3 Lika-Liku Energi Indonesia
101
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Karunia Untuk Kita Ada di Atas Tanah Renungan di Doha, Qatar, 11 Juni 2003
S
idang OPEC ke-125 tanggal 11 Juni 2003 yg lalu di Doha, Qatar, membawa saya ke negeri ‘padang pasir’ ini. “Hujan, walaupun sekali setahun, merupakan berita besar bagi kami”, tukas Gubernur OPEC Qatar, rekan semeja sidang sewaktu saya sebagai pejabat sementara Gubernur OPEC Indonesia . “Air sangat mahal bagi kami, semuanya harus diairi dengan air suling yang ongkos pembuatannya sangat tinggi”. Saya terus terbayang bahwa air mengalir di mana-mana di Indonesia. Namun demikian, negara Qatar, yang berpenduduk 600.000 jiwa (termasuk pendatang), berusaha melakukan penghijauan. Bagi setiap pohon di pinggir jalan disediakan kran air tetap. Lapangan golfnya cukup hijau. “Kami menyediakan 2 juta dollar Amerika per tahun guna membeli air untuk menyirami lapangan ini”, kata manajer lapangan. Namun, saya memilih mengamankan diri terus dalam hotel Ritz Carlton yang sejuk itu, daripada bermain golf pada temperatur menyengat sampai 50o C. Penduduk di sana lalu bermain golf di malam hari dibantu sinar lampu yang melimpah ruah. Penduduk asli kerajaan Qatar hanya berjumlah 250.000 jiwa sehingga dengan produksi minyak lebih dari 600 ribu barel per hari dan LNG 11 juta ton per tahun memberikan GNP lebih dari 20.000 dollar. Cadangan gas negara kecil ini mencapai 900 triliun kaki kubik atau 10 % cadangan dunia atau sekitar 6 kali cadangan gas Indonesia. “Dengan produksi seperti sekarang ini, gas kami bisa bertahan selama 250 tahun“, kata Al Attiyah, Menteri Energi dan Industri Qatar, yang ikut mengantar rombongan delegasi OPEC meninjau kompleks industri Ras Laffan. Nampaknya mereka sudah berpikir jauh ke depan dan sadar akan kekuatan sumber daya alam yang mereka miliki. “Kami sedang menyiapkan industri berbasis minyak dan gas secara besar-besaran”, katanya sambil menayangkan berbagai rencana pabrik yang sudah dan akan dibangun, termasuk pupuk, metanol, petrokimia, aditif, pelumas dll. Juga pabrik konversi gas menjadi BBM dengan teknologi dari Afrika Selatan.” 10-20 % dari tenaga yang mengoperasikan lapangan minyak, pabrik petrokimia dan LNG tersebut berasal dari Indonesia. Mereka itu, sekitar 600
102
Lika-Liku Energi Indonesia
orang, berasal dari eks Pertamina, LNG Arun, Chandra Asri dan lainnya. Kami sangat terharu melihat perhatian mereka yang sangat besar kepada tanah air dalam acara tatap muka dengan delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bapak Purnomo Yusgiantoro. Mereka dinilai sangat handal dan masih diharapkan banyak tenaga serupa dapat didatangkan dari Indonesia. Aku sangat bangga dalam hati. Nah ini yang harus lebih digalakkan. “Jumlah tenaga kerja Indonesia di Qatar sekitar 7000 orang, mungkin lebih“, kata rekan dari perwakilan diplomatik di Doha. “Namun jauh lebih kecil dibanding India, Pakistan dan Filipina, yang jumlahnya ratusan ribu”. “Mayoritas tenaga kerja kita masih tenaga kerja wanita pembantu rumah tangga.” Kita harusnya mencetak lebih banyak tenaga teknik tinggi untuk Qatar, dan kita jelas mampu karena tersedia lembaga-lembaga pencetak tenaga migas dan pertambangan seperti di Cepu, Bandung dll. “Tolong dilihat bagaimana daya saing industri berbasis migas dan petrokimia mereka dibandingkan Indonesia“, demikian pesan Pak Purnomo, yang juga ketua DKPP (Dewan Komisaris Pemerintah Untuk Pertamina), sebelum kami berangkat mengikuti kunjungan. Saya lalu membayangkan bagaimana nantinya Indonesia harus menangkis saingan produk-produk mereka. Untuk LNG mereka berani menawarkan harga yang lebih murah. Apalagi produksi LNG mereka akan diekspansikan menjadi 24 juta ton per tahun bahkan lebih sehingga dapat melampaui produksi Indonesia. Untuk petrokima dan pupuk kita saat ini sudah menghadapi kelangkaan bahan baku di samping harga yang kurang menunjang. Dengan sumber yang melimpah ruah dan murah itu negara-negara timur tengah ini jelas tidak punya kendala harga bahan baku dan energi. Sebagai contoh Arab Saudi memberikan 60 sampai 70 % dari harga internasional untuk propana, butana dan nafta untuk bahan baku petrokimia, dan untuk gas, harganya seperlima dari di Indonesia, sungguh susah untuk disaingi seandainya mereka membanjiri pasar dunia. Sambil mengamati padang pasir melulu di sekitar, saya sadar bahwa karunia Tuhan untuk Qatar adalah di bawah tanah. Indonesia, dengan cadangan minyak dan gas masing-masing hanya 1 % dan 2 % dari cadangan dunia tidak berarti apa-apa dibanding jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta jiwa, apalagi net export minyak sudah negatif, dan cadangan gas paling bisa hanya untuk 40- 50 tahun. Saya tersentak dan mengingat hijaunya pepohonan di seantero nusantara. ‘Sesungguhnya karunia Tuhan untuk Indonesia
103
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
bukan di bawah tanah tapi di atas tanah” pikirku. Pikiran itu aku sampaikan pada anggota legislatif yang duduk disampingku di dalam bis kunjungan. “Pendapat itu benar dan harus kita sosialisasikan” ujarnya. Makanya kutulis ini. Rekan yang lain kemudian berkata “Tolong difikirkan bahwa kita harus tetap mengembangkan industri petrokimia dan industri pupuk karena efek gandanya sangat besar untuk mendorong kegiatan ekonomi”. “Itu sangat sah” kataku, “Kita tentu pertahankan industri yang sudah ada karena itu juga kekayaan dan kekuatan kita. Namun kebutuhan akan produk-produk itu akan terus berlipat ganda. Bilamana sumber bahan baku migas sudah mulai sangat terbatas maka nanti industri petrokimia hilir dan pertanian seterusnya mau tak mau harus dimulai dari bahan dasar petrokimia dan pupuk yang diimpor apabila harganya lebih murah. Efek ganda tetap dapat diperoleh karena mata rantai kegiatan industri ini yang masih dapat dilakukan di Indonesia masih sangat panjang. Contoh adalah Hongkong, Cina dan Singapura, dengan bahan dasar yang diimpor, mereka menghasilkan ratusan ribu jenis produk petrokimia hilir. Singapura memang juga memiliki industri petrokimia dasar, namun kelangsungan hidup industri itu baru dapat dipertahankan melalui integrasi dengan kilang minyak dan dengan menerapkan efisiensi serta efektivitas yang sangat ketat.” Paradigma kekuatan kita yang bersandar ke hasil migas dan tambang harus segera kita singkirkan. Eksploitasi migas harus hemat supaya tahan lama dan terutama untuk jadi andalan bagi kebutuhan bahan baku dan energi di dalam negeri dan untuk penyangga dalam keadaaan darurat. Kita harus besar-besaran memanfaatkan air dan sinar matahari untuk kegiatan ekonomi kita. Thailand yang harus mengimpor minyak dan gas dan pupuk juga tidak bingung mengembangkan ekonomi dan industri mereka. Mereka telah sadar bahwa karunia Tuhan bagi mereka adalah di atas tanah, air dan matahari. Sehingga jadilah industri pertanian mereka dengan ekspor bahan makanan yang merambah ke mana-mana. Belum lagi kalau produk agrobisnis yang dihasilkan adalah bahan-bahan alami berkemurnian tinggi untuk keperluan pengobatan, minyak wangi, dan keperluan khusus lainnya, yang harganya beribu kali harga makanan biasa. Inilah Qatar lesson dan Thailand lesson, yaitu.......karunia kekayaan alam dari Tuhan untuk Indonesia adalah di atas tanah, bukan di bawah tanah.
104
Lika-Liku Energi Indonesia
Hukum Fisika dan Masalah BBM Indonesia Investor Daily, 3 Agustus 2005
H
ukum alam adalah hukum Tuhan. Bahwa pensil yang dilepas akan jatuh ke tanah adalah hukum alam, yang oleh Isaac Newton kemudian didefinisikan sebagai gaya gravitasi dalam ilmu fisika. Dorongan jatuh atau perpindahan ke tanah yang digerakkan gaya gravitasi ini timbul karena adanya perbedaan massa bumi dengan pensil tersebut. Gaya dorong tersebut dapat juga disebut perbedaan potensial. Fenomena alam yang sama ditemukan di berbagai keadaan bilamana ada perbedaan potensial, misalnya panas akan mengalir secara spontan dari tempat yang panas ke tempat yang dingin, air akan mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Untuk mencegah terjadinya perpindahan maka hilangkanlah perbedaan potensial. Untuk BBM, fenomena yang sama juga berlaku. Selama harga BBM lebih murah dari harga di luar negeri, timbul perbedaan potensial harga sehingga akan ada gaya yang mendorong terbawanya atau terselundupkannya BBM ke luar negeri. Penyelundupan adalah asal kelangkaan dan kelangkaan adalah asal kekacauan ekonomi dan sosial. Gaya dorong tersebut tidak akan pernah hilang karena sudah hukum alam. Untuk mencegahnya diperlukan tenaga yang sama dengan gaya dorong tadi, bentuknya berupa patroli polisi siang malam dan kerja keras pengadilan, yang tentu akan sangat mahal sekali. Cara mencegah yang terbaik adalah dengan hukum alam pula, yaitu samakan harga dalam negeri dan di luar negeri. Cara pencegahan dengan pengawasan tidak akan pernah tuntas. Ibarat air di dalam drum, air akan muncrat bilamana drum berlubang. Penyelundupan akan terjadi lagi bila pengawasan kurang, sedangkan pengawasan ketat memerlukan tenaga, waktu dan biaya yang mahal pula. Karena itu, pemberian subsidi melalui sistem harga tidak akan pernah menyelesaikan masalah penyelundupan dan kelangkaan. Cara yang lebih baik adalah menerapkan harga pasar bagi publik dan pemberian subsidi langsung kepada yang memerlukan. Pemberian subsidi langsung kepada yang memerlukan dengan sistem kupon akan lebih berhasil. Rakyat yang
105
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
memerlukan tidak mengeluh karena dapat subsidi melalui kupon dan minyak di pasar tetap tersedia dan tidak akan pernah langka karena harganya mengikuti hukum pasar, artinya mengikuti hukum alam, dan pengawasan yang mahal tidak diperlukan. Contoh-contoh banyak di negara tetangga kita. Minggu lalu saya lihat di Kamboja BBM di jual dengan harga pasar, namun jumlah BBM melimpah dan berbagai perusahaan minyak datang mendirikan SPBU karena dengan diberlakukannya harga pasar, mereka melihat ada peluang bisnis. Dengan subsidi langsung, dana negara yang keluar jauh lebih kecil. Berdasarkan data dari Buku Statistik Ekonomi Energi Indonesia 2004 penduduk yang dibawah garis kemiskinan hanya mengkonsumsi 1 juta KL minyak tanah dan bilamana dimasukkan penduduk yang penghasilannya 1.5 kali penduduk miskin maka jumlah minyak tanah yang harus disubsidi hanya 3.1 juta KL dibanding total 9.5 juta KL minyak tanah yang diproduksi untuk rumah tangga. Jumlah kilometer tempuh angkutan umum hanya 40% dari seluruh kendaraan yang ada di Indonesia, sisanya adalah kendaraan pribadi. Jadi boleh dikatakan bahwa jumlah BBM yang perlu subsidi hanyalah 38% dari perhitungan sekarang. Dengan sistem sekarang ini, jumlah subsidi total dapat mencapai lebih dari 100 triliun rupiah bila harga minyak rata-rata tahun 2005 sekitar $55/b. Yang menikmati subsidi sebesar 60 triliun rupiah lebih adalah kaum berpunya termasuk kalangan asing. Menurut ’Foreign Companies in Indonesia 2003’ yang diterbitkan oleh Business Monitor International, di Indonesia terdapat 2700 perusahaan dan kantor asing, termasuk kantor-kantor kedutaan besar. Dengan asumsi tiap perusahaan memakai 15 kendaraan saja @ 20 liter per hari, lebih dari setengah triliun rupiah uang negara terpakai untuk mensubsidi BBM untuk kendaraan-kendaran kalangan asing tersebut. Angka-angka saya ini mungkin estimasi kasar tapi besarannya tidak akan jauh dari realita dan tidak melunturkan tujuan dan semangat yang terkandung dalam tulisan ini. Jadi, dengan menerapkan sistem subsidi langsung, akan diperoleh selisih lebih dari 60 triliun rupiah yang dapat dipakai untuk memerangi busung lapar, lumpuh layu, putus sekolah, kredit untuk pengusaha kecil, penelitian dan pengembangan teknologi dan berbagai kepentingan nasional lainnya.
106
Lika-Liku Energi Indonesia
Aplikasi kupon untuk minyak tanah dapat melalui RT/RW, aplikasi kupon untuk angkutan umum dapat melalui perusahaan, aplikasi kupon untuk nelayan dapat melalui koperasi atau desa yang terkait. Cara ini memang rumit dan ruwet, tapi lebih terukur dan dapat diawasi. Potensi penyalahgunaan tetap ada tapi dapat dikurangi secara berangsur dan dampak negatifnya jauh lebih kecil dibanding penyelundupan dan kelangkaan. Hemat energi sebaiknya dicapai dengan hukum alam juga. Menurut hukum fisika, suatu keadaan akan berusaha mencari stabilitas yang memiliki ‘energi bebas‘ yang rendah. Bagi konsumen, situasi stabil tersebut adalah ketenangan psikis apabila status keuangannya aman. Selama harga pasar rendah karena subsidi harga, daya dorong konsumen untuk hemat energi akan sangat lemah walau dihimbau berkali-kali. Tapi bila harga pasar diberlakukan, konsumen akan waspada akan status keuangannya, tidak ada daya dorong yang menggerakkan konsumen untuk boros energi, konsumen akan berpikir dua tiga kali sebelum membuka koceknya untuk membeli BBM secara berlebihan. Perlindungan lingkungan dapat dicapai dengan menerapkan hukum alam pula. Saat ini kota Jakarta bilamana dilihat dari pesawat waktu akan mendarat di Cengkareng, adalah ibarat berada dalam akuarium asap. Jarak pandang terbatas karena tumpukan asap dan partikel dari kendaraan. Kadang-kadang agak malu perasaan ini kalau melihat kota-kota di negara tetangga yang bening udaranya. Bilamana harga BBM mengikuti harga pasar, produsen mau tak mau terdorong peraturan untuk memproduksi BBM berkualitas rendah polusi. Udara perkotaan kita bersih, anak-anak kita terbebas dari risiko berbagai penyakit berat yang diakibatkan polusi. Sumber daya migas Indonesia amat sangat terbatas dibanding dengan apa yang dimiliki negara-negara Timur Tengah. Namun tersedia berbagai peluang energi alternatif. Harga minyak mentah yang tinggi saat ini akan membuat berbagai energi alternatif tersebut menjadi layak secara ekonomis sehingga sudah seyogyanya situasi tersebut dapat mendorong Indonesia untuk mengandalkan sumber-sumber alternatif. Potensi panas bumi yang dapat didayagunakan tersedia setara 1 juta barel minyak per hari. Di Indonesia terdapat 40 juta hektar lahan kritis. Pemanfaatan 5 juta hektar lahan saja dapat menghasilkan biofuel lebih dari setara 1 juta barel minyak per hari.
107
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Kedua sumber tersebut, karena dapat mencegah lebih dari 600 juta ton emisi CO2 per tahun akan dapat memperoleh kompensasi dari negara-negara yang termasuk Annex 1 Kyoto Protocol, dengan nilai minimum $6.5/ton CO2. Kegiatan biofuel tersebut, yang akan melibatkan mata rantai usaha yang luas, dimulai dari penyediaan lahan yang sangat luas, penanaman, pemeliharaan, pengambilan hasil, pengangkutan dan pengolahannya menjadi biofuel, akan memberikan 1 juta lapangan kerja per 5 juta hektar lahan yang dibuka. Kembali hukum alam harus diterapkan agar kegiatan energi alternatif menjadi marak yaitu membuat situasi agar energi alternatif lebih murah bagi konsumen dan lebih menguntungkan bagi produsen atau investor dibanding energi migas. Namun ada yang menyanggah saya “Penerapan harga pasar, merupakan perubahan besar, sesuai hukum alam, tindakan drastis dapat menimbulkan situasi disorder atau kacau dan akibatnya bisa irreversible (tidak bisa dipulihkan). Jawab saya, terapkan hukum alam, yaitu dilaksanakan dengan proses yang ‘reversible’ artinya bertahap, niscaya tidak akan terjadi disorder. Daya dorong kekacauan adalah perbedaan pengertian, karena itu pergencar komunikasi untuk menyamakan pemahaman, niscaya tidak akan timbul kekacauan. Sekali lagi, upaya yang berdasarkan hukum alam lebih baik.
108
Lika-Liku Energi Indonesia
Masa Depan Sumber BBM Indonesia Suara Karya, Sabtu, 31 Desember 2005
B
ahan bakar minyak (BBM) masih akan terus mendominasi keperluan energi Indonesia, yaitu sebesar 50 persen sebagai energi final, 37 persen untuk energi primer, yang jumlahnya sekarang ini sudah lebih dari 1,2 juta barel per hari. Masih sulit mengganti peran minyak terutama untuk menghasilkan BBM bagi sektor transportasi. Persediaan minyak mentah dan BBM memerlukan perhatian khusus karena sedang terjadi penguasaan sumber-sumber minyak dunia melalui akuisisi dan kontrak wilayah kerja baru oleh negara-negara besar. Hal tersebut membahayakan pasokan ke Indonesia terutama bila kapasitas produksi cadangan minyak dunia tidak cukup ditambah ketegangan politik yang bisa mengganggu negara produsen. Cadangan terbukti minyak kita yang sebesar 4,3 miliar barel (data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi) kurang dari 0,5 persen cadangan terbukti minyak dunia yang sebesar 1.144 miliar barel. Menurut OPEC Annual Statistical Bulletin 2004, selama 25 tahun terakhir cadangan minyak dunia telah naik sekitar 500 miliar barel atau 76 persen. Kenaikan itu pun hanya terfokus di negara-negara minyak Timur Tengah (Iran, Saudi Arabia, Irak, Kuwait, Uni Emirat Arab) yang saat ini memiliki lebih dari 65 persen cadangan dunia. Sebaliknya, di negara-negara non-OPEC (Amerika Serikat, Inggris, Norwegia dsb kecuali Rusia dan Kazakhstan) terjadi penurunan. Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesia bukanlah kawasan kaya minyak setara Timur Tengah. Kenyataan ini diperkuat oleh fakta bahwa meskipun kegiatan eksplorasi migas kita cukup gencar dalam era sebelum krisis ekonomi, minyak yang ditemukan hanya mampu menggantikan minyak yang terkuras, yang membuat cadangan minyak Indonesia dari waktu ke waktu boleh dikatakan hanya konstan. Sedangkan dalam beberapa tahun terakhir malah terjadi penurunan cadangan dan penurunan produksi yang lebih cepat atau sekitar 5 persen, karena sudah mulai sulit menemukan lapanganlapangan besar selain menurunnya investasi sebagai dampak krisis ekonomi
109
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
dan krisis politik. Hikmah dari keadaan itu adalah kesadaran bahwa karunia kekayaan emas hitam itu seolah-olah memang diperuntukkan Tuhan kepada bangsa-bangsa di Timur Tengah. Sebetulnya karunia Tuhan untuk Indonesia adalah energi hijau, yang dihasilkan dari cahaya matahari, tanah dan air. Sebetulnya minyak yang yang terkuras dari ladang-ladang minyak Indonesia baru 40 persen dari jumlah asalnya. Dengan cara menerapkan teknologi terbaru diperkirakan akan dapat dikuras minimal sampai 50 persen dan akan dapat memberikan tambahan cadangan terbukti menjadi dua kali dari yang sekarang ini. Teknologi eksplorasi dan produksi migas telah sangat berkembang dalam kurun waktu 1980-an dan pertengahan 1990-an. Harga minyak sangat rendah pada saat itu (rata-rata 20 dolar AS per barel) telah mendorong upaya memangkas biaya melalui inovasi teknologi yang mampu menemukan minyak dengan biaya rendah. Sebagai keberhasilannya, biaya pencarian minyak di kawasan non-OPEC telah turun dari 25 dolar ke 5 dolar per barel. Biaya pengangkatan minyak dari sumur juga turun dari 5,5 dolar menjadi 3,5 dolar. Teknologi yang ditemukan juga mampu mengungkapkan prospek-prospek minyak besar di frontier area seperti laut dalam sehingga membuat investasi di area ini menjadi menarik. Sepanjang 1994-2004 pertumbuhan produksi dunia didominasi oleh produksi dari laut dalam dengan hampir 4 juta barel per hari, yang diperkirakan akan terus meningkat menjadi sekitar 8.5 juta barel per hari pada 2010. Terobosan teknologi yang lebih baru banyak diterapkan untuk kawasan yang sudah tua, misalnya di Laut Utara dan Alaska. Produksi minyak Rusia bangkit lagi setelah jatuh drastis pada pasca-perestoroika berkat penerapan teknologi dan manajemen produksi yang termutakhir. Bagi kawasan yang belum sepenuhnya terjangkau oleh teknologi baru (termasuk Indonesia), teknologi baru tersebut berpeluang besar untuk pengembangan kembali lapanganlapangan yang sudah ada secara menguntungkan, apalagi dalam suasana risiko investasi yang tinggi untuk pengembangan lapangan baru. Berdasarkan informasi dari BP Migas, 90 persen lapangan di Indonesia sudah melewati puncak produksi. Sebanyak 69 persen dari 520 lapangan yang ada berstatus terdeplesi dan lebih dari 50 persen cadangan berada pada lapangan berukuran kecil. Lapangan-lapangan tua diperkirakan hanya mempunyai
110
Lika-Liku Energi Indonesia
umur 7-8 tahun. Lapangan-lapangan marjinal yang jumlahnya cukup banyak menunggu untuk dieksploitasi. Produksi yang pernah mencapai lebih dari 1,5 juta barel per hari sepuluh tahun yang lalu sekarang tinggal 1 juta barel per hari. Suatu kajian yang dilakukan IPA (Indonesian Petroleum Association) delapan tahun yang lalu meramalkan kondisi sekarang ini. Pemerintah saat itu mungkin sadar akan peringatan IPA tersebut tapi kemudian untuk melakukan strategi baru terhalang oleh krisis politik dan krisis ekonomi. Langkah-langkah yang perlu diambil pemerintah sekarang ini untuk meningkatkan cadangan dan produksi adalah mendekati investor untuk membuka wilayah kerja baru atau yang lama, memperbaiki sistem perpajakan, menawarkan bagi hasil yang menarik. Di samping itu insentif pemakaian teknologi baru serta pemanfaatan lapangan marjinal diharapkan dapat meningkatkan gairah kegiatan perminyakan Indonesia. Hasil dari perbaikan iklim investasi dan operasi ini tentu harus ditunggu dalam kurun waktu 4-7 tahun ke depan mengingat jadwal atau siklus kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas di hulu memang memerlukan waktu sedemikian. Karena itu dapat diduga bahwa pada 2006 produksi minyak Indonesia belum akan meningkat secara signifikan. Tanpa upaya tersebut, produksi minyak Indonesia pada 2010 hanya 500 ribu barel per hari. Dengan upaya perbaikan iklim pengusahaan migas seperti disebutkan tadi, produksi pada tahun 2010 seperti diperkirakan BP Migas bisa naik menjadi 1.200-1.400 ribu barel per hari. Dengan tingginya harga minyak maka dorongan investasi dan pengusahaan migas di hulu kelihatannya cukup besar. Penemuan cadangan besar di lapisan lebih dalam dari lapangan Cepu (Exxon Mobil), yang nota bene adalah lapangan tua, menebar harapan baru bagi investor lain untuk mendapat keuntungan yang serupa. Empat potensi energi yang nampaknya akan digalakkan pemerintah adalah geotermal, batu bara, energi hijau dan nuklir, di samping gas dan energi baru dan terbarukan lainnya. Untuk energi transportasi di luar listrik, batu bara dan energi hijau atau biofuel adalah sumber yang cukup menjanjikan.
