MAKNA UPACARA NGENTEG LINGGIH* I Made Titib** Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, Bali ‘Om Hyang Prajàpati, Pencipta alam semesta, tidak ada yang lain yang maha kuasa, mengendalikan seluruh ciptaan-Mu, kami persembahkan segala cita-cita kami, kepada-Mu, anugrahkanlah karunia berupa segala kebajikan kepada kami’ Rigveda X.121.10
Pendahuluan Seluruh umat Hindu di Bali dan di Indonesia menyambut gembira karya yang luhur dari Semeton Nyama Braya Bali Berlin tanggal 5 Mei 2012. Pendirian sebuah pura di Eropa dan di berbagai belahan dunia adalah usaha yang sangat mulia, karena pembangunan sebuah pura akan lebih meningkatkan keimanan (sraddha) dan bhakti. Kini masyarakat dunia tahu bahwa Hindu tidak hanya di Bali, Indonesia dan India, tetapi di mana pun di dunia ini ada. Pura atau mandir model India (Indian Style) hampir terdapat di seluruh dunia, tetapi pura dalam style Bali baru beberapa di Eropa, dan Australia. Pura sebagai titik pusat konsentrasi umat Hindu di samping merupakan sarana untuk meningkatkan dan memantapkan sraddha dan bhakti umat Hindu kepada Tuhan Yang Maha Esa, adalah juga sebagai sarana mempererat persaudaraan sesama umat Hindu apa pun latar belakang etnisnya, memajukan pendidikan dan usaha-usaha yang bersifat sosial budaya keagamaan. Dengan berdirinya sebuah pura, umat Hindu akan lebih dekat mengenal sesama umat di sekitarnya, dan sebagai sarana pendidikan dan sosial kegamaan, maka seseorang dapat mengenal dan memahami aktivitas ritual dan seni sakral yang berlangsung secara periodik di pura tersebut, demikian pula sebagai sarana pendidikan, sangat berguna untuk memajukan pendidikan agama Hindu, utamanya pendidikan yang bersifat spiritual. Dalam kehidupan modern di era globalisasi ini berbagai tantangan dihadapi oleh yang oleh Apadurai dirinci ke dalam beberapa tantangan seperti technoscape (teknologi yang sangat maju), mediascape (media massa yang sangat canggih), etnoscape (perpindahan berbagai etnis di berbagai belahan dunia), financescape (aliran uang dari negara-negara kaya ke negara-negara miskin) dan ideoscape (berbagai paham/ideologi) juga mempengaruhi berbagai bangsa di dunia ini. Menghadapi situasi yang demikian itu, umat Hindu harus mampu untuk tetap eksis dan dapat mengikuti perkembangan kehidupan masyarakat dengan senantiasa berpegangan kepada ajaran agama (dharma) dan menjadikan pura sebagai wahana pemujaan kepada-Nya. -----------------------------------------------------* Materi Dharma Wacana di sampaikan dalam Upacara Ngenteg Linggih di Pura Trihita Karana, Berlin, Jerman, 5 Mei 2012 bertempat di pelataran pura tersebut.
**Prof. Dr. I Made Titib, Ph.D. Guru Besar Ilmu Veda, Fakultas Brahma Widya, kini Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, alumni Pendidikan Doktor, Vedic Department, Gurukula Kangri University, Haridwar, Uttarpradesh, India (1993) dan alumni Pendidikan Doktor Kajian Budaya, Universitas Udayana Denpasar, Bali (2005) mantan anggota TNIAD (1978-1985) dan Anggota DPRD Bali (1997-1999), dan kini juga anggota Sabha Walaka Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat.
