MAKALAH UNDANG – UNDANG KESEHATAN “ Kode Etik Farmasis “
Disusun Oleh : G 701 11 056
PRAMITA PUTRI
G 701 11 074
MAGFIRA
G 701 11 057
RIZKYAH
G 701 11 072
TRI JULIANTI
G 701 11 088
ZAHRA MEGAWATI
Kelompok : IV ( Empat )
Dosen Penanggung jawab : Ihwan, S.Si., M.Kes., Apt.
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2013 / 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat hidayah dan rahmat-Nya yang diberikan kepada kami berupa kesehatan rohani dan jasmani sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Undang-Undang Kesehatan yang berjudul “Kode Etik Farmasis“, yang dapat diselesaikan dengan baik. Dalam menyelesaikan penulisan makalah ini, kami banyak menemukan hambatan, tetapi berkat dukungan dan bantuan dari pihak-pihak yang telah membantu serta para dosendosen farmasi yang telah banyak membantu kami dengan baik, kami dapat menyelesaikannya dengan baik. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada orang-orang yang telah membantu dalam membuat makalah ini hingga makalah undang-undang kesehatan ini dapat terselesaikan dngan baik. Tidak lupa kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu untuk memperbaiki makalah ini kami mengharapkan kritik-kritik dan saransaran yang membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan para pembaca pada umumnya, serta dapat dimanfaatkan dengan baik untuk menjadi pedoman bagi mata kuliah undang-undang kesehatan selanjutnya. Atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
Palu, 11 Maret 2014
Kelompok IV
DAFTAR ISI
Sampul ............................................................................................................................
1
Kata Pengantar ................................................................................................................
2
Daftar Isi .........................................................................................................................
3
Bab. I
Pendahuluan 1.1
Latar Belakang ........................................................................................
4
1.2
Tujuan......................................................................................................
5
Bab. II Pembahasan 2.1
Kode Etik Farmasi dan Peran Kode Etik Farmasi ...................................
2.2
Kewajiban Seorang Apoteker Terhadap Pekerjaan, Rekan Sejawat Dan Profesi Kesehatan Lain. .......................................................................................
2.3
2.5
7
Kewajiban Seorang Asisten Apoteker Terhadap Pekerjaan, Rekan Sejawat Dan Profesi Kesehatan Lain............................................................................
2.4
7
8
Interaksi Profesi Farmasi Dengan Tenaga Kesehatan Lain Dalam Praktek Pelayanan Kefarmasian ...........................................................................
9
.................................................................................................................
10
Bab III. Penutup 3.1
Kesimpulan..............................................................................................
3.2
Saran ........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
13
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2
Tujuan
B A B II PEMBAHASAN
2.1
Kode Etik Farmasi dan Peran Kode Etik Farmasi Berdasarkan keputusan Kongres Nasional XVIII/2009 Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Nomor 006/Kongers XVIII/ISFI/2009, Mukadimah : Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajibannya serta dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa. Apoteker di dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker. Menyadari akan hal tersebut Apoteker di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu ikatan moral yaitu Kode Etik Apoteker Indonesia Dalam Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian Setiap apoteker dalam melakukan pengabdian dan pengamalan ilmunya harus didasari oleh sebuah niat luhur untuk kepentingan makhluk lain sesuai dengan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa. Sumpah dan janji Apoteker adalah komitmen seorang apoteker yang harus dijadikan landasan moral dalam pengabdian profesinya. Kode etik sebagai kumpulan nilai-nilai atau prinsip harus diikuti oleh apoteker sebagai pedoman dan petunkuk serta standar perilaku dalam bertindak dan mengambil keputusan.
2.2
Kewajiban Seorang Apoteker Terhadap Pekerjaan, Rekan Sejawat Dan Profesi Kesehatan Lain.
