JALABAHASA, VOLUME 13, NOMOR 1 TAHUN 2017
MAKNA KULTURAL PADA ISTILAH BIDANG PERTANIAN PADI DI DESA BOJA, KABUPATEN KENDAL, JAWA TENGAH (SEBUAH TINJAUAN ETNOLINGUISTIK) (Cultural Meaning on Planting of Rice Term in Boja, District of Kendal, Central Java (An Etnolinguistics Study)) oleh/by: Tri Wahyuni Balai Bahasa Jawa Tengah Jalan Elang Raya Nomor 1, Mangunharjo, Tembalang, Semarang Telepon 024-76744356, Faksimile 024-76744358 Pos-el
[email protected] Diterima: 13 Februari 2017; Disetujui: 10 Maret 2017 ABSTRAK Seperti diketahui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kecenderungan corak agraris dan maritim. Sebagian besar masyarakatnya bercocok tanam dan melaut. Hal ini memungkinkan banyak istilah pertanian dan bidang-bidang lain yang berkembang di dalam masyarakat secara oral atau lisan, artinya berkembang dari mulut ke mulut secara arbriter atau manasuka. Pada perkembangannya, istilah-istilah bidang pertanian digunakan sebagai cara menyampaikan pesan moral dalam bingkai norma-norma secara tidak langsung. Tulisan ini menggunakan pendekatan etnolinguistik yang memungkinkan kontak antara penulis dan responden. Tujuannya mendeskripsikan istilah-istilah bidang pertanian padi dan makna kultural di Desa Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Terdapat 64 istilah bidang pertanian tanaman padi. Makna kultural yang terkandung dalam istilah-istilah bidang pertanian padi adalah teladan-teladan yang harus dimiliki oleh seorang manusia yang sejatinya merupakan pemimpin untuk dirinya sendiri ataupun pemimpin masyarakat. Sifat-sifat terpuji dan motivasi hidup tercermin dari simbol-simbol dalam istilah-istilah tersebut. Kata kunci: Istilah-istilah bidang pertanian padi, norma, makna kultural, etnolinguistik
ABSTRACT As an archipelago country, Indonesia has a focus in agriculture and marine. Most of the people were planting and fishing. It makes it possible most of planting and other terms raise and exsist in the society orally. On it’s progress, the planting terms used as a manner to deliver moral message in norms border undirectly. This study used an ethnolinguistics approach which make it possible the contact between the writer and respondent. The aims were to describe the planting of rice terms and it’s cultural meaning in Boja, Kendal, Central Java. There were 64 planting of rice terms. The cultural meaning in planting of rice terms were the good manner and attitudes as a leader in the brotherhood and society. The good manner and life motivation shown from the signs of its terms. Keywords: Planting of rice terms, norms, cultural meaning, ethnolinguistics
20
JALABAHASA, VOLUME 13, NOMOR 1 TAHUN 2017 PENDAHULUAN Kebudayaan atau tradisi tercipta dan terus ada karena adanya dua buah proses. Proses pertama terjadi sebagai akibat hubungan manusia dengan lingkungannya, yakni manusia cenderung selalu menyesuaikan atau beradaptasi dengan cara memberikan tanggapan secara aktif dalam waktu yang relatif lama sehingga pada akhirnya terciptalah suatu kebudayaan. Proses yang kedua adalah bagaimana manusia itu mengembangkan kebudayaannya. Proses ini menyangkut kemampuan manusia berpikir secara metaforik, yakni kemampuan manusia untuk memperluas atau mempersempit interpretasi lambang-lambang atau tanda. Jadi, kebudayaan itu dapat dimaknai sebagai suatu pemahaman manusia terhadap lambang-lambang yang dapat diwariskan dari generasi ke generasi dan merupakan media berkehidupan sosial. Salah satu contoh lambang yang digunakan manusia sebagai media berkehidupan sosial adalah bahasa, yakni penggunaan istilah dalam bidang tertentu, salah satunya di bidang pertanian. Seperti diketahui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kecenderungan corak agraris dan maritim. Sebagian besar masyarakatnya bercocok tanam dan melaut. Hal ini memungkinkan banyak istilah pertanian dan bidang-bidang lain yang berkembang di dalam masyarakat secara oral atau lisan, artinya berkembang dari mulut ke mulut secara arbriter atau manasuka. Istilah-istilah tersebut pada akhirnya menjadi corak sebuah peradaban masyarakat yang mencirikan budaya dan tradisi yang berlaku. Selain itu, eksistensi istilahistilah di dalam sebuah masyarakat tidak sedikit yang kemudian dijadikan kontrol sosial yang efektif dalam menjalankan roda kehidupan.