Pura Replika Kahyangan di Bumi Dalam keyakinan umat beragama, Tuhan Yang Maha Esa yang di dalam agama Hindu disebut dan digambarkan dengan ribuan nama dan rupa (sahasra nama rupa Brahman) diyakini ber-sthana di svargaloka atau kahyangan yang sangat indah penuh kegembiraan, kedamaian, kesejukan dan kebahagiaan. Penghuni sorga adalah makhluk-makhluk suci seperti Tuhan Yang Maha Agung, para Dewata (Dewi-Dewi sebagai aneka perwujudan-Nya), roh-roh suci para maharsi agung (rsi siddha devata), vidyadhara-vidhyadari (makhluk-makhluk suci pengiring dan pelayan para Dewata), juga para seniman yakni penari-penabuh gamelan atau kinara dan kinari dan pasukan pengawal keamanan. Di samping makhluk-makhluk tersebut di atas, juga roh-roh suci leluhur juga mencapai dan tinggal di svargaloka. Di svargaloka terdapat pula beraneka pohon, tubuh-tumbuhan dan atau tanaman, di antaranya yang terpenting adalah kalpavriksa (pohon yang dapat memenuhi semua keinginan penghuni sorga), pohon suvarna dan parijata (pohon emas dan perak), juga terdapat binatang-binatang suci sebagai kendaraan atau vahana para Dewata, seperti garuda vahana Dewa Visnu, angsa vahana Dewa Brahma, lembu Nandini vahana Dewa Siva, singa vahana Dewi Durga dan lain-lain. Bangunanbangunan suci sebagai sthana (tempat tinggal) makhluk-makhluk sorgawi tersebut. Orang-orang yang selama hidupnya senantiasa berbuat baik, berpegangan kepada ajaran dharma, dan mengabdi kepada kemanusiaan, setelah meninggal dunia akan mencapai alam sorga. Mereka yang hidupnya senantiasa suci akan mencapai sorga yang tertinggi atau moksa. Pembangunan sebuah pura juga mengamanatkan orang-orang untuk senantiasa berbuat baik dan benar serta hidup suci yang akan mengantarkannya mencapai kehidupan di sorga kelak di kemudian hari. Sorga dan moksa dapat juga dicapai dalam kehidupan ini (mukti), bila seseorang tekun melakukan praktek sadhana dan hidup suci seperti melalui meditasi yang tekun dan sungguh-sungguh. Untuk mendekatkan umat manusia di bumi dengan Tuhan Yang Maha Esa, para Dewata, roh suci para rsi agung dan roh suci leluhur, maka umat Hindu berdasarkan petunjuk para rsi agung dan kitab suci Veda dan Susastra Hindu lainnya membuat bentuk tiruan (replica) sorga tersebut dan diturunkan atau dibuat di bumi ini. Bentuk tiruan sorga tersebut adalah berupa pura yang di dalamnya terdapat aneka bangunan suci atau palinggih, sebagai sthana Tuhan Yang Maha Esa, para Dewata, roh suci para rsi agung dan roh suci leluhur, oleh karena itu setelah pura dibangun harus segera disucikan dan difungsikan, di antaranya dengan upacara atau ritual ngenteg linggih untuk memantapkan serta menyucikan sthana-Nya. Berkenan dengan pura sebagai replika sorga di bumi, maka pura dan lingkungannya harus dijaga supaya senantiasa suci, karena merupakan kawasan suci. Di dalam pura hendaknya ditata pertamanan dengan menanam bunga-bunga harum yang ketika bunganya mekar dapat dipetik untuk dipersembahkan atau sebagai sarana persembahyangan. Demikian pula seandainya lingkungan pura (telajakan-nya) sangat baik ditanami pohon buah-buahan yang buahnya kelak dapat dipersembahkan. Di dalam pura terdapat bangunan induk minimal sebuah padmasana yang melambangkan bumi dengan puncak gunung sebagai sthana Tuhan Yang Maha Esa, para Dewa, roh suci para maharsi dan roh suci leluhur, badawangnala atau empas (sejenis penyu masing-masing kakinya berjari 6 buah) yang dibelit 2 ekor naga (Anantabhoga dan Vasuki) melambangkan inti bumi yang dibelit oleh kulit bumi sedang naga bersayap (Taksaka) di asana (tempat duduk) pada puncak padma
2
melambangkan atmosfir yang membungkus bumi menyelamatkan dari bahaya meteor yang menghujam bumi. Di samping bangunan induk berupa padmasana, pada pura atau kahyangan yang besar biasanya terdapat bangunan meru yang melambangkan pegunungan Mahameru dengan beraneka puncaknya. Demikian pula gedong dan sebagainya sebagai sthana Tuhan Yang Maha Esa, para Dewata, roh suci para rsi agung dan roh suci leluhur. Terdapat pula bangunan suci pendukung lainnya seperti Pesamuhan Agung (balai pertemuan besar), Bale Papelik (belai pertemuan kecil), Bale Omkara (bertiang satu) sebagai sthana Vidyadhara-Vidyadhari, Bale Pagambuhan atau Bale Gong, Dapur Suci, Bale Kulkul (tempat kentongan) dan sebagainya. Sebuah pura pada umumnya terdiri dari tiga halaman, yang melambangkan tiga tingkatan alam, yakni: halaman luar (jaba sisi) sebagai simbol Bhurloka (bumi), halaman tengah (jaba tengah) simbol Bvahloka (langit), dan halaman dalam (jeroan) simbol dari Svahloka (sorga). Pada halaman tengah/dalam inilah bangunan-bangunan suci utama didirikan. Pada jaba sisi terdapat pintu masuk yang diberi nama candi bentar (split gate) yang melambangkan kaki gunung Mahameru yang pecah ketika Dewa Smara dibakar oleh Dewa Siva melalui mata-Nya yang ketiga. Antara jaba tengah dan jeroan terdapat kori agung atau paduraksa yang melambangkan lereng gunung yang dipenuhi dengan pohon-pohon, bintang buas dan burung-burung. Pada ambang pintu kori agung terdapat ukiran wajah raksasa Bhoma (putra Dewa Visnu) dan menurut versi Sivaistik adalah Kirtimukha (raksasa ciptaan Dewa Siva) yang berarti wajah yang mengerikan. Selanjutnya di halaman jeroan terdapat bangunanbangunan suci seperti padmasana, meru, gedong, pesamuhan agung, papelik dan sebagainya sebagai lambang puncak-puncak pegunungan Himalaya atau Mahameru.
