirinya kepada petunjuk, (b) orang yang secara terus-menerus mengikuti kepercayaan yang benar tanpa keinginan untuk berpaling dari padanya; (c) seseorang yang cenderung menata perilakunya secara sempurna menurut Islam dan terus-menerus mempertahankannya secara teguh; (d) seseorang yang mengikuti agama Ibrahim; dan (e) yang percaya kepada seluruh nabi-nabi.12 Baik oleh Muhammad Ali maupun Nashir Ahmad, keterangan tersebut di atas ditujukan pada QS. al-Baqarah: 135; “Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk,” Katakanlah: “Tidak. Kami mengikuti agama Ibrahim yang lurus (hanif). Bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan musyrik (politeis).” Pada ayat di atas, kata hanif diterjemahkan dengan “lurus”. Tetapi kata “lurus” dalam ayat tersebut agaknya memerlukan penjelasan. Hamka dalam Tafsir al-Azhar mengatakan bahwa agama Ibrahim adalah agama yang lurus. Demikian arti kata hanif. Kadang-kadang diartikan juga condong, sebab kalimat itu pun mengandung arti condong. Maksudnya lurus menuju Tuhan atau condong hanya kepada Tuhan. Tidak membelok kepada yang lain, sebab di dalamnya terkandung juga makna tauhid. Keterangan lebih lanjut mengenai apa yang disebut sebagai hanif dijelaskan oleh ayat berikutnya QS. al-Baqarah: 136; “Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari _____________ 10
Hal tersebut antara lain terdapat dalam QS. al-Anbiya’: 35, QS. al-An’am: 164, QS. Yasin: 4, dan QS. al-Jatsiyah: 22. 11 Terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 135; QS. Ali Imran: 67 dan 95; QS. al-Nisa’: 125; QS. al-An’am: 69, 161; QS. al-Nahl: 122; dan QS. al-Rum: 30. 12 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), 62. 82
MUHAMMAD IRHAM: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH
Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” Ayat di atas memberikan perincian lebih lanjut tentang ciri-ciri kepercayaan seseorang yang disebut hanif. Pada ayat sebelumnya diberikan ciri negatifnya, yaitu bukan mengikuti agama Yahudi dan Nasrani saja, bukan pula penyembah berhala. Sedangkan ayat selanjutnya memberikan keterangan positif, yaitu “yang beriman kepada Allah,” sebagaimana yang diturunkan oleh Allah serta diajarkan oleh nabi-nabi lain, sejak Ibrahim hingga Musa dan Isa. Bagi Islam, kesemuanya adalah orang-orang yang hanif atau muslim dan sebagai nabi, mereka mendapat wahyu dan mengajarkan kepercayaan kepada Allah, yaitu tauhid kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kata hanif disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 14 kali dalam 9 surat. Menurut kronologi turunnya ayat, kata hanif pertama-tama disebut dalam alQur’an, surat Yunus: 105, yang berarti 9 surat Makkiyah, lebih persisnya, suratsurat yang diturunkan dalam periode empat tahun terakhir Nabi tinggal di Makkah. Soal ini perlu dikemukakan mengingat adanya analisa kaum orientalis yang mengatakan bahwa penyebutan istilah hanif dalam al-Qur’an yang dikaitkan dengan Ibrahim adalah merupakan reaksi terhadap kritik intelektual yang dilakukan para pemuka agama Yahudi dan Nasrani di Madinah. Surat Yunus yang Makkiyah itu menjelaskan dengan sendirinya hal yang bertentangan dengan kesimpulan dan pandangan kaum orientalis. Ini dapat dilihat dari segi kronologis, maupun sifat kalimatnya, seperti tampak dalam QS. Yunus: 104, 105 dan 106; Katakanlah: “Hai manusia, jika kamu ragu-ragu tentang agama-Ku, maka (ketahuilah) bahwa aku tidak menyembah yang kamu sembah selain Allah, tetapi aku menyembah Allah yang akan mematikanmu dan aku diperintah supaya aku termasuk orang-orang yang beriman”. Dan (aku diperintah pula): “Hadapkanlah mukamu pada agama dengan tulus (hanif) dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik. Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat demikian, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim.”13 Kata hanif kedua dalam kronologi surat adalah yang tercantum dalam QS. al-An’am: 79; “Sesungguhnya aku menghadapkan wajah dengan lurus (hanif) kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dan aku bukanlah termasuk dalam golongan orang yang musyrik (menyekutukan-Nya).” Ayat di atas merupakan kesimpulan dari perjalanan pikir dan zikir yang dilakukan oleh Ibrahim tatkala ia mencari Tuhan dengan mengamati bintangbintang yang bertaburan di langit, bulan, dan matahari yang terbit secara _____________ 13
Dalam surat-surat Makkiyah, pada umumnya, seruan Al-Qur’an ditujukan kepada manusia seluruhnya dan bukan tertuju pada kaum yang sudah beriman atau pemeluk agama lain, khususnya Yahudi dan Nasrani. Ayat 105 di atas menegaskan hal tersebut, dalam ayat selanjutnya, kata hanif dipertentangkan dengan kata musyrik. Jadi yang dituju adalah kaum politeis Makkah. Pada ayat 106 dikatakan bahwa alternatif terhadap hanif adalah zhalim. Artinya, menyembah berhala berarti merendahkan derajat manusia sendiri. Betapa tidak, karena manusia menyembah sesuatu yang tidak bisa memberi manfaat dan mudharat. Pada ayat 100 dikatakan bahwa Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya, sebagaimana halnya kaum penyembah berhala. Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
83
bergantian, tetapi semuanya lalu tenggelam bergantian pula. Ia lalu menarik kesimpulan bahwa itu semua bukan Tuhan, Tuhan yang sebenarnya adalah Dzat yang menciptakan langit dan bumi. Pada ayat 75 dijelaskan bahwa Allah telah memperlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda dari sistem langit dan bumi, agar ia menjadi orang yang yakin. Kesimpulan yang diambil oleh Ibrahim tersebut berlawanan dengan keyakinan kaum Shabi`ah pada masa hidupnya menyembah bintang, bulan dan matahari. Oleh karena itu, Ibrahim disebut seorang yang hanif. Keterangan lain, yang menjelaskan antara kepercayaan yang dibawa oleh nabi dan agama Ibrahim dijelaskan dalam QS. al-Nahl: 120-123, yang di dalamnya terdapat keterangan mengenai hanif: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang pemimpin yang dapat dijadikan teladan (rujukan), karena sikapnya yang patuh kepada Allah dan bersikap hanif (berpegang kepada kebenaran dan tidak pernah meninggalkannya). Dan sekalikali bukanlah ia termasuk orang-orang yang mempersekutukan-Nya. (Dan ia) adalah orang yang mensyukuri nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Allah telah memilihkan jalan dan menunjukkannya jalan yang lurus (shirath almustaqim). Dan Kami telah menganugerahkan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat (akan berbahagia, karena di dunia ia) benar-benar termasuk di antara orang-orang yang saleh. Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.” Dan bukanlah ia termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah.”14 Surat terakhir yang secara kronologis tergolong ke dalam surat Makkiyah dan mengandung kata hanif adalah QS. al-Rum: 30. Dalam ayat ini terdapat keterangan baru mengenai istilah hanif, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus (hanif) kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah itu. Itulah agama yang kuat dasarnya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Dalam ayat ini, hanif mengandung arti cenderung kepada agama Allah yang merupakan sikap yang sesuai dengan fithrah manusia. Di sini dikaitkan pula bahwa beragama, yaitu beragama yang hanif merupakan kecenderungan dasar manusia. Demikian pula kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agama yang sesuai dengan fithrah manusia adalah Islam. Islam adalah agama yang kokoh dasarnya, karena sesuai dengan fithrah manusia itu. STUDI AYAT-AYAT ‘UBUDIYAH Istilah ibadah, yang pada mulanya mencakup segala perbuatan manusia yang ditujukan sebagai pengabdian kepada Allah, baik aktif maupun pasif – seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, acapkali mengalami pembidangan (sistematika ilmu), meskipun tidak dapat dihindari timbulnya fragmentasi (pemecahan) dan pembatasan – yang sering kali kurang menguntungkan.15 _____________ 14