Menyadari akan banyaknya nilai kearifan lokal dalam penggunaan istilah-istilah kebudayaan tersebut, penulis merasa perlu menjabarkan istilah-istilah di bidang pertanian, khususnya pada tanaman padi, yang ada dan berkembang di Desa Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Tulisan ini menggunakan pendekatan etnolinguistik yang memungkinkan kontak antara penulis dan responden. Etnolinguistik berasal dari kata etnologi yang berarti ilmu yang mempelajari tentang suku-suku dan linguistik yang berarti ilmu yang mengkaji tentang seluk beluk bahasa keseharian manusia atau disebut juga ilmu bahasa (Sudaryanto, 1996:9), yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi dan pendekatan linguistik (Putra, 1997:3). Menurut Kridalaksana (2011:59), etnolinguistik adalah (1) cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat perdesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan (bidang ini juga disebut linguistik antropologi); dan (2) cabang linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa; salah satu aspek etnolinguistik yang sangat menonjol ialah masalah relativitas bahasa. Menurut Abdullah (2013:10), etnolinguistik adalah jenis linguistik yang menaruh perhatian terhadap dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa, wacana, dan unit-unit lingual lainnya) dalam dimensi sosial dan budaya (seperti upacara ritual, peristiwa budaya, folklor, dan lainnya) yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik budaya dan struktur sosial masyarakat. Etnolinguistik adalah ilmu yang meneliti seluk-beluk hubungan aneka pemakaian bahasa dengan pola 21
JALABAHASA, VOLUME 13, NOMOR 1 TAHUN 2017 kebudayaan dalam masyarakat tertentu, atau ilmu yang mencoba mencari hubungan antara bahasa, penggunaan bahasa, dan kebudayaan pada umumnya. Menurut Duranti (1997:2), etnolinguistik adalah kajian bahasa dan budaya. Istilah dalam bidang pertanian dapat dilihat dari segi makna leksikal dan makna dalam konsep kultural. Kridalaksana (2011:149) menyatakan bahwa makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain. Sementara itu, menurut Djajasudarma (1993:13), makna leksikal adalah makna kata-kata yang dapat berdiri sendiri, baik dalam bentuk tuturan maupun dalam bentuk kata dasar. Selain makna leksikal, istilah pertanian padi yang ada dan berkembang di Desa Boja, Kabupaten Kendal, juga dapat dilihat dari sisi makna kulturalnya. Makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubungannya dengan budaya tertentu. Makna kultural diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. HASIL DAN PEMBAHASAN Tulisan ini mengetengahkan daftar dan deskripsi istilah-istilah bidang pertanian padi yang ada dan berkembang di Desa Boja, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Penyajian istilah-istilah tersebut dibagi dalam beberapa masa, yakni masa persiapan, masa penanaman, masa perawatan, masa pemanenan, dan masa pascapanen. Padi merupakan hasil bumi yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat Indonesia pada umumnya. Minimnya area persawahan menjadi kendala tersendiri yang merupakan masalah besar ketersediaan beras di pasaran. Budidaya tanaman padi di wilayah Boja
belum menggunakan cara-cara seperti yang dilakukan di beberapa negara maju. Penggarapan lahan persawahan di wilayah Boja sebagian masih menggunakan cara manual dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada, meskipun sudah banyak juga yang menggunakan teknologi modern dalam penggarapan, seperti penggunaan traktor dan alat penggiling padi modern. Tahap Persiapan Pada masa persiapan penanaman padi, masyarakat Desa Boja mengenal istilah (1) mbukak sawah [mbuka? sawah] yang memiliki makna „membuka lahan untuk dijadikan sawah‟. Membuka lahan dapat dimaknai membuat lahan baru dengan cara membersihkan area tanam dari rumput-rumput yang mengganggu. Dalam tahap mbukak sawah masih ada sebagian petani yang menyelenggarakan ritual khusus berupa (2) slametan nyambung tuwuh [slam|tan ,ambUG tuwUh], yakni upacara yang dilakukan guna „menyambung pertumbuhan‟. Upacara tersebut