KODE ETIK APOTEKER INDONESIA DALAM PELAKSANAAN PEKERJAAN KEFARMASIAN BAB I KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1 Sumpah/Janji Seorang Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah / janji Apoteker. Implementasi – Jabaran Kode Etik : Sumpah / janji apoteker yang diucapkan seorang apoteker untuk dapat diamalkan dalam pengabdiannya, harus dihayati dengan baik dan dijadikan landasan moral dalam setiap tindakan dan perilaku. Dalam sumpah apoteker ada beberapa poin yang harus diperhatikan, yaitu : 1. Melaksanakan asuhan kefarmasian 2. Merahasiakan kondisi pasien, resep dan medication record untuk pasien 3. Melaksanakan praktik profesi sesuai landasan praktik profesi yaitu ilmu, hukum dan etik. Pasal 2 Seorang Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia. Implementasi – Jabaran Kode Etik : Kesungguhan dalam menghayati dan mengamalkan kode etik apoteker Indonesia dinilai dari : ada tidaknya laporan masyarakat, ada tidaknya laporan dari sejawat apoteker atau sejawat tenaga kesehatan lain, serta tidak ada laporan dari sejawat apoteker atau sejawat tenaga kesehatan lain, serta tidak ada laporan dari dinas kesehatan. Pengaturan pemberian sanksi ditetapkan dalam peraturan organisasi (PO).
Pasal 3 Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya. Implementasi – Jabaran Kode Etik : Setiap apoteker Indonesia
harus mengerti, menghayati dan mengamalkan
kompetensi sesuai dengan standar kompetensi apoteker Indonesia. Kompetensi yang dimaksud adalah : keterampilan, sikap, dan perilaku yang berdasarkan pada ilmu, hukum, dan etik. Ukuran kompetensi seorang apoteker dinilai lewat uju kompetensi Kepentingan kemanusiaan harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap tindakan dan keputusan seorang apoteker Indonesia. Bilamana suatu saat bila seorang apoteker dihadapkan kepada konflik tanggung jawab professional, maka dari berbagai opsi yang ada, seorang apoteker harus memilih resiko yang paling kecil dan paling tepat untuk kepentingan pasien serta masyarakat. Pasal 4 Seorang Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya. Implementasi – Jabaran Kode Etik : Seorang apoteker harus mengembangkan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya secara terus menerus Aktivitas seorang apoteker dalam mengikuti perkembangan dibidang kesehatann, diukur dari nilai SKP yang diperoleh dari hasil uji kompetensi. Jumlah SKP minimal yang harus diperoleh apoteker ditetapkan dalam peraturan organisasi.
Pasal 5 Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian. Implementasi – Jabaran Kode Etik : Seorang apoteker dalam tindakan profesionalnya harus menghindari diri dari perbuatan yang akan merusak atau seseorang ataupun merugikan orang lain Seorang apoteker dalam menjalankan tugasya dapat memperoleh imbalan dari pasien dan masyarakat atas jasa yang diberikannya dengan tetap memegang teguh kepada prinsip mendahulukan kepentingan pasien. Besarnya jasa pelayanan ditetapkan dalam peraturan organisasi.
Pasal 6 Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain. Implementasi – Jabaran Kode Etik : Seorang apoteker harus menjaga kepercayaan masyarakat atas profesi yang disandangkan dengan jujur dan penuh integritas. Seorang apoteker tidak menyalahgunakan kemampuan profesionalnya kepada orang lain Seorang apoteker harus menjaga perilakunya dihadapan publik
Pasal 7 Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya. Implementasi – Jabaran Kode Etik : Seorang apoteker memberikan informasi kepada pasien / masyarakat harus dengan cara yang mudah dimengerti dan yakin bahwa informasi tersebut harus sesuai, relevan, dan ‘up to date’. Sebelum memberikan informasi apoteker harus menggali informasi yang dibutuhkan dari pasien ataupun orang yang datang menemui apoteker mengenai oasien serta penyakitnya. Seorang apoteker harus mampu berbagi informasi mengenai pelayanan kepada pasien dengan tenaga profesi kesehatan yang terlibat Seorang apoteker harus senantiasa meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap obat, dalam bentuk penyuluhan, memberikan informasi secara jelas, melakukan monitoring penggunaan obat dan sebagainya. Kegiatan penyuluhan ini mendapat nilai SKP.
Pasal 8 Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di Bidang Kesehatan pada umumnya dan di Bidang Farmasi pada khususnya. Implementasi – Jabaran Kode Etik : Tidak ada alasan bagi apoteker tidak tahu perundangan yang terkait dengan kefarmasian. Untuk itu setiap apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan peraturan, sehingga setiap apoteker dapat menjalankan profesinya dengan tetap berada dalam koridor peraturan perundangan yang berlaku. Apoteker harus membuat Standar Prosedur Operasional
(SPO) sebagai
pedoman kerja bagi seluruh personil di industri, dan sarana kefarmasian sesuai kewenangan atas dasar peraturan perundangan yang ada.