Tata Upacara Membangun Sebuah Pura Dalam pembangunan sebuah pura menurut versi Bali terdapat tata upacara atau tahapan upacara membangun pura, yang dimulai dari: 1) Upacara Ngeruwak Karang atau Upacara Pamungkah. Upacara ini dilaksankan sebagai Upacara awal dalam persiapan membangun sebuah Pura, yakni merubah status tanah; yang sebelumnya mungkin adalah hutan, sawah, ataupun ladang. Jenis Upacara ini dilaksanakan secara insidentil bukan bersifat rutinitas, tetapi Upacara ini dilaksanakan berkaitan dengan adanya pembanguan baru ataupun pemugaran pura secara menyeluruh sehingga nampaknya seperti membangun sepelebahan pura baru. 2) Upacara Nyukat Karang. Upacara ini dilaksanakan dengan maksud mengukur secara pasti tata letak bangunan pelinggih yang akan didirikan, dan luas masingmasing mandala (palemahan) pura, sehingga tercipta sebuah tatanan pura yang seusai dengan aturan yang termuat baik dalam Asta Kosala-Kosali, maupun Asta Bumi. 3) Upacara Nasarin. Upacara ini adalah Upacara peletakan batu pertama, yang didahului dengan Upacara permakluman kepada Ibu Pertiwi, dengan mempersembahkan Upakara sesayut Pertiwi, pejati, dan Upakara lainnya. Pada Upacara ini ditanam sebuah bata merah yang telah dirajah dengan Padma angalayang dangan aksaranya Dasaksara dan Bedawannala yang bertuliskan Angkara, dibukus dengan kain merah dan diisi kuangen. Sebuah batu bulitan yang dirajah dengan aksara Ang-Ung- Mang. Lalu dibungkus kain hitam dan diisi
3
sebuah kuangen. Dan sebuah klungah kelapa gading ditulisi dengan aksara Omkara Gni, dibungkus dengan kain putih dan diisi kuangen. 4) Upacara Memakuh dan Malaspas Upacara ini bertujuan untuk membersihkan semua pelinggih dari kotoran tangan undagi (para pekerja bangunan) agar para Dewa/ Bhatara/ Bhatari berkenan melinggih di pura ini setiap saat terutama pada saat dilangsungkan Upacara pujawali, sedangkan untuk membersihkan/ mensucikan areal pura secara niskala dilaksanakan Upacara pecaruan berupa Panyudha Bumi. Pelaksanaan pemelaspasan yang menyangkut tingkatannya, dengan memperhatikan kedudukan dan fungsi Pura masing-masing, maka akan ditentukan atas/ berdasarkan petunjuk para Sulinggih yang dikaitkan dengan adat setempat yang telah berlangsung sejak dahulu dengan asumsi pelaksanaan Upacara akan menjadi lebih sempurna. 5) Upacara Ngenteg Linggih adalah sebagai rangkaian upacara paling akhir dari pelaksanaan upacara mendirikan sebuah pura, secara etimologi ngenteg berarti menetapkan -linggih berarti menobatkan/mensthanakan. Upacara inti dalam ngenteg linggih adalah upacara mendem pedagingan. setelah upacara pamelaspasan dan suddha bhumi akan dilaksanakan upacara mendem pedagingan, sebagai lambang singgasana Hyang Widhi yang disthanakan. Bentuk serta jenis pedagingan antara satu Pelinggih dengan Pelinggih yang lainnya tidak sama - hal ini tergantung dari jenis bangunan Pelinggih yang bersangkutan, termasuk jenis bebantennyapun juga ada yang berbeda. Tata cara membuat dan memendem pedagingan ini di samping mengikuti sastra agama, juga mengikuti isi Bhisama dari Mpu Kuturan, sebagaimana dilaksanakan ketika membangun meru di Besakih. Adapun cuplikan Bhisama dimaksud adalah sebagai berikut: "Yan meru tumpang 11, tumpang 9, tumpang 7, tumpang 5, sami wenang mepadagingan tur mangda memargi kanistama, madyama, uttama, lwir, yaning meru tumpang 11, pedagingannya ring dasar salwiring prabot manusa genep mewadah kwali waja. Sejawaning prabot manusa, maweweh antuk ayam mas, ayam selaka, bebek mas, slaka, kacang mas, slaka tumpeng mas, slaka, naga mas, slaka, mamata mirah, prihpih