1
PERANAN JAMUR KARAT (Puccinia sp) DALAM MENURUNKAN DAYA KOMPETISI GULMA TEKI (Cyperus rotundus) PADA TANAMAN PADI GOGORANCAH THE ROLE OF A RUST FUNGUS (Puccinia sp.) IN DECREASING THE COMPETITIVE ABILITY OF PURPLE NUTSEDGE (Cyperus rotundus) ON RAINFED PADDY M. Taufik Fauzi dan Murdan Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Mataram ABSTRAK Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui peranan jamur karat (Puccinia sp.) yang diterapkan pada umur gulma yang berbeda dalam menurunkan daya kompetisi gulma teki (Cyperus rotundus) telah dilakukan di rumah kaca dan laboratorium Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Percobaan yang dilakukan merupakan percobaan faktorial ini dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap, dan terdiri dari dua faktor yaitu umur teki saat inokulasi dan dengan atau tanpa kompetisi dengan tanaman padi. Hasil menunjukkan bahwa gulma teki paling rentan terhadap infeksi jamur karat pada saat berumur 3 minggu, dan gulma teki yang terinfeksi jamur karat akan berkurang daya kompetisinya dengan tanaman padi. ABSTRACT This research aimed at understanding the role of a rust fungus (Puccinia sp.) applied at different age of purple nutsedge in decreasing the competitive ability of purple nutsedge (Cyperus rotundus) had been undertaken in the glasshouse and laboratory of Plant Protection, the Faculty of Agriculture, Mataram University. The factorial experiments were arranged according to Completely Randomized Design, consisting of two factors, i.e.: the age of purple nutsedge when inoculated with the rust fungus and with or without competition with paddy. The results showed that the most conducive age of purple nutsedge for rust infection was 3 week, and the competitive ability of purple nutsedge to paddy decreased when the weed was infected by the rust fungus. ______________________________________ Kata Kunci Keywords
: Jamur karat (Puccinia sp.), Teki, Kemampuan kompetisi : A rust fungus (Puccinia sp.), Purple nutsedge, Competitive Ability PENDAHULUAN
Pertanaman padi dengan sistem gogorancah merupakan sistem pertanian yang cocok diterapkan di lahan kering dengan bulan basah yang pendek setiap tahunnya. Masalah utama dalam pertanaman padi dengan sistem gogorancah adalah gulma. Selain karena banyaknya gulma yang menginvasi lahan gogorancah juga persaingan akan sangat berat bagi tanaman budidaya karena terbatasnya ketersediaan air di dalam tanah. Salah satu gulma yang perlu mendapat perhatian serius dalam budidaya padi gogorancah ini adalah gulma teki (Cyperus rotundus), karena sangat sulit dikendalikan walaupun dengan pengolahan tanah yang dilakukan berulang-ulang akibat banyaknya umbi yang terdapat di dalam tanah. Umbi teki dapat mencapai 1600 buah dalam tanah seluas 1 m2 dengan kedalaman 10 cm (Moenandir, 1993).