BAB II KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP PENDERITA
Pasal 9 Seorang Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asazi penderita dan melindungi makhluk hidup insani. Implementasi – Jabaran Kode Etik :
Kepedulian kepada pasien adalah merupakan hal yang paling utama dari seorang apoteker
Setiap tindakan dan keputusan profesional dari apoteker harus berpihak kepada kepentingan pasien dan masyarakat
Seorang apoteker harus mampu mendorong pasien untuk terlibat dalam keputusan pengobatan mereka
Seorang apoteker harus mengambil langkah-langkah untuk menjaga kesehatan pasien khususnya janin, bayi, anak-anak serta orang yang dalam kondisi lemah.
Seorang apoteker harus yakin bahwa obat yang diserahkan kepada pasien adalah obat yang terjamin mutu, keamanan, dan khasiat dan cara pakai obat yang tepat.
Seorang apoteker harus menjaga kerahasiaan pasien, rahasia kefarmasian, dan rahasia kedokteran dengan baik
Seorang apoteker harus menghormati keputusan profesi yang telah ditetapkan oleh dokter dalam bentuk penulisan resep dan sebagainya
Dalam hal seorang apoteker akan mengambil kebijakan yang berbeda dengan permintaan seorang dokter, maka apoteker harus melakukan komunikasi dengan dokter tersebut, kecuali peraturan perundangan memnolehkan apoteker mengambil keputusan demi kepentingan pasien.
BAB III KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
Pasal 10 Setiap Apoteker harus memperlakukan Teman Sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. Implementasi – Jabaran Kode Etik :
Setiap apoteker harus menghargai teman sejawatnya, termasuk rekan kerjanya
Bilamana seorang apoteker dihadapkan kepada suatu situasi yang problematik, baik secara moral atau peraturan perundangan yang berlaku, tentang hubungannya dengan sejawatnya, maka komunikasi antar sejawat harus dilakukan dengan baik dan santun.
Apoteker harus berkoordinasi dengan IAI ataupun majelis Pembina etik apoteker dalam menyelesaikan permasalahan dengan teman sejawat.
Pasal 11 Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik. Implementasi – Jabaran Kode Etik : Bilamana seorang apoteker mengetahui sejawatnya melanggar kode etik, dengan cara yang santun dia harus melakukan komunikasi dengan sejawatnya tersebut untuk mengingatkan kekeliruan tersebut. Bilamana ternyata yang bersangkutan sulit menerima maka dia dapat menyamoaikan kepada pengurus cabang dan atau MPEAD secara berjenjang.
Pasal 12 Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.
Implementasi – Jabaran Kode Etik :
Seorang apoteker harus menjalin dan memelihara kerjasama dengan sejawat apoteker lainnya
Seorang apoteker harus membantu teman sejawatnya dalam menjalankan pengabdian profesinya
Seorang apoteker harus saling mempercayai teman sejawatnya dalam menjalin, memelihara kerjasama. BAB IV KEWAJIBAN APOTEKER/FARMASIS TERHADAP SEJAWAT PETUGAS KESEHATAN LAIN
Pasal 13 Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati Sejawat Petugas Kesehatan. Implementasi – Jabaran Kode Etik : Apoteker harus mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan tenaga profesi kesehatan lainnya secara seimbang dan bermartabat. Pasal 14 Setiap Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengak ibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lain. Implementasi – Jabaran Kode Etik : Bilamana seorang apoteker menemui hal-hal yang kurang tepat dari pelayanan profesi
kesehatan
lainnya,
maka
apoteker
tersebut
harus
mampu
mengkomunikasikannya dengan baik kepada profesi tersebut, tanpa yang bersangkutan harus merasa dipermalukan.
