TANTANGAN AKREDITASI SEKOLAH/MADRASAH1 Oleh: Ir. Hendarman, M.Sc. Ph.D2
Pendahuluan Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, akreditasi merupakan kegiatan penilaian kelayakan program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan (Kementerian Pendidikan Nasional, 2005). Sedangkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2012 tentang Badan Akreditasi Nasional yaitu pada Pasal 1 butir 7 menyatakan bahwa “Akreditasi sekolah/madrasah adalah suatu kegiatan penilaian kelayakan program dan satuan pendidikan dasar dan menengah berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan untuk memberikan penjaminan mutu pendidikan sekolah/madrasah” (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012). Akreditasi sekolah/madrasah bertujuan untuk: (1) memberikan informasi tentang kelayakan sekolah/madrasah atau program yang dilaksanakan berdasarkan Standar Nasional Pendidikan; (2) memberikan pengakuan peringkat kelayakan; dan (3) memberikan rekomendasi tentang penjaminan mutu pendidikan kepada program dan/atau satuan pendidikan yang diakreditasi dan pihak terkait (Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, 2010). Kewenangan untuk melakukan akreditasi terhadap sekolah/madrasah diberikan kepada Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M). Merujuk pada Permendikbud Nomor 59 Tahun 2012 tentang Badan Akreditasi Nasional dalam Pasal 1 butir 2 dikatakan bahwa “BAN-S/M adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah jalur formal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan” (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012). Untuk membantu BAN-S/M dalam melaksanakan kewenangan akreditasi tersebut maka dibentuk Badan Akreditasi Provinsi sekolah/Madrasah yang selanjutnya disebut BAP-S/M sebagai badan evaluasi mandiri di provinsi (Pasal 1 Permendikbud Nomor 59 Tahun 2012). Pentingnya akreditasi dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas madrasah sudah disadari oleh berbagai pemangku kepentingan (stakeholders). Sebagaimana dikatakan oleh Kepala Bidang Madrasah dan Pendidikan Agama Islam, Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Jawa Barat pada saat menyerahkan sertifikat akreditasi madrasah bagi 1
Makalah disampaikan pada ToT Asesor SMA/MA dan SMK yang diselenggarakan oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) di Harris Hotel and Convention Center, Festival Citylink, Bandung, 29 September 2013 2
Ir Hendarman, M.Sc, Ph.D adalah Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sekaligus Peneliti Madya IV-c bidang Kebijakan Pendidikan; email:
[email protected]
1
Madrasah Aliyah (MA) di Bogor yaitu bahwa “Akreditasi sekolah menjadi hal penting karena dengan tingginya nilai akreditasi sekolah maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sekolah untuk memasukan anaknya ke sekolah yang bersangkutan semakin tinggi”. Ditambahkannya lebih lanjut bahwa ““Akreditasi itu penilaian kualitas jadi akreditasi jangan mengada-ngada harus sesuai yang ada di lapangan”.3 Dalam implementasinya, khususnya dalam konteks madrasah, masih banyak sekolah/madrasah yang belum diakreditasi. Misalnya, dari 258 madrasah di Kota Tasikmalaya, baru 40 persen yang terakreditasi dan dikatakan berkualitas, sedangkan sebanyak 60 persen masih belum terakreditasi. Padahal Kantor Kementerian Agama Kota Tasikmalaya telah mengeluarkan kebijakan pengakreditasian peningkatan kualitas agar setara dengan sekolah umum. Yang penting untuk dicermati yaitu adanya pernyataan dari pemangku kepentingan di kota Tasikmalaya yaitu bahwa agar setiap madrasah tidak tergesa-gesa ingin terakteridasi sebelum semua delapan komponen persyaratan akreditasi terpenuhi, yaitu standar isi, proses kelulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, pengelola, saran prasarana, pembiayaaan dan penilaian pendidikan. Dengan kata lain, sekolah jangan dulu memaksakan mengusulkan akreditasi sebelum delapan komponen tersebut dipenuhi. Sebelumnya diberitakan Radar (17/9) Kementerian Agama (Kemenag) mencatat 12.625 unit madrasah belum terakreditasi. Umumnya karena tidak memenuhi delapan standar pelayanan minimal (SPM) pendidikan4. Dalam pelaksanaan akreditasi, Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/Madrasah (BAP-S/M) melakukan perekrutan asesor. Tanggung jawab asesor yaitu: (a) melaksanakan tugas secara sungguh-sungguh dengan berpedoman kepada norma-norma pelaksanaan visitasi, sehingga hasil akreditasi yang diberikan kepada sekolah/madrasah benar-benar mencerminkan tingkat kelayakan sekolah/madrasah yang sesungguhnya; dan (b) menjaga kerahasiaan hasil visitasi dan melaporkannya secara objektif kepaa BAP-S/M (Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, 2010). Di masa mendatang, tantangan yang dihadapi akreditasi sekolah/madrasah diperkirakan akan meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Sejauhmana hasil akreditasi difahami dan dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan terkait baik di tingkat Pusat maupun di tingkat kabupaten/kota; 2. Sejauhmana asesor yang menjadi penentu dalam proses penetapan akreditasi dan pemeringkatannya dapat menjalankan tanggung jawabnya secara kredibel dan akuntabel.