mas, slaka, tembaga miwah jarum mas, slaka, tembaga, padi mas, ika dados dasar. Tumpang meru ika wilang akeh ipun, sami medaging prihpih kadi ajeng, saha mawadah rerapetan sane mawarna putih, mwah wangi-wangian setegepe, mawastra putih, rantasan sapradeg. Ring madyaning tumpang merune, madaging prihpih, jarum kadi ajeng, miwah padi musah 2, wangi-wangian setegepe. Ring puncaknya, taler prihpih mas, slaka miwah jarum kadi ajeng, tur maweweh mas 1, masoca mirah, murda wenang. Asampunika kandaning meru tumpang 11, pedaginganipun, yaning buat jinah punika manista madya utama, utama jinah papendemane 11 tali, madya 8 tali, nista 4 tali. (”Kalau membangun meru tumpang 11, 9, 7, 5, 3 dan 1 semuanya patut mengikuti tingkatan kecil, menengah dan besar, yakni bila meru tumpang 11, padagingan pada bangunan bagian dasar adalah segala jenis perabotan yang digunakan umat manusia lengkap ditempatkan dalam pengorangan baja, di samping itu ada tambahan ayam dari emas dan ayam perak, bebek emas dan bebek perak, kacang emas dan kacang dari perak, tumpeng emas, naga emas, naga perak, bermata mirah, kepingan (pripih) emas, perak, tembaga dan jarum emas, perak, tembaga, padi dari emas. Semuanya itu ditempatkan pada dasar. Setiap tumpang 4
(atap tingkat) meru semuanya berisi kepingan emas seperti tersebut di depan dimasukkan (dalam wadah) bernama rapetan berwarna putih, ditambahkan wangiwangi selengkapnya, busana putih dan kain selengkapnya. Pada bagian tengah meru, berisi prihpih, jarum emas seperti di depan. Pada puncaknya juga berisi kepingan emas dan sebagainya seperti di depan dengan permata mirah. Demikian halnya membangun meru tumpang 11 dengan pedagingannya serta uang (kepeng) sebanyak 8000, 6000, dan 4000 bagi yang besar, menengah dan kecil). Malih pedagingan padmasana ring dasar pedaginganipun, badawangnala mas, slaka mwah prabot manusa genep, wangi-wangian pripih mas, slaka, tembaga, jarum mas, slaka, tembaga, miwah podhi mirah 2, tumpeng mas, slaka, capung mas, sampian mas, slaka, nyalian mas, udang mas, getem (ketam) temaga, tanlempas mewangi-wangian segenepa, mewadah rapetan putih, metali benang catur warna. Malih pedagingan ring madya, lwire pripih mas, merajah makara, pripih slaka merajah kulum, pripih tembaga merajah getem, miwah jarum manut pripih, phodi mirah 2, tan sah wangi-wangian setegepa mewadah rerapetan putih. Malih korsi mas mewadah lingir sweta, punika ngaran utama yadnyan nista, madia utama, sluwir-luwir padagingan ika, kawanganya maprasistha rumuhun. Sampunang pisan mamurug, dawning linggih Bhatara, yang ande kapurug, kahyangan ika wenang dadi pesayuban bhuta pisaca, makadi sang mewangun kahyangan ika, tan memanggih rahayu terus tumus kateka tekeng putra potrakanya, asapunka kojarnya sami mangguh lara roga. Malih pedagingan ring luhur luwire, padma mas, masoca mirah korsi mas, phodi mirah, asapunika padagingannya ring padmasana" (Bila membangun padmasana, padagingan pada dasar adalah badawangnala (sejenis kura-kura) dari emas, dan perak serta perabotan manusia lengkap, wangiwangian, kepingan emas, perak dan tembaga, jarum emas, perak dan tembaga berserta permata mirah dimasukkan dalam rapetan berwarna putih. Apun padagingan di tengah (madya) kepingan emams ditulisi makara, kepingan perak ditulisi kulum, kepingan tembaga ditulisi getem, dan jarum sesuai kepingan logam di atas, permata mirah 2 buah, juga wangi-wangian lengkap ditempatkan dalam rapetan putih. Ada tambahan lagi berupa kursi dari emas ditempatkan dalam cangkir putih, demikian disebut utama, walau sederhana atau kecil, diusahakan