Di Pulau Lombok, pertanaman padi gogorancah diusahakan di tanah berjenis berat (Vertisol), sehingga penyiangan gulma secara langsung dengan tangan memerlukan tenaga atau biaya yang cukup besar. Biaya yang digunakan dalam penyiangan gulma di areal gogoracah dapat mencapai 40 – 50 % dari total biaya produksi (Taslim et al., 1989). Hal ini merupakan salah satu faktor penghambat bagi penyebarluasan sistem gogorancah ini kepada petani (Leksono et al., 1984 dalam Taslim et al., 1989). Pengendalian gula teki denagan cara penyiangan (terutama dengan cara pembabatan) pada kondisi tanah yang berat, sulit untuk berhasil dengan baik, karena cukup banyaknya umbi-umbi yang terdapat di dalam tanah (soil seed bank) yang akan segera tumbuh dengan cepat membentuk tumbuhan baru (Pons et al., 1987). Sementara itu, pengendalian secara kimia dengan menggunakan herbisida untuk
Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008
2 mengendalikan gulma teki pada pertanaman padi denagan sistem gogorancah masih belum umum dilakukan di Pulau Lombok. Konstermans et al. (1987) melaporkan bahwa penggunaan campuran 0,9 kg MSMA + 0,45 kg 2,4-D + 0,61 L surfaktan dalam 90 L air yang diterapkan 5-6 kali, dan glyphosate dapat menekan gulma ini. Akan tetapi penggunaan herbisida yang berkalikali tersebut tentunya akan membutuhkan biaya yang sangat besar, selain juga dapat menimbulkan efek samping negatif pada lingkungan. Tambahan lagi, pengendalian gulma teki dengan herbisida jarang berhasil dengan baik, terutama jika terdapat umbi-umbi dorman yang biasanya tahan terhadap herbisida, yang dapat tumbuh kembali dengan cepat. Oleh karena itu, pengendalian dengan kombinasi berbagai perlakuan seperti cara bercocok tanam, penggunaan herbisida, penyiangan, dan pengendalian hayati (biokontrol) perlu diterapkan. Biokontrol gulma, terutama dengan menggunakan jamur-jamur patogen tumbuhan, akhir-akhir ini mendapat perhatian serius dari peneliti-peneliti di negara-negara maju, karena selain cukup mempan sebagaimana pengendalian secara kimia juga mempunyai efek samping negatif yang sangat kecil terhadap lingkungan. Pengendalian gulma secara hayati akan menjadi tambah penting bagi gulma teki karena sulitnya dikendalikan secara mekanik ataupun kimia. Pengendalian gulma secara hayati (biokontrol gulma) adalah penggunaan musuh-musuh alami (organisme hidup) selain manusia untuk mengurangi populasi dari gulma (Watson, 1991). Sehingga, upaya untuk mengendalikan gulma dengan memanfaatkan serangga, patogen tumbuhan (termasuk jamur, bakteri, virus, dan namatoda), hewan tingkat tinggi dan bahkan tumbuhan lain dapat dikategorikan sebagai biokontrol (Fauzi, 1998). Penggunaan patogen dibanding dengan serangga, untuk pengendalian gulma termasuk relatif baru, dimana perhatian serius untuk memanfaatkan patogen ini baru dilakukan pada 2-3 dekade terakhir ini (Templeton dan Trujjilo, 1991). Di antara patogen tumbuhan untuk pengendalian gulma, jamur adalah organisme yang paling banyak dipelajari dan digunakan, karena jamur : 1) paling umum ditemukan pada tumbuhan, 2) mempunyai sifat merusak, 3) dapat diproduksi dalam jumlah banyak, dan 4) dapat diformulasikan (Smith, 1982), serta 5) dapat mempenetrasi tumbuhan secara langsung (Charudattan, 1985). Penggunaan jamur patogen tumbuhan mendapat perhatian yang cukup luas karena cukup mempan sebagaimana herbisida dan juga layak dikembangkan secara kormersil, M.Taufik Fauzi & Murdan: Peranan jamur karat …
sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa produk yang telah beredar di pasaran seperti Collego, DeVine, dan Lu Boa (Templeton, 1992), dan yang relatif baru dikembangkan seperti BIOMAL (Auld, 1997). Jamur karat (terutama dari genus Puccinia) adalah kandidat bahan biokontrol yang mempunyai prospek yang baik untuk mengendalikan gulma, karena mampu menyebabkan kerusakan yang berat pada gulma dan mempunyai inang yang sangat spesifik (Evans, 1995). Karena itu, jamur karat selama ini merupakan kelompok jamur yang paling banyak digunakan sebagai bahan biokontrol gulma yang diterapkan dengan pendekatan kelasik (Watson, 1991). Penggunaan jamur karat Puccinia canaliculata Schw., misalnya, yang ditemukan menyerang gulma ‘teki kuning’ di Amerika Serikat telah dikembangkan untuk mengendalikan gulma tersebut dengan pendekatan augmentasi (Evans, 1991). Jamur P. canaliculata ini jika diterapkan pada saat yang tepat (keadaan lingkungan yang kodusif bagi perkembangan jamur) dan dalam jumlah yang memadai mampu menghambat pembungaan dan pembentukan umbi gulma tersebut (Callaway et al., 1985; Phatak et al., 1983; TeBeest et al., 1992). Karena prospeknya yang baik untuk dikomersilkan, maka penggunaan jamur karat ini letah dipatenkan pada tahun 1988 dan didaftarkan untuk dipasarkan sebagai augmentatif bioherbisida (Phatak et al., 1995), serta dipasarkan dengan merek dagang Dr. BioSedge® (Khetan, 2001). Mengamati keberhasilan penggunaan jamur karat P. canaliculata di AS yang diterapkan secara augmentasi, maka pengembangan jamur karat yang asli (diperoleh dari tempat dimana gulma menjadi masalah) akan mempunyai peluang keberhasilan yang sama dan bahkan lebih besar, terutama untuk daerah tropik. Di daerah tropik, musuh alami karena faktor lingkungan yang relatif stabil dapat berkembang dengan cepat dan terus menerus, sehingga jika biokontrol berhasil maka hasilnya akan cepat dan luar biasa (Evans, 1991). Selain itu, keadaan lingkungan di daerah tropik yang mempunyai kelembaban yang tinggi akan mengatasi masalah penghambat (kelembaban tinggi) bagi keberhasilan sebagian besar bahan biokontrol gulma yang berupa patogen tumbuhan (Auld and Morin, 1995). Jamur karat Puccinia sp. yang secara alami ditemukan menyerang gulma teki di beberapa tempat di Nusa Tenggara Barat, baik itu di dataran rendah maupun dataran tinggi (Obsevasi Personal) menyebabkan klorosis pada gulma tersebut. Namun, secara alami sulit diharapkan jamur karat ini akan mampu menekan
3 pertumbuhan gulma teki. Untuk itu jamur karat ini perlu dikembangkan dan diterapkan pada saat yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangannya tersebut dan dalam jumlah yang memadai untuk terjadinya epidemi, sehingga dapat menekan pertumbuhan gulma teki. Penelitian yang dilaporkan pada tulisan ini bertujuan untuk mengetahui peranan jamur karat (Puccinia sp.) yang diterapkan pada umur gulma teki yang berbeda dalam menurunkan daya kompetisi gulma teki (C. rotundus) pada sitem pertanaman padi gogorancah. METODE PENELITIAN Percobaan ini dilakukan di Rumah Kaca dan laboratorium Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Percobaan ini dilakukan mulai Februari sampai dengan Nopember 2005. Koleksi spora.-- Sebelum percobaan dimulai, jamur karat ini dikoleksi dari Sapit Lombok Timur. Koleksi dilakukan dengan mengerik spora dari daun terinfeksi meng-gunakan kuas halus dan spora yang jatuh ditampung dengan kertas aluminium (agar tidak melekat) dan dimasukkan dalam vial-vial plastik. Spora terkoleksi ini kemudian ditaruh dikontainer yang terdapat silica gel di dalamnya, sebelum inokolasi dilakukan. Penyiapan Gulma, spora dan inokulasi untuk sumber inokulum -- Teki yang berasal dari umbi ditumbuhkan pada pot-pot berdiameeter 10 cm yang sebelumnya telah diisi dengan tanah yang dicampur dengan pasir dan pupuk kandang (2:1:1/b :b :b), dengan setiap pot berisi satu tanaman. Sebelum inokulasi, dilakukan persiapan suspensi spora. Spora yang dikoleksi tersebut dicampur dengan larutan aquadet steril dan ditambahkan 2 tetes perekat dan perata Tween 80. Dari infeksi yang terjadi, spora dikoleksi untuk digunakan sebagai sumber inokulum untuk percobaan yang akan dilaksanakan. Penyiapan tanaman dan spora -- Sebelum percobaan dimulai, jamur karat dikoleksi dari dataran rendah. Koleksi dilakukan dengan mengerik spora dari daun terinfeksi menggunakan kuas halus dan spora yang jatuh ditampung dengan kertas aluminium (agar tidak melekat) dan dimasukkan dalam vial-vial plastik. Spora terkoleksi ini kemudian ditaruh