3
Sumber: http://www.jabarpost.com/fullpost/pendidikan/1357783435/akreditasi-sekolah-menjadi-hal-penting.html
4
Sumber: http://www.jpnn.com/read/2013/09/18/191550/60-Persen-Madrasah-Belum-Terakreditasi-
2
3. Sejauhmana koordinasi antara BAN-S/M dan BAP-S/M dalam konteks pendataan yang akurat dan andal.
Metode Tulisan ini merupakan suatu kajian dengan tujuan untuk menjawab ketiga isu terkait tantangan yang dihadapi dalam konteks akreditasi sekolah/madrasah, sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Data yang digunakan adalah gabungan data primer dan sekunder yang berasal antara lain dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, Pusat Data Statistik Pendidikan (PDSP) Kemdikbud, dan informasi yang didapat dari berbagai media serta dokumen resmi yang dikeluarkan Pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Data dianalisis menggunakan meta-analysis dengan fokus pada 3 (tiga) aspek: (1) Pelaksanaan dan pemanfaatan akreditasi, (2) kompetensi, kredibilitas dan rasio asesor, dan (3) koordinasi antara BAN-S/M dan BAP-S/M.
Hasil dan Pembahasan Pelaksanaan dan Pemanfaatan Akreditasi Mekanisme akreditasi madrasah/sekolah diatur dalam Bab XIII Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 86 (PP No 19 Tahun 2005). Ayat (1) menyebutkan bahwa “Pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan; (2) Kewenangan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula dilakukan oleh lembaga mandiri yang diberi kewenangan oleh Pemerintah untuk melakukan akreditasi; dan (3) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai bentuk akuntabilitas publik dilakukan secara obyektif, adil, transparan, dan komprehensif dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu kepada Stándar Nasional Pendidikan. Yang menjadi isu penting adalah sejauhmana hasil akreditasi dimanfaatkan oleh berbagai pemangku kepentingan di daerah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan sebagai dampak akhir dari proses akreditasi. Dalam buku “Pokok-Pokok Kebijakan dan Pedoman Akreditasi Sekolah/Madrasah” (Badan Akreditasi Sekolah/Madrasah, 2010) dijelaskan pemanfaatan bagi berbagai pemangku kepentingan. Bagi kepala sekolah/madrasah, hasil akreditasi diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan informasi untuk pemetaan indicator kelayakan sekolah/madrasah, kinerja warga sekolah/madrasah, termasuk kinerja kepala sekolah/madrasah selama periode 3
kepemimpinannya. Di samping itu, hasil akreditasi juga diperlukan kepala sekolah/madrasah sebagai bahan masukan untuk penyusunan program serta anggaran pendapatan dan belanja sekolah/madrasah. Tabel 1: Peringkat Akreditasi SMA/MA pada 33 Provinsi SEKOLAH/MADRASAH No
Propinsi
SMA/MA B C 188 86 894 362 175 102 255 208 62 26 99 102 274 154 63 9 242 251 73 54 150 14 686 87 271 133 406 171 69 16 1.160 386 152 93 104 84 130 90 138 42 79 43 59 12 117 97 279 179 116 73 39 33 75 72 67 67 60 4 274 171 132 90 44 37 16 7 6.948 3.355
A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Lampung Bengkulu DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Papua Papua Barat Jumlah
78 422 87 187 32 48 117 32 61 55 457 1.166 136 458 140 971 59 45 85 94 63 43 21 197 33 7 18 21 153 81 47 19 13 5.446
TT 12 29 51 40 14 61 7 15 37 10 19 28 4 1 74 78 9 17 10 7 6 55 63 59 21 53 51 1 114 67 18 1 1.032
Sumber: Badan Akreditasi Nasional S/M. (2013)5
Bagi pemerintah daerah, hasil akreditasi dapat digunakan sebagai acuan dalam memetakan mutu dan kelayakan sekolah/madrasah guna mempermudah usaha-usaha 5
Badan Akreditasi Nasional BAN-S/M. (2013). Data Hasil Akreditasi 2007-2012 (tidak dipublikasikan).