dilengkapi sajen berupa tumpeng, ingkung ayam beserta lauk pauk urap, lalapan, dan buah-buahan. Makna kultural nyambung tuwuh adalah agar tetuwuhan „tumbuh-tumbuhan‟ yang menjadi sumber penghidupan manusia, yakni beras sebagai makanan pokok masyarakat, dapat terus ada dengan cara menyambung siklus hidupnya, yakni terus diupayakan budidayanya. Namun, pada praktiknya, pelaksanaan upacara tersebut sudah agak berbeda dengan ritual pra-penanaman padi zaman dahulu. Saat ini, ritual tersebut tidak melibatkan banyak orang, hanya orangorang tertentu saja, yakni keluarga, dan para penggarap lahan yang akan “terjun langsung” menggarap lahan yang dipersiapkan untuk menanam padi. Sajen yang dimaksud biasanya dilengkapi dengan (3) ubarampe 22
JALABAHASA, VOLUME 13, NOMOR 1 TAHUN 2017 [ubarampE] „perlengkapan‟ yang digunakan untuk keperluan ritual, yakni kembang setaman yang terdiri atas bunga mawar merah dan putih, melati, kenanga, dan kantil. Selain itu, ada kemenyan dan uang receh. Ritual tersebut dimaksudkan untuk memohon kemurahan Sang Mahakuasa dan meminta izin (4) danyang [da,aG] yang dikenal dengan nama Dewi Sri, agar lahan yang dibuka untuk menyambung daur hidup padi tersebut penuh berkah dan dihindarkan dari kegagalan. Setelah itu, para petani menyiapkan benih padi atau bibit unggul yang akan dijadikan calon tanaman padi. Proses tersebut dinamakan (5) ngekum winih [G|kum winIh] „merendam benih padi‟. Tahap ini merupakan tahap awal penyiapan benih atau bibit padi yang unggul. Makna kultural yang diyakini masyarakat ini adalah ngekum dijadikan sebagai simbol peram dan winih dimaknai sebagai generasi. Jadi, ngekum winih ini diibaratkan sebagai sebuah proses pendidikan awal generasi muda yang dilakukan di rumah. Setelah itu, masuk ke tahap (6) ngentas winih [G|ntas winIh], yakni tahap meniriskan benih yang direndam di dalam wadah yang ditutup. Benih yang sudah mengeluarkan akar kemudian (7) di-tus „ditiriskan‟ menggunakan (8) dhunak [d]una?] „keranjang rapat atau bakulbakul yang terbuat dari anyaman bambu‟. Proses ngentas winih ini dilanjutkan dengan membawa benih yang sudah atus „tiris‟ ke area tanam yang sudah dipersiapkan. Makna tersirat dari proses ngentas winih ini adalah simbol para petani yang berusaha “mengentaskan” generasi muda untuk terjun ke area yang lebih luas, yakni masyarakat. Petani melanjutkan dengan tahap (9) nyebar winih [,|bar winIh] yang merupakan tahap penyemaian
benih. Benih yang berkecambah dan melalui proses ngekum dan ngentas kemudian segera disebar ke bidang tanam secara merata. Merata yang dimaksud adalah penyebaran benih yang tidak renggang dan tidak rapat. Secara kultural, proses menyebar benih dengan merata tersebut menyimbolkan generasi yang sudah “disebar” di masyarakat dapat menjaga kerukunan, yakni tidak terlalu dekat dan tidak pula terlalu jauh. Roda kehidupan berjalan wajar tanpa adanya konflik yang pelik. Keseimbangan dan keadilan dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga tercipta suasana yang damai dan tenteram. Selain faktor pemilihan lahan semai, para petani di Desa Boja juga memperhatikan faktor kearifan lokal. Petani di Desa Boja tidak sembarangan ketika hendak melakukan proses nyebar winih ini. Mereka memilih hari baik, artinya mereka tidak akan menyebar benih pada (10) dina was [dina was] „hari sial‟ atau dina ringkel gejig [dina riGk|l g|Jig] „hari nahas‟. Menurut kepercayaan para petani, hal ini sangat penting dalam proses menyebar benih karena mereka berkeyakinan pemilihan hari memengaruhi hasil pertanian mereka. Jika dina was ini dilanggar, mereka berkeyakinan akan menemui kegagalan panen. Makna kultural yang terkandung dalam pemilihan hari penyebaran benih tersebut menyimbolkan bahwa ketika memilih seorang pemimpin masyarakat (Desa Boja, khususnya) tidak boleh sembarangan, tetapi harus mempertimbangkan segala sesuatunya sehingga akan didapat pemimpin yang benar-benar baik. Petani melakukan nyebar winih atau penaburan benih secara merata lalu ditutup dengan tanah berpasir, setelah itu ditutup kembali menggunakan dedaunan, contohnya (11) damen 23