Sebagaimana dikatakan pada surat al-An’am: 161, dalam al-Qur’an surat al-Nahl ayat 121, salah satu tanda dari seorang hanif itu adalah karena seseorang itu mengikuti jalan yang lurus (shirath al-mustaqim), sikap dan cara hidup yang saleh, yaitu hidup yang harmonis dengan lingkungannya. 15 Dalam ilmu Fikih, kata tersebut kemudian dipakai khusus dalam hal-hal tertentu, seperti bersuci (thaharah), puasa (shiyam), zakat dan haji. Dari segi sistematisasi, hal tersebut dapat ditoleransi, tetapi ini bukan berarti bahwa ibadah hanya terbatas pada hal itu saja. Sayangnya, penggunaan istilah tersebut disalahtafsirkan oleh ahli-ahli hukum Islam (fuqaha’), sehingga menimbulkan kesalahpahaman di kalangan masyarakat awam. Akibatnya, mereka menduga bahwa ibadah terbatas pada hal-hal ritual saja. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994), 383. 84
MUHAMMAD IRHAM: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH
Dari sudut kebahasaan, ibadah beasal dari bahasa Arab, ‘ibadah, dan bentuk jamaknya ibadat, berarti pengabdian. Seakar dengan kata Arab ‘abd, yang berarti hamba atau budak, yakni pengabdian, dari kata ‘abdi, ‘abd atau penghambaan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, dalam pengertiannya yang lebih luas, ibadah mencakup keseluruhan kegiatan manusia dalam hidup di dunia ini, termasuk kehidupan duniawi sehari-hari, jika kegiatan itu dilakukan dengan sikap batin serta niat pengabdian dan penghambaan diri kepada Tuhan, yakni sebagai tindakan bermoral. Inilah maksud firman Allah bahwa manusia (dan jin) tidaklah diciptakan Allah melainkan untuk mengabdi kepada-Nya.16 Yakni, untuk menempuh hidup dengan kesabaran penuh bahwa makna dan tujuan keberadaan manusia ialah perkenan atau ridha Allah.17 Sebagai pernyataan pengabdian kepada Tuhan, ibadah yang juga berarti pengagungan itu sesungguhnya adalah hal yang fitri. Yakni, hal yang secara inheren terdapat pada kecenderungan alami manusia dan kejadian asalnya sendiri. Dalam kenyataan hidup manusia hampir tidak ada individu yang bebas sama sekali dari bentuk ekspresi pengagungan yang mempunyai nilai ‘ubudiyah.18 Maka, sama halnya dengan semua kecenderungan natural, kecenderungan manusia untuk melakukan tindakan-tindakan ‘ubudiyah harus disalurkan secara benar. Dan salah satu batu penguji kebenaran suatu tindakan ‘ubudiyah ialah bahwa ia harus berdampak peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan individu yang bersangkutan. Melalui ibadah, seorang hamba mengharap bahwa Allah akan menolong dan membimbing hidupnya menempuh jalan menuju kebenaran. Karena seorang individu menyadari bahwa dalam menghadapi tantangan hidup bermoral yang tak terhindarkan, ia memerlukan rahmat dan keutamaan (fadl) dari Allah, karena manusia tidak mungkin mencari dan menemukan sendiri secara sempurna dan tuntas jalan kebenaran itu tanpa bimbingan-Nya.19 Firman-Nya, “Orang-orang yang beriman dan tidak mengotori imannya itu dengan kejahatan, mereka itulah orang-orang yang (benar-benar) mendapatkan rasa aman (al-amn), karena mereka berpetunjuk.” (QS. al-An’am: 82). Oleh karena itu, diperintahkan agar memohon pertolongan Allah dengan sikap tabah dan sabar serta salat, seperti yang tertera dalam QS. al-Baqarah: 153. _____________ 16