4
pembinaan dan pemberdayaan serta sumber informasi yang dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan kebijakan pembangunan pendidikan di setiap daerah. Data pada Tabel 1 di atas menunjukkan status peringkat akreditasi pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) yang terdapat di 33 provinsi. Dari Tabel 1 tersebut di atas, jumlah satuan pendidikan yang memiliki peringkat akreditasi A baru mencapai 29.73% yaitu 5.446 satuan pendidikan yang berakreditasi A dari total 18.318 SMA/MA yang ada berdasarkan data dari Ministry of Education and Culture (2012). Tabel 1 tersebut juga menunjukkan bahwa satuan pendidikan yang berakreditasi C relatif cukup besar yaitu 3.355 satuan pendidikan atau 18.32%, sedangkan yang tidak terakreditasi (TT) masih 1.032 SMA/MA yaitu sekitar 5.63%. Terdapat paling tidak 2 (dua) pertanyaan penting dalam kaitan dengan data pada Tabel 1 tersebut. Pertama, apakah BAN-S/M maupun BAP-S/M (Badan Akreditasi Provinsi Sekolah/Madrasah) di masing-masing provinsi sudah menginformasikan data tersebut kepada pemerintah daerah masing-masing dan apakah BAN-S/M maupun BAP-S/M sudah mempunyai analisis mendalam terhadap makna dari akreditasi yang diperoleh pada satuan pendidikan tersebut dikaitkan dengan delapan standar nasional pendidikan (SNP) mengingat bahwa instrumen yang digunakan merujuk kepada 8 SNP tersebut. Menginformasikan hasil akreditasi tersebut diatur dalam peraturan perundangundangan yaitu pada Pasal 11 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Permendikbud Nomor 59 Tahun 2012 tentang Badan Akreditasi Nasional, yaitu sebagai berikut: (1) BAN-S/M melaporkan kegiatan akreditasi sekolah/madrasah kepada Menteri dengan tembusan kepada Menteri Agama; (2) Laporan kegiatan akreditasi sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan tembusan kepada Gubernur dan Kantor Wilayah Kementerian Agama; dan (3) BAP-S/M melaporkan hasil akreditasi sekolah/madrasah di wilayahnya kepada BAN-S/M, Gubernur, Bupati/Walikota, Kantor Wilayah Kementerian Agama, dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota. Terkait dengan pertanyaan yang pertama tersebut adalah (1) apakah hasil akreditasi sudah dirinci secara operasional dan dalam laporan hasil akreditasi sudah dideskripsikan analisis intervensi yang dapat dilakukan oleh suatu satuan pendidikan yang memiliki akreditasi tertentu agar dapat naik ke peringkat akreditasi yang lebih baik; dan (2) apakah asesor yang ada sekarang sudah memiliki kemampuan untuk melakukan analisis seperti itu.
Kedua, yaitu sejauhmana pemerintah daerah sudah menggunakan informasi peringkat
akreditasi yang ada seperti ditunjukkan dalam Tabel 1 di atas untuk merencanakan kegiatan-kegiatan yang terkait peningkatan mutu yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk rencana anggaran belanja dan pendapatan daerah (APBD). Apabila pemerintah daerah memang sudah melakukan hal dimaksud, apakah BAN-S/M maupun BAP-S/M memiliki informasi mengenai program maupun kegiatan yang dilakukan pemerintah 5
daerah terhadap akreditasi sekolah/madrasah. Hal ini terkait dengan Pasal 19 Permendikbud Nomor 59 Tahun 2012 tentang BAN yang menyatakan “Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan penyelenggara program dan satuan pendidikan melakukan pembinaan kepada program dan satuan pendidikan berdasarkan hasil akreditasi sesuai dengan kewenangannya.