JALABAHASA, VOLUME 13, NOMOR 1 TAHUN 2017 [damCn] „daun dan batang padi‟ yang sudah mengering atau menggunakan (12) klaras [klaras] „pelepah pisang‟. Hal tersebut dilakukan agar proses pertumbuhan berjalan dengan baik. Pembusukan dedaunan tersebut membantu menyuburkan lahan penyemaian. Setelah semua benih tersebar dengan merata, petani masih harus menyirami lahan penyemaian secara teratur. Penyiraman benih dilakukan pada pagi hari dan sore saja. Petani menghindari menyiram pada siang hari yang terik karena akan merusak benih padi. Di Desa Boja dikenal dua bentuk penanaman padi, yakni padi basah yang disebut sawah dan padi kering yang disebut (13) gogo [gOgO]. Tanah persemaian juga dapat dibedakan menjadi persemaian basah dan persemaian kering. Pada tanah sawah basah, persemaian seharusnya dipilih lahan yang benar-benar subur dan mengandung banyak air. Rumput dan jerami bekas panen harus benar-benar dibersihkan terlebih dahulu, lalu lahan diisi air agar tanah menjadi lembut. Saat menyiapkan lahan semai dan lahan tanam, petani juga memperbaiki tanggul tepian yang disebut (14) tamping [tampIG] dan (15) galengan [gal|Gan] „pematang sawah‟. Adapun pada gogo „lahan padi kering‟ hampir mirip dengan lahan semai basah, yakni menghaluskan lahan semai dengan dibajak dan dicangkul hanya tidak membutuhkan banyak air. Lalu, tanah diratakan dan dibuat bedenganbedengan. Antara bedengan satu dan yang lain diberi jarak 30 cm sebagai selokan atau jalan air dan memudahkan proses pemupukan, penyemprotan hama, penyiangan rumput, dan pemanenan. Sembari menunggu benih padi disemaikan dan tumbuh menjadi tanaman padi siap tanam, petani
menyiapkan lahan tanam dengan cara mencangkul dan membajak. Istilah membajak yang ada di Desa Boja adalah (16) ngluku [Gluku] „membajak sawah dengan menggunakan luku atau waluku/wluku‟. Menurut petani di Desa Boja, ngluku memiliki makna kultural ngluruske laku, artinya sebelum menyiapkan generasi menjadi pemimpin yang mumpuni, harus dipersiapkan etika dan tindakan yang lurus. Laku yang dimaksud ini adalah sifat yang penuh keprihatinan. Jadi, ngluku merupakan simbol pelurusan calon pemimpin yang memiliki sifat rendah diri dan mawas dengan keprihatinan, yakni paham akan keadaan di sekitarnya. Fungsi ngluku adalah membolak-balik dan melumat tanah. Hal ini menjadi simbol calon pemimpin yang lakunya diluruskan diharapkan dapat mengubah keadaan menjadi lebih baik agar tercipta suasana bermasyarakat yang harmonis dan seimbang. Tahap ngluku ini merupakan tahapan persiapan bidang tanam yang lebih luas. Proses ngluku menggunakan alat berupa luku atau waluku/ wluku yang ditarik oleh dua ekor kerbau. Petani di Boja terbiasa menggunakan kerbau dibandingkan dengan sapi karena beberapa alasan, yakni hewan ternak yang dimiliki oleh petani yang menggarap sawah adalah kerbau bukan sapi, tenaga kerbau dianggap lebih kuat untuk menggarap sawah dibandingkan dengan sapi. Luku/ waluku/ wluku adalah bajak yang terbuat dari kayu yang dibuat memanjang dan memiliki pegangan sebagai kendali petani ketika ngluku. Setelah lahan diluku, tahap penyiapan lahan berikutnya adalah (17) nggaru [Ggaru]. Proses ngluku dapat dikatakan sebagai pengolahan lahan yang masih kasar karena berfungsi membolak-balikkan tanah agar mudah 24
JALABAHASA, VOLUME 13, NOMOR 1 TAHUN 2017 digarap. Setelah diluku, lahan yang dipersiapkan sebagai bidang tanam tersebut diisi air terlebih dahulu yang biasa disebut dengan dilebi banyu „diisi dengan air‟. Pengisian air di lahan ini dimaksudkan agar bakal bidang tanam tersebut menjadi lebih lunak dan gembur. Selain melakukan pengisian air pada lahan, petani juga melakukan tahap namping „membuat tepian‟. Namping berasal dari kata tamping „tepi‟, yakni dengan (18) maculi [maculi] „mencangkuli‟ pinggiran bidang tanam yang disebut galengan „pematang sawah‟ agar lebih rapi. Istilah nggaru merupakan akronim dari nggadhahi rumangsa yang bermakna „memiliki sikap peka‟. Makna kultural yang terdapat dalam istilah ini adalah harapan pemimpin yang