111
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Pencairan batu bara sebagai sumber bahan bakar minyak sintetik dengan teknologi bersih mulai menarik pada situasi harga minyak yang tinggi ini. Kajian kelayakan oleh tekMIRA, BPPT, JCOAL, KOBELCO terhadap 3 jenis batu bara Indonesia jenis lignit (brown coal) memberikan harga jual BBM sintetik setara harga minyak mentah 23-29 dolar per barel. Ini merupakan investasi padat modal (5 miliar dolar untuk kapasitas produksi BBM 100 ribu barel per hari), yang memerlukan perlakuan khusus untuk melindungi investasi jangka panjang. Batu bara Bangko, Sumatera Selatan dengan cadangan 2,5 miliar ton akan mampu memberikan 1 juta barel per hari BBM sintetik selama 30 tahun. Perlu dicatat bahwa cadangan terbukti batu bara Indonesia sebesar 6,9 miliar ton, terukur 12,4 miliar ton dan sumber daya 57,8 miliar ton memberikan optimisme bahwa batu bara adalah masa depan sumber BBM Indonesia. Energi hijau adalah karunia Tuhan untuk bangsa ini, setara dengan minyak dan gas untuk bangsa-bangsa di Timur Tengah. Misalnya, satu hektare lahan dapat memberikan sekurang-kurangnya 8 ton atau 70 barel minyak kelapa sawit (CPO) per tahun. 20-30 persen komponen kelapa sawit berkategorikan bukan makanan dapat diarahkan sebagai pengganti BBM. Harga fraksi non makanan tersebut 300 dolar per ton setara dengan harga minyak 35 dolar per barel. CPO berkualitas makanan dengan harga 400 dolar per ton, dapat diekspor sebagai pembayar impor BBM. Untuk menghasilkan 1 juta barel BBM, maka diperlukan 5 juta hektare lahan dan sekurang-kurangnya 1 juta tenaga kerja. Bayangkan bahwa di Indonesia sekarang terdapat 40 juta lahan kritis.
112
Lika-Liku Energi Indonesia
Titik Rawan Bioenergi Suara Karya, 16 Mei 2006
N
aiknya harga minyak bumi telah mendorong timbulnya pengusahaan energi alternatif yang lebih murah seperti bioenergi, baik berupa etanol pengganti bensin maupun biodiesel pengganti solar. Perkembangan tersebut sangat menggembirakan, karena untuk jangka panjang bioenergi dapat mengatasi kebutuhan energi kita dan tidak akan habis-habisnya. Pada hakekatnya bioenergi adalah perwujudan energi matahari ke tetumbuhan melalui proses biosintesa antara air dengan gas karbon dioksida yang ada di udara. Indonesia disinari matahari penuh 12 bulan setahun, berbeda dengan negara-negara empat musim yang hanya 6 bulan, jadi jelas negara kita ini lebih kompetitif dalam pengusahaan bioenergi. Walaupun demikian, daya saing bioenergi tetap tergantung harga minyak bumi. Selama lebih dari 15 tahun harga minyak rata-rata berada di bawah US$ 20 per barel sehingga bioenergi pada waktu itu, dalam bentuk apapun, tidaklah layak dikembangkan secara ekonomis. Namun demikian, beberapa negara sekarang tetap sudah sangat maju di bidang tersebut, yaitu Brazil, Amerika Serikat, Cina dan Eropa Barat, berkat kebijakan subsidi yang mereka berikan selama belum mampu bersaing dengan minyak bumi. Berbagai kajian menunjukkan bahwa bioenergi dapat diproduksi sekarang sedikitnya dengan harga Rp 3500 per liter. Bilamana angka ini diterapkan untuk bahan bakar minyak di pasar internasional pada kurs sekitar Rp 9000 per dollar US, diperoleh angka US$ 62 per barel atau ekivalen dengan harga minyak mentah sekitar US$ 55 per barel. Ini menunjukkan bahwa daya kompetisi bioenergi akan menjadi ‘rawan’ bilamana harga minyak mentah dunia menjadi lebih rendah dari US$ 55 per barel. Ramalan harga minyak dunia ke depan sangat lebar kisarannya yaitu dari $ 35 sampai $ 80 per barel, yang menunjukkan bahwa walaupun sebagian besar analis cenderung harga akan bertahan tinggi, kemungkinan harga minyak akan turun kembali juga tidak dikesampingkan.
113
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Pada saat harga minyak melebihi US$ 55 per barel, bioenergi, baik berupa etanol maupun biodiesel dari minyak nabati sangat layak secara ekonomis, tidak memerlukan subsidi dan mampu mengikuti mekanisme pasar. Namun pada tingkat harga di bawah itu tentu kita tidak akan membiarkan para petani membabat ‘kebun bioenergi’nya dan pabrik-pabrik pengolah bioenergi dibesituakan karena merugi. Karena itu akan diperlukan suatu kebijakan pemerintah dari sekarang yang dapat menjamin stabilitas harga yang kondusif untuk jangka panjang. Artinya pemerintah menetapkan suatu pagu harga BBM yang tidak memberatkan konsumen tapi juga mampu melindungi produsen bioenergi pada saat diperlukan. Misalnya, pada harga minyak sangat tinggi, kepada konsumen diberikan subsidi seperti sekarang ini, tapi pada harga minyak lebih rendah dari pagu, pemerintah melindungi produsen bioenergi dengan cara menstabilkan harga pada tingkat yang layak ekonomi untuk produksi. Dengan cara demikian pada harga minyak mentah yang rendah pemerintah dapat menabung kelebihan penerimaan penjualan minyak dan gas untuk digunakan sebagai subsidi nantinya pada waktu harga minyak tinggi.
114
Lika-Liku Energi Indonesia
Prospek Biofuel Dalam Energi Nasional dan Global Makalah kunci pada Seminar Nasional Bioteknologi, 15-16 November 2006, Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta
Dewasa ini dan ke depan kebutuhan energi terus meningkat terutama di negara-negara berkembang. Di samping energi fosil masih mendominasi pemenuhan kebutuhan energi dunia, tidak meratanya lokasi sumber-sumber energi menimbulkan kekhawatiran keamanan pasokan. Demikian juga era minyak murah kelihatannya sudah berakhir. Karena itu biofuel telah menarik perhatian dunia karena merupakan alternatif bahan bakar transportasi, jalan keluar keamanan pasokan energi, perbaikan lingkungan serta pencegahan perubahan iklim akibat gas rumah kaca. Biofuel juga merupakan cara untuk menstimulasi pengembangan pedesaan, menciptakan lapangan kerja dan menghemat devisa. Pangsa biofuel saat ini 1% dari energi dunia dan baru berkembang di beberapa negara. Target-target di berbagai negara akan meningkatkan dengan cepat produksi biofuel walau baru mencapai di bawah 10% dalam baur energi dunia tahun 2025. Biaya produksi biofuel, kecuali bioetanol di Brazil, masih belum kompetitif di banding bahan bakar minyak. Dukungan fiskal pemerintah masih harus diberikan. Harapan ada pada teknologi baru, yang masih belum sampai pada taraf komersial, baik dalam budi daya tanaman maupun dalam konversi produk nabati menjadi biofuel, dengan pendekatan bioteknologi maupun kimia. Baur energi Indonesia dewasa ini masih didominasi energi fosil. Kebijakan energi nasional mentargetkan penurunan pangsa minyak bumi menjadi hanya 20% di tahun 2025 dan meningkatkan sebesar mungkin energi terbarukan. Untuk itu pemerintah telah mencanangkan program besar produksi biofuel sekitar 17 juta ton/tahun untuk 5-10 tahun ke depan yang akan memberikan lapangan kerja baru sebanyak 3,5 juta orang, pembukaan 6 juta ha lahan untuk penanaman jatropha, kelapa sawit, tebu dan singkong, dan investasi sekitar 160 triliun rupiah. 40 juta lahan kritis menanti untuk dimanfaatkan. Berbagai tantangan operasional, infrastruktur, teknologi dan permodalan harus diselesaikan dalam mencapai sasaran.
115
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Tantangan Energi Dunia Dewasa ini dan ke Depan Energi merupakan mesin dari pertumbuhan ekonomi setiap negara. Negara-negara maju atau negara-negara industri sejak puluhan tahun telah menikmati energi secara berlimpah ruah, termasuk sebelum era 1970-an di mana harga minyak hanya sekitar US$1 per barel, sehingga ketersediaan energi yang masih dinilai murah ini telah membawa kemajuan ekonomi negara-negara industri sekarang ini. Berbeda dengan saat ini, dimana negaranegara berkembang malahan menghadapi harga energi sangat tinggi pada waktu mereka sedang berjuang mengembangkan perekonomiannya. Tantangan energi global adalah bagaimana mengamankan pasokan energi untuk konsumen, melindungi lingkungan dari dampak pemakaian energi dan mencegah perubahan iklim dunia akibat emisi gas rumah kaca yang sebagian besar berasal dari energi fosil. Pada tahun 2030 dunia memerlukan lebih dari 50% energi lebih banyak daripada sekarang ini, yang totalnya mencapai 16,3 milyar ton ekivalen minyak (toe) per tahun. Lebih dari dua pertiga peningkatan ini berasal dari negara berkembang, yang memang sedang menghadapi pertumbuhan ekonomi dan penduduk paling pesat. Namun, negara maju, walau pertumbuhan konsumsinya tidak besar dan jumlah penduduknya relatif kecil, jumlah absolut yang dikonsumsi mereka tetap paling besar. Energi fosil (minyak, gas dan batubara) masih mendominasi baur energi (energy mix) dalam tiga dekade ke depan dengan pangsa tetap di atas 80% pada tahun 2030 (Gambar 1). Energi nuklir, energi air dan biomassa tidak banyak berubah. Energi terbarukan lainnya, geotermal, matahari, angin, ombak dan gelombang, walau tumbuh dengan pesat, pangsanya tetap kecil terhadap permintaan energi global.
116
Lika-Liku Energi Indonesia
Gambar 1. Bahan Bakar Fosil Masih Mendominasi Energi Dunia
Konsumsi bahan bakar minyak negara berkembang masih pada tingkat yang rendah. Melihat jumlah kendaraan per penduduk di negara berkembang masih sangat kecil maka di masa depan dapat diperkirakan potensi yang sangat besar pertambahan kendaraan di kawasan ini yang tentu akan berdampak kepada permintaan energi terutama minyak. Sampai tahun 2025 pertumbuhan ekonomi terbesar terjadi di negara berkembang dan didominasi oleh beberapa negara ‘emerging economies’ seperti Cina, India, Brazil, Korea, Afrika Selatan dan lain-lain. Peningkatan permintaan minyak juga terpusat di negara-negara berkembang dan lebih dari 50% dari seluruh peningkatan dunia tersebut berada di negara-negara Asia. Di negara-negara Asia sendiri peningkatan terutama didominasi oleh Cina dan India karena pertumbuhan ekonomi dan penduduk mereka sehingga porsi konsumsi di kedua negara ini masing-masing naik dari 38 menjadi 48% dan 13 menjadi 17%. Konsumsi di Jepang dan Korea malah menurun karena tidak signifikannya pertambahan penduduk dan menurunnya intensitas pemakaian energi (Gambar 2).
117
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Gambar 2. Cina dan India Mendominasi Permintaan Energi Asia
Dengan makin sulitnya penemuan baru maka diperkirakan dunia akan mengalami ‘puncak produksi’ antara tahun 2015-2035 dan setelah itu akan mengalami penurunan. Lapangan minyak di banyak negara non-OPEC sudah banyak mengalami kondisi ‘mature’ terutama di negara-negara OECD sehingga sudah mengalami penurunan. Secara global, produksi di negaranegara non-OPEC akan mendatar antara tahun 2010-2015. Peningkatan terbesar akan terjadi di Timur Tengah sehingga pada tahun 2025 jumlah produksi OPEC akan melewati non-OPEC dan ketergantungan kepada OPEC akan makin besar. Tuntutan akan tersedianya energi yang berkualitas makin membesar didorong oleh kesadaran dampak pemakaian energi terhadap kesehatan dan lingkungan. Meminimalkan emisi gas buang berbahaya serta bahanbahan lainnya merupakan sasaran utama formulasi spesifikasi baru bahan bakar. Tuntutan pembatasan emisi tersebut telah mendorong industri untuk memecahkan masalah tersebut dari berbagai pendekatan, baik dari teknologi permesinan maupun dari teknologi kilang/produksi bahan bakar .
118
Lika-Liku Energi Indonesia
Pembakaran bahan bakar fosil diyakini menyebabkan pemanasan global melalui efek rumah kaca yang ditimbulkan oleh CO2 yang terakumulasi di atmosfir. Pada tahun 1990 jumlah CO2 yang dilepas ke atmosfir per tahunnya sudah mencapai sekitar 25 miliar ton atau setara 6,8 miliar ton karbon. Apabila CO2 dibiarkan lepas seperti itu maka pada tahun 2050 jumlah CO2 yang dibuang ke atmosfir akan meningkat empat kali lipat. Diperkirakan bahwa dalam periode tahun 1990-2100 temperatur atmosfir dapat naik sekitar 1,4 sampai 5,8 oC tergantung dari jumlah CO2 yang dilepas ke atmosfir, namun yang jelas akan didominasi oleh CO2 hasil pembakaran. Ini dapat menyebabkan naiknya permukaan laut, naik dan makin bervariasinya curah hujan antar wilayah, yang menimbulkan risiko banjir besar, dan di samping itu masa kekeringan juga bertambah lama. Lapisan es di Greenland akan menipis, demikian juga tudung es dan gletser di gunung-gunung tinggi, yang sekarang merupakan sumber air minum bagi penduduk di sekeliling gunung. Penangkapan dan penyimpanan CO2 hasil pembakaran merupakan cara paling efektif untuk mencegah perusakan iklim. Demikian juga dengan pengembangan biofuel yang emisi CO2 nya jauh lebih rendah merupakan solusi yang lebih baik. IEA ( International Energy Agency) memperkirakan harga nominal minyak tidak akan lebih rendah dari $40 dalam berbagai skenario. Dalam skenario dimana investasi kurang memadai, harga akan melonjak tinggi melebihi $80 per barel pada tahun 2030. Asumsi ini bersandarkan terutama pada faktorfaktor fundamental. Naiknya harga minyak pada tahun 1974 telah mendorong Brazil untuk mengembangkan biofuel berupa etanol dari tebu sebagai pengganti bensin dan sekaligus mengembangkan kendaraan berbahan bakar etanol. Saat ini pengembangan sumber minyak non konvensional pengganti minyak makin marak baik berupa GTL (gas to liquid) antara lain di Malaysia dan Qatar, CTL (coal to liquid) di Afrika Selatan dan Cina, oil sand di Kanada dan biodiesel di berbagai negara (Gambar 3).
119
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Gambar 3. Minyak Non-Konvesional Akan Memasuki Pasar Global
Prospek Global Biofuel Dewasa ini ke depan kebutuhan energi terus meningkat terutama di negara berkembang. Di samping energi fosil masih mendominasi pemenuhan kebutuhan energi dunia, tidak meratanya lokasi sumber-sumber energi menimbulkan kekhawatiran keamanan pasokan. Demikian juga era minyak murah kelihatannya sudah berakhir. Karena itu biofuel telah menarik perhatian dunia karena merupakan alternatif bahan bakar transportasi, jalan keluar keamanan pasokan energi, perbaikan lingkungan serta pencegahan perubahan iklim akibat gas rumah kaca. Biofuel juga merupakan cara untuk menstimulasi pengembangan pedesaan, menciptakan lapangan kerja dan menghemat devisa. Pangsa biofuel dewasa ini hanya sekitar 1% dari energi dunia atau sekitar 700 ribu barel per hari (bph). Sebagian besar atau 90% daripadanya berupa bioetanol dan sisanya atau 10% berupa biodiesel. Dengan dorongan kebijakan berbagai negara, produksi biofuel dunia akan meningkat cepat menjadi 1,2 juta bph pada tahun 2011. Brazil dan Amerika Serikat adalah
120
Lika-Liku Energi Indonesia
produsen bioetanol terbesar masing-masing di atas 3,5 miliar galon per tahun. Brazil memakai tebu sebagai bahan baku sedangkan Amerika Serikat dari jagung. Bioetanol dipakai sebagai campuran bensin di Eropa dan Amerika Utara dengan komposisi 5-10%. Di Brazil, kandungan bioetanol dalam bensin minimal 22%. Produsen biodiesel terbesar adalah Eropa, terutama Jerman dan Perancis dengan bahan baku ‘rapeseed’. Biodiesel dipakai sebagai campuran dengan bahan bakar diesel biasa dengan komposisi 10-15%. Penggalakan pemakaian biofuel makin marak di berbagai negara. Di Brazil, 75% dari kendaraan sudah memiliki sistem bahan bakar ganda yang disebut flexfuel yaitu yang mampu memakai bensin atau bioetanol atau campuran. Amerika mentargetkan peningkatan pemakaian bioetanol sampai tahun 2012 lebih dari 90% atau 28 miliar liter per tahun. Uni Eropa mentargetkan biofuel merupakan 5,75% dari energi transportasi mereka pada tahun 2010 dan India mentargetkan 20% dari bahan bakar transportasi mereka pada tahun 2012 terdiri dari biodiesel. Saat ini hampir seluruh produksi biofuel berasal dari tanaman biji-bijian, tanaman yang mengandung gula dan tanaman minyak. Namun begitu, sebagian besar zat tanaman (hingga dua pertiga dari massa tanaman) bukanlah gula atau zat tepung, melainkan selulosa, hemiselulosa dan lignin. Jika zat-zat tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku, maka hal itu secara substansial dapat memperluas suplai biomassa yang ada untuk diubah menjadi biofuel, dapat menurunkan emisi bersih gas rumah kaca (net wellto-wheels CHG) dan membantu mengurangi potensi konflik pangan/bahan bakar. Teknologi canggih untuk memproduksi biofuel masih dalam fase penelitian & pengembangan dan tidak akan tersedia secara komersial hingga tahun 2010. Perbedaan yang paling mencolok dibanding biofuel konvensional yaitu teknologi yang paling canggih ini akan menggunakan biomassa lignoselulosa daripada tanaman agrikultura. Biomassa lignoselulosa berarti biomassa yang terdiri dari biomassa yang terbuat dari tumbuhan kayu-kayuan atau rumputrumputan, seperti tanaman tahunan (mis. pohon willow, poplar, eucalyptus, miscanthus) dan sisa-sisa pertanian dan kehutanan.
121
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Teknologi yang paling canggih adalah proses-proses gasifikasi, yang masing-masingnya sangat mirip tapi berbeda dari jenis katalis dan kondisi proses yang digunakan. Dalam proses gasifikasi, biomassa akan diubah bentuknya menjadi gas sehingga membentuk gas sintesa yang terutama tersusun dari karbon monoksida dan hidrogen. Gas sintesa kemudian akan digunakan untuk menghasilkan berbagai macam produk sejenis bahan bakar diesel yang menggunakan katalis yang didasarkan pada proses FischerTropsch. Teknologi gasifikasi, saat ini dalam fase demonstrasi, menawarkan potensi efisiensi konversi yang tinggi karena mampu memanfaatkan semua komponen utama dari sumber daya lignoselulosa. Tantangan-tantangan teknisnya yang menonjol adalah modifikasi teknologi gasifikasi batubara untuk diterapkan pada biomassa, pembersihan dan pengkondisian gas sintesa, pengembangan beberapa jenis katalis, serta penggunaan produk sampingan seperti listrik dan panas . Produksi bioetanol lignoselulosa saat ini berada dalam fase rintisan/ demonstrasi. Penelitian tersebut difokuskan pada produksi gula terfermentasi karbon 5 dan 6 yang nantinya dapat diubah bentuknya menjadi etanol. Langkah hidrolisis sangat penting dalam mengubah komponen selulosa dan hemiselulosa menjadi gula yang terfermentasi. Hidrolisis komponen dari materi lignoselulosa lebih sulit dibanding pemrosesan zat tepung dari biji-bijian. Penelitian & pengembangan yang sedang berlangsung adalah mencari enzim yang lebih baik dan lebih murah, guna meningkatkan efisiensi dan ekonomi prosesnya. Fermentasi biomassa lignoselulosa juga dihadapkan pada tantangan yang unik, karena meski gula karbon-6 (disimpan sebagai selulosa) dapat difermentasi oleh mikroorganisme yang tersedia secara komersial, organisme itu biasanya tidak mengubah gula karbon-5 (yang disimpan sebagai hemiselulosa). Kegiatan penelitian dan pengembangan telah menciptakan organisme yang mampu menghasilkan etanol baik dari gula karbon-5 maupun karbon-6. Namun, materi lignoselulosa mengandung gula yang lebih bervariasi serta produk lainnya, beberapa diantaranya dapat menghambat reaksi fermentasi. Proses lain yang disebut HydroThermalUpgrading (HTU) adalah suatu proses yang secara khusus dikembangkan untuk biomassa basah seperti limbah organis. Proses ini masih berada dalam fase eksperimental, dimana
122
Lika-Liku Energi Indonesia
penelitiannya dipusatkan pada sifat kimia reaksi dari proses HTU dan pengujian beberapa jenis bahan baku. Biofuel hasil teknologi baru tersebut memiliki emisi bersih gas rumah kaca (well-to-wheel GHG emissions) yang lebih rendah (dengan pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 80-90 persen dibandingkan dengan pengurangan 40-50 persen untuk biofuel yang ada saat ini), dan dampak lingkungan lainnya yang juga lebih rendah (erosi, pestisida). Di samping itu, lahan berkualitas tinggi yang dibutuhkan untuk memproduksi biofuel lanjutan lebih sedikit karena produksi energi bersih biomassa lignoselulosa lebih tinggi. Untuk tanaman agrikultural tahunan, hasil produksinya hanya 100 – 200 GJ/ha/ tahun (tebu di Brazil: 200-500 GJ/ha/tahun), sedangkan hasil produksi tanaman pohon-pohonan abadi/perennial (biomassa lignoselulosa) dapat mencapai 220-550 GJ/ha/tahun. Jadi, potensi produksi untuk biomassa lignoselulosa tergantung pada ketersediaan lahan yang cocok, dengan mempertimbangkan keperluan lahan untuk produksi pangan, pelestarian hutan dan wilayah alam (natural area), serta hasil panen, yang tergantung pada jenis tanaman, metode produksi, kualitas lahan, dan kondisi iklim. Di samping itu, sifat bahan bakar dari biofuel lanjutan adalah lebih baik dibandingkan dengan biofuel konvensional, bahkan lebih baik dibandingkan dengan sifat bahan bakar fosil, misal, bebas sulfur dan kualitas pembakaran yang lebih tinggi. Diesel FT dan diesel HTU dapat dicampur dengan bahan bakar fosil dalam rasio berapapun tanpa perlu menyesuaikan infrastruktur distribusi atau mesin kendaraan. Meski tidak ada fasilitas skala produksi yang telah dibangun hingga saat ini, biofuel lanjutan diperkirakan akan memiliki kinerja ekonomi dan lingkungan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan biofuel konvensional. Rekayasa genetik memainkan peran penting dalam pengembangan biofuel lanjutan. Bidang penelitiannya yang utama adalah ”pemrosesan bio” (bioprocessing), yang menggabungkan berbagai jenis enzim yang berbeda, dan secara genetis merekayasa enzim-enzim baru, yang bekerja secara bersama-sama untuk melepaskan gula hemiselulosa maupun gula selulosa secara optimal.