Firman Allah yang banyak dikutip, QS, al-Dzariyat: 56, dan QS, al-Fatihah: 4. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 57. Makna yang esensial dari kata ‘abd (hamba) adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan. Dalam konteks ini, ketaatan, ketundukan dan kepatuhan manusia hanya layak diberikan kepada Allah yang dicerminkan dalam ketaatan, ketundukan dan kepatuhan pada kebenaran dan keadilan. Abd. Rahman Assegaf, Studi Islam Kontekstual (Yogyakarta: Gama Media, 2005), 69. 18 Jika seseorang tidak melakukan suatu tindakan ‘ubudiyah tertentu yang standar (seperti salat dalam Islam, misalnya), tentu ia melakukan bentuk tindakan ‘ubudiyah yang lain (seperti, kecenderungan amat kuat pada kaum komunis untuk mengagungkan pemimpin mereka). 19 Bahwa unsur kemurahan (fadl) dari Allah merupakan segi yang amat menentukan apakah seseorang bakal mampu menemukan dan kemudian mengikuti jalan hidup yang benar banyak sekali dinyatakan dalam al-Qur’an, seperti QS, al-Nur: 21, “Wahai sekalian orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa mengikuti langkahlangkah setan, maka sesungguhnya ia menganjurkan untuk perbuatan kotor dan keji. Seandainya tidak karena kemurahan (fadl) Allah serta kasih (rahmah)-Nya, maka tak seorang pun dari kamu yang dapat menjadi suci. Tetapi Allah mensucikan siapa pun yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. 17
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
85
Al-Qur’an juga menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Allah, yang menjadi khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk yang semisamawi dan semi-duniawi, yang di dalam dirinya di tanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta, serta karunia keunggulan atas alam semesta, langit dan bumi.20 Manusia sebagai hamba Allah, dianggap mampu dalam menjalankan fungsi ‘ubudiyahnya, karena melekat di dalam dirinya kemuliaan Allah. Kemuliaan manusia dibanding dengan makhluk lainnya adalah karena manusia dikaruniai akal untuk berpikir dan menimbang baik-buruk, benar salah, juga terpuji-tercela, sedangkan makhluk lain semisal binatang, tumbuhan, mineral bahkan jin, tidaklah memperoleh kelebihan seperti halnya yang diberikan kepada kepada manusia berupa akal pikiran tersebut, hal ini dapat di lihat dalam QS. al-Tin: 4 dan QS. alIsra’: 70. Disamping kelebihan, manusia juga memiliki aspek kelemahan, misalnya kikir (QS. al-Isra’: 100), paling banyak membantah (QS. al-Kahfi: 54), penuh keluh kesah (QS. al-Ma’arij: 19), melampaui batas (QS. al-Alaq: 6), tergesa-gesa (QS. al-Isra’: 11), memiliki hawa nafsu yang mengajak kepada kejahatan (QS. Yusuf: 53), mudah putus asa dan tidak berterima kasih (QS. Hud: 9), serta lainnya. Sebagai khalifah Allah, pertama, manusia memikul tanggung jawab pribadi, orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain (QS. al-An’am: 164) dan pada hari kiamat nanti mereka datang kepada Allah dengan sendirisendiri (QS. Maryam: 95). Ini membuktikan bahwa manusia sebagai hamba Allah itu memiliki kebebasan individual atas dirinya sendiri namun tetap bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Kedua, tanggung jawab manusia sebagai khalifah Allah. Manusia sebagai khalifah fi al-ardl atau pemimpin, penguasa, pengganti, wakil dan pengelola di bumi, dalam arti lebih luas sebagai pemakmur alam semesta. Allah telah mengangkat manusia sebagai khalifah, bahkan para malaikat diperintahkan untuk sujud sebagai tanda penghormatan kepada manusia tersebut (QS. al-Baqarah: 34).21 Sebagai khalifah, manusia dimaksudkan tampil di bumi ini dengan wajahnya yang ramah dan anggun untuk memimpin, mengelola dan memakmurkan bumi, bukan sebaliknya sebagai orang tertindas, dan terbelakang dari berbagai kemajuan.