memiliki sifat peka terhadap keadaan rakyatnya. Nggaru yang dilakukan berulang-ulang merupakan simbol bahwa seorang pemimpin tidak boleh berhenti membuka mata hati dan pikirannya untuk selalu peka secara terus-menerus. Seperti pada luku, garu pun ditarik oleh dua ekor hewan ternak. Hal ini menyimbolkan keseimbangan hati nurani pemimpin. Seorang pemimpin yang baik harus adil, tidak berat sebelah, dan tidak pandang bulu. Hal ini dimaksudkan agar seorang pemimpin dapat menarik rakyatnya menuju kesejahteraan dan kemakmuran. Perlengkapan yang digunakan dalam tahap nggaru, antara lain, (19) pecut [p|cUt] „cambuk‟ yang terbuat dari batang daun enau yang dipilin sedemikian rupa dan diikat dengan (20) suh [sUh] ‟ikatan yang dipilin dan membentuk cincin untuk mengikat untaian batang enau tersebut‟. Kemudian batang enau yang dipilin dan dijadikan gagang untuk pegangan tersebut disambung dengan tali rafia sehingga membentuk sebuah cambuk yang dipakai untuk memukul kerbau
penarik bajak. Selain pecut, petani menutup mulut kerbau dengan (21) brongsong [brOGsOG] „penutup mulut kerbau‟ yang dibuat serupa keranjang yang diikatkan pada kerbau. Tujuan pemasangan brongsong ini adalah kerbau fokus bekerja dan tidak dapat memakan rumput ketika bekerja di sawah. Pecut merupakan simbol kendali, artinya seorang pemimpin harus memiliki pengendali dalam menjalankan kekuasaannya. Pengendali yang dimaksud adalah keimanan. Brongsong menjadi simbol penyaring atau filter bagi pemimpin agar tidak sembarangan dalam bertutur kata. Baik untuk ngluku maupun nggaru, para petani menyebutnya dengan istilah (22) megawe [m|gawE] yang bermakna „bekerja di sawah untuk mengolah lahan‟. Pada tahap megawe ini biasanya pemilik lahan akan (23) ngirim [GirIm] yang bermakna „menyediakan makan siang bagi para petani yang megawe’. Istilah megawe dan ngirim, menurut masyarakat Boja, adalah rame ing gawe „giat bekerja‟ dan ngrembaka „rimbun/ membesar‟. Istilah tersebut memiliki makna kultural yang sangat dalam. Artinya, seorang yang giat bekerja tentu akan mendapatkan kemuliaan yang besar dalam hidupnya. Setelah melalui tahap nggaru, petani menyiapkan lahan tanam dengan istilah (24) nggaris [GgarIs]. Tahap ini merupakan tahap membuat pedoman tanam agar tanaman padi nantinya berjarak satu dengan yang lain. Makna kultural yang tersirat pada tahap nggaris ini adalah seorang pemimpin harus memiliki pedoman yang kuat. Alat berupa garis disimbolkan sebagai agama dan ilmu. Jadi, seorang pemimpin diharapkan memiliki ilmu yang cukup agar dapat memimpin dengan lurus untuk mencapai tujuan bersama.
25
JALABAHASA, VOLUME 13, NOMOR 1 TAHUN 2017 Setelah nggaris, tahap berikutnya adalah (25) ndhaud [[daud] „mencabut batang padi yang sudah tersemai”. Setelah lima minggu, bibit padi di tempat persemaian sudah dapat dikategorikan cukup umur untuk ditanam. Bibit di persemaian ini harus segera dicabut dan ditanam di sawah. Adapun bibit yang telah dicabut tersebut diikat dalam sebuah ikatan besar (diikat dengan klaras „pelepah pohon pisang yang kering‟). Istilah untuk menyatakan pengikatan bibit ini adalah (26) nguntingi [GuntiGi] yang dimaksudkan untuk memudahkan pengangkutan bibit ke lahan tanam padi yang sudah dipersiapkan. Bibit yang sudah didhaud harus segera ditanam, tidak boleh dibiarkan sampai “bermalam”. Tahap Penanaman Tahap penanaman padi disebut (27) tandur [tandUr]. Menurut keyakinan para petani, proses tandur ini harus diawali oleh sang pemilik atau penggarap lahan. Pemilik lahan mengawali proses tandur dengan cara menancapkan bibit padi sejumlah tujuh tancapan. Angka tujuh memiliki makna kultural yang melambangkan pertolongan. Dalam bahasa Jawa angka tujuh disebut pitu yang disimbolkan sebagai pitulungan „pertolongan‟. Hal ini mengandung maksud agar dalam kehidupan selalu mendapat pertolongan dari Tuhan Yang Maha Esa. Makna tandur sebenarnya adalah ‟tanam‟ untuk semua jenis tanduran „tanaman‟, bukan hanya padi. Namun, tandur dalam proses penanaman padi ini dapat dikatakan memiliki kekhasan atau makna khusus, meskipun pada praktiknya juga menandai verba menanam. Istilah tandur, menurut petani di Boja, merupakan akronim tanem karo mundur. Petani menanam padi dengan gerakan mundur. Jadi,