123
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Cara lain menurunkan biaya produksi biofuel dan memperbaiki karakteristik lingkungannya adalah dengan meningkatkan hasil panen, meskipun metodemetode tradisional seperti pembiakan selektif masih terus memainkan peran utama dalam memperbaiki hasil panen, tingkat perbaikannya cukup lamban. Bioteknologi menawarkan suatu pendekatan penting, khususnya dalam jangka menengah hingga panjang. Meski masih diliputi banyak ketidakpastian, genom hasil panen yang dimodifikasi secara genetis dapat membawa peningkatan besar-besaran pada hasil panen, berkurangnya kebutuhan terhadap pupuk dan perbaikan dalam resistansi hama. Selain itu, rekayasa genetis dapat menghasilkan persentase selulosa/hemiselulosa yang lebih tinggi pada tanaman yang diperuntukkan untuk energi. Hambatan paling besar adalah kekhawatiran sosial menyangkut keamanannya dalam rantai makanan. Tanaman yang diperuntukkan untuk energi seperti rumput switch (switch grass) mungkin menghadapi rintangan yang lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman pangan, karena rumput tersebut tidak dikonsumsi oleh manusia. Sejak jatuhnya harga minyak pada tahun 1986 dan sejak itu sampai tahun 2000 harga minyak rata-rata hanya sekitar US$ 18 biofuel tidak kompetitif dibanding bahan bakar minyak. Untuk mendukung pengembangan biofuel berbagai negara memberikan insentif fiskal. Amerika Serikat dan Jerman memberikan keringanan pajak, Brazil mematok harga bioetanol lebih rendah. Setiap hektar lahan pertanian yang memproduksi biofuel di Eropa mendapat insentif 45 Euro per tahun. Perdagangan internasional biofuel diperkirakan akan berkembang demi adanya kesetimbangan permintaan dan pasokan antar negara. Berbagai hambatan perdagangan serta hambatan infrastruktur masih harus dihilangkan. Biaya pembuatan biofuel ditentukan berbagai faktor seperti lokasi, skala produksi, teknologi, jenis bahan tanaman. 58-65% dari biaya pembuatan etanol adalah untuk bahan baku. Ongkos produksi pembuatan gula di Brazil termurah di dunia, hanya US$ 145 per ton sedangkan dibanyak negara lain dari 200 sampai lebih dari US$400 per ton (di Indonesia rata-rata Rp 4400/ kg atau US $ 400/ton). Karena itu produksi bioetanol di Brazil juga termurah di dunia yaitu sebesar $0,22-0,29 per liter, yang berarti setara harga minyak
124
Lika-Liku Energi Indonesia
antara $35-50 per barel. Biaya produksi biodiesel di USA US$ 0,50 dan di Eropa US$ 0,62 per liter yang berarti setara harga minyak US$ 60 dan 75 per barel (Gambar 4) US$/Ton
Gambar 4. Produksi Gula Termurah Di Brazil, Yang Memungkinkan Bioetanol Yang Kompetitif
Prospek Biofuel Nasional Indonesia dewasa ini menghasilkan sekitar 1 juta barel per hari minyak mentah, sekitar 3 tcf per tahun gas dan 132 juta ton per tahun batubara. Cadangan terbukti minyak bumi hanya cukup untuk 23 tahun produksi, sedang untuk gas dan batubara lebih lama, masing-masing 62 dan 146 tahun. Cadangan energi non-fosil cukup banyak namun belum banyak termanfaatkan. Bahan bakar minyak dewasa ini masih mendominasi baur energi nasional yaitu sebesar 50% yang jumlahnya pada tahun 2005 sudah mencapai sekitar 1 juta barel per hari. Peran minyak, terutama untuk menghasilkan BBM bagi sektor transportasi masih sulit digantikan. Keterbatasan sumber minyak di Indonesia menimbulkan ketergantungan kepada minyak impor, ketergantungan mana merupakan suatu kerawanan keamanan pasokan energi nasional. Karena itu dalam kebijakan energi nasional pemerintah mentargetkan pangsa minyak
125
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
diturunkan menjadi 20% pada tahun 2025 dan meningkatkan pemakaian gas, batubara dan energi terbarukan. Pangsa biofuel ditingkatkan menjadi 5% atau sekitar 390 ribu bph setara minyak (Gambar 5)
. Gambar 5. Sasaran 2025, Menurunkan Ketergantungan Dari Minyak Bumi
Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk menghasilkan biofuel. Lokasi negara ini persis di daerah tropis memberikan sinar matahari dan curah hujan yang tinggi yang diperlukan untuk budidaya bahan baku biofuel. Lahan untuk penanaman juga masih banyak tersedia. Saat ini tersedia 40 juta lahan kritis menanti untuk dimanfaatkan. Berbagai tanaman mungkin untuk sumber bioetanol yang bervariasi dalam kemampuan memberikan etanol. Ubi jalar, sorgum manis, singkong dan tebu memberikan tingkat produksi etanol per hektar yang cukup tinggi.
126
Lika-Liku Energi Indonesia
Gambar 6. Etanol dari Beberapa Bahan Mentah
Untuk itu pemerintah telah mencanangkan program besar produksi biofuel sekitar 17 juta ton/tahun yang akan memberikan lapangan kerja baru sebanyak 3,5 juta orang dan pembukaan 6 juta ha lahan. Jatropha dan kelapa sawit akan merupakan sumber biodiesel. Tebu dan singkong merupakan sumber bioetanol. Untuk program ini diperlukan investasi sekitar 160 triliun rupiah. Untuk 5 tahun ke depan akan dimanfaatkan 900 ribu hektar lahan untuk memproduksi bioetanol dana 500 ribu hektar untuk biodiesel. Berbagai tantangan operasional, infrastruktur, teknologi dan permodalan harus diselesaikan dalam mencapai sasaran. Pemerintah sudah siap dengan berbagai perangkat peraturan kebijakan yang mendukung pemanfaatan biofuel. Biofuel dapat dalam bentuk campuran sampai 10% yang masih dikategorikan bahan bakar minyak (BBM) atau campuran di atas 10% dan murni 100% yang dikategorikan bahan bakar lain khusus dan bahan bakar lain (BBL). Harga bahan bakar minyak dalam tiga tahun terakhir ini mencapai di atas US$ 50 per barel. Dalam kurun waktu 5-10 tahun ke depan diperkirakan harga akan menurun menjadi sekitar US$ 40 per barrel. Karena itu angka ini
127
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
sekurangnya dapat dijadikan patokan untuk menghitung keekonomian dari biofuel. Pada harga ini biaya produksi bensin dan bahan bakar diesel akan sekitar US$0,38 per liter atau Rp 3450 per liter pada nilai tukar Rp 9100/US$. Harga kelapa sawit adalah sekitar US$400 per ton. Biaya operasi pembuatan biodiesel (metanol, energi, investasi dan lain-lain, dikurangi nilai produk samping gliserol) per liter US$ 0,126. Dengan demikian biaya produksi total adalah US$ 0,496 per liter atau US$ 79 per barel yang berarti ekivalen harga minyak bumi US$ 59/barel. Biaya pembuatan bioetanol termurah di dunia di Brazil ekivalen dengan harga minyak $35-%50 per barel sedangkan produksi gula di Indonesia masih terkenal termahal di dunia atau lebih dari 2 kali di Brazil. Situasi ini harus diperhitungkan pemerintah agar pengusahaan biofuel tidak tersaingi oleh menurunnya harga minyak (Gambar 7). Dalam hal biaya produksi biofuel lebih tinggi dari BBM maka harus diterapkan subsidi kepada produsen seperti yang juga dilakukan di negara-negara lain.
Gambar 7. Usulan Sistem Harga untuk Melindungi Biofuel
Kesimpulan Peningkatan penduduk dan perekonomian dunia akan memacu konsumsi energi yang sangat besar sehingga diperlukan lebih sumber-sumber energi yang dapat dicapai. Peningkatan konsumsi terutama di negara berkembang yang memerlukan akses energi dengan harga terjangkau.
128
Lika-Liku Energi Indonesia
Masalah keamanan pasokan energi telah mendorong berkembangnya biofuel yang juga memberikan keuntungan lainnya berupa pengurangan gas rumah kaca, perbaikan lingkungan, pengembangan ekonomi pedesaan dan pemasukan devisa. Biofuel memerlukan penggalangan besar-besaran pembukaan lahan, para pengusaha dan petani serta perbaikan infrastruktur yang melibatkan investasi yang sangat besar. Teknologi maju pembuatan biofuel, baik dari sisi pertaniannya maupun dari sisi produksi bahan baku menjadi biofuel masih harus terus dikembangkan agar biofuel dapat diproduksi dengan biaya kompetitif terhadap bahan bakar minyak. Untuk itu akan diperlukan penelitian dan pengembangan rekayasa genetik pengembangan bibit dan enzim fermentasi maupun pengembangan proses kimia konversi dari tanaman bahan selulosa. Dukungan fiskal dan kebijakan pemerintah lainnya masih diperlukan dalam sistem harga biofuel terhadap BBM demi melindungi keberlanjutan usaha biofuel.
Daftar Pustaka 1. International Energy Agency, World Energy Outlook 2004 2. Energy Information Administration, International Energy Outlook 2006 3. Rossi, V., Rising risks in oil demand forecasting, IEA-OPEC Workshop, 19 May 2006, Oslo, Norway. 4. OPEC (Background paper in 10th International Energy Forum, Doha, 22-24 April 2006) 5. Ken Koyama, PhD, “Global Oil Demand: Outlook and Uncertainties”, 4th Joint OPEC-IEA Workshop, May 19, 2006 , Oslo, Norway 6. IEA (Background paper in 10th International Energy Forum, Doha, 22-24 April 2006) 7. Sarah A. Emerson “Reaching the Tipping Point in the U.S.: Gasoline Policies and Oil Demand”, 4th Joint OPEC-IEA Workshop, May 19, 2006 , Oslo, Norway
129
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
8. Vinod Khosla, Biofuels: Think outside the Barrel, Feb. 2006 9. Holmes, B., AEBF 2006, Asean Energy Business Forum 10. Masami Kojima and Todd Johnson Potential for Biofuels for Transport in Developing Countries, Energy Sector Management Assistance Programme (ESMAP), October 2005 11. Tatang H. Soerawidjaja, Seminar Nasional Biofuel,“Implementasi Biofuel Sebagai Energi Alternatif”,Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, 5 Mei 2006 12. Berbagai laporan internal OPEC Secretariat, Vienna, Austria. 13. Informasi dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. 14. Informasi dari Departemen Pertanian.
Laboratorium Penelitian Bahan Bakar Nabati dari algae atau ganggang mikro di LEMIGAS dengan para peneliti Chairil Anwar, Koordinator Kelompok Pelaksana Penelitian dan Pengembangan Proses, didampingi Peneliti bioteknologi: Dhiti Adiya Hanupurti dan Onie Kristiawan.
130
Lika-Liku Energi Indonesia
Kiat RI Hadapi Krisis Energi Investor Daily 28 April 2008
K
encangnya kenaikan harga minyak belakangan ini juga merefleksikan terjadinya pengikisan mitos dollar. Harga minyak 300 dollar per barel bukan tidak mungkin dicapai bilamana nilai dollar terus melemah. Saya pernah melihat selembar uang kertas lama sebuah negara Eropa Timur yang berlabel angka satu milyar sedangkan nilainya hanya seharga sebungkus rokok. Semoga pelemahan dollar tidak separah itu karena kalau demikian tentu akan merontokkan ekonomi dunia ini. Harga minyak dewasa ini seakan terlepas dari sistem permintaan dan pasokan karena terbawa oleh perkembangan pasar uang yang sangat spekulatif. Peningkatan produksi OPEC dianggap tidak akan menurunkan harga dan malah hanya akan meningkatkan stok minyak dunia. Sedangkan, kalau stok meningkat terus sampai suatu level tertentu, harga dapat tiba-tiba terjun bebas seperti terjadi sepuluh tahun yang lalu yang sampai saat ini masih menjadi trauma bagi OPEC. Naiknya harga beras dunia sebesar lebih dari tiga kali lipat dengan cepat belakangan ini menunjukkan bahwa kelangkaan komoditas pokok seperti makanan dan energi dapat menaikkan harganya sampai tak terbatas, walau mungkin hanya untuk jangka pendek. Karena itu dunia juga cemas terhadap kelangkaan energi yang dapat menjurus ke arah krisis energi global, walaupun kemungkinannya masih untuk jangka menengah ke atas. Peningkatan penduduk dunia menjadi lebih dari 8 miliar jiwa pada tahun 2030 dari sebesar 6.5 miliar jiwa dewasa ini, yang jika diikuti pertumbuhan ekonomi akan menaikkan konsumsi energi menjadi 120 miliar ekivalen barel minyak per tahun. Sementara saat ini masih 2 miliar penduduk dunia yang belum memperoleh pelayanan energi modern sehingga masih terus dalam siklus kemiskinan berkepanjangan, terhambat dalam perkembangan ekonomi, ketersediaan air, makanan dan pelayanan kesehatan yang layak. Lebih dari 80% dari energi primer dunia masih akan berupa energi fosil (minyak, gas dan batubara) dan minyak masih merupakan bahan bakar
131
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
utama. Pada tahun 2030 dunia akan memerlukan minyak sebesar 116 juta barel/hari, dibanding 87 juta barel dewasa ini. Dengan cadangan terbukti minyak dunia hanya sekitar 1,2 trilliun barrel tentu ketersediaan pasokan minyak hanya untuk 30 tahun. Kemana dicari sumber-sumber baru? Dunia makin cemas karena bilamana dipetakan, sebagian besar negara-negara dunia adalah pengimpor minyak. Hanya Timur Tengah, Rusia serta sedikit wilayah di Afrika dan Amerika Latin yang kelebihan minyak alias eksportir. Kawasan Asia, Eropa dan Amerika ternyata negatif dalam neraca minyaknya sehingga semua mata tertuju ke Timur Tengah untuk mengamankan masa depan pasokan minyak mereka. Apakah nanti antar negara akan berebut mengamankan pasokan minyak dari sumber-sumber tersebut dengan kontrak-kontrak jangka panjang seperti yang dilakukan Cina saat ini dengan negara-negara Afrika penghasil minyak ? Kecemasan tersebut makin meningkat karena bilamana negara-negara seperti Cina dan India mulai konsumtif seperti Amerika maka sumbersumber tersebut akan habis lebih cepat lagi. Beberapa tahun belakangan ini pertambahan cadangan dunia tidak imbang dengan peningkatan produksi sehingga tentu umur produksi cadangan juga akan menciut. Sudah jarang ditemukan jebakan minyak berukuran raksasa, apalagi di kawasan nonOPEC seperti Laut Utara, Amerika dan lainnya (termasuk Indonesia) yang produksinya terus mengecil. Investasi yang diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi minyak dan gas dunia sampai 2030 mencapai 10 trilliun dollar dan separo lebih hanya untuk memproduksi minyak. Yang menjadi masalah adalah apakah ada keinginan dan kemampuan investasi sebesar itu pada negara-negara pemilik minyak dan gas, yang umumnya tidak membolehkan investor luar masuk. Juga ada keraguan pada negara-negara eksportir migas serta investor tentang apakah peningkatan konsumsi minyak dunia sebanyak itu akan nyata adanya dan sampai seberapa pengurangan permintaan migas untuk mencegah berlanjutnya perubahan iklim. Ketidakpastian tersebut membawa risiko tersendiri bagi investor bilamana fasilitas produksi yang mereka bangun ternyata tidak berguna karena kelebihan kapasitas.
132
Lika-Liku Energi Indonesia
Situasi tersebut ikut menyebabkan bertahannya harga minyak tinggi. Pasar sudah yakin era minyak murah sudah berakhir dan spekulan berani mematok harga tinggi untuk pemesanan jangka panjang. Visi yang mencemaskan tersebut seolah mulai menyatukan kesepahaman negara-negara konsumen, produsen dan investor di bidang energi. Dalam International Energy Forum yang juga saya hadiri di Roma minggu lalu, para menteri energi dari lebih 74 negara dan 27 pimpinan perusahaan energi raksasa ibarat dalam suatu ‘konser’ yang melantunkan ‘irama’ saling ketergantungan antar semua pelaku energi dunia. Semuanya sepakat akan perlunya dialog berkesinambungan dan penanganan bersama kesisteman energi dunia agar diperoleh suatu stabilitas pasar energi yang pasti, transparan dan menguntungkan semua fihak. Dalam perkembangan tersebut sudahlah sangat tepat kebijakan Indonesia untuk memfokuskan sumber-sumber energinya untuk domestik. Pertumbuhan cepat permintaan energi negara ini patut dicemaskan, namun tidak bisa dicegah karena energi adalah mesin pertumbuhan ekonomi. Masalahnya, ketersediaan cadangan minyak terbukti hanya 4.3 miliar barel atau untuk 10 tahun konsumsi, masa yang cukup singkat. Sedangkan pertambahan cadangan baru, seperti di banyak negara lainnya, juga sangat kecil. Karenanya perusahaan minyak nasional kita juga sudah harus mulai rajin memburu sumber-sumber minyak di luar negeri. Ketersediaan cadangan gas lebih baik, bisa untuk 30 tahun lebih, namun menunggu pembangunan infrastruktur yang cukup untuk dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh rakyat. Di atas kertas, sumber-sumber energi non-migas Indonesia yang cukup bervariasi masih menjanjikan dan sangat pantas disyukuri dibanding banyak negara lainnya yang miskin sumber energi. Sumber panas bumi kita sekurangnya dapat memberikan listrik setara satu juta barel minyak per hari tanpa habis. Sebanyak satu juta barel per hari bahan bakar minyak masih dimungkinkan dihasilkan dari pencairan batubara yang tersedia di samping pemakaian langsung untuk listrik. Satu juta barel bahan bakar nabati juga dapat diperoleh dari penanaman 15 juta hektar sebagian lahan kritis yang belum dimanfaatkan. Belum peluang lain dari energi angin, air, matahari dan nuklir. Namun pengusahaan sumber-sumber tersebut dan penataannya
133
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
memerlukan upaya luar biasa di samping waktu, biaya, teknologi dan sumber daya manusia serta iklim investasi. Sudah tersedianya Undang-Undang Energi akan memperjelas penataan sistem energi kita. Di samping penanganan jangka pendek masalah bahan bakar minyak dan listrik saat ini, penataan dan pengembangan energi ke depan tentu akan perlu digerakkan lebih awal dan didukung sepenuhnya oleh segenap jajaran bangsa agar penyediaan energi dapat diberikan pada waktunya untuk menghindarkan krisis energi yang akibatnya dapat menakutkan bagi bangsa ini.
134
Lika-Liku Energi Indonesia
Pajak BBM Masyarakat Mampu Suara Karya , Kamis, 8 Januari 2009
M
enurunnya harga minyak dunia memungkinkan pemerintah melepas harga bahan bakar minyak (BBM) ke harga keekonomiannya. Ini akan merupakan langkah besar menuju sistem ekonomi yang bebas dari subsidi yang distortif. BBM merupakan komoditas strategis dalam perekonomian setiap negara. Komoditas ini menjadi pendukung utama pendanaan pemerintah, baik di negara produsen maupun konsumen minyak. Banyak pendanaan pemerintah negara produsen, terutama negara berkembang, 70-90% bergantung pada ekspor minyak dan gas. Di negara konsumen, pemerintah memanfaatkan pajak BBM yang sangat tinggi, mencapai 200%. Dana pajak tersebut dipakai untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, sosial, dan pengembangan teknologi. Walau produksi minyak Indonesia hampir 1 juta barel/hari, jika dibagi jumlah penduduk, produksinya hanyalah 1,5 barel/kapita/tahun. Sangat kecil dibandingkan negara-negara produsen lain seperti Qatar (362 barel/ kapita/tahun), Arab Saudi (132), Iran (21), Malaysia (11), dan USA (6). Dengan demikian mereka mampu memberikan BBM murah. Jumlah cadangan terbukti minyak Indonesia hanya 18 barel/kapita, sangat kecil dibanding Qatar (18.000 barel/kapita), Arab Saudi (11.000), Iran (1.900), Malaysia (112), USA (70), Inggris (60). Dalam peta minyak dunia, Indonesia malah lebih dekat ke negara-negara konsumen seperti Eropa dan Jepang dan negara-negara tetangga kita seperti Filipina, Thailand, Singapura yang baik produksi maupun cadangan minyaknya hampir nol barel/kapital. Karena itu, demi keamanan dan stabilitas energi Indonesia, sudah selayaknya negara kita mengambil manfaat pengalaman strategis negara-negara konsumen tersebut dengan menerapkan sistem baru dengan beberapa penyesuaian yang memperhitungkan masyarakat tidak mampu.
135
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Dalam sistem baru ini, harga BBM untuk masyarakat mampu dikenai pajak yang lebih tinggi, katakanlah 40-50% di atas biaya keekonomiannya. Namun, perlu dibuat fleksibel, yaitu pada harga minyak dunia tinggi, pajak dapat diturunkan. Harga inilah yang diberlakukan di SPBU. Masyarakat kurang mampu dan industri tetap hanya membayar dengan harga keekonomian seperti sebelumnya, melalui suatu sistem kendali, misalnya dengan kartu pintar. Dengan cara ini, efisiensi tetap dapat ditingkatkan, pemborosan dan peningkatan konsumsi dapat diminimalkan. Pajak BBM dapat dipakai untuk subsidi silang masyarakat kurang mampu, untuk dana pembangunan, dan untuk talangan subsidi pada saat harga minyak terlalu tinggi. Pajak BBM juga memungkinkan penerapan sistem harga yang kondusif bagi energi alternatif. Di Jerman, Prancis, dan Amerika, misalnya, Bahan Bakar Nabati (BBN) diberi keringanan pajak dibanding BBM, sehingga harganya masih bersaing. Prancis memakai pajak BBM untuk mendukung pengembangan teknologi energi, sehingga negara ini (walau bukan produsen migas) sangat terkemuka dalam teknologi migas dan teknologi energi lainnya.