dikontainer yang terdapat silica gel di dalamnya, sebelum inokolasi dilakukan. Sebelum inokulasi, dilakukan persiapan suspensi spora. Spora yang dikoleksi tersebut dicampur dengan larutan aquadet steril dan ditambahkan 2 tetes Tween 80. Tanaman padi ditanam pada pot-pot berdiameter 20 cm, yang ditumbuhkan bersamasama dengan satu gulma teki dalam satu pot dengan umur teki yang berbeda. Perlakuan percobaan.-- Pada saat gulma teki berumur 2, 3, atau 4 minggu, teki dalam pot diinokulasi dengan spora jamur karat pada kepadatan yang memadai untuk menginfeksi teki (75 000 spora/ml larutan) dan ditutup dengan plastik hitam yang bagian dalamnya telah dibasahi dengan air selama 12 jam. Pada percobaan ini di dalam satu pot ditanami dengan 1 tanaman padi bersamaan dengan 1 gulma teki, dan gulma teki tanpa ditanami sebagai kontrol. Untuk memperoleh tumbuhan dengan umur yang berbeda saat inokulasi, gulma teki ditanam pada saat yang berbeda antara satu perlakuan dengan perlakuan lainnya yaitu dengan jarak waktu tanam selama 2, 3, atau 4 minggu. Percobaan ini merupakan percobaan faktorial dengan 2 faktor yaitu umur saat inokulasi dan kompetisi atau tanpa kompetisi. Percobaan dirancang mengunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 kali ulangan. Variabel yang diamati meliputi intensitas penyakit (jumlah pustul per rumpun), perkembangan penyakit (AUDPC; Campbell and Madden, 1990), perkembangan dan pertumbuhan teki (berat berangkasan kering), serta perkembangan dan pertumbuhan tanaman padi (berat berangkasan kering). Hasil observasi dianalisis dengan Analisi Sidik Ragam, dan jika terdapat variasi diantara perlakuan atau kombinasinya dilanjutkan dengan BNT pada taraf 5 persen. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur teki saat inokulasi mempengaruhi saat terjadinya gejala pertama (masa inkubasi) jamur karat Puccinia sp. lokal Lombok dan jumlah pustul yang terbentuk pada gulma teki. Kompetisi juga mempengaruhi baik masa inkubasi maupun intensitas penyakit karat (jumlah pustul yang terbentuk) yang terjadi pada gulma teki (Tabel 1).
Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008
4 Tabel 1. Masa inkubasi dan intensitas jamur karat (Puccinia sp.) lokal Lombok pada gulma teki setelah jamur diinokulasi pada gulma teki dengan umur yang berbeda dan berkompetisi atau tidak berkompetisi dengan tanaman padi Perlakuan
Masa Inkubasi (hsi*) Jumlah Pustul**
Umur Gulma Teki 2 Minggu 3 Minggu 4 Minggu BNT 0,05 Kompetisi dengan Tanaman Padi Berkompetisi Tidak Berkompetisi BNT 0,05 Keterangan:
Perkembangan Penyakit
11,42b 7,08a 9,92b 2,41
1,83a 7,75b 3,83a 3,25
12,77 68,75 31,38
8,00a 10,94b 1,96
3,50 5,44 NS
26,58 48,66
Data merupakan rata-rata dari 6 ulangan *) hsi = hari setelah inokulasi **) data telah ditransformasikan ke x + 0,5
Tabel 1 menunjukkan bahwa masa inkubasi tercepat terjadi pada gulma teki yang diinokulasikan pada umur 3 minggu yaitu ratarata selama 7 hari setelah inokulasi. Masa inkubasi yang lebih cepat ini menunjukkan bahwa pada saat gulma tersebut berumur 3 minggu merupakan saat yang paling rentan bagi terjadinya infeksi, sehingga merupakan saat yang paling tepat bagi terjadinya infeksi. Hal ini juga dapat dilihat dari jumlah pustul yang terbentuk, dimana pustul terbanyak terbentuk pada gulma yang berumur 3 minggu yang secara signifikan lebih banyak dibandingkan dengan pada gulma umur 2 maupun 4 minggu. Ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen tertentu dan kecepatan perkembangan penyakit yang ditimbulkannya sangat bervariasi tergantung pada umur tanaman pada saat mana patogen menginfeksi inang (Fraser, 1985). Beberapa patogen, seperti jamur penyebab damping-off selalu menginfeksi tanaman muda (bibit), sementara patogen lain hanya dapat menginfeksi tanaman dewasa (Keane and Kerr, 1997). Misalnya, gulma musk thistle (Carduus nutans subsp. leilophyllus) lebih peka terhadap infeksi jamur karat P. carduorum pada saat berumur dua minggu dibandingkan dengan yang lebih tua (Politis et al., 1984). Dari Tabel 1 juga terlihat bahwa gulma teki yang berkompetisi dengan tanaman padi menunjukkan tingkat kerentanan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak berkompetisi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi pertumbuhan gulma yang bersaing dengan tanaman padi mempunyai pertumbuhan vegetatif yang kurang baik, sementara jamur karat biasanya akan menginfeksi dengan baik
M.Taufik Fauzi & Murdan: Peranan jamur karat …
pada tanaman yang mempunyai pertumbuhan vegetatif yang baik mengingat jamur karat bersifat obligat yang menghendaki sumber makanan dalam kondisi yang optimal. Walaupun secara statistik kemampuan jamur karat dalam menginfeksi gulma teki tidak dipengaruhi oleh perlakuan dengan atau tanpa kompetisi. Walaupun infeksi tertinggi terjadi pada umur gulma 3 minggu, gulma tidak dapat terbunuh oleh infeksi jamur karat. Kemungkinan besar jamur karat ini hanya menekan pertumbuhan vegetatif dan generatif dari gulma teki sehingga menurunkan daya kompetisinya. Hal ini dapat dilihat dari Koefisien Agresivitas (KA) antara gulma teki dan tanaman padi (McGilchrist and Trenbath, 1971 dalam Gunartha, 1998) seperti pada Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa kemampuan gulma teki yang terinfeksi jamur karat untuk berkompetisi dengan tanaman padi akan jauh berkurang dibandingkan dengan gulma teki yang tidak terinfeksi jamur karat. Gulma teki yang tidak terinfeksi yang ditanam bersama-sama dengan tanaman padi (T0P) mempunyai nilai KA yang positif yang menunjukkan bahwa gulma teki lebih dominan dari tanaman padi atau gulma teki lebih kompetitif dibandingkan tanaman padi sehingga tanaman padi akan tertekan pertumbuhannya karena kalah bersaing dengan gulma teki. Sebaliknya, gulma teki yang terinfeksi jamur karat (T1P, T2P dan T3P) mempunyai daya kompetitif yang lebih rendah dibandingkan dengan tanaman padi. Hal ini berarti bahwa tanaman padi dapat mendominasi gulma teki, sehingga pertumbuhan tanaman padi tidak begitu terganggu oleh adanya gulma teki.
5 Tabel 2. Kemampuan teki terinfeksi jamur karat berkompetisi dengan tanaman padi terhadap berat berangkasan kering Koefisien Agresivitas (KA)
Perlakuan Campuran dengan Tanaman Padi
Teki (T)
Padi (P)
Teki diinokulasi jamur karat pada umur 2 minggu (T1P)
-0,0878
0,0878
Teki diinokulasi jamur karat pada umur 3 minggu (T2P)
-0,0663
0,0663
Teki diinokulasi jamur karat pada umur 4 minggu (T3P)
-0,0659
0,0659
Teki tidak diinokulasi jamur karat (T0P)
0,1176
-0,1176
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Groves dan William (1975) dalam Paul et al., (1993) yang menyatakan bahwa infeksi P. chondrillina mampu mengurangi kemampuan kompetisi gulma Chondrilla juncea L. terhadap Trifolium subterraneum L. KESIMPULAN Gulma teki paling rentan terhadap infeksi jamur karat pada saat berumur tiga (3) minggu, dan jamur karat (Puccinia sp.) lokal Lombok dapat menurunkan daya kompetisi gulma teki terhadap tanaman padi. DAFTAR PUSTAKA Auld, B., 1997. Bioherbicides. In M. Julien and G. White (Eds.): Biological Control of Weeds: theory and practical application. ACIAR Canberra, Australia. Auld, B.A. and L. Morin, 1995. Constraints in development of bioherbicides. Weed Technology, 9: 638-652 Callaway, M.B., S.C. Phatk, and H.D. Wells, 1985. Studies on alternate hosts of the rust Puccinia canaliculata, a potential biological control agent for nutsedges. Plant Disease, 69: 924-926 Campbell, C.L. and L.V. Madden, 1990. Introduction to Plant Disease Epidemiology. John Wiley & Sons, New York. Charudattan, R. 1985. The use of natural and genetically altered strains of pathogens for weed control. In M.A. Hoy and D.C.