semua berisi padagingan didahului dengan upacara prayascita (penyucian). Jangan melanggar ketentuan di atas, untuk sthana Tuhan Yang Maha Esa dan para Dewa, kalau tidak diikuti petunjuk tersebut, bangunan suci tersebut akan menjadi temopat tinggal bhuta, kala dan pisaca (roh-roh jahat) dan yang membngun pura tersebuit tidalk menemukan selamat sampai ke anak cucu, demikian semuanya mendapatkan penderitaan. Dan untuk padagingan pada puncak bangunan padmasana adalah padma emas, permata mirah, kursi emas, permata mirah. Demikianlah padagingan pada bangunan suci padmasana). Setelah penanaman padagingan pada setiap bangunan suci, utamanya bangunan padmasana, dilanjutkan dengan utpati (menghidupkan) bangunan tersebut dan upacara sejenis ini di India disebut Kumbha Abhiseka, yakni upacara penyucian dengan sarana air suci (dalam kumbha) untuk memfungsikan bangunan tersebut.
5
Pengertian, Fungsi dan Makna Upacara Ngenteg Linggih Seperti telah disebutkan di atas, upacara Ngenteg Linggih adalah upacara penobatan/mensthanakan Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya pada palinggih atau bangunan suci yang dibangun, sehingga Beliau berkenan kembali setiap saat terutama manakala dilangsungkan segala kegiatan Upacara di pura yang bersangkutan. Ada dua jenis upacara Ngenteg Linggih, yakni: (1) ngenteg linggih mamungkah berupa upacara ngenteg linggih ketika sebuah pura baru dibangun dan belum pernah diselenggarakan upacara tersebut. (2) ngenteg linggih mupuk padagingan adalah upacara ngenteg linggih yang dilaksanakan setiap 10 – 15 tahun sekali, dengan melaksanakan upacara menanam padagingan baru untuk merevitalisasi pura yang telah berdiri puluhan tahun sebelumnya. Mengenai pelaksanaan ngenteg linggih yang dilaksanakan itu secara garis besarnya adalah sebagai berikut : 1) Upacara ditandai dengan membangun sanggar tawang rong tiga, dilengkapi dengan bbanten suci 4 (empat) soroh dan banten catur, tegen-tegenan, serta Perlengkapan lainnya berupa sesayut gana, telur, benang, kelapa sebanyak 40 (empat puluh) butir yang dikemas dalam empat bakul, uang kepeng 52 (lima puluh dua). Jika di sanggar tawang sebagai tempat tirta (air suci), mesti dilengkapi lagi dengan banten suci sejumlah tirta yang ditempatkan di sana dan rangkaian lainnya (menurut petunjuk Sulinggih). Pada undakan sanggar tawang bantennya adalah suci samida beserta beras pangopog sebakul berisi bunga lima jenis, seperangkat peras pagenayan bertumpeng merah, ayam biing (merah) dipanggang, dilengkapi dengan daksina berisi benang merah. Pada sanggar tawang memakai lamak 4 (empat) buah pada rong yang ditengah memakai lamak surya dan lamak candra, lamak segara pada rong selatan, lamak gunung pada rong paling utara. Pada masing-masing ruangan juga dilengkapi dengan ujung daun pisang kayu, plawa dilengkapi pajeng (payung), tetunggul (umbul-umbul) empat warna: putih, kuning, merah dan hitam. Pada bangunan panggungan perlengkapannya adalah pring kumaligi, beralaskan pane diisi beras dan uang kepeng 225, benang setukel dan memakai busana lengkap. Perlengkapan lainnya berupa sesantun beras senyiru, 5 butir kelapa, telur, benang, uang 5.000,- (lima ribu), jerimpen 5 (lima) tanding, dijadikan lima nyiru, ini disebut banten paselang. 2) Banten di bawah panggungan dilengkapi dengan gayah, sate bebali dan gelar sanga ditambah dengan plegembal. Di depan lubang yang nantinya digunakan mepulang/ menanam pedagingan, didepannya digelar baying-bayang (kulit) kerbau hitam, sesajen selengkapnya dengan bebangkit warna hitam, pulakerti 1, suci 1, pagu putih ijo cawu guling, cawu renteng, isu-isu, kwangi. 