M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
SPIRIT ISLAM POLITIK PERIODE AL-KHULAFÂ’ AL-RÂSYIDÛN BAGI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ∗ M. Sidi Ritaudin∗ Abstrak Sewaktu Nabi Muhammad wafat, agama Islam sudah menyebar ke seluruh Jazirah Arab, dan Madinah merupakan pusat kegiatan keagamaan dan politik umat Islam. Muhammad sebagai Rasul sebelum wafatnya telah menyelesaikan tugas kenabiannya. Untuk itu tidak mengherankan permasalahan yang pertama-tama timbul pasca Nabi adalah masalah khilafah (politik). Oleh karena itu, selain periode Rasulullah SAW, periode al-Khulafâ’ al-Râsyidûn adalah referensi politik Islam yang paling otentik dan kredibel, diakui oleh kalangan teoritikus politik, baik dari kalangan Muslim maupun dari kalangan non Muslim. Inilah periode ideal yang eksistensi maupun essensinya diakui sepanjang zaman. Kata Kunci: al-Khulafâ’ al-Râsyidûn, pemerintahan ideal, suksesi kepemimpinan Pendahuluan Persoalan khilafah (politik) muncul dan berkembang pasca wafatnya Rasulullah SAW, ditengarai karena Nabi Saw tidak pernah secara eksplesit menentukan siapa yang akan menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan. Sedangkan para sahabat menyadari betul, bahwa kelangsungan hidup negara Islam yang baru terwujud itu sangat memerlukan pemimpin yang akan melanjutkan perjuangan Rasulullah untuk menyebarkan Islam dan mempersatukan sekaligus ∗ Penulis adalah alumni Program Doktoral Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dosen IAIN Raden Intan bidang ilmu Pemikiran Islam.
Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
untuk melindungi komunitas Muslim yang telah menyebar ke seluruh pelosok Jazirah Arab. Persoalan krusial yang muncul setelah wafatnya Nabi yang menjadi pertanyaan masyarakat Madinah waktu itu adalah siapa pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu, sehingga penguburan Nabi merupakan soal kedua bagi mereka. Timbullah soal khilafah, soal pengganti Nabi sebagai kepala negara. Sebagai Nabi dan Rasul, Muhammad SAW tentu tidak dapat digantikasn. 1 Torehan sejarah Islam menunjukkan bahwa secara bergantian para khalifah yang menggantikan Nabi SAW dalam kepemimpinan negara Abu Bakar-lah yang disetujui oleh masyarakat Muslim di waktu itu menjadi pengganti/khalifah pertama, kemudian disusul oleh Umar Bin Khattab, lalu diteruskan oleh Usman Ibn Affan dan dilanjutkan oleh Ali Ibn Abi Thalib. 2 Mereka inilah yang dikategorikan sebagai al-Khulafâ’ al-Râsyidûn (para khalifah yang bijaksana). Menurut Robert N. Bellah, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid, bahwa masyarakat Muslim klasik itu ”modern” (terbuka, demokratis, dan partisipatif). Mengapa hanya pada masa Rasul dan al-Khulafâ’ al-Râsyidûn plus masa Umar bin Abdul Aziz yang menjadi referensi negara Islam ideal. Karena Bani Umayyah telah menghidupkan kembali sistem sosial Arab pra-Islam yang bersifat kesukuan (tribal), sedikit digabung dengan sistem Yunani-Romawi (Byzantium). Karena itu Ibn Khaldun mengatakan bahwa dengan munculnya dinasti Bani Umayyah sistem kekhalifahan (al-Khilafah) yang terbuka dan demokratis telah diganti dengan sistem kerajaan (al-mulk) yang
1
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Pembanding, (Jakarta : UI Press, 1986), h. 3. 2 Ibnu Hisyam, As-Shiratun Nabawiyyah, Jilid 1, (Kairo : Mathba’at AlMadani, t.th), h. 249.