penanaman dimulai dari bidang tanam depan, lalu mundur. Makna kultural istilah tandur ini adalah simbol penghormatan pada Dewi Sri atau Dewi Padi. Dengan berjalan mundur, para petani tidak merasa membelakangi sang Dewi. Selain itu, tandur juga dapat dimaknai sebagai bentuk penghormatan sekaligus pengawasan pemimpin yang terjun di masyarakat luas terhadap rakyatnya. Pemimpin menanam kebajikan bagi rakyatnya dan tidak membelakangi rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin diharapkan peduli dan tidak abai pada rakyatnya. Setelah masa tanam ini selesai, ada proses penyulaman yang dikenal dengan istilah (28) nambal [nambal] „menambal atau menyulam tanaman yang rusak‟. Namun, nambal ini tidak boleh dilakukan lebih dari sepuluh hari setelah tandur agar pertumbuhan tanaman hasil nambal ini dapat “mengejar” pertumbuhan tanaman yang sudah tumbuh. Selain memiliki makna kultural, tandur juga memiliki tujuan supaya bibit yang sudah ditanam tidak terinjak-injak. Begitu juga dengan nambal. Nambal memiliki makna kultural menutupi kesalahan dengan kebaikan agar kehidupan berjalan selaras. Jika pemimpin memiliki kesalahan, ia harus cepat-cepat menyadari dan melakukan perbaikan. Setelah proses tandur dan nambal selesai biasanya diadakan (29) slametan ngentas-ngentasi [slam|tan G|ntas G|ntasi]. Ritual ini menandakan sudah selesainya pekerjaan penanaman yang akan dilanjutkan dengan tahap perawatan. Tahap Perawatan Setelah bibit padi ditanam pada tahap masa tanam, sawah harus segera diairi agar bibit tidak layu dan kering. Air merupakan faktor yang paling 26
JALABAHASA, VOLUME 13, NOMOR 1 TAHUN 2017 penting dalam proses penanaman padi. Proses pengairan ini dinamakan (30) ngeleb [G|l|b], yakni proses pengairan dengan cara menggenangi lahan dengan air. Ngeleb biasanya dilakukan pada senja sampai malam hari, agar tanaman yang baru ditanam tidak layu. Apabila dilakukan pada siang hari, tanaman akan layu, bahkan mati. Proses ngeleb bukan hanya dilakukan setelah tandur, melainkan juga ketika tanaman sudah berumur sebulan atau lebih. Menurut para petani di Desa Boja, istilah ngeleb ini merupakan bentukan dari kata ngelebetaken yang bermakna „memasukkan‟. Makna kultural ngeleb menyimbolkan bahwa seorang pemimpin harus dapat memasukkan sumber-sumber nilai-nilai kehidupan yang bermanfaat bagi rakyatnya. Ngeleb juga menggunakan air sebagai sesuatu yang dimasukkan ke dalam lahan tanam. Air adalah simbol nilai kehidupan. Air sungai melambangkan nilai-nilai luhur. Air sungai pasti mengalir. Ini melambangkan semua nilai kehidupan harus terus mengalir, tidak boleh berhenti, sehingga tercapai kehidupan yang selaras. Pertumbuhan padi pasti diikuti oleh pertumbuhan rumput air di sekitar tanaman. Rumput air yang mengitari tanaman padi akan mulai tumbuh tinggi. Apabila tidak segera dicabut, rumput air akan tumbuh dan mengalahkan tanaman padi. Untuk itu, perlu dilakukan penyiangan. Proses menyiangi rumput di sekitar tanaman padi disebut (31) nggosrok [GgOsrO?]. Petani menggunakan alat berupa roda berpaku mirip landak dan bergagang kayu panjang sebagai pegangan yang disebut gosrok. Alat ini didorong-dorong di sela-sela jarak padi untuk mengeruk rumput air tersebut. Makna kultural nggosrok adalah menyingkirkan gangguan. Seorang pemimpin yang baik