3) Pada sanggar tutuwan, bebantennya adalah banten p e n e b u s , dengan perlengkapannya suci putih, bebangkit dan pula kerti, sedangkan banten penyorohnya adalah dihaturkan kehadapan manifestasi Hyang Widhi yang berstana di Sapta Patala (nama Pelinggih), berupa suci 1, bebangkit hitam, guling dan dedaanan, bebanten di natar pura, berupa caru panca sanak, baying-bayang (kulit) angsa, bebek belang kalung, anjing belang bungkem, kambing hitam, dilengkapi dengan suci, bebangkit hitam, pula kerti dan beras serba sepuluh. Setelah semua Perlengkapan upacara ini disiapkan, barulah pemujaan oleh Sulinggih, kemudian diakhiri dengan persembahyangan bersama.
6
Catatan: tingkatan upakara dan upacara dari ngeruwak sampai ngenteg linggih pelaksanaannya agar disesuaikan dengan petunjuk sastra dan petunjuk para sulinggih yang menjadi manggala upacara saat ngenteg linggih. Upacara ini mengacu pada teksteks lontar: (1) Gong Besi, (2) Tutur Kuturan, (3) Dwijendra Tattwa,(4) Sanghyang Aji Swamandala, (5) Purwa Gumi Kemulan, dan (6) Yadnya Prakerti. Adapun maksud dan tujuan upacarangenteg linggih adalah untuk menyucikan atau mensakralkannya sthanakan Hyang Widhi dan manifestasi-manifestasinya, sehingga bangunan itu memenuhi syarat sebagai "niyasa" (simbol) objek konsentrasi pemujaan. Upacara ngenteg linggih mempunyai makna upacara mensucikan dan mensakralkan niyasa tempat memuja Hyang Widhi. Dalam bahasa Bali ngenteg artinya mengukuhkan, dan linggih artinya kedudukan. Pelaksanaan upacara ngenteg linggih dilakukan telah selesai pembuatan bangunan dalam bentuk padmasana, sanggah pamarajan dan pura. Selanjutnya tahapan upacara ngenteg linggih 1) Upacara mamangguh yaitu upacara mencari sebidang tanah yang cocok untuk di jadikan pura dengan memohon petunjuk dari Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Memangguh asal katanya : "pangguh" atau "panggih" artinya menemukan. Memangguh lebih cenderung diartikan sebagai menemukan bidang tanah secara niskala. (niskala = tidak nyata) 2) Upacara memirak dilakukan untuk memohon ijin kepada Sang Hyang Widhi guna membangun tempat suci dalam bentuk padmasana, sanggah, pamarajan dan pura. Memirak berasal dari kata "pirak" artinya membeli. 3) Upacara nyengker ini bermakna memberi batas luas tanah yang akan di jadikan bangunan tempat suci dengan cara membangun pagar keliling atau dengan menaburkan tepung beras putih.nyengker berasal dari kata "sengker" artinya batas. 4) Upacara macaru bermakna sebagai korban suci/pengorbanan yang tulis ihklas kehadapan Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) untuk keseimbangan dan keselarasan. Macaru berasal dari kata "caru" artinya korban suci. Pemahaman ini terdapat dalam ajaran Hindu Tri Hita Karana (tri = tiga, hita = kebaikan, karana= sebab. Jadi Trihitakarana adalah tiga hal yang menyebabkan kebaikan). Tentang tingkatan upacara Caru disesuaikan dengan kemampuan umat Hindu setempat. 5) Upacara mlaspas dilakukan sebagai wujud rasa terima kasih kehadapan Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), yang telah memberikan alam berserta isi nya untuk kebutuhan manusia berupa bahan bahan keperluan untuk membangun tempat suci (terdiri dari kayu dan batu), yang akan digunakan berdasarkan keperluan yang ada, dan sisanya akan di kembalikan lagi kealam semesta. Mlaspas berasal dari kata pas (tidak lebih-tidak kurang). 