BAB V PENUTUP
Pasal 15 Setiap Apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya sehari-hari. Jika seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun idtak sengaja melanggar atau tidak mematuhi Kode Etik Apoteker Indonesia, maka Apoteker tersebut wajib mengakui dan menerima sanksi dari pemerintah, Ikatan/Organisasi Profesi Farmasi yang menanganinya yaitu ISFI dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Implementasi – Jabaran Kode Etik : Apabila Apoteker melakukan pelanggaran kode etik apoteker, yang bersangkutan dikenakan sanksi organisasi. Sanksi dapat berupa pembinaan, peringatan, pencabutan keanggotaan sementara, dan pencabutan keanggotaan tetap. Kriteria pelanggaran kode etik diatur dalam peraturan organisasi, dan ditetapkan setelah melalui kajian yang mendalam dai MPEAD. Selanjutnya MPEAD menyampaikan hasil telaahnya kepada pengurus cabang, pengurus daerah, dan MPEA. Ditetapkan
: Jakarta
Pada Tanggal
: 08 Desember 2009
2.3
Kewajiban Seorang Asisten Apoteker Terhadap Pekerjaan, Rekan Sejawat Dan Profesi Kesehatan Lain.
2.4
Interaksi Profesi Farmasi Dengan Tenaga Kesehatan Lain Dalam Praktek Pelayanan Kefarmasian A. Peran Farmasi (Apoteker) Apoteker adalah seseorang yang mempunyai keahlian dan kewenangan dibidang kefarmasian baik di apotek, rumah sakit, industri pendidikan dan bidang lainnya yang masih berkaitan dengan bidang kefarmasian. Peran farmasi yaitu : a) Sebagai penanggung jawab di industri farmasi pada bagian pemastian mutu, produksi dan pengawasan mutu. b) Sebagai penanggungjawab fasilitas pelayanan kefarmasian yaitu di apotek, rumah sakit, puskesmas, klinik obat atau praktek bersama. c) Apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lainnya atas persetujuan dokter dan/atau pasien. d) Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat mengangkat seseorang apoteker pendamping yang memiliki SIPA.
B. Bidang Pelayanan Kefarmasian a) Pelayanan Informasi Obat (PIO) Pelayanan Informasi obat harus benar, jelas, mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini diperlukan dalam upaya penggunaan obat yang rasional oleh pasien. Informasi yang perlu diberikan kepada pasien adalah kapan obat digunakan dan berapa banyak; lama pemakaian obat yang dianjurkan; cara penggunaan obat; dosis obat; efek samping obat; obat yang berinteraksi dengan kontrasepsi oral; dan cara menyimpan obat b) Pelayanan Konseling Obat Konseling obat adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan obat. Apoteker perlu memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan
atau penggunaan obat yang salah, terutama untuk penderita penyakit kronis seperti kardiovaskular, diabetes, tuberkulosis dan asma c) Home Care Pelayanan Residensial (home care) adalah pelayanan apoteker sebagai care giver dalam pelayanan kefarmasian di rumah pasien, khususnya untuk kelompok lansia, pasien kardiovaskular, diabetes, tuberkulosis, asma, dan penyakit kronis lainnya. Untuk kegiatan ini apoteker harus membuat catatan pengobatan pasien (patient medication record). Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 disebutkan pelayanan resep atau penyerahan obat resep dokter di pelayanan kefarmasian (salah satunya puskesmas) harus dilakukan oleh apoteker.1 Menurut Uyung Pramudiarja (2011) hanya 10% puskesmas yang memiliki apoteker.4 Masalah penelitian adalah belum diketahui bagaimana peran apoteker di puskesmas dan permasalahan pelayanan kefarmasi-an di puskesmas. Tujuan penelitian adalah mendapatkan informasi tentang peran apoteker dan permasalahannya dalam pelayanan kefarmasian di puskesmas perawatan. Hasil penelitian diharapkan sebagai masukan bagi pihak yang terkait untuk meningkatkan ketersediaan apoteker dalam pelayanan kefarmasian di puskesmas.