Kompetensi, Kredibilitas dan Rasio Asesor Tanggungjawab dan perekrutan asesor telah diatur oleh BAN-SM sebagaimana tertulis dalam publikasi Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-SM) (2010) dengan judul “Pokok-Pokok Kebijakan dan Pedoman Akreditasi Sekolah/Madrasah”. Tanggung jawab asesor yaitu: (a) melaksanakan tugas secara sungguh-sungguh dengan berpedoman kepada norma-norma pelaksanaan visitasi, sehingga hasil akreditasi yang diberikan kepada sekolah/madrasah benar-benar mencerminkan tingkat kelayakan sekolah/madrasah yang sesungguhnya; dan (b) menjaga kerahasiaan hasil visitasi dan melaporkannya secara objektif kepaa BAP-S/M. Adapun asesor direkrut dari berbagai unsur termasuk dosen/guru, widyaiswara, pengawas sekolah/madrasah, organisasi profesi yang bergerak di bidang pendidikan; dan unsur masyarakat pendidikan yang memiliki wawasan, pengalaman serta komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sedangkan syarat untuk menjadi asesor adalah: (1) memiliki pengetahuan tentang sekolah/madrasah; (2) memiliki etika moral dengan menjunjung tinggi kejujuran; dan (3) memiliki kemampuan, kompetensi dan integritas diri serta komitmen untuk melaksanakan tugas; (4) berpengalaman minimal lima tahun dalam pelaksanaan dan/atau pengelolaan pendidikan dengan reputasi baik; (5) kualifikasi pendidikan sekurang-kurangnya adalah sarjana (S1) atau yang sederajat; (6) berusia maksimal 65 tahun; (7) berbadan sehat; (8) tidak sedang menduduki jabatan struktural di lingkungan Disdik dan Kanwil Depag; (9) tidak sedang menjadi anggota BAP-S/M; dan (10) telah mengikuti pelatihan asesor dan memperoleh sertifikat yang dikeluarkan oleh BAN-S/M atau BAP-S/M. Untuk dapat dianggap layak sebagai asesor maka setiap calon asesor yang terpilih harus mengikuti dan lulus pelatihan asesor yang dilaksanakan oleh BAP-S/M atas dasar pedoman pelatihan yang ditentukan oleh BAN-S/M. isi pelatihan tidak hanya difokuskan pada instrumen akreditasi saja, tetapi juga mencakup filosofi, tujuan, manfaat, dan keseluruhan proses akreditasi (Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, 2010). Dengan demikian, setiap asesor dipersyaratkan untuk memahami keseluruhan aspek akreditasi yang sekaligus dapat dimaknai bahwa mereka harus memiliki kemampuan untuk menafsirkan setiap nilai yang diperoleh oleh setiap satuan pendidikan yang diakreditasi sehingga dapat memberikan rekomendasi tindak lanjut seperti apa yang dapat dilakukan satuan pendidikan yang bersangkutan. 6
Tabel 2 berikut menunjukkan jumlah asesor yang terdapat di masing-masing provinsi berdasarkan data dari BAN-S/M per 28 Oktober 2012 dan per 15 September 2013. Tabel 2: Jumlah Asesor per 28 Oktober 2012 dan 15 September 2013 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Provinsi DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Lampung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Maluku Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Papua Bengkulu Maluku Utara Banten Bangka Belitung Gorontalo Kepulauan Riau Papua Barat Jumlah
Per 28 /10/2012 Per 15/09/2013 347 347 4027 2,151 2092 2,092 269 269 1406 2,694 591 593 110 503 320 320 155 368 374 311 133 339 162 501 461 414 67 219 33 255 494 392 28 383 51 360 400 326 147 245 96 96 186 186 63 112 115 451 334 111 164 164 64 64 77 98 367 139 71 47 56 178 92 139 124 124 13,476 14,991
Sumber: dirangkum dari data yang ada pada BAN-S/M pada 2012 dan 2013
Data pada Tabel 2 di atas tersebut yang dirangkum dari BAN-S/M pada tahun 2012 dan tahun 2013 menunjukkan ada ketidakajegan (konsistensi) data dalam hal ini belum memiliki tingkat akurasi yang memadai. Data pada Tabel 3 berikut menunjukkan jumlah 7
satuan pendidikan yang ada berdasarkan data dari Ministry of Education and Culture (2012). Tabel 3: Jumlah Sekolah/Madrasah No
1 2 3 4 5 6
7 8 9 10
Provinsi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Taman Kanak-Kanak (TK) Sekolah Luar Biasa (SLB) Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas Sekolah Menengah Kejuruan
Status Sekolah Negeri 165.037 2.083 496 133.597 20.594 5.570 2.697