6) Upacara mamangku bertujuan menyatukan bagian-bagian bangunan, mulai dari pondamen, tiang dan atap, sehingga berbentuk suatu bangunan, yang pada awalnya berupa tumpukan material saja. Mamangku berasal kata dari pangku yang berati memegang dengan tangan, juga berarti kukuh/kokoh yang artinya kuat. 7) Upacara ngurip ini bermakna untuk menghidupkan kembali segala sesuatu yang berasal dari alam, yang diguna sebagai bahan material untuk membangun tempat suci, misalnya pohon jati, pasir, tanah liat dan lain-lain. Saat pohon di tebang, pasir di keruk dan tanah liat di bakar (bata/genting) untuk di jadikan bahan bangunan, semua material tersebut mati, dan segala yang mati itu bangkai Agar palinggih (niyasa) tidak terdiri dari bahan-bahan yang sudah mati/bangkai, maka bangunan itu perlu dihidupkan atau di-urip dengan puja mantra, dan upacara ngurip berasal dari kata urip yang artinya hidup. 7
8) Upacara masupati ini dilakukan untuk mensakralkan bangunan (Niyasa) dengan cara memohon kepada Sang Hyang Widhi (tuhan Yang Maha Esa) agar diberikan kesucian dan nilai magic. Masupati asal dari katanya pasupati berarti menjadikan sakral. Pelaksanaannya dengan memercikan tirta/air pasupati dan menoreh tanda dengan warna merah (dari darah) sebagai simbol Brahma, putih (dari kapur) sebagai simbol Siva dan hitam (dari arang) sebagai simbol Visnu. 9) Upacara piodalan. Setelah upacara ngenteg linggih dilanjutkan dengan upacara piodalan, yakni penyambutan yang pertama bahwa pura telah berdiri yang diikuti persembahyangan bersama. 10) Upacara nganyarin. Upacara ini berlangsung sehari setelah hari upacara ngenteg linggih dan piodalan, berturut-turut setiap hari sampai upacara Masineb. 11) Upacara masineb. Secara simbolis upacara telah berakhir, Sang Hyang Widhi diiringi para Dewa dan roh suci para rsi agung dan roh suci leluhur kembali ke svarga atau kahyangan-nya yang sejati.
Makna Simbolisasi Upacara Setelah bangunan selesai dikerjakan, dilaksanakan upacara penyucian bangunan suci dan lingkungannya. Pada masing-masing puncak bangunan suci tersebut ditancapkan orti, ancak dan bingin, yang berfungsi untuk memberitakan bahwa di dunia ini akanm berlangsung penyucian sebuah pura. Pada halaman pura ditancapkan pula beberapa batang bambu yang pada bagian tertentu diberi berbagai bentuk lubang dan ketika ditiup angin akan terdengar suara merdu mendayu-dayu dan kadang-kadang halus melengking. Tiang-tiang bambu yang panjang dan melengkung itu disebut sunari, yang kemungkinan berasal dari sundari (bahasa Sanskerta) yang berarti indah atau merdu. Suara yang merdu dari sunari tersebut menjadikan para Dewa akan melongok ke bumi, dan sangat ingin turun menemui umat-Nya. Di samping sunari, ditancapkan pula penjor (sebatang bambu sampai ujungnya yang dihias dengan janur yang dilengkapi dengan buah-buah dan umbi-umbian serta kain putih pada bagian atasnya. Penjor juga melambangkan bumi dan gunung yang memberi kemakmuran kepada umat manusia. Di samping itu terdapat pula umbulumbul bergambar naga, dan bendera (kober) bergambar Hanuman dan tokoh-tokoh Ramayana lainnya mengingatkan akan cerita Arjuna Pramada (Arjuna lalai, tidak hormat), bahwa suatu hari Arjuna diminta menemani Sri Krishna menuju pantai Selatan India. Arjuna melihat bekas-bekas jembatan Sri Rama dan muncul keangkuhan dirinya. “Membikin jembatan demikian saja menggunakan tenaga ribuan kera, kalau aku sendiri saja bisa membikin jembatan yang jauh lebih besar dan kuat dibandingkan jembatan Sri Rama”. Demikian Arjuna menyombongkan diri dalam pikirannya, tiba-tiba datang seekor kera bengil, dan berbicara kepada Arjuna. Arjuna terperanjat, anda siapa. “Saya Hanuman!”