C. Berdasarkan Penelitian Sudibyo S., dkk, mengenai Evaluasi Peran Apoteker Berdasarkan Pedoman Pelayanan di beberapa Puskesmas yang terletak di Kota Bandung, Tangerang dan Pulau Jawa. Kesimpulan : a) Apoteker belum tersedia di semua puskesmas perawatan, apalagi puskesmas non perawatan, sehingga pelayanan resep belum dilakukan oleh tenaga yang profesional. b) Peran apoteker di puskesmas umumnya pengelolaan obat sudah berjalan dengan baik sesuai dengan tugas pokoknya, khususnya dalam pelayanan obat resep dan pembuatan LP-LPO bulanan. c) Peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian: (a) informasi obat dilakukan pada saat penyerahan obat resep kepada pasien, sebelum pelayanan puskesmas dimulai, dan pada saat kunjungan ke posyandu balita dan posyandu lansia, (b) konseling obat dilakukan terbatas mengingat ketersediaan waktu dan belum ada ruangan, (c) visite pasien sudah dilakukan, baik dengan dokter maupun
sendiri kepada pasien bersalin rawat inap, (d) home care belum berjalan dengan baik. d) Permasalahan yang terkait dengan apoteker di puskesmas adalah ketersediaan dan jumlahnya. Ada apoteker yang merasa kurang mampu dalam memberikan informasi obat kepada tenaga kesehatan lain, khususnya dokter spesialis di beberapa puskesmas perawatan, sehingga masih diperlukan pembinaan dan pelatihan. Saran agar setiap puskesmas perawatan tersedia apoteker dibantu minimal seorang AA untuk pelayanan resep. Tugas pokok dan fungsi apoteker dalam pelayanan kefarmasian di puskesmas diperjelas melalui peraturan daerah agar dapat dipahami oleh tenaga kesehatan lainnya. Juga disarankan agar apoteker puskesmas mendapat pelatihan yang terkait dengan prosedur birokrasi/prosedur tetap, ilmu komunikasi dan farmakoterapi. Dalam rangka menjamin mutu apoteker di puskesmas, IAI perlu melakukan sertifikasi, registrasi dan kode etik untuk apoteker di puskesmas, termasuk bekerja sama dengan perguruan tinggi farmasi dalam memfasilitasi pelatihan sesuai kebutuhan anggotanya.
D. Interaksi Farmasis (Apoteker) dengan tenaga kesehatan lain. Dalam kode etik apoteker Indonesia pada Bab IV. Kewajiban Apoteker terhadap sejawat petugas kesehatan lain.disebutkan Pasal 13 “Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati Sejawat Petugas Kesehatan” dan Pasal 14 “Setiap Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya”. Hubungan apoteker dengan sejawat petugas kesehatan lainnya adalah hubungan harmonis yang saling memahami hak dan kewajiban masing-masing profesi tenaga kesehatan. Adapun tenaga kesehatan lain yang dimaksud antara lain: a) Tenaga medis, meliputi dokter dan dokter gigi b) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan (Depkes, 1996) c) Tenaga kefarmasian, dalam hal ini selain apoteker yakni tenaga teknis kefarmasian meliputi sarjana farmasi, analis farmasi, dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker (Depkes, 1996; Depkes, 2009)
d) Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemolog kesehatan, entomolog kesehatan,
mikribiolog
kesehatan,
penyuluh
kesehatan,
administrator
kesehatan dan sanitarian e) Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien. f)
Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasioterapis, dan terapis wicara
g) Tenaga keteknisan medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis (Depkes, 1996) Tetapi harus dilihat saat ini tetap ada persoalan dalam hal hubungan apoteker dengan sejawat petugas kesehatan lainnya. Hubungan ini biasa juga disebut sebagai kemitraan. Sebagai contoh kemitraan antara apoteker dan tenaga / staf medik lainnya di rumah sakit (dokter, dokter gigi, perawat, bidan) sudah ada selama ini. Kemitraan tersebut masih dipandang sebagian apoteker belum sebagai “mitra” tetapi apoteker sering masih sebagai pembantu. Selama ini obat dalam pelayanan kesehatan selalu disebut sebagai unsur penunjang walaupun hampir 80% pelayanan kesehatan diintervensi dengan obat. Hubungan kemitraan seperti ini tidak lepas dari sejarah pelayanan kefarmasian yang dititik beratkan pada produk (membuat, meracik) serta menyerahkan obat kepada pasien. Hubungan interaksi langsung apoteker dengan pasien sangat jarang dan bahkan komunikasi antara apoteker dengan staf medik lainnya juga sangat kurang, padahal kemitraan dimulai dengan komunikasi yang baik. Peran dokter yang sangat sentral dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit dan adanya hambatan komunikasi antara apoteker dengan staf medik lainnya selama ini menyebabkan kemitraan antara apoteker dan staf medik masih seperti disebut diatas. Dalam Pasal 13 disebutkan “Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati Sejawat Petugas Kesehatan” dalam penjabaran implementasinya dijelaskan bahwa seorang apoteker harus mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan tenaga profesi kesehatan lainnya secara seimbang dan bermartabat. Begitupula apoteker dalam menjalankan profesinya dapat dibantu oleh asisten apoteker atau tenaga lainnya yang kompeten. Untuk itu apoteker harus menghargai dan memperlakukan teman kerja tersebut dengan baik.