2 Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
tertutup dan otoriter. 3 Uraian berikut akan memaparkan sisi politik pada masa al-Khulafâ’ al-Râsyidûn tersebut. Islam di Bawah Kepemimpinan pada Masa al-Khulafâ’ al-Râsyidûn Khulafâ’ adalah bentuk jamak dari kata khalifah. Artinya adalah orang yang mengikuti atau pengganti. Secara terminologis diartikan orang yang mengambil alih kedudukan orang lain setelah dia meninggal dunia dalam beberapa hal. 4 Dari definisi ini dapat ditegaskan bahwa khalifah dalam Islam sangat diperlukan, karena ia berfungsi sebagai pengganti kedudukan Nabi untuk menjaga umat sekaligus mengatur kehidupan keduniaan yang meliputi antara lain, politik, sosial, keamanan dan ekonomi berdasarkan niali-niali ajaran agama Islam. Dalam konteks peraliahan kekuasaan (suksesi) ada pembelajaran politik yang dapat dipetik, yaitu kronologi pemilihan khalifah pertama. Tampilnya Abu Bakar sebagai peletak pembentukan khilafah tidak terlepas dari peranan kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang memunculkan dialektika politik demi kekuasaan. Akar persoalan timbul dari adanya rapat gelap kelompok Anshar yang merespon wafatnya Nabi 5. Mereka berkumpul di Saqifah bani Sa’idah untuk mengangkat Sa’ad bin ‘Ubadah pemimpin hajraj. 6 Kemudian, setelah mendengar ada pertemuan tersebut, Umar Bin Khattab memberitahukan Abu Bakar dan ditemani Abu ‘Ubaidah mereka pergi mendatangi pertemuan tersebut. Terjadilah adu 3
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1994), h. 63. 4 M.A. Shaban, Sejarah Islam (Penafsiran Baru) 600-700, Pen- Machnun Husein, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1993), h. 25. 5 Hari Senin 12 rabiul awwal 11 Hijrah/ 9 Juni 632 M. di kota Madinah, Lihat Muhammad Rida, Abu Baker As-Shiddiq, (Kairo : DaAhya- al-Kutub alArabiyah, Cet. 2, 1369/1950), h. 20. 6 Ibnu Al-Atsir, Al-Kamil fi at-Tarikh, Jilid 2, Beirut : Dar baeirut, 1385/1965), h. 328.
3 Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
argumentasi dan perdebatan sengit. Endingnya adalah Tampilnya Abu Bakar dengan bijak menyodorkan dua nama, yaitu Umar dan Abu ‘Ubaidah untuk dipilih. Namun sepontan keduanya membaiat Abu Bakar dan diikuti oleh para hadirin dari kedua belah pihak. 7 Beberapa butir penting dapat dikemukan dalam proses suksesi tersebut, yaitu pemilihan bersifat demokratis dan roda pemerintahan berjalan secara demokratis, melibatkan semua unsur yang ada dalam masyarakat untuk berperanserta dalam mensukseskan pemerintahannya. Pemerintahan (khalifah) sesudah nabi tidak mempunyai bentuk kerajaan, tetapi lebih dekat merupakan republik dalam arti kepala negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun temurun. Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah bukan atas tunjukan nabi Muhammad, melainkan atas dasar kemufakatan antara pemuka Anshar dan Muhajirin dalam rapat Saqqifah. 8 Masa kepemimpinan Abu Bakar, sejak awal ia telah menyampaikan manifesto politiknya bahwa ia siap dikritik dan siap dikoreksi, dalam hal ini telah melakukan kontrak politik dengan rakyat, dengan demikian telah menciptakan sistem kontrol masyarakat terhadap setiap kebijakannya. 9 Hasil yang diraih pada masa kepemimpinan Abu bakar di anataranya adalah meneruskan ekspedisi ke Siria; Memerangi orang-orang murtad dan nabi-nabi palsu; dan Mengumpulkan al-Qur’an. Sebagai catatan, Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada masa Khalifah kedua, Umar Bin Khattab perkembangan Islam sebagai kekuatan politik. Terkait dengan masalah suksesi, Abu Bakar telah menunjuk Umar Bin Khattab sebagai pengganti dirinya 7
Baiat ini disebut dengan baiat Khas (baiat terbatas). Lihat, Hasan Ibrahim Hasan, At-Tarikh al-Islamiyy, (Kairo : An-Nahdah al-Misriyyah Cet.7, 1964), h. h. 205. 8 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, (Jakarta,: UI Press, 1985), h. 95. 9 Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum Suatu Studi tentang PrinsiPrinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), h. 130.