akan melindungi rakyatnya dari ancaman kejahatan atau pengganggu. Selain nggosrok, petani juga (32) matun [matUn]. Matun berasal dari kata watun [watUn] yang artinya „cabut rumput di sawah‟. Sama seperti nggosrok, makna kultural matun adalah menyingkirkan tanaman yang mengganggu. Matun diartikan sebagai maton [matOn] yang bermakna „tetap‟. Jadi, proses matun ini merupakan simbol dari pemimpin yang tegas dan tetap pendiriannya dalam menyingkirkan segala gangguan yang mengancam kedaulatan wilayah dan rakyat yang dipimpinnya. Setelah tanaman padi bersih dari rumput pengganggu, tibalah saatnya tanaman padi dipupuk. Tujuan pemupukan adalah tanaman padi tumbuh subur dan menghasilkan anakan yang banyak. Proses pemupukan alami dikenal dengan istilah (33) ngrabuk [GrabU?] yang bermakna „memberi pupuk dengan menggunakan pupuk kandang atau pupuk alami‟. Sementara itu, proses pemupukan dengan pupuk kimia biasa dikenal dengan istilah (34) ngemes [G|mEs] „memberi pupuk dengan mes (pupuk kimia)‟. Ketika tanaman berumur dua bulan, tanaman padi akan (35) mratak [mrata?] „merata‟. Proses mratak ini menyimbolkan pemerataan dalam memimpin. Seorang pemimpin tidak boleh berat sebelah, harus adil, dan seimbang. Untuk mengusir hama, para petani biasanya menyemprotkan cairan kimia pembunuh hama (pestisida). Proses ini dinamakan dengan istilah (36) nyemprot [,|mprOt] menggunakan alat semprot pupuk. Sawah harus dijaga agar padi tidak habis dimakan burung. Untuk menghalau burung-burung yang mematuk bulir-bulir padi tersebut, petani membuat (37) memedi sawah [m|m|di sawah] „orang-orangan sawah‟ yang biasanya diikat dengan tali rafia 27
JALABAHASA, VOLUME 13, NOMOR 1 TAHUN 2017 panjang yang dapat dikendalikan oleh petani dari (38) gubug [gubug] „dangau kecil di tengah sawah‟. Selain memedi sawah, petani juga membuat (39) klinthingan [klint]iGan] yang terbuat dari kaleng yang diisi dengan kerikil sehingga menghasilkan bunyi-bunyian yang nyaring agar dapat menghalau burung-burung yang memakan tanaman padi. Tahap Pemanenan Ketika umur tanaman padi sudah mencapai empat bulan, padi yang sudah mulai menguning siap dipanen. Batang padi yang sudah siap panen dipotong dengan sabit. Proses ini dikenal dengan istilah (40) ngerit [G|rIt]. Namun, masih ada juga petani yang memanen dengan menggunakan (41) ani-ani [ani ani], yakni alat khusus untuk memotong batang padi yang cara penggunaannya digenggam atau diketam. Setelah batang-batang padi dipotong dan dikumpulkan di tempat perontokan, para buruh panen sudah bersiap merontokkan bulir padi atau (42) gabah [gabah]. Tempat yang disiapkan sebagai tempat perontokan biasanya digelari tikar yang terbuat dari terpal atau (43) bagor [bagOr], yakni „alas yang terbuat dari karung bekas tempat pupuk dan lain-lain yang terbuat dari bahan plastik‟. Proses perontokan bulir padi ini disebut dengan istilah (44) nggepyok [Gg|pyO?] yang menggunakan alat bernama gepyok [g|pyO?] berbentuk persegi yang dibuat dari kayu yang dipasangi besi-besi yang melintang. Selain menggunakan gepyok, terkadang para petani di Boja juga menggunakan alat perontok yang sudah sedikit modern. Mereka juga menamakannya gepyok, tetapi alat ini berupa kayu berbentuk bulat panjang yang dipasangi paku dan diputar dengan cara dikayuh. Sisa batang padi yang digepyok masih
dirontokkan lagi dengan cara (45) ngiles [Gil|s]. Ngiles bertujuan merontokkan bulir padi yang belum rontok sempurna ketika digepyok. Bulir padi tersebut dirontokkan dengan cara diinjak-injak, kemudian dibolak-balik. Setelah proses ngiles selesai, biasanya batang padi tersebut dibuang. Di antara para buruh panen yang disewa oleh petani atau penggarap lahan, ada serombongan orang (kebanyakan ibu-ibu) yang memanfaatkan buangan batang padi sisa ngiles. Pekerjaan para ibu ini disebut dengan istilah (46) ngasak [Gasak] „mencari sisa-sisa gabah‟. Peralatan yang mereka bawa biasanya berupa (47) caping [capiG], (48) senik [s|ni?] atau dhunak [d]una?], dan (49) penthung [p|nt]UG]. Seperti petani dan para buruh tani, caping yang digunakan para ibu yang ngasak dimaksudkan untuk menutupi kepala dan muka dari sengatan sinar matahari. Caping yang dipakai oleh orang-orang di sawah di Desa Boja ini biasanya berbentuk kerucut yang dibuat dari anyaman batang (50) mendong [mEndOG] dan bambu. Kemudian, senik atau dhunak, yakni wadah yang terbuat dari anyaman bambu sebagai tempat gabah hasil ngasak. Penthung berfungsi memukulmukul batang padi sisa ilesan [il|san] „sisa ngiles‟ agar sisa gabah yang tersisa dapat rontok. Setelah digepyok dan diiles, bulir padi yang terkumpul tersebut diproses kembali menggunakan (51) tampah [tampah], yakni tampi tradisional yang berbentuk bundar lebar dan terbuat dari bilah bambu yang dianyam, agar terpisah dari kotoran batang padi yang ikut masuk ketika proses nggepyok. Proses pemisahan (52) gabah aos „gabah bernas‟ dan (53) gabah gabug „gabah hampa‟ itu disebut (54) nawur [nawUr] atau mawur [mawUr]. Proses ini menggunakan bantuan angin. 28