_____________ 20
Manusia diangkat oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi dengan tugas menjadi penguasa yang mengelola dan memakmurkan bumi beserta isinya dengan sebaik-baiknya (QS. alBaqarah: 30 dan QS. Hud: 61). Diciptakannya segala sesuatu di muka bumi oleh Allah adalah untuk kepentingan manusia (QS. al-Baqarah: 29). Manusia diberi beban untuk beragama (Islam) sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas kekhalifahannya. Karena manusia akan diminta pertanggung jawaban atas pelaksanaan tugasnya tersebut (QS. al-Qiyamah: 36). 21 Perintah sujud ini diulang dalam al-Qur’an hingga enam surat, yakni; al-Kahfi, alA’raf, Thaha, Isra’, al-Hijr dan Shaad. Iblis yang menolak bersujud telah dikutuk dan dikeluarkan dari surga. Sikap tidak mau sujud menghormat kepada khalifah ini merupakan pelanggaran terhadap perintah Allah, karena pada awalnya pengertian sujud adalah beribadah kepadanya. Dalam ayat lain, penyebutan khalifah ini tidak hanya dinisbatkan kepada Nabi Adam saja, melainkan juga beberapa nabi yang lain, seperti nabi Ibrahim dan nabi Nuh. Bahkan tidak dikhususkan kepada pihak lelaki semata. Lihat Assegaf, Studi Islam….., 71. 86
MUHAMMAD IRHAM: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH
KESIMPULAN Manusia dalam perspektif hamba Allah adalah manusia yang “fithrah”, “hanif” dan “abid”. Pertama, Manusia disebut fithrah atau fithri karena kejadian dan penciptaannya sejak semula adalah suci. Dengan kata lain, kejadian asal manusia telah di design Tuhan menjadi manusia yang suci yang sesuai dengan eksistensinya sebagai hamba Allah dan dipercaya menjadi khalifah Allah fi alardl. Segala sesuatu yang dilakukan manusia dan itu bertentangan dengan fithrah kemanusiaannya akan menyebabkan manusia membinasakan dirinya sendiri. Kedua, manusia disebut hanif karena di dalam dirinya juga diciptakan Allah potensi untuk condong atau berpihak kepada jalan yang lurus (shirath almustaqim) yaitu al-Islam, hanif juga merupakan kecenderungan hamba Allah kepada tauhid (pengesaan Allah) dan lawan dari musyrik – tuhan-tuhan palsu (politeisme). Karena fithrah kesucian yang bersemayam dalam hati nurani itulah manusia bersifat hanif, artinya secara pembawaan alami cenderung merindukan dan memihak kepada yang baik dan benar. Karena itu pula fithrah dan kehanifan (hanifiyah) merupakan lokus kesadaran kebenaran merupakan titik pusat atau kesediaan masing-masing manusia untuk menerima agama penyerahan diri dan ketaatan kepada Allah melalui tindakan hidup berakhlak. Ketiga, manusia ‘ubudiyah atau ‘abdullah adalah manusia yang mengabdi dan menyembah hanya kepada Allah semata, pengabdian kepada Allah meninggikan derajat manusia itu sendiri, ketimbang pengabdian yang dilakukan terhadap sesama makhluk yang justeru merendahkan derajat kemuliaannya. Tindakan ‘ubudiah yang dilakukan hamba Allah adalah untuk mengelola dan memakmurkan bumi ciptaan Allah yang dihuninya. Tindakan-tindakan merusak seperti mengeksploitasi manusia dan alam untuk kepentingan-kepentingan semacam ekonomi dan politik yang sesat sangat bertentangan dengan citra manusia sebagai ‘abdullah yang merupakan puncak kreasi Tuhan. Dapat disimpulkan bahwa, peran dan perjalanan manusia sebagai hamba Allah dalam kehidupan ini memiliki tiga karakter; fithrah, hanif dan ubudiah. Sejauhmana pemaknaan dan keyakinan manusia terhadap pengilmuan dan pengamalan terhadap fithrah, hanif dan ubudiah, sejauh itu pula kearifan dan kebaikan manusia seutuhnya dapat diperoleh sebagai makhluk puncak kreasi Tuhan.
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 1, JANUARI 2012
87
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim. Amal, Taufik Adnan, (peny.), Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1987. Assegaf, Abd. Rahman, Studi Islam Kontekstual, Yogyakarta: Gama Media, 2005. Gaus AF, Ahmad, Dialog Ramadhan bersama Cak Nur, Jakarta: Paramadina, 2000. Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz I-XXX, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981. Madjid, Nurcholis, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992. Muthahhari, Murthadha, Mengenal Epistemologi Sebuah Pembuktian Terhadap Rapuhnya Pemikiran Asing dan Kokohnya Pemikiran Islam, terj. M. Jawad Bafaqih, Jakarta: Lentera, 2001. Al-Nawawi, Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, Jakarta: Paramadina, 2002. Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsepkonsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996. Rahman, Fazlur Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1983. Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994. -------------, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996. Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur’an Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’an, Jakarta: Pena Madani, 2003. Al-Thabathaba’i, Muhammad Husain, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Jilid. VI Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1397 H.
88
MUHAMMAD IRHAM: MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HAMBA ALLAH