. “Mengapa anda kurus dan kecil begini”, demikian pertanyaan Arjuna selanjutnya. “Arjuna, kini saya sudah pensiun, tidak punya kekuasaan lagi, oleh karena itu badan saya juga menjadi kecil”. Demikian jawab Hanuman. Arjuna semakin angkuh dan melepaskan panah naga tali (nagapasa) dan tiba-tiba saja jembatan besar dan tampak kokoh berdiri tegak di depannya. Hanuman mohon ijin untuk melompat di atasnya, demikian menginjak jembatan tersebut, jembatan tersebut langsung hancur. Arjuna sangat malu dan memohon kepada Hanuman, supaya diijinkan menyembah dirinya, tetapi Hanuman katakan, sembahlah Tuhan Yang Maha Esa, Sri Rama dan bukan saya. Hanuman menasehati Arjuna, supaya pada setiap pura dalam rangka upacara senantiasa dikibarkan bendera 8
bergambar Hanuman, Arjuna, Sri Krishna, Sri Rama dan tokoh-tokoh lain dalam Ramayana. Demikian pula ular naga tali tadi sepaya digambar pada umbul-umbul. Selanjutnya, setiap pelaksanaan upacara atau ritual Hindu selalu dimulai dengan upakara caru yang bertujuan menetralisir kekuatan negarif, prayascita (penyucian bangunan suci dan lingkungannya) dan durmanggala (persembahan untuk menetralisir kekuatan negatif yang membahayakan). Selanjutnya adalah menanam padagingan (di dalam terdapat unsur-unsur pancadatu = lima jenis logam dan permata mulia) pada masing-masing bangunan suci. Setelah selesai melaksanakan upacara ngenteg linggih, lingkungan dan semua bangunan suci sudah disakralisasi, baru kemudian Sang Hyang Widhi diiringi para Dewa dan roh suci para rsi agung dan roh suci leluhur dimohon turun ke bumi untuk bersthana di tempat suci yang baru disakralkan tersebut. Ketika Sang Hyang Widhi diiringi para Dewa dan roh suci para rsi agung dan roh suci leluhur, beliau diiringi oleh para Vidyadhara-Vidyadhari (pembawa pengetahuan), Kinara-Kinari (seniman tari dan tabuh di sorga) serta pasukan kebesaran yang maha agung. Para penari wanita dari sorga digambarkan dengan tari rejang dewa sedang pasukan pengiring Sang Hyang Widhi diiringi para Dewa dan roh suci para rsi agung dan roh suci leluhur digambarkan dengan pementasan tari baris gede, baris tumbak, baris tamyang dan lain sebagainya, bahkan sejenis beduk yang disebut tambur dipukul bertalu-talu diselingi suara kentongan, dengan suasana yang khidmat diiringi bau wangi bunga dan dupa, Sang Hyang Widhi diiringi para Dewa dan roh suci para rsi agung dan roh suci leluhur turun dengan mengellilinmgi pura 3 kali arah jarum jam yang disebut “pradaksina”. Secara hukum alam gerakan memutar ke arah kanan (mengikuti arah jarum jam) adalah gerakan turun. Sebaliknya ketika selesai melaksanakan upacara, saat upacara masineb, maka prosesi ngiring Sang Hyang Widhi diiringi para Dewa dan roh suci para rsi agung dan roh suci leluhur kembali menuju alam sorga (kahyangan) dengan arah berlawanan dari ‘pradaksina” yang disebut “prasavya” mengikuti jalannya asap. Ketika selesai acara “pradaksina” dilanjutkan dengan persembahan nivedya berupa makanan, minuman, buah-buahan dan wangi-wangian, untuk selanjutnya umat yang hadir di pura yang baru disucikan itu mengikuti persembahyangan bersama untuk memohon berkah dan karunia-Nya.
Penutup Demikian makna simbolisasi upacara ritual ngenteg linggih. Semoga melalui upacara yang sangat suci kita semua memperoleh karunia dan sukses melaksanakan tugas dan kewajiban yang menjadi swadharma masing-masing. Om Sarve sukhino bhavantu, sarve santu niramayah, Sarve bhadrani pasyantu, ma kascid duhkha bhag bawet. (Om Semoga semuanya memperoleh kebahagiaan, semoga semuanya memperoleh kedamaian, semoga tumbuh saling pengertian dan saling berpandangan baik, semoga semuanya tiada mendapatkan rintangan)
9