4 Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
sebelum ia wafat. Alasan sederhana yang ia ajukan adalah ia tidak ingin terjadi kevakuman kepemimpinan dan ia khawatir terjadi kekisruhan sebagaimana terjadi di Bani Sa’idah. Namun demikian, suka atau tidak suka, kebijakan Abu Bakar ini telah memunculkan kritik di kemudian hari (masa modern) terutama dari kalangan orientalis, yang menilai proses suksesi demikian tidak demokratis, apapun alasannya. Terlepas dari itu semua, masa Umar telah menunjukkan prestasi yang luar biasa dalam mengembangkan Islam. Ekspansi yang dilakukan pada masa kepemimpinan Khalifah Umar menyebabkan berkembangnya Islam secara pesat, baik dari segi perluasan wilayah maupun pemeluknya. Dalam hal ini sosok Umar melebihi Yulius Caesar, Iskandar Yang Agung, Jengis Khan dan Napolion. 10 Pada masa ini, Islam membentang samapai batas Cina di Timur, Afrika di Barat, Laut Qazwain di Utara dan Sudan di Selatan. Hal ini melahirkan negara Adi Kuasa Islam menggantikan Bizantium (Romawi) dan Sasani (Persia) yang bertekuk lutut di tangan Umar. 11 Hal terpenting pada masa kepemimpinan Umar adalah diterapkannya sistem pemerintahan desentralisasi, yang sekarang disebut sebagai otonomi daerah. Di daerah para gubernur diberikan wewenang mengangkat qadhi dan pegawai keuangan negara, 12 Untuk mengefektifkan pemerintahan dengan wilayah yang begitu luas, Umar membentuk spionase-spionase sebagai alat kontrol, yang sekarang disebut sebagai Badan Intelijen Negara (BIN). Kemudian dia sendiri yang turun ke daerah tertentu dan biasanya akan tinggal di sana selama satu atau dua bulan. Setiap gubernur wajib memberikan laporan pertanggungjawaban setiap musim haji. Konsep terpenting yang dikembangkan Umar adalah konsep ummah, penyatuan suku-suku bangsa Arab dan non-Arab, sehingga prinsip-prinsip politik kesukuan hilang sama sekali. Penaklukan10
Lihat penuturan Muhammad Husein Haikal, Al-Faruq Umar, Juz 1 & II, Cet. VI, (Kairo : Dar Ma’arif, t.th), h. 9. 11 Lihat penuturan Muhammad Husein Haikal, Al-Faruq Umar, Juz 1 & II, Cet. VI, (Kairo : Dar Ma’arif, t.th), h. 9. 12 G.E. Von Grunebaum, Classical Islam, (London, 1970), h. 54.
5 Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
penaklukan telah mengalihkan perhatian bangsa Arab dari loyalitas kesukuannya. Musyawarah atas dasar maslahat bagi sistem ummah selalu didahulukan daripada kepentingan-kepentingan lainnya. Dengan konsep ini Umar telah mendirikan Daulah Islamiyah yang menjadi Adi Kuasa, menggantikan kedudukan Romawi dan Persia. Umar memerintah selama sepuluh tahun, masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu’lu’ah. 13 Khalifah ketiga adalah Usman Ibn Affan. Pemerintahannya berlangsung selama 12 tahun. Dalam konteks suksesi, sebelum wafat, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Mereka adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan Abdurrahman ibn ‘Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah, melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib. Proses suksesi ini telah memulihkan keyakinan bahwa Islam dibangun berdasarkan prinsipprinsip demokratis, yang pada waktu itu istilah demokrasi ini belum muncul. Pada paroh terakhir masa kekhalifahan Usman, muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Usman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini muingkin karena umurnya yang lanjut (diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut. Akhirnya ia mengakhiri kekhalifahannya dan terbunuh di tangan kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa itu. Salah satu faktor yang menonjol pada periode Usman ini adalah konsep KKN-nya, yang telah menyebabkan banyak rakyat kecewa. Karena kondisinya yang sudah tua, maka orang yang disebut sebagai the real khalifah adalah Marwan bin Hakam. Dialah pada 13
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 1, (Jakarta : Pustaka Alhusna, 1987, cet. v), h. 267.
6 Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar Khalifah. 14 Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa kontrol oleh Usman sendiri. 15 Ali Ibn Abi Thalib tampil sebagai khalifah melalui baiat secara beramai-ramai oleh masyarakat setelah meninggalnya Usman. Dia memegang tampuk kekuasaan hanya empat tahun sembilan bulan. Pada masa Ali ini terjadi pergolakan dalam negeri, hampir selama pemerintahannya tidak terwujud stabilitas keamanan. Steleah menjabat, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Usman, yang diyakini karena keteledoran merekalah terjadi huru hara dan pemberontakan. Dia juga menarik harta kekayaan negara yang telah dikorup pada masa Usman, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan sebagaimana pernah diterapkan oleh Umar. Ali Ibn Abi Thalib menghadapi pemberontakan yang dilakukan oleh rivalnya seperti Thalhah, Zubair dan Aisyah. Mereka menuntut Ali yang tidak menindak para pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang telah ditumpahkan secara zalim, pada akhirnya terjadilah peperangan yang terkenal dengan sebutan Perang Jamal, karena Aisyah waktu itu menaiki unta. pihak Ali menang. Namun bersamaan dengan itu, muncul pula perlawanan dari gubernur Damaskus yaitu Mu’awiyah yang didukung oleh barisan sakit hati yang telah dipecat sebelumnya dari jabatan mereka pada masa Usman. Sehingga terjadilah peristiwa Tahkim (arbitrase) yang menyebabkan Islam terpecah menjadi tiga kelompok : Mu’awiyah, Syi’ah dan al-Khawarij. Penyelesaian konflik melalui kompromi dengan Muawiyah adalah sebenarnya penyebab kegagalan 14
Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, (Bandung : CV Rusyda, 1987),
h. 87. 15
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1995), h. 39.