Pencapaian hubungan harmonis dalam bentuk kemitraan dengan keharusan seorang apoteker menghargai dan memperlakukan teman kerja tersebut dengan baik perlu dilakukan dengan keterampilan komunikasi seorang apoteker. . Tanpa komunikasi maka tidak ada kemitraan, karena Apoteker yang mengharapkan untuk dapat diterima sebagai mitra oleh staf medik lain (dokter, perawat, bidan dan dokter gigi) maka haruslah apoteker yang aktif memulai / menyambung komunikasi. Harus diakui hambatan / barriers untuk berkomunikasi selama ini harus ditinggalkan dan mulai melangkah. Apoteker tidak dapat meminta profesi lain untuk menunggu, Tetapi haruslah apoteker yang berlari untuk mengejar ketinggalan. Karena itu apa yang menjadi hambatan dalam berkomunikasi selama ini harus dihilangkan dan kemampuan berkomunikasi harus ditingkatkan. Kalau selama ini lebih banyak menghadapi produk yang tidak membutuhkan komunikasi maka sekarang berubah menghadapi pasien dan tenaga medis yang kebutuhan dasarnya
berkomunikasi.
Kelancaran
dan
keberhasilan
apoteker
untuk
berkomunikasi tergantung dari adanya bahan yang akan dikomunikasikan yang berguna bagi staf medik lain dan pasien. Dalam bidang kefarmasian diharapkan dan seharusnya demikian, Apoteker harus menjadi pusat informasi obat-obatan dalam segala aspek. Kalau kemampuan ini tidak ada maka kemajuan dan keberanian berkomunikasi akan lemah dan akhirnya apoteker akan ditinggalkan dan kemitraan yang diharapkan tidak akan terjadi. Oleh sebab itu peningkatan kemampuan merupakan kunci utama untuk peningkatan kemitraan. Peningkatan kemampuan dapat dilakukan oleh tiga pihak yaitu : a) Apoteker sendiri Apoteker sendiri harus dengan disiplin yang tinggi berupaya untuk menambah kemampuan khususnya dalam bidang klinis dan ilmu kefarmasian untuk dapat berkomunikasi lebih baik dengan profesi lain. Ikatan profesi harus dapat menyusun standar pelayanan kefarmasian dan mempersiapkan pelatihanpelatihan untuk meningkatkan kemampuan apoteker melakukan tugasnya dalam pelayanan kefarmasian di rumah sakit. b) Ikatan Profesi c) Pergutuan tinggi Perguruan tinggi Farmasi di Indonesia sudah sangat berjasa mempersiapkan apoteker khususnya dalam kemampuan pembuatan dan analisa obat, sesuai
dengan peran apoteker dalam pelayanan yang dituntut pada waktu itu. Namun tuntutan pelayanan kefarmasian telah berubah sesuai dengan perubahan ilmu pengetahuan dan visi kesehatan. Oleh sebab itu hendaknya pula kurikulum perguruan tinggi Farmasi dapat disempurnakan untuk menopang pelayanan kefarmasian seperti yang berkembang dewasa ini.
B A B III PENUTUP
3.1
Kesimpulan
3.2
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Sudibyo, S., dkk., 2012, Artikel : Evaluasi Peran Apoteker
Berdasarkan Pedoman
Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas, Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Jakarta Pusat.
Desi, Y., P.,
Relasi Sosial Antara Penyedia Layanan Kesehatan Dengan Pasien
Dipuskesmas (Studi Pada Puskesmas Desa Palemraya Kecamatan Indralaya Utara Kabupaten Ogan Ilir).
Menkes, 2008, Standar Profesi Asisten Apoteker, Keputusan Mentri Kesehatan RI, Jakarta.
ISFI, 2009, Kode Etik Apoteker Indonesia, Keputusan Kongres Nasional XVIII ; Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Jakarta Barat.
Anonim, 2011, Buletin Farmasi ; Implementasi Kewajiban Apoteker Terhadap Sejawat Petugas Kesehatan Lain, [http://buletinfarmasi.blogspot.com], Diakses Tanggal 11/03/2014, Pukul 21.55 WITA.