Swasta 110.208 68.834 1.428 13.229 13.074 6.084 7.559
Total 275.245 70.917 1.924 146.826 33.668 11.654 10.256
Kementerian Agama Bustanul Athfal (BA)/Raudatul Athfal (RA) Madrasah Ibtidaiyah (MI) Madrasah Tsanawiyah (MTs) Madrasah Aliyah (MA) Jumlah
3.881 0 1.686 1.437 758 168.918
66.533 25.435 21.385 13.807 5.906 176.741
70.414 25.435 23.071 15.244 6.664 345.659
Sumber: Ministry of Education and Culture (2012). Indonesia: Educational Statistics in Brief 2011/2012
Dengan memperhatikan data jumlah satuan pendidikan dan data asesor maka rasio rasio terhadap satuan pendidikan secara rerata adalah 1:26 (menggunakan data 2012) dan 1:23 (menggunakan data 2013). Pertanyaan yang muncul adalah apakah dengan rasio tersebut maka kegiatan akreditasi dapat dikatakan sudah layak apalagi dengan mempertimbangkan sebaran lokasi keberadaan dari asesor tersebut yang kemungkinan tidak dalam jangkauan (aksesibilitas) dari satuan-satuan pendidikan yang ada. Di samping itu, yang perlu dipertanyakan lebih lanjut adalah apakah asesor yang sudah tercatat tersebut memiliki pengalaman atau ditugasi menjalankan akreditasi secara proporsional dan merata dalam arti apakah dapat dijamin bahwa frekuensi (kekerapan) dari penugasan asesor di masing-masing provinsi berimbang antara 1 asesor dengan asesor lainnya, ataukah terdapat pembebanan yang besar untuk asesor tertentu karena diberi penugasan terus menerus oleh BAP-S/M yang ada di daerahnya. Hal lain yang menjadi tantangan ke depan adalah apakah telah terdapat kode etik yang jelas bagi para asesor di dalam menjalankan tugasnya, dan sejauhmana kode etik tersebut dijunjung oleh para asesor dalam menjalankan tugasnya, serta sejauhmana BAP-S/M memiliki instrumen untuk mengontrol sikap dari para asesor pada saat melaksanakan tugasnya. Berbagai pengamatan kritis dan laporan yang disampaikan secara informal menunjukkan bahwa terdapat asesor yang menyalahgunakan kewenangannya pada saat melaksanakan tugasnya yaitu bertentangan dengan tanggung jawab mereka yaitu: (a) melaksanakan tugas secara sungguh-sungguh dengan berpedoman kepada norma-norma pelaksanaan visitasi, sehingga hasil 8
akreditasi yang diberikan kepada sekolah/madrasah benar-benar mencerminkan tingkat kelayakan sekolah/madrasah yang sesungguhnya; dan (b) menjaga kerahasiaan hasil visitasi dan melaporkannya secara objektif kepaa BAP-S/M. Dalam kaitan hal-hal tersebut di atas maka yang menjadi kritis untuk dilakukan pada masa mendatang adalah mekanisme evaluasi kinerja dari asesor dan juga BAP-S/M di masing-masing provinsi. Hal ini sejalan dengan ketentuan dengan yang digariskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2013 tentang Badan Akreditasi Nasional. Pada Pasal 9 ayat (4) dituliskan bahwa “Balitbang mengkoordinasikan evaluasi kinerja BAN-S/M dan anggota BAN-S/M secara periodik”. Dengan menggunakan klausul dimaksud maka perlu dilakukan suatu mekanisme yang sistematis dan sistemik terhadap kinerja BAP-S/M dan asesor yang mungkin dapat dilakukan oleh BAN-S/M atau provinsi masing-masing.
Koordinasi antara BAN-S/M dan BAP-S/M Hubungan antara BAN-S/M dan BAP-S/M diatur secara jelas dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 59 Tahun 2012 tentang Badan Akreditasi Nasional. Pengaturan tersebut dinyatakan pada Pasal 10 ayat (1) dan ayat (6). Ayat (1) menyatakan bahwa “Dalam pelaksanaan akreditasi, BAN-S/M dibantu oleh BAP-S/M” sedangkan ayat (6) menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BAP-S/M berpedoman pada petunjuk pelaksanaan yang disusun oleh BAN-S/M”. Ayat (2) pasal dimaksud menjelaskan kriteria anggota BAP-S/M yaitu terdiri atas ahli-ahli di bidang evaluasi pendidikan, kurikulum, manajemen pendidikan, atau ahli pendidikan lainnya dan unsur masyarakat pendidikan, yang memiliki wawasan, pengalaman, dan komitmen untuk peningkatan mutu pendidikan. proses pemilihan dan penetapan BAP-S/M merupakan kewenangan Gubernur sebagaimana diatur dalam ayat (4) yaitu “Pemilihan keanggotaan BAP-S/M dilakukan melalui seleksi oleh suatu tim yang ditetapkan oleh Gubernur” dan ayat (5) yaitu “Keanggotaan BAP-S/M ditetapkan oleh Gubernur.