7 Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
bagi Ali dalam melaksanakan kepemimpinannya 16.Ali menghembuskan nafas terakhirnya dibunuh oleh seorang anggota Khawarij. Perbedaan Struktur Pemerintahan dan Gaya Kepemimpinan pada Masa ke-Khalifahan tersebut Hampir tidak terlihat distingsi yang tegas bagaimana para alKhulafâ’ al-Râsyidûn menata konsolidasi dan menertibkan suatu daerah yang baru diperoleh begitu luas dan mengutuhkan masyarakatnya yang beraneka ragam dan kelompok yang beraneka istiadat, maka banyak kesukaran yang dihadapi oleh para pendatang baru dari Arabia yang kurang pengalaman itu. Menurut Philip K. Hitti, pemecahan terletak pada bagaimana mengikuti cara yang kurang banyak menimbulkan perlawanan : pemerintahan propinsi meneruskan susunan kerja bentuk Bizantin di Siria dan Mesir, dan tata kerja Sasanid di Persia dan Irak. Malahan para pejabat lama dan pegawai negeri tidak disingkirkan, dan bahasa lembaran-lembaran daftar isian Pemerintah tidak diganti. Para jenderal penakluk diangkat menjadi Gubernur dan menerima wilayah yang luas sebagai amanat. Para Muslim Arab menempatkan diri sebagai suatu masyarakat Kesatriagama, warga negara kelas wahid, dengan suku Quraisy tampil sebagai Aristokrat baru. Sesudah mereka menyusul para muallaf, dalam teori, tetapi tidak dalam implementasi. 17 Sesuai dengan skop kekuasaan yang diperoleh, maka dapat disebutkan bahwa masa Umarlah yang lebih gencar melakukan ekspansi dan dia menggunakan gaya kepemimpinan yang tegas, transparan serta menjaga akuntabilitas kepemimpinannya. Pada masa Usman terlihat adanya kemuduran dalam bidang leadership. Masa Ali, karena banyak terjadi pemberontakan maka kepemimpinan dirong16
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), 200. 17 Philip K. Hitti, Islam and The West, Edisi Indonesia oleh M.J.Irawan (Bandung : Penerbit Sinar Baru, 1984.), h. 31-32.
8 Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
rong dari dalam sehingga kelihatan lemah, bahkan Ali pun mati dibunuh. Sebagai negara Adi Kuasa yang multi etnis, ras dan suku, dengan bermodalkan prinsip-prinsip kontrak politik Piagam Madinah, Ummat Kristen, Yahudi dan Dzimmi lainnya diperkenankan tetap berada pada macam-macam keahlian mereka, termasuk mengolah tanah dan didudukkan sebagai warga kelas dua. Selama mereka tetap membayar jizyah, mereka aman. Para budak berada pada urutan terbawah susunan sosio-politik, termasuk tawanan perang. Pada puncaknya adalah para Khalifah, para pengganti rasul sebagai Kepala Negara dan bukannya sebagai pengganti kerasulannya. Gaya kepemimpinan para al-Khulafâ’ al-Râsyidûn ini adalah bergaya Sunnah, karena keemat-empatnya adalah berhubungan erat dan sinambung langsung dengan Nabi. Umar Ibn Khattab adalah yang terbesar di antara mereka. 18 Dalam menata urusan kenegaraan para Khalifah ahli Sunnah diperkirakan masih sama seperti di bawah pengaruh kehebatan Nabi. Ibu kotanya ialah Madinah; zamannya adalah Arab murni, partiarkhal, dengan Kepala Negara, bersikap agak seperti seorang syeikh suku dibandingkan dengan suatu kerajaan. Kekhalifahan itu berakhir dengan pergolakan sipil yang memecat Ali dari kekuasaan yang tertinggi dan menumpangkannya pada Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, pendiri dinasti Amawiyah 19 Meskipun hanya berlangsung 30 tahun, masa ”republik Islam” itu merupakan masa yang paling penting di dalam sejarah. Ia menyelamatkan Islam, mengonsolidasikannya dan meletakkan dasar bagi keagungan umat Islam. Khalifah pertama, Abu Bakar, menyelamatkan umat Islam dari perpecahan karena soal penggantian 18
Bahkan Umar dianggap sebagai pendiri yang sebenarnya dari pemerintahan Islam, karena kebijakannya memperoleh cirinya terutama dari Umar, baik selama masa hidupnya maupun setelah wafatnya. Lihat, Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), 182. 19 Philip K. Hitti, Islam and The West, Edisi Indonesia oleh M.J.Irawan (Bandung : Penerbit Sinar Baru, 1984.), h. 32-33.