136
Lika-Liku Energi Indonesia
Berpihak ke NOC (Badan Usaha Migas Milik Negara) Warta Ekonomi, Februari 2010
M
inyak dan gas adalah karunia Tuhan tak ternilai kepada suatu negara dan tidak dapat tergantikan setelah dikuras habis. Apalagi apabila pemiliknya adalah negara berkembang dan tidak memiliki sumberdaya alam lain yang memadai serta sumber daya manusia dan teknologi yang belum bisa diandalkan untuk bersaing di bidang industri dengan negara-negara lain yang lebih maju. Maka, kekayaan migas dapat merupakan modal utama untuk pembangunan bangsa agar pada saat tertentu ekonominya tidak lagi sangat tergantung kepada minyak dan gas. Artinya, setiap tetes minyak dan gas dari bumi tersebut harus dapat dimanfaatkan untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Karena itu, di beberapa negara penghasil migas seperti misalnya Saudi Arabia, Kuwait, Iran, Mexico, sumber migas dikelola sendiri melalui perusahaan minyak nasional atau National Oil Company (NOC) mereka sehingga asing tidak dapat masuk kecuali hanya sebagai pemberi jasa dalam kegiatan pencarian dan produksi minyak dengan diberi upah sesuai pekerjaannya. Ini hanya terlaksana bilamana negara bersangkutan memiliki sendiri dana yang cukup untuk membiayai semua kegiatan tersebut. Ketidakmampuan atau kekurangan di bidang pendanaan, tenaga ahli, manajemen dan teknologi memaksa negara-negara lain pemilik lahan minyak termasuk Indonesia menerapkan sistem konsesi dan/atau bagi hasil. Ibarat pemilik tanah miskin yang tidak punya modal, alat maupun pengetahuan bertani terpaksa berbagi rezeki kepada yang lebih kuat. Namun si pemilik tanah atau minyak tentu tidak seharusnya selalu bergantung kepada kekuatan luar karena secara bertahap semestinya mampu “ berdaulat dan mengelola hak miliknya sendiri demi kemakmuran bangsa”. Negara-negara berkembang pemilik lahan migas umumnya lalu membentuk NOC, yang sahamnya seluruhnya dimiliki negara. Untuk Indonesia adalah PT Pertamina. Perusahaan minyak internasional atau International Oil Company (IOC) lalu diundang untuk bekerja sama. Maka terciptalah berbagai bentuk
137
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
kerja sama antara para entitas tersebut. Undang-undang (UU) dibuat agar negara memperoleh semaksimum mungkin hasil migas mereka namun dengan memperhatikan agar IOC juga memperoleh pengembalian modal disertai keuntungan semenarik mungkin. Maka dari itu umumnya strategi negara pemilik migas adalah menguasai mayoritas kepemilikan usaha kerja sama serta memberikan persyaratan bagi hasil yang ketat sehingga IOC hanya memperoleh keuntungan yang sewajarnya namun tetap menarik, serta di lain pihak menumbuhkan NOC masing-masing agar menjadi kuat yang pada akhirnya dapat mandiri.
NOC di Beberapa Negara Dua orang ahli Indonesia yang masih bertugas di Sekretariat OPEC di Wina, Benny Lubiantara dan Ali Nasir, mengirimkan kepada penulis suatu kajian tentang NOC di beberapa negara yang situasinya agak mirip dengan Indonesia yaitu Nigeria, Algeria, Venezuela dan Libya. Di Nigeria, hampir seluruh model konsesi berupa Joint Venture (JV) dengan 55 – 60% interest dimiliki oleh NOC dalam hal ini Nigerian National Petroleum Corporation (NNPC). Model lainnya adalah bagi hasil dan kontrak servis. Negara
National Oil Company (NOC)
Regulasi
Nigeria
Nigeria National Petroleum Corporation (NNPC)
· Seluruh modal konsesi adalah berupa joint venture (JV) dengan 55-60% interest dimiliki oleh NOC · Bagi hasil dan kontrak servis
Algeria
Sonatrach
· Mengeluarkan UU Hidrokarbon · Pengaturan windfall profit tax
Venezuela
PDVSA
· Kenaikkan royalti menjadi 30% untuk PDVSA dan income tax dinaikkan hingga 50% · PDVSA menjadi mayoritas pemegang saham untuk semua jenis kontrak JV
Malaysia
Petronas
· Memiliki wewenang mengelola wilayah perminyakan serta mengelola kotraktor bagi hasil
138
Lika-Liku Energi Indonesia
Algeria, pada 2005 mengeluarkan UU Hidrokarbon yang mirip dengan Undang-Undang Migas kita 22/2001 yaitu memfokuskan peran NOC Sonatrach ke bisnis minyak dengan membentuk dua badan baru, yaitu: ALNAFT dan ARH yang masing-masing sangat mirip dengan BPMigas+Ditjen Migas dan BPH Migas+Ditjen Migas. Namun keberpihakan nasional tetap diteruskan pada UU tersebut karena porsi Sonatrach minimum 51%, untuk kontrak eksplorasi maupun eksploitasi, sedangkan pihak lainnya (IOCs) maksimum 49%. UU tersebut juga memperkenalkan pengaturan windfall profit tax. Kasus Venezuela menarik karena pernah terjadi penguasaan segelintir oknum sehingga dikeluarkan aturan yang malah merugikan Negara, walau secara juridisnya NOC negara ini (PDVSA) adalah pengelola utama migas. Pada era tersebut tingkat royalti dan pajak penghasilan diturunkan sehingga sangat menguntungkan oknum oligarki yang berkuasa. Presiden Chavez kemudian mengubah kepincangan tersebut dengan Undang-undang baru dimana royalti naik menjadi 30% untuk PDVSA dan income tax dinaikkan kembali menjadi 50%. Di samping itu PDVSA harus menjadi pemegang saham mayoritas untuk semua jenis kontrak JV, pada praktiknya minimum 60%. Di Libya, NOC dan affiliasinya juga memiliki hak terbesar yaitu 56%. Pada model bagi hasil semua kontrak mewajibkan partisipasi NOC. Baru setelah minyak atau gas ditemukan dan pada tahap pengembangan NOC ikut menanggung biaya bersama investor dan porsi NOC adalah sebesar 50%. Di Malaysia, Petronas memiliki kewenangan penuh mengelola wilayah perminyakan yang diusahakan sendiri di samping juga mengelola kontraktor bagi hasil. Dalam sistem bagi hasil yang biasa Petronas memperoleh pangsa penerimaan 20% ke atas, sisanya baru ke kas negara. Dengan cara ini Petronas didukung secara finansial sehingga memiliki kemampuan untuk ekspansi kegiatan ke manca negara maupun ke industri lainnya.
139
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Pengelolaan Sumber Migas Negara-Negara Berkembang: 1. Negara-negara berkembang penghasil migas mengelola sendiri sumber migasnya melalui perusahaan minyak nasional atau National Oil Company (NOC) 2. Apabila negara berkembang itu memiliki sendiri dana yang cukup untuk mebiayai semua kegiatan pencarian dan produksi minyak, maka asing tidak dapat masuk kecuali hanya sebagai pemberi jasa dalam kegiatan itu dengan diberi upah sesuai pekerjaanya. 3. Ketidakmampuan atau kekurangan di bidang pendanaan, tenaga ahli, manajemen, dan teknologi memaksa negara-negara berkembang lain pemilik lahan minyak termasuk Indonesia menerapkan sistem konsesi dan/atau bagi hasil dengan mengajak kerjasama perusahaan minyak internasional atau International Oil Company (IOC). 4. Umumnya strategi negara pemilik migas dalam kerjasama itu adalah menguasai mayoritas kepemilikan usaha kerja sama serta memberikan persyaratan bagi hasil yang ketat sehingga IOC hanya memperoleh keuntungan yang sewajarnya, namun tetap menarik, serta di lain pihak menumbuhkan NOC masing-masing agar menjadi kuat yang pada akhirnya dapat mandiri. 5. Adalah suatu kemustahilan mengharapkan NOCs, termasuk Pertamina, dapat bersaing dengan IOCs tanpa keistimewaan apapun. Keistimewaan “menjadi tuan rumah di negeri sendiri” merupakan modal yang sangat diperlukan jika NOC diharapkan menjadi perusahaan kelas dunia.
Di Brazil, Norwegia dan Tiongkok, dan berbagai negara lainnya semangat pro NOC dari negaranya pun sangat besar walau tidak harus memiliki keseluruhan saham dari NOC tersebut. Apabila dahulu Brazil adalah negara importir minyak, sekarang Brazil telah memproduksi 2 juta barel per hari dan merajai teknologi pengeboran di laut dalam sehingga mampu menemukan jebakan minyak raksasa Tupi di kedalaman laut lebih dari 3.000 meter. Dari gambaran di atas terlihat bahwa dukungan dan keberpihakan pemerintah terhadap NOC di beberapa negara tersebut sangat jelas, baik legal maupun finansial. Dengan demikian, adalah wajar kalau kemudian pangsa berbagai NOC tersebut terhadap produksi nasional mereka relatif sangat besar yang
140
Lika-Liku Energi Indonesia
tentu tidak bisa selalu dibandingkan dengan Pertamina karena sistemnya dan penekanannya tidak sama. Adalah suatu kemustahilan mengharapkan NOCs, termasuk Pertamina, dapat bersaing dengan IOCs tanpa keistimewaan apapun. Hal ini bukan berarti bahwa dengan keistimewaaan (privilege) NOC akan otomatis menjadi perusahaan kelas dunia. Masih banyak hal lain yang mempengaruhi kemampuan NOC untuk berevolusi menjadi perusahaan kelas dunia, namun keistimewaan “menjadi tuan rumah di negeri sendiri“ merupakan modal yang sangat diperlukan jika NOC diharapkan menjadi perusahaan kelas dunia. Keberpihakan Indonesia kepada Pertamina tercermin dalam Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, yaitu bahwa Pertamina dapat memohon untuk mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu maupun wilayah kerja yang sudah habis masa kontraknya dan permohonan tersebut dapat disetujui dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan Pertamina. Dari data yang disajikan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas, 65% pengelolaan hulu migas Indonesia berada di tangan asing, dan produksi minyak Pertamina hanya 15% dari produksi nasional. Ini berarti peraturan tersebut harus lebih terarah dan diperkuat sebagai undang-undang agar mampu mendukung perkembangan perusahaan milik negara ini.
141
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Indonesia‘s Refining Developments: Future Prospects And Challenges LEMIGAS Scientific Contributions, Vol 33, No 2, September 2010
S
ince 1994 Indonesia has not built any new refineries due to the economic crisis in 1998, which was followed by political reform. Last year Indonesia had imported more than 400 thousand bpd (barrel per day) of petroleum products. On the supply side, Pertamina’s refinery capacity of 1,050 thousand bpd produces only up to 750 thousand bpd of petroleum fuels or 68 % of domestic consumption. A study has been conducted on the refining development in Indonesia up to year 2030. According to a projection based on reference scenario, in year 2030 Indonesia will consume 2.60 million bpd of petroleum fuels. If security of supply approach is taken into consideration, Indonesia will require 3 million bpd of total refinery capacity. New refineries producing additional 2 million bpd have to be constructed in order to fulfill domestic demand for petroleum fuels. The additional new refineries would then be on-stream one by one with 300 thousand bpd of capacity starting from year 2015, and would be built near consumers’ area or close to the existing refineries. As the margin of new refinery is not high enough, appropriate strategies such as optimum configuration, synergy to utilize possible supporting resources should be taken into consideration, while Indonesian government should also offers better incentives in order to make the project economically feasible.
Introduction Indonesia has not built any new refineries since the year 1994 although fuel demand has continued to increase. The plan to develop new refineries had to be cancelled because of the Asian economic crisis in 1998, which was followed by a drastic political change as Indonesia moved into the democracy era. In the years from 1995 to 2003, the world also went through a period of excess refining capacity. The refinery margin was very low, and sometimes even
142
Lika-Liku Energi Indonesia
fell to a negative, making it economically unfeasible to build new refineries. Furthermore, capital scarcity in the market at that time made the investment decision more difficult. As the fuel consumption continue to increase, existing refineries are no more capable to fullfil domestic demand and the present fuel import has reached more than 400 thousand barrels/day. A study has been conducted on the prospect of refining development in Indonesia up to year 2030. Factors at work in the study include security of supply, increased petroleum fuel demand, geographic situation, increased petroleum fuel import, national economic development, human resources and technology capability.
Supply and Demand of Petroleum Fuels 1,2,3 Indonesia consumes at present more than 1,030 kb/d of petroleum fuels. Approximately 46 % of which was used for transportation. 40% of the transportation products were motor diesel, 30 % was gasoline, 15 % was kerosene and the rest were industrial diesel oil, fuel oil and avtur/avgas. Indonesia also produces and consumes about 0.22 million kiloliters of biofuels per year. The biofuels, which are ethanol and biodiesel, are mixed with gasoline and motor diesel respectively. More than half of the petroleum fuels are consumed in Java and Bali islands. However, Indonesia is an archipelago consisting of more than 17,000 islands. The distribution of petroleum fuels in this country becomes therefore a complicated task which should be considered in selecting the location of new refineries (Figure 1).
143
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Figure 1. Petroleum Fuel Consumption 2007
Since late 2005 Indonesia has significantly reduced the subsidy for petroleum fuels. The fuels for industry are now sold at international market prices. Transportation fuels such as gasoline and motor diesel are still subsidized about 15-30 % of its economic prices depending on the relevant market prices. The government is now planning to restructure the subsidy sistem in order to provide the subsidy only for the poor and for public transportation. In order to reduce consumption of petroleum products, this country is diversifying its energy supply by producing biofuel, increasing the use of natural gas, developing geothermal energy and replacing the use of kerosene with LPG for households and micro businesses. By the end of 2009, about 44 million free LPG stoves and cylinders had been distributed to the low-income people. LPG equivalent to 5.4 million kiloliters /year of kerosene replaced have been consumed. Because the use of LPG is more efficient than kerosene, this program has saved the country by US $ 1.56 billion last year. Households in remote areas will continue to use the subsidized kerosene.
144
Lika-Liku Energi Indonesia
According to the study based on 6.5% per year of national economic growth, the annual growth of petroleum products would be 3.2 %. The petroleum demand would then increase more than two folds, from 1200,000 bpd (barrels per day) in 2006 to 2.7 million bpd in 2030 excluding biofuels, whereas the supply from existing refineries is only 700-800 thousand bpd (Figure 2). The deficit of domestic supply is then growing from year to year.
Figure 2: Petroleum Products Consumption
Existing Refineries3,4 The existing refineries are located near the crude oil production areas or near the consumers’ areas (Figure 3). The complexity of those refineries is generally low, except for the Balongan refinery in West Java and the one in Dumai which have a complexity factor of 10.9 and 7.4, respectively. The average complexity factor of those refineries is 5.0. Except for the Balongan refinery, those refineries were built or revamped before the year 1990. They were designed to use local crude oils as feedstock, with the exception of a single unit I in the Cilacap refinery which uses Arabian Light Crude in order to produce lube base oils. The total capacity of the refineries is 1,050 thousand barrels per day.
145
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Figure 3: Indonesia’s Refineries Configuration
Future Refineries4 At present Indonesia imports some 400 thousand barrels a day of petroleum products. This country is now one of the largest petroleum fuels importers in Asia. Without new refineries, the import will continue to increase to 1850 thousand barrels by the year 2030, which means it will substantially weaken the security of supply of the country. According to the study, by 2015 two refineries located in Banten province (in western part of Java) and Tuban in East Java respectively, should be constructed. Both are grass root refineries with 300 thousand bpd of capacity (Figure 4). These new refineries could reduce fuels import to about 200 thousand bpd. By 2020, two new refineries should also be constructed near the existing refineries, in Balongan in West Java and in Cilacap in Central Java. Both have 300 thousand bpd of capacity. These new refineries could reduce fuels import to about 70 thousand bpd.
146
Lika-Liku Energi Indonesia
After 2020, three new refineries should be constructed. Two refineries of which, located in Dumai in Central Sumatra and in Musi in South Sumatra, will produce 300 thousand bpd. Both are located near the existing refineries in the respected area. The third is a grass root refinery that would be located in South Sulawesi of about 125 thousand bpd of capacity, which is intended to supply the region of Eastern Indonesia.
Figure 4: Refinery Development Projection
In this scenario, Indonesian domestic crude oil production is considered to be the same as the current level at about 1 million bpd, the crude oil import will therefore increase significantly to about 2 million bpd at 2030. The crude oil sources in the future for the new refineries would come from Middle East and Africa. The crude oil quality would be medium to heavy and sour. As Indonesia would need more gasoline and motor diesel, the new refinery configuration would be bottom upgrading route, such as catalytic cracking or hydro cracking scheme. The investment required might be around US $ 4-6 billion for a 250-300 thousand bpd of capacity.
Pertamina Planning Of those new refineries that are proposed to be built, Pertamina is planning to develop 3 refineries. The first two refineries which would be expected to come on stream by 2015/2016 will be constructed in Banten province and Tuban, East Java, respectively.
147
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
The Banten Bay refinery, located three-hour drive from Jakarta to the west, would be built in two stages with 150 thousand bpd each. The preliminary study has been conducted. The Tuban refinery is a green field refinery of 300 thousand bpd of capacity, which is expected to use Middle East and African crude oils as feedstock. Preliminary feasibility study is currently being prepared. The third refinery would be the expansion of existing Balongan refinery with additional 300 thousand bpd of crude intake. Middle East and African crude oils are also expected as feedstock. Preliminary feasibility study is also being prepared.
The feasibility of New Refinery and The Need of Government Support4,5,6,7 The new refinery must be competitive at MOPS (Mid oil Platts Singapore) prices plus transport, whereas the margin of new refinery is generally not high enough and it is difficult to predict the long-term margins. High complexity, petrochemical integration, production of specialty products, high standard of operating efficiency and synergies with existing refineries (which are also of low margins) are therefore among the strategies that should be taken into consideration when developing new refineries. The participation of the crude oils provider in the investment would also improve the feasibility of the project as well as secure long-term supply of the feedstock. For that reason, the Indonesian government policy encourages the investors to take part in the investment by providing necessary assistance, which includes, among others, G to G negotiation in crude oil supply (with petroleum exporting countries), some incentive offers in order to make the project economically feasible such as lower taxes, accelerated amortization and full company equity ownership. According to the current regulation, the tax waive on revenue will be applied to the revenue equal to 30% of capital invested during 6 years period. Higher tax waive is currently being discussed with the government. Besides the reduction of tax on revenue, amortization can be accelerated two times
148
Lika-Liku Energi Indonesia
than the normal one, and the cumulative compensation on the loss can be executed in 10 years. All of these can also reduce the tax on revenue. The value added tax can be waived for capital goods such as machines and plants equipments, as well as for feedstock. The sales tax will be reduced from 30% to 23%-28%. 100% foreign ownership of refinery investment can also be applied. However, those incentives are still less competitive compared to those offered in other countries. The government of Indonesia is therefore reviewing the necessary improvement to the present incentives in order to create more attractive and competitive investment climate.
Conclusion By the year 2030, based on the reference scenario of this study, the final energy consumption in Indonesia will increase to almost four fold while the petroleum products will be about three fold or to 2.6 million barrel per day. Being an archipelago and very dense population in certain region, the security of supply of petroleum products in this country is utmost critical. This will therefore require the development of new refineries of about 2 million barrels per day capacity. The additional new refineries would be on-stream one by one with 300 thousand barrel per day of capacity starting from year 2015, and would be built near consumers’ area or close to the existing refineries. Industrial optimization strategies should be explored for enhancing the margin of the new refineries. However, better government incentives to make the project economically feasible and more competitive is also a must in order to attract potential investors.
Acknowledgement The author would like to thanks colleges in Center of Data and Information, especially Ms Farida Zed and Mr Saleh Abdurrahman, and those in R and D Center for Oil and Gas Technology ‘LEMIGAS’, for their precious contribution, and to Mr. Trias Noverdi, for his valuable help in reviewing the English of this paper.
149
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
References 1. Indonesia Energy Outlook 2008, Center of Data and Information , Ministry of Energy and Mineral Resources, Jakarta, 2009 2. Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2008, Center of Data and Information , Ministry of Energy and Mineral Resources, Jakarta, 2009 3. Kajian Pengembangan Kilang Minyak Indonesia Ke Depan, Center of Data and Information, Ministry of Energy and Mineral Resources, Jakarta, 2008 4. PERTAMINA Refinery Development, Pertamina Workshop ‘Pembangunan Kilang Baru Pertamina’, 17 March 2010, Jakarta. 5. OPEC World Oil Outlook 2009, OPEC Secretariat, Vienna, Austria, 2009 6. Minister of Energy and Mineral Resources Speech in Pertamina Workshop ‘Pembangunan Kilang Baru Pertamina’, 17 March 2010, Jakarta. 7. Evita, H.L., Kebijakan Minyak dan Gas Bumi dan Implementasinya, Pertamina Workshop ‘Pembangunan Kilang Baru Pertamina’, 17 March 2010, Jakarta.
150
Lika-Liku Energi Indonesia
Cadangan Strategis Minyak Untuk Keamanan Energi Indonesia Lembaran Publikasi Lemigas ( LPL) Volume 45, No. 1, April 2011
G
angguan pasokan minyak mentah dan bahan bakar minyak berakibat parah kepada perekonomian negara yang terkena, bahkan juga kepada situasi yang dapat menimbulkan ketidakstabilan sosial politik. Untuk itu diperlukan cadangan penyangga energi untuk ketahanan energi negara tersebut. Keamanan energi Indonesia sudah dalam situasi rawan terhadap gangguan pasokan, baik dalam hal distribusi bahan bakar minyak di dalam negeri maupun dalam pengadaan impor minyak mentah untuk kilang-kilang di dalam negeri dan impor bahan bakar minyak Undang-undang dan peraturan-peraturan terkait sudah mengamanatkan ketersediaan energi penyangga ataupun cadangan strategis minyak bumi dan penyediaan bahan bakar minyak nasional. Disarankan agar Indonesia membangun simpanan minyak mentah dan bahan bakar minyak, pada tahap awal, sekurangnya untuk 30 hari impor. Tanki-tanki yang tidak terpakai sepenuhnya yang berada di Pertamina maupun di badan-badan usaha Kontrak Kerja Sama serta di depot-depot dan kilangkilang dapat dimanfaatkan sebagai penyimpan cadangan minyak dan bahan bakar minyak. Kerja sama regional ASEAN harus lebih dikonkritkan, untuk dapat memperkuat keamanan energi para anggotanya, terutama di saat kritis atau kelangkaan pasokan.
Pendahuluan Gangguan pasokan minyak mentah dan bahan bakar minyak berakibat parah kepada perekonomian negara yang terkena, bahkan juga kepada situasi yang dapat menimbulkan ketidakstabilan sosial politik. Untuk itu diperlukan cadangan penyangga energi untuk ketahanan energi negara tersebut. Di
151
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
banyak negara, terutama negara pengimpor minyak, pemerintah terkait mewajibkan keberadaan Strategic Petroleum Reserve, yang dipergunakan dalam keadaan kelangkaan ataupun gangguan pasokan minyak mentah maupun bahan bakar minyak. Undang-undang No 30 Tahun 2007 tentang Energi menyatakan: Cadangan penyangga energi adalah jumlah ketersediaan sumber energi dan energi yang disimpan secara nasional yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional pada kurun tertentu. Sementara itu Undang-undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menyatakan kewajiban Pemerintah untuk menyediakan Cadangan Strategis Minyak Bumi. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No 36/2004 tentang Kegiatan Hilir Migas dinyatakan kewajiban Pemerintah untuk penyediaan Cadangan Bahan Bakar Minyak Nasional. Kedua regulasi terakhir ini berkenaan dengan persiapan tanggapan terhadap terjadinya kelangkaan pasokan minyak bumi maupun bahan bakar minyak. Minyak adalah energi yang paling fleksibel dan mudah dalam transportasi dan pemakaian. Pada umumnya cadangan penyangga energi di dunia lebih difokuskan kepada minyak bumi. Karena itu, tanpa mengenyampingkan pentingnya jenis energi lainnya, tinjauan ini difokuskan kepada Cadangan Strategis Minyak Bumi dan Cadangan Bahan Bakar Minyak Nasional.