Didasarkan rangkuman data yang diperoleh pada BAN-S/M maka cenderung sangat sulit untuk mendapatkan data akurat misalnya status atau peringkat akreditasi satuan pendidikan yang berada di masing-masing provinsi karena terdapat perbedaan antara data yang ada pada BAN-S/M di tingkat pusat dan BAP-S/M di tingkat provinsi. Hal yang sama juga ditemukan untuk data terkini dari asesor di masing-masing provinsi. Dengan demikian, isu akuntabilitas juga belum memenuhi seperti yang diharapkan. Adanya sistem pendataan yang kurang akurat, valid dan handal (reliable) ini seyogianya perlu menjadi suatu perhatian khusus pada masa mendatang karena data menjadi acuan dalam setiap proses pembahasan khususnya dalam pengajuan anggaran untuk memastikan berapa sebenarnya alokasi anggaran yang diperlukan baik yang dialokasikan melalui APBN (Anggaran Pendapat dan Belanja Nasional) maupun melalui APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Salah satu yang mungkin dapat 9
dipertimbangkan adalah bahwa pendataan harus dilakuka secara sentralistik yaitu dikelola langsung oleh BAN-S/M di tingkat pusat dengan beberapa kondisi yang dipersyaratkan yaitu bahwa BAN-S/M harus menyiapkan mekanisme dan proses pelatihan yang sesuai bagi BAP-S/M sehingga proses transfer data dapat dilakukan secara on-line pada waktu yang nyata (real-time). Kesimpulan Beberapa kesimpulan dari hasil kajian terhadap situasi dan kondisi yang ada dalam mekanisme akreditasi sekolah/madrasah yang sekaligus menjadi tantangan yang harus segera ditindaklanjuti di masa mendatang adalah sebagai berikut: 1. Hasil akreditasi cenderung masih belum dimanfaatkan oleh berbagai pemangku kepentingan terkait baik khususnya di tingkat kabupaten/kota yang kemungkinan disebabka bahwa hasil dan laporan akreditasi belum dirinci sampai aspek operasional yaitu antara lain berupa analisis secara sistematis terhadap rekomendasi dari setiap komponen yang dianalisis sesuai instrumen yang digunakan, serta belum adanya rekomendasi yang jelas tentang tindak-lanjut yang seyogianya dapat dilakukan oleh pemangku kepentingan di tingkat satuan pendidikan agar dapat membenahi di masa mendatang untuk meningkatkan status atau peringkat akreditasinya; 2. Masih belum ada suatu mekanisme yang dapat memberikan gambaran faktual terhadap kinerja dari asesor yang ada, termasuk sejauhmana mereka sudah menjalankan tanggung jawabnya secara kredibel dan akuntabel, sejauhmana sudah terdapat beban kerja yang memadai antar asesor di masing-masing provinsi, serta sejauhmana para asesor memiliki kode etik yang dapat menjawab keraguan masyarakat terhadapat transparansi dan akuntabilitas asesor pada saat melaksanakan tugasnya; dan 3. Koordinasi antara BAN-S/M dan BAP-S/M masih perlu ditingkatkan ke masa depan mengingat masih ditemukannya data yang belum sinkron khususnya terkait peringkat akreditasi dan asesor pada kedua institusi dimaksud karena masingmasing mempunyai mekanisme pendataan yang kurang saling mendukung. Pembenahan koordinasi dimaksud dimaksudkan untuk mewujudkan prinsip-prinsip akreditasi yang objektif, komprehensif, adil, transparan, akuntabel dan professional.
Daftar Acuan
10
Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah. (2010). Pokok-Pokok Kebijakan dan Pedoman Akreditasi Sekolah/Madrasah. Jakarta: Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BANS/M). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.(2012). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2012 tentang Badan Akreditasi Nasional. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ministry of Education and Culture. (2012). INDONESIA: Educational Statistics in Brief 2011/2012. Jakarta: Ministry of Education and Culture.
11