9 Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
kepemimpinan setelah wafatnya Nabi. Dia juga menyelamatkan Islam dari bahaya besar orang-orang murtad dan nabi-nabi palsu dan mempertahankan keyakinan akan agama yang benar di Arabia. Khalifah kedua, Umar Bin Khattab, mengonsolidasikan Islam di Arabia, mengubah anak-anak padang pasir yang liar menjadi bangsa pejuang yang berdisiplin dan menghancurkan Kekaisaran Persia dan Bizantium, membangun suatu imperium yang sangat kuat yang meliputi Irak, Persia, Kaldea, Siria, Palestina, dan Mesir. Khalifah ketiga, Usman Bin Affan, menyaksikan ekspansi imperium Arab yang lebih jauh di Asia Tengah dan Tripoli. Pemerintahannya juga patut dikenang karena terbentuknya Angkatan Laut Arab. Khalifah keempat, Ali Ibn Abi Thalib, mengatasi kekacauankekacauan di dalam negeri. Dengan wafatnya Ali ini tahun 661 M., berakhir pulalah republik Islam Yang Agung. Gaya Kepemimpinan dan Pemerintahan yang Ideal dalam Kontek ke-Indonesiaan Sebagai negara yang memiliki penduduk mayoritas Muslim, termasuk founding fathernya adalah orang-orang Muslim, maka Indonesia lebih cenderung pada Islam moderat demi mengakomodir ideologi-ideologi di luar Islam sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan (NKRI) yang sudah final itu. Politik dalam nuansa keIndonesiaan bentuk pemerintahan disesuaikan dengan posisinya sebagai alat untuk menegakkan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, keamanan dan ketentraman masyarakat. 20 Oleh karena itu, falsafah dan dasar negara Indonesia tidak Al-Qur’ân, melainkan Pancasila dan UUD-1945. namun demikan keduanya bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam. 21 20
Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Ketatanegaraan, (Jakarta : Mutiara,
1992) 21
Dapat dilihat umpamanya Pancasila, sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa itu menjiwa semua sila yang lain, rujukannya adalah al-Qur’an surat alNisa ayat 156 tentang ketaatan mentaati pemimpin termasuk penguasa di bidang
10 Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
Pandangn di atas sejalan dengan argumentasi Ibnu Taimiyyah yang megatakan bahwa “di dalam al-Qur’ân tidak disebut-sebut tentang suksesi (politik), mungkinkah Allah telah lalai untuk menyinggung masalah yang teramat penting jika pembentukan negara Islam itu wajib. Bagi Ibn Taimiyyah menegakkan negara bukanlah asas atau tujuan agama dan bukan pula sebagai sebuah pelengkap yang diperlukan oleh agama. 22 Berdasarkan pemahaman terhadap statemen ini, maka dalam konteks Islam politik dan praktik politik yang ideal dalam bingkai NKRI pemerintahan dan gaya pemimpinan yang ideal adalah gaya politik Islam moderat. Konsep Islam tentang Islam moderat begitu penting dan mulia dan merujuk pada praktik politik Nabi dan al-Khulafâ’ al-Râsyidûn yang berdasarkan pada Piagam Madinah. Moderat dalam pengertian Islam mencerminkan karakter dan jatidiri yang khusus dimiliki oleh manhaj Islam dalam pemikiran dan kehidupan; dalam pandangan, pelaksanaan dan penerapan. Dengan moderat ini pula terbentuk warna peradaban Islam pada setiap nilai, idealisme, kriteria, dasar-dasar, serta simbol-simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa sikap moderat Islam bagi manhaj Islam dan peradabannya merupakan sudut pandangnya. Sifat moderat Islam telah mencapai dan menduduki posisi ini dalam peradaban Muslim karena penolakannya terhadap ekstrimitas dan eksageritas kezaliman dan kebatilan. 23 Dari sudut pandang al-Qur’ân, setiap orang yang tidak adil kepada dirinya sendiri atau kepada orang lain adalah zalim. Dalam bahasa sehari-hari, orang yang zalim hanyalah orang yang politik pemerintahan dan negara yang bersyarat, yaitu pemimpin yang taat kepada Allah dan rasul-Nya. Dalam hadis rasulullah SAW, kita jumpai petunjuknya, bahwa mentaati pemimpin bagi setiap Muslim merupakan kewajiban, tetapi apabila pemimpin tersebut memerintahkan perbuatan dosa, maka boleh ditentang. (H. R. Bukhari Muslim). 22 Pendapat Ibnu Taimiyyah ini diungkap oleh Qomaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimyyah, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1983), h. 69. 23 Lihat penjelasan, Muhammad Imarah, Perang Terminologi Islam Versus Barat, (Jakarta : Robbani Press, 1998), h. 265.