JALABAHASA, VOLUME 13, NOMOR 1 TAHUN 2017 Tanpa adanya angin, proses ini tidak dapat dilakukan dengan sempurna. Biasanya, ketika nawur para petani (55) nyingsot [,iGsOt] „bersiul‟. Siulan ini diyakini dapat “memanggil” angin sehingga dapat menyempurnakan proses nawur ini. Petani mengambil gabah dengan tampah atau dhunak lalu mengangkat tampah atau dhunak tinggitinggi dan menumpahkan gabah sedikitsedikit ke alas plastik yang sudah disediakan. Dengan bantuan angin yang berembus, kotoran batang padi dan gabah gabug akan tersisih dari gabah aos. Keseluruhan rangkaian kegiatan memanen padi ini disebut dengan istilah (56) derep [d|r|p] „panen padi‟. Selain dapat memanen sendiri hasil panen padi, petani di Desa Boja juga menerapkan sistem (57) tebas [t|bas] „membeli padi sebelum dipanen‟. Padi siap panen yang ditebas biasanya dilihat oleh calon penebas beberapa minggu sebelum panen tiba. Ada lagi istilah yang menyatakan bagi hasil antara petani penggarap dan pemilik lahan. Hasil panen akan dibagi dua atau berdasarkan kesepakatan sebelum menggarap lahan. Istilah untuk menyatakan bagi hasil sebagai bentuk sewa lahan ini adalah (58) mbawon [mbawOn] „bagi hasil panen padi‟. Tahap Masa Pascapanen Gabah yang sudah disortir kemudian dijemur sampai benar-benar kering, lalu para petani (59) nyelep gabah [,|lCp gabah] untuk menghilangkan kulit ari padi sehingga menjadi beras. Secara tradisional, gabah dijemur di halaman dengan menggunakan (60) gribig [gribIg] atau (61) kepang [kEpaG]. Petani kadang juga menggunakan mesin pengering karena kebersihan gabah menjadi lebih terjamin dibandingkan jika harus dijemur secara tradisional. Zaman dahulu, petani di Boja mengolah gabah menjadi beras dengan cara (62) nutu
[nutu] „menumbuk‟ menggunakan (63) lumpang [lumpaG] „lesung‟ dan (64) alu „antan‟, baik yang terbuat dari kayu maupun dari batu. PENUTUP Istilah-istilah yang dikumpulkan dalam tulisan ini adalah istilah-istilah bidang pertanian padi dari masa persiapan hingga masa pascapanen. Terdapat 64 kosakata yang digunakan dalam bidang pertanian tanaman padi. Ada beberapa makna kultural yang ditemukan berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan, yakni teladan-teladan yang harus dimiliki oleh seorang manusia yang sejatinya adalah pemimpin untuk dirinya sendiri maupun pemimpin masyarakat. Sifat-sifat terpuji dan motivasi hidup tecermin dari simbol-simbol dalam istilah-istilah pertanian padi di Desa Boja, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal. Penelitian yang terkait dengan peristilahan masih banyak yang belum tergali. Perlu dilakukan penelitianpenelitian di bidang peristilahan dalam berbagai bidang kehidupan agar kosakata bahasa Indonesia dapat berkembang dan diperkaya dengan kosakata-kosakata dan istilah-istilah daerah yang menggambarkan maksud dan tujuan bermasyarakat. Penelitian semacam ini dapat dimanfaatkan dalam langkah pemerkayaan kosakata bahasa Indonesia di dalam kamus sehingga istilah-istilah yang digunakan dalam masyarakat tetap dapat terekam dan terkodifikasi dengan baik.
Daftar Pustaka Abdullah, Wakit. 2013. Etnolinguistik: Teori, Metode, dan Aplikasinya. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Jurusan Sastra Daerah.
29
JALABAHASA, VOLUME 13, NOMOR 1 TAHUN 2017 Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco. Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kuntjaraningrat. 1977. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Putra, Shri Ahimsa. 1997. “Etnolinguistik: Beberapa Bentuk Kajian”. Makalah. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa. Sudaryanto. 1996. Linguistik: Identitasnya, Cara Penanganan Objeknya, dan Hasil Kajiannya. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
30