Ketatnya Produksi Minyak Dunia Sebagai Faktor Kerawanan Pasokan Sampai tahun 2035 dunia diperkirakan akan mengalami pertumbuhan GDP sebesar 3.2% dan lebih terfokus di negara-negara berkembang di Asia. Permintaan minyak dunia juga akan meningkat rata-rata 1.1 juta bph (barel per hari) per tahun sehingga dibanding tahun 2010 konsumsi minyak dunia tahun 2030 akan naik sebesar 19 juta bph atau menjadi 105.5 juta bph.
152
Lika-Liku Energi Indonesia
Tabel 1 Pertumbuhan Permintaan Minyak Asia Tercepat di Dunia, Juta barel/hari Area
Tahun 2010
2020
2030
Negara-negara OECD
46.1
44.7
43.1
Negara-negara Berkembang - Asia - Luar Asia
35.7 19.0 16.7
46.3 26.2 19.9
56.8 34.0 22.8
Negara-negara Transisi (Rusia dan lain-lain)
4.8
5.2
5.6
Dunia
86.5
96.2
105.5
Sumber: OPEC, 2010
Permintaan minyak pun paling cepat di Asia sedangkan di negara-negara maju (OECD) permintaan menurun berkat upaya efisiensi dan diversifikasi energi mereka di samping jumlah konsumsi per kapita mereka sudah sangat besar di banding negara-negara berkembang. Dalam masa waktu sampai tahun 2030 tersebut pertumbuhan produksi OPEC akan lebih dua kali non OPEC sehingga pangsa OPEC akan naik dari 40% pada tahun 2010 menjadi 45% pada tahun 2030. Sebagian besar lapangan minyak di negara-negara non-OPEC mengalami penurunan produksi kecuali di Rusia, negara-negara laut Kaspia dan Afrika. Cadangan minyak duniapun mulai menyusut karena minyak yang ditemukan sejak 20 tahun yang lalu lebih kecil dari yang diproduksikan (Gambar 1). Di samping itu saat ini dunia merasa was-was akan kemampuan produksi dunia untuk memenuhi permintaan sehingga ke depan diantisipasi terjadinya situasi pasokan yang ketat dan dapat menjadi faktor kelangkaan pasokan. Kita menyaksikan sekarang negara-negara pengimpor minyak berlomba mendekati negara-negara penghasil minyak untuk mengamankan pasokan jangka panjang kebutuhan minyak mereka.
153
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Gambar 1. Cadangan Baru Minyak Dunia Makin Sulit Ditemukan
Lebih dari 70 % pasokan minyak untuk Asia Timur berasal dari Timur Tengah (Gambar 2) sehingga terjadi ketergantungan besar terhadap satu wilayah sumber yang juga rawan secara politik. Ini juga merupakan suatu kerawanan impor minyak mentah Indonesia terhadap kemungkinan hambatan pasokan.
Gambar 2. Asia Timur Sangat Tergantung Minyak Timur Tengah
154
Lika-Liku Energi Indonesia
Gangguan Pasokan Minyak Dunia Gangguan pasokan minyak yang menonjol terjadi beberapa kali di Timur Tengah, sekali di Venezuela dan di Nigeria, semuanya disebabkan faktor geopolitik, yang kadang-kadang terjadi bersamaan (Venezuela dan Nigeria) dan faktor cuaca (Badai Katrina dan Rita di Amerika, September 2005), maupun karena kerusakan instalasi produksi atau transportasi minyak (pipa minyak Alaska dan Norwegia, November-Desember 2010). Kekurangan pasokan minyak berkisar antara 1.5 – 5.6 juta bph (Gambar 3). Pemanfaatan stok penyangga pernah dilakukan dua kali, yaitu waktu Perang Teluk tahun 1991 dan Badai Teluk Meksiko tahun 2005.
Gambar 3. Kejadian Gangguan Utama Pasokan Minyak Dunia
Gangguan pasokan masih mungkin terjadi karena berbagai faktor berikut: • Ketegangan geopolitik dan ancaman terroris masih tinggi di negaranegara penghasil minyak. • Bencana alam yang dapat memutus jalur pasokan masih mungkin terjadi. • Kapasitas produksi dunia, baik minyak mentah maupun bahan bakar minyak masih sangat ketat sehingga dapat terjadi ketidakmampuan memenuhi permintaan.
155
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
• Sumber minyak terlokasi hanya di beberapa negara dan investor tidak dapat masuk karena batasan dari undang-undang dari negara terkait. Dapat terjadi tidak selarasnya peningkatan kapasitas dengan peningkatan permintaan minyak dunia yang berarti gangguan kelancaran pasokan. • Untuk wilayah Asia Timur, 12 juta bph minyak diangkut dari Timur Tengah melalui Selat Malaka dan melewati celah sempit di selatan Singapura yang lebarnya hanya 3 kilometer. Selat tersebut dilalui 60 ribu kapal per tahun yang membuatnya menjadi titik lewat yang kritis. Makin meningkatnya impor minyak dan perdagangan akan makin meningkatkan kerawanan lalu lintas yang dapat mengganggu pasokan minyak ke arah Asia Timur.
Pengelolaan Cadangan Strategis Petroleum di Negara-Negara Lain Cadangan strategis petroleum terdapat di negara-negara yang tergabung dalam OECD berangotakan 28 anggota. 20 dari anggota sudah memiliki cadangan strategis dan memiliki sebesar 4.1 miliar barel yang mampu memenuhi 150 hari impor (Gambar 4). Gangguan pasokan terbesar yang pernah terjadi mencapai sekitar 5 juta bph sehingga cadangan mereka dapat menjamini hampir lebih dari setahun kekurangan.
Gambar 4. Stok Minyak Negara-Negara Anggota IEA
156
Lika-Liku Energi Indonesia
Kebijakan cadangan strategis mereka dikoordinasikan oleh IEA (International Energy Agency). Negara-negara tersebut menjamin kewajiban melalui stok yang dimiliki pemerintah dan kewajiban industri untuk mempertahankan stok minimum. Stok yang dimiliki pemerintah sebesar 1.5 miliar barel sedangkan industri 2.6 miliar barel yang terdiri dari stok komersial dan stok wajib. Kewajiban stok dikenakan berdasarkan status impor, karena itu anggota OECD yang berstatus pengekspor murni seperti Kanada, Denmark dan Norwegia tidak diwajibkan memiliki stok wajib. Rata-rata di seluruh anggota IEA, stok total terdiri dari 59% minyak mentah dan 41% BBM yang bervariasi antar negara. Pengisian kewajiban stok oleh industri dapat dilakukan sendiri atau melalui perusahaan penyedia jasa untuk itu baik yang berada di negara sendiri maupun yang berada di negara tetangga. Ketidakpatuhan dikenai sanksi denda atau hukuman badan. Langkah-langkah dan mekanisme tanggap dalam situasi gangguan pasokan dapat berupa pelepasan stok, mengurangi permintaan, pemindahan ke bahan bakar lain dan peningkatan produksi (Gambar 5).
157
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Gambar 5. Sistem Tanggap Darurat IEA
Pembiayaan dari cadangan strategis petroleum di negara-negara anggota IEA dapat merupakan beban anggaran pemerintah atau dibebankan kepada publik melalui biaya BBM.
Faktor- Faktor Kerawanan Pasokan Minyak Indonesia Faktor-faktor kerawanan pasokan minyak Indonesia adalah gangguan terhadap impor dan gangguan distribusi domestik. Produksi minyak Indonesia sejak 10 tahun terakhir turun sebesar 35 % dari 1.33 juta bph menjadi 0.88 juta bph sedangkan konsumsi saat ini sudah mencapai 1.2 juta bph. Demikian juga rasio cadangan minyak minyak terbukti yang dapat diproduksikan tinggal untuk 12 tahun. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Indonesia‘sudah’ berstatus pengimpor murni. Saat ini Indonesia mengimpor
158
Lika-Liku Energi Indonesia
400 ribu bph minyak mentah, mengekspor 400 ribu bph, dan mengimpor 340 ribu bph bahan bakar minyak. Dengan demikian Indonesia akan dapat terkena risiko gangguan pasokan dari impor. Konsumsi Indonesia akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi sehingga Indonesia juga harus mengamankan sumber-sumber impor minyak untuk jangka panjang. Karena harus melayani wilayah kepulauan maka mata rantai distribusi bahan bakar minyak di Indonesia cukup panjang dan rumit yang menuntut tersedianya kemampuan prima fasilitas transportasi dan fasilitas distribusi lainnya (Gambar 6). Kelangkaan sering terjadi di berbagai tempat karena terlambatnya pasokan dan tipisnya persediaan simpanan bahan bakar minyak.
Gambar 6. Pola Pasokan dan Distribusi Bahan Bakar Sangat Rumit
Gangguan pasokan ke wilayah-wilayah konsumen terjadi akibat gangguan yang disebabkan oleh faktor fasilitas distribusi, faktor alam dan faktor-faktor lainnya sehingga cadangan penyangga juga harus tersebar di dekat lokasi konsumen.
159
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Penyimpanan Minyak Mentah di Indonesia Minyak mentah di Indonesia disimpan di tanki simpan perusahaanperusahaan minyak hulu dan kilang-kilang Pertamina. Tingkat pemakaian tanki-tanki Pertamina bidang Hulu yang tersebar di berbagai wilayah operasi dan berkapasitas seluruhnya 3,6 juta barel hanya sekitar 25 % sehingga masih memberikan ruang untuk dipakai untuk cadangan strategis. Juga terdapat potensi pada tanki-tanki simpan yang dioperasikan perusahaan-perusahaan kontrak bagi hasil lainnya. Pemakaian tanki-tanki minyak mentah Pertamina Pengolahan dilaporkan sudah maksimum sehingga tidak terdapat lagi ruang untuk cadangan strategis minyak bumi pemerintah.
Penyimpanan dan Distribusi Bahan Bakar Minyak Di Indonesia 58% dari bahan bakar minyak dikonsumsi di Pulau Jawa-Bali, 24 % di Pulau Sumatera, 10% di Kalimantan, 6% di Sulawesi dan 2 % di Papua (Gambar 7).
Gambar 7. Konsumsi Bahan Bakar Minyak
Kilang-kilang Pertamina tersebar di 6 lokasi ( dua di Sumatera, dua di Jawa, satu di Kalimantan Timur dan satu di Papua) dengan kapasitas total 1,046 juta bph. 160
Lika-Liku Energi Indonesia
Bahan bakar minyak di Indonesia dewasa ini disimpan di tanki simpan kilangkilang minyak dan depot-depot Pertamina. Dengan adanya liberalisasi migas hilir swasta juga sudah mulai membangun tanki-tanki simpannya sendiri. Tanki-tanki bahan bakar minyak di kilang-kilang Pertamina, di depot-depot Pertamina, di Perkapalan berkapasitas total sekitar 8 juta kilo liter atau 60 juta barel yang tingkat pengisiannya bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lain, namun secara nasional baru termanfaatkan sekitar 50 % sehingga berpeluang untuk dipakai sebagai penyimpanan cadangan bahan bakar minyak nasional.
Kerja Sama Regional Ketahanan Cadangan Minyak Mentah dan Bahan Bakar Minyak. ASEAN merupakan kawasan net-negatif dalam pasokan-permintaan minyak dimana dari permintaan 4.3 juta bph, 2.8 juta bph diproduksi sendiri dan 1.5 juta bph diimpor. Tahu 2010 net impor diperkirakan akan naik menjadi 2,9 juta bph. Pada tahun 2015 diperkirakan semua negara ASEAN akan menjadi importir minyak.
Gambar 8. Seluruh Negara ASEAN Akan Jadi Importir Minyak Mulai 2015
Mengingat besarnya ketergantungan impor negara-negara ASEAN maka dirasakan bersama perlunya kemampuan menjawab situasi darurat energi dengan jaminan ketersediaan minyak mentah dan bahan bakar minyak. Tahun 1986 ASEAN menerbitkan kesepakatan regional yang dikenal sebagai
161
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
1986 ASEAN Petroleum Security Agreement (1986 APSA), yang dirancang untuk mengalokasikan minyak mentah dan bahan bakar minyak diantara anggota bilamana dalam keadaan gangguan pasokan ataupun kelebihan pasokan. Pada waktu the 14th ASEAN Summit in Thailand 1 Maret 2009 telah diperbaharui APSA and its Annex on Coordinated Emergency Response Measures (CERM). Kesepakatan APSA yang baru ini meletakkan berbagai opsi untuk memperkuat keamanan energi anggota-anggota ASEAN, secara bersama atau sendirisendiri. Mekanisme CERM dirancang untuk memfasilitasi aktivasi/deaktivasi tindakan-tindakan darurat untuk membantu anggota-anggota ASEAN yang berada dalam kesulitan dan merintis kerjasama yang erat antara Anggotaanggota ASEAN dengan industri perminyakan. Mengingat Indonesia merupakan konsumen minyak terbesar dengan kondisi geografi yang rumit (Gambar 9) maka kesiagaan dalam cadangan penyangga minyak akan jauh lebih prioritas dibanding negara-negara ASEAN lainnya.
Gambar 9. Infrastruktur Minyak ASEAN, Sumber : IEA
162
Lika-Liku Energi Indonesia
Strategi Cadangan Strategis Minyak Bumi dan Cadangan Bahan Bakar Minyak Nasional di Indonesia Strategi Cadangan strategis minyak bumi di Indonesia ditujukan untuk mengatasi kelangkaan pasokan minyak mentah pada kondisi darurat yang menyebabkan terganggunya pasokan minyak mentah yang reguler baik dari dalam negeri maupun impor. Cadangan bahan bakar minyak nasional ditujukan untuk mengatasi kelangkaan pasokan bahan bakar minyak pada kondisi darurat yang menyebabkan terganggunya pasokan bahan bakar minyak yang reguler baik dari kilang-kilang dalam negeri maupun impor. Indonesia juga memiliki kondisi yang paling rumit karena wilayahnya berupa kepulauan yang jarak antar masing-masingnya sangat jauh. Kapasitas cadangan strategis minyak bumi diusulkan dapat mengisi 30 hari impor bersih berdasarkan waktu angkut minyak impor. Cadangan bahan bakar minyak nasional terdiri dari cadangan bahan bakar minyak di wilayahwilayah konsumsi. Bersama-sama dengan cadangan bahan bakar minyak komersial cadangan bahan bakar nasional harus dapat mengisi minimal 30-60 hari konsumsi menurut lokasi. Kontrak bagi hasil eksplorasi dan produksi sebaiknya diarahkan untuk dapat mengalokasikan seluruh atau sebagian besar produksi minyak untuk mengatasi keadaan darurat kelangkaan minyak mentah dalam negeri. Pada situasi kritis, pemakaian cadangan harus sehemat mungkin dengan juga menggunakan cara-cara lain yang dapat mengurangi pemakaian minyak seperti pengurangan pemakaian minyak dengan cara penjatahan, pemindahan ke bahan bakar lain, peningkatan produksi minyak dalam negeri. Prioritasi harus diberikan kepada pemakai minyak yang menyangkut kepentingan publik dan kegiatan ekonomi yang vital. Lokasi cadangan strategis minyak bumi sebaiknya di dekat kilang-kilang minyak dan lokasi cadangan bahan bakar minyak nasional berada di dekat konsumen. Pada tahap awal dapat dimanfaatkan kapasitas tak terpakai (idle) tankitanki simpan yang sudah ada di berbagai perusahaan minyak hulu dan hilir.
163
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Pembangunan tanki simpan yang baru dilakukan setelah pemanfaatan optimal kapasitas yang sudah ada. Penanganannya dapat melalui suatu Badan yang dibentuk itu atau bekerjasama dengan swasta dengan pendekatan bisnis. Di samping itu badan usaha di bidang produksi minyak mentah maupun di bidang produksi dan distribusi bahan bakar minyak dapat dikenai aturan penyimpanan minimum dari produk mereka, baik atas beban mereka (yang kemudian dikenakan kepada harga produk) maupun atas beban negara. Pembangunan kilang-kilang baru akan dapat meningkatkan kapasitas cadangan minyak mentah dan bahan bakar minyak karena kilang baru dengan kapasitas 300 ribu barel per hari sedikitnya akan memiliki simpanan minyak mentah dan produk untuk satu minggu. Apabila impor bahan bakar minyak saat ini sebesar 400 ribu barel per hari digantikan oleh produksi dua kilang baru maka akan dimiliki tambahan simpanan minyak mentah maupun bahan bakar minyak masing-masing 4 juta barel. Kerja sama regional dalam cadangan strategis tetap harus dikembangkan. Dasar Hukum Undang-undang No. 30 tahun 2007 tentang Energi menyatakan kewajiban penyediaan cadangan penyangga energi yang pengaturannya dilakukan oleh Dewan Energi Nasional. Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menyatakan tugas Pemerintah untuk menyediakan Cadangan Strategis Minyak Bumi guna mendukung penyediaan Bahan Bakar Minyak dalam negeri. Cadangan Strategis Minyak Bumi dipakai pada saat terganggunya pasokan Minyak Bumi guna mendukung penyediaan Bahan Bakar Minyak dalam negeri. Dalam Peraturan Pemerintah No 36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Migas dijelaskan pengaturan tentang Cadangan Bahan Bakar Minyak Nasional. Cadangan ini hanya dipergunakan pada saat terjadinya Kelangkaan Bahan Bakar Minyak. Pemerintah menetapkan jumlah dan jenis bahan bakar sedangkan pengaturan dan pengawasan dilaksanakan oleh Badan Pengatur.
164
Lika-Liku Energi Indonesia
Disini dapat dilihat bahwa aturan-aturan Cadangan Strategis Minyak Bumi dan Cadangan Bahan Bakar Minyak Nasional merupakan suatu rangkaian pengaturan yang saling terkait dalam tujuannya. Dasar hukum yang sudah ada ini sudah mencakup hal-hal pokok dan akan merupakan landasan dalam penyusunan aturan yang lebih operasional.
Kesimpulan Penutup Keamanan energi Indonesia sudah dalam situasi rawan terhadap gangguan pasokan, baik dalam hal distribusi bahan bakar minyak di dalam negeri maupun dalam pengadaan impor minyak mentah untuk kilang-kilang di dalam negeri dan impor bahan bakar minyak Undang-undang dan peraturan-peraturan terkait sudah mengamanatkan ketersediaan energi penyangga ataupun cadangan strategis minyak bumi dan penyediaan bahan bakar minyak nasional. Disarankan agar Indonesia membangun simpanan minyak mentah dan bahan bakar minyak, pada tahap awal, sekurangnya untuk 30 hari impor. Tanki-tanki yang tidak terpakai sepenuhnya yang berada di Pertamina maupun di badan usaha kontrak kerja sama serta di depot-depot dan kilangkilang dapat dimanfaatkan sebagai penyimpan awak cadangan minyak dan bahan bakar minyak. Kerja sama regional ASEAN harus didayagunakan untuk memperkuat keamanan energi para anggotanya, terutama di saat kritis atau kelangkaan pasokan
165
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Daftar Pustaka 1. World Oil Outlook 2010, OPEC Secretrariat, 2010, Vienna, Austria 2. World Energy Outlook 2010, © OECD/IEA, 2010, International Energy Agency, Paris, France 3. OPEC Annual Statistical Bulletin 2009, OPEC Secretrariat, 2009, Vienna, Austria 4. Oil Supply Security, Emergency Response of IEA Countries 2007, © OECD/ IEA, 2010, International Energy Agency, Paris, France 5. Pertamina 6. http://www.asean.org/4948.htm 7. Undang-undang No 30 Tahun 2007 tentang Energi 8. Undang-undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi 9. Peraturan Pemerintah No 36/2004 tentang Kegiatan Hilir Migas
166
Lika-Liku Energi Indonesia
Technology Challenges in Indonesia Oil and Gas Development Maizar Rahman, Suprajitno Munadi, Bambang Widarsono,Yusep K Caryana Research and Development Center for Oil and Gas Technology ‘LEMIGAS’
Lemigas Scientific Contributions, Vol 34, No 1, May 2011 This paper presents the challenges in oil and gas development in Indonesia, especially in technical aspects. In upstream, this country faces the fact that the production as well as the proven reserves of oil is continuing to decline. The challenges are therefore how to find new resources, how to develop frontier area and how to produce more oil from the remaining oil in place in the existing fields. The oil deposit and traps are small, but also complexes. Very limited primary data makes difficult to have a discovery. More accurate, intensive and comprehensive exploration data are therefore needed which in turn, will need the use of the most sophisticated exploration technology. On the other hand it is recommended that Government of Indonesia should generate primary exploration data prior to oil and gas prospecting. Regarding production, there is still hope to maintain the production level by exploiting further the remaining oil in place, the effort of which will need the use of advance technology. The future EOR application in Indonesia is bright and steps have been taken towards the objective. However, some important technical matters should still be overtaken In petroleum refining Indonesia faces increasing demand, the need of lighter products, more stringent fuels specifications, demand increase of petrochemical products, old and low complexity existing refineries and not sufficient margin for developing new refinery. The development of new refineries seems a must from the view of energy security. However, low margin should be overcome by appropriate strategy such as integration with petrochemical and employing more efficient technology. Some challenges that need to be considered in gas development in Indonesia include increasing gas demand, more gas reserve offshore, scattered gas consumers, limited infrastructure, not optimal domestic utilization and weak
167
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
willingness to pay. Several technological approaches should be done to overcome those challenges.
Introduction At present Indonesia faces the rapid increase of final energy demand of 6.7% per year. In year 2025, in business as usual scenario, the need of primary energy would be about 4700 million barrel oil equivalent per year, including about 3 million barrel oil per day. On the other hand this country faces the fact that the production as well as the proven reserves of oil is continuing to decline. The challenges are therefore how to find new resources, how to develop frontier area and how to produce more oil from the remaining oil in place in the existing fields. In petroleum refining Indonesia faces increasing demand, the need of lighter products, more stringent fuels specifications, demand increase of petrochemical products, old and low complexity existing refineries and not sufficient margin for developing new refinery. The development of new refineries seems a must from the view of energy security. However, low margin should be overcome by appropriate strategy in order to make profitable refinery. Some challenges that need to be considered in gas development in Indonesia include increasing gas demand, more gas reserve offshore, scattered gas consumers, limited infrastructure, not optimal domestic utilization and weak willingness to pay. Several technological approaches should be done to overcome those challenges.
Exploration Regarding exploration, Indonesia is faced by the fact that the proven reserves of oil in this country is continuing to decline, which means that a barrel produced is only replaced by less than new barrel. The challenges faced by Indonesia in oil and gas exploration is therefore is how to find new resources, how to develop frontier area. The expectation is aimed to deep water exploration, especially in eastern Indonesia. Referring to the result of
168
Lika-Liku Energi Indonesia
exploration of previous years, it seems that to find giant traps is not a big possibility. Comparing Indonesia geology with those in others places shows that the oil deposit in Indonesia is generally small and poor in oil, whereas in case of gas, we can find the giant deposit. Many of the oil and gas resources also found in offshore. The deposit and traps characteristic, beside small, also complexes. It is always more difficult to have a discovery and it needs therefore to use the most sophisticated technology. As we know, exploration at the time being encounters a lot problem such as: -
Area to be explored lack of comprehensive and detail supporting data
-
Available geologic data is less attractive
-
Remaining oil traps are located in complex geological area
-
The remaining prospect are small in size
Very often, available grid line spacing is much wider than the size of the prospect area. This means that our remaining prospects escape from the grid size, we cannot detect their existence accurately. This is just an example of the previous reservoir structure commonly found in the past. An ideal oil trap such as anticycline and direct hydrocarbon indicator in the form of bright spot of flat spot sometimes can be observed (Figure 1).