11 Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
menyimpangkan hak-hak orang lain. Tetapi menurut terminologi Qur’âni, orang yang zalim adalah orang yang tidak adil terhadap diri sendiri. 24 Sebagai negara religius yang bertumpu pada Pancasila dan UUD-1945, maka gaya kepemimpinan tidak boleh bersikap zalim dan tidak adil dalam melaksanakan kepemimpinan. Maka pancasila dijadikan sebagai moral bangsa. Uraian mengenai kelima Sila dari Pancasila secara ringkas adalah sebagai berikut 25: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa : orang harus percaya dan takwa kepada Tuhan YME, dan menghargai orang lain yang berbeda agama atau kepercayaan, Jadi ada sikap hormat-menghormati dan kerukunan hidup beragama; dan ada kebebasan beribadah tanpa paksaan. 2.Kemanusiaan yang adil dan beradab: tidak sewenang-wenang, dan bisa tepa selira, mencintai sesama manusia. Tanpa ada diskriminasi; dan sama hak serta kewajiban asasi selaku manusia. Toleran terhadap sesama, saling menghormati; mampu melakukan kegiatan-kegiatan manusiawi dan kerjasama dengan bangsabangsa lain. 3.Persatuan Indonesia: cinta tanah air, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, menempa patriotisme dan nasionalisme. Menempatkan persatuan dan kesatuan bangsa di atas kepentingan golongan, atas dasar bhineka tunggal ika. 4.Kerakyatan yang dipimpin olehhikmat kebijaksanaan dalam musyawarah/ perwakilan: bersifat demokratis, bersemangat gotong royong (kooperatif, kolektif) dan kekeluargaan; juga patuh pada putusan rakyat yang sah atas pertimbangan akal sehat dan hati nurani luhur. 24
Murtadha Mutahhari, Imamah dan Khilafah, (Jakarta : penerbit Firdaus, 1991), h. 141. 25 Lihat Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003), h. 275.
12 Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
5.Keadilan Sosial: hidup sederhana, tidak boros, mengamalkan kelebihan untuk menolong orang lain, menghargai kerja yang bermanfaat; dan ada keadilan yang lebih merata di segala bidang kehidupan. Norma-norma yang tercakup dalam Pancasila itu sekaligus juga merupakan sistem nilai yang perlu dihayati dan diamalkan oleh setiap warga negara, khususnya oleh para pemimpin. Nilai-nilai dan norma kepemimpinan yang diwariskan oleh para pujangga di masa lalu itu merupakan investasi spiritual, dalam mana diutamakan unsur keikhlasan berkorban dan mengabdi demi kepentingan orang banyak, sekaligus memberikan ketauladanan yang baik. 26 Merujuk praktek politik pada masa Nabi dan al-Khulafâ’ alRâsyidûn, konteks kepemimpinan ideal ke-Indonesiaan, paling tidak butir-butir kesepakatan antar berbagai golongan dapat doijadikan referensi guna mewujudkan kesatuan politik bersama mengingat Indonesia terdiri dari kesatuan pluralitas politik. Namun demikian, lebih jauh yang harus dicermati, kesepakatan-kesepakatan yang dibangun sering kali dikhianati. Bahkan secara kasat mata para pemimpin politik kita di parlemen tidak lagi memperjuangkan aspirasi rakyat, melainkan lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok. Baik perspek tata nilai Islam maupun Pancasila dan UUD-1945 jelas-jelas menentang sikap yang demikian itu. 27 Mencermati banyaknya para pemimpin dari berbagai livel pemerintahan, baik ekskutif maupun legislatif bahkan yudikatif yang mengkhianati kontrak politik (Pancasila dan UUD-1945), maka diperlukan gaya kepemimpinan yang tegas, pemberani, konsisten, integrated, akuntabel, namun bijaksana dan beretika. Gaya 26
Lihat Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003), h. 276. 27 Bandingkan dengan analisis Masykuri Abdillah, “Cak Nur, Politik Islam dan Cita-Cita Reformasi” dalam, Jalaluddin Rakhmat, et al, Tharikat Nurcholishy Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), h. 365.