Herzogs (Eds.): Biological Control in Agricultural IPM Systems. Academic Press, Inc. Orlando, Florida. Evans, H.C., 1991. Biological control of tropical grassy weeds. In F.W.G. Baker and P.J. Terry (Eds.): Tropical Grassy Weeds. CAB International, Wellingford, Oxon, UK. Evans, H.C., 1995. Pathogen-weed relationship: the practice and problems of host range screening. In E.S. Delfosse and R.R. Scott (Eds.): Proceeding of the Eight Intrnational Symposium on Biological Control of Weeds. DSIR/CSIRO, Melbourne. Fauzi, M.T., 1998. Biological Control of Parthenium Weed by Puccinia abrupta var. partheniicola. Ph.D. Thesis, The University of Queensland, Brisbane. Fraser, R.S.S., 1985. Mechanisms involved in genetically controlled resistance and virulence: Virus diseases. In R.S.S. (Ed.): Mechanisms of Resistance to Plant Disease. Martinus Nijhoff/Dr. W. Junk, Dodrecht, the Netherlands, pp. 143-185 Gunartha, I.G.E.,1998. Evaluasi kuantitatif produksi sistem tumpangsari. Oryza III (12) : 30-42. Keane, P. and A. Kerr, 1997. Factor affecting disease development. In J.F. Brown and H.J. Ogle (Eds.) : Plant Pathogens and Plant Diseases. Rockvale Publications, Armidale, Australia. pp 287-298 Khetan, S.K., 2001. Microbial Pest Control. Marcel Dekker, Inc. New York. 300 p.
Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008
6 Kostermans, A.J.G.H., S. Wirjahardja, and R.J. Dekker, 1986. The weeds: description, ecology and control. In M. Soerjani, A.J.G.H. Kostermans, and G. Tjitrosoepomo (Eds.): Weeds of Rice in Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.
Smith, R.J., 1982. Integration of microbial herbicides with existing pest management programs. In R. Charudattan and H.L. Walker (Eds.): Biological Control of Weeds with Plant Pathogens. John Wiley & Sons, New York.
Paul, D.N., P.G. Ayres, and S.G. Hallets, 1993. Mycoherbicides and other biocontrol agents for Senecio spp. Pesticide Sciences 37: 323329
Taslim, H., S. Partoharjono dan Subandi, 1989. Pemupukan padi sawah. Dalam M. Ismuadji, M. Syam dan Yuswandi (Eds.): Padi. Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Phatak, S.C., D.R. Sumner, H.D. Wells, D.K. Bells, and N.C. Glaze, 1983. Biological control of yellow nutsedge with the indigenous rust fungus Puccinia canaliculata. Science, 219: 1446-1447 Phatak, S.C., W.L. Bruckart, and R. Charudattan, 1995. Augmenting rusts and other obligate parasites for control of weed. In E.S. Delfosse and R.R. Scott (Eds.): Proceeding of the Eight Intrnational Symposium on Biological Control of Weeds. DSIR/CSIRO, Melbourne. Politis, D.J., A.K. Watson, and W.L. Bruckart, 1984. Susceptibility of musk thistle and related composites to Puccinia carduorum. Phytopathology, 74:687-691 Pons, T.L., J.H.H. Eussen, and I.H. Utomi, 1986. Ecology of weeds of rice. In M. Soerjani, A.J.G.H. Kostermans, and G. Tjitrosoepomo (Eds.): Weeds of Rice in Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.
M.Taufik Fauzi & Murdan: Peranan jamur karat …
TeBeest, D.O., X.B. Yang and C.R. Cisar, 1992. The status of biological control of weeds with plant pathogens. Annual Review of Phytopathology, 30: 637-657. Templeton, G.E. and E.E. Trujilo, 1991. The use of plant pathogens in the biological control of weeds. In D. Pimentel (Ed.): Handbook of Pest Management in Agriculture Vol. II, 2nd Edition, CRC Press, Boca Raton, Florida. Templeton, G.E., 1992. Potential for developing and marketing mycoherbicides. In R.G. Richardson (Ed.): Proccedings of the First International Weed Congress. Weed Science Society of Victoria, Melbourne, Australia. Watson, A.K., 1991. The classical approach with plant pathogens. In D.O. TeBeest (Ed.): Microbial Control of Weeds. Routledge, Chapman & Hall, Inc., New York.