169
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Figure 1: Example of Previous Reservoir Structure
On the contrary, in open area where exploration is supposed to be carried out intensively, for example in Eastern Indonesia, we have a quite complicated structure. Although seismic processing effort has been applied to this data the result is not clear and the locations of the oil traps are still in big question (Figure 2).
170
Lika-Liku Energi Indonesia
Figure 2 :Example from Eastern Indonesia WHERE IS THE TRAP?
So, what should we do in order to boost the exploration activities or investment in exploration? Those need more accurate, intensive and comprehensive exploration data. To do that we have to carry out the following task: -
Executing additional seismic survey
-
Reprocessing old seismic data
-
Do more exploration drilling and well logging
-
Collect detail cuttings and cores data
-
Use the most appropriate and the most sophisticated tool/technology
-
Correlate fluid and core characteristics with elastic wave behavior
In order to increase investment in oil exploration we have to change our exploration paradigm, that is: Government of Indonesia should generate primary exploration data prior to oil and gas prospecting.
171
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Production The oil production is continuing to decline with the rate of 12 % per year in the already matured oil fields. However there is still hope to maintain the production level by exploiting further the remaining oil in place, the effort of which will need to employ more advance technology. Figure 3 shows that in addition to the already recovered oil there is remaining commercial reserves (P1 – P3) that needs to be recovered through primary recovery mechanism under existing commitment/contract while noncommercial reserves (P4 – P6) is also in need for commercialization leading to production in future. Any secondary recovery scheme (i.e. water flood, WF) is estimated to add for another 15% to the primary recovery while EOR (enhanced oil recovery) is expected to add further (roughly) 20% using the most suitable EOR process. When a field is at present producing under primary recovery scheme only then the opportunity may reach as high as 35% encompassing primary production of non-commercial reserves (P4-P6) and incremental production through water flood. For some suitable reservoirs, newer technology such as Vibro-seismic may theoretically enhance recovery further by 15% leaving a totally irreducible hypothetical residual oil of roughly 10%.
Figure 3: Production Increase Opportunity From Producing Fields
172
Lika-Liku Energi Indonesia
Primary recovery is basically obtained through producing reservoirs using natural mechanism. Production increase of producing field under natural mechanism is normally obtained through some techniques such as infill drilling (addition of production wells between existing production wells), production optimization (e.g. optimum choke size, optimum lifting method), and well stimulation (aiding production in production well through locally induced techniques, e.g. acidizing, surfactant stimulation, steam huff n puff). On the other hand EOR is field-scale production enhancement techniques that add additional recovery mechanisms to the natural one(s). Suitable and successful EOR application may far surpass production enhancement gained by any production optimization and stimulation. Combination between the two is termed improved oil recovery (IOR). Figure 4 shows worldwide situation of EOR application. EOR appears to be mostly applied on heavy oil, indicated by the high number of thermal EOR (not clear however whether this figure also include in situ combustion technique). Heavy oil projects in the US and Latin America are the examples. In the second comes CO2 flooding, most of which is applied in the United States. In US CO2 resources are in abundance (often obtained from factories and power plants) allowing widespread of CO2 flooding nationwide. Hydrocarbon gas is usually used when there is no market available economically for the gas while the gas is in relative abundance. Fields in the North Sea operations serve as examples. Chemical flooding methods (polymer, surfactant, and alkaline surfactant) are traditionally considered as expensive. However, with high oil price at present the trend is upward. Planning on some chemical EOR projects worldwide are reported in progress.
173
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Figure 4: EOR in the WORLD 2010
The EOR situation in the US is not as different in composition when compared to the world. This is due to partly the fact that EOR applications in the US indeed dominate the worldwide figure. Total oil production contributed by EOR is around 700 MBOPD or around 13% out of 5 MMBOPD US national daily oil productions. This is somewhat surpassed by Indonesia, having around 20% of its daily oil production coming from EOR application. However, this may cause biased conclusion since this comes from a single project only (Duri Steam flood, DSF, with its 180 MBOPD) out of current daily production of about 910 MBOPD. Despite the prospect, EOR may prove challenging. It is always associated with multi-billion dollar projects, and it also involves high dose of advanced technology with sufficient experience and efficiency in operating it. Although it has been proven that Indonesian personnel are capable in handling project like Duri Steam flood, some important decisions over technical matters are still overtaken by Chevron head office on pure technical ground. Environmental concerns are also embedded with EOR process. Careless handling of produced
174
Lika-Liku Energi Indonesia
CO2 in CO2 flooding, hot air surrounding steam flooding application, and improper waste water handling in chemical flooding may provide hazard to environment and breach the newly issued regulation concerning quality of environment (UU No. 32/KLH th 2009 Tentang Baku Mutu Lingkungan). Other potential constraint is difficulties in procuring EOR-related equipment and chemicals, as reportedly faced by a national company that is currently in the planning of launching its first chemical pilot project in Sumatera. The future EOR application in Indonesia is bright and steps have been taken towards the objective. Next year or two years from now will see the launch of Minas surfactant pilot project while later this year a similar pilot project is launched in Kaji-Semoga fields in Sumatera. In addition, CPI and Pertamina have also screened and proposed some fields to be approved by BPMIGAS for further study leading to design of pilot projects. With hundreds of fields that are either idle or producing under primary mechanisms, it is natural to conclude that Indonesia has an excellent opportunity for EOR applications. Rigorous efforts are needed, nevertheless, for overcoming the constraints and challenges to be faced.
Refining The challenges faced by this country in petroleum refining are increasing demand, the need of lighter products, the shift of petroleum specifications toward more and more stringent, the demand increase of petrochemical products, not sufficient margin for developing new refinery and the need of new technology to improve the efficiency of the refinery operation. At present the total refining capacity in Indonesia is about one million barrel crude oil per day. Because of low complexity, those existing refineries are only able to produce about 750 thousand barrel finished petroleum fuels per day, whereas the need is much more above it. Indonesia must therefore import about 400 thousand barrels petroleum fuels per day. This import will continue to increase as the annual growth of petroleum fuels demand is almost 5 % per year. It is estimated that in the year 2030 the import will reach about 2 million barrel per day if the refining capacity still the same as that of present time, the situation of which is not favorable for the energy security of this country.
175
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
The composition of petroleum fuel consumption will be also shifting toward lighter products. In year 2030, 51% of the petroleum fuel consumed will consist of gasoline, 34% diesel, 9% of avtur and avgas, indicating that more than 95% of petroleum fuel is used for transportation (Figure 5).
Figure 5: Demand Will Go Towards Lighter Products
Regarding product specifications, the trend is to more and more stringent standard. As we can see from this slide, Indonesia enters to Euro 2 standard in 2010 for gasoline and in 2012 for diesel, whereas the other countries are already in Euro 3, Euro 4 and Euro 5. This situation would be a strong driving factor for an improvement or development of Indonesian refineries.
176
Lika-Liku Energi Indonesia
Figure 6: Indonesia Is Lagging Behind In Euro Standards Development
Most of Indonesian refineries are relatively low complexity. Balongan refinery has the highest complexity of 10.9, Dumai of 7.4 whereas the others are from 1 to 4.4. This is one of the main reasons that make Indonesian refineries incapable to convert all of its feedstock to the required finished products and to produce better quality. A study has been conducted by the Ministry of Energy and Mineral Resources to assess the requirement and the strategy of refinery development in Indonesia. Ideally, by the year of 2020, four high complexity new refineries of 300 thousand barrels each should be constructed. The location of those refineries could be at Banten and Tuban, and near the existing refineries such as Balongan and Cilacap.
177
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Figure 7: 4 High Complexity Refineries By2020 And 3 Others After 2020 Should Be Developed
After year 2020, 3 new refineries should also be constructed, two of them of 300 thousand barrels per day each would be located near Dumai and Musi refineries, and the other one of 125 thousand barrels per day would be in Sulawesi, in order to fulfill the demand in eastern Indonesia (Figure 7). It is well known that the objective of refining is to separate the fraction or component valuable to be a finished product or to convert chemically the low quality product into high value components. The technology of refining has been developing according to the development of demand of quality and quantity of fuels, which are driven mainly by the development of engine technology and environmental concern. We can see in this slide the main processes in a refinery. The research and development in this field is still continuing to find ways to have better and cheaper catalyst, separation method, new conversion route et cetera. Since 2004 the margin of a refinery now is between $2-7 per barrel crude intake, which is considered low return for high investment refinery. Integrating of a refinery with petrochemical production as well as power production could be an alternative for increasing the added value of the products and to obtain higher margin of the refinery (Figure 8).
178
Lika-Liku Energi Indonesia
Figure 8: Refining , Petrochemical And Power Integration To Increase Added Value/Margin
Gas Regarding gas development ini Indonesia, some challenges need to be considered include : • Increasing Gas Demand, in line with the growth of industry and any other gas consumption. Indonesia Energy Statistic shows the growth of gas demand around 27 percent during the last decade, between year 2000 and year 2010. • More Gas Reserve Offshore and High Acid Gas Composition. The evidence show, huge gas reserves like Natuna or Masela gas fields are located offshore. These conditions, of course, will require high technology approach with massive investment. Moreover, high acid component contains in gas reserves such as around 72 % CO2 of Natuna Gas leading to a unique challenge to be overcome, not only for economic reasons but also from environmental pressure stand point. • Scattered Gas Consumers. The unique characteristic of gas consumers in Indonesia is scattered, small consumption but widely distributed, bring about the difficulties in developing a feasible gas pipeline to
179
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
reach end consumers. The difficulties lead to a limited gas infrastructure in Indonesia. • Not Optimal Domestic Utilization. Indonesia Energy Statistic shows around 40 % of produced (none associated) gas was domestically utilized for industry and power plant. While the rest the produced gas were exported to generate state revenue. • Weak Willingness to Pay. One of the reasons why most of the gas was exported is the weakness of willingness to pay of most Indonesia gas consumers. This weakness is reflected in government’s subsidy provision in almost every energy price in Indonesia. Technology approaches will be required to overcome challenges in gas development in Indonesia. Floating / Offshore LNG technology is a viable choice to exploit offshore gas reserves. Due to huge CO2 content in the reserves, a multi stage CO2 separation technology need to be considered to be applied in order to gradually transport and store the removed CO2 in to geological storage or aquifer surrounding the reserves to prevent CO2 venting in to air. Meanwhile, small scale gas storage in the form of gas adsorbent, gas transmission coupled with city gas technology approaches can be economically fitted to overcome the limited gas infrastructure and the weakness of willingness to pay of gas consumers in Indonesia.
Concluding Remark New oil and gas discovery is expected in Eastern Indonesia. However, facing more complexes geological characteristics of that area, it is emphasized to collect comprehensive data and using the most sophisticated technology. Enhanced Oil Recovery is the best way to recover additional oil from the existing mature field. The technology, using various suitable methods, should be implemented in order to produce the remaining oil. To satisfy the increasing demand and the more stringent fuel specification, new refineries of high complexity should be developed. More efficient technology and integration of refining and petrochemical will be a way to improve the margin of the new refinery.
180
Lika-Liku Energi Indonesia
Gas development in Indonesia faces various technical problems to overcome. Suitable technology such as floating LNG plant, separation and storage of CO2, transportation and distribution method of the gas to the house hold should be explored.
References 1. Lemigas internal communication. 2. Indonesia Energy Outlook 2009, Center of Data and Information , Ministry of Energy and Mineral Resources, Jakarta, 2010 3. Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2008, Center of Data and Information , Ministry of Energy and Mineral Resources, Jakarta, 2009 4. American Association of Petroleum Geologists – UGM SC, 2010: Enhanced Oil recovery. 5. Http://www.ugmsc.wordpress.com/2010/09/15/eor-enhanced-oilrecovery/ (17 April 2011) 6. Chevron 7. Kajian Pengembangan Kilang Minyak Indonesia Ke Depan, Center of Data and Information, Ministry of Energy and Mineral Resources, Jakarta, 2008 8. PERTAMINA Refinery Development, Pertamina Workshop ‘Pembangunan Kilang Baru Pertamina’, 17 March 2010, Jakarta. 9. Raza, Jawad, Refining & Petrochemical Integration, Business Drivers & Enabling Technologies, UOP, SAS-AIChE Meeting, February 27, 2007, AlKhobar, KSA
181
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Pajak Energi Suara Karya, 20 Juni 2011
K
enaikan terus menerus harga minyak membuat makin beratnya beban subsidi sehingga memaksa pemerintah menaikkan harga BBM. Setiap pemberlakuan kenaikan harga BBM selalu menuai protes masyarakat, kadang-kadang demikian hebatnya sehingga kenaikan yang pada bulan Mei 2008 misalnya terpaksa dibatalkan kembali. Protes masyarakat lebih disebabkan ketidakpahaman secara menyeluruh rencana pemerintah dalam pengaturan subsidi karena yang sebenarnya dituju adalah di satu pihak penerapan harga yang wajar kepada kalangan mampu dan di lain pihak penataan sistem keberlanjutan subsidi bagi masyarakat ekonomi lemah. Di dunia, Indonesia dikategorikan masuk kelompok negara pensubsidi BBM tinggi, satu kelas di bawah eksportir minyak seperti Saudi Arabia, dan Venezuela, tapi satu kelompok dengan Uni Arab Emirat dan Angola. Namun ironisnya, Indonesia bukanlah produsen dan eksportir besar minyak seperti mereka. Produksi minyak Indonesia hanyalah 1.5 barel per penduduk per tahun, yang malah masih jauh lebih rendah dari produksi minyak Amerika Serikat yang 7 barel per penduduk, apalagi apabila dibanding Saudi Arabia yang 100 barel per penduduk. Status Indonesia lebih dekat ke negara konsumen seperti Eropa, Jepang atau sebagian besar negara-negara ASEAN, yang juga pengimpor minyak. BBM atau energi merupakan salah satu mesin utama perekonomian negara. Kenaikan harga dapat merupakan malapetaka tapi ketiadaan energi dapat merupakan malapetaka besar. Karena itu berbagai negara menerapkan pajak energi dengan tujuan pokoknya ketahanan energi. Kita mungkin kaget mengetahui bahwa di Eropa pajak bahan bakar minyak mencapai lebih dari 200 persen sehingga satu liter bensin super berharga Rp 17000 per liter. Di negara berkembang lain subsidi sudah hapus dan pajak mulai diterapkan bertahap seperti India dengan harga bensin Rp 13000 per liter, Filipina, Thailand (sekitar Rp 9500 per liter).
182
Lika-Liku Energi Indonesia
Berdasarkan pengalaman negara-negara tersebut, pajak energi amat ampuh dalam mendorong dan mempermudah diversifikasi energi, memacu masyarakat untuk hemat energi dan meningkatkan kebersihan udara dari emisi kendaraan. Harga energi yang tinggi akan membuat energi baru dan terbarukan tergalakkan secara alami, perekonomianpun akan lebih tahan terhadap gejolak harga. Di samping itu, pajak yang diperoleh dapat digunakan untuk pengembangan infrastruktur jalan, membiayai kegiatan eksplorasi untuk menemukan sumber-sumber baru energi, baik energi fosil maupun yang baru dan terbarukan. Bagi masyarakat ekonomi lemah tetap diberikan subsidi dengan suatu mekanisme kendali. Rencana pemerintah untuk menghapus subsidi pada tahun 2014 mestinya bertujuan menghilangkan beban subsidi pada anggaran negara, tapi tetap dapat memberikan subsidi lebih terarah bagi yang tidak mampu dan penerapan pajak energi bagi masyarakat ekonomi kuat. Dengan demikian dapat terjadi subsidi silang dari yang kuat ke yang lemah, dan negara sendiri, karena sudah bebas dari beban subsidi dapat mengarahkan anggaran sepenuhnya untuk pembangunan perekonomian. Peningkatan pajak sebaiknya bertahap atau progressif dalam beberapa tahun sampai suatu tahap wajar, yang mampu mengakomodasi sistem harga antar energi agar diversifikasi dan efisiensi dapat terdorong, menciptakan penyangga atau ketahanan energi, namun di lain pihak tidak menurunkan daya saing perekonomian Indonesia dibanding negara-negara berkembang lainnya. Untuk mencegah protes masyarakat karena ketidakpahaman, sosialisasi yang gencar dan komprehensif sangatlah diperlukan.
183
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Menata Migas Indonesia Suara Karya, 26 Nopember 2012
T
erbitnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2004 dan 2012 tentang Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Migas dan adanya rencana revisi undang-undang itu oleh DPR merupakan awal yang baru lagi bagi masa depan industri minyak dan gas (migas) Indonesia. Dalam menentukan dan menata arah migas kita yang akan datang, ada manfaatnya mengacu ke praktik pengelolaan migas di berbagai negara, terutama negara berkembang. Kata kunci mereka juga sama, yakni adanya kedaulatan negara atas sumber daya migas sebesar-besar hasil untuk rakyat, keberpihakan kepada perusahaan migas nasional, dan kemitraan yang kondusif dengan kontraktor. Badan usaha milik negara (BUMN) atau biasa disebut National Oil Company (NOC) dilimpahi tugas utama dalam pengusahaan. Bagi negara yang kuat pendanaannya seperti Arab Saudi, Kuwait, Iran, dan Meksiko, pihak asing hanya sebagai kontraktor pemberi jasa dalam pengoperasian kegiatan migas mereka. Dengan demikian, seluruh keuntungan masuk ke kas negara, termasuk keuntungan kenaikan harga minyak yang sangat besar sepuluh tahun terakhir ini. Sementara itu, bagi negara-negara yang tidak memiliki cukup dana, seperti Nigeria, Aljazair, Libia, Venezuela, BUMN mengundang perusahaan minyak internasional atau IOC untuk bekerja. Undang-undang migas di negara-negara lain juga berkembang dan mengalami revisi seperti halnya di Aljazair dan Brasil. Salah satu tujuannya adalah membebaskan NOC dari tugas regulasi sehingga dapat berfokus ke bisnis minyak. Aljazair mengubah undang-undang migasnya pada tahun 2005 dan 2006 dan membentuk badan baru ALNAFT, mirip BP Migas yang berkontrak dengan kontraktor. Brasil membentuk PPSA, BUMN yang sahamnya dimiliki 100 persen oleh negara. Perusahaan itulah yang
184
Lika-Liku Energi Indonesia
melaksanakan kontrak dengan kontraktor. Namun, peran PPSA lebih berupa portofolio dan tidak terlibat dalam kegiatan operasional. Dalam rencana revisi UU Migas Indonesia, berbagai masukan dan saran di masa pra dan pasca-UU Migas dalam berbagai seminar dan sidang-sidang DPR sebaiknya dipertimbangkan kembali. Kata kuncinya tetap sama, kedaulatan negara atas migas, sebesar-besar hasil untuk rakyat, keberpihakan ke perusahaan nasional dan kemitraan yang kondusif dengan kontraktor. Kata kunci itu hendaknya tertuang dengan tegas dan jelas sehingga dalam implementasinya tidak ada keragu-raguan. Misalnya, agar porsi BUMN menjadi mayoritas dalam kontrak-kontrak yang baru, prioritaskan pengelolaan wilayah-wilayah kerja pascakontrak ke BUMN, sistem pajak yang lebih sederhana, dihilangkannya regulasi tumpang tindih dan berbagai hambatan lainnya. Satu hal lagi yang belum pernah dicantumkan adalah disisihkannya dana untuk menjaga keberlanjutan industri migas kita, yang sering disebut sebagai depletion premium. Analoginya, dari setiap panen 100 karung padi, sisihkanlah 10 karung untuk benih, pupuk, dan lainnya. Sepuluh persen diperlukan untuk mencari lapangan-lapangan minyak baru, ekspansi ke mancanegara, mengembangkan teknologi dan mendidik sumber daya manusia, agar kita betul-betul berdaulat.***
185
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Mengelola Lapangan Migas Suara Karya, Rabu, 29 Mei 2013
G
onjang-ganjing perpanjangan kontrak lapangan migas Mahakam memang sangat perlu dikaji mengingat setelah itu, sampai tahun 2021, hampir 75 persen lapangan minyak di Indonesia habis masa kontraknya dan dikembalikan ke negara. Benny Lubiantara dalam buku Ekonomi Migas menguraikan dengan jelas berbagai sistem kontrak migas di banyak negara produsen minyak, baik dalam kelompok OPEC maupun non-OPEC. Buku itu, yang merupakan penuangan pengalaman panjang penulis dalam riset migas internasional, juga memetakan dengan baik masalah migas di Indonesia saat ini. Itu sangat baik dipakai sebagai acuan karena berbagai pendapat “katak dalam tempurung” tentang situasi migas di negara kita dapat lebih dicerahkan. Prinsip dasar pengelolaan sumber migas kita adalah “kedaulatan” atas sumber daya itu. Artinya, kekuasaan atas migas tetap di tangan negara. Kontraktor hanya mendapat “bagi hasil” yang besarnya telah memperhitungkan risiko besar kontraktor akibat ketidakpastian eksplorasi serta kucuran modal besar dan teknologi canggih. Namun, lapangan migas yang sudah habis masa kontraknya, tetapi masih mampu berproduksi, boleh dikatakan tidak lagi berisiko karena jumlah migas yang tersisa sudah diketahui, perangkat produksi masih tersedia, teknologi yang diterapkan sudah dikuasai, dan sumber daya manusia (SDM) operasional masih tersedia. Karena itu, pola bagi hasil tidak layak dipakai lagi dan sudah selayaknya lapangan migas itu dikelola sendiri. Apabila ada pertimbangan untuk memperpanjang kontrak, jangan sampai hasil yang diperoleh kontraktor melebihi keekonomian yang wajar. Sebagai acuan adalah apa yang diterapkan di Irak, yang ingin menghidupkan kembali lapangan-lapangan migas yang ditinggalkan semasa perang. Lapanganlapangan itu masih sangat potensial dan pengelolanya tidak lagi menghadapi
186
Lika-Liku Energi Indonesia
risiko eksplorasi. Ini analog dengan lapangan-lapangan migas Indonesia yang akan dikembalikan ke negara setelah habis masa kontrak. Irak menerapkan “sistem upah operasional” atau service contract kepada kontraktor pengelola yang ditunjuk. Semua biaya operasi dapat dikembalikan (cost recovery). Penunjukan kontraktor dilakukan melalui tender dan pemenang adalah yang mengajukan upah terendah di samping harus memenuhi kualifikasi teknis, pengalaman internasional, keuangan dan kemampuan lain. Karena itu, supaya bisa menang, peserta tender berkutat menghitung keekonomian yang kompetitif. Pertamina pernah ikut tender di Irak untuk mendapatkan lapangan West Qurna fase 2 tahun 2009. Agar menang, Pertamina mengajukan upah sangat rendah dengan pertimbangan adanya benefit lain seperti minyak mentah yang dapat dibawa ke Indonesia, pengalaman di luar negeri, peluang kontrak lain. Upah yang diminta Pertamina hanya sebesar 1,25 dolar AS per barel, yang merupakan “keberanian” mengingat kerasnya iklim dan masih rawannya stabilitas keamanan di kawasan tersebut. Namun, apa boleh dikata, tawaran itu masih kalah dari tawaran konsorsium Lukoil dan Statoil yang sedikit lebih rendah, yaitu $ 1,15 per barel. Pola yang dipakai Irak dapat ditiru oleh Indonesia untuk lapangan-lapangan yang sudah dikembalikan agar diperoleh pendapatan negara secara maksimal, di samping tetap menarik bagi investor. Andai masih diperlukan perpanjangan kontrak kepada perusahaan minyak asing, sebaiknya diterapkan sistem upah agar negara lebih diuntungkan.***
187
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Energi Baru Kita Sangat Menjanjikan Majalah Tambang, 2013.
W
aktu memandang lapangan gas dan minyak di Qatar di atas lahan kering kerontang berbatu, hati saya menyeletuk “ inilah karunia Tuhan di bawah tanah untuk manusia di jazirah Arab ini. Sekembalinya ke Indonesia, dari pesawat saya memandangi lautan hijau pepohonan, hati saya menyeletuk lagi “ inilah karunia Tuhan di atas tanah untuk manusia Indonesia. Tuhan maha besar dan maha adil”. Memang, Indonesia tidak perlu menuntut kekayaan energi fosil seperti Qatar atau Saudi Arabia karena kita juga dikaruniai berbagai macam energi baik di atas tanah maupun di bawah tanah. Dan malah asal muasal energi fosil itu sendiri, sinar matahari, juga dapat kita panen lebih banyak karena matahari bersinar sepanjang tahun, berbeda dari negara empat musim, yang menikmatinya terutama hanya di musim semi dan musim panas. Kekayaan energi kita di bawah tanah lainnya adalah panas bumi, yang ternyata sebagai terbesar di dunia. Potensinya yang sekitar 27 ribu MW dapat menghemat atau setara dengan 1 juta barel minyak per hari. Energi yang dihasilkan kegiatan magma di perut bumi ini terus menerus tersedia, suatu karunia di balik kekhawatiran ancaman gunung berapi yang berbaris di sepanjang kepulauan Indonesia. Laut di seantero nusantara juga memiliki potensi energi yang digali dari perbedaan temperatur laut. Garis pantai Indonesia yang panjangnya 80 ribu kilometer dapat dimanfaatkan sebagian untuk budidaya algae, yang dari penelitian mengungkapkan dapat menghasilkan energi biomassa per hektar 20 kali lebih besar dari kelapa sawit, sehingga seluruh keperluan bahan bakar minyak kita akan dapat tergantikan. Namun prospek ini masih harus dikembangkan sampai diperoleh teknologi yang dapat menghasilkan bioenergi yang ekonomis. Juga perlu dicatat, bahwa energi terbarukan kita tersebut tidak dapat dimanfaatkan, bila kita masih terjerat oleh ketidakmampuan teknologi, ibarat ayam di lumbung padi, tetap kelaparan bila lehernya terjerat.
188
Lika-Liku Energi Indonesia
Konsumsi energi dunia meningkat besar pada 60 tahun terakhir ini melebihi akumulasi peningkatan ratusan tahun sebelumnya. Peningkatan tersebut, dinikmati oleh negara-negara maju sekarang, dan mereka sangat beruntung karena waktu itu harga energi masih murah. Dengan kebangkitan ekonomi negara-negara berkembang sekarang ini, konsumsi energi dunia akan terus meningkat, dari sekitar 13 milyar toe (ton setara minyak) tahun 2013 ini, mencapai 28 milyar toe pada tahun 2050, dan 40 milyar ton pada tahun 2100. Ironinya negara-negara berkembang sekarang harus membeli energi yang mahal, yang tentu banyak menghambat pertumbuhan ekonomi. Menurut prediksi Dewan Penasehat Perubahan Iklim Jerman, pada tahun 2050 pangsa energi terbarukan akan merupakan 50% bauran energi dunia dan pada tahun 2100 menjadi 90%. Dari energi terbarukan tersebut, energi matahari masing-masing akan mengambil pangsa 25 dan 70%. Mau tidak mau memang arah bauran energi harus ke energi matahari karena potensi energi fosil akan terus menurun dan di lain pihak, energi biomassa, air, angin dan lain-lainnya, walau juga meningkat, memiliki keterbatasan sehingga pangsanya tidak sebesar energi matahari. Karena itu Indonesia yang diuntungkan dengan posisi geografinya dari sisi siraman sinar matahari, harus lebih aktif lagi mendayagunakan dan mengembangkan sendiri energi matahari ini. Kalau kita melihat ke belakang, puluhan tahun kita dinina bobokkan oleh bahan bakar minyak yang murah sehingga potensi energi lain terabaikan. Sistem harga waktu itu juga tidak menunjang berkembangnya energi terbarukan. Meroketnya harga minyak sementara produksi minyak kita terus terjun sekurangnya telah memicu kesadaran kita akan pentingnya energi terbarukan yang ternyata tersedia melimpah di bumi pertiwi ini. Brazil adalah contoh bagus respon dan komitmen terhadap energi terbarukan. Sejak naiknya harga minyak hampir 15 kali selama kurun waktu tahun 1974 sampai tahun 1980, negara ini menjadi sadar bahwa sebagai negara tropis mereka memiliki potensi energi pengganti sehingga mereka beralih ke bensin alkohol dari tebu. Walau kemudian selama 15 tahun harga minyak turun kembali dan alkohol dari tebu menjadi relatif mahal, pengembangan teknologi dan komersialnya tetap dilanjutkan dengan konsisten sehingga sekarang energi baru mereka menjadi ekonomis.
189
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Sebagai suatu negara ekonomi yang sedang berkembang, pertumbuhan ekonomi Indonesia diikuti oleh pertumbuhan permintaan energi yang juga tinggi sehingga pada tahun 2025 konsumsi energi negara ini akan naik 2.5 kali dibanding sekarang atau 7.6 juta setara barel minyak/hari. Sekali lagi, energi terbarukan adalah solusi. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan mengenai penggalakan pemakaian energi terbarukan. Dalam sistem harga misalnya, telah ditetapkan harga listrik yang berasal dari panas bumi, sampah, minyak nabati, dan listrik tenaga air mikro, yang besarannya cukup mendukung keekonomian pengusahaannya. Swasta mulai bersemangat mencari dan membangun pembangkit listrik dari energi terbarukan. Sistem Public Private Partnership dapat pula sebagai perangkat untuk mendorong realisasinya. Rakyat desa juga tidak ketinggalan mulai melirik dan memanfaatkan kemampuan desa mereka untuk mandiri energi. Ini terungkapkan dalam berbagai penghargaan energi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dari tahun ke tahun. Undang-undang energi No 30 tahun 2007, pembentukan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, pendirian Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kelistrikan dan Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi serta berbagai aturan Pemerintah dimaksudkan agar cita-cita di atas terwujud. Investasi asing tetap diperlukan untuk pengembangan energi terbarukan, terutama pada skala besarnya. Salah satu strategi untuk menggalakkan investasi asing adalah mengundang para pemodal dari negara-negara migas TimurTengah yang memiliki cadangan dollar luar biasa besar. Seyogyanya mereka dapat difahamkan bahwa investasi di bidang energi terbarukan di negara-negara lain dapat menjadi strategi mereka untuk melestarikan cadangan energi fossil mereka sekaligus untuk mempertahankan supremasi mereka di bidang energi. Kita semua sudah sepaham bahwa subsidi bahan bakar minyak seperti sekarang tidak tepat sasaran. Walaupun subsidi sudah dikurangi dengan menaikkan harga bensin dan solar, jumlah subsidi tahun 2014 tetap sangat besar mencapai hampir 200 trilliun rupiah. Alangkah baiknya subsidi tersebut
190
Lika-Liku Energi Indonesia
dialihkan untuk mendorong dan mempercepat kemandirian energi nasional dengan memberikan insentif kepada pengembangan energi baru terbarukan. Penelitian dan pengembangan seluruh jenis energi terbarukan haruslah sangat gencar. Indonesia juga harus mampu memimpin di bidang teknologi energi terbarukan. Namun ini hanya dapat dicapai dengan membina lembaga litbang berkaliber besar, tenaga ahli yang lengkap dan mumpuni, pendanaan yang memadai, dan sistem kelembagaan yang tepat. Bilamana di Perancis insentif pendanaan penelitian dan pengembangan komersialnya diambilkan dari pajak energi, maka bagi negara kita, adalah dari pengalihan subsidi energi untuk mendorong pegembangan teknologi energi terbarukan. Energi terbarukan, jelas merupakan kegiatan ekomomi yang sangat menjanjikan, berskala besar, teknologi tinggi, menyediakan lapangan kerja yang luas serta solusi bagi keadilan energi rakyat. Kunci keberhasilannya haruslah kebijakan yang tepat, penguasaan teknologi, dan komitmen yang kuat.
191
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Subsidi BBM vs Mensejahterakan Rakyat Majalah Mineral dan Energi Maret 2012
s
tatus Indonesia dewasa ini yang sudah pengimpor minyak dan selalu meningkatnya harga minyak mentah dunia memaksa Pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM demi mencegah pembengkakan subsidi yang menggerogoti APBN. Disamping mendistorsi mekanisme pasar, sistem subsidi harga ternyata tidak tepat sasaran karena lebih dinikmati pemilik mobil pribadi. Dalam pada itu, pengurangan subsidi BBM ternyata sudah merupakan kecenderungan global, bahkan juga di negara-negara penghasil minyak karena sudah difahami bahwa selain tidak tepat sasaran, subsidi juga mendorong pemborosan energi dan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Indonesia masih berada sebagai negara pemberi subsidi besar dan harga BBM yang paling murah diantara negara-negara berkembang pengimpor minyak. Karena itu sudah saatnya subsidi harga harus dihilangkan dan diganti dengan subsidi langsung yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat ekonomi lemah serta untuk mengembangkan energi terbarukan. Indonesia dari dulu dikenal sebagai negara minyak dan gas. Dalam perjalanan perekonomian negara ini, penerimaan negara pada awalnya didominasi ekspor minyak dan gas serta penjualan BBM di dalam negeri. Dapat dikatakan bahwa di jaman Orde Baru minyak dan gas telah menyumbang besar kepada pembangunan negara. Kebutuhan minyak di dalam negeri seluruhnya dari produksi dalam negeri dan sisanya diekspor. Harga BBM dalam negeripun tidak jauh dari harga pasar karena kurs dollar yang masih rendah terhadap rupiah, karenanya subsidi yang diberikan pemerintah hampir tidak terasa dan anggaran pemerintahpun dapat difokuskan untuk pembangunan. Situasi tersebut menyebabkan rakyat berpikir bahwa Indonesia adalah negara kaya minyak dan gas, hal mana dewasa ini tidak lagi benar bila dibandingkan negara-negara penghasil minyak dan gas lainnya. Iran misalnya, produksi minyak per kapita negara ini 15 kali Indonesia dan cadangan minyaknya yang 137 milyar barel sama dengan 100 kali cadangan minyak Indonesia per kapita.
192
Lika-Liku Energi Indonesia
Situasi Indonesia berubah total akibat krisis ekonomi Asia pada tahun 1998 yang memporak porandakan perekonomian Indonesia dan memicu kejatuhan rezim orde baru dan terjadinya reformasi politik yang mendasar. Kurs dollar naik sampai menyentuh 600 persen, pemerintah mengalami defisit hebat dalam pembayaran luar negeri. Akibatnya harga BBM yang dijual dalam rupiah juga terjun bila dihitung dengan nilai dollarnya. Pemerintah terpaksa menyesuaikan harga BBM agar tidak menggerus penerimaan negara yang diperlukan untuk belanja pembangunan dan kesejahteraan rakyat lainnya.
Harga Minyak Mentah Dunia Pasca tahun 2000 harga minyak yang semula berkisar di $ 25 per barel mulai merangkak naik dan menjadi dua kalinya pada tahun 2005. Ini dikarenakan ketatnya pasokan minyak sebab terbatasnya kapasitas produksi dunia dan membesarnya permintaan, yang dipicu oleh melajunya ekonomi Asia dan Amerika. Harga terus memanjat naik pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2008 krisis finansial global melejitkan harga minyak menembus $ 147 per barel. Walau di awal 2009 terjun kembali ke sekitar $ 50, harga kemudian naik lagi karena ketatnya pasokan. Harga fundamental terendah minyak mentah nampaknya akan berada pada $ 80 per barel, yaitu sebesar biaya produksi minyak mentah sintetik dan biofuel dan kedua jenis produk tersebut sudah masuk dalam sistem pasokan dan permintaan minyak dunia. Sementara itu faktor geopolitik tiada hentinya muncul dan ini menyebabkan harga minyak selalu berada sekitar $ 20-30 di atas harga fundamentalnya (Gambar 1).
193
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Gambar 1: Geopolitik, Krisis Ekonomi Dan Harga Minyak
Harga minyak pada tahun-tahun ke depan akan terus naik karena semua faktor yang berpengaruh, baik fundamental maupun non fundamental cenderung mengungkit harga. Pada tahun 2020 harga dapat mencapai $ 150 per barel. Kenaikan harga minyak mentah yang tiada henti tersebut menyebabkan Pemerintah terpaksa menyesuaikan lagi harga BBM di dalam negeri. Sejak tahun 1998 harga sudah naik sebanyak tujuh kali. Situasi negara makin sulit karena sejak tahun 2004 Indonesia sudah menjadi ‘net importer’ minyak. Saat ini minyak milik pemerintah, dari produksi kotor sebesar 950 ribu barel dikurangi ongkos produksi dan bagian kontraktor asing tinggal 600 ribu barel per tahun. Di lain pihak, konsumsi Indonesia sudah mencapai 1100 ribu barel sehingga harus mengimpor sebesar 500 ribu barel per tahun dengan harga internasional.
Subsidi BBM Bilamana disimak sejarah harga BBM maka selalu diikuti oleh gejolak sosial dan politik. Namun pada komoditi lain, yang pergerakan harganya juga hampir seirama seperti BBM, gejolak yang mengikuti tidaklah sehebat BBM. Bila dibandingkan harga-harga komoditi di dunia pada awal tahun 2000 dan 194
Lika-Liku Energi Indonesia
harga tahun 2012 ini, harga emas naik 6 kali, harga minyak mentah naik 5 kali dan harga beras naik 3 kali. Pada komoditi yang sudah mengikuti harga pasar, baik di negara berkembang seperti Indonesia maupun negara maju, perubahan harga tidaklah memicu gejolak sosial politik karena masyarakat mengerti bahwa perkembangan harga disebabkan terutama oleh hukum pasar dan pemerintah tidaklah mengatur harga. Demikian juga untuk harga BBM di berbagai negara termasuk di negara-negara di sekitar Indonesia Sistem subsidi melalui pengaturan harga komoditi merupakan distorsi dari mekanisme pasar. Karena adanya perbedaan harga antara harga subsidi dan harga pasar, dampak negatif yang ditimbulkan antara lain adalah terpicunya tindakan ilegal seperti penumpukan, penyelundupan, pengoplosan, yang kesemuanya itu merepotkan dan menghabiskan energi petugas berwajib dalam pengawasannya. Sistem subsidi melalui harga juga menimbulkan sifat boros energi masyarakat sehingga menurunkan efisiensi negara di bidang energi. Karena itu sudah selayaknya sistem subsidi diganti sehingga lebih dirasakan manfaatnya dalam perekonomian negara. Subsidi BBM merupakan masalah global. Puluhan negara memberikan subsidi dalam jumlah dan cara yang bervariasi satu sama lainnya. Negara-negara berkembang pengekspor murni minyak memberikan harga BBM jauh di bawah harga pasar internasional. Apalagi kalau rasio antara produksi dan jumlah penduduk mereka besar, membagikan BBM murah dianggap sebagai suatu cara membagi nikmat kekayaan alam kepada penduduknya. Negara-negara berkembang pengimpor minyak tidak dapat meniru negaranegara pengekspor minyak. Beberapa negara tetangga kita di ASEAN saja sudah memberlakukan harga BBM sesuai atau mendekati harga internasional. Rakyat mereka mengerti dan BBM sudah seperti komoditi lainnya, yang harganya sudah mengikuti naik turunnya harga pasar, tidak ada lagi gejolak sosial dan politik. Daya saing ekonomi mereka ternyata dapat bertahan berkat upaya efisiensi. Di negara-negara maju, penentuan harga sudah lebih jauh lebih rasional lagi. BBM dipajaki tinggi sekali sehingga harganya bisa dua kali harga pasar internasional. Ini sangat mendorong efisiensi atau anti pemborosan sehingga kebutuhan BBM negara-negara tersebut cenderung menurun dan di lain pihak, energi terbarukan makin berkembang.
195
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Di tataran global sudah muncul kesepahaman bahwa subsidi energi fosil harus dieliminasi secara bertahap dan tahun 2020 diancar-ancar sebagai target hilangnya subsidi. Alasannya adalah makin langkanya sumber-sumber minyak dunia, perlunya ditingkatkan efisisensi demi menghemat sumber daya minyak yang masih ada, dan diharuskannya pengurangan energi fosil demi menurunkan CO2 di atmosfir karena pemanasan global mulai membahayakan.
Penikmat Subsidi Kajian tim bersama Bank Dunia, OPEC, OECD dan IEA menunjukkan bahwa setiap tahun negara-negara berkembang mengeluarkan lebih dari 400 milyar dollar untuk subsidi energi fosil, dan ternyata hanya 8% yang dinikmati rakyat miskin. Bila ini dialihkan, pencegahan pemborosan dapat menghemat lebih dari 600 juta ton setara minyak sampai tahun 2020. Disarankan agar subsidi dialihkan untuk kesejahteraan langsung rakyat miskin serta untuk pengembangan energi terbarukan. Hal yang mengejutkan adalah Iran, sebagai pengekspor OPEC kedua terbesar, dan juga sebagai negara pemberi subsidi BBM terbesar di dunia, ternyata dengan drastis telah mereformasi sistim subsidinya mulai di akhir 2010. Harga bensin dinaikkan sebesar 400 persen (dari 10 sen dollar menjadi 40 sen per liter) dan harga solar 1000 persen (dari 1.5 sen dollar menjadi 15 sen per liter). Sebagai kompensasi, untuk penduduk miskin dibantu sebesar $ 40 per orang per bulan. Untuk kendaraan umum dan niaga diberikan kuota BBM murah. Inflasi Iran di tahun berikutnya naik tapi ternyata tidak sebesar yang diperkirakan. Pengamat luar negeri dan Bank Dunia menilai perubahan tersebut berdampak positif kepada perekonomian Iran. Kalau hampir semua negara dalam kelompok pengimpor minyak sudah menerapkan atau mendekatkan harga BBM pada harga pasar, Indonesia ternyata masih pada harga paling murah, malah sama dengan negara-negara pengekspor minyak yang memiliki produksi dan cadangan minyak per kapita berpuluh kali dari Indonesia (Gambar 2).
196
Lika-Liku Energi Indonesia
Gambar 2: Harga Bensin Di Beberapa Negara Berkembang
Kajian konsumen di Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen penikmat BBM adalah pemilik kendaraan pribadi yang berpenghasilan lebih besar. Belum lagi perusahaan-perusahaan asing serta kedutaankedutaan besar asing di Indonesia yang semuanya berjumlah lebih dari 2700 perusahaan. Perhitungan kasar menunjukkan bahwa mereka dapat menikmati subsidi BBM lebih dari setengah trilliun rupiah per tahun. Di lain pihak 75% rumah tangga, yang umumnya berpenghasilan rendah hanya menikmati 15% subsidi (Gambar 3).
197
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Gambar 3: Sistem Subsidi Sekarang Tidak Tepat Sasaran
Mensejahterakan Rakyat Kenaikan harga BBM bukanlah menghilangkan subsidi bagi masyarakat kurang mampu tapi malah meningkatkannya. Kenaikan harga BBM hanya menghapuskan subsidi bagi masyarakat mampu. Subsidi untuk masyarakat mampu tersebut terus dipindahkan ke masyarakat tidak mampu melalui berbagai skema bantuan kesejahteraan seperti bantuan langsung tunai, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur. Artinya, sistem subsidi yang tadinya melalui harga BBM diubah sehingga dana subsidi lebih tepat sasaran. Bantuan langsung membuat rakyat miskin lebih mampu membeli kebutuhan rumah tangga yang lebih berkualitas dengan jumlah yang lebih memadai. Perputaran uang di kalangan rakyat kecil akan meningkat dan ini dengan sendirinya akan menggairahkan sektor riil dan tentu berdampak positif kepada pertumbuhan ekonomi. Agar tidak terjadi kenaikan besar tarif angkutan, kepada kendaraan transportasi umum diberikan subsidi. Demikian juga kepada para nelayan, dapat diberikan kuota tertentu BBM bersubsidi. Pengubahan sistem subsidi tersebut akan dapat mengakhiri polemik harga BBM dan pemangku negara ini dapat fokus kepada berbagai permasalahan 198
Lika-Liku Energi Indonesia
lainnya yang tak kalah pelik dan pentingnya bagi bangsa. Harga minyak dunia akan terus berfluktuasi akibat pengaruh berbagai faktor seperti ketidakpastian pertumbuhan ekonomi dunia, keseimbangan pasokan dan permintaan minyak dunia, geopolitik dan spekulasi. Sebagai negara importir minyak, Indonesia sudah harus sudah dapat menerima hal tersebut sebagai kenyataan hidup yang akan terus dihadapi. Pengubahan sistim subsidi juga akan menghapus perilaku boros pemilik kendaraan. Negara kita dikenal termasuk yang boros energi. Artinya intensitas energinya tinggi, bisa 4 kali lebih boros dari negara China atau Jepang. Ini akan sangat mengurangi daya saing ekonomi kita. Karena itu harga BBM yang wajar akan mendorong konsumen ke arah hemat energi, mereka akan berpikir dua tiga kali sebelum membuka koceknya untuk membeli BBM yang berlebihan.
Penutup Apabila harga BBM dinaikkan maka ketahanan energi negara ini juga akan lebih mudah ditingkatkan karena harga energi lainnya, terutama energi terbarukan akan menjadi kompetitif. Saat ini bahan bakar nabati terhambat perkembangannya karena biaya produksinya di atas harga BBM bersubsidi. Padahal Indonesia sangat mungkin mandiri energi dengan bahan bakar nabati dikembangkan. Bahan bakar nabati dari bahan non makanan seperti biomassa dan ganggang laut berpotensi besar karena di samping beriklim tropis, Indonesia memiliki 80 ribu km garis pantai yang sebagiannya dapat untuk algae atau ganggang mikro, yang budidayanya tidak akan banyak memakai air tawar maupun lahan pertanian di darat. Dengan penyesuaian harga BBM sesuai gejolah harga minyak dunia, APBN kita dapat diamankan, defisit yang akan membebani generasi mendatang dapat dihindari. Karena itu, sudah perlu bagi Indonesia untuk menerima kecenderungan global agar harga BBM lebih rasional seperti harga-harga komoditi lainnya.
199
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Daftar Pustaka 1. Maizar Rahman, Perilaku Harga Minyak Dunia, Pengaruh Faktor Fundamental dan Non Fundamental, Lembaran Publikasi Lemigas, Volume 42, No 3, Desember 2008. 2. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2012 3. Bank Indonesia, 2012 4. US Energy Information Administration, 2012 5. Joint Report by IEA, OPEC, OECD and World Bank on fossil-fuel and other energy subsidies: An update of the G20 Pittsburg and Toronto Commitments” Prepared for the G-20 summit (Cannes, 3-4 November 2011). 6. http://en.wikipedia.org/wiki/Iranian_targeted_subsidy_plan, 9 March 2012.
200
Lika-Liku Energi Indonesia
Subsidi BBM, Sisi Global Suara Karya, Maret 2012
S
ubsidi BBM merupakan masalah global. Puluhan negara memberikan subsidi dalam jumlah dan cara yang bervariasi satu sama lainnya. Negara-negara berkembang pengekspor murni minyak memberikan harga BBM jauh di bawah harga pasar internasional. Apalagi kalau rasio produksi dan jumlah penduduk mereka tidak besar, membagikan BBM murah dianggap sebagai suatu cara membagi nikmat kekayaan alam kepada penduduknya. Negara-negara berkembang pengimpor minyak tidak dapat meniru negaranegara pengekspor minyak. Beberapa negara tetangga kita di ASEAN saja sudah memberlakukan harga BBM sesuai atau mendekati harga internasional. Rakyat mereka mengerti dan BBM sudah seperti komoditi lainnya, yang harganya sudah mengikuti naik turunnya harga pasar, tidak ada lagi gejolak sosial dan politik. Daya saing ekonomi mereka ternyata dapat bertahan berkat upaya efisiensi. Kalau di negara-negara maju, sudah lebih jauh lagi. BBM dipajaki tinggi sekali sehingga harganya bisa dua kali harga pasar internasional. Ini sangat mendorong efisiensi atau anti pemborosan sehingga kebutuhan BBM negaranegara tersebut cenderung menurun dan di lain pihak, energi terbarukan makin berkembang. Di tataran global sudah muncul kesepahaman bahwa subsidi energi fosil harus dieliminasi secara bertahap dan tahun 2020 diancar-ancar sebagai target hilangnya subsidi. Alasannya adalah makin langkanya sumber-sumber minyak dunia, perlunya ditingkatkan efisisensi demi menghemat sumber daya minyak yang masih ada, dan diharuskannya pengurangan energi fosil demi menurunkan CO2 di atmosfir karena pemanasan global mulai membahayakan. Kajian tim bersama Bank Dunia, OPEC, OECD dan IEA menunjukkan bahwa setiap tahun negara-negara berkembang mengeluarkan lebih dari 400 milyar dollar untuk subsidi energi fosil, dan ternyata hanya 8% yang dinikmati
201
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
rakyat miskin. Bila ini dialihkan, pencegahan pemborosan dapat menghemat lebih dari 600 juta ton setara minyak sampai tahun 2020. Disarankan agar subsidi dialihkan untuk kesejahteraan langsung rakyat miskin serta untuk pengembangan energi terbarukan. Hal yang mengejutkan adalah Iran, sebagai pengekspor OPEC kedua terbesar ternyata dengan drastis telah mereformasi sistim subsidinya mulai di akhir 2010. Harga bensin dinaikkan sebesar 400 % (dari 10 sen dollar menjadi 40 sen per liter) dan harga solar 1000% (dari 1.5 sen dollar menjadi 15 sen per liter). Sebagai kompensasi, untuk penduduk miskin dibantu sebesar $ 40 per orang per bulan. Untuk kendaraan umum dan niaga diberikan kuota BBM murah. Inflasi Iran di tahun berikutnya naik tapi ternyata tidak sebesar yang diperkirakan. Pengamat luar negeri dan Bank Dunia menilai perubahan tersebut berdampak positif kepada perekonomian Iran. Kalau hampir semua negara dalam kelompok pengimpor minyak sudah menerapkan atau mendekatkan harga BBM pada harga pasar, Indonesia ternyata masih pada harga paling murah, malah sama dengan negara-negara pengekspor minyak yang memiliki produksi dan cadangan minyak per kapita berpuluh kali dari Indonesia. Kajian konsumen di Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen penikmat BBM adalah pemilik kendaraan pribadi yang berpenghasilan lebih besar. 75% rumah tangga, yang umumnya berpenghasilan rendah hanya menikmati 15% subsidi. Karena itu, sudah perlu bagi Indonesia untuk menerima kecenderungan global agar harga BBM lebih rasional seperti harga-harga komoditi lainnya dan subsidi dialihkan langsung untuk kesejahteraan rakyat miskin seperti peningkatan daya beli, kesehatan, pendidikan serta penggalakan energi baru.
202
Lika-Liku Energi Indonesia
Subsidi BBM Atau Subsidi Rakyat Miskin ?
P
ada bulan September 2010 pemerintah Iran melakukan tindakan drastis dengan menaikkan harga bensin sebesar 400 % (dari 10 sen dollar menjadi 40 sen per liter) dan harga solar 1000% (dari 1.5 sen dollar menjadi 15 sen per liter). Adalah menjadi keheranan kita kenapa tindakan tersebut diambil karena Iran merupakan penghasil minyak terbesar kedua di OPEC dengan produksi 4 juta barel per hari dan padahal mereka mesti mampu menyediakan BBM dengan harga murah. Dibandingkan Indonesia (yang memproduksi kurang dari 1 juta barel per hari), produksi minyak per kapita Iran 15 kali Indonesia dan cadangan minyaknya yang 137 milyar barel sama dengan 100 kali cadangan minyak Indonesia per kapita/penduduk. Pemerintah Iran menyadari bahwa harga BBM yang sangat murah menimbulkan berbagai dampak negatif. Harga BBM yang sangat murah mendorong rakyat menjadi sangat boros energi. Sebagian besar BBM pun hanya dinikmati kelompok rakyat menengah ke atas atau yang memiliki kendaraan. Sistim subsidi dengan harga murah malah menghamburkan uang negara yang sebetulnya dapat digunakan untuk subsidi langsung dan terarah kepada rakyat berpenghasilan rendah yang memerlukan bantuan .Di samping itu Iran juga memerlukan dana untuk keperluan pembangunan kesejahteraan rakyat lainnya seperti infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Karena itu sistim subsidi mereka ubah dengan menaikkan harga BBM dan dilain pihak dana subsidi yang dihemat (sekitar 40 miliar dollar) sebahagiannya didistribusikan kepda penduduk miskin sebesar $ 40 per orang per bulan dengan cara membagikan kartu ATM kepada kepala keluarga. Pemerintah Iran menyadari bahwa harga BBM yang murah tetap diperlukan untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi, tapi itu diberikan kepada kendaraan umum dan niaga, dan subsidi tersebut dikendalikan dengan cara kuota BBM murah. Setelah penerapan harga baru BBM, inflasi di tahun 2011 memang naik tapi ternyata tidak sebesar yang diperkirakan. Pengamat luar negeri dan Bank Dunia melihat perubahan sistem tersebut memberikan dampak positif kepada perekonomian Iran.
203
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Permasalahan BBM di Indonesia saat ini tidak jauh berbeda dengan situasi awal di Iran. Pemerintah Indonesia memberlakukan subsidi kepada harga dan bukan bantuan langsung kepada masyarakat miskin. Lebih dari 60 persen penikmat BBM di SPBU adalah pemilik kendaraan pribadi yang nota bene memiliki penghasilan jauh lebih besar. Belanja mereka untuk BBM merupakan persentase kecil dari penghasilan mereka sehingga kenaikan harga BBM tidak akan terlalu memberatkan anggaran rumah tangga mereka. Belum lagi perusahaan-perusahaan asing serta kedutaan-kedutaan besar asing di Indone sia yang semuanya berjumlah lebih dari 2700 perusahaan. Perhitungan kasar menunjukkan bahwa mereka dapat menikmati subsidi BBM lebih dari setengah trilliun rupiah per tahun. Sebaliknya bila subsidi tersebut dialihkan berupa bantuan langsung kepada rakyat miskin maka mereka akan lebih mampu membeli kebutuhan rumah tangga yang lebih berkualitas dengan jumlah yang lebih memadai. Perputaran uang di kalangan rakyat kecil akan meningkat dan ini dengan sendirinya akan menggairahkan sektor riil dan tentu berdampak positif kepada pertumbuhan ekonomi. Agar tidak terjadi kenaikan besar tarif angkutan, kepada kendaraan transportasi umum dapat diberikan subsidi harga dengan kuota tertentu di SPBU. Demikian juga kepada para nelayan, dapat diberikan kuota tertentu BBM bersubsidi. Penyelesaian masalah sistem subsidi tersebut akan dapat mengakhiri polemik harga BBM dan pemangku negara ini dapat fokus kepada berbagai permasalahan lainnya yang tak kalah pelik dan pentingnya bagi bangsa. Harga minyak dunia akan terus berfluktuasi akibat pengaruh berbagai faktor seperti ketidakpastian pertumbuhan ekonomi dunia, keseimbangan pasokan dan permintaan minyak dunia, geopolitik dan spekulasi. Sebagai negara importir minyak, Indonesia sudah harus sudah dapat menerima hal tersebut sebagai kenyataan hidup yang akan terus dihadapi. Negara-negara tetangga kita di kawasan ASEAN yang juga importir minyak sudah lama meninggalkan sistim subsidi harga dan rakyat mereka dapat menerima kenyataan harga pasar. Sebetulnya Indonesia juga sudah punya pengalaman menghadapi kenaikan harga BBM seperti di tahun 2005, karena melonjaknya harga minyak dunia waktu itu harga premium naik dari rp 1800 ke rp 2400 kemudian naik lagi ke 4500 rupiah per liter. Semuanya dapat dihadapi oleh rakyat kita. Pada tahun
204
Lika-Liku Energi Indonesia
tersebut harga minyak dunia sekitar $ 50 per barel. Bandingkan dengan harga sekarang yang sudah mencapai $ 115 per barel. Berbagai tindakan illegal seperti penyelundupan BBM yang merugikan negara, pengoplosan yang merugikan konsumen karena merusak mesin kendaraan, akan dapat dicegah dengan mengubah sistim subsidi harga ke subsidi langsung. Ribuan petugas berwajib tidak perlu disiagakan untuk mencegah penyelundupan. Pengubahan sistim subsidi juga akan menghapus perilaku boros pemilik kendaraan. Negara kita dikenal termasuk yang boros energi. Artinya intensitas energinya tinggi, bisa 4 kali lebih boros dari negara China atau Jepang. Ini akan sangat mengurangi daya saing ekonomi kita. Karena itu harga BBM yang wajar akan mendorong konsumen ke arah hemat energi, mereka akan berpikir dua tiga kali sebelum membuka koceknya untuk membeli BBM yang berlebihan. Apabila harga BBM dinaikkan maka ketahanan energi negara ini juga akan lebih mudah ditingkatkan karena harga energi lainnya, terutama energi terbarukan akan menjadi kompetitif. Saat ini bahan bakar nabati terhambat perkembangannya karena biaya produksinya di atas harga BBM bersubsidi. Padahal Indonesia sangat mungkin mandiri energi dengan bahan bakar nabati dikembangkan. Bahan bakar nabati dari bahan non makanan seperti biomassa dan ganggang laut berpotensi besar karena di samping beriklim tropis, Indonesia memiliki 80 ribu km garis pantai yang sebagiannya dapat untuk algae atau ganggang mikro, yang budidayanya tidak akan banyak memakai air tawar maupun lahan pertanian di darat. Dengan penyesuaian harga BBM sesuai gejolah harga minyak dunia, APBN kita dapat diamankan, defisit yang akan membebani generasi mendatang dapat dihindari. Negara-negara berkembang lainnya sudah sampai pada tahap penerapan pajak energi, artinya harga BBM masih dikenakan pajak di atas harga pasar. Pajak tersebut dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur jalan dan juga infrastruktur lainnya seperti rumah sakit, sekolah dan berbagai keperluan peningkatan kesejahteraan rakyat lainnya. Ini tentu masih merupakan program jangka panjang negara kita. Yang saat ini diperlukan adalah mulai membiasakan diri dengan tingkat dan gejolak harga BBM sesuai dengan irama fluktuasi harga minyak dunia. 205
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Solusi LPG Untuk Rakyat Suara Karya, 8 Januari 2014
M
asalah LPG mempunyai beberapa sudut pandang. Sisi rakyat yang menginginkan harga terjangkau dan distribusi yang handal, sisi Pertamina sebagai korporasi dan sisi Pemerintah yang
mengharapkan BUMN sebagai sumber penerimaan. Dari sisi visi bangsa Indonesia keseluruhan, Pertamina dituntut menjadi kebanggaan bangsa, sebagai world class company, ujung tombak negara dalam mencari sumber2 energi di dalam dan luar negeri demi keamanan energi negara. Konsekwensinya BUMN ini harus mengikuti kaidah ‘pengelolaan badan usaha yang baik’ sehingga dalam neraca keuangannya (yang diaudit lembaga independen) tidak boleh ada kerugian yang tidak logis, seperti menjual di bawah harga keekonomian. Di samping itu ‘usaha rugi’ ini membuat kehandalan distribusi LPG amat susah dipertahankan. Dari sisi rakyat, terutama rakyat kecil/ekonomi lemah, harga hendaknya terjangkau, ini suatu tuntutan logis yang harus diperhatikan pemerintah. Kenaikan harga yang ‘drastis’ menimbulkan gejolak ekonomi dan sosial. Dari sisi komoditi, LPG 12 kg bukan komoditi subsidi, bukan dimonopoli, jadi adalah ‘komoditi biasa’ sama seperti komoditi lainnya seperti beras, cabe dll, sehingga dapat diperdagangkan siapa saja. Dan naik turunnya harga sesuai perkembangan pasar. Karena komoditi ini masih ‘proyek rugi’ pada harga sekarang, tidak ada swasta yang mau berbisnis di sini. Ini juga membuat lemah kehandalan distribusi LPG ini dan rawan kelangkaan. Karena itu suatu waktu di masa depan komoditi ini harus betul-betul menjadi ‘komoditi biasa’. Dari sisi Pemerintah, BUMN adalah ujung tombak negara untuk menghasilkan keuntungan yang sebagiannya, berupa pajak dan deviden, dapat menjadi sumber penerimaan negara dalam APBN. Artinya keuntungan tersebut juga kembali ke rakyat.
206
Lika-Liku Energi Indonesia
Pilihan-pilihan strategis dan ‘win-win’ tanpa gejolak yang dapat diambil pemerintah adalah: 1. Menaikkan harga secara bertahap, misalnya rp 1000 per kilo per enam bulan sampai tercapainya harga keekonomian. Kalau dianggap berat bagi rakyat, kenaikan dapat diturunkan ke rp 750 atau rp 500 per 6 bulan. Jadi harga keekonomian dapat dicapai dalam 2, 3 atau 4 tahun. Kenaikan bertahap ini sesuai dengan hukum alam “reversible process’ artinya cara ini sangat mengurangi gejolak. Dengan cara ini juga beberapa tahun ke depan swasta sudah bisa ikut serta berbisnis LPG sehingga meningkatkan kehandalan distribusi LPG dan mengurangi resiko kelangkaan. 2. Mengganti sistem “pembebanan kerugian” ke Pertamina dengan memberikan subsidi seperti halnya LPG 3 kg, meskipun besaran subsidinya tidak harus sama. Ini sangat menolong citra Pertamina sebagai korporasi karena tidak ada kerugian yang ‘tidak logis’. Dari sisi anggaran Pemerintah tidak ada banyak perubahan karena subsidi tadi di neraca Pertamina menjadi keuntungan dan keuntungan tersebut dapat ditarik pemerintah kembali berupa pajak dan dividen. Cara ini sangat elegan karena tidak merugikan siapapun, baik citra Pertamina, Pemerintah dan rakyat. Tapi cara ini sebaiknya sementara saja karena swasta tetap tidak berkembang dan kehandalan distribusi tetap rawan. Namun untuk jangka panjang, seluruh ‘komoditi energi termasuk LPG’ harus menjadi komoditi biasa karena posisi energi di negara kita cukup rentan dan terpaksa impor, seperti halnya hampir di semua negara-negara di Asia Timur ataupun ASEAN. Walaupun kita punya sumber-sumber energi, tetap relatif sedikit karena jumlah penduduk kita yang besar, berbeda dengan negaranegara Timur Tengah penghasil minyak yang besar tapi jumlah penduduknya kecil.
207
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Kilang Minyak Baru, Keharusan yang Mendesak Investor Daily, 17 Februari 2014
P
ada Juni tahun 2005 saya diwawancara media mengenai pembangunan kilang baru. Penjelasan saya ketika itu adalah, kilang baru mendesak untuk dibangun, tidak hanya satu tapi tiga kilang baru. Alasannya Indonesia sudah mengimpor BBM (bahan bakar minyak) karena produksi kilang dalam negeri tidak mencukupi, sedangkan pertumbuhan permintaan BBM tinggi, sekitar 4 % per tahun. Kekurangan itu diperparah oleh stok BBM yang sering kritis karena menipis dan terjadinya kelangkaaan di berbagai tempat bilamana pasokan terlambat datang. Kilang “terbaru” yang dibangun di Indonesia berada di Balongan, Indramayu, Jawa Barat, yang beroperasi pada 1994. Sejak itu tidak ada pembangunan baru, antara lain karena situasi reformasi politik pada 1998 yang diikuti oleh periode pemulihan ekonomi sesudah itu sehingga pembangunan kilang baru belum terpikirkan lagi. Sementara itu di lain sisi, impor BBM terus meningkat. Kilang-kilang lainnya sudah tua atau malah sangat tua, konfigurasinya sederhana, teknologinya ketinggalan zaman sehingga kurang efisien. Akibatnya biaya produksinya lebih tinggi dari harga produk yang sama di pasar Singapura. Alhasil, potensi “rugi” yang harus ditanggung pemerintah bisa mencapai ratusan juta dollar setiap tahun. Jadi, selain membangun kilang baru, kilang-kilang lama memerlukan peremajaan, dan biayanya akan tertutup dengan peningkatan efisiensi tersebut.
Memperlebar Defisit Pada 2008 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan sebuah kajian dengan topik Kajian Pengembangan Kilang Minyak Indonesia Ke Depan dan menyimpulkan bahwa sampai tahun 2030 Indonesia memerlukan pembangunan 6 kilang baru, baik itu di lokasi kilang yang sudah ada maupun di lokasi baru, termasuk di Indonesia Bagian Timur. Ini berdasarkan pertumbuhan permintaan BBM 3,5-4 % per tahun sehingga pada tahun 2030 tersebut akan diperlukan lebih dari 3,2 juta barel BBM per hari.
208
Lika-Liku Energi Indonesia
Sebuah kajian yang dilakukan Pertamina juga memperkirakan bahwa tanpa adanya pembangunan kilang baru, pada tahun 2017 impor BBM akan mencapai 900 ribu barel per hari (bph). Dapat dibayangkan keperluan devisa yang makin membengkak karena untuk tahun 2013 saja impor minyak dan BBM sudah sebesar 600 ribu bph yang memerlukan 45 milyar dollar sehingga makin memperlebar defisit transaksi berjalan . Dari tahun ke tahun diskusi dan kajian perlunya kilang baru terus menerus bergulir tanpa suatu hasil konkret. Pertamina, para investor serta pemasok minyak mentah sudah siap secara teknis maupun finansial, tapi selalu tidak ada titik temu antara keinginan investor dan aturan insentif yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Pajak dan Insentif Fiskal Proyek pembangunan kilang merupakan investasi padat modal, teknologi canggih dan beresiko tinggi. Untungnya, pemasok minyak mentah yang umumnya adalah produsen dari negara-negara Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) juga tertarik sebagai peserta pemegang saham sehingga lebih memudahkan dari sisi investasi. Namun di sisi lain margin proyek kilang kecil sehingga daya tariknya sangat rendah. Untuk itu Pemerintah diminta untuk memberikan kondisi yang kondusif, seperti pemberian keringanan pajak dan beberapa insentif fiskal lainnya agar investasi kilang memenuhi kelayakan keekonomian yang memadai. agar investor Dengan begitu, investor dan dunia finansial tertarik untuk terlibat dalam proyek ini. Namun, Kementerian Keuangan yang berwenang dalam hal ini menyatakan bahwa insentif yang diminta di luar ketentuan yang ada atau terlalu besar. Tidak adanya titik temu menyebabkan calon-calon investor mundur. Sebetulnya Pemerintah bisa melihat proyek ini dalam kacamata yang lebih holistik. Artinya, apabila dilihat dari sisi cost and benefit (bukan cost and profit), proyek ini sangat positif manfaatnya bagi bangsa Indonesia. Di samping laba bersih dari kilang baru dan pengurangan impor BBM, berbagai faktor intagible dapat dinikmati negara ini, misalnya untuk keamanan dan stabilitas pasokan
209
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
BBM, peningkatan ketahanan energi nasional, mencegah kelangkaan, penggerak pertumbuhan ekonomi daerah melalui efek ekonomi berganda, pembukaan lapangan kerja, mendorong kegiatan rancang bangun dalam negeri, mendorong tingkat kandungan dalam negeri di bidang pengadaan peralatan kilang, peningkatan stok komersial minyak mentah dan BBM di dalam negeri, serta peningkatan efisiensi pengadaan BBM dari sisi biaya kilang maupun biaya angkut impor. Apabila semua faktor ini dipertimbangkan dan kalau perlu di-tangible-kan maka jelas benefit atau manfaatnya jauh lebih besar dibanding besarnya insentif yang diberikan. Integrasi kilang minyak dengan kilang petrokimia merupakan salah satu upaya menaikkan margin kilang terintegrasi. Impor produk petrokimia Indonesia masih besar sehingga kilang terintegrasi ini mempunyai peluang pasar petrokimia yang cukup bagus. Adanya rencana pemerintah untuk membangun kilang baru, seperti dilansir media baru-baru ini sebenarnya sudah sangat terlambat , walaupun lebih baik daripada tidak sama sekali. Pemerintah juga sudah harus mengkonkretkan rencana strategis pembangunan kilang sampai tahun 2030, yang sedikitnya memerlukan 6 kilang baru selain meremajakan kilang-kilang lama. Rencana Pemerintah untuk menerapkan skema kerja sama swasta pemerintah atau PPP (public private partnership) untuk proyek kilang ini merupakan langkah baru dan mudah-mudahan memberikan titik temu dengan keinginan investor. Berita terbaru lainnya adalah upaya Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia untuk mendorong kilang swasta yang kesepakatannya ditandatangani pihak pengusahaan migas asal Iran, Nakhle Barani Pardis (NBP) Co, dan PT Kreasindo Resources Indonesia (PT KRI) minggu lalu. Sebaiknya Pemerintah juga memfasilitasi sepenuhnya upaya ini seperti halnya kepada kilang pemerintah karena kilang swasta ini juga akan memberikan benefit besar bagi negara. Dengan adanya kilang baru, impor BBM akan berkurang. Kilang baru juga akan mengurangi fluktuasi harga di pasar Singapura. Selama ini, kerawanan harga biasanya muncul kalau ada kerusakan suatu kilang di Indonesia yang terpaksa secara teknis maupun finansial berhenti berproduksi. Dengan sendirinya, impor membesar, dan sesuai hukum pasar, harga BBM di pasar Singapura
210
Lika-Liku Energi Indonesia
melonjak. Pada akhirnya, Pemerintah melalui Pertamina harus mengeluarkan dana yang lebih besar lagi. Para trader tersenyum lebar karena mereka bisa menjual stok BBM mereka dengan harga ‘sangat bagus’. Bila dihitung, jumlah dana akibat berbagai kerugian karena impor yang besar selama 10 tahun terakhir ini sudah mampu untuk membangun beberapa kilang baru. Jadi, jangan sampai rencana pembangunan kilang yang baru ini tertunda lagi demi mencegah berlanjutnya kerugian negara.
211