13 Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
kepemimpinan demikian ini terlihat sekali pada sosok Khalifah Umar Bin Khattab yang telah sukses membawa Negara Islam menjadi berkembang dan tampil sebagai Adi Kuasa dunia. Jika Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan yang demikian, maka komunitas Muslim Indonesia dapat optimis akan menjadi bangsa yang besar seperti yang dicita-citakan oleh Bungkarno. Tipe dan gaya kepemimpinan seperti yang ditampilkan oleh sosok para al-Khulafâ’ al-Râsyidûn adalah tipe pemimpin kharismatis yang memiliki kekuatan energi, daya tarik dan perbawa yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang handal serta bisa dipercaya. Pemimpin demikian itu banyak memiliki inspirasi, keberanian, dan berkeyakinan teguh pada pendirian sendiri. Totalitas kepribadian pemimpin itu memancarkan pengaruh dan daya tarik yang teramat besar. Tokoh tokoh besar semacam ini, menurut sosiolog Muslim Ibn Khaldun akan muncul setiap abad. Sekedar contoh dapat disebut Nabi Muhammad SAW, al-Khulafâ’ alRâsyidûn, Iskandar Zulkarnaen, Jengis Khan, Ghandi, Jhon F. Kennedy, Sukarno, Margaret Tatcher, Gorbachev dan lain-lain. 28 Teoritikus politik Muslim pada umumnya setuju jika Islam tidak bisa dipisahkan dengan persoalan kenegaraan, tentu saja termasuk persoalan sikap dan tingkahlaku pemimpin. Hanya saja yang patut diwaspadai adalah sikap restriksi dan represi dari pemerintah yang mengabaikan nilai-nilai humanisme. Untuk itu perspektif keIndonesiaan harus diperjuangkan Islam komprehensif (kaffah), yang dimanifestasikan dalam bentuk ideologi Pancasila, yang jelas-jelas merupakan landasan konstitusional kehidupan bernegara. Hal ini tidak perlu diragukan, karena pemikiran Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam substantif, dan nilai-nilai Pancasila didasari 28
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003), h. 69. Kalupun tidak tepat contoh-contoh tersebut dalam konteks Islam, penulis hanya melihat aspek strong kepemimpinannya saja. Tidak pada aspek moral dan lainnya.
14 Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
oleh nilai Islam substantif tersebut, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai roh atau jiwa dari sila-sila yang lain. 29 Masykuri Abdullah secara lebih komprehensif namun sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Ritaudin di atas, membahas tentang hubungan antara Islam dan negara dalam pemikiran politik Islam kontemporer ini, yakni 30 ; 1. Pendapat bahwa Islam adalah agama lengkap dan mencakup semua aspek kehidupan, termasuk kehidupan kenegaraan. Pendapat ini diikuti oleh kelompok tradisionalis dan kelompok Islamis (“fundamentalis”). 2. Pendapat bahwa Islam, seperti halnya agama-agama lain, memisahkan persoalan-persoalan agama dan negara. Pendapat ini diikuti oleh kelompok sekularis. 3. Pendapat bahwa Islam hanya memuat prinsip-prinsip umum tentang kehidupan kenegaraan, sedangkan aturan operasionalnya bisa merupakan hasil pemikiran umat Islam sendiri atau mengadopsi dari umat lain (Barat). Pendapat ini diikuti oleh kelompok modernis, yang dalam prakteknya terdiri atas tiga sub kelompok, yakni : a. Kelompok yang tetap memperjuangkan implementasi syari’ah, dan dengan sendirinya etika Islam, sehingga dalam praktiknya tidak jauh beda dengan kelompok pertama b. Kelompok yang memperjuangkan implementasi hanya nilainilai dan etika Islam, sehingga dalam praktiknya tidak jauh beda dengan kelompok kedua
29
Tentang hubungan Islam dan Negara yang terbagi pada tiga mazhab, fundamentalisme, sekularisme dan moderatisme, lihat lihat, M. Sidi Ritaudin, ”Negara dan Sistem Pemerintahan dalam Islam”, dalam Posisi Syari’ah Islam dalam Negara Menurut Sayyid Quthb, (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), disertasi belum diterbitkan, h. 100-124. 30 Masykuri Abdillah, “Cak Nur, Politik Islam dan Cita-Cita Reformasi” dalam, Jalaluddin Rakhmat, et al, Tharikat Nurcholishy Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), h. 368-369.
15 Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
c. Kelompok yang tetap memperjuangkan sedapat mungkin implementasi syari’ah, dan otomatis etika Islam, atau minimal prinsip-prinsipnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kelompok ini adalah kelompok moderat. Idealisasi gaya kepemimpinan dan praktek politik keIndonesiaan yang dikaitkan dengan praktek politik al-Khulafâ’ alRâsyidûn, adalah pemikiran politik “Tamaddun” dalam arti membawa Indonesia pada permainan politik yang berperadaban tinggi, dalam istilah Amin Rais adalah hight politic, dan hal ini merupakan citacita reformasi yang ingin ditegakkan, terutama oleh kalangan mahasiswa. Konsep memberdayakan masyarakat menuju negeri yang adil, terbuka dan demokratis merupakan praktek politik al-Khulafâ’ al-Râsyidûn sebagaimana telah diungkapkan terdahulu. Wacana Pamungkas Kaum muda (pemuda dan mahasiswa) merupakan modal dasar bagi pembangunan bangsa, karena mereka memiliki potensi akademik dan wawasan serta semangat juang yang meluap-luap. Menurut Bungkarno modal dasar ini jika dioptimalkan penggamblengannya akan dapat menghantarkan suatu bangsa pada puncak kejayaannya. Liahat saja setiap pergerakan dan perjuan, terutama menentang penyelewengan pemerintahan, pemudalah yang tampil pada garda terdepan. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang besar, Indonesia harus memiliki jiwa dan pemikiran yang besar. Untuk mencapai jiwa dan pemikiran yang besar itu perlu suri tauladan dan konsepsi yang benar. Paling tidak, sejarah telah menorehkan bahwa al-Khulafâ’ al-Râsyidûn telah membuktikan dan tidak terbantahkan telah menghantarkan Islam sebagai Adi Kuasa dunia. Nampaknya modal dasarnya adalah keteguhan iman, integritas keperibadian, keberanian, intelektualitas, komitmen, jiwa keikhlasan dan tujuan mulia li 1’la’1 kalimatillah. Semoga dapat ditauladani. Daftar Pustaka
16 Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
Abdillah, Masykuri, “Cak Nur, Politik Islam dan Cita-Cita Reformasi” dalam, Jalaluddin Rakhmat, et al, Tharikat Nurcholishy Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001. Amin, Ahmad,, Islam dari Masa ke Masa, Bandung : CV Rusyda, 1987. Atsir, Ibnu Al-, Al-Kamil fi at-Tarikh, Jilid 2, Beirut : Dar baeirut, 1385/1965. Azhari, Muhammad Tahir, Negara Hukum Suatu Studi tentang PrinsiPrinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta : Bulan Bintang, 1992. Grunebaum, G.E. Von, Classical Islam, London, 1970. Haikal, Lihat penuturan Muhammad Husein, Al-Faruq Umar, Juz 1 & II, Cet. VI, Kairo : Dar Ma’arif, t.th. Hasan,, Hasan Ibrahim, At-Tarikh al-Islamiyy, Kairo : An-Nahdah alMisriyyah Cet.7, 1964. Hisyam, Ibnu, As-Shiratun Nabawiyyah, Jilid 1, Kairo : Mathba’at AlMadani, t.th. Hitti, Philip K., Islam and The West, Edisi Indonesia oleh M.J.Irawan Bandung : Penerbit Sinar Baru, 1984. Imarah,, Muhammad, Perang Terminologi Islam Versus Barat, Jakarta : Robbani Press, 1998. Kartono, Kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003. Khan, Qomaruddin, Pemikiran Politik Ibn Taimyyah, Bandung : Penerbit Pustaka, 1983. Madjid Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1994. Mahmudunnasir, Syed, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993. Mutahhari, Murtadha, Imamah dan Khilafah, Jakarta : penerbit Firdaus, 1991. 17 Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, Jakarta,: UI Press, 1985. Nasution, Harun Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Pembanding, Jakarta : UI Press, 1986. Rida, Muhammad, Abu Baker As-Shiddiq, Kairo : DaAhya- al-Kutub al-Arabiyah, Cet. 2, 1369/1950. Ritaudin, M. Sidi, ”Negara dan Sistem Pemerintahan dalam Islam”, dalam Posisi Syari’ah Islam dalam Negara Menurut Sayyid Quthb, Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Shaban, M.A., Sejarah Islam (Penafsiran Baru) 600-700, PenMachnun Husein, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1993. Sjadzali, Lihat Munawir, Islam dan Ketatanegaraan, Jakarta : Mutiara, 1992. Syalabi, A., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 1, Jakarta : Pustaka Alhusna, 1987, cet. V